ISLAM DAN BUDAYA JAWA DALAM PERSPEKTIF CLIFFORD GEERTZ Skripsi Diajukan untuk Memenuhi Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Agama (S.Ag) Oleh: Muhammad Sairi NIM: 1113032100015 JURUSAN STUDI AGAMA-AGAMA FAKULTAS USHULUDDIN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1439 H/2017 M
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
ISLAM DAN BUDAYA JAWA DALAM PERSPEKTIF
CLIFFORD GEERTZ
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Syarat Memperoleh
Gelar Sarjana Agama (S.Ag)
Oleh:
Muhammad Sairi
NIM: 1113032100015
JURUSAN STUDI AGAMA-AGAMA
FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1439 H/2017 M
v
ABSTRAK
Muhammad Sairi
Islam dan Budaya Jawa dalam Perspektif Clifford Geertz
Agama Islam di Jawa memiliki karakter dan ekspresi keberagamaan
tersendiri yang unik. Hal ini dikarenakan penyebaran Islam di Jawa, lebih
dominan mengambil bentuk akulturasi, baik yang bersifat menyerap,
menyatu maupun dialogis. Skripsi ini membahas mengenai Islam dan
Budaya Jawa dalam Perspektif Clifford Geertz. Popularitas Geertz,
demikian ia dikenal, semakin melesat baik di negaranya maupun di
Indonesia ketika ia merampungkan penelitiannya tentang Indonesia
khususnya masyarakat Jawa yakni Mojokuto dan Bali serta Maroko dalam
kurun waktu sekitar lima tahun. Hasil penelitian yang dilakukan Geertz ini
kemudian mendapat apresiasi yang besar di kalangan insider (umat Islam
Indonesia) dan outsider (pemikir Barat) terutama karena penelitian ini
dinilai sebagai penelitian yang mampu memberikan “pandangan baru”
dalam diskursus keislaman dan relasinya dengan budaya Jawa.
Kajian tentang pemikiran Geertz itu dilakukan dalam beberapa
tahap. Pertama, mendiskripsikan tentang makna agama menurut para ahli
antropologi. Kedua, mengungkap sisi mutual simbiosis keislaman dan
Kejawaan menurut Geertz. Ketiga, menguraikan metode dan pendekatan
antropologis dan sosiologis yang digunakan oleh Clifford Geertz.
Setelah melewati beberapa tahap diatas, dapat dikemukakan bahwa
menurut Geertz kehadiran Islam di Jawa dengan pelbagai budaya yang
sangat kental tidak menjadikan keduanya saling menegasikan tetapi justru
mampu “hidup” berdampingan dan harmonis. Sementara jika dilihat dari
poal penghayatan dan intensitas pengamalannya terhadap ajaran Islam,
dalam konstruk sosiologis, umat Islam di Jawa dapat diklasifikasikan
menjadi santri, abangan, dan priyayi. Yang pertama adalah representasi
umat Islam Jawa yang sangat ketat dalam menjalankan ajaran Islam
sementara, kebalikannya, yang kedua dan terakhir adalah komunitas muslim
yang menjalankan ajaran Islam dengan ala kadarnya dan bahkan kerap
“acuh”.
vi
KATA PENGANTAR
“Analisa kebudayaan bukanlah satu ilmu eksperimental yang mencari
sebuah hukum, tapi adalah satu penafsiran yang mencari makna.”
~ Clifford Geertz ~
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, karena berkat
rahmat serta hidayahnya penulis dapat merampungkan skripi ini dengan
judul Islam dan Budaya Jawa dalam Perspektif Clifford Geertz.
Shalawat serta salam semoga senantiasa tercurah limpahkan kepada
junjungan kita yakni kanjeng Nabi Muhammad SAW, begitu juga kepada
keluarganya dan para sahabatnya, hingga pada umatnya kelak, amiin.
Penulisan skripsi ini diajukan untuk memenuhi syarat memperoleh
gelar Sarjana Agama pada Jurusan Studi Agama-Agama Fakultas
Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, dalam proses penyelesaian
skripsi ini tentunya tidak lepas dari peran berbagai pihak. Untuk itu, tak
dapat dipungkiri rasa bahagia ini sepenuhnya bukan karena jerih payah
penulis sendiri melainkan ada dukungan semangat dari banyak pihak.
Sudah sepatutnya penulis ingin menyampaikan rasa “terima kasih”
dan penghargaan yang tulus kepada semua pihak yang telah membantu
kelancaran skripsi ini. Bantuan dan dukungan mereka, sedikit banyak telah
meringankan beban penulis selama menyusun skripsi ini. Meskipun tidak
semua pihak dapat disebutkan satu persatu, setidaknya penulis merasa perlu
menyebutkan sejumlah nama yang membekas di hati penulis, yaitu:
1. Kedua orang tua penulis yang tidak henti-hentinya memberikan
semangat luar biasa serta doa yang selalu dipanjatkan dalam salatnya.
Membesarkan dan mendidik di lingkungan pesantren, terima kasih.
2. Ibu Dr. Sri Mulyati, MA, selaku pembimbing Skripsi saya yang sejak
semula dengan ketulusan hati dan tidak bosan-bosan memberikan
perhatian dan dorongan yang luas untuk menyelesaikan tugas akhir ini.
vii
3. Ibu Dra. Hermawati, MA, selaku penasihat akademik yang telah
mengesahkan judul penelitian sebagai bahan penulisan skripsi sehingga
penulisan skripsi berjalan dengan lancar.
4. Bapak Drs. M. Nuh Hasan, M.Ag yang menguji proposal skripsi saya
dan Drs. Dadi Darmadi, MA, yang selalu memberikan motivasi
semangat serta meluangkan waktunya untuk diajak diskusi.
5. Bapak Dr. Media Zainul Bahri, MA, dan Ibu Dra. Halimah Mahmudy,
M.Ag, selaku ketua dan sekretaris jurusan Studi Agama-Agama, yang
telah memberikan beberapa masukan yang sangat bermakna.
6. Bapak Prof. Dr. Masri Mansoer, MA selaku Dekan Fakultas
Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Dan Bapak Prof. Dr.
Dede Rosyada, MA, selaku Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
7. Segenap jajaran dosen dan guru besar Studi Agama-Agama, Bapak
Prof. Dr. Kautsar Azhari Noer, Bapak Prof. Dr. Ridwan Lubis MA,
Bapak Dr. Amin Nurdin, MA, dan Bapak Dr. Hamid Nasuhi, M.Ag,
Ibu Hj. Siti Nadroh, MA, Bapak Syaiful Azmi, MA, yang senantiasa
memberikan ilmu serta wejangan yang tiada tara manfaatnya.
8. Staf dan karyawan Perpustakaan Fakultas Ushuluddin, dan
Perpustakaan Utama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, yang banyak
membantu dalam menyediakan referensi yang dibutuhkan penulis.
9. Keluarga besar penulis, Muhammad Khoiri selaku kakak, Adekku
Syaiful Bahri, Nazid Khobir dan Lailatul Fitriyah, serta sepupuku
semuanya, juga buat kakek dan nenek, yang senantiasa menyertakan
nama penulis disetiap do’anya.
10. Teruntuk Gus Ma’mun Jauhari terimakasih atas bantuan buku
refrensinya, serta ilmu yang telah diajarkan kepada saya pribadi semoga
walaupun ada sebagian praktik-praktik atau ritual-ritual tertentu yang
diganti dengan ritual yang berbau Islam. Ajaran sebelumnya tetap
5 Clifford Geertz, Agama Jawa Abangan Santri Priyayi Dalam Budaya Jawa. h. 176
6 Karena kebanyakan dari masyarakat Jawa khususnya Mojokuto waktu itu tidak mengerti
Bahasa Arab serta tidak lancar membaca Al-Quran. Sehingga para muballigh yang telah
menuntaskan pendidikannya di Makkah kemudian sebagian berinisiatif mendirikan pesantren
untuk membantu mencerdaskan masyarakat setempat. 7 Zaini Muchtarom, Santri Dan Abangan Di Jawa. (Jakarta: INIS, 1988), h. 20-21
33
diteruskan, dilestarikan menyesuaikan ajaran Islam yang benar.
Sebagaimana hal tersebut juga diafirmasi oleh Bustanuddin Agus, bahwa
diantara sekian agama yang diakui di Indonesia ada tiga agama yang
berkembang di Jawa (diantaranya ada yang menyebut aliran) kemudian
mengatasnamakan dirinya sebagai agama. Diantaranya adalah : pertama,
Agama Kejawen, kedua, Agama Sapta Darma,8 dan ketiga, Agama Djawa
Asli Republik Indonesia (ADARI).9
Ketiga konteks diatas, agama kejawen dikonotasikan kepada kaum
awam atau meminjam bahasanya Geertz yakni kaum abangan, yang
pengikutnya berlatarbelakang desa yang tidak mengenyam pendidikan
pesantren apalagi pendidikan modern. Dalam kajian antropologis agama
abangan dikenal dengan agama kejawen. Sedangkan versi Islam mereka
tergolong agama Islam, walaupun hanya Islam KTP, atau Islam statistik.10
Sedangkan Agama Sapta Darma pokok inti ajarannya berpusat kepada alam
yang memproyeksikan dirinya dalam tiga hal yakni alam wajar (alam dunia
sekarang), alam abadi, dan alam halus (alam roh). Kemudian ADARI
pendirinya adalah S.W Mangunwidjojo (lahir 1892 di Surakarta). Visinya
adalah melaksanakan Pancasila dan mengangkat budaya Jawa asli terlepas
8 Pendiri Sapta Darma adalah Hardjosepuro atau terkadang disebut juga Hardjosaputro. Ia
dilahirkan di Desa Sanding, Pare Kediri tahun 1916 M. Katanya ajaran Sapta Darma pertamakali
diwahyukan kepadanya di waktu subuh di mana pendirinya didorong oleh kekuatan yang tiba-tiba
datang kemudian seakan-akan ada perintah untuk bersujud. Gerakan sujudnya hingga jam lima
pagi. Untuk lebih jelasnya baca Suwarno Imam S, Konsep Tuhan, Manusia, Mistik, Dalam
Berbagai Kebatinan Jawa, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2005), h. 231-259. 9 Bustanuddin Agus, Agama Dalam Kehidupan Manusia, (Jakarta: Rajawali Pers, 2007),
h. 320-323 10
Suwarno Imam S, Konsep Tuhan, Manusia, Mistik, Dalam Berbagai Kebatinan Jawa,
h. 55
34
dari kitab-kitab suci agama yang beredar luas yang berkembang di
Indonesia.
Adapun karakteristik asli budaya Jawa meliputi, ritual,
penghormatan, dan penghambaan. Yang mana ketiga unsur tersebut menjadi
pokok sesembahan kepada sang pencipta mahkluk seluruh alam. Senada
dengan pernyataan Geert bahwa ritual dijabarkan seperti:
“a slametan can be given in response to almost any
occurrence one whises to celebrate, ameliorate, or sanctify. Birth,
merriage, sorcery, death, house moving, bad dreams, harvest, name-
changing, opening a factory, illness, suplication of the village
guardian spirit, circumcision, and starting off political meeting may
all occasion a slametan”. (Selametan dapat diadakan untuk
merespon nyaris semua kejadian yang ingin diperingati, ditebus
atau dikuduskan. Kelahiran, perkawinan, sihir, kematian, pindah
rumah, mimpi buruk, panen, ganti nama, membuka pabrik, sakit,
memohon kepada arwah penjaga desa, khitanan dan permulaan
suatu rapat politik, semuanya bisa menyebabkan adanya
slametan).11
Inilah barangkali yang menjadi alasan kuat bahwa dalam proses
Islamisasi di Jawa dilakukan dengan cara dan metode yang tidak
dekonstruktif terhadap budaya Jawa. Sehingga antara Islam dan budaya
Jawa kemudian tidak menampilkan budaya tertentu yang lebih unggul dan
memiliki otoritas wilayah tertentu.
11
Clifford Geertz, The Religion of Java. (London: The University of Chicago Press
1960), cet I, h. 11
35
Apabila kita melihat peneliti tentang Islam yang terkenal dari
Belanda kemudian ia mengaku sebagai orang Islam, yakni Snouck
Hurgronje, ia menemukan ciri-ciri Islam yang ditemukannya ada di Aceh
Utara, yang ia simpulkan dalam sebuah opini:
“Untuk melukiskan citra rukun Islam yang kelima, kita dapat
menyatakan bahwa puncak atap bangunan Islam yang runcing itu
masih ditopang terutama sekali oleh tiang utamanya, pengakuan
bahwa tiada Tuhan selain Allah dan bahwa Muhammad adalah
utusan Allah, tetapi tiang-tiang ini dikelilingi oleh rampai-rampai
hiasan yang sangat tidak cocok dengannya, yang merupakan
pencemaran atas kesederhanaannya yang agung. Adapun empat
tiang-tiang yang lain, yang merupakan tiang-tiang penjuru, tampak
bahwa beberapa diantaranya sudah lapuk karena waktu, sementara
beberapa tiang baru yang menurut ajaran ortodoks tidak layak
menyangga bangunan suci itu, telah didirikan di samping lima tiang
yang asli dan sampai tingkat tertentu telah merampas tiang-tiang
asli itu”.12
Walaupun tidak menampilkan budaya Jawa tetapi kiasan tersebut
bahkan lebih tepat bagi masyarakat Jawa, di mana tiang-tiang itu hampir
tidak nampak lagi di tengah-tengah penopang lainnya. Terkecuali keyakinan
bahwa mereka beragama Islam dan menjadi seorang Islam itu sesuatu yang
terpuji. Hurgronje sebagai seorang Kristen telah mengenal Islam semenjak
ia menyamar menjadi muslim sebagai jema’ah haji di Makkah. Ia
berpendirian bahwa orang Islam dalam memahami dan mempraktikkan
12
Geertz, Agama Jawa Abangan Santri Priyayi Dalam Budaya Jawa. cet. II, h. 175. Lihat
pula Kevin W. Fogg, Mencari Arab Melihat Indonesia: Kacamata Arab Snouck Hurgronje tentang
Hindia Belanda. Terjemahan Ruslani, (Yogyakarta: Mata Bangsa, 2017), h. 25-28. Bandingkan
Ahmad Syafii Maarif, Islam dan Pancasila Sebagai Dasar Negara: Studi Tentang Perdebatan
dalam Konstituante, (Jakarta: LP3ES, 2006), h. 54-55
36
ajarannya “Orang Islam menerima secara formal ajaran Allah namun
dilaksanakan secara menyimpang dalam ritual praktiknya”.
Dalam kesimpulan diatas ini bukan berarti mendiskreditkan Islam
Jawa, tetapi lebih kepada tatanan aplikasi dari penganut agama itu sendiri
yang mana dalam menjalankan sebuah praktik keagamaan masyarakat Jawa
memiliki karakter tertentu disetiap individu masyarakat yang terpola dalam
ruang lingkup abangan, santri dan priyayi. Yang mana pada tatanan
masyarakat abangan dalam mengaplikasikan perintah agama masih
setengah-setengah tidak seperti kaum santri yang totalitas dalam
melaksanakan perintah agama dalam tataran aplikatifnya. Berbeda
kemudian dengan kaum priyayi yang semestinya sama-sama mengikuti pola
abangan dan santri, tetapi malah justeru sebaliknya, kaum priyayi tidak
begitu memperhatikan perintah agama.
B. Islam dalam Budaya Jawa
Pola pengislaman di Jawa dimulai dengan adanya saudagar-
saudagar asing yang telah memperoleh pengakuan dan kewibawaan serta
kekuasaan untuk mendirikan sebuah lembaga seperti pesantren atau
Masjid.13
Hasil dari upaya tersebut lambat laun semakin banyak
masyarakat yang kemudian masuk Islam. Di mana Islam pada masa awal
pertumbuhannya memiliki akar budaya Jawa. Itu disebabkan para
bangsawan Jawa masih melestarikan tradisi Hindu Jawa, bahkan mubalig
13
Muchtarom, Santri Dan Abangan Di Jawa. h. 22
37
pertama yakni para wali songo melakukan pengislaman hidup dalam
tradisi Jawa.
Islam di Jawa pada periode awal telah banyak memberikan
kelonggaran terhadap masyarakat Jawa khususnya dalam segi praktik-
praktik atau ritual keagamaan yang mana ritual keagamaan yang dibangun
berdasarkan praktik dari agama sebelumnya yakni agama Hindu dan
Budha.14
Meski demikian di Jawa pada waktu itu tidak memberikan
dualisme agama yakni Hindu dan Islam. Akan tetapi Islam justeru
memberikan kelonggaran terhadap masyarakatnya sehingga Islam mudah
diterima oleh masyarakat Jawa pada umumnya. Misalnya metode yang
digunakan oleh salah satu wali penyebar ajaran Islam yakni Sunan
Kalijaga15
dengan cara masuk ke desa-desa pedalaman Jawa kemudian
mengislamkan masyarakat setempat dengan menggunakan wayang.
Lain halnya karakteristik yang paling tampak dari pola abangan di
Jawa sekaligus menjadi pembeda dengan santri adalah sikap relativisme
dan keterikatannya terhadap adat setempat.16
Di mana adat setempat begitu
kental dengan budaya Jawa. Sementara di kalangan santri, perhatian
terhadap doktrin hampir mengalahkan aspek ritual Islam yang telah
menipis. Geertz tidak menekankan aspek mistik yang dibangun oleh Sufi.
Sementara Woodward lebih menyinggung Sufi dengan mengatakan bahwa
Muhammad sebagai Nabi terakhir sekaligus mewakili kesempurnaan
14
Muchtarom, Santri Dan Abangan Di Jawa. h. 24. Bandingkan Machmud Junus,
Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia. (Jakarta: Pustaka Mahmudiah, 1960), h. 190-191 15
M. Bambang Pranowo, Memahami Islam Jawa. (Jakarta: Rajawali Pers, 2009), h. 299-
301 16
Geertz, Agama Jawa Abangan Santri Priyayi Dalam Budaya Jawa, h. 180
38
gagasan mistik yang orang lain tidak bisa menirunya, ia adalah sosok
panutan umat, khususnya Islam.17
Yang menjadi persoalan adalah
kelahiran Nabi Muhammad terus dirayakan oleh Umat Muslim bahkan
sudah mentradisi. Orang Jawa biasanya menyebut “slametan” kelahiran.
Oleh karena itu Geertz memandang pola ritual slametan kaum
abangan (pedesaan) adalah sebentuk “ritual inti” dalam agama Jawa.18
Yang berakar pada tradisi animisme. Sehingga dalam tataran aplikasinya
masyarakat abangan tahu kapan semestinya mereka melakukan slametan
dan apa yang harus jadi hidangan pokoknya telah terkonsep dalam diri
mereka.19
Masyarakat abangan percaya bahwa slametan itu mendatangkan
berkah dan keselamatan. Contoh riilnya dalam masyarakat Jawa apabila
mereka kedapatan tamu ke rumahnya kemudian menghidangkan makanan
baik berupa nasi, teh, kopi dan hidangan lainnya bila tidak dimakan atau
diminum ia akan sedikit kecewa.20
Mayarakat abangan melaksanakan
syari’at agama menurut kadar kemampuannya.
Ada perbedaan yang sangat mendasar dari arti slametan seperti apa
yang telah penulis singgung diatas dari Geertz yang kemudian slametan di
definisikan oleh Mark Woodward, ia mengatakan bahwa:
17
Mark R Woodward, Islam Jawa: Kesalehan Normatif Versus Kebatinan, terjemahan
Hairus Salim HS (Yogyakarta: LkiS 1999), cet I, h. 97 18
Andrew Beatty, Variasi Agama Di Jawa Suatu Pendekatan Antropologi. (Jakarta:
RajaGrafindo Persada, 2001), h. 41 19
Geertz, Agama Jawa Abangan Santri Priyayi Dalam Budaya Jawa, h. 181 20
Sering kali juga ada yang hanya sebatas taklid buta terhadap masyarakat yang lain jika
menghidangkan makanan karena orang selalu menghidangkan makanan setiap kali ada tamu dan
sebagainya. Tradisi yang berkembang di Jawa sangat santun, begitu juga paduan dari Islam yang
mana bila seseorang kedapatan tamu kemudian tuan rumah tidak menghidangkan makanan walau
hanya berupa air minum saja maka ia tidak mengamalkan ajaran Islam secara total karena Islam
mengajarkan tata cara menghormati tamu dan menyuguhkan makanan yang ia punya.
39
“Slametan adalah produk interpretasi teks-teks Islam dan mode
tindakan ritual yang diketahui dan disepakati bersama oleh
masyarakat Muslim (bukan Jawa) dalam artian luas”.21
Namun demikian, penulis lebih setuju bahwa slametan merupakan
akar dari dua tradisi yang berbeda yakni tradisi pra-Islam dan tradisi Islam.
Meskipun slametan ada unsur-unsur Islamnya tetapi slametan tak luput
dari akar budaya pra-Islam seperti Hindu dan Budha yang lebih banyak
mempengaruhi terhadap praktik dan pola ritual slametan yang ada. Hal ini
bisa direfrensikan pada temuan Geertz di Mojokuto.
Jelas berbeda dengan kaum santri, Islam dilihatnya sebagai
lingkaran sosial yang konsentris, tertuju, memiliki satu pusat yang sama
yakni Tuhan. Santri merupakan kelompok (komunitas) besar orang-orang
beriman, yang senantiasa mengulang dan mempraktikkan apa yang
dilakukan oleh Nabi Muhammad.22
Entitas santri yang selalu taat terhadap
syari’at Nabi serta perintah Tuhan sejatinya menganggap diri lebih baik
dari masyarakat abangan. Mereka beranggapan bahwa hukum Tuhan
harus disampaikan, ditafsirkan serta dijalankan dan karena itulah harus ada
guru, hakim, sekolah-sekolah, dan ahli agama.
Walau demikian sifat dari keduanya antara santri dan abangan
tidak mengindikasikan bahwa totalitas pengamalan terhadap agama tidak
21
Beatty, Variasi Agama Di Jawa Suatu Pendekatan Antropologi. h. 41. Bandingkan
Ummi Sumbulah, dalam jurnal el Harakah Vol.14. No. 1 Tahun 2012, h. 55 22
Martin Van Bruinessen, Kitab Kuning, Pesantren dan Tarekat. (Yogyakarta: Gading,
2015), cet. II, h. 6-7
40
serta merta tergantung kepada kewajiban masing-masing secara makna
yang sederhana. Dalam pengamalan terhadap agama baik kaum abangan
santri dan priyayi mereka melaksanakan syariat agama menurut kadar
kemampuannya.
Geertz memandang sisi lain dari santri di Mojokuto disamping
perhatian mereka terhadap doktrin, kaum santri (Muslim kaffah) tidak
pernah memandang agama hanya sebagai serangkaian kepercayaan
semata, atau sebagai sistem umum yang mengikat mereka sebagai
individu. Akan tetapi mereka selalu memahami agama sebagai suatu
lembaga sosial masyarakat dunia. Di mana mereka ketika berbicara Islam
selalu tergambarkan sejenis organisasi sosial di mana kepercayaan Islam
merupakan elemen yang menentukan.
Pada fase perkembangannya santri kemudian “berevolusi” pada
dua macam ciri yang mencolok. Pertama, dipengaruhi oleh gerakan
reformis Islam modernis yang bermula di Kairo dan Makkah. Kedua,
Perbedaan itu terletak kepada dualisme pandangan dunia (wordview) kolot
dan modern.23
Santri modern menerima bentuk kemajuan yang
memandang kompleksitas semata-mata sebagai sebuah tantangan semata
yang harus dihadapi bukan ditolak. Lain halnya dengan santri kolot yang
alur pemikirannya masih lekat dengan budaya Jawa bahwa bentuk
kemodernan itu hanya mencelakakan diri dan bangsa.
23
Ahmad Syafii Maarif, Islam dan Pancasila Sebagai Dasar Negara: Studi Tentang
Perdebatan dalam Konstituante, (Jakarta: LP3ES, 2006), h. 63-64. Bandingkan Zaini Muchtarom,
Santri Dan Abangan Di Jawa. h. 31-35
41
Konsepsi dasar Jawa mengenai dunia kolot bahwa semua
perwujudan dalam kehidupan disebabkan oleh gagasan animisme di mana
segala sesuatu yang ada di alam itu memiliki nyawanya sendiri. Nyawa
atau roh yang tinggal dalam diri (being) atau benda-benda lain.
Kepercayaan seperti itu tentu merupakan kepercayaan animis secara khas
dan alamiah yang berakar dalam agama Hindu.
Sejatinya roh-roh yang disembah oleh orang Jawa pada umumnya
disebut hyang atau yang berarti “tuhan”. Tuhan dalam bahasa Jawa disebut
Hyang Widi Kuwasa (Tuhan Yang Maha Kuasa). Dalam bahasa arab
disebut al-ilah (dewa)24
Begitu pula salat disebut sembahyang oleh orang
Jawa. Kata sembahyang berasal dari kata sembah yang bermakna
“penyembahan” dan yang bermakna “tuhan”.
Dalam upaya menelisik Islam di Mojokuto secara antropologis,
disana terdapat empat lembaga utama. Yang menjadi basis pergerakan
Islam. Geertz mengemukakan bahwa keempat lembaga tersebut
diantaranya adalah Pertama, partai politik Islam berikut organisasi yang
sealiran dengannya. Kedua, sekolah agama. Ketiga, lembaga pemerintahan
yang berada di bawah naungan Menteri Agama. Yang keempat, organisasi
jemaah informal disekitaran Masjid atau Langgar desa. Keempat struktur
lembaga yang ada ini terjalin satu sama lain dalam bingkai ideologi
pemikiran kolot dan modern untuk menyediakan kerangka yang kompleks
menyangkut semua aspek perilaku keagamaan yang berlaku di Mojokuto.
24
Olaf Herbet Schumann, Pendekatan pada Ilmu-ilmu Agama-agama. (Jakarta: BPK
Gunung Mulia, 2013), h. 280-291
42
Sebagaimana yang dapat kita lihat bersama bahwa, Geertz dalam
Agama Jawa (2014), mendiskripsikan identitas Muslim Jawa dengan tiga
varian abangan, santri dan priyayi. Menurut Geertz, tradisi abangan
dominan tertuju kepada petani dalam tataran praktiknya banyak
melakukan slametan, percaya kepada roh-roh, percaya kepada sihir.25
Di
mana slametan merupakan unsur terpenting bagi masyarakat abangan. Di
sisi lain kaum santri dilekatkan dengan Islam yang murni. Dalam praktik
keagamaannya kaum santri selalu hati-hati, serta teratur. Sementara kaum
priyayi diasosiasikan kepada kaum ningrat yang mana tradisi
keberagamaan mereka dicirikan dengan unsur Hindu dan Budha. Dalam
praktik riilnya masyarakat priyayi lebih nrima (bahasa Jawa: menerima
takdir dengan sepenuh hati, sabar dan tidak keras kepala serta ikhlas).
C. Praktik Islam dalam Budaya Jawa
Dari sekian banyak praktik dan ritual keagamaan yang ada di Jawa
baik dalam agama Hindu dan Budha ketika Islam datang kemudian banyak
masyarakat yang beralih kepada Islam. Kemudian daripada itu Islam tidak
serta merta mengubah ritual-ritual yang ada dalam kebudayaan masyarakat
Jawa akan tetapi Islam datang untuk memadukan dengan budaya setempat.
Oleh karena itu Martin van Bruinessen berasumsi bahwa bukan hukum
Islam yang abstarklah yang menentukan segala masalah terkait kehidupan
masyarakat, baik dari pernikahan, perceraian, warisan, dan transaksi
ekonomi, melainkan adat atau budaya setempat. Adatlah yang menentukan
25
M. Bambang Pranowo, Memahami Islam Jawa. h. 8
43
masyarakat harus melakukan apa dan seperti apa seharusnya bertingkah
laku, bertindak sehari-hari.26
Di sisi lain terkait soal persepsi dari pada tokoh mengenai agama,
seringkali Gus Dur27
mengatakan, di suatu pihak agama dijadikan tolok ukur
yang dapat membebaskan manusia dari suatu himpitan struktural tertentu,
tetapi tidak di hal yang lain. Bisa dipastikan agama memang mempunyai
dampak pembebasan. Hanya saja proses pembebasan itu cenderung lambat.
Dalam dunia global ini masyarakat sering tergoda oleh paradigma-
paradigma di luar agama dengan menuntut fungsi agama itu sendiri. Di
sinilah yang menjadi persoalan. Misalnya, satu sisi orang Arab berhasil
mengislamkan sebagian besar masyarakat Indonesia secara ritual
keagamaan, tidak secara praktik.28
Bagaimana mungkin masyarakat
Indonesia serta-merta mempercayai agama yang sejatinya orang baru tahu,
baru datang bahwa ini adalah agama dengan membawa visi kebaikan,
agama yang rahmatan lil „alamin telah hadir di Indonesia untuk menggeser
kepercayaan yang sama-sekali tidak masuk rasio akal sehat manusia
modern. Melawan kepercayaan yang sudah mendarah daging tentu tidak
serta-merta merombak secara total kepercayaan yang asli. Dirasa Islam
memiliki kesamaan dengan ajaran Hindu dan Budha makanya Islam mudah
diterima oleh masyarakat Indonesia umumnya, terkhusus masyarakat Jawa.
26
Martin van Bruinessen, Kitab Kuning, Pesantren dan Tarekat, h. 67 27
Gus Dur Nama Lengkapnya Abdurrahman Wahid namun biasa dipanggil Gus Dur. Ia
lahir di Jombang Jawa Timur. Ia mantan ketua Tanfidziyah NU selama tiga periode (1984-1999) 28
Abdurrahman Wahid. Islam Kosmopolitan Nilai-Nilai Indonesia Dan Transformasi
Kebudayaan. (Jakarta: The Wahid Institute, 2007). h. 72
44
Masyarakat Indonesia memiliki praktik-praktik tersendiri dalam
menjalankan sebuah syariat dan perintah agama. Di mana-mana hukum
Islam harus berkompromi dengan adat setempat. Khususnya di Jawa. Ketika
Islam masuk ke tanah Jawa dan berhasil mengislamkan orang Jawa, lantas
tidak semua praktik-praktik sesembahan di tinggalkan begitu saja. Tidak,
masyarakat Jawa menjalankan perintah agama dengan praktik yang telah
membudaya jauh sebelumnya. Misalnya saja, ketika masyarakat Jawa
hendak melaksanakan atau menunaikan ibadah haji ke Makkah, jauh hari
sebelum pemberangkatan, biasanya mengadakan slametan29
dan doa-doa
yang digelar di rumah masing-masing calon jemaah haji untuk memohon
keselamatan selama perjalanan hingga pulang kembali dan yang utama
adalah di doakan supaya menjadi haji yang mabrur, haji yang barokah, haji
yang diterima. Orang Arab tidak melaksanakan hal itu. Yang di perintahkan
dalam Islam hanya menunaikan hajinya, bukan ada embel-embel slametan
dan di doakan selama empat puluh hari oleh sanak famili serta masyarakat
sekitar. Senada dengan apa yang disampaikan oleh Geertz bahwa Indonesia
untuk menegakkan hukum Islam harus bisa berkompromi dengan hukum
adat setempat yang telah berakar ribuan tahun lamanya barangkali lebih
sulit di terapkan dari pada di beberapa negara Islam lainnya.30
Dalam persoalan hukum Islam di Mojokuto ada birokrasi keagamaan
yang menaungi masyarakat setempat, istilah yang digunakan Geertz
29
Slametan sering kali oleh Geertz diakaitkan kepada masyarakat abangan di mana kaum
abangan dalam ritual praktik keagamaan masih mempercayai hal-hal yang berkaitan dengan dunia
mistik. Dalam prosesnya masyarakat Jawa hampir keseluruhan melaksanakan slametan. 30
Geertz, Agama Jawa Abangan Santri Priyayi Dalam Budaya Jawa, h. 287
45
merujuk keapada Departemen Agama serta semua persoalan peraturan
pemerintah yang ada sangkut pautnya mengenai agama. Mediasi untuk
urusan rumah tangga dalam hal ini adalah kepentingan Departemen Agama
di Mojokuto diserahkan kepada yang bertugas yang disebut Modin.31
Modin
dipilih dan ditunjuk oleh masyarakat setempat yang dipandang lebih mampu
dan mengetahui tata cara hukum Islam yang baik sekaligus benar tanpa
dibatasi oleh waktu. Umumnya pelaksana dari segala yang ada sangkut
pautnya dengan keagamaan dimotori oleh kalangan santri, karena santri
lebih paham dan mengerti urusan agama.
Pola pengislaman di Jawa mulai berlaku dengan adanya saudagar-
saudagar asing yang telah mempunyai legitimate (legitimasi, pengakuan)
dari masyarakat untuk membangun Masjid. Sebagai hasilnya mubalig yang
masuk ke Jawa menarik mubalig luar negeri untuk memberikan pemahaman
keagamaan kepada santri yang hidup dalam lingkungan Masjid dan
pesantren. Sedangkan pola yang ada dalam pesantren lebih diakui
keberhasilannya dalam membangun peradaban umat Islam baru sehingga
ruang lingkup sekitar pesantren itu mudah berkembang.32
Akan tetapi tidak
menafikan praktik sinkretik yang telah mendarah daging di masyarakat
Jawa.
31
Modin adalah orang yang mempunyai tugas dan fungsi mengurus serta mencatat orang
menikah serta segala sesuatu yang berhubungan dengan pendataan tentang nikah, kematian
seseorang, talak, rujuk, dan cerai. Bahkan tugas lainnya adalah memfasilitasi pembinaan
kerukunan antar umat beragama, sosial budaya masyarakat. Lihat Clifford Geertz dalam bukunya
Agama Jawa Abangan Santri Priyayi Dalam Budaya Jawa. h. 295-296 32
Zaini Muchtarom, Santri Dan Abangan Di Jawa. (Jakarta: INIS, 1988), h. 23
46
Inti keberhasilan Islam di Jawa tidak lepas dari peran ulama dan kiai
yang merupakan figur sentral dari kehidupan santri atau masyarakat pada
umumnya. Umat Islam sudah terikat oleh hukum yang ada dalam ajaran
Islam. Maka dari itu pesantren merupakan mediasi bagi masuknya Islam ke
pelosok-pelosok desa. Hampir di seluruh pulau Jawa pesantren mudah
dijumpai. Walau pun pada masa awal pertumbuhannya diwarnai oleh
budaya Jawa. Sebab tradisi lama ajaran Hindu dan Budha tidak dihilangkan,
guna memenuhi keinginan orang Jawa. Tidak sedikit adat Jawa yang
dikeramatkan dengan dibumbui oleh ibadah Islam. Dengan kelonggaran itu
praktik Islam lebih mudah diterapkan untuk mengurangi kesulitan
pengislaman masyarakat Jawa. Di samping itu untuk menerima Islam
secara kaffah, maka secara otomatis dan apa adanya, memudahkan bagi
manusia dalam kenyataan yang dihadapi dalam dunia kini dan mendatang.
Dari pendekatan seperti ini, menurut Gus Dur diharapkan akan muncul
respon dari masyarakat setempat sebuah tanggapan yang sehat terhadap
tantangan-tantangan yang akan dihadapi di masa mendatang. Pendekatan
seperti ini menekankan kepada dasar-dasar Islam yang mampu melakukan
adaptasi serta tidak menghilangkan unsur asli dalam kehidupan masyarakat
Jawa.33
33
Wahid. Islam Kosmopolitan Nilai-Nilai Indonesia Dan Transformasi Kebudayaan. h.
29
47
BAB IV
ISLAM DAN BUDAYA JAWA DALAM PERSPEKTIF
CLIFFORD GEERTZ
A. Mutual Simbiosis Keislaman dan Kejawaan
Ketiga varian yang menggambarkan keadaan masyarakat
Islam Mojokuto, orang mengenal dengan sebutan abangan, santri,
dan priyayi adalah tipe murni yang terbentuk di kalangan masyarakat
setempat. Yang mana ketiga varian ini, sebagaimana dikemukakan
oleh Geertz, memiliki akar atau hubungan “geneologis” yang sangat
kuat. Di mana “kelahiran” mereka dilatarbelakangi oleh kesamaan
letak geografis, ekonomi, tercakup dalam masyarakat yang sama-sama
majemuk, kemudian memegang nilai-nilai budaya yang sama,
terbentuk dalam struktur sosial yang sama pula dan bagaimanapun
juga tidak mudah memahami praktik-praktik keberagamaan mereka
semenjak Hindu, Buddha dan Islam belum datang di tengah-tengah
mereka, orang Jawa memegang erat kepercayaan nenek moyang yang
sifatnya turun-temurun yakni animisme dan dinamisme.1
Oleh karena itu Islam telah menjadi agama “terlaris” di pulau
Jawa. Hal itu disebabkan terutama di satu sisi kehadiran Islam tidak
serta-merta merusak tatanan, adat dan budaya Jawa, di sisi yang lain
Islam tetap konsisten dalam menjaga orsinilitas prinsip-prinsip
ajarannya. Meski tidak menghilangkan keorsinilan dari agama
1 Clifford Geertz, Agama Jawa Abangan Santri Priyayi Dalam Budaya Jawa,
Terjemahan Aswab Mahasin dan Bur Rasuanto, (Depok: Komunitas Bambu, 2014), cet. II,
h. 309-310. Bandingkan Dr. Harun Hadiwijono, Religi Suku Murba Di Indonesia, (Jakarta:
BPK Gunung Mulia, 1985), cet. II, h. 9
48
sebelumnya.2 Umumnya Islam kaum abangan masih terpengaruh oleh
kepercayaan lamanya, perpaduan unsur budaya Hindu dan Buddha
memberikan ruang tersendiri sekaligus menjadi pembeda bagi
masyarakat Mojokuto dari masyarakat lainnya.
Perkembangan agama Islam di Jawa tidak terlepas dari
pemikiran-pemikiran yang sangat tradisional dan sederhana penuh
makna. Pemikiran yang dimiliki masyarakat Jawa merupakan
anugerah yang tak dimiliki oleh masyarakat manapun itulah
kepercayaaan Jawa yang dikenal dengan “kejawen”. Dari itu Islam
dan budaya Jawa banyak kesamaan di mana kesamaan itu berpola
pada kepercayaan terhadap energi atau kekuatan besar yang ada pada
alam, sementara di Islam sendiri kepercayaan penuh tertuju kepada
Allah Tuhan semesta alam.3 Dalam budaya Jawa pusat kepercayaan
juga ditujukan kepada Tuhan namun sebelum mengalami pembaruan
terhadap keyakinan orang Jawa masih mempercayai keyakinan lama
yang dikenal dengan kepercayaan kepada hal-hal gaib (sejatinya
adalah Tuhan) yang dikenal dengan sebutan animisme dan dinamisme
tadi dipercayai oleh masyarakat Jawa bahwa mereka tidak bisa hidup
berjalan sendirian tanpa bantuan dari alam sekitar.
Penulis lebih setuju bahwa konsep yang dibangun oleh Geertz
diatas tidak menutup kemungkinan kesamaan yang dimaksud adalah
berdasarkan dari ajaran Islam. Di mana Islam pada masa awal
2 Martin van Bruinessen, Kitab Kuning, Pesantren dan Tarekat, (Yogyakarta:
Gading, 2015), cet. II, h. 61 3 Andrew Beatty, Variasi Agama Di Jawa Suatu Pendekatan Antropologi.
(Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2001), h. 240
49
menggunakan model konservatif, maksudnya adalah untuk
meminimalisir terhadap kemajuan keagamaan yang dikhawatirkan
masyarakat belum siap menerimanya. Dengan demikian masyarakat
Jawa selalu tawakkal kepada Allah karena kepercayaan tadi itu Islam
tidak menonjolkan model yang sekiranya masyarakat tidak terpikat
oleh ajarannya. Keberhasilan Islam memikat dan melunakkan hati
masyarakat Jawa dengan model yang santun, menyesuaikan adat dan
tradisi masyarakat setempat.4
Mutual simbiosis keislaman dan kejawaan misalkan diambil
suatu perumpamaan seperti; ritual atau praktek slametan sebagaimana
yang dikatakan oleh Geertz bahwa slametan menjadi ikon (icon) bagi
orang Jawa umumnya bagi kalangan abangan. Tentu berbeda dengan
temuan Beatty pada masyarakat Jawa (Banyuwangi desa
Blambangan), di mana slametan hampir dilakukan oleh semua orang
Jawa. Slametan, ritual dan praktek orang Jawa dalam praktek ritual
tersebut bukan sekedar menyiapkan sesajen berupa kemenyan,
kembang tujuh rupa, nasi tumpeng dan seperangkat kebutuhan yang
lain, bagi masyarakat Jawa ritual slametan adalah suatu totalitas,
sepintas terlihat acara sederhana, tapi kaya akan makna bahkan
sepadan dalam tataran ritual dan simboliknya5.
Sebagaimana dikatakan oleh Geertz “ di pusat keseluruhan
sistem orang Jawa, disana terdapat suatu ritus sederhana, bentuknya
formal, jauh dari keramaian dan dramatis: itulah slametan”. Dan
4 Beatty, Variasi Agama Di Jawa Suatu Pendekatan Antropologi. h. 28
5 Beatty, Variasi Agama Di Jawa Suatu Pendekatan Antropologi. h. 36
50
bahwa slametan dilakukan oleh kaum abangan dan pelaksanaannya
diwaktu malam hari setelah salat Maghrib. Selanjutnya menurut Marx
Woodward slametan dimaknai sebagai berikut: pertama, slametan
adalah produk penafsiran teks-teks Islam yang diketahui dan
disepakati umat Muslim secara spesifik. Kedua, slametan sekurang-
kurangnya bukanlah sebuah ritus pedesaan melainkan ritus kerajaan.
Ketiga, slametan berakar dari tradisi Hinduisme (pra-Islam).6
Namun pandangan Geertz ini dalam pandangan penulis
memiliki kelemahan di mana tradisi slametan hanya dikonotasikan
kepada kaum abangan. Tentu berbeda dengan pendapat Andrew
Beatty yang mengatakan bahwa tradisi slametan bukan hanya milik
abangan tetapi santri juga melaksanakan ritual slametan. Secara
tradisi, slametan masuk dalam tradisi lokal. Arti kata slametan
menurut orang Jawa, berasal dari kata “slamet” yang mengerucut
kepada arti dalam Islam yakni “selamat” adapun tujuannya adalah
untuk menciptakan keadaan sejahtera, aman, tentram, bebas dari
gangguan mahluk halus itulah keadaan yang disebut slamet.7 Dari
kesimpulan pendapat diatas akar tradisi slametan menurut penulis
adalah berakar dari dua tradisi yakni tradisi Islam dan tradisi pra-
Islam.
Ketika menggelar slametan pola slametannya berbeda-beda
dari segi penyajian makanannya tergantung sedang menggelar
6 Beatty, Variasi Agama Di Jawa Suatu Pendekatan Antropologi. h. 41
7 Beatty, Variasi Agama Di Jawa Suatu Pendekatan Antropologi. h. 43.
Bandingkan Clifford Geertz, Agama Jawa Abangan Santri Priyayi Dalam Budaya Jawa, h.
7
51
slametan apa si pemilik hajat. Tuanrumah biasanya mengundang
tetangga atau kerabat dekat misalnya akan menggelar slametan
perkawinan, kelahiran, kematian, pindah rumah, ganti nama, khitanan
maka sebelum acara tersebut benar-benar terlaksana biasanya
tuanrumah terlebih dulu menyiapkan (1) pemimpin doa, (2) pemimpin
tahlil, terakhir (3) berkat. Ketiga unsur itu tidak boleh terlewatkan
karena jika berkat tidak disiapkan maka tuanrumah akan mendapatkan
celaan dari masyarakat setempat serta slametan itu dianggap kurang
berkah. Karena yang terpenting inti dari slametan bukan berdasarkan
doanya, melainkan sesajian yang disiapkan berupa makanan.8
Pada dasarnya siklus slametan signifikansi antara agama dan
budaya, dari slametan bermula kepada kepercayaan lokal yang
terdahulu kepercayaan akan hal yang gaib. Jauh sebelum masyarakat
Jawa mengenal slametan mereka mengenal kepercayaan nenek
moyang terlebih dahulu yang tentunya bukan hanya di Jawa saja
kepercayaan kepada animisme dan dinamisme berkembang tetapi
dalam negara lain juga memiliki julukan tersendiri. Penulis yakin di
negara lain tentunya memiliki nama-nama tersendiri untuk menyebut
benda-benda yang dapat memberikan sebuah kekuatan pendorong
dirinya yang dikenal dengan animisme dan dinamisme, kepercayaan
yang disandarkan kepada benda-benda atau roh-roh yang menempel di
tubuh manusia.
8 Geertz, Agama Jawa Abangan Santri Priyayi Dalam Budaya Jawa, h. 8
52
Sebagaimana yang penulis temukan dalam penjelasan
Dhurkheim, di berbagai negara lain pun kepercayaan seperti itu tentu
ada, namun dari segi penamaannya saja yang beda, secara arti sama.
Kekuatan gaib, kekuatan supernatural benda atau mahluk pelindung
dipanggil dengan nama-nama yang berbeda dalam berbagai lapisan
masyarakat sebagai contoh atas apa yang dikemukakan oleh Emile
Dhurkheim mengenai kepercayaan kepada mahluk pelindung di
beberapa negara seperti berikut ini: di Meksiko disana masyarakatnya
lebih akrab dengan sebutan nagual, di masyarakat Algonquin disebut
monitou, dalam masyarakat Huson disebut okki, sementara snam
dalam sebagian masyarakat Salish, sedangkan sebagian lagi
menyebutnya sulia, dalam masyarakat Yuin dikenal dengan nama
budjan, sedangkan di masyarakat Euhlayi disebut yunbeai.9
Nyatanya di Indonesia bukan hanya percaya kepada teori
animisme dan dinamisme yang dipandang lebih dulu ada, banyak teori
yang mengatakan bahwa jauh sebelum kedua teori diatas sudah ada
lebih dulu teori yang disebut fetisisme dalam bahasa latin factitius,
yang bermakna: “kerajinan yang dibuat dengan tangan manusia
kemudian dipuja diisi dengan kekuatan gaib”. Di Afrika Barat orang
menyebut benda-benda itu dengan nkisi (jamaknya minkisi) yang
artinya adalah benda-benda yang dibungkus berisi macam-macam
benda, contohnya garam, rambut, cakar burung, cincin dari logam
kemudian bungkusan itu dijadikan jimat atau benda-benda yang
9 Emile Dhurkheim, The Elementary Forms Of The Religious life, Sejarah Bentuk-
Bentuk Agama Yang Paling Dasar, Terjemahan Inyiak Ridwan Muzir dan M. Syukri,
(Jogjakarta: IRCiSoD), h. 211-240
53
dikeramatkan. Biasanya di gantung-gantung di atas pintu masuk
rumah.10
Jika dibandingkan dengan pendapat Emile Dhurkheim tentang
kepercayaan sebelum manusia percaya pada agama, tentunya manusia
memiliki segudang makna mengenai adanya kepercayaan primitif
dalam bahasanya Dhurkheim disebut “totem” dan totem itu masih ada
pembagian pengertian yang lain seperti; ada (1) totem personal dan
(2) totem marga. Totem itu pelindung marga. Totem personal
maksudnya adalah totem yang disembah dan diyakini dapat
melindungi individu seseorang. Sementara totem marga adalah totem
yang dapat melindungi seluruh lapisan masyarakat bangsa dan
negara.11
Tak dapat dipingkiri bahwa di Jawa jimat-jimat yang dianggap
sakti dan membawa keberkahan bagi penghuni rumah masih terus
dirawat sampai saat ini. Di mana jimat-jimat yang dianggap kramat itu
masih banyak dijumpai di rumah-rumah warga, penulis sering kali
menjumpai tumpukan-tumpukan jimat yang diletakkan diatas pintu
masuk rumah kemudian setiap hari jumat biasanya di asapi dengan
kemenyan supaya tetap menjaga dan menghormati penunggu jimat
tersebut, demikian kepercayaan orang Jawa.
10
Dr. Harun Hadiwijono, Religi Suku Murba Di Indonesia, (Jakarta: BPK Gunung
Mulia, 1985), cet. II, h. 9 11
Dhurkheim, The Elementary Forms Of The Religious life, Sejarah Bentuk-
bentuk Agama Yang Paling Dasar, (Jogjakarta: IRCiSoD), h. 241. Baca: S. Frued, Totem
and Taboo, tanpa tahun, h. 45. Daniel L. Pals, Seven Theories of Religion: Tujuh Teori
Agama Paling Komprehensif, Terjemahan Inyiak Ridwan Muzir dan M. Syukri,
(Jogjakarta: IRCiSoD, 2012), h. 99-109
54
Dalam konteks diatas Islam Jawa kemudian mempunyai ruang
tersendiri bagi masyarakat yang akalnya tercerahkan oleh keluhuran
Islam. Sebagaimana yang disampaikan oleh Martin van Bruinessen,
Dalam kurun waktu enam puluhan kaum abangan dan priyayi
dihadapkan dengan persoalan keimanan, di mana kepercayaan mereka
sedang dalam ujian yang sulit. Akidahnya dipertaruhkan demi
pembaruan kepercayaan awal, sehingga terjadilah proses “islamisasi”
luar biasa di kalangan abangan dan priyayi, yang terkadang oleh
orang Indonesia disebut sebagai “santrinisasi” atau akulturasi budaya.
Santri adalah golongan yang taat beragama walaupun sebagai
santri tidak menutup kemungkinan masih melaksanakan ritual berupa
sesajen misalkan dalam upacara slametan “kelahiran anak pertama”
mereka sadar betul bahwa dirinya adalah santri, tetapi ritual itu tidak
serta merta ditinggalkan begitu saja. Meski demikian, ritual yang
dilaksanakan dengan membakar kemenyan, memberikan sesajian
kepada roh-roh yang sudah meninggal dipadukan dengan doa-doa dan
zikiran dari pola ajaran Islam.12
Santri: a great society of equal believers constantly repeating
the name of the Prophet going through the prayers chanting the
koran. (santri adalah sebuah komunitas besar orang-orang beriman
yang senantiasa mengulang pengucapan nama Nabi melakukan
sembahyang dan membaca al-quran).13
12
Hilman Hadikusuma, Antropologi Agama, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti),
h. 64 13
Clifford Geertz, The Religion of Java. (London: The University of Chicago
Press 1960), cet I, h. 128
55
Priyayi adalah golongan bangsawan (prijajis its gentry)14
yang
berafiliasi kepada pemerintahan yang umumnya mengaku beragama
Islam walaupun demikian mereka tidak melaksanakan perintah agama
seperti yang dilakukan oleh golongan santri. Mereka masih
mempertahankan dan melaksanakan budaya kejawen yang berasal
dari tradisi Hindu-Buddha.15
Abangan adalah golongan yang terkadang disebut golongan
“wong cilik”. Hampir sama dengan golongan priyayi yakni masih
memegang tradisi dari Hindu-Buddha dengan mempercayai animisme
dan dinamisme. Kebanyakan dari mereka berpendidikan rendah tidak
bisa membaca dan menulis.16
Abangan menurut Geertz: Abangan are fairly indifferent to
doctrine but fascinated with ritual detail. Abangan benar-benar tidak
acuh terhadap doktrin tetapi terpesona oleh detail keupacaraan.17
Pada dasarnya santri dan abangan itu berbeda tetapi memiliki
beberapa kesamaan dalam etika. Sementara kaum santri dan abangan
perbedaan yang mendasar ada dalam bentuk pengamalan pribadi
terhadap keberagamaannya.18
Seorang santri menganggap lebih
religius daripada kaum abangan. Lagi-lagi ukuruan religiusitas
tergantung seberapa besar penghayatan kerohanian dirinya terhadap
agama. Santri dan abangan merupakan dua subkultur yang bernilai
14
Geertz, The Religion of Java. cet I, h. 228 15
Hadikusuma, Antropologi Agama, h. 64 16
Hadikusuma, Antropologi Agama, h. 65 17
Geertz, The Religion of Java. cet I, h. 127 18
Geertz, Agama Jawa Abangan Santri Priyayi Dalam Budaya Jawa, h. 173.
Bandingkan Martin van Bruinessen, Kitab Kuning, Pesantren dan Tarekat, (Yogyakarta:
Gading, 2015), cet. II, h. 69-70
56
dan berhaluan berbeda dalam budaya Jawa. Santri memandang
sembahyang (salat) adalah sebagai bentuk peribadatan yang penting
dan pokok, pelaksanaannya memiliki waktu yang istimewa, sudah
ditentukan oleh waktu dan tidak bisa digantikan oleh waktu yang lain.
Sementara bagi kaum abangan memandang salat hanya sebagai
syariat Islam yang tertera dalam rukun Islam yang lima. Tidak terlalu
menomorsatukan salat akan tetapi tidak meninggalkan kewajiban
salat, hanya berbeda ketekunan dalam menjalankan syariat agama
dengan kaum santri.
Pola kehidupan santri diatur oleh hukum Islam yang
mewajibkan bagi setiap insan untuk melaksanakan perintah tersebut
yang kita kenal dengan ibadah mahdah (ibadah yang ditentukan
dengan waktu), yakni salat lima waktu. Jika diurutkan akan muncul
varian waktu sebagai berikut; subuh, zhuhur, ashar, Maghrib dan isya.
Diulangi setiap hari dalam waktu yang sama. Laki-laki dianjurkan
salat berjemaah di Masjid sementara perempuan dianjurkan salat di
rumah. Hukum Islam yang tidak boleh ditawar-tawar dan langsung
perintah dari Tuhan pemilik seluruh alam. Islam tidak membatasi di
mana seorang muslim harus menunaikan salatnya, Islam
menganjurkan salat di tempat yang suci. Adapun tempat yang
dimaksud itu adalah masjid, langgar, lapangan maupun rumah
pribadi.19
Selagi tempat itu layak untuk tempat salat maka tidak ada
halangan bagi umat Islam menunaikannya.
19
Geertz, Agama Jawa Abangan Santri Priyayi Dalam Budaya Jawa, h. 311
57
Keyakinan yang dipupuk sejak lama telah mendarah daging
bagi kalangan muslim sedunia. Bahwa laki-laki diharuskan salat
berjemaah di masjid, langgar dan di tempat-tempat layak dan suci.20
Sementara perempuan percaya dan disepakati oleh mayoritas ulama
salatnya di rumah. Karena alasan ketaatan inilah yang akhirnya
menjadikan seseorang sebagai santri, priyayi dan abangan yang
kesemuanya itu hampir tidak pernah ditemui di desa-desa umumnya
Jawa orang melakukan salat sendirian di masjid tanpa berjemaah,
terkecuali telat berjemaah. Ketiga varian abangan, santri dan priyayi
ini telah membentuk jemaah Islam desa, di mana masyarakat saling
berbaur satu sama lain yang oleh karena itu aspek religius dan sosial
keduanya saling mendukung.
Ketika waktu salat tiba baik yang abangan, priyayi apalagi
santri akan selalu berhenti sejenak bila mereka mendengarkan suara
adzan dan melaksanakan salat di tempat terdekat. Misalnya dalam
perjalanan ia akan mencari masjid atau langgar yang bisa digunakan
untuk salat. Bila berada di rumah ia akan segera mengambil wudhu
20
Salat memang dibolehkan dilaksanakan di rumah, alangkah lebih baiknya
dikerjakan secara berjemaah di masjid, karena selain pahala yang didapatkan lebih banyak
daripada salat sendirian hubungan sesama muslim juga terpenuhi. Jika sembahyang
dikerjakan secara bersama-sama, maka kesalahan, amal kebaikan serta rahmat Tuhan
dibagi rata kesemua jemaah. Demikian, kalau berjemaah lebih dari empat puluh orang dan
di salah satu jemaah ada yang tidak khusuk dalam melaksanakan salatnya, maka yang
demikian itu akan ikut kepada yang mayoritas, akan terangkat kesalahannya dan diangkat
oleh satu orang yang khusuk melaksanakannya. Itu sebabnya salat mengapa harus
dilaksanakan berjemaah di masjid. Baca selengkapnya Bukhari, Shahih al-Bukhari, bab
Shalat Jumat, “keluarnya wanita ke Masjid”. No. 900. Ibnu Hajar al-Asqalani, Fath al-
Bari, Jilid II, h. 444. Muslim, Shahih Muslim, bab as-Shalat, pasal “keluarnya wanita ke
Masjid”. No. 136 dan 232. Imam Malik, al-Muwaththa’, bab as-Shalat, pasal “wanita yang
pergi ke Masjid”. No. 466. Az-Zarqani, Syarh az-Zarqani „ala al-Muwaththa’, Jilid II, h. 7.
Dr. H. Rusli Hasbi, MA, Rekonstruksi Hukum Islam, Kajian Kritis Sahabat Terhadap