Top Banner
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Adenomiosis adalah suatu penyakit yang ditandai dengan adanya kelenjar dan stroma endometrium di miometrium. Etiologi adenomiosis sendiri belum diketahui secara pasti. Beberapa teori menyatakan pertumbuhan sel endometrium abnormal pada miometrium disebabkan oleh trauma pasca operasi, peradangan akibat persalinan, dan adanya sel endometrium di miometrium sejak janin. Sering kali adenomiosis ditemukan bersama dengan patologi lain, seperti leiomioma, endometriosis, dan pelvic inflammation disease. Beberapa kasus adenomiosis juga ditemukan menyertai kanker endometrium. Kanker endometrium adalah kanker yang berasal dari lapisan endometrium. Kanker endometrium merupakan keganasan ginekologi paling umum Amerika Serikat. Insidensi kanker endometrium di Amerika Serikat pada tahun 2012 sebanyak 98% dari 47.130 kasus kanker corpus uterus yang terdiagnosis. Di Asia Tenggara, dimana Indonesia termasuk di dalamnya, insiden kanker endometrium mencapai 4,8% dari 670.587 kasus. Penyebab kanker endometrium belum diketahui pasti, tetapi
42

Isi

Aug 11, 2015

Download

Documents

ariniunsoed

jurnal reading
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: Isi

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Adenomiosis adalah suatu penyakit yang ditandai dengan adanya kelenjar

dan stroma endometrium di miometrium. Etiologi adenomiosis sendiri belum

diketahui secara pasti. Beberapa teori menyatakan pertumbuhan sel endometrium

abnormal pada miometrium disebabkan oleh trauma pasca operasi, peradangan

akibat persalinan, dan adanya sel endometrium di miometrium sejak janin. Sering

kali adenomiosis ditemukan bersama dengan patologi lain, seperti leiomioma,

endometriosis, dan pelvic inflammation disease. Beberapa kasus adenomiosis juga

ditemukan menyertai kanker endometrium.

Kanker endometrium adalah kanker yang berasal dari lapisan

endometrium. Kanker endometrium merupakan keganasan ginekologi paling

umum Amerika Serikat. Insidensi kanker endometrium di Amerika Serikat pada

tahun 2012 sebanyak 98% dari 47.130 kasus kanker corpus uterus yang

terdiagnosis. Di Asia Tenggara, dimana Indonesia termasuk di dalamnya, insiden

kanker endometrium mencapai 4,8% dari 670.587 kasus. Penyebab kanker

endometrium belum diketahui pasti, tetapi kanker endometrium sering dikaitkan

dengan endometrium yang terpapar estrogen dalam jangka panjang. Pada

beberapa penelitian, adenomiosis dapat ditemukan pada pasien dengan kanker

endometrium terdapat kemungkinan transformasi malignan dari fokal

adenomiosis. Tetapi belum diketahui pasti hubungan antara adenomiosis dengan

kanker endometrium.

B. Tujuan Penulisan

Untuk mengetahui hubungan antara frekuensi kejadian adenomiosis

dengan kejadian kanker endometrium pada spesimen histerektomi.

Page 2: Isi

2

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Anatomi dan Histologi Uterus

1. Anatomi Uterus

Uterus adalah sebuah organ muscular yang berdinding tebal, berbentuk

seperti buah pir, dan terletak antara vesica urinaria dan rectum. Uterus

biasanya tertekuk ke ventral (antefleksi) di atas vesica urinaria, tetapi

kedudukannya berubah dengan penuh kosongnya vesica urinaria dan rectum.

Uterus terdiri dari beberapa bagian:

a. Corpus uteri, bagian dua pertiga cranial yang menyebar.

Corpus uteri terletak antara kedua lembar ligamentum latum dan dapat

dipindah-pindahkan secara bebas.

b. Cervix uteri, bagian sepertiga kaudal yang berupa tabung.

Cervix uteri dapat dibedakan atas portio vaginalis cervicis dan pars

supravaginalis cervicis. Portio vaginalis cervicis yang membulat

berhubungan dengan vagina melalui ostium uteri.

c. Isthmus ialah bagian yang menyempit antara corpus uteri dan cervix uteri.

d. Fundus ialah bagian cranial corpus uteri yang mencembung.

e. Cornu uteri ialah daerah supralateral tempat masuknya tuba uterine.

Gambar 2.1 Uterus

Page 3: Isi

3

Uterus memiliki beberapa ligamentum yang berfungsi untuk menggantung

uterus dan menjaga posisinya. Ligamentum penggantung uterus terdiri dari:

a. Ligamentum ovarii proprium: melekat pada uterus dorsokaudal terhadap

persatuan uterotubal.

b. Ligamentum teres uteri: melekat disebelah ventrokaudal persatuan

uterotubal.

c. Ligamentum transversum colli uteri: meluas dari cervix uteri dan pars

lateralis forrnicis vagina ke dinding pelvis lateral.

d. Ligamentum sacrouterina: melintas ke arah cranial dan agak ke dorsal dari

sisi-sisi cervix uteri ke pertengahan Os. sacrum.

e. Ligamentum latum uteri: lembar ganda peritoneum yang meluas dari sisi

uterus ke dinding pelvis lateral dan dasar pelvis.

f. Ligamentum suspensorium ovarii: berada di sebelah lateral peritoneum

ligamentum latum uteri berlanjut ke cranial menutupi pembuluh darah.

(Moore, 2002)

2. Histologi Uterus

Dinding uterus terdiri dari tiga lapisan yaitu sebelah dalam

endometrium atau membran mukosa, tengah yaitu miometrium atau

muskularis, dan luar yaitu perimetrium. Aktivitas uterus non pregnan dibagi

dalam tiga stadium yaitu stadium proliferasi, stadium sekretori atau luteal, dan

stadium menstruasi.

a. Stadium proliferasi

Pada endometrium terdiri dari 2 zona atau lapisan yaitu stratum basalis

dan stratum fungsionalis endometrium. Lapisan endometrium terdiri dari

epitel selapis kolumner bersilia terletak pada lamina propria yang lebar.

Lamina propria terdiri dari kelenjar tubuler yang panjang dan kelenjar

uterine. Kelenjar tersebut biasanya lurus pada bagian superfisial

endometrium, tetapi berkelok pada bagian dalam sehingga nampak

terpotong melintang. Pada endometrium terdapat stroma dan arteri

Page 4: Isi

4

spiralis. Endometrium melekat pada miometrium dibawahnya, yang terdiri

dari berkas serat otot polos, tersusun secara kompak dipisahkan oleh

bagian tipis jaringan ikat dan tersusun ke dalam tiga lapisan yang tak jelas

(Eroschenko, 2010).

Gambar 2.2 Uterus Stadium Proliferasi

b. Stadium sekretoris

Selama stadium ini endometrium bertambah tebal karena sebagian besar

aktivitas sekretoris kelenjar bertambah dan terdapat edema akibat

akumulasi cairan pada stroma cairan. Sel-sel kelenjar mengalami

hipertrofi karena terkumpulnya hasil sekresi. Kelenjar menjadi berkelok-

kelok, lumen melebar, dan sering terisi sekret. Dalam stroma, cairan

jaringan bertambah banyak menyebabkan edema. Arteri spiralis menjulur

melalui endometrium ke dalam bagian superficialis (Eroschenko, 2010).

Gambar 2.3 Uterus Stadium Sekretori

Page 5: Isi

5

c. Stadium menstruasi/haid

Selama menstruasi, permukaan endometrium melepaskan epitel dan

jaringan dibawahnya. Permukaan endometrium lepas tertutup bekuan

darah bersama sisa stroma yang terlepas dan kelenjar. Stratum basale

utuh. Pada lamina propria daerah spongiosa kebanyakan berkumpul

eritrosit bebas yang dikeluarkan oleh pembuluh darah yang terlepas.

Terdapat infiltrasi sedang dari limfosit dan netrofil. Bagian distal arteri

spiralis mengalami nekrosis dan hanya tertinggal bagian dalam

(Eroschenko, 2010).

Gambar 2.4 Uterus Stadium Menstruasi

B. Adenomiosis

1. Pengertian

Adenomiosis adalah suatu penyakit yang ditandai dengan adanya

kelenjar dan stroma endometrium di miometrium.

2. Epidemiologi

Prevalensi adenomiosis sulit diketahui karena diagnosis pastinya baru

dapat ditegakkan dengan pemeriksaan mikroskopis. Di dunia, diperkirakan

20% perempuan di dunia menderita adenomiosis. Dalam analisis

histopatologi, sekitar 65% wanita dengan adenomiosis disertai dengan

kelainan panggul organik lainnya seperti leiomioma, endometriosis dan pelvic

infection disease. Adenomiosis biasanya ditemukan pada wanita 35 - 50 tahun

Page 6: Isi

6

yang multipara dan ditandai dengan perdarahan uterus abnormal, biasanya

hypermenorrhea dan dismenore sekunder (Enakpene, 2012). Di Indonesia,

adenomiosis ditemukan 2.39-11.7% pada semua pasien ginekologik yang

dirawat. Selain itu dilaporkan juga ditemukan pada kurang lebih 20-25%

wanita usia reproduksi dan meningkat 40% pada usia lebih dari 35 tahun

(Joedosapoetra, 2005).

3. Etiologi

Penyebab pasti adenomiosis tidak diketahui. Terdapat beberapa teori

yang diduga penyebabnya:

a. Jaringan endometrium yang menyusup ke dinding rahim. Ketika

dilakukan operasi sectio caesaria, sel endometrium menyusup ke dinding

uterus, lalu tumbuh dan berkembang disana. Beberapa ahli percaya bahwa

adenomiosis merupakan hasil invasi langsung dari sel-sel endometrium

dari permukaan uterus ke dalam miometrium. Insisi uterus yang dilakukan

selama operasi mempromosikan invasi langsung dari sel-sel endometrium

ke dalam miometrium.

b. Teori pertumbuhan. Teori ini meyakini bahwa sejak awal jaringan

endometrium memang sudah ada saat janin mulai tumbuh. Ahli lainnya

berspekulasi adenomiosis berasal dari jaringan endometrium yang

disimpan di miometrium ketika rahim pertama kali terbentuk pada janin

perempuan.

c. Peradangan rahim akibat proses persalinan. Teori ini menyatakan ada

hubungan antara adenomiosis dan proses persalinan. Proses deklamasi

endometrium pada periode paska persalinan dapat menyebabkan pecahnya

atau putusnya ikatan sel pada endometrium.

(Enakpene dan Muneyyirci-Delale, 2012)

Page 7: Isi

7

4. Faktor Resiko

a. Usia > 40 tahun

b. Multiparitas

c. Mempunyai riwayat kuretase berulang

5. Patofisiologi

Adenomiosis berkembang dari pertumbuhan dan invaginasi stratum

basalis endometrium ke dalam miometrium sehingga dapat terlihat adanya

hubungan langsung antara stratum basalis endometrium dengan adenomiosis

di dalam miometrium. Di daerah ekstra uteri, misalnya plica rectovagina,

adenomiosis dapat berkembang de novo secara embriologis dari ductus Müller

(Ferenczy, 1998).

Mekanisme terjadinya invasi endometrium ke dalam miometrium belum

diketahui secara jelas. Perubahan proliferasi seperti aktivitas mitosis

menyebabkan peningkatan secara signifikan sintesis DNA dan ciliogenesis di

lapisan fungsional endometrium daripada lapisan basalis. Lapisan fungsional

sebagai tempat implantasi blastocyst, sedangkan lapisan basalis sebagai

sumber produksi untuk regenerasi endometrium akibat degenerasi dari lapisan

fungsional saat menstruasi. Pada saat proses regenerasi, sel epitel dari kelenjar

basalis berhubungan langsung dengan sel stroma endometrium yang

membentuk sistem mikrofilamentosa/trabekula intraseluler dan gambaran

sitoplasma pseudopodia (Ferenczy, 1998).

Dalam studi yang menggunakan hibridisasi dan immunohistokimia in

situ menunjukkan kelenjar endometrium pada adenomiosis lebih

mengekspresikan reseptor mRNA hCG/LH secara selektif. Pada endometrium

yang normal, kelenjar ini tidak dapat mengekspresikan reseptor hCG/LH

sehingga kemampuan untuk menembus miometrium dan membentuk fokal

adenomiosis jarang ada (Ferenczy, 1998).

Page 8: Isi

8

6. Penegakan Diagnosis

a. Anamnesis

Sekitar 35% kasus adenomiosis tidak menimbulkan gejala. Gejala

yang sering ditemukan adalah menorrhagia (50%), dismenorrhea (30%),

dan metrorhargi (20%). Keluhan lainnya dapat ditemukan nyeri perut

bawah dan nyeri ketika bersenggama (dispareunia) (Ferenczy, 1998).

b. Pemeriksaan fisik

Pemeriksaan fisik abdomen dapat menemukan adanya pembesaran

pada perut bawah, uterus dapat membesar hingga menyerupai usia

kehamilan 12 minggu. Pada palpasi dapat ditemukan perut yang supel

dan disertai nyeri tekan. Pemeriksaan fisik belum dapat menegakkan

diagnosis adenomiosis (Ferenczy, 1998).

c. Pemeriksaan penunjang

Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan antara lain dengan

menggunakan imaging, seperti USG dan MRI, dan pemeriksaan

histopatologi. Pemeriksaan USG trasvaginal memiliki kemampuan

diagnostic yang lebih baik dibandingkan dengan USG perabdominal.

MRI dapat mmperlihatkan gambaran yang lebih jelas dimana dapat

ditemukan gambaran miometrium dengan intensitas rendah yang

dikelilingi dengan sel endometrium dengan intensitas tinggi. Pada

beberapa kasus, terdapat gambaran honeycomb akibat adanya ruang kistik

ireguler di miometrium. Pemeriksaan histopatologi dapat dilakukan

dengan memeriksa jaringan miometrium. Jaringan miometrium dapat

diambil dengan teknik biopsy, tetapi diagnosis utama histopatologi

adenomiosis adalah dari spesimen histerktomi (Ferenczy, 1998).

7. Penatalaksanaan

a. Farmakologi

1) Anti inflamasi

Page 9: Isi

9

Obat anti inflamasi, seperti golongan NSAID, dapat diberikan untuk

mengurangi rasa nyeri.

2) Terapi hormonal.

Terapi hormonal bertujuan untuk mengontrol siklus menstruasi

melalui kombinasi kontrasepsi estrogen-progestin oral yang dapat

mengurangi perdarahan berat dan rasa sakit akibat adenomiosis.

Penggunaan kontrasepsi progestin-only akan menyebabkan kondisi

amenore yang mampu mencegah perkembangan adenomiosis.

b. Non farmakologi/Operatif

Terapi operatif yang dilakukan adalah histerektomi. Histerektomi

adalah operasi pengangkatan uterus, sehingga setelah menjalani operasi

ini dia tidak bisa lagi hamil dan mempunyai anak. Pada prosedur

histerektomi pada pasien adenomiosis, sering diikuti dengan pemeriksaan

histopatologis sehingga dapat ditegakkan diagnosis klinis dari

adenomiosis.

C. Kanker Endometrium

1. Pengertian

Kanker endometrium adalah kanker yang berasal dari sel

endometrium. Kanker endometrium tersering adalah adenokarsinoma

endometrioid yang berasal dari sel epitel glandula endometrium. Berdasarkan

histopatologi, profil molekuler dan gambaran klinis, kanker endometrium

dibagi menjadi dua, Tipe I dan Tipe II. Perbedaan kanker endometrium tipe I

dan tipe II dijelaskan pada Tabel 2.1.

The International Federation of Gynecology and Obstetrics (FIGO)

(2010) menetapkan stadium untuk kanker endometrium. Stadium kanker

endometrium menurut FIGO adalah sebagai berikut:

Stage I : Kanker hanya tumbuh di korpus uterus. Kanker dapat tumbuh

hingga servix tetapi tidak keluar dari uterus

Page 10: Isi

10

Stage IA : Kanker berada pada lapisan endometrium dan belum

mencapai miometrium. Kanker belum menyebar ke limfonodi.

Stage IB : Kanker tumbuh di endometrium hingga ke miometrium tetapi

tidak tumbuh di luar uterus.

Stage II : Kanker telah menyebar hingga ke stroma serviks. Kanker

belum menyebar keluar dari uterus maupun limfonodi.

Stage III : Kanker sudah menyebar keluar dari uterus ke jaringan

terdekat di pelvis.

Stage IIIA : Kanker menyebar ke lapisan serosa uterus dan/atau tuba

falopii atau ovarium (adneksa). Kanker belum menyebar ke

limfonodi.

Stage IIIB : Kanker menyebar ke vagina atau jaringan di sekitar uterus

(parametrium). Kanker belum menyebar ke limfonodi.

Stage IIIC1 : Kanker tumbuh di korpus uterus. Kanker mungkin sudah

menyebar ke jaringan sekitar uterus tetapi tidak menyebar ke

vesica urinarius atau rectum. Kanker telah menyebar ke

limfonodi pelvis tetapi belum mencapai limfonodi paraaortikus

atau tempat yang jauh.

Stage IIIC2 : Kanker tumbuh di korpus uterus. Kanker mungkin sudah

menyebar ke jaringan sekitar uterus tetapi tidak menyebar ke

vesica urinarius atau rectum. Kanker telah menyebar ke

limfonodi pelvis dan sudah mencapai limfonodi paraaortikus

tetapi belum menyebar ke tempat yang jauh.

Stage IV : Kanker menyebar ke permukaan vesika urinaria atau rectum,

limfonodi pada genitalia, dan/atau organ jauh seperti tulang,

omentum, atau paru.

Stage IVA : Kanker telah menyebar ke lapisan mukosa rectum dan vesika

urinaria. Kanker mungkin sudah menyebar ke limfonodi

terdekat tetapi tidak ke tempat yang jauh.

Page 11: Isi

11

Stage IVB : Kanker telah menyebar ke limfonodi yang jauh, abdomen

bagian atas, atau organ yang letaknya jauh dari uterus seperti

tulang, omentum, atau paru. Ukuran kanker bermacam-macam

dan mungkin telah menyebar ke limfonodi.

Pada kanker endometrium tipe I atau adenokarsinoma endometrial,

FIGO (2010) mengklasifikasikan tiga grade:

Grade 1: ≤ 5% pola pertumbuhan nonskuamous, nonmorular

Grade 2: 6-50% pola pertumbuhan nonskuamous, nonmorular

Grade 3: > 50% pola pertumbuhan nonskuamous, nonmorular

Tabel 2.1 Perbedaan Kanker Endometrium Tipe I dan Tipe II

Tipe I Tipe IIStatus menopause Premenopause dan

perimenopausePostmenopause

Keterkaitan dengan estrogen Ya TidakReseptor estrogen atau progesteron Ada Tidak adaHistologi daerah yang berbatasan dengan endometrium

Hiperplastik Atopi/polip kistik

Lesi prekursor Hiperplasi atipikal EICObesitas Ya TidakParitas Nullipartas MultiparitasGrade atau stadium Rendah (I-II) Tinggi (III-IV)Subtipe histologis Endometrioid Karsinoma sel serosa,

Karsinoma clear-cellPerkembangan gambaran klinis Lambat Cepat

(Horn et.al., 2007)

2. Epidemiologi

Kanker endometrium merupakan keganasan ginekologi paling umum

di Eropa dan Amerika Serikat. Penyakit ini merupakan menyebabkan

sebanyak 1-2% dari seluruh kematian yang diakibatkan kanker di Eropa Barat.

Sekitar 81.500 wanita mengalami kanker endometrium di Uni Eropa setiap

tahunnya dan insidensinya mengalami peningkatan. Rata-rata usia yang

terkena adalah 63 tahun dimana 90% penderita berusia lebih dari 50 tahun.

Page 12: Isi

12

Sebagian besar kanker endometrium terjadi setelah menopause, hanya sekitar

25% kasus terjadi sebelum menopause (Plataniotis dan Castiglione, 2010).

American Cancer Society memperkirakan insidensi kanker

endometrium di Amerika Serikat pada tahun 2012 sebanyak 98% dari 47.130

kasus kanker corpus uterus yang telah terdiagnosis. Kanker endometrium

jarang ditemukan pada wanita berusia kurang dari 40 tahun. Sebagian besar

kasus ditemukan pada wanita berusia lebih dari 50 tahun (American Cancer

Society, 2012). Di Asia Tenggara, dimana Indonesia termasuk di dalamnya,

insiden kanker endometrium mencapai 4,8% dari 670.587 kasus kanker pada

perempuan.

3. Etiologi

Penyebab kanker endometrium belum diketahui pasti. Tetapi faktor

risiko yang paling mempengaruhi adalah ketidakseimbangan hormon.

Interaksi reseptor hormon pada permukaan sel kanker endometrium dengan

hormon estrogen yang lebih banyak dibandingkan dengan progesteron

memicu perkembangan sel tersebut.

4. Faktor Risiko

a. Faktor risiko reproduksi dan menstruasi

Nullipara memiliki risiko terkena kanker endometrium dibanding

multipara. Hal tersebut berhubungan dengan infertilitas. Perubahan

biologis pada infertilitas berhubungan dengan siklus anovulasi (terekspose

estrogen jangka panjang tanpa progesteron yang cukup), kadar

androstenedion serum yang tinggi sehingga terjadi konversi menjadi

estron, dan tidak luruhnya lapisan endometrium tiap bulan yang

menyebabkan sisa jaringan menjadi hiperplastik (American Cancer

Society, 2012).

Usia menarche dini (kurang dari 12 tahun) menyebabkan

seseorang mengalami menopause lebih lama. Usia saat menopause

Page 13: Isi

13

mempunyai hubungan langsung terhadap meningkatnya kanker

endometrium. Wanita yang menopause di atas 52 tahun 2.4 kali lebih

berisiko terkena kanker endometrium dibandingkan wanita yang

menopause sebelum 49 tahun (American Cancer Society, 2012).

b. Faktor hormon

Beberapa faktor hormon yang berkaitan dengan kejadian kanker

endometrium adalah sebagai berikut:

1) Terapi estrogen pada saat menopause berguna untuk mengurangi

gejala yang muncul pada saat menopause. Tetapi pemberian terapi

estrogen tunggal tanpa diikuti pemberian progesteron ternyata dapat

memicu terjadinya kanker endometrium.

2) Sebagian besar estrogen diproduksi oleh ovarium, tetapi jaringan

lemak dapat mengubah hormone lain menjadi estrogen. Kanker

endometrium terjadi dua kali lebih sering pada wanita yang

overweight dan tiga kali lebih sering pada wanita obese dibanding

wanita dengan berat badan ideal.

3) Tamoxifen adalah obat yang digunakan untuk mencegah dan

mengobati kanker payudara. Tamoxifen bekerja sebagai anti-estrogen

pada jaringan di payudara tetapi bekerja seperti estrogen di uterus. Hal

tersebut dapat meningkatkan risiko kanker endometrium. Tetapi

kemungkinannya 1:500.

4) Tumor ovarium spesifik yaitu tumor sel granulose-theca sering

memproduksi estrogen yang tidak terkontrol. Kadar estrogen

meningkat dan menyebabkan ketidakseimbangan hormon yang dapat

menstimulasi endometrium dan berisiko terhadap kejadian kanker

endometrium.

5) Sindrom ovarian polikistik (polycystic ovarian syndrome) dapat

menyebabkan kada androgen dan estrogen yang meningkat dan

progesteron yang menurun. Ketidakseimbangan hormoe ini

Page 14: Isi

14

meningkatkan risiko kejadian kanker endometrium (American Cancer

Society, 2012).

c. Faktor kondisi medis

Wanita yang menderita diabetes lebih berisiko empat kali menderita

kanker endometrium. Tingginya kadar estron dan lemak dalam plasma

pada penderita diabetes memicu terjadinya kanker endometrium. Wanita

dengan riwayat kanker kolon hereditary nonpolyposis colon cancer

(HNPCC) atau Lynch syndrome dan kanker payudara juga berisiko lebih

tinggi. Pasien dengan HNPCC 40-60% lebih berisiko terkena kanker

endometrium (American Cancer Society, 2012).

5. Patofisiologi

Pada kanker endometrium tipe 1, kelenjar endometrium normal

mengalami hiperplasi baik hiperplasia simple atau kompleks karena pengaruh

berbagai macam faktor. Terjadinya mutasi ras dan mutasi PTEN

menyebabkan berkembangnya kanker endometrium endometrioid grade 1/2.

Pada kanker endometrium endometrioid grade 3 kerusakan lebih berat

ditandai dengan adanya mutasi p53 (Horn et.al., 2007).

Gambar 2.5 Hipotesis Pathogenesis Kanker Endometrium Tipe 1

Page 15: Isi

15

Pada kanker endometrium tipe 2, proliferasi terjadi dari sel

endometrium yang atrofi atau polip kistik yang dipengaruhi oleh faktor risiko

lain. Mutasi p53 menyebabkan sel tersebut menjadi karsinoma intraepitel

endometrium. Mutasi p53 yang terus berlanjut ditambah adanya amplifikasi

HER-2/neu dan kehilangan p16 menyebabkan sel kanker berkembang menjadi

karsinoma clear cell atau serosa (Horn et.al., 2007).

Gambar 2.6 Hipotesis Pathogenesis Kanker Endometrium Tipe 2

6. Penegakan Diagnosis

a. Anamnesis

Sekitar 90% pasien didiagnosis menderita kanker endometrium

mengalami perdarahan pervaginam yang tidak normal, seperti perdarahan

di antara dua siklus menstruasi atau setelah menopause. Gejala dan tanda

seperti itu dapat terjadi bahkan pada penyakit non kanker, tetapi bagi

wanita yang sudah mengalami menopause, setiap perdarahan pervagina,

spotting, atau abnormal discharge perlu dicurigai. Pada kanker

endometrium juga dapat ditemukan nyeri pada bagian pelvis, terdapat

benjolan, dan penurunan berat badan. Tanda dan gejala ini lebih sering

ditemukan pada kanker stadium lanjut. Riwayat penyakit dahulu atau

riwayat penyakit keluarga yang termasuk ke dalam faktor risiko kanker

Page 16: Isi

16

endometrium juga dapat mendukung penegakan diagnosis kanker

endometrium (American Cancer Society, 2012).

b. Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan pelvis dilakukan baik dengan pemeriksaan dalam dan

inspeculo. Pada pemeriksaan pelvis, tanda-tanda seperti nyeri perut bagian

bawah, adanya discharge yang abnormal, dan lesi atau benjolan pada

daerah pemeriksaan. Pemeriksaan fisik saja belum dapat menegakkan

diagnosis dari kanker endometrium (American Cancer Society, 2012).

c. Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan penunjang yang dapat mendukung penegakkan

diagnosis kanker endometrium antara lain pemeriksaan darah,

pemeriksaan imaging, dan pemeriksaan sampel jaringan endometrium.

1) Pemeriksaan darah

Pada pemeriksaan darah lengkap dapat ditemukan tanda-tanda anemia

akibat perdarahan yang terjadi. Pemeriksaan CA 125 dapat

menunjukkan adanya keganasan yang berasal dari ovarium dan

endometrium. Pada kanker endometrium, kadar CA 125 yang sangat

tinggi menunjukkan adanya kemungkinan kanker telah menyebar

hingga ke luar dari uterus (American Cancer Society, 2012).

2) Pemeriksaan imaging

Pemeriksaan abdomen USG atau transvaginal USG dapat digunakan

untuk melihat ketebalan endometrium. Pada kanker endometrium,

lapisan endometrium terlihat lebih tebal dari endometrium (>5 mm).

Pada USG, kanker endometrium terlihat lesi hiperekoik pada

endometrium yang inhomogen, bertepi rata, dan berbatas tegas. Dapat

pula dilakukan hysterosonogram dengan memasukkan larutan saline

ke dalam uterus sebelum dilakukan USG. Pemeriksaan MRI dapat

dilakukan untuk melihat gambaran yang lebih jelas dibandingkan

pemeriksaan USG (American Cancer Society, 2012).

3) Pemeriksaan sampel jaringan endometrium

Page 17: Isi

17

Pemeriksaan hisopatologi dapat dilakukan dari sampel jaringan

endometrium. Beberapa teknik yang digunakan untuk mengambil

sampel jaringan endometrium antara lain:

a) Biopsi endometrium

b) Histeroskopi

c) Kuretase

7. Penatalaksanaan

a. Operatif

Terapi operatif dapat dilakukan pada kanker endometriosis stage I

dan II. Terapi operatif yang dilakukan adalah histerektomi total (TAH),

bilateral salphingo-ooforektomi (BSO), dan limfadenektomi. Histerektomi

total sering dilanjutkan dengan bilateral salphingo-ooforektomi untuk

mencegah kemungkinan adanya sel kanker yang tidak terdeteksi pada

ovarium dan tuba falopii yang dapat berkembang. Limfadenektomi

dilakukan jika ditemukan sel kanker dalam limfonodi sekitar tumor

(Plataniotis dan Castiglione, 2010).

Pada kanker endometrium stage I dan II yang tidak dapat dioperasi

akibat adanya penyulit seperti obesitas, penyakit jantung, atau diabetes,

dapat diobati dengan radioterapi. Pada pasien dengan penyakit intra

abdomen seperti asites atau yang berkaitan dengan peritoneum, omentum,

ovarium, dan limfonodi, operasi TAH/BSO dan debulking perlu

dipertimbangkan. Operasi dapat diikuti dengan radioterapi dan/atau

kemoterapi (Plataniotis dan Castiglione, 2010).

b. Radioterapi

Radioterapi menggunakan sinar radiasi seperti sinar X untuk

membunuh sel kanker. Radioterapi dapat diberikan dengan memasukkan

materi radioaktif ke dalam tubuh atau radioterapi internal yang disebut

brachytherapy atau diberikan dari luar tubuh atau radioterapi eksternal.

1) Vaginal Brachyteraphy (VB) merupakan cincin dengan sumber radiasi

yang dimasukkan ke dalam vagina. Terdapat dua jenis VB, low-dose

Page 18: Isi

18

rate (LDR) dan high-dose rate (HDR). Pada LDR VB cincin

diletakkan sekitar 1-4 hari dan pasien diminta untuk tidak bergerak,

sedangkan pada HDR VB pasien diberikan dalam waktu singkat

kurang dari satu jam

2) External beam radiation therapy (radioterapi eksternal). Radioterapi

eksternal diberikan lima hari dalam satu minggu selama 4-6 minggu.

(American Cancer Society, 2012)

c. Kemoterapi

Kemoterapi merupakan terapi sistemik yang diberikan untuk

membunuh sel kanker maupun menghambat pertumbuhan sel kanker

termasuk untuk sel kanker yang sudah bermetastasis jauh. Cara kerja obat

kemoterapi adalah dengan mengganggu perkembangan siklus sel tumor.

Obat kemoterapi aktif pada saat sel bereproduksi. Namun, efek samping

obat kemoterapi juga dapat mengganggu siklus sel yang sehat. Terdapat

beberapa jenis kemoterapi:

1) Terapi adjuvan, merupakan kemoterapi yang diberikan setelah operasi.

Dapat diberikan tunggal atau bersamaan dengan radioterapi untuk

membunuh sel kanker yang bermetastasis.

2) Terapi neoadjuvan, merupakan kemoterapi yang diberikan sebelum

operasi untuk mengecilkan massa tumor.

3) Kemoterapi primer, merupakan kemoterapi yang diberikan tunggal

hanya untuk mengontrol gejalanya pada kasus kanker dengan

kemungkinan kecil untuk diobati.

4) Kemoterapi induksi, merupakan kemoterapi pertama yang digunakan

sebelum terapi berikutnya.

5) Kemoterapi kombinasi, merupakan kemoterapi dengan 2 atau lebih

agen kemoterapi.

Pemberian kemoterapi dapat secara per oral seperti chlorambucil dan

etoposide, intramuskulus (IM) seperti bleomicin dan methotreaxate,

intravena (IV), intraarteri, dan intraperitoneal.

Page 19: Isi

19

Syarat pemberian kemoterapi adalah pasien harus memiliki

keadaan umum yang cukup baik, pasien memahami tujuan pengobatan

dan efek samping yang dapat ditimbulkan, fungsi ginjal dan hati baik,

sesuai antara diagnosis histopatologi dengan terapi yang diberikan, jenis

kanker cukup sensitiv, pemeriksaan lab Hb>10gr/dL, leukosit >5000/mm3,

trombosit >150.000/mm3.

Beberapa sediaan kemoterapi yang digunakan pada kanker

endometrium adalah:

1) Kemoterapi adjuvan: Doxorubicin 50-60 mg/m2, Cis-platinum 60

mg/m2 dengan interval 3 minggu.

2) Kemoradiasi: Cis-platinum 20-40 mg/m2 setiap minggu diberikan

selama 5-6 minggu, Xeloda 500-1000 mg/hari per oral, Gemcitabine

300 mg/m2, Paclitacel 60-80 mg/m2 setiap minggu diberikan selama

5-6 minggu, dan Docetaxel 20 mg/m2 setiap minggu diberikan selama

5-6 minggu

Rekomendasi pemberian kemoterapi adalah sebagai berikut:

1) Tumor stadium lanjut atau rekuren diberikan kemoterapi dengan

cisplatin/doxorubicin/paclitaxel.

2) Tumor stadium lanjut atau rekuren dengan respetor positif dan/atau

grade I atau II diberikan terapi hormonal berupa oral progestin atau

magestrol asetat.

3) Tumor stadium III-IVA dilakukan operasi dan kemoterapi adjuvan.

d. Terapi hormonal

Terapi dengan menggunakan hormon atau penghalang hormon

bertujuan untuk melawan perkembangan kanker. Berikut terapi hormon

yang dapat diberikan:

1) Progestin. Merupakan analog progesteron. Obat paling sering

diberikan adalah medroxyprogesterone acetate dan megestrol acetate.

Obat ini bekerja untuk memperlambat pertumbuhan sel kanker.

Page 20: Isi

20

2) Tamoxifen. Merupakan anti-estrogen yang biasa digunakan untuk

kanker payudara, Tujuan pemberian tamoxifen adalah untuk mencegah

sirkulasi estrogen yang membantu pertumbuhan sel kanker.

3) Agonis GnRH. Merupakan obat yang bekerja untuk menurunkan

produksi estrogen sehingga kadar estrogen akan berkurang. Contoh

agonis GnRH antara lain goserelin dan leuprolide yang diinjeksi setipa

1 hingga 3 bulan.

4) Aromatase inhibitor. Aromatase inhibitor bekerja untuk mencegah

sintesis estrogen. Contoh aromatase inhibitor antara lain letrozole,

anastrozole, dan exemestane.

(American Cancer Society, 2012)

Tatalaksana kanker endometrium menurut staging:

a. Stage I

Kanker endometrium stage I dapat diterapi dengan operasi. Kanker

endometrium dengan grade tinggi dapat diterapi operatif TH/BSO,

limfadenektomi, dan omentektomi. Setelah operasi, kemoterapi dan/atau

radioterapi diberikan untuk mencegah kanker kambuh lagi.

b. Stage II

Kanker endometrium stage II dapat diterapi dengan operasi seperti pada

stage I. Radikal histerektomi, BSO, dan limfadenektomi dapat dilakukan.

Radioterapi dapat diberikan sesudah operasi untuk mencegah kanker

kambuh lagi atau diberikan sebelum operasi untuk mengecilkan kanker

sehingga histerektomi yang dilakukan lebih sederhana. Kemoterapi juga

setelah operasi untuk mencegah kanker kambuh lagi.

c. Stage III

Kanker endometrium stage III diterapi seperti kanker endometrium grade

tinggi.

d. Stage IV

Kanker endometrium stage IV dapat diterapi operatif dengan tujuan untuk

menghentikan perdarahan. Terapi operatif diikuti dengan radioterapi dan

Page 21: Isi

21

kemoterapi. Apabila kanker endometrium sudah menyebar jauh maka

terapi hormonal dapat digunakan. Terapi hormonal yang digunakan antara

lain progestin dan tamoxifen. Penggunaan aromatase inhibitor masih

dalam penelitian.

e. Kanker endometrium rekuren

Kanker endometrium dapat kambuh kembali dan bersifat lokal maupun

jauh. Kanker endometrium kambuh yang bersifat lokal dapat diterapi

dengan operasi yang diikuti dengan radioterapi. Apabila operasi tidak

memungkinkan, kombinasi radioterapi dan terapi hormon dapat diberikan.

Kanker endometrium kambuh yang menyebar jauh dapat diterapi dengan

operasi dan radioterapi yang terfokus. Apabila kanker sudah menyebar

luas maka terapi yang diberikan sama dengan kanker stage IV.

(American Cancer Society, 2012)

Page 22: Isi

22

BAB III

PEMBAHASAN

Adenomiosis adalah kondisi non-malignan dari uterus yang ditandai dengan

adanya kelenjar atau stroma endometrium di miometrium. Adenomiosis juga dikenal

sebagai endometriosis interna atau endometriosis uteri. Pada pasien adenomiosis

sering ditemukan hiperplasi dan hipertrofi dari uterus yang menyebabkan pembesaran

uterus. Gejala klinik yang sering muncul adalah perdarahan abnormal uterus dan

nyeri pelvis yang kronik, walaupun sering kali adenomiosis asimptomatis.

Adenomiosis didiagnosis setelah dilakukan pemeriksaan histopatologis pada

spesimen histerektomi meskipun diagnosis melalui MRI saat ini semakin

dipergunakan (Shrestha et.al., 2012). Pada pemeriksaan histopatologis, adenomiosis

sering ditemukan bersamaan dengan patologi uterus yang lain seperti leiomioma (35-

55%), endometriosis pelvis (6-20%), salphingitis (1.4-19.8%), polip endometrium

(2.3%), hiperplasia endometrium dengan atau tanpa atipia (10.5%), dan kanker

endometrium (1.4%) (Ferenczy, 1998) Pada penelitian ini ditunjukkan bahwa

adenomiosis paling sering ditemukan bersama dengan mioma uteri (52%) dan polip

uteri (16.3%) (Gün et.al., 2012). Hal tersebut dapat disebabkan adanya kesamaan

patogenesis antara adenomiosis, mioma uteri, dan polip uteri. Ketiga penyakit

tersebut mampu berkembang karena adanya ketidakseimbangan hormonal. Paparan

hormon estrogen yang tinggi dan dalam waktu yang lama yang menyebabkan

perkembangan ketiga penyakit tersebut. Bahkan seringkali adenomiosis yang

berkembang secara fokal tidak dapat dibedakan dengan leiomioma atau mioma uteri

hanya dari gambaran klinisnya (Ferenczy, 1998).

Kanker endometrium merupakan kanker ginekologi yang sering ditemukan,

terutama di Amerika Serikat. Di Amerika Serikat, kanker endometrium merupakan

kanker ginekologi paling umum ditemukan dan menempati urutan keempat dalam

penyebab kematian akibat kanker. Insidensi kanker endometrium masih rendah pada

beberapa daerah seperti di India dan Asia Tenggara. Kanker endometrium yang

Page 23: Isi

23

paling umum ditemukan merupakan tipe adenokarsinoma (61-71%), karsinoma

adenoskuamosa dan adenoacanthoma (14-24%), serta tumor serosa papiler dan

karsinoma clear cell. Diagnosis kanker endometrium dapat ditegakkan dengan

bantuan beberapa pemeriksaan seperti pemeriksaan marker CA 125, USG

transvaginal, dan MRI. Gold standard penegakan diagnosis kanker endometrium

adalah pemeriksaan histopatologi spesimen endometrium (Chhabra dan Tembhare,

2009). Penelitian Gün et.al. (2012) menunjukkan bahwa kanker endometrium dapat

ditemukan dengan beberapa patologi lain seperti mioma uteri (19.3%) dan hiperplasia

endometrium (12.3%). Kesamaan faktor risiko berupa ketidakseimbangan hormonal

masih menjadi hal yang digunakan untuk menjelaskan kondisi tersebut. Bahkan

terdapat hipotesis bahwa kanker endometrium dapat berasal dari hiperplasia

endometrium (Chhabra dan Tembhare, 2009).

Adenomiosis sangat jarang ditemukan bersamaan dengan kanker

endometrium. Kedua penyakit itu secara statistik tidak berhubungan ditunjukkan

dengan hanya ditemukannya 11 dari 472 kasus adenomiosis yang disertai dengan

kanker endometrium (p=0.771) (Gün et.al., 2012). Sebuah kasus kanker endometrium

berasal dari adenomiosis didasarkan pada tiga kriteria Sampson:

1. Karsinoma tidak berasal dari endometrium atau pelvis.

2. Karsinoma harus menunjukkan transisi dari benigna ke maligna.

3. Terdapat sel stroma endometrium (Kazandi et.al., 2010; Puppa et.al., 2007)

Ketidakterkaitan kedua penyakit ini dapat ditinjau dari patofisiologi kedua

penyakit tersebut yang berbeda. Adenomiosis merupakan kondisi non-malignan

dimana terjadi perkembangan sel endometrium pada miometrium akibat invasi sel

endometrium ke miometrium sehingga terjadi kerancuan batas pada pertemuan

lapisan endometrium dan miometrium. Kanker endometrium dihipotesiskan

berkembang dari hiperplasia endometrium atau terjadinya mutasi p53.

Penemuan adenomiosis yang ditemukan bersama dengan kanker endometrium

dibahas dalam beberapa penelitian case report. Puppa et.al. (2007) melaporkan kasus

adenokarsinoma endometrioid diferensiasi moderat yang berkembang dari

adenomiosis dengan metastasis ke limfonodi iliaka. Kasus tersebut dapat terjadi

Page 24: Isi

24

karena diyakini bahwa baik kondisi benigna dan maligna pada uterus dipengaruhi

oleh hormon dan memiliki fakor risiko yang sama seperti obesitas dan pemberian

terapi pengganti hormon. Pada adenomiosis (endometriosis interna) terjadi produksi

berlebih estrogen lokal yang dapat disebabkan aktivitas aromatase. Aromatase

distimulasi oleh peningkatan enzim cyclo-oxygenase-2 (COX-2). COX-2 ternyata

memiliki peran pada proses terbentuknya kanker endometrium terutama pada

progresifitas tumor dan fase transformasi neoplastik pada hiperplasi endometrium.

Mutasi p53 sebagai gen suppressor tumor terjadi pada kanker endometrium ternyata

dapat ditemukan pula pada glandula adenomiosis. Hal tersebut mendukung hipotesis

bahwa terdapat karsinogenesis pada adenomiosis.

Pada kasus lain dimana adenokarsinoma berasal dari adenomiosis tanpa

adanya keterlibatan endometrium, hipotesis didasarkan kembali pada pengaruh

hormonal. Fokal adenomiosis berasal dari lapisan basal endometrium yang memiliki

kemampuan untuk tumbuh. Apabila terdapat stimulasi estrogen, perubahan proliferasi

dapat mengarah pada hiperplasi dan kemudian menjadi karsinoma. Kasus sejenis

yang dilaporkan Toshiki et.al. (2001) ditemukan ekspresi fokal p53 (gen suppressor

tumor) dan antigen Ki-67 (onkogen) yang mengarah pada adanya karsinogenesis

kanker endometrium dari adenomiosis (Cuoto et.al., 2004).

Sebagian besar kasus kanker endometrium yang berasal dari fokal

adenomiosis merupakan adenokarsinoma dimana keterlibatan hormon masih berperan

besar. Tetapi, pada beberapa penelitian dapat pula ditemukan kasus adenokarsinoma

yang muncul dari adenomiosis yang memiliki sedikit estrogen receptor (ER) maupun

progesterone receptor (PR) yang mengindikasikan pertumbuhan kanker endometrium

yang non-hormonal-dependent (Kazandi et.al., 2010).

Kasus kanker endometrium yang berasal dari adenomiosis masih sangat sulit

untuk ditemukan. Oleh karena itu, belum dapat ditemukan pathogenesis pasti

bagaimana adenomiosis yang bersifat jinak dapat menjadi sebuah keganasan.

Kelangkaan kasus juga menyebabkan hubungan antara kedua kasus tersebut tidak

signifikan secara statistik.

Page 25: Isi

25

BAB IV

KESIMPULAN

1. Adenomiosis adalah suatu penyakit yang ditandai dengan adanya kelenjar dan

stroma endometrium di miometrium. Kanker endometrium adalah kanker

yang berasal dari sel endometrium.

2. Tidak terdapat hubungan antara frekuensi kejadian adenomiosis dengan

kejadian kanker endometrium pada spesimen histerektomi secara statistik.

3. Adenomiosis lebih sering tidak berubah menjadi kanker endometrium karena

perbedaan pathogenesis kedua penyakit tersebut.

4. Adenomiosis dapat berubah menjadi kanker endometrium karena adanya

kesamaan faktor risiko dan keterlibatan gen suppressor tumor yang

menyebabkan karsinogenesis dapat terjadi.

Page 26: Isi

26

DAFTAR PUSTAKA

American Cancer Society. 2012. Endometrial (Uterine) Cancer. Available at www.cancer.org

Chhabra S. dan Tembhare A. 2009. Current Status of Endometrial Carcinoma (Risk to Reccurence). J MGIMS, 14, No (ii):18 - 23

Cuotto D., Mota F., Silva T., dan deOliveira C. 2004. Adenocarcinoma Arising in Adenomyosis: Report of An Unusual Case. Acta Obstet Gynecol Scand, 83: 406-408

Enakpene C.A. dan Muneyyirci-Delale O. 2012. Association between Etiopathogenesis of Morbidly Adherent Placenta and Adenomyosis. Open Journal of Obstetrics and Gynecology, 2:321-324

Eroschenko, V.P. 2010. Atlas Histologi diFiore dengan Korelasi Fungsional Edisi 11. Jakarta: EGC

Ferenczy, A. 1998. Pathophysiology of Adenomyosis. Human Reproduction Update, 4(4):312-322

Gün İ, Öner Ö, Bodur S, Özdamar Ö, dan Atay V. 2012. Is Adenomyosis Associated with The Risk of Endometrial Cancer? Medicinski Glasnik; 9(2):268-272

Horn L., Meinel A., Handzel R., dan Einenkel J. 2007. Histopathology of Endometrial Hyperplasia and Endometrial Carcinoma: An Update. Annals of Diagnostic Pathology, 11:297–311

Kazandi M., Zeybek B., Terek M.C., Zekioglu O., Ozdemir N., Oztekin K. 2010. Grade 2 Endometrioid Adenocarcinoma Arising from Adenomyosis of The Uterus: Report of A Case. Eur. J. Gynaec. Oncol., 6: 719-721

Moore, K. 2002. Anatomi Klinis Dasar. Jakarta: Hipocrates

Plataniotis G. dan Castiglione M. 2010. Endometrial Cancer: ESMO Clinical Practical Guidelines for Diagnosis, Treatment, and Follow-Up. Annals of Oncology (Supplement 5): v41-v45

Puppa G., Shozu M., Perin T., Nomura K., Gloghini A., Compagnutta E., dan Canzioneri U. 2007. Small Primary Adenocarcinoma in Adenomyosis with Nodal Metastasis: A Case Report. BMC Cancer, 7: 103

Shrestha A., Shrestha R., Sedhai LB., dan Pandit U. 2012. Adenomyosis at Hysterectomy: Prevalence, Patient Characteristics, Clinical Profile and Histopathological Findings. Kathmandu Univ Med J; 37(1):53-6