1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Trauma kepala adalah ruda paksa tumpu l atau tajam pada kepala/wajah yang berakibat disfungsi serebral sementara, satu penyebab kematian dan kecacatan utama pada kelompok usia produktif, dan sebagian besar karena kecelakaan lalu lintas. Hal ini diakibatkan karena mobilitas yang tinggi di kalangan usia produktif sedangkan kesadaran untuk menjaga keselamatan di jalan masih rendah, disamping penanganan pertama yang belum benar - benar, serta rujukan yang terlambat. Di Indonesia kejadian cidera kepala setiap tahunnya diperkirakan mencapai 500.000 kasus. Dari jumlah diatas, 10% penderita meninggal sebelum tiba di rumah sakit. Dari pasien yang sampai di rumah sakit , 80% dikelompokan sebagai cedera kepala ringan, 10 % termasuk cedera sedang dan 10 % termasuk cedera kepala berat. Cedera kepala merupakan keadaan yang serius, sehingga diharapkan para dokter mempunyai pengetahuan praktis untuk melakukan pertolongan
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. LATAR BELAKANG
Trauma kepala adalah ruda paksa tumpu latau tajam pada
kepala/wajah yang berakibat disfungsi serebral sementara, satu penyebab
kematian dan kecacatan utama pada kelompok usia produktif, dan sebagian
besar karena kecelakaan lalu lintas. Hal ini diakibatkan karena mobilitas yang
tinggi di kalangan usia produktif sedangkan kesadaran untuk menjaga
keselamatan di jalan masih rendah, disamping penanganan pertama yang
belum benar - benar, serta rujukan yang terlambat. Di Indonesia kejadian
cidera kepala setiap tahunnya diperkirakan mencapai 500.000 kasus. Dari
jumlah diatas, 10% penderita meninggal sebelum tiba di rumah sakit. Dari
pasien yang sampai di rumah sakit , 80% dikelompokan sebagai cedera
kepala ringan, 10 % termasuk cedera sedang dan 10 % termasuk cedera
kepala berat.
Cedera kepala merupakan keadaan yang serius, sehingga diharapkan
para dokter mempunyai pengetahuan praktis untuk melakukan pertolongan
pertama pada penderita. Tindakan pemberian oksigen yang adekuat dan
mempertahankan tekanan darah yang cukup untuk perfusi otak dan
menghindarkan terjadinya cedera otak sekunder merupakan pokok-pokok
tindakan yang sangat penting untuk keberhasilan kesembuhan penderita.
Sebagai tindakan selanjutnya yang penting setelah primary survey adalah
identifikasi adanya lesi masa yang memerlukan tindakan pembedahan, dan
yang terbaik adalah pemeriksaan dengan CT Scan kepala. Pada penderita
dengan cedera kepala ringan dan sedang hanya 3% -5% yang memerlukan
tindakan operasi kurang lebih 40% dan sisanya dirawat secara konservatif.
Prognosis pasien cedera kepala akan lebih baik bila penatalaksanaan
2
dilakukan secara tepat dan cepat. Adapun pembagian trauma kapitis adalah :
Simple head injury, Commutio cerebri, Contusioncerebri, Laceratiocerebri,
Basiscraniifracture. Simple head injury dan Commutio cerebri sekarang
digolongkan sebagai cedera kepala ringan, sedangkan Contusio cerebri dan
Laceratio cerebri digolongkan sebagai cedera kepalaberat.
Pada penderita korban cedera kepala, yang harus diperhatikan adalah
pernafasan, peredaran darah dan kesadaran, sedangkan tindakan resusitasi,
anamnesa dan pemeriksaan fisik umum dan neurologist harus dilakukan
secara serentak. Tingkat keparahan cedera kepala harus segera ditentukan
pada saat pasien tiba di Rumah Sakit.
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. DEFINISI TRAUMA KEPALA
Trauma kepala adalah trauma mekanik pada kepala yang terjadi baik
secara langsung atau tidak langsung yang kemudian dapat berakibat pada
gangguan fungsi neurologis, fungsi fisik, kognitif, psikososial, yang dapat
bersifat temporer ataupun permanent. Menurut Brain Injury Assosiation of
America, cedera kepala adalah suatu kerusakan pada kepala, bukan bersifat
kongenital ataupun degeneratif, tetapi disebabkan oleh serangan / benturan
fisik dari luar, yang dapat mengurangi atau mengubah kesadaran, sehingga
menimbulkan kerusakan kemampuan kognitif dan fungsi fisik.
2.2 ANATOMI
1. Kulit Kepala (Scalp)
Kulit kepala terdiri dari 5 lapisan yang disebut sebagai SCALP yaitu :
a. Skin atau kulit
b. Connective Tissue atau jaringan penyambung
c. Aponeurosis atau galea aponeurotika
d. Loose areolar tissue atau jaringan penunjang longgar
e. Perikranium
Jaringan penunjang longgar memisahkan galea aponeurotika dari
perikranium dan merupakan tempat tertimbunnya darah (hematoma
subgaleal). Kulit kepala memiliki banyak pembuluh darah sehingga bila
terjadi perdarahan akibat laserasi kulit kepala akan menyebabkan banyak
kehilangan darah, terutama pada bayi dan anak-anak.
4
2. Tulang Tengkorak
Tulang tengkorak terdiri dari kubah (kalvaria) dan basis kranii. Kalvaria
khususnya di bagian temporal adalah tipis, namun disini dilapisi oleh otot
temporal. Basis kranii berbentuk tidak rata sehinga dapat melukai bagian
dasar otak saat bergerak akibat proses akselerasi dan deselerasi. Rongga
tengkorak dasar dibagi atas 3 fosa yaitu : fosa anterior, fosa media, dan
fosa posterior. Fosa anterior adalah tempat lobus frontalis, fosa media
adalah tempat lobus temporalis, dan fosa posterior adalah ruang bagian
bawah batang otak dan serebelum.
3. Meningen
Selaput meningen menutupi seluruh permukaan otak dan terdiri
dari 3 lapisan yaitu : duramater, arakhnoid dan piamater. Duramater
adalah selaput yang keras, terdiri atas jaringan ikat fibrosa yang melekat
erat pada permukaan dalam dari kranium. Karena tidak melekat pada
selaput araknoid di bawahnya, maka terdapat suatu ruang potensial (ruang
subdural) yang terletak antara duramater dan araknoid, dimana sering
dijumpai perdarahan subdural.
Pada cedera otak, pembuluh-pembuluh vena yang berjalan pada
permukaan otak menuju sinus sagitalis superior di garis tengah atau
disebut Bridging Veins, dapat mengalami robekan dan menyebabkan
perdarahan subdural. Sinus sagitalis superior mengalirkan darah vena ke
sinus transversus dan sinus sigmoideus. Laserasi dari sinus-sinus ini dapat
mengakibatkan perdarahan hebat.
Arteri-arteri meningea terletak antara duramater dan permukaan
dalam dari kranium (ruang epidural). Adanya fraktur dari tulang kepala
dapat menyebabkan laserasi pada arteri-arteri ini dan dapat menyebabkan
perdarahan epidural. Yang paling sering mengalami cedera adalah arteri
meningea media yang terletak pada fosa temporalis (fosa media).
Dibawah duramater terdapat lapisan kedua dari meningen, yang
tipis dan tembus pandang disebut lapisan araknoid. Lapisan ketiga adalah
5
piamater yang melekat erat pada permukaan korteks serebri. Cairan
serebrospinal bersirkulasi dalam ruang sub araknoid.
4. Otak
Otak manusia terdiri dari serebrum, serebelum, dan batang otak.
Serebrum terdiri atas hemisfer kanan dan kiri yang dipisahkan oleh falks
serebri yaitu lipatan duramater dari sisi inferior sinus sagitalis superior.
Pada hemisfer serebri kiri terdapat pusat bicara manusia. Hemisfer otak
yang mengandung pusat bicara sering disebut sebagai hemisfer dominan.
Lobus frontal berkaitan dengan fungsi emosi, fiungsi motorik, dan
pada sisi dominan mengandung pusat ekspresi bicara. Lobus parietal
berhubungan dengan fungsi sensorik dan orientasi ruang. Lobus temporal
mengatur fungsi memori. Lobus oksipital bertanggung jawab dalam proses
penglihatan. Batang otak terdiri dari mesensefalon (mid brain), pons, dan
medula oblongata. Mesensefalon dan pons bagian atas berisi sistem
aktivasi retikular yang berfungsi dalam kesadaran dan kewaspadaan. Pada
medula oblongata terdapat pusat kardiorespiratorik, yang terus memanjang
sampai medulla spinalis dibawahnya. Lesi yang kecil saja pada batang
otak sudah dapat menyebabkan defisit neurologis yang berat.
Serebelum bertanggung jawab dalam fungsi koordinasi dan
keseimbangan, terletak dalam fosa posterior, berhubungan dengan medula
spinalis, batang otak, dan juga kedua hemisfer serebri.
5. Cairan serebrospinal
Cairan serebrospinal (CSS) dihasilkan oleh pleksus khoroideus
dengan kecepatan produksi sebanyak 20 ml/jam. CSS mengalir dari
ventrikel lateral melalui foramenmonro menuju ventrikel III kemudian
melalui aquaductus sylvii menuju ventrikel IV.
Selanjutnya CSS keluar dari sistem ventrikel dan masuk ke dalam
ruang subaraknoid yang berada di seluruh permukaan otak dan medula
6
spinalis. CSS akan direabsorbsi ke dalam sirkulasi vena melalui vili
araknoid.
6. Tentorium
Tentorium serebelli membagi rongga tengkorak menjadi ruang supra
tentorial (terdiri atas fossa kranii anterior dan fossa kranii media) dan
ruang infratentorial (berisi fosa kranii posterior).
Gb. Anatomi Otak Manusia
7
2.3. FISIOLOGI
Mekanisme fisiologis yang berperan antara lain :
1. Tekanan Intra Kranial
Biasanya ruang intrakranial ditempati oleh jaringan otak, darah,
dan cairan serebrospinal. Setiap bagian menempati suatu volume tertentu
yang menghasilkan suatu tekanan intra kranial normal sebesar 50 sampai
200 mmH2O atau 4 sampai 15 mmHg. Dalam keadaan normal, tekanan
intra kranial (TIK) dipengaruhi oleh aktivitas sehari-hari dan dapat
meningkat sementara waktu sampai tingkat yang jauh lebih tinggi dari
normal.
Ruang intra kranial adalah suatu ruangan kaku yang terisi
penuh sesuai kapasitasnya dengan unsur yang tidak dapat ditekan, yaitu :
otak ( 1400 g), cairan serebrospinal (sekitar 75 ml), dan darah (sekitar 75
ml). Peningkatan volume pada salah satu dari ketiga unsur utama ini
mengakibatkan desakan ruang yang ditempati oleh unsur lainnya dan
menaikkan tekanan intra kranial.
2. Hipotesa Monro-Kellie
Teori ini menyatakan bahwa tulang tengkorak tidak dapat meluas
sehingga bila salah satu dari ketiga komponennya membesar, dua
komponen lainnya harus mengkompensasi dengan mengurangi
volumenya (bila TIK masih konstan).
Mekanisme kompensasi intra kranial ini terbatas, tetapi
terhentinya fungsi neural dapat menjadi parah bila mekanisme ini gagal.
Kompensasi terdiri dari meningkatnya aliran cairan serebrospinal ke
dalam kanalis spinalis dan adaptasi otak terhadap peningkatan tekanan
tanpa meningkatkan TIK. Mekanisme kompensasi yang berpotensi
mengakibatkan kematian adalah penurunan aliran darah ke otak dan
pergeseran otak ke arah bawah ( herniasi ) bila TIK makin meningkat.
Dua mekanisme terakhir dapat berakibat langsung pada fungsi saraf.
Apabila peningkatan TIK berat dan menetap, mekanisme kompensasi
8
tidak efektif dan peningkatan tekanan dapat menyebabkan kematian
neuronal (Lombardo, 2003).
2.4. PATOFISIOLOGI TRAUMA KEPALA
Pada trauma kepala, kerusakan otak dapat terjadi dalam dua tahap
yaitu cedera primer dan cedera sekunder. Cedera primer merupakan cedera
pada kepala sebagai akibat langsung dari suatu ruda paksa, dapat disebabkan
oleh benturan langsung kepala dengan suatu benda keras maupun oleh proses
akselerasi-deselerasi gerakan kepala (Gennarelli, 1996 dalam Israr dkk,
2009).
Pada trauma kapitis, dapat timbul suatu lesi yang bisa berupa
perdarahan pada permukaan otak yang berbentuk titik-titik besar dan kecil,
tanpa kerusakan pada duramater, dan dinamakan lesi kontusio. Lesi kontusio
di bawah area benturan disebut lesi kontusio “coup”, di seberang area
benturan tidak terdapat gaya kompresi, sehingga tidak terdapat lesi. Jika
terdapat lesi, maka lesi tersebut dinamakan lesi kontusio “countercoup”.
Kepala tidak selalu mengalami akselerasi linear, bahkan akselerasi yang
sering dialami oleh kepala akibat trauma kapitis adalah akselerasi rotatorik.
Bagaimana caranya terjadi lesi pada akselerasi rotatorik adalah sukar untuk
dijelaskan secara terinci. Tetapi faktanya ialah, bahwa akibat akselerasi linear
dan rotatorik terdapat lesi kontusio coup, countercoup dan intermediate.
Yang disebut lesi kontusio intermediate adalah lesi yang berada di antara lesi
kontusio coup dan countrecoup ( Mardjono dan Sidharta, 2008 ).
Akselerasi-deselerasi terjadi karena kepala bergerak dan berhenti
secara mendadak dan kasar saat terjadi trauma. Perbedaan densitas antara
tulang tengkorak (substansi solid) dan otak (substansi semi solid)
menyebabkan tengkorak bergerak lebih cepat dari muatan intra kranialnya.
Bergeraknya isi dalam tengkorak memaksa otak.
9
2.5. KLASIFIKASI TRAUMA KEPALA
Trauma kepala dibagi menjadi 3, yaitu:
1. Fraktur kalvaria dan
Berdasarkan ATLS (2004) cedera kepala diklasifikasikan dalam berbagai
aspek. Secara praktis dikenal 3 deskripsi klasifikasi, yaitu berdasarkan;
mekanisme, beratnya cedera, dan morfologi.
1. Mekanisme Cedera Kepala
Cedera otak dibagi atas cedera tumpul dan cedera tembus. Cedera tumpul
biasanya berkaitan dengan kecelakaan kendaraan bermotor, jatuh, atau
pukulan benda tumpul. Cedera tembus disebabkan oleh luka tembak
ataupun tusukan.
2. Beratnya Cedera Kepala
Glasgow Coma Scale (GCS) digunakan secara umum dalam deskripsi
beratnya penderita cedera otak. Penderita yang mampu membuka kedua
matanya secara spontan, mematuhi perintah, dan berorientasi mempunyai
nilai GCS total sebesar 15, sementara pada penderita yang keseluruhan
otot ekstrimitasnya flaksid dan tidak membuka mata ataupun tidak
bersuara maka nilai GCS-nya minimal atau sama dengan 3. Nilai GCS
sama atau kurang dari 8 didefinisikan sebagai koma atau cedera kepala
berat. Berdasarkan nilai GCS, maka penderita cedera kepala dengan nilai
GCS 9-13 dikategorikan sebagai cedera kepala sedang, dan penderita
dengan nilai GCS 14-15 dikategorikan sebagai cedera kepala ringan.
3. Morfologi
a. Fraktur Kranium
Fraktur kranium dapat terjadi pada atap atau dasar tengkorak,
dapat berbentuk garis/linear atau bintang/stelata, dan dapat pula
terbuka ataupun tertutup. Fraktur dasar tengkorak biasanya
memerlukan pemeriksaan CT scan dengan teknik “bone window”
untuk memperjelas garis frakturnya. Adanya tanda-tanda klinis
10
fraktur dasar tengkorak menjadikan petunjuk kecurigaan untuk
melakukan pemeriksaan lebih rinci.
Fraktur kranium terbuka dapat mengakibatkan adanya
hubungan antara laserasi kulit kepala dengan permukaan otak karena
robeknya selaput dura. Adanya fraktur tengkorak tidak dapat
diremehkan, karena menunjukkan bahwa benturan yang terjadi
cukup berat.
Menurut Japardi (2004), klasifikasi fraktur tulang tengkorak
sebagai berikut :
1. Gambaran fraktur, dibedakan atas :
a. Linier
b. Diastase
c. Comminuted
d. Depressed
2. Lokasi Anatomis, dibedakan atas :
a. Calvarium / Konveksitas ( kubah / atap tengkorak )
b. Basis cranii ( dasar tengkorak )
3. Keadaan luka, dibedakan atas :
a. Terbuka
b. Tertutup
b. Lesi Intra Kranial
Otak juga dapat mengalami perdarahan dan terdapat perbedaan
posisi yang terkena perdarahan pada kasus trauma kepala tersebut,
diantaranya :
1. Cedera otak difus
Pada konkusi, penderita biasanya kehilangan kesadaran dan
mungkin mengalami amnesia retro/anterograd.
Cedera otak difus yang berat biasanya diakibatkan hipoksia,
iskemi dari otak karena syok yang berkepanjangan atau periode
apnoe yang terjadi segera setelah trauma.
11
Selama ini dikenal istilah Cedera Aksonal Difus (CAD) untuk
mendefinisikan trauma otak berat dengan prognosis yang buruk.
Penelitian secara mikroskopis menunjukkan adanya kerusakan
pada akson dan terlihat pada manifestasi klinisnya.
2. Perdarahan Epidural
Hematoma epidural terletak di luar dura tetapi di dalam rongga
tengkorak dan gambarannya berbentuk bikonveks atau
menyerupai lensa cembung. Sering terletak di area temporal atau
temporo parietal yang biasanya disebabkan oleh robeknya arteri
meningea media akibat fraktur tulang tengkorak.
3. Perdarahan Subdural
Perdarahan subdural lebih sering terjadi daripada perdarahan
epidural. Perdarahan ini terjadi akibat robeknya vena-vena kecil
di permukaan korteks serebri. Perdarahan subdural biasanya
menutupi seluruh permukaan hemisfer otak. Biasanya kerusakan
otak lebih berat dan prognosisnya jauh lebih buruk
dibandingkan perdarahan epidural.
4. Kontusio dan perdarahan intraserebral
Kontusio serebri sering terjadi dan sebagian besar terjadi
di lobus frontal dan lobus temporal, walaupun dapat juga terjadi
pada setiap bagian dari otak. Kontusio serebri dapat, dalam
waktu beberapa jam atau hari, berubah menjadi perdarahan intra
serebral yang membutuhkan tindakan operasi.
Untuk menyatakan suatu diagnosa pada kasus-kasus diatas, ada
beberapa pemeriksaan penunjang yang dibutuhkan untuk memastikannya.
Salah satunya adalah dengan pemeriksaan radiologi. Pemeriksaan radiologi
pada kasus trauma kepala tersebut adalah Foto Polos Kepala, Tomografi
Komputer Kepala dan MRI. Berikut adalah penjelasan mengenai
12
pemeriksaan radiologi tersebut dan beberapa kasus trauma kepala yang
berkaitan dengan hal itu.
2.6. FOTO POLOS KEPALA
Foto polos kepala dengan berbagai posisi seperti AP, lateral berguna
untuk melihat adanya fraktur tengkorak, tapi tidak menunjukkan jaringan
lunak di dalam kepala.
Indikasi Foto Polos Kepala
Tidak semua penderita dengan cidera kepaladiindikasikan untuk
pemeriksaan kepala karena masalah biaya dan kegunaanyang sekarang makin
ditinggalkan. Jadi indikasi meliputi jejas lebih dari 5 cm, luka tembus
(tembak/tajam), adanya corpus alineum, deformitas kepala (dariinspeksi dan
palpasi), nyeri kepala yang menetap, Gejala fokal neurologis, gangguan
kesadaran. Sebagai indikasi foto polos kepala meliputi jangan mendiagnose
foto kepala normal jika foto tersebut tidak memenuhi syarat, Pada kecurigaan
adanya fraktur depresi maka dillakukan foto polos posisi AP/lateral dan
oblique.
2.7. CT SCAN
CT adalah pencitraan darurat metode pilihan untuk cedera kepala. CT lebih
informatif daripada rontgen tengkorak standar dan memberikan sensitivitas
untuk mendeteksi darah intrakranial. Secara umum, semua pasien dengan
cedera kepala harus memiliki CT, kecuali bagi mereka yang diklasifikasikan
sebagai risiko rendah (misalnya, tanpa gegar otak, tanpa kelainan neurologis
pada pemeriksaan, dan tanpa bukti atau kecurigaan dari patah tengkorak,
alkohol atau keracunan obat, atau moderat-risiko kriteria lain). Kemungkinan
mendeteksi intra serebral hemoragik oleh CT pada pasien ini hanya 1
dalam 10.000. MRI lebih baik untuk mendeteksi cedera halus otak, terutama
untuk lesi fokal, tetapi pada umumnya tidak digunakan untuk evaluasi darurat
kecuali dengan cepat dan mudah tersedia gambar CT harus dinilai untuk bukti
13
adanya hematoma epidural atau subdural, subarachnoid atau intraventricular,
memar parenkim dan perdarahan, edema otak, dan memar berhubungan
dengan diffuse axonal injury.
Pasien dengan trauma kepala memerlukan penegakkan diagnosa
sedini mungkin agar tindakan terapi dapat segera dilakukan untuk
menghasilkan prognosa yang tepat, akurat dan sistematis.
Dalam suatu penelitian menunjukkan bahwa tindakan operasi pada trauma
kepala berat dalam rentang waktu 4 jam pertama setelah kejadian, dapat
menyelamatkan + 60 – 70 %. Bila lebih 4 jam tingkat kematian melebihi
sekitar 90%. Hal ini dapat dapat dilakukan setelah adanya penegakan
diagnosa trauma kepala dengan pemeriksaan klinis awal yang ditunjang
dengan diagnosa imajing (khususnya Tomografi Komputer Kepala).
Pemeriksaan CT – Scan sangat mutlak pada kasus trauma kepala
untuk menentukan adanya kelainan intracranial terutama pada cedera kepala
berat.
Beberapa indikasi perlunya tindakan pemeriksaan CT – Scan pada
kasus trauma adalah :
a. Menurut New Orland :
* Sakit kepala.
* Muntah.
* Umur > 60 tahun.
* Adanya intoksikasi alkohol.
* Amnesia retrograde.
* Kejang.
* Adanya cedera di area clavicula ke superior.
b. Menurut The Cranadian CT Head :
* GCS ( Glasgow Coma Score ) < 15 setelah 2 jam kejadian.
* Adanya dugaan open / depressed fracture.
* Muntah – muntah ( > 2 kali ).
* Umur > 65 tahun.
* Bukti fisik adanya fraktur di basal skull.
14
Pada saat ini CT -Scan telah menjadi modalitas utama dalam
menunjang diagnosa trauma kepala terutama pada kasus cyto yang
sebelumnya sulit terdeteksi pada foto Foto Town atau Occipitomental ( plain
foto skull ). Pada kasus trauma kepala pada umumnya pasiennya merupakan
pasien yang “ tidak sadar “ atau tidak kooperatif, dengan kondisi yang
demikian sulit untuk mendapatkan posisi scanning ideal yang kita inginkan,
sedangkan bila dilakukan tindakan anestesi sering dihadapkan pada resiko
yang harus dihadapi.
Dengan demikian Radiografer dipaksa untuk melakukan berbagai cara
untuk mengatasinya dalam melakukan pemeriksaan Tomografi Komputer
mulai dari persiapan pasien, prosedur, posisi, protokol, post prosessing dan
pencetakan film.
Prosedur pemeriksaan CT SCAN Kepala pada trauma kepala :
Pada pemeriksaan CT Scan kepala tidak ada persiapan khusus. Hal-hal yang
harus diperhatikan oleh radiographer adalah :
* Pastikan di ruangan ada emergency kit.
* Identitas pasien secara lengkap.
* Universal precaution ( minimal unsteril glove pada saat memindahkan
dan mengatur posisi pasien pada kasus trauma dengan luka terbuka ).
* Pastikan tidak ada benda-benda yang menyebabkan artefact pada gambar.
* Jangan pernah melepas alat fiksasi leher collar bila telah terpasang.
* Bila pasien anak-anak sebaiknya ada anggota keluarga yang
mendampingi dengan memperhatikan proteksi radiasi ( Berikan apron ).
* Lakukan fiksasi kepala pasien dan organ lainnya secara maximal.
Gambaran CT Scan Kepala
Tanda-tanda vital yang diperhatikan oleh radiografer dalam post prosessing
adalah :
15
- Focal hyper / hypodens.
Ukurlah area tersebut dengan automatic volume dapat dihitung secara
kasar dengan mengukur “Panjang x Lebar x tebal ( slice awal – akhir
tampaknya lesi ) dibagi 2”
- Mid line shift, tanda adanya mass effect. ( Bila dijumpai ukurlah dengan
membuat garis membagi 2 hemispher cerebrum dan garis shift pada
ujung anterior septum pellucidum). Atur WW dan WL (Bone : W = +
1500 , L = + 200 , Brain : W = + 80, L = + 35, Subdural / intermediate :
W = + 200, L = + 50 ).
- Udara di calvarium ( menunjukkan kemungkinan adanya fraktur ).
- Oedem ( batas sulci / gyri cortical tidak jelas ). Pergerakan pada pasien
( bila diperlukan sebaiknya harus di scan ulang pada slice tertentu ).
Print dengan scout / refrensi image ( 15 – 20 ) dalam 1 lembar, sebaiknya
disertakan dengan kondisi tulang terutama bila jelas –jelas ada fraktur.
Cara membaca Tomografi Komputer :
1. Midline shift (ada/tidak ada? Membaca pada potongan axial yang berisi
ventrikellateral dan ventrikel III. Bila ada berapa mm? bila lebih dari
5 mm indikasi operasi)
2. Sulcus gyrus (mengabur/tidak?)
3. Sisterna Ambiens (mengabur/tidak?)
4. Sistem ventrikel (apakah ada penyempitan / pergeseran)
5. Massa hiperdens / hipodens (bila ada pada region mana? Berapa cc? cari
potonganaxial yang massa hiperdens paling besar, panjang x lebar bagi 2
kalikan dengan jumlah slice yang ada massa)
6. Bone defect (ada/tidak ada? Fraktur linear/depressed, diastase,
kommunitif)
7. Soft Tissue edema/subgaleal hematom (ada/tidak? Pada regio mana?)
16
17
18
Hematomepidural :
Hematomepidural dapat disertai dengan fraktur tulang tengkorak atau tanpa
fraktur. Robekan arteri meningen media atau cabangnya memberikan gambaran
perdarahan epidural. Pada CT tampak area hipertensi berbatas tegas, bentuk
bikonveks melekat pada tabulainterna dan mendesak ventrikel ke sisi
kontralateral. Lokalisasi yang paling sering dikenai adalah daerah temporal,
frontal atau fossa posterior.
19
Gambar 2.1 area hiperdens berbentuk bikonveks, berbatas tegas
didaerahparietalis kanan, melekat pada tabulainterna
Hematomsubdural
Hematomsubdural disebabkan robekan vena – vena di daerah korteks serebri.
Lokalisasi trauma didaerahfrontoparietotemporal. Pada CT tampak area hiperdens
tipis, merata berbentuk semilunar atau bulan sabit Siantar tabula dan parenkim
otak
Bila hematomsubdural akut ini berjalan beberapa Minggu, maka akan timbul
hematomsubdural kronik, dimana terdapat cairan xantokrom yang dibatasi
membran jaringan fibrous pada bagian medial. Pada Tomografi Komputer tampak
daerah hipodens,isodens, atau sedikit hipedens berbentukbikonveks, berbatas
tegas melekat pada tabula.
20
Gambar 2.2 Noncontrastaxial CT : area hiperdens pada daerah frontoparietalis
kiri dengan midlineshift.
Hemoragiintraparenkim
Perdarahan pada hemoragiintraparenkim disebabkan oleh efek trauma terhadap
pembuluh darah, timbul hematomintraparenkim sesudah ½ - 6 jam trauma.
Hematom ini bisa timbul pada daerah kontralateral (countrecoup). Pada CT- Scan
sesudah beberapa jam akan tampak daerah hematom (hiperdens), tepi tidak
merata.
21
Gambar 3.3 area hiperdens dengan perifokaledema di daerah frontopaerietalis kanan; di dalam parenkim otak
Cedera otak difus
cedera otak difus merupakan trauma yang sering disebabkan oleh akselerasi/deselerasi atau trauma rotasional dan merupakan penyebab koma persisten vegetatif pada pasien.Trauma ini merupakan penyebab yang signifikan dalam menyebabkan kematian dalam trauma kepala, yang sering disebabkan oleh kecelakaan sepeda motor dengan kecepatan tinggi.cedera otak yang difus biasanya terdiri dari beberapa lesi fokal pada area substansi ala yang berukuran 1 – 15 cm dengan distribusinya bervariasi.1
Wangetal. menyarankan kriteria CT Scan dengan ditemukannya satu atau lebih perdarahan intraparenkim yang kecil dengan diameter kurang dari 2 cm dan lokasinya di hemisfer serebral, perdarahan di intraventrikular, perdarahan di korpus kalossum, perdarahan kecil yang fokal kurang dari dengan diameter 2 cm dan berbatasan dengan ventrikel ketiga, dan perdarahan batang otak.1
22
Gambar 3.4 perdarahan ptekiae yang kecil yang terletak di antara substansi nigra dan substansi alba
2.8. MRI
Magnetic Resonancy Imaging ( MRI ) suatu alat kedokteran di bidang
pemeriksaan diagnostik radiologi , yang menghasilkan rekaman gambar
potongan penampang tubuh / organ manusia dengan menggunakan medan
magnet berkekuatan antara 0,064 – 1,5 tesla (1 tesla = 1000 Gauss) dan
resonansi getaran terhadap inti atom hidrogen. Beberapa faktor kelebihan
yang dimilikinya, terutama kemampuannya membuat potongan koronal,
sagital, aksial dan oblik tanpa banyak memanipulasi posisi tubuh pasien
sehingga sangat sesuai untuk diagnostik jaringan lunak. Teknik
penggambaran MRI relatif komplek karena gambaran yang dihasilkan
tergantung pada banyak parameter. Bila pemilihan parameter tersebut
tepat, kualitas gambar MRI dapat memberikan gambaran detail tubuh
manusia dengan perbedaan yang kontras, sehingga anatomi dan patologi
jaringan tubuh dapat dievaluasi secara teliti. Untuk menghasilkan gambaran
23
MRI dengan kualitas yang optimal sebagai alat diagnostik, maka harus
memperhitungkan hal-hal yang berkaitan dengan teknik penggambaran
MRI, antara lain : a. Persiapan pasien serta teknik pemeriksaan pasien yang
baik, ; b. Kontras yang sesuai dengan tujuan pemeriksaannya ; c. Artefak
pada gambar, dan cara mengatasinya ; d. Tindakan penyelamatan terhadap
keadaan darurat.1
Pemeriksaan MRI bertujuan mengetahui karakteristik morfologik
(lokasi, ukuran, bentuk, perluasan dan lainnya dari keadaan patologis.
Tujuan tersebut dapat diperoleh dengan menilai salah satu atau kombinasi
gambar penampang tubuh aksial, sagital, koronal atau oblik tergantung pada
letak organ dan kemungkinan patologinya. Adapun jenis pemeriksaan MRI
sesuai dengan organ yang akan dilihat, misalnya :
1. Pemeriksaan kepala untuk melihat kelainan pada : kelenjar pituitary,
lubang telinga dalam , rongga mata , sinus ;
2. Pemeriksaan otak untuk mendeteksi : stroke / infark, gambaran fungsi
5. Jeffrey R. Wasserman, 2014. Diffuseaxonalinjuryimaging. DO DiagnosticRadiologist, Manatee Memorial HospitalandLakewoodRanchMediccal Center. Availablefrom : http://emedicine.medscape.com/article/339912-overview#a3 (accessed 07 Juli 2015)