Top Banner
KESESUAIAN SYARIAH (SYARIAH COMPLIANCE) DALAM PEMBIAYAAN MUSYARAKAH DAN MUDHARABAH PADA PERBANKAN SYARIAH DI INDONESIA Disertasi Oleh: Irpan Jamil NIM : 31161200100082 Pembimbing: Prof. Dr. H. Fathurrahman Djamil, M.A Prof. Dr. Muhammad bin Said Dosen Pengampu : Dosen Pengampu KONSENTRAS HUKUM EKONOMI SYARIAH SEKOLAH PASCASARJANA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA. 2020 M/ 1441 H
241

IRPAN JAMIL - SPs.pdf - Repository UIN Syarif Hidayatullah ...

Mar 01, 2023

Download

Documents

Khang Minh
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: IRPAN JAMIL - SPs.pdf - Repository UIN Syarif Hidayatullah ...

KESESUAIAN SYARIAH (SYARIAH COMPLIANCE) DALAM

PEMBIAYAAN MUSYARAKAH DAN MUDHARABAH

PADA PERBANKAN SYARIAH DI INDONESIA

Disertasi

Oleh:

Irpan Jamil

NIM : 31161200100082

Pembimbing:

Prof. Dr. H. Fathurrahman Djamil, M.A

Prof. Dr. Muhammad bin Said

Dosen Pengampu :

Dosen Pengampu

KONSENTRAS HUKUM EKONOMI SYARIAH

SEKOLAH PASCASARJANA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA.

2020 M/ 1441 H

Page 2: IRPAN JAMIL - SPs.pdf - Repository UIN Syarif Hidayatullah ...

ii

KATA PENGANTAR

Peneliti panjatkan segala puji dan syukur bagi Allah Swt tuhan semesta alam,

shalawat serta salam semoga tercurah kepada nabi besar Muhammad Saw,

Alhamdulillah berkat kehendak dan kemurahan-Nya, peneliti akhirnya dapat

menyelesaikan Disertasi yang berjudul Kesesuaian Syariah (syariah compliance)

dalam pembiayaan Musyarakah dan Mudharabah Pada Perbankan Syariah Di

Indonesia.

Dalam penyusunan disertasi ini, peneliti mencoba untuk mendeskripsikan

secara utuh tentang penelitian ini, oleh karena itu peneliti mengucapkan terimakasih

kepada banyak pihak baik dari kalangan akademisi, praktisi perbankan syariah, dan

pihak-pihak lainnya yang telah memberikan informasi, bahan, dan data dalam

penelitian ini.

Banyak pihak yang sudah terlibat dalam penelitian ini, oleh karena itu saya

mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya dan semoga Allah Swt

memberikan balasan yang setimpal, adapun mereka yang terlibat dalam penelitian

ini adalah:

1. Prof Dr. Phil Asep Saepudin Jahar, MA selaku Direktur Sekolah Pascasarjana

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, yang telah memberikan kesempatan kepada

peneliti sehingga disertasi ini bisa diujikan di ujian pendahuluan

2. Prof. Dr. H. Fathurrahman Djamil, MA selaku Pembimbing 1 yang telah

banyak meluangkan waktu untuk membantu, memberi saran, kritik, dan

masukan sehingga disertasi ini dapat diujikan di ujian promosi.

3. Prof. Dr. Muhammad Bin Said selaku pembimbing II yang sudah memberi

masukan, saran, dan kritik yang konstruktif terhadap Disertasi ini sehingga

dapat diujikan.

4. Prof. Dr. Euis Amalia, MAg yang sudah banyak memberikan masukan, saran

dan kritik yang luar biasa sehingga dapat diujikan

5. Prof.Dr. M.Nur Rianto Al-Arif. M.Si yang memberikan masukan sehingga

disertasi ini dapat diujikan

6. Dr. Arif Mufraini, Lc.M.Si yang memberikan saran dan masukan hingga

disertasi ini dapat diujikan.

7. Dr. Hamka Hasan, Lc.,MA selaku wakil direktur Sekolah Pascasarjana UIN

Syarif Hidayatullah Jakarta.

8. Prof. Dr. Didin Saefudin, MA. dan Dr, Asmawi, MA selaku ketua program

studi dan sekretaris Prodi S3 Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah

Jakarta.

9. Seluruh Dosen dan para pegawai yang ada dilingkungan sekolah Pascasarjana

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang selalu membantu saya dalam

menyelesaikan pendidikan pada jenjang ini. Semoga Allah Swt memberi

balasan yang berlipat.

10. Gubernur Jawa Barat yang sudah memberikan bantuan beasiswa pendidikan

kepada peneliti pada tahun 2017.

11. Hj. Alvi Muhibbah, S.Ag istri tercinta yang selalu memberikan dukungan,

menemani dengan penuh kesabaran dan rela waktunya terbagi, tidak lupa anak-

Page 3: IRPAN JAMIL - SPs.pdf - Repository UIN Syarif Hidayatullah ...

iii

anakku, Selmy Malica Auranisa dan Shaina Idelia Raisya, yang selalu penuh

pengertian dan kesabaran, semoga kesuksesan menyertai kalian.

12. Rektor, Dekan, dan Pimpinan di Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam Universitas

Suryakancana yang sudah memberikan waktu dan kesempatan kepada peneliti

untuk dapat melanjutkan studi S3 di SPs UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Demikian ucapan yang dapat saya sampaikan, terimakasih yang tak

terhingga atas semua kebaikan, doa dan semangat yang diberikan dalam

membantu penyelesaian studi doktoral ini. Semoga apa yang diberikan kepada

peneliti baik moril maupun materil dibalas dengan pahala yang berlipat ganda.

Aamiin

Cianjur, 21 Juni 2021

Page 4: IRPAN JAMIL - SPs.pdf - Repository UIN Syarif Hidayatullah ...

v

Page 5: IRPAN JAMIL - SPs.pdf - Repository UIN Syarif Hidayatullah ...

ix

ABSTRAK

Isu utama dalam penelitian ini adalah kesesuaian syariah yang dianggap

penting khususnya pada perbankan syariah di Indonesia terutama pada aspek

pembiayaan musyarakah dan mudharabah. Pembiayaan musyarakah dan mudharabah

menjadi pilihan sebagian nasabah pengguna lembaga – keuangan syariah (perbankan

syariah) dalam transaksi yang digunakan, namun dalam perkembangannya banyak

ditemukan dinamika permasalahan terutama dalam hal kesesuaian dan kepatuhan

syariah.

Metode yang digunakan dalam penelitian disertasi ini adalah penelitian jenis

kualitatif, dimana data yang dianalisis bersifat kualitatif seperti konsep syariah

compliance ,prinsip-prisip kesesuain syariah,, audit kepatuhan, standar produk dan

lain-lain. Sumber primer penelitiannya berasal dari data primer hasil pengamatan

dan wawancara terkait dengan penggunaan syariah compliance, kesesuaian syariah

pada perbankan syariah di Indonesia. Sedangkan data sekunder berasal dari kitab,

buku, jurnal internasional, peraturan perundangan tentang perbankan syariah.

Peraturan BI, peraturan OJK, Fatwa DSN MUI, opini DPS dan sumber-sumber

penting lainnya. Penelitian ini menggunakan pendekatan studi hukum Islam, lebih

spesifiknya lagi studi hukum ekonomi Islam, dan implementasinya terkait dengan

praktik pembiayaan musyarakah dan mudharabah. pendekatan ini dianggap sangat

penting karena memperkuat narasi dan argumentasi yang dibangun dalam struktur

penelitian ini.

Temuan dalam penelitian ini membuktikan bahwa syariah compliance jika

dilaksanakan dengan baik salah satunya akan memberikan trust atau kepercayaan

publik terhadap penggunaan lembaga keuangan syariah khususnya lagi perbankan

syariah.

Penelitian ini sejalan dengan penelitian dari Surianom Miskam, dalam

penelitian ini, ditemukan bahwa kepatuhan terhadap syariah adalah pondasi yang

sangat penting untuk meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap bank syariah,

dan aturan hukum yang dibuat harus memperkuat bahwa tujuan, operasional, usaha

dan kegiatan yang dilaksanakan lembaga keuangan syariah harus sesuai dengan

ketentuan syariah. Penelitian lain yang sependapat dengan penelitian ini adalah

Habib Ahmed yang berpendapat bahwa esensi lembaga keuangan Islam yang baik

yaitu produk dan operasinya harus tunduk dan patuh terhadap prinsip-prinsip

syariah. Penelitian ini tidak sependapat dengan penelitian Rahman dan IRTI bahwa

syariah compliance dalam praktiknya belum dilaksanakan secara kaffah di lembaga-

lembaga keuangan syariah.

Kata Kunci : Musyarakah, Mudharabah, Kesesuaian syariah, Syariah

compliance

Page 6: IRPAN JAMIL - SPs.pdf - Repository UIN Syarif Hidayatullah ...

x

ABSTRACT

The main issue in this study is the conformity of sharia which is considered

important, especially in Islamic banking in Indonesia, especially in the aspect of

musyarakah and mudharabah financing. Musyarakah and mudharabah financing

are the choice of some customers using Islamic financial institutions (Islamic

banking) in the transactions used, but in their development there are many dynamics

of problems, especially in terms of compliance and sharia compliance.

The method used in this dissertation research is a qualitative type of

research, where the data analyzed is qualitative in nature such as the concept of

sharia compliance, sharia principles of compliance, compliance audits, product

standards and others. The primary source of the research comes from primary data

from observations and interviews related to the use of sharia compliance, sharia

compliance in sharia banking in Indonesia. while secondary data comes from books,

books, international journals, laws and regulations on Islamic banking. BI

regulations, OJK regulations, MUI DSN Fatwa, DPS opinions and other important

sources.

This study uses an approach to the study of Islamic law, more specifically

the study of Islamic economic law, and its implementation is related to the practice

of musharakah and mudharabah financing. This approach is considered very

important because it strengthens the narratives and arguments built into the

structurethis research.The findings in this study prove that if sharia compliance is

implemented properly, one of them will provide trust or public confidence in the use

of Islamic financial institutions, especially Islamic banking.

This research is in line with the research of Surianom Miskam, in this study,

it was found that compliance with sharia is a very important foundation to increase

public trust in Islamic banks, and the rule of law that is made must strengthen that

goaloperations, businesses and activities carried out by Islamic financial institutions

must comply with sharia provisions. Another researcher who agrees with this

research is Habib Ahmed who argues that the essence of a good Islamic financial

institution is that its products and operations must be subject to and comply with

sharia principles. This study does not agree with Rahman and IRTI's research that

sharia compliance in practice has not been implemented kaffah in Islamic financial

institutions.

Keywords: Musyarakah, Mudharabah, Sharia compliance.

Page 7: IRPAN JAMIL - SPs.pdf - Repository UIN Syarif Hidayatullah ...

xi

الملخص

، إندونيسيا يف اإلسالمية الصريفة يف سيما ال ، مهمة تعترب اليت اإلسالمية الشريعة مع التوافق ىي الدراسة ىذه يف الرئيسية القضية يستخدمون الذين العمالء بعض اختيار من وادلضاربة ادلسياراكة دتويل يعترب .وادلضاربة ادلسرية دتويل جوانب من جانب يف وخاصة

لعديدا ىناك تطورىا يف ولكن ، ادلستخدمة ادلعامالت يف (اإلسالمية الصريفة) اإلسالمية ادلالية ادلؤسسات ال ، ادلشاكل ديناميات من .اإلسالمية الشريعة ألحكام واالمتثال باالمتثال يتعلق فيما سيما

مفهوم مثل نوعية طبيعة ذات حتليلها مت اليت البيانات تكون حيث ، البحث من نوعيا نوعا األطروحة حبث يف ادلستخدمة الطريقة تعتربسالميةاإل الشريعة ومبادئ ، الشريعة مع التوافق البيانات من للبحث الرئيسي ادلصدر يأيت .وغريىا ادلنتج ومعايري ، االمتثال ومراجعة ، يف اإلسالمية ادلصرفية اخلدمات يف الشريعة ألحكام واالمتثال ، للشريعة االمتثال باستخدام ادلتعلقة وادلقابالت ادلالحظات من األولية

، BI لوائح .اإلسالمية بالصريفة اخلاصة واللوائح والقوانني الدولية واجملالت والكتب الكتب من الثانوية البيانات تأيت بينما .إندونيسيا الشريعة لدراسة مقاربة الدراسة ىذه تستخدم .أخرى مهمة ومصادر DPS وآراء ، MUI DSN وفتوى ، OJK ولوائح

جدا مهما النهج ىذا يعترب .وادلضاربة ادلشاركة دتويل مبمارسة تنفيذىا ويتعلق ، اإلسالمي االقتصادي القانون دراسة وحتديدا اإلسالمية صحيح بشكل للشريعة االمتثال تطبيق مت إذا أنو الدراسة ىذه يف النتائج تثبت.البحث اذليكلهذا يف ادلضمنة واحلجج الروايات يقوي ألنو

إلسالميةا ادلالية ادلؤسسات استخدام يف اجلمهور ثقة أو الثقة سيوفر إحداىا فإن ، .اإلسالمية ادلصرفية اخلدمات وخاصة ،

لزيادة للغاية مهم أساس ىو للشريعة االمتثال أن وجد ، الدراسة ىذه يف ، Surianom Miskam حبث مع البحث ىذا يتماشى هبا تقوم اليت واألنشطة واألعمال العمليات تتوافق أن اذلدفيجب ىذا القانون سيادة تعزز أن وجيب ، اإلسالمية البنوك يف اجلمهور ثقة

جوىر أن يرى الذي أمحد حبيب ىو البحث ىذا مع يتفق آخر باحث .اإلسالمية الشريعة أحكام مع اإلسالمية ادلالية ادلؤسسات مع الدراسة ىذه تتفق ال .معها وتتوافق اإلسالمية الشريعة دلبادئ ختضع أن جيب وعملياهتا منتجاهتا أن ىو جيدة إسالمية مالية مؤسسة

ادلالية ادلؤسسات يف الكفاح تطبيق يتم مل ادلمارسة يف الشريعة مع التوافق بأن والتدريب للبحوث اإلسالمي وادلعهد الرمحن حبث .اإلسالمية

الشرعي االمتثال ، ادلضاربة ، ادلسريقة :ادلفتاحية الكلمات

Page 8: IRPAN JAMIL - SPs.pdf - Repository UIN Syarif Hidayatullah ...

xii

PEDOMAN TRASLITERASI ARAB LATIN

Pedoman transilterasi Arab-Latin yang digunakan dalam karya ilmiah ini

adalah sebagai berikut:

A. Konsonan

B = ب z = ز f = ف

T = ت s = س q = ق

Th = ث sy = ش k = ك

J = ج ṣ = ص l = ل

ḥ = ح ḍ = ض m = م Kh = خ ṭ = ط n = ن

D = د ẓ = ظ w = و Dh = ع = ‗ ذ h = ه

R = ر gh = غ y = ي

B. Vokal

1. Vokal Tunggal

Tanda Nama Huruf Latin Nama

Fathah A A

Kasrah I I

Dammah U U

2. Vokal Rangkap

Tanda Nama Gabungan Huruf Nama

..ي . Fathah dan ya Ai a dan i

..و . Fathah dan wau Au a dan u

Contoh:

Page 9: IRPAN JAMIL - SPs.pdf - Repository UIN Syarif Hidayatullah ...

xiii

Haul حول Husein : حسين

C. Maddah

Tanda Nama Huruf Latin Nama

Fathah dan alif ā a dan garis di atas ى ا

Kasrah dan ya ī i dan garis di atas ى ى

Dammah dan wau ū u dan garis di atas ى و

D. Ta’Marbūtah (ة)

Transliterasi ta‘ marbūtah ditulis dengan ―h‖ baik dirangkai dengan kata

sesudahnya maupun tidak contoh mar‘ah (مرأة) madrasah (مدرسة)

Contoh:

ورة al-Madinat al-Munawwarah =المدنةالمن

E. Saddah

Shaddah tashdid pada transliterasi ini dilambangkan dengan huruf, yaitu

huruf yang sama dengan huruf yang bershaddah itu.

Contoh:

Nazzala :ن زل

F. Kata Sambung

Kata sandang ―ال‖ dilambangkan berdasarkan huruf yang mengikutinya, jika

diikuti huruf shamsiyah maka ditulis sesuai huruf yang bersangkutan, dan ditulis

―al‖ jika diikuti denga huruf qamariyah . Selanjutnya ―ال‖ditulis lengkap baik

menghadapi al-Qamariyah, contoh kata al-Qamar (القمر) maupun al-Syamsiyah

seperti kata al-Rajulu (الرجل)

Contoh:

al-Qalam :القلم al-Shams :الشمس

Page 10: IRPAN JAMIL - SPs.pdf - Repository UIN Syarif Hidayatullah ...

xiv

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ........................................................................................ . i

KATA PENGANTAR ...................................................................................... . ii

SURAT PERNYATAAN PLAGIARISME .................................................... . iv

LEMBAR PENGECEKAN PLAGIARISME ................................................ . v

LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING ................................................. . vi

LEMBAR PERSETUJUAN HASIL UJIAN PENDAHULUAN ................... . viii

ABSTRAK ........................................................................................................ . ix

PEDOMAN TRASLITERASI ......................................................................... . xii

DAFTAR ISI ..................................................................................................... . xiv

DAFTAR TABEL ............................................................................................. . xvi

DAFTAR GAMBAR ....................................................................................... . xvi

BAB I

PENDAHULUAN ............................................................................................... 1

A. Latar Belakang Masalah .......................................................................... 1

B. Permasalahan ........................................................................................... 14

1. Identifikasi Masalah ......................................................................... 14

2. Perumusan Masalah ......................................................................... 15

3. Pembatasan Masalah ........................................................................ 15

C. Tujuan Penelitian ..................................................................................... 15

D. Signifikansi dan Manfaat Penelitian ........................................................ 15

E. Penelitian terdahulu yang relevan ........................................................... 16

F. Metode Penelitian .................................................................................... 20

G. Sistematika Penulisan .............................................................................. 21

BAB II

LANDASAN PILOSOFIS DAN HUKUM AKAD MUSYARAKAH DANA

MUDHARABAH

A. .Bagi hasil dalam Islam ............................................................................ 23

1. Musyarakah (Joint venture profit and lost sharing) ........................... 28

2. Mudharabah ( Trustee Profit Sharing) ............................................... 29

B. Praktik Bunga di Perbankan. ..................................................................... 30

C. Pembiayaan Musyarakah dan Mudharabah Perspektif Fiqh Muamalah .. 33

D. Musyarakah dan Mudharabah dalam Kompilasi Hukum Ekonomi

Syariah ...................................................................................................... 57

E. Fatwa Tentang Musyarakah dan Mudharabah oleh DSN-MUI ............... 63

Page 11: IRPAN JAMIL - SPs.pdf - Repository UIN Syarif Hidayatullah ...

xv

BAB III

KONSEP DAN PERKEMBANGAN AKAD MUSYARAKAH DAN

MUDHARABAH

A. Sejarah Perbankan Syariah di Indonesia .................................................. 79

B. Konsep dan Perkembangan Akad Musyarakah ....................................... 83

C. Konsep dan Perkembangan Akad Mudharabah ...................................... 96

BAB IV

APLIKASI PENGGUNAAN AKAD-AKAD MUSYARAKAH DAN

MUDHARABAH PADA PERBANKAN SYARIAH SYARIAH DI

INDONESIA

A. Aplikasi Penggunaan Akad-akad Musyarakah...................................... ... 113

B. Akad Mudharabah di Lembaga Keuangan Syariah................................. 115

C. Jenis-Jenis Mudharabah Pada Lembaga Keuangan Syariah .................... 117

D. Standar Produk Mudharabah Pada Perbankan Syariah di Indonesia ....... 127

E. Standar Produk Musyarakah Pada Perbankan Syariah di Indonesia ........ 134

F. Analisis Kesesuaian Syariah dalam Pembiayaan Musyarakah

dan Mudharabah Pada Perbankan Syariah .............................................. 150

BAB V

IMPLEMENTASI PENERAPAN SYARIAH COMPLIANCE PADA

PERBANKAN SYARIAH DI INDONESIA

A. Penerapan Syariah Compliance Pada Perbankan Syariah di Indonesia ... 157

1. Syariah Compliance (Kepatuhan Syariah) ........................................ 157

2. Ketentuan Syariah Compliance ......................................................... 165

3. Pengawasan Kepatuhan Bank Syariah .............................................. 165

B. Analisis Penerapan Syariah Compliance Pada Perbankan Syariah di

Indonesia............................................................................................. ...... 166

1. Fungsi Syariah Compliance Pada Lembaga Keuangan Syariah ........ 166

2. Diskursus tentang Kepatuhan Syariah. .............................................. 180

3. Landasan Yuridis Kepatuhan Syariah ............................................... 180

4. Perkembangan Syariah Compliance pada Bank Syariah di Luar

Negeri ............................................................................................... 181

5. Perkembangan Syariah Compliance Pada Bank Syariah di

Indonesia ........................................................................................... 182

6. Dimensi Syariah Compliance dalam Maqashid Syariah .................. 189

BAB VI.

PENUTUP

A. KESIMPULAN......................................................................................... 209

B. REKOMENDASI......................................................................................210

Daftar Pustaka......................................................................................................211

Page 12: IRPAN JAMIL - SPs.pdf - Repository UIN Syarif Hidayatullah ...

xvi

DAFTAR TABEL

Tabel 1.1 Data Perbankan Syariah di Indonesia Tahun 2017-2021 .......... 3

Tabel 1.2 Total Pembiayaan Bagi Hasil Profit Sharing Financing

pada Perbankan Syariah di Indonesia ..................................... 12

Tabel 2.1 Perbandingan Sistem Bunga dan Bagi Hasil ............................. 32

Tabel 4.1 Nisbah Investasi Mudharabah .................................................. 125

Tabel 4.2 Landasan Hukum ...................................................................... 129

Tabel 4.3 Definisi Istilah .......................................................................... 130

Tabel 4.4 Fitur Produk ........................................................................... . 132

Tabel 1.5 Persyaratan syariah praktik operasional produk

musyarakah...................................................................... 135

Tabel 4.6 Kualifikasi calon profil nasabah...................................... . 136

Tabel 4.7 Jenis Aktiva..................................................................... . 144

Tabel 4.8 Syarat Pengajuan .............................................................. 148

Tabel 4.9 Matrik Kesesuaian Syariah ............................................... 151

Tabel 5.1 Pembiayaan Musyarakah dan Mudharabah di Bank

BJBS ............................................................................... 172

Tabel 5.2 Pembiayaan Musyarakah dan Mudharabah di Bank

Muamalat ........................................................................ 178

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Mudharabah- Musyarakah .................................................... 54

Gambar 2.2 Gambar Produk Mudharabah pada Kegiatan Financing ........ 57

Gambar 2.3 Metode Istinbath Hukum Fatwa DSN-MUI.. ......................... 67

Gambar 3.1 Skema Pembiayaan Musyarakah ........................................... 94

Gambar 3.2 Skema Implementasi pembiayaan syirkah...... ....................... 95

Gambar 3.3 Skema Pembiayaan Mudharabah.................... ....................... 108

Gambar 3.4 Skema implementasi akad Mudharabah Muqayyadah .......... 110

Gambar 4.1 Skema Akad al-Mudharabah ................................................. 116

Gambar 4.2 Skema tabungan Mudharabah .............................................. 119

Gambar 4.3 Skema Deposito Mudharabah ............................................. 121

Gambar 5.1 Maqashid Ammah ................................................................ 205

Page 13: IRPAN JAMIL - SPs.pdf - Repository UIN Syarif Hidayatullah ...

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Seiring perkembangan peradaban manusia, semakin banyak nilai-nilai dalam

ajaran Islam yang masuk mewarnai berbagai segi kehidupan, termasuk di dalam

praktik perbankan. Ajaran islam mengandung nilai-nilai yang komprehensif dan

universal. Komprehensif diartikan bahwa ajaran Islam merangkum seluruh aspek

kehidupan, baik ritual maupun sosial kemasyarakatan yang bersifat universal.

Universal diartikan bahwa syariah (hukum Islam) dapat diterapkan di mana saja dan

kapan saja1. Universal juga berarti Islam sebagai agama yang kokoh dan

menyampaikan pada nilai-nilai kebenaran, keadilan, kebaikan dan persamaan antara

seluruh manusia, tanpa melihat warna kulit dan jenis, tidak mempercayai

keunggulan unsur (bangsawan) atau ketinggian jenis ras manusia dari yang lain.

Risalahnya merupakan rahmat bagi seluruh alam2. Sifat hukum Islam yang

Universal tersebut merupakan penerapan prinsip Islam sebagai rahmatan lil alamin'.

Segala persoalan hidup terjawab melalui ajaran Islam yang terkristal dalam

kedua sumber hukumnya melalui sumber hukum Islam yaitu al-quran (wahyu Allah

yang disampaikan kepada Nabi Muhammad Shalallahu Alaihi Wassalam) dan Hadis

(praktik dan petunjuk rasulullah berupa perkataan, perbuatan dan persetujuan).

alquran dan hadits merupakan sumber dari segala sumber hukum yang lengkap yang

memuat berbagai kaidah dan norma serta nilai-nilai hukum yang akan menjawab

seluruh persoalan hidup seluruh manusia. Dari kedua sumber hukum inilah umat

Islam menggali norma dan nilai-nilai hukum, serta kepada keduanya pula umat

Islam merujukkan pemecahan semua dan setiap masalan yang pemecahan/

penyelesaiannya memerlukan campur tangan hukum3.

Pengimplementasian segala norma yang dimuat dalam kedua sumber hukum

Islam tersebut berkembang melalui ijtihad-ijtihad para ahli fiqh sebagai jembatan

untuk mempermudah pemahaman dan pengimplementasian hukum Allah sesuai

dengan masanya. Jika terjadi permasalahan dalam kehidupan manusia, upaya

pencarian hukum oleh Jumhur ulama disepakati secara berurutan terhadap empat

sumber hukum 1slam dengan urutan (1) Alquran, (2) Hadits, (3) Ijma' dan terakhir

(4) Qiyas4.

Dapat disimpulkan bahwa sumber hukum dalam Islam meliputi sumber

hukum utama yaitu Alquran dan hadis, lalu penemuan hukum yang ditempuh

1 Trisadini P. Usanti dan Abd. Shomad, Hukum Perbankan,, (Surabaya : Universitas

Ailangga dan Luttansah Mediatama, 2015), h.5. 2 Raghib As-Sirjani, Sumbangan Peradaban Islam Pada Dunia, Cetakan pertama,

(Jakarta :,Pustaka al-Kautsar 2011), h.52-53, dalam judul asli Madza Qaddamal Muslimuna

lil‟Alam Islamaatu al-Muslimin fi al-Hadharah al-Insaniyah. 3 Muhammad Amin Suma, "Persinggungan Hukum Islam dengan Nilai-Nilat Hukum

Tidak Tertulis", Makalah, (Surabaya, Perpustakaan Unair, 2011), h. 35. 4 Abdul Wahab Khalaf, Ilmu Ushul Fiqh, diterjemahkan oleh Masdar Helimy,

(Bandung :Gema Risalah Pers 2003), h. 36.

Page 14: IRPAN JAMIL - SPs.pdf - Repository UIN Syarif Hidayatullah ...

2

dengan cara penemuan berdasar pada pendapat fuqaha (baik ijma (konsensus)

maupun qiyas (deduksi analogis)5.

Isu syariah sebagai jalan keluar dari berbagai krisis sebenarnya bukan sesuatu

hal yang baru bagi setiap manusia yang mau memahaminya. Namun tidak semua

yang beragama Islam menyadari dan memahami bahwa Islam telah memuat

berbagai solusi atas setiap persoalan hidup manusia. Sebagai Kalamullah yang

begitu lengkap, hrman Allah dalam surat Al-Kahfi (18): ayat 109 telah

menggambarkan betapa lengkap dan mendalamnya wanyu Allah dan aturan yang

dibuat oleh Allah, sebagaimana artinya: "Katakanlah (Ya Muhammad) kalau

sekiranya lautan menjadi tinta untuk menulis) kalimat-kalimat Tuhan-ku, sungguh

habislah lautan itu sebelum habis (ditulis) kalimat-kalimat Tuhan-ku, meskipun

kami datangkan tambahan (lautan) sebanyak itu (pula)6.

Penerapan hukum Islam dalam kegiatan muamalat bukan hanya dilaksanakan

oleh para pemeluk agama Islam saja, tetapi juga telah diterapkan dalam berbagai

aktivitas ekonomi baik oleh pelaku ekonomi Muslim maupun Non-Muslim, seperti

praktik perbankan.

Implementasi hukum Islam dalam praktik perbankan mulai mendapat

sambutan dan dukungan dari berbagai pihak dan sebagai upaya meningkatkan

perekonomian bangsa melalui lembaga perbankan dengan menerapkan prinsip

perbankan yang berbasis ekonomi syariah dalam pelaksanaannya. Hal tersebut

terlihat dari fakta yang menunjukkan pertumbuhan dan perkembangan lembaga

perbankan syariah mengalami kemajuan yang sangat pesat, baik di dunia

internasional maupun di lndonesia. Konsep perbankan dan keuangan lslam yang

memiliki prinsip-prinsip universal telah diakui mencerminkan nilai-nilai keadilan,

kejujuran dan transparansi serta tanggung jawab melalui sistem bagi hasilnya. Dua

pilar kembar yang diperjuangkan oleh perbankan Islam adalah pendanaan dengan

instrumen bagi hasil dan financing dengan menggunakan konsep mudharabah dan

musyarakah7.

Hubungan antara perbankan syariah dan krisis keuangan menjadi fokus utama

para peneliti dan pelaku industri di bidang keuangan setelah terjadinya krisis

keuangan global pada tahun 2008 lalu. Performa perbankan syariah yang lebih stabil

ketika dihadapkan pada guncangan di sektor keuangan menjadikan bank syariah

sebagai alternatitfyang lebih menarik dibandingkan perbankan konvensional. Salah

Satu argumen menjelaskan bahwa perbedaan dari tipe aset yang dimiliki oleh Bank

Syariah dan bank konvensional menjadi kunci dari resiliensi perbankan syariah pada

5 Mervyn K.Lewis & latita M. Al Gaoud, Perbankan Syariah, Prinsip Praktik dan

Konsep, (Jakarta : Serambi llmu Semesta,2009,) h. 34-36. 6 Alquran dan terjemahnya, Yayasan Penyelenggaraan Penterjemah / Pentatsir Al

Quran, cetakan Mujamma Khadim Al Haramain Asy Syarifain Al Malik Fahd Li Thiba‟at Al

Mush-haf asy Syarif, (Madinah, 1991) h. 459. 7 Chandra Setiawan, "Haruskah Sistem Keuangan dan Perbankan Islam Berintegrasi

dalam Sistem Keuangan dan Perbankan Global", Majalah Ekonomi Syariah, vol. 8, No 1

1430 H (tahun 2011), h.3.

Page 15: IRPAN JAMIL - SPs.pdf - Repository UIN Syarif Hidayatullah ...

3

saat krisis keuangan global8. Demikian juga dengan pertumbuhan Lembaga

Keuangan Syariah yang tumbuh dan berkembang dengan cepat di Indonesia,

sebagaimana dalam tabel sebagai berikut :

Tabel :1.1

DATA PERBANKAN SYARIAH DI INDONESIA

TAHUN 2017 s/d 2021 Januari BUS/Shariah

Commercial

2017 2018 2019 2020 2021

Total Asset (dalam

Milyar Rupiah)

2.88.027 316.691 350.364 397.073 395.476

Jumlah Bank 13 14 14 14 14

Jumlah Kantor 1825 1875 1919 2034 2035

UUS/Syariah

Business Unit Total

Asset

136.154 160.636 174.200 196.876 190.505

Jumlah Bank

konvensional yang

memiliki UUS

21 20 20 20 20

Jumlah kantor UUS 334 354 381 392 351

Total Aset BUS

UUS

424.181 477.327 524.564 593.948 586.041

Total Kantor BUS

& UUS

2169.301 2229 2300 2426 2386

BPRS 2017 2018 2019 2020 2021

Jumlah Bank 167 167 164 163 163

Jumlah Kantor 441 495 617 631 624

Sumber : Otoritas Jasa Keuangan, Statistik Perbankan Syariah, Januari 2021

Berbeda dengan perbankan konvensional, bank syariah mempunyai batasan

yang lebih ketat perihal tipe produk dan sasaran kegatan penyaluran dana kepada

8 IME Working l'aper, The Effects of the Global Crisis on Islamic and Conventional

Banking A Comparative Study, September 2014, h.6.

Page 16: IRPAN JAMIL - SPs.pdf - Repository UIN Syarif Hidayatullah ...

4

masyarakat9. Bank syariah tidak diperbolehkan untuk terlibat dalam investasi aset

derivatif (aset derivatif adalah sekuritas yang menyediakan hasil yang bergantung

pada atau bersyarat atas nilai aset lain semisal harga komoditas, harga obligasi dan

saham, atau nilai indeks pasar10

) karena produk-produk tersebut lebih sering

digunakan sebagai alat spekulasi, sehingga mengandung unsur maysir (judi), dan

gharar (transaksi yang tidak jelas). Hal ini menjadi salah satu faktor utama yang

membuat perbankan syariah lebih terlindung dari efek krisis keuangan global,

terutama karena penggunaan produk derivatit yang berlebihan menjadi salah satu

pemicu krisis keuangan global".

Konsep perbankan berbasis sistem perekonomian Islam yang awalnya hanya

merupakan diskusi teoritis, telah terealisasi dalam bentuk yang nyata dengan

semakin banyaknya berdiri bank-bank syariah baik di luar negeri maupun di

Indonesia". Gagasan awal pendirian bank Syariah di Indonesia muncul sekitar tahun

1970-an, dan kemudian terealisasi dengan didirikannya Bank Muamalat Indonesia

pada 1 November 1991 sebagai bank pertama di Indonesia yang beroperasi dengan

menggunakan prinsip-prinsip syariah"

Indonesia sebagai negara yang mayoritas pendudukanya adalah muslim,

sangat dapat dipahami jika kemudian formalisasi syariah muncul sebagai sarana

untuk memenuhi kebutuhan sebagian masyarakat lndonesta yang beragama Islam

untuk dapat menjalankan praktik muamalah sesuai dengan ajaran Islam diantaranya

adalah dalam bidang perbankan.

Salah satu perwujudannya adalah dengan diundangkannya peraturan

perundang-undangan yang khusus mengatur tentang perbankan syariah, yaitu

Undang-undang Nomor 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah (Lembaran

Negara Republik Indonesia tahun 2008 Nomor 94, Tambahan Lembaran Negara

Republik Indonesia Nomor 4867), selanjutnya disebut Undang-Undang Perbankan

Syariah.

Dikeluarkannya Undang-undang perbankan syariah tersebut, dinilai sebagai

salah satu aspek pendukung perkembangannya11

. Setelah sebelumnya melalui

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 (Lembaran Negara Republik Indonesia

9 Hal ini dapat dilihat dalam pembatasan kegiatan usaha bank syariah dan kewajiban

bank syariah untuk taat terhadap rambu-rambu yang dilarang dalam Islam sebagaimana

amanat Undang-undang Perbankan Syariah, antara lain:

1. dalam Pasal: 2, balhwa dalam meliakukan kegiatan usahanya wajib berasaskan

prinsip Syariah.

2. Pasal 24 ayat (1) : tentang larangan bagi Bank Umum Syariah untuk melskuksn

kegiatan usaha yang bertentangan dengan prinsip syrariah; -jual beli saham secara

langsung di pasar modal; -penyertaan modal selain yang diperbolehkan bagi bank

syariah; dan, melakukan usaha perasuransian.

3. Penjelasan Pasal 25 (a): Bahwa usaha yang dianggap bertentangan dengan pprinsip

syariah adalah usaha yang dianggap ngandung riba, maisir, gharar, haram dan

zalim. 10 Bodie, Markus, dan Kane, Manajemen Fortofolio dan Investasi, ( Jakarta,Salemba

Empat 2014), h. 4 11 Raddy N. Sasandra, " Perkembangan Perbankan Syariah Pasca Krisis 2008",

(Majalah Bank & Manajemen, edisi Juli-Agustus,) 2012, h. l3.

Page 17: IRPAN JAMIL - SPs.pdf - Repository UIN Syarif Hidayatullah ...

5

Tahun 1992 Nomor 3l, tambahan lembaran Negara Republik Indonesia Nomor

3472) tentang Perbankan sebagaimana telah diubah melalui Undang Undang Nomor

10 lahun 1998 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182,

Tambahan Lembaran Negar Republik Indonesia Nomor 3790), selanjutnya disingkat

UU Nomor 10/1998, telah diatur tentang peluang bagi penyelenggaraan kegiatan

usaha dan kesempatan bagi bank umum konvensional untuk membuka kantor

cabang yang melaksanakan operasional perbankan berdasar prinsip Syariah12

.

Perbankan Syariah di Indonesia, ditempatkan sebagai suatu lembaga

intermediasi yang berupaya mewujudkan kebutuhan masyarakat dalam peningkatan

perekonomian dan kebutuhan terhadap adanya suatu lembaga yang mampu

meminimalisir larangan Isam dalam bermuamalah.

Berangkat dari sistem dan managemen perbankan konvensional, perbankan

syariah mencoba mencari berbagai terobosan untuk mentransformasi model

pembiayaan konvensional menjadi model pembiayaan yang disesuaikan dengan

ajaran agama Islam. Sebagaimana dapat tergambar dalam latar belakang

dibentuknya perbankan syariah yang tersirat dalam konsideran Undang-undang

Perbankan Syariah, yaitu:

1. Untuk mewujudkan tujuan pembangunan nasional Indonesia, yaitu

terciptanya masyarakat adil dan makmur berdasarkan demokrasi ekonomi,

dikembangkan sistem ekonomi yang berlandaskan pada nilai keadilan,

kebersamaan, pemeratan, dan kemantaatan yang sesuai dengan prinsip

syariah;

2. Kebutuhan masyarakat Indonesia akan jasa-jasa perbankan Syariah semakin

meningkat;

3. Bahwa perbankan syariah memiliki kekhususan dibandingkan dengan

perbankan konvensional; serta

4. Bahwa pengaturan mengenai perbankan syariah di dalam Undang- Undang

Nomor 7 1ahun 1992 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992

Nomor 31, lambahan lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3472)

tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang

Nomor 10 lahun 1998 (Lembaran Negara Republik lIndonesia Tahun 1998

Nomor 182, lambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3790)

tentang Perbankan belum spesifik sehingga perlu diatur secara khusus dalam

suatu undang-undang tersendiri.

Membingkai syariah dalam sebuah sistem yang telah lebih dulu dijalankan

oleh perbankan konvensional bukanlah sesuatu yang mudah. Pelaksanaan

operasional maupun regulasi yang mewadahi hidupnya perbankan Syariah di tanah

air ini tidak lepas dari peran besar Bank Indonesia sebagai regulator. Dukungan

Pemerintah sangat dibutuhkan untuk mengotimalkan peran perbankan syariah.

12 Hal mana terlihat dalam definisi Bank yang termuat dalam Pasal 1 ayat (2) Undang-

Undang Perbankan Syariah, bahwa Bank adalah "badan usaha yang menghimpun dana dari

masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk

kredit dan/atau bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan tarap hidup rakyat‖, Bank

Syariah adalah Bank yang menjalankan kegiatan usahanya berdasarkan perinsip Syariah…

Page 18: IRPAN JAMIL - SPs.pdf - Repository UIN Syarif Hidayatullah ...

6

melihat dari keberhasilan perkembangan perbankan dengan sistem Islam di negara-

negara Eropa dan limur lengah, pertumbuhan dan majunya sistem Perbankan syariah

adalah salah satunya karena adanya intervensi Negara dalam membuat kebijakan"

Bank lndonesia sebagai suatu lembaga yang pada awalnya berangkat dart

model konvensional, tetap harus memfasilitasi perbankan syariah dengan

meregulasikan segala sesuatu terkait perbankan syariah dalam suatu aturan khusus.

Melalui aturan khusus ini diharapkan mampu menjadi batasan dan memberikan

ruang bagi pelaksanaan perbankan dalam koridor syariah dan dapat dilaksanakan

oleh seluruh lembaga keuangan, bank maupun non bank yang berbasis syariah untuk

mewujudkan tujuan syariah dimaksud.

Perbankan syariah dalam pelaksanaannya, dituntut untuk melaksanakan

Kegiatan perbankan dalam koridor hukum Islam atau sesuai dengan prinsip-prinsip

syariah. Namun dalam system operasional bank syariah juga dibatasi oleh aturan-

aturan hukum positif, secara umum tetap mengacu pada Undang-Undang Nomor 10

Tahun 1998 Tentang Perbankan dan secara khusus mengacu pada Undang-Undang

Perbankan Syariah, serta Peraturan Perbankan dari Bank Indonesia berupa PBI

(Peraturan Bank Indonesia), SE (Surat Edaran), dan Peraturan Otoritas Jasa

Keuangan (POJK).

Berdasarkan ketentuan tersebut perbankan syariah merupakan subsistem dari

perbankan nasional, yang prosedur pendirian dan mekanisme kerjanya harus tunduk

pada ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Di sisi lain, lembaga keuangan

syariah di Indonesia telah berkembang dengan pesat, hal ini juga menyebabkan

banyak pihak ingin mengetahui perbedaan mendasar antara lembaga keuangan

syariah dengan lembaga keuangan konvensional. Salah satu perbedaan yang sering

dikemukakan oleh para ahli adalah bahwa di lembaga keuangan syariah harus ada

underlying transaction yang jelas, sehingga uang tidak boleh mendatangkan

keuntungan dengan sendirinya, tanpa ada alas transaksi, seperti jual beli yang akan

menimbulkan margin, sewa menyewa yang akan menimbulkan fee dan penyertaan

modal yang akan memperoleh bagi hasil. Dengan kata lain, perbedaan antara

lembaga keuangan syariah dengan lembaga keuangan konvensional adalah terletak

pada akad transaksinya.13

Keuangan syariah sangat menekankan pentingnya keselarasan aktivitas

keuangan dengan norma dan tuntutan syariah. Aturan terpenting dalam kegiatan

keuangan syariah adalah pelarangan riba. Para ahli fiqh menilai ini sangat kental

eksistensinya dalam akitivitas keuangan konvensional.14

Berkaitan dengan itu perlu

ada kajian yang mendalam berkenaan dengan kesesuaian syariah baik ditinjau dari

aspek kepatuhan atau ketaatan terhadap syariahnya dan juga bentuk operasionalisasi

produknya.

Dalam konteks paradigma melakukan kegiatan yang berdasarkan prinsip-

prinsip syariah maka harus tercapai kemaslahatan sebagai bagian atau bentuk

kemanfaatan yang berdimensi integral duniawi dan ukhrawi, material dan spiritual,

serta inidividual dan kolektif. Sesuatu dipandang Islam bermaslahat jika memenuhi

13 Fathurrahman Djamil, Penerapan Hukum Perjanjian dalam Transaksi di Lembaga

Keuangan Syariah , (Jakarta : Sinar Grafika, 2013), h. 3 14 Naf’an, Pembiayaan Musyarakah dan Mudharabah, (Yogyakarta, Graha Ilmu, 2017).h.22

Page 19: IRPAN JAMIL - SPs.pdf - Repository UIN Syarif Hidayatullah ...

7

dua unsur, yakni kepatuhan syariah (halal) dan bermanfaat serta membawa kebaikan

(thayyib) bagi semua aspek secara integral yang tidak menimbulkan madharat dan

merugikan pada salah satu aspek, dalam konteks ini makna kepatuhan syariah (

syariah compliance) terutama dalam bank syariah khususnya adalah penerapan

prinsip-prinsip Islam, syariah dan tradisinya dalam transaksi keuangan dan

perbankan serta bisnis lainnya yang terkait. 15

selain itu ada pendapat lain tentang

tentang syariah compliance ini yaitu dikatakan bahwa syariah compliance adalah

salah satu indikator pengungkapan islami untuk menjamin kepatuhan bank Islam

terhadap prinsip syariah.16

Hal ini berarti bahwa syariah compliance sebagai bentuk

pertanggungjawaban pihak bank dalam pengungkapan kepatuhan bank terhadap

prinsip syariah. Kepatuhan syariah (syariah compliance) merupakan manifestasi

pemenuhan seluruh prinsip syariah dalam lembaga yang memiliki wujud

karakteristik, integritas dan kredibitas di bank syariah, budaya kepatuhan tersebut

adalah nilai, perilaku dan tindakan yang mendukung terciptanya kepatuhan bank

syariah terhadap ketentuan yang berlaku. Menurut Adrian Sutedi makna kepatuhan

syariah secara operasional adalah kepatuhan kepada fatwa Dewan Syariah Nasional

(DSN) karena fatwa DSN merupakan perwujudan prinsip dan aturan syariah yang

harus ditaati dalam perbankan syariah.17

Prinsip utama bank syariah tercermin dalam

produk-produk yang dihasilkannya yaitu bebas bunga dengan menggunakan prinsip

bagi hasil..

Kepatuhan syariah tersebut secara konsisten dijadikan sebagai kerangka kerja

bagi sistem dan keuangan bank syariah dalam alokasi sumber daya, manajemen,

produksi, aktivitas, pasar modal, dan distribusi kekayaan. 18

Kepatuhan terhadap

prinsip syariah ini berimbas kepada semua hal dalam industri perbankan syariah

terutama dalam produk dan transaksinya. Kepatuhan syariah dalam operasional bank

syariah tidak hanya meliputi produk saja,akan tetapi meliputi sistem, tekhnik dan

identitas perusahaan. Oleh karena itu, budaya perusahaan, yang meliputi pakaian,

dekorasi , dan image perusahaan juga merupakan salah satu aspek kepatuhan syariah

dalam bank syariah yang bertujuan untuk menciptakan suatu moralitas dan spiritual

kolektif, yang apabila digabungkan dengan produksi barang dan jasa, maka akan

menopang kemajuan dan pertumbuhan jalan hidup yang islami.19

Bank Syariah dapat dikatakan telah memenuhi kepatuhan pada prinsip-prinsip

syariah (syariah compliance) apabila dalam transaksi dan kegiatan usahanya tidak

mengandung unsur riba, gharar, dan maisir, menjalankan bisnis yang berbasis pada

15 Zainal Arifin, dasar-dasar Manajemen bank syariah, (Tanggerang, Aztera Publisher, 2011) h. 2 16 Ansori, pengungkapan Syariah Compliance dan Kepatuhan Bank Syariah terhadap prinsip-prinsip syariah, Jurnal Dinamika, vol 3.. No.2 Maret 2019. 17 Andrian Sutedi, Perbankan Syariah,Tinjauan dan beberapa Segi Hukum. (jakarta : Ghalia Indonesia, 2011) h. 145 18 Andrian Sutedi, Perbankan Syariah Tinjauan dan Beberapa Segi Hukum, h. 145, lihat juga : Siti Maria Wardayati, Implikasi Syariah Governance terhadap Reputasi dan Kepercayaan Bank Syariah, dalam jurnal Walisongo Vol.19.No.1 Mei 2018.h.3 19 Sutedi, Perbankan Syariah..., h. 145

Page 20: IRPAN JAMIL - SPs.pdf - Repository UIN Syarif Hidayatullah ...

8

keuntungan halal, menjalankan amanah yang dipercayakan kepada nasabah pada

bank dan mengelola zakat, infak dan shadaqah dengan amanah.20

Jaminan kepatuhan syariah ( syariah compliance assurunce) atas keseluruhan

aktivitas bank syariah merupakan hal yang sangat penting bagi nasabah dan

masyarakat. Beberapa ketentuan yang dapat digunakan sebagai ukuran secara

kualitatif untuk menilai ketaatan syariah yaitu misalkan tentang akad atau kontrak

yang digunakan untuk pengumpulan dan penyaluran dana sesuai dengan prinsip-

prinsip syariah dan aturan yang berlaku, termasuk harus terpenuhinya rukun dan

syarat, tidak melanggar prinsip-prinsip yang diatur dalam akad, seluruh transaksi

dan aktivitas ekonomi dilaporkan secara wajar sesuai dengan standar akuntansi

syariah yang berlaku dan aspek lainnya termasuk corporate culture yang harus

sesuai denga nilai-nilai syariah.

Pemahaman yang dapat diambil dari beberapa defnisi tersebut di atas bahwa

kepatuhan syariah (syariah compliance) merupakan pelaksanan secara keseluruhan

terhadap nilai-nilai syariah di lembaga keuangan syariah (dalam hal ini perbankan

syariah) yang menjadikan fatwa DSN-MUI dan regulasi lainnya sebagai alat ukur

pemenuhan prinsip syariah, baik dalam produk, transaksi dan operasional di bank

syariah.

Eksistensi bank syariah harus memiliki warna yang berbeda dengan bank

konvensional, bank syariah harus benar-benar bisa meyakinkan kepada umat muslim

bahwa bank syariah bebas riba dan transaksi-transaksi yang mengarah pada riba,

baik dalam akad maupun produknya. bank syariah harus menjadi pilihan bukan

alternatif bagi umat muslim. Karena pada hakikatnya apabila sudah ada lembaga

keuangan yang syariah yang bebas dari riba, maka kaum muslimin wajib untuk

berhijrah dari lembaga keuangan konvensional menuju lembaga keuangan syariah

termasuk perbankan syariah. Hal ini, menjadi penting agar bank syariah bisa tumbuh

dan berkembang secara pesat.

Sistem ekonomi berdasarkan prinsip syariah tidak hanya merupakan sarana

untuk menjaga keseimbangan kehidupan ekonomi, tetapi juga merupakan sarana

untuk merealokasi sumber-sumber daya kepada orang-orang yang berhak menurut

syariah sehingga dengan demikian tujuan efisiensi ekonomi dan keadilan dapat

dicapai secara bersama-sama.21

Sebenarnya upaya-upaya bank syariah dalam mematuhi prinsip-prinsip

syariah telah ditempuh dengan baik. Hal ini, didasarkan pada regulasi-regulasi

tentang aturan kepatuhan terhadap prinsip-prinsip syariah. Di antaranya adalah

Undang-Undang Perbankan No. 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah pada

pasal 722

menegaskan bahwa Bank Syariah adalah bank yang melaksanakan kegiatan

usahanya berdasarkan prinsip syariah. Hal senada juga diatur dalam Undang-

20 Siti Maria Wardayati, Implikasi Syariah Governance terhadap Reputasi dan Kepercayaan Bank Syariah, dalam jurnal Walisongo Vol.19.No.1. Mei.2019.h. 8 21 Fathurrahman Djamil, Hukum Ekonomi Islam, Sejarah, Teori, dan konsep, (Jakarta :Sinar

Grafika, 2013), h. 17. 22 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2008, Tentang Perbankan Syariah,

Pasal 7, h. 8.

Page 21: IRPAN JAMIL - SPs.pdf - Repository UIN Syarif Hidayatullah ...

9

Undang No. 40 Tahun 200723

Tentang Perseroan Terbatas pada pasal 109 bahwa: (1)

Perseroan yang menjalankan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah selain

mempunyai Dewan Komisaris wajib mempunyai Dewan Pengawas Syariah. (2)

Dewan Pengawas Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas seorang

ahli syariah atau lebih yang diangkat oleh RUPS atas rekomendasi Majelis Ulama

Indonesia. (3) Dewan Pengawas Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

bertugas memberikan nasihat dan saran kepada Direksi serta mengawasi kegiatan

Perseroan agar sesuai dengan prinsip syariah. Peraturan Bank Indonesia No. 15

Tahun 2013 Tentang Bank Umum Syariah pada pasal 9 juga menjelaskan bahwa

Bank Syariah dalam menjalankan kegiatannya harus berdasarkan prinsip syariah.

Selanjutnya bank syariah dalam praktiknya juga didukung oleh fatwa Dewan

Syariah Nasional, Majelis Ulama Indonesia yang membahas terkait dengan regulasi

atau aturan-aturan perbankan syariah, dan secara internal kelembagaan lembaga

keuangan syariah pengawasan juga dilakukan oleh Dewan Pengawas Syariah.

Namun hal, tersebut tersebut masih dirasakan belum efektif, karena dalam praktik

operasionalnya bank syariah memiliki sistem yang berbeda dengan lembaga

keuangan syariah lainnya dalam memerankan tugas dan fungsinya dalam mengelola

dana nasabah.

Masalah yang terkait dengan muamalah telah diatur secara gamblang dan jelas

oleh Islam, karena muamalah merupakan hal yang sangat sensitif apabila tidak

diperhatikan secara detail. Seperti dalam urusan utang-piutang syariah telah

mengatur dengan tuntas, seperti harus ditulis, disaksikan dan lain-lain agar

dikemudian hari tidak menimbulkan perselisihan di antara kedua belah pihak. Dan

Allah SWT, telah menyerukan kepada hamba-hambanya yang beriman untuk

menepati janji-janjinya.

Berdirinya bank syariah didasarkan pada syariat Islam dan kenyataan-

kenyataan yang ada di Indonesia bahwa (1) masyarakat Indonesia mayoritas

beragama Islam, (2) meningkatnya kesadaran umat Islam untuk melaksanakan nilai-nilai

Islam sesuai ajarannya, (3) Bank Konvensional dirasakan kurang berperan secara

optimal dalam membantu memerangi kemiskinan dan memeratakan pendapatan,

karena bank dengan sistem bunga tidak memberi peluang kepada orang miskin

untuk mengembangkan usahanya lebih produktif, (4) kebijakan pemerintah di

bidang ekonomi khususnya sangat mendukung beroperasinya bank syariah, (5)

wujud bank syariah sejalan dengan orientasi pembangunan nasional di Indonesia.24

Menurut Undang-Undang No.21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah,

ditetapkan bahwa bank-bank syariah Indonesia, yang terdiri atas bank yang

sepenuhnya melaksanakan kegiatan usahanya berdasarkan prinsip syariah dan bank

konvensional yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah

melalui Unit Usaha Syariah (UUS) yang dimilikinya, tidak boleh melakukan

kegiatan usaha yang melanggar prinsip syariah. Prinsip syariah yag harus dipatuhi

oleh bank-bank syariah menurut Undang-Undang Perbankan Syariah adalah prinsip

23 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 2007, Tentang Perseroan

Terbatas, Pasal 109, h. 42. 24 Wakum Sumitro, Asas-Asas Perbankan Islam dan Lembaga-Lembaga Terkait (BAMUI &

TAKAFUL) di Indonesia, (Jakarta : PT. Grafindo Persada, 2011), h. 75-76.

Page 22: IRPAN JAMIL - SPs.pdf - Repository UIN Syarif Hidayatullah ...

10

syariah yang telah difatwakan oleh Dewan Syariah Nasional-Majelis Ulama

Indonesia yang dituangkan dalam Peratura Bank Indonesia.25

Kepatuhan terhadap prinsip syariah (syariah compliance) merupakan salah

satu dasar utama yang sangat penting. Karena hal ini sangat menentukan dalam

membangun trust (kepercayaan) kaum muslimin terhadap bank syariah. syariah

compliance menjadi pembeda yang jelas antara bank syariah dengan bank

konvensional. Dalam konteks perbankan, ini menjadi isu krusial, karena sampai saat bank

syariah dalam perspektif sebagian masyarakat masih identik mengikuti bank konvensional,

baik produk, sumber daya manusia dan operasional.26

Penerapan syariah compliance

harus didukung penuh oleh semua pihak, baik pemerintah, ulama, pelaku usaha, dan

masyarakat secara umum. Implementasi syariah compliance pada perbankan syariah di

Indonesia merupakan sebuah kewajiban yang harus dilaksanakan dengan baik.

Kepatuhan pada syariah merupakan ciri khas dari eksistensi lembaga

keuangan syariah. Untuk itulah, dalam ketentuan yang berlaku di Indonesia, setiap

lembaga yang melaksanakan kegiatan bisnis berbasis syariah, wajib terdapat Dewan

Pengawas Syariah, yang fungsi utamanya untuk mengawasi dan memastikan bahwa

transaksi di lembaga keuangan syariah tersebut sudah sesuai dengan prinsip

syariah.27

Munculnya dinamika permasalahan yang kerap tejadi terhadap prinsip syariah

biasanya disebabkan oleh berbagai macam faktor, di antaranya adalah umat muslim

yang belum terbiasa untuk berbagi risiko, artinya belum siap dengan investasi yang

kemungkinan merugi. Ekspektasi terhadap bank syariah adalah bahwa bank syariah

siap memberikan bagi hasil yang sesuai. Hampir semua nasabah bank syariah

berharap agar bank syariah menerapkan prinsip syar‟i, sehingga bebas dari riba,

menjadi sarana lalu lintas keuangan yang mampu mengakomodir kebutuhan nasabah

dengan berbagai macam sistem perbankan yang canggih dan profesional,

mengamankan uang nasabah, memberikan kontribusi bagi hasil yang signifikan,

minimal sama dengan bunga bank konvensional, maksimal lebih besar dari itu, dan

menjadi mitra usaha UMKM, maupun kerjasama proyek-proyek besar. Sehingga

keberadaan bank syariah akan mendorong perekonomian umat dan berkontribusi

terhadap pembangunan nasional. Namun demikian, harapan nasabah ini masih

terlalu sulit untuk dipenuhi, hal itu dikarenakan adanya kendala-kendala secara

regulasi keuangan maupun, permintaan pasar yang cukup sulit untuk diakomodir.28

Bank syariah menghimpun dana masyarakat dalam jumlah yang cukup besar,

kemudian bank syariah berkewajiban memberikan bagi hasil yang yang sesuai

dengan harapan, kepada nasabah, tetapi di sisi yang lain bank syariah harus memutar

dana nasabah untuk usaha-usaha halal dan produktif dengan bekerjasama dengan

pengusaha muslim yang memiliki usaha-usaha yang potensial termasuk dengan

menggunakan akad mudharabah dan musyarakah. Bank syariah juga berusaha akan

25 Sutan Remy Syahdaeini, Perbankan Syariah, Produk-produk dan Aspek-aspek Hukumnya, (Jakarta, Kencana Prenamedia, 2015), h.2 26 Sepky Septian, Tingkat Kepatuhan Syariah...,.h.60 27 Fathurrahman Djamil, Penerapan Hukum Perjanjian dalam Transaksi di Lembaga

Keuangan Syariah , Sinar Grafika, Jakarta, 2013, h. 3 28 Sepky Septian, Tingkat Kepatuhan Syariah...,.h.60

Page 23: IRPAN JAMIL - SPs.pdf - Repository UIN Syarif Hidayatullah ...

11

meminta bagi hasil kepada para pengelola usaha dengan jumlah di bawah bunga

bank konvensional. Sehingga dengan demikian bank syariah akan mendapatkan

untung yang maksimal dari pengelola usaha, kemudian pengelola usaha juga

mendapatkan manfaat dengan adanya fasilitas pembiayaan modal kerja sehingga

bisa terus mengembangkan usahanya, dan bank syariah akhirnya mampu

memberikan bagi hasil yang sesuai kepada nasabah, dan bank syariah sendiri

mendapat keuntungan untuk membiayai manajemennya. Sehingga kepercayaan

nasabah meningkat, bank syariah terus berkembang, usaha kecil, mikro, dan

menengah semakin sehat dan bergairah, dan perekonomian ummat semakin maju.

Namun pada praktiknya tidak demikian.

Musyarakah sendiri menurut dewan syariah nasional adalah pembiayaan

berdasarkan akad kerja sama antara dua pihak atau lebih dalam suatu usaha tertentu,

di mana masing-masing pihak memberikan kontribusi dengan ketentuan bahwa

keuntungan dan risiko akan ditanggung bersama sesuai dengan kesepakatan.29

Sedangkan menurut Bank Indonesia, adalah akad kerja sama usaha patungan antara

dua pihak atau lebih pemilik modal untuk membiayai suatu jenis usaha halal dan

produktif. Pendapatan atau keuntungan dibagi sesuai dengan nisbah yang sudah

disepakati.

Aplikasi musyarakah dapat digunakan oleh lembaga keuangan syariah

misalnya dalam pembiayaan proyek dan modal ventura. Dalam pembiayaan proyek

nasabah dan bank sama-sama menyediakan dana untuk membiayai suatu proyek

tertentu. Setelah proyek itu selesai, nasabah mengembalikan dana tersebut bersama

bagi hasilnya yang telah disepakati dengan pihak LKS. Sementara dalam modal

ventura, penanaman modal dilakukan untuk jangka waktu tertentu, dan setelah itu

bank melakukan divestasi , baik secara singkat atau sekaligus, maupun bertahap.30

Sedangkan mudharabah secara teknis adalah kerjasama usaha antara dua

pihak (shahib al-mal) menyediakan seluruh modal, sedangkan pihak lainnya

menjadi pengelola (mudharib). Keuntungan usaha di bagi menurut kesepakatan yang

dituangkan dalam kontrak, sedangkan kerugian ditanggung secara proporsional dari

jumlah modal, yaitu pemilik modal. Kerugian yang timbul disebabkan oleh

kecurangan atau kelalaian si pengelola, maka si pengelola harus bertanggung jawab

atas kerugian tersebut.31

Aplikasi di lembaga keuangan syariah dalam konteks

pembiayaan dipakai dalam bentuk pembiayaan modal kerja, pembiayaan investasi

dan pembiayaan investasi khusus.32

29 Fatwa DSN No. 08/DSN-MUI/IV/2000 30

Djamil, Penerapan Hukum Perjanjian,... h.6. 31

Fathurrahman Djamil, Penerapan Hukum Perjanjian ……, h. 173-174. 32

Veithzal Rivai dan Andria Permata Veithzal, Islamic Financial Management: Teori,

konsep, dan Aplikasi Panduan Praktis untuk Lembaga Keuangan, Nasabah, Praktisi dan

Mahasiswa, (Jakarta, Rajawali Pers, 2008), h. 123.

Page 24: IRPAN JAMIL - SPs.pdf - Repository UIN Syarif Hidayatullah ...

12

Tabel : 1.2

Total Pembiayaan Bagi Hasil/Profit Sharing Financing Pada Perbankan

Syariah di Indonesia

Pembiayaan Tahun

2017 2018 2019 2020 2021

1. Mudharabah 17.090 15.866 13.779 11.854 11.474

2. Musyarakah 17.090 15.866 13.779 11.854 11.474

Sumber : Otoritas Jasa Keuangan : Statistik Perbankan Syariah, Januari 2021

Syariah compliance hadir untuk mendorong perbankan syariah di Indonesia

agar mematuhi aturan syariah dan targetnya adalah terbebas dari riba, gharar,

maysir, dan hal-hal yang menyimpang lainnya. syariah compliance tidak bekerja

untuk menilai salah dan benar bank syariah saja, tetapi bertujuan untuk memberi

masukan-masukan solutif kepada bank syariah. Syariah compliance tidak hanya

diterapkan di Indonesia saja, tetapi juga diterapkan di negara-negara lain, seperti,

Malaysia, Pakistan, Yordania, London dan negara-negara yang memiliki bank

syariah. Syariah compliance merupakan sebuah bentuk perhatian yang diberikan

pemerintah dan masyarakat terhadap bank syariah. Agar bank syariah kedepannya

benar-benar tampil di tengah-tengah masyarakat dengan performa yang kaffah..33

Musyarakah dan mudharabah merupakan pembiayaan bagi hasil yang bersifat

produktif. Seharunya akad-akad pembiayaan yang bersifat produktif seperti

musyarakah dan mudharabah ini lebih diminati oleh masyarakat ketimbang akad-

akad yang bersifat konsumtif seperti murabahah. Pembiayaan musyarakah

memberikan benefit yang signifikan terhadap pengembangan UMKM, dapat

meningkatkan taraf hidup dan ekonomi masyarakat. Sudah saatnya masyarakat

diedukasi untuk hijrah pada usaha-usaha produktif. Hal ini senada dengan pendapat

Ma‘ruf Amin34

, bahwa ada beberapa manfaat dari pembiayaan mudharabah dan

musyarakah, (1) akan menggairahkan sektor riil, (2) investasi akan meningkat, (3)

terbukanya lapangan kerja baru, (4) mendorong tumbuhnya investor, dan lain-lain.

Seandainya kaum muslimin berkecukupan, makmur dan sejahtera niscaya

hartanya akan banyak terdistribusi kepada saudara-saudaranya yang membutuhkan.

Tentunya hal ini yang harus menjadi harapan dan cita-cita besar. Sebab sebanyak

apapun harta yang melimpah di tangan kaum muslimin akan bermanfaat untuk

kemaslahatan umat. Sebaliknya jika harta yang melimpah berada di tangan orang-

orang kafir yang tidak bertanggung jawab, tentunya akan mengancam dan

membahayakan kehidupan kaum muslimin. Dibukanya pembiayaan-pembiayaan

bagi hasil di seluruh bank syariah seharusnya menjadi angin segar bagi pengusaha

muslim untuk mengembangkan usahanya. Tetapi yang harus diperhatikan di sini

adalah bahwa Bank Syariah dan nasabah harus sama-sama cakap hukum. Paham

33 Veithzal Rivai dan Andria Permata Veithzal, Islamic Financial Managemement..., h. 124.

34 Ma‘ruf Amin, Editor: Abdul Rouf, Prospek Cerah Perbankan Islam, Lekas (Lembaga

Kajian Agama dan Sosial), Jakarta, 2009, h. 131.

Page 25: IRPAN JAMIL - SPs.pdf - Repository UIN Syarif Hidayatullah ...

13

dengan prinsip-prinsip syariah dalam bermuamalah serta tunduk dan patuh terhadap

prinsip-prinsip tersebut.. Dan usaha yang bersifat kemitraan ini juga merupakan

upaya saling ber ta‘awun dalam kebaikan dan taqwa.

Dalam melakukan kerjasama, kedua belah pihak dituntut untuk memahami

maqashid al-syariah yang merupakan prinsip-prinsip dasar dalam bermuamalah.

Lebih baik lagi untuk memperkuat sosialisasi dan literasi, jika dipandang perlu

perbankan syariah dapat menyediakan buku panduan atau pedoman kepada para

nasabah dan masyarakat untuk mempelajari syariah dalam muamalah. Karena

sampai saat ini usaha untuk mengedukasi masyarakat dengan prinsip-prinsip syariah

masih terasa sangat minim sekali atau dirasa masih sangat kurang. Maka, wajar jika

masyarakat secara umum tidak paham dengan prinsip-prinsip syariah. Dan akhirnya

tidak cakap hukum sehingga akan menghambat kerjasama pembiayaan syariah yang

akan menimbulkan salah persepsi dan silang sengketa akibat ketidakpahaman. Fiqh

muamalah bukanlah ilmu yang sulit dipelajari, tapi justru sebaliknya lebih simpel

dan lebih mudah. Apabila bank syariah selalu memberikan edukasi secara intens

kepada masyarakat maka mereka akan paham dengan jangka waktu yang relatif

singkat. Kepahaman masyarakat terhadap syariah merupakan ilmu yang wajib

dipelajari. Karena jika seorang muslim tidak paham dengan prinsip-prinsip syariah

dalam bermuamalah maka niscaya ia akan terjebak dalam riba, gharar, maysir, dan

kedzaliman lainnya dalam bertransaksi. 35

Sistem perbankan yang dioperasikan oleh bank syariah juga harus dijelaskan

secara detail kepada nasabah, agar mereka tahu secara persis praktik-praktik

pembiayaan musyarakah dan mudharabah yang sedang diterapkan termasuk juga

sisi kesesuaian syariah yang digunakan. Sebenarnya kerjasama musyarakah dan juga

mudharabah secara teori dan praktik sangat sederhana. Tetapi, dalam praktiknya

memang harus dilengkapi lagi dengan aturan-aturan yang mengikat kedua belah

pihak. Misalkan aturan yang terkait dengan laporan keuangan yang menyatakan

biaya-biaya sebenarnya bisa dibatasi, karena jika estimasi suatu usaha itu berbiaya

tinggi maka keuntungan yang diperoleh akan sedikit. Untuk itu, masih

memungkinkan dilakukan efisiensi terhadap biaya-biaya. Dan biaya-biaya itu sendiri

sebenarnya merupakan beban kebutuhan dana yang harus dikeluarkan untuk

mencapai sebuah keuntungan. Karena setiap usaha yang maju pasti didukung

dengan biaya yang sesuai. 36

35 Eva Muzlifah, Maqashid al-syariah sebagai paradigma dasar ekonomi Islam, dalam Jurnal Ekonomi dan Hukum Islam, no 2. 2015. h.75 36 Muzlifah,” Maqashid al-syariah...” h.75

Page 26: IRPAN JAMIL - SPs.pdf - Repository UIN Syarif Hidayatullah ...

14

B. Permasalahan

1. Identifikasi Masalah Dari latar belakang masalah di atas ada delapan permasalahan yang dapat

diidentifikasi, yaitu:

a. Seharusnya pembiayaan musyarakah dan mudharabah apabila diterapkan dengan

syariah diharapkan mampu mengembangkan usaha kecil, mikro, dan

menengah yang berkontribusi pada Pembangunan ekonomi nasional.

b. Bank syariah kesulitan untuk mendapatkan laporan keuangan bulanan dari

pengelola usaha sehingga bank syariah menentukan bagi hasil yang bersifat

(flat) tetap.

c. Bank syariah menerapkan sistem bagi hasil kepada masyarakat dengan

istilah revenue sharing yaitu sistem bagi hasil yang dihitung dari total

pendapatan pengelolaan dan tanpa dikurangi dengan biaya pengelolaan

dana. Sistem ini memang menguntungkan bank syariah tapi banyak

merugikan pengelola usaha karena pengelola usaha harus menanggung

sendiri biaya pengelolaan usaha, kemudian sistem ini juga menetapkan bagi

hasil di awal akad perjanjian dengan jumlah tetap, sistem ini tidak

mendasarkan bagi hasil pada untung rugi, sehingga apabila pengelola usaha

mengalami kerugian ia tetap harus membayar bagi hasil flat setiap bulan.

d. Legalitas sistem revenue sharing berdasarkan fatwa DSN MUI No. 15

Tahun 2000, tidak menjelaskan secara aplikatif tentang penerapan sistem ini

di lapangan. Sebenarnya sistem revenue sharing adalah salah satu sistem

yang diperbolehkan oleh DSN selain sistem profit sharing.

e. Bank syariah memiliki kendala keterbatasan SDM pengawas syariah, jika di

setiap cabang harus ada pengawas syariah. Sehingga mengakibatkan

pengawasan syariah ditingkat cabang sulit dilakukan, dan fungsi DPS masih

dirasakan kurang maksimal.

f. Sistem profit sharing dianggap sangat sulit untuk diterapkan oleh bank

syariah karena bank syariah berasumsi akan mendapatkan nilai bagi hasil

yang kecil, sehingga tidak mampu membayar kontribusi bagi hasil pada para

nasabahnya dan dikhawatirkan akhirnya bangkrut, karena biaya pengelolaan

usaha ditanggung bersama, kemudian bagi hasil yang didasarkan pada

untung dan rugi tidak memiliki kepastian keuntungan yang jelas, bahkan

akan menjadi celah atau alasan bagi pengelola usaha untuk membuat

laporan keuangan yang cenderung rugi sehingga tidak perlu ada bagi hasil.

g. Masih minimnya edukasi dan literasi tentang prinsip-prinsip syariah dalam

muamalah kepada masyarakat yang mengakibatkan seseorang atau perusahaan

yang akan bekerja sama pembiayaan dengan bank syariah tidak cakap

hukum.

h. Pentingnya diterapkan transparansi kepada publik dalam pengelolaan

lembaga keuangan syariah.

Page 27: IRPAN JAMIL - SPs.pdf - Repository UIN Syarif Hidayatullah ...

15

2. Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian-uraian di atas pertanyaan yang akan dirumuskan dalam

penelitian ini adalah:

(1) Bagaimana implementasi pembiayaan musyarakah dan mudharabah

pada lembaga keuangan syariah di Indonesia?

(2) Bagaimana mekanisme lembaga keuangan syariah dalam mendukung

implementasi syariah compliance pada lembaga keuangan syariah di

Indonesia?

(3) Bagaimana kesesuaian syariah (syariah compliance) pada pembiayaan

musyarakah dan mudharabah pada perbankan syariah Indonesia?

3. Pembatasan Masalah Pada penelitian ini masalah di batasi pada satu pertanyaan mayor, yaitu: (1)

Bagaimana kepatuhan bank syariah terhadap prinsip syariah dan kesesuaian syariah

dalam praktik pembiayaan musyarakah dan mudharabah? Kemudian yang menjadi dua

pertanyaan minor, yaitu: (2) Apakah internal Bank Syariah menjalankan syariah

compliance sebgai bentuk kepatuhan sesuai dengan peraturan yang berlaku (3)

Apakah sistem dan mekanisme bank syariah mendukung pelaksanaan kepatuhan

syariah secara kaffah dalam praktik pembiayaan musyarakah dan mudharabah?

Secara konseptual masalah dibatasi pada Kepatuhan bank syariah terhadap

prinsip syariah pada pembiayaan musyarakah dan mudharabah. Penelitian lapangan

pada penelitian ini juga hanya dibatasi pada dua bank syariah yaitu bank Muamalat

Indonesia dan BJB Syariah.

C. Tujuan Penelitian

1. Menganalisis pelaksanaan pembiayaan musyarakah dan mudharabah pada

lembaga keuangan syariah di Indonesia.

2. Menganalisis mekanisme lembaga keuangan syariah dalam mendukung

implementasi syariah compliance pada lembaga keuangan syariah di

Indonesia..

3. Menganalisis bagaimana kesesuaian syariah ( syariah compliance) pada

pembiayaan musyarakah dan mudharabah di perbankan syariah Indonesia.

D. Signifikansi Dan Manfaat Penelitian 1. Disertasi ini akan memberikan gambaran yang utuh dan tuntas tentang

praktik pembiayaan musyarakah dan mudharabah yang terjadi pada

Perbankan Syariah di Indonesia dikaitkan dengan kepatuhan terhadap

syariah dan kesesuain terhadap prinsip-prinsip syariah.

2. Disertasi ini diharapkan dapat memberikan masukan agar adanya konsep

yang jelas dalam mendukung implementasi syariah compliance pada

lembaga keuangan syariah di Indonesia

3. Bagi akademisi penelitian ini tentunya sangat berguna untuk dapat dijadikan

acuan dalam penerapan akad musyarakah serta akad mudharabah yang sesuai

dengan prinsip syariah compliance dan implementasinya di perbankan

syariah dan lembaga keuangan syariah lainnya.

Page 28: IRPAN JAMIL - SPs.pdf - Repository UIN Syarif Hidayatullah ...

16

E. Penelitian Terdahulu Yang Relevan Muhasabah Keuangan Syariah oleh Muhammad Nizarul Alim.

37 Tulisan ini

membahas tentang: kesenjangan ekspektasi para nasabah dalam praktik pembiayaan

musyarakah, hanya saja tidak dibahas konsep syariah compliance dalam perbankan

syariah.

Penerapan Akad Musyarakah Pada Pembiayaan Hunian Syariah di Bank

Muamalat Indonesia oleh Amalia Nur Adina.38

Hasil penelitian menyimpulkan

sejumlah keluhan yang disampaikan oleh nasabah terkait persyaratan pembiayaan yang

sulit, biaya realisasi dan administrasi yang cukup tinggi, dan pihak bank syariah yang

kurang memperhatikan kemampuan nasabah. Penelitian ini juga tidak membahas tentang

konsep hifdzul maal dalam perbankan syariah di Indonesia.

Dimensi Syariah Compliance Pada Operasional Bank Syariah,oleh Miti

Yarmunida, penelitian ini membahas tentang keharusan bank syariah tunduk dan

patuh pada prinsip-prinsip syariah (syariah compliance). Secara garis besar ada

tujuh dimensi syariah compliance dalam operasional bank syariah sebagai berikut,

1) tidak mengandung unsur riba, 2) terhindar dari bai‟ al-inah, 3) tidak mengandung

gharar, 4) tidak mengandung maisir. 5) bisnis yang dijalankan berbasis pada

keuntungan yang halal. 6) menjalankan amanah yang dipercayakan nasabah pada

bank. 7) mengelola zakat, infak dan shadaqah sesuai dengan syariah 39 Penelitian ini

lebih terfokus kepada ketaatan syariah yang mutlak harus dilaksanakan, penelitian

ini belum terfokus kepada aspek kepatuhan dalam bentuk pembiayaan musyarakah

dan mudharabah.

Tingka Kepatuhan Syariah di Lembaga Keuangan Syariah, oeh Sepky

Mardian dalam Jurnal Akuntansi dan keuangan Islam Vol 3. No 1, Desember 2016.

Penelitian ini membahas kepatuhan bank syariah di lembaga keuangan syariah

terutama berkenaan dengan peran DPS yang dibeberapa lembaga keuangan

dirasakan belum maksimal, penelitian ini membahas isu-isu yang masih terbatas

pada independensi DPS, kompetensi dan audit pada lembaga keuangan syariah yang

juga dirasakan masih belum maksimal.

Shari‟ah Compliance In Islamic Banking An Empirical Study On Selected

Islamic Banks In Bangladesh, Hafij Ullah, Department of Business Administration,

Faculty of Business Studies, International Islamic University Chittagong, Bangladesh,

2014.40

Dalam penelitian ini, ditemukan bahwa banyak sekali Bank Syariah yang

melanggar prinsip syariah, padahal dukungan umat Muslim di sana terhadap Bank

Syariah dalam mematuhi prinsip syariah sangat kuat. Sehingga kalau hal ini bisa

37 Muhammad Nizarul Alim, Muhasabah Keuangan Syariah, PT. Aqwam Media

Profetika, Kartasura, Solo, 2011. 38 Amalia Nur Adina, Penerapan Akad Musyarakah Pada Pembiayaan Hunian Syariah

di Bank Muamalat Indonesia, Jurnal Nasional, 2012. 39 Miti Yarmunida, Dimensi Syariah Compliance Pada Operasional Bank Syariah, Al-Intaj, IAIN Bengkulu, 2018

40 Hafij Ullah, Shari‟ah Compliance In Islamic Banking An Empirical Study On

Selected Islamic Banks In Bangladesh, International Journal, 2014.

Page 29: IRPAN JAMIL - SPs.pdf - Repository UIN Syarif Hidayatullah ...

17

dilaksanakan oleh Bank Syariah, maka perekonomian masyarakat akan berkembang

dan tingkat kepuasan nasabah pada Bank Syariah akan meningkat.

Shariah Governance In Islamic Finance: The Effects Of The Islamic

Financial Services Act 2013, Surianom Miskam, Department of Business

Management Faculty of Management and Muamalah, Kolej Universiti Islam

Antarabangsa Selangor (KUIS).41

Dalam penelitian ini, ditemukan bahwa

Kepatuhan terhadap syariah adalah fondasi yang sangat penting untuk meningkatkan

kepercayaan masyarakat pada Bank Syariah. Dalam hal ini, IFSA (The Islamic

Financial Services Act) menyediakan kerangka hukum yang komprehensif dan

secara penuh sesuai dengan syariah, dalam semua aspek baik regulasi maupun

pengawasan lembaga keuangan Islam di Malaysia. Lembaga keuangan yang tidak

patuh akan dibubarkan karena undang-undang secara khusus telah menetapkan

regulasi penegakan syariah pada lembaga keuangan Islam. Aturan hukum

menegaskan bahwa tujuan, operasi, urusan, usaha dan kegiatan yang dilaknakan

lembaga keuangan Islam harus sesuai syariah. Hal ini, bertujuan untuk memberikan

kepastian yang lebih besar pada lembaga keuangan syariah dalam rangka

membangun kepercayaan publik tentang lembaga keuangan Islam. Ini merupakan

dasar aktivasi sistem keuangan Islam di Malaysia dalam rangka memenuhi

tantangan baru dan tuntutan pembiayaan terkait dengan transformasi ekonomi

Malaysia dan dunia.

Islamic Banking and Syariah Compliance: A Product Development

Perspective, Habib Ahmed, Durham University Bussines School, the United

Kingdom, 2016.42

Esensi keuangan Islam adalah bahwa produk dan operasi

mematuhi prinsip-prinsip syariah, hal ini telah dikritik karena dianggap mengecilkan

persyaratan syariah. Dalam penelitian ini, ditemukan bahwa beberapa produk

pembiayaan telah menggunakan kontrak yang sah untuk menghasilkan akad

transaksi yang mirip dengan syariah. Tulisan ini, mengidentifikasi peran berbagai

departemen yang bermain dalam proses ini. Peremehan prinsip syariah pada produk

pembiayaan bank syariah merupakan faktor eksternal karena tidak di bawah kontrol

Bank Syariah. Untuk itu departemen syariah harus bertanggung jawab penuh dalam

memastikan bahwa produk-produk baru harus mematuhi prinsip syariah sebelum

diluncurkan di pasar.

Kepatuhan Syariah (Sharia Compliance) dalam industri keuangan syariah,

Lukman Nurhisyam, Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2018.

Dalam penelitian ini terdapat pembahasan aspek hukum dalam industri keuangan

syariah, regulasi tentang kepatuhan syariah (sharia compliance). Kepatuhan syariah

adalah bagian penting bagi industri keuangan syariah dalam segi pengelolaan

(manajemen) maupun operasionalnya. Hal itu didukung dengan mengharuskan

adanya Dewan Pengawas Syariah bagi setiap institusi keuangan berbasis syariah .

41 Surianom Miskam, Shariah Governance In Islamic Finance: The Effects Of The

Islamic Financial Services Act 2013, Department of Business Management Faculty of

Management and Muamalah, Kolej Universiti Islam Antarabangsa Selangor, Malaysia,

International Journal, 2013. 42

Habib Ahmeda,Islamic Banking and Syariah Compliance : A Product Development

Perspective, Durham University Bussines School The United Kingdom, London, 2016.

Page 30: IRPAN JAMIL - SPs.pdf - Repository UIN Syarif Hidayatullah ...

18

dewan pengawas syariah (DPS) bertugas mengawasi penerapan kontrak atau akad

apakah penerapannya sudah sesuai dengan prinsip-prinsip syariah, ataukah belum.

Penelitian ini meneliti hal yang berkaitan dengan konsep dan implementasi aturan-

aturan dalam bentuk fatwa DSN-MUI oleh Dewan Pengawas Syariah (DPS) sebagai

wujud kepatuhan syariah (sharia compliance) terhadap industri keuangan syariah,

baik bank ataupun non-bank.43

Analisis Pengungkapan Sharia Compliance Dalam Pelaksanaan Good

Corporate Governance Bank Syariah di Indonesia, oleh Dedhiana Mey Saraswati

dan Ahmad Tarmizi Lubis, Sekolah Tinggi Ekonomi Islam, SEBI. Sharia

Compliance merupakan key player dalam pelaksanaan Good Corporate Governance

(GCG) pada industri perbankan syariah. Penelitian ini mengungkapkan aspek Sharia

Compliance Sharia Compliance yang berkaitan dengan pelaksanaan GCG dalam

industri perbankan syariah harus memenuhi dan patuh terhadap prinsip-prinsip

syariah.44

Pelaksanaan Sharia Compliance Pada Bank Syariah, (Studi Kasus Pada

Bank Syariah Mandiri, Jakarta) Ade Sofyan Mulazid, Fakultas Ekonomi dan Bisnis

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui sistem

pengawasan kepatuhan syariah pada Bank Indonesia dan pada Dewan Pengawas

Syariah kepada Bank Syariah Mandiri, pelaksanaan fungsi kepatuhan syariah

direktur kepatuhan pada seluruh jajaran Bank Syariah Mandiri, pelaksanaan audit

internal Bank Syariah Mandiri serta peran dan tanggungjawab direktur kepatuhan

dan satuan kerja kepatuhan pada Bank Syariah Mandiri. Hasil penelitian ini

menunjukkan bahwa sistem pengawasan terhadap kepatuhan di Bank Syariah

Mandiri telah berjalan dengan baik, sementara untuk pelaksanaan audit internal

belum berjalan efektif.45

A Compliance of Islamic Banks With The Principles of Islamic Finance

(Shariah): An Empirical Survey of The Jordanian Business Firms, Sana N.

Maswadeh Jadara University, Yordania 2015.46

Dalam penelitian ini, disimpulkan

bahwa prinsip syariah pada dasarnya mengandung parameter di mana praktik

Perbankan Syariah diterapkan di Yordania. Sedangkan penghapusan transaksi

berbasis bunga adalah prinsip utama dari prinsip syariah. Di Yordania setiap

pembiayaan pada Bank Syariah berubah menjadi kepemilikan saham, dan memiliki

insentif untuk membuat kongsi kerjasama, memaksa mereka untuk membiayai usaha

yang sehat dan menghindari yang spekulatif. Lebih dari itu Bank Syariah harus

membiayai investasi produktif. Dan ditekankan setiap kerjasama harus

menguntungkan. Analisis dalam penelitian ini, menunjukkan bahwa Bank Syariah di

43

Lukman Nurhisyam, Kepatuhan Syariah (Sharia Compliance dalam Industri

Keuangan Syariah. Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta. Yogyakarta, 2018. 44

Dedhiana Mey Saraswati dan Ahmad Tarmizi Lubis, Analisis Pengungkapan

Sharia Compliance dalam pelaksanaan Good Corporate Governance Bank Syaariah di

Indonesia. Sekolah Tinggi Ekonomi Islam SEBI. 2018 45

Ade Sofyan Mulazid, Pelaksanaan Sharia Compliance pada Bank Syariah (Studi

Kasus pada Bank Syariah Mandiri, Jakarta), Jakarta. 2018 46

Sana N. Maswadeh, A Compliance Of Islamic Banks With The Principles Of

Islamic Finance (Shariah): An Empirical Survey Of The Jordanian Business Firms, Jadara

University, Jordan, 2015.

Page 31: IRPAN JAMIL - SPs.pdf - Repository UIN Syarif Hidayatullah ...

19

Yordania tidak bisa berbagi risiko kerugian dengan pihak lain dalam setiap

pembiayaan. Temuan penting lain bahwa usaha yang dibiayai oleh Bank Syariah

adalah usaha yang halal sistem keuangan bank syariah menekankan keadilan dan

menghindari pembebanan riba pinjaman. Bank Syariah di Yordania harus

menekankan perhatian pada bagi hasil berdasarkan profit and loss sharing.

Pelaksanaan Musyarakah di Bank Syariah Mandiri, kajian prinsip keadilan

dan kepatuhan syariah, Sujian Suretno, Nusa Litera Inspirasi, Cirebon, 2018.

Penelitian ini membahas pelaksanaan musyarakah di Bank Syariah Mandiri

berdasrkan kajian prinsip keadilan dan kepatuhan syariah, dalam penelitian ini

dibahas tentang aspek keadilan dan kepatuhan syariah dalam pelaksanaan

musyarakah khusunya di Bank Syariah Mandiri, penelitian ini masih terbatas pada

aspek prinsip keadilan dan kepatuhan syariah belum membahas aspek yang syariah

compliance sebagai bagian dari dimensi hukum Islam secara umum..

Fiqh Muamalah maliyyah, Akad Syirkah dan Mudharabah, Jaih Mubarok dan

Hasanudin,Simbiosa Rekatama Media, Bandung, 2017. Penelitian ini menjelaskan

tentang konsep akad Syirkah, sebagaimana dijelaskan dalam kitab-kitab fiqh, dan

hubungannya dengan konsep persekutuan dalam kitab Undang-undang Hukum

Perdata. Baik secara langsung maupun tidak, terlihat adanya hubungan konseptual

antara syirkah dan persekutuan.dalam kitab Lisan al Arab karya Ibn Manzhur,

sebagaimana dijelaskan bahwa dalam syirkah terdapat milik masing-masing mitra

yang porsinya harus jelas, baik setengahnya, sepertiganya, atau sepersepuluhnya.

Ibn Muazd membolehkan penduduk Yaman melakukan syirkah (al-isytirak),

misalnya pemilik menyerahkan hartanya kepada pihak lain untuk dijadikan modal

usaha , baik setengahnya, sepertiganya, atau porsi lainnya. Dalam praktiknya

musyarakah atau syirkah dapat digunakan oleh Lembaga keuangan Syariah dalam

pembiayaan proyek dan modal ventura. Musyarakah dapat diaplikasikan pada

perbankan syariah dalam berbagai bentuk.

Penerapan Hukum Perjanjian dalam Transaksi di lembaga Keuangan

Syariah, Fathurrahman Djamil, Sinar Grafika, Jakarta, 2015. Penelitian ini

membahas mengenai Lembaga Keuangan Syariah di Indonesia yang berkembang

pesat. Hal ini menyebabkan banyak pihak ingin mengetahui apa perbedaan

mendasar antara Lembaga keuangan Syariah dengan lembaga keuangan

konvensional. Salah satu perbedaan yang sering dikemukakan oleh para ahli adalah

bahwa di lembaga keuangan syariah harus ada underlying transaction yang jelas,

sehingga uang tidak boleh mendatangkan keuntungan dengan sendirinya, tanpa ada

alas transaksi, seperti jual beli yang akan menimbulkan margin, sewa menyewa yang

akan menimbulkan fee dan penyertaan modal yang akan memperoleh bagi hasil.

Dengan kata lain, perbedaan antara lembaga keuangan syariah dengan lembaga

keuangan konvensional adalah terletak pada akad atau transaksinya. Kaitannya

dengan syirkah dan kepatuhannya, penelitian ini menjelaskan betapa pentingnya

semua prinsip-prinsip ekonomi syariah tunduk dan patuh terhadap ketentuan-

ketentaun syariah dan perangkat lain yang mengaturnya.

Page 32: IRPAN JAMIL - SPs.pdf - Repository UIN Syarif Hidayatullah ...

20

F. Metodologi Penelitian

1. Metode Penelitian

Metode penelitian disertasi ini menggunakan metode penelitian kualitatif,

yaitu data yang dianalisis bersifat kualitatif, seperti konsep syariah compliance,

audit kepatuhan, dan lain-lain. Metode penelitian ini, juga menggunakan teknik

studi pustaka, wawancara dan diskusi dengan pihak terkait. Kemudian dengan

manajemen bank syariah, nasabah dan mitra usaha bank syariah, MUI berikut

dengan DSN, DPS terkait, serta dengan beberapa akademisi yang aktif memberikan

kontribusi yang riil dan konstruktif pada lembaga keuangan syariah. Tujuannya

adalah untuk memperoleh data yang mendukung penelitian, fakta yang ada di

lapangan dan juga mendapatkan pemahaman yang utuh dan komprehensif

sebagaimana yang termuat dalam tujuan penelitian disertasi ini.

2. Sumber Data

Secara umum sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data

primer dan data sekunder, untuk data primer bersumber dari wawancara dengan

pihak-pihak terkait. Untuk data sekunder merupakan data yang telah dipublikasikan.

Data-data tersebut berasal dari kitab-kitab ulama klasik, buku-buku ulama masa kini,

jurnal-jurnal nasional dan internasional yang membahas tentang syariah compliance,

peraturan perundang-undangan tentang Perbankan Syariah, peraturan BI, Peraturan

OJK, Fatwa DSN MUI, Opini DPS, Dokumen Perbankan Syariah, dan sumber-

sumber penting lainnya.

3. Pendekatan Penelitian

Penelitian ini menggunakan beberapa pendekatan yaitu pendekatan

fenomenologi, pendekatan fiqh muamalah dalam literatur klasik dan

kontemporer dan pendekatan dalam perspektik syariah compliance.

Pendekatan fenomonologi47

bertujuan untuk mengetahui objek penelitian

dari sudut pandang orang yang mengalaminya secara langsung.48

Sifat

fenomenologi tertarik dengan keseluruhan (keutuhan) objek, bukan bagian-

bagian tertentu dari sudut pandang yang beragam. Fenomenologi berakar

pada pertanyaan-pertanyaan yang langsung berhubungan dengan makna dari

fenomena yang diamati sehingga peneliti telah mendapatkan gambaran yang

utuh dan jelas dari suatu permasalahan. Pendekatan ini di pilih untuk

mengetahui latar belakang dan filosofi model perbankan syariah di Indonesia

yang merupakan lembaga intermediasi keuangan Islam.49

Pendekatan fiqh

47 Engkus Kuswarno, Fenomenologi, Konsepsi, Pedoman, dan Contoh Penelitian, (Bandung

: Widya Pajajaran 2012), Cet. 2. h. 36 48

Engkus Kuswarno, Fenomenologi, Konsepsi, Pedoman, dan Contoh Penelitian, (Bandung

: Widya Pajajaran 2012), Cet. 2. h. 36 49 Sistem kerjasama bagi hasil mudharabah (kemitraan pasif), musyarakah (kemitraan aktif),

qard al-hasan (pinjaman tanpa bunga), sistem ini telah berjalan pada zaman keemasan Islam

dan beberapa abad setelahnya. Udovitch menyebut sistem ini “ bankers without banks” lihat

Page 33: IRPAN JAMIL - SPs.pdf - Repository UIN Syarif Hidayatullah ...

21

dalam literatur klasik dan kontemporer sangat diperlukan. Konsep kerjasama

yang diterapkan di bank syariah tentunya berbeda dengan konsep fiqh pada

masa klasik yang bersifat sederhana. Sehingga produk fiqh pada masa klasik

tidak dapat diterapkan begitu saja pada bank syariah yang lebih complicated.

Akad-akad kerjasama pada bank syariah merupakan akad-akad yang berisfat

kontemporer, sehingga perlu dibuat penyesuaian dan inovasi untuk

memenuhi kontrak kerjasama antara nasabah dengan bank syariah.

G. Sistematika Pembahasan

Bahasan disertasi ini terbagi dalam enam bab.

Bab I ; Bab ini merupakan bahasan pendahuluan. bab ini, memaparkan alasan-

alasan tentang pentingnya mengungkap pembiayaan musyarakah dan mudharabah

pada bank syariah, lebih khusus lagi konsep kerjasama musyarakah dan

mudharabah pada bank syariah yang menjadi objek penelitan dalam bingkai syariah

compliance (kepatuhan terhadap prinsip syariah) pada disertasi ini. Musyarakah

adalah kerjasama dengan sistem bagi hasil. Sistem bagi hasil itu sendiri merupakan

ciri khas bank syariah, sedangkan sistem bunga merupakan ciri khas bank

konvensional. Musyarakah dan mudharabah dipilih karena lebih berorientasi ke

arah produktif. Selain itu musyarakah memiliki banyak manfaat50

, baik bagi bank

syariah maupun bagi pengelola usaha. Musyarakah dengan skema bagi hasil akan

meningkatkan trust masyarakat yang merupakan tujuan (Shariah Compliance) untuk

bergabung dengan bank syariah baik dalam kapasitas menjadi investor maupun

pengelola usaha. Dan hal ini akan mendorong transformasi dari budaya konsumtif ke

budaya produktif, yang secara tidak langsung akan meningkatkan taraf hidup

masyarakat dan perekonomian nasional.

Bab II; Bab ini akan membahas landasan filosofis akad musyarakah dan

mudharabah termasuk didalamnya memuat pandangan ulama klasik dan

kontemporer, pada bab ini di bahas pula mengenai konsep dan prinsip bagi hasil

dalam Islam, pembahasan lainnya pada bab ini terkait dengan konsep pembiayaan

musyarakah dan mudharabah dalam perspektif ekonomi Islam

Bab III; Bab ini akan membahas konsep dan perkembangan akad musyarakah

dan mudharabah pada lembaga keuangan syariah, dalam bab ini akan di bahas juga

konsep dan perkembangan akad musyarakah dan mudharabah yang meliputi

pegertian musyarakah dan mudharabah itu sendiri, rukun dan syarat musyarakah

dan mudharabah ketentuan-ketentuan khusus yang terdapat dalam musyarakah dan

mudharabah dan hal-hal lainnya yang terkait dengan akad musyarakah dan

mudharabah.

Bab IV; Bab ini akan membahas aplikasi penggunaan akad-akad musyarakah

dan mudharabah pada bab ini akan di bahas pula standar produk musyarakah dan

mudharabah pada perbankan syariah di Indonesia.

M. Umer Chapra – Tariqullah Khan, Rgulasi dan Pengawasan Bank Syariah (jakarta : Bumi

Aksara, 2016).Cet 2. h.2-3 50 Muhammad Syafii Antonio, Bank Syariah dari Teori ke Praktik, (Gema Insani-Tazkia

Cendekia, Depok, 2015), h. 93

Page 34: IRPAN JAMIL - SPs.pdf - Repository UIN Syarif Hidayatullah ...

22

Bab V; Bab ini akan membahas implementasi penerapan syariah compliance

pada perbankan syariah di Indonesia pada bab ini akan dibahas defnisi syariah

conpliance, ketentuan syariah compliance, fungsi syariah compliance terhadap

lembaga keuangan syariah, perkembangan syariah compliance di Indonesia dan

aspek pembahasan lainnya yang sesuai dengan kepatuhan syariah.

Bab VI; Bab ini merupakan penutup yang akan menyajikan kesimpulan besar

penelitian dan saran yang mendorong eksistensi konsep musyarakah dan

mudharabah pada bank syariah yang berdasarkan syariah compliance.. Saran juga

digunakan untuk mendorong penyempurnaan konsep musyarakah dan mudharabah

pada perbankan syariah agar dalam praktiknya tetsp mempertahankan eksistensi

syariah compliance secara khusus dan kesesuaian syariah secara umum.

Page 35: IRPAN JAMIL - SPs.pdf - Repository UIN Syarif Hidayatullah ...

23

BAB II

LANDASAN FILOSOFIS DAN HUKUM AKAD MUSYARAKAH DAN

MUDHARABAH

A. Bagi Hasil dalam Islam

Bagi hasil sebagai suatu sistem ekonomi sebenarnya bukan hanya milik umat

Islam saja, prinsip dan sistem ini telah dijalankan oleh berbagai pihak dan kalangan

sejak sebelum peradaban manusia berkembang seperti saat ini. Menurut Antonio,

bagi hasil adalah suatu sistem pengolahan dana dalam perekonomian Islam yakni

pembagian hasil usaha antara pemilik modal (shahibul maal) dan pengelola

(mudharib)1

Prinsip bagi hasil atau dikenal dengan istilah profit loss sharing principle

(PLS Principle) yaitu suatu prinsip yang dapat dimaknai sebagai berikut ―is a

financial mechanism thinking finance capital to industry and commerce without the

use of interest. Essentially it is a form of equity capital where lenders have a share

in the profits of the borrowers , if there are any, and are also liable to share in the

losses which are incurred during normal business practice. The share in the profits

rate of return are prespecified in the contract "2

Dalam sebuah tulisan, secara harfiah dalam konsepsi pandangan hukum

Islam, bagi hasil lebih sering dikenal dengan istilah “mudharabah”, yang dapat

disebutkan dalam sejarah merupakan akad yang telah dikenal oleh umat muslim

sejak jaman Nabi. Bahkan telah dipraktikkan oleh bangsa Arab jauh sebelum

turunnya Islam3

Model-model kemitraan bisnis berdasar atas konsep mudharabah yang

menjalankan sistem bagi hasil di Timur Tengah, pada zaman pra Islam, berjalan

berdampingan dengan konsep sistem bunga sebagai cara membiayai berbagai

aktivitas ekonomi. Sistem ini umum dilakukan oleh masyarakat Mekah dan Madinah

jauh sebelum Islam diturunkan melalui Nabi Muhammad Saw. Usaha perdagangan

mulai dilakukan dalam berbagai bentuk, serta aneka jenis organisasi usaha juga telah

mereka dirikan. Syirkah (kerja sama) dalam berbagai tipe juga dijalankan, para

pemilik modal dapat secara langsung terlibat dalam perdagangan atau hanya

sleeping partner dan dengan cara demikian mereka ikut menikmati keuntungan dan

menderita kerugian (mudharabah)4

Adapun kerja sama dengan sistem bagi hasil juga telah dipraktikan Nabi

Muhammad Saw pada masa mudanya antara usia 17 atau 18 tahun. Muhammad

menjalankan bisnisnya dengan cara menjalankan modal milik orang lain, baik

dengan mendapat upah maupun berdasarkan persetujuan bagi hasil sebagai mitra.

1 Muhammad Syafi'i Antonio, Bank syariah............. h.90 2 Abd. Shomad ......, h. 133 3 Arifin Bin Badri, Muhammad, Riba & Tinjauan Kritis Perbankan Syari'ah, Cetakan

Keempat ,Bogor : (Pustaka Darul Ilmi, 2011), h. 132. 4 Muhammad Nafik NR, Benarkah Bunga Haram? Perbandingan system bunga

dengan Bagi Hasil dan Dampaknya pada Perekonomian, Cetakan Pertama, Amanah

Pustaka, Surabaya, 2009, h.127.

Page 36: IRPAN JAMIL - SPs.pdf - Repository UIN Syarif Hidayatullah ...

24

Kerja sama bisnis masa muda Rasulullah Saw yang banyak diriwayatkan adalah

kerja sama dengan Siti Khadijah. Saat itu Khadijah mempercayakan barang

dagangannya untuk dijual ke luar negeri. Dalam hal ini Khadijah berperan sebagai

pemilik modal sedangkan Rasulullah Saw saat itu berperan sebagai pelaksana usaha.

Bentuk kerja sama antara dua pihak dimana salah satu pihak berperan sebagai

pemilik modal dan mempercayakan sejumlah modalnya untuk dikelola oleh pihak

kedua, yakni pelaksana usaha dengan tujuan untuk mendapatkan keuntungan yang

disebut dengan akad mudharabah5Mengenai keutamaan penerapan bagi hasil dalam

menjalankan usaha, sebagaimana dalam sebuah riwayat dari Shalih bin Shuhaib Ra

bahwa Rasulullah Saw bersabda, ―tiga hal yang di dalamnya terdapat keberkahan

yaitu: jual beli secara tangguh, muqaradhah (mudharabah), dan mencampur

gandum dengan tepung untuk keperluan rumah, bukan untuk dijual‖ (HR Ibnu

Majah)6

Dalam usaha dengan sistem bagi hasil, dapat ditetapkan syarat-syarat tertentu,

dan hal tersebut dibenarkan oleh Rasulullah Saw dalam riwayat Ibnu Abbas bahwa

Sayyidina Abbas bin Abdul Muthalib ―Jika memberikan dana kepada mitra

usahanya secara mudharabah ia mensyaratkan agar dananya tidak dibawa

mengarungi lautan, menuruni lembah yang berbahaya, atau membeli ternak. Jika

menyalahi peraturan tersebut yang bersangkutan bertanggung jawab atas dana

tersebut. Disampaikanlah syarat-syarat tersebut kepada Rasulullah Saw, dan

Rasulullah pun membolehkannya‖ (HR Thabrani)7

Riwayat lain menyebutkan dari Hakim bin Nizam, ―dulu beliau menyerahkan

harta untuk diusahakan sampai waktu tertentu, dan beliau memberi syarat pada mitra

usahanya agar jangan melewati dasar wadi (sungai kering), jangan membeli hewan

dan jangan dibawa di atas laut, apabila pihak pelaksana usaha (pengusaha)

melakukan satu dari ketiga hal tersebut, maka pengusaha tersebut wajib menjamin

harta (modal) tersebut. Apabila pengusahanya menyerahkan kepada yang lain, maka

dia menjamin orang yang mengerjakannya‖.

Berdasarkan pada riwayat-riwayat di atas, apabila ditinjau dari segi hukum

Islam, sesungguhnya praktik mudharabah ini dibolehkan, tidak ada secara tegas

dalil tentang mudharabah dalam Alquran maupun dalam Hadis Rasulullah Saw,

akan tetapi kesepakatan ulama tetang kehalalannya dan keberkahan serta

kemanfaatan dalam praktik bagi hasil cukup dijadikan bukti bahwa syariat

membenarkan penerapan konsep bagi hasil dalam menjalankan usaha8. Meski diakui

bahwa dalam al-Quran maupun Hadits tidak ditemui hal-hal yang bersifat teknis

seperti sistem bagi hasil secara tegas.

5 Adiwarwan Karim, Analisis Fiqh dan Keuangan Bank Islam, Rajawali Pers, Jakarta.

2004. h. 204. 6 Dalam Muhammad Nejatullah Siddiqi, Partnership and Profit Sharing in Islamic

Law, seri Ekonomi Islam no:5, diterjemahkan oleh Fakhriyah Mumtihani,( Jakarta :Dana

Bhakti Prima Yasa, 1996), h. 6. 7 Muhammad Arifin Bin Badri, h. 132. 8 Muhammad Bin Baderi, Hukum-hukum Umum Seputar Akad Jual Beli,

https://almanhaj.or.id/3269-hukum-hukum umum seputar akad jual beli, diakses pada 4

Desember 2020.

Page 37: IRPAN JAMIL - SPs.pdf - Repository UIN Syarif Hidayatullah ...

25

Di Indonesia, sistem bagi hasil juga banyak ditemui sejak jaman dulu, yaitu

pada bisnis pertanian, peternakan dan perdagangan9. Mukhabarah dan muzara'ah

dengan persentase 50%:50% adalah yang umum dipraktikan. Kerja sama bagi hasil

memelihara ternak dengan cara maro/paro (bagi hasil dengan nisbah 50%:50% dari

anak ternaknya atau dari selisih nilai jual dengan nilai pada saat ternak diserahkan

kepada pemeliharannya)10

.

Seiring perkembangan zaman dan peradaban manusia dengan datangnya

Islam, bagi hasil kemudian muncul sebagai suatu solusi yang dilakukan untuk

menghindari larangan Islam dalam bermuamalah khususnya larangan bertransaksi

menggunakan sistem riba. Dalam sistem bagi hasil, besaran keuntungan dalam

absolud number dan bagian para pihak dalam sebuah transaksi tidak pula diatur

dengan tegas dan pasti, karenanya ketentuanketentuan yang dibuat dalam sebuah

akad turut menentukan rambu-rambu dan dan hal-hal yang boleh dan tidak boleh.

Konsep kebersamaan (ta'awun) dalam menghadapi ketidakpastian merupakan salah

satu prinsip yang sangat mendasar dalam ekonomi Syariah yang dianggap dapat

mendukung aspek keadilan11

. Menetapkan hasil akhir sebuah kegiatan usaha diawal

kesepakatan antara para pihak yang bekerja sama sangat berpotensi untuk

membebani salah satu pihak mengingat hasil yang akan didapat dalam sebuah usaha

tidak dapat diprediksi secara pasti.

Perjanjian dibutuhkan untuk memberikan suatu kepastian. Dalam rangka

memperjanjikan ketentuan tentang pembagian hasil usaha, maka untuk membagi

keuntungan dapat diterapkan dengan berdasar pada porsi modal atau dapat pula

berdasarkan kesepakatan yang dibuat dalam perjanjian yaitu sesuai dengan nisbah

bagi hasil. Sementara untuk pembagian atas kerugian adalah ditanggung masing-

masing pihak sesuai dengan porsi modal masingmasing pihak. Perbedaan penetapan

ini dikarenakan adanya perbedaan kemampuan menyerap untung dan rugi. Untung

sebesar apapun dapat diserap oleh pihak mana saja. Sementara bila rugi, tidak semua

pihak memiliki kemampuan menyerap kerugian yang sama. Dengan demikian, bila

terjadi kerugian, besar kerugian yang ditanggung disesuaikan dengan besarnya

modal yang diinvestasikan ke dalam bisnis tersebut.12

Dalam industri Perbankan Syariah harus dapat menumbuhkan budaya bahu

membahu (sharing) dalam menghadapi ketidakpastian dalam dunia usaha13

. Namun

9 Lahirnya Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1960, merupakan bukti bahwa hadirnya

Undang-undang tersebut sebagai aturan yang mewadahi praktik bagi hasil, walaupun saat itu

praktik bagi hasil hanya terbatas pada bagi hasil dalam pertanian (antara pemilik tanah

pertanian dengan penggarap), Undang-undang Nomor 2 Tahun 1960 Tentang Perjanjian

Bagi Hasil, angka (3), Ps.1. 10 Muhammad Nafik, Benarkah Bunga Haram? Perbandingan Sistem Bunga dengan

Bagi Hasil dan Dampaknya pada Perekonomian, (Surabaya:Amanah Pustaka) h.130. 11 Hirsanuddin, Disertasi : ―Kemitraan Dalam Bisnis : Perspektif Hukum Islam (Studi

terhadap Pelaksanaan Perjanjian Pembiayaan Bisnis dengan Prinsip Mudharabah di

Perbankan Syariah)", Universitas Indonesia, Jakarta, 2005, h.187. 12 Trisadini P. Usanti, Urgensi Jaminan Pada Pembiayaan Berdasarkan Prinsip Bagi

Hasil Di Bank Syariah dalam Perkembangan Hukum Perdata Di Indonesia, (Yogyakarta:

Laksbang Grafika :2013), h.237. 13 Hirsanuddin, Kemitraan Dalam Bisnis.... h.101.

Page 38: IRPAN JAMIL - SPs.pdf - Repository UIN Syarif Hidayatullah ...

26

dalam operasional Perbankan Syariah tetap diharuskan untuk waspada terhadap

permasalahan yang rawan timbul seperti problem moral hazard dan adverse

selection. Dari sisi perilaku bankir dalam industri perbankan, moral hazard juga

berarti perilaku dimana bank menggunakan deposit yang mereka terima untuk

pembiayaan investasi pada aset-aset yang berisiko. Untuk menjaga dirinya dari

risiko likuiditas, bank memiliki capital buffer (modal penyangga) yang dapat

digunakan apabila investasi tersebut mengalami kerugian. Namun target likuiditas

bank belum tentu mempertimbangkan kepentingan depositor atau khalayak

masyarakat secara keseluruhan14

. Namun dalam praktiknya, moral hazard menjadi

isu yang membahas sehubungan dengan risiko karakter nasabah yang menerima

pembiayaan dari bank.

Hadirnya konsep bagi hasil merupakan pengejawantahan dari prinsipprinsip

dasar dalam hukum Islam yang mengakui hak manusia untuk memenuhi segala

kebutuhan dan keinginan, menghasilkan manfaat untuk pribadi sebagaimana

dikehendaki dengan batasan bahwa tidak boleh menyianyiakan hak orang lain15

.

Maka, bagi hasil merupakan perimbangan antara pembagian untung dan rugi

dalam suatu kegiatan bisnis yang dijalankan secara syirkah. Mengenai kerugian,

terdapat kaidah hukum yang dikenal dalam muamalah, yaitu al ghunmu bil ghurmi

yang diartikan ―risiko akan selalu menyertai imbal hasil (ekspektasi return)". Bahwa

sebagai orang yang telah memperolah manfaat dari sesuatu, maka dia sendiri yang

harus menanggung kerugiannya, kerugian tersebut tidak boleh ditimpakan pada

orang lain16

.

Pada konteks perbankan, konsep bagi hasil diterapkan dalam bank Islam,

karena Islam mengharamkan sistem bunga. Dalam sistem perbankan dengan prinsip

Syariah, penghapusan riba (bunga) merupakan karakteristik yang paling pokok.

Sehingga jika diterapkan dalam sistem operasi perbankan Islam, akan memberikan

manfaat yang lebih besar terhadap pertumbuhan ekonomi dan membantu negara

dalam mewujudkan tujuan-tujuan sosioekonomi jangka pendek dan jangka panjang.

Penerapan sistem bagi hasil harus menjadi karakteristik utama operasional

pembiayaan perbankan Islam

Teori perbankan Islam, sebagai suatu sistem yang perlu diterapkan, mulai

dikenalkan setelah diterbitkannya buku Islam and the Theory of Interest yang ditulis

14 Erlend Nier and Ursel Baumann, Market discipline, disclosure and moral hazard in

banking, (Journal of Financial Intermediation, 2006) h. 332-361. 15 Tengku. M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Fungsi Aqidah dalam Kehidupan Manusia dan

Perpautannya dengan Ibadah, (Yogyakarta : IAIN Sunan Kalijaga, 1993), h. 41. 16 Dijelaskan dalam buku Al-Wajiz fi Syarh al Qawa'id al-Fiqhiyyah, Abdul Karim

Zaidan, (Beirut :Resalah Publisher, 2009), h. 152, bahwa semua orang yang telah bersepakat

untuk berserikat (bersyirkah) dalam suatu kegiatan bisnis, maka mereka menanggung

kerugian sesuai prosentase kepemilikan sahamnya dan keuntungan sesuai dengan nisbah

kepemilikan saham masing-masing selain itu masing-masing juga wajib menanggung biaya

perawatan sesuai dengan besarnya prosentase kepemilikan saham mereka masing-masing.

Hal mana termasuk pula atas biaya-biaya yang timbul dalam pembuatan perjanjian (jika

timbul biaya), dalam hal ini, peneliti menganalogikan terhadap biaya pembuatan perjanjian

yang dibuat secara notariil-pun seharusnya menjadi beban seluruh pihak yang bersyirkah

secara proporsional sesuai dengan porsi kepemilikan saham yang mereka tempatkan.

Page 39: IRPAN JAMIL - SPs.pdf - Repository UIN Syarif Hidayatullah ...

27

oleh Qureshi. Qureshi dalam bukunya tersebut memandang bahwa bank merupakan

sebuah pelayanan sosial yang disponsori pemerintah seperti halnya pendidikan dan

kesehatan publik. Pemikiran yang dituangkan dalam buku tersebut muncul semenjak

tidak adanya lagi praktik bunga oleh bank baik kepada pemegang rekening maupun

kepada peminjam dana di bank. Buku tersebut juga membicarakan tentang

kemitraan antara bank dan pengusaha sebagai sebuah alternatif yang memungkinkan

bagi untung dan bagi rugi. Dalam pendapat lain dinyatakan bahwa konsep Bank

Islam bersumber pada konsep Islam tentang uang.17

Di dalam Islam, uang tidak dipandang sebagai komoditas. Uang dalam sistem

perekonomian Islam merupakan perantara dalam kegiatan ekonomi riil,18

Oleh

karena itu, pelaksanaan operasional bank Islam haruslah berprinsip ―Sistem

Ekonomi Islam‖, Keuangan Islam, lebih dari sekadar dari keuangan bebas bunga19

.

Namun adanya uang merupakan perantara untuk memenuhi tujuan sosio-ekonomi

dan menciptakan masyarakat yang adil dan seimbang.

Implikasinya adalah bahwa dalam sistem perbankan Islam pendistribusian

dana dalam bentuk pembiayaan syariah diharapkan menjadi paradigma pembiayaan

ekonomi moral, yaitu ekonomi bersama, ekonomi partisipatif dan kolaboratif dengan

ekonomi pemilikan saham yang meluas. Maka di dalam sistem ekonomi Islam

menggunakan sistem ―bagi hasil‖ atau meminjam istilah ―bagi untung dan bagi

rugi‖, dan tidak menggunakan ―sistem bunga‖ sebagaimana yang digunakan oleh

Qureshi dalam bukunya Islam and the Theory of Interest. Walaupun pada dasarnya

secara implisit Qureshi juga menyatakan bahwa kemitraan adalah sebuah alternatif

yang memungkinkan penerapan konsep bagi untung bagi rugi.

Prinsip bagi hasil dalam perbankan syariah, secara umum dapat dilakukan

dalam empat akad utama, yaitu al-musyarakah, al-mudharabah, al-muzara‟ah, dan

al-musaqah. Sungguhpun demikian prinsip yang paling banyak dipakai adalah al

17

Nejatullah Shiddiqi,Partnership and Profit-Sharing in Islam Law Islamic economics

series, (UK: The Islamic Foundation,1997) h.50. 18 Mehmed Asutay, dalam Public Lecture UINSA Surabaya, Reoriening Islamic

finance for Sosio economic Development Toward a Moral Economy, kerja sama Durham

University dengan Bank Indonesia, 7-November-2017. 19 diuraikan oleh Mehmed Asutay, bahwa ciri keuangan Islam yang pada akhirnya

diimplikasikan dalam bentuk pembiayaan memiliki ciri yang tidak hanya sekedar ikon

terhadap bebas riba (bunga) saja, namun juga menerapkan rambu larangan untuk pembiayaan

dan investasi terhadap adanya larangan atas gharar, maysir dan spekulasi; pembagian

keuntungan dan kerugian; adanya pertukaran barang dan jasa secara nyata; Pembiayaan

proyek wirausaha yang bertoleran, pertimbangan utama adalah berdasarkan kondisi proyek

dan kelayakan kondisi keuangan pengusaha; Tidak ada komoditas fiktif dan tidak

berorientasi pada komoditas berorientasi ekonomi riil;

Page 40: IRPAN JAMIL - SPs.pdf - Repository UIN Syarif Hidayatullah ...

28

musyarakah dan al-mudharabah20, adapun penjelasan dari kedua prinsip tersebut

antara lain sebagai berikut:21

1. Musyarakah (Joint Venture profit & Loss sharing)

Menurut Antonio22

, ―Musyarakah adalah akad kerja sama antara dua pihak

atau lebih untuk suatu tertentu dimana masing-masing pihak memberikan kontribusi

dana dengan kesepakatan bahwa keuntungan dan risiko akan ditanggung bersama

sesuai dengan kesepakatan. Musyarakah mencampurkan salah satu dari macam harta

dengan harta lainnya sehingga tidak dapat dibedakan di antara akad kerja sama

antara dua pihak atau lebih untuk suatu usaha tertentu di mana masing-masing pihak

memberikan kontribusi dana dengan kesepakatan bahwa keuntungan dan risiko akan

ditanggung bersama sesuai dengan kesepakatan‖.

Para ulama madzhab berselisih pendapat tentang musyarakah. Ulama

Hanabilah berpendapat bahwa semua bentuk musyarakah yang tercakup dalam

Syirkah Uqud (yakni: Syirkah 'Inan, Syirkah 'Abdan, dan Syirkah Wujuh) hukumnya

boleh (ja'iz) selama rukun dan syaratnya terpenuhi kecuali Syirkah Mufawadhah.

Sementara ulama Malikiyah berpendapat bahwa hukum Syirkah Inan, Syirkah

Abdan adalah boleh (ja'iz), hanya Syirkah Wujuh dan Syirkah Mufawadhah tidak

diperbolehkan, alasannya adalah karena dalam Syirkah Wujuh tidak terdapat dana

sebagai modal usaha atau keterampilan yang dikerja samakan23

.

Imam Syafi'i berpendapat bahwa semua jenis Syirkah adalah batal/tidak sah

hukumnya. Imam Syafi'i hanya mengakui keabsahan dari Syirkah inan dan Syirkah

Mudharabah. Adapun dalam kitab al Fiqh al Islam wa Adillatuh, Wahbah al Zuhaili

menjelaskan jika ulama Hanafiyah dan Zaidiyah memperbolehkan seluruh jenis

syirkah, dengan catatan memenuhi persyaratan yang telah ditentukan24

. Dalam

selisih pandang atas kebolehan jenis-jenis syirkah yang dirumuskan pembagiannya

oleh madzahib, pembagian Syirkah uqud yang banyak diikuti adalah manhaj

Hanafiyah.

Dari pendapat para ulama di atas, dapat dipahami bahwa secara garis besar

hukum asal dari akad musyarakah adalah boleh, meskipun terdapat selisih pendapat

diantara para ulama dan Imam madzhab. Selisih pendapat diantara para ulama dan

20 Mudharabah, saat ini jarang ditemui untuk diterapkan pada pembiayaan dengan

tujuan usaha, mengingat risiko pembiayaan dengan skema mudharabah cukup besar jika

tidak dikelola dan diatur dengan professional . Hal mana pemilik dana secara hukum Islam

wajib menanggung beban kerugian (jika timbulnya bukan merupakan kesalahan pengelola

dana) secara sepihak. 21

Muhamad Syafi'i Antonio (2001) dan Helmi Karim (1996), dalam http://library.

walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/28/jtpriain-gdl-s1-2006-mharirulil-1364-bab2_219-0. pdf,

diakses pada tanggal 26 Desember 2019. 22 M. Syafi'i Antonio, Bank Syariah Suatu Pengenalan Umum, (Jakarta :Tazkia

Institut, 2003), h.129. 23 Abu al Walid Muhammad Ibn Ahmad Ibn Muhammad Ibn Ahmad Ibn Rusyd,

Bidayat al-Mujtahid wa Nihayat al-Muqtashid, (Semarang :Thaha Putra, 2003) juz II, h. 189-

192. 24 Wahbah Zuhaili, al Fiqh al Islami wa Adillatul, (Damaskus: Dar al Fikr, 2006), h.

38-78.

Page 41: IRPAN JAMIL - SPs.pdf - Repository UIN Syarif Hidayatullah ...

29

imam madzhab hanya pada macam-macam akad musyarakah, Namun mereka

sepakat menurut hukum asalnya, musyarakah itu adalah ja‟iz (boleh).

2. Mudharabah (Trustee Profit Sharing)

Mudharabah termasuk salah satu bentuk akad syirkah (perkongsian). Istilah

lain mudharabah digunakan oleh orang Irak, sedangkan orang Hijaz menyebutnya

dengan istilah qiradh. Dengan demikian, mudharabah dan qiradh adalah istilah

maksud yang sama25

. Mudharabah termasuk juga perjanjian antara pemilik modal

(uang dan barang) dengan pengusaha dimana pemilik modal bersedia membiayai

sepenuhnya suatu usaha atau proyek dan pengusaha setuju untuk mengelola proyek

tersebut dengan bagi hasil sesuai dengan perjanjian.

Berawal dari lembaga keuangan yang didirikan oleh umat Islam yang dikenal

pertama kali adalah saat kepemimpinan Umar bin Khatab, yaitu sekitar sepuluh

tahun setelah meninggalnya Rasulullah Saw. Kemudian dalam perkembangan

aktifitas keuangan modern, bank Islam dikatakan mengalami empat tahapan yaitu

tahap percobaan, tahap antar bangsa, tahap penyebaran, dan tahap masa kini.26

Yang dikategorikan sebagai tahap percobaan, yaitu ditandai dengan

munculnya perbankan Islam di Melayu (Malaysia) sekitar tahun 1940 dan Jamaat

Islami di Pakistan pada sekitar tahun 1950-an, di Mesir yaitu Egypt's Mit Ghamr

Savings Banks pada tahun 1963 dan Naseer Social Bank di Mesir pada tahun 1971.

Namun seluruh bank tersebut bubar dalam waktu yang tidak lama sejak didirikan.

Menurut sebuah penelitian, kegagalan pada tahap percobaan ini disebabkan para

debitur membayar secara mencicil dan para debitur adalah para petani pedesaan

yang merupakan para pemilik tanah miskin yang membutuhkan modal pertanian27

.

Mit Ghamr sebagai bank modern pertama di wilayah Arab, bank yang menerapkan

konsep bagi hasil Islam tersebut, dalam beroperasinya tidak menonjolkan ciri

keislamannya, dan karena alasan politik akhirnya di tutup pada tahun 1967.

Kemudian yang disebut tahap antar bangsa, dengan berdirinya The Islamic

Development Bank (IDB) tahun 1974 yang bermarkas di Jeddah, Bank yang

merupakan bank Islam pertama yang mendapatkan keuntungan dari kekayaan

minyak, dan dalam menjalankan bisnisnya bermitra dengan dua grup besar yaitu al-

Baraka dan Dar al-Mal al-Islami, disebut tahap antar bangsa karena pendirian IDB

melalui persetujuan oleh menteri-menteri keuangan negara Islam28

.

Tahap ketiga atau tahap penyebaran, yaitu dengan mulai berkembangnya

bank-bank dengan sistem Islam. Pada tahun 1975 berdiri The Dubai Islamic Bank,

kemudian pada tahun 1976 disusul oleh JAAME di Johanesburg, Afrika Selatan.

The Faisal Islamic Bank of Egypt didirikan di Mesir pada tahun 1976. Kemudian

25 Achmat Syafei, Fiqh Muamalah,Bandung : Pustaka Setia, 2001, h.223. 239 Warkum

Sumitro, Asas-asas Perbankan Islam dan Lembaga-lembaga Terkait, Grafindo Persada,

Jakarta. 2004, h.32. 26 Hirsanudin, Kemitraan Dalam Bisnis : Perspektif Hukum Islam (studi terhadap

Pelaksanaan Perjanjian Pembiayaan Bisnis dengan Prinsip Mudharabah di Perbankan

Syariah, Universitas Indonesia Jakarta, 2007, h.100 27 Mervyn K. Lewis and Latifa M.Algoud....., h.15. 243- h.21. 28 Hirsanuddin, Kemitraan........, h.101.

Page 42: IRPAN JAMIL - SPs.pdf - Repository UIN Syarif Hidayatullah ...

30

disusul pula dengan berdirinya The Faisal Islamic Bank Sudan pada tahun 1977.

Pada tahun 1978 berdiri pula The Jordan Islamic Bank yang juga mendirikan

Investment banking dengan nama The Jordan Financial and Investment Bank, The

Islamic Investment Company (Uni Emirat Arab, 1978), Kuwait Finance House

(1979) dan Bahrain Islamic Bank juga pada 1979

Tahap masa kini, yaitu perkembangan bank Islam setelah ketiga masa di atas,

yang diawali revolusi Iran pada tahun 1979 yang berusaha mensyariahkan seluruh

sistem ekonominya yang kemudian disusul pula dengan janji presiden Zia Ul Haq

pada Januari 1979 yang akan menghapus riba dalam sistem perekonomian Pakistan

dalam waktu tiga tahun. Diawali pada tahun 1983, perbankan di Iran menerapkan

bagi hasil dan melarang bunga. Iran merupakan negara yang paling sukses

mendorong ekonominya dengan sistem perbankan bagi hasil. Kemudian Sudan

menerapkan sistem bagi hasil mulai tahun 1984 tetapi karena kondisi politik maka

tidak sesukses Iran. Pada bulan Juli 1985 seluruh bank di Pakistan dirubah dengan

sistem profit sharing dan bunga dilarang. Sementara Indonesia sebagai negara yang

berpenduduk muslim terbesar di dunia dikategorikan terlambat penerapan sistem

bagi hasil di dalam praktik perbankan, diprakarsai oleh PT Bank Muamalat

Indonesia (BMI) pada tahun 1992. Sebelum perbankan dengan sistem syariah

dipraktikkan di Indonesia, perbankan di Indonesia dijalankan dengan sistem

perbankan konvensional yang dalam pelaksanaan operasionalnya menerapkan

sistem bunga. Hal mana dapat dipahami bahwa filosofi perbankan adalah lembaga

yang berorientasi pada keuntungan (profit) dengan mengabaikan kondisi nyata

nasabah.

B. Praktik Bunga di Perbankan

Dengan sistem bunga, bank seolah tidak peduli apakah usaha yang dilakukan

oleh nasabah itu sedang mengalami keuntungan atau kerugian. Hal ini dapat

menimbulkan eksploitasi oleh bank terhadap nasabah atau sebaliknya yang memiliki

ekses satu pihak seolah dirugikan sehingga terjadi ribawi. Perbedaan prinsip antara

sistem bunga pada sistem ekonomi konvensional dan sistem bagi hasil pada

ekonomi syariah, adalah terletak pada ―sistem return‖-nya. Sistem ekonomi

konvensional menggunakan bunga29

sebagai tolok ukur. Penetapan prosentase bunga

dilakukan diawal transaksi, sehingga besar nilai nominal dapat diketahui jumlahnya

serta kapan akan diperolehnya tanpa melihat laba rugi yang akan terjadi. Sedangkan

penetapan bagi hasil (atau disebut nisbah) dalam sistem ekonomi Islam, besarnya

ditetapkan diawal transaksi yang bersifat fixed, tetapi nilai nominal rupiahnya belum

dapat diketahui dengan pasti melainkan melihat laba rugi yang akan terjadi. Dalam

ekonomi konvensional, pihak yang menawarkan (tabungan) dan meminta dana

(peminjam) akan menerima atau membayar bunga yang bersifat fixed (tetap).

Sementara dalam ekonomi Islam, pihak yang menawarkan dana akan menerima dan

29 dalam Kamus Bank Indonesia-Bank Sentral Republik Indonesia, Bunga adalah

Interest, yangdidefinisikan sebagai imbalan yang diberikan dengan perhitungan berdasar

persentase tertentu terhadap jumlah dana yang disimpan ataupun dipinjamkan. Sumber:

http://www.mediabpr.com/kamus-bisnis-bank, diunduh pada 8 Pebruari 2019.

Page 43: IRPAN JAMIL - SPs.pdf - Repository UIN Syarif Hidayatullah ...

31

pihak yang membutuhkan dana akan membayar return (biaya) yang bersifat tidak

fixed yaitu bagi hasil.

Artinya, pada sistem bunga akan ada satu pihak yang pasti menerima

pendapatan yaitu kreditur (yang meminjamkan dana). Adapun pihak satunya yaitu

debitur (peminjam dana) belum tentu mendapatkannya karena dana yang dikelola

belum tentu memperoleh keuntungan atau mendapatkan keuntungan di bawah biaya

bunga sehingga kreditur terbebas dari risiko rugi. Hal ini bertentangan dengan teori

risiko dan sunnatullah. Risiko sebagai kemungkinan keuntungan menyimpang dari

yang diharapkan, dimana besar keuntungan yang diharapkan dari setiap sekuritas

tidak sama30

.

Block dan Hirt mengartikan risiko sebagai "a measure of uncertainty about

the outcomes from a given event. The greater the variability of possible outcomes,

on both the high side and low side, the greater risk”. Dalam teori portofolio, risiko

dinyatakan sebagai tingkat penyimpangan terhadap keuntungan yang diharapkan.

Cantilon berpendapat tentang ketidakpastian masa depan dan risiko yang akan

terjadi, ―bahwa masa depan itu penuh dengan ketidakpastian dan bawa semua

kegiatan ekonomi pada dasarnya mengandung risiko‖. Tetapi seseorang harus

mengambil risiko di masa sekarang demi mendapatkan keuntungan di masa depan.

Jika tidak, tidak akan ada kegiatan produksi yang dilakukan. Pengusaha yang

mengambil risiko karena itu sangat penting bagi perputaran proses produksi untuk

menjalankan proses ini dengan baik dan untuk memakmurkan ekonomi.

Adapun Sunnatullah yang dimaksudkan adalah manusia tidak tahu hasil dari

apa yang mereka usahakan besok karena itu merupakan urusan Allah, sebagaimana

disebutkan dalam QS Luqman ayat 34: Sesungguhnya Allah, hanya pada sisi-Nya

sajalah pengetahuan tentang Hari Kiamat; dan Dialah Yang menurunkan hujan, dan

mengetahui apa yang ada dalam rahim. Dan tiada seorangpun yang dapat

mengetahui (dengan pasti) apa yang akan diusahakannya besok. Dan tiada

seorangpun yang dapat mengetahui di bumi mana dia akan mati. Sesungguhnya

Allah maha mengetahui lagi maha mengenal.

Ayat tersebut memberikan pengertian bahwa manusia tidak dapat mengetahui

dengan pasti apa yang akan terjadi besok, tetapi manusia hanya bisa memperkirakan

dan hasilnya benar atau tidak merupakan ketentuan Allah. Manusia hanya

diharuskan berusaha diiringi dengan berdoa dan menyerahkan hasilnya kepada Allah

kembali. Ketidakpastian tersebut termasuk dalam mencari rejeki sehingga sangat

tidak adil apabila dalam sebuah transaksi ekonomi, ada pihak yang pasti

mendapatkan keuntungan, sedangkan pihak lain belum pasti mendapatkan

keuntungan?.

Pada kondisi ekonomi memburuk, debitur hanya mendapatkan keuntungan

kecil atau bahkan mengalami kerugian maka apakah adil apabila ia harus membayar

bunga yang tinggi. Sebaliknya, pada kondisi ekonomi membaik, debitur

mendapatkan keuntungan yang tinggi tetapi kreditur hanya mendapat bunga rendah,

maka apakah itu juga adil. Dengan demikian, dalam sistem bunga selalu terjadi

30 Sudin Haron, Islamic Banking Rules & Regulations, (Selanggor : Pelanduk

Publication, Darul Ehsan, Malaysia, 1997),h.134.

Page 44: IRPAN JAMIL - SPs.pdf - Repository UIN Syarif Hidayatullah ...

32

proses ketidakadilan yaitu selalu ada pihak yang melakukan eksploitasi dan

predatori, baik dalam kondisi ekonomi membaik maupun ekonomi yang memburuk.

Penerapan sistem bunga, memang seolah mendapatkan legitimasi oleh

Undang-undang Perbankan Indonesia. Hal mana ternyata dalam isi Pasal 1 angka (2)

yang merupakan filosofi lembaga keuangan berupa perbankan31

. Sementara Islam

memiliki prinsip-prinsip yang jelas bagi para pihak dalam transaksi investasi.

Menurut prinsip Islam, seorang pemilik dana atau financier harus menentukan

apakah ia memberikan pinjaman untuk membantu debitur karena alasan

kemanusiaan atau karena ingin mendapatkan bagian keuntungan. Jika ia ingin

membantu debitur, tidak boleh mengklaim kelebihan dari pinjaman pokoknya.

Karakteristik sistem perbankan berbasis bunga diatas sangat berbeda dengan

sistem ekonomi Islam (syariah) yang menerapkan sistem bagi hasil. Pada kondisi

ekonomi membaik, debitur, dan kreditur sangat berpotensi samasama mendapatkan

keuntungan yang tinggi sesuai dengan nisbah yang telah disepakati pada awal

transaksi. Ketika kondisi ekonomi memburuk akan memungkinan pendapatan

debitur menurun sehingga keuntungan pun menurun atau bahkan merugi. Pada saat

pendapatan menurun maka pembayaran bagi hasil juga menurun dan pada saat

mengalami kerugian maka kerugian tersebut ditanggung bersama oleh pihak-pihak

yang bertransaksi sesuai jumlah modal masing-masing pihak secara proporsional.

Oleh karena itu, dalam sistem ekonomi Islam dengan pola bagi hasil tidak ada pihak

yang bebas risiko. Dengan demikian, sistem bagi hasil adalah lebih adil, dan sistem

ini ini sesuai dengan hukum Allah (sunnatullah) tentang hasil usaha manusia di

keesokan harinya adalah ketentuan dan hak Allah sehingga manusia tidak dapat

mengetahuinya dengan pasti seperti yang disebutkan dalam QS Luqman ayat 34.

Perbedaan fundamental antara sistem bunga dan sistem bagi hasil secara singkat

dapat dilihat pada Tabel 2 di bawah ini.

Tabel. 2.1

Perbandingan sistem bunga dan sistem bagi hasil32

No. Bunga Bagi Hasil

1 Investasinya boleh halal dan

haram

Melakukan investasi-investasi yang

halal saja

2 Profit oriented dan cenderung Profit dan falah oriented dunia akhirat

31 Undang-undang Perbankan Nomor 10 tahun 1998: Dalam Pasal 1 angka (2)

disebutkan bahwa: Bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam

bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan atau

bentuk -bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak. Sementara

mengenai Kredit dijelaskan pula secara tegas mengenai definisinya, sebagaimana dalam

ketentuan Pasal 1 angka (11) bahwa kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat

dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam

antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya

setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga; Dengan tegas tersurat dalam

ketentuan angka (11) di atas bahwa bank konfensional menerapkan sistem bunga atas

pinjaman (utang) yang diberikan kepada pihak yang membutuhkan dana. 32 Muhammad Nafik H.R............., h.138.

Page 45: IRPAN JAMIL - SPs.pdf - Repository UIN Syarif Hidayatullah ...

33

mementingkan dunia dan

mengabaikan akhirat kelak

kelak

3 Hubungan dengan nasabah adalah

hubungan debitur-kreditur

Hubungan yang terbangun adalah

kemitraan

4 Setiap aktivitas tidak wajib sesuai

Alquran, Hadis, Ijma' Qiyas/fatwa

dan tidak terdapat dewan sejenis

Dewan Pengawas Syariah (DPS)

Setiap aktivitas wajib sesuai Alquran,

Hadis, Ijma' Qiyas/fatwa dan terdapat

dewan sejenis Dewan Pengawas Syariah

(DPS)

5 Penentuan tingkat suku bunga

dibuat ada waktu akad dan tidak

berhubungan dengan untung rugi

Penentuan besarnya rasio (nisbah) bagi

hasil dibuat pada waktu akad dan

berhubungan dengan untung rugi

6 Pembayaran bunga berdasarkan

pada persentasi terhadap jumlah

dana (based of fund)

Pembayaran bagi hasil berdasarkan pada

keuntungan yang diperoleh (based of

income)

7 Pembayaran bunga tetap seperti

yang diperjanjikan, tidak

tergantung dari pendapatan

proyek/usaha yang dijalankan

Besarnya bagi hasil tergantung pada

keuntungan/kerugian proyek yang

dijalankan

8 Kontroverisal dan dikecam oleh

seluruh agama

Tidak ada yang meragukan keabsahan

bagi hasil

C. Pembiayaan Musyarakah dan Mudharabah Perspektif Hukum Ekonomi

Islam

1. Dasar hukum musyarakah

Dalam sejumlah kitab fikih dikatakan bahwa hukum syirkah bersumber pada

al-Quran, al-Sunnah, dan Ijma' (konsensus). Perinciannya adalah:

a. Dalam QS. Shad (38): 24, Allah berfirman:

ه ٱلخلطاء ليبغي بعضهم على قال لقد ظلمك بسؤال وعجتك إلى وعاجهۦ وإن كثيسا م

تغس زب بعض إل ه ٲ وما تى اود ا م وظه م وقلي ل هد ٱلرنه ءامىىا وعملىا ٱل

وخس زاكعا وواب۩ ―Daud berkata, 'sesungguhnya dia telah berbuat zalim kepadamu dengan meminta

kambingmu untuk ditambahkan kepada kambingnya. Dan sesungguhnya,

kebanyakan dari orang-orang yang berkongsi itu sebagian mereka berbuat zalim

kepada sebagian yang lain, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan

amal saleh; dan amat sedikitlah mereka ini'. Daud mengetahui bahwa Kami

mengujinya maka dia meminta ampun kepada Tuhannya lalu bersungkur sujud dan

bertaubať".

Al-Syirazi, dalam kitab al-Muhadzdzab, berpendapat bahwa yang dimaksud

al-khulatha‟ adalah menggabungkan atau menyatukan modal. Oleh karena itu,

Page 46: IRPAN JAMIL - SPs.pdf - Repository UIN Syarif Hidayatullah ...

34

secara tegas beliau menyatakan bahwa syirkah-amwal yang modalnya tidak

disatukan (al-ikhtilath) tidaklah sah.33

Al-Syirazi juga menyampaikan pendapatnya mengenai syarat mitra (syarik)

sebagai subjek atau personalia hukum syirkah. Dalam pandangannya, makruh

hukumnya berkongsi dengan non muslim (Yahudi, Nasrani, maupun Majusi).

Alasannya adalah hadits riwayat dari Ibn Abbas r.a., Rasulullah Saw. bersabda:

―Kalian dilarang melakukan syirkah dengan Yahudi, Nasrani, dan Majusi.

Kemudian aku (Ibn Abbsa) bertanya, 'Kenapa?. Rasulullah menjawab, ―Sebab

(usaha yang mereka lakukan menghalalkan) riba dan riba tidak halal (bagi kalian)‖.

b. Dalam hadis qudsi riwayat Imam Abu Daud (nomor 3.383), Rasulullah

2. Saw. bersabda:34

Dari Abu Hurairah dan me-rafa-kannya, ia berkata, ―Sesungguhnya Allah

berfirman, 'Aku adalah pihak ketiga atas dua pihak yang ber-syirkah (bersekutu),

selama salah satu pihak tidak berkhianat terhadap pihak yang lainnya. Apabila salah

satu pihak berkhianat terhadap pihak yang lainnya, Aku keluar dari syirkah

tersebut".

Dalam kitab al-Iqna' (2/41) dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan "Allah

bersama pihak yang ber-syirkah" adalah bahwa Allah menjaga mereka dan

menolongnya serta memberkahi usaha mereka. Apabila di antara mereka berkhianat

terhadap mitra lainnya, Allah tidak akan membantu mereka dan usaha mereka tidak

diberkahi.35

c. Dalam hadis riwayat al-Daruquthni (3/35; nomor 140), diriwayatkan

bahwa Rasulullah Saw. bersabda:36

―Kekuasaan Allah berada di atas para pihak yang ber-syirkah (bersekutu) selama

pihak yang satu tidak berkhianat kepada pihak lainnya‖.

d. Dalam hadis riwayat Abu Daud (nomor 4.196) dan Ibn Majah (nomor

2.278), al-Khathib al-Syarbini al-Syafi'i menjelaskan bahwa:

―Dalil pokok hukum (syirkah) sebelum ijma' adalah hadis dari alSa'ib Ibn Yazid

yang menjelaskan bahwa dia merupakan mitra Rasulullah (dalam berbisnis) sebelum

33 Abi Ishaq Ibn Ibrahim Ibn Ali Ibn Yusuf al-Firuz Abadi al- Syirazi, al-Muhadzdzab

fi Figh Madzhab al-Imam al-Syafi'i Radhiya Allah 'anh (Beirut: Dar al-Fikr. 1994), vol. I, h.

481. 34 Hadis ini termasuk hadis qudsi. Lihat Abu Daud Sulaiman Ibn al-Asy'ats al-

Sijistani, Sunan Abi Dawud (Bandung: Dahlan. t.th), vol. III, h. 256. 35 Ali Jum'ah Muhammad, Mausu'ah Fatawa al-Mu'amalat al-Maliyyah li al-

Masharif wa al Mu'assasat al-Maliyyah al-Islamiyyah (Kairo: Dar al-S m. 2009), vol. III, h.

18. 36 Ali Jum'ah Muhammad, Mausu'ah Fatawa al-Mu'amalat… h. 18.

Page 47: IRPAN JAMIL - SPs.pdf - Repository UIN Syarif Hidayatullah ...

35

beliau diutus menjadi Rasul, dan (hal itu menjadi) kebanggaan baginya setelah

beliau diutus menjadi Rasul".

e. Dalam kitab Nail al-Authar dan Subul al-Salam Syarh Bulugh al-

Maram dijelaskan hadis riwayat Ahmad, Abu Daud, dan Ibn Majah dari

al-Sa'ib al-Makhzumi r.a., beliau merupakan mitra bisnis Rasulullah

sebelum bi'tsah (beliau diutus menjadi Rasul). Pada saat penaklukan

(fath) Makkah, kepada al-Sa'ib al-Makhzumi r.a., Rasulullah Saw.

bersabda:37

"Selamat datang wahai saudaraku dan sekutuku (dalam

berbisnis)". Dalam teks lainnya dikatakan bahwa Rasulullah Saw.

Bersabda yang artinya :38

―Engkau adalah mitraku (dalam berbisnis)

pada masa jahiliah. Pada waktu itu engkau adalah mitraku yang terbaik,

engkau tidak mencegahku dan tidak menjelek-jelekanku (tidak pernah

sengketa denganku)".

f. Al-Marghinani al-Hanafi, dalam kitab al-Hidayah Syarh Bidayat al

Mubtadi (3/3), menjelaskan bahwa:39

"(Hukum) syirkah adalah boleh

karena pada saat Muhammad Saw. diutus menjadi Rasul, masyarakat

(terbiasa) melakukan akad syirkah dan beliau mengukuhkannya

(sebagai bagian dari syariah)".

g. Dalam sebuah hadits dijelaskan bahwa Rasulullah Saw. bersabda:40

"(Berpegang teguh pada) amanah akan mendatangkan rezeki dan

khianat akan membuat pelakunya menjadi fakir‖.

Penjelasan hadits tersebut adalah bahwa Allah akan memberkahi pihak-

pihak yang melakukan akad syirkah-baik syirkah harta/amwal maupun

syirkah keterampilan/'abdan-selama dalam syirkah tersebut tidak

terdapat pengkhianatan. Oleh karena itu, pengkhianatan dapat menjadi

penghalang (mani) berkah. Dengan kata lain, pengkhianatan dalam

akad syirkah menjadi faktor penyebab hilangnya keberkahan harta

dan/atau usaha.41

h. Dalam hadis shahih riwayat Bukhari dari Ubai al-Minhal, beliau

menjelaskan bahwa:42

yang artinya"Zaid Ibn Arqam dan al-Barra' Ibn

'Azib melakukan persekutuan. Mereka membeli perak, baik secara tunai

maupun tangguh. Hal tersebut kemudian sampai kepada Nabi Saw.

37 Muhammad Ibn Ismail al-Kahlani, Subulus al Salam (Bandung: Dahlan, uth), vol.

III, h, 64, 38 Muhammad Ibn Ali Ibn Muhammad al-Syaukani, Nail al-Authar Syarh Muntaqa al

Akhbar (Mesir: Mushthala al-Babi al Halabi wa Auladuh. 1347 H), vol. V, h. 223 39 Ali Jum'ah Muhammad, Mausu'ah Fatawa al-Mu'amalat al-Maliyyah li al-

Masharif wa al Mu'assasat al-Maliyyah al-Islamiyyah (Kairo: Dar al-S m. 2009), vol. III, h.

18. 40 Ali Fikri, Muamalat al-Madiyah wa al-Adabiyah (Mesir: Mushthafa al-Babi al-

Halabi wa Awladuh, 1946), vol. III, h. 242. 41 Al-Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah (Beirut: Dar al-Fikr. 1983), vol. III, h. 294. 42 Muhammad Ibn Ali Ibn Muhammad al-Syaukani, Nail al-Authar Syarh Muntaqa al

Akhbar (Mesir: Mushthala al-Babi al Halabi wa Auladuh. 1347 H), vol. V, h. 224

Page 48: IRPAN JAMIL - SPs.pdf - Repository UIN Syarif Hidayatullah ...

36

maka Nabi Saw. memerintahkan keduanya: adapun membeli (perak)

secara tunai, aku membolehkannya; akan tetapi, jika membelinya

secara tangguh, aku menolaknya (melarang)‖. Hadis ini, dalam

pandangan 'Athiyah 'Adlan 'Athiyah Ramdhan, menunjukkan bahwa

syirkah merupakan akad yang telah ada sebelum kerasulan Muhammad

Saw. Akan tetapi, beliau menolak praktik usaha syirkah yang

menyalahi kaidah syariah.43

i. Dalam hadis riwayat al-Nasa'i dari Abdullah Ibn Mas'ud, beliau

berkata; ―Aku berkongsi dengan 'Ammar dan Sa'd mengenai harta

(rampasan yang akan didapatkan pada Perang Badar. Abdullah lalu

berkata, Sa'd berhasil membawa dua tawanan; sedangkan aku dan

'Ammar tidak berhasil membawa apa-apa‖. Hadis ini merupakan dalil

dibolehkannya syirkah-abdan (syirkaha'mal), yaitu berkongsi dalam

suatu pekerjaan. Hadis riwayat riwayat Abu Daud, Tirmidzi, dan Ibn

Majah mengenai syirkah termasuk hadis munqathi (terputus sanad-nya)

karena Abu Ubaidah tidak mendengar langsung dari ayahnya, Abdullah

Ibn Mas'ud. Syirkah-abdan sah hukumnya dalam pandangan al-

Hadawiyah dan Abu Hanifah. Sementara Imam al-Syafi'i dan Ibn Hazm

berpendapat bahwa syirkah-abdan tidak sah.44

j. Dalam kitab al-Mughni (5/3) dijelaskan bahwa:45

―Sungguh umat Islam

telah ber-ijmak (sepakat) terkait bolehnya syirkah secara umum". Ibn

Mundzir menjelaskan bahwa ulama telah sepakat (ijma') mengenai

bolehnya syirkah.46

k. Di samping itu, dalam konteks kekinian dan keindonesiaan, syirkah

didasarkan juga terdapat pada hukum dan peraturan perundang-

undangan, baik yang tertulis maupun tidak tertulis. Di antaranya fatwa

Dewan Syariah Nasional-Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI), yaitu:

1) Fatwa DSN-MUI Nomor 7 Tahun 2000 tentang Pembiayaan

Mudharabah (Qiradh).

2) Fatwa DSN-MUI Nomor 8 Tahun 2000 tentang Pembiayaan

Musyarakah.

3) Fatwa DSN-MUI Nomor 73 Tahun 2000 tentang Musyarakah

Mutanaqishah.

43 Athiyah 'Adlan 'Athiyah Ramadhan, Mausu'ah al-Qawa'id al-Fiqhiyyah (al-

Iskandariyah: Dar al-Aiman. 2007), h. 440. 44 Muhammad Ibn Isma'il al-Kahlani, Subul al-Salam (Bandung: Dahlan. t.th), vol.

III, h. 64. 45 Ali Jum'ah Muhammad, Mausu'ah Fatawa al-Mu'amalat al-Maliyyah li al-

Masharif wa al Mu'assasat al-Maliyyah al-Islamiyyah (Kairo: Dar al-S m. 2009), vol. III, h.

18. 46 Al-Khathib menjelaskan bahwa dalam syirkah terkandung berkah dan pertolongan

Allah yang akan hilang apabila salah satu syarik berkhianat, Lihat Muhammad alSyarbini al-

Khathib, al-Iqna' fi Halli Alfazh Abi Syuja‖ (Indonesia: Dar Ihya' al-Kutub alArabiyah. t.th),

vol. II, hlm. 41; dan Al-Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah (Beirut: Dar al-Fikr. 1983), vol. III, h.

294.

Page 49: IRPAN JAMIL - SPs.pdf - Repository UIN Syarif Hidayatullah ...

37

Di antara peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar hukum bagi

praktik syirkah adalah:

1) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2008 tentang Surat Berharga Syariah

Negara/SBSN.

2) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah.

3) Peraturan Bank Indonesia (PBI) dan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan

(POJK).

Dalam al-Quran dan sunah nabi Muhammad Saw. secara tekstual termasuk syirkah

(persekutuan). Syirak pada ayat dan hadits tersebut bukan merupakan institusi bisnis

atau keuangan, melainkan termasuk ranah atau domain tabarru': waris dan

kepemilikan umum, yaitu:

1. Dalam QS. an-Nisa' (4): 12, Allah berfirman:

نه لك هم شسكاء ي ٱلثلث مه بعد وصية نىصى بها و ئن كاوىا كثس مه ذ

ه عليم حليم غيس مضاز وصية م وٱلل ٱللTetapi jika saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, maka mereka

bersekutu dalam yang sepertiga itu, sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat

olehnya atau sesudah dibayar hutangnya dengan tidak memberi mudharat

(kepada ahli waris). (Allah menetapkan yang demikian itu sebagai) syari'at

yang benar-benar dari Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha

Penyantun. Syirkah pada ayat ini terjadi pada pembagian mauruts (harta

warisan).

2. Dalam hadis riwayat Abu Daud, Ibn Majah, dan Ahmad dijelaskan bahwa

Rasulullah Saw. bersabda: ―Umat Islam bersekutu (berkongsi) dalam tiga

hal, yaitu air, rumput, dan api‖. Dalam hadis riwayat Abu Daud (nomor

3.477) dijelaskan bahwa Rasulullah Saw. bersabda:47

"Umat Islam ber-

syirkah dalam tiga hal, yaitu rumput, air, dan api‖.

Berkaitan dengan hadis tersebut, Rafiq Yunus al-Mishri (dari Universitas al-

Malik Abd al-'Aziz di Jeddah) memperkenalkan istilah syirkah ibahah (syirkat al-

ibahah), yaitu kepemilikan bersama atas air, rumput, dan api yang belum menjadi

milik perorangan. Benda-benda tersebut menjadi milik bersama (umum), seperti

jalan raya dan masjid.

Akad musyarakah dilakukan para pihak atas dasar dua pertimbangan.

Pertama, masing-masing mitra memiliki modal usaha, baik modal berupa uang atau

barang maupun keterampilan usaha. Kedua, para pihak melakukan syirkah atas dasar

saling percaya (amanah).

Di antara sifat Rasulullah yang wajib ditiru umat Islam dalam berbisnis adalah

sifat amanah (dapat dipercaya). Sebaliknya, sifat yang dilarang sehingga wajib

dihindari adalah khianat. Dalam sebuah hadis diriwayatkan bahwa Rasulullah Saw.

bersabda: ―Ciri munafik ada tiga: jika bicara berdusta, jika berjanji ingkar, dan

dipercaya khianat".

Dengan demikian, orang yang berkhianat adalah orang munafik. Di samping

terminologi khianat sebagai kebalikan dari sifat amanah, dikenal pula istilah

―menyia-nyiakan amanah‖. Rasulullah Saw. melarang umat Islam menyia-nyiakan

47 Abu Daud al-Sijistani, Sunan Abi Daud (Bandung: Dahlan. t.th), vol. III, h. 278.

Page 50: IRPAN JAMIL - SPs.pdf - Repository UIN Syarif Hidayatullah ...

38

amanah karena mengakibatkan adanya kerusakan dan kehancuran. Rasulullah Saw.

bersabda: ―Apabila amanah disia-siakan, tunggulah kehancurannya‘. Kemudian

Rasulullah Saw. ditanya, 'Bagaimana menyia-nyiakannya wahai Rasulullah?' Beliau

bersabda, 'Apabila sesuatu diserahkan kepada selain ahlinya, tunggulah

kehancurannya‖.

Atas dasar hadits tersebut, Ali Fikri menyatakan dua hal: pertama, tidaklah

termasuk beragama orang yang menyia-nyiakan amanah dan rida dengan

pengkhianatan. Kedua, orang yang berkhianat berarti berdusta dan orang yang

bahagia pada saat berdusta berarti orang tersebut tidak termasuk orang yang berbuat

ihsan.

Orang atau pihak yang amanah, sebagaimana dijelaskan Ali Fikri, adalah

orang yang di dalam dirinya terakumulasi lima sifat: terjaga kehormatannya (al-

muru'ah), terhormat (al-syarif), jujur (al-shidq), ikhlas (tanpa pamrih (al-ikhlash]),

dan baik dalam ber-mu'amalah (husn al-mu'amalah).48

Beberapa pengertian khianat secara etimologis adalah sikap mental orang

yang tidak konsisten dengan amanah yang telah diterimanya atau mengambil hak

orang lain tanpa hak. Amanah-kebalikan dari khianat diartikan sebagai sikap dan

tindakan yang berupa pemeliharaan kepercayaan menyangkut hak-hak pihak lain

yang dilakukan atas dasar perjanjian.49

2. Sejarah Singkat Syirkah

Syirkah merupakan salah satu akad bisnis yang telah ada sebelum Islam. Al-

Sayyid Sabiq menegaskan bahwa syirkah-'inan telah ada sejak Nubuwah. Para

sahabat Nabi Saw. ketika itu telah ber-syirkah (berkongsi) untuk membeli sesuatu,

masing-masing sahabat menyerahkan hartanya (antara lain berupa uang) untuk

membeli barang. Setelah barang dimaksud dibeli, kemudian dibagikan kepada

sahabat secara proporsional.50

Al-Shawi menegaskan bahwa syirkah dengan tujuan berbisnis, yaitu guna

mendapatkan keuntungan, telah ada sebelum Islam. Manusia (termasuk sahabat

Nabi Saw.) melakukannya sehingga eksistensinya dikukuhkan oleh Nabi Saw. Dari

segi penjelasan al-Shawi, syirkah termasuk sunnah-taqririah. Sedangkan dalam

riwayat Ahmad dari Sa'ib Ibn Abi Sa'ib bahwa Nabi Saw. melakukan syirkah guna

mendapatkan keuntungan pada zaman jahiliah.51

Imam Hasan, dalam kitab al-Rawdhah al-Nadiyah, menjelaskan bahwa

syirkah--uqud dan semua syirkah yang dicakupnya (syirkah-inan, syirkah

mufawadhah, syirkah-'abdan, dan syirkah-wujuh) bukanlah akad yang termasuk

48 Ali Fikri, Muamalat al-Madiyah wa al-Adabiyah (Mesir: Mushthafa al-Babi al-

Halabi wa Awladuh, 1946), vol. III, h. 242. 49 Nasroen Haroen (ed), Ensiklopedi Hukum Islam (Jakarta: PT Ichtiar Baru van

Hoeve. 2003), vol. III, h. 913 50 Al-Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah (Beirut: Dar al-Fikr. 1983), vol. III, hlm. 297-

298. 51 Muhammad Shalah Muhammad al-Shawi, Musykilat al-Istitsmar fi al-Bunuk al-

Islamiyah wa Kaifa 'Alajaha al-Islam (Al-Manshurah: Dar al-Wafa. 1990), hlm. 141-142.

Page 51: IRPAN JAMIL - SPs.pdf - Repository UIN Syarif Hidayatullah ...

39

syar'i (akad bernama dari segi syariah atau al-'aqd al-musamma), melainkan

termasuk istilah baru (akad tidak bernama atau al-'aqd ghair al-musamma).52

Syirkah telah ada sebelum Islam yang kemudian dikokohkan eksistensinya

oleh Nabi Muhammad Saw. Para sahabat telah ber-mudharabah dengan pihak

Yahudi dengan sepengetahuan Nabi Saw. Nabi Saw. tidak menghapuskannya

(naskh) juga tidak melarangnya. Al-Khulafa' al-Rasyidun (Abu Bakar, Umar,

Utsman, dan Ali ) serta sahabat sesudahnya tidak ada yang melarang praktik syirkah.

Oleh karena itu, para sahabat melakukan syirkah atas dasar kebiasaan (al-'adah)

yang sudah dilakukan sebelumnya. Praktik yang demikian dianggap relevan dengan

sabda Nabi Saw., yaitu:53

"Tidaklah sesuatu itu dihukumi haram, kecuali telah

diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya".

3. Hukum Ber-syirkah

Hukum melakukan syirkah (kongsi) pada prinsipnya adalah boleh (al-ibahah)

sebagai hukum asalnya, sebagaimana hukum asal jual-beli atau akad lainnya yang

menyebabkan berpindahnya kepemilikan objek akad. Akan tetapi, hukumnya bisa

bergeser menjadi sunah, wajib, makruh, atau haram. Berikut perinciannya:

a. Boleh (al-ibahah)

Hukum asal syirkah adalah boleh karena syirkah termasuk akad yang bersifat

pilihan (al-ikhtiyariyah), baik pada fase awal maupun keberlanjutannya. Oleh karena

itu, tidak sah syirkah yang bersifat idhthirariyah (mengandung mudharat) dan

dilakukan di bawah paksaan atau ancaman (al-ikrah). Apabila para mitra bersepakat

untuk melakukan kongsi, lakukanlah kongsi. Sebaliknya, apabila mereka

berkehendak untuk mengakhirinya (menyudahinya), bagikanlah modal usaha secara

proporsional sebagai tanda diakhirinya akad syirkah.

b. Sunah (al-nadb [al-mandub])

Hukum syirkah menjadi sunah apabila dilakukan dalam rangka memenuhi

kebutuhan hidup atau mitigasi risiko. Hadits tentang tanahud dipahami sebagai

hadits yang menjelaskan syirkah karena dilakukan dalam rangka mencukupi

perbekalan semua orang yang melakukan perjalanan (karena diduga bahwa

perbekalan tidak mencukupi apabila tidak digabungkan/dikelola masing-masing).

Dalam tanahud, semua mitra yang melakukan perjalanan mendapatkan manfaatnya

tanpa ada yang disakiti di antara mereka.

c. Wajib

Hukum syirkah dapat berubah menjadi wajib apabila syirkah yang dialami

mitra bersifat ijbari (paksa). Dalam hal ini, syirkah yang termasuk dalam domain

syirkah-milik (bukan syirkah-'uqud) seperti menerima harta warisan secara bersama

(QS. an-Nisa' [4]: 12) atau syirkah-mubahat atas kepemilikan air, api, dan rumput.

d. Haram

52 Al-Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah (Beirut: Dar al-Fikr. 1983), vol. III, h. 297. 53 Al-Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah (Beirut: Dar al-Fikr. 1983), vol. III, h. 300.

Dalam kitab Dhawabith al-Mitsli wa al-Qimi fi al-Mu'amalat al-Maliyah, dijelaskan bahwa

syirkah-inan juga termasuk syariat yang dikukuhkan yang telah ada sebelumnya. Lihat al-

'Isawi, Dhawabith al-Mitsli, h. 25.

Page 52: IRPAN JAMIL - SPs.pdf - Repository UIN Syarif Hidayatullah ...

40

Hukum ber-syirkah berubah menjadi haram apabila dalam syirkah tersebut

terdapat unsur saling membantu (kerja sama) dalam berbuat dosa dan permusuhan

(QS. al-Ma'idah [5]: 2) serta me-mudharat-kan masyarakat umum, di antaranya ber-

syirkah untuk memproduksi atau memperjualbelikan barang-barang haram dari segi

substansinya (haram li dzatih) maupun melakukan tindakan yang dilarang, seperti

melakukan penimbunan (al-ihtikar) dan penipuan (al-gisysy).

e. Makruh (karahah)

Hukum ber-syirkah berubah menjadi makruh apabila dalam syirkah tersebut

terdapat unsur yang dimakruhkan, di antaranya memperdagangkan benda-benda

yang dimakruhkan (seperti jual-beli binatang buas).54

4. Pendapat Ulama mengenai Hukum Syirkah

Salah satu ciri fikih adalah beragamnya pendapat ulama, baik dalam

merumuskan konsep syirkah dan cakupannya (misalnya apakah mudharabah

merupakan bagian dari syirkah atau akad yang berdiri sendiri) maupun status

hukumnya (boleh-tidak bolehnya atau halal-haramnya). Secara umum, pendapat

ulama mengenai akad syirkah dapat disederhanakan sebagai berikut:

a. Ulama Hanabilah menjelaskan bahwa ruang lingkup syirkah--uqud dapat

dilihat dari harta yang dijadikan modal (ra'sal-mal), baik berupa harta

(syirkah-amwal), keahlian (syirkah-'abdan/a‟mal), maupun reputasi

(syirkah-wujuh), baik kuantitas/kualitasnya sama (mufawadhah) maupun

tidak ('inan).

b. Ulama sepakat tentang bolehnya akad syirkah-amwal yang jumlah modal

masing-masing pihak tidak harus sama (syirkat al-amwal “inan[an] atau

syirkat al-'inan fi al-amwal).

c. Ulama Malikiah tidak mengakui keabsahan syirkah-wujuh karena dalam

syirkah-wujuh tidak terdapat harta atau keterampilan yang disatukan untuk

dijadikan modal usaha dan tidak pula mengakui keabsahan syirkah-

mufawadhah.55

d. Imam al-Syafi'i hanya mengakui keabsahan syirkah-amwal‟inan. Dalam

pandangan Imam al-Syafi'i, syirkah-mufawadhah, syirkah-'abdan, dan

syirkah-wujuh adalah batal (tidak sah) hukumnya.56

e. Dalam kitab al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh, Wahbah al-Zuhaili menjelaskan

bahwa ulama Hanafiah, Zhahiriah, dan Imamiah (Syi'ah) berpendapat bahwa

54 Muhammad Tawil, al-Syirkat wa Ahkamuha fi al-Fiqh al-Islami (Beirut: Dar Ibn

Hazm. 2009), h. 46-48. 55 Abu al-Walid Muhammad Ibn Ahmad Ibn Muhammad Ibn Ahmad Ibn Rusyd,

Bidayat al-Mujtahid wa Nihayat al-Muqtashid (Semarang: Thaha Putra. T.th), juz II, h. 189-

192; dan al-Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah (Beirut: Dar al-Fikr. 1983), vol. III, h. 295. 56 Secara lebih tegas pernyataan tersebut dapat dilihat dalam al-Sayyid Muhammad

Syatha' al-Dimyathi , l'anat al-Thalibin (Semarang: Thaha Putra. t.th) , vol. III, hlm. 104.

Al-Dimyathi menegaskan bahwa hukum syirkah-inan fi al-amwal boleh karena terhindar dari

riba. Lihat juga Syihab al-Din al-Qalyubi dan al-Syaikh Umairah, Qalyubi wa ‗Umairah

(Indonesia: Dar Ihya ' al-Kutub al-'Arabiyah. t.th), vol. III, hlm. 333; dan Taqiy al-Din Abi

Bakr Ibn Muhammad al-Husaini, Kifayat al-Akhyar fi Hall Gayat al-Ikhtishar (Semarang:

Thaha Putra. t.th), vol. I, hlm. 281.

Page 53: IRPAN JAMIL - SPs.pdf - Repository UIN Syarif Hidayatullah ...

41

semua syirkah-uqud batal hukumnya, kecuali syirkah-amwal-Sinan dan

syirkah-mudharab

5. Akad Mudharabah

a. Definisi Akad Mudharabah

Asal kata mudharabah adalah dharaba yang memiliki arti beragam karena

mencari rezeki (dharaba al-thair); mencampur (dharaba al-syai' bi al-syai);

bergantung pada kata ikutannya. Beberapa arti harfiahnya adalah pergi berniaga atau

berdagang (dharaba fi al-mal bi al-mal). Wahbah al-Zuhaili menjelaskan salah satu

arti mudharabah secara harfiah adalah melakukan perjalanan di muka bumi (al-sir fi

al-ardh); beberapa derivasi kata al-sir adalah istar atau istiyar yang berarti belanja

untuk keperluan dalam perjalanannya.57

Dalam literatur fiqh muamalah terdapat dua istilah yang digunakan untuk

menunjukkan usaha bagi hasil yang modalnya secara penuh disediakan oleh salah

satu mitra atau syarik (shahib al-mal), yaitu mudharabah dan qiradh atau

muqaradhah. Dua istilah tersebut memiliki arti yang sama; hanya saja digunakan

oleh ulama yang berbeda. Pada zaman tabi'in terdapat dua pusat pengembangan ilmu

fikih, yaitu Hijaz (Madinah) dan Irak atau dikenal juga dengan Baghdad. Bagi ulama

Irak, kerja sama antara pemodal dan pelaku usaha disebut mudharabah, sedangkan

ulama Hijaz menyebutnya qiradh atau muqaradhah yang secara harfiah berarti al-

qath' (terputus). Hak pemilik modal untuk berusaha dengan modal tersebut telah

ditiadakan karena diserahkan kepada mudharib.58

Akad mudharabah secara historis tidak bisa dilepaskan dari konsep syirkah

karena mudharabah bagian dari syirkah. Syirkah merupakan perkongsian atau

bentuk kerja sama usaha tertentu guna mendapatkan keuntungan (berorientasi pada

profit).

Kerja sama usaha (syirkah) untuk mendapatkan keuntungan, secara umum

dibedakan menjadi empat, salah satunya syirkah-mudharabah, yaitu kerja sama

usaha yang modal usahanya (ra's al-mal) disediakan oleh salah satu syarik,

sedangkan syarik lainnya menyertakan keterampilan usaha/ bisnis. Dengan

demikian, akad mudharabah dalam pandangan sejumlah ulama merupakan bagian

dari akad syirkah. Secara konseptual, syirkah mudharabah merupakan

pengembangan yang berupa perpaduan antara syirkah-amwal dan syirkah-abdan.

Akad mudharabah merupakan akad kerja sama usaha yang dilakukan antara

dua pihak atau lebih dengan modal usaha dari salah satu pihak (tanpa ikut serta

dalam bisnis) dan keahlian usaha dari pihak lain (tanpa ikut dalam penyertaan

modal). Kerja sama antara pemodal dan pelaku usaha disebut syirkah mudharabah.

Oleh karena itu, dalam kitab Lisan al-'Arab dijelaskan bahwa syirkah-mudharabah

57 Wahbah al-Zuhaili, al-Mu'amalat al-Maliyyah al-Mu'ashirah (Beirut: Dar al-Fikr.

2002), hlm. 105; dan lihat S. Askar, Al-Azhar: Kamus Arab-Indonesia (Jakarta: Senayan

Publishing. 2009), hlm. 357 dan 440-441. 58 Al-Sayid Sabiq, Fiqh al-Sunnah (Beirut: Dar al-Fikr. 1983), vol. 111, hlm. 212; dan

Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu (Beirut: Dar al-Fikr al-Mu‘shir. 1997),

vol. V, h. 3923.

Page 54: IRPAN JAMIL - SPs.pdf - Repository UIN Syarif Hidayatullah ...

42

adalah usaha-bisnis yang dilakukan oleh pihak tertentu atas dasar modal dari milik

pihak lain yang dilakukan berdasarkan kepercayaan (trust/amanah).59

Bisnis dilakukan oleh pelakunya guna mendapatkan keuntungan yang akan

dibagikan secara proporsional atau sesuai kesepakatan di antara pihak-pihak yang

ber-syirkah. Akan tetapi, bisnis yang dilakukan akan memiliki banyak

kemungkinan; setidaknya akan ada tiga kemungkinan: 1) laba/untung (ribh/profit);

2) rugi/khasarah/lost; atau 3) balik modal (tidak untung dan tidak rugi dari segi

jumlah modal). Dalam syirkah mudharabah, keuntungan dibagi antara pemilik

modal (shahib al-mal) dan pelaku usaha/pebisnis/mudharib berdasarkan nisbah yang

disepakati. Kerugian dibebankan hanya kepada shahib al-mal, kecuali kerugian

tersebut terjadi karena kelalaian mudharib.60

b. Dalil Mudharabah dan Pendapat Ulama

Akad mudharabah didasarkan pada ayat al-Quran dan hadis Nabi Muhammad

Saw., antara lain:

1) Dalam QS. al-Muzzamil (73):20, Allah berfirman:

وءاخسون ٱلل وءاخسون نضسبىن ي ٱلزض نبتغىن مه ض ―... (Di antara kamu ada) orang-orang yang berjalan di muka bumi mencari

sebagian karunia Allah..." Penafsiran terhadap kalimat yadhribun fi al-ardh

adalah bahwa mereka melakukan perjalanan untuk melakukan perniagaan

(yusafirun li al-tijarah).61

2) Hadits yang berupa taqrir atas perbuatan sahabat, yaitu "Abbas Ibn Abd al-

Muthallib jika menyerahkan harta sebagai mudharabah, ia mensyaratkan

kepada mudharib-nya agar tidak mengarungi lautan dan tidak menuruni

lembah, serta tidak membeli hewan ternak. Jika persyaratan itu dilanggar, ia

(mudharib) harus menanggung risikonya. Ketika persyaratan yang

ditetapkan Abbas itu didengar Rasulullah, beliau membenarkannya‖.

3) Hadis riwayat Ibn Majah dari Shuhaib, yaitu ―Nabi bersabda, ―Ada tiga hal

yang mengandung berkah: jual-beli tidak secara tunai, muqaradhah

(mudharabah), dan mencampur gandum dengan jewawut untuk keperluan

rumah tangga, bukan untuk dijual".

Akad mudharabah dibedakan menjadi dua, yaitu: 1) akad mudharabah

muthlaqah (mudharabah tidak terikat/bebas) dan 2) akad mudharabah muqayyadah

(mudhabarah terikat). Karena mudharabah sama dengan qiradh, terdapat

terminologi lainnya yang hampir sama dengan ragam mudharabah tersebut.

Mudharabah muthlaqah sama dengan qiradh 'am, sedangkan mudharabah

muqayyadah sama dengan qiradh khash.62

Perbedaan keduanya dijelaskan oleh Wahbah al-Zuhaili sebagai berikut:

59 Abd al-Sattar Abu Ghadah, Buhuts fi al-Mu'amalat wa al-Asalib al-Masharifiyah

alIslamiyyah (t.t: Majmu'ah Dilah al-Barkah. 2003), vol. I, h 217. 60 Wahbah al-Zuhaili , al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh (Beirut: Dar al-Fikr al-Mu'ashir.

1997), vol. V, h. 3924. 61 Wahbah al-Zuhaili, al-Mu'amalat al-Maliyyah al-Mu'ashirah (Beirut: Dar al-Fikr.

2002), h. 106. 62 Ahmad Hasan, Nazhariyyat al-Ujur fi al-Fiqh al-Islami: Dirasah Tahliliyyah

Mubtakirah li Fiqh al-Mu'amalat al-Maliyah (t.t: Dar Iqra'. t.th), h. 302.

Page 55: IRPAN JAMIL - SPs.pdf - Repository UIN Syarif Hidayatullah ...

43

a) Mudharabah tidak terikat adalah penyerahan modal dari shahib al-mal

kepada mudharib guna melakukan usaha (bisnis) tanpa ditentukan jenis

usahanya, tempatnya, waktunya, sifat bisnisnya, dan/atau pihak yang

melakukan usahanya.63

b) Mudharabah terikat adalah akad mudharabah yang berupa penyerahan

modal dari shahib al-mal kepada mudharib untuk melakukan usaha (bisnis)

yang ditentukan jenis usahanya, tempatnya, waktunya, sifat bisnisnya,

dan/atau pihak yang melakukan usahanya.

Ulama sepakat mengenai sahnya akad mudharabah-muthlaqah. Akan tetapi,

ulama berbeda pendapat tentang status hukum/keabsahan mudharabah muqayyadah.

Perbedaan pendapat ulama mengenai hukum mudharabah muqayadah, di

antaranya:64

a. Ulama Malikiah dan Syafi'iah berpendapat bahwa mudharabah-

muqayyadah tidak sah. Maka dari itu, ulama Malikiah dan Syafi'iah

melarangnya.

b. Ulama Hanafiah berpendapat bahwa akad mudharabah-muqayyadah sah

dilakukan dengan beberapa syarat, antara lain:

1) Imam Abu Hanifah dan Imam Ahmad Ibn Hanbal membolehkan

mudharabah-muqayyadah yang berkaitan dengan waktu usaha, pihak

yang melakukan usaha, dan waktu yang akan datang (idhafatuha ila

almustaqbal), sedangkan Imam Malik dan Imam al-Syafi'i

melarangnya.

2) Akad mudharabah-muqayyadah yang dikaitkan dengan syarat-syarat

yang tidak pasti (misalnya seseorang berkata; jika seseorang datang

kepadamu dengan membayar utang kepadaku melalui engkau,

pembayaran utang tersebut yang telah engkau terima dapat dijadikan

modal usaha dengan akad mudharabah).

c. Ulama Hanabilah dan Zaidiah membolehkan akad mudharabah

muqayyadah.

6. Rukun dan Syarat Mudharabah

Rukun adalah sesuatu yang menjadi tegaknya sesuatu yang lain. Karenanya,

ulama menegaskan bahwa rukun adalah bagian dari yang harus ada (jika rukun akad

tidak ada, akadnya tidak terbentuk (tidak wujud atau tidak ada]). Menjadikan al-ribh

(keuntungan) sebagai rukun akad mudharabah melahirkan risiko batalnya akad jika

usaha yang dialami mudharib (pengelola) tidak mendapatkan keuntungan atau

bahkan rugi. Padahal, usaha mudharib berpotensi rugi, di samping potensi untung

(al-ghurm bi al-ghurm). Oleh karena itu, untung sebaiknya tidak dijadikan rukun

mudharabah.

63 Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh (Beirut: Dar al-Fikr al-Mu'ashir.

1997), vol. V, hlm. 3.928; dan lihat Umar Mushthafa Jabar Isma'il, Sanadat alMuqaradhah

wa Ahkamuha fi al-Fiqh al-Islami: Dirasah Muqaranah Tathbiqiyyah (Amman: Dar al-

Nafa'is. 2006), hlm. 66. 64 Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh (Beirut: Dar al-Fikr al-Mu'ashir.

1997), vol. V, h. 3.928.

Page 56: IRPAN JAMIL - SPs.pdf - Repository UIN Syarif Hidayatullah ...

44

Syarat-syarat akad mudharabah berkaitan dengan rukunnya. Akan tetapi,

ulama berbeda pendapat mengenai rukun akad mudharabah. Secara umum,

perbedaan tersebut dapat dikelompokkan menjadi tiga, yaitu:

a. Rukun mudharabah menurut jumhur ulama adalah: 1) pihak-pihak yang

melakukan akad, yaitu shahib al-mal dan mudharib; 2) maʼqud, yaitu modal

(ra's al-mal), usaha (al-'amal/al-a‟mal), dan keuntungan (al-ribh); dan 3)

pernyataan mudharabah/sighat akad, yaitu pernyataan yang berupa

ijab/penawaran dan qabul/penerimaan.65

b. Abu Zaid menjelaskan bahwa rukun mudharabah ada lima: 1) dua pihak

yang berakad; 2) shighat akad, yaitu ijab dan qabul; 3) al-mal, yaitu modal

untuk berbisnis; 4) al-ribh, yaitu pertambahan modal; dan 5) al-'amal, yaitu

usaha yang dilakukan mudharib untuk mendapatkan keuntungan.66

c. Umar Mushthafa Jabar Isma'il menjelaskan bahwa dalam pandangan ulama

Hanafiah, rukun mudharabah hanya satu, yaitu shigat akad yang terdiri atas

ijab dan qabul.67

Syarat-syarat mengenai akad mudharabah dijelaskan secara lebih terperinci,

antara lain:

a. Pihak-pihak yang melakukan akad mudharabah dipersyaratkan memiliki

kemampuan (cakap hukum/ahliyat al-wujub wa al-ada) untuk

mewakilkan/memberikan kuasa (bagi shahib almal) dan menerima

perwakilan/ kuasa (bagi mudharib) karena dalam akad mudharabah

terkandung akad wakalah/kuasa, yaitu mudharib melakukan usaha (bisnis)

atas dasar kuasa dari shahib al-mal. Mudharabah boleh dilakukan antara

muslim dan non muslim (dzimmi dan mustaʼmin) di negara muslim. Dalam

bisnis, syarat yang utama bagi mudharib (pelaku usaha) harus memiliki

kemampuan, keahlian, dan/atau keterampilan usaha sehingga mampu

mengembangkan modal usaha.

b. Ra's al-mal (modal usaha) dalam akad mudharabah harus memenuhi syarat-

syarat berikut:

1) Modal harus berupa alat tukar (nuqud/uang), bukan berupa barang.

2) Modal harus dapat diketahui dan terukur.

3) Modal harus tunai (bukan dalam bentuk piutang).

4) Modal harus dapat diserahkan dari shahib al-mal kepada mudharib.68

65 Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh (Beirut: Dar al-Fikr al-Mu'ashir.

1997), vol. V, hlm. 3.928; dan lihat Muhammad 'Abd al-Mun'im Abu Zaid, Nahw Tathwir

Nizham al-Mudharabah fi al-Masharif al-Islamiyyah (Kairo: al-Ma'had al'Alami li al-Fikr al-

Islami. 2000), h. 16. 66 Muhammad 'Abd al-Mun'im Abu Zaid, Nahw Tathwir Nizham al-Mudharabah fi

alMasharif al-Islamiyyah (Kairo: al-Ma'had al-'Alami li al-Fikr al-Islami. 2000), h. 16; Ali

Jum'ah Muhammad dkk, Mausu'ah Fatawa al-Mu'amalat al-Maliyyah li al-Masharif wa al-

Mu'assasat al-Maliyah al-Islamiyah (Kairo: Dar al-Salam. 2009), vol. II, h. 24. 67 Umar Mushthafa Jabar Isma'il, Sanadat al-Muqaradhah wa Ahkamuha fi al-Fiqh al

Islami: Dirasah Muqaranah Tathbiqiyyah (Amman: Dar al-Nafa'is. 2006), h. 60-66. 68 Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh (Beirut: Dar al-Fikr al-Mu'ashir.

1997), vol. V, h. 3.932-3.935.

Page 57: IRPAN JAMIL - SPs.pdf - Repository UIN Syarif Hidayatullah ...

45

Dalam Ketentuan Nomor 3 Standar Syariah bagi Lembaga Keuangan Syariah

(Ma'ayir al-Muhasabah wa al-Muraja'ah wa al-Dhawabith li al-Mu'assasat al-

maliyyah al-Islamiyyah (Accounting and Auditing Organization for Islamic

Financial Institutions/AAOIFI) terdapat ketentuan-ketentuan akad mudharabah dari

segi personalia atau subjek hukumnya, yaitu shigat (perjanjian) akad, modal (ra's al-

mal), keuntungan (al-ribh), dan usaha (al-amal).

Ketentuan mengenai perjanjian mudharabah menurut AAOIFI, antara lain:

a) Perjanjian mudharabah harus menggunakan kata atau kalimat yang

menunjukkan maksud, yaitu kerja sama usaha, baik secara jelas (sharih)

maupun secara sembunyi (dilalah).

b) Perjanjian dilakukan dalam satu majelis akad yang menunjukkan

tercapainya kesepakatan antara penawaran (al-ijab (offering]) dan

penerimaan (al-qabul [acceptance]).

c) Perjanjian boleh dilakukan secara lisan atau secara tertulis, baik dilakukan

secara langsung maupun dilakukan melalui media yang sah secara hukum

(transaksi secara elektronik atau melalui internet).

Ketentuan mengenai modal mudharabah menurut AAOIFI, antara lain:

a) Jumlah modal dari rabb al-mal (pemodal) yang diserahkan kepada

pengelola (mudharib) harus diketahui jumlahnya.

b) Modal usaha harus berupa uang (al-nuqud). Sejumlah ulama membolehkan

modal usaha berupa barang, dengan syarat barang tersebut ditaksir terlebih

dahulu agar diketahui harganya.

Ulama membolehkan modal usaha mudharabah berupa barang-barang

inventori yang di antaranya berupa kendaraan roda dua, kendaraan roda empat,

pesawat terbang, atau kapal laut. Mudharib melakukan usaha dengan barang tersebut

sebagai modal atau ra's al-mal (misalnya melakukan usaha pengangkutan). Hasil

usaha dibagihasilkan antara pemodal dan pelaku usaha.

Barang-inventori yang dijadikan modal usaha mudharabah harus ditaksir

terlebih dahulu (al-tandhidh), agar diketahui untung-ruginya usaha yang dilakukan

mudharib.

a) Misalnya, modal usaha mudharabah berupa kendaraan roda empat yang

harganya sebesar 240 juta rupiah.

b) Disepakati bahwa jangka waktu usaha mudharabah dilakukan selama 4

(empat) tahun atau 48 (empat puluh delapan) bulan.

c) Karena harga kendaraan mengalami penurunan maka perlu diamortisasi,

misalnya disepakati penurunan harganya sebesar 5 (lima) juta per bulan.

d) Di samping itu, diperlukan juga biaya operasional dan tenaga kerja (di

antaranya pembelian bahan bakar bensin (misalnya 200 ribu rupiah per hari

sama dengan enam juta per bulan]) serta biaya pemeliharaan rutin (misalnya

2 juta setiap empat bulan sama dengan 500 ribu rupiah per bulan).

e) Ditemukan angka sebesar Rp 11.500.00 per bulan sebagai biaya operasional

dan pemeliharaan rutin kendaraan atau ra's al-mal.

f) Apabila kendaraan disewakan kepada pihak lain sebesar Rp 15.000.000 per

bulan, pendapatan yang dapat dibagihasilkan adalah Rp 3.500.000

(15.000.000 (hasil sewa)-11.500.000 [biaya-biaya]).

Page 58: IRPAN JAMIL - SPs.pdf - Repository UIN Syarif Hidayatullah ...

46

g) Dengan nisbah bagi hasil 50:50 maka keuntungan masing-masing bagi

shahib al-mal (pemodal) dan mudharib (pengelola) adalah sebesar Rp

1.750.000.

h) Apabila pada bulan tertentu hasil penyewaan kendaraan hanya mencapai Rp

10.000.000, usaha mengalami kerugian sebesar Rp 1.500.000 (11.500.000-

10.000.000). Kerugian tersebut menjadi beban atau tanggung jawab pemilik

modal (pemilik kendaraan) selama kerugian tersebut terjadi bukan karena

kelalaian mudharib.

i) Modal harus berupa uang atau barang yang wujud pada saat akad. Modal

tidak boleh dalam bentuk piutang yang wajib dibayar oleh mudharib).

j) Modal usaha mudharabah harus berupa barang yang dapat diserahterimakan

antara shahib al-mal dan mudharib, baik serah-terima secara fisik berikut

perpindahan tanggung jawab pemeliharaannya atau serahterima secara fisik

tanpa disertai tanggung jawab pemeliharaannya.

Ketentuan mengenai keuntungan usaha mudharabah menurut AAOIFI, antara

lain:

a) Keuntungan merupakan milik bersama antara pemodal dan pelaku usaha.

Keuntungan tidak boleh disepakati hanya untuk pelaku usaha atau hanya

untuk pemodal.

b) Nisbah bagi hasil harus disepakati pada saat akad dan harus diketahui oleh

para pihak .

c) Kerugian usaha yang dialami oleh pengelola menjadi tanggung jawab

pemodal selama kerugian tersebut bukan akibat dari kesalahan pengelola,

baik lalai (tidak melakukan perbuatan yang seharusnya dilakukan (al-

taqshir) atau karena melampaui batas (al-ta'addi).

Ketentuan mengenai usaha mudharabah yang dilakukan oleh pelaku usaha

menurut AAOIFI, antara lain:69

a) Usaha mudharabah hanya boleh dilakukan oleh pelaku usaha (mudharib)

tanpa dicampuri oleh pemilik modal. Akan tetapi, ulama Hanabilah

membolehkan pemilik modal turut serta dalam melakukan usaha.

b) Pemilik modal tidak boleh mempersempit ruang lingkup usaha yang boleh

dilakukan pelaku usaha yang menyebabkan tidak tercapainya tujuan akad

mudharabah, yaitu keuntungan.

c) Pelaku usaha tidak boleh melanggar ketentuan-ketentuan syariah dan

kebiasaan bisnis yang berlaku umum dalam melakukan usaha mudharabah.

d) Pelaku usaha tidak boleh dibatasi ruang lingkup usahanya yang membuat

yang bersangkutan kehilangan kewenangan mutlaknya dalam ikhtiar untuk

mendapatkan keuntungan.

69 Ma'ayir al-Muhasabah wa al-Muraja'ah wa al-Dhawabith li al-Mu'assasat al-Maliyyah

al-Islamiyyah (Accounting and Auditing Organization for Islamic Financial Institutions/

AAOIFI] (Bahrain: Hai'ah al-Muhasabah wa al-Muraja'ah li al-Mu'assasat al-Maliyyah al-

Islamiyyah. 2004), h. 173-173.

Page 59: IRPAN JAMIL - SPs.pdf - Repository UIN Syarif Hidayatullah ...

47

7. Modal Usaha Inventori dan Teori Tandhidh

Modal usaha mudharabah boleh dalam bentuk barang, tidak mesti dalam

bentuk uang. Tandhidh merupakan terminologi yang relatif baru yang digunakan

dalam akad mudharabah dalam membagi keuntungan antara shahib al-mal (pemilik

modal) dan mudharib (pengelola). Muhammad Abd al-Mun'im Abu Zaid

menjelaskan bahwa tandhidh adalah asas dalam pembagian keuntungan (tandhidh

asas li qismat al-ribhi).

Tandhidh adalah kaidah pembagian keuntungan yang menyatakan bahwa

keuntungan dalam usaha mudharabah tidak boleh dibagi antara shahib al-mal dan

mudharib sebelum dilakukan tahwil (penaksiran) terhadap barang dengan harga/nilai

tertentu (tahwiluhu min „urudh ila nuqud).70 Meskipun asas tandhidh pada awalnya

dikenalkan untuk memudahkan dalam membagi keuntungan usaha, asas ini juga

dapat diaplikasikan dalam menentukan modal usaha dalam bentuk barang, termasuk

barang dagangan.71

Syarat yang terdapat dalam usaha adalah bahwa usaha yang dilakukan oleh

mudharib harus sejalan dengan Al-Quran dan sunah Nabi Saw. serta ijtihad ulama.

Oleh karena itu, mudharib tidak dibenarkan melakukan usaha pada bidang atau

sektor yang diharamkan, baik dari segi objek yang ditransaksikan (harus halal

lizatihi) maupun dari segi cara (harus halal lighairihi).

70 Muhammad Abd al-Mun'im Abu Zaid, Nahw Tathwir Nizham al-Mudharabah fi

alMasharif al-Islamiyyah (Kairo: al-Ma'had al-'Alami li al-Fikrr al-Islami. 2000), h. 159.

Penjelasan yang sama juga dapat dilihat dalam Ali Jum'ah Muhammad dkk, Mausu'ah

Fatawa al-Mu'amalat al-Maliyyah li al-Masharif wa al-Mu'assasat al-Maliyah al-Islamiyah

(Kairo: Dar al-Salam. 2009), vol. II, h. 158. 71 Harta yang dijadikan modal usaha bersama harus berupa "alat tukar" yang ada (wujud),

baik ketika akad kerja sama dibuat maupun ketika modal tersebut dibelanjakan. Jumhur

ulama berpendapat bahwa harta yang dijadikan modal usaha tidak boleh berupa piutang dan

tidak boleh berupa harta yang belum/tidak ada secara hukum. Modal usaha bersama harus

menggunakan harta yang berharga secara mutlak, yaitu berupa alat bayar (nuqud) yang

disebut dinar dan/atau dirham. Jumhur ulama berpendapat bahwa modal usaha dalam

syirkah-amwal tidak boleh berupa barang dagangan. Alasannya adalah bahwa modal yang

berupa barang dagangan berubah-ubah harganya (fluktuatif). Oleh karena itu, keuntungan-

sebagai hasil usaha secara syirkah-tidak dapat dipastikan jumlahnya (majhul) dan

dampaknya adalah jumlah keuntungan pun menjadi samar pula. Hal ini dapat menimbulkan

perselisihan saat pembagian keuntungan. Menurut Imam Malik, modal usaha dalam

mudharabah tidak disyaratkan dalam bentuk uang tunai. Oleh karena itu, modal usaha

mudharabah boleh dalam bentuk barang dagangan yang sama jenisnya maupun yang berbeda

jenisnya. Imam Malik menegaskan bahwa penyertaan modal usaha mudharabah boleh dalam

bentuk barang dagangan selama disepakati oleh semua syarik mengenai harganya (ditaksir

oleh ahlinya). Ulama Hanafiah-menurut riwayat yang rajih—dan ulama Hanabilah

berpendapat bahwa modal mudharabah tidak boleh dalam bentuk tabur (emas dan perak yang

belum dibuat menjadi perhiasan) dan nuqrah (potongan emas yang berupa perhiasan) sebab

kedudukannya sama dengan barang dagangan (al-'urudh). Sedangkan menurut riwayat lain,

ulama Hanafiah berpendapat bahwa modal mudharabah boleh dalam bentuk tabur dan

nuqrah. Muhammad Shalah Muhammad al-Shawi, Musykilat al-Istitsmar fi al-Bunuk al-

Islamiyah wa Kaifa 'Alajaha alIslam (Al-Manshurah: Dar al-Wafa, 1990), hlm. 164-165.

Page 60: IRPAN JAMIL - SPs.pdf - Repository UIN Syarif Hidayatullah ...

48

Pembagian keuntungan harus ditentukan dalam bentuk nisbah bagi hasil

(misalnya keuntungan 50% untuk mudharib dan 50% untuk shahib al-mal; 70%

keuntungan untuk mudharib atau 30% untuk shahib al-mal). Karena tujuan akad

mudharabah adalah untuk mendapatkan keuntungan maka ketidakjelasan nisbah

pembagian keuntungan akan mengakibatkan fasad-nya akad mudharabah. Akan

tetapi, ada juga ulama yang membolehkan adanya akad mudharabah tanpa

penentuan nisbah keuntungan dalam akad.72

Tandhidh merupakan teori yang dikenalkan, antara lain oleh Muhammad Abd

al-Mun'im Abu Zaid dalam kitab Nahw Tathwir Nizham al-Mudharabah fi al-

Masharif al-Islamiyyah. Teori ini sama dengan teori taqwim al-'urudh (penaksiran

harga barang) dalam akad musyarakah.

8. Akad Mudharabah Kontemporer

Pada bagian sebelumnya sudah dijelaskan mengenai dua macam akad

mudharabah, yaitu akad mudharabah muthlaqah (qirdah „amm/mudharabah tidak

terikat) dan akad mudhrabah muqayyadah (qiradh khash/akad mudhrabah terikat).

Sementara pada perkembangannya, ulama memperkenalkan dua akad mudharabah

kontemporer, yaitu akad mudharabah-muntahiyyah bi al-tamlik dan akad

mudharabah-musytarakah. Penjelasannya adalah sebagai berikut:73

a. Abd al-Razaq al-Haiti (1998) menjelaskan bahwa hakikat akad mudharabah

muntahiyyah bi al-tamlik adalah pihak bank yang menyediakan modal usaha

(berkedudukan sebagai shahib al-mal) dan pihak nasabah yang menjalankan

usaha (berkedudukan sebagai mudharib). Hakikat musyarakah-

72 Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh (Beirut: Dar al-Fikr al-Mu'ashir.

1997), vol. V, hlm. 3.937. Pada prinsipnya, akad mudharabah yang di dalamnya tidak

terdapat ketentuan nisbah yang disepakati, berpotensi menimbulkan ikhtilaf (perbedaan

pendapat), bahkan perslisihan/sengketa (khusumat) pada masa yang akan datang. Di samping

itu, ketidakadaan nisbah yang disepakati dalam akad mengakibatkan tidak adanya dasar

penentuan pembagian keuntungan usaha mudharabah. Oleh karena itu, nisbah pembagian

yang disepakati harus ada dalam akad. Jika berkehendak untuk turut serta mengatur bisnis

dengan sistem musyarakah atau mudharabah, negara berhak menentukan prisnip dasar

pembagian keuntungan dalam usaha musyarakah/ mudharabah, misalnya 50:50. Dengan

demikian, apabila dalam sebuah kontrak/akad musyarakah/mudharabah tidak ditentukan

nisbah keuntungan yang dispekati, berlaku prinsip dasar yang ditetapkan diundangkan oleh

negara tersebut. 73 Kamal Taufiq Muhammad Hathab, ―al-Musyarakah al-Mutanaqishah ka Adah min

Adawat al-Tamwil al-Islami”, dalam Dirasat Iqtishadyah al-Islamiyah (Jedah: al-Bunuk al-

Islami litanmiyah al-Ma'had al-Islami li al-Buhuts wa al-Tadrib. 2003), vol. X, h. 19. ‗Ali

Jumu'ah Muhammad dkk. menjelaskan bahwa mudharabah dapat dibedakan secara subjektif

dan objektif, yaitu:

1) Secara objektif, mudharabah dibedakan menjadi dua, yaitu mudhrabah muthlaqah

(tidak terikat) dan mudharabah muqayyadah (terikat).

2) Secara subjektif, mudharabah juga dapat dibedakan menjadi dua, yaitu

mudharabah fardiyyah dan mudharabah-musytarakah. Lihat ‗Ali Jumu'ah Muhammad dkk, Mausu'ah Fatawa al-Mu'amalat al-Maliyyah li al-

Masharif wa al-Mu'assasat al-Maliyyah al-Islamiyyah: al-Mudharabah (Kairo: Dar alSalam.

2009), vol. II, h. 189-195.

Page 61: IRPAN JAMIL - SPs.pdf - Repository UIN Syarif Hidayatullah ...

49

mutanaqishah dalam pandangan al-Haiti adalah penyerahan harta dari pihak

bank kepada nasabah untuk dijadikan modal usaha, dan nasabah membagi

keuntungan (dengan bank) serta mengembalikan modal-usaha secara

berangsur sehingga seluruh modal pada akhirnya menjadi milik nasabah

secara penuh (al-muntahiyyah bit tamlik). Al-Haiti-seperti juga dijelaskan

dalam al-Mausu'ah al-'Ilmiyah wa al-'Amaliyah li al-Bunuk al-Islami-

berpendapat bahwa akad tersebut adalah akad al-mudharabah-muntahiyyah

bi al-tamlik.74

Akad mudharabah-muntahiyyah bi al-tamlik merupakan pengembangan akad

yang sejalan dengan teori multi akad (al-'uqud al-murakkabah). Diduga kuat atau

patut diduga bahwa pembentukan akad mudharabah muntahiyyah bi al-tamlik

bersinergi dengan pembentukan akad-akad yang baru lainnya, terutama akad

musyarakah-mutanaqishah dan akad ijarah muntahiyyah bi al-tamlik.

Dalam hal dugaan tersebut benar atau tepat maka akad mudharabah

muntahiyyah bi al-tamlik merupakan kombinasi akad mudharabah dengan janji

(wa'd) atau saling berjanji (al-muwa'adah) dari para pihak untuk melakukan

pemindahan kepemilikan modal (intiqal almilkiyyah), baik dengan akad jual beli

maupun hibah. Karena berhubungan dengan akad IMBT dan MMQ, patut diduga

pula bahwa modal usaha yang diserahkan shahib al-mal adalah barang (inventori),

bukan modal kerja (uang atau nuqud).

Akad mudharabah-muntahiyyah bi al-tamlik dapat diterapkan karena ulama

membolehkan barang-inventori sebagai modal (ra's al-mal) dalam akad

mudharabah. Ilustrasi produk mudharabah-muntahiyyah bi al-tamlik adalah sebagai

berikut:

a) Para mitra melakukan perjanjian mudharabah. Shahib al-mal

menyerahkan truk sebagai modal usaha yang akan dikelola oleh

pengelola (mudharib).

b) Disepakati bahwa truk akan dikelola oleh mudharib dengan akad ijarah

(sewa) untuk usaha angkutan barang.

c) Disepakati bahwa akad ijarah akan dilakukan selama 10 tahun atau 120

bulan.

d) Disepakati bahwa nisbah bagi hasil adalah 50 : 50 untuk masingmasing

mitra; dan bagi hasil dilakukan setiap tanggal 5 bulan berjalan.

e) Dijanjikan bahwa setelah akad mudharabah berakhir, truk tersebut akan

dijual dengan harga yang disepakati (misalnya 12.5% dari harga beli)

atau akan dihibahkan.

f) Pada saat akad mudharabah berakhir, shahib al-mal (pemodal) menjual

atau menghibahkan truk tersebut kepada mudharib.

74 Kamal Taufiq Muhammad Hathab, ―al-Musyarakah al-Mutanaqishah ka Adah min

Adawat al-Tamwil al-Islami”, dalam Dirasat Iqtishadyah al-Islamiyah (Jedah: al-Bunuk al-

Islami litanmiyah al-Ma'had al-Islami li al-Buhuts wa al-Tadrib. 2003), vol. X, hlm. 19; dan

lihat Muhammad Mushthafa Abuhu al-Syinqithi, Dirasah Syariyyah li Ahammi al-'Uqud

alMaliyah al-Mustahdatsah (Madinah: Maktabat al-Ulum wa al-Hikkam. 2001), vol. I, h.

387.

Page 62: IRPAN JAMIL - SPs.pdf - Repository UIN Syarif Hidayatullah ...

50

b. Konsep mudharabah-mutanaqishah tampaknya dikembangkan sejalan

dengan konsep musyarakah-mutanaqishah, yaitu modal (yang berupa

barang dari bank) berpindah secara bertahap dari pemodal kepada pelaku

usaha (mudharib) karena pembelian secara bertahap (al-bai' bi al-taqsith).

Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/46/PBI/2005 tentang Akad

Penghimpunan dan Penyaluran Dana bagi Bank yang Melaksanakan

Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah, pasal 6, huruf n, terdapat

ketentuan mengenai pembiayaan mudharabah, yaitu pengembalian

pembiayaan dilakukan pada akhir periode akad untuk pembiayaan dengan

jangka waktu sampai dengan satu tahun atau dilakukan secara angsuran

berdasarkan aliran kas masuk (cash in flow) usaha nasabah.

Secara implisit, ketentuan tersebut mirip dengan konsep

mudharabahmutanaqishah karena modal dari Lembaga Keuangan Syariah

dikembalikan secara bertahap oleh nasabah.

c. Akad mudharabah-musytarakah telah difatwakan oleh DSN-MUI Nomor

50/DSN-MUI/III/2006 yang terdiri atas tiga bagian: 1) ketentuan umum; 2)

ketentuan hukum; dan 3) ketentuan akad. Sebelumnya disajikan mengenai

pertimbangan "yuridis‖ yang berupa tiga buah hadits,75

tiga kaidah fikih,76

ijma',77

dan empat pendapat ulama.

Empat pendapat ulama yang dijadikan pertimbangan yuridis adalah:

1) Pendapat ulama-antara lain Ibn Hisyam yang menjelaskan bahwa Nabi

Saw. berniaga sebagai mudharib ke Syam dengan memanfaatkan harta

75 Tiga buah hadis yang dijadikan pertimbangan yuridis, antara lain:

a. Hadis riwayat Imam al-Tirmidzi dari Nabi Saw. yang menyatakan bahwa umat

Islam terikat dengan perjanjian yang telah dibuatnya (al-muslimun ‗ala

syuruthihim).

b. Hadis riwayat Imam Muslim, Imam al-Turmudzi, Imam Nasa'i, Abu Daud, dan

Ibn Majah dari Abi Hurairah yang substansinya Nabi Saw. mencegah jual-beli

yang mengandung unsur gharar. Lihat Imam Muslim, Shahih Muslim

(Bandung: Dahlan. T.th), vol. I, hlm. 658; dan Abu Daud, Sunan Abu Daud,

vol. III, h. 244.

c. Hadis riwayat Ibn Majah yang substansinya Nabi Saw. melarang

mempersulit pihak lain dan dipersulit oleh pihak lain (la dharar wa la

dhirar). 76 Tiga buah kaidah fikih yang dijadikan pertimbangan yuridis, antara lain:

a. Hukum pokok dalam bermuamalat adalah ibahah (boleh)/al-ashl fi al-

mu'amalat al-ibahah.

b. Kemudaratan harus dihindari sedapat mungkin/al-dharar yudfa' bi qadr al-

imkan.

c. Segala mudarat (bahaya) harus dihilangkan/al-dharar yuzal. 77 Ijma' dianggap sebagai sumber hukum mudharabah-musytarakah karena para

sahabat telah melakukan kegiatan tersebut (mudharabah) dan tidak seorang pun dari mereka

yang mengingkarinya. Lihat Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh (Beirut: Dar

al-Fikr al-Mu'ashir. 1997), vol. V, h. 3.925.

Page 63: IRPAN JAMIL - SPs.pdf - Repository UIN Syarif Hidayatullah ...

51

Sayyidah Khadijah binti Khuwailid. Setelah fase nubuwah, Nabi Saw.

menceritakan perniagaan tersebut sebagai taqrir.78

2) Pendapat Abu Zaid yang menjelaskan bahwa mudharabah adalah akad

yang disyariatkan tanpa ada ikhtilaf di kalangan pakar fikih. Dalilnya

ditetapkan berdasarkan ijma' yang bersandar pada sunah-taqriri.79

3) Pendapat Ibn Qudamah yang menjelaskan bahwa penyatuan harta

mudharib terhadap modal yang dikelolanya yang berasal dari dua

syarik atau lebih merupakan penggabungan antara akad syirkah dan

akad mudharabah; akad tersebut shahih (boleh dilakukan).80

4) Pendapat Wahbah al-Zuhaili yang menyatakan bahwa pengelola

(mudharib) boleh menyertakan dana miliknya ke dalam akumulasi

modal dengan seizin shahib al-mal. Keuntungan dibagi atas dasar

musyarakah, kemudian mudharib mengambil bagian atas dasar jasa

pengelolaan. Hal tersebut dinamakan mudharabah-musytarakah.81

Di antara empat pendapat tersebut, dua pendapat terakhir yang paling relevan

yakni pendapat Ibn Qudamah dan Wahbah al-Zuhaili. Dalam ketentuan umum

ditegaskan bahwa yang dimaksud dengan mudharabah-musytarakah adalah bentuk

akad mudharabah yang dalam kegiatan usahanya mudharib/pengelola dana

menyertakan dana yang dimilikinya (syirkah) untuk diinvestasikan secara bersama-

sama. Dalam ketentuan hukumnya ditetapkan bahwa akad mudharabah-

musytarakah boleh dilakukan oleh Lembaga Keuangan Syariah karena merupakan

pengembangan dari hukum mudharabah. Dalam fatwa DSN-MUI ditetapkan hal-hal

berikut:

a. Akad mudharabah-musytarakah merupakan perpaduan antara akad

mudharabah dan akad musyarakah.

b. Lembaga Keuangan Syariah--sebagai mudharib/pengelola dana

menyertakan dananya serta disatukan dengan dana nasabah untuk

diinvestasikan.

c. Lembaga Keuangan Syariah-sebagai pihak yang menyertakan dana/syarik-

berhak memperoleh bagian dari hasil usaha berdasarkan porsi modal yang

disertakan.

d. Hasil investasi yang sudah dibagikan antara nasabah dan pengelola--sebagai

syarik--dibagihasilkan antara Lembaga Keuangan Syariah-sebagai

mudharib-dan nasabah (shahib al-mal) sesuai dengan nisbah yang

disepakati.82

78 Ibn Hisyam, al-Sirah al-Nabawiyah (Kairo: Dar al-Hadits. 2004), vol. I, hlm. 141

dan Muhammad Abd al-Mun'im Abu al-Zaid, Nahw Tathwir al-Mudharabah (Kairo:

Maktabah al-Ma'had al-'Alami li al-Fikr al-Islami. 2000), h. 411. 79 Lihat Muhammad Abd al-Mun'im Abu al-Zaid, Nahw Tathwir al-Mudharabah

(Kairo: Maktabah al-Ma'had al-'Alami li al-Fikr al-Islami. 2000), h. 11. 80 Lihat Ibn Qudamah al-Maqdisi, al-Mugni (Kairo: Dar al-Hadits. 2004), vol. Vi, h.

348. 81 Wahbah al-Zuhaili, al-Mu'amalat al-Maliyah al-Mu'ashirah (Damaskus: Dar al-

Fikr. 2002), h. 107. 82 Hasil usaha dalam mudharabah-musytarakah dibagi secara bertahap, yaitu:

Page 64: IRPAN JAMIL - SPs.pdf - Repository UIN Syarif Hidayatullah ...

52

Catatan; dalam fatwa ini ditegaskan bahwa pembagian hasil usaha yang berupa

keuntungan (tidak mengalami kerugian) dilakukan sesuai dengan jumlah modal

yang disertakan (proporsional), apakah pembagian hasil usaha yang berupa

keuntungan hanya dapat dilakukan secara proporsional atau boleh dilakukan

berdasarkan kesepakatan. Dalam fatwa ini juga dijelaskan bahwa hasil investasi

yang sudah dipisahkan antara nasabah dan perusahaan (dalam kedudukan masing-

masing sebagai shahib al-mal), dibagi sesuai kesepakatan. Hal ini terlihat lebih

luwes karena kesepakatan pembagian hasil usaha dapat berupa kesepakatan yang

sepadan dengan pembagian secara proporsional dan boleh juga tidak.

9. Mudharabah-Musytarakah

Dalam kitab Mausu'ah Fatawa al-Mu'amalat al-Maliyayyah li al-Masharif wa

al-Mu'assasat al-Maliyyah al-Islamiyyah yang disusun oleh 'Ali Jum'ah Muhammad

dkk. dijelaskan dua macam akad mudharabah, yaitu akad mudharabah-fardhiyah

(kadang-kadang disebut akad mudharabah qadimah) dan akad mudharabah-

musytrakah.83

Beberapa bentuk mudharabah musytarakah, antara lain:

a. Pihak atau personalia hukum (subjek hukum)-nya ada tiga, yaitu shahib al-mal

(pemilik modal), mudharib (pengelola), dan Lembaga Keuangan Syariah yang

menghubungkan mudharib dengan shahib al-mal. Sedangkan akad

mudharabah pada umumnya hanya memiliki dua subjek hukum, yaitu shahib

al-mal dan mudharib. Masing-masing (tiga) subjek hukum tersebut berhak

untuk mendapat keuntungan.

b. Dalam mudharabah fardiyyah tidak terdapat unsur pencampuran modal usaha

mudharabah, sedangkan dalam akad mudharabah-musytarakah terdapat unsur

pencampuran modal, baik milik mudharib (Lembaga Keuangan Syariah)

maupun modal dari shahib al-mal lainnya (nasabah dana pihak ketiga). Oleh

karena itu, istilah yang digunakan bagi Lembaga Keuangan Syariah adalah

mudharib-mustatsmir.

c. Mudharabah-musytarakah dijalankan atas prinsip pengembangan harta

(modal), sebagaimana dalam akad syirkah, yaitu berlakunya ketentuan-

ketentuan berikut:

1) Kerugian usaha mudhabarah yang satu dapat ditutupi dari keuntungan

usaha mudharabah yang lainnya.

a. Hasil usaha dibagi antara nasabah dan perusahaan dalam kedudukan

masingmasing sebagai syarik berdasarkan porsi modal yang di-syirkah-kan

(proporsional) atau kesepakatan.

b. Hasil yang merupakan bagian nasabah dibagi lagi antara nasabah sebagai

shahib al-mal dan perusahaan sebagai mudharib. Dengan demikian,

perusahaan mendapat dua bagian: bagian sebagai syarik dan sebagai

pengelola. 83 Ali Jum'ah Muhammad dkk., Mausu'ah Fatawa al-Mu'amalat al-Maliyayyah li al-

Masharif wa al-Mu'assasat al-Maliyyah al-Islamiyyah (Iskandairiyyah-Mesir: Dar al-Salam.

2009), vol. II, h. 190.

Page 65: IRPAN JAMIL - SPs.pdf - Repository UIN Syarif Hidayatullah ...

53

2) Pembagian keuntungan usaha mudharabah dilakukan secara periodik

sesuai perjanjian atau kebiasaan yang berlaku umum.

3) Pembatalan akad mudharabah yang dilakukan oleh salah satu shahib al-

mal tidak berpengaruh terhadap eksistensi atau keabsahan akad

mudharabah yang lainnya.

d. Dibolehkannya mudharib (Lembaga Keuangan Syariah) menjamin ra's al-mal

(dana pihak ketiga) dalam akad mudharabah musytarakah, sementara

penjaminan mudharib terhadap ra's al-mal pada mudharabah fardiyyah

termasuk batal (fasad) secara hukum.84

Mudharabah-musytarakah dinyatakan

oleh 'Ali Jum'ah Muhammad dkk. sebagai akad mudharabah baru yang berlaku

ketentuan-ketentuan berikut:

1) Diakuinya Lembaga Keuangan Syariah sebagai subjek hukum mudharabah

dengan istilah mudharib-mustatsmir yang berhak mendapatkan

keuntungan.

2) Kebolehan dicampurkannya modal usaha mudharabah dengan modal dari

shahib al-mal yang lainnya atau dicampur dengan dana milik Lembaga

Keuangan Syariah sebagai mudharib.

3) Keuntungan dibagi secara proporsional (sesama shahib al-mal) dan

Lembaga Keuangan Syariah berhak mendapatkan keuntungan sesuai

dengan nisbah yang disepakati dalam masing-masing perjanjian.

4) Mudharib boleh menjamin tentang akad dikembalikannya modal kepada

shahib al-mal (meskipun usahanya mengalami kerugian).

5) Membuat akad mudharabah semakin mendekat ke arah akad syirkah.85

Adapun kerangka mudharabah-musytarakah dapat dilihat pada gambar

berikut.

84 Ali Jum'ah Muhammad dkk., Mausu'ah Fatawa al-Mu'amalat al-Maliyayyah li al-

Masharif wa al-Mu'assasat al-Maliyyah al-Islamiyyah (Iskandairiyyah-Mesir: Dar al-Salam.

2009), vol. 11, h. 192-193. 85 Ali Jum'ah Muhammad dkk., Mausu'ah Fatawa al-Mu'amalat al-Maliyayyah li al-

Masharif wa al-Mu'assasat al-Maliyyah al-Islamiyyah (Iskandairiyyah-Mesir: Dar al-Salam.

2009), vol. II, h. 193.

Page 66: IRPAN JAMIL - SPs.pdf - Repository UIN Syarif Hidayatullah ...

54

Gambar 2.1

Mudharabah-Musyarakah

Keterangan:

1. Shahib al-mal dalam akad mudharabah-musytarakah lebih dari satu orang

2. Mudharib dalam akad mudharabah-musytarakah hanya satu pihak.

3. Ra's al-mal yang diterima dari masing-masing mudharib disatukan dalam

berbagai kegiatan usaha/pembiayaan.

4. Pembagian keuntungan didasarkan atas nisbah (proporsional/kesepakatan)

dengan memperhatikan porsi modal masing-masing mudharib.

Akad mudharabah-musytarakah dipraktikkan oleh LKS dan telah menjadi

produk tabungan dan deposito karena tabungan dan deposito di LKS dibolehkan

menggunakan akad mudharabah. Hal ini akan dijelaskan pada bagian khusus karena

perhitungan bagi hasilnya memasukkan unsur total dana mudharabah sebagai unsur

yang diperhitungan dalam penentuan bagi hasil.

10. Waktu Pengakuan keuntungan

Penjelasan mengenai keuntungan yang dibagihasilkan dalam akad

mudharabah pada prinsipnya sama dengan ketentuan pembagian keuntungan dalam

akad musyarakah, yaitu bersifat pilihan antara metode bagi laba (profit sharing) dan

metode bagi pendapatan (revenue sharing). Akan tetapi, tidak terdapat ketentuan

mengenai waktu pengakuan keuntungan.

Dalam peraturan perundang-undangan dan hubungannya dengan fatwa

DSN-MUI, kaidah yang digunakan adalah 'urf tijari (kebiasaan yang berlaku di

kalangan pengusaha). Karena „urf yang berkaitan dengan waktu pengakuan

pendapatan yang dilakukan lembaga keuangan adalah bulanan maka secara implisit

fatwa DSN-MUI mengakui ‗urf tersebut. Karenanya, pengakuan pendapatan usaha

mudharabah yang dilakukan Lembaga Keuangan Syariah dapat dilakukan secara

Page 67: IRPAN JAMIL - SPs.pdf - Repository UIN Syarif Hidayatullah ...

55

bertahap setiap bulan (syahriyyah). Berkaitan dengan ketentuan ini, dalam kitab

fikih terdapat pandangan yang berbeda mengenai waktu pengakuan pendapatan

usaha mudharabah.

Dalam kitab Mausu'ah al-Qawa'id al-Fiqhiyyah al-Munazhzhamah li al-

Mu'amalat al-Maliyyah al-Islamiyyah wa Dauruha fi Taujih al-Nazhm al

Mu'ashirah karya 'Athiyah 'Adlan 'Athiyah Ramadhan, dijelaskan mengenai

hubungan antara modal (ra's al-mal) dan keuntungan (al-ribh). Dijelaskan bahwa

kedudukan modal adalah pokok (ashl) dan kedudukan keuntungan adalah cabang

(farun). Penjelasan ini didasarkan pada kaidah fikih yang terdapat dalam kitab

Kifayat al-Akhyar (1/575) yang berbunyi:86

"Keuntungan usaha mudharabah

merupakan penjaga modal usaha".

Atas dasar kaidah tersebut, ditetapkan bahwa keuntungan usaha

mudharabah hanya boleh diakui oleh para pihak setelah modal usaha dikembalikan

kepada pemilik modal (shahib al-mal). Dengan kata lain, keuntungan usaha

mudharabah boleh diakui oleh pemilik dan pelaku usaha setelah akad mudharabah

berakhir (yaitu setelah modal dikembalikan kepada pemiliknya).

Dikarenakan keuntungan usaha mudharabah yang diterima pengelola

secara periodik (bulanan) bersifat sementara ( (fluktuatif) maka risiko pengakuan

pendapatan bulanan berpotensi melahirkan risiko rugi, yaitu bank syariah sudah

mengakui dan melaporkan keuntungan usaha mudharabah, padahal modal usaha

mudharabah belum tentu kembali secara utuh.

Dengan demikian, terkesan bahwa Lembaga Keuangan Syariah

mengabaikan kaidah "keuntungan usaha mudharabah merupakan penjaga modal

usaha‖ karena tidak sejalan dengan urf tijari yang berlaku pada lembaga keuangan.

Di samping itu, modal usaha mudharabah pada umumnya sudah diasuransikan atau

dijamin pihak ketiga (kafi) dengan akad kafalah sebagai bagian dari ikhtiar mitigasi

risiko hilangnya modal usaha,

Kiranya perlu dibedakan antara usaha yang dilakukan lembaga keuangan dan

usaha yang dilakukan oleh non lembaga keuangan. Kaidah yang menyatakan bahwa

keuntungan usaha hanya boleh diakui setelah modal kembali dapat dipertimbangkan

untuk diberlakukan bagi:

a. Usaha mudhabarah yang pendek jangka waktunya (misalnya di bawah satu

tahun)

b. Usaha mudharabah pada sektor riil (bukan sektor keuangan).

c. Modal usaha mudharabah yang tidak dijamin pihak ketiga (kafil).

11. Berakhirnya Akad Mudharabah

Akad mudharabah, dalam pandangan jumhur ulama, termasuk akad ghair lazim,

yaitu akad yang dapat dibatalkan oleh mudharib atau shahib al-mal kapan saja.

Ulama Malikiah berpendapat bahwa akad mudharabah termasuk akad yang lazim,

yaitu akad yang tidak dapat dibatalkan sepihak oleh mudharib atau shahib al-mal.

Pembatalannya hanya dapat dilakukan atas dasar kesepakatan. Wahbah al-Zuhaili

86 Athiyah ‗Adlan 'Athiyah Ramadhan, Mausu'ah al-Qawa'id al-Fiqhiyyah al-

Munazhzhamah li al-Mu'amalat al-Maliyyah al-Islamiyyah wa Dauruha ſi Taujih al-Nazhm

al-Mu'ashirah (Iskandariyyah: Dar al-Aiman, 2009), h. 474.

Page 68: IRPAN JAMIL - SPs.pdf - Repository UIN Syarif Hidayatullah ...

56

menjelaskan sebab-sebab yang membuat berakhirnya akad mudharabah, antara

lain:87

a. Pembatalan (al-faskh) atau pemecatan (al-azł). Akad mudharabah berakhir

apabila salah satu pihak (shahib al-mal atau mudharib) menyatakan secara

sepihak tentang berakhirnya mudharabah. Akad mudharabah berakhir apabila

mudharib mengundurkan diri atau shahib al-mal memberhentikan mudharib

sebagai pengelola modal. Pembatalan atau pengakhiran akad mudharabah,

termasuk pemakzulan atau pengunduran diri, berlaku efektif setelah

pengakhiran tersebut diketahui pihak yang berkaitan.

b. Meninggalnya salah satu pihak yang berakad, baik yang meninggal pihak

shahib al-mal maupun pihak mudharib. Karena dalam akad mudharabah, dari

segi sifatnya, sama dengan akad wakalah yang berakhir karena meninggalnya

pihak wakil atau pihak yang mewakilkan (muwakkil).

c. Kehilangan kecakapan hukum; akad mudharabah berakhir apabila shahib al-

mal atau mudharib mengalami kehilangan cakap hukum, baik karena gila (al-

junun) maupun karena idiot atau dinyatakan berada di bawah pengampuan.

d. Shaib al-mal (pemilik modal) berpindah agama (al-riddah). Murtad atau

berpindah agama merupakan kematian secara hukum (sebagaimana akad

berakhir karena wafatnya salah satu pihak yang berakad). Akan tetapi, akad

mudharabah tidak berakhir karena murtadnya mudharib dengan seketika, tetapi

harus terjadi proses pengakhiran akad mudharabah dengan membagikan

keuntungan yang sudah didapat serta mengembalikan modal kepada

pemiliknya. 88

12. Produk Mudharabah

Sebagaimana telah disinggung bahwa akad mudharabah dari segi produk

perbankan dan koperasi BMT dapat digunakan untuk produk penghimpunan dana

atau funding yang berupa tabungan, deposito, giro atau simpanan, serta penyaluran

dana (financing atau lending). Pada produk funding berlaku ketentuan mudharabah-

musytarakah, sedangkan pada produk financing berlaku ketentuan mudharabah,

baik muthlaqah maupun muqayyadah. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat gambar

berikut

87 Wahbah al-Zuhaili, al-Mu'amalat al-Maliyah al-Mu'ashirah (Damaskus: Dar al-

Fikr. 2002), h. 107 88 Wahbah al-Zuhaili, al-Mu'amalat al-Maliyah al-Mu'ashirah …, h 107.

Page 69: IRPAN JAMIL - SPs.pdf - Repository UIN Syarif Hidayatullah ...

57

Gambar 2.2

Produk Mudharabah pada Kegiatan Financing89

Keterangan:

1. Lembaga Keuangan Syariah dan nasabah (anggota) melakukan negosiasi

serta persyaratan untuk melakukan pembiayaan.

2. Lembaga Keuangan Syariah dan nasabah (anggota) melakukan akad

mudharabah.

3. Lembaga Keuangan Syariah dan nasabah (anggota) menyertakan modal

100% (3a) serta nasabah menyerahkan keahlian usaha/skill (3b).

4. Hasil usaha dibagi berdasarkan nisbah yang disepakati untuk LKS (42) dan

nasabah (4b).

5. Modal usaha dikembalikan kepada LKS jika akad mudharabah berakhir.

D. Musyarakah dan Mudharabah dalam Kompilasi Hukum Ekonomi

Syariah

Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (selanjutnya disebut KHES) telah

mengatur ketentuan syariah mengenai musyarakah yang diatur dalam buku II bab VI

tentang syirkah. Sebagaimana dijelaskan di dalamnya beberapa ketentuan seperti

mengenai hak dan kewajiban para pihak yaitu:90

89 Muhammad Antonio Syafii, Perjalanan Perbankan Syariah di Indonesia: Kelembagaan

dan Kebijakan serta Tantangan ke Depan (Jakarta: Departemen Riset Kebanksentralan.

2016), 35 h. 288. 90 Pusat Pengkajian Hukum Islam Dan Masyarakat Madani, Kompilasi Hukum Ekonomi

Syariah, (Jakarta : Prenada Media, 2017) h. 71

Page 70: IRPAN JAMIL - SPs.pdf - Repository UIN Syarif Hidayatullah ...

58

1. anggota syirkah mewakili anggota lainnya (wakalah) melakukan akad dengan

pihak ketiga dan/atau menerima pekerjaan dari pihak ketiga untuk kepentingan

syirkah.

2. Masing-masing anggota syirkah bertanggung jawab atas risiko (kafalah) yang

diakibatkan oleh akad yang dilakukannya dengan pihak ketiga dan/ atau

menerima pekerjaan dari pihak ketiga untuk kepentingan syirkah.

3. Seluruh anggota syirkah bertanggung jawab atas risiko yang diakibatkan oleh

akad dengan pihak ketiga yang dilakukan oleh salah satu anggotanya dilakukan

atas persetujuan anggota syirkah lainnya. yang

4. Pihak-pihak dalam akad syirkah harus cakap melakukan perbuatan hukum.

5. Dalam akad yang tidak mencantumkan adanya bentuk jaminan, maka para

pihak tidak saling menjamin antara yang satu dengan yang lain.

6. Bagian Kelima berisi ketentuan umum mengenai Syirkah 'Inan yang

menjelaskan bahwa syirkah 'inan dapat dilakukan dalam bentuk kerja sama

modal sekaligus kerja sama keahlian dan/atau kerja di mana pembagian

keuntungan dan/atau kerugian dalam kerja sama modal dan kerja ditetapkan

berdasarkan kesepakatan.91

Dalam syirkah „inan berlaku ketentuan yang mengikat para pihak dan modal

yang disertakannya. Para pihak dalam syirkah „inan tidak wajib untuk menyerahkan

semua uangnya sebagai sumber dana modal dan dibolehkan mempunyai harta yang

terpisah dari modal syirkah „inan. Pembagian untung rugi dalam syirkah „inan

ditentukan sebagai berikut:

1. Nilai kerugian dan kerusakan yang terjadi bukan karena kelalaian para pihak

dalam syirkah al-'inan, wajib ditanggung secara proporsional,

2. Keuntungan yang diperoleh dalam syirkah inan dibagi secara proporsional.

Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah yang diterbitkan pusat pengkajian hukum Islam

dan masyarakat madani menjelaskan tentang mudharabah yang terdapat dalam BAB

VIII yaitu:

1. Syarat dan Rukun mudharabah yang terdapat dalam pasal 231 sampai dengan

237 bahwa:

a. Pemilik modal wajib menyerahkan dana dan/ atau barang yang berharga

kepada pihak lain untuk melakukan kerja sama dalam usaha. dan Penerima

modal menjalankan usaha dalam bidang yang disepakari. Serta

Kesepakatan bidang usaha yang akan dilakukan ditetapkan dalam akad;

b. Yang termasuk Rukun kerja sama dalam Pemilik modal dan usaha adalah

shahib al-mal/pemilik modal, mudharib/pelaku usaha; dan akad.

c. Kesepakatan bidang usaha yang akan dilakukan dapat bersifat

mutlak/bebas dan muqayyad/terbatas pada bidang usaha tertentu, tempat

tertentu, dan waktu tertentu.

d. Pihak yang melakukan usaha dalam syirkah al-mudharabah harus

memiliki keterampilan yang diperlukan dalam usaha.

91 Pusat Pengkajian Hukum Islam Dan Masyarakat Madani, Kompilasi Hukum

Ekonomi.....,h.72

Page 71: IRPAN JAMIL - SPs.pdf - Repository UIN Syarif Hidayatullah ...

59

e. Modal harus berupa barang, uang dan/atau barang yang berharga., Modal

harus diserahkan kepada pelaku usaha/mudharib, Jumlah modal dalam

suatu akad mudharabah harus dinyatakan dengan pasti.

f. Pembagian keuntungan hasil usaha antara shahib al-mal dengan mudharib

dinyatakan secara jelas dan pasti.

g. Akad mudharabah yang tidak memenuhi syarat, adalah batal.

2. Ketentuan mudharabah terdapat dalam pasal 238 sampai dengan pasal 254

bahwa:

a. Status benda yang berada di tangan mudharib yang diterima dari shahib al-

mal, adalah modal, mudharib berkedudukan sebagai wakil shahib al-mal

dalam menggunakan modal yang diterimanya, dan Keuntungan yang

dihasilkan dalam mudharabah, menjadi milik bersama.

b. Mudharib berhak membeli barang dengan maksud menjualnya kembali

untuk memperoleh untung, mudharib berhak menjual dengan harga tinggi

atau rendah, baik dengan tunai maupun cicilan, mudharib berhak

menerima pembayaran dari harga barang dengan pengalihan piutang, dan

mudharib tidak boleh menjual barang dalam jangka waktu yang tidak biasa

dilakukan oleh para pedagang.

c. Mudharib tidak boleh menghibahkan, menyedekahkan, dan/atau

meminjamkan harta kerja sama, kecuali bila mendapat izin dari pemilik

modal.

d. Mudharib berhak memberi kuasa kepada pihak lain untuk bertindak

sebagai wakilnya untuk membeli dan menjual barang apabila sudah

disepakati dalam akad mudharabah, Mudharib berhak mendepositokan

dan menginvestasikan harta kerja sama dengan sistem syariah, dan

mudharib berhak menghubungi pihak lain untuk melakukan jual beli

barang sesuai dengan kesepakatan dalam akad.

e. Mudharib berhak atas keuntungan sebagai imbalan pekerjaannya yang

disepakati dalam akad, serta Mudharib tidak berhak mendapatkan imbalan

apabila usaha yang dilakukannya rugi.

f. Pemilik modal berhak atas keuntungan berdasarkan modalnya yang

disepakati dalam akad, serta Pemilik modal tidak berhak mendapatkan

keuntungan apabila usaha yang dilakukan oleh mudharib merugi.

g. Mudharib tidak boleh mencampurkan kekayaannya sendiri dengan harta

kerja sama dalain melakukan mudharabah, kecuali bila sudah menjadi

kebiasaan di kalangan pelaku usaha.

h. Mudharib dibolehkan mencampurkan kekayaannya sendiri dengan harta

mudharabah apabila mendapat izin dari pemilik modal dalam melakukan

usaha-usaha khusus tertentu.

i. Keuntungan hasil usaha yang menggunakan modal campuran/shahib al-

mal dan mudharib, di bagi secara proporsional atau atas dasar kesepakatan

semua pihak.

j. Biaya perjalanın yang dilakukan oleh mudharib dalam rangka

melaksanakan bisnis kerja sama, dibebankan pada modal dari shahib al-

mal.

Page 72: IRPAN JAMIL - SPs.pdf - Repository UIN Syarif Hidayatullah ...

60

k. Mudharib wajib menjaga dan melaksanakan ketentuan-ketentuan yang

ditetapkan oleh pemilik modal dalam akad.

l. Mudharib wajib bertanggung jawab terhadap risiko kerugian dan/atau

kerusakan yang diakibatkan oleh usahanya yang melampaui batas yang

diizinkan dan/atau tidak sejalan dengan ketentuan-ketentuan yang telah

ditentukan dalam akad.

m. Akad mudharabah selesai apabila waktu kerja sama yang disepakati dalam

akad telah berakhir.

n. Pemilik modal dapat mengakhiri kesepakatan apabila ada pihak yang

melanggar kesepakatan dalam akad mudharabah, Pemberhentian kerja

sama oleh pemilik modal diberitahukan kepada mudharib, Mudharib wajib

mengembalikan modal dan keuntungan kepada pemilik modal yang

menjadi hak pemilik modal dalam kerja sama-mudharabah, serta

Perselisihan antara pemilik modal dengan mudharib dapat diselesaikan

dengan shuth/ al-shulh dan/atau melalui pengadilan,

o. Kerugian usaha dan kerusakan barang dagangan dalam kerja sama-

mudharabah yang terjadi bukan karena kelalaian mudharib, dibebankan

pada pemilik modal.

p. Akad mudharabah berakhir dengan sendirinya apabila pemilik modal atau

mudharib meninggal dunia, atau tidak cakap melakukan perbuatan hukum.

q. Pemilik modal berhak melakukan penaginan terhadap pihak-pihak lain

berdasarkan bukti dari mudharib yang telah meningal dunia, serta

Kerugian yang diakibatkan oleh meninggalnya mudharib, dibebankan pada

pemilik modal.92

3. Shariah Standard yang Dikeluarkan oleh Accounting and Auditing

Organization for Islamic Financial Institution (AAOIFI) No 12.

Di dalam AAOIFI, terdapat pula pedoman bagi implementasi produk

musyarakah yang secara umum harus mengacu pula pada karakteristik

musyarakah.

a. Standar syariah akad musyarakah ditetapkan AAOIFI sebagai berikut:

1) Masing-masing pihak dalam musyarakah merupakan wakil (trustee)

atas pihak lainnya terhadap aset yang dimiliki bersama, sehingga

seluruh pihak secara bersama-sama bertanggung jawab atas segala

keuntungan dan kerugian atas aset tersebut;

a) Distribusi keuntungan usaha dapat berdasarkan laba kotor (gross

profit) maupun laba bersih (nett profit) dengan

mempertimbangkan keadilan dan transparansi;

b) Dalam hal keuntungan melebihi target keuntungan yang

disepakati, maka diperbolehkan untuk mendistribusikan

kelebihan keuntungan tersebut pada salah satu pihak (atau

seluruh pihak) dengan menetapkan jumlah tertentu bagi pihak

92 Pusat Pengkajian Hukum Islam Dan Masyarakat Madani, Kompilasi Hukum

Ekonomi.....,h.73

Page 73: IRPAN JAMIL - SPs.pdf - Repository UIN Syarif Hidayatullah ...

61

tertentu. Jika keuntungan tidak mencapai target atau berada di

bawah target, distribusi keuntungan hanya dilakukan sesuai

nisbah bagi hasil yang disepakati dalam perjanjian di awal.

2) Dalam hal syirkah uqud, tidak diperbolehkan memperjanjikan

pembelian aset pada awal perjanjian dengan menetapkan harga

berdasarkan face value atau pre-agreed value bagi satu pihak untuk

membeli aset tersebut.

3) Dalam hal terjadi kerugian dalam usaha atau aset modal yang

berkurang maka kerugian ditanggung secara proporsional sesuai

komposisi penyertaan modal masing-masing pihak. Jika kerugian

diakibatkan oleh salah satu pihak, pihak tersebut yang harus

menanggung seluruh akibat dari kerugian tersebut.

b. Standar syariah musyarakah ditetapkan AAOIF

1) Musyarakah mutanaqishah adalah bentuk musyarakah di mana para

mitra (syarik) berjanji untuk membeli bagian kepemilikan (equity

share) dari mitra yang lain secara bertahap sampai kepemilikannya

secara sempurna berpindah kepadanya. Transaksi ini dimulai dengan

pembentukan musyarakah yang sesudahnya diikuti dengan jual-beli

dari bagian kepemilikan (equity) yang terjadi diantara kedua mitra.

Perlu ditekankan bahwa jual beli ini tidak boleh disyaratkan dalam

kontrak musyarakah.

Dengan kata lain mitra yang akan membeli itu diizinkan untuk

memberi janji (wad) untuk membeli, namun wad tersebut harus

terpisah (independent) dari akad musyarakah. Sebagai tambahan,

kesepakatan jual-beli juga harus terpisah dari musyarakah. Tidak

dibolehkan satu kontrak menjadi suatu syarat untuk melakukan

kontrak lainnya.

2) Ketentuan umum untuk musyarakah harus diterapkan pada

musyarakah mutanaqishah, terutama ketentuan tentang syirkah

‗inan. Tidak diperbolehkan dalam akad musyarakah mutanaqishah

memuat ketentuan yang memberikan keisitimewaan bagi pihak

manapun hak untuk menarik partisipasinya dalam modal.

3) Tidak diperbolehkan bersepakat bahwa salah satu menanggung

semua biaya asuransi atau pemeliharaan atas dasar bahwa pada

akhirnya mitra tersebut akan memiliki objek musyarakah.

4) Setiap mitra (syarik) harus menyediakan bagian modal. Penyediaan

modal dapat berbentuk kas atau aset yang dapat dinilai menurut nilai

uang, misalnya sebidang tanah untuk bangunan atau peralatan yang

diperlukan untuk operasional musyarakah. Kerugian, jika ada, harus

ditanggung secara periodis oleh para pihak sesuai dengan rasio

penyediaan setiap mitra, ketika saham dari satu pihak menurun dan

bagian pihak lain meningkat.

5) Nisbah keuntungan atau pendapatan dari musyarakah yang

merupakan hak setiap pihak harus secara jelas ditentukan/

disepakati. Namun diperbolehkan bagi para pihak untuk menyetujui

nisbah keuntungan yang tidak selalu merujuk kepada rasio

Page 74: IRPAN JAMIL - SPs.pdf - Repository UIN Syarif Hidayatullah ...

62

kepemilikan modal/bagian. Juga dibolehkan bagi para pihak untuk

memelihara93

nisbah keuntungan. Meskipun rasio kepemilikan

modal telah berubah, atau menyepakati untuk mengubah nisbah

keuntungan karena perubahan dari rasio kepemilikan modal. Dalam

penerapannya para pihak harus memastikan, bahwa prinsip alokasi

kerugian yang sesuai dengan rasio kepemilikan saham, harus tetap

dipertahankan.

6) Tidak dibolehkan mengatur agar salah satu pihak memiliki hak

untuk menerima keuntungan berdasarkan jumlah tertentu (lump

sum).

7) Dibolehkan bagi salah satu mitra untuk memberikan janji yang

mengikat (berdasarkan kontrak jual beli) yang memberikan hak

kepada mitranya untuk mendapatkan bagian kepemilikannya (equity

share) secara bertahap dengan memperhatikan nilai pasar atau pada

harga yang disepakati pada saat pengalihan. Namun tidak boleh

mensyaratkan bahwa bagian kepemilikan itu dialihkan/ diperoleh

pada harga awal (face value). Mengingat hal ini akan menciptakan

jaminan dari nilai bagian kepemilikan dari salah satu mitra (atau

lembaga) oleh mitra yang lain, yang tidak dibolehkan dalam syariah.

8) Para mitra dapat menyimpan perolehan bagian kepemilikannya dari

syirkah. Maksudnya, janji untuk menyisihkan sebagian dari

keuntungan yang dia peroleh dari musyarakah, untuk membayar

harga pengalihan porsi kepemilikan (equity) dari mitra lain. Objek

musyarakah dapat dibagi menjadi beberapa bagian (shares) yang di

dalamnya salah satu mitra dapat membeli sejumlah bagian tertentu

pada periode (interval) tertentu sampai mitra tersebut memiliki

secara keseluruhan porsi saham dalam syirkah dan dengan demikian

menjadi satu-satunya pemilik objek musyarakah.

9) Dibolehkan bagi salah satu mitra untuk menyewa bagian

kepemilikan mitra yang lain untuk jumlah tertentu dan periode yang

diinginkan namun di dalam kesepakatannya setiap mitra tetap

bertanggung jawab untuk pemeliharaan bagiannya secara regular.

c. Rukun yang harus dipenuhi dalam musyarakah mutanaqishah,

ditentukan sebagai berikut:

1) Pihak yang berakad, Seluruh mitra merupakan penyedia dan

penyerta modal (shahib-al-maal) dan pemilik properti syirkah

secara bersama sedangkan salah satu mitra selain sebagai pemilik

modal juga bisa sebagai penyewa properti bersama tersebut

(musta'jir).

93 Mermelihara maksudnya adalah tetap menggunakan nisbah atas keuntungan yang

disepakati pada awal akad, tidak mengikuti perubahan porsi kepemilikan yang terjadi akibat

penjualan dan pembelian porsi masing-masing pihak (penjelasan diambil dari, M.Nejatullah

Siddiqi, h.9-10.)

Page 75: IRPAN JAMIL - SPs.pdf - Repository UIN Syarif Hidayatullah ...

63

2) Modal, Masing-masing pihak Bank dan Nasabah menyertakan

modal dengan tujuan untuk membeli suatu properti tertentu yang

akan disewakan kepada Nasabah (atau pihak lain).

3) Objek akad, Objek akad berupa aset properti yang akan dimiliki

bersama, disewakan dan menghasilkan keuntungan bagi para pihak.

4) Ijab Qabul, Terdapat pernyataan penawaran (ijab) dan penerimaan

(qabul) sebagai perwujudan kehendak masing-masing dalam

mengadakan perjanjian (akad).

5) Nisbah Bagi Hasil, Pembagian porsi keuntungan yang akan

diperoleh para pihak dalam bentuk persentase bukan jumlah uang

yang tetap. Metoda yang digunakan dalam praktik adalah metoda

pengambilan keuntungan secara anuitas94

.

E. Fatwa Tentang mudharabah dan musyarakah oleh DSN-MUI

1. Metode penetapan fatwa dan prosedur pemberian fatwa

Sejalan dengan perkembangan lembaga-lembaga keuangan syariah, ulama

semakin tertuntut untuk turut serta dalam memberikan masukan untuk ke. majuan

lembaga tersebut. Dalam rangka mengantisipasi tuntutan tersebut, Majelis Ulama

Indonesia (MUI) membentuk Dewan Syariah Nasional (DSN) yang dianggap

sebagai lembaga efisien untuk mengoordinasikan ulama dalam menanggapi isu-isu

yang berhubungan dengan masalah ekonomi atau keuangan. Di samping itu, DSN

diharapkan berfungsi sebagai pendorong penerapan ajaran Islam dalam kehidupan

ekonomi. Oleh karena itu, DSN berperan serta secara proaktif dalam menanggapi

perkembangan masyarakat Indonesia dalam bidang ekonomi dan keuangan. 95

Majelis Ulama Indonesia (MUI) telah membentuk sebuah lembaga yang diberi

nama Dewan Syariah Nasional (DSN-MUI) yang bertugas membuat fatwa guna

memberikan masukan bagi pihak-pihak regulator Lembaga-Lembaga Bisnis

Syariah (LBS), termasuk Lembaga Keuangan Syariah (LKS). MUI secara resmi

telah mengeluarkan fatwa di awal tahun 2004 tentang haramnya bunga bank

disamping telah menerrbitkan saat ini lebih dari 100 fatwa tentang produk-produk

bank syariah, keuangan syariah sampai layanan keuangan syariah berbasis

teknologi informasi (fintek). 96

Sebagaimana dijelaskan di atas, bahwasanya salah satu tugas utama Dewan

Syariah Nasional (DSN) adalah mengeluarkan fatwa dalam bidang ckonomi

syariah. Fatwa yang dikeluarkan oleh DSN menjadi pedoman bagi lembaga.

94 Sehubungan dengan metode pembagian keuntungan yang diterapkan dalam

pembiayaan musyarakah mutanaqishah, ditetapkan berdasarkan metode pengambilan

keuntungan secara anuitas atau dikenal sebagai hisabat-tanazul. DSN-MUI telah

mengeluarkan fatwa tentang kebolehan Anuitas dalam penentuan keuntungan, melalui Fatwa

DSN Nomor 84/DSN-MUI/XII/2012 tentang Metode Pengakuan Keuntungan. 95 Panji Adam, Analisis Fatwa Dewan Syariah Nasional (DSN) MUI Nomor 13 Tahun 2000

tentang Uang Muka dalam Murabahah, (Bandung : Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan

Gunung Djati Bandung, 2013) h. 81 96 Euis Amalia, Orasi Ilmiah : Akselerasi Sistem Ekonomi IslamTerintegrasi Untuk Ekonomi

Indonesia Yang Berkeadilan.( Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2020) h.33

Page 76: IRPAN JAMIL - SPs.pdf - Repository UIN Syarif Hidayatullah ...

64

lembaga keuangan syariah. Fatwa tersebut dikeluarkan atas permintaan atau

pertanyaan secara individu atau lembaga yang menghendaki adanya kepastian

hukum secara syar'i atas problem yang dihadapinya. Setiap fatwa yang dikeluarkan

DSN didasarkan atas tujuan agar seluruh operasional keuangan syariah sesuai

dengan prinsip-prinsip syariah. 97

Fatwa yang dikeluarkan oleh DSN tidak hanya dipedomani oleh seluruh

lembaga keuangan syariah, tetapi menjadi sumber materil dalam menentukan

keabsahan operasional lembaga keuangan syariah. Dengan kata lain, kontribusi

fatwa yang dikeluarkan oleh DSN merupakan sumber materil yang dimuat dalam

Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (KHES). 98

Metode penetapan fatwa DSN adalah mengikuti pedoman atau panduan yang

telah ditetapkan oleh komisi fatwa MUI. Adapun pedoman fatwa MUI tertuang

dalam Surat Keputusan Majelis Ulama Indonesia No. U-59/MUI/ X/1997. Dalam

Surat Keputusan ini terdapat 3 (tiga) bagian proses utama dalam menentukan fatwa,

yaitu dasar-dasar umum penetapan fatwa, prosedur penetapan fatwa, serta teknik

dan kewenangan organisasi dalam penetapan fatwa. 99

Dasar-dasar umum penetapan fatwa MUI ditetapkan dalam Pasal 2 ayat (1) dan

(2). Dalam ayat (1) disebutkan bahwa setiap fatwa didasarkan pada al-'illat al-

ahkam yang paling kuat dan membawa kemaslahatan bagi umat. Kemudian dalam

ayat (2) disebutkan bahwa dasar-dasar fatwa adalah al-quran, hadits, ijma', qiyas,

dan dalil-dalil hukum lainnya. Kemudian prosedur penetapan fatwa yang di

keluarkan MUI menggunakan langkah-langkah sebagai berikut.

a. Setiap masalah yang diajukan MUI dibahas dalam rapat komisi untuk

mengetahui substansi dan duduk masalahnya.

b. Dalam rapat komisi, dihadirkan ahli yang berkaitan dengan masalah, yang akan

difatwakan untuk didengar pendapatnya sebagai bahan pertimbangan.

c. Setelah mendengar ahli didengar dan dipertimbangkan, ulama melakukan

kajian terhadap pendapat para imam mazhab dan fugaha dengan

memperhatikan dalil-dalil yang digunakan dengan berbagai cara Istidlal dan

kemaslahatannya bagi umat. Apabila pendapat-pendapat ulama seragam atau

hanya satu ulama yang memiliki pendapat, komisi dapat menjadikan pendapat

tersebut sebagai fatwa. 100

d. Jika fuqaha memiliki ragam pendapat, komisi melakukan pemilihan pendapat

melalui tarjih dan memilih salah satu pendapat untuk difatwakan.

e. Jika tarjih tidak menghasilkan produk yang diharapkan, komisi dapat

melakukan “al-haqul asail bi nadzoiriha‖ dengan memerhatikan mulhaqn bih,

mulhaq ilayah, dan wajh al-ilhaqi.

97 Khatibul Umam, Legislasi Fiqh Ekonomi dan Penerapannya Dalam Produk Perbankan Syariah di Indonesia, (Yogyakarta, BPFE, 2011) h. 49 98 Khatibul Umam, Legislasi..................h. 58 99 Jaih Mubarok, Metodologi Ijtihad Hukum Islam (Yogyakarta : UII Press,2002) h. 169

100 Jaih Mubarok, Metodologi Ijtihad Hukum Islam (Yogyakarta : UII Press,2002) h. 170

Page 77: IRPAN JAMIL - SPs.pdf - Repository UIN Syarif Hidayatullah ...

65

f. Apabila cara ilhaq tidak menghasilkan produk yang memuaskan, komisi dapat

melakukan ijtihad jam'i dengan menggunakan al-qawa'id al-ushuliyat dan al-

qawa'id al-fiqhiyyat.

Adapun kewenangan MUI adalah berfatwa tentang hal-hal sebagai berikut: (a)

Masalah-masalah keagamaan yang bersifat umum dan menyangkut umat Islam

Indonesia secara nasional: dan (b) Masalah-masalah keagamaan di suatu daerah

yang diduga dapat memperluas ke daerah lain. Teknik berfatwa yang dilakukan oleh

MUI adalah rapat komisi dengan menghadirkan ahli yang diperlukan dalam

membahas suatu permasalahan yang akan difatwakan. Rapat komisi dilakukan

apabila ada pertanyaan atau ada permasalahan yang diajukan, baik pertanyaan atau

permasalahan itu sendiri berasal dari pemerintah, lembaga sosial kemasyarakatan,

maupun dari MUI sendiri.101

DSN-MUI juga telah membuat pedoman untuk menetapkan sebuah fatwa

sebagaimana telah ditetapkan dalam Pedoman Dasar dan Pedoman Rumah sega

tersebut di atas, yaitu sebagai berikut.

a. Badan Pelaksana Harian menerima usulan atau pertanyaan hukum mengenai

suatu produk lembaga keuangan syariah. Usulan ataupun pertanyaan ditujukan

kepada Sekretariat Badan Pelaksana Harian.

b. Sekretariat yang dipimpin oleh Sekretaris paling lambat 1 (satu) hari kerja

setelah menerima usulan/pertanyaan harus menyampaikan permasalahan

kepada Ketua.

c. Ketua Badan Pelaksana Harian bersama anggota dan staf ahli selambat

jambatnya 20 hari kerja harus membuat memorandum khusus yang berisi telaah

dan pembahasan terhadap suatu pertanyaan/usulan.

d. Ketua Badan Pelaksana Harian selanjutnya membawa hasil pembahasan ke

dalam Rapat Pleno Dewan Syariah Nasional untuk mendapat pengesahan.

e. Fatwa atau memorandum Dewan Syariah Nasional ditandatangani oleh Ketua

dan Sekretaris Dewan Syariah Nasional. 102

f. Menurut Kanny Hidaya sebagaimana dikutip oleh Khotibul Umam," bahwa

dalam pembuatan fatwa, DSN-MUI menggunakan empat sumber hukum yang

disepakati oleh para ulama Sunni, yaitu al-quran, al-hadits, ijma', dan qiyas.

Selain itu, DSN-MUI juga sering menggunakan salah satu sumber hukum yang

diperselisihkan, yaitu istishan, maslahah al-mursalah, istishab, sadd al-

dzarifah, 'urf, madzhab shahabi, dan syar'u man qablana. 103

Lebih lanjut menurut Kanny Hidaya, DSN-MUI akan melihat pada kitabkitab

fikih masyhur yang berasal dari mazhab klasik (Hanafi, Maliki, Syafi'i, dan

Hanbali) dan kitab-kitab fikih kontemporer, Ketika ditemukan adanya suatu

Rendapat yang membenarkan sesuatu perbuatan muamalah dan berbeda dengan

(jumhur), maka menurut DSN bisa dipakai. Hal ini mendasarkan pada kaidah

101 Jaih Mubarok, Metodologi.....................h. 171

102 Jaih Mubarok, Metodologi.....................h. 172 103 Khatibul Umam, Legislasi Fiqh Ekonomi dan Penerapannya Dalam Produk Perbankan Syariah di Indonesia, (Yogyakarta, BPFE, 2011) h. 49

Page 78: IRPAN JAMIL - SPs.pdf - Repository UIN Syarif Hidayatullah ...

66

hukum muamalah, yaitu bahwa segala perbuatan di bidang muamalah adalah boleh,

kecuali ada dalil yang secara tegas melarangnya. 104

Fatwa tentang sesuatu tidak boleh ada unsur mafsadat. Oleh karenanya semua

pendapat dari para ulama yang terwadahi di DSN akan didengarkan Apabila dalam

pleno terdapat perbedaan atau dengan kata lain tidak terdapat permufakatan bulat,

maka fatwa akan diputuskan melalui mekanisme voting dengan voting ini apabila

hanya sedikit yang tidak setuju, maka fatwa tetap akan dikeluarkan sepanjang tidak

mengandung mafsadat di dalamnya.

Prosedur Penetapan Fatwa yang telah dikemukakan di atas dapat dikemukakan

secara ringkas, yaitu sebagai berikut."

1. Masalah dari Industri, regulator diajukan ke Pokja-Pokja yang ada:

a. Case hearing dengan pemohon.

b. Klarifikasi dengan pihak terkait.

c. Draf formulasi masalah.

d. Konfirmasi para pihak.

e. Formulasi masalah.

2. Draf farwa dari Badan Pelaksana Harian dibahas dalam Rapat Pleno Badan

Pelaksana Harian:

a. Kajian hukum.

(1) Analisis adillah.

(2) Analisis terhadap qawal.

b. Industri dan regulator hearing.

c. Draf formulasi solusi.

d. konfirmasi kepada regulator.

e. Formulasi solusi/draf fatwa

3. Draf Fatwa dari Badan Pelaksana Harian dibahas dalam pleno:

a. fatwa oleh Badan Pelaksana Harian.

b. Tanggapan pleno (umum dan khusus)

c. Penyempurnaan draf fatwa

d. Harmonisasi dengan fatwa regulasi lain

e. Persetujuan fatwa

Metode instinbath hukum dalam pembuatan fatwa sebagaimana tersebut secara

ringkas dapat dibuat bagan sebagai berikut.

104 Khatibul Umam, Legislasi Fiqh.......................h. 50

Page 79: IRPAN JAMIL - SPs.pdf - Repository UIN Syarif Hidayatullah ...

67

Gambar. 2.3

Metode Instinbath Hukum Fatwa DSN-MUI

Sumber: Khotibul Umam

Berdasarkan bagan di atas dapat dijabarkan bahwa fikih merupakan

pemahaman atas syariah sebagaimana tertuang dalam Alquran, hadis Nabi, ijma',

dan qiyas yang di dalamnya terdapat ikhtilaf (beraneka ragam). DSN-MUI sebagai

sebuah lembaga ijtihad akan mengeluarkan fatwa yang mendasarkan pada fikih

sebagaimana tertuang dalam kitab fikih klasik dan mendasarkan juga pada kitab

fikih kontemporer/modern. Fatwa merupakan produk hukum yang ditujukan untuk

unifikasi, sehingga meminimalisir perbedaan pendapat terhadap sesuatu

permasalahan yang sama.

Berdasarkan penjelasan tersebut, maka Lembaga Keuangan Syariah (LKS)

langsung mendasarkan operasionalnya pada fatwa, bukan di tataran fikih lagi.

Begitu juga dengan lembaga Penyelesaian sengketa, baik Peradilan Agama maupun

Badan Arbitrase Syariah Nasional (Basyarnas) dapat mendasarkan farwa DSN,

sehingga dapat meminimalisir terjadinya disparitas putusan, 105

2. Urgensi Fatwa Dewan Syariah Nasional –Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI)

Untuk mendukung pengembangan ekonomi syariah, MUI telah membentup

lembaga khusus yang berperan untuk memajukan ekonomi syariah, ya, Dewan

Syariah Nasional-Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI). Fungsi utama dari Dewan

Syariah Nasional (DSN) adalah memberikan kejelasan atas kinerja, lembaga

keuangan syariah (LKS) agar betul-betul berjalan sesuai dengan Prinsip syariah."

Lahirnya Dewan Syariah Nasional (DSN) sebagai wujud dari antisipasi atas

kekhawatiran munculnya perbedaan fatwa di kalangan Dewan Pengawas Syariah

(DPS). Tugas utama Dewan Syariah Nasional-Majelis Ulama Indonesia (DSN-

MUI), antara lain: menggali, mengkaji, dan merumuskan nilai prinsip. prinsip

hukum Islam dalam bentuk fatwa untuk dijadikan pedoman dalam kegiatan transaksi

di lembaga keuangan syariah (LKS). Dewan Syariah Nasional. Majelis Ulama

105 Khatibul Umam, Legislasi Fiqh.......................h. 50

Alquran Qiyas

Ijma Fatwa

Sunnah/Hadis

Nabi

Fikih

Page 80: IRPAN JAMIL - SPs.pdf - Repository UIN Syarif Hidayatullah ...

68

Indonesia (DSN-MUI) juga mempunyai tugas mengawasi pelaksanaan dan

implementasi fatwa-fatwa tersebut di lembaga keuangan syariah (LKS) melalui

Dewan Pengawas Syariah (DPS) yang merupakan kepanjangan tangan dari Dewan

Syariah Nasional-Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI) di Lembaga Keuangan

Syariah (LKS).

Hal lain yang mendorong pembentukan Dewan Syariah Nasional-Majelis

Ulama Indonesia (DSN-MUI), menurut M. Cholil Nafis adalah langkah efisiensi dan

koordinasi para ulama dalam menanggapi isu-isu yang berhubungan dengan masalah

ekonomi dan keuangan syariah. Berbagai kasus yang memerlukan jawa akan

ditampung dan dibahas bersama agar diperoleh kesamaan pandangan dalam

penanganannya oleh masing-masing DPS yang ada di LKS. Kehadiran DSN pun

diharapkan dapat berfungsi untuk mendorong penerapan ajaran Islam Dalam

kehidupan ekonomi dan keuangan. Untuk itu, menurut K.H. Ma'ruf Amin, Dewan

Syariah Nasional-Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI akan senantiasa berperan

serta secara proaktif dalam menanggapi perkembangan masyarakat Indonesia yang

dinamis dalam bidang ekonomi dan keuangan. 106

Perkembangan ekonomi syariah di Indonesia, khususnya di bidang perbankan,

asuransi, dan pasar modal, menjadi perhatian khusus bagi para ulama yang

tergabung dalam organisasi Majelis Ulama Indonesia. Sebagai ulama, yang tidak

termasuk unsur pemerintahan atau bagian dari kenegaraan, ia menetapkan suatu

hukum yang berdasar pada syariah dalam bentuk fatwa. 107

Menurut K.H. Ma'ruf Amin, Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan

fatwa dikarenakan banyaknya persoalan yang muncul dalam masyarakat dan mereka

membutuhkan petunjuk. Dengan kata lain, kelahiran lembaga ini didasari atas

kebutuhan masyarakat mengingat pertumbuhan ekonomi svariah yang begitu pesat

memerlukan panduan syariah. Penilaian kesyariahan suatu produk syariah, misalnya,

didasarkan pada kesesuaian dengan fatwa lembaga ini.

Keberadaan fatwa juga dibutuhkan karena sebagian dari farwa-farwa DSN-

MUI itu telah diadopsi oleh Bank Indonesia (BI) atau Kementerian Keuangan

khsususnya Direktorat Jenderal Keuangan. Direktorat Jenderal Pengelolaan Utang,

dan Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan (Bapepam LK) serta

Kementerian Koperasi dan UKM agar menjadi peraturan perundang-undangan yang

mengikat. Bahkan sebagian telah diadopsi oleh negara menjadi bagian dari undang-

undang. 108

Menurut K.H. Ma'ruf Amin, upaya yang dilakukan untuk memasukkan aspek

syariah dalam peraturan perundang-undangan sudah membuahkan hasil Setidaknya

beberapa peraturan telah mengatur aspek syariah." Berdasarkan hasil penelitian Yeni

Salma Barlinti, peraturan setingkat undang-undang Yang mengatur kegiatan

ekonomi syariah hingga saat ini terdapat 2 (dua) undang-undang, yaitu (1) Undang-

106 M. Cholil Nafis, Teori Hukum Ekonomi Syariah : Kajian Komprehensif tentang

Teori Hukum Ekonomi Islam, penerapannya dalam Fatwa Dewan Syariah Nasional dan

Penyerapannya ke dalam Peraturan Perundang-undangan, (Jakarta : UIP, 2011) h. 7 107

M. Cholil Nafis, Teori Hukum.................................h. 8 108 Panji Adam, Fatwa-fatwa Ekonomi Syariah, Konsep, Metodologi, dan

Implementasinya Pada Lembaga Keuangan Syariah. (Jakarta, Amzah, 2019) h. 197

Page 81: IRPAN JAMIL - SPs.pdf - Repository UIN Syarif Hidayatullah ...

69

Undang Nomor 19 Tahun 2008 tentang Surat Berharga Syariah Negara (SBSN): dan

(2) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. Dalam

Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2008 tentang Surat Berharga Syariah Negara

(SBSN), pentingnya fatwa DSN. MUI diatur dalam Pasal 25 yang menyatakan

bahwa dalam rangka penerbitan SBSN, terhadap prinsip-prinsip syariah dari

lembaga keuangan yang memiliki kewenangan dalam penetapan fatwa di bidang

ekonomi syariah. Kemudian dalam penjelasan pasal itu dikatakan bahwa lembaga

yang memiliki kewenangan dalam menetapkan fatwa di bidang syariah adalah

Majelis Ulama Indonesia (MUI) atau lembaga lain yang ditunjuk pemerintah.

Dengan demikian, fatwa yang dimaksud adalah fatwa DSN-MUI, karena hanya

DSN-MUI yang memiliki otoritas mengeluarkan fatwa di bidang ekonomi syariah.

Dengan pengundangan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2008 tentang Surat

Berharga Syariah Negara (SBSN), maka instrumen keuangan perbankan syariah

semakin bertambah. Sebenarnya, penerbitan SBSN untuk kepentingan pemerintah

dalam rangka menutupi “...terbatasnya daya dukung Anggaran Pendapatan dan

Belanja Negara untuk menggerakkan pembangunan sektor ekonomi secara

berkesinambungan dan belum optimalnya pemanfaatan instrumen pembiayaan

lainnya.‖ Walau begitu, perbankan syariah harus mengoptimalkan instrumen

keuangan ini, baik dalam rangka memajukan perbankan syariah melalui penyediaan

alternatif instrumen keuangan perbankan syariah. 109

Adapun pengaturan mengenai fatwa DSN-MUI dalam Undang-Undang Nomor

21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah dapat dilihat pada Pasal 26 ayat (1), (2)

dan (3) yaitu, kegiatan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19, Pasal 20, dan

Pasal 21 dan/atau produk dan jasa syariah, wajib tunduk kepada prinsip syariah, (2)

adapun prinsip syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) difawakan oleh Majelis

Ulama Indonesia (MUI): (3) fatwa sebagaimana yang dimaksud pada ayat (2)

dituangkan dalam Peraturan Bank Indonesia (PBI):4 (4) dalam rangka penyusunan

Peraturan Bank Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (3) Bank Indonesia

membentuk komite perbankan syariah.

Dengan demikian, landasan hukum bagi LKS di Indonesia selain didasarkan

pada peraturan yang dikeluarkan oleh lembaga lain, juga termasuk ketentuan-

ketentuan dalam bentuk fatwa yang dikeluarkan oleh DSN-MUI. Menurut K.H.

Ma'ruf Amin, adopsi syariah dalam peraturan perundang-undangan ini akan terus

berlanjut mengingat kebutuhan masyarakat akan kegiatan ekonomi, sosial, politik,

kemasyarakatan yang sesuai dengan ketentuan syariah yang diyakininya. Zubairi

Hasan menambahkan bahwa salah satu rujukan hukum tentang ekonomi syariah

adalah fatwa MUI yang biasanya digodog dan dikeluarkan oleh DSN. Majelis

Ulama Indonesia (MUI) sebagai lembaga yang menghimpun semua organisasi Islam

yang ada di Indonesia, kini menjadi rujukan bagi semua masyarakat muslim di

Indonesia. Hal ini berbeda dengan fatwa Muhammadiyah atau fatwa Nahdhatul

Ulama, misalnya, yang mempunyai lingkup terbatas.

109

Yeni Salma Barlianti, Kedudukan Fatwa Dewan Syariah Nasional dalam Sistem

Hukum Nasional di Indonesia”, (Jakarta : Balitbang Diklat Kementerian Agama RI, 2010) h. 326

Page 82: IRPAN JAMIL - SPs.pdf - Repository UIN Syarif Hidayatullah ...

70

Lebih dari itu, Sutan Remy Sjahdeini sebagaimana dikutip oleh Ade Sotyan

Mulazid mengatakan bahwa hingga tahun 2012 ini, DSN-MUI telah mengeluarkan

82 fatwa terkait produk keuangan syariah.‖ Hal ini menunjukkan pentingnya peran

fatwa dalam menumbuhkembangkan lembaga keuangan syariah di Indonesia.

Sebagian besar fatwa-fatwa DSN itu, menurut Atho Mudzhar merupakan jawaban

atas masalah-masalah perbankan syariah (58 fatwa), sebagian lain tentang asuransi

syariah (6 fatwa), pasar modal syariah (10 farwa), pembiayaan syariah (1 fatwa),

pegadaian syariah (3 fatwa), surar berharga syariah negara (3 fatwa), dan akuntasi

syariah (1 fatwa). Fatwa-fatwa dimaksud di antaranya: fatwa tentang Giro,

Tabungan, Deposito, Mudharabah, Jual-Beli Salam, Pembiayaan Musyarakah,

Pembiayaan Ijarah, Wakalah, Kafalah, Hawalah, Diskon dalam Murabahah,

Pencadangan Penghapusan Aktiva Produkiif, Investasi Reksadana Syariah. Letter of

Credit, Pasar Modal Syariah, Syariah Charged Card, Sertifikat Bank Indonesia

Syariah Ju'alah, Hak Memesan Efek Terlebih Dahulu (HMETD) Syariah, Surat

Berharga Syariah Negara, Sale and Lease Back, dan lain-lain. 110

Menurut Atho Mudzhar, isi fatwa-fatwa itu telah memberikan peluang besar

bagi perkembangannya ekonomi syariah di Indonesia Untuk itu, perlu

dikembangkan secara terus-menerus kajian-kajian fatwa tentang ekonomi syariah,

sehingga penerbitan fatwa oleh Dewan Syariah Nasional ke depannya dapat sesuai

dengan kebutuhan industri syariah saat ini. K.H. Ma'ruf Amin mengungkapkan

bahwa dalam menyusun dan merumuskan fatwa dapat dilakukan dengan tiga

langkah utama, di antaranya: pertama: Tahqiq al-Manath (analisis dan upaya untuk

mengetahui ada atau tidak adanya 'illat): kedua, 'Iadah al-Nazhar (telaah ulang):

ketiga, Tafriq al halal min al-Haram (memisahkan unsur halal dari unsur haram),

dan disertai dengan petimbangan sejumlah prinsip dalam bermuamalah dalam Islam

seperti Bara'at al-Ashliyah (asal hukum muamalat itu adalah boleh kecuali ada nash

yang mengharamkannya), Taradi (saling sukarela), Tahqiq al-Khidmah al-

Ijtima‟iyah (pelayanan kepada masyarakat), al-'Adl wa al-Tawazun (keadilan dan

keseimbangan), "Adam al-Gharar (tidak ada tipu daya), Istirbah (keinginan

mendapat keuntungan), dan Jal al-mashalih wa Dar'u al-Mafasid (mendatangkan

manfaat dan menghindarkan madarat). 111

Dengan diadopsinya ke dalam berbagai peraturan perundang-undangan,

menurut Ade Sofyan Mulazid bahwa kedudukan fatwa menjadi urgen dan tentunya

memberikan dampak positif kepada pelaku ekonomi syariah. Selebihnya,

keberadaan fatwa bagi pelaku usaha sangat diperlukan untuk mengembangkan usaha

mereka serta turut berpartisipasi dalam peningkatan kesejahteraan dan keadilan

ekonomi masyarakat Indonesia, sambil memberikan ketenteraman batin karena

rambu-rambu syariah yang telah dipasangnya dengan jelas. Diharapkan fatwa

tersebut dapat menjadi pedoman dalam melaksanakan aktivitasnya serta dijadikan

sumber atau sebagai kaidah penuntutan dalam membuat peraturan perundang-

undangan khususnya dalam bidang ekonomi syariah dan keuangan. Supaya

pemberian fatwa terhadap berbagai masalah yang berkembang di lembaga keuangan

110 Muhammad Atho Mudhzar, Fatwa- fatwa Majelis Ulama Indonesia : Sebuah Studi

Tentang Pemikiran Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta : INIS, 2003) h. 19 111

Muhamad Atho Mudhzar, Fatwa-fatwa Majelis..........................h. 20

Page 83: IRPAN JAMIL - SPs.pdf - Repository UIN Syarif Hidayatullah ...

71

syariah (LKS) dapat lebih baik dan efektif, maka perlu adanya sistem dan prosedur

penetapan fatwa.112

Menurut M. Cholil Nafis, sebagai sebuah lembaga yang secara resmi

mempunyai otoritas di bidang penetapan fatwa ekonomi syariah, DSN-MUI

mempunyai sistem dan prosedur penetapan fatwa yang baku. Sehingga dengan

begitu, siapa pun yang menjadi pengurus DSN-MUI harus mengindahkan sistem dan

prosedur tersebut sebelum menetapkan suatu fatwa. Secara ringkas sistem dan

prosedur penetapan fatwa di lingkungan DSN-MUI adalah sebagai berikut: (1)

sebelum fatwa ditetapkan, dilakukan peninjauan terlebih dahulu pendapat para Imam

mazhab tentang masalah yang akan difatwakan tersebut, secara saksama berikut

dalil-dalilnya: (2) masalah yang telah jelas hukumnya (al-ahkam) akan disampaikan

sebagaimana adanya, (3) dalam masalah yang jadi perbedaan pendapat (khilafiyah)

di kalangan mazhab, maka: (a) penetapan, fatwa didasarkan pada hasil usaha

penemuan titik temu di antara pendapatan-pendapat mazhab melalui al-jam'u wa al-

taufiq: dan (b) jika usaha penemuan titik temu tidak berhasil dilakukan, penetapan

fatwa didasarkan pada hasil tarjih melalui metode muqaranah al-madhahib dengan

menggunakan kaidah, kaidah ushul fiqh muqaran, (4) dalam masalah yang tidak

ditemukan Pendapar hukumnya di kalangan mazhab, penetapan fatwa didasarkan

pada hasil ijtihad jama'iy (kolektif) melalui metode bayani, ta'liliy (qiyasiy, istihsan,

ilhaqy), istislahiy dan sadd al-dzari'ah, (5) penetapan fatwa senantiasa

memerhatikan kemaslahatan umum (mashalih “ammah) dan maqashid al-

syarih'ah.‖ 113

Lebih lanjut Cholil mengungkapkan bahwa secara umum, fatwa-fatwa yang

ditetapkan oleh DSN-MUI bersifat moderat (tawassuth), artinya tidak terlalu rigid

terhadap teks nash (tasyaddud) tetapi juga tidak terlalu keluar dari mafhum al-nash

dan hanya mempertimbangkan kemaslahatan umum. DNS-MUI berpegangan bahwa

anggapan adanya mashlahah yang ternyata melanggar prinsip syariah haruslah

ditolak. Mashlahah yang seperti itu termasuk mashlahah yang belum pasti

(mashlahah mauhumah), sedangkan yang dikandung oleh syariah termasuk

mashlahah mursalah yang pasti (mashlahah gath'iyyah). Oleh karena itu, tidak ada

alasan untuk mendalihkan mendahulukan kebutuhan nasabah dengan melanggar

prinsip syariah.‖ 114

Dengan demikian, keberadaan fatwa dalam pelaksanaan ekonomi syariah

memiliki peran yang strategis karena fatwa merupakan panduan bagi para pelaku

usaha dalam menjalankan bisnisnya. Selain itu juga fatwa sering dijadikan rujukan

oleh pemerintah dalam menyusun dan merumuskan peraturan perundang - undangan

yang akan dibuat.

3. Kedudukan Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonseia (DSN-

MUI) Bagi Praktik Perbankan

112

Ade Sofyan Mulazid, Kedudukan Sistem Pegadaian Syariah,( Jakarta : Kencana

Prenada Media, 2016)h. 96 113

M. Cholil Nafis, Teori Hukum Ekonomi Syariah........................h.9 114

M. Cholil Nafis, Teori Hukum Ekonomi Syariah.......................h 10

Page 84: IRPAN JAMIL - SPs.pdf - Repository UIN Syarif Hidayatullah ...

72

Hukum Islam di Indonesia berada di tiga tempat, yaitu pertama, tersebar dalam

kitab-kitab fikih yang ditulis oleh para fuqaha ratusan tahun yang lalu, kedua, perada

dalam peraturan perundang-undangan negara yang memuat hukum Islam, seperti

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, instruksi Presiden

Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam dan sebagainya: ketiga,

terdapat dalam berbagai putusan hakim yang telah terbentuk yurisprudensi. Dalam

pelaksanaan tiga sumber hukum Islam tersebut, sering terjadi kontroversi antara

fikih dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, antara fikih dengan

putusan pengadilan, antara putusan pengadilan dengan peraturan perundang-

undangan yang berlaku. 115

Pada dasarnya suatu rumusan hukum bukan sekadar dilihat dari segi format

dalam bentuk undang-undang atau putusan hakim saja: akan tetapi yang lebih

penting adalah materi muatannya, apakah sudah mengakomodasikan nilai-nilai yang

diyakini oleh masyarakat dan telah memenuhi rasa keadilan masyarakat. Secara

sosiologis, masyarakat Indonesia menggali nilai-nilai normatif yang diyakini

masyarakat dihadapkan kepada nilai-nilai keagamaan yang diyakini terutama

masyarakat Indonesia yang beragama Islam.116

Eugen Ehrlich menganjurkan agar dalam kehidupan berbangsa dan

bernegara terdapat keseimbangan antara keinginan untuk mengadakan pembaruan

hukum melalui peraturan perundang-undangan dengan kesadaran untuk

memerhatikan kenyataan yang hidup dalam masyarakat. Kenyataan-kenyataan

tersebut dinamakan living law atau just law yang merupakan kunci dari teorinya.

Lebih lanjut Eugen Ehrlich mengemukakan bahwa hukum positif yang baik adalah

hukum yang sesuai dengan living law sebagai inner order dari masyarakat yang

mencerminkan nilai-nilai yang hidup di dalamnya. Jika ingin diadakan peruhahan

hukum, maka hal yang patut diperhatikan di dalam membuat sebuah undang-undang

agar undang-undang dibuar itu berlaku secara efekuf di dalan kehidupan masvarakat

adalah memerhatikan hukum yang hidup living law) dalam masyarakat tersebut.117

Menurut A. Qadir Azizy. ada beberapa keuntungan yang dapat diperoleh

dan usaha menjadikan nilar-nilai fikih ke dalam peraturan perundang-undangan

ancara lain: pertama. dalam bentuk peraturan perundang-undangan materi hukun

lebih mudah didapatkan dan dijadikan pedoman karena bentuknya yang tertulis dan

terkoditikasi, kedua, dalam banyak hal, peraturan perundang-undangan telah

menjadi kodifikasi dan unifikasi hukum yang berlaku secara nasional dan tidak lagi

dibatasi oleh daerah, suku, dan golongan tertentu: ketiga, lebih mudah dipahami dan

pka ada ungkapan yang harus ditafsirkan, ini pun jauh lebih mudah daripada

menafsirkan hukum yang tidak tertulis dan juga banyak menimbulkan perdebatan

dalam penemuannya, apalagi dalam menafsirkannya, keempat, risiko bagi penegak

hukum lebih kecil dibandingkan dengan keberadaan untuk mempergunakan hukum

yang tidak tertulis, atau keberanian untuk menggunakan ijtihdd dalam menemukan

115

Abdul Manan, Reformasi Hukum Islam di Indonesia, ( Jakarta : RajaGrafindo

Persada,2011) h.12 116

Abdul Manan, Reformasi Hukum Islam........................h. 13 117

Abdul Manan, Reformasi Hukum Islam........................h. 14

Page 85: IRPAN JAMIL - SPs.pdf - Repository UIN Syarif Hidayatullah ...

73

hukum, atau juga tuduhan bahwa penegak hukum telah melanggar undang-undang. 118

Dalam praktik perbankan syariah di Indonesia pada awalnya mendasarkan

pada fatwa yang dikeluarkan oleh DSN-MUI. Fatwa sebagaimana dikemukakan di

muka merupakan salah satu institusi dalam hukum Islam untuk memberikan

jawaban dan solusi terhadap problem yang dihadapi umat. Bahkan umat Islam pada

umumnya menjadikan fatwa sebagai rujukan di dalam bersikap dan bertingkah laku.

Dalil yang digunakan adalah al-Fatd ft Haqqil "Ami kal Adillah fi Haqqil Mujitahid,

artinya adalah bahwa kedudukan fatwa bagi orang banyak, seperti dalil bagi

mujtahid.119

Kehadiran fatwa-fatwa ini menjadi aspek organik dari bangunan ekonomi

Islam yang tengah ditara/dikembangkan, sekaligus merupakan alat ukur bagi ke

majuan ekonomi syariah di Indonesia. Fatwa ekonomi syariah yang telah hadir itu

secara teknis menyuguhkan model pengembangan bahkan pembaruan fikih

muamalah maliyah (fikih ekonomi).

Fikih muamalah merupakan salah satu dari bagian disiplin hukum Islam.

Semua bentuk persoalan yang dicantumkan dalam kitab fikih adalah pertanyaan

yang diajukan masyarakat atau persoalan yang muncul di tengah masyarakat.

Kemudian para ulama memberikan pendapatnya yang sesuai kaidah-kaidah yang

berlaku dan kemudian pendapat tersebut dibukukan berdasarkan hasil fatwa-

fatwanya.120

Secara fungsional, fatwa memiliki fungsi tabyin dan tawjih. Tabyin artinya

menjelaskan hukum yang merupakan regulasi praktis bagi lembaga keuangan,

khususnya yang diminta praktiksi ekonomi syariah ke DSN. Kemudian tawjih, yaitu

memberikan guidance (petunjuk) serta pencerahan kepada masyarakat luas tentang

norma ekonomi syariah. 121

Memang dalam kajian ushul fikih, kedudukan fatwa hanya mengikat bagi

orang yang menerima fatwa dan yang memberi fatwa. Namun dalam konteks ini,

teori itu tidak sepenuhnya bisa diterima, karena konteks, sifat, dan karakter fatwa

saat ini telah berkembang dan berbeda dengan fatwa klasik. Teori lama tentang

fatwa harus direformasikan dan diperbarui sesuai dengan perkembangannya dan

proses terbentuknya fatwa. Teori fatwa yang hanya mengikat mustafti (orang yang

meminta fatwa) tidak relevan untuk fatwa DSN. Fatwa ekonomi syariah saat ini

tidak hanya mengikat bagi praktisi lembaga keuangan syariah, tetapi juga bagi

masyarakat Islam Indonesia, apalagi fatwa-fatwa itu kini telah dipositifkan melalui

PBI122

118

Abdul Qadir Azizy, Ekletisime Hukum Nasional Kompetensi Antara Hukum Islamdan

Hukum Umum, ( Yogyakarta :Gema Media 2012) h. 14 119

Aries Mufti dan Muhammad Syakir Sula, Amanah Bagi Bangsa : Konsep Sistem Ekonomi

Syariah, ( Jakarta : Masyarakat Ekonomi Syariah, 2009) h. 221 120

Tim Asistensi Pengembangan LKS Bank Muamalat, Perbankan Syariah: Perspektif

Praktis, ( Jakarta : Muamalah institute, 2000) h. 27 121

Aries Mufti dan Muhammad Syakir Sula, Amanah Bagi Bangsa.....................h.221 122

Khotibul Umam, Legislasi Fiqh............................h.51

Page 86: IRPAN JAMIL - SPs.pdf - Repository UIN Syarif Hidayatullah ...

74

Fatwa-fatwa ekonomi syariah saat ini di Indonesia dikeluarkan melalui

proses dan formulasi fatwa kolektif, koneksitas, dan melembaga yang disebut ijtihad

jama‟i (ijtihad ulama secara kolektif), hukan ijtihad fardi (Individu) Validitas jama'i

dan fardi sangat berbeda. Ijtihad jama‟i di anggap telah mendekati ijma. 123

Fatwa dalam definisi klasik bersifat opsional, ―ikhtiyariah" (pilihan yang

tidak mengikat secara legal), sedangkan bagi selain mustafti bersifat “I‟lamiyah”

atau ― informatif yang lebih dari sekadar wacana. Mereka terbuka untuk mengambil

fatwa yang sama atau meminta fatwa kepada mufti/seorang ahli yang lain.124

Jika ada lebih dari satu fatwa mengenar satu masalah yang sama, maka

Umat boleh memilih mana yang lebih memberikan qana'ah (penerimaan/kepuasan

secara argumentatif. Sifat fatwa yang demikian membedakannya dari satu putusan

peradilan (qadha) yang mempunyai kekuatan hukum yang mengikat bagi para pihak

yang berperkara. 125

Otoritas fatwa tentang ekonomi syariah di Indonesia sebagaimana

dikemukakan di muka, berada di bawah DSN-MUI. Komposisi anggota plenonya

terdiri dari para ahli syariah dan ahli ekonomi/keuangan yang mempunyai wawasan

syariah. Dalam membahas masalah-masalah yang hendak dikeluarkannya, DSN

melibatkan pula lembaga mitra, seperti Direktorat Perbankan Syariah Bank

Indonesia. 126

Fatwa dengan definisi klasik mengalami perkembangan dan penguatan

posisi dalam fatwa kontemporer yang melembaga dan kolektif di Indonesia. Baik

yang dikeluarkan oleh Komusi Fatwa MUI untuk masalah keagamaan dan

kemasyarakatan secara umum, maupun yang dikeluarkan DSN untuk farwa tentang

masalah ekonomi syanah khususnya lembaga keuangan syariah. Fatwa yang

dikeluarkan oleh Komisi Farwa MUI menjadi rujukan yang berlaku umum serta

mengikat bagi umat Islam di Indonesia, khususnya secara moril. Sedangkan farwa

DSN menjadi rujukan yang mengikat bagi LKS yang ada, demikian pula mengikat

masyarakat yang bennteraksi dengan LKS. 127

Fatwa DSN MUI sebagai pedoman bugi operasional perbankan syariah pada

tahun 2005 sebagian besar dijadikan substansi dalam Peraturan Bank Indonesia

(PBI). Hal Ini terlihat dalam PBI No. 7/46/PB1/2005 tentang Akad Penghimpunan

dan Penyaluran Dana Bagi Bank Yang Melaksanakan Kegiatan usaha Berdasarkan

Prinsip Syariah. Adapun tujuan dari dikeluarkannya PBI ini adulah untuk

mewujudkan kesamaan cara pandang pelaku industri perbankan syariah, termasuk

pengelola bank/pemilik dana/pengguna dana, serta otoritas pengawas terhadap akad-

akad produk penghimpunan dana dan penyaluran dana bank syariah.

Dalam perkembangannya PBI No. 7/46/PBI/2005 dicabut dengan PBI No. 9

19/PB1/2007 tentang Pelaksanaan Prinsip Syariah dalam Kegiatan Penghimpunan

Dana dan Penyaluran Dana serta Pelayanan Jasa Bank Syariah. Mareri muatan fatwa

tidak lagi terdapat dalam PBI No. 9/19/PBI/2007, namun dimasukkan dalam Surat

123

Abdul Qadir Azizy, Ekletisme Hukum Nasional.......................,h. 232 124

Aris Mufti dan Muhammad Syakir Sula, Amanah Bagi Bangsa.....................h.221 125

Khotibul Umam, Legislasi Fiqh............................h.52 126

Khotibul Umam, Legislasi Fiqh............................h.52 127

Aris Mufti dan Muhammad Syakir Sula, Amanah Bagi Bangsa.....................h.222

Page 87: IRPAN JAMIL - SPs.pdf - Repository UIN Syarif Hidayatullah ...

75

Edaran Bank Indonesia (SEBI) No. 10/14/DPbS Jakarta, 17 Maret 2008 Perihal

Pelaksanaan Prinsip Syariah dalam Kegiatan Penghimpun Dana dan Penyaluran

Dana serta Pelayanan Jasa Bank Syariah. 128

Adanya PBI dan SEBI sebagaimana dimaksud menunjukkan bahwa

eksistensi fatwa DSN-MUI diakui keberadaannya secara hukum. Eksistensi fatwa

DSN-MUI semakin kokoh pasca diundangkannya Undang-Undang Nomor 21 Tahun

2008 tentang Perbankan Syariah. Dalam Pasal 1 angka 12 dari UndangUndang

tersebut secara tegas disebutkan bahwa Prinsip Syariah adalah prinsip hukum Islam

dalam kegiatan perbankan berdasarkan fakta yang dikeluarkan oleh lembaga yang

memiliki kewenangan dalam penetapan fatwa di bidang syariah. Walaupun tidak

secara tegas menunjuk DSN-MUI, namun menurut Khotibul Umam berdasarkan

realitas empiris yang ada lembaga yang memiliki kewenangan dalam penetapan

fatwa di bidang syariah, yaitu DSN-MUI.129

Lebih lanjut Khotibul Umam, berpendapat, karena fatwa DSN-MUI

ditunjuk oleh undang-undang, maka daya lakunya kuat secara hukum. Oleh karena

itu, jika Bank Syariah tidak melaksanakan ketentuan yang tertuang dalam fatwa

tentang produk tertentu, maka terhadapnya dapat dikenakan sanksi secara hukum

oleh otoritas yang berwenang, antara lain Bank Indonesia. Ketika belum ada otoritas

peraturan perundang-undangan yang mengakui eksistensi DSN-MUI dan produknya

berupa fatwa, maka daya ikat fatwa lebih didasarkan pada konsep yang hidup (living

law) 130

Dengan demikian, meminjam ajaran dari Eugen Ehrlich bahwa keinginan

untuk mengadakan pembaruan hukum melalui perundang-undangan, yaitu di bidang

perbankan syariah telah seimbang dengan kesadaran atau kenyataan yang hidup

dalam masyarakat. Konsekuensinya peraturan perundang-undangan yang ada, yaitu

Undang-Undang No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah dan Peraturan Bank

Indonesia sebagai peraturan pelaksanaannya akan mempunyai daya laku efektif,

begitu pula dengan fatwa DSN-MUI.

4. Kaidah Dan Prinsip Penetapan Fatwa DSN-MUI

Ada tiga pendekatan yang dilakukan DSN-MUI dalam merespons

problematika hukum ekonomi yang baru: pertama, mencari solusi melalui dalil yang

qath'i (pasti, tegas, dan jelas). Kedua, mendasarkan pendapat para ulama (aqwal

'ulama). Bila terdapat perbedaan di antara ulama maka dicari titik persamaannya dan

dilakukan tarjih (memilih pendapat yang paling kuat). Ketiga, jika poin pertama dan

kedua tidak ada maka akan dilakukan pendekatan lagi, (yaitu mencari padanan kasus

serupa dalam hukum Islam klasik yang juga merupakan hasil ijtihad ulama hukum

cabang). 131

Fikih muamalah klasik yang ada tidak sepenuhnya relevan lagi diterapkan,

karena bentuk dan pola transaksi yang berkembang di era modern ini demikian

128 Khotibul Umam, Legislasi Fiqh, h. 52 129

Khotibul Umam, Legislasi Fiqh, h. 52 130

Khotibul Umam, Legislasi Fiqh, h. 53 131

Khotibul Umam, Legislasi Fiqh, h. 54

Page 88: IRPAN JAMIL - SPs.pdf - Repository UIN Syarif Hidayatullah ...

76

cepat. Sosio-ekonomi dan bisnis masyarakat sudah jauh berubah dibanding kondisi

di masa lampau, Oleh karena itu, dalam konteks Ini diterapkan dua kaidah.132

Pertama, al-muhafadzah bi al-qadim al-shalih wa al-akhdzu bi al-jadid al-

ashlah, yaitu memelihara warisan intelektual klasik yang masih relevan dan

membiarkan terus praktik yang telah ada di zaman modern, selama tidak ada

petunjuk yang mengharamkannya. Kedua, al-ashlu fi al-mu'amalat al-ibahah hatta

yadullah dalil ala al-tahrim, yaitu pada dasarnya semua praktik muamalah boleh,

kecuali ada dalil yang mengharamkannya.

Selain itu para ulama berpegang kepada prinsip-prinsip utama muamalah,

seperti prinsip bebas riba, bebas gharar (ketidakjelasan atau ketidakpastian) dan

tadlis, tidak maysir (spekulatif), bebas dari produk haram dan praktik akad fasid/

batil. Prinsip ini tidak boleh dilanggar, karena telah menjadi aksioma dalam fikih

muamalah.133

Formulasi fatwa juga berpegang pada prinsip maslahah atau ―ashlahiyah‖,

yaitu mana yang maslahat atau lebih maslahat untuk dijadikan opsi yang difatwakan.

Konsep maslahah dalam muamalah menjadi prinsip yang paling penting. Dalam

ushul fikih telah populer kaidah, ―di mana ada maslahah, maka di situ ada syariah

Allah". Watak maslahah syar'iyyah, antara lain berpihak kepada semua pihak atau

berlaku umum, baik maslahah bagi lembaga syariah, nasabah, pemerintah

(regulator), maupun masyarakat luas. 134

Kemaslaharan tidak hanya diakui secara tanzhiriyah (perhitungan teoritis)

tetapi juga secara tajribiyah (pengalaman empirik di lapangan). Oleh karena itu,

untuk mengkaji shalahiyah (validitas) fatwa, harus diadakan marja'ah maidaniyah

(pencocokan di lapangan) setelah berjalan waktu cukup dalam implementasi fatwa

ekonomi. Apakah kemaslahatan dalam tataran teoretis mendapatkan pembenaran

dalam penerapannya di lapangan. 135

5. Fatwa Sebagai Alat Pengembangan Produk Keuangan Syariah

Fatwa mempunyai kedudukan yang tinggi dalam agama Islam. Fatwa

dipandang sebagai salah satu alternatif yang bisa memecahkan kebekuan dalan

perkembangan hukum Islam dan ekonomi Islam. Fatwa merupakan salah satu

alternatif untuk menjawab perkembangan zaman yang tidak ter-cover dengan nash-

nash keagamaan (al-Nushuh al-Syar'iyah). Nash-nash keagamaan telah berhenti

secara kuantitasnya, akan tetapi secara diametral permasalahan dan kasus semakin

berkembang pesat seiring dengan perkembangan zaman. Dalam kondisi seperti

inilah fatwa menjadi salah satu alternatif jalan keluar mengurangi permasalahan dan

peristiwa yang muncul. 136

Fatwa merupakan salah satu institusi dalam hukum Islam untuk memberi

jawaban dan solusi terhadap problem yang dihadapi oleh umat Islam. Bahkan umat

132

Panji Adam, Fatwa-fatwa Ekonomi Syariah, ............h.209 133

Panji Adam, Fatwa-fatwa Ekonomi Syariah, ............h 209 134

Panji Adam, Fatwa-fatwa Ekonomi Syariah,............ h .210 135

Aris Mufti dan Muhammad Syakir Sula, Amanah Bagi Bangsa........................h.

221 136

Mardani, Hukum Ekonomi Syariah di Indonesia, (Bandung : Refika Aditama, 2013)h. 215

Page 89: IRPAN JAMIL - SPs.pdf - Repository UIN Syarif Hidayatullah ...

77

Islam pada umumnya menjadikan fatwa sebagai rujukan dalam bersikap dan

bertingkah laku. Sebab, posisi fatwa di kalangan masyarakat umum, seperti dalil di

kalangan para mujtahid. Artinya, kedudukan fatwa bagi warga masyarakat yang

awam terhadap ajaran agama Islam, seperti dalil bagi mujtahid. Kehadiran fatwa-

fatwa dimaksud, menjadi aspek organik dari bangunan ekonomi syariah yang tengah

dikembangkan, sekaligus merupakan alat ukur bagi kemajuan ekonomi syariah di

Indonesia. Fatwa ekonomi syariah yang telah hadir itu secara teknis menyuguhkan

model pengembangan bahkan pembauran fiqh muamalah maliyah dan/fiqh ekonomi.

Secara fungsional, fatwa memiliki tugas tabyin dan tawjih. Tabyin, berarti

menjelaskan hukum yang merupakan regulasi yang praktis bagi lembaga keuangan,

khususnya yang diminta oleh praktisi ekonomi syariah ke Dewan Syariah Nasional

(DSN). Tawjih, yaitu DSN memberikan petunjuk (guidance) serta pencerahan

kepada masyarakat luas tentang norma hukum ekonomi syariah. 137

Dewan Syariah Nasional (DSN) dibentuk melalui SK pimpinan MUI No.

Kep 154/MUI/II/1999 tertanggal 754/MUI/II/1999 tertanggal 10 Februari 1999),

yang salah satu tugasnya adalah mengeluarkan fatwa di bidang ekemomi syariah.

Lembaga ini beranggotakan para ahli hukum Islam (fuqaha) dan ahli serta praktisi

ekonomi, terutama sektor keuangan, baik bank maupun non bank. Secara yuridis,

Dewan Syariah Nasional (DSN) diakui keberadaannya dulam surat keputusan

Direksi Bank Indonesia No. 32/34/1999 jo. Peraturan Bank Indonesia No.

6/24/PBI/2004 tentang Bank Umum Berdasarkan Prinsip syariah, sekaligus sebagai

pengawas Dewan Pengawas Syariah (DPS) di berbagai lembaga keuangan syariah.

Dalam SK pimpinan MUI No. 754/MUI/11/1999 tersebur ditentukan bahwa untuk

melakukan kegiatan-kegiatan usahanya, bank umum syariah diwajibkan untuk

memerhatikan Fatwa Dewan Syariah Nasional (DSN).

Fatwa Dewan Syariah Nasional (DSN) mempunyai peranan yang penting

dalam upaya pengembangan produk lembaga keuangan syariah baik bank maupun

nonbank. Kedudukan fatwa DSN menempati posisi yang sangat strategis bagi

kemajuan ekonomi dan lembaga keuangan syariah.

Fatwa DSN yang berhubungan dengan pengembangan lembaga ekonomi

syariah dikeluarkan atas pertimbangan badan pelaksana harian (BPH) yang

membidangi ilmu syariah dan ekonomi. Dengan adanya pertimbangan dari para ahli

terscbut, maka fatwa yang dikeluarkan DSN memiliki kewenangan dan kekuatan

ilmiah bagi kegiatan usaha ekonomi syariah. Oleh karena itu, agar tawa mempunyai

kekuatan hukum lebih mengikat, maka perlu diadopsi dan disahkan secara formal

dalam keadaan bentuk peraturan perundang-undangan.‖ 138

Memang dalam kajian ushul fikih, kedudukan fatwa hanya mengikat bagi

orang yang meminta fatwa dan yang memberi fatwa. Namun dalam konteks ini, teori

137 Untuk memastikan sesuainya prinsip syariah pada perbankan syariah dalam praktik,

maka dibentuk suatu dewan, yang di Timur Tengah disebut dengan Dewan Pengawas Agama

(Religius Supervisory Board-RSB), yang di Indonesia disebut dengan Dewan Syariah

Nasional (DSN) lihat Hisranuddin, Hukum Perbankan Syariah di Indonesia : Pembiayaan

Bisnis dengan Prinsip Kemitraan, (Yogyakarta : Genta Press, 2011).h. 7 138

Burhanudin Susanto, Hukum Perbankan Syariah di Indonesia, (Yogyakarta : UII,

2011) h 76

Page 90: IRPAN JAMIL - SPs.pdf - Repository UIN Syarif Hidayatullah ...

78

itu tidak sepenuhnya bisa diterima, karena konteks, sifat, dan karakter fatwa saat ini

telah berkembang dan berbeda dengan fatwa klasik. Teori lama tentang fatwa saat

ini telah berkembang dan berbeda dengan fatwa klasik. Teori lama tentang fatwa

harus direformasi dan diperbarui sesuai dengan perkembangan dalam proses

terbentuknya fatwa. Maka teori fatwa hanya mengikat mustafti (orang yang meminta

fatwa tidak relevan untuk fatwa DSN. Fatwa ekonomi syariah DSN saat ini tidak

hanya mengikat bagi praktisi lembaga ekonomi syariah, tetapi juga bagi masyarakat

Islam Indonesia: apalagi fatwa-fatwa itu kini telah dipositifikasi melalui Peraturan

Bank Indonesia (PBI). Bahkan DPR baru-baru ini, telah mengamandemen UU No. 7

Tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang secara tegas memasukkan masalah

ekonomi syariah sebagai wewenang Pengadilan Agama.139

Fatwa-fatwa ekonomi syariah di Indonesia saat ini dikeluarkan melalui

proses dan formulasi fatwa kolektif, koneksitas, dan melembaga yang disebut ijtihad

ulama secara kolektif (ijtihad jama'i), bukan ijtihad individu (ijtihad fardi).

Waliditas jama'i dan fardi jelas sangat berbeda. Ijtihad jama'i telah mendekati ijma'.

Dalam proses penetapan fatwa DSN terkadang mengundang para ahli untuk

menjelaskan suatu masalah yang diperlukan dalam pembahasan ekonomi syariah,

termasuk otoritas moneter/lembaga keuangan dalam maupun luar negeri.

Berikut adalah Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI

tentang Pembiayaan Musyarakah.

139 Mardani, Hukum Ekonomi Syariah....................,h.215

Page 91: IRPAN JAMIL - SPs.pdf - Repository UIN Syarif Hidayatullah ...

79

BAB. III

KONSEP DAN PERKEMBANGAN AKAD MUSYARAKAH

DAN MUDHARABAH

A. Sejarah Perbankan Syariah Indonesia

Secara formal perkembangan perbankan Islam di Indonesia baru dimulai pada

tahun 1992, tetapi perkembangan perbankan Islam di tanah air sendiri sebenarnya

sudah dimulai secara formal dan informal jauh sebelum tahun tersebut. Ide awal

tentang perlunya suatu lembaga keuangan perbankan berbasis Islam di Indonesia

muncul dengan adanya pendapat yang disampaikan oleh K. H. Mas Mansur, Ketua

Pengurus Besar Muhammadiyah periode 1937-1944 di mana beliau menguraikan

tentang penggunaan bank konvensional sebagai hal yang terpaksa dilakuan karena

umat Islam belum mempunyai bank sendiri yang bebas riba140

. Di organisasi

Muhammadiyah ini pula dilanjutkan dengan diadakannya Mu'tamar Khusus di

Sidoarjo pada tahun 1968, yang membahas salah satu di antaranya tentang hukum

bank, putusan Majelis Tarjih tentang bank terdiri atas tiga bagian: pertimbangan atau

konsideran, keputusan atau ketetapan, dan penjelasan. Konsideran terdiri atas

pertimbangan akademik, pertimbangan sosial, dan pertimbangan dalil.

Dalam sidang Majelis Tarjih Muhammadiyah di Sidoarjo ditegaskan bahwa:

1. Riba hukumnya haram berdasarkan nash dari al-Qur'an dan al-Sunnah,

2. Bank dengan sistem riba hukumnya haram dan bank tanpa riba

hukumnya halal.

3. Bunga yang diberikan oleh bank-bank milik negara kepada para

nasabahnya dikategorikan sebagai mutasyabihat.

4. Menyarankan kepada PP Muhammadiyah untuk mengusahakan

terwujudnya konsep sistem ekonomi terutama lembaga perbankan yang

sesuai dengan kaidah Islam. 141

Dari sejumlah keputusan Majelis Tarjih Muhammadiyah tergambar bahwa

ulama yang tergabung dalam Majelis Tarjih Muhammadiyah memiliki sikap yang

toleran mengenai bunga, baik dalam perbankan, koperasi, maupun dalam asuransi.

Akan tetapi, ketetapan yang berkisar antara mutasyabihat, kesadaran akan wilayah

ijtihadi, dan keharaman asuransi konvensional, menunjukkan bahwa ulama dalam

lingkungan Majelis Tarjih Muhammadiyah masih melakukan proses pengkajian dan

pendalaman agar dapat sampai pada kesimpulan yang mengarah pada terlaksananya

muamalah yang didasarkan nilai-nilai islami yang terkandung dalam al-Quran dan

al- Sunah.

Ketegasan keputusan Majelis Tarjih tentang bunga bank, baru di tetapkan

ketika Musyawarah Besar PP Muhammadiyah diadakan di Yogyakarta pada 27 juni

2006, tepatnya pada Fatwa Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah,

dituangkan pada keputusan Nomor 8 Tahun 2006, yang memutuskan bahwa bunga

bank adalah riba, dan jelas keharamannya.142

140

Gemala Dewi, Aspek-aspek Hukum dalam Perbankan dan Perasuransian Syariah

di Indonesia. (Jakarta, Prenadamedia, 2009), h. 29. 141

Muhammad Haykal, Lembaga Keuangan Islam … h.32 142

Muhammad Haykal, Lembaga Keuangan Islam…, h.33.

Page 92: IRPAN JAMIL - SPs.pdf - Repository UIN Syarif Hidayatullah ...

80

Sementara Nahdatul Ulama memutuskan masalah riba dan bunga bank ini

melalui beberapa kali persidangan. Pada Muktamar Nahdatul Ulama ke12 yang

dilaksanakan di Malang pada tanggal 25 Maret 1937 ditetapkan bahwa hukum

menempatkan uang di bank demi keamanan saja dan tidak yakin bahwa uangnya

digunakan untuk larangan agama, adalah makruh. Adapun hukum bank dan

bunganya itu sendiri dipersamakan dengan gadai yang ditetapkan pada Muktamar

NU ke-2 yang dilaksanakan di Surabaya pada tanggal 19 Oktober 1927.

Dalam keputusan BM-NU tentang pemanfaatan barang gadai dijelaskan

bahwa ulama (pakar fikih) terbagi tiga dalam menetapkan hukum memanfaatkan

barang gadai: pertama, sebagian ulama mengatakan bahwa memanfaatkan barang

gadai adalah haram sebab termasuk utang yang diambil manfaatnya (rente) ; kedua,

sebagian lagi mengatakan bahwa memanfatkan barang gadai adalah halal (mubah)

karena tidak disyaratkan pada waktu akad. dan adat yang berlaku menurut sebagian

para pakar fikih-tidak menjadi syarat; dan ketiga, sebagian lagi mengatakan bahwa

memanfaatkan benda gadai adalah syubhat (tidak jelas halal haramnya), sebab para

pakar fikih masih berbeda pendapat. Peserta Muktamar NU ke-2 menetapkan bahwa

yang lebih berhati-hati (ikhtiyath) adalah pendapat pertama, yaitu haram. Dengan

demikian, hukum bank dan bunganya dalam pandangan BM-NU adalah haram

dengan alasan kehati-hatian. 143

Dalam Muktamar NU ke14 yang dilaksanakan di Magelang pada tanggal 1

Iuli 1939 dipertanyakan mengenai hukum pinjam uang dari koperasi. Bahtsul Masail

NU menetapkan bahwa pinjam uang dari koperasi atau yang lainnya, apabila

dijanjikan memberi bunga (rente) dan janjinya itu dalam akad atau sesudah akad

tetapi sebelum ada ketetapan pinjam, maka hukumnya haram dengan mufakat

ulama; karena hal itu termasuk pinjaman dengan menarik keuntungan. Tetapi kalau

tidak dengan perjanjian-baik secara lisan maupun tulisan, hukumnya boleh dan

ulama tidak berbeda pendapat tentang hal ini. Kalau tidak ditentukan dalam

perjanjian tetapi bunga telah menjadi kebiasaan, ulama berbeda pendapat: menurut

sebagian ulama, hukumnya haram; sedangkan ulama lainnya membolehkan.144

Pertanyaan yang hampir sama yaitu tentang bank dan bunganya dipertanyakan

kembali dalam konferensi besar syuriah NU yang dilaksanakan pada 19 Maret 1957

di Surabaya. Pada munas alim ulama dan Konbes NU pada tahun 1982 di Bandar

Lampung, pada tubuh NU masih terjadi silang pendapat dan belum ada satu kata

berkaitan denga bunga bank (di bank konvensional), tetapi munas mengamanatka

berdirinya bank Islam dengan sistem tanpa bunga. Beberapa perbedaan Pendapat itu

di antaranya adalah:

1. Berkaitan dengan bunga bank konvensional. Ada pihak yang memberi pendapat

bahwa bunga bank riba secara mutlak dan hokum yaitu haram. Ada pula pihak

yang berpendapat bahwa bunga bank belum tentu sama dengan riba, sehingga

hukumnya boleh.

2. Berkaitan dengan dibedakannya bunga menjadi bunga konsumtif dan juga

bunga produktif. Bunga yang dikategorikan konsumtif adalah haram dan bunga

143

Muhammad Haykal, Lembaga Keuangan Islam …, h.33. 144

Muhammad Haykal, Lembaga Keuangan Islam …, h. 34.

Page 93: IRPAN JAMIL - SPs.pdf - Repository UIN Syarif Hidayatullah ...

81

yang dikategorikan produktif adalah halal Adapun bunga bank yang diperoleh

dari tabungan giro dan deposit adalah halal.145

Seperti diketahui bahwa sebelum tahun 1988 bank Islam belum dapat berdiri

karena pada masa tersebut pemerintah masih menentu kan tingkat suku bunga yang

berlaku didalam perbankan. Kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah ini pada

akhirnya justru tidak efisien, karena terjadi perbedaan antara tingkat bunga di

pasaran dengan tingkat bunga resmi, di mana pemerintah memberikan subsidi

terhadap selisih kedua tingkat bunga tersebut. 146

. Dengan adanya kebijakan yang

dilakukan oleh pemerintah ini membuat dunia perbankan Indonesia menjadi tidak

efisien. Untuk mencegah agar hal tersebut tidak terjadi dan berkepanjangan, maka

pemerintah mengeluarkan paket kebijakan ekonomi pada 1 Juni 1983. Dalam paket

tersebut ditegaskan bahwa bank-bank milik pemerintah diberikan kebebasan untuk

menentukan tingkat bunganya sendiri. Karnaen Perwataatmadja, salah seorang

pelopor pendirian bank Islam melihat peluang untuk mendirikan bank Islam dengan

menyatakan bahwa bank tersebut adalah bank dengan bunga 0%. Namun dalam

kenyataannya hingga Oktober 1988 belum ada satu pun bank Islam yang berdiri

dikarenakan pada saat itu izin mendirikan bank baru belum dikeluarkan oleh

pemerintah. Baru setelah pemerintah mengeluarkan paket kebijakan Oktober 1988

mulai dilakukan berbagai upaya intensif pendirian bank Islam (disebut oleh

peraturan perundang-undangan Indonesia sebagai ―Bank Islam) di Indonesia. Paket

Kebijakan Oktober (Pakto) 1988 sendiri merupakan paket kebijakan yang mengatur

deregulasi industri perbankan di Indonesia. Seperti diketahui bahwa para ulama pada

saat itu telah berusaha untuk mendirikan bank bebas bunga, tetapi tidak ada satu pun

perangkat hukum yang dapat dirujuk kecuali adanya penafsiran dari peraturan

perundang-undangan yang ada bahwa perbankan dapat saja menetapkan bunga

sebesar 0% (nol persen). Penafsiran ini disampaikan oleh Karnaen

Perwataatmadja.147

Setelah dikeluarkannya Pakto 1988 yang berisi tentang liberalisasi perbankan

yang memungkinkan pendirian bank-bank baru selain yang telah ada, dimulailah

pendirian bank-bank perkreditan rakyat dengan basis sistem Islam di beberapa

daerah di Indonesia. Yang pertama kali mendapat izin usaha adalah Bank

Perkreditan Rakyat Islam (BPRS) Berkah Amal Sejahtera dan BPRS Dana

Mardhatillah pada tanggal 19 Agustus 1991, serta BPRS Amanah Rabaniah pada

tanggal 24 Oktober 1991 yang ketiganya beroperasi di Bandung, dan BPRS

Hareukat pada tanggal 10 November 1991 di Aceh. 148

Keberadaan BPRS tersebut mendorong untuk didirikannya bank umum yang

bebas dari bunga. Hanya kurang dari dua tahun semenjak paket kebijakan Oktober

1988 tersebut dikeluarkan. Pada tanggal 22 Agustus 1990 diadakan Lokakarya

Ulama tentang Bunga Bank dan Perbankan di Cisarua, Bogor. Dari hasil lokakarya

145

Antonio, Bank Syariah dari Teori …,.h. 29 146

Karnaen Perwataatmadja, Upaya Memurnikan Bank Syariah, (Jakarta, PT Ekaba

Trisakti, 2007). h. 26. 147

Zainul Arifin, Dasar-dasar Manajemen Bank Syariah (Jakarta, Alvabet,

2009).h.31 148

Gemala Dewi, Aspek-aspek Hukum dalam … h. 30.

Page 94: IRPAN JAMIL - SPs.pdf - Repository UIN Syarif Hidayatullah ...

82

tersebut kemudian dibahas lebih mendalam pada Musyawarah Nasional IV Majelis

Ulama Indonesia (MUI) yang berlangsung di Jakarta, pada tanggal 22-25 Agustus

1990, yang kemudian merekomendasikan untuk dibentuknya sebuah lembaga

keuangan syariah dengan membentuk sebuah kelompok kerja.

Pada akhirnya, permintaan yang ada dari sebagian kalangan masyarakat

tersebut dijawab oleh pemerintah dengan sebuah respons positif pada tahun 1991,

yaitu dengan didirikannya PT Bank Muamalat Indonesia melalui akta pendirian

yang ditandatangani pada 1 November 1991 . Melalui proses pengumpulan modal

yang dilakukan oleh Presiden RI saat itu, (alm.) Soeharto pada 3 November 1991

terkumpul komitmen modal disetor untuk PT Bank Muamalat sebesar Rp

106.126.382.000. Dengan rangkaian proses tersebut, maka pada 1 Mei 1992 Bank

Muamalat Indonesia mulai beroperasi.149

Pemerintahan reformasi pertama pimpinan Presiden B.J Habibie, yang

merupakan salah seorang intelektual muslim Indonesia memberikan kekuatan baru

atas dasar legal-formal perbankan Islam di Tanah Air dengan mengeluarkan UU No.

10 Tahun 1998 tentang Perbankan yang menandai dual banking system di Tanah

Air, di mana perbankan Islam disebutkan secara jelas di situ. Dengan berlakunya

UU tersebut, maka Peraturan Pemerintah No. 72 Tahun 1992 dicabut dan dinyatakan

tidak berlaku lagi. Pencabutannya dituangkan dalam Peraturan Pemerintah No. 30

Tahun 1999 tentang Pencabutan Pemerintah No. 70 Tahun 1992 tentang Bank

Umum sebagaimana telah beberapa kali di rubah, terakhir dengan Peraturan

Pemerintah No. 73 Tahun 1998, Peraturan Pemerintah No. 71 Tahun 1992 tentang

Bank Perkreditan Rakyat dan Peraturan Pemerintah No.72 tentang Bank

Berdasarkan Prinsip Bagi Hasil.150

Dalam UU tersebut diatur dan diberikan landasan hukum serta berbagai jenis

usaha yang dapat dioperasikan dan diimplementasikan secara langsung oleh

perbankan Islam, termasuk juga petunjuk yang diperlukan bagi bank-bank

konvensional untuk membuka unit usaha Islam atau mengonversikan secara total

untuk menjadi bank umum lslam. Langkah ini memberikan peluang bagi dunia

perbankan konvensional untuk juga membuka unit usaha Islam ataupun secara total

mengonversikan kegiatan usahanya menjadi bank Islam. Peluang ini kemudian

dilihat oleh PT Bank Susila Bakti yang dimiliki oleh Yayasan Karyawan Bank

Dagang Negara untuk keluar dari krisis dengan mengkonversi jenis usahanya

menjadi bank umum Islam dengan nama PT Bank Islam Mandiri sesudah proses

penyehatan bank tersebut dilaksanakan. Dual banking system sendiri sudah dimulai

seiring dengan berlakunya UU No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, di mana diakui

beroperasinya bank dengan konsep bagi hasil dan tanpa bunga. 151

Dunia perbankan Islam kembali mendapatkan angin segar pada 2008 dengan

disahkannya UU Tentang Perbankan Islam, yaitu UU No. 21 Tahun 2008. Undang-

undang dengan 13 bab dan 70 pasal yang disahkan oleh Presiden Susilo Bambang

149

Muhammad Haykal, Lembaga Keuangan Islam…, h. 34. 150

Rahmadi Usman, Aspek-aspek Hukum Perbankan Islam, (Jakarta, Citra Aditya

Bakti, 2002) h. 68. 151

Muhammad Haykal, Lembaga Keuangan Islam …, h. 37.

Page 95: IRPAN JAMIL - SPs.pdf - Repository UIN Syarif Hidayatullah ...

83

Yudhoyono pada 16 Iuli 2008 ini diharapkan dapat mempercepat proses akselerasi

perkembangan perbankan Islam, sehingga diharapkan pada 2010 pangsa pasar

perbankan Islam telah mencapai 5% dari pangsa pasar perbankan secara nasional.

Urutan sejarah perkembangan perbankan Islam di Tanah Air dapat dilihat dalam

rincian ringkas di bawah ini:

1. 1974: berupa ide dalam seminar nasional hubungan Indonesia-Timur Tengah.

Belum terealisasi karena UU yang belum memungkinkan dan adanya hambatan

politis.

2. 1988: PAKTO 1988. Kebijakan pemerintah untuk meliberalisasi perbankan

lndonesia membuka peluang baru. Belum ada dasar hukum, kecuali adanya

klausul dalam PAKTO yang menyebutkan bahwa bank dapat menerapkan

bunga sebesar 0%.

3. 1990 lokakarya ulama tentang bunga bank dan perbankan di Cisarua Bogor.

Hasilnya adalah keputusan untuk membentuk kelompok kerja yang akan

mendirikan bank Islam di Tanah Air.

4. 1991 : 1 November, akta pendirian BMI ditandatangani. 3 November Presiden

Soeharto membantu pengumpulan dana untuk Pendirian BMI di Istana Bogor.

5. 1992: 1 Mei, BMI mulai beroperasi. UU No. 7 Tahun 1992 keluar dan

mengakomodasi perbankan dengan konsep bagi hasil. Keluar pula PP No. 72

Tahun 1992 tentang Bank Berdasarkan Prinsip Bagi Hasil.

6. 1997-1998: Indonesia dilanda krisis moneter terparah. Banyak bank

konvensional tumbang karena CAR negatif dan mengalami kerugian negative

spread .

7. 1998: UU No. 10 Tahun 1998 lahir. UU ini memberikan peluang bagi

pengembangan perbankan Islam. Dengan begitu dual banking system berlaku

tanpa ―malu-malu‖ lagi. Dengan adanya UU tersebut, maka bank konvensional

juga boleh membuka unit usaha Islam.

8. 1999: UU No. 23 Tahun 1999 tentang BI. Dalam UU ini disebutkan bahwa BI

bertanggung jawab terhadap pengawasan perbankan termasuk perbankan Islam.

9. 2008: UU No 21 Tahun 2008 disahkan dalam masa pernerintahan Presiden

Susilo Bambang Yudhoyono.

B. Konsep dan Perkembangan Akad Musyarakah

Islam mengakui adanya partnertship (isytirak) dalam harta, baik dengan

kepemilikan (milk) maupun kontrak (aqd). Hukum-hukumnya pun meliputi

berbagai bentuk isytirak, seperti isytiraknya para mujahidin dalam ghanimah

lainnya. Di tengah umat Islam telah terbentuk konsensus (ijma) terhadap bolehnya

syarikah secara umum, meski terdapat perbedaan pendapat dalam model syarikah.

Syarikah atau musyarakah mempunyai peran penting dalam menggalang unit

modal-modal yang tidak mungkin untuk diivestasikan sendiri-sendiri, dengan

terkumpulnya modal-modal kecil tersebut menjadi satu, akan terbentuk kekuatan

besar yang mampu menghadapi tantangan-tantangan yang muncul di tengah-tengah

perjalanan usaha investasi. Dengan dibantu teknologi modern, akan dapat

dimanifestasikan manfaat yang besar bagi para investor maupun umat saecara

umum.

Page 96: IRPAN JAMIL - SPs.pdf - Repository UIN Syarif Hidayatullah ...

84

1. Pengertian Musyarakah

Musyarakah atau dikenal dengan sebutan syirkah secara bahasa berarti

percampuran (ikhtillat), yaitu percampuran antara sesuatu dengan yang lainnya,

sehingga sulit untuk dibedakan. Secara terminologi, sekalipun para ahli fiqh

memberikan definisi yang beragam, tetapi secara subtansi memiliki kesamaan, yaitu

kerja sama usaha antara dua pihak atau lebih untuk suatu usaha tertentu, di mana

masing-masing pihak memberikan kontribusi dengan kesepakatan bahwa

keuntungan dan risiko akan ditanggung sesuai dengan kesepakatan.152

Pengertian

lain syirkah secara istilah adalah, kerjasama yang dilakukan oleh kedua belah pihak

atau lebih untuk melaksanakan kegiatan usaha tertentu, di mana masing-masing

pihak memberikan kontribusi modal, dengan kesepakatan bahwa keuntungan dan

kerugian akan ditanggung bersama sesuai dengan kesepakatan.153

Sedangkan

menurut Bank Indonesia, adalah akad kerjasama usaha patungan antara dua pihak

atau lebih pemilik modal untuk membiayai suatu jenis usaha halal dan produktif.

Pendapatan dan keuntungan di bagi sesuai dengan nisbah yang disepakati. 154

Menurut Dewan Syariah Nasional, musyarakah yaitu pembiayaan berdasarkan

akad kerja sama antara dua pihak atau lebih suatu usaha tertentu, di mana masing-

masing pihak memberikan kontribusi dana dengan ketentuan bahwa keuntungan dan

risiko akan ditanggung bersama sesuai dengan kesepakatan.155

Sedangkan menurut

Bank Indonesia, adalah akad kerja sama usaha patungan antara dua pihak atau lebih

pemilik modal untuk membiayai suatu jenis usaha halal dan produktif. Pendapatan

atau keuntungan di bagi sesuai dengan nisbah yang telah disepakati.156

Menurut ulama Hanafiyah syirkah adalah penggabungan harta untuk dijadikan

modal usaha dan hasilnya yang berupa keuntungan dan kerugian di bagi bersama.157

Musyarakah adalah produk finansial syariah yang berbasis kemitraan sebagaimana

halnya mudarabah. Namun kedua produk finansial tersebut memiliki ciri-ciri atau

syarat-syarat yang berbeda.

Istilah lain yang digunakan untuk musyarakah adalah sharikah, atau syirkah,

musyarakah diterjemahkan dalam bahasa Inggris dengan partnership (kemitraan).

Istilah tersebut tidak spesifik karena mudarabah juga suatu partnership (kemitraan),

lembaga-lembaga keuangan Islam menerjemahkannya dengan istilah participation

financing‖, musyarakah dapat diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan

―kemitraan para pemodal‖ atau ―perkongsian para pemodal‖.158

Pada metode pembiayaan musyarakah, bank dan calon nasabah bersepakat

untuk bergabung dalam suatu kemitraan (partnership) dalam jangka waktu tertentu.

Kedua belah pihak menempatkan modal untuk membiayai suatu proyek dan

152

Fathurrahman Djamil, Penerapan Hukum Perjanjian dalam Transaksi di Lembaga

Keuangan Syariah, (Jakarta : Sinar Grafika, 2014), h. 170 153

Antonio, Bank Syariah dari Teori…, h. 90. 154

Djamil, Penerapan Hukum Perjanjian…, h. 170. 155

Djamil, Penerapan Hukum Perjanjian…, h. 171. 156

Fatwa DSN No.08/DSN-MUI/IV/2000 157

Maulana Hasanudin dan Jaih Mubarok, Perkembangan Akad Musharaka, (Jakarta:

Kencana Prenada Media Grup, 2013), h. 19. 158

Nabil. A.Shaleh, Unlawful Gain and Legitimate Profit in Islamic Law, (London,

Cambridge University Press 1996) h. 120.

Page 97: IRPAN JAMIL - SPs.pdf - Repository UIN Syarif Hidayatullah ...

85

bersepakat untuk membagi keuntungan bersih secara proporsional yang ditentukan

di awal. Tidak ada suatu formula yang pasti bagi pembagian keuntungan tersebut.

Hal itu ditentukan secara kasus per kasus. Kesepakatan tersebut dapat berlangsung

untuk jangka waktu yang pendek saja, misalnya untuk beberapa minggu atau

beberapa bulan, namun dapat pula berlangsung untuk beberapa tahun lamanya.159

Dalam musyarakah terdapat dua atau lebih mitra yang memasukkan modal

guna membiayai suatu investasi. Dalam perbankan syariah, bank yang memberikan

fasilitas musyarakah kepada nasabahnya untuk berpartisipasi dalam suatu proyek

yang baru atau dalam suatu perusahaan yang telah berdiri dengan cara membeli

saham (equity shares) dari perusahaan tersebut.160

Hasil keuntungan dari musyarakah juga diatur, seperti halnya pada

mudarabah, sesuai dengan prinsip pembagian keuntungan dan kerugian (profit and

loss sharing principle atau PLS). Keuntungan dibagi menurut proporsi yang harus

ditentukan sebelumnya. Tidak seperti halnya pada mudarabah di mana satu pihak

saja, yaitu Shahib aI-mal, yang menanggung risiko finansial, pada musyarakah

kedua pihak yang harus memikul risiko kerugian finansial.

Berbeda dengan ketentuan dalam mudarabah yang tidak memungkinkan bank

dalam kedudukan sebagai shahib aI-mal untuk dapat turut campur dalam

pengelolaan perusahaan, pada musyarakah bank mempunyai hak untuk diwakili

dalam direksi dari perusahaan yang bersangkutan, dan mempunyai hak suara.161

Dalam musyarakah bank adalah mitra usaha, maka dalam kedudukannya sebagai

mitra usaha bank mempunyai hak yang sama dengan sesama mitra usaha dan turut

mengelola usaha yang dibiayai. Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, pada

perjanjian mudarabah, sekalipun bank adalah mitra tetapi bank tidak dibenarkan

untuk ikut mengelola proyek, pengelolaan proyek pada mudarabah hanya dilakukan

oleh mudarib sendiri, yaitu nasabah bank tersebut. 162

2. Rukun dan Syarat Musyarakah

Rukun musyarakah menurut mayoritas ulama fiqh adalah adanya para pihak

yang bekerja sama (asy-syuraka), modal (ra‟sul mal), usaha atau proyek (al-

masyru), dan pernyataan kesepakatan. (ijab-qabul)

Para pihak (asy-syuraka) yang melakukan kerjasama harus kompeten dalam

memberikan atau diberikan kekuasaan perwakilan, modal yang diberikan harus

uang tunai atau aset yang bernilai sama atau di anggap tunai dan disepakati para

mitra, dan partisipasi para mitra dalam suatu pekerjaan adalah sesuatu hal yang

mendasar, sekalipun salah satu pihak boleh menangani pekerjaan lebih banyak dari

yang lain dan berhak menuntut pembagian keuntungan lebih bagi dirinya.163

a. Jenis-jenis Musyarakah

159

Kazarian, Hanbook of Islamic Banking…, h. 83. 160

Sjahdeini, Perbankan Syariah, Produk-produk…, h. 53. 161

Kamal Khir, Gupta dan Shanmug 2.am, Islamic Banking and Practical

Perspective, (London, Pearson Longman, 2008) h. 70. 162

Sjahdeini, Perbankan Syariah, Produk-produk…, h. 53. 163 Djamil, Penerapan Hukum Perjanjian…, h. 172.

Page 98: IRPAN JAMIL - SPs.pdf - Repository UIN Syarif Hidayatullah ...

86

Menurut syariah, terdapat dua jenis musyarakah, atau sharikah, atau

syirkah, yaitu: Syirkah al-milk atau Sharikat mulk dan syirkah al-'uqud

(bentuk jamak/pluralnya 'aqad)

Masing-masing jenis musyarakah (shirkah atau sharikah) akan dijelaskan

berikut ini.

1) Musyarakah al-milk

Musyarakah al-milk atau syirkah al-milk atau disebut pula sharikat mulk

mengandung pengertian sebagai kepemilikan bersama (coownership) dan

keberadaannya muncul apabila dua atau lebih orang secara kebetulan

memperoleh kepemilikan bersama (joint ownership) atas suatu kekayaan

(asset) tanpa membuat perjanjian kemitraan yang resmi. Misalnya, dua orang

menerima warisan atau menerima pemberian sebidang tanah atau harta

kekayaan baik yang dapat atau tidak dapat dibagi-bagi. Para mitra tersebut

harus berbagi atas warisan atau pemberian atau atas pendapatan dari barang

tersebut, sesuai dengan besarnya bagian masing-masing terhadap barang

tersebut sampai mereka memutuskan untuk membagi barang itu (apabila

barang itu dapat dibagi -bagi, misalnya sebidang tanah) atau menjualnya

(apabila barang tersebut tidak dapat dibagi-bagi misalnya sebuah kapal).

Apabila kekayaan itu sebenarnya dapat dibagi namun para mitra memutuskan

untuk tetap memilikinya sama: maka sirkah al-milk tersebut bersifat

ikhtiyariyyah (sukarela), namun apabila barang tersebut tidak dapat dibagi dan

mereka terpaksa harus memilikinya bersama, maka syirkah al-milk tersebut

jabriyyah (tidak sukarela atau terpaksa). 164

Syirkah al-milk, yang esensinya adalah suatu kepemilikan bersama atas

suatu kekayaan (common ownership of property) tidak dapat dianggap sebagai

suatu kemitraan (partnership) dalam pengertian yang sesungguhnya oleh

karena timbulnya bukan berdasarkan kesepakatan untuk berbagi untung dan

risiko. Oleh karena itu, hal tersebut telah mengundang berbagai silang

pendapat.165

2) Musyarakah al-'uqud

Masyarakah al-„uqud atau syirkah al-„uqud (contractual partnership) atau

sharikat „aqad merupakan kemitraan yang sesungguhnya karena para pihak

dengan sengaja secara sukarela membuat suatu perjanjian investasi bersama

dan berbagi untung dan risiko. Perjanjian yang dimaksud tidak perlu

merupakan suatu perjanjian yang formal dan tertulis. Dapat saja perjanjian itu

informal dan secara lisan. Namun demikian sebagaimana halnya pada

perjanjian mudarabah, adalah lebih baik apabila perjanjian syirkah a1-'uqud

diformalisasikan dalam suatu perjanjian tertulis dengan disaksikan oleh saksi-

saksi yang memenuhi syarat, terutama untuk memastikan agar syarat-syarat

dan ketentuan dalam perjanjian tersebut sejalan dengan ketentuan al-Qur'an

164

M. Umer Chapra, Towards a Just Monetary System, (London, The Islamic

Foundation, 2003) h. 250. 165

Chapra, Towards a Just Monetary…, h. 250.

Page 99: IRPAN JAMIL - SPs.pdf - Repository UIN Syarif Hidayatullah ...

87

mengenai pinjaman dan transaksi-transaksi bisnis yang penting (al-Qur'a'n

surah al-Baqarah [2]: 282-3) 166

Dalam syirkah al-'uqud, keuntungan dibagi secara proporsional di antara

para pihak seperti halnya mudarabah. Berbeda dengan mudarabah, kerugian

iuga ditanggung secara proporsional sesuai dengan modal masing-masing

yang telah dinvestasikan oleh para pihak 167

Buku-buku fikih membagi syirkah al-„uqud ke dalam empat jenis, yaitu:

3) Musyarakah al-mufawwadhah.

Musyarakah al-mufawadhah, adalah suatu perjanjian antara dua

orang atau lebih di mana setiap pihak dari perjanjian tersebut memberikan

sejumlah dana dan mengambil bagian dalam kerja sama tersebut. Semua

pihak akan membagi untung yang diperoleh dan kerugian yang diderita oleh

perusahaan. Persyaratan utama dari musyarakah jenis ini adalah bahwa dana,

kerja (work), dan tanggung jawab terhadap utang-utang perusahaan dibagi di

antara para pihak menurut bagian yang sama. Mazhab Hanafi dan Maliki

dapat menerima musyarakah yang demikian ini, namun memberikan banyak

pembatasan dalam pelaksanaannya.168

Dalam hal syirkah al-mufawwadhah (atau musyarakah al-

mufawadha), para mitra haruslah orang yang telah dewasa, dana dari masing-

masing mitra yang ditanamkan dalam usaha kemitraan itu harus sama

jumlahnya, masing-masing dari para mitra berkemampuan untuk mengemban

tanggung jawab dan harus menerima pembagian keuntungan dan memikul

kerugian yang sama, masing-masing mitra memiliki kewenangan penuh untuk

bertindak untuk dan atas nama pihak yang lain dan secara tanggung renteng

bertanggung jawab atas kewajiban-kewaiiban (liabilities) kemitraan tersebut

sepanjang kewajiban-kewajiban (Iiabilities) tersebut timbul dari pelaksanaan

bisnis kemitraan yang dimaksud169

. Masing-masing mitra dapat bertindak

sebagai kuasa (wakil atau agent) bagi kemitraan tersebut, masing-masing

mitra menjadi penjamin (kafil atau guarantor) bagi para mitranya yang lain.

Bentuk syirkah aI-mufawwadhah ini tidak berbeda dengan ―firma‖, yaitu

suatu bentuk hukum yang dikenal dalam Kitab Undang-Undang Hukum

Dagang, kecuali bahwa para mitra dalam syirkah al-mufawwadhah harus

menyetor modal dalam jumlah yang sama besarnya, sedangkan dalam firma

tidak harus sama. 170

4) Musyarakah al-'inan.

Sebagaimana dikemukakan oleh Khir, Gupta, & Shanmugam,

musyarakah al-'inan adalah suatu kontrak antara dua orang atau lebih di mana

setiap pihak menyumbangkan bagian dari modal kemitraan dan mengambil

166

Chapra, Towards a Just Monetary…, h. 251. 167

Chapra, Towards a Just Monetary…, h. 252. 168

Kamal Khir, Gupta dan Shanmugam, Islamic Banking and Practical Practical

Perspective, (London, Pearson Longman, 2008) hlm 226 169

Chapra, Towards a Just Monetary… h. 253. 170

Sjahdeini, Perbankan Syariah, Produk-produk…, h. 54.

Page 100: IRPAN JAMIL - SPs.pdf - Repository UIN Syarif Hidayatullah ...

88

partisipasi dalam kerja sama tersebut. Kedua pihak berbagi keuntungan dan

kerugian berdasarkan kesepakatan. Porsi kontribusi dana masing-masing

pihak, tanggung jawab kerugian yang harus dipikul dan pembagian

keuntungan yang dapat dinikmati tidak harus sama bagi masing-masing pihak.

Hal itu ditentukan berdasarkan kesepakatan bersama171

. Sementara itu dalam

pendapat lain dikemukakan bahwa musyarakah al-“inan atau syirkah al-

„inan" adalah suatu perjanjian kemitraan (partnership) di mana dua atau lebih

mitra memberikan modal baik dalam bentuk uang, atau dalam bentuk in kind,

atau dalam bentuk tenaga (labour), atau dalam bentuk kombinasi dari semua,

atau sebagian dari bentuk-bentuk investasi-investasi tersebut.172

Pada syirkah al-'inan, pembagiannya tidak sama di antara para mitra.

Dalam syirkah al-'inan, para mitra tidak perlu orang yang telah dewasa atau

tidak perlu memiliki bagian yang sama dalam Permodalan kemitraan tersebut.

Mereka tidak sama tanggung jawabnya sehubungan dengan pengelolaan

bisnis mereka. Sejalan dengan itu, pembagian keuntungan di antara mereka

mungkin pula tidak sama, namun mengenai hal ini harus secara tegas dan

jelas ditentukan di dalam perjanjian kemitraan yang bersangkutan 173

. Bagian

dari kerugian yang harus ditanggung oleh masing-masing mitra sesuai dengan

besarnya modal yang telah ditanamkan oleh masing-masing mitra. Dalam

syirkah aI-'inan, para mitra bertindak sebagai kuasa dari kemitraan itu, tetapi

bukan merupakan penjamin bagi mitra usaha lainnya. Kewajiban mereka

terhadap pihak ketiga adalah sendiri-sendiri. Artinya, para mitra tidak

bertanggung jawab secara bersama-sama.174

Pemberian kuasa (agency) yang timbul dari kemitraan 'inan terbatas

hanya kepada hubungan di antara para mitra, dalam arti bahwa hanya mitra

yang melakukan transaksi yang bersangkutan saja yang dapat mengajukan

gugatan kepada pihak lain yang telah melakukan hubungan perjanjian

dengannya dan pihak ketiga tersebut dapat melakukan tindakan hukum hanya

terhadap mitra yang melakukan hubungan perjanjian dengannya. Hal tersebut

disebabkan karena dalam kemitraan “inan, di antara para mitra hanya saling

memberikan kuasa tetapi bukan saling memberikan penjaminan. Sebagai

konsekuensinya, seorang mitra tidak bertanggung jawab terhadap kewajiban

yang dibuat oleh mitra lainnya. Utang yang diperoleh oleh seorang mitra atau

yang diberikan oleh seorang mitra tidak dapat ditagih kepada atau dituntut

oleh para mitranya yang lain 175

. Keadaan pada musyarakah al-'inan ini

berbeda dengan musyarakah al-mufawwadhah, di mana pada musyarakah al-

mufawwadhah setiap mitra adalah baik dalam keadaan sebagai kuasa maupun

sebagai penjamin dari masing-masing mitranya dengan konsekuensi bahwa

setiap mitra sepenuhnya bertanggung jawab atas tindakan-tindakan hukum

dan komitmen-komitmen dari para mitra lainnya dalam segala hal yang

171

Shanmugam, Islamic Banking and Practical…, h. 226. 172

Shaleh, Unlawful Gain and Legitimate …, h. 120. 173

Chapra, Towards a Just Monetary…, h. 253. 174

Chapra, Towards a Just Monetary …, h. 253. 175

Chapra, Towards a Just Monetary …, h. 254.

Page 101: IRPAN JAMIL - SPs.pdf - Repository UIN Syarif Hidayatullah ...

89

menyangkut kemitraan mufawwadhah itu. Dengan demikian, tuntutan pihak

ketiga dapat diajukan kepada setiap mitra; sebaliknya setiap mitra dapat

mengajukan tuntutan terhadap pihak ketiga, dengan tidak perlu mengindahkan

apakah mitra yang bersangkutan dalam kenyataannya terlibat langsung atau

tidak langsung dengan transaksi yang menimbulkan tuntutan itu. 176

Kerja

sama dalam bentuk musyarakah al-„inan dapat diterima oleh semua mazhab

dan merupakan bentuk yang paling popular.177

5) Musyarakah al-a'mal/al-abdan.

Musyarakah al-a'maal adalah perjanjian musyarakah antara dua

orang untuk melaksanakan suatu pekerjaan dan membagi keuntungan yang

diperoleh dari pekerjaan itu. Misalnya, dua orang yang memiliki profesi yang

sama dan memiliki keahlian sama bersedia untuk bekerja sama dan membagi

keuntungan yang diperoleh dari pekerjaan itu.178

Dalam musyarakah al-„abdan atau syirkah al-„abdan, para mitra

menyumbangkan keahlian dan tenaganya untuk mengelola bisnis tanpa

memberikan modal.179

Syirkah al-'abdan dikenal pula sebagai musyarakah

sanaa'i. Selain itu dikenal pula dengan sebutan musyarakah a'maal .180

Musyarakah a'maal dapat diterima oleh mazhab Maliki, Hanafi, dan

Hambali. Musyarakah al-a'maal atau al-„abdan hanya sah apabila profesi dari

kedua mitra adalah sama. Pembenaran dari dibolehkannya musyarakah al-

a'maal ini memiliki dasar hukum yang kuat, termasuk disetujui oleh Nabi

Muhammad SAW. Musyarakah jenis ini telah berlangsung bertahun-tahun

dan tidak ada seorang pun yang pernah menyatakan keberatannya.

6) Musyarakah al-wujuh.

Musyarakah al-wuiuh adalah suatu perjanjian kemitraan antara dua

orang pengusaha (businessman) atau lebih yang memiliki keahlian dan

reputasi yang tinggi. Para pihak yang terkait dengan perjanjian tersebut

membeli barang secara kredit dari suatu perusahaan (pemasok barang)

berdasarkan reputasi mereka. Setelah mereka dapat memperoleh barang

tersebut secara kredit, selanjutnya mereka menjual barang tersebut kepada

pihak lain secara tunai. Baik keuntungan maupun kerugian dari transaksi itu

dibagi secara proporsional di antara mereka. Dalam musyarakah al-wujuh,

para mitra tidak perlu memiliki modal karena modalnya berupa kredit yang

diberikan oleh pihak yang menyediakan barang (pemasok barang). Oleh

karena itu, kemitraan yang demikian ini juga disebut credit musyarakah.181

Dalam syirkah al-wujuh para mitra menyumbang goodwill mereka,

credit worthiness mereka, dan hubungan-hubungan (kontak-kontak) mereka

untuk mempromosikan bisnis mereka tanpa harus menyetorkan modal. Kedua

176

Shanmugam, Islamic Banking and Practical…, h. 227. 177

Shanmugam, Islamic Banking and Practical…, h. 228. 178

Chapra, Towards a Just Monetary …, h. 253. 179

Shanmugam, Islamic Banking and Practical…, h. 228. 180

Shanmugam, Islamic Banking and Practical…, h. 229. 181

Chapra, Towards a Just Monetary …, h. 254.

Page 102: IRPAN JAMIL - SPs.pdf - Repository UIN Syarif Hidayatullah ...

90

bentuk kemitraan ini, di mana para mitra tidak menyetorkan modal, biasanya

terbatas digunakan hanya untuk usaha kecil.182

Bentuk-bentuk syirkah al-„uqud yang empat tersebut merupakan

mode-model saja. Di dalam praktiknya, para mitra dapat menyumbangkan

bukan saja berupa uang, tetapi dapat pula berupa kerja, manajemen,

keterampilan, nama baik, dan goodwill, meskipun tidak harus sama.

Dari uraian tersebut musyarakah atau syirkah bila dilakukan sebagai

transaksi perbankan atau dilakukan oleh lembaga pembiayaan, tidak lain

merupakan usaha patungan atau joint ven ture dengan para mitranya terdiri

atas bank atau lembaga pembiayaan dan pengusaha (nasabah). Sebagai suatu

usaha patungan atau joint venture, dapat diberlakukan semua ketentuan yang

biasanya berlaku bagi perjanjian usaha patungan atau joint venture di antara

para mitra usaha. Musyarakah dapat pula dilakukan sebagai suatu modal

ventura (venture capital).

Oleh karena pada pembiayaan musyarakah setiap mitra tidak

berkewajiban menjamin modal dari mitra lainnya, maka setiap mitra dapat

meminta agar mitra lainnya menyediakan jaminan untuk menjamin kelalaian

atau kesalahan yang disengaja oleh mitra yang bersangkutan terhadap pihak

ketiga yang melakukan bisnis dengan lembaga musyarakah yang dibentuk

oleh mereka.

Dalam musyarakah yang dilaksanakan oleh perbankan, nasabah dan

bank sama-sama menyediakan modal untuk membiayai suatu usaha tertentu,

baik yang sudah berjalan maupun yang baru. Dalam Praktik perbankan

syariah, musyarakah dapat berupa musyarakah permanen (permanent

musharakah) maupun musyarakah menurun (diminishlng musharakah).

Dalam musyarakah menurun (diminishing musharakah),

diperjanjikan antara bank dan nasabah bahwa modal bank akan menurun dari

waktu ke waktu dan kepemilikan proyek akan beralih kepada nasabah. Pada

akhimya seluruh proyek akan dimiliki oleh nasabah sendiri.

Dalam musyarakah permanen komposisi permodalan dari para mitra

tidak berubah sampai akhir masa perjanjian musyarakah tersebut. Dalam

perbankan syariah, musyarakah permanen adalah musyarakah yang jumlah

modal bank tetap sampai akhir masanya. Adapun keuntungan atau pendapatan

musyarakah dibagi di antara mitra musyarakah berdasarkan kesepakatan awal

sedangkan kerugian dibagi di antara mitra musyarakah secara proporsional

berdasarkan modal yang disetorkan.183

Menurut konsep diminishing musharakah, biasanya bank

berpartisipasi sebagai mitra keuangan (financial partner) di mana bank dapat

mengambil seluruh penanaman modal pada proyek atau bisnis itu atau

sebagian saja dari modal itu, sedangkan sebagian modal yang lain merupakan

bagian penanaman modal dari nasabah. Dalam perjanjian diminishing

musharakah, secara jelas ditentukan rasio pembagian keuntungan di antara

182

Chapra, Towards a Just Monetary …, h. 255.

183 (Lampiran SE BI No. 5/26/BPS 27 Oktober 2003 tentang PAPSI 2003: 58-59).

Page 103: IRPAN JAMIL - SPs.pdf - Repository UIN Syarif Hidayatullah ...

91

para mitra (bank dan nasabah). Selain itu, ditentukan juga secara jelas batasan

dari bagian keuntungan yang harus dibayar oleh nasabah kepada bank yang

merupakan pelunasan dana yang ditanamkan oleh bank. Dengan cara

demikian, bagian dari bank dalam permodalan tersebut secara progresif

berkurang sehingga sampai pada akhirnya adalah nasabah yang menjadi

pemilik penuh dari proyek atau bisnis tersebut. Untuk membayar penjualan

kepemilikan bank dalam proyek atau bisnis itu, bank setuju untuk menerima

pembayaran secara cicilan atau secara sekaligus dari nasabah. Setelah seluruh

kepemilikan bank di dalam proyek atau bisnis tersebut lunas, maka nasabah

yang menjadi satu-satunya pemilik dari proyek atau bisnis tersebut.184

Proses diminishing musharakah lebih kompleks daripada permanent

musharakah karena pada perjanjian diminishing musharakah bank tidak akan

terus menjadi mitra dari nasabah. Bank memberikan hak kepada nasabah

untuk dapat membeli bagian bank dalam kemitraan proyek tersebut. Menurut

Khir, Gupta, & Shanmugam, model ini sangat banyak digunakan untuk

pernbiayaan perumahan (house financing).

3. Ketentuan-Ketentuan khusus dalam Syirkah

Para ulama bersepakat bahwa syirkah al-inan adalah sah. Adapun yang lainya

seperti syirkah abdan, syirkah mufawadhah, dan syirkah al-wujuh, tidak ada

kesepakatan di antara para fuqaha. Menurut Syafi‘i ketiganya itu tidak sah, menurut

Hanafi syirkah tersebut sah, sedangkan Maliki berpendapat bahwa syirkah al-abdan

dan syirkah al- mufawadha adalah sah, sedangkan syirkah al wujuh adalah tidak

sah.185

Dalam menjalankan musyarakah terdapat konsep wakalah, yaitu setiap

pemegang saham (mitra) padadasarnya mempunyai hak untuk mengelola usaha/aset

syirkah tersebut dengan sendirinya, tetapi bagi pihak-pihak yang tidak dapat

melakukannya dapat memberikan wakil kepada pemegang saham lain atau pihak

lain, dengan syarat orang yang diwakilkan tersebut bekompeten untuk menjadi wakil

sesuai dengan hak dan kewenangannya serta menjaga kepentingan yang

memberikan wakil, bukan untuk kepentingan sendiri.186

Seorang mitra tidak bisa menjamin modal mitra lainnya. Prinsip ini didasarkan

kepada al-ghurmu bil ghurmi, hak untuk mendapat keuntungan berbanding dengan

risiko yang diterima. Akan tetapi, seorang mitra dapat mrminta mitra yang lain

menyediakan jaminan atas kelalaian atau kesalahan yang disengaja.

Keuntungan dalam syirkah harus dikuantifikasi atau dinilai jumlahnya. Setiap

keuntungan mitra harus merupakan bagian proporsional dari seluruh keuntungan

musyarakah. Seorang mitra tidak dibenarkan untuk menentukan bagian

keuntungannya sendiri pada awal kontrak, karena hal itu melemahkan dasar

musyarakah dan melanggar prinsip keadilan.namun seorang mitra boleh

184 Kamal Khir, Gupta dan Shanmugam, Islamic Banking and Practical Perspective, (London, Pearson Longman, 2008) hlm 230. 185 Ibnu Rusyd, Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtashid, (Beirut : Dar-al-Fikr, tth), Juz 2, h. 165-166 186 Djamil, Penerapan Hukum Perjanjian,.. h. 169

Page 104: IRPAN JAMIL - SPs.pdf - Repository UIN Syarif Hidayatullah ...

92

mengusulkan bahwa jika keuntungan meleibihi jumlah tertentu, kelebihan atau

persentase tersebut diberikan kepadanya.187

Para ulama berbeda pendapat mengenai alokasi keuntungan di antara para

mitra. Menurut madzhab Maliki dan Syafi‘i, keuntungan dibagi secara proporsional

sesuai modal yang disetorkan, tanpa memandang apakah jumlah pekerjaan yang

dilaksanakan oleh para mitra sama ataupun tidak sama. Menurut madzhab Hanafi

dan Hambali, keuntungan tidak bersifat proporsional terhadap modal bila para mitra

membuat syarat-syarat tertentu dalam kontrak. Argumentasi mereka didasarkan

kepada pandangan bahwa keuntungan adalah bukan hanya hasil modal, melainkan

hasil interaksi antara modal dan kerja.188

Para ulama sepakat bahwa kerugian harus dibagi di antara para mitra secara

proporsional terhadap saham masing-masing dalam modal. Dalam hal musyarakah

berkelanjutan, dibolehkan untuk menunda alokasi kerugian supaya bisa

dikompensasikan dengan keuntungan pada masa-masa berikutnya.

Apabila dalam syirkah salah satu mitra akan menghentikan akad atau karena

salah satu mitra meninggal, maka kedudukan hukumnya menurut mayoritas ulama

adalah berhenti. Hal ini karena transaksi musyarakah merupakan salah satu bentuk

transaki jaiz (dibolehkan) bukan lazim (mengikat), sehingga setiap mitra berhak

menghentikannya kapan saja ia inginkan, sama halnya dengan akad perwakilan (al-

wakalah). Untuk kelanjutan transaksi tersebut, maka salah satu keluarga mitra yang

meninggal dengan pesetujuan ahli waris lainnya dapat menggantikan posisinya

sebagai pengganti.189

Hal demikian juga berlaku jika salah satu mitra kehilangan kedudukan

hukumnya, maka syirkah boleh dilakukan di antara individu-individu (al-

syakhsiyyah al‟itibariyyah).

Setiap pemegang saham boleh memindahkan hak milik saham tersebut kepada

pihak/orang lain. Dalam hal pemindahan hak milik saham ini, dapat dilakukan

secara bertahap atau menurun dari modal yang dimilikinya, sehingga pada akhirnya

berpindah hak kepemilikan tersebut. Bentuk pemindahan hak milik seperti ini sering

disebut dengan al-musyarakah al-muntahiya bittamlik atau disebut juga dengan

musyarakah mutanaqisyah.190

4. Implementasi musyarakah Pada Perbankan syariah

Musyarakah atau syirkah ini dapat digunakan oleh LKS antara lain dalam

pembiayaan proyek dan modal ventura. Dalam pembiayaan proyek nasabah dan

bank sama-sama menyediakan dana untuk membiayai suatu proyek tertentu. Setelah

proyek itu selesai, nasabah mengembalikan dana tersebut bersama bagi hasilnya

yang telah disepakati dengan pihak LKS. Sementara dalam modal ventura, penanam

modal dilakukan untuk jangka waktu tertentu , dan setelah itu bank melakukan

divestasi, baik secara singkat atau sekaligus maupun bertahap.

187 Djamil, Penerapan Hukum Perjanjian,.. h. 170 188 Djamil, Penerapan Hukum Perjanjian,.. h. 170

189 Djamil, Penerapan Hukum Perjanjian,.. h. 171 190 Djamil, Penerapan Hukum Perjanjian,.. h. 171

Page 105: IRPAN JAMIL - SPs.pdf - Repository UIN Syarif Hidayatullah ...

93

Menurut Ahmed Ali Abdullah,191

musyarakah dapat diaplikasikan pada

perbankan syariah dalam berbagai bentuk. Pertama, adalah musyarakah

permanen(continuous musharakah), di mana pihak bank merupakan rekanan usaha

tetap dalam suatu proyek usaha. Meskipun jarang dipraktekan, namun investasi

modal permanen ini merupakan alternatif menarik bagi investasi surat-surat

berharga atau saham, yang merupakan salah satu fortofolio investasi bank. Dalam

musyarakah jenis ini bank dituntut untuk terlibat langsung dalam menjalankan

usaha yang menguntungkan, selama masing-masing partner musyarakah

menginginkannya. Namun demikian, sistem ini mempunyai kekurangan, yaitu pihak

bank bisa kehilangan fokus terhadap bisnis utamanya. Terlebih jika proyek

musyarakah permanen tadi sangat berbeda dengan keahlian utama bank. Selain itu

bank juga harus mengalokasikan sejumlah besar sumberdayanya yang agak terbatas

ke dalam usaha tadi. Sebaliknya, piha k pengusaha sebagai partner musyarakah yang

lain, mungkin juga mempunyai keberatan-keberatan tertentu untuk terus menerus

menerima kehadiran pihak bank dalam manajemen usahanya.192

Kedua, musyarakah untuk modal kerja (musyarakah in working capital).

Bank merupakan rekanan pada tahap awal dari sebuah usaha atau proses produksi.

Dalam skim ini, pihak bank akan menyediakan atau merupakan pemilik dari alat-alat

produksi usaha tadi. Dalam waktu yang sama, rekan usaha bank tadi mempunyai hak

dan peluang untuk membeli alat-alat produksi atau bentuk-bentuk modal kerja lain (

yang telah disepakati) dari bank.

Ketiga, decreasing musyarakah atau diminishing musyarakah suatu perjanjian

syirkah antara bank dan nasabah bahwa modal bank akan menurun dari waktu ke

waktu dan kepemilikan proyek akan beralih kepada nasabah. Pada akhirnya seluruh

proyek akan dimiliki oleh nasabah sendiri. Dalam bahasa Arab dinamakan

musyarakah mutanaqisah, yaitu musyarakah atau syirkah yang kepemilikan aset

atau barang atau modal salah satu pihak (syarik) berkurang disebabkan pembelian

secara bertahap oleh pihak lainnya. 193

Keempat, musyarakah digunakan untuk instrumen operasi pasar bank sentral.

Bank sentral dalam hal ini, untuk menambah atau mengurangi jumlah uang yang

beredar dapat membeli atau menjual kepemilikan perusahaan-perusahaan besar,

minimal yang mempunyai pengaruh ekonomi yang besar, sistem ini antara lain

dipraktikkan oleh Bank Sentral Sudan, di mana musyarakah dibuat dalam bentuk

sertifikat berharga dan liquid. Dengan sistem ini, sertifikat musyarakah bisa

digunakan sebagaimana, misalnya, SBI atau instrumen-instrumen bank moneter

lainnya untuk kepentingan dan dalam menjalankan expansinary atau contractionary

policy.

191

Ahmed Ali Abdalla, Musharakah: General Rules and Application in Islamic

Banks, dalam Abdul Monir Yakob dan Hamiza Ibrahim (Edt), Islamic Financial Services

and Products. (Kuala Lumpur, IKIM, 1999), h.7-12. 192

Djamil, Penerapan Hukum Pejanjian,... h. 171. 193

Djamil, Penerapan Hukum Perjanjian…, , h. 172.

Page 106: IRPAN JAMIL - SPs.pdf - Repository UIN Syarif Hidayatullah ...

94

Gambar 3.3

Skema Pembiayaan Musyarakah

Keterangan skema:

1. Calon nasabah mempunyai kontrak kerja (misalnya pengadaan alat tulis

kantor dari suatu institusi).

2. Calon nasabah datang ke bank syariah (Bank) dengan maksud untuk

mengajukan Pembiayaan Modal Kerja (PMK) untuk proyek pengadaaan

barang dilengkapi dengan persyaratan yang ditentukan. Bank melakukan

analisa kelayakan pembiayaan, jika dinilai layak untuk dibiayai maka

Bank memberikan persetujuan prinsip pembiayaan kepada calon nasabah

(surat penawaran).

3. Setelah negosiasi dan kesepakatan, kedua belah pihak melakukan

perjanjian pembiayaan dengan prinsip musyarakah.

4. Bank membiayai sebagian kebutuhan proyek pengadaan ATK. Sebagian

lagi dibiayai nasabah sendiri.

5. Nasabah sebagai kontraktor (pengelola proyek) dan pemilik dana (mitra).

6. Pengembalian modal dan distribusi keuntungan dapat dilakukan secara

angsuran atau tempo.

7. Distribusi tingkat keuntungan untuk Bank sebesar nisbah yang telah

ditentukan pada akad.

8. Distribusi tingkat keuntungan untuk nasabah sebesar nisbah yang telah

ditentukan pada akad.

9. Pengembalian modal Bank dibayar pada saat jatuh tempo pembiayaan

10. Pengembalian pokok dapat dilakukan seeara bertahap sesuai cashflow

nasabah.

Implementasi syirkah dalam LKS harus memenuhi Prinsip-prinsip sebagai

berikut:

1. Proyek atau kegiatan usaha yang akan dikerjakan feasible dan tidak

bertentangan dengan syariah.

2. Pihak-pihak yang turut dalam kerja sama memasukkan dana

musyarakah, dengan ketentuan:

a. Dapat berupa uang tunai atau aset yang likuid.

b. Dana yang tertimbun bukan lagi milik perorangan, tetapi menjadi

dana usaha.

Page 107: IRPAN JAMIL - SPs.pdf - Repository UIN Syarif Hidayatullah ...

95

Musyarakah atau syirkah dalam konteks perbankan merupakan akad kerja

sama pembiayaan antara bank syariah (Islamic Banking), atau beberapa keuangan

secara bersama-sama, dan nasabah untuk mengelola suatu kegiatan usaha. Masing-

masing memasukkan penyertaan dana sesuai porsi yang disepakati. Pengelolaan

kegiatan usaha, dipercaya kepada nasabah. Selaku pengelola, nasabah wajib

menyampaikan laporan berkala mengenai perkembangan usaha kepada bank-bank

sebagai pemilik dana. Disamping itu, pemilik dana dapat melakukan intervensi

kebijakan usaha.

Pembiayaan syirkah dalam dunia perbankan syariah antara lain adalah sebagai

berikut:

1. Pembiayaan dalam modal kerja; dapat dialokasikan untuk perusahaan

yang bergerak dalam bidang konstruksi, industry perdagangan, dan jasa.

2. Pembiayaan investasi; dapat dialokasikan untuk perusahaan yang

bergerak dalam bidang industry.

3. Pembiayaan secara indikasi; baik untuk kepentingan modal kerja maupun

investasi.

Implementasi pembiayaan syirkah dalarn Lembaga Keuangan syariah dapat

dilihat dalam skema berikut:

Gambar 3.2

Skema Implementasi Pembiayaan Syirkah

LABA

RUGI

Akad syirkah

Proyek/ usaha bisnis

Pak Toha

Pak hendri

Keahlian atau keterampilan

(2)

50 % Modal 50 % Modal

Keahlian atau keterampilan

(2)

50%

50%

50% 50%

(1) (1)

(3) (3)

Sumber : Google Immage

Page 108: IRPAN JAMIL - SPs.pdf - Repository UIN Syarif Hidayatullah ...

96

Keterangan:

1. Pak Hendri dan Pak Toha melakukan akad syirkah untuk melaksanakan

sebuah proyek bisnis;

2. Masing-masing menyertakan modal 50% : 50%;

3. Mereka bekerja bersama-sama untuk menjalankan bisnis tersebut;

4. Risiko proyek bisnis ditanggung bersama;

5. Keuntungan dari proyek tersebut dibagi bersama dengan porsi 50% :

50%.

C. Konsep dan Perkembangan Mudharabah pada Perbankan Syariah

Allah menciptakan manusia sebagai sebagai makhluk yang berinteraksi sosial

dan saling membutuhkan antara satu dengan yang lainnya. Ada yang memiliki

kelebihan harta namun tidak memiliki waktu dan keahlian dalam mengelola dan

mengembangkannya, di sisi lain ada yang memiliki skill atau kemampuan namun

tidak memiliki modal. Dengan berkumpulnya dua jenis orang ini diharapkan dapat

saling melengkapi dan mempermudah pengembangan harta dan kemampuan

tersebut. Untuk itulah Islam memperbolehkan syarikat dalam usaha diantaranya

adalah mudharabah.

Secara istilah, para ulama mengartikan mudharabah dengan redaksi yang

berbeda, namun subtansinya tetap sama, yaitu perjanjian kemitraan atau kerjasama

antara pemilik modal (shahib al-mal) dan pengelola modal (mudharib) dengan

pembagian keuntungan yang disepakati bersama. Sedangkan kerugian finansial

ditanggung oleh pemilik modal. Pengelola modal tidak menanggung risiko finansial

karena dia telah menanggung hal lain yaitu berupa tenaga dan waktu (non financial),

kecuali kalau kerugian tersebut terjadi akibat kecurangan pengelola.194

Prinsip bagi hasil dalam mudharabah mendasarkan pengelolaan usahanya

dengan filosofi utama kemitraan dan kebersamaan (sharing), di mana didalamnya

terdapat unsur-unsur kepercayaan (trust) , kejujuran dan kesepakatan. Penekanan

Islam pada kerjasama sebagai suatu konsep utama dalam kehidupan ekonomi telah

menimbulkan keyakinan bahwa pembagian laba dan peran serta adalah alternatif

dasar bagi sistem keuangan syariah dan investasi lainnya dalam kerangka Islam.

Selain itu dalam mudharabah terkandung prinsip-prinsip kehati-hatian (prudential

principle) yaitu suatu prinsip yang menegaskan bahwa kegiatan usaha yang

dijalankan oleh pihak mudharib, maupun penyerahan modal oleh pihak shahib al-

mal harus dilakukan dengan sangat hati-hati, dan mengikuti segala ketentuan yang

mengikat perjanjian mudharabah tersebut.

Saat ini mudharabah tidak hanya dipraktikkan antar individu yang

bekerjasama, tetapi diimplementasikan juga antara individu dan lembaga, atau antar

lembaga, seperti yang terjadi di lembaga keuangan syariah, seperti di perbankan

syariah, asuransi syariah dan lain-lain. Di lembaga keuangan syariah, seperti

perbankan syariah misanya, perjanjian mudharabah telah diperluas menjadi meliputi

tiga pihak yaitu para nasabah penyimpan dana sebagai shahib al-mal, bank sebagai

194

Wahbah al-Zuhaily, al-Fiqh-al-Islami wa al-adilatuhu, Juz IV,( Beirut, Dar-al-

Fiqr, tt.) h. 86.

Page 109: IRPAN JAMIL - SPs.pdf - Repository UIN Syarif Hidayatullah ...

97

agent/arrenger yang berfungsi sebagai intermediary, dan pengusaha sebagai

mudharib yang membutuhkan dana.

Mudharabah saat ini merupakan wahana utama bagi lembaga keuangan

syariah untuk memobilisasi dana masyarakat dan untuk menyediakan berbagai

fasilitas, seperti fasilitas pembiayaan bagi para pengusaha. Mudharabah dengan

dasar profit and loss sharing principle merupakan salah satu alternatif yang tepat

bagi lembaga keuangan syariah yang menghindari sistem bunga(interest free) yang

oleh sebagian ulama dianggap sama dengan riba yang diharamkan.195

1. Pengertian Mudharabah

Secara etimologi, mudharabah adalah bentuk masdar dari fi‟il madhi,

dharaba yang berarti berdagang atau meperdagangkan, 196

. Mudharabah disebut

juga dengan muamalah karena umat Islam di Irak menyebutkan Mudharabah

dengan istilah muamalah 197

Ulama Hijaz menyebutkannya juga dengan Qiradh,

yaitu berasal dari kata qiradh yang juga berarti al-Qath‟u atau pemotongan. Hal itu

karena pemilik harta memotong sebagian hartanya sebagai modal dan menyerahkan

hak kepengurusannya kepada orang yang mengelolanya dan pengelola memotong

untuk pemilik bagian dari keuntungan sebagian hasil dari usaha dan kerjanya.198

Untuk lebih mengetahui tentang definisi mudharabah, beberapa pengertian

mudharabah secara terminologis disampaikan oleh fuqaha dari madzhab yang

empat, yaitu : pertama : madzhab Hanafi yang mendefinisikan mudharabah yaitu

akad atas suatu syarikat dalam keuntungan dengan modal harta dari satu pihak dan

dengan pekerjaan (usaha) dari pihak yang lain. Madzhab Maliki mendefinisikan

mudharabah adalah penyerahan uang dimuka oleh pemilik modal dalam jumlah

uang yang ditentukan kepada seseorang yang akan menjalankan usaha dengan uang

itu dengan imbalan sebagian dari keuntungannya. Mazhab Syafi‘i mendefinisikan

mudharabah adalah suatu akad yang memuat penyerahan modal kepada orang lain

dan keuntungannya dibagi di antara mereka berdua. Madzhab Hambali

mendefinisikan mudharabah adalah penyerahan suatu barang atau sejenisnya dalam

jumlah yang jelas dan tertentu kepada orang yang mengusahakannya dengan

mendapat bagian tertentu dari keuntungannya.199

Selain ulama empat madzhab diatas terdapat juga perbedaan pendapat tentang

definisi mudharabah. Pendapat tersebut antara lain yaitu Sayyid Sabiq yang

mendefinisikan mudharabah adalah akad antara kedua belah pihak untuk salah

seorangnya (salah satu pihak) mengeluarkan sejumlah uang kepada pihak lain untuk

diperdagangkan, dan laba dibagi dua sesuai kesepakatan. Abdurrahman al-Jaziri

mendefinisikan mudharabah adalah akad antara dua orang yang berisi kesepakatan

bahwa salah seorang dari mereka akan memberikan modal usaha produktif, dan

195

Yusuf al-Qardhawi, Fawaid al-Bunuk Hiya al-riba-al-haram, (Beirut, Dar-al-

Fiqr), h. 58. 196

A. Warson, al-Munawir, Kamus Arab-Indonesia, (Yogyakarta, Gema Insani,

2006). h. 112. 197

al-Zuhaily, al-Fiqh-al-Islami …, h. 87. 198

al-Zuhaily, al-Fiqh-al-Islami …, h. 88. 199

Abdurahman al-Jaziri, Fiqh ala Madzahib al-arbaah, Juz V, (Beirut, Dar al-Fiqr,

2000) h. 42.

Page 110: IRPAN JAMIL - SPs.pdf - Repository UIN Syarif Hidayatullah ...

98

keuntungan usaha itu akan diberikan sebagian kepada pemilik modal dalam jumlah

tertentu sesuai dengan kesepakatan yang sudah disetujui bersama.

Secara terminologi mudharabah berarti sejumlah uang yang diberikan

seseorang kepada orang lain untuk modal usaha, apabila mendapatkan keuntungan

maka di bagi dua, yaitu, untuk pihak pemilik modal (shahib-al-mal) dan pelaku

usaha atau yang menjalankan modal (mudharib) dengan persentase atau jumlah yang

sesuai dengan kesepakatan. Sementara apabila terjadi kerugian maka ditanggung

oleh pemilik modal.200

Pasal 20 ayat (4) Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah disebutkan bahwa

mudharabah adalah kerja sama antara pemilik dana atau penanam modal dengan

pengelola modal untuk melakukan usaha tertentu dengan pembagian keuntungan

berdasarkan nisbah.

Mudharabah dalam buku Islamic Financial Management dijelaskan secara

rinci sebagai berikut:

1. Mudharabah adalah akad kerja sama antara pemilik dana (shahib-al-

mal), yang menyediakan seluruh kebutuhan modal, dan pihak pengelola

usaha (mudharib) untuk melakukan suatu kegiatan usaha bersama.

Keuntungan yang diperoleh dibagi menurut perbandingan (nisbah) yang

disepakati.

2. Dalam hal terjadi kerugian, maka ditanggung oleh pemilik modal selama

bukan diakibatkan kelalaian pengelola usaha. Sedangkan, kerugian yang

timbul karena kelalaian pengelola akan menjadi tanggungjawab

pengelola usaha itu sendiri.

3. Pemilik modal tidak turut campur dalam pengelola usaha, tetapi

mempunyai hak untuk melakukan pengawasan.201

Berdasarkan pemaparan definisi di atas, dapat dipahami bahwa mudaharabah

adalah kerjasama antara dua pihak untuk menjalankan suatu usaha atau bisnis

tertentu dimana satu pihak sebagai pemilik modal, kemudian pihak lainnya sebagai

sebagai pelaksana usaha. Apabila terjadi kerugian maka yang menanggung seluruh

kerugian adalah pihak pemilik modal, kecuali kerugian terjadi karena kelalaian

pihak yang menjalankan usaha. Sementara apabila usaha tersebut mendapatkan

keuntungan, maka dibagi sesuai dengan kesepakatan diantara mereka.

Dasar hukum mudharabah yaitu: al-Qur'an, dalam al-Qur'an tidak disebutkan

dengan jelas tentang mudharabah, walaupun demikian ulama' di kalangan kaum

muslimin telah sepakat tentang bolehnya melakukan kerjasama semacam perniagaan

ini. Istilah mudharabah sesungguhnya muncul pada masa nabi Muhammad, tapi

jauh sebelum nabi Muhammad lahir pun sudah ada kerjasama perniagaan ini di

zaman Jahiliyah telah dikenal, kemudian dilestarikan oleh Islam karena membawa

200

Muhammad bin Muhammad al-Mukhtar al-Syanqiti al-Syanqiti, Syarh Zad al-

Mustaqna li-al Syanqiti, (Digital Library, al-Maktabah al-Syamilah al-Isdar al-Sani, 2005), h.

62. 201

Veithzal Rivai dan Andria Permata Veithzal, Islamic Financial Management :

Teori, Konsep, dan Aplikasi Panduan Praktis untuk Lembaga Keuangan, Nasabah, Praktisi

dan Mahasiswa, (Jakarta : Rajawali Pers, 2008), h. 123.

Page 111: IRPAN JAMIL - SPs.pdf - Repository UIN Syarif Hidayatullah ...

99

kemaslahatan.202

Kerjasama antara pemilik modal dengan pihak yang bisa

menjalankan usaha produktif sudah ada sejak zaman dahulu, pada zaman jahiliyah,

umpamanya, hal ini juga telah menjadi suatu tradisi di masyarakat Arab. Nabi

Muhammad sendiri sebelum menjadi Rasul, melakukan kerjasama dengan Siti

Khadijah dalam bentuk mudharabah. Khadijah memberi modal atau barang

dagangan kepadanya, juga kepada orang lain, dan Muhammad menjalankan modal

itu dengan cara berdagang. Kentungan yang diperoleh dari usaha tersebut dibagi

antara pelaksana usaha dan pemilik modal yang jumlahnya sesuai dengan perjanjian

yang sudah disepakati. Karena hal ini merupakan kebiasaan yang baik, itu pun

diakui dan diadopsi oleh Islam. Berdasarkan hal tersebut di atas, kaum muslimin

sepakat bahwa mudharabah itu adalah salah satu bentuk kerjasama dalam lapangan

muamalah yang dibolehkan, karena membawa kemaslahatan, dan bahkan bisa

dipandang sebagai satu bentuk kerja sama yang perlu dilakukan. Pada zaman

sekarang, keperluan antara si kaya dan si miskin atau untuk menghindari

kecemburuan sosial dengan diimensi filosofis yang melandasi mudharabah adalah

adanya penyatuan antara modal (capital) dan usaha (skill dan enterprenership) yang

dapat membuat pemodal (shahib al-mal) dan pengusahanya (mudharib) berada

dalam kemitraan usaha yang lebih fair dan terbuka, serta kegiatan ekonomi ini lebih

mengarah pada aspek solidaritas modal. Karena dalam kehidupan keadaan seperti ini

memang tidak bisa terhindarkan.203

Manurut Abraham L. Udovitch, bahwa istilah mudharabah muncul sebagai

kerjasama bangsa semenanjung Arab yang berkembang dalam konteks perdagangan

pada khalifah Arab sebelum Islam. Istilah itu berkembang luas ketika dalam sejarah

bangsa ini berhasil menaklukkan beberapa wilayah seperti negara-negara yang

tennasuk dalam wilayah Timur Dekat, Afrika Utara dan sampai pada Eropa Selatan.

Keluasan wilayah bagi perkembangan istilah mudharabah ini membuat setiap

bangsa menyebutkan dengan term yang berbeda. Masyarakat Irak, misalnya

menyebutkan dengan mudharabah atau kadang-kadang muamalah, masyarakat

Hijaz, meliputi Madinah, Makkah dan kota disekelilingnya dengan Commenda 204

Pembicaran Nabi Muhammad SAW terhadap mudharabah mengidentifikasi

bahwa kerjasama dua pihak dengan mempertemukan modal dan usaha merupakan

kerjasama yang sangat penting dalam kehidupan manusia. ―Ketidaktegasan‖ nabi

Muhammad menjadi tanda bahwa kerjasama ekonomi tersebut akan selalu berubah

dari masa kemasa. Apabila nabi Muhammad menegaskan keharamannya atau

keharusan mudharabah dikhawatirkan justru akan menghambat kemajuan umat

manusia itu sendin. oleh karena itu sikap atas pluralitas dan fleksibilitas

mudharabah untuk dapat masuk dalam segala sistem ekonomi yang berkembang

dengan sebutan apapun dalam rangka mengangkat kehidupan manusia kearah yang

lebih baik. Oleh karena itu memberlakukan sistem mudharabah harus tidak diikuti

202

Ismail, Perbankan Syariah, (Jakarta, Prenada Media Grup, 2011) h. 30. 203

Adiwarman Karim, Ekonomi Islam suatu kajian kontemporer (Jakarta, Gema

Insani, 2005) h. 26. 204

Karim, Ekonomi Islam suatu kajian …, h. 27

Page 112: IRPAN JAMIL - SPs.pdf - Repository UIN Syarif Hidayatullah ...

100

dengan pelaksanaan kehendak dan mempersalahkan bentuk-bentuk kerjasama

ekonomi lainya yang mungkin juga temasuk dalam model kerjasama.205

Namun demikian, ada ayat-ayat yang walaupun tidak langsung, tetapi

maksudnya dapat di gunakan sebagai dasar atau landasan kebolehan mudharabah,

seperti ayat-ayat tentang perintah mencari karunia Allah Swt, diantaranya adalah

firman Allah yang artinya; ―Dan orang-orang yang berjalan dimuka bumi mencari

sebagian karunia Allah. ‖ (QS. al-Muzammil, (73): 20)

Ayat tesebut menjelaskan bahwa sebagai manusia yang hidup dimuka bumi,

maka kiranya senantiasa mencari rezeki (karunia Allah) dengan bermuamalah, salah

satunya yaitu dengan kerjasama antara manusia, di dalam al-Qur'an, termasuk dalam

ayat diatas memang tidak terdapat secara tegas menerangkan tentang pelaksanaan

mudharabah, tetapi dari berbagai ayat tentang muamalah, dapat diambil kesimpulan

bahwa untuk melakukan kerjasama dalam bentuk mudharabah diperbolehkan.

Dasar hukum mudharabah yang kedua adalah al-Sunnah. Selain al-Quran,

hadits sebagai salah satu sumber hukum Islam juga memberikan landasan tentang

mudharabah. atau qiradh. Adapun hadits tentang mudharabah atau Qiradh yang

artinya; “Hadits dari Hasan bin Ali aI-Khallal, Hadits dari Basyar bin Tsabit al-

Bazar; hadits dari Natsir bin aI-Qasim dari Abdurrahman bin Dawud dari Shalih

bin Shuhaib dari ayahnya, Rasulullah SAW bersabda: Tiga hal yang didalamnya

ada berkah, jual beli yang temponya tertentu, muqaradlah (nama lain dari

mudharabah) dan mencampur antara burr dengan syair untuk rumahtangga, bukan

untuk dijual. ” (HR. Ibnu Majah) (al-Quznawi, 768).

Dasar mudharabah yang ketiga adalah ijma, berdasarkan ijma golongan

sahabat yang sesungguhnya tidak menolak harta anak yatim untuk dilakukan

mudharabah yang berdasarkan pada ijtihad Umar bin Khatab yang diriwayatkan

oleh Abdillah bin Zaid bin Aslam yang mengatakan bahwa Abdullah dan Ubaidillah

putra Umar bin Khatab r.a. keluar bersama pasukan Irak. Ketika mereka kembali,

mereka singgah pada bawahan Umar, yaitu Abu Musa al-Asya‖ri, Gubernur

Bashrah, ia memerima mereka dengan senang hati dan berkata, sekiranya aku dapat

memberikan pekerjaan kepada kalian yang bermanfaat, aku akan melakukannya

kemudian ia berkata: sebetulnya bagian ini adalah sebagian dari harta Allah yang

aku ingin kirimkan kepada Amirul mu‘minin. Aku pinjamkan kalian untuk dipakai

membeli barang yang ada di Irak. Kemudian kalian jual di Madinah. Kalian

serahkan modal pokoknya kepada Amirul mu'minin, dengan demikian kalian

mendapatkan keuntungan, keduanya berkata: kami senang melakukannya, kemudian

Abu Musa melakukannya dan menulis surat kepada Umar agar beliau mengambil

harta dari keduanya. Setelah mereka tiba, mereka menjual barang tersebut dan

mendapatkan keuntungan, Umar berkata: Adakah semua pasukan telah pinjamkan

uang seperti kamu? Mereka menjawab tidak, kemudian Umar berkata: dua anak

Amirul mu'minin, karena mereka meminjamkan kepada keduanya, serahkanlah harta

dan labanya. Abdullah diam saja, tetapi Ubaidillah menjawab: Wahai Amirul

mu'minin, kalau harta itu binasa (habis) kami menjaminnya, Umar terus berkata:

serahkanlah, Abdullah diam saja Dan Ubaidillah tetap mendebatkannya. Salah

205

Karim, Ekonomi Islam suatu kajian …, h. 28.

Page 113: IRPAN JAMIL - SPs.pdf - Repository UIN Syarif Hidayatullah ...

101

seorang yang hadir di majelis Umar tersebut berkata: Wahai Amirul mu'minin,

bagaimana sekiranya harta itu anda anggap qiradh? Umar lantas menyetujui

pendapat ini dan mengambil modal berikut setengah dari labanya.206

Dasar mudharabah yang keempat adalah qiyas. mudharabah dapat diqiyaskan

sebagi bentuk interaksi antara sesama manusia sebagai makhluk sosial. Sebagai

makhluk sosial, kebutuhan akan kerjasama antara satu pihak dengan pihak lain guna

meningkatkan taraf perekonomian dan kebutuhan hidup, atau keperluan-keperluan

lain, tidak bisa diabaikan. Kenyataan menunjukkan bahwa diantara sebagian

manusia memiliki modal, tetapi tidak bisa menjalankan usaha usaha produktif, tetapi

berkeinginan membantu orang lain yang kurang mampu dengan jalan mengalihkan

sebagian modalnya kepada pihak yang memerlukan. Disisi lain, tidak jarang pula

ditemui orang-orang yang memiliki keahlian dan kemampuan berusaha secara

produktif; tetapi tidak memiliki atau kemampuan modal usaha, berdasarkan

kenyataan itu, sangat diperlukan adanya kerjasama pemilik modal dengan orang-

orang yang tidak mempunyai atau kekurangan modal. Pada bentuk kerjasama seperti

ini, pihak yang kekurangan modal itu akan sangat terbantu, dan para pemilik

modalpun tidak pula dirugikan karena pemindahan modalnya kepada pihak lain

tersebut.207

2. Rukun dan Syarat Mudharabah Mengenai rukun akad mudharabah terdapat perbedaan pandangan antara para

ulama' (jumhur ulama). Menurut mazdhab Hanafi (al-Hanafiyah) dan Hambali (al-

Hanabilah) yang menjadi rukun akad mudharabah adalah ijab dan qabul.208

Maka

akad mudharabah itu menjadi sah karena telah memenuhi rukunnya. Namun

beberapa mazdhab lain seperti mazdhab Syafi'i mengajukan beberapa unsur

mudharabah yang tidak hanya adanya ijab dan qabul saja, tetapi juga adanya dua

pihak, adanya kerja, adanya laba, dan adanya modal.

Secara umum, jumhur ulama menyatakan bahwa rukun dan syarat

mudharabah terdiri atas:

a. Ijab dan qabul

Ijab dan qabul yaitu persetujuan kedua belah pihak, merupakan konsekuensi

dari prinsip antaradhi minkum (sama-sama rela). Disini kedua belah pihak secara

rela bersepakat untuk mengikatkan diri dalam akad mudharabah. Si pemilik dana

setuju dengan perannya untuk mengkontribusikan dana, sementara pelaksana usaha

setuju dengan perannya untuk mengkontribusikan kerja.209

Pernyataan kehendak

yang berupa Ijab dan qabul antara kedua belah pihak memiliki syarat-syarat yaitu210

Ijab dan qabul itu harus jelas menunjukkan maksud untuk melakukan kegiatan

mudharabah. Dalam menjelaskan maksud tersebut bisa menggunakan kata

mudharabah, qiradh, muqaradhah, muamalah, atau semua kata yang semakna

dengannya.

206

al-Zuhaily, al-Fiqh-al-Islami …, h. 839. 207

Karim, Ekonomi Islam suatu kajian…, h. 30. 208

Sayyid Sabiq, fiqh al-Sunnah (Beirut, Dar-al-Kitab-al-Arabiyah, tt) h. 60. 209

Muhammad Ali Jumah, Mausu‟ah Fatawa al-Muamalat al-Maliyyah li-al-

Masharaif wa al-Muasasat al-Maliyyah-al_islamiyyah (Kairo, Sar al-Salam. 2009) h. 72. 210

Jumah, Mausu‟ah Fatawa al-Muamalat…, h. 72.

Page 114: IRPAN JAMIL - SPs.pdf - Repository UIN Syarif Hidayatullah ...

102

Ijab dan qabul harus bertemu, artinya penawaran pihak pertama sampai dan

diketahui oleh pihak kedua, artinya ijab yang diucapkan pihak pertama harus

diterima dan disetujui oleh pihak kedua sebagai ungkapan kesediaannya. Ijab dan

qabul harus sesuai maksud pihak pertama, serta cocok dengan keinginan pihak

kedua.

b. Dua orang yang melakukan kerjasama (al-'aqidain)

Dalam akad mudharabah harus ada minimal dua pelaku. Pihak pertama

bertindak sebagai pemilik modal (shahib al-mal), sedangkan pihak kedua bertindak

sebagai pelaksana usaha (mudharib atau amil). Tanpa dua pelaku ini, maka akad

mudharabah di anggap tidak ada.211

Para pihak (shahib aI-mal dan mudharib)

disyaratkan212

a) Cakap bertindak hukum secara Syar'i, artinya shahib aI-mal memiliki

kapasitas untuk menjadi pemodal dan mudharib memiliki kapasitas

menjadi pengelola.

b) Memiliki kewenangan mewakilkan atau memberi kuasa dan menerima

pemberian kuasa, karena penyerahan modal oleh pihak pemberi modal

kepada pihak pengelola modal merupakan suatu bentuk pemberian

kuasa untuk mengolah modal tersebut.

c) Pemilik modal (shahib aI-mal) adalah orang yang mempunyai

kebebasan memilih, artinya tidak dalam keadaan terpaksa atau

kehendaknya sendiri. Sedangkan bagi orang yang menjalankan

pekerjaannya (mudharib) selain cakap, seperti yang telah disebutkan

diatas, ia juga harus merupakan orang yang jujur dan pandai berdagang,

diharuskan seperti demikian juga sebab ia memegang uang dengan izin

pemilik modal, dengan kata lain ia adalah orang yang membawa

amanah dari orang yang memiliki harta tersebut.

Adapun modal disyaratkan kondisi :213

a) Modal harus jelas jumlah dan jenisnya dan diketahui oleh kedua belah

pihak pada waktu dibuatnya akad mudharabah sehingga tidak

menimbulkan sengketa dalam pembagian laba karena ketidakjelasan

jumlah.

b) Harus berupa uang (bukan barang). Mengenai modal harus berupa uang

dan tidak boleh berupa barang adalah pendapat mayoritas ulama.

Mereka beralasan mudharabah dengan barang dapat menimbulkan

kesamaran. Karena barang tersebut umumnya bersifat fluktuatif.

c) Uang bersifat tunai (bukan hutang).

d) Modal diserahkan kepada pengelola secara langsung, tidak dengan cara

diangsur.

c. Adanya pekerjaan atau usaha (al-amal)

Mengenai pengelolaan jenis usaha ini sebagian ulama, khususnya Syafii dan

Maliki, mensyaratkan bahwa usaha itu hanya berupa usaha dagang (commersial).

211

Karim, Ekonomi Islam suatu kajian …, h. 181. 212

Jumah, Mausu‟ah Fatawa al-Muamalat ..., h. 80. 213

Jumah, Mausu‟ah Fatawa al-Muamalat ..., h. 82.

Page 115: IRPAN JAMIL - SPs.pdf - Repository UIN Syarif Hidayatullah ...

103

Mereka menolak kegiatan usaha yang berjenis kegiatan industri (manufacture).

Dengan anggapan bahwa kegiatan industri itu termasuk dalam kontrak persewaan

(ijarah) yang mana semua kerugian dan keuntungan ditanggung oleh pemilik modal

(investor). Sementara para pegawainya digaji secara tetap. Tetapi Abu Hanifah

membolehkan usaha apa saja selain berdagang, termasuk kegiatan kerajinan atau

industri. Seseorang dapat memberikan modalnya kepada pekerja yang akan

digunakannya untuk membeli bahan mentah untuk dibuat sebuah produk dan

kemudian dijualnya. Ini msemang tidak termasuk jenis perdagangan murni di mana

seseorang hanya terlihat dalam pembelian dan penjualan, tetapi hal tersebut dapat

dibenarkan sebab persekutuan antara modal dan tenaga terjadi dalam kegiatan ini,

bahkan mengenai keuntungan kadang-kadang lebih dapat dipastikan sehingga bagi

hasil akan selalu dapat diwujudkan. Kalau ditarik lebih jauh ke era modern ini, maka

jenis perdagangan bisa menjadi lebih luas.214

Semua kerja ekonomi yang mengandung kegiatan membuat atau membeli

produk atau jasa kemudian menjualnya atau menjadikannya produk atau jasa

tersebut menjadi sebuah keuntungan merupakan arti dari perdagangan. Oleh karena

itu tampaknya semua kegiatan ekonomi itu mengandung unsur perdagangan. Jadi

sesungguhnya dalam hal ini dapat dikatakan bahwa jenis usaha yang diperbolehkan

adalah semua jenis usaha, tentu saja tidak hanya menguntungkan, tetapi harus sesuai

dengan ketentuan syariah sehingga merupakan usaha yang halal. Dalam

menjalankan usaha ini Shahib al-maal tidak boleh ikut campur dalam teknis

operasional dan manajemen usaha tidak boleh membatasi usaha mudharib

sedemikian rupa sehingga mengakibatkan upaya perolehan keuntungan maksimal

tidak tercapai. Tetapi di lain pihak pengelola harus senantiasa menjalankan usahanya

dalam ketentuan syari'ah secara umum. Dalam usaha itu dijalankan dengan akad

mudharabah terbatas, maka ia harus memenuhi klausuI-klausul yang ditentukan

oleh Shahib aI-mal. 215

d. Nisbah keuntungan

Nisbah ini mencerminkan imbalan yang berhak diterima oleh kedua pihak

yang bermudharabah. Mudharib mendapatkan imbalan atas kerjanya, sedangkan

shahib al-mal mendapat imbalan atas penyertaan modalnya. Nisbah keuntungan

inilah yang akan mencegah terjadinya perselisihan antara kedua belah pihak

mengenai cara pembagian keuntungan. Mengenai keuntungan disyaratkan:

1. Keuntungan dalam perjanjian mudharabah disyaratkan harus jelas

ketentuannya, misalnya setengah atau seperempat dari keuntungan. Hal

ini diharapkan ada kejelasan dan kepastian diantara kedua belah pihak.

Selain itu mudharib akan menerima bagiannya dari keuntungan bukan

dari jumlah modal.

2. Keuntungan dikhususkan kepada kedua belah pihak yang melakukan

kerja sama oleh karena itu tidak sah apabila sebagian keuntungan

tersebut untuk orang yang selain mereka (dua pihak), kecuali untuk

kedua orang dari budak mereka dengan kesepakatan yang sudah dibuat

demikian menurut madzhab Syafi'i.

214

Jumah, Mausu‟ah Fatawa al-Muamalat …, h. 83. 215

Jumah, Mausu‟ah Fatawa al-Muamalat…, h. 82.

Page 116: IRPAN JAMIL - SPs.pdf - Repository UIN Syarif Hidayatullah ...

104

3. Berakhirnya Akad Mudharabah

Akad mudharabah dinyatakan batal dalam hal-hal: l) masing-masing pihak

menyatakan akad batal, pekerja dilarang untuk bertindak hukum terhadap modal

yang diberikan, atau pemilik modal menarik modalnya, 2) salah seorang yang

berakad meninggal dunia. Jika pemilik modal yang wafat, menurut jumhur ulama,

akad tersebut batal, karena akad mudharabah sama dengan akad wakalah

(perwakilan yang gugur disebabkan wafatnya orang yang mewakilkan). Disamping

itu, jumhur ulama berpendapat bahwa akad mudharabah tidak bisa diwariskan.

Akan tetapi ulama madzhab Maliki berpendapat bahwa jika salah seorang yang

berakad itu meninggal dunia, akadnya tidak batal, tetapi tidak dilanjutkan oleh ahli

warisnya karena, menurut mereka akad mudharabah bisa diwariskan, 3) salah

seorang yang berakal gila, karena orang yang gila tidak cakap lagi bertindak hukum,

4) pemilik modal murtad (keluar dari agama Islam), menurut imam Abu Hanifah,

akad mudharabah menjadi batal, 5) modal habis ditangan pemilik modal sebelum

dikelola oleh pekerja demikian juga halnya, mudharabah batal apabila modal

tersebut dibelanjakan oleh pemilik modal sehingga tidak ada lagi yang bisa dikelola

oleh pemilik modal dan juga tidak ada lagi yang bisa dikelola oleh pekerja.216

Mudharabah merupakan salah satu tonggak ekonomi syariah yang mewakili

prinsip Islam untuk mewujudkan keadilan masyarakat melalui sistem bagi hasil.

Akad mudharabah adalah akad di antara pihak pemilik modal (shahib al-mal)

dengan pengelolanya (mudharib ) untuk memperoleh pendapatan atau keuntungan

yang kemudian pendapatan atau keuntungan tersebut dibagi berdasarkan nisbah

(pembagian/pembatasan) yang telah disepakati di awal akad Pada sisi penyaluran

dana, mudhatabah dapat dibagi menjadi mudharabah mutlaqah dan mudharabah

muqayadah berdasarkan kewenangan yang diberikan kepada mudharib.

Mudharabah mutlaqah yaitu akad kerja antara dua orang atau lebih, atau

shahib al-maal selaku investor dengan mudharib selaku pengusaha yang berlaku

secara luas. Artinya dalam akad tersebut tidak ada batasan tertentu, baik dalam jenis

usaha, daerah bisnis, waktu usaha maupun yang lain. Intinya pengusaha memiliki

kewenangan penuh untuk menjalankan usahanya, sesuai dengan peluang bisnis yang

ada (Ridwan, 2004: 98-99). Dalam mudharabah mutlaqah harus menggunakan

modal berupa uang tunai dan apabila modal diserahkan secara bertahap, tahapannya

harus jelas setelah disepakati terlebih dahulu. Hasil dari pengelolaan modal

pembiayaan mudharabah dapat diperhitungkan dengan dua cara, yaitu: dari hasil

perhitungan atas pendapatan proyek (revenue sharing) ataupun dari perhitungan atas

keuntungan proyek (proft sharing). Mengenai praktik akad mudharabah muqayadah

pada sisi penyaluran dana ini adalah pada umumnya sama dengan akad mudharabah

mutlaqah, baik dari sisi persyaratan modal maupun cara pembagian keuntungannya.

Yang membedakan antara keduanya hanyalah dari tujuan penyediaan modal yaitu

216

M. Ridwan, manajemen Baitul Mal wa Tamwil, ( Yogyakarta, VII Press, 2004) h.

99.

Page 117: IRPAN JAMIL - SPs.pdf - Repository UIN Syarif Hidayatullah ...

105

hanya untuk kegiatan tertentu dan dengan syarat yang sepenuhnya ditetapkan oleh

bank.217

Secara teknis, al-mudharabah adalah akad kerja sama usaha antara dua pihak

di mana pihak pertama (shahibul maal) menyediakan seluruh (100%) modal,

sedangkan pihak lainnya menjadi pengelola. Keuntungan usaha secara mudharabah

dibagi menurut kesepakatan yang dituangkan dalam kontrak, sedangkan apabila rugi

ditanggung oleh pemilik modal selama kerugian itu bukan akibat kelalaian si

pengelola seandainya kerugian itu diakibatkan karena kecurangan atau kelalaian si

pengelola, si pengelola harus bertanggung jawab atas kerugian tersebut.218

Dalam perbankan syariah, perjanjian mudharabah telah diperluas meliputi

tiga pihak :

1. Para nasabah penyimpan dana (depositors) sebagai shahib al-mal

2. Bank sebagai suatu intermediary, dan

3. Pengusaha sebagai mudharib yang membutuhkan dana.

Bank betindak sebagai pengusaha (mudarib) dalam hal bank menerima dana

dari nasabah penyimpan dana (depositor), dan sebagai shahib al-mal dalam hal bank

menyediakan dana bagi para nasabah debitur selaku mudharib.219

Mudharabah

merupakan wahana utama bagi lembaga keuangan syariah untuk memobilisasi dana

masyarakat dan untuk menyediakan berbagai fasilitas, antara lain fasilitas

pembiayaan bagi para pengusaha.220

Bank, dalam kedudukannya selaku mudharib, menerima dana dari masyarakat

atas dasar mudharabah. Dalam konteks ini tidak dipersyaratkan adanya pembatasan-

pembatasan bagi bank dalam menggunakan dana nasabah, baik yang menyangkut

kegiatan yang dapat dilakukan bank, jangka waktu dan lokasi kegiatan. Dengan kata

lain, bentuk mudharabah antara nasabah penyimpan dana dan bank adalah bentuk

mudharabah yang tidak terbatas, (mudharabah mutlaqah). Namun demikian,

perjanjian tersebut bukan tidak terbatas sama sekali. Perjanjian mudharabah tidak

dapat diterapkan untuk kegiatan yang dilarang oleh Islam, seperti untuk spekulasi

dan kegiatan yang menghasilkan barang-barang dan jasa yang melanggar hukum.

Perjanjian yang seperti itu batal demi hukum. 221

Bank berhak untuk menanamkan dana yang disimpan oleh nasabah langsung

dalam bentuk investasi dan untuk keperluan overhead cost dari bank itu sendiri, dan

atau menawarkan dana itu kepada para pengusaha nasabah bank. Bank boleh

menggabungkan keuntungan ( dan kerugian) dari investasi-investasi lain (semua

investasi atau proyek yang dibiayai bank) dan berbagi keuntungan bersih (setelah

dikurangi biaya administrasi, penyusutan atas modal dan zakat) dengan para

penyimpan dana berdasarkan perbandingan (nisbah) yang sudah ditentukan

217

Gemala Dewi, Aspek-aspek Hukum Dalam Perbankan dan Perasuransian Syariah

di Indonesia. (Jakarta, Kencana Prenada Media, 2007), h. 234-235. 218

Antonio, Bank Syariah dari Teori…, h. 91. 219

Antonio, Bank Syariah dari Teori …, h. 91. 220

Elias G Kazarian, Islamic Versus Traditional Banking< Financial Innovation in

Egypt, (Boulder, Westview Press, 2003) h.61-62. 221

Kazarian, Islamic Versus Traditional…, h.61-62.

Page 118: IRPAN JAMIL - SPs.pdf - Repository UIN Syarif Hidayatullah ...

106

sebelumnya (ditentukan di muka). Dalam hal bank mengalami kerugian, para

penyimpan dana akan mengalami kerugian atas sebagian atau seluruh jumlah

dananya. Imbalan (return) kepada bank harus ditentukan secara tegas sebagai bagian

dari keuntungan bank.222

Berbeda dengan perjanjian mudharabah antara nasabah penyimpan dana dan

bank yang berbentuk mudharabah yang tidak terbatas (mudharabah mutlaqah)

bank dapat melakukan bentuk mudharabah yang terbatas (mudharabah

muqayyadah) apabila dana itu disediakan oleh bank bagi para nasabah (bank

bertindak dalam kedudukannya selaku shahib al-mal). Bank mempunyai hak untuk

menentukan syarat-syarat atas penggunan dana tersebut yang menyangkut jenis dari

kegiatan itu, jangka waktu, lokasi proyek yang dibiayai dan berhak menyelia

investasi-investasi tersebut. Namun pembatasan-pembatasan ini tidak boleh

diformulasikan sedemikian rupa sehingga merugikan kinerja nasabah yang

bersangkutan. 223

Prinsip mudharabah diterapkan oleh bank syariah dalam kegiatan

penghimpunan dana dan penyaluran dana. Untuk kegiatan penghimpunan dana

diaplikasikan dalam bentuk giro, tabungan dan deposito. Sementara itu, untuk

penyaluran dana dalam bentuk pembiayaan mudharabah.

Giro adalah simpanan dana pihak ketiga di bank syariah yang penarikannya

dapat dilakukan setiap saat dengan menggunakan cek, bilyet giro, sarana perintah

pembayaran lainnya, atau dengen perintah pemindahbukuan selain gilyet biro.

Apabila giro tersebut berdasarkan akad mudharabah maka dalam hal ini bank

bertindak sebagai mudharib ( yang mengelola modal) dan deposan sebagai shahib

al-mal) (pemilik modal). Bagi hasil ditentukan berdasarkan nisbah yang disepakati

sebelumnya. Perhitungan bagi hasil giro mudharabah dilakukan berdasarkan saldo

rata-rata harian yang dihitung tiap akhir bulan dan di buku awal berikutnya.

Tabungan mudharabah adalah simpanan pihak ketiga di bank syariah

berdasarkan akad mudharabah yang penarikannya dapat dilakukan setiap saat atau

beberapa kali sesuai dengan perjanjian. Dalam hal ini, bank syariah bertindak

seabagai mudharib (yang mengelola modal) dan daeposan sebagai shahib al-mal

(pemilik modal). Bank syariah sebagai mudharib (yang mengelola modal) akan

membagi keuntungan kepada shahib al-mal sesuai dengan nisbah (persentase) yang

telah disetujui bersama. Pembagian keuntungan dapat dilakukan setiap bulan

berdasarkan saldo minimal yang mengendap selama periode tersebut. Misalnya,

seseorang memiliki saldo minimal yang mengndap selama periode tersebut.

Misalnya, seseorang memilik tabungan mudharabah sebesar Rp. 5 juta. Nisbah bagi

hasil 50% :50 %.

Diasumsikan total saldo rata-rata dana tabungan mudharabah yang ada di

bank syariah Rp.100 juta dan keuntungan yang diperoleh untuk dana tabungan

(profit distribution) sebesar Rp. 3 juta. Pada akhir bulan, nasabah akan memperoleh

dana bagi hasil sebagai berikut :

Rp. 5.000.000 x Rp. 3.000.000 x 50 % = 75.000

Rp. 100.000.000

222

Kazarian, Islamic Versus Traditional…, h.62-63. 223

Kazarian, Islamic Versus Traditional…, h.63-64.

Page 119: IRPAN JAMIL - SPs.pdf - Repository UIN Syarif Hidayatullah ...

107

Adapun deposito mudharabah, yang disebut juga dengan deposito investasi

mudharabah, merupakan investasi melalui simpanan pihak ketiga (perseorangan

atau badan hukum) yang penarikannya hanya dapat dilakukan dalam jangka waktu

tertentu (jatuh tempo), dengan mendapatkan imbalan bagi hasil. Imbalan ini dibagi

dalam bentuk berbagi pendapatan (revenue sharing) atas penggunaan dana tersebut

secara syariah dengan proporsi pembagian misalnya, 70 : 30. Artinya, untuk deposan

sebesar 70% dan untuk bank 30%. langka waktu deposito mudarabah ini berkisar

antara 1 tahun, 6 bulan, 3 bulan, dan 1 bulan. Misalnya, seseorang menempatkan

dana deposito investasi mudarabah sebesar Rp10 juta untuk jangka waktu 5atu

bulan. Diasumsikan total dana investasi mudarabah sebesar Rp250 juta dan

keuntungan yang diperoleh untuk dana deposito (profit sharing) sebesar Rp 6 juta.

Pada saat jatuh tempo, nasabah akan memperoleh dana bagi hasil sebagai berikut:

Rp. 10.000.000

Rp. 250.000.000

Pada praktik selanjutnya Mudhrabah biasanya diterapkan pada produk-produk

pendanaan dan pembiayaan. Pada sisi pendanaan, mudharabah diterapkan pada

produk giro, tabungan dan deposito. Dalam produk simpanan tersebut, penyimpan

dana atau deposan bertindak sebagai shahibul maal (pemilik modal) dan bank

sebagai mudharib (pengelola). Dana tersebut digunakan oleh bank untuk melakukan

pembiayaan kepada pihak lain dengan bentuk transaksi yang diperkenankan seperti

prinsip jual beli, sewa, dan pembiayaan. Dalam hal bank menggunakannya untuk

melakukan mudharabah kedua (mudharabah al-tsunaiyyah/two-tier-mudharabah),

maka bank bertanggung jawab atas kerugian yang timbul/terjadi terhadap dana

tersebut. Dengan kewenangan yang diberikan oleh penyimpan dana, bank dapat

menerapkan prinsip mudharabah dalam bentuk mudharabah mutlaqah (unrestricted

investment account) dan mudharabah muqayyadah (restricted investment account).

Prinsip mudharabah mutlaqah diterapkan dalam produk tabungan dan

deposito, sehingga terdapat dua jenis penghimpunan dana, yaitu tabungan

mudharabah dan deposito mudharabah. Prinsip mudharabah muqayyadah dapat

diterapkan dalam bentuk pembiayaan khusus on balance sheet dan pembiayaan

khusus of balance sheet. Pembiayaan khusus on balance sheet merupakan simpanan

tertentu (restricted investment) di mana pemilik dana dapat menetapkan syarat-

syarat tertentu yang harus dipatuhi oleh bank. Misalnya, digunakan untuk bisnis

tertentu, dengan akad tertentu, atau nasabah tertentu. Sedangkan pembiayaan khusus

of balance sheet merupakan penyaluran dana mudharabah secara langsung kepada

pelaksana usahanya, di mana bank bertindak hanya sebagai perantara (arranger)

yang mempertemukan antara pemilik dana dengan pelaksana usaha. Pemilik dana

dapat menetapkan syarat-syarat/ketentuan umum dalam produk ini.

Bank wajib memberitahulcan kepada pemilik dana mengenai nisbah dan tata

cara pemberitahuan keuntungan dan/atau pembagian keuntungan, serta risiko yang

dapat ditimbulkan dari Penyimpan dana. Apabila telah dicapai kesepakatan,

kemudian dicantumkan dalam akad. Pada sisi Pembiayaan, mudharabah diterapkan

untuk pembiayaan modal kerja seperti modal kerja perdagangan dan jasa atau

x Rp. 6.000.000 x 70% = Rp168.000 (belum dipotong pajak)

Page 120: IRPAN JAMIL - SPs.pdf - Repository UIN Syarif Hidayatullah ...

108

investasi khusus, yang disebut juga mudharabah muqayyadah, di mana sumber dana

khusus dengan penyaluran yang khusus dengan syarat-syarat yang telah ditetapkan

oleh ,shahibul maal.

Gambar 2.5

Skema Pembiayaan Mudharabah

Keterangan skema:

1. Calon nasabah mempunyai kontrak kerja (misalnya pengadaan alat tulis

kantor dari suatu institusi).

2. Calon nasabah datang ke Bank Syariah (Bank) dengan maksud untuk

mengajukan Pembiayaan Modal Kerja (PMK) Mudhrabah untuk

proyek pengadaaan barang dilengkapi dengan persyaratan yang

ditentukan. Bank melakukan analisa kelayakan pembiayaan. Iika dinilai

layak untuk dibiayai maka Bank memberikan persetujuan prinsip

pembiayaan kepada calon nasabah (surat penawaran).

3. Setelah negosiasi dan kesepakatan, kedua belah pihak melakukan

perjanjian pembiayaan dengan prinsip mudharabah.

4. Bank membiayai seluruh kebutuhan proyek-pengadaan ATK

5. Nasabah sebagai kontraktor (pengelola proyek).

6. Pengembalian modal dan distribusi keuntungan dapat dilakukan secara

angsuran atau tempo.

7. Distribusi tingkat keuntungan untuk Bank sebesar nisbah Yang telah

ditentukan pada akad.

8. Distribusi tingkat keuntungan untuk nasabah sebesar nisbah yang telah

ditentukan pada akad.

9. Pengembalian modal Bank dibayar pada saat jatuh tempo pembiayaan.

10. Pengembalian pokok dapat dilakukan secara bertahap sesuai cashflow

nasabah.

4. Praktik Pembiayaan Mudarabah

Penempatan dana dapat dilakukan dalam bentuk pembiayaan berakad jual beli

maupun syirkah atau kerja sama bagi hasil. Jika pembiayaan berakad jual beli (bai '

bil tsaman al-ajil dan murabahah), maka bank akan mendapatkan margin

keuntungan. Pembagiannya tidak begitu rumit. Namun, jika pembiayaan berkaitan

Page 121: IRPAN JAMIL - SPs.pdf - Repository UIN Syarif Hidayatullah ...

109

dengan akad syirkah (masyarakah dan mudarabah), maka pembiayaan ini

membutuhkan perhitungan-perhitungan yang cukup njlimet.

Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan oleh kedua belah pihak dalam

pembiayaan mudarabah (bagi hasil), yaitu (a) nisbah bagi hasil yang disepakati, (b)

tingkat keuntungan bisnis aktual yang didapat. Oleh karena itu, bank sebagai pihak

yang memiliki dana akan melakukan perhitungan nisbah yang ada dijadikan

kesepakatan pembagian pendapatan.‖

5. Cara Menentukan Nisbah

Nisbah merupakan faktor penting dalam menentukan bagi hasil. Sebab,

nisbah merupakan aspek yang disepakati bersama antara kedua belah pihak yang

melakukan transaksi. Untuk menentukan nisbah bagi hasil, perlu diperhatikan

aspek-aspek: data usaha, kemampuan angsuran, hasil usaha yang dijalankan atau

tingkat return aktual bisnis, tingkat return yang diharapkan, nisbah pembiayaan dan

distribusi pembagian hasil.

Penentuan nisbah bagi hasil dibuat sesuai dengan jenis pembiayaan

mudarabah yang dipilih. Ada dua jenis pembiayaan mudarabah Yaitu: mudarabah

mutlaqah dan mudarabah muqayyadah.

a. Nisbah bagi hasi pembiayaan mudarabah mutlaqah

Pembiayaan mudrabah mutlaqah adalah pembiayaan yang memiliki dana

tidak diminta syarat, kecuali syarat baku untuk berlakunya kontrak mudarabah.

Untuk ini, nisbah dibuat berdasarkan metode expected profit rate (ERP). ERP

diperoleh berdasarkan (1) tingkat keuntungan rata-rata pada industri sejenis; (2)

pertumbuhan ekonomi; (3) dihitung dari nilai requeired profit rate (RPR) yang

berlaku di bank yang bersangkutan.

b. Nisbah bagi hasil pembiayaan madarabah muqayyadah

Pada pembiayaan jenis ini, nasabah menuntut adanya nisbah yang sebanding

dengan situasi bisnis tertentu. Dengan kata lain, pada kontrak pembiayaan

mudarabah muqayyadah pemilik dana menambah syarat lain di luar syarat

kebiasaan mudarabah.

Page 122: IRPAN JAMIL - SPs.pdf - Repository UIN Syarif Hidayatullah ...

110

Gambar. 3.4

Skema Implementasi akad mudharabah muqayyadah Keterangan:

1. Pak Hadi mengajukan pembiayaan dengan akad mudarabah ke sebuah

bank syariah;

2. Bank syariah memberikan modal seluruhnya untuk kegiatan bisnis

percetakan;

3. Tenaga untuk menjalankan modal seluruhnya dari pihak pak Hadi;

4. Pak Hadi mengembalikan modal kepada bank dengan cara mengangsur.

5. Keuntungan dibagi bersama antara pihak bank dengan pihak pak Hadi

dengan proporsi 50% : 50%;

Dari segi penyaluran dana, bank syariah menyediakan fasilitas pembiayaan

mudarabah dengan sistem bagi hasil. Maksudnya, pembiayaan modal investasi atau

modal kerja disediakan sepenuhnya oleh bank syariah (bank syariah sebagai Shahib

al-mal), sedangkan nasabah menyediakan usaha dan manajemennya (nasabah

sebagai mudarib). Hasil keuntungan akan dibagi sesuai dengan kesepakatan bersama

dalam bentuk nisbah (persentase) tertentu dari keuntungan pembiayaan. Misalnya

bank syariah A sebagai shahib al-mal (pemodal) mendapat keuntungan sebesar 65%

dan nasabah sebagai mudarib (pengusaha) mendapat keuntungan sebesar 35%.

Di samping itu, prinsip mudarabah ini juga digunakan oleh Bank Indonesia

sebagai suatu instrumen moneter berdasarkan Prinsip Syariah, Yaitu dalam bentuk

Rugi

laba

Akad mudarabah

Usaha percetakan

Bank syariah

Pak Hadi

(2)

100 % Modal keahlian

(2)

100% 0%

50% (nisbah) 50% (nisbah)

(1) (1)

(3) (3a)

Sumber : Google Immage

(3)

Pengembalian modal usaha/bulan

Page 123: IRPAN JAMIL - SPs.pdf - Repository UIN Syarif Hidayatullah ...

111

Pasar Uang Antarbank Berdasarkan Prinsip Syariah (PUAS). Baca PBI No.

9/5/PBI/2007 tentang Pasar Uang Antarbank Berdasarkan Prinsip Syariah dan SEBI

No.9/8/DPM tanggal 30 Maret 2007 Perihal Sertifikat Investasi Mudarabah

Antarbank.

Kontrak mudharabah digunakan dalam perbankan syari'ah untuk tujuan

dagang jangka pendek dan untuk suatu kongsi khusus.kontrak tersebut seperti jual

beli barang yang menunjukkan sifat dagang dari kontrak ini. Mudharib, setelah

menerima dukungan pendanaan dari bank, membeli sejumlah atau senilai tertentu

dari barang yang sangat spesifik dari seorang penjual dan menjualnya kepada pihak

ketiga dengan suatu laba Sebelum disetujuinya pendanaan, mudharib memberikan

kepada bank segala perincian mendetail yang terkait dengan barang, sumber dimana

barang dapat dibeli serta semua biaya yang terkait dengan pembelian barang

tersebut. Kepada bank, madharib menyajikan pernyataan-pemyataan finansial yang

disyaratkan menyangkut harga jual yang diharapkan, arus kas, batas laba, yang akan

dikaji oleh bank sebelum diambil keputusan apapun tentang pendanaan, Biasanya

bank akan memberikan dana yang dlperlukan jika telah cukup puas dengan batas

laba yang dijharapkan atas dana yang diberikan.224

Kontrak mudharabah bank syari'ah menentukan jumlah modal yang

digunakan dalam kongsi. Tidak ada dana tunai yang dibelikan kepada mudharib.

Jumlah modal diangsur ke dalam rekening mudharabah yang oleh bank dibuka

untuk tujuan pengelolaan mudharabah. Mudharabah untuk tujuan pembelian barang-

barang tertentu, maka bank sendirilah yang melakukan pembayaran kepada penjual.

Mudharib menjalankan mudharabah dan mengatur pembelian, penyimpanan,

pemasaran, dan penjualan barang. Mudharib harus mematuhi syarat-syarat terinci

dari kontrak dalam kaitannya dengan manajemen kongsi, syarat-syarat yang mana

umumnya ditentukan oleh pihak bank. Kontrak mudharabah umumnya digunakan

untuk tujuan jangka pendek, maka jangka waktunya dengan mudah dapat

diperkirakan dan umumnya ditetapkan oleh bank syari'ah. Karena batas laba dari

dana bank dihitung dengan mempertimbangkan jatuh tempo kontrak, maka sangat

penting bagi bank syari'ah agar mudharabah diklirkan dan modal bank beserta

keuntungaannya diserahkan pada waktu yang telah ditentukan dalam kontrak.

Pembahasan mengenai mudharabah sebagaimana yang dipraktikkan dalam

bank syari'ah menunjukkan bahwa kebanyakan mudharabah digunakan untuk tujuan

jangka pendek dan hasilnya hampir pasti dapat ditentukan. Tidak ada transfer modal

yang nyata kepada mudharib untuk dipakai berdagang secara bebas. Bank secata

mendetail menetapkan bagaimana ia hasus menjual barang. Segala bentuk

pelanggaran terhadap kontrak bisa menjadikan mudharib benanggungiawab

terhadap semua resiko. Bank juga menentukan jangka waktu kontrak. Dalam

pembagian laba rugi, secara teori bank menanggung semua risiko, akan tetapi dalam

praktiknya dikarenakan sifat kontrak mudharabah bank syari'ah dan syarat-syarat

yang ada di dalamnya, kerugian akan jarang terjadi.

Untuk menganalisis suatu permohonan kredit atau pembiayaan pada

umumnya digunakan kriteria 5 C atau The Five C―s, yakni :Character (Sifat),

224

M. Taqi Utsmani, An Introduction to Islamic Financing, (Pakistan : Maktaba

Maariful Quran, 2004), h. 64.

Page 124: IRPAN JAMIL - SPs.pdf - Repository UIN Syarif Hidayatullah ...

112

Capasity (Kemampuan), Capital (Modal), Collateral (Jaminan), Condition of

economy (Kondisi Ekonomi). Kriteria tersebut adalah yang secara umum dilakukan

dalam praktek pemberian kredit oleh perbankan konvensional. Namun dalam dunia

perbankan modern yang variabelnya sangat komplek, maka ternyata dalam realitas

bisnis perbankan syariah adalah bahwa dalam memberikan pembiayaan

mudharabah, bank-bank syariah selaku pemilik modal (shahib al-mal)

mensyaratkan adanya jaminan pula. Dalam perjanjian pembiayaan mudharabah

ditentukan bahwa pelaku usaha (mudharib) diwajibkan memberikan jaminan kepada

pihak perbankan syariah selaku pemilik modal (shahib al-mal) atas dana yang telah

dicairkan dalam membiayai suatu kegiatan bisnis.

Adanya kewajiban mudharib untuk memberikan jaminan kepada shahib al-

mal dalam penjanjian mudharabah tersebut menimbulkan pertanyaan tentang boleh

atau tidaknya atau sah atau tidaknya perjanjian mudharabah dalam dunia perbankan

syariah. Dalam kerjasama mudharabah telah terkandung adanya prinsip

kepercayaan dan kejujuran bagi kedua pihak yang mengadakan perjanjian.

Pembiayaan secara mudharabah yang dilakukan oleh perbankan syariah,

maka perjanjian atau akad pembiayaan merupakan faktor penting dan menjadi dasar

dan pemberian kredit atau pembiayaan kepada debitur atau nasabah. Segala sesuatu

yang berkaitan dengan pemberian pembiayaan secara mudharabah seperti jumlah

pembiayaan, syarat pencairan pembiayaan, pembagian keuntungan (nisbah) dan

sebagainya dari pembiayaan yang akan diberikan oleh bank, dapat dimasukkan

dalam perjanjian kredit atau akad. Ketelitian dan keakuratan pencantuman sesuai

syarat-syarat dan rukun-rukun dalam pembiayaan mudharabah yang tercantum

dalam sebuah akad akan berpengaruh terhadap keabsahan suatu perjanjian tersebut.

Perjanjian atau akad mudharabah yang tidak memenuhi syarat dan rukun

mudharabah adalah batal. Sehingga apabila menjadi sengketa di pengadilan, maka

pengadilanbisamembatalkannya.

Page 125: IRPAN JAMIL - SPs.pdf - Repository UIN Syarif Hidayatullah ...

113

BAB IV

APLIKASI PENGGUNAAN AKAD-AKAD MUSYARAKAH DAN

MUDHARABAH PADA PERBANKAN SYARIAH INDONESIA

A. Aplikasi Penggunaan Akad-akad Musyarakah

Pada era modern ini akad-akad muamalah terus berkembang, produk fiqh

muamalah klasik juga mengalami modifikasi seiring dengan skema mumalah dan

transaksi yang juga terus berkembang. Akad muamalah tidak hanya dilakukan

secara personal, tetapi juga dapat dilakukan oleh lembaga-lembaga keuangan dan

badan hukum.Di Indonesia akad-akad berdasarkan prinsip syariah dapat diterapkan

di lembaga-lembaga keuangan syariah seperti bank syariah, asuransi syariah,

pegadaian syariah, pasar modal syariah, BMT, financing syariah dan lain-lain.

Selain dilembaga keuangan syariah akad-akad muamalah juga dapat diterapkan di

bank-bank konvensional yang belum memiliki bank syariah. Bank konvensioanl

tersebut membuka Unit Usaha Syariah (UUS) untuk melayani transaksi-transaksi

syariah. Demikian pula pada perusahaan-perusahaan, Undang-Undang Perseroan

terbatas No.40 tahun 2007 juga membolehkan perusahaan-perusahaan untuk

membuka layanan syariah, dengan persyaratan yaitu harus ada Dewan Pengawas

Syariah yang ditunjuk oleh MUI untuk menjamin pengawasan pelaksanaan

muamalah berbasis prinsip syariah. Isu ekonomi syariah di Indonesia terus

berkembang, dan hal ini menjadi alternatif bagi masyarakat untuk melakukan

transaksi yang berkeadilan dan sesuai dengan prinsip syariah. Pada kenyataannya

akad-akad yang menggunakan konsep syariah telah diterima dengan baik oleh

sebagian masyarakat muslim di Indonesia. Berkembangnya akad-akad syariah ini

tidak pernah lepas dari kontribusi pengawalan dari para ulama. Dalam konteks ini

perlu dipahami bahwa ketika masyarakat akan bertransaksi dengan akad-akad

syariah harus memahami terlebih dahulu fatwa-fatwa para ulama. Dalam konteks

Indonesia disarankan menggunakan fatwa-fatwa Dewan Syariah Nasional. Fatwa

DSN-MUI lebih cocok digunakan karena sesuai dengan realita yang tejadi di

Indonesia.1

Demikian pula dengan akad-akad musyarakah, akad-akad musyarakah pada

masa klasik terus berkembang. Minimal ada tujuh akad syirkah pada masa klasik

dan berkembang menjadi dua puluh satu akad yang terdiri dari tujuh akad pada masa

klasik, dan empat belas akad pada masa kontemporer. Dalam konteks kerjasama

akad- akad tersebut dapat digunakan secara umum, tetapi dalam konteks bank

syariah kerjasama kerjasama pembiayaan akad musyarakah tidak dapat semua

diterapkan. Paling tidak secara umum ada dua akad yang dapat dterapkan, yaitu satu

akad klasik pada masa klasik yaitu musharakah inan dan satu akad pada masa

kontemporer yaitu musyarakah mutanaqisah. Tidak semua akad dapat diterapkan di

bank syariah karena akad-akad musyarakah tersebut merupakan akad kerjasama

pembiayaan yang berisiko tinggi. Sebenarnya pada masa-masa klasik akad-akad

musyarakah dapat dipergunakan semuanya karena dimensi keimanan, komitmen,

kejujuran dan tanggung jawab mereka dalam bentuk kerjasama kemitraan masih

1 Sujian Suretno, Pelaksanaan Musyarakah di Bank Syariah Mandiri (Nusa Litera

Insani, 2018) h.137.

Page 126: IRPAN JAMIL - SPs.pdf - Repository UIN Syarif Hidayatullah ...

114

cukup kuat, hal yang berbeda dengan kondisi sekarang cukup sulit untuk

memastikan nilai-nilai tersebut masih ada.2

Musyarakah inan pada masa klasik digunakan digunakan untuk membiayai

modal kerja rutin dan project financing. Bentuk-bentuk kerjasama yang dilakukan

juga masih sangat terbatas, karena bank syariah belum memiliki kemampuan yang

mapan untuk membiayai seluruh sektor riil. Usaha-usaha seperti pertanian,

peternakan, perikanan, perkebunan masih sangat sulit untuk diberikan pembiayaan.

Usaha-usaha yang tidak tersentuh oleh bank syariah tersebut untuk yang bersekala

mikro biasanya dibiayai oleh BMT dan koperasi. Bagi bank syariah jenis-jenis usaha

yang berisiko tinggi harus dipelajari dan didalami dengan baik. Untuk itu,

pembiayaan modal kerja, hanya fokus pada modal kerja rutin (usaha-usaha yang

sudah jelas prospek dan keuntungannya). Project Financing yaitu proyek-proyek

besar dan terukur (predictable). Walaupun demikian usaha-usaha seperti ini tetap

masih berpotensi rugi, namun paling tidak dapat diperkirakan, sehingga pengeloaan

risikonya dapat berjalan dengan baik.

Sedangkan musyarakah mutanaqisah adalah akad bagi hasil yang digunakan

untuk pembiayaan kepemilikan aset komersial, seperti ruko, rumah, mesin dan lain-

lain. Produk musyarakah mutanaqisyah relatif berisiko rendah, karena pembiayaan

ini mirip dengan murabahah dan ijarah muntahiya bitamlik. Kenapa hal tersebut

bisa terjadi karena pada akad musyarakah mutanaqisyah banklah yang menjadi

pemilik langsung terhadap barang yang akan dibeli secara bertahap oleh nasabah.

Sehingga karena barang tersebut milik bank syariah maka risiko barang itu hilang

atau pindah kepemilikan kemungkinannya sangat kecil sekali. Sehingga aset tersebut

aman. Karena asetnya aman, maka margin pembiayaannya menjadi rendah. Hal

tersebut yang menjadikan produk musyarakah mutanaqisah mulai diminati oleh

nasabah. Hal itu sesuai dengan prinsip high risk hight return, low risk low return.

Adapun jenis pembiayaan musyarakah perbankan syariah di Indonesia yaitu :

1. Pembiayaan Modal Kerja

Pembiayaan khusus untuk modal kerja, dimana dana dari bank merupakan

bagian dari modal usaha nasabah dan keuntungan dibagi sesuai dengan nisbah yang

disepakati. Mekanisme pengembalian modal lebih fleksibel karena disesuaikan

dengan realisasi usaha yang dijalankan oleh perusahaan. System bagi hasil yang

digunakan dalam akad ini menggunakan metode revenue sharing. Dimana bagi hasil

ditentukan dari persentase pendapatan perusahaan (total omzet) sebelum dikurangi

oleh biaya-biaya yang dikeluarkan dalam usaha tersebut.

2. Pembiayaan Investasi

Pengelolaan dana milik investor oleh bank yang disalurkan dalam bentuk

pembiayaan kepada pelaku usaha, untuk kebutuhan usaha tertentu dimana investor

dana memberi batasan kepada pengelola dana, antara lain mengenai tempat tempat,

cara dan atau obyek investasi yang dapat dibiayai. Sistem pembiayaan pada

perbankan syariah dalam praktiknya dilaksanakan dengan ketat. Hal itu untuk

menghindari terjadinya risiko. Bank syariah bertanggungjawab penuh terhadap

pengelolaan dana nasabah. Jaminan keamanan dana nasabah dengan kerjasama bagi

hasil yang telah disepakati merupakan amanah yang berat yang harus dipikul oleh

2 Suretno, Pelaksanaan Musyarakah di Bank …, h. 139.

Page 127: IRPAN JAMIL - SPs.pdf - Repository UIN Syarif Hidayatullah ...

115

bank syariah. Pada proses dan tahapan pembiayaan yang dilakukan oleh bank

syariah lebih ketat daripada tahapan-tahapan yang dilakukan oleh bank

konvensional. Sebab analisis kemampuan bayar yang dilakukan tidak hanya

terhadap personal tetapi pada usaha yang dibiayai. Para nasabah yang mengajukan

pembiayaan musyarakah dituntut untuk benar-benar komitmen dan

bertanggungjawab terhadap laporan usaha yang telah dijalankan. Usaha-usaha yang

diberikan pembiayaan oleh bank syariah adalah usaha-usaha yang sudah mapan.

Usaha tersebut memiliki cashflow atau portofolio yang jelas, sehingga bisa

menggambarkan proyeksi keuntungan yang jelas. Proyeksi keuntungan usaha

bersifat predictable.

Di satu sisi aturan pembiayaan yang diterapkan oleh bank syariah sangat ketat

dan melalui tahapan-tahapan proses yang panjang, sungguh-sungguh, komitmen dan

bertanggungjawab terhadap usaha yang dijalankan, sehingga hal tersebut akan

menjadi dasar kepercayaan bank syariah untuk bekerjasama dengan nasabah dalam

pembiayaan musyarakah. Hal tersebut dilakukan untuk menjada keadilan dan

ketentraman semua pihak.

Faktor lain yang tidak kalah pentingnya dalam kerjasama pembiayaan adalah

bahwa kedua belah pihak yang bertransaksi mengedepankan prinsip-prinsip syariah,

sehingga usaha-usaha yang dikerjasamakan benar-benar terhindar dari unsur riba,

gharar, dan maisir. Pemahaman fikih terhadap konsep kerjasama musyarakah harus

menjadi acuan semua pihak, baik bank syariah, nasabah, maupun pihak yang

ditunjuk untuk melaksanakan usaha tersebut.3

B. Aplikasi Akad Mudharabah di Lembaga Keuangan Syariah

Al-Mudharabah adalah akad perjanjian antara dua pihak atau lebih untuk

melakukan kerja sama usaha. Satu pihak akan menempatkan modal sebesar 100%

yang disebut dengan shahibul maal, dan pihak lainnya sebagai pengelola usaha,

disebut dengan mudharib. Bagi hasil dari usaha yang dikerjasamakan dihitung

sesuai dengan nisbah yang disepakati antara pihak-pihak yang bekerja sama.

Secara muamalah, pemilik modal (shahibul maal) menyerahkan modalnya

kepada pedagang/pengusaha (mudharib) untuk digunakan dalam aktivitas

perdagangan atau usaha. Keuntungan atas usaha perdagangan yang dilakukan oleh

mudharib itu akan dibagi hasilkan dengan shahibul maal. Pembagian hasil usaha ini

berdasarkan kesepakatan yang telah dituangkan dalam akad.

Mudharib adalah entrepreneur, yang melakukan usaha untuk mendapatkan

keuntungan atau hasil atas usaha yang dilakukan. Shahibul maal sebagai pihak

pemilik modal atau investor, perlu mendapat imbalan atas dana yang diinvestasikan.

Sebaliknya, bila usaha yang dilaksanakan oleh mudharib menderita kerugian, maka

kerugian itu ditangung oleh shahibul maal, selama kerugiannya bukan karena

penyimpangan atau kesalahan yang dilakukan oleh mudharib. Bila mudharib

melakukan kesalahan dalam melaksanakan usaha, maka mudharib diwajibkan untuk

mengganti dana yang diinvestasikan oleh shahibul maal.4

3 Suretno, Pelaksanaan Musyarakah di Bank …, h. 140.

4 Ismail, Perbankan Syariah (Kencana Prenada Media Grup, 2017), h. 84.

Page 128: IRPAN JAMIL - SPs.pdf - Repository UIN Syarif Hidayatullah ...

116

Surat Al-Jumu‘ah: 10, yang artinya: Apabila telah ditunaikan shalat, maka

bertebaranlah dimuka bumi dan carilah karunia Allah SWT dan ingatlah Allah

banyak-banyak supaya kamu beruntung.

Surat Al-Baqarah: 198, yang artinya: Tidak ada dosa bagimu untuk mencari

karunia (rezeki hasil perniagaan) dari Tuhanmu. Maka apabila kamu telah bertolak

dari ‗Arafat, berdzikirlah kepada Allah di Masy‘aril haram. Dan berdzikirlah

(dengan menyebut) Allah sebagaimana yang ditunjukkan-Nya kepadamu; dan

sesungguhnya kamu sebelum itu benar-benar termasuk orang-orang yang sesat.

Hadis Rasulullah SAW: ―Diriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa Abbas bin

Abdul Muthalib jika memberikan dana ke mitra usahanya secara mudharabah ia

mensyaratkan agar dananya tidak dibawa mengarungi lautan, menuruni lembah yang

berbahaya, atau membeli ternak yang berparu-paru basah. Jika menyalahi peraturan

tersebut, maka yang bersangkutan bertanggung jawab atas dana tersebut.

Disampaikanlah syarat-syarat tersebut kepada Rasulullah SAW dan Rasulullah pun

memperbolehkannya.‖ (HR. Thabrani)

Gambar 4.1

Skema Akad Al-Mudharabah

Keterangan:

1. Mudharib dan shahibul maal melaksanakan kerja sama usaha. Bagi hasil

ditetapkan sesuai dengan persentase nisbah yang telah diperjanjikan antara

shahibul maal dan mudharib.

2. Shahibul maal menyerahkan modal 100%, artinya semua usaha akan

dibiayai oleh modal milik shahibul maal.

Page 129: IRPAN JAMIL - SPs.pdf - Repository UIN Syarif Hidayatullah ...

117

3. Mudharib, sebagai pengusaha atas dasar keahliannya, akan mengelola

dana investasi dalam sebuah proyek atau dalam sebuah usaha riil.

4. Pendapatan hasil usaha proyek tersebut akan dibagi sesuai dengan nisbah

yang telah diperjanjikan.

5. Pada saat jatuh tempo perjanjian, maka modal yang telah diinvestasikan

oleh shahibul maal akan dikembalikan semuanya (100%) oleh mudharib

kepada shahibul maal, dan akad mudharabah telah berakhir.5

C. Jenis-jenis Mudharabah pada lembaga Keuangan Syariah

1. Mudharabah Mutlaqah

Mudharabah muthlaqah merupakan akad perjanjian antara dua pihak yaitu

shahibul maal dan mudharib, yaitu shahibul maal menyerahkan sepenuhnya atas

dana yang diinvestasikan kepada mudharib untuk mengelola usahanya sesuai

dengan prinsip syariah. Shahibul maal tidak memberikan batasan jenis usaha, waktu

yang diperlukan, strategi pemasarannya, serta wilayah bisnis yang dilakukan.

Shahibul maal memberikan kewenangan yang sangat besar kepada mudharib untuk

menjalankan aktivitas usahanya, asalkan sesuai dengan prinsip syariah Islam.

Mudharabah muthlaqah adalah akad mudharabah dimana shahibul maal

memberikan kebebasan kepada pengelola dana (mudharib) dalam pengelolaan

investasinya.6 Mudharabah muthlaqah dapat disebut dengan investasi dari pemilik

dana kepada bank syariah, dan bukan merupakan kewajiban atau ekuitas bank

syariah.

Bank syariah tidak mempunyai kewajiban untuk mengembalikannya apabila

terjadi kerugian atas pengelolaan dana yang bukan disebabkan kelalaian atau

kesalahan bank sebagai mudharib. Namun sebaliknya, dalam hal bank syariah

(mudharib) melakukan kesalahan atau kelalaian dalam pengelolaan dana investor

(shahibul maal), maka bank syariah wajib mengganti semua dana investasi

mudharabah muthlaqah. Jenis investasi mudharabah muthlaqah dalam aplikasi

perbankan syariah dapat ditawarkan dalam produk tabungan dan deposito.7

2. Mudharabah muqayyadah

Mudharabah muqayyadah merupakan akad kerjasama usaha antara dua pihak

yang mana pihak pertama sebagai pemilik dana (shahibul maal) dan pihak kedua

sebagai pengelola dana (mudharib). Shahibul maal menginvestasikan dananya

kepada mudharib, dan memberi batasan atas penggunaan dana yang

diinvestasikannya. Batasannya antara lain tentang:

1) Tempat dan cara berinvestasi

2) Jenis investasi

3) Objek investasi

4) Jangka waktu

3. Mudharabah Muqayyadah on Balance Sheet

5 Ascarya, Akad dan Produk bank Syariah ( Raja Grafindo, Jakarta), h. 85.

6Pedoman Akuntansi Perbankan Syariah di Indonesia, (Ikatan Akuntan

Indonesia,2006), h.102. 7 Ismail, Perbankan Syariah…, h. 86.

Page 130: IRPAN JAMIL - SPs.pdf - Repository UIN Syarif Hidayatullah ...

118

Mudharabah muqayyadah on balance sheet merupakan bentuk akad

mudharabah muqayyadah yaitu mudharib menanggung risiko atas kerugian dana

yang diinvestasikan oleh shahibul maal. Dalam hal ini, shahibul maal memberikan

batasan secara umum, misalnya batasan tentang jenis usaha, jangka waktu

pembiayaannya, dan setor usahanya.

Misalnya, nasabah menempatkan dananya dalam bentuk deposito

mudharabah muqayyadah on balance sheet sebesar Rp. 1.000.000.000,- untuk

proyek pembangunan jalan tol, dalam jangka waktu 10 tahun. Maka batasan yang

diberikan oleh nasabah (shahibul maal) yaitu terkait dengan proyek usahanya dan

jangka waktunya. Bank syariah akan melakukan investasi atas dana Rp.

1.000.000.000,- khusus untuk investasi proyek jalan tol dalam jangka waktu tidak

boleh lebih dari 10 tahun. Bagi hasil yang akan diperoleh oleh shahibul maal ,

berasal dari pendapatan yang diperoleh mudharib. Bagi hasil ini harus dipisahkan

dari bagi hasil atas transaksi mudharabah muthlaqah.8

4. Mudharabah Muqayyadah off Balance Sheet

Mudharabah muqayyadah off balance sheet merupakan bentuk akad

mudharabah muqayyadah yaitu pihak shahibul maal memberikan batasan yang

jelas, baik batasan tentang proyek yang diperbolehkan, jangka waktu, serta pihak

pelaksanaan pekerjaan. Mudharib-nya telah ditetapkan oleh shahibul maal. Bank

syariah bertindak sebagai pihak yang mempertemukan antara shahibul maal dan

mudharib. Bagi hasil yang akan dibagi antara shahibul maal dan mudharib berasal

dari proyek khusus. Bank syariah, bertindak sebagai agen yang mempertemukan

kedua pihak, dan akan memperoleh fee. Dalam laporan keuangan, mudharabah

muqayyadah off balance sheet akan dicatat dalam catatan atas laporan keuangan. 9

5. Tabungan Mudharabah

Tabungan mudharabah merupakan produk penghimpunan dana oleh bank

syariah yang menggunakan akad mudharabah muthlaqah. Bank syariah bertindak

sebagai mudharib dan nasabah sebagai shahibul maal. Nasabah menyerahkan

pengelolaan dana tabungan mudharabah secara mutlak kepada mudharib (bank

syariah), tidak ada batasan baik dilihat dari jenis investasi, jangka waktu, maupun

sektor usaha, dan tidak boleh bertentangan dengan prinsip syariah Islam.

Bank syariah akan membayar bagi hasil kepada nasabah setiap akhir bulan,

sebesar sesuai dengan nisbah yang telah diperjanjikan pada saat pembukaan

rekening tabungan mudharabah. Bagi hasil yang akan diterima nasabah akan selalu

berubah pada akhir bulan. Perubahan bagi hasil ini disebabkan karena adanya

fluktuasi pendapatan bank syariah dan fluktuasi dana tabungan nasabah. Bagi hasil

tabungan mudharabah sangat dipengaruhi oleh antara lain:

1) Pendapatan bank syariah

2) Total investasi mudharabah muthlaqah

3) Total investasi produk tabungan mudharabah

4) Rata-rata saldo tabungan mudharabah

5) Nisbah tabungan mudharabah yang ditetapkan sesuai dengan perjanjian

6) Merode perhitungan bagi hasil yang diberlakukan

8 Ismail, Perbankan Syariah…, h. 87 9 Ascarya, Akad dan Produk Bank Syariah…, h. 87

Page 131: IRPAN JAMIL - SPs.pdf - Repository UIN Syarif Hidayatullah ...

119

7) Total pembiayaan bank syariah

Gambar 4.2

Skema Tabungan Mudharabah

Keterangan:

1. Nasabah investor menempatkan dananya dalam bentuk tabungan

mudharabah

2. Bank syariah akan menyalurkan seluruh dana nasabah penabung dalam

bentuk pembiayaan

3. Bank syariah memperoleh pendapatan atas pembiayaan yang telah

disalurkan

4. Bank syariah akan menghitung bagi hasil atas dasar revenue sharing,

yaitu oembagian bagi hasil atas dasar pendapatan sebelum dikurangi

biaya. Jumlahnya disesuaikan dengan saldo rata-rata tabungan dalam

bulan laporan.

5. Pada akhir bulan, nasabah penabung akan mendapatkanbagi hasil dari

bank syariah sesuai dengan nisbah yang telah diperjanjikan

6. Pada saat nasabah memerlukan dana, maka dana nasabah akan

dikembalikan sesuai dengan jumlah penarikannya.10

6. Deposito Mudharabah

Deposito mudharabah merupakan dana investasi yang ditempatkan oleh

nasabah yang tidak bertentangan dengan prinsip syariah dan penarikannya hanya

dapat dilakukan pada waktu tertentu, sesuai dengan akad perjanjian yang dilakukan

10

Ismail, Perbankan Syariah …, h. 92.

Page 132: IRPAN JAMIL - SPs.pdf - Repository UIN Syarif Hidayatullah ...

120

antara bank dan nasabah investor. Deposito, mudah diprediksi ketersediaan dananya

karena terdapat jangka waktu dalam penempatannya. Sifat deposito dan

penarikannya hanya dapat dilakukan sesuai jangka waktunya, sehingga umumnya

balas jasa yang merupakan nisbah bagi hasil yang diberikan oleh bank untuk

deposito lebih tinggi disbanding tabungan mudharabah.

Deposito, menurut Undang-Undang No. 21 Tahun 2008 adalah investasi dana

berdasarkan akad mudharabah atau akad lain yang tidak bertentangan dengan

prinsip syariah yang penarikannya hanya dapat dilakukan pada waktu tertentu

berdasarkan akad antara nasabah penyimpan dan bank syariah dan/atau UUS.

Deposito merupakan dana yang dapat diambil sesuai dengan perjanjian berdasarkan

jangka waktu yang disepakati. Penarikan deposito hanya dapat dilakukan pada

waktu tertentu, misalnya deposito diperjanjikan jangka waktunya satu bulan, maka

deposito dapat dicairkan setelah satu bulan.11

Contoh, deposito ditempatkan pada 20 Juni 2019, dengan jangka waktu

penempatannya satu bulan, maka jatuh temponya adalah tanggal 20 Juli 2019, satu

bulan setelah deposito ditempatkan. Nasabah pemilik deposito baru dapat

mencairkan dananya pada tanggal 20 Juli 2019, yaitu satu bulan setelah penempatan.

Jangka waktu deposito berjangka ini bervariasi antara lain:

Deposito Jangka waktu 1 bulan

Deposito Jangka waktu 3 bulan

Deposito Jangka waktu 6 bulan

Deposito Jangka waktu 12 bulan

Deposito Jangka waktu 24 bulan

Perbedaan jangka waktu deposito berjangka disamping merupakan perbedaan

masa penyimpanan, juga akan menimbulkan perbedaan balas jasa berupa besarnya

persentase nisbah bagi hasil. Pada umumnya, semakin lama jangka waktu deposito

berjangka akan semakin tinggi persentase nisbah bagi hasil yang diberikan oleh

bank syariah.

Deposito berjangka diterbitkan atas nama, baik atas nama perorangan maupun

atas nama badan hukum. Bukti kepemilikan deposito berjangka yang diberikan oleh

bank kepada pemegang rekening deposito berjangka berupa bilyet deposito.

Didalam bilyet deposito tertera nama pemiliknya, yang merupakan pemegang hak

atas deposito berjangka, yaitu nama perorangan ataupun badan hukum. Pihak yang

dapat mencairkan deposito berjangka hanya pihak yang namanya tercantum didalam

bilyet deposito berjangka. Pemilik deposito berjangka adalah pemegang hak yang

namanya tertera dalam bilyet deposito berjangka. Deposito berjangka tidak dapat

dipindahtangankan atau diperjualbelikan.12

Pada saat pembukaan deposito berjangka, dalam formulir isian nasabah diberi

pilihan, yaitu ARO dan non ARO. ARO (automated roll over), artinya deposito

berjangka tersebut apabila telah jatuh tempo dapat diperpanjang secara otomatis oleh

bank tanpa harus konfirmasi kepada pemegang deposito berjangka. Nasabah tidak

perlu datang ke kantor bank untuk memperpanjang jangka waktu depositonya.

11

Ismail, Perbankan Syariah …, h. 93. 12 Ascaryal, Akad dan Produk Perbankan Syariah …, h. 103.

Page 133: IRPAN JAMIL - SPs.pdf - Repository UIN Syarif Hidayatullah ...

121

Deposito berjangka yang ditandai dengan non ARO artinya deposito berjangka yang

tidak dapat diperpanjang secara otomatis, sehingga harus dicairkan pada saat jatuh

tempo. Pada saat jatuh tempo, deposito berjangka itu dicairkan, dan dalam hal

pemegang rekening deposito tidak ke kantor, maka bank dapat memindahkan, dana

yang berasal dari deposito berjangka itu ke rekening lainnya, misalnya tabungan.

Bila nasabah deposito berjangka tidak memiliki rekening tabungan atau rekening

giro, maka dananya akan disimpan dalam bentuk titipan atau kewajiban segera.

Bank memberikan imbalan atas penempatan deposito berjangka berupa bagi

Hasil yang besarnya ditentukan pada saat pembukaan sesuai dengan nisbah yang

telah diperjanjikan. Pembayaran bagi hasil deposito berjangka dilakukan pada

tanggal valuta, yaitu tanggal pada saat deposito, berjangka dibuka. Pembayaran bagi

hasil deposito dapat dilalukan secara tunai, dipindahbukukan ke rekening lain yang

dimiliki oleh nasabah seperti giro atau tabungan, atau langsung dikirimkan ke bank

lain atau menambah nominal deposito berjangka.

Untuk memudahkan pemahaman, dapat dilihat pada Skema 5.3 Deposito

Mudharabah berikut ini.

Gambar 4.3

Skema Deposito Mudharabah

Keterangan:

1. Nasabah investor menempatkan dananya dalam bentuk deposito

mudharabah

2. Bank syariah menyalurkan dana nasabah investor dalam bentuk pembiayaan

3. Bank syariah memperoleh pendapatan atas penempatan dananya dalam

bentuk pembiayaan

4. Bank syariah akan menghitung bagi hasil atas dasar revenue sharing, yaitu

pembagian bagi hasil atas dasar pendapatan sebelum dikurangi biaya

5. Pada tanggal valuta, yaitu tanggal penempatan deposito, nasaah akan

menempatkan bagi hasil sesuai dengan nisbah yang telah diperjanjikan

Page 134: IRPAN JAMIL - SPs.pdf - Repository UIN Syarif Hidayatullah ...

122

6. Pada saat jatuh tempo, maka dana nasabah akan dikembalikan seluruhnya.13

Selanjutnya beberapa bank syariah menerapkan penalti, penalti merupakan

denda yang dibebankan kepada nasabah pemegang rekening deposito mudharabah

apabila nasabah mencairkan depositonya sebelum jatuh tempo. Penalti ini

dibebankan karena bank telah mengestimasikan penggunaan dana tersebut, sehingga

pencairan deposito berjangka sebelum jatuh tempo dapat mengganggu likuiditas

bank. Bank perlu membebankan penalti (denda) kepada setiap nasabah deposito

berjangka yang menarik depositonya sebelum jatuh tempo. Penalty tidak boleh

diakui sebagai pendapatan operasional bank syariah, akan tetapi digunakan untuk

dana kebajikan, yang dimanfaatkan untuk membantu pihak-pihak yang

membutuhkan.

Penalti tidak dibebankan kepada setiap nasabah yang menarik depositonya

sebelum jatuh tempo. Ada nasabah tertentu yang tidak dibebani penalti ketika

menarik dananya yang berasal dari deposito berjangka yang belum jatuh tempo,

misalnya nasabah prima (prime customer), tidak dibebani penalti. Hal ini

dimaksudkan untuk menarik nasabah dengan memberikan pelayanan prima kepada

nasabah tertentu yang loyal kepada bank, yaitu bebas biaya penalti.14

Selanjutnya lembaga keuangan syariah secara umum menerapkan konsep bagi

hasil, bagi adalah pembagian atas hasil usaha yang telah dilakukan oleh pihak-pihak

yang melakukan perjanjian yaitu pihak nasabah dan pihak bank syariah. Dalam hal

terdapat dua pihak yang melakukan perjanjian usaha, maka hasil atas usaha yang

dilakukan oleh kedua pihak atau salah satu pihak, akan dibagi sesuai dengan porsi

masing-masing pihak yag melakukan akad perjanjian. Pembagian hasil usaha dalam

perbankan syariah ditetapkan menggunakan nisbah. Nisbah yaitu persentase yang

disetujui oleh kedua belah pihak dalam menentukan bagi hasil atas usaha yang

dikerjasamakan. Dalam konsep bagi hasil terdapat faktor-faktor yang

mempengaruhi bagi hasil, faktor-faktor yang mempengaruhi bagi yaitu :

a. Investment Rate

Merupakan persentase dana yang diinvestasikan kembali oleh bank syariah

baik kedalam pembiayaan maupun penyaluran dana lainnya. Kebijakan ini diambil

karena adanya ketentuan dari Bank Indonesia, bahwa sejumlah persentase tertentu

atas dana yang dihimpun dari masyarakat, tidak boleh diinvestasikan, akan tetapi

harus ditempatkan dalam giro wajib minimum untuk menjaga likuiditas bank

syariah. Giro wajib minimum (GWM) merupakan dana yang wajib dicadangkan

oleh setiap bank untuk mendukung ikuiditas bank.

Misalnya, giro wajib minimum sebesar 8%, maka total dana yang dapat

diinvestasikan oleh bank syariah maksimum sebesar 92%. Hal ini akan

memengaruhi terhadap bagi hasil yang diterima oleh nasabah investor.15

b. Total dana investasi

13

Ismail, Perbankan Syariah…, h. 93. 14

Naf‘an, Pembiayaan Musyarakah dan Mudharabah…, h. 93. 15

Ismail, Akuntansi Bank, Akuntansi Bank : Teori dan Aplikasi dalam Rupiah,

Jakarta : Prenada Media Grup, 2016), h. 102.

Page 135: IRPAN JAMIL - SPs.pdf - Repository UIN Syarif Hidayatullah ...

123

Total dana investasi yang diterima oleh bank syariah akan mempengaruhi bagi

hasil yang diterima oleh nasabah investor. Total dana yang berasal dari investasi

mudharabah dapat dihitung dengan menggunakan saldo minimal bulanan atau saldo

harian. Saldo minimal bulanan merupakan saldo minimal yang pernah mengendap

dalam satu bulan. Saldo minimal akan digunakan sebagai dasar perhitungan bagi

hasil. Saldo harian merupakan saldo rata-rata pengendapan yang dihitung secara

harian, kemudian nominal saldo harian digunakan sebagai dasar penghiungan bagi

hasil.

c. Jenis Dana

Investasi mudharabah dalam penghimpunan dana, dapat ditawarkan dalam

beberapa jenis, yaitu; tabungan mudharabah, deposito mudharabah, dan sertifikat

investasi mudharabah antar bank syariah (SIMA). Setiap jenis dana investasi

memiliki karakteristik yang berbeda-beda sehingga akan berpengaruh pada besarnya

bagi hasil.

d. Nisbah

Nisbah merupakan persentase tertentu yang disebutkan dalam akad kerjasama

usaha (mudharabah dan musyarakah) yang telah disepakati antara bank dan nasabah

investor. Karakteristik nisbah akan

berbeda-beda dilihat dari beberapa segi antara lain:

1) Persentase nisbah antar bank syariah akan berbeda, hal ini tergantung

pada kebijakan masing-masing bank syariah

2) Persentase nisbah akan berbeda sesuai jenis dana yang dihimpun.

Misalnya, nisbah antara tabungan dan deposito akan berbeda

3) Jangka waktu investasi mudharabah akan berpengaruh pada besarnya

persentase nisbah bagi hasil. Misalnya nisbah untuk deposito berjangka

dengan jangka waktu satu bulan akan berbeda dengan deposito berjangka

dengan jangka waktu tiga bulan dan seterusnya.16

e. Metode Penghitungan Bagi Hasil

Bagi hasil akan berbeda tergantung pada dasar perhitungan bagi hasil, yaitu

bagi hasil yang dihitung dengan menggunakan konsep revenue sharing dan bagi

hasil dengan menggnakan prfit/loss sharing. Bagi hasil yang menggunakan revenue

sharing, dihitung dari pendapatan kotor sebelum dikurangi dengan biaya. Bagi hasil

dengan profit/loss sharing dihitung berdasarkan persentase nisbah dikalikan dengan

laba usaha sebelum pajak.

f. Kebijakan Akuntansi Bagi Hasil

Kebijakan akuntansi akan berpengaruh pada besarnya bagi hasil. Beberapa

kebijakan akuntansi yang akan memengaruhi bagi hasil antara lain penyusutan.

Penyusutan akan berpengaruh pada laba usaha bank. Bila bagi hasil menggunakan

metode profit/loss sharing, maka penyusutan akan berpengaruh pada bagi hasil,

akan tetapi bila menggunakan revenue sharing, maka penyusutan tidak

mempengaruhi bagi hasil.

g. Perhitungan Bagi Hasil

1) Bagi hasil menggunakan revenue sharing.

16

Ismail, Perbankan Syariah …, h. 95.

Page 136: IRPAN JAMIL - SPs.pdf - Repository UIN Syarif Hidayatullah ...

124

Dasar perhitungan bagi hasil yang menggunakan revenue sharing adalah

perhitungan bagi hasil yang didasarkan atas dasar penjualan dan/atau pendapatan

kotor atas usaha sebelum dikurangi dengan biaya. Bagi hasil dalam revenue sharing

dihitung dengan mengalikan nisbah yang telah disetujui dengan pendapatan bruto.

Contoh berikut untuk mempermudah penjelasan. Nisbah yang telah ditetapkan

adalah 10% untuk bank dan 90% untuk nasabah. Dalam hal bank sebagai mudharib

dan nasabah sebagai shahibul maal, bila bank syariah memperoleh pendapatan Rp.

10.000.000,- maka bagi hasil yang diterima oleh bank adalah Rp 10% x Rp.

10.000.000,- = Rp. 1.000.000,- dan bagi hasil yang diterima oleh nasabah sebesar

Rp. 9.000.000,-.

Pada umumnya bagi hasil terhadap investasi dana dari masyarakat

menggunakan revenue sharing.17

2) Bagi hasil dengan menggunakan profit/lost saring

Dasar perhiutungan bagi hasil dengan menggunakan profit/loss sharing

merupakan bagi hasil yang dihitung dari laba/rugi usaha. Kedua pihak, bank syariah

maupun nasabah akan memperoleh keuntungan atas hasil usaha mudharib dan ikut

menanggung kerugian bila usahanya menanggung kerugian. Dalam contoh tersebut,

misalnya total biaya Rp. 9.000.000,- maka:

Bagi hasil yang diterima oleh nasabah adalah Rp. 900.000,- (90%

x (Rp. 10.000.000,- - Rp. 9.000.000,-.))

Bagi hasil untuk bank syariah sebesar Rp. 100.000,- (10% x

(10.000.000,- - Rp. 9.000.000,-).

3) Tahap Penghitungan bagi hasil dana pihak ketiga

Beberapa tahap yang diperlukan untuk menghitung bagi hasil antara lain:

a. Metode perhitungan yang digunakan adalah revenue sharing, yaitu

dasar perhitungannya berasal dari pendapatan sebelum dikurangi

dengan beban atau biaya

b. Memilah antara dana yang berasal dari investasi mudharabah

dengan dana selain investasi mudharabah

c. Menjumlahkan semua dana yang berasal dari investasi mudharabah

baik tabungan mudharabah muthlaqah dan deoposito mudharabah

muthlaqah.

d. Menghitung rata-rata pembiayaan pada bulan laporan. Rata-rata

pembiayaan berasal dari semua pembiayaan dengan berbagai jenis

akad, baik akad kerja sama usaha, akad jual beli, dan akad sewa

e. Menjumlahkan pendapatan pada bulan laporan yang terdiri dari

pendapatan bagi hasil, margin keuntungan, dan pendapatan sewa

f. Mengurangkan total investasi mudharabah sebesar persentase

tertentu sesuai dengan ketentuan Bank Indonesia, yaitu persentase

tertentu dari dana nasabah investor yang tidak dapat diinvestasikan

oleh bank, karena dgunakan sebagai cadangan wajib minimum

g. Menentukan pendapatan yang akan dibagi hasil antara nasabah

investor dan bank syariah, disebut dengan income distribution.

17 Ismail, Perbankan Syariah …, h. 97.

Page 137: IRPAN JAMIL - SPs.pdf - Repository UIN Syarif Hidayatullah ...

125

Income distribution (ID) berasal dari total dana investasi

mudharabah muthlaqah dikurangi dengan cadangan wajib minimum

dibagi dengan rata-rata pembiayaan selanjutnya dikaliakn dengan

total pendapatan.

Formula

investasi Mudharabah – Cadangan Primer

ID = -------------------------------------------------------- x Pendapatan

Rata-rata pembiayaan

h. Bagi hasil untuk masing-masing investasi mudharabah dihitung

dengan mengalikan income distribution dengan nisbah masing-

masing dana investasi, kemudian dikalikan dengan perbandingan

antara investasi mudharabah tertentu dengan total dana investasi

mudharabah. Misalnya, bagi hasil tabungan, dapat dihitung dengan

menggunakan formula seperti dibawah ini.

Tabungan

Bagi hasil tabungan = ID x Nisbah Tabungan x -----------------------

Investasi mudharabah

i. Penghitungan Bagi hasil

Setelah mengetahui tahapan dalam menghitung bagi hasil, maka pembahasan

berikutnya yaitu tentang cara menghitung bagi hasil atas dana investasi

mudharabah. dibawah ini dibuat ilustrasi kasus perhitungan bagi hasil untuk dana

investasi mudharabah muthlaqah.18

Didalam counter bank syariah tertulis informasi tentang nisbah sebagai

berikut:

Tabel 4.1

Nisbah Investasi Mudharabah

Jenis Investasi Mudharabah Nisbah

Nasabah Bank

a. Tabungan mudharabah

b. Deposito mudharabah Muthlaqah

- Jangka waktu 1 bulan

- Jangka waktu 3 bulan

- Jangka waktu 6 bulan

- Jangka waktu 12 bulan

55%

60%

63%

65%

68%

45%

40%

37%

35%

32%

Informasi lainnya:

Saldo rata-rata giro-wadiah Rp. 10.000.000.000,-

Saldo rata-rata tabungan wadiah Rp. 5.000.000.000,-

Saldo rata-rata tabungan mudharabah Rp. 15.000.000.000,-

18 Ismail, Perbankan Syariah …, h. 97.

Page 138: IRPAN JAMIL - SPs.pdf - Repository UIN Syarif Hidayatullah ...

126

Saldo deposito berjangka:

a. Deposito jangka waktu 1 bulan Rp. 20.000.000.000,-

b. Deposito jangka waktu 3 bulan Rp. 25.000.000.000,-

c. Deposito jangka waktu 6 bulan Rp. 15.000.000.000,-

d. Deposito jangka waktu 12 bulan Rp. 10.000.000.000,-

Rata-rata pembiayaan pada bulan April 2010 adalah sebesar Rp.

100.000.000.000,-. Pendapatan:

a. Bagi hasil Rp. 500.000.000,-

b. Margin keuntugan Rp. 300.000.000,-

c. Pedapata sewa ijarah Rp. 200.000.000,-

Giro wajib minimum 5%

Dari semua informasi tersebut, maka dapat dihitung bagi hasil untuk masing-

masing investasi mudharabah dengan tahapan sebagai berikut:

a. Jumlah investasi mudharabah

Tabungan mudharabah Rp. 15.000.000.000,-

Deposito mudharabah Rp. 70.000.000.000,-

Total investasi mudharabah Rp. 85.000.000.000,-

b. Jumlah pendapatan Rp. 1.000.000.000,-

c. Menghitung jumlah pendapatan yang akan dibagihasilkan antara bank dan

nasabah, yaitu income distribution sebagai berikut:

ID = Investasi mudharabah – GWM (inv. Mudharabah) x pendapatan

Total penyaluran dana

= Rp. 85.000.000.000 – 5% (Rp.85.000.000.000) x Rp.1.000.000.000

Rp. 100.000.000.000

= Rp. 807.500.000,-

Dari tabel di bawah ini dapat dijelaskan sebagai berikut:

a. Total pendapatan bank syariah sebelum diberikannya bagi hasil adalah Rp.

1.000.000.000,-

b. Pendapatan yang akan dibagihasilkan antara bank dan nasabah adalah

sebesar Rp. 807.500.000,-

c. Bagi hasil untuk tabungan mudharabah adalah berasal dari saldo rata-rata

tabungan dibagi dengan investasi mudharabah dikalikan dengan nisbah bagi

hasil tabungan mudharabah kemudian dikalikan dengan pendapatan yang

dibagihasilkan (ID), sama dengan Rp. 78.375.000,- dengan perhitungan

sebagai berikut: Rp. 15.000.000.000,- / Rp. 85.000.000.000,- x 55% x Rp.

807.5000.000,- = Rp. 78.375.000,-

d. Bagi hasil untuk deposito jangka waktu 1 bulan, dengan rumus sebagai

berikut:

Rp. 20.000.000.000,- / Rp. 85.000.000.000,- x 60% x Rp. 807.500.000,- =

Rp. 76.000.000,-

Page 139: IRPAN JAMIL - SPs.pdf - Repository UIN Syarif Hidayatullah ...

127

Bagi hasil untuk deposito mudharabah jangka waktu 3 bulan, 6 bulan, dan

12 bulan, dapat dihitung seperti pada perhitungan bagi hasil pada deposito

mudharabah dengan jangka waktu 1 bulan.19

e. Pembayaran Bagi Hasil

Pembayaran bagi hasil akan diberikan oleh bank syariah sesuai dengan jenis

investasi mudharabah. Bagi hasil untuk tabungan mudharabah akan dibayarkan oleh

bank syariah setiap akhir bulan. Dasar perhitungannya yaitu berasal dari total

investasi mudharabah, rata-rata pengendapan saldo tabungan mudharabah, rata-rata

pembiayaan, dan pendapatan riil pada bulan laporan.

Bagi hasil untuk investasi mudharabah yang berasal dari deposito dibayarkan

pada tanggal valuta, tanggal pada saat deposito ditempatkan. Bagi hasil untuk

deposito mudharabah, dilakukan setiap bulan, meskipun jangka waktu deposito

mudharabah adalah 3 bulan, 6 bulan, 12 bulan, maupun 24 bulan. Dasar

perhitungannya adalah data keuangan pada bulan laporan. Misalnya deposito

berjangka dengan jangka waktu 3 bulan yang ditempatkan pada tanggal 11 Februari,

maka pembayaran bagi hasil dimulai pada tanggal 11 Maret. Dasar perhitungannya

adalah laporan keuangan per 28 Februari. 20

D. Standar Produk Musyarakah pada Perbankan Syariah di Indonesia

1. Standar Musyarakah

Musyarakah pada literatur fiqh klasik dan kontemporer sangat berbeda.

Musyarakah pada literatur fiqh klasik merupakan bentuk kerjasama percampuran

modal yang dilakukan oleh dua orang atau lebih dengan memenuhi syarat dan

rukunnya. Penerapan musyarakah pada prinsipnya cenderung lebih mudah dan

praktis, karena dapat dilakukan secara personal. Akad musyarakah pada masa klasik

adalah benar-benar akad kerjasama berbasis kemitraan dengan prinsip utamanya

yaitu bagi untung dan bagi rugi, serta bukan sama sekali akad pinjaman modal yang

identik dengan utang-piutang.21

Sehingga apabila terjadi kerugian pada suatu usaha,

maka pengelola usaha tidak menanggung beban utang modal yang harus

dikembalikan kepada pihak lain. Bahkan jika terjadi kebangkrutan, tidak ada dari

satu pihak yang menjamin. Para sharik merupakan mitra aktif yang saling bahu

membahu dalam melaksanakan dan mensukseskan kegiatan usaha. Partisipasi kedua

belah pihak sangat menguatkan hubungan kemitraan mereka. Pada masa klasik

kerjasama investasi musyarakah tidak dijalankan melalui lembaga intermediasi

keuangan seperti bank syariah pada saat ini. Sehingga jarang terjadi silang sengketa

di antara para sharik. 22

Musyarakah pada masa kontemporer sangat complicated, karena dilakukan

melalui lembaga intermediasi keuangan (bank syariah). Tidak banyak yang

menyadari bahwa bank syariah sebagai lembaga intermediasi keuangan berfungsi

untuk menemukan pihak yang surplus dana dengan pihak yang kekurangan atau

19

Ismail, Perbankan Syariah … h. 97 20

Ismail, Perbankan Syariah…, h. 99. 21

Suretno, Pelaksanaan Musyarakah di Bank …, h. 143. 22

Suretno, Pelaksanaan Musyarakah di Bank …, h. 145.

Page 140: IRPAN JAMIL - SPs.pdf - Repository UIN Syarif Hidayatullah ...

128

membutuhkan dana dengan berbagai aturan yang sangat ketat dan penuh dengan

kehati-hatian. Hal tersebut dipandang wajar karena bank syariah menghimpun dan

mengelola dana dari pihak ketiga dalam jumlah yang cukup besar. Dalam kondisi

seperti ini diperlukan pengelolaan yang cermat dan hati-hati sehingga terjamin

aman, dapat memberikan keuntungan bagi nasabah investasi dan deposan, bank

syariah, harus memberikan manfaat dalam membantu dan menumbuhkan ekonomi

skala mikro bagi nasabah penerima manfaat pembiayaan. Dalam sistem perbankan

syariah, dana pihak ketiga tidak boleh berkurang sedikitpun, bahkan harus

bertambah sesuai konsep investasi pada umumnya kecuali dana nasabah yang

merupakan titipan murni. Jika dana nasabah yang berkurang, maka tidak akan ada

nasabah yang mau menitipkan uangnya ke bank syariah. Namun demikian setiap

transaksi yang dilakukan di bank syariah harus terjamin kehalalannya dan bebas dari

unsur riba , gharar dan maisir.23

Musyarakah merupakan salah satu jenis kontrak yang diterapkan oleh

perbankan syariah. Musyarakah diterapkan melalui mekanisme pembagian

keuntungan serta kerugian (profit loss sharing) diantara para pihak (mitra/syarik)

melalui metode profit maupun revenue sharing. Porsi pembiayaan dengan akad

Musyarakah saat ini hanya berkontribusi sebesar 22% dari total pembiayaan

Perbankan Syariah Indonesia sementara Murabahah sekitar 60%. Konsep profit loss

sharing dalam akad Musyarakah merupakan ciri khusus sebagai pembeda antara

aktivitas perbankan syariah dengan perbankan konvensional. Tanggung renteng atas

keuntungan dan kerugian yang dialami antara Bank dan Nasabah menjadi kriteria

khusus yang dapat menarik jumlah Nasabah lebih banyak jika Bank mampu

mengelola risiko dengan baik.24

Akad Musyarakah dapat diaplikasikan dan dikembangkan dalam berbagai

bentuk produk pembiayaan baik yang bersifat produktif maupun konsumtif untuk

tujuan modal kerja usaha, investasi maupun konsumsi. Dalam rangka mewujudkan

pelaksanaan setiap aktivitas perbankan syariah yang sesuai dengan prinsip dan

standar syariah serta meminimalisir risiko atas produk Musyarakah maka diperlukan

suatu kerangka standar operasional produk yang komprehensif dan konsisten sejalan

dengan prinsip syariah.

2. Tujuan

Standar ini bertujuan untuk memberikan pedoman standar minimum bagi

Bank Unit Syariah (BUS), Unit Usaha Syariah (UUS) dan Bank Pembiayaan Rakyat

Syariah (BPRS) di Indonesia dalam penerapan dan pengembangan produk

pembiayaan Musyarakah. Standar ini diharapkan dapat mengurangi risiko atas

pembiayaan yang dilakukan oleh BUS, UUS maupun BPRS dalam menerapkan

produk berakad musyarakah, mengingat risiko pembiayaan ini tergolong tinggi.

Kehadiran pedoman standar terkait produk musyarakah ini akan memberikan

kemudahan bagi otoritas dalam proses perizinan dan pengawasan produk, membantu

memudahkan pelaksanaan dan pengembangan produk oleh pelaku industri serta

23

Suretno, Pelaksanaan Musyarakah di Bank …, h. 146. 24

Departemen Perbankan Syariah Otoritas Jasa Keuangan (DPBS-OJK), Standar

Produk Musyarakah dan Musyarakah Mutanaqisyah, (Departemen Perbankan Syariah,

2016) h. 14.

Page 141: IRPAN JAMIL - SPs.pdf - Repository UIN Syarif Hidayatullah ...

129

memberikan kepastian hukum dan transparansi produk yang mendukung terciptanya

market conduct yang dapat memenuhi prinsip perlindungan konsumen dalam

layanan produk jasa perbankan syariah.25

Tabel 4.2

Landasan Hukum

NO STANDAR TENTANG

1 UU No. 21 Tahun

2011

Otorits Jasa Keuangan

2 UU No. 21 Tahun

2008

Perbankan Syariah

3 PBI No. 7/6/PBI/2005 Transparansi Informasi Produk Perbankan Bank

dan Penggunaan Data Pribadi Nasabah Beserta

Perubahannya

4 PBI No.

9/19/PBI/2007

Pelaksanaan Prinsip Syariah dalam Kegiatan

Penghimpun Dana dan Penyaluran Dana Serta

Pelayanan Jasa Bank Syariah

5 PBI No.

10/16/PBI/2008

Perubahan atas Peraturan Bank Indonseia Nomor

9/19/PBI/2007 Tentang Pelaksanaan Prinsip

Syariah dalam Kegiatan Penghimpunan Dana dan

Penyaluran Dana serta Pelayanan Jasa Bank

Syariah dan Unit Usaha Syariah

6 PBI No.

10/17/PBI/2008

Produk Bank Syaiah dan Unit Usaha Syariah

7 PBI No.

13/13/PBI/2011

Perubahan atas Peraturan Bank Indonesia No.

8/21/PBI/2006 jo No. 9/9/PBI/2007 jo No.

10/24/PBI/2008 Tentang Penilian Kualitas Aktiva

Ban Umum yang Melaksanakan Kegiatan Usaha

Berdasarkan Prinsip Syariah

8 PBI No.

13/23/PBI/2011

Penilaian Kualitas Aktiva bagi Bank Umum

Syariah dan Unit Usaha Syariah

9 Kodifikasi Produk

Perbankan Syariah

Penghimpunan Dana, Penyalura Dana dan

Pelayanan Jasa

10 SEBI No. 10/31/DPbS

tanggal 8 Oktober

2008

Produk Bank Syariah dan Unit Usaha Syariah

11 SEBI No. 10/14/DPbS

tanggal 17 Maret 2008

Pelaksaan Prinsip Syariah dalam Kegiatan

Penghimpun Dana dan Penyaluran Danaserta

Pelayanan Jasa Bank Syariah/Unit Usaha Syariah

12 SEBI No. 10/13/DPbS

tanggal 6 Maret 2012

Penyelesaian Pengaduan Nasabah

25

DPBS-OJK, Standar Produk Musyarakah …, h. 14.

Page 142: IRPAN JAMIL - SPs.pdf - Repository UIN Syarif Hidayatullah ...

130

13 SEBI No. 15/40/DPbS

tanggal 24 September

2013

Penerapan Manajemen Risiko pada Bank yang

Melakukan Kredit atau Pembiayaan Pemilikan

Properti, Kredit atau Pembiayaan Konsumsi

Beragun Properti, dan Kredit atau Pembiayaan

Kendaraan Bermotor

Perma No. 2 Tahun

2008

Komplikasi Hukum Ekonomi Syariah

15 Fatwa DSN No.

08/DSN-MUI/IV/2000

Pembiayaan Musyarakah

16 Fatwa DSN No.

17/DSN-MUI/VI/2000

Sanki atas Nasabah yang Mampu Menunda-nunda

Pembayaran

17 Fatwa DSN No.

43/DSN-

MUI/VIII/2004

Ganti Rugi (Ta‟awidh)

18 Fatwa DSN No.

45/DSN-MUI/V/2005

Line Facility

19 Fatwa DSN No.

55/DSN-MUI/V/2007

Biayaan Rekening Koran Syriah Musyarakah

20 PSAK No. 106 Akuntansi Musyarakah

Tabel 4.3

Definisi Istilah

NO ISTILAH DEFINISI

1 Akad Kesepakatan berupa perjanjian tertulis antara Bank dan

Nasabah atau pihak lain yang memuat adanya hak dan

kewajiban, standar dan persyaratan yang disepakati,

sesuai dengan prinsip syariah dan hukum yang berlaku

2 Bank PT Bank

3 Nasabah Individu atau badan usaha yang memperoleh fasilitas

pembiayaan dari Bank

4 Musyarakah Produk pembiayaan perbankan syariah berdasarkan

prinsip profit loss sharing berupa penyatuan modal

para pihak dengan tujuan memiliki aset, usaha atau

proyek tertentu lalu dikelola hingga memperoleh

keuntungan dan dibagi berdasarkan nisbah bagi hasil

disepakati dalam akad

5 Objek Musyarakah Aset, usaha atau proyek yang dimilki bersama antara

Bank dan Nasabah

6 Pembiayaan Penyediaan dan dan/atau barang serta fasilitas dari

Bank kepada Nasabah yang sesuai dengan prinsip

syariah

7 Plafond Pembiayaan Nilai nominal dana pembiayaan yang akan diberikan

Bank kepada Nasabah

8 Nisbah Bagi Hasil Perbandingan pembagian atas keuntungan yang

Page 143: IRPAN JAMIL - SPs.pdf - Repository UIN Syarif Hidayatullah ...

131

diperoleh atas aset/usaha/proyek yang dilakukan antara

Bank dan Nasabah yang ditetapkan berdasarkan akad

9 Pembayaran Angsuran Pembayaran kembali atas fasilitas modal yang

diberikan oleh Bank kepada Nasabah beserta bagi hasil

untuk Bank

10 Tanggal Jatuh Tempo Tanggal terakhir yang disepakati dalam hal Nasabah

melunasi seluruh kewajibannya kepada Bank yang

ditetapkan berdasarkan akad

11 Tunggakan Kewajiban yang ditunaikan melewati tanggal jatuh

tempo

12 Pembayaran

Tunggakan

Pembayaran angsuran yang ditunaikan setelah tanggal

jatuh tempo. Pembayaran tunggakan akan dikenai

konsekuensi berupa denda (ta‟zir) dan/atau ganti rugi

(ta‟widh)

13 Denda (Ta‟zir) Sanksi berupa pembayaran uang akibat keterlambatan

Nasabah dalam melakukan pembayaran kewajibannya

kepada Bank (menunggak). Perolehan denda akan

dimasukan kedalam rekening dana sosial (Qardhul

hasan)

14 Ganti Rugi (Ta‟widh) Penggantian terhadap biaya-biaya yang dikeluarkan

oleh Bank dalam proses memperoleh pembayran dari

Nasabah (wanprestasi), termasuk nmun tidak terbatas

pada saat Nasabah menunggak pembayran angsuran.

Peroleha ta‟widh akan diakui sebagai pendapatan

dalam pembukuan Bank

15 Wanprestasi Kegagalan Nasabah dalam memenuhi kewajiban atau

segala hal yang ditentukan atau disepakati bersama

dalam kontrak. Tahapan dalam menangani wanprestasi

diatur kemudian dalam standar umum

16 Asuransi Asuransi diperlukan dalam rangka mitigasi risiko.

Pihak Bank dapat meminta Nasabah untuk

menjaminkan harta benda yang dimilki atas

pembiayaan Musyarakah yang diberikan oleh Bank

kepadanya

17 Jaminan Jaminan dapat berupa jaminan materiil (agunan)

ataupun non-materiil. Jaminan dapat diminta oleh

pihak Bank kepada Nasabah/pengelola dana/pihak

ketiga dalam rangka melaksanakan prinsip kehati-

hatian. Jaminan hanya dapat dicairkan apabila

pengelola dana terbukti melakukan pelanggaran atau

hal yang telah disepakati bersama

18 Force Majeur Keadaan-kadaan yang terjadi diluar kekuasaan

Nasabah yng berdampak secara langsung dan materiil

sehingga Nasabah tidak dapat memenuhi kewajibannya

seperti gempa bumi, badai, angin topan, banjir,

Page 144: IRPAN JAMIL - SPs.pdf - Repository UIN Syarif Hidayatullah ...

132

kebakaran, tanah longsor, peperangan, embargo,

pemogoan umum, huru-hara, peledakan dan

pemberontakan

19 Pembayaran dan/atau

Pelunasan Dipercepat

Pelunasan pembiayaan Musyarakah yang dilakukan

sebelum jatuh tempo, berupa pembayaran dan/atau

pelunasan angsuran lebih cepat dan/atau lebih besar

dari yang dijadwalkan dalam akad

Tabel 4.4

Fitur Produk

NO ASPEK KETERANGAN

1 Akad Pembiayaan Akad Pembiayaan Musyarakah

2 Tujuan Pembiayaan - Modal kerja

- Investasi

3

Jangka Waktu

Pembiayaan

- Jangka pendek

- Jangka menengah

- Jangka panjang

4

Kriteria Nasabah - Perorangan/individu

- Badan usaha, baik yang berbadan hukum

maupun yang tidak berbadan hukum

5 Plafond Minimum ... (sesuai kebijakan bank)

6 Plafond Maksimum ... (sesuai kebijakan bank)

7 Sifat Fasilitas Revolving atau Non-revolving

8 Mata Uang Rupiah atau Valuta Asing

9 Media Penarikan Kas atau Transfer atau RTGS atau Cek atau Bilyet

Giro

10 Nisbah Bagi Hasil Bank: Nasabah (disepakati bersama)

11 Kerugian dan Biaya-

biaya

Ditanggung bersama sesuai porsi kepemilikan modal

para pihak

3. Ketentuan Akad

a. Pembiayaan Musyarakah adalah pembiayaan berupa akad kerjasama

antara pihak BUS/UUS/BPRS dengan pihak Nasabah berupa penyatuan

modal oleh masing-masing pihak untuk melaksanakan usaha atau

proyek tertentu dan/atau upaya untuk memiliki aset tertentu yang

bertujuan untuk memperoleh sejumlah keuntungan dengan ketentuan

bahwa keuntungan (profit) dan kerugian (loss) akan ditanggung

bersama. Keuntungan dibagi berdasarkan kesepakatan atau porsi modal

sementara kerugian ditanggung hanya sebesar porsi modal masing-

masing.26

b. Perjanjian dengan akad Musyarakah harus memenuhi rukun sebagai

berikut:

26

DPBS-OJK), Standar Produk Musyarakah…, h. 15.

Page 145: IRPAN JAMIL - SPs.pdf - Repository UIN Syarif Hidayatullah ...

133

a. Pihak yang berakad; Bank dan Nasabah dimana keduanya sebagai

pemilik modal (Shahibul Maal) sedangkan Nasabah selain sebagai

pemilik modal juga sebagai pelaksana (Musyarik).

b. Modal; masing-masing pihak menyertakan modal dengan tujuan untuk

membeli suatu aset atau melaksanakan usaha/proyek tertentu.

c. Obyek akad; obyek akad dapat berupa aset, proyek atau usaha yang

akan menghasilkan keuntungan bagi para pihak.

d. Ijab Qabul; pernyataan penawaran (ijab) dan penerimaan (qabul) yang

dinyatakan oleh para pihak terkait untuk menunjuk-kan kehendak

masing-masing dalam mengadakan perjanjian (akad).

e. Nisbah Bagi Hasil; pembagian porsi keuntungan yang akan diperoleh

para pihak dalam bentuk persentase bukan jumlah uang yang tetap.

f. Pengikatan Perjanjian Pembiayaan Musyarakah antara

BUS/UUS/BPRS dan Nasabah harus dituangkan secara tertulis yang

dapat dilakukan secara di bawah tangan atau di bawah legalilasi secara

notariil.

g. Dalam Perjanjian Pembiayaan Musyarakah antara BUS/UUS/BPRS

dan Nasabah harus dinyatakan secara jelas bahwa kerjasama diantara

para pemilik modal dilaksanakan dengan tujuan mencari keuntungan.

h. Dalam Perjanjian Pembiayaan Musyarakah, Nasabah dan BUS/UUS/

BPRS sama-sama menyediakan modal dan harus dinyatakan dengan

tegas perbandingan antara modal BUS/UUS/BPRS dan modal Nasabah.

i. Pembiayaan Musyarakah yang diberikan BUS/UUS/BPRS dan

Nasabah adalah untuk membiayai usaha/proyek/aset tertentu, baik yang

sudah berjalan maupun yang baru, yang akan dikelola oleh Nasabah

menurut ketentuan yang disepakati oleh BUS/UUS/BPRS.

j. Pembiayaan Musyarakah yang diberikan BUS/UUS/BPRS dapat

bersifat kerjasama modal baik dalam jumlah tetap (modal tidak

diangsur) maupun jumlah menurun (modal diangsur).

k. Dalam Pembiayaan Musyarakah jumlah tetap, bagian modal setiap

mitra ditentukan sesuai akad dan jumlahnya tetap hingga akhir masa

akad, dimana pada akhir masa akad BUS/UUS/BPRS berjanji akan

menjual keseluruhan modalnya sekaligus kepada Nasabah dan Nasabah

berjanji untuk membeli keseluruhan modal BUS/UUS/BPRS tersebut.

l. Dalam Pembiayaan Musyarakah jumlah menurun, bagian modal BUS/

UUS/BPRS akan dijual secara bertahap (diangsur) kepada Nasabah

(atau pihak lain) sehingga bagian modal BUS/UUS/BPRS akan

menurun dari masa ke masa dan pada akhir masa akad,

BUS/UUS/BPRS tidak lagi memiliki modal (menjadi pemilik) dalam

usaha/proyek/aset tersebut.

m. Pengembalian modal dan bagi hasil hak BUS/UUS/BPRS dihitung dan

disepakati berdasarkan perjanjian yang dibuat oleh para pihak terkait.

n. Nisbah bagi hasil tidak harus selalu sama setiap bulannya selama masa

pembiayaan, walaupun kontribusi modal tetap ataupun juga kontribusi

modal menurun, selama hal ini disepakati dari awal dan sudah jelas

Page 146: IRPAN JAMIL - SPs.pdf - Repository UIN Syarif Hidayatullah ...

134

tertulis pada pembuatan akad. Hal ini tergantung dari perhitungan cash

flow atas proyek/usaha yang akan dibiayai.

o. Jika selama masa kegiatan proyek atau kegiatan usaha dari Pembiayaan

Musyarakah terjadi perubahan kontribusi modal sehingga menyebabkan

juga perubahan nisbah bagi hasil, maka harus dibuatkan addendum

(perubahan) atas perjanjian sebelumnya yang disepakati dan ditanda

tangani oleh para pihak terkait.27

E. Standar Produk Mudharabah pada Perbankan Syariah di Indonesia

Menurut Undang-undang nomor 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah,

yang dimaksud dengan akad mudharabah dalam pembiayaan adalah akad kerja

sama dalam suatu usaha antara pihak pertama (malik, shahibul maal, Bank Syariah)

yang menyediakan seluruh modal dan pihak kedua („amil, mudharib, Nasabah) yang

bertindak selaku pengelola dana dengan membagi keuntungan usaha sesuai dengan

kesepakatan yang dituangkan dalam akad, sedangkan kerugian ditanggung

sepenuhnya oleh Bank Syariah kecuali jika pihak kedua melakukan kesalahan yang

disengaja, lalai atau menyalahi perjanjian.

Konsep mudharabah kontemporer yang ada saat ini telah banyak mengalami

transformasi. Jika pada konsep mudharabah klasik, mudharabah hanya dilakukan

dengan satu jenis atau bentuk, maka pada konsep mudharabah kontemporer dapat

digabungkan dengan akad lain seperti dengan akad murabahah atau musyarakah, hal

tersebut untuk menyesuaikan dengan keadaan masyarakat serta dalam rangka

memenuhi kebutuhan masyarakat untuk mendapatkan layanan jasa perbankan

syariah yang baik.

Mekanisme mudharabah kontemporer saat ini berbeda dengan praktik

mudharabah klasik atau terdahulu. Pada konsep mudharabah klasik tidak terdapat

mekanisme angsuran dalam pembayaran modal pokok yang dikelola mudharib

kepada shahibul maal, pembayaran modal pokok yang diterima oleh mudharib dari

shahibul maal tersebut hanya dilakukan satu kali di akhir periode kontrak. Hal ini

juga berlaku untuk mekanisme pembayaran bagi hasil pada akad mudharabah,

dimana pembayaran bagi hasil mudharabah dilakukan satu kali di akhir periode

kontrak.28

Produk Bank Syariah berbasis akad mudharabah yang ada saat ini mengacu

kepada fatwa-fatwa yang dikeluarkan oleh Dewan Syariah Nasional-MUI (DSN-

MUI), Peraturan Otoritas terkait serta ketentuan hukum yang terhimpun di dalam

Kompilasi Hukum Ekonomi Syari‘ah (KHES) sebagaimana dijelaskan sebagai

berikut:

1. Pembiayaan Mudharabah

Merujuk pada fatwa DSN-MUI Nomor: 07/DSN-MUI/IV/2000 mengenai

pembiayaan mudharabah, dijelaskan bahwa mudharabah adalah akad kerjasama

suatu usaha antara dua pihak, dimana pihak pertama sebagai shahibul maal (pemilik

modal) yang menyediakan seluruh modal, sedangkan pihak kedua adalah mudharib

(pengelola modal) yang bertindak sebagai penerima dan pengelola modal yang

27

DPBS-OJK, Standar Produk Musyarakah…, h. 15. 28

DPBS-OJK, Standar Produk Musyarakah…, h. 16.

Page 147: IRPAN JAMIL - SPs.pdf - Repository UIN Syarif Hidayatullah ...

135

diberikan. Mengenai jangka waktu, mekanisme pengembalian modal pokok serta

pembagian keuntungan ditentukan berdasarkan kesepakatan kedua pihak.

Pengelola modal boleh menentukan jenis usaha apa yang akan dikembangkan

berdasarkan kesepakatan bersama dan sesuai dengan aturan syari‘ah. Dalam hal ini

pemilik modal tidak boleh ikut dalam manajemen dalam usaha tersebut, tetapi

mempunyai hak untuk melakukan pengawasan dan pembinaan terkait usaha

tersebut. Pada prinsipnya dalam pembiayaan mudharabah ini tidak terdapat jaminan,

namun untuk memastikan dan meminimalisir risiko yang akan terjadi di waktu yang

akan datang, pemilik modal dapat meminta jaminan yang telah disepakati bersama

dari penerima modal atau pihak ketiga untuk menjamin usaha serta personal

penerima modal. Jaminan ini tidak boleh dicairkan kecuali jika mudharib sebagai

pengelola modal terbukti secara sah sesuai hukum yang berlaku melakukan

pelanggaran terhadap hal-hal yang telah disepakati bersama dalam akad.29

Sedangkan dalam Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (KHES) Buku II Bab

VII di pasal 187 dijelaskan mengenai syarat mudharabah sebagai berikut: (1)

pemilik modal wajib menyerahkan dana atau barang kepada pihak lain (penerima

modal) untuk melakukan kerjasama dalam usaha yang disepakati kedua belah pihak,

2) penerima modal menjalankan usaha dalam bidang yang telah disepakati, 3)

kesepakatan mengenai bidang usaha yang akan dijalankan ditetapkan di awal dalam

akad antara kedua belah pihak. Jika dalam usaha tersebut mengalami sebuah

kerugian, maka baik pemilik modal atau penerima modal tidak berhak mendapatkan

keuntungan atau imbalan.30

Di dalam pasal 200 dan 201 KHES tersebut dijelaskan bahwa mudharib

sebagai pengelola modal tidak boleh menyertakan modal/hartanya sendiri dengan

modal mudharabah kecuali bila menjadi kebiasaan di kalangan pelaku usaha dan

jika telah mendapatkan izin dari shahibul maal pada usaha-usaha tertentu.

2. Fitur Produk

Tabel 4.5

Persyaratan Syariah Praktik

Operasional Produk Mudharabah

NO ASPEK KETERANGAN

1 Akad Pembiayaan Akad Pembiayaan Mudharabah

2 Tujuan

Pembiayaan

Modal kerja investasi

3

Jangka

Pembiayaan

Waktu

Jangka Pendek ( Short Term Financing )

Jangka Menengah ( intermediate Term Financing )

Jangka Panjang ( Long Term Financing )

4 Kriteria Nasabah Perorangan / indiidu atau badan usaha, baik yang

berbadan hukum maupun yang tidak berbadan hukum

5 Plafond Sesuai dengan kebijakan Bank

29

DPBS-OJK), Standar Produk Musyarakah…, h. 16. 30

DPBS-OJK), Standar Produk Musyarakah…, h. 17.

Page 148: IRPAN JAMIL - SPs.pdf - Repository UIN Syarif Hidayatullah ...

136

6 Sifat Fasilitas Revolving atau Non-revolving

7 Media Penarikan Kas/Transfer/RTGS/Cek atau Nilyet Giro

8 Nisbah Bagi Hasil Bank : Nasabah ( disepakati bersama )

9

Kerugian Ditanggung oleh Nasabah jika kerugian yang timbul

dikarenakan kelalaian dari Nasabah sebagai

pengelola dana

Ditanggung oleh Bank sebagai pemilik modal selama

kerugian yang timbul bukandikarenakan kelalaian

dari nasabah sebagai pengelola dana

3. Kualifikasi Profil Nasabah

Tabel 4.6

Kualifikasi calon profil Nasabah

Dapat terdiri dari segmentasi kecil,mengah, dan korporasi dengan kriteria sebagai

berikut :31

NO SEGMENTASI KRITERIA

1 Kecil 1. Warga Negara Indonsia.

2. Memiliki hasil penjualan tahunan sampai dengan

Rp. 2.500.000.000,- ( dua miliyar lima ratus juta

rupiah).

3. Meiliki kekayaan besih sampai dengan

Rp.500.000.000,-( lima ratus juta rupiah) tidak

termasuk tanah dan bangunan tempat usaha.

4. Berdiri sendiri, bukan merupakan anak Perusahaan

atau cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai, atau

berafiliasi baik langsung, mupun tidak langsung

dengan usaha menengah atau usaha besar.

5. Berbentuk usaha perorangan, badan usaha yang

tidak berbadan hukum, badan usaha yang berbadan

hukum, termasuk koperasi.

2 Menengah 1. Warga Negara Indonesia

2. Memiliki hasil penjualan tahunan>

Rp.2.500.000.000,- ( dua miliyar lima ratus juta

rupiah ) sampai dengan Rp.50.000.000.000,- (lima

ratus juta rupiah).

3. Memiliki kekayaan bersih antara diatas

Rp.5000.000.000,- (lima ratus juta rupiah) sampai

dengan Rp.10.000.000.000,- (sepuluh miliyar rupiah)

tidak termasuk tanah bangunan tempat usaha.

4. Diberikan kepada nasabah berbadan hukum,

termauk koperasi

3 Korporasi 1. Warga Negara Indonesia

31

DPBS-OJK), Standar Produk Musyarakah…, h. 18

Page 149: IRPAN JAMIL - SPs.pdf - Repository UIN Syarif Hidayatullah ...

137

2. Meliliki hasil penjualan tahunan>

Rp.50.000.000.000,- (lima puluh miliyar rupiah).

3. Memiliki kekayaan bersih > Rp.10.000.000.000,-

(sepuluh miliyar rupiah) tidak termasuk tanah dan

bangunan tempat usaha.

4. Persyaratan Calon Nasabah Pembiayaan Mudharabah

a. Memenuhi standar kriteria nasabah diatas.

b. Lama Usaha Calon Nasabah:

c. Telah menjalankan usaha selama minimum 2 tahun untuk nasabah

Walk in Client.

d. Telah menjalankan usaha selama minimum 1 tahun dan mendapatkan

rekomendasi dari nasabah eksisting sertamemiliki manajemen yang

baik.

e. Memiliki kolektibilitas minimum lancar (Kollektibilitas 1) selama 6

bulan berturut-turut apabila memiliki pembiayaan lainnya baik di bank

ataupun di lembaga pembiayaan lain.

f. Harus memiliki rekening giro di Bank yang bersangkutan.

g. Usaha Nasabah memenuhi prinsip-prinsip syariah dan tidak termasuk

usaha yang masuk kedalam daftar hitam.

h. Melengkapi dan menyerahkan dokumen yang diperlukan oleh bank

untuk melakukan analisa pembiayaan.

5. Persyaratan dan Kriteria BPRS adalah sebagai berikut :

a. Berbadan Hukum Peseroan Terbatas (PT)

b. Memiliki Surat Izin Operasional yang diterbitkan oleh Otoritas

Jasa Keuangan.

c. Memiliki Dewan Pengawas Syriah (DPS) minimal 2 orang.

d. Usaha telah berjalan minimum 2 tahun dan memperlihatkan

kinerja positif dan menghasilkan profit selama tahun berjalan.

e. Memiliki Manajemen yang berpengalaman minimal selama 2

tahun.

f. Memiliki kolektabilitas minimum laancar selama 6 nulan

berturut-turut apabila memiliki pembiyaan lainnya.

g. Memiliki rekening giro di Bank atau wajib membuka rekening

giro di Bank.

h. BPRS/UUR BPR dimiliki oleh :

1) Warga Negara Indonesia

2) Pemerintah Daerah

3) Dua pihak atau lebih sebagaimana dimaksud dalam point

diatas.

i. Memiliki modal disetor minimal sesuai ketentuan.

j. Berikut adalah persyaratan dokumen BPRS/UUS BPR yang

diperlukan.32

32

DPBS-OJK), Standar Produk Musyarakah …, h. 19.

Page 150: IRPAN JAMIL - SPs.pdf - Repository UIN Syarif Hidayatullah ...

138

6. Persyaratan dan Kriteria KJKS/UJKS adalah sebagai berikut :

a. Usaha telah berjalan minimum 2 tahun dan memperlihatkan

kinerja positif dan menghasilkan profit selama tahun berjalan.

b. Memiliki Manajemen yang berpengalaman minimal selama 2

tahun.

c. Memiliki kolektabilitas minimum lancar selama 6 bulan berturut-

turut apabila memiliki pembiyaan lainnya.

d. Memiliki rekening giro di Bank atau wajib membuka rekening

giro di Bank.

e. KJKS/UJKS Primer memiliki anggota minimal 20 orang anggota

dan memiliki modal awal minimum Rp. 15.000.999,-.

f. KJKS/UJKS Sekunder memiliki anggota berupa koperasi minimal

3 (tiga) koperasi dan memiliki modal awal minimum Rp.

50.000.000,-.

g. Wajib menggunaan Laporan Keuangan yang telah di

AuditEksternal atau Koperasi Jasa Audit bagi KJKS/UJKS yang

mencapai volume pembiyaan diata Rp.1.000.000.000,-. Pada

tahun sebelumnnya.

7. Ketentuan Transaksi Pembiayaan.

a. Pembiyaan mudharabah adalah fasilitas pembiayaan yang diberikan oleh

bank kepada nasabah untuk memenuhi kebutuhan modal kerja dan

investasi Nasabah yang disesuaikan dengan kebutuhan rill kemampuan

nasabah untuk mengelola pembiyaan.

b. Akad yang digunakan adalah mudharabah, yang merupakan akad

kerjasama dalam suatu usaha antara dua pihak pertama (shahibulmal)

menyediakan seluruh modal sedangkan pihak kedua (mudharib)

bertindak selaku pengelola dan yang mempunyai keahlian sesuai usaha

yang akan dijalankan.

c. Jumlah dana daari pembiyaan mudharabah hars dinyatakan dengan jelas

dalam bentuk tunai dan merupakan modal yang dikelola oleh Nasabah.

d. Bank sebagai pemilik modal dalam pembiyaan mudharabah bisa saja

memberikan modal bantuan berupa barang/aset. Namun barang/aset

tersebut harus dinilai terlebih dahulu oleh pihak Bank sebelum akad

ditandatangani, sehingga saat terjadinya akad nilainya dapat dituli dengan

dan tertuang dalam akad.

e. Dalam pembiyaan mudharabah, jika modal yang diberikan dalam bentuk

barang, maka barang tersebut harus dinilai berdasarkan harga pasar yang

berlaku dan dinyatakan secara jelas jumlahnya.

f. Modal yang diberikan oleh Bank dalam pembiyaan mudharabah tidak

boleh berbentuk piutang.

g. Modal yang dibayarkan kepada mudharib dapat dibayarkan secara

bertahap maupun tidak, sesuai kesepakatan dalam akad.

h. Dalam pemberian pembiyaan mudharabah, jangka waktu usaha perlu

dibatai minimal sesuai jangka waktu mencapai break even.

i. Bank dan Nasabah menyepakati tatacara pengembalian modal serta

nisbha bagi hasil dalam pembagian keuntungan.

Page 151: IRPAN JAMIL - SPs.pdf - Repository UIN Syarif Hidayatullah ...

139

j. Dalam pengelolaan usaha yang dijalankan dalam pembiyaan mudharabh,

mudharib boleh melakukan berbagai macam usaha yang telah disepakati

bersama yang sesuai dengan prinsip syariah, dimana pihak Bank tidak

ikut serta dalam manajemen perusahaan atau proyek tetapi mempunyai

hak untuk melakukan pembinaan dan pengarahan serta pengawasan

terhadap usaha yang dikerjakan.

k. Keuntungan dari hasil usaha ats hasil pembiyaan mudharabah adalah

jumlah yang didapat sebagai kelebihan dari modal. Keuntungan tersebut

harus diperuntukan untuk kedua pihak yang berakad (Bank dan Naabah).

l. Dalam keadaan usaha yang dijalankan oleh Nasabah mengalami kerugian

yang bukan disebabkan oleh kelalaian Nasbah, maka jumlah kerugian

yang dapt ditanggung oleh pemilik dan yaitu Bank (shahibulmaal) adalah

maksimal sebesar jumlah pembiyaan yang diberikan kepada Nasabah.

Bank sebagai shahibul maal menanggung semua kerugian yang muncul

dalam pembiyaan mudharabah dan Nasabah sebagai mudharib tidak

boleh menanggung kerugian apapun yang terjadi dalam pembiyaan

mudharabh tersebut.33

8. Ketentuan Kondisi Pembiayaan

a. Pembiayaan mudharabah dapat ditujukan untuk pembiayaan modal kerja

dan investasi.

b. Pembiayaan mudharabah dapat dilakukan untuk pembiayaan jangka

panjang, jangka menengah dan jangka pendek berdasarkan jangka

waktunya.

c. Pembiayaan jangka pendek adalah suatu bentuk pembiayaan berjangka

waktu maksimal 1 (satu) tahun. Pembiayaan jangka menengah adalah

bentuk pembiayaan berjangka waktu dari satu tahun sampai tiga tahun.

Sedangkan pembiayaan jangka panjang adalah bentuk pembiayaan

berjangka waktu lebih dari tiga tahun.

d. Pembiayaan atas dasar transaksi satu kali (Non Revolving) adalah jenis

pembiayaan jangka pendek untuk suatu jenis transaksi tertentu.

Pembiayaan ini dapat disebut juga pembiayaan sekali tarik, karena

penarikan pembiayaan hanya satu kali selama jangka waktu pembiayaan,

sehingga harus lunas dan berakhir pada saat transaksi selesai.

e. Pembiayaan atas dasar transaksi berulang/bergulir (Revolving) adalah

pembiayaan jangka pendek yang diberikan Bank kepada Nasabah untuk

usaha yang merupakan suatu seri transaksi sejenis.

f. Pembiayaan atas dasar plafon terikat adalah pembiayaan yang diberikan

dengan jumlah dan jangka waktu tertentu dengan tujuan untuk

dipergunakan sebagai tambahan modal kerja bagi suatu unit produksi atas

dasar penilaian kebutuhan modal kerja atau kapasitas produksi.

Maksimum pembiayaan yang diberikan terikat kepada kapasitas produksi

normal dan atau realisasi pendapatan.

33

DPBS-OJK), Standar Produk Musyarakah …, h. 20

Page 152: IRPAN JAMIL - SPs.pdf - Repository UIN Syarif Hidayatullah ...

140

g. Pembiayaan atas dasar plafon terbuka adalah pembiayaan untuk

kebutuhan modal kerja dimana maksimum pembiayaan yang diberikan

tidak terikat pada kapasitas produksi normal atau realisasi penjualan.34

9. Ketentuan Penentuan Nisbah Mudharabah

a. Metode Penghitungan Nisbah dan Prinsip Pengakuan Pendapatan

1) Keuntungan usaha yang dibagikan kepada Bank dari usaha yang

dijalankan oleh Nasabah harus sesuai nisbah bagi hasil yang telah

disepakati.

2) Nisbah bagi hasil harus disepakati oleh para pihak di awal akad,

karena termasuk dalam rukun yang harus dipenuhi di dalam akad.

3) Nisbah bagi hasil ditentukan berdasarkan proyeksi pendapatan.

4) Pembayaran bagi hasil ditentukan berdasarkan nilai realisasi

pendapatan, bukan berdasarkan nilai proyeksi pendapatan.

5) Di awal akad, Bank Syariah dan Nasabah hanya boleh menyepakati

Nisbah Bagi Hasil, namun tidak boleh menyepakati dalam hal

Nominal Bagi Hasil. Karena Nominal Bagi Hasil didapatkan dari

realisasi hasil usaha Nasabah yang sudah berjalan. Penetapan Nominal

Bagi Hasil di awal akad akan menyebabkan terjadinya riba.

6) Penentuan nisbah bagi hasil dalam akad mudharabah dapat

menggunakan dua metode yakni profit sharing dan net revenue

sharing. Hal ini mengacu pada Fatwa Dewan Syariah Nasional -

Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI) Nomor 15 Tahun 2000 yang

mengatur tentang Prinsip Distribusi Hasil Usaha dalam Lembaga

Keuangan Syariah.

7) Metode penghitungan bagi hasil menggunakan profit sharing adalah

metode perhitungan bagi hasil yang didasarkan pada hasil bersih total

pendapatan setelah dikurangi dengan beban atau biaya-biaya yang

dikeluarkan untuk memperoleh pendapatan tersebut.

8) Metode penghitungan bagi hasil menggunakan net revenue sharing

adalah metode perhitungan bagi hasil yang didasarkan pada total

seluruh pendapatan sebelum dikurangi dengan beban atau biaya yang

dikeluarkan untuk memperoleh pendapatan tersebut.

10. Proses Penentuan Nisbah

a. Penentuan nisbah bagi hasil dapat dilakukan melalui metode profit

sharing atau net revenue sharing.

b. Proses pembuatan nisbah bagi hasil dapat dilakukan dengan langkah-

langkah sebagai berikut:

1) Membuat proyeksi pendapatan Nasabah, dimana proyeksi yang

dibuat memuat dan memperhitungkan potensi pergerakan

pendapatan dan biaya dari usaha Nasabah yang akan diberikan

fasilitas pembiayaan;

2) Menentukan kebutuhan pembiayaan Nasabah;

3) Menentukan Expectation Bank Rate (EBR); dan

4) Nisbah dapat berupa single nisbah ataupun multi nisbah

34

DPBS-OJK), Standar Produk Musyarakah …, h. 21

Page 153: IRPAN JAMIL - SPs.pdf - Repository UIN Syarif Hidayatullah ...

141

c. Bank dapat menggunakan beberapa metode perhitungan dalam

menentukan nisbah bagi hasil dan penyusunan jadwal angsuran

pembiayaan mudharabah (terlampir).

d. Penetapan Expectation Bank Rate (EBR) dapat diperhitungkan

berdasarkan beberapa komponen sebagai berikut:

1) Expected ROE ; besarnya Return on Equity yang ditargetkan oleh

Bank

2) Expected Customer Return ; besarnya biaya yang dikeluarkan oleh

Bank atas nilai yang diharapkan Nasabah

3) Overhead Cost ; biaya operasi dibagi total dana pembiayaan

4) Biaya PPAP (Risk Provision).

e. Pihak Bank membuat Proyeksi Cash Flow atau Proyeksi Pendapatan

dari pengelolaan usaha Nasabah selama rencana pembiayaan yang

diminta Nasabah sampai waktu pelunasan.

f. Penentuan tingkat imbalan ditentukan berdasarkan akumulasi dari

angsuran bagi hasil dan akumulasi angsuran pokok masing-masing.

g. Pihak Bank membuat nilai Nisbah untuk Bank dan Nasabah

berdasarkan pada hasil perhitungan Proyeksi Cash Flow (atau Proyeksi

Pendapatan) yang dibuat.

h. Dalam menentukan tingkat kolektibilitas suatu pembiayaan

mudharabah, maka Bank dapat melihat dari nilai RBH (Realisasi Bagi

Hasil) dibanding dengan nilai PBH (Proyeksi Bagi Hasil).

i. Jika rasio RBH terhadap PBH lebih besar maka Bank dapat mengambil

jumlah nisbah bagi hasil untuk Bank sebesar nilai RBH/PBH atau

sebesar nilai PBH ditambah dengan selisih kurang dari pembayaran

RBH periode sebelumnya dengan nilai maksimal sebesar nilai RBH

bulan berjalan.

j. Jika rasio RBH terhadap PBH lebih kecil Bank hanya dapat mengambil

jumlah nisbah bagi hasil untuk Bank sebesar nilai RBH.

k. Pihak Bank membuat lembar Jadwal Pembayaran Bagi Hasil sesuai

Nisbah Bank yang diperoleh dari Proyeksi Cash Flow (atau Proyeksi

Pendapatan) dan rencana pembayaran kembali modal yang diterima

Nasabah.

l. Pihak Bank membuat lembar Proyeksi Cash Flow (atau Proyeksi

Pendapatan), Jadwal Pembayaran Kembali Modal serta Jadwal

Pembayaran Bagi Hasil yang ditandatangani oleh Nasabah.

m. Pemilihan dan penyusunan Lembar Proyeksi Cash Flow atau Lembar

Proyeksi Pendapatan disesuaikan dengan metode bagi hasil dan

kebijakan lain yang disepakati oleh pihak Bank dan Nasabah.

n. Bagi usaha yang memiliki pendapatan per tahun yang jelas namun

pemasukan per bulannya tidak tetap, seperti kontraktor, pemasukan

tergantung dari pemberi kerja sesuai dengan Surat Perjanjian Kerja

(SPK), maka pengembalian modal tidak perlu sama namun disesuaikan

dengan SPK-nya.

o. Bank Syariah harus memperhitungkan potensi pergerakan pendapatan

usaha Nasabah, potensi pergerakan biaya/beban Nasabah selama jangka

Page 154: IRPAN JAMIL - SPs.pdf - Repository UIN Syarif Hidayatullah ...

142

waktu pembiayaan yang dapat berfluktuasi. Bank Syariah melakukan

perhitungan potensi pergerakan pendapatan Nasabah dan potensi

pergerakan biaya/beban Nasabah untuk melengkapi proses mitigasi

risiko. Bank Syariah dapat melakukan simulasi pembiayaan kepada

Nasabah dengan berbagai skenario yang mungkin dapat terjadi,

sehingga Bank dapat melakukan langkah mitigasi terhadap potensi

risiko yang timbul.

p. Dalam melakukan proses perhitungan tersebut, maka Bank Syariah

perlu untuk memasukkan beberapa indikator yang akan dijadikan

sebagai asumsi dan pertimbangan dalam menentukan proyeksi jumlah

pendapatan usaha Nasabah, sehingga hasil yang didapatkan sesuai dan

optimal. Indikator tersebut yaitu:

1) Trade Checking;

2) Harga barang/komoditas selama masa pembiayaan;

3) Industri pembiayaan;

4) Size perusahaan Nasabah;

5) Komponen pendapatan/biaya terbesar dalam usaha;

6) Kondisi daerah usaha Nasabah; dan

7) Makro Ekonomi

q. Selain indikator yang telah disebutkan di atas, Bank Syariah dapat

memasukkan indikator lain yang sesuai dengan siklus dan arah bisnis

yang ada di masing-masing Bank Syariah.

r. Grace Period merupakan periode waktu yang diberikan oleh pihak Bank

kepada Nasabah untuk menunda pembayaran pengembalian modal pokok

namun dengan tetap memperhatikan beberapa hal seperti berikut:

1) Grace Period hanya diberikan kepada Nasabah pembiayaan

produktif.

2) Selama masa Grace Period, Nasabah diharuskan untuk tetap

membayar bagi hasil, hanya modal pokok pembiayaan saja yang

bisa ditunda pengembaliannya.

3) Permintaan Grace Period harus disampaikan sebelum ditentukan

Daftar Nisbah Bank dan Nasabah, karena faktor Grade Period

mempengaruhi analisa Cash Flow dalam hal penentuan besarnya

kewajiban pengembalian modal dan bagi hasil untuk Bank. Periode

pembayaran bagi hasil dapat disesuaikan dengan siklus usaha

dengan tetap mempertimbangkan risiko investasi dan risiko imbal

hasil Bank.35

11. Standar Tunggakan

a. Tunggakan adalah pembayaran angsuran pembiayaan mudharabah

(baik modal saja, bagi hasil saja maupun keduanya) yang dilakukan

oleh Nasabah yang tidak sesuai dengan jadwal pembayaran yang telah

disepakati di dalam kontrak dan sesuai dengan POJK Nomor 11 Tahun

2014 tentang penilaian kualitas aktiva pada Bank Umum Syariah dan

Unit Usaha Syariah.

35

DPBS-OJK), Standar Produk Musyarakah…, h. 23.

Page 155: IRPAN JAMIL - SPs.pdf - Repository UIN Syarif Hidayatullah ...

143

b. Penanganan atas tunggakan Nasabah wajib dilakukan terlebih dahulu

melalui surat peringatan atau somasi sebagaimana diatur dalam Pasal

1238 KUH Perdata.

c. Jika tunggakan terjadi karena kondisi keuangan Nasabah, maka pihak

Bank dianjurkan untuk memberikan perpanjangan atau kelonggaran

waktu sesuai dengan kesepakatan.

d. Jika tunggakan terjadi karena Nasabah lalai atau tidak menunjukkan

iktikad baik dalam menjalankan kewajibannya, maka pihak Bank dapat

membebankan denda (ta‟zir) atas tunggakan tersebut.36

12. Standar Agunan

a. Pilihan agunan pertama dalam pembiayaan mudharabah dapat berupa

fixed asset Nasabah. Agunan juga dapat berupa Account Receivable,

cash collateral, barang dagangan dalam rangka trade finance atau

jenis agunan lain yang dapat memitigasi risiko Bank.

b. Nasabah dapat menyerahkan agunan tambahan berupa benda/hak

selain dari agunan pertama dengan tetap memperhatikan kepentingan

Bank seperti :

1) Agunan sertifikat diutamakan milik Nasabah sendiri berupa tanah,

tanah beserta rumah tempat tinggal dan atau tempat usaha,

kendaraan.

2) Apabila agunan milik pihak ketiga harus jelas kaitan/hubungan

yang terjadi sehingga pemilik agunan bersedia menyerahkan

hartanya sebagai agunan serta memahami konsekuensinya.

Penjelasan tersebut agar dituangkan dalam memorandum

pembiayaan.

c. Besarnya nilai total agunan dibanding dengan pembiayaan sesuai

dengan Pedoman Agunan yang berlaku di Bank.

d. Bukti kepemilikan agunan atas pembiayaan yang dibiayai dengan

Bank (sertifikat) disimpan di Bank sampai pembiayaannya lunas.

e. Agunan merupakan ―secondary source of repayment‖ atau sumber

terakhir bagi pelunasan pembiayaan mudharabah apabila Nasabah

sungguh-sungguh tidak bisa lagi memenuhi kewajiban pembayaran

atas pembiayaan yang diterimanya.

f. Pihak Bank tidak boleh menerbitkan Surat Pengakuan Utang terkait

perjanjian mudharabah sebab perjanjian mudharabah bukan

merupakan bentuk perjanjian terkait utang-piutang. Pemberlakuan

dan eksekusi Surat Pengakuan Utang atas akad mudharabah akan

mengakibatkan bagi hasil yang diterima pihak Bank berubah sifat

menjadi riba.

g. Terkait pasal di atas, pihak Bank boleh menerbitkan Surat Kewajiban

Pengembalian Modal dalam format dokumen yang terpisah dari

perjanjian pokok. Surat tersebut hanya berlaku dan akan dieksekusi

saat Nasabah lalai dalam memenuhi kewajiban pengembalian modal

36

DPBS-OJK), Standar Produk Musyarakah…, h. 24.

Page 156: IRPAN JAMIL - SPs.pdf - Repository UIN Syarif Hidayatullah ...

144

dan tidak berlaku selama Nasabah memenuhi kewajibannya selama

masa kontrak berlaku.

h. Pihak Bank boleh meminta kepada Nasabah agar memberikan kuasa

kepada Bank untuk pembebanan Hak Tanggungan, Hak Gadai atau

Hak Jaminan.

i. Dalam hal pihak Bank meminta pembebanan Hak Tanggungan, Hak

Gadai atau Hak Jaminan atas obyek pembiayaan, Surat Kuasa dibuat

dalam format dokumen yang terpisah dari perjanjian pokok

sebagaimana yang diatur dalam penjelasan Peraturan Otoritas Jasa

Keuangan (POJK) terkait Perlindungan Konsumen Sektor Jasa

Keuangan.

j. Nasabah diperkenankan melakukan penggantian sebagian agunan

dengan ketentuan agunan pengganti memiliki nilai agunan yang lebih

baik.

k. Standar aktiva yang dapat dijadikan agunan disertai dokumen legal

yang harus disiapkan Nasabah atas agunannya tersebut adalah sebagai

berikut:37

Tabel 4.7

Jenis Aktiva

N

O JENIS AKTIVA DOKUMEN LEGAL

1 Deposito Biyet Deposito Investasi Mudharabah

disertai Surat Kuas Pencairan dan

Pemblokiran (Deposito yang ada di

Bank)

2 Logam Mulia/ Emas 1. Perjanjian Gadai

2. Sertifikat yang dikeluarkan pembuat

logam mulia tersebt atau pernyataan

dari pegadaian (emas perhiasan) yang

menyatakan kadar logam dan harga

pembelian resmi

3. Bukti pembelian (kwitansi/surat jual

beli logam mulia)

3 Bangunan dan Tanah

Hak Milik, HGB, HGU,

Hak Milik atas Satuan

Rumah Susun dan Hak

Pakai

1. Sertifikat asli yang sudah diverifikasi

2. IMB asli

3. PBB tahu terakhir (copy)

4. SKMHT, APHT, SHT

5. Polis asuransi (asli)

4 Banguna di atas Tanah

Hak Pengelola (kios)

1. Surat izin tempat usaha

2. Surat persetujuan menjaminkan dari

pengelola

3. Surat Akta Kuasa untuk

37

DPBS-OJK), Standar Produk Musyarakah…, h. 25.

Page 157: IRPAN JAMIL - SPs.pdf - Repository UIN Syarif Hidayatullah ...

145

memindahkan hak

4. Tagiham (cessie)

5. Polis asuransi (asli)

5 Alat-alat Berat dan

Mesin-mesin yang

Tertanam

a. Faktur pembelian

b. Akta Hipotek

c. Surat Kuasa Jual dan Surat

Penarikan Barang

d. Polis Asuransi (asli)

6 Kapal Laut dengan

Ukuran Minimal GT 7

dan Pesawat Udara

1. Akta Hipotek

2. Surat Kuasa Membebankan Hipotek

secara notarriil (jika Nasabah

hendak memberikan kuasa

pembebanan hipotek kepada Bank)

3. Surat Kuasa Jual dan Surat

Penarikan Barang

4. Gross Akta Pendaftaran Kapal

untuk kapal laut atau bukti

kepemilikan pesawat udara bagi

pesawat udara

5. Polis asuransi (asli)

7 Kendaraan Bermotor 1. BPKB asli

2. Akta Fiducia yang telah didaftarkan

3. Kwitansi kosong3 lembar

4. Faktur pembelian

5. Surat Kuasa Jual dan Surat Penarikan

Barang

6. Surat Blokir BPKB dari Polda

setempat

7. Polis asuransi (asli)

8 Inventori (Persediaan) a. Akta Fiducia yang telah didaftarkan

b. Daftar stock yang dinilai oleh

lembaga surveyor Independen untuk

nilai tertentu (periodik 1 bulan)

c. Surat Kuasa Jual dan Surat

Penarikan Barang

d. Polis asuransi (asli)

9 Mesin-mesin 1. Kwitansi/Faktur pembelian

2. Akta Fiducia yang telah didaftarkan

3. Surat Kuasa Jual dan Surat

Penarikan Barang

4. Polis asuransi (asli)

10 Piutang 1. Akta Fiduci

2. Daftar tagihan periodik (piutang

yang dijaminkan)

Page 158: IRPAN JAMIL - SPs.pdf - Repository UIN Syarif Hidayatullah ...

146

3. Standing Intruction yang disetujui

tiga pihak (Bank, Bowheer dan

Nasabah)

l. Agunan harus diatasnamakan Calon Nasabah atau suami/istri yang

sah dari Calon Nasabah. Adapun untuk Nasabah non-perorangan,

agunan harus diatasnamakan calon Nasabah non-perorangan.

m. Dalam hal pasal 6.6.12. di atas tidak terpenuhi maka agunan harus

disertai Surat Pernyataan Notaris bahwa agunan bersedia diikat oleh

pihak Bank dan bersedia menanggung segala konsekuensi jika ada

wanprestasi dari Nasabah.

n. Setiap agunan dan jaminan lainnya wajib dilakukan proses verifikasi

dan penilaian (taksasi) sesuai dengan kebijakan Bank.

o. Penilaian atas agunan perlu diperhitungkan terkait ―margin of safety‖

bahwa agunan bukan hanya untuk menutupi jumlah pembiayaan

Nasabah terhadap Bank namun juga terkait beban kewajiban Nasabah

lainnya jika nasabah mengalami kesulitan atau dinyatakan pailit.

p. Faktor-faktor yang mempengaruhi pemberlakuan konsep ―margin of

safety‖ yaitu:

1) Waktu yang diperlukan untuk mengeksekusi agunan sesuai

prosedur yang berlaku.

2) Modal, proporsi bagi hasil, tunggakan angsuran yang harus

dikembalikan selama rentang waktu Bank mengeksekusi jaminan.

3) Biaya yang diperlukan untuk mengeksekusi/melikuidasi jaminan.

q. Faktor-faktor yang menentukan perbedaan nilai ―margin of safety‖ dari

setiap jenis agunan adalah:

1) Kemudahan dan kecepatan melikuidasi agunan

2) Lokasi atau letak agunan

3) Usia agunan

4) Nilai guna agunan

5) Kestabilan harga agunan

r. Bentuk pengikatan agunan mengacu pada ketentuan perundang-

undangan yang berlaku dan di dalam POJK No.11/03/2014 tentang

Penilaian Kualitas Aktiva Bagi Bank Umum Syariah dan Unit Usaha

Syariah.38

13. Standar Taksasi Agunan

a. Metode penilaian agunan pembiayaan adalah suatu cara dalam menilai

agunan pembiayaan secara sistematis dan menghasilkan nilai yang cukup

akurat mengenai nilai pasar dari agunan pembiayaan tersebut.

b. Metode pendekatan yang dapat digunakan dalam penilaian agunan adalah

sebagai berikut:

38

DPBS-OJK), Standar Produk Musyarakah …, h. 26.

Page 159: IRPAN JAMIL - SPs.pdf - Repository UIN Syarif Hidayatullah ...

147

1) Metode Pendekatan Biaya yaitu, suatu metode yang dilakukan

menggunakan biaya reproduksi atau biaya pengganti sebagai dasar untuk

melakukan estimasi nilai pasar objek penilaian.

2) Metode Pendekatan Pendapatan yaitu, suatu metode yang dilakukan

dengan mendasarkan pada tingkat keuntungan yang mungkin dihasilkan

pada saat ini dan masa yang akan datang yang selanjuntya dilakukan

proses kapitalisasi untuk mengkonversi aliran pendapatan tersebut ke

dalam nilai agunan.

3) Metode Pendekatan Data Pasar yaitu, suatu metode yang dilakukan

menggunakan data penjualan atas barang agunan yang sebanding

ataupun yang hampir sebanding dengan objek penilaian yang didasarkan

pada suatu proses perbandingan.

1. Dalam melakukan proses penilaian atas agunan, maka harus didasarkan pada

prinsip-prinsip penilaian sebagai berikut:

a. Principle of highest and best use (penggunaan yang semaksimal mungkin),

yaitu nilai suatu kekayaan yang mencerminkan penggunaak aspek lokasi

yang layak, aspek pasar yang sesuai dan aspek investasi yang

menguntungkan.

b. Principle of supply demand (persediaan dan permintaan), yaitu nilai suatu

kekayaan yang merupakan pencerminan dari mekanisme pasar hasil

interaksi dari pasokan dan permintaan yang wajar.

c. Principle of substitution, yaitu nilai suatu kekayaan yang ditentukan oleh

biaya untuk memperoleh suatu kekayaan yang setara sebagai pengganti.

d. Priciple of anticipation¸ yaitu nilai suatu kekayaan yang tidak tergantung

pada nilai saat ini tapi terkait juga dengan nilai masa depan yang memiliki

keterkaitan dengan keuntungan di masa depan dari kepemilikan suatu harta

kekayaan yang dinilai.

e. Priciple of change, yaitu nilai suatu kekayaan yang dinilai selalu berubah

sesuai dengan faktor-faktor yang mempengaruhi seperti faktor fisik, faktor

lingkungan, faktor ekonomi, faktor politik dan faktor sosial.

f. Priciple of conformity, yaitu penilaian yang terkait dengan suatu perubahan

pasar sehingga nilai suatu kekayaan juga harus dapat disesuaikan. Oleh

karena itu dalam penentuan nilai, faktor pembatasan waktu berlakunya suatu

nilai harus ditentukan dalam suatu asumsi penilaian.

g. Principle of competition, yaitu nilai suatu harta yang dipengaruhi oleh

persaingan nilai harta lainnya. Harta yang memiliki daya saing rendah akan

memiliki nilai yang lebih rendah dibanding harta yang memiliki daya saing

yang lebih tinggi.

h. Principle of increasing and decreasing return, yaitu nilai suatu harta yang

dapat memberikan penerimaan tinggi akan mempunyai nilai lebih tinggi

dibandingkan suatu harta yang mempunyai kemampuan memberikan

penerimaan lebih rendah.

Page 160: IRPAN JAMIL - SPs.pdf - Repository UIN Syarif Hidayatullah ...

148

i. Principle of consistent use, yaitu nilai suatu kekayaan tergantung

penggunaan saat dilakukan penilaian. Perubahan penggunaan akan

mempengaruhi nilai suatu kekayaan.39

14. Standar Dokumentasi

a. Dokumen-dokumen pembiayaan mudharabah yang memerlukan legalisasi

akta notaris diutamakan untuk dibuat oleh notaris yang memiliki

pemahaman yang baik tentang prinsip syariah dan transaksi perbankan

syariah disamping keahlian dalam bidang kenotariatan.

b. Proses dokumentasi permohonan terkait pembiayaan mudharabah akan

menghasilkan 2 (dua) berkas yaitu berkas pembiayaan dan berkas agunan.

c. Berkas pembiayaan berisi berkas mulai dari aplikasi sampai pembiayaan

mudharabah lunas.

d. Berkas pembiayaan minimal terdiri dari :

Tabel 4.8

Syarat Pengajuan

No Jenis Dokumen

Syarat Pengajuan

Nasabah

Perorangan

Badan

Usaha

1 Formulir Aplikasi Asli diisi lengkap V V

2 Fotocopy KTP Calon Nasabah dan

suami/istri V

3 Fotocopy Surat Keluarga (KK) V

4 Fotocopy Surat Nikah V

5 KTP yang belum jath tempo dari pengurus

badan usaha yang mempunyai hak untuk

melakukan transaksi dengan bak

V

6 Fotocopy Surat Keterangan Domisili V

7 Fotocopy Sirat Izin Usaha (SIUP, TDP,

HO, SIUJK, dll) V V

8 Fotocopy NPWP Pribadi/SPT Pribadi V

9 Fotocopy NPWP Perusahaan dan Pengurus V

10 Fotocopy Akta Pendirian/Anggaran Dasar

dan Perubahannya V

11 Fotocopy pengesahan dari instansi yang

berwenang V

12 Fotocopy perizinan dari instansi terkait V

13 Fotocopy Rekening Tabungan/Giro V V

14 Lapora Keuangan Peusahaan (Neraca dan

L/R) dan atau fotocopy Bukti/Catatan

Transaksi Bisnis

V V

15 Offering Letter (surat penawaran V V

39

DPBS-OJK, Standar Produk Musyarakah…, h. 27

Page 161: IRPAN JAMIL - SPs.pdf - Repository UIN Syarif Hidayatullah ...

149

pembiayaan)

1. Pihak Bank perlu melakukan verifikasi dokumen sebelum mengabulkan

permohonan pembiayaan mudharabah.

2. Pihak Bank perlu melakukan verifikasi untuk menguji kebenaran data

aplikasi calon Nasabah dan memastikan tidak ada data fiktif dan atau

penipuan dalam setiap aplikasi permohonan pembiayaan mudharabah.

3. Hal-hal yang penting untuk diperhatikan dalam verifikasi dokumen adalah:

a. Penghasilan tambahan merupakan komponen penghasilan yang

rawan karena sering digunakan untuk mengkatrol penghasilan yang

sesungguhnya;

b. Verifikasi atas penghasilan tambahan dilakukan terhadap besarnya

penghasilan dan keterkaitan dengan sektor usaha yang digeluti

konsumen untuk mencegah adanya conflict of interest.

c. Penelitian lebih dalam perlu dilakukan jika terdapat inkonsistensi

antara data yang satu dengan lainnya dan atau ditemui adanya masa

tenggat dalam riwayat hidup.

d. Verifikasi terhadap kebenaran tempat kerja dan tempat tinggal dapat

dilakukan oleh pihak ketiga yang telah ditunjuk.

4. Ketentuan terkait lama waktu dan cara verifikasi dokumen disesuaikan

dengan profil Nasabah dan kebijakan lain yang dinilai penting oleh Bank.40

15. Standar Pengikatan Pembiayaan

Dokumen pembiayaan mudharabah yang telah ditandatangani oleh Nasabah

dapat kemudian dilakukan persiapan pengikatan pembiayaan dengan langkah

sebagai berikut:

a. Bank memastikan bahwa semua dokumen yang telah ditetapkan dalam

putusan pembiayaan telah lengkap dan telah diperiksa keabsahannya

(termasuk dokumen aslinya antara lain Sertifikat atau BPKB harus dicek

keasliannya), serta memastikan bahwa seluruh aspek yuridis yang berkaitan

dengan pembiayaan telah memberikan perlindungan bagi Bank.

b. Memastikan bahwa calon Nasabah telah membuka/memiliki rekening

giro/tabungan di Bank sebagaimana disyaratkan dalam pemberian fasilitas

pembiayaan.

c. Memastikan bahwa semua biaya-biaya yang berhubungan dengan

pembiayaan tersebut telah dilunasi oleh Nasabah pemohon, baik secara tunai

maupun overbooking, antara lain: Biaya Administrasi, Biaya Notaris, Biaya

Pengikatan Agunan, Biaya Premi Asuransi dan biaya lain yang

dipersyaratkan.

Setelah semua persyaratan diinyatakan lengkap, maka dapat dilaksanakan

penandatanganan Perjanjian Pembiayaan dan Pengikatan Agunan antara Bank

dengan Nasabah.41

40

DPBS-OJK, Standar Produk Musyarakah …, h. 28.

Page 162: IRPAN JAMIL - SPs.pdf - Repository UIN Syarif Hidayatullah ...

150

F. Analisis Kesesuaian Syariah dalam Pembiayaan Musyarakah dan

Mudharabah Pada Perbankan Syariah

Analisis ini bertujuan untuk memperdalam aspek kesesuaian syariah yang

dianggap penting baik dalam konteks teoritis maupun dalam konteks

implementasi yang pada akhirnya akan kelihatan apakah pembiayaan

musyarakah dan mudharabah itu sudah sesuai dengan prinsip-prinsip syariah

compliance atau belum. Analisis kesesuaian syariah ini tidak mengambil semua

aspek karena terlalu luasnya komponen yang berkaitan dengan kesesuaian

syariah. Disini peneliti hanya akan meneliti kesesuaian syariah dalam lingkup

yang dibatasi kepada aspek akad, objek akad, ketentuan pembiayaan, rukun dan

syarat pembiayaan yang meliputi aspek keuntungan, aspek kegiatan usaha dan

ketentuan tentang hukum pembiayaan. Dari aspek yang diteliti pada prinsipnya

hampir semua komponen sudah sesuai dengan prinsip-prinsip syariah yang

berlaku baik jika dilihat dalam lingkup fatwa DSN, Kompilasi Hukum

Ekonomi Syariah,POJK maupun standar AAOIFI, pengecualian misalkan

dalam standar POJK yang membolehkan adanya ta‟zir atau denda dalam

kondisi tertentu, sedangkan untuk jaminan fatwa DSN baik dalam pembiayaan

musyarakah dan mudharabah diperbolehkan untuk menghidari hal-hal yang

tidak diinginkan. Berikut disampaikan analisis dalam bentuk matriks yang

mengkaji hal tersebut :

41

. DPBS-OJK), Standar Produk Musyarakah …, h. 29

Page 163: IRPAN JAMIL - SPs.pdf - Repository UIN Syarif Hidayatullah ...

151

Tabel 4.9

TABEL MATRIKS KESESUAIAN SYARIAH (SYARIAH COMPLIANCE) DALAM PEMBIAYAAN MUSYARAKAH DAN

MUDHARABAH PADA PERBANKAN SYARIAH DI INDONESIA

PEMBIAYAAN FATWA DSN-MUI KOMPILASI HUKUM

EKONOMI SYARIAH

POJK STANDAR AAOFI

MUSYARAKAH Aspek Akad

a. Tujuan Kontrak (Akad)

b. Pihak-pihak yang berakad

/berkontak

c. Objek Akad : - Modal

- Kerja

- Keuntungan

- Kerugian

-Biaya

Operasional

Pihak-pihak yang berkontrak

harus cakap hukum.

Pada prinsipnya, dalam

pembiayaan musyarakah

tidak ada jaminan, namun

untuk menghindari

terjadinya penyimpangan,

LKS dapat memnita

jaminan.

a. Pasal 142 semua bentuk

akad syirkah harus cakap

melakukan perbuatan hukum

b. Pasal 146 dalam setiap kerja

sama modal, setiap anggota

syirkah harus musyarakah

modal berupa uang tunai

c. Ketentuan pembiayaan

Ketentuan pembiayaan tidak

disebutkan secara jelas dan

terperinci sebagaimana

halnya di Fatwa DSN

d. Ketentuan hukum

pembiayaan

Untuk ketentuan hukum juga

tidak disebut secara jelas

Ketentuan akad

a. Pembiayaan musyarakah

adalah pembiayaan berupa

akad kerjasama antara

pihak BUS/UUS/BPRS

dengan pihak nasabah

berupa penyatuan modal

oleh masing masing pihak

untuk melaksanakan usaha

atau proyek tertentu

dan/atau upaya untuk

memiliki aset tertentu yang

bertujuan untuk

memperoleh sejumlah

keuntungan dengan

ketentuan bahwa

keuntungan (profit) dan

kerugian (loss) akan

ditanggung bersama.

Keuntungan dibagi

berdasarkan kesepakatan

atau porsi modal sementara

a. Masing-masing pihak

dalam musyarakah

merupakan wakil

(trustee) atas pihak

lainnya terhadap aset

yang dimiliki

bersama, sehingga

seluruh pihak secara

bersama-sama

bertanggung jawab

atas segala

keuntungan dan

kerugian atas aset

tersebut.

- Distribusi kentungan

usaha dapat

berdasarkan laba

kotor (gross profit)

maupun laba bersih

(net profit) dengan

mempertimbangkan

keadilan dan

Page 164: IRPAN JAMIL - SPs.pdf - Repository UIN Syarif Hidayatullah ...

152

kerugian ditanggung hanya

sebesar porsi modal

masing-masing

b. Obyek akad; dapat berupa

aset , proyek atau usaha

yang akan menghasilkan

keuntungan bagi para pihak

c. Dalam perjanjian

pembiayaan musyarakah

antara BUS/UUS/BPRS

dan nasabah harus

dinyatakan secara jelas

bahwa kerjasama diantara

para pemilik modal

dilaksanakan dengan tujuan

mencari keutungan

d. Dalam perjanjian

pembiayaan musyarakah,

nasabah BUS/UUS/BPRS

sama-sama menyediakan

modal dan harus

dinyatakan dengan tegas

perbandingan antara modal

BUS/UUS/BPRS dan

modal nasabah

e. Nisbah bagi hasil tidak

harus selalu sama setiap

bulannya selama masa

pembiayaan, walaupun

transparansi;

- Dalam hal

keuntungan melebihi

target keuntungan

yang disepakati,

maka diperbolehkan

untuk

mendistribusikan

kelebihan

keuntungan tersebut

pada salah satu pihak

(atau seluruh pihak)

dengan menetapkan

jumlah tertentu bagi

pihak tertentu. Jika

keuntungan tidak

mencapai target stsu

berada di bawah

target, distribusi

keuntungan hanya

dilakukan sesuai

nisbah bagi hasil

yang disepakati

dalam perjanjian di

awal

- Dalam hal terjadi

kerugian dalam

usaha atau aset

modal yang

Page 165: IRPAN JAMIL - SPs.pdf - Repository UIN Syarif Hidayatullah ...

153

kontribusi modal tetap

ataupun juga kontribusi

modal menurun, selama hal

ini disepakati dari awal dan

sudah jelas tertulis pada

pembuatan akad. Hal ini

tergantung dari perhitungan

cash flow atas

proyek/usaha yang akan

dibiayai.

f. Terdapat ta‟zir dalam

kondisi tertentu

berkurang maka

kerugian ditanggung

secara proporsional

sesuai komposisi

penyertaan modal

masing-masing

pihak. Jika kerugian

diakibatkan oleh

salah satu pihak,

pihak tersebut yang

harus menanggung

seluruh akibat dari

kerugian tersebut.

- Nisbah keuntungan

atau pendapatan atau

pendapatan dari

musyarakah yag

merupakan hak

setiap harus secara

jelas

ditentukan/disepakat

i. Namun

diperbolehkan bagi

para pihak untuk

menyetujui nisbah

keuntungan yang

tidak selalu merujuk

kepada rasio

kepemilikan

Page 166: IRPAN JAMIL - SPs.pdf - Repository UIN Syarif Hidayatullah ...

154

modal/bagian. Juga

dibolehkan bagi para

pihak untuk

memelihara nisbah

keuntungan.

Meskipun rasio

kepemilikan modal

telah berubah, atau

menyepakati untuk

menguibah nisbah

keuntungan karena

perubahan dari rasio

kepemilikan modal.

Dalam penerapannya

para pihak harus

memastikan, bahwa

prinsip alokasi

kerugian yang sesuai

dengan rasio

kepemilikan saham,

harus tetap

dipertahankan.

MUDHARABAH a. Ketentuan Pembiayaan

- Yang meliputi

diantaranya jangka

waktu usaha

- Jumlah dana

pembiayaan harus

dinyatakan dengan jelas

a. Aspek akad

Aspek akad terdapat dalam

pasal 232 walaupun tidak

disebutkan secara terperinci

dan dimasukan kedalam

komponen kerja sama dan

modal

Ketentuan transaksi

pembiayaan

a. Akad yang digunakan

adalah mudharabah, yang

merupakan akad kerjasama

dalam suatu usaha antara

dua pihak pertama

Page 167: IRPAN JAMIL - SPs.pdf - Repository UIN Syarif Hidayatullah ...

155

- LKS Sebagai penyedia

dana menanggung

kerugian kecuali

mudharib melakukan

kesalahan

- Pada prinsipnya tidak

ada jaminan, namun

jika khawatir ada

penyimpangan, LKS

dapat memiliki jaminan

b. Rukun dan syarat

pembiayaan yang meliputi

- Pernyataan Ijab dan

kobul

- Aspek modal

- Aspek keuntungan

- Aspek kegiatan usaha

c. Beberapa ketentuan hukum

pembiayaan

b. Ketentuan pembiayaan

Ketentuan pembiyaan diatur

secara lebih lengkap dalam

pasal 238, 239 dan 240

c. Terdapat beberapa ketentuan

hukum terutama dalam pasal

251

(shahibulmal)

menyediakan seluruh

modal sedangkan pihak

kedua (mudharib)

bertindak selaku pengelola

dan yang mempunyai

keahlian sesuai usaha yang

akan dijalankan

b. Jumlah dana dari

pembiayaan mudharabah

harus dinyatakan dengan

jelas dalam bentuk tunai

dan merupakan modal yang

dikelola oleh nasabah

c. Modal yang diberikan oleh

bank dalam pembiayaan

mudharabah tidak boleh

berbentuk piutang

d. Keuntungan dari hasil

usaha atas hasil

pembiayaan mudharabah

adalah jumlah yang didapat

sebagai kelebihan dari

modal. Keuntungan

tersebut harus diperuntukan

untuk kedua pihak yang

berakad (bank dan

nasabah)

Ketentuan kondisi pembiayaan

Page 168: IRPAN JAMIL - SPs.pdf - Repository UIN Syarif Hidayatullah ...

156

a. Pembiayaan mudharabah

dapat ditujukan untuk

pembiayaan modal kerja

dan investasi

b. Pembiayaan mudharabah

dapat dilakukan untuk

pembiayaan jangka

panjang, jangka menengah

dan jangka pendek

berdasarkan jangka

waktnya

c. Keuntungan usaha yang

dibagikan kepada bank dari

usaha yang dijalankan oleh

nasabah harus sesuai

nisbah bagi hasil yang telah

disepakati

d. Nisbah bagi hasil harus

disepakati oleh para pihak

di awal akad, karena

termasuk dalam rukun

yang harus dipenuhi di

dalam akad

e. Nisbah bagi hasil

ditentukan berdasarkan

proyeksi pendapatan.

Page 169: IRPAN JAMIL - SPs.pdf - Repository UIN Syarif Hidayatullah ...

157

BAB V

IMPLEMENTASI PENERAPAN SYARIAH COMPLIANCE PADA

PERBANKAN SYARIAH

A. Penerapan Syariah Compliance pada Perbankan Syariah di Indonesia.

1. Syariah Compliance (Kepatuhan Syariah)

a. Definisi Syariah Compliance (Kepatuhan syariah)

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan

Syariah, ditetapkan bahwa bank-bank syariah Indonesia yang terdiri atas bank yang

sepenuhnya melaksanakan kegiatan usahanya berdasarkan prinsip syariah dan bank

konvensional yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah

melalui Unit Usaha Syariah (UUS) yang dimilikinya, tidak boleh melakukan

kegiatan usaha yang melanggar Prinsip Syariah, artinya bank dalam beroperasi

wajib mengikuti ketentuan-ketentuan hukum Islam khususnya menyangkut tata-cara

bermuamalat secara Islam.1

Sebagai salah satu lembaga keuangan syariah, bank umum syariah harus

mengacu pada prinsip-prinsip syariah dalam menjalankan segala kegiatan

operasional. Pemenuhan terhadap nilai-nilai syariah (syariah compliance) menjadi

aspek yang membedakan sistem konvensional dan syariah. Dalam Al-Qur'an Allah

SWT berfirman, Artinya: "Dan Aku tidak menciptakan jin & manusia kecuali untuk

menyembah ('ibadah) Ku.” (Ad-Dzariyat: 56).

Menurut ayat tersebut, eksistensi manusia dalam konteks kehidupannya di

alam dunia ini adalah untuk melaksanakan ibadah kepada Allah SWT, walau sekecil

apapun kegiatan itu. Sebagaimana halnya dengan pemasaran dan pembentukan

image perusahaan, harus didasari oleh niat untuk beribadah kepada Allah SWT, oleh

karena itulah hal demikian harus pula mengacu kepada prinsip- prinsip syariah.

Selain itu dalam tatanan dunia baru saat ini, Islam menjadi bagian solusi dalam

sistem kehidupan di mana masalah manusia dapat diatasi dengan perspektif

kebenaran yang berbeda dan dengan cara terbaik untuk mengembangkan keadilan

yang manusiawi pada berbagai tingkat eksistensi, individu, nasional dan

internasional.

Agar lebih memahami tentang konsep syariah compliance, berikut ini adalah

teori-teori terkait dengan syariah atau kepatuhan syariah yang diperoleh dar hasil

penelitian dan studi literatur. Berdasarkan Peraturan Bank Indonesia Nomor

13/2/PBI/2011 tentang Pelaksanaan Fungsi Kepatuhan Bank Umum, maka yang

dimaksud kepatuhan adalah nilai, perilaku, dan tindakan yang mendukung

terciptanya kepatuhan terhadap ketentuan Bank Indonesia dan peraturan perundang-

undangan yang berlaku, termasuk prinsip syariah bagi bank umum syariah dan unit

usaha syariah. Sebagai pemegang kebijakan perbankan di Indonesia, Bank Indonesia

telah menjadikan fatwa DSN sebagai hukum positif bagi perbankan syariah.2

1 Undang-Undang Nomor 21 tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah.

2 Peraturan Bank Indonesia Nomor 13/2/PBI/2011 tentang Pelaksanaan Fungsi

Kepatuhan Bank Umum,

Page 170: IRPAN JAMIL - SPs.pdf - Repository UIN Syarif Hidayatullah ...

158

Hal ini tertuang dalam Pasal 1 angka 12 Undang-Undang No. 21 Tahun 2008

yang di dalamnya dijelaskan mengenai prinsip hukum Islam dalam kegiatan

perbankan berdasarkan fatwa yang dikeluarkan oleh lembaga yang memiliki

kewenangan dalam penetapan fatwa dibidang syariah. Berdasarkan ketentuan ini,

maka apa itu prinsip syariah dan syaratnya berpedoman pada berbagai fatwa yang

dikeluarkan oleh Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI)

yang terkait dengan perbankan syariah, artinya fatwa DSN menjadi peraturan Bank

Indonesia yang mengatur aspek syariah bagi perbankan syariah. 3

Tuntutan Pemenuhan Prinsip Syariah (syariah compliance), jika dirujuk

kembali pada sejarah perkembangan bank syariah, alasan utama dari eksistensi

perbankan syariah yaitu munculnya kesadaran masyarakat muslim yang ingin

menjalankan seluruh aktivitas keuangannya berdasarkan al-Qur‘an dan Sunnah,

dalam konteks itulah jaminan mengenai pemenuhan terhadap syariah (syariah

compliance) dari seluruh aktivitas pengelolaan dana nasabah oleh bank syariah

merupakan hal yang sangat penting dalam kegiatan usaha bank syariah. Allah

berfirman dalam QS Asy -Syura ayat 13. ―Dia (Allah) telah mensyariatkan bagi

kamu tentang agama apa yang telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang

telah kami wahyukan kepadamu dan apa yang telah kami wasiatkan kepada

Ibrahim, Musa dan Isa yaitu: Tegakkanlah agama dan janganlah kamu berpecah

belah tentangnya, amat berat bagi orang-orang musyrik agama yang kamu seru

mereka kepadanya. Allah menarik kepada agama itu orang yang dikehendaki-Nya

dan memberi petunjuk kepada (agama)-nya orang yang kembali (kepada-Nya)”

(Q.S Asy –Syura :13).

Dalam ayat tersebut, dijelaskan bahwa kita selaku umat Islam mempunyai

pedoman hidup yaitu al-Quran. Dengan al-Quran inilah hidup seorang muslim akan

terarah serta terdapat di jalan yang benar. Tidak berbeda dengan teori pada

perbankan syariah, yang menjadi pedoman dasarnya adalah al-Quran dan Sunnah

sehingga harus selalu sesuai dan patuh dengan prinsip-prinsip syariah. Makna

kepatuhan syariah (syariah compliance) merupakan penerapan prinsip-prinsip dalam

Islam, syariah dan tradisinya dalam transaksi keuangan dan perbankan serta bisnis

lain yang terkait. Selain itu syariah compliance juga diartikan sebagai salah satu

indikator terhadap pengungkapan islami untuk menjamin kepatuhan perbankan

syariah terhadap prinsip syariah, hal itu berarti bahwa syariah compliance

merupakan bentuk pertanggungjawaban pihak bank dalam pengungkapan kepatuhan

bank terhadap prinsip syariah. Kepatuhan syariah (Syariah compliance) merupakan

manifestasi pemenuhan seluruh prinsip syariah dalam lembaga yang memiliki wujud

karakteristik, integritas dan kredibilitas di bank syariah. Dimana budaya kepatuhan

tersebut adalah nilai, perilaku dan tindakan yang mendukung terciptanya kepatuhan

bank syariah.4 Sedangkan menurut Adrian Sutedi, makna kepatuhan syariah secara

operasional adalah kepatuhan kepada Fatwa Dewan Syariah Nasional (DSN) karena

Fatwa DSN merupakan perwujudan prinsip dan aturan syariah yang harus ditaati

dalam perbankan syariah.5

3 Undang-Undang Nomor 21 tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah.

4 Sutedi, Kepatuhan Syariah (Syariah Compliance) …, h. 26.

5 Sutedi, Kepatuhan Syariah (Syariah Compliance)…, h. 26.

Page 171: IRPAN JAMIL - SPs.pdf - Repository UIN Syarif Hidayatullah ...

159

Dari beberapa definisi yang telah dijelaskan di atas, dapat dipahami bahwa

kepatuhan syariah (syariah compliance) merupakan ketaatan lembaga keuangan

syariah (dalam hal ini perbankan syariah) terhadap prinsip-prinsip syariah yang

menjadikan fatwa DSN MUI, peraturan Bank Indonesia (BI) dan peraturan Otoritas

Jasa Keungan (OJK) sebagai landasan dalam produk, transaksi, dan operasional di

bank syariah. Penerapan prinsip syariah compliance merupakan wujud pertanggung

jawaban bank syariah kepada masyarakat bahwa suatu bank syariah dikelola dengan

baik, profesional dan hati-hati (prudent) dengan tetap selalu berupaya meningkatkan

nilai pemegang saham (shareholder‟s value) tanpa mengabaikan kepentingan

stakeholder‟s lainnya.6 Syariah compliance atau kepatuhan syariah tersebut secara

konsisten dijadikan sebagai kerangka kerja bagi sistem dan keuangan bank syariah

dalam alokasi sumber daya, manajemen, produksi, aktivitas pasar modal, dan

distribusi kekayaan. Kepatuhan syariah dalam operasional bank syariah tidak hanya

meliputi produk saja, akan tetapi juga meliputi sistem, teknik, dan identitas

perusahaan.

b. Dimensi Syariah Compliance (Kepatuhan Syariah)

Berdasarkan landasan filosofis, sistem ekonomi Islam terdiri dari nilai, prinsip

dan tujuan. Dimana ketiga hal tersebut secara khusus, bersumber dari Al-Quran dan

Sunnah yang menjadi dasar dari pandangan hidup Islam. Nilai-nilai dasar yang

dilahirkan dari pandangan hidup Islam dalam ekonomi yakni:

1 Keadilan, dengan menjunjung tinggi nilai kebenaran, kejujuran,

keberanian dan konsistensi pada kebenaran

2 Pertanggungjawaban, untuk memakmurkan bumi dan alam semesta

sebagai tugas seorang khalifah.

3 Takaful (jaminan sosial), adanya jaminan sosial di masyarakat akan

mendorong terciptanya hubungan yang baik di antara individu dan

masyarakat, karena islam tidak hanya mengajarkan hubungan vertikal,

namun juga menempatkan hubungan horizontal ini secara seimbang.

Nilai-nilai dasar ekonomi Islam tersebut sejalan dengan ajaran Islam tentang

hubungan manusia dengan diri serta lingkungan sosialnya, yang direpresentasikan

kedalam empat aksioma etik yaitu tauhid yang merupakan sumber utama ajaran

Islam yang percaya penuh terhadap tuhan, keseimbangan (equilibrium) yang

merupakan prinsip yang menunjuk pada cita-cita sosial, kehendak bebas (Free will)

yang merupakan kemampuan untuk menentukan pilihan sehinggga menjadikan

manusia sebagai khalifah dimuka bumi, serta tanggung jawab (responsibility)

dengan melahirkan konsep perbuatan yang dilakukan harus memberi kebaikan

(maslahah) sebesar-besarnya pada masyarakat dan konsep tanggung jawab lahir

secara sukarela dari dalam diri manusia bukan paksaan.7 Sedangkan prinsip dan

tujuan sistem ekonomi Islam yang juga bersumber pada ajaran syar‟i tidak bisa

terlepas dari konsep untuk meningkatkan kesejahteraan seluruh manusia, yang

terletak pada terlindunginya keimanan (al-din), jiwa (al-nafs), akal (al-aql),

6 Sjahdeini, Perbankan Islam dan Kedudukannya…, h.2.

7 M. Dawam Rahardjo, Arsitektur Ekonomi Islam Menuju Kesejahteraan Sosial,

(Bandung, Mizan, 2017), h. 18.

Page 172: IRPAN JAMIL - SPs.pdf - Repository UIN Syarif Hidayatullah ...

160

keturunan (al-nasl) dan kekayaan (al-mal). Nilai, prinsip dan tujuan dalam Sistem

Ekonomi Islam tersebut menjadi dasar dalam segala transaksi syariah termasuk pada

syariah compliance atau kepatuhan perbankan syariah pada prinsip-prinsip syariah

dimana hal ini sudah di atur dalam berbagai peraturan yang salah satunya adalah

Undang-undang No 21 tahun 2008.

Dalam undang-undang tersebut dijelaskan bahwa bank syariah dinyatakan

telah memenuhi kepatuhan pada prinsip-prinsip syariah (syariah complience)

apabila dalam semua transaksi dan kegiatan usahanya tidak mengandung unsur riba,

maisir, gharar, haram dan zalim serta perbankan syariah dalam melakukan kegiatan

usahanya berdasarkan demokrasi ekonomi dan prinsip kehati-hatian.8

Demokrasi ekonomi yang dimaksud adalah kegiatan ekonomi syariah yang

mengandung nilai keadilan, kebersamaan, pemerataan, dan kemanfaatan. Sedangkan

yang dimaksud dengan prinsip kehati-hatian adalah pedoman pengelolaan bank yang

wajib dianut guna mewujudkan perbankan yang sehat, kuat, dan efisien sesuai

dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Selain itu, transaksi yang berbasis

syariah harus berasaskan pada beberapa prinsip yaitu persaudaraan (ukhuwah),

keadilan (al-adalah), kemaslahatan (maslahah), keseimbangan (tawazun) dan

universalisme (syumuliyah).9

1) Persaudaraan (ukhuwah)

Prinsip persaudaraan esensinya merupakan nilai universal yang menata

interaksi sosial dan harmonisasi kepentingan para pihak untuk kemanfaatan secara

umum dengan semangat saling tolong menolong. Sebagaimana yang tercantum

dalam Q.S al-Hujurat ayat 10, Artinya : “Orang-orang beriman itu Sesungguhnya

bersaudara. sebab itu damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara kedua

saudaramu itu dan takutlah terhadap Allah, supaya kamu mendapat rahmat.” (Q.S

Al-Hujurat 10).

Menurut Quraish Shihab, ayat tersebut menerangkan bahwa orang-orang yang

beriman kepada Allah dan Rasul-Nya adalah bersaudara, sebab iman yang ada telah

menyatukan hati mereka.10

Jika mengartikan ukhuwah dalam arti ―persamaan‖

sebagaimana arti asalnya dan penggunaananya dalam beberapa ayat dan hadits,

kemudian merujuk kepada al-Quran dan sunnah, maka paling tidak dapat

menemukan ukhuwah tersebut tercermin dalam empat hal berikut:

Ukhuwah,Ubudiyah atau saudara sesama makhluk dan sama-sama tunduk kepada

Allah. Dalam hal ini berarti bahwa seluruh makhluk adalah bersaudara yaitu

memiliki kesamaan. Ukhuwah Insaniyyah atau (basyariyyah) yaitu persaudaraan

sesama umat manusia. Manusia mempunyai motivasi dalam menciptakan iklim

persaudaraan hakiki yang berkembang atas dasar rasa kemanusiaan yang bersifat

universal bahwa seluruh manusia di dunia adalah bersaudara. Ukhuwah Wathaniyah

wa al-nasab atau ukhuwah kebangsaan, yakni saudara dalam arti sebangsa walaupun

tidak seagama. Quraish Shihab menjelaskan bahwa guna memantapkan ukhuwah

kebangsaan walau tidak seagama, pertama kali al-Quran menggaris bawahi bahwa

perbedaan adalah hukum yang berlaku dalam kehidupan ini. Selain perbedaan

8 Sutedi, Kepatuhan Syariah (Syariah Compliance)…, h. 26.

9 Rahardjo, Arsitektur Ekonomi Islam …, h. 19.

10 Rahardjo, Arsitektur Ekonomi Islam …, h. 19.

Page 173: IRPAN JAMIL - SPs.pdf - Repository UIN Syarif Hidayatullah ...

161

tersebut merupakan kehendak Allah, juga demi kelestarian hidup, sekaligus demi

mencapai tujuan kehidupan makhluk di pentas bumi.11

Ukhuwah fi al-din al-Islam

atau persaudaraan antara sesama muslim yakni persaudaraan yang terjalin sesama

umat Islam. bentuk ukhuwah ini tidak dibatasi oleh wilayah, kebangsaan atau

ras,sebab seluruh umat Islam di seluruh dunia di manapun mereka berada adalah

sama-sama bersaudara. Suatu umat, bangsa, dan negara tidak akan berdiri dengan

tegak bila di dalamnya tidak terdapat persaudaraan. Persaudaraan ini tidak akan

terwujud tanpa saling bekerjasama dan saling mencintai di antara sesama. Setiap

masyarakat yang tidak diikat dengan tali persaudaraan, tidak mungkin bersatu dalam

satu prinsip untuk mencapai tujuan bersama.

Berkaitan dengan apa yang telah dikemukakan tersebut, maka dapat

dirumuskan bahwa ukhuwah sangat penting dalam kehidupan, termasuk dalam hal

transaksi syariah yang sejatinya harus selalu menjunjung tinggi nilai persaudaraan.

Transaksi syariah menjunjung nilai kebersamaan dalam memperoleh manfaat

(sharing economics), sehingga seseorang tidak boleh mendapat keuntungan di atas

kerugian orang lain. Persaudaraan dalam transaksi syariah berdasarkan prinsip saling

mengenal (ta‟aruf), saling memahami (tafahum), saling menolong (ta‟awun),

saling menjamin (takaful), saling bersinergi dan beraliansi (tahalul).12

2) Keadilan (al-adalah)

Hakikat dari prinsip keadilan (al-adalah) yakni menempatkan sesuatu hanya

pada tempatnya dan memberikan sesuatu hanya pada yang berhak serta

memperlakukan sesuatu sesuai dengan posisinya. Sesuai dengan anjuran dalam Q.S

al-Maidah ayat 8 yaitu: “Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu Jadi

orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi

dengan adil. dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum,

mendorong kamu untuk Berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih

dekat kepada takwa. dan bertakwalah kepada Allah, Sesungguhnya Allah Maha

mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (Q.S Al-Maidah :8).

Ayat tersebut memiliki tafsir bahwa ketidaksenangan kita terhadap seseorang

atau suatu kaum jangan sampai menyebabkan berlaku tidak adil, karena ciri khas

Islam adalah tauhid dan keadilan. Menurut Quraish Shibab, setidaknya terdapat

empat makna keadilan, yakni : Pertama, al-adl dalam arti ―sama‖ (persamaan) yaitu

persamaan di dalam hak. Berdasarkan hal itu keadilan adalah hak setiap manusia

dengan sebab sifatnya sebagai manusia dan sifat ini menjadi dasar keadilan di dalam

ajaran-ajaran ketuhanan. Kedua, kata al-adl dalam arti ―seimbang‖. Makna keadilan

di dalam pengertian keseimbangan menimbulkan keyakinan bahwa Allah yang.maha

bijaksana dan maha mengetahui serta menciptakan, mengelola segala sesuatu

dengan ukuran, kadar, dan waktu tertentu guna mencapai tujuan serta mengantarkan

pemahaman pada pengertian konsep ―Keadilan Ilahi‖. Ketiga, kata al-adl dalam arti

―perhatian terhadap hak-hak individu dan memberikan hak-hak itu kepada setiap

pemiliknya‖. Pengertian inilah yang didefinisikan dengan menempatkan sesuatu

pada tempatnya. Pengertian al-adl seperti ini melahirkan keadilan sosial. Keempat,

11 M.Quraish Shihab, Wawasan al-Quran, Tafsir Tematik Atas Berbagai Persoalan

Umat, (bandung, Mizan, 2018) h.530 12 Shihab, Wawasan al-Quran, Tafsir … h.530

Page 174: IRPAN JAMIL - SPs.pdf - Repository UIN Syarif Hidayatullah ...

162

kata al-adl yang diartikan dengan ―yang menisbahkan kepada Allah‖. Disini kata al-

adl berarti memelihara kewajaran atas berlanjutnya eksistensi.13

Dari penjelasan di

atas, keadilan dalam Islam dapat di implementasikan ke dalam:

a) Keadilan sosial

Secara sosial, nilai yang membedakan satu dengan yang lain adalah

ketaqwaan, ketulusan hati, kemampuan dan pelayanan pada manusia. Hukum Allah

tidak membedakan kaya dan yang miskin, demikian juga tidak membedakan hitam

dan putih.

b) Keadilan ekonomi

Konsep persaudaraan dan perlakuan yang sama bagi setiap individu dalam

masyarakat dan dihadapan hukum harus diimbangi oleh keadilan ekonomi. Tanpa

pengimbangan tersebut, keadilan sosial kehilangan makna. Dengan keadilan

ekonomi, setiap individu akan mendapatkan haknya sesuai dengan kontribusi

masing-masing kepada masyarakat. Setiap individu pun harus terbebaskan dari

eksploitasi dan keterpaksaan individu lainnya. Islam dengan tegas melarang seorang

muslim merugikan orang lain.14

Implementasi keadilan dalam kegiatan usaha berupa aturan prinsip muamalah

yang melarang adanya unsur riba, kezaliman, maysir, gharar dan haram, seperti

yang terdapat dalam pasal 2 Undang-Undang No 21 tahun 2008. Riba yang

dimaksud adalah pengambilan tambahan, baik dalam transaksi jual beli maupun

pinjam-meminjam secara batil atau bertentangan dengan prinsip muamalah Islam.

Secara garis besar riba dikelompokkan menjadi dua yaitu riba utang- piutang dan

riba jual beli, dimana riba utang piutang terbagi lagi menjadi riba qardh yaitu suatu

manfaat atau tingkat kelebihan tertentu yang disyaratkan terhadap yang berhutang

dan riba jahiliyyah yaitu pembayaran utang yang melebihi dari pokoknya karena

peminjam tidak dapat membayar utangnya pada waktu yang ditetapkan. Sedangkan

riba jual beli terbagi kepada yaitu riba jual beli atas barang yang tidak seimbang

kualitas dan kuantitas.riba nasi‟ah yaitu penangguhan penyerahan atau penerimaan

jenis barang ribawi yang dipertukarkan dengan jenis barang ribawi lainnya, riba

nasi‟ah muncul karena adanya perbedaan, perubahan, atau tambahan antara yang

diserahkan saat ini dengan yang diserahkan kemudian.15

Maisir adalah suatu

transaksi yang digantungkan kepada suatu keadaan yang tidak pasti dan bersifat

untung-untungan. Gharar adalah transaksi yang objeknya tidak jelas, tidak ada atau

tidak dimiliki oleh penjual, tidak diketahui keberadaannya, atau tidak dapat

diserahkan pada saat transaksi dilakukan kecuali diatur dalam syariah. Haram yaitu

transaksi yang objeknya dilarang dalam prinsip-prinsip syariah. Zalim yaitu

transaksi yang dapat menimbulkan ketidakadilan dan kerugian bagi pihak.

3) Kemaslahatan (maslahah)

Secara etimologis, arti maslahah dapat berarti kebaikan, kebermanfaatan,

kepantasan, kelayakan, keselarasan, kepatutan. Kata al-maslahah dilawankan

dengan kata al-mafsadah yang artinya kerusakan. Menurut al-Gazali, yang

13 Shihab, Wawasan al-Quran, Tafsir … h.530 14 Shihab, Wawasan al-Quran, Tafsir … h.531 15 Jaih Mubarok dan Hasanudin, Fikih Mumalah Maliyyah, Akad Syirkah dan

Mudharabah, (Bandung, Simbiosa Rekatama Media, 2018) h.194.

Page 175: IRPAN JAMIL - SPs.pdf - Repository UIN Syarif Hidayatullah ...

163

dimaksud maslahah dalam arti terminologis-syar‟i, adalah memelihara dan

mewujudkan tujuan syara yang berupa memelihara agama, jiwa, akal budi,

keturunan, dan harta kekayaan. Ditegaskan oleh al-Gazâli bahwa setiap sesuatu yang

dapat menjamin dan melindungi eksistensi kelima hal tersebut dikualifikasi sebagai

maslahah, sebaliknya setiap sesuatu yang dapat mengganggu dan merusak kelima

hal tersebut dinilai sebagai mafsadah. Prinsip kemaslahatan (maslahah) esensinya

merupakan segala bentuk kebaikan dan manfaat yang berdimensi duniawi dan

ukhrawi, material dan spiritual, individual dan kolektif.Kemaslahatan yang diakui

harus memenuhi dua unsur yakni kepatuhan syariah (halal) serta bermanfaat atau

membawa kebaikan dalam semua aspek secara keseluruhan yang tidak

menimbulkan kemudharatan. Transaksi syariah yang dianggap maslahat harus

memenuhi secara keseluruhan unsur-unsur yang menjadi tujuan ketetapan syariah

(maqasid syariah) yaitu berupa pemeliharaan terhadap agama, akal, keturunan, nafs,

harta benda, dalam hal ini dapat berupa zakat, infaq, dan shadaqah.16 Dalam al-

Quran surah At-Taubah ayat 103 sebagai berikut: “Ambillah zakat dari sebagian

harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka dan

mendoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa

bagi mereka. dan Allah Maha mendengar lagi Maha mengetahui.” (Q.S At-Taubah

103).

Dari tafsir ayat tersebut Allah SWT memerintahkan rasul- Nya untuk

mengambil zakat dari harta guna membersihkan dan menyucikan mereka. Kesadaran

untuk menunaikan zakat bagi setiap muslim merupakan kata kunci bagi terciptanya

umat yang sejahtera. Hal ini karena kewajiban membayar zakat merupakan poros

utama dalam sistem keuangan Islam (fiskal), dan sejalan dengan prinsip distribusi

dalam Islam agar harta tersebut tersebar pada seluruh rakyat.

Mekanisme yang selama ini dipahami umat ialah kewajiban membayar zakat

hanya sebagai rutinitas ibadah biasa yang hampir menghilangkan makna zakat itu

sendiri serta tanpa memahami manfaat sosial, moral dan ekonomi yang tercipta

secara luas bagi umat Islam dimana sesungguhnya zakat yang selain dapat

mensucikan harta, juga dapat mendistribusikan harta kekayaan secara lebih merata.

Selain itu penerapan prinsip kemaslahatan juga harus dilihat darri keseluruhan

produk yang ada, dimana produk dituntut agar dapat memberikan kemaslahatan atau

kebaikan bagi semua pihak yang ikut serta dalam transaksi.

4) Keseimbangan (tawazun)

Makna keseimbangan atau tawazun merupakan suatu sikap seseorang untuk

memilih titik yang seimbang atau adil dalam menghadapi suatu persoalan. Hal

tersebut tercermin dalam Q.S Al-Isra ayat 35 sebagai berikut Artinya :“Yang telah

menciptakan tujuh langit berlapis-lapis. kamu sekali-kali tidak melihat pada ciptaan

Tuhan yang Maha Pemurah sesuatu yang tidak seimbang. Maka lihatlah berulang-

ulang, Adakah kamu Lihat sesuatu yang tidak seimbang?” (Q.S Al-Mulk 3).

Ayat di atas menerangkan agar manusia berfikir dan mengambil pelajara dari

ciptaan-Nya yang sangat sempurna dan seimbang seperti halnya matahari, bintang,

bulan, benda langit yang diam dan bergerak semua sudah ada haknya.

16 Mubarok dan Hasanudin, Fikih Mumalah Maliyyah, … h.195.

Page 176: IRPAN JAMIL - SPs.pdf - Repository UIN Syarif Hidayatullah ...

164

Tidak berbeda halnya dengan manusia yang secara fitrah mempunyai tiga

potensi yaitu al-jasad (jasmani), al-aql (akal) dan al-ruh (ruhani). Islam

menghendaki ketiga dimensi tersebut dalam keadaan seimbang (tawazun). Untuk itu

ketiga potensi tersebut membutuhkan asupan masing-masing yang berbeda, seperti

al- jasad (jasmani) yang membutuhkan makanan halal, al-aql (akal) yang

membutuhkan ilmu dan al-ruh (ruhani) yang membutuhkan kedekatan kepada

pencipta. Dengan adanya keseimbangan d idalam hidup, manusia akan dapat meraih

kebahagiaan hakiki yang merupakan kenikmatan dari Allah SWT.

Bagitupun dalan transaksi yang berasaskan prinsip syariah, wajib mengikuti

pada prinsip keseimbangan. Prinsip keseimbangan (tawazun) dalam transaksi

perbankan syariah dapat di aplikasikan dengan tidak hanya menekankan pada

memaksimalkan keuntungan semata untuk kepentingan pemilik. Sehingga manfaat

yang didapatkan tidak hanya difokuskan pada pemegang saham saja, akan tetapi

pada semua pihak yang dapat merasakan manfaat dari adanya suatu kegiatan

ekonomi. Karena prinsip keseimbangan (tawazun) esensinya meliputi keseimbangan

aspek material dan spiritual, aspek privat dan publik, sektor keuangan dan sektor riil,

bisnis dan sosial, dan keseimbangan aspek pemanfaatan dan pelestarian. Hal tersebut

dapat tercapai dengan adanya sistem bagi hasil yang diterapkan, dimana pada

umumnya bank syariah mensyaratkan adanya kemitraan nasabah yang harus sharing

the profit and the risk secara bersama-sama.

5) Universalisme (syumuliyah).

Transaksi syariah terikat dengan nilai-nilai etis meliputi aktivitas sektor

keuangan dan sektor riil yang dilakukan secara koheren tanpa dikotomi sehingga

keberadaan dan nilai uang mencerminkan cerminan aktivitas investasi dan

perdagangan. Prinsip universalisme tercermin dalam Q.S Al-Hujuraat ayat 13

sebagai berikut: “Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari

seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa -

bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal- mengenal. Sesungguhnya

orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa

diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.” (Q.S

al-Hujuraat 13).

Pada ayat diatas mengandung anjuran untuk saling mengenal bukan untuk

saling membanggakan ketinggian nasab atau keturunan.Sesuai dengan prinsip

universalisme (syumuliah) yang esensinya sesuatu dapat dilakukan oleh, dengan,

dan untuk semua pihak yang berkepentingan tanpa membedakan suku, agama, ras

dan golongan, sesuai dengan semangat kerahmatan semesta. Sesungguhnya Allah

Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.” (Q.S al-Hujuraat 13).

Pada ayat diatas mengandung anjuran untuk saling mengenal bukan untuk

saling membanggakan ketinggian nasab atau keturunan.Sesuai dengan prinsip

universalisme (syumuliah) yang esensinya sesuatu dapat dilakukan oleh, dengan,

dan untuk semua pihak yang berkepentingan tanpa membedakan suku, agama, ras

dan golongan, sesuai dengan semangat kerahmatan semesta. Dalam kaitan dengan

prinsip universalisme, transaksi perbankan syariah juga dapat dilakukan dengan

mata uang asing/orang berkebangsaan asing tanpa terkecuali. Seperti pada PSAK

101 paragraf 87 dengan beberapa ketentuan yakni untuk setiap jenis instrumen

Page 177: IRPAN JAMIL - SPs.pdf - Repository UIN Syarif Hidayatullah ...

165

pendanaan dalam mata uang asing, entitas syariah harus mengungkapkan informasi

berikut ini;

a) Karakteristik umum dari setiap instrumen pendanaan termasuk informasi

mengenai nisbah bagi hasil/margin/ ujroh dan nama pemodal

b) Nilai nominal dalam mata uang asing, jangka waktu, tanggal jatuh tempo,

jadwal angsuran dan pembayaran.

c) Dasar konversi menjadi efek lain jika instrumen pendanaan dapat dikonversi

d) Nilai kurs yang digunakan pada tanggal neraca

e) Jaminan

f) Hal penting lainnya.

2. Ketentuan Syariah Compliance

Beberapa ketentuan yang dapat digunakan untuk menilai ketaatan syariah di

dalam perbankan syariah, antara lain sebagai berikut:

a. Akad atau kontrak yang digunakan untuk pengumpulan dan penyaluran dana

sesuai dengan prinsip-prinsip syariah dan aturan syariah yang berlaku.

b. Seluruh transaksi dan aktivitas ekonomi dilaporkan secara wajar sesuai

dengan standar akuntansi syariah yang berlaku.

c. Lingkungan kerja dan corporate culture sesuai dengan syariah.

d. Bisnis usaha yang dibiayai tidak bertentangan dengan syariah.

e. Terdapat Dewan Pengawas Syariah (DPS) sebagai pengarah syariah atas

keseluruhan aktivitas operasional bank syariah.

f. Sumber dana berasal dari sumber yang sah dan halal menurut syariah.17

3. Pengawasan Kepatuhan Bank syariah

Dengan adanya aspek syariah yang harus diawasi di luar kegiatan operasional,

membuat pengawasan bank syariah memiliki keunikan tersendiri. Sebelum

berlakunya Undang-undang Nomor 21 Tahun 2011. Pengawasan dalam bidang

keuangan dan operasional dilakukan oleh Bank Indonesia, namun saat ini

pengawasan tersebut dilakukan oleh OJK sebagai otoritas pengawasan lembaga

keuangan, sedangkan pengawasan aspek kepatuhan syariah tetap dilakukan oleh

DPS.

Sebagai sebuah alternatif, perbankan syariah harus memiliki sistem yang

berbeda dari perbankan yang telah ada. Sistem yang berbeda bukan hanya sekedar

ucapan ataupun istilah, tetapi juga perlakuan terhadap jaminan rasa aman terhadap

nasabah. Oleh karena itu, pencantuman label syariah, pada hakekatnya mengandung

konsekuensi yang cukup berat, sehingga mekanisme pengawasannya perlu

diperketat agar amanah dan kepercayaan nasabah terjaga dengan baik.

Industri perbankan syariah sejatinya dijalankan berdasarkan prinsip dan

sistem syariah. Oleh karena itu kesesuaian operasional dan praktik bank syariah

dengan syariah Islam merupakan hal yang paling mendasar dalam perbankan

syariah.

17 Mubarok dan Hasanudin, Fikih Mumalah Maliyyah, … h.197.

Page 178: IRPAN JAMIL - SPs.pdf - Repository UIN Syarif Hidayatullah ...

166

B. Analisis Penerapan Syariah Compliance Pada Perbankan Syariah

Syariah Compliance adalah bagian diantara aspek yang membedakan

ekonomi syariah dengan ekonomi konvensional atau antara perbankan syariah

dengan perbankan konvensional4. Kepatuhan syariah adalah bagian dari pelaksanaan

framework manajemen risiko, dan mewujudkan budaya kepatuhan dalam mengelola

resiko perbankan Islam. Kepatuhan syariah (shariah compliance) juga memiliki

standar internasional yang disusun dan ditetapkan oleh Islamic Financial Service

Board (IFSB) dimana kepatuhan syariah merupakan bagian dari tata kelola lembaga

(corporate governance). Kepatuhan syariah merupakan manifestasi pemenuhan

seluruh prinsip syariah dalam lembaga yang memiliki wujud karakteristik, integritas

dan kredibilitas di bank syariah. Dimana budaya kepatuhan tersebut adalah nilai,

perilaku dan tindakan yang mendukung terciptanya kepatuhan bank syariah terhadap

seluruh ketentuan Bank Indonesia.

Secara umum, konsep dasar fungsi kepatuhan berfungsi sebagai pelaksana dan

pengelola risiko kepatuhan yang berkoordinasi dengan satuan kerja dalam

manajemen resiko. Fungsi kepatuhan melakukan tugas pengawasan yang bersifat

preventif dan menjadi elemen penting dalam pengelolaan dan operasional bank

syariah, pasar modal, asuransi syariah, pegadaian syariah serta lembaga keuangan

syariah non bank (koperasi jasa keuangan syariah). Hal ini dilakukan untuk

memastikan bahwa kebijakan, ketentuan, sistem dan prosedur yang dilakukan oleh

perbankan Islam telah sesuai dengan ketentuan dan peraturan perundang-undangan

Bank Indonesia, Pemerintah,OJK, Bapepam-LK, Fatwa MUI, serta penetapan

hukum yang telah ditetapkan dalam standar internasional IFSB, AAOIFI, Syariah

Supervisory Board (SSB).18

1. Fungsi Syariah Compliance Terhadap Lembaga Keuangan Syariah

Dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor 13/2/Pbi/2011 Tentang Pelaksanaan

Fungsi Kepatuhan Bank Umum pada pasal 3 di jelaskan bahwa Fungsi Kepatuhan

Bank meliputi tindakan untuk:

a. Mewujudkan terlaksananya Budaya Kepatuhan pada semua tingkatan

organisasi dan kegiatan usaha Bank;

b. Mengelola Risiko Kepatuhan yang dihadapi oleh Bank;

c. Memastikan agar kebijakan, ketentuan, sistem, dan prosedur serta kegiatan

usaha yang dilakukan oleh Bank telah sesuai dengan ketentuan Bank

Indonesia dan peraturan perundang-undangan yang berlaku, termasuk Prinsip

Syariah bagi Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah; dan

d. Memastikan kepatuhan Bank terhadap komitmen yang dibuat oleh Bank

kepada Bank Indonesia dan/atau otoritas pengawas lain yang berwenang.

Kepatuhan syariah merupakan manifestasi pemenuhan prinsip-prinsip syariah

oleh bank Syariah yang memiliki wujud karakteristik, integritas, dan kredibilitas.

Budaya kepatuhan tersebut berupa nilai, perilaku, dan tindakan yang mendukung

terciptanya kepatuhan bank syariah terhadap seluruh ketentuan BI. UU Perbankan

18 Sepky Mardian, Tingkat Kepatuhan Syariah di Lembaga Keuangan Syariah, (Jurnal

Akuntansi dan Keuangan Islam) Vol.3, No.1, 2015 h.57

Page 179: IRPAN JAMIL - SPs.pdf - Repository UIN Syarif Hidayatullah ...

167

Syariah mewajibkan kegiatan usaha serta produk dan jasa yang dilakukan serta

dikeluarkan oleh bank Syariah harus tunduk pada prinsip Syariah. Kewajiban untuk

menerapkan prinsip Syariah haruslah dilakukan secara menyeluruh dan konsisten.

Ketidakpatuhan terhadap prinsip syariah diancam dengan sanksi administratif yang

dikenakan pada para pihak yang tidak melaksanakan atau menghalang- halangi

pelaksanaan prinsip syariah.

Dalam tata kelola sebuah perusahaan, kepatuhan memiliki arti suatu

spesifikasi, standar atau hukum yang telah diatur dengan jelas yang telah diterbitkan

oleh lembaga atau organisasi yag berwenang dalam suatu bidang tertentu.

Kepatuhan berfungsi sebagai pelaksana dan pengelola risiko kepatuhan yang

berkoordinasi dengan satuan kerja dalam manajemen resiko. Fungsi kepatuhan

melakukan tugas pengawasan yang bersifat preventif dan menjadi elemen penting

dalam pengelolaan dan operasional lembaga. Hal ini untuk memastikan bahwa

kebijakan, ketentuan, sistem, dan prosedur yang ditetapkan telah sesuai dengan

ketentuan dan peraturan perundang-undangan serta penetapan hukum yang telah

ditetapkan dalam standar internasional IFSB dan AAOIFI.

1) Pelaksanaan Pembiayaan Musyarakah dan Mudharabah pada Bank BJB

Syariah dan pelaksanaan fungsi syariah compliance.

PT Bank BJB Syariah atau yang lebih dikenal dengan BJB Syariah adalah

bank yang berdiri sejak tahun 2010. Bank ini merupakan pemisahan dari induk

perusahaan, yaitu Bank BJB, setelah bebarapa tahun menjadi UUS. Dalam

operasionalnya bank BJB Syariah mempunyai beberapa produk termasuk

didalamnya pembiayaan musyarakah dan mudharabah. Berikut adalah mekanisme

operasional pembiayaan musyarakah dan mudharabah.

Prosedur Akad Pembiayaan Musyarakah

Berdasarkan hasil wawancara pada hari jum'at 18 januari 2021 dengan salah

satu manajer pembiayaan (Account Oficer) bjb Syariah, bahwa prosedur/mekanisme

akad musyarakah pada bank bjb Syariah adalah sebagai berikut:

1. Pengajuan permohonan pembiayaan

Calon nasabah datang ke bank bjb syariah dengan maksud untuk mendapatkan

pembiayaan, kemudian calon nasabah mengisi formulir pengajuan pembiayaan

serta melengkapi persyaratan lainnya yang dibutuhkan oleh pihak bank.

Kelengkapan persyaratan bisa meliputi data pribadi calon nasabah maupun kegiatan

usaha salon nasabah. Adapun data pribadi/identitas diri yang harus dilengkapi

a. Fotocopy KTP suami istri

b. Fotocopy KK

c. Fotocopy surat nikah

d. Pas foto suami istri

Setelah data pribadi/identitas diri calon nasabah terpenuhi maka selanjutnya

calon nasabah melengkapi persyaratan kelengkapan usaha yang dibutuhkan oleh

bank. Data usaha yang harus dilengkapi calon nasabah adalah sebagai berikut:

a. Surat keterangan izin usaha

b. Rekening Koran 2 tahun terakhir

c. Usaha berjalan minimal 2 tahun

2. Tahap analisa

Page 180: IRPAN JAMIL - SPs.pdf - Repository UIN Syarif Hidayatullah ...

168

Langkah selanjutnya setelah kelengkapan berkas calon nasabah dianggap

cukup, langkah berikutnya adalah dengan menganalisa kelayakan pembiayaan oleh

bank dengan menggunakan prinsip SC (charater, capacity,capital,commitment dan

collateral). '

b. Character

yaitu sebuah analisa yang dilakukan oleh petugas bank untuk mendalami

bagaimana karakter dan latar belakang calon nasabah yang mengajukan pembiayaan.

Kriteria character ini akan dilihat dari wawancara yang dilakukan oleh pihak bank

bjb Syariah, biasanya bagian customer service. Dari karakter ini akan dapat dilihat

juga bagaimana reputasi calon nasabah tersebut, apakah pernah memiliki catatan

tindak kriminal atau kebiasan buruk dalam keuangan seperti tidak melunasi

pembiayaan.

c. Capacity

Kerap disebut juga capability, yaitu sebuah analisa yang dilakukan oleh

petugas bank BJB Syariah dengan tujuan untuk mengetahui bagaimana kemampuan

calon nasabah dalam membayar pembiayaanya. Kriteria ini dilihat dari bagaimana

nasabah tersebut menjalankan usahanya atau seberapa besar penghasilan yang

diterima tiap bulannya/tiap periodenya. Jika pihak bank menilai bahwa nasabah

tersebut tidak memiliki kemampuan yang cukup untuk membayar pembiayaan,

maka besar kemungkinan ajuan pembiayaannya akan ditolak.

d. Capital

Adalah sebuah proses analisa yang dilakukan oleh petugas bank untuk

mengkaji modal yang dimiliki calon nasabah, yang khususnya diberlakukan pada

nasabah yang melakukan pembiayaan untuk usaha atau bisnisnya Dengan

mengetahu modal atau aset yang dimiliki oleh nasabah tersebut, maka pihak bank

dapat menganalisa sumber pendapatan yang dimiliki oleh nasabah. Selain itu, pihak

bank juga dapat melihat bagaimana laporan keuangan dari usaha yang dijalankan

nasabah untuk kemudian dijadikan acuan apakah memang layak diberikan

pembiayaan atau tidak.

e. Collateral

Yaitu jaminan yang diberikan oleh calon nasabah saat mengajukan

pembiayaan kepada bank. Sesuai dengan namanya, jaminan ini akan menjadi

penjamin atau pelindung bagi pihak bank jika nantinya nasabah tidak dapat

memenuhi kewajibannya atau tidak mengembalikan pembiayaan yang diberikan

oleh pihak bank. Selain itu jaminan dalam pembiayaan bank syariah diperlukan

sebagai garansi jika dalam perjalanannya nasabah telah melakukan kelalaian dalam

mengelola usahanya, yang berakibat kepada kerugian dalam usaha. Oleh karena itu,

idealnya besaran jaminan yang bersifat fisik ataupun nonfisik senilai jumlahnya atau

lebih besar dari pembiayaan yang diberikan.

e. Condition

yaitu kondisi perekonomian baik yang bersifat general atau khusus pada

bidang usaha yang dijalankan oleh calon nasabah. Jika memang kondisi

perekonomian sedang tidak baik atau sektor usaha nasabah tidak menjanjikan,

biasanya bank akan mempertimbangkan kembali dalam memberikan pembiayaan.

Hal ini terkait kembali dengan bagaimana kemampuan nasabah dalam membayar

pinjamannya nanti yang tentu terpengaruhi atas kondisi ekonomi.

Page 181: IRPAN JAMIL - SPs.pdf - Repository UIN Syarif Hidayatullah ...

169

3. Tahap Risk Assesment/pengendalian risiko

Setelah melalui tahapan proses analisa selesai, kemudian berkas pengajuan

pembiayaan beserta hasil analisa disampaikan kepada pihak analis menejement

resiko, kemudian pihak manajemen resiko menganalisa dan melakukan verivikasi

terhadap kemungkinankemungkinan resiko yang akan timbul dari akad pembiayaan

musyarakah tersebut.

jika kemungkinan risiko tersebut dapat dikendalikan artinya pembiayaan

tersebut bagus, maka pembiayaan bisa disetujui namun bila resiko tersebut tidak

bisa dikendalikan atau kemmungkinan resiko kerugiannya cukup besar maka

pembiayaan tersebut bisa ditolak.

4. Tahap Akad

Bila nasabah dan usahanya sudah memenuhi kriteria atau sudah dianggap layak

untuk mendapatkan pembiayaan dari bank bjb Syariah, maka selanjutnya diadakan

Perikatan/fakad dalam bentuk penandatangan kontrak akad musyarakah antara bjb

Syariah dengan nasabah sebagai mitra di hadapan notaris. Dalam akad ini tertuang

hak dan kewajiban antara pihak bank dan nasabah sebagai mitra dalam usaha.

Adapun penyertaan modal yang diberikan bank bjb syariah kepada nasabah

maksimal sebesar 80 % dari modal kontrak keseluruhan. Artinya bank bjb Syariah

tidak bisa memberikan kontribusi modalnya lebih dari 80%. Penyertaan modal

tersebut sudah menjadi aturan baku bagi bank bjb syariah.

5. Ketentuan bagi hasil dan kerugian

Kegiatan usaha akan dievaluasi pada waktu yang telah ditentukan berdasakan

kesepakatan antara bank bjb Syariah dengan nasabah sebagai mitra aktif.

Keuntungan yang diperoleh akan dibagi antara bank bjb Syariah dengan nasabah

sebagai mitra aktif sesuai dengan opsi yang disepakati. Seandainya terjadi kerugian

yang tidak disebabkan oleh kelalaian nasabah sebagai mitra aktif, maka kerugian

akan ditanggung secara proporsional terhadap modal masing-masing mitra. Adapun

kerugian yang disebabkan oleh kelalaian nasbah sebagai mitra aktif sepenuhnya

menjadi tanggung jawab nasabah.

Bank bjb syariah dan nasabah menerima porsi bagi hasil masing-masing

berdasarkan metode perhitungan yang telah disepakati bersama pada saat

penandatangan kontrak antara bank bjb Syariah dengan nasabah.

6. Berakhirnya akad

Akad kerjasama antara bank bjb Syariah dengan nasabah dinyatakan akan

berakhir pada saat bank bjb Syariah menerima pengembalian seluruh modal

pembiayaan dari nasabah yang bermitra. Jika semua modal telah dikembalikan oleh

nasabah kepada bank bjb Syariah, maka usaha selanjutnya menjadi milik nasabah

tersebut.

Berdasarkan uraian di atas dapat dsimpulkan bahwa pada akad pembiayaan

musyarakah setidaknya ada enam point persyaratan pembiayaan yang harus

terpenuhi yaitu Pengajuan permohonan pembiayaan, Tahap analisa, Tahap Risk

Assesment/pengendalian risiko, tahap akad, Ketentuan bagi hasil dan kerugian,

Berakhirnya akad, setelah modal dikembalikan oleh nasabah kepada bank bjb

Syariah.

2) Prosedur akad Pembiayaan Mudharabah di Bank Jabar Banten (bjb) Syariah

Page 182: IRPAN JAMIL - SPs.pdf - Repository UIN Syarif Hidayatullah ...

170

Berdasarkan hasil wawancara dengan salah satu manajer pembiayaan

(Account Oficer), bahwa prosedur/mekanisme akad mudharabah untuk tahap awal

tidak jauh berbeda dengan mekanisme pembiayaan musyarakah di atas. Berikut ini

adalah mekanisme akad pembiayaan mudharabah pada bank bjb Syariah adalah

sebagai berikut:

1. Pengajuan permohonan pembiayaan

Calon nasabah datang ke bank bjb syariah dengan maksud untuk mendapatkan

pembiayaan dari bank bjb Syariah, kemudian calon nasabah mengisi formulir

pengajuan pembiayaan serta melengkapi persyaratan lainnya yang dibutuhkan oleh

pihak bank. Kelengkapan persyaratan bisa meliputi data pribadi calon nasabah

maupun kegiatan usaha salon nasabah. Adapun data pribadi/identitasdiri yang harus

dilengkapi adalah sebaga berikut.

a. Fotocopy KTP suami istri

b. Fotocopy KK

c. Fotocopy surat nikah

d. Pas foto suam istri

Setelah data pribadi/identttas diri calon nasabah terpenuhi maka selanjutnya

calon nasabah melengkapi persyaratan kelengkapan usaha yang dibutuhkan oleh

bank Data usaha yang harus dilengkapi calon nasabah adalah sebagai berikut!

a. Surat keterangan izin usaha

b. Rekening Koran 2 tahun terakhir

c. Usaha berjalan minimal 2 tahun

2. Tahap analisa

Langkah selanjutnya setelah kelengkapan berkas calon nasabah dianggap

cukup, langkah berikutnya adalah dengan menganalisa kelayakan pembiayaan oleh

bank dengan menggunakan prinsip SC (character, capacity, capital,commitment

dan collateral)"

a. Character

yaitu sebuah analisa yang dilakukan oleh petugas bank untuk mendalami

bagaimana karakter dan latar belakang calon nasabah yang mengajukan pembiayaan.

Kriteria character ini akan dilihat dari wawancara yang dilakukan oleh pihak bank

bjb Syariah, biasanya bagian customer service. Dari karakter ini akan dapat dilihat

juga bagaimana reputasi calon nasabah tersebut, apakah pernah memiliki catatan

tindak kriminal atau kebiasan buruk dalam keuangan seperti tidak meluas

pembiayaan

b. Capacity

Kerap disebut juga capability, yatu sebuah analisa yang dilakukan olch

petugas bank BJB Syariah dengan tujuan untuk mengetahui bagaimana kemampuan

calon nasabah dala membayar pembiayaanya. Kniteria ani dilihat dari bagaimana

nasabah tersebut menjalankan usahanya atau seberapa besar penghasilan yang

diterima tiap bulannya/tiap perodenya. Jika pihak bank menilai bahwa nasabah

tersebut tidak memilik: kemampuan yang cukup untuk membayar pembiayaan,

maka besar kemungkinan ajuan pembiayaannya akan ditolak.

Page 183: IRPAN JAMIL - SPs.pdf - Repository UIN Syarif Hidayatullah ...

171

c. Capital

adalah sebuah proses analisa yang dilakukan oleh petugas bank untuk

mengkaji modal yang dimiliki calon nasabah, yang khususnya diberlakukan pada

nasabah yang melakukan pembiayaan untuk usaha atau bisnisnya. Dengan

mengetahui modal atau aset yang dimiliki oleh nasabah tersebut, maka pihak bank

dapat menganalisa sumber pendapatan yang dimiliki oleh nasabah. Selain itu, pihak

bank juga dapat melihat bagaimana laporan keuangan dari usaha yang dijalankan

nasabah untuk kemudian dijadikan acuan apakah memang layak diberikan

pembiayaan atau tidak.

d. Collateral

Collateral, yaitu jaminan yang diberikan oleh calon nasabah saat mengajukan

pembiayaan kepada bank. Sesuai dengan namanya, jaminan ini akan menjadi

penjamin atau pelindung bagi pihak bank jika nantinya nasabah tidak dapat

memenuhi kewajibannya atau tidak membayar pembiayaan yang diberikan oleh

pihak bank. Selain itu jaminan dalam pembiayaan bank syariah diperlukan garansi

jika dalam perjalanannya nasabah telah melakukan kelalaian dalam mengelola

usahanya, yang berakibat kepada kerugian dalam usaha. Oleh karena itu,iIdealnya

besaran jaminan yang bersifat fisik ataupun nonfisik senilai jumlahnya atau lebih

besar dari pembiayaan yang diberikan.

e. Condition

yaitu kondisi perekonomian baik yang bersifat general atau khusus pada

bidang usaha yang dijalankan oleh calon nasabah Jika memang kondisi

perekonomian sedang tidak baik atau sektor usaha nasabah tidak menjanjikan,

biasanya bank akan mempertimbangkan kembali dalam memberikan pembiayaan,

Hal ini terkait kembali dengan bagaimana kemampuan nasabah dalam membayar

pinjamannya nanti yang tentu terpengaruhi atas kondisi ekonomi.

3. Tahap Risk Assesment/pengendalian risiko

Setelah melalui semua tahapan proses analisa yang dilakukan bank bjb syariah

terahadap calon nasabah selesai, kemudian berkas pengajuan pembiayaan beserta

hasil analisa disampaikan kepada pihak analis menejement risiko, kemudian pihak

manajemen resiko menganalisa kemungkinan-kemungkinan risiko yang akan

timbul dari akad pembiayaan mudharabah tersebut.

jika kemungkinan risiko tersebut dapat dikendalikan artinya pembiayaan

tersebut bagus, maka pembiayaan bisa disetujui namun bila risiko tersebut tidak

bisa dikendalikan atau kemungkinan risiko kerugiannya cukup besar maka

pembiayaan tersebut bisa ditolak.

4. Tahap Akad

Setelah calon nasabah dan usahanya dianggap layak, selanjutnya diadakan

perikatan dalam bentuk penandatangan kontrak mudharabah antara bank bjb

syariah sebagai shahibul maal (penyedia dana) dengan mudharib

(nasabah/pengelola dana) dihadapan notaris dalam kontrak setidaknya dijelaskan

hak dun kewajiban para pihak

Berbeda dengan akad musyarakah yang penyertaan modalnya dibagi antura

bunk dengan nasabah, dalam akad pembiayaan mudharabah dana yang disalurkan

Page 184: IRPAN JAMIL - SPs.pdf - Repository UIN Syarif Hidayatullah ...

172

kepada nasabah adalah 100 % dan shahibul maal sedangkan mudharib merupakan

pelaku usaha.

5. Ketentuan bagi hasil

Kegiatan usaha nasabah (mudharib) akan dievaluasi pada waktu yang telah

ditentukan berdasarkan kesepakatan antara bank bjb Syariah dengan mudharib

(nasabah). Keuntungan dari hasil usaha yang diperoleh akan dibagi antara bank

sebagai shahibul maal dengan mudharib (nasabah) sesuai dengan porsi yang telah

disepakati. Seandainya terjadi kerugian yang tidak disebabkan karena kelalaian

mudharib (nasabah), maka kerugian akan ditanggung oleh bank. Adapun jika ada

kerugian yang disebabkan oleh kelalaian mudharib (nasabah) sepenuhnya akan

menjadi tanggung jawab nasabah.

Bank bjb Syariah sebagai shahibul maal dan mudharib (nasabah) menerima

porsi bagi hasil masing-masing berdasarkan penghitungan yang telah disepakati

bersama pada saat penandatangan kontrak antara bank bjb Syariah dengan nasabah.

6. Berakhirnya akad

Akad kerjasama antara bank bjb Syariah dengan nasabah dinyatakan akan

berakhir pada saat bank bjb Syariah menerima pengembalian seluruh modal

pembiayaan mudharabah dari nasabah yang bermitra. Jika semua modal telah

dikembalikan oleh nasabah kepada bank bjb Syariah, maka usaha selanjutnya

menjadi milik nasabah tersebut.

Tabel 5.1

Pembiayaan Musyarakah & Mudharabah di Bank BJBS (dalam Jutaan

Rupiah)

Pembiayaan

2017 2018 2019 2020

1. Mudharabah 156.118 126.564 178.172 166.283

2. Musyarakah 829.852 1.157.732 1.540.921 1.693.440

Sumber : Annual Report Bank BJBS tahu 2017-2020

3) Syariah compliance pada bank BJB Syariah

Pada Bank BJB Syariah, penerapan syariah compliance salah satunya

diwujudkan dalam bentuk tata kelola perusahaan, tata kelola perusahaan yang baik

merupakan bagian yang yang tidak dapat terpisahkan dari pelaksanaan kegiatan

pengelolaan suatu perusahaan. Tata kelola perusahaan yang baik akan mewujudkan

pelaksanaan kegiatan bisnis dan pengelolaan aset perusahaan dilakukan secara sehat,

prudent, comply, efektif, efisien serta sesuai dengan standar etika yang berlaku

dengan memperhatikan prinsip-prinsip GCG yaitu : Transparansi, akuntabilitas,

pertanggungjawaban, profesional dan kewajaran.

Prinsip-prinsip dasar yang telah berlaku dalam praktik-praktik lembaga

Page 185: IRPAN JAMIL - SPs.pdf - Repository UIN Syarif Hidayatullah ...

173

perbankan nasional maupun internasional dalam perspektif bank BJB syariah telah

diselaraskan dengan kaidah-kaidah syariah yang ada sebagaimana dituangkan dalam

pedoman GCG bank BJB syariah. Keselarasan prinsip-prinsip dasar GCG dengan

kaidah syariah atau nilai-nilai syariah dimaksud tercermin dari hal yaitu :

Transparansi (Transpararency), yaitu keterbukaan dalam mengemukakan

informasi yang material dan relevan serta keterbukaan dalam proses pengambilan

keputusan. Hal ini sejalan dengan firman Allah dalam QS 2: 146 dan 282 yang

memerintahkan jangan menyembunyikan kebenaran, harus tertulis, jelas dan akurat.

Akuntabilitas (Accountability) yaitu kejelasan fungsi dan pelaksanaan

pertanggungjawaban organ bank, sehingga pengelolaannya berjalan secara efektif.

Hal ini sejalan dengan firman Allah Swt dalam QS 4: 146 dan QS 64:14 yang

memerintahkan untuk meningkatkan kemampuan, perintah hati-hati (prudent),

perbaikan diri, tanggung jawab sosial, integritas/ketulusan hati dan keikhlasan.

Pertanggungjawaban (Responsibilty) yaitu kesesuaian pengelolaan bank dengan

peraturan perundangan yang berlaku dan prinsip-prinsip pengelolaan bank yang

sehat. Hal ini sejalan dengan firman Allah dalam QS 2 : 283 dan QS 4 : 38 tentang

perintah untuk bertanggung jawab menunaikan amanat dan tidak menyembunyikan

kesaksian. Profesional (Profesional) yaitu memiliki kompetensi, mampu bertindak

objektif, dan bebas dari pengaruh/tekanan dari pihak manapun (independen) serta

memiliki komitmen yang tinggi untuk mengembangkan bank syariah. Hal ini sejalan

dengan bunyi sebuah hadits tentang perintah melaksanakan suatu pekerjaaan secara

profesional. Kewajaran (Fairness) yaitu keadilan dan kesetaraan dalam bentuk

pemenuhan hak-hak stakeholders yang timbul berdasarkan perjanjian dan peraturan

perundang-undangan yang berlaku. Halini sejalan dengan firman Allah Swt dalam

QS 4:58, QS 8:58 dan QS 16:126 yang memerintahkan untuk berbuat

wajar/seimbang/sebanding, jujur, adil dan tidak berkhianat.

Pada Bank BJB syariah fungsi kepatuhan merupakan serangkaian tindakan

atau langkah-langkah yang bersifat ex-ante (preventif) untuk memastikan ketaatan

bank terhadap peraturan yang berlaku di bidang tidak mematuhi atau melaksanakan

peraturan yang berlaku, serta memastikan kepatuhan perbankan serta memitigasi

risiko kepatuhan bank terhadap komitmen yang dibaut bank kepada Otoritas Jasa

Keuangan. Pelaksanaan fungsi kepatuhan di bank BJB Syariah dikoordinir oleh

direktur kepatuhan dan di bantu Desk kepatuhan, yang merupakan unit kerja

independen terhadap kegiatan operasional Bank. Dalam rangka melaksanakan fungsi

kepatuhan, berikut aktivitas yang dilakukan bidang kepatuhan selama tahun 2019

yaitu:

b) Menyampaikan laporan kepada Bank Indonesia tentang pelaksanaan tugas

Direktur yang membawahkan Fungsi Kepatuhan, meliputi:

(1) Pelaksanaan tugas Fungsi kepatuhan;

(2) Risiko Kepatuhan yang dihadapi;

(3) Potensi Risiko Kepatuhan yang diperkirakan akan dihadapi ke depan; dan

(4) Mitigasi risiko Kepatuhan yang telah dilaksanakan.

c) Memberikan kajian/review atas proposal pembiayaan, produk dan aktivitas

baru, serta kebijakan/prosedur lainnya yang diterbitkan oleh bank bjb syariah.

d) Menyediakan informasi yang akurat dan tepat waktu, antara lain dengan

melakukan regulation update dan reminder terhadap peraturan baru yang

Page 186: IRPAN JAMIL - SPs.pdf - Repository UIN Syarif Hidayatullah ...

174

relavan dengan kegiatan usaha Bank yang diterbitkan oleh Bank Indonesia dan

institusi pemerintah lainnya, mengedarkannya kepada Direksi dab seluruh unit

kerja terkait

e) Mengosialisasikan ketentuan-ketentuan baru tersebut kepada direksi dan

seluruh unit kerja terkait, secara langsung maupun melalui media on line (portal

kepatuhan) yang dapat diakses oleh seluruh pegawai sehingga dapat segera

ditindaklanjuti

f) Melakukan pendampingan Dewan Pengawas Syariah (DPS) dalam pelaksanaan

tugas pengawasannya.

g) Melakukan koordinasi maupun konsultasi dengan Dewan Pengawas Syariah

(DPS) terkait permohonan opini DPS mengenai produk dan jasa bank

h) Melakukan reminder pelaporan kepada unit kerja terkait untuk memastikan

pelaporan bank kepada pihak eksternal dan menghindari risiko kepatuhan

i) Melakukan monitoring atas pemenuhan kewajiban pelaporan kepada pihak

otoritas yang wajib disampaikan baik secara bulanan, triwulanan, semesteran

ataupun tahunan, dengan meminta bukti / tanda terima penyampaian

pelaporannya dari unit-unit kerja terkait.

j) Melakukan koordinasi dengan satuan kerja audit internal terkait monitoring

secara periodik atas progress pemenuhan komitmen bank kepada Bank

Indonesia dan atau otoritas pengawas lain berwenang dari masing-masing unit

kerja terkait.19

4) Pelaksanaan Bagi hasil dan Syariah Compliance pada Bank Muamalat

a. Pelaksanaan Bagi Hasil Pada Bank Muamalat.

PT Bank Muamalat Indonesia Tbk adalah bank umum pertama di Indonesia

yang menerapkan prinsip Syariah Islam dalam menjalankan operasionalnya,

didirikan pada 24 Rabius Tsani 1412 H atau 1 Nopember 1991, diprakarsai oleh

Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan Pemerintah Indonesia, dan memulai kegiatan

operasinya pada 27 Syawwal 1412 H atau 1 Mei 1992.20

Bank Muamalat Indonesia memiliki visi sebagai ―The Best Islamic Bank

and Top 10 Bank in Indonesia with Strong Regional Presence‖. Dan memiliki misi

untuk Membangun lembaga keuangan syariah yang unggul dan berkesinambungan

dengan penekanan pada semangat kewirausahaan berdasarkan prinsip kehati-hatian,

keunggulan sumber daya manusia yang islami dan professional serta orientasi

investasi yang inovatif, untuk memaksimalkan nilai kepada seluruh pemangku

kepentingan. Saat ini Bank Muamalat memberikan layanan bagi lebih dari 4,3 juta

nasabah melalui 457 gerai yang tersebar di 33 provinsi di Indonesia. Jaringan BMI

didukung pula oleh aliansi melalui lebih dari 4000 Kantor Pos Online/SOPP di

seluruh Indonesia, 1996 ATM, serta 95.000 merchant debet. BMI saat ini juga

merupakan satu-satunya bank syariah yang telah membuka cabang luar negeri, yaitu

di Kuala Lumpur, Malaysia.Untuk meningkatkan aksesibilitas nasabah di Malaysia,

kerjasama dij alankan dengan jaringan Malaysia Electronic Payment System

(MEPS) sehingga layanan BMI dapat diakses di lebih dari 2000 ATM di

19 Hasil indept interview dengan manajamen bank BJB Syariah 20 GCG Report bank Muamalat tahun 2020. ( Jakarta :Bank Muamalat, 2020) h. 54

Page 187: IRPAN JAMIL - SPs.pdf - Repository UIN Syarif Hidayatullah ...

175

Malaysia.Selain itu Bank Muamalat memiliki produk shar-e gold dengan teknologi

chip pertama di Indonesia yang dapat digunakan di 170 negara dan bebas biaya

diseluruh merchant berlogo visa. Sebagai Bank Pertama Murni Syariah, bank

muamalat berkomitmen untuk menghadirkan layanan perbankan yang tidak hanya

comply terhadap syariah, namun juga kompetitif dan aksesibel bagi masyarakat

hingga pelosok nusantara.21

Kegiatan usaha bank umum syariah dalam melakukan pembiayaan di atur

dalam Pasal 19 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah,

yang diantara kegiatannya adalah:

a. Menyalurkan Pembiayaan bagi hasil berdasarkan akad mudharabah, akad

musyarakah, atau akad lain yang tidak bertentangan dengan prinsip syariah:

b. Menyalurkan Pembiayaan berdasarkan akad murabahah, akad salam, Akad

istishna', atau Akad lain yang tidak bertentangan dengan prinsip syariah,

c. Menyalurkan pembiayaan berdasarkan Akad qardh atau akad lain yang tidak

bertentangan dengan prinsip syariah:

d. Menyalurkan Pembiayaan penyewaan barang bergerak atau tidak bergerak

kepada nasabah berdasarkan akad ijarah dan atau sewa beli dalam bentuk

ijarah muntahiya bittamlik atau akad lain yang tidak bertentangan dengan

prinsip syariah: 22

Pembiayaan sebagai kegiatan usaha bank umum syariah terbagi dalam empat

bentuk yang menganut akad berbeda-beda di setiap bentuk pembiayaannya,

pembiayaan tersebut dapat dibagi sebagai : 1. Pembiayaan dengan sistem bagi hasil,

yang mana bank dapat menyediakan seluruh modal atau para pihak dapat memberi

modal sesuai porsi masing-masing: 2. Pembiayaan dengan sistem jual beli, 3.

Pembiayaan dengan sistem pinjaman dimana nasabah wajib mengembalikan dana

yang diterimanya pada waktu yang telah disepakati: 4. Pembiayaan penyewaan

barang bergerak dan tidak bergerak tanpa diikuti dengan pemindahan kepemilikan

barang itu sendiri dan/atau dengan opsi pemindahan kepemilikan barang (sewa

beli).Bank Pembiayaan Rakyat Syariah dalam Pasal 21 Undang-Undang Nomor 21

Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, melakukan pembiayaan sebagai kegiatan

usaha kepada masyarakat dalam bentuk:

a. Pembiayaan bagi hasil berdasarkan akad mudharabah atau musyarakah,

b. Pembiayaan berdasarkan akad murabahah, salam, atau istishna‖:

c. Pembiayaan berdasarkan akad qardh,

d. Pembiayaan penyewaan barang bergerak atau tidak bergerak kepada Nasabah

berdasarkan akad ijarah atau sewa beli dalam bentuk ijarah muntahiya

bittamlik.

Pada prinsipnya, pembiayaan sebagai kegiatan usaha pada bank pembiayaan

rakyat syariah pada dasarnya sama dengan pembiayaan pada bank umum syariah.

Hanya saja yang membedakan kegiatan usaha pada bank pembiayaan rakyat syariah

dengan bank umum syariah adalah pada bank pembiayaan rakyat syariah tidak

memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran.

21 GCG Report bank Muamalat tahun 2020.......... h. 55 22 GCG Report bank Muamalat tahun 2020.......... h. 56

Page 188: IRPAN JAMIL - SPs.pdf - Repository UIN Syarif Hidayatullah ...

176

Akad-akad yang di gunakan dalam kegiatan usaha bank syariah dalam

melakukan pembiayaan tersebut memiliki penjelasan sebagaimana yang tercantum

dalam penjelasan Pasal 19 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang

Perbankan Syariah, sebagai berikut:

a. Akad Mudharabah

Akad mudharabah dalam pembiayaan adalah akad kerja sama suatu usaha

antara pihak pertama (malik, shahib-al- mal, atau bank syariah) yang menyediakan

seluruh modal dan pihak kedua (amil, mudharib, atau nasabah) yang bertindak

selaku pengelola dana dengan membagi keuntungan usaha sesuai dengan

kesepakatan yang dituangkan dalam akad, sedangkan kerugian ditanggung

sepenuhnya oleh bank syariah kecuali jika pihak kedua melakukan kesalahan yang

disengaja, lalai atau menyalahi perjanyian. Perjanjian pembiayaan mudharabah

adalah suatu perjanjian pembiayaan yang disepakati bersama antara Bank Muamalat

dan Pengusaha.Pihak Bank Muamalat menyediakan pinjaman modal investasi atau

modal kerja, sedangkan pihak pengusaha menyediakan proyek atau usaha beserta

profsional manajernya (biasanya berjangka waktu pendek atau menengah) atas dasar

bagi hasil.

Tujuan pemberian pembiayaan ini adalah untuk membantu penyaluran modal

dari pemilik dana yang tidak mengetahui tentang seluk-beluk usaha kepada

pengusaha yang ahli di bidang tertentu, tetapi tidak mempunyai modal. jenis

pembiayaan ini dapat berupa pembiayaan untuk proyek tertentu atau bentuk

investasi tak terikat (muqayyadah).

Secara Umum, ketentuan mudharabah di Bank Muamalat adalah sebagai

Berikut:

a) Untuk investasi baru yang dianggap layak, Bank Muamalat akan memberikan

pembiayaan sebesar 100x dari kebutuhan investasi dan modal kerja dengan

perjanjian bagi hasil sesuai dengan kesepakatan. Pihak pengelolah (mudharib)

mendapatkan porsi yang lebih besar daripada penyandang dana (shahibul

maal).

b) Perjanjian investasi mulai dilaksanakan secara efektif setelah proyek

Investasinya selesai sesuai dengan jangka waktu yang disepakati. Pada saat ini

Bank Muamalat dan nasabah bersama-sama mendapat bagian keuntungan

sesuai porsi/nisbah yang disepakati Apabila terjadi kerugan maka Bank

Muamalat yang akan menanggung kerugian tersebut sepenuhnya. Adapun

perhitungan proporsi bagi hasil dilihat dari miat kontrak, jika yang dibiayai

bidang perdagangan, maka dihitung daripenjualan. Dengan kata lam,

penghitungan pembagian keuntungan didasarkan pada omset (hasil kotor),

yang dikenal dengan revenue sharing dalam membagi keuntungan karena

kondisi masyarakatnya belum siap untuk menanggung risiko kerugian.

c) Proyek investasi dikelola sepenuhnya oleh nasabah selaku pemegang amanah

tanpa campur tangan Bank Muamalat. Pada saat proyek investasi, nasabah

telah mampu mengahsilkan, maka nasabah penerima pembiayaan harus segera

mengembalikan pokok modal yang diberikan. 23

23 Wawancara dengan manajemen bank Muamalat, tanggal 20 April 2021

Page 189: IRPAN JAMIL - SPs.pdf - Repository UIN Syarif Hidayatullah ...

177

b. Akad Musyarakah

Akad Musyarakah adalah akad kerjasama antara dua pihak atau lebih untuk

suatu usaha tertentu yang masing-masing pihak memberikan porsi dana dengan

ketentuan bahwa keuntungan akan dibagi sesuai dengan kesepakatan, sedangkan

kerugian ditanggung sesuai dengan porsi dana masing-masing.

Bank Muamalat sekarang ini menjalankan 4 (empat) produk pembiayaan yang

diperuntukkan bagi 3 (tiga) macam konsumen diantaranya adalah: Consumer

banking, Retail banking, dan Corporate banking. Dari ketiga macam konsumen

tersebut bank muamalat memberikan produk pembiayaan berupa: Pembiayaan

Modal Kerja, Pembiayaan Investasi, Pembiayaan Hunian Syariah Bisnis, dan

Pembiayaan iB Asset Refinance Syariah. 24

Penerapan pembiayaan bagi hasil atau akad mudharabah dan musyarakah

pada produk pembiayaan Bank Muamalat, dengan demikian dapat di lihat pada

produk pembiayaan, sebagai berikut:

1) Pembiayaan Modal Kerja pada (Consumer Banking), Pembiayaan iB

Modal Kerja pada (Retail Banking), dan Pembiayaan Modal Kerja pada

(Corporate Banking), Pembiayaan ini berdasarkan prinsip syariah dengan

pilihan akad berbasis jual beli (Murabahah) maupun bagi hasil

(Mudharabah dan Musyarakah).Sesuai dengan spesifikasi kebutuhan

modal kerja.

2) Pembiayaan Hunian Bisnis Syariah pada (Consumer Banking),

Pembiayaan Hunian Syariah Bisnis pada (Retail Banking), Pembiayaan

Hunian Syariah Bisnis pada (Corporate Banking), Pembiayaan ini

Berdasarkan prinsip syariah dengan dua pilihan yaitu akad murabahah

(jual-beli) atau musyarakah mutanaqishah (kerjasama sewa).

3) Pembiayaan IB Asset Refinance Syariah pada (Consumer Banking)

Pembiayaan ini Berdasarkan prinsip syariah dengan dua piihan akad

yaitu Musyarakah Mutanaqisah dan Ijarah Muntahya bit Tamlik.

4) Pembiayaan jangka pendek BPRS ib pada (Retail Banking), Pembiayaan

ini berdasarkan prinsip syariah dengan akad Mudharabah Mutlaqah.

Dengan demikian dapat dilihat bahwa Bank Muamalat dalam produk

pembiayaan yang dijalankan, memberikan kebebasan kepada nasabahnya untuk

memilih akad apa yang akan di pergunakan dalam suatu pembiayaan sesuai dengan

spesifikasi kebutuhan pada pembiayaan tersebut. 25

Presentase penempatan dana pembiayaan dengan bagi hasil ini sangat sedikit

dibandingkan dengan produk lainnya, seperti murabahah dan ba'i bistaman 'ajil. Hal

ini disebabkan pemahaman masyarakat yang masih keliru mengenai bank

berdasarkan prinsip syariah. Mereka beranggapan bank syariah adalah lembaga

sosial yang dalam beroperasinya harus memberikan kemudahan dan keringanan

finansial dibandingkan dengan bank konvensional.Perbandingan dengan bunga

konvensional selalu menjadi ukuran satusatunya untuk menilai baik buruk atau

benar tidaknya kinerja bank syariah.Mereka tidak memahami sistem bagi hasil atau

yang lainnya. Umumnya, nasabah yang datang untuk mengajukan pembiayaan

24 Wawancara dengan manajemen bank Muamalat, tanggal 20 April 2021 25 Wawancara dengan manajemen bank Muamalat, tanggal 20 April 2021

Page 190: IRPAN JAMIL - SPs.pdf - Repository UIN Syarif Hidayatullah ...

178

dengan sistem mudharabah atau bagi hasil ke Bank Muamalat adalah nasabah

dengan jenis usaha atau proyek yang nilai keuntungannya kecil atau yang

prospeknya belum pasti. Dalam beberapa kasus, terjadi seorang mudharib pada saat

usahanya mulai meraih keuntungan yang besar dan bank Muamalat pun memperoleh

hasil lebih besar dari sebelumnya. Nasabah merasa bank Muamalat terlalu besar

mengambil keuntungan dan berpikir untuk pindah ke bank konvensional.Mereka

tidak menyadari, bahwa pada awalnya usaha mereka hanya memberikan keuntungan

kecil.26

Tabel 5.2

Pembiayaan Musyarakah & Mudharabah di Bank Muamalat (dalam Jutaan Rupiah)

Pembiayaan

2017 2018 2019 2020

1. Mudharabah 737.156 437.590 756.514 576.809

2. Musyarakah 19.857.952 16.543.871 14.206.884 14.280.255

Sumber : Annual Report Bank Muamalat tahun 2017-2020

5) Syariah compliance Pada Bank Muamalat

Selanjutnya pada bank Muamalat pelaksanaan fungsi kepatuhan adalah

serangkaian tindakan atau langkah-langkah yang bersifat ex ante (preventif) untuk

memastikan bahwa kebijakan, ketentuan, sistem, dan prosedur, serta kegiatan usaha

yang dilakukan oleh bank telah sesuai dengan ketentuan bank Indonesia dan

perarturan perundang-undangan yang berlaku, termasuk sesuai dengan prinsip

syariah, serta memastikan kepatuhan bank terhadap komitmen yang dibuat oleh

bank kepada bank Indonesia dan atau otoritas pengawas lain yang berwenang. Di

bank Muamalat terdapat direktur kepatuhan yang juga membawahi fungsi

manajemen risiko.27

Dalam praktiknya fungsi manajemen risiko bukanlah

merupakan fungsi yang melakukan pengambilan keputusan akhir ataupun

transaksional, namun lebih kepada proses identifikasi, pengukuran, monitoring dan

pengendalian risiko. Hasil review divisi manajemen risiko akan digunakan sebagai

pertimbangan bagi unit bisnis dalam pengambilan keputusan akhir. Rekomendasi

dari fungsi divisi manajemen risiko sifatnya tidak mengikat, sehingga ketika divisi

manajemen risiko tidak merekomendasikan (misalnya suatu pengajuan pembiayaan)

maka unit bisnis masih dapat melanjutkan proses dan memberikan persetujuan atas

pengajuan pembiayaan tersebut.

Mengacu pada PBI No.13/2/PB/2011 tanggal 12 Januari 2011, tugas dan

tanggungjawab direktur kepatuhan adalah : merumuskan strategi guna mendorong

terciptanya budaya kepatuhan bank, memastikan bahwa seluruh kebijakan,

ketentuan, sistem, prosedur serta kegiatan usaha yang dilakukan bank telah sesuai

dengan ketentuan bank Indonesia dan peraturan perundangan yang berlaku,

26 Wawancara dengan manajemen bank Muamalat, tanggal 20 April 2021

27 GCG Report bank Muamalat tahun 2020. ( Jakarta :Bank Muamalat, 2019) h. 56

Page 191: IRPAN JAMIL - SPs.pdf - Repository UIN Syarif Hidayatullah ...

179

termasuk prinsip syariah bagi bank umum syariah dan unit usaha syariah,

meminimalkan risiko kepatuhan bank.28

Bank Muamalat juga mempunyai Divisi Kepatuhan/Compliance Divison

(CD) yang terdiri dari 4 (empat) Departement yaitu General Compliance

Departement, Sharia Compliance departement, Unit Kerja khusus Anti Pencucian

Uang dan Pencegahan Pendanaan Terorisme (APU & PPT) dan Policy and

Procedure Departement, yang keseluruhannya bertanggung .jawab kepada

Compliance & Risk Management Director melalui Compliance Divison Head. 29

Divisi Kepatuhan mempunyai tugas dan tanggung jawab sebagai berikut :

1. Membantu dalam menetapkan langkah-langkah yang diperlukan guna

memastikan kepatuhan bank dalam memenuhi seluruh peraturan internal dan

eksternal serta peraturan perundangan lain yang berlaku dalam rangka

pelaksanaan prinsip kehati-hatian, termasuk pemenuhan terhadap aspek syariah.

2. Membantu memantau dan menjaga agar kegiatan usaha bank tidak

menyimpang dari ketentuan yang berlaku (secara umum dan syariah)

3. Membuat langkah-langkah dalam rangka mendukung terciptanya budaya

kepatuhan pada seluruh kegiatan usaha Bank pada setiap jenjang organisasi.

4. Melakukan identifikasi, pengukuran, monitoring dan pengendalian terhadap

risiko kepatuhan dengan mengacu kepada peraturan Bank Indonesia mengenai

penerapan manajemen risiko bagi bank umum syariah

5. Melakukan pemantauan dan evaluasi secara berkala terhadap perkembangan

risiko-risiko kepatuhan dan pengendalian internal untuk kepentingan bank

sesuai dengan perkembangan bisnis.

6. Menilai dan mengevaluasi efektifitas, kecukupan, kesesuaian, kebijakan,

ketentuan, sistem maupun prosedur yang dimiliki oleh bank dengan peraturan

perundang-undangan yang berlaku.

7. Melakukan review dan/atau merekomendasikan kebijakan, ketentuan sistem

maupun prosedur yang dimiliki oleh bank agar sesuai dengan ketentuan Bank

Indonesia dan peraturan perundang-undangan yang berlaku termasukprinsip

syariah bagi bank umum syariah dan unit usaha syariah.

8. Melakukan sosialisasi kepada seluruh karyawan bank mengenai hal-hal yang

berkaitan dengan fungsi kepatuhan.

9. Khusus untuk karyawan Sharia Compliance, bertugas membantu Dewan

Pengawas Syariah dan berperan sebagai Liasion Officer antara Bank Muamalat

Indonesia dengan Dewan Pengawas Syariah dalam melaksanakan pengawasan

terhadap aspek syariah secara rutin dan membantu menyusun laporan

pengawasan Dewan Pengawas Syariah setiap semester yang wajib disampaikan

kepada Bank Indonesia.30

28

PBI No.13/2/PB/2011 tanggal 12 Januari 2011, dalam GCG Report bank Muamalat tahun

2020. 29 GCG Report,.. h. 56 30 GCG Report...., h.55

Page 192: IRPAN JAMIL - SPs.pdf - Repository UIN Syarif Hidayatullah ...

180

2 Dirkursus Tentang Kepatuhan syariah (Shariah Compliance)

Hasil penelitian Bank Indonesia kerjasama dengan Ernst dan Young menyimpulkan bahwa peran DPS belum optimal. Dilanggarnya syariah compliance akibat lemahnya pengawasan DPS memiliki dampak terhadap risk manajemen.

31

Jenis manajemen risiko yang terkait erat dengan peran DPS adalah risiko reputasi yang selanjutnya berdampak pada displaced commercial risk, seperti risiko likuiditas dan resiko lainnya. Jika peran DPS tidak optimal dalam melakukan pegawasan syariah terhadap praktik syariah yang berakibat pada pelanggaran syariah compliance, maka citra dan kredibilitas bank syariah di mata masyarakat menjadi negatif, sehingga dapat menurunkan kepercayaan masyarakat kepada bank syariah bersangkutan. Hal inilah yang dikatakan oleh Shanin A.Shayan CEO and Board Member of Barakat Foundation “The biggest risk facing the global Financial System is not a fall in its earning power but most importantly a loss of faith and credibility on how it work”s32

Jadi menurutnya risiko terbesar menghadapi system keuangan global bukanlah kesalahan tentang kemampuan menciptakan laba, tetapi yang lebih penting adalah kehilangan kepercayaan dan kredibiliatas tentang bagaimana operasional kerjanya, Di sinilah, peran DPS perlu dioptimalkan, agar mereka bisa memastikan segala produk dan sistem operasinal bank syariah benar-benar sesuai syariah. The role of syariah Board : to ensure that every transaction complies with Islamic Law, Untuk memastikan setiap transaksi sesuai dengan hukum Islam, anggota DPS harus memahami ilmu ekonomi dan perbankan dan berpengalaman luas di bidang hukum Islam. Dengan demikian kualifikasi menjadi anggota DPS mestilah memahami ilmu ekonomi dan keuangan serta perbankan. Namun, sangat disayangkan, masih banyak DPS yang belum memahami ilmu ekonomi keuangan dan perbankan. Selain mereka tidak memahami ilmu tersebut, mereka juga masih banyak yang tidak melakukan supervisi dan pemeriksaan akad-akad yang ada di perbankan syariah. Padahal menurut ketentuannya, Dewan Pengawas Syariah bekerja secara independen dan bebas untuk meninjau dan komentar pada semua kontrak dan transaksi (The Sharia Supervisory Board works independently and is free to review and comment on all contracts and transactions).33

3. Landasan Yuridis Tentang Kepatuhan syariah (Shariah Compliance)

Undang-Undang UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.34

dan

UU No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah.35

Kedua Undang-Undang ini

31 Bank Indonesia kerjasama dengan Ernst dan Young, peran DPS belum

optimal. Dilanggarnya syariah compliance akibat lemahnya pengawasan DPS memiliki

dampak terhadap risk manajemen, 2008. 32 Bank Indonesia kerjasama dengan Ernst dan Young, peran DPS belum

optimal. Dilanggarnya syariah compliance akibat lemahnya pengawasan DPS memiliki

dampak terhadap risk manajemen, 2008. 33 Bank Indonesia kerjasama dengan Ernst dan Young, peran DPS belum

optimal. Dilanggarnya syariah compliance akibat lemahnya pengawasan DPS memiliki

dampak terhadap risk manajemen, 2008 34 Lihat Undang-Undang UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas 35

Lihat Undang-Undang No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah

Page 193: IRPAN JAMIL - SPs.pdf - Repository UIN Syarif Hidayatullah ...

181

merupakan landasan yuridis yang cukup kuat bagi keberadaan DPS untuk

menjamin terimplementasinya syariah compliance di lembaga perbankan dan

keuangan syariah. Menurut UU No 40 Tahun 2007 Pasal 109.36

1. Perseroan yang menjalankan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah

selain mempunyai Dewan Komisaris wajib mempunyai Dewan

Pengawas Syariah.

2. Dewan Pengawas Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri

atas seorang ahli syariah atau lebih yang diangkat oleh RUPS atas

rekomendasi Majelis Ulama Indonesia.

3. Dewan Pengawas Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

bertugas memberikan nasihat dan saran kepada Direksi serta

mengawasi kegiatan.

Perseroan agar sesuai dengan prinsip syariah. Undang-Undang No 21 Tahun

2008 Pasal 32 menyebutkan :

a. Dewan Pengawas Syariah wajib dibentuk di Bank Syariah dan

Bank Umum Konvensional yang memiliki UUS.

b. Dewan Pengawas Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

diangkat oleh Rapat Umum Pemegang Saham atas rekomendasi Majelis

Ulama Indonesia

c. Dewan Pengawas Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertugas

memberikan nasihat dan saran kepada direksi serta mengawasi kegiatan

Bank agar sesuai dengan Prinsip Syariah.

4. Perkembangan Syariah Compliance pada Bank di Luar Negeri

Konsep teoritis bank Islam muncul pertama kali pada tahun 1940-an, dengan

gagasan mengenai perbankan yang berdasarkan pada bagi hasil. Beberapa pemikir

mengenai hal tersebut, antara lain dari Anwar Qureshi (1946), Naeim Siddiq (1948),

dam Mahmud ahmad (1952). Urain yang lebih terperinci mengenai gagasan

pendahuluan perbankan Islam dikemukakan oleh ulama Pakistan, yakni Abu‘ala Al-

Mawdudi (1961) serta Muhammad Hamidullah (1944-1962). Maududi Uzair

merupakan seorang perintis teori perbankan Islam dengan karyanya berjudul A

Groundwork for Interest Free Bank. Diantara penulis-penulis tersebut, yang dikenal

oleh Indonesia hanyalah Dr. Anwar Qureshi karena salah satu bukunya yang

mengkritik riba telah diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia meskipun buku itu

tidak mendapat tanggapan berarti dari gerakan Islam.

Para penulis diatas masih merupakan mean of ideas dan belum menjadi men

of actions seperti halnya Dr. Ahmad El-Najjar dari Mesir yang memiliki gagasan

penghimpunan dana zakat untuk mengembangan masyarakat desa. Dengan bantuan

dana dari Raja Faisal Saudi Arabia, ia mendirikan Mit Ghamr Local Saving Bank.

Bank ini hamper serupa dengan ―Bank Tolong Menolong‖ yang merupakan

koperasi simpan pinjam hasil prakarsa R.M Wariatmaja ketika ia menjabat patih

Purwokerto pada 1904.

Upaya awal penerapan prinsip profit and loss sharing tercatat di Pakistan dan

Malaysia sekitar tahun 1940-an, yaitu adanya upaya mengelola dana jamaah haji

36 Lihat Undang-Undang No 40 Tahun 2007 Pasal 109

Page 194: IRPAN JAMIL - SPs.pdf - Repository UIN Syarif Hidayatullah ...

182

secara non konvensional. Rintisan institusional lainnya adalah Islamic Bank di desa

Mit ghamr pada tahun 1963 dicari di Kairo di Kairo, Mesir. Setelah itu bank Islam

tumbuh dengan sangat pesat.11

Dari konvensi konferensi Islamic Bank yang

diadakan di Singapura pada bulan Agustus 1998 dapat diketahui bahwa lembaga

keuangan Islam mengalami perkembangan yang pesat di dunia jumlahnya telah

mencapai 200 buah, diantaranya 160 berupa bank dan sisanya berupa lembaga

keuangan non bank.

Pada tahun 1970, diadakan sidang menteri luar negeri, negara-negara

organisasi konferensi Islam di Karachi, Pakistan. Mesir mengajukan sebuah

proposal untuk mendirikan bank syariah. Proposal yang disebut studi tentang

pendirian Bank Islam internasional untuk perdagangan dan pembangunan

(International Islamic Bank trade and development) dan proposal pendirian federasi

Bank Islam (Federation of Islamic Banks) dikaji para ahli dari delapan belas negara

Islam. Proposal tersebut pada intinya mengusulkan bahwa sistem keuangan

berdasarkan bunga harus digantikan dengan suatu sistem kerjasama dengan skema

bagi hasil keuntungan maupun kerugian. Proposal tersebut diterima, sidang

menyetujui rencana mendirikan bank Islam internasional dan federasi bank Islam.

Sidang Menteri Keuangan oke OKI di Jeddah 1975, menyetujui rancangan

pendirian Bank Pembangunan Islam atau Islamic Development Bank (IDB) dengan

modal awal 2 miliar Dinar Islam atau equivalent 2 miliar SDR (special drawing

right). Semua negara anggota OKI menjadi anggota IDB tahun awal beroperasinya

IDB mengalami banyak hambatan karena masalah politik titik Meskipun demikian

jumlah anggota makin meningkat dari 22 menjadi 43 negara.

IDB juga membantu mendirikan bank bank Islam di berbagai negara. Untuk

pembangunan pengembangan sistem ekonomi syariah, institusi ini membangun

sebuah Institut riset dan pelatihan untuk pengembangan penelitian dan pelatihan

ekonomi Islam, baik dalam bidang perbankan maupun keuangan secara umum.

Lembaga ini disingkat IRTI (Islamic research and training Institute).37

5. Perkembangan Syariah Compliance Pada Bank Syariah di Indonesia

Secara normatif dan yuridis empiris, bank syariah diakui keberadaannya di

negara Republik Indonesia. Pengakuan secara yuridis normatif tercatat dalam

peraturan perundang- undangan di Indoensia. Selain itu, pengakuan secara yuridis

empiris dapat dilihat perbankan syariah tumbuh dan berkembang pada umumnya di

seluruh ibu kota provensi dan kabupaten di Indonesia, bahkan beberapa bank

konvesional dan lembaga keuangan lainnya membuka unit usaha syariah ( bank

syariah, asuransi syariah, dan semacamnya)22

. Kerangka hukum pengembangan

industri perbankan syariah diwadahi dalam UU No. 7 tahun 1992 tentang perbankan

yang memperkenalkan ―system bagi hasil‖ atau ―prinsip bagi hasil‖ dalam kegiatan

perbankan nasional. Dalam UU No. 7 tahun 1992 tersebut dibuka kemungkinan bagi

bank untuk melaksanakan usahanya berdasarkan pada prinsip bagi hasil. Ketentuan

ini dimaksud untuk memenuhi kebutuhan masyarakat akan penyediaan jasa

37 Sutan Remy Sjahdeini, Perbankan Syariah, Produk-produk dan Aspek-aspek

Hukumya, (Jakarta, Kencana Prenadamedia, 2015), h. 64

Page 195: IRPAN JAMIL - SPs.pdf - Repository UIN Syarif Hidayatullah ...

183

perbankan berdasarkan system bagi hasil.38

Prakarsa lebih khusus mengenai pendirian bank Islam di Indonesia baru

dilakukan tahun 1990. Pada tanggal 18 sampai dengan 20 agustus 1990, Majelis

Ulama Indonesia (MUI) menyelenggarakan Lokakarya Bunga Bank dan Perbankan

di Cisarua, Bogor, Jawa Barat. Hasil lokakarya tersebut kemudian dibahas lebih

mendalam pada Musyawarah Nasional IV MUI di Jakarta dari tanggal 22 sampai

dengan tanggal 25 agustus 1990, yang menghasilkan amanat bagi pembentukan

kelompok kerja pendirian bank Islam di Indonesia. Kelompok kerja yang dimaksud

ialah Tim Perbankan MUI diberi tugas untuk melakukan pendekatan dan konsultasi

dengan semua pihak yang terkait. Sebagai hasil kerja Tim Perbankan MUI tersebut

adalah berdirinya PT Bank Muamalat Indonesia (BMI), yang sesuai akta

pendiriannya, berdiri pada tanggal 1 november 1991. Sejak tanggal 1 mei 1992,

BMI resmi beroperasi dengan modal awal sebesar Rp. 106.126.382.000. sampai

bulan september 1999. Setelah berdirinya BMI yang diikuti berdirinya BPRS-BPRS

lainnya dan terbukti Perbankan syariah tidak terkena imbas dari krisis moneter pada

tahun 1998 maka akhirnya diikuti oleh berdirinya perbankan-perbankan umum yang

membangun perbankan berbasis syariah.

Regulasi kepatuhan syariah diawali dengan aturan terhadap perbankan yang

menjalankan aktifitasnya di bidang syariah. Sesuai dengan amandemen UU No. 7

Tahun 1992 yang menjadi UU No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan sebagai awal

bagi beroperasinya perbankan syariah di Indonesia. Masih lemahnya peraturan yang

ada di dalam UU tersebut, karena singkatnya aturan terkait perbankan yang

menjalankan aktifitasnya di syariah, maka dikeluarkannya aturan dari Bank

Indonesia dalam bentuk Peraturan Bank Indonesia (PBI) dan Surat Edaran Bank

Indonesia (SEBI). Diterbitkannya Peraturan Bank Indonesia (PBI) No.

7/35/PBI/2005 tentang Perubahan Atas Peraturan Bank Indonesia No.

6/24/PBI/2004 tentang Bank Umum yang Melaksanakan Kegiatan Usaha

Berdasarkan Prinsip Syariah, serta PBI No. 8/3/PBI/2006 tentang Perubahan

Kegiatan Usaha Bank Umum Konvensional Menjadi Bank Umum yang

Melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah dan Pembukaan Kantor

Bank yang Melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah oleh Bank

Umum Konvensional. Sehubungan dengan regulasi sebelumnya, maka

diterbitkannya UU No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, yang lebih tegas

dan terintegrasi dalam mengatur perbankan syariah yang ada di Indonesia.

Selanjutnya beraneka ragam regulasi terkait pengembangan aturan seiring dengan

kemajuan industry perbankan syariah, berikut aturan dari Bank Indonesia baik dari

PBI maupun dalam bentuk SEBI:39

a. Surat Edaran Bank Indonesia No. 11/9/DPbS tanggal 7 April 2009 perihal Bank

Umum Syariah;

b. Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 11/28/DPbS tanggal 5 Oktober 2009

perihal Unit Usaha Syariah;

38 Bank Indonesia, Sekilas Perbankan Syariah di Indonesia, http:www.bi.go.id/

web/id/Perbankan + Syariah 39 Bank Indonesia, Sekilas Perbankan Syariah di Indonesia, http://www.bi.go.id/

web/id/Perbankan +Syariah

Page 196: IRPAN JAMIL - SPs.pdf - Repository UIN Syarif Hidayatullah ...

184

c. Peraturan Bank Indonesia Nomor 11/3/PBI/2009 tentang Bank Umum Syariah;

d. Peraturan Bank Indonesia Nomor 11/10/PBI/2009 tentang Unit Usaha Syariah;

e. Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 15/50/DPbS tentang Perubahan Atas Surat

Edaran Bank Indonesia No. 11/9/DPbS tanggal 7 April 2009 perihal Bank

Umum Syariah;

f. Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 15/51/DPbS tentang Perubahan Atas Surat

Edaran Bank Indonesia Nomor 11/28/DPbS tanggal 5 Oktober 2009 perihal

Unit Usaha Syariah;

g. Peraturan Bank Indonesia Nomor 15/13/PBI/2013 tentang Perubahan Atas

Peraturan Bank Indonesia Nomor 11/3/PBI/2009 tentang Bank Umum Syariah;

h. Peraturan Bank Indonesia Nomor 15/14/PBI/2013 tentang Perubahan Atas

Peraturan Bank Indonesia Nomor 11/10/PBI/2009 tentang Unit Usaha Syariah;

i. Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 15/44/DPbS tentang Fasilitas Pendanaan

Jangka Pendek Syariah bagi Bank Umum Syariah;

j. Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 15/26/DPbS tentang Pelaksanaan

Pedoman Akuntansi Perbankan Syariah Indonesia;

k. Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 15/22/DPbS tentang Pedoman

Pelaksanaan Tugas dan Tanggung Jawab Dewan Pengawas Syariah Bank

Pembiayaan Rakyat Syariah;

l. Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 15/8/DPbS tentang Pembukaan Jaringan

Kantor Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah Berdasarkan Modal Inti;

m. Peraturan Bank Indonesia Nomor 14/20/PBI/2012 tentang Perubahan Peraturan

Bank Indonesia Nomor 11/24/PBI/2009 tentang Fasilitas Pendanaan Jangka

Pendek Syariah Bagi Bank Umum Syariah; dan

n. Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 14/33/DPbS tentang Penerapan Kebijaka

Produk Pembiayaan Kepemilikan Rumah dan Pembiayaan Kendaraan Bermotor

bagi Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah.40

Seiring dengan semakin berkembangnya bank Syariah di Indonesia, maka

sejak tahun 2011 BI terus menambah PBI yang terkait dengan regulasi perbankan

syariah setiap tahunnya. Bahkan setelah kewenangan dan tanggung jawab membuat

regulasi berpindah dari BI ke Otoritas Jasa Keuangan (OJK), peraturan-peraturan

terkait bank Syariah pun terus dibuat. Hal tersebut sesuai dengan UU Nomor 21

tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan yang menyatakan bahwa OJK memiliki

fungsi, tugas, wewenang pengaturan dan pengawasan terhadap kegiatan di dalam

sektor jasa keuangan secara terpadu, independen, dan akuntabel khususnya dalam

dunia perbankan. Berikut perkembangan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan terakait

LKS bank dan LKS non bank:

a. POJK Nomor 8/POJK.03/2014 tentang Penilaian Tingkat Kesehatan Bank

40 Bank Indonesia, Sekilas Perbankan Syariah di Indonesia, http://www.bi.go.id/

web/id/Perbankan +Syariah

Page 197: IRPAN JAMIL - SPs.pdf - Repository UIN Syarif Hidayatullah ...

185

Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah.

b. POJK Nomor 21/POJK.03/2014 tentang Kewajiban Penyediaan Modal

Minimum Bank Umum Syariah.

c. POJK Nomor 16/POJK.03/2014 tentang Penilaian Kualitas Aset Bank Umum

Syariah dan Unit Usaha Syariah.

d. POJK Nomor 31/POJK.05/2014 tentang Penyelenggaraan Usaha Pembiayaan

Syariah.

e. POJK Nomor 20/POJK.04/2015 tentang Penerbitan dan Persyaratan Efek

Beragun Aset Syariah.

f. POJK Nomor 19/POJK.04/2015 tentang Penerbitan dan Persyaratan Reksa

Dana Syariah.

g. POJK Nomor 16/POJK.04/2015 tentang Ahli Syariah Pasar Modal.

h. POJK Nomor 15/POJK.04/2015 tentang Penerapan Prinsip Syariah di Pasar

Modal.

i. POJK Nomor 18/POJK.04/2015 tentang Penerbitan dan Persyaratan Sukuk.

j. POJK Nomor 17/POJK.04/2015 tentang Penerbitan dan Persyaratan Efek

Syariah Berupa Saham oleh Emiten Syariah atau Perusahaan Publik Syariah.

k. POJK Nomor 24/POJK.03/2015 tentang Produk dan Aktivitas Bank Syariah

dan Unit Usaha Syariah.

l. POJK Nomor 33/POJK.05/2016 tentang Penyelenggaraan Program,

Pensiun Berdasarkan Prinsip Syariah.

Regulasi di atas tidak menutup aturan-aturan sebelumnya, karena aturanaturan

sebelum undang-undang ini lahir masih tetap berlaku sepanjang hal-hal yang tidak

diatur dalam undang-undang ini. selanjutnya, aspek lain yang penting untuk

menunjang regulasi Lembaga Keuangan syariah bank ataupun non bank adalah

dikeluarkannya aturan-aturan berdasarkan prinsip syariah dalam bentuk fatwa-fatwa

oleh DSN-MUI, sebagai beriku:

Pertama, Fatwan DSN tentang Perbankan :

1) Fatwa No. 01/DSN-MUI/ 2000 tentang Giro

2) Fatwa No. 02/DSN-MUI/ 2000 tentang Tabungan

3) Fatwa No. 03/DSN-MUI/ 2000 tentang Deposito

4) Fatwa No. 04/DSN-MUI/ 2000 tentang Murabahah

5) Fatwa No. 05/DSN-MUI/ 2000 tentang Jual Bei Salam

6) Fatwa No. 06/DSN-MUI/ 2000 tentang Jual Beli Istishna

7) Fatwa No. 07/DSN-MUI/ 2000 tentang Pembiayaan Mudharabah

8) Fatwa No. 08/DSN-MUI/ 2000 tentang Pembiyaan Musyarakah

9) Fatwa No. 09/DSN-MUI/ 2000 tentang Pembiyaan Iajarah

10) Fatwa No. 10/DSN-MUI/ 2000 tentang Pembiyaan Wakalah

11) Fatwa No. 11/DSN-MUI/ 2000 tentang Pembiyaan Kafalah

12) Fatwa No. 12/DSN-MUI/ 2000 tentang Pembiyaan Hawalah

13) Fatwa No. 13/DSN-MUI/ 2000 tentang Uang Muka dalam Murabahah

14) Fatwa No. 16/DSN-MUI/ 2000 tentang Diskon dan Murabahah

15) Fatwa No. 17/DSN-MUI/ 2000 tentang Sanksi atas nasabah Mampu

yang Menunda- nunda Pembayaran

Page 198: IRPAN JAMIL - SPs.pdf - Repository UIN Syarif Hidayatullah ...

186

16) Fatwa No. 18/DSN-MUI/IX/2000 tentang Pencadangan Penghapusan

Aktiva Produktif Dalam LKS

17) Fatwa No. 19/DSN-MUI/IX/2000 tentang Al-Qardh

18) Fatwa No. 20/DSN-MUI/IX/2000 tentang Pedoman Pelaksanaan

Investasi untuk Reksa Dana Syariah

19) Fatwa No. 21/DSN-MUI/X/2001 tentangPedoman Umum Asuransi

Syari‘ah

20) Fatwa No. 22/DSN-MUI/III/2002 tentangJual Beli Istishna' Paralel

21) Fatwa No. 23/DSN-MUI/III/2002 tentang Potongan Pelunasan Dalam

Murabahah

22) Fatwa No. 24/DSN-MUI/III/2002 tentangSafe Deposit Box

23) Fatwa No. 25/DSN-MUI/III/2002tentang Rahn

24) Fatwa No. 26/DSN-MUI/III/2002tentang Rahn Emas

25) Fatwa No. 27/DSN-MUI/III/2002tentang Al-Ijarah al-Muntahiya bi

al-Tamlik

26) Fatwa No. 28/DSN-MUI/III/2002tentang Jual Beli Mata Uang (al-

Sharf)

27) Fatwa No. 29/DSN-MUI/VI/2002tentang Pembiayaan Pengurusan

Haji LKS

28) Fatwa No. 30/DSN-MUI/VI/2002tentang Pembiayaan Rekening

Koran Syari‘ah

29) Fatwa No. 31/DSN-MUI/VI/2002tentang Pengalihan Utang

30) Fatwa No. 34/DSN-MUI/IX/2002tentang L/C Impor Syari‘ah

31) Fatwa No. 35/DSN-MUI/IX/2002tentang L/C Ekspor Syari‘ah

32) Fatwa No. 36/DSN-MUI/X/2002 tentang Sertifikat Wadi‘ah Bank

Indonesia

33) Fatwa No. 37/DSN-MUI/X/2002 tentang Pasar Uang Antarbank

Berdasarkan Prinsip Syari'ah.

34) Fatwa No. 38/DSN-MUI/X/2002 tentang Sertifikat Investasi

Mudharabah Antarbank (Sertifikat IMA)

35) Fatwa No. 39/DSN-MUI/X/2002 tentang Asuransi Haji

36) Fatwa No. 42/DSN-MUI/V/2004 tentang Syari'ah Charge Card

37) Fatwa No. 43/DSN-MUI/VIII/2004 tentang Ganti Rugi (Ta‘widh)

38) Fatwa No. 44/DSN-MUI/VIII/2004 tentang Pembiayaan Multijasa

39) Fatwa No. 45/DSN-MUI/II/2005 tentang Line Facility

40) Fatwa No. 46/DSN-MUI/II/2005 tentang Potongan Tagihan

Murabahah

41) Fatwa No. 47/DSN-MUI/II/2005 tentang Penyelesaian Piutang

Murabahah bagi Nasabah Tak Mampu Bayar

42) Fatwa No. 48/DSN-MUI/II/2005 tentang Penjadwalan Kembali

Tagihan Murabahah

43) Fatwa No. 49/DSN-MUI/II/2005 tentang Konversi Akad Murabahah

44) Fatwa No. 50/DSN-MUI/III/2006 tentang Akad Mudharabah

Musytarakah

45) Fatwa No. 51/DSN-MUI/III/2006 tentang Akad Mudharabah

Musytarakah pada Asuransi Syari'ah

Page 199: IRPAN JAMIL - SPs.pdf - Repository UIN Syarif Hidayatullah ...

187

46) Fatwa No. 52/DSN-MUI/III/2006 tentang Akad Wakalah Bil Ujrah

pada Asuransi dan Reasuransi Syari'ah

47) Fatwa No. 53/DSN-MUI/III/2006 tentang Akad Tabarru' pada

Asuransi dan Reasuransi Syari'ah

48) Fatwa No. 54/DSN-MUI/X/2006 tentang Syari'ah Card

49) Fatwa No. 55/DSN-MUI/V/2007 tentang Pembiayaan Rekening

Koran Syari'ah Musyarakah

50) Fatwa No. 56/DSN-MUI/V/2007 tentang Ketentuan Review Ujrah

Pada

51) Lembaga Keuangan Syari'ah

52) Fatwa No. 57/DSN-MUI/V/2007 tentang Letter of Credit (LC)

dengan Akad

53) Kafalah bil Ujrah

54) Fatwa No. 58/DSN-MUI/V/2007 tentang Hawalah bil Ujrah;

55) Fatwa No. 59/DSN-MUI/V/2007 tentang Obligasi Syari'ah

Mudharabah Konversi;

56) Fatwa No. 60/DSN-MUI/V/2007 tentang Penyelesaian Piutang Dalam

Ekspor;

57) Fatwa No. 61/DSN-MUI/V/2007 tentang Penyelesaian Utang Dalam

Impor.

58) Fatwa No. 62/DSN-MUI/V/2007 tentang Akad Ju‘alah

59) Fatwa No. 63/DSN-MUI/V/2007 tentang Sertifikat Bank Indonesia

Syariah ( SBIS)

60) Fatwa No. 64/DSN-MUI/V/2007 tentang Sertifikat Bank Indonesia

Syariah ( SBIS) Ju‘alah

61) Fatwa No. 71/DSN-MUI/V/2008 tentang Sale and Lase Back

62) Fatwa No. 73/DSN-MUI/V/2008 tentang Musyarakah Mutanaqisah

63) Fatwa No. 77/DSN-MUI/V/2010 tentang Jual Beli Emas Secara Tidak

Tunai

64) Fatwa No. 78/DSN-MUI/V/2010 tentang Mekanisme dan Instrumen

Pasar Uang Antarbank Berdasarkan Prinsip Syariah.

65) Fatwa No. 79/DSN-MUI/V/2011 tentang Qardh dengan

Menggunakan Dana Nasabah

66) Fatwa 79/DSN-MUI/III/2011 tentang Qardh dengan Menggunakan

Dana Nasabah

67) Fatwa 87/DSN-MUI/XII/2012 tentang Metode Perataan Penghasilan

(Income Smoothing) Dana Pihak Ketiga

68) Fatwa 86/DSN-MUI/XII/2012 tentang Hadiah dalam Penghimpunan

Dana Lembaga Keuangan Syariah

69) Fatwa 85/DSN-MUI/XII/2012 tentang Janji (Wa‘d) dalam Transaksi

Keuangan dan Bisnis Syariah

Kedua, Fatwa DSN tentang Perasuransian Syariah

1) 21/DSN-MUI/X/2001 tentang Pedoman Umum Asuransi Syari‘ah

2) 39/DSN-MUI/X/2002 tentang Asuransi Haji

3) 53/DSN-MUI/III/2006 tentang Akad Tabarru‘ pada Asuransi Syari‘ah

Page 200: IRPAN JAMIL - SPs.pdf - Repository UIN Syarif Hidayatullah ...

188

4) 52/DSN-MUI/III/2006 tentang Akad Wakalah bil Ujrah pada

Asuransi Syari‘ah dan Reasuransi Syari‘ah

5) 51/DSN-MUI/III/2006 tentang Akad Mudharabah Musytarakah pada

Asuransi Syariah

6) 81/DSN-MUI/III/2011 tentang Pengembalian Dana Tabarru‘ bagi

Peserta Asuransi yang Berhenti Sebelum Masa Perjanjian Berakhir

Ketiga, Fatwa DSN tentang Pasar Modal Syariah

1) 20/DSN-MUI/IV/2001 tentang Pedoman Pelaksanaan Investasi untuk

Reksa Dana Syari‘ah

2) 33/DSN-MUI/IX/2002 tentang Obligasi Syari‘ah Mudharabah

3) 32/DSN-MUI/IX/2002 tentang Obligasi Syari‘ah

4) 41/DSN-MUI/III/2004 tentang Obligasi Syari‘ah Ijarah

5) 40/DSN-MUI/X/2002 tentang Pasar Modal dan Pedoman Umum

Penerapan Prinsip Syariah di Bidang Pasar Modal

6) 59/DSN-MUI/V/2007 tentang Obligasi Syariah Mudharabah Konversi

7) 66/DSN-MUI/III/2008 tentang Waran Syariah

8) 65/DSN-MUI/III/2008 tentang Hak Memesan Efek Terlebih Dahulu

(HMETD) Syariah

9) 69/DSN-MUI/VI/2008 tentang Surat Berharga Syariah Negara

10) 70/DSN-MUI/VI/2008 tentang Metode Penerbitan Surat Berharga

Syariah Negara

11) 72/DSN-MUI/VI/2008 tentang Surat Berharga Syariah Negara Ijarah

Sale and Lease Back

12) 80/DSN-MUI/III/2011 tentang Penerapan Prinsip Syariah dalam

Mekanisme Perdagangan Efek Bersifat Ekuitas di Pasar Reguler Bursa

Efek

Keempat, Fatwa DSN tentang Pengadaian Syariah

1) 25/DSN-MUI/III/2002 tentang Rahn

2) 26/DSN-MUI/III/2002 tentang Rahn Emas

3) 68/DSN-MUI/III/2008 tentang Rahn Tasjily

Kelima, Fatwa DSN tentang Pembiayaan Syariah 67/DSN-MUI/III/2008

tentang Anjak Piutang Syariah

Keenam, Fatwa DSN tentang Penjaminan Syariah 74/DSN-MUI/I/2009

tentang Penjaminan Syariah

Ketujuh, Fatwa DSN tentang MLM Syariah.

1) 75/DSN-MUI/VII/2009 tentang Pedoman Penjualan Langsung

Berjenjang Syariah (PLBS)

2) 83/DSN-MUI/VI/2012 tentang Penjualan Langsung Berjenjang Syariah

Jasa Perjalanan Umrah

Kedelapan, Fatwa DSN tentang Komoditi Syariah 82/DSN-MUI/VIII/2011

tentang Perdagangan Komoditi Berdasarkan Prinsip Syariah di Bursa

Komoditi.41

41 Bank Indonesia, Sekilas Perbankan Syariah di Indonesia, http://www.bi.go.id/

web/id/Perbankan +Syariah

Page 201: IRPAN JAMIL - SPs.pdf - Repository UIN Syarif Hidayatullah ...

189

6. Dimensi Syariah Compliance dalam Maqashid al-syari’ah

Masuknya teori maqashid al-syari‟ah ke dalam wilayah ekonomi Islam dapat

ditemukan langsung dalam landasan etika. Para pelaku ekonomi tidak hanya

dituntut untuk dapat menguasai sumber-sumber ekonomi yang strategis tetapi juga

memanfaatkannya untuk kepentingan umat dengan mengacu pada kemaslahatan

primer, sekunder, maupun tertier. Dengan demikian, bagi kajian ekonomi Islam,

maqashid al-syari‟ah adalah salah satu usaha logis yang wajib diterapkan

sebagai konsekuensi dari pemahaman ekonomi yang berkeadilan di satu sisi dan

berketuhanan di sisi lain.

Indikator-indikator ketaatan terhadap prinsip atau nilai-nilai ekonomi yang

didasarkan p ada maqâshid s yari‟ah menurut ‗Abdul Mun‗im Afar sebagaimana

dikutip oleh Ali Rama dan Makhlani dapat dilihat dari:42

1. Pemeliharaan Agama

Jika pokok-pokok ibadah seperti mengucapkan kalimat syahadat,

pelaksanaan sholat, zakat, haji dan lain- lain, adalah sebagai indikator bagi

terpeliharanya keberadaan agama, maka s egala s esuatu yang mutlak dibutuhkan

baik materil maupun non materil, sarana barang dan jasa untuk melaksanakan

ibadah tersebut harus tersedia dan terealisasi terlebih dahulu. Kebutuhan dasar

tersebut antara lain merujuk pada identifikasi kebutuhan berupa sarana, barang dan

jasa sebagai berikut:

a. Untuk menjaga kesinambungan iman dan akidah maka setidaknya

perlu disediakan antara lain: jasa da‘i dan pembimbing ibadah,

pencetakan dan penerbitan buku-buku agama termasuk Alquran dan

Hadis, pendirian pusat-pusat pengajian dan bimbingan agama.

b. Untuk melaksanakan ibadah yang terdiri dari:

1) Sholat, dibutuhkan mesjid dan musholla, jasa imam dan muadzin,

dana-dana waqaf untuk biaya pemeliharaan tempat ibadah, dan

penyediaan fasilitas-fasilitas penunjang lainnya.

2) Zakat, dibutuhkan pembentukan struktur k elembagaan zakat

yang terintegrasi dan dikelola secara profesional dan transparan,

pelatihan manajemen pengumpulan, pengelolaan dan distribusi

zakat, pemetaan potensi pengumpulan dana zakat dari para muzakki

dan pemetaan sebaran mustahiq zakat, penegakan hukum bagi

pihak yang tidak mau membayar zakat, pembentukan lembaga

yang intens mensosialisasikan kewajiban membayar zakat serta

hukum-hukum agamnya.

3) Puasa,dibutuhkan lembaga pendidikan yang mengajarkan hokum-

hukum puasa, penciptaan lingkungan yang mendukung lancarnya

pelaksanaan puasa, menyemarakkan kegiataan keagamaan selama

bulan Ramadhan.

4) Haji, diperlukan pembentukan lembaga pengelolaan pelaksanaan

42 Rama, Ali dan Makhlani. “Pembangunan Ekonomi dalam Tinjauan Maqasid

Syari‟ah”. Dialog: Jurnal Penelitian dan Kajian Keagamaan. Vol. 1, No. 1, Juni 2013. h. 31-

46

Page 202: IRPAN JAMIL - SPs.pdf - Repository UIN Syarif Hidayatullah ...

190

haji dan lembaga pengelola dana haji, penyediaan alat transportasi

dan penginapan yang nyaman dan lembaga bimbingan haji dan

pengajaran manasik haji.

5) Lembaga peradilan, dibutuhkan jasa k epemimpinan k epala

negara, majelis permusyawaratan, para hakim, lembaga urusan

Islam.

6) Lembaga keamanan: jasa aparat keamanan untuk menjaga

keselamatan para pelaksana dakwah, keamanan masyarakat dan

negara dan memberikan hukuman bagi para pelanggar aturan-

aturan yang berlaku.

c. Pemeliharaan Jiwa dan Akal

Kebutuhan akan pemeliharaan jiwa dan akal meliputi makan dan minum,

berpakaian dan bertempat tinggal (kebutuhan akan rumah). Artinya kebutuhan akan

pangan, sandang dan papan adalah mutlak harus terpenuhi untuk menjaga jiwa dan

akal manusia, agar dapat menjaga eksistensi hidup serta menjalankan fungsi

utamanya sebagai pelaku utama pembangunan (khalifah). Terpenuhinya kebutuhan

dasar tersebut adalah merupakan hak dasar dari setiap individu. Pembangunan

ekonomi harus menempatkan pemenuhan kebutuhan dasar setiap individu sebagai

prioritas utama, karena jika tidak terpenuhi akan mengancam eksistensi hidup

manusia (jiwa). Pemeliharaan keselamatan jiwa meliputi sembilan bidang pokok:

1) Makanan pokok dan perlengkapan penyajiannya, lauk-pauk

beserta bumbu- bumbu, air bersih dan garam.

2) Perangkat perlengkapan untuk pemeliharaan badan.

3) Pakaian.

4) Perumahan

5) Pemeliharaan kesehatan dengan ketersediaan rumah sakit, peralatan

sakit, obat-obat, dokter, ambulans, dan lain-lain.

6) Transportasi dan telekomunikasi berupa alat transportasi darat,

laut dan udara dan alat-alat komunikasi.

7) Jasa keamanan bagi individu dan masyarakat.

8) Lapangan yang halal dan manusiawi, upah yang adil, dan

kondisi kerja yang nyaman.

9) Lembaga perlindungan sosial seperi pemeliharaan lanjut usia, anak

yatim piatu, bantuan bagi para penganggur dan jaminan sosial.

Sedangkan pemeliharaan akal dapat terdiri dari:

1) Pendidikan: penyediaan lembaga pendidikan dari tingkat

dasar sampai perguruan tinggi, biaya pendidikan yang rendah

bahkan gratis, penyediaan alokasi dana yang tinggi untuk sektor

pendidikan, penyediaan sarana pendidikan yang memadai termasuk

guru dan tenaga pengajar.

2) Penerangan dan kebudayaan

3) Penelitian ilmiah: pusat pengembangan kurikulum, pusat

pengembangan ilmu modern, pusat penelitian, dan lain-lain.

c.Pemeliharaan Keturunan dan Harta

Tidak ada peradaban yang mampu bertahan jika generasi mudanya

memiliki kualitas spiritual, fisik dan mental yang rendah, sehingga berdampak

Page 203: IRPAN JAMIL - SPs.pdf - Repository UIN Syarif Hidayatullah ...

191

pada ketidakmampuan untuk menghadapi tantangan kehidupan yang s emakin d

inamis. Oleh karenanya mesti dilakukan perbaikan secara terencana dan berkelanjutan

untuk memperbaiki kualitas generasi muda. Salah satu langkah untuk memperbaiki

karakter dan keperibadian mereka adalah dengan menanamkan akhlak baik (khuluq

hasan) melalui proses tarbiyah di keluarga dan lembaga pendidikan.

Sementara harta merupakan fasilitas yang dianugerahkan Allah swt. kepada

manusia untuk menunjang fungsi utamanya sebagai khalîfah di bumi. Harta adalah

amanah yang harus dikembangkan secara terencana untuk tujuan menghilangkan

kemiskinan, memenuhi kebutuhan dasar setiap individu, membuat kehidupan

terasan nyaman dan mendorong terciptanya distribusi pendapatan dan kekayaan

yang merata. Dalam memperoleh d an mengembangkan harta dituntut untuk

didasarkan pada nilai-nilai Islam. Harus ada filter moral dalam pengelolaannya.

Untuk menjaga keselamatan keturunan dan harta maka dibutuhkan lembaga-

lembaga yang terkait dengan:

a. Pemeliharaan keturunan

1) Lembaga pernikahan yang akan mempermudah legalitas

pernikahan, pembelakan pra- pernikahan, pembinaan rumah

tangga paska pernikahan, dan lain-lain.

2) Pusat pembinaan ibu-ibu berkenaan dengan kesehatan,

psikologi, dan makanan, pemeriksaan rutin untul memastikan

kesehatan dan keselamatan janin.

3) Pemeliharaan anak-anak: bimbingan dan pendidikan kesehatan

bagi anak-anak, lembaga pengasuhan anak, program dasar

untuk kesehatan dan nutrisi anak, penanaman akidah yang

benar dan prinsip-prinsip dasar agama Islam, memberikan

bekal keahlian bagi anak-anak kurang mampu.

4) Yayasan anak yatim sebagai pusat pemeliharaan anak-anak

yatim.

5) Pembentukan lembaga pemeliharaan harta.

6) Pembentukan lembaga keuangan dan investasi.

7) Strategi keuangan akurat untuk pembangunan dan

pemeliharaan harta.

8) Pengamanan pemeliharaan harta dengan penerapan hukuman

atas pencuri, perampas harta dan pelaku kecurangan,

pelarangan riba, sogok dan korupsi.

9) Menjamin keamanan harta dan kepemilikan pribadi,

pengaturan aka-akad transaksi seperti jual beli, perkongsian,

sewa, dan lain-lain.

10) Pengajaran berkenaan dengan tata cara mendapatkan

harta dan pengembangannya, sumber-sumber pendapatan

halal dan haram, hukum-hukum transaksi, dan lain- lain.

Berdasarkan uraian di atas, maka konsep kebutuhan dasar yang harus

menjadi prioritas pengembangan ekonomi adalah segala kebutuhan dasar

minimal yang harus ada dan diperlukan untuk menjaga keselamatan agama,

jiwa, kekuatan jasmani, akal dan harta manusia, agar setiap individu

dapat melaksanakan kewajiban terhadap diri sendiri, keluarga, masyarakat, sistem

Page 204: IRPAN JAMIL - SPs.pdf - Repository UIN Syarif Hidayatullah ...

192

sosial dan keamanan; kebutuhan yang dimaksud mencakup segala macam barang

dan jasa primer, sebagai sarana yang harus dihasilkan dalam proses pembangunan

dengan perencanaan yang tepat disertai anggaran yang memadai.

Oleh karenanya, pembangunan berbasis maqashid al-syari‟ah adalah

pembangunan yang meletakkan prioritas utamanya untuk memenuhi kebutuhan

dasar manusia demi terpeliharanya lima maslahat pokok (agama, akal, jiwa,

keturunan dan harta) melalui usaha dalam proses produksi atau pembangunan

ekonomi. Terpenuhinya kebutuhan dasar setiap individu akan berkorelasi pada

peningkatan kesejahteraan atau tercipta kesejahteraan. Sebaliknya, apabila

manusia tidak mampu memenuhi kebutuhan dasarnya, ia akan merasakan

ketidakpuasan, tidak damai, tidak senang, tidak bahagia, tidak aman. Kondisi ini

adalah kondisi tidak sejahtera.

Dengan demikian terdapat hubungan antara pembangunan ekonomi yang

berbasis maqashid al-syari‟ah dengan pemenuhan kebutuhan dasar hidup

manusia, dan juga hubungannya dengan kondisi kesejahteraan, yang bila

disimpulkan bahwa pembangunan ekonomi yang memprioritaskan pemenuhan

kebutuhan dasar manusia adalah merupakan predisposisi dari kesejahteraan, dalam

arti kesejahteraan sosial akan ditentukan oleh bagaimana masyarakat dapat memenuhi

kebutuhan dasar

Menurut Abdul Wahab Khalaf, eksistensi maqashid al-syari‟ah

menjadi penting karena ia dapat dijadikan sebagai alat bantu dalam memahami

redaksi al-quran dan sunnah, membantu menyelesaikan dalil yang saling

bertentangan dan yang sangat penting lagi adalah untuk menetapkan suatu hukum

dalam sebuah kasus yang ketentuan hukumnya tidak tercantum dalam Alquran dan

sunnah jika menggunakan kajian semantik (kebahasaan).43

Disinilah pentingnya maqashid al-syari‟ah dalam praktek ekonomi dan

keuangan kekinian, di tengah ketidaksamaan praktek perbankan syariah di berbagai

negara.44

Selama ini, dominasi fikih klasik sebagai landasan operasional keuangan

dan perbankan Islam sangat nyata dan fakta. Padahal fikih hanyalah sekedar

hasil rasionalisasi kreatif ulama yang hidup pada zamannya. Sebagai contoh,

berbagai produk transaksi yang ditawarkan perbankan syariah sebagai lokomotif

gerakan ekonomi Islam, dimana hampir semuanya merujuk pada jenis-jenis transaksi

konrak dalam fikih klasik. Di sisi lain, penyusunan bangunan keilmuan ekonomi

Islam banyak diadopsi dari teori-teori ekonomi konvensional dengan melakukan

sedikit penyesuaian. Akibatnya, apa yang disebut dengan ekonomi Islam tidak lebih

dari kumpulan teori ekonomi konvensional plus fikih saja. Untuk itu perlu kiranya

rekontekstualisasi fikih, agar tetap bisa seirama dengan perjalanan dinamika zaman

yang selalu melahirkan banyak persoalan yang berbeda satu sama lain, termasuk

permasalahan terkait dengan sistem keuangan Islam.

Berkaitan dengan hal tersebut, maqashid al-syari‟ah merupakan koridor yang

relevan sebagai dasar pengembangan sistem, praktek, bahkan produk perbankan

syariah di era multidemensi sekarang. Tatanan maqashid al-syari‟ah dinilai oleh

43

Abd al- Wahhab Khalaf, Mashadir al-Tasyri al-Islami fi ma la Nash fih, Kuwait.

Dar-al-Qalam.tt. h.127 44

Fathurrahman, Ayif. ―Pendekatan Maqasid asy-Syari„ah…. h. 212.

Page 205: IRPAN JAMIL - SPs.pdf - Repository UIN Syarif Hidayatullah ...

193

mayoritas ulama sebagai jalan terang bagi perjalanan perbankan syariah dalam

menjawab persoalan dinamis, karena berdasarkan pada kemaslahatan dan

kesejahteraan. Konsep maslahhah merupakan tujuan utama dari ditetapkannya

hukum Islam. Berikut contoh peninjauan produk-produk dan operasional di bank

syariah pada umumnya dan di Bank Muamalat pada khususnya dengan nilai-nilai

maqashid al-syari„ah:

1. Terjaga agama para nasabah. Hal ini diwujudkan dengan Bank

Muamalat menggunakan Alquran, hadis, dan hukum Islam lainnya

sebagai pedoman dalam menjalankan segala sistem operasional dan

produknya. Dengan adanya Dewan Pengawas Syariah (DPS) dan Dewan

Syariah Nasional (DSN), membuat keabsahan bank tersebut dalam nilai-

nilai dan aturan Islam semakin terjamin dan Insya Allah dapat dipercaya

oleh kalangan muslim dan non-muslim.

2. Terjaga jiwa para nasabah. Hal ini terwujud dari akad- akad yang

diterapkan dalam setiap transaksi di bank syariah. Secara psikologis dan

sosiologis penggunaan akad-akad antar pihak menuntun manusia untuk

saling menghargai dan menjaga amanah yang diberikan. Di sinilah nilai

jiwanya. Selain itu, hal ini juga terwujud dari pihak stakeholder dan

stockholder bank syariah dimana dalam menghadapi nasabah dituntut

untuk berperilaku, berpakaian, dan berkomunikasi secara sopan dan

Islami.

3. Terjaga akal pikiran nasabah dan pihak bank. Hal ini terwujud dari

adanya tuntutan bahwa pihak bank harus selalu mengungkapkan secara

detail mengenai sistem produknya dan dilarang untuk menutup-nutupi

barang sedikit pun. Di sini terlihat bahwa nasabah diajak untuk berpikir

bersama ketika melakukan transaksi di bank tersebut tanpa ada yang

dizalimi oleh pihak bank. Bank syariah ikut memintarkan nasabah

(adanya edukasi di setiap produk bank kepada nasabah).

4. Terjaga hartanya. Hal ini terwujud jelas dalam setiap produk-produk

yang dikeluarkan oleh bank dimana bank berupaya untuk menjaga

dan mengalokasikan dana nasabah dengan baik dan halal serta

diperbolehkan untuk mengambil profit yang wajar. Selain itu, terlihat

juga dari adanya penerapan sistem zakat yang bertujuan untuk

membersihkan harta nasabah secara transparan dan bersama-sama.

5. Terjaga keturunannya. Hal ini terwujud dengan terjaganya empat hal

di atas, maka dana nasabah yang Insya Allah dijamin halal akan

berdampak baik bagi keluarga dan keturunan yang dinafkahi dari dana

tabungannya tersebut.

Konsep ekonomi Islam adalah suatu keniscayaan yang harus dikembangkan

lebih jauh, tidak hanya dalam tataran konseptual tetapi juga dalam tataran praktis,

khususnya praktek di perbankan syariah. Islam telah menyediakan sumber-sumber

tekstual yang memadai untuk memberikan batasan pe rilaku manusia, namun hal itu

tidak cukup jika tidak diimbangi dengan inferensi sosial. Adanya teori maqashid a-

syari‟ah dalam kajian perekonomian Islam merupakan langkah maju dalam

pengembangan model ekonomi Islam yang paling ideal. Hal ini karena maqashid al-

-syari‟ah dapat dijadikan alat bantu dalam membantu menyelesaikan dalil dalam

Page 206: IRPAN JAMIL - SPs.pdf - Repository UIN Syarif Hidayatullah ...

194

menetapkan suatu hukum dalam rangka mencapai tujuan disyariatkannya hukum

tersebut.

4) Maqashid Ammah Bank Syariah

Awal berdirinya bank syariah ditujukan untuk mencapai dan mewujudkan

kesejahteraan umat secara luas dunia dan akhirat. Dengan mengacu pada tujuan

utama ini, istilah Maqashid-al- Syariah menjadi sandaran utama dalam setiap

pengembangan operasional dan produk –produk yang ada di bank syariah. Oleh

karena itu, semua pihak yang bekerja dalam bidang perbankan syariah harus

bisa memahami betul apa dan bagaimana praktik dari prinsip maqashid-al-

syariah. Seperti yang telah dipaparkan di atas bahwa maqashid-al-syariah

(tujuan syariah) dapat dicapai dengan terpenuhinya lima kebutuhan dasar

manusia. Terdapat tiga tingkatan kebutuhan pada manusia, yaitu: dharruriyyat

(primer), hajjiyat (sekunder), dan tahsiniyyat (tersier).45

Maka demikian halnya dengan maqashid-al-ammah dalam perbankan

syariah harus memenuhi tiga tingkatan dalam setiap operasionalnya, yaitu primer,

sekunder dan tersier. Manusia tidak diwajibkan untuk memenuhi ketiga tingkatan

kebutuhan, tetapi diwajibkan untuk dapat memenuhi dengan baik kebutuhan dasar

atau yang disebut dengan kebutuhan dharruriyyat. Maksud memenuhi dengan

baik di sini adalah bahwa dalam pemenuhannya harus diusahakan dengan cara-

cara yang baik, benar, dan halal. Apabila manusia dapat terpenuhi

kebutuhan dasarnya tersebut, inilah yang dimaksud dengan maqashid-al- syariah.

Kebutuhan dasar manusia tersebut terbagi dalam lima hal, yaitu: pertama, menjaga

agama (al-din). Kedua, menjaga jiwa (al-nafs). Ketiga, menjaga akal pikiran (al-

aql). Keempat, menjaga harta (al-maal). Kelima, menjaga keturunan (al-nasl).46

Demikian halnya dengan seluruh operasional bank syariah harus memenuhi

unsur yang lima diatas agar transaksinya sesuai dengan syariat dan tujuannya.

Sistem ekonomi dikatakan sukses berjalan apabila bisa mensejahterakan

masyarakatnya dan masyarakat dikatakan sejahtera apabila kebutuhan dasarnya

tersebut terpenuhi. Jadi, sistem ekonomi beserta institusi-institusinya harus bisa

mengupayakan hal tersebut untuk mencapai tujuan utamanya, yaitu social

welfare. Berbagai jenis pembiayaan yang ditawarkan oleh perbankan syariah

sebenarnya sangat mendukung kegiatan ekonomi dan industri. Tujuan dan

fungsi perbankan syariah adalah kemakmuran ekonomi yang meluas,

keadilan sosial ekonomi dan distribusi pendapatan serta kekayaan yang merata.

5) Maqashid Khashah Bank Syariah

Berikut peninjauan maqashid khashah bank syariah dalam produk-produk

dan operasionalnya adalah:47

1. Menjaga agama. Hal ini diwujudkan dengan bank syariah menggunakan

45 Sandy Rizki Febriadi, Aplikasi Maqashid Syariah Dalam Bidang Perbankan

Syariah. Amwaluna, Vol. 1 No.2. 2017, h. 240-241. 46 Sandy Rizki Febriadi, Aplikasi Maqashid Syariah … h. 241. 47 Sandy Rizki Febriadi, Aplikasi Maqashid Syariah … h. 242.

Page 207: IRPAN JAMIL - SPs.pdf - Repository UIN Syarif Hidayatullah ...

195

al-Qur‘an, hadits, dan hukum Islam lainnya sebagai pedoman dalam

menjalankan segala sistem operasional dan produknya. Dengan

adanya Dewan Pengawas Syariah dan Dewan Syariah Nasional,

membuat keabsahan bank tersebut dalam nilai-nilai dan aturan Islam

semakin terjamin dan Insya Allah dapat dipercaya oleh kalangan

muslim dan non-muslim.

2. Menjaga jiwa. Hal ini terwujud dari akad-akad yang diterapkan dalam

setiap transaksi di bank syariah. Secara psikologis dan sosiologis

penggunaan akad -akad antar pihak menuntun manusia untuk saling

menghargai dan menjaga amanah yang diberikan. Di sinilah nilai

jiwanya. Selain itu, hal ini juga terwujud dari pihak stakeholder

dan stockholder bank syariah dimana dalam menghadapi nasabah

dituntut untuk berperilaku, berpakaian, dan berkomunikasi secara

sopan dan Islami.

3. Menjaga akal pikiran baik pihak nasabah dan pihak bank. Hal ini

terwujud dari adanya tuntutan bahwa pihak bank harus selalu

mengungkapkan secara detail mengenai sistem produknya dan dilarang

untuk menutup-nutupi barang sedikit pun. Di sini terlihat bahwa

nasabah diajak untuk berpikir bersama ketika melakukan transaksi di

bank tersebut tanpa ada yang dizalimi oleh pihak bank. Bank

syariah ikut mencerdaskan nasabah dengan adanya edukasi di setiap

produk bank kepada nasabah.

4. Menjaga harta. Hal ini terwujud jelas dalam setiap produk -produk

yang dikeluarkan oleh bank dimana bank berupaya untuk menjaga dan

mengalokasikan dana nasabah dengan baik dan halal serta

diperbolehkan untuk mengambil profit yang wajar. Selain itu, terlihat

juga dari adanya penerapan sistem zakat yang bertujuan untuk

membersihkan harta nasabah secara transparan dan bersama-sama.

5. Menjaga keturunan. Hal ini terwujud dengan terjaganya empat hal

di atas, maka dana nasabah yang Insya Allah dijamin halal akan

berdampak baik bagi keluarga dan keturunan yang dinafkahi dari dana

tabungan maupun usahanya tersebut.48

6) Maqashid Ammah dan Khashah d i Bank Syariah

Implementasi maqashid ammah dan khashah dalam bank syariah pada

maqashid khashah (hifzd al-Din/perlindungan agama) mulai level maqashid

ammah dhururiyah, hajiytat dan taksiniyyat adalah sebagai berikut:

1. Perlindungan agama diukur dengan pelaksanaan rukun Islam pada

level dhururiyyat, indikatornya antara lain:

a. Apakah ada dakwah untuk menyadarkan masyarakat tentang

ketuhanan Allah swt dan berapa dana yang selalu disediakan

dalam setiap periode tahun bukunya.

b. Apakah ada tempat sholat dan berapa dana yang disediakan untuk

pengadaan sarana dan keberlangsungan sholat tersebut dalam

48 Sandy Rizki Febriadi, Aplikasi Maqashid Syariah … h. 2 d43.

Page 208: IRPAN JAMIL - SPs.pdf - Repository UIN Syarif Hidayatullah ...

196

setiap periode tahun bukunya.

c. Apakah ada fasilitas untuk menunaikan zakat dan berapa dana

zakat terkumpul dalam setiap periode tahun bukunya.

d. Apakah ada kebijakan untuk mendorong untuk menjalankan

puasa dan berapa dananya untuk membantu dan menunjang

pelaksanaan puasa tersebut dalam setiap periode tahun bukunya.

e. Apakah ada dorongan pelaksanaan haji dengan memberikan

bantuan untuk pelaksanaan haji dan berapa dananya untuk

membantu dan menunjang pelaksanaan haji tersebut dalam setiap

periode tahun bukunya.

2. Perlindungan agama diukur dengan pelaksanaan rukun Islam

pada level hajiyyat, indikatornya antara lain:

a. Apakah ada sarana dakwah misalnya alat transportasi untuk

menyadarkan masyarakat tentang eksistensi Allah Swt dan berapa

dana yang selalu disediakan dalam setiap periode tahun bukunya.

b. Apakah dalam menunaikan sholat disediakan sarana berwudhu

dengan air bersih dari PDAM, karpet, sandal dan sebagainya serta

berapa dana yang disediakan untuk pengadaan sarana dan

keberlangsungan sholat tersebut dalam setiap periode tahun

bukunya.

c. Apakah dalam menunaikan zakat disediakan jasa konsultasi,

penjemputan zakat, muzakki boleh menanyakan pelaporan zakat dan

sebagainya serta bagaimana dampaknya terhadap peningkatan

pengumpulan dana zakat terkumpul dalam setiap periode tahun

bukunya.

d. Apakah ada kebijakan untuk mendorong untuk menjalankan puasa

dengan khusuk dan tenang dengan memberikan fasilitas khusus

misalnya penyediaan buka puasa dan pemberian waktu khusus

untuk berbuka puasa serta berapa dananya untuk pelaksanaan

kebijakan tersebut dalam setiap periode tahun bukunya.

e. Apakah ada tunjangan khusus untuk pelaksanaan haji dan berapa

dana tunjangan tersebut dalam setiap periode tahun bukunya.

3. Perlindungan agama diukur dengan pelaksanaan rukun Islam

pada level tahsiniyat, indikatornya antara lain:

a. Apakah ada sarana dakwah misalnya alat transportasi yang ber

AC, sopir dan sebagainya untuk menyadarkan masyarakat

tentang eksistensi Allah swt dan berapa dana yang selalu

disediakan dalam setiap periode tahun bukunya.

b. Apakah dalam menunaikan sholat disediakan sarana berwudhu

dilengkapi handuk, tempat sholat ber-AC dan sebagainya serta

berapa dana yang disediakan untuk pengadaan sarana dan

keberlangsungan sholat tersebut dalam setiap periode tahun

bukunya.

c. Apakah dalam menunaikan zakat disediakan jasa konsultasi ke

rumah, penjemputan zakat dimana saja muzakki selama masih

ekonomis, sarana perbankan dalam berzakat, pelaporan zakat

Page 209: IRPAN JAMIL - SPs.pdf - Repository UIN Syarif Hidayatullah ...

197

dikirimkan kepada para muzakki dan sebagainya serta bagaimana

dampaknya terhadap peningkatan pengumpulan dana zakat

terkumpul dalam setiap periode tahun bukunya.

d. Apakah ada kebijakan memberikan tunjangan atau reward bagi

bagi mereka yang berpuasa tetapi memiliki kinerja yang lebih

baik daripada mereka yang tidak berpuasa serta berapa cost

untuk pelaksanaan kebijakan tersebut dalam setiap periode tahun

bukunya.

e. Apakah ada tunjangan khusus untuk pelaksanaan haji dengan

fasilitas lebih baik daripada haji pada umumnya misalnya haji plus

dan sebagainya serta berapa dana tunjangan tersebut dalam setiap

periode tahun bukunya.

7) Penerapan Maqashid Syariah Dalam Prinsip-prinsip Syariah

Penerapan maqashid syariah ini merupakan penjabaran dari maqashid

(tujuan) besarnya yaitu hifdzul mal (menjaga dan memenuhi hajat dan maslahat

akan harta). Menjaga dan memenuhi hajat akan harta tersebut adakalanya dari sisi

bagaimana mendapatkannya (min janibi al-wujud) atau dari sisi memelihara harta

yang sudah dimiliki (mi janibi al-'adam). Hifdzul mal tersebut juga menjadi

rumpun kaidah dalam bidang muamalah, kaidah ini dijabarkan dengan maqashid

'ammah (tujuan-tujuan umum) dan maqashid khassah (tujuan khusus) yang sangat

banyak dan tidak terhitung jumlahnya.

Maqashid 'ammah (tujuan-tujuan umum) adalah tujuan disyariatkan

beberapa kumpulan hukum atau lintas hukum. Sedangkan maqashid khassah

(tujuan khusus) adalah tujuan disyariatkan satu hukum tertentu. Maqashid

khassah (tujuan khusus) disebut juga dengan maqashid juz'iyah.

Maqashid khassah (tujuan khusus) adalah hasil istiqra' (kajian) para ulama

terhadap nash dan hukum-hukum syariah dan menghasilkan kepastian (qath'i),

bahwa syariat ini telah menetapkannya sebagai tujuan yang memberikan akibat dan

implikasi.49

Di bawah ini penulis akan menyebutkan beberapa maqasid 'ammah (tujuan-

tujuan umum) dan maqashid khassah (tujuan khusus) sebagai contoh penerapan

maqashid syariah

1. Maqashid „Ammah (Maqashid Umum) Ketentua Ekonomi Syariah

Di antara maqashid umum tersebut adalah sebagai berikut;

a. Setiap Kesepakatan Harus Jelas

Setiap kesepakatan bisnis harus jelas diketahui oleh para pihak akad agar

tidak menimbulkan perselisihan di antara mereka. Untuk mencapai target ini, syariat

Islam memberlakukan ketentuan tautsiq (pengikatan) dalam akad muamalah maliah

seperti ketentuan bahwa setiap transaksi harus tercatat (kitabah) disaksikan (isyhad)

dan boleh bergaransi.50

Ibnu Asyur menguatkan makna ini, ia menjelaskan: menjaga

kepercayaan muktasib (orang yang bekerja) itu dengan cara melindungi hartanya

sebagaimana firman Allah Swt.: Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu

49 Ahmad Risun Wadzoriyyatul Maqashid'inda al imam asy-Syatibi'. h. 12. 50 Yusuf Hamid al-alim, Al-Maqahid al-'Ammah li asy-Syariah al-Islamiyah h. 522.

Page 210: IRPAN JAMIL - SPs.pdf - Repository UIN Syarif Hidayatullah ...

198

sating memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan

perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. (QS An-Nisa' [4]:

29)

Ayat ini menjadi dalil legalitas tujuan hifdzil-al-mal yang harus diterapkan

dalam setiap praktik bisnis. Hifdzil al-mal yang dimaksud diimplementasikan

dengan ketentuan tautsiq (pengikatan) dalam akad muamalah maliah, seperti

ketentuan bahwa setiap transaksi harus tercatat (kitabah), disaksikan (isyhad) dan

boleh bergaransi agar setiap pihak akad rela sama rela.51

Maqashid tersebut sesuai juga dengan prinsip dalam perdagangan harus

dilakukan atas dasar suka sama suka (kerelaan). Prinsip ini memiliki implikasi

yang luas karena perdagangan melibatkan lebih dari satu pihak, sehingga kegiatan

jual beli harus dilakukan secara sukarela, tanpa paksaan. Perdagangan tidak boleh

dilakukan dengan memanfaatkan ketergantungan karena tidak ada pilihan. Praktik

monopoli berisiko melanggar prinsip ini, kecuali pada situasi tertentu.

Bayu Krisnamurthi menegaskan pentingnya pemahaman yang sama tentang

apa yang diperdagangkan. Informasi yang harus jelas, terbuka, dan dapat dipahami

oleh penjual maupun pembeli. Standardisasi dan labelisasi menjadi faktor yang

menentukan. Keterbatasan pengetahuan mengenai dimensi teknis barang dapat

dibantu dengan meyakini ketentuan standar tertentu yang ditetapkan oleh suatu

otoritas. Standar suatu barang menjadi sarana untuk membangun kesetaraan antara

penjual dan pembeli.52

b. Setiap Kesepakatan Bisnis Harus Adil

Di antara prinsip adil yang diberlakukan dalam bisnis adalah kewajiban

pelaku akad untuk menunaikan hak dan kewajibannya, seperti menginvestasikannya

dengan cara-cara yang baik dan profesional, menyalurkannya dengan cara yang

halal dan menunaikan kewajiban hak hartanya.53

Ibnu ‗Asyur menjelaskan bahwa adil dalam bisnis itu adalah bagaimana

berbisnis dan mendapatkan harta itu dilakukan dengan cara yang tidak menzalimi

orang lain, baik dengan cara komersil atau nonkomersil. Di antara sarana yang

dilakukan syariat ini untuk mencapai tujuan adil yaitu berinfak dan tidak

menghambur-hamburkan harta. Berdasarkan maqshad (tujuan) ini, ada beberapa

ketentuan Islam, di antaranya Rasulullah Saw. melarang makan daging himar

ahliyyah (keledai lokal) karena itu adalah perbekalan umat Islam pada peperangan

khaibar. Juga Rasulullah Saw. melarang mono­ poli makanan, sebagaimana

perkataan Umar ra.: "Tidak boleh ada monopoli di pasar kita"54

Menurut Bayu Krisnamurthi salah satu contoh nilai Islam yang memiliki

dimensi universal dan harus diintegrasikan ke dalam aktivitas ekonomi adalah

keadilan. Misalkan, dalam sebuah transaksi perdagangan memang tercipta sebuah

51 Ismail Hasani, Nadzariyatu al-Maqashid 'Inda al-Imam ath-Thahir bin :A‟syur, h.

176. 52 Karim Bisnis Consulting Indonesia, Kajian Pengembangan Ekonomi dan

Keuangan Syariah, h. 42. 53 Yusuf Hamid al-alim, Al-maqahid al-ammah li al-Syariah … h. 527. 54 Ismaii Hasani, Nadzariyatu al-Maqashid 'Inda … h. 178.

Page 211: IRPAN JAMIL - SPs.pdf - Repository UIN Syarif Hidayatullah ...

199

kesepakatan namun kesepakatan tersebut tidak menjamin terpenuhinya rasa keadilan

bagi para pihak yang bertransaksi.

Matthew Rabin dalam risetnya berjudul "Incorporating Fairness into Game

Theory and Economics" menyebutkan bahwa dalam setiap transaksi ada dua

kesepakatan yang harus terpenuhi, yaitu kesepakatan pasar (market equilibria) dan

kesepakatan rasa keadilan (fairness equilibria).

Contoh lain, kesepakatan antara perusahaan besar dengan para pelanggan

kecil yang merasa tereksploitasi karena tidak ada pilihan lain sehingga mereka harus

menerima kesepakatan pasar. Menurut Rabin, kesepakatan seperti itu tidak akan

stabil bahkan cenderung rapuh karena pelanggan merasa tidak nyaman dan ketika

ada pilihan lain yang dapat memberikan rasa keadilan mereka akan berpindah.

Dampaknya, ketika ada salah satu satu pihak yang merasa dirugikan atau

dicurangi maka volume perdagangan akan menyusut. Pelanggan yang tidak

mempunyai pilihan lain yang lebih baik akan mengurangi volume transaksi pada

jumlah kebutuhan minimal. Pada saat mereka memiliki pilihan lain, yang kadang

belum tentu lebih baik, mereka akan pindah. Bagi mereka lebih baik meninggalkan

yang sudah jelas tidak memberikan rasa keadilan, dan mencoba peruntungannya

pada pilihan yang baru.

Ketika para sahabat Rasulullah Saw. di Madinah menyam­ paikan keluh kesah

karena keuntungan mereka tidak sebesar keuntungan pedagang Yahudi yang

menjual dengan mengurangi berat timbangan, Rasulullah Saw. malah menyarankan

para sahabat untuk menambahkan berat timbangan. Maka tampaklah beda yang

nyata di antara timbangan para pedagang itu. Para pembeli tentu saja memilih

pedagang yang timbangannya lebih berat. Membalas keburukan dengan kebaikan

malah menegaskan perbedaan kesepakatan rasa.55

c. Komitmen dengan Kesepakatan

Allah Swt. berfirman,:‖Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad

itu' ... (QS Al Maidah [5]: 1)56

Ayat ini menegaskan tentang kewajiban memenuhi

setiap kesepakatan dalam akad, termasuk akad-akad bisnis. Karena setiap akad berisi

hak dan kewajiban setiap peserta akad. Dan setiap kesepakatan bisnis akan berhasil

itu ditentukan oleh komitmen peserta akad dalam memenuhi setiap kesepakatan

akad.

d. Melindungi Hak Kepemilikan

Para ulama telah sepakat bahwa mengambil harta orang lain dengan cara yang

batil itu diharamkan. Oleh karena itu, Allah Swt. memberikan hukuman atas setiap

kejahatan terhadap harta (taaddi 'ala amwal).

Mitchell N. Berman menjelaskan bahwa contoh perilaku melawan hukum

sering kali dikombinasikan sehingga menciptakan ciri khusus adalah mencuri

(stealing). Jika mencuri ditambah dengan penipuan (deception) maka ia menjadi

fraud atau alasan palsu (false pretenses). Jika mencuri ditambah ketidaksetiaan

(disloyalty) maka ia menjadi penggelapan (embezzlement) . Jika mencuri ditambah

dengan paksaan (coercion) berarti pemerasan (extortion). Mencuri ditambah dengan

55 Karim Bisnis Consulting Indonesia, Kajian Pengembangan Ekonomi …, h. 6. 56 lsmail Hasani, Nadzariyatu al-Maqashid 'inda … h. 181.

Page 212: IRPAN JAMIL - SPs.pdf - Repository UIN Syarif Hidayatullah ...

200

penggunaan kekuatan yang tidak dibenarkan berarti merampok (robbery).

Ketidaksesuaian perilaku mencuri (stealing) dengan hukum pencurian (theft )

yang telah ada, terkadang menjadikan perbuatan yang dianggap mencuri menurut

moral menjadi tidak terkena sanksi pidana.

Stuart P. Green berpendapat bahwa sebuah tindak pidana yang biasa

dilakukan memiliki keterkaitan erat dengan penilaian moralitas akal-sehat.

Perdagangan orang dalam (insider trading) seharusnya dipidanakan karena hal

tersebut didasari oleh perilaku curang (cheating). Menerima atau meminta suap

harus dipidanakan karena hal tersebut didasari oleh perilaku ketidaksetiaan

(disloyalty). Penipuan (fraud) dan sumpah palsu memiliki perbedaan halus dengan

norma moral kita terhadap deception dan berbohong (lying).57

Sanksi atas ta'addi (kejahatan) tersebut itu ada dua yaitu: hukuman yang

sudah ditentukan (had) seperti hukuman terhadap tindak pidana pencurian (sariqah).

Yang kedua hukuman ta'zir (yaitu hukuman yang belum ditentukan batasannya).58

Dengan adanya sanksi tersebut, hak kepemilikan setiap orang baik Muslim ataupun

non-Muslim itu dilindungi oleh Islam.

e. Ketentuan Akad-akad Syariah

Dalam teori akad-akad perpindahan hak milik (tamlikat) itu ada 5 tujuan

(maqashid syariah) dalam ketentuan sah dan tidak sah akad tersebut. Kelima

maqashid tersebut adalah distribusi (rawaj), jelas (wudhuh), terpelihara (hifdz),

stabil (tsabat) dan adil ('adl).59

f. Harta itu Harus Terdistribusi

Harta itu harus terdistribusi dan bisa dinikmati oleh seluruh lapisan

masyarakat baik dalam bentuk konsumsi atau distribusi. Di antara sarana yang

digunakan untuk mencapai tujuan distribusi (tadawul) ini di antaranya:

1) Islam mensyariatkan akad-akad baik akad bisnis (mu'awadhah)

ataupun akad sosial (tabarru') agar setiap harta bisa ber pindah

tangan dari satu pihak ke pihak lain.

2) Islam membolehkan akad-akad yang mengandung sedikit gharar

seperti akad salam sebagai rukhsah (keringanan sehingga harta bisa

berpindah kepemilikan dengan akad ini.

3) Islam mensyariatkan akad-akad yang bersifat luzum60

tanpa

pilihan kecuali jika disepakati ada syarat dalam akad.

4) Islam melarang penimbunan uang karena jika uang tidak beredar,

maka akan mengakibatkan terganggunya keseimbangan keuangan,

perdagangan dan sosial sesuai dengan firman Allah Swt.: Apa saja

harta rampasan (fai-i) yang diberikan Allah Kepada. Rasul Nya

(dari harta benda) yang berasal dari penduduk kota-kota Maka

57 Karim Bisnis Consulting Indonesia, Kajian Pengembangan Ekonomi dan Keuangan

Syariah, h. 6, mengutip dari: Mitchell N. Berman, "On the Moral Structure of White Collar

Crime", Ohio State journal of Criminal Law, Vol 5:301, 2007, h. 301. 58 Yusuf Hamid al-alim, Al-Maqahid al-'Ammah li asy-Syariah … h. 548. 59 Husein hamid hasan, Maqashid asy-Syariahfi al-Hayah al-Iqtishadiyah, h. 179. 60 Luzum maksudnya salah satu atau kedua belah pihak tidak boleh memfasakh akad

kecuali dengan persetujuan pihak lain.

Page 213: IRPAN JAMIL - SPs.pdf - Repository UIN Syarif Hidayatullah ...

201

adalah untuk Allah, untuk rasul, kaum kerabat, anak-anak. yatim,

orang-orang miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan.

Supaya harta itu jangan beredar di antara orang-orang Kaya saja

di antara kamu. (QS Al-Hasyr [59]: 7)

5) Islam melarang setiap bentuk praktik riba karena meng­

hilangkan sikap simpati para pelaku riba terhadap sesama dan

karena seluruh tujuannya adalah mendapatkan harta dari sekian

banyak orang, termasuk dari harta orang-orang yang membutuhkan.

Praktik ini bertentangan dengan tujuan syari' dalam mem­ bangun

hubungan baik antarsesama yang berlandaskan persaudaraan

Islam.61

Ibnu syur mengatakan, bahwa tujuan diharamkannya riba

adalah sebagaimana firman allah Swt.: Wahai orang-orang yang

beriman, janganlah kalian memakan riba yang berlipat-lipat. (QS

Ali 'Imran [3]: 130). Dalam ayat ini Allah Swt. menjelaskan tujuan

diharamkannya riba adalah kewajiban umat untuk menumbuhkan

rasa simpati dan persaudaraan terhadap sesama. Jika kita

membandingkan antara tujuan keharaman riba dan kebolehan

investasi dan mendapatkan keuntungan, maka kita bisa

menyimpulkan bahwa tujuan diharamkannya riba adalah

menghindari kemalasan dalam investasi harta dan kerja sama

dalam urusan dunia.62

Di samping itu, praktik riba mengakibatkan

harta terkonsentrasi pada pelaku riba.

6) Islam melarang perjudian karena merugikan produksi dalam umat

ini, melumpuhkan sumber daya insani sehingga tujuan investasi

tidak tercapai karena dengan terkonsentrasinya harta hanya

ditangan pelaku judi itu sesungguhnya distribusi yang berbahaya

dan tidak melahirkan produks. termasuk implikasi moral yang

timbul seperti permusuhan dan dengki.

7) Memenuhi hajat akan harta, di antaranya dengan memudahkan

ketentuan hukum terkait praktik muamalat, antaranya dengan

menegaskan al-ashlufi al-muamalatal-ibahah (Pada prinsipnya

setiap praktik muamalat itu hukumnya boleh).

Unsur-unsur dalam akad muamalat terdiri dari memindahkan kepemilikan,

menggugurkannya,menggabungkannya, atau membuat kesepakatan, mengizinkan.63

Dengan kemudahan hukum dalam bab muamalat (bisnis maka melahirkan

perpindahan kepemilikan dan transaksi menjadi mudah sehingga barang dan jasa

terdistribusi kepada sekian banyak pelaku bisnis karena salah satu alat tersebut

adalah kontrak bisnis.

g. Kewajiban Bekerja dan Memproduksi

Di antara maqashid syariah adalah kewajiban bekerja dan memproduksi.

Kewajiban ini berdasarkan istiqra' terhadap dalil- dalil yang memberikan dilalah

qath'iah (makna yang pasti) bahwa berkerja dan produksi itu hukumnya wajib sesuai

61 Yusuf Hamid al-alim, Al-Maqahid al-'Ammah li asy-Syariah … h. 522. 62 lsmail Hasani, Nadzariyatu al-Maqashid 'inda … h. 184. 63 Yusuf Hamid al-alim, Al-Maqahid al-'Ammah li asy-Syariah … h. 522

Page 214: IRPAN JAMIL - SPs.pdf - Repository UIN Syarif Hidayatullah ...

202

dengan firman Allah Swt.: Dialah yang menjadikan bumi itu mudah bagi kamu,

Maka berjalanlah di segala penjurunya dan makanlah sebahagian dari rezeki-Nya

dan hanya kepada-Nya-lah kamu (kembali setelah) dibangkitkan. (QS Al­ Mulk

[67]: 15). Dalam ayat ini Allah Swt. memerintahkan untuk berjalan di muka bumi

ini untuk mencari rezeki Allah Swt. Dalam konteks maqashid, mencari rezeki

menjadi wajib untuk menyediakan kebutuhan harta dari aspek wujud karena tanpa

bekerja, tidak mungkin ada uang dan harta.

Merealisasikan hifdzul mal dari sisi bagaimana mendapatkannya (min janibi

al wujud) sama halnya dengan merealisasikan harta yang sudah dimiliki (mi janibi

al-adam). Di antara ketentuan dalam syariat ini yang merealisasikan maqashid

kewajiban bekerja ini di antaranya adalah bahwa syariat ini memberikan hak

kepada pengelola usaha dalam bagi hasil untuk mendapatkan keuntungan atas

usahanya. Dan sebaliknya, ketentuan yang melarang pengelola usaha untuk

mendapatkan haknya tersebut itu bertentangan tujuan (maqashid) ini.

Di antaranya juga, syariat ini melindungi kepemilikan seseorang selama harta

tersebut dihasilkan dengan cara-cara yang halal. Syariat ini telah memberikan

kewenangan dan hak kepada setiap pemilik barang jasa untuk memanfaatkannya dan

menggunakannya dengan cara-cara yang dibolehkan syariat ini. Dan sebaliknya,

syariat ini melarang setiap perilaku yang merampas hak kepemilikan ini seperti

pencurian, perampasan dan pengrusakan terhadap hak orang lain. Objek

kepemilikan yang dilindungi oleh syariat ini mencakup 2 hal, yaitu: memiliki fisik

barang tersebut (milk al-yad) dan memiliki manfaatnya.

Oleh karena itu, dilarang menghalangi dan mempersulit pemilik barang untuk

mengelolanya dan memanfaatkannya karena bertentangan maqashid syariah dalam

melindungi hak kepemilikan setiap orang karena itu basil kerjanya yang legal

(masyru').64

h. lnvestasi Harta

Investasi harta adalah salah satu tujuan yang Allah tetapkan dan harus dicapai

dalam harta yang dimiliki setiap orang. Tujuan ini didasarkan pada dalil yang tidak

terbatas, di antaranya istiqra' yang menjadi pijakan mujtahid dalam berijtihad.

Seluruh ulama telah konsensus, bahwa investasi harta itu hukumnya wajib bagi

setiap individu ataupun kelompok. Sungguh manhaj (cara) syari' dalam mengatur

masalah ini menakjubkan, hal tersebut bisa dilihat dalam ketentuan berikut:

1) Bekerja itu hukumnya wajib menurut syariat Islam untuk

merealisasikan maqashid syariah dalam hifdzul mal min janib al-

wujud (Melindungi hajat harta dari Aspek menyediakan harta).

Dengan bekerja ini akan menghasilkan keuntungan karena buah dari

usaha dan kerjanya.

2) Setelah memiliki keuntungan, maka ia berhak untuk

menggunakannya dan menginfakkannya sesuai dengan ketentuan

syariah tanpa israf (berlebih-lebihan) dan tabdzir (pemubadziran).

Seorang mukallaf dengan keuntungan yang dimilikinya beraN:I pun

besarnya, maka harus diinfakkan sebagiannya untuk memenuhi

hajat-hajat masyruah (legal) dan kelebihannya itu harus ditabungkan.

64 Husein hamid hasan, Maqashid asy-Syariahfi al-Hayah …, h. 7.

Page 215: IRPAN JAMIL - SPs.pdf - Repository UIN Syarif Hidayatullah ...

203

Demikianlah, kenapa Islam melarang membiarkan aset menganggur, dan

mendorong agar setiap kelayakan yang ada pada kita untuk diinvestasikan di

sektor riil. Di dalam buku al-Ihya, Imam Ghazali juga mengecam orang yang

menimbun harta dan tidak ditransaksikan atau di diputar sektor riil.65

i. lnvestasi dengan Akad Mudharabah

Maksud syari' dalam mudharabah bisa dilihat dalam dua hal berikut:

1) Jika seseorang memiliki kelebihan harta dan memiliki kemampuan

untuk mengelolanya, maka ia harus bekerja dan mengelolanya

sendiri. Dan jika usaha berhasil, maka seluruh keuntungan menjadi

haknya. Hal ini sesuai dengan maqashid syariah bahwa keuntungan

harta itu menjadi hak pemiliknya. Jika tidak ada peran dan hak

orang lain dalam dana tersebut, sesuai dengan firman Allah Swt.:

Barangsiapa yang mengerjakan amal yang saleh maka (pahalanya)

untuk dirinya sendiri dan barangsiapa mengerjakan perbuatan

jahat, maka (dosanya) untuk dirinya sendiri; dan sekali-kali

tidaklah Rabb Mu menganiaya hamba-hambaNya. (QS Fushilat

[41]:·1). Dan Firman Allah Swt.: Ia mendapat pahala (dari

kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari

kejahatan) yang dikerjakannya. (QS Al­ Baqarah [2]: 286). Ia

sendiri yang menanggung risiko usaha ia mendapatkan keuntungan

dan sekaligus menanggung risiko kerugian) sesuai dengan maqashid

syariah bahwa harta itu jika rugi atau rusak menjadi tanggung jawab

pemiliknya, kecuali jika kerugian dan kerusakan itu diakibatkan

oleh pihak lain.

2) jika seseorang yang memilki harta tetapi tidak mampu/ tidak

memiliki kemampuan dalam mengelolanya sendiri, maka ia harus

menyerahkannya kepada pihak lain untuk mengelolanya. Ini adalah

salah satu tujuan dalam m'aqashid syariah.66

Mark Blaug menjelaskan, bahwa mencapai pertumbuhan ekonomi dan

pembangunan sangat erat kaitannya terutama dengan sektor riil. Ekonomi syariah

yang berlandaskan pada prinsip real based economy mengharuskan setiap aktivitas

moneter berkaitan dan berjalan seimbang dengan sektor riil. Di antara ciri khas yang

melekat dengan industri jasa keuangan syariah ialah aset finansia: hanya dapat

tumbuh dengan proporsional dengan pertumbuhan di aktivitas riil ekonomi.

Pembiayaan hanya dapat dilakukan untuk proyek tertentu, perdagangan, ekonomi

dan transaksi komersial.

Menelisik teori klasik, bertambahnya jumlah uang tanpa diiringi produksi

barang dan jasa dapat mengakibatkan harga meningkat (inflasi) dan mengganggu

aktivitas ekonomi baik konsumtif maupun produktif, MV = PI

Konsep Irving Fisher yang berbicara tentang teori kuantitas uang memiliki

kesamaan dengan teori ekonomi Islam yang menyatakan bahwa uang adalah flow

65 Adiwarman A Karim, Ekonomi Mikro Islami, h. 99 mengutip al-Ghazali, Ihya

Ulumuddin, (Beirut Dar-Annadwah), h. 91-93, jilid 4. 66 Husein hamid hasan, Maqashid asy-Syariahfi al-Hayah …, h. 87.

Page 216: IRPAN JAMIL - SPs.pdf - Repository UIN Syarif Hidayatullah ...

204

concept, bukan stock concept Bagian kiri persamaan di atas (left hand side)

berbicara mengena: penawaran dan perpindahan uang sementara pada bagian kanar:

(right hand side) berbicara mengenai permintaan uang yakni arus barang dan jasa.

Hipotesis yang penting dalam persamaan di atas adalah hubungan sebab-akibat

berasal dari MVke PT.67

j. AI-Kharraj bi adh-Dhaman (Keseimbangan antar Keuntungan dan

Risiko)

Kaidah al-kharraj bi adh-dhaman ini adalah prinsip dalam muamalat Islam

yang bersumber kepada dalil istiqra' terhadap nash-nash syariat dan menghasilkan

maqashid yang berstatus qath'i. Berdasarkan kaidah ini, para ulama melakukan

istinbat hukum, fatwa dan ijtihad atas banyak sekali hukum fikih. Rasulullah Saw. Melarang untuk menjula barang yang belum menjadi milik

atau tanggung jawabnya. Ia juga melarang menjula makanan yang belum

diserahterimakan (taqabudh). Raulullah Saw. Berkata kepada orang yang bertanya

kepadanya tentang menjual barang yang belum dibelinya (belum dimilikinya).

Rasululah menjawab: jangan menjual barang yang belum ada di sisimu". Sesuai

dengan prinsip ini, maka keuntungan (ghunm/ribh) atas modal itu sah didapatkan

jika pemilik modal telah menghadapi risiko (ghurm/mukhatarah) atas modalnya

juga. Karena modal telah dijamin oleh pihak yang menerimanya seperti dalam

akad qardh, maka yang bersangkutan wajib mengembalikan pinjaman tersebut

dalam kondisi apa pun; ia harus menggantinya jika rugi, rusak atau berkurang,

walaupun karena sebab-sebab yang di luar keinginannya.

Sesungguhnya pihak yang meminjamkan berhak atas modalnya saja tanpa

bunga dan tambahan. Jika modal tersebut menghasilkan keuntungan, maka

keuntungan tersebut adalah milik pihak yang menginvestasikannya karena ia yang

bertanggung jawab terhadap harta pinjaman tersebut. Maksudnya pihak yang

meminjam mendapatkan keuntungan karena menanggung risiko. Penerapan prinsip

al-kharraj bi adh-dhaman dalam kasus-kasus di atas itu sangat logis dan jelas.

Kharraj itu maknanya adalah keuntungan, sedangkan dhaman adalah tanggung

jawab ata kerugian/kerusakan.

Syariat Islam telah menjadikan kedua hal ter sebut menjadi dua hal yang

selalu beriringan. Bahwa kharraj tidak bisa didapatkan kecuali dengan dhaman.

Yang dimaksud dengan dhaman di Sini adalah kemungkinan dhaman karena

dhaman belum terjadi. Seseorang yang membeli sesuatu dengan maksud

menjualnya, maka pembeli bertanggung jawab atas barang yang dibelinya karena

kerusakan barang itu menjadi tanggung jawab pemiliknya.

Realitanya, harta itu tidak rusak atau usahanya tidak rugi, tetapi karakter

usaha itu menghadapi resiko kerugian yang mungkin terjadi, maka atas dasar

tersebut, jika ia menjual barang tersebut, ia berhak atas marginnya.68

Dalam

transaksi ribawi, pihak yang meminjam itu harus bertanggung jawab

67 Karim Bisnis Consulting Indonesia, Kajian Pengembangan Ekonomi dan

Keuangan Syariah, h. 6, mengutip dari: Mark Blaug, Economic Theory in Retrospect,

Cambridge University Press: Cambridge, Edisi Kelima, h. 614. 68 Husein hamid hasan, Maqashid asy-Syariahfi al-Hayah …, h. 83.

Page 217: IRPAN JAMIL - SPs.pdf - Repository UIN Syarif Hidayatullah ...

205

mengembalikan pinjaman beserta bunganya kepada pihak yang meminjam, baik

usaha yang dijalankandengan modal pinjaman tersebut menghasilkan ataupun tidak.

Praktik ini bertentangan dengan Islam karena pihak yang pinjaman tidak

boleh memberikan syarat bunga atas pinjamannya juga karena dhaman dan ghunm

tidak terjadi sekaligus dalam akad tabarru (sosial) tersebut.

Maka dalam akad qardh di atas itu hanya ada dua pilihan:

a. Memilih dhaman dengan cara memberikan pinjaman qardh tanpa

bunga, atau

b. Memilih kharraj dengan cara menyerahkan dana tersebut sebagai modal

usaha, maka ia berhak atas keuntungan dan Menanggung risiko kerugian

jika terjadi. 69

Untuk memudahkan dalam menyimpulkan maqashid‟ammah. Sebagaimana

dijelaskan di atas, berikut ini gambar tentang Maqashid‟ammah.

Gambar 5.1

Maqashid‟ammah.

Maqashid- al-syariah adalah jantung dalam ilmu ushul fiqh, karena itu

maqashid al- syariah menduduki posisi yang sangat penting dalam merumuskan

ekonomi syariah. Maqashid al- syariah tidak saja diperlukan untuk merumuskan

kebijakan-kebijakan ekonomi makro (moneter, fiskal, public finance), tetapi

juga untuk menciptakan produk-produk perbankan dan keuangan syariah serta teori-

teori ekonomi mikro lainnya. Maqashid-al- syariah juga sangat diperlukan dalam

membuat regulasi perbankan dan lembaga keuangan syariah.

Tanpa maqashid-al- syariah, maka semua regulasi, fatwa, produk keuangan

dan perbankan, kebijakan fiskal dan moneter, akan kehilangan substansi syariahnya.

Tanpa maqashid-al syariah, fikih muamalah yang dikembangkan dan regulasi

perbankan dan keuangan yang hendak dirumuskan, akan menjadi kaku dan

statis.Akibatnya lembaga perbankan dan keuangan syariah akan sulit dan lambat

69 Husein hamid hasan, Maqashid asy-Syariahfi al-Hayah …, h. 84.

Page 218: IRPAN JAMIL - SPs.pdf - Repository UIN Syarif Hidayatullah ...

206

berkembang. Tanpa pemahaman ushul fiqh dan maqashid-al-syariah, maka

pengawas dari regulator mudah sekali menyalahkan yang benar ketika mengaudit

bank-bank syariah. Tanpa maqashid-al- syariah, maka pengawas akan menolak

produk- produk baru yang inovatif, padahal sudah sesuai syariah. Dan tanpa

pemahaman maqashid syariah, maka regulasi dan ketentuan tentang PSAK syariah

akan rancu, kaku dan dan mengalami kesalahan fatal. Jiwa maqashid syariah akan

mewujudkan fikih muamalah yang elastis, fleksibel, lincah dan senantiasa mampu

beradaptasi dengan perkembangan zaman. Penerapan maqashid syariah akan

membuat bank syariah dan LKS semakin cepat berkembang dan kreatif menciptakan

produk-produk baru, sehingga tidak kalah dengan produk bank-bank konvensional.

Maqashid-al- syariah tidak saja menjadi faktor yang paling menentukan

dalam melahirkan produk-produk ekonomi syariah yang dapat berperan ganda (alat

sosial kontrol dan rekayasa sosio- economi) untuk mewujudkan kemaslahatan

manusia, tetapi lebih dari itu, maqashid al-syariah dapat memberikan dimensi

filosofis dan rasional terhadap produk-produk hukum ekonomi Islam yang

dilahirkan dalam aktivitas ijtihad tentang ekonomi syariah kontemporer. Maqashid

syariah akan memberikan pola pemikiran yang rasional dan substansial dalam

memandang akad-akad dan produk-produk perbankan syariah. Pemikiran fikih

semata akan menimbulkan pola pemikiran yang formalistik dan tekstualis. Hanya

dengan pendekatan maqashid-al- syariah, produk perbankan dan keuangan syariah

dapat berkembang dengan baik dan dapat merespons kemajuan bisnis yang terus

berubah dengan cepat.

Di era kemajuan ekonomi dan keuangan syariah kontemporer, banyak

persoalan yang muncul, seperti hedging (swap, forward, options), Margin

During Contruction (MDC), profit equalization reserve (PER), trade finance

dan segala problematikanya, puluhan kasus hybrid contracts, instrument

money market inter bank, skim-skim sukuk, repo, pembiayaan sindikasi antar bank

syariah atau dgn konvensional, restrukturisasi, pembiayaan property indent, ijarah

maushufah fi al- zimmah, hybrid take over dan refinancing, forfeiting, overseas

financing, skim KTA, pembiayaan multi guna, desain kartu kredit, hukum-

hukum terkait jaminan fiducia, hipotek dan hak tanggungan, maqashid dari

anuitas, tawarruq, net revenue sharing, cicilan emas, investasi emas, serta

sejumlah kasus-kasus baru yang terus bermunculan.

Sejalan dengan pertumbuhan perbankan dan keuangan syariah yang semakin

cepat, kekurangan ini harus diperbaiki secara bertahap. Apalagi para pengawas

bank syariah dari Bank Indonesia di seluruh daerah, diwajibkan memiliki

kompetensi ilmu syariah yang terstandar, yaitu ilmu ushul fiqh perbankan dan

maqashid-al-syariah, yang selama ini terabaikan oleh lembaga otoritas

tersebut. Dampak buruk dari mengabaikan pilar penting ini, terjadinya kekakuan,

kesempitan bahkan kesalahan dalam pengawasan dan pengauditan. Banyak sekali

(bahkan tidak terhitung jumlahnya), keluhan dan pengaduan praktisi perbankan

syariah tentang kekakuan, dan kefatalan yang dilakukan oleh personil pengawas

bank dari lembaga regulator pemerintah tersebut, terutama pengawas di daerah-

daerah di seluruh wilayah Indonesia.

8) Maqashid-al- Syariah Pada Investasi dengan Akad Mudharabah

Page 219: IRPAN JAMIL - SPs.pdf - Repository UIN Syarif Hidayatullah ...

207

Maksud Syari` dalam mudharabah bisa dilihat dalam dua hal, yaitu:

Pertama, jika seseorang memiliki kelebihan harta dan memiliki kemampuan untuk

mengelolanya, maka ia harus bekerja dan mengelolanya sendiri. Dan jika usahanya

berhasil, makaseluruh keuntungan menjadi haknya. Hal ini sesuai dengan maqashid

syari`ah bahwa keuntungan harta itu menjadi hak pemiliknya, jika tidak ada peran

dan hak orang lain dalam dana tersebut, sesuai dengan firman Allah Swt: "Siapa

yang mengerjakan amal yang saleh, maka (pahalanya) untuk dirinya sendiri,

dansiapa yang mengerjakan perbuatan jahat, maka dosanya untuk dirinya

sendiri.Dan sekali-kali tidaklah Tuhanmu menganiaya hamba-hamba-Nya."

(Fushilat [41]: 46)

Dan firman Allah Swt: "Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai

dengan kesanggupannya.ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya

dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya. (mereka berdoa): "Ya

Tuhan kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami tersalah.

Ya Tuhan kami, janganlah Engkau bebankan kepada kami beban yang berat

sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-orang sebelum kami. Ya Tuhan kami,

janganlah Engkau pikulkan kepada kami apa yang tak sanggup kami memikulnya.

beri ma'aflah Kami; ampunilah Kami; dan rahmatilah kami. Engkaulah penolong

kami, Maka tolonglah kami terhadap kaum yang kafir." (QS. Al-Baqarah [2]: 286)

Maksudnya ialah ia sendiri yang menanggung risiko usaha atau ia

memperoleh keuntungan dan sekaligus menanggung risiko kerugian. Ini sesuai

dengan maqashid syariah bahwa harta itu jika rugi atau rusak menjadi tanggung

jawab pemiliknya, kecuali jika kerugian dan kerusakan itu diakibatkan oleh pihak

lain.

Kedua, jika seseorang yang memiliki harta tetapi tidak mampu/ tidak

memiliki kemampuan dalam mengelolanya sendiri, maka ia harus

menyerahkannya kepada pihak lain untuk mengelolanya. Ini adalah salah satu tujuan

dalam maqashid syariah.70

Mark Blaug menjelaskan bahwa mencapai pertumbuhan

ekonomi dan pembangunan sangat erat kaitannya terutama dengan sektor riil.

Ekonomi syariah yang berlandaskan pada prinsip real based economy mengharuskan

setiap aktivitas moneter berkaitan dan berjalan seimbang dengan sektor riil. Di

antara ciri khas yang melekat dengan industri jasa keuangan syariah ialah asset

financial hanya dapat tumbuh dengan proporsional dengan pertumbuhan di aktivitas

riil ekonomi.Pembiayaan hanya dapat dilaksanakan untuk proyek tertentu,

perdagangan, ekonomi, dan transaksi komersial.

Dengan memperhatikan teori klasik, bertambahnya jumlah uang tanpa diiringi

produksi barang dan jasa dapat mengakibatkan harga meningkat (inflasi) dan

mengganggu aktivitas ekonomi baik konsumtif maupun produktif, MV=PT. Konsep

Irving Fisher yang berbicara tentang teori kuantitas uang memiliki kesamaan

dengan teori ekonomi Islam yang menyatakan bahwa uang adalah flow concept,

bukan stock concept. Bagian kiri persamaan di atas berbicara mengenai

penawaran dan perpindahan uang, sementara pada bagian kanan berbicara mengenai

70 Husein Hamid Hasan, Maqasid al-syari`ah fi al-Hayah al-Iqtishadiyah, h. 87

Page 220: IRPAN JAMIL - SPs.pdf - Repository UIN Syarif Hidayatullah ...

208

permintaan uang yakni arus barang dan jasa.Hipotesis yang penting dalam

persamaan di atas adalah hubungan sebab akibat berasal dari MV ke PT.71

9) Maqashid-al-Syariah pada Jaminan dalam Akad Mudharabah dan

Musyarakah Fatwa DSN menegaskan bahwa akad-akad investasi yang termasuk akad-akad

amanah itu tidak boleh dijamin keuntungannya. Dalam fatwa DSN MUI No.

08/DSN- MUI/IV/2000 dijelaskan: "Mudharabah adalah akad kerja sama suatu

usaha antara dua pihak di mana pihak pertama (pemilik modal, LKS) menyediakan

seluruh modal, sedangkan pihak kedua (amil, mudharib, nasabah) bertindak selaku

pengelola, dana keuntungan usaha dibagi di antara mereka sesuai kesepakatan yang

dituangkan dalam kontrak. Musyarakah adalah pembiayaan berdasarkan akad kerja

sama antara dua pihak atau lebih untuk suatu usaha tertentu, di mana masing-

masing pihak memberikan kontribusi dana dengan ketentuan bahwa keuntungan dan risiko akan ditanggung bersama sesuai kesepakatan".

Pada prinsipnya dalam pembiayaan mudharabah tidak ada jaminan, namun

agar mudharib tidak melakukan penyimpangan, maka LKS dapat meminta jaminan

dari mudharib atau pihak ke-3. Jaminan hanya dapat dicairkan apabila mudharib

terbukti melakukan pelanggaran terhadap hal-hal yang telah disepakati

bersama.72

Karena itu, pada prinsipnya, dalam pembiayaan musyarakah tidak ada

jaminan, namun untuk menghindari terjadinya penyimpangan, LKS dapat

meminta jaminan.73

71 Karim Bisnis Consulting Indonesia, Kajian Pengembangan Ekonomi dan

Keuangan Syariah, h. 6, sebagaimana dikutip dari Mark Blaug, Economic Theory in

Retrospect, Cambridge University press: Cambridge, h. 614 72 Fatwa DSN-MUI No.07/DSN-MUI/IV/2000 Pasal 1: 7. 73 Fatwa DSN-MUI No.07/DSN-MUI/IV/2000 Pasal 3: a3.

Page 221: IRPAN JAMIL - SPs.pdf - Repository UIN Syarif Hidayatullah ...

209

BAB VI

PENUTUP

A. KESIMPULAN

Berikut disampaikan kesimpulan hasil penelitian dalam disertasi ini berdasarkan

rumusan masalah dan tujuan penelitian sebagai berikut :

1. Pada era modern ini akad-akad muamalah terus berkembang, produk fiqh

muamalah klasik juga mengalami modifikasi seiring dengan skema muamalah

dan transaksi yang juga terus berkembang. Akad muamalah tidak hanya

dilakukan secara personal, tetapi juga dapat dilakukan oleh lembaga-lembaga

keuangan dan badan hukum.Di Indonesia akad-akad berdasarkan prinsip

syariah dapat diterapkan di lembaga-lembaga keuangan syariah seperti bank

syariah, asuransi syariah, pegadaian syariah, pasar modal syariah, BMT,

financing syariah dan lain-lain. Selain dilembaga keuangan syariah akad-akad

muamalah juga dapat diterapkan di bank-bank konvensional yang belum

memiliki bank syariah. Pada prinsipnya pelaksanaan pembiayaan musyarakah

dan mudharabah baik secara administratif maupun standar produk sudah sesuai

dengan prinsip-prinsip syariah yang sudah ditetapkan.

2. Syariah compliance merupakan manifestasi pemenuhan prinsip-prinsip syariah

oleh bank Syariah yang memiliki wujud karakteristik, integritas, dan

kredibilitas. Budaya kepatuhan tersebut berupa nilai, perilaku, dan tindakan

yang mendukung terciptanya kepatuhan bank syariah terhadap seluruh

ketentuan BI. UU Perbankan Syariah mewajibkan kegiatan usaha serta produk

dan jasa yang dilakukan serta dikeluarkan oleh bank Syariah harus tunduk pada

prinsip Syariah. Kewajiban untuk menerapkan prinsip Syariah haruslah

dilakukan secara menyeluruh dan konsisten. Ketidakpatuhan terhadap prinsip

syariah diancam dengan sanksi administratif yang dikenakan pada para pihak

yang tidak melaksanakan atau menghalang- halangi pelaksanaan prinsip

syariah. Elemen yang memiliki otoritas dan wewenang dalam melakukan

pengawasan terhadap kepatuhan syariah adalah Dewan Pengawas Syariah

(DPS). Dewan Pengawas Syariah melengkapi tugas pengawasan yang diberikan

oleh komisaris, dimana kepatuhan syariah semakin penting untuk dilakukan

dikarenakan adanya permintaan dari nasabah. Agar bersifat inovatif dan

berorientasi bisnis dalam menawarkan instrumen dan produk baru serta untuk

memastikan kepatuhan terhadap hukum Islam. Pada praktiknya lembaga

keuangan syariah di Indonesia sudah mendukung pelaksanan dan mekanisme

syariah compliance sebagai bagian dalam menjalankan konteks kepatuhan

syariah.

3. Pada prinsipnya pembiayaan musyarakah dan mudaharabah di perbankan

syariah di Indonesia sudah sesuai dengan ketentuan hukum dan syariah yang

berlaku, dalam konteks ini lembaga keuangan syariah sudah menjalankan nilai

prinsip, dan kepastian agar setiap bentuk pembiayaan musyarakah dan

mudhabarah dipastikan seseuai dengan aturan-aturan baik yang bersifat

ketentuan syariah yang bersumber dari al-Quran, hadits, pendapat ulama

maupun aturan normatif perundangan yang berlaku di Indonesia.

Page 222: IRPAN JAMIL - SPs.pdf - Repository UIN Syarif Hidayatullah ...

210

B. REKOMENDASI

Penelitian ini merekomendasikan beberapa hal terkait dengan kesesuaian

syariah dalam pembiayaan musyarakah dan mudharabah pada perbankan

syariah di Indonesia perspektif syariah compliance.

Pebankan Syariah harus dapat memaksimalkan fungsi dan perannya secara

lebih dalam lagi, optimalisasi fungsi kepatuhan syariah adalah aspek yang

membedakan ekonomi syariah dengan ekonomi konvensional. Dalam konteks

perbankan isu ini tetap menjadi isu krusial yang masih tetap memerlukan kajian

dan penelitian lebih lanjut.Perbankan Syariah juga harus dapat memaksimalkan

lembaga-lembaga yang ada di masyarakat seperti IAEI, MES, FoSSei, FOZ dan

lain-lain dalam rangka meningkatkan pemahaman terhadap masyarakat baik

dalam bentuk edukasi, literasi maupun sosialisasi secara berkelanjutan dan

mendalam agar dapat meningkatkan pemahaman masyarakat terhadap produk

perbankan syariah yang sudah di bentuk secara mapan. Selanjutnya Dewan

Syariah Nasional-Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI) dan Dewan Pengawas

Syariah (DPS) yang ditugaskan untuk memastikan bahwa pemenuhan prinsip

syariah di sektor ekonomi khususnya dilembaga keuangan syariah, dapat lebih

dijalankan secara maksimal. Dalam konteks ini DSN-MUI dan juga DPS dapat

lebih aktif lagi dalam memastikan tingkat kepatuhan lembaga-lembaga

keuangan syariah di Indonesia.

Page 223: IRPAN JAMIL - SPs.pdf - Repository UIN Syarif Hidayatullah ...

211

Daftar Pustaka

Adina, Amalia Nur, Penerapan Akad Musyarakah Pada Pembiayaan Hunian

Syariah di Bank Muamalat Indonesia, Jurnal Nasional, 2012.

Ahmed, Habib, Islamic Banking and Shari‟ah Compliance: A Product Development

Perspective, Journal of Islamic Finance, Vol. 3 No. 2 (2014) 015 – 029.

Ali, Zainuddin, Hukum Perbankan Syariah, Sinar Grafika, Jakarta, 2010.

Al-Qardhawi, Yusuf, Pengantar: Setiawan Budi Utomo, Bunga Bank Haram, Telaah

Kritis Berdasarkan Al-Qur‟an, As-Sunnah, dan Realitas Empirik terhadap

Hukum Bunga Bank dalam Wacana Fikih, Kontemporer, Media Eka Sarana,

2005.

Al-Utsaimin, Muhammad Bin Shalih, Adil Bin Muhammad Al-Abdul Ali, Jangan

Gampang Berutang, Aqwam, Kartasura, Solo, 2004.

Amin, Ma‘ruf, Editor: Abdul Rouf, Prospek Cerah Perbankan Islam, Lekas

(Lembaga Kajian Agama dan Sosial), Jakarta, 2007.

Antonio, Muhammad Syafii, Bank Syariah dari Teori ke Praktik, Gema Insani-

Tazkia Cendekia, Depok, 2015.

Anwar, Aan Zainul dan Mohammad Yunies Edward, Analisis Syariah Compliance

Pembiayaan Murabahah Pada Gabungan Koperasi BMT Mitra Se-

Kabupaten Jepara, Jurnal 2016.

Ariffin, R. Hassan, M., A. A. Othman,M. D. M. Napiah, M. N. Omar & A. Yusof,

Nuraini Khatimin & Azami Zaharim, Survey on Implementation of Internal

Shariah Compliance Function in Malaysian Islamic Banks and Takaful

Companies, International Jurnal, 2011.

Arifin, Zainul, Muhammad Syafi‘i Antonio, Dasar-Dasar Manajemen Bank

Syariah, Azkia Publisher, Tangerang, 2009.

Amalia, Euis. Orasi ilmiah Akselerasi Sistem Ekonomi Islam Terintegrasi Untuk

Ekonomi Indonesia Yang Berkeadilan, UIN Syarif Hidayatulah Jakarta,

Jakarta, 2020

Ascarya, Akad & Produk Bank Syariah, PT. Raja Grafindo Jakarta, 2007.

Badri, Muhammad Arifin, Panduan Praktis Fikih Perniagaan Islam, Berbisnis &

Berdagang Sesuai Sunnah Nabi Shollallohu „Alayhi wa Sallam, Darul Haq,

Jakarta, 2015.

Baly, Wahid Abdus-Salam, Dialog Ilmiah Bank Syariah Vs Bank Konvensional,

Darul Falah, Jakarta 2002.

Basyir, Ahmad Azhar, Hukum Islam tentang Wakaf, Ijarah, Syirkah, Bandung : PT.

Al-Maarif 2001

Djamil, Fathurrahman. Hukum Ekonomi Islam, Sejarah, Teori, dan konsep. Sinar

Grafika: Jakarta, 2013.

Dewi Gemala, Aspek-aspek hukum dalam perbankan syariah dan perasuransian di

Indonesia, Prenada Media: Jakarta, 2009

Dzayab, Ziyad Subhi,.Iflas al-Syirkat fi-al Fiqh al-Islami wa-al-Qanun, Amman :

Dar al-Nafais, 2010.

Fatwa Dewan Syari‘ah Nasional Nomor 54/DSN-MUI/X/2006 Tentang Syariah

Card.

Page 224: IRPAN JAMIL - SPs.pdf - Repository UIN Syarif Hidayatullah ...

212

Hasanudin, Maulana & Jaih Mubarok, Perkembangan Akad Musyarakah, Kencana,

Jakarta, 2012.

Haron, Sudin, &Wan Asmi, Islamic Finance and Banking System, Mc Graw Hill

Education, London, 2009.

Janwari, Yadi, Lembaga Keuangan Syariah, PT. Remaja Rosdakarya, Bandung,

2015.

Jauhar, Ahmad Al-Mursi Husain, Maqaashid Syariah, Sinar Grafika Offset, Jakarta,

2010.

Kazarian, G. Elis, Hanbook of Islamic Banking, Westview Press, London 1999.

Maswadeh, Sana N., A Compliance Of Islamic Banks With The Principles Of

Islamic Finance (Shariah): An Empirical Survey Of The Jordanian Business

Firms, Jadara University, Jordan, International Journal, 2014.

Miskam, Surianom, Shariah Governance In Islamic Finance: The Effects Of The

Islamic Financial Services Act 2013, Department of Business Management

Faculty of Management and Muamalah, Kolej Universiti Islam

Antarabangsa Selangor, Malaysia, International Journal, 2013.

MIFC, Shariah Compliance in All Matters, The Priority Of A Robust Islamic

Finance Ecosystem, 27 February 2014.

Muhamad, Teknik Perhitungan Bagi Hasil dan Pricing di Bank Syariah, UUI Press,

Yogyakarta, 2012.

Muhadjir Noeng, Metodologi Penelitian Kualitatif, Edisi IV, Penerbit Rake Sarasin,

Yogyakarta, 2000.

Mudzhar, Muhammad Atho, Conference Proceedings, Annual International

Conference an Islamic Studies (AICIS XII) Tantangan Hukum Islam

Dewasa Ini, 2012.

Nizarul Alim, Muhammad, Muhasabah Keuangan Syariah, PT. Aqwam Media

Profetika, Kartasura, Solo, 2011

Naf‘an, Pembiayaan Musyarakah dan Mudharabah, Graha Ilmu, Yogyakarta, 2015

Siddiqui, Muhammad Nejatullah Siddiqui, Banking without interest, Pakistan.

Sumitro, Wakum, Asas-Asas Perbankan Islam dan Lembaga-Lembaga Terkait

(BAMUI & TAKAFUL) di Indonesia, PT. Grafindo Persada, Jakarta, 1997.

Tarmidzi, Erwandi, Harta Haram Muamalat Kontemporer, PT. Berkat Mulia Insani,

Cetakan Ke Sembilan, Januari 2015.

Umam, Khotibul, Perbankan Syariah, Dasar-dasar dan Dinamika Perkembangannya

di Indonesia, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2016.

Ullah Hafij, Shari‟ah Compliance In Islamic Banking An Empirical Study On

Selected Islamic Banks In Bangladesh, International Journal, 2014.

Utsmani, M. Taqi, An Introduction to Islamic Financing, Maktaba Maariful Quran,

Pakistan, 2014.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2008, Tentang Perbankan

Syariah, Pasal 7.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 2007, Tentang Perbankan

Syariah, Pasal 109.

PBI No. 10/18/PBI/2008 Tentang Restrukturisasi Pembiayaan Bagi Bank Umum

Syariah dan Unit Usaha Syariah.

Page 225: IRPAN JAMIL - SPs.pdf - Repository UIN Syarif Hidayatullah ...

213

Remy Sjahdeini, Sutan, Perbankan Syariah, Produk-produk dan aspek hukumnya,

Kencana Prenadamedia, Jakarta 2015

Venardos, Angelo M., Islamic Banking & finance in South-East Asia, Its

Development &future, British Library Catlouging, USA, 2012.

Zulkifli Sunarto, Panduan Praktis Transaksi Perbankan Syariah, Zikrul, Edisi

Revisi, Jakarta 2007.

Zaenah, Musyarakah Mutanaqishah di Perbankan Syariah, Bogor, IPB Press, 2019

JURNAL :

Mulazid Ade Sofyan, Pelaksanaan Sharia Compliance Pada bank Syariah (Studi

Kasus pada Bank Syariah Mandiri, Jakarta) Fakultas Ekonomi dan Bisnis

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, di unduh hari rabu, 18 Pebruari 2018

Mardian Sepky, Tingkat Kepatuhan Syariah di Lembaga Keuangan Syariah,

Program Studi Akuntansi Syariah, STIE SEBI, di unduh April 2020

Nurhisyam Lukman, Kepatuhan Syariah (Sharia Compliance) dalam Industri

Keuangan Syariah. Universitas Islam Negeri Yogyakarta, Yogyakarta,

2018.

Rukanda Sulanjana, Analisis Implementasi Akad Pembiayaan Mudharabah dan

Musyarakah Pada Bank Jabar Banten Syariah STIE Ekuitas, Bandung.

2018

Saramawati Mey dan Ahmad tarmizi Lubis, Analisis Pengungkapan Sharia

Compliance Dalam Pelaksanaan Good Corporate Governance Bank

Syariah di Indonesia. Sekolah Tinggi Ekonomi Islam SEBI, di unduh Maret

2018.

http://digilib.unila.ac.id/2234/10/BAB%203.pdf, Proses Penelitian Studi Kasus

(Sumber: Yin, 2009, 57).

http://www.bnisyariah.co.id/produk/bni-syariah-wirausaha, Syarat Permohonan

Pembiayaan, diunduh hari Selasa, 3 Januari 2017.

http://bramnugra.com/mengenal-bi-checking-penggolongan-kolektibilitas-kredit-di-

bank-indonesia/, Mengenal BI Checking, penggolongan kolektibilitas kredit

di Bank Indonesia, diunduh hari Selasa, 3 Januari 2017.

http://www.rumahfiqih.com/x.php?id=1383143419, Konsultasi Fiqh, Ustadz,

Ahmad Sawat, Lc. MA, Bank Syariah Sama Saja Dengan Bank

Konvensional, Benarkah?, Mon 4 November 2013 01:40 | muamalat |

62.680 views, Selasa, 3 Januari 2017.

http://kbbi.web.id/humanis

http://mysharing.co/dana-non-halal-untuk-fikih-

http://www.al-ahkam.net/home/hadis-40/hadis-40-06-sesungguhnya-yang-halal-itu-

jelas-dan-yang-haram-itu-jelas, Hadis 40: 06. Sesungguhnya yang halal itu

jelas dan yang haram itu jelas, diunduh hari Selasa, 3 Januari 2017.

https://rumaysho.com, Bentuk Jual Beli yang Terlarang (1), diunduh pada Selasa, 3

Januari 2017.

https://www.alsofwah.or.id, diunduh pada hari Selasa, 3 Januari 2017.

Page 226: IRPAN JAMIL - SPs.pdf - Repository UIN Syarif Hidayatullah ...

214

GLOSARIUM

Akad adalah kesepakatan tertulis antara Bank Syariah dan pihak lain yang

memuat adanya hak dan kewajiban bagi masing-masing pihak sesuai

dengan Prinsip Syariah.

Al-Ghunmu bi al-Ghurmi kaidah fikih yang artinya bahwa keuntungan itu

mengandung risiko.

Al-kharaj bi al-Daman kaidah fikih yang artinya bahwa usaha itu

mengandung biaya-biaya.

Asymmetric information adalah suatu kondisi dimana salah satu pihak

memiliki informasi lebih banyak atau lebih baik daripada pihak lain.

Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS) adalah sebuah wadah

alternatif diluar pengadilan (non-litigasi) di dalam penyelesaian

sengketa atau perkara diperbankan syariah dan Lembaga Keuangan

Syariah (LKS) lainnya.

Baitul Maal wa Tamwil (BMT) merupakan lembaga keuangan mikro

berbasis syariah (Islam).

Bank Indonesia (BI) adalah bank sentral Republik Indonesia.

BSB adalah Bank Susila Bakti yang sekarang menjadi Bank Syariah Mandiri

Cashflow adalah suatu laporan keuangan yang berisikan pengaruh kas dari

kegiatan operasi, kegiatan transaksi investasi dan kegia-tan transaksi

pembiayaan/pendanaan serta kenaikan atau penurunan bersih dalam kas

suatu perusahaan selama satu periode.

Compliance Of Market Conduct adalah Kepatuhan perilaku pasar.

Daruriyyat adalah hal-hal yang bersifat pokok dan urgen.

Deposan adalah penyimpan uang di bank secara deposito.

Deposito adalah akad antara pemilik dana sebagai sahib al-mal (nasabah

/pemilik dana) dengan bank sebagai pengelola dana atau mudarib untuk

mengelola dana dan memperoleh laba serta dibagi sesuai nisbah yang

disepakati.

Dewan Syariah Nasional (DSN) adalah Dewan yang dibentuk oleh Majelis

Ulama Indonesia yang bertugas dan memiliki kewenangan untuk

menctapkan fatwa tentang produk, jasa, da kegiatan bank yang

melakukan Kegiatan u aha Berdasarkan prinsip syariah.

Ekonomi Islam adalah perilaku ekonomi manusia yang perilakunya diatur

berdasarkan aturan agama Islam dan didasari dengan tauhid

sebagaimana dirangkum dalam rukun iman dan rukun Islam.

Expected Rate Bank adalah harapan bank terhadap tingkat bagi hasil.

Financing adalah kegiatan usaha bank syariah dengan menyalurkan dana

pembiayaan dengan adad jual beli, bagi hasil dan ijarah

Page 227: IRPAN JAMIL - SPs.pdf - Repository UIN Syarif Hidayatullah ...

215

Five C's adalah analisis karakter sebagai salah satu alat manajemen dalam

pengambilan keputusan pemberian pembiayaan yang meliputi SC

(Character, Capacity, Capital, Condition of Economy dan Collateral)

terhadap calon nasabah penerima fasilitas pembiayaan.

Fractional Reserve Banking System adalah risiko berpindahnya nasabah

karena tingkat bagi hasil yang didapat tidak sesuai dengan yang

diharapkan, atau tidak sesuai dengan rata-rata suku bunga pasar.

Funding adalah kegiatan usaha bank syariah dengan menghimpun dana

masyarakat dalam bentuk tabungan, deposito, dan investasi.

Gharar adalah semua jual beli yang mengandung ketidakjelasan atau

keraguan tentang adanya komoditas yang menjadi objek akad,

ketidakjelasan akibat, dan bahaya yang mengancam antara untung dan

rugi: pertaruhan atau perjudian.

Good Corporate Governance (GCG) adalah sistem yang mengatur hubungan

peran Dewan Komisaris, peran Direksi, pemegang saham, dan

pemangku kepentingan lainnya. Disebut juga sebagai suatu proses yang

transparan atas penentuan tujuan perusahaan, pencapaiannya dan

penilaian kinerjanya.

Hifz al-Mal adalah bagian dari tujuan syariat dalam menjaga harta dan

memperoleh harta dengan aturan syariat Islam.

Ijarah Muntahiya Bi al-Tamlik adalah akad sewa yang berakhir dengan

kepemilikan.

Investasi adalah penanaman aset atau dana yang dilakukan oleh sebuah

perusahaan atau perorangan untuk jangka waktu tertentu demi

memperoleh imbal balik yang lebih besar di masa depan.

Marsir atau Judi artinya bertaruh, buik dengan uany atau benda dapat juga di

sebut sebagai suatu perbuatan mencari laba dengan jalan untung-

untungan.

Majelis Ulama Indonesia (disingkat MUI) adalah lembaga yang mewadahi

para ulama, zu'ama, dan cendikiawan Islam di Indonesia untuk

membimbing, membina dan mengayomi kaum muslimin di seluruh

Indonesia.

Moral Hazard adalah keadaan yang berkaitan dengan sifat, pemba waan dan

karakter manusia yang dapat menambah besarnya kerugian dibanding

dengan risiko rata-rata. Manusia itu terutama adalah terlanggung

sendiri tapi juga pegawainya atau orang-orang sekitarnya.

Mudharib adalah pengelola usaha dengan menggunakan dana dari sahib al-

mal.

Mutaghayyirat merupakan sesuatu yang sifatnya berubah-rubah

Nisbah adalah porsi bagi hasil yang ditentukan dan disepakati di awal akad

antara nasabah dengan pihak bank.

Page 228: IRPAN JAMIL - SPs.pdf - Repository UIN Syarif Hidayatullah ...

216

Non Performing Financing adalah pembiayaan bermasalah pada bank

syariah.

Otoritas Jasa Keuangan (OJK) adalah lembaga Negara yang dibentuk

berdasarkan Undang-undang Nomor 21 Tahun 2011 yang berfungsi

menyelenggarakan sistem pengaturan dan pengawasan yang

terintegrasi terhadap keseluruhan kegiatan di dalam sektor jasa

keuangan baik di sektor perbankan, pasar modal, dan sektor jasa

keuangan.

Pembiayaan adalah penyediaan dana atau tagihan yang dipersamakan dengan

itu berupa transaksi bagi hasil, jual beli dan sewa-menyewa, dan lain-

lain.

Portofolio adalah kumpulan investasi yang dimiliki oleh institusi ataupun

perorangan.

Profit Equalization Reserve (PER) merupakan salah satu strategi keuangan

yang digunakan oleh perbankan syariah yang mana PER

menangguhkan sebagian dana bagi hasil akad mudharabah (jika

melebihi proyeksi) untuk diberikan saat bagi hasil dibawah proyeksi

dan dengan tujuan menjaga nasabah yang ada sehingga nasabah tidak

beralih ke bank lain terutama ke bank konvensional.

Revenue Sharing adalah metode bagi hasil yang didasarkan pada pendapatan.

Riba Fadl yaitu yang timbul akibat pertukaran barang sejenis yang tidak

memenuhi kriteria sama kualitasnya (mistlan bi mistlin), sama

kuantitasnya (sawa-an bi sawa-in) dan sama waktu penyerahannya

(yadan bi yadin).

Riba Nasi'ah riba yang timbul akibat hutang-piutang yang tidak memenuhi

kriteria untung muncul bersama resiko (al ghunmu bil ghurmi) dan

hasil usaha muncul bersama biaya (al kharaj bi dhaman). Transaksi

semisal ini mengandung pertukaran kewajiban menanggung beban,

hanya karena berjalannya waktu. Nasiah adalah penangguhan

penyerahan atau penerimaan jenis barang ribawi yang dipertukarkan

dengan jenis barang ribawi lainnya. Riba Nasi'ah muncul karena

adanya perbedaan, perubahan atau tambahan antara barang yang

diserahkan hari ini dengan barang yang diserahkan kemudian.

Shariah Compliance regulasi yang mengatur tentang kepatuhan syariah bagi

bank syariah agar kegiatan usaha yang dijalankan memenuhi prinsip-

prinsip syariah.

Sharik adalah mitra yang berserikat dalam kerjasama bagi hasil.

Shirkah adalah kerjasama kemitraan dengan sistem bagi hasil.

Sleeping Partner adalah kemitraan aktif pada kerjasaman bagi hasil.

Ta'awun adalah saling tolong menolong dalam kebaikan dan fatwa.

Page 229: IRPAN JAMIL - SPs.pdf - Repository UIN Syarif Hidayatullah ...

217

Ta‟zir adalah bentuk hukuman berupa sansi denda yang diberikan kepada

nasabah mampu yang menunda-nunda pembayaran. Sanksi denda

bertujuan agar nasabah disiplin dalam menunaikan kewajibannya.

Thawabit adalah sesuatu yang bersifat tetap.

Wadi 'ah adalah akad titipan berupa uang atau barang pada kegiatan usaha

bank syariah.

Zalim adalah perbuatan apa saja yang dapat merugikan orang lain.

Page 230: IRPAN JAMIL - SPs.pdf - Repository UIN Syarif Hidayatullah ...

218

INDEKS

A

AAOIFI, 121, 122, 137, 166, 167, 168, 169

akhlak, 1, 2, 146

almubahat, 9

al-Quran, 39, 61, 113, 115, 116, 117, 118, 169

Amalia Nur Adina, 20

Analisis, iii, 22, 23, 121, 161, 176, 178

Aplikasi, ii, iii, 2, 14, 26, 59, 74, 76, 84, 109,

148, 150, 151

aqidah, 12

B

Bahrain, 30, 34, 37, 38, 166, 167, 168

baitul mal wa tamwil, 2

Bangladesh, 21, 30, 33, 37, 177

bank konvensional, 3, 4, 5, 6, 11, 12, 13, 14,

15, 17, 25, 27, 28, 29, 30, 34, 35, 38, 39,

40, 42, 43, 44, 74, 76, 112, 162, 172, 173,

174, 181

BMT, 2, 74, 75, 172, 176, 179

BPRS, 40, 41, 90, 94, 95, 98, 99, 129

built in control, 2

bunga bank, 13, 14, 15, 17, 28, 39, 40, 44

C

cash flow, 95

commercial bank, 31

contractionary policy, 54

D

depositor, 66

Dewan Pengawas Syariah, iii, 11, 12, 13, 22,

74, 120, 123, 125, 126, 127, 130, 135, 136,

137, 148, 150, 172, 173, 175

diminishing musharakah, 51, 52

DSN, 5, 14, 18, 22, 24, 45, 74, 91, 96, 101,

112, 113, 114, 131, 132, 133, 134, 135,

136, 138, 148, 164, 166, 167, 169, 170,

171, 172, 174, 175, 176, 179

Dubai Islamic Bank, 32, 34, 37

dzalim, 7, 8

E

entrepreneur, 76

Ernst dan Young, 125

etimologi, 58, 142

Eva Muzlifah, 16, 20

expansinary, 54

F

Faisal Islamic Bank, 30, 33, 34, 37

Fathurrahman Djamil, i, 1, 3, 7, 11, 13, 14, 23,

45

fee, 3, 24, 79

fikih, 1, 5, 10, 39, 48, 76, 140, 148, 160, 161,

162, 165, 166, 167, 168, 171, 174, 178, 179

finance, 31, 32, 104, 140, 161, 162, 173, 178

financing,, 162

fiskal, 118, 140, 161, 173, 174

fixed, 7, 104

flat, 18

fleksibilitas, 60

Funding, 180

fuqaha, 9, 25, 52, 58, 170

G

GCG, 22, 122, 124, 125, 180

gharar, 8, 11, 14, 16, 17, 19, 20, 29, 76, 89,

115, 117, 156

global, 3, 10, 31, 33, 126

Grace Period, 103

H

Habib Ahmed, 21

Hasanudin, 23, 45, 117, 118, 120, 176

hayatan thayyibah, 9

horizontal, 1, 12, 114

I

IDB, 32, 33, 37, 128

IFSB, 121, 122, 137

ihraz, 9

ijarah, 63, 75, 87, 162, 164, 165, 166, 167,

168, 180

Page 231: IRPAN JAMIL - SPs.pdf - Repository UIN Syarif Hidayatullah ...

219

ikhtillat, 45

ikhtiyath, 39

Income, 86, 133

intermediary, 2, 57, 66

investasi, 2, 13, 14, 15, 23, 29, 31, 33, 35, 43,

44, 46, 47, 49, 53, 56, 57, 66, 67, 68, 71,

75, 78, 79, 80, 81, 84, 85, 86, 87, 88, 89,

90, 97, 99, 100, 104, 108, 119, 136, 138,

147, 157, 158, 162, 164, 179, 180, 181

Investment Rate, 83

investor, 15, 25, 44, 63, 65, 75, 76, 78, 80, 81,

83, 84, 86, 137, 173

Islamic Banking, 21, 28, 31, 32, 46, 48, 49, 50,

52, 55, 176, 177, 178

Islamic Development Bank, 32, 37, 128

islamic finance, 31

Islamic Financial Management, 14, 59

isytirak, 23, 44

iwadh makhshush, 10

J

Jaih Mubarok, 23, 45, 117, 176

K

kaffah, 12, 15, 19

keadilan, 5, 8, 9, 11, 23, 29, 52, 65, 76, 112,

115, 116, 117, 123, 144, 150, 155

Kuwait, 30, 32, 34, 36, 37

L

LKS, 2, 14, 53, 55, 130, 131, 132, 135, 162,

164, 165, 174, 179

Lukman Nurhisyam, 22

M

madharat, 8

Malaysia, 15, 21, 32, 33, 34, 35, 37, 127, 177

manufacture, 63

MAQASHID, i, ii, iii, 140

maqashid al- syari„ah, 140

Maslahah, iii, 142

maysir, 8, 14, 16, 17, 19, 20, 117

mekanisme, 3, 19, 24, 89, 95, 96, 108, 120

Mesir, 25, 31, 32, 33, 36, 37, 127

Mith Ghamr, 37

moneter, 3, 29, 41, 42, 44, 54, 71, 129, 135,

140, 159, 161, 163, 173, 174

muamalah, 1, 2, 8, 12, 16, 19, 35, 39, 58, 60,

61, 62, 74, 76, 117, 135, 153, 154, 161,

165, 168, 172, 174

mudharabah, 13, 14, 15, 16, 17, 18, 19, 20, 25,

26, 28, 33, 34, 57, 58, 59, 60, 61, 62, 63,

64, 65, 66, 67, 68, 69, 72, 73, 77, 78, 79,

80, 81, 83, 84, 86, 87, 88, 95, 96, 99, 100,

101, 102, 104, 109, 110, 159, 163, 164,

167, 169, 172, 173, 175, 181

Muhammad Syafi‘i Antonio, 176

MUI, 5, 14, 18, 22, 24, 25, 41, 45, 74, 91, 96,

101, 113, 114, 121, 128, 131, 132, 133,

134, 135, 136, 164, 166, 167, 169, 171,

172, 174, 175, 176, 180

muqayyadah, 66, 68, 70, 71, 78, 79, 167

musyarakah, 5, 13, 14, 15, 16, 17, 18, 19, 20,

23, 25, 26, 27, 34, 44, 45, 46, 47, 48, 49,

50, 51, 52, 53, 54, 55, 74, 75, 76, 84, 88,

90, 95, 164, 167, 169, 172, 173, 175

mutasyabihat, 38

N

negative spread, 42, 44

net profit, 17

Nisbah, ii, 64, 67, 70, 80, 83, 84, 85, 86, 87,

92, 93, 94, 95, 97, 101, 102, 103, 181

Non Performing Financing, 181

Non Revolving, 101

O

of balance sheet, 68

OJK, 24, 89, 90, 94, 95, 96, 97, 99, 100, 101,

104, 105, 107, 109, 110, 111, 114, 120,

121, 130, 174, 181

on balance sheet, 68, 79

overbooking, 110

Overhead Cost, 102

P

Pakistan, 15, 27, 32, 33, 37, 72, 127, 177

Partnership, 36

PBI, 6, 71, 90, 91, 112, 124, 129, 130, 137,

177

Page 232: IRPAN JAMIL - SPs.pdf - Repository UIN Syarif Hidayatullah ...

220

Pembiayaan, 6, 15, 20, 28, 55, 56, 68, 69, 70,

73, 75, 90, 91, 92, 93, 94, 95, 96, 97, 98,

99, 100, 101, 110, 111, 130, 131, 132, 133,

134, 159, 163, 164, 176, 177, 178, 181

perspektif, 4, 13, 19, 29, 112, 122, 141

POJK, 104, 105, 107, 130, 131

praktik, 3, 4, 5, 12, 16, 17, 19, 20, 23, 25, 26,

27, 29, 31, 65, 68, 95, 121, 122, 125, 149,

154, 157

prime customer, 83

Principle, 108, 109

profit and loss sharing, 23, 46, 57, 127

Q

qabul, 46, 62, 94, 167, 168

Qiradh, 58, 61

qiyas, 61, 166, 169

R

real based economy, 159, 163

regulasi, 11, 12, 13, 15, 17, 21, 22, 25, 129,

130, 131, 140, 161, 173, 174, 181

responsibility, 114

responsible, 17

restricted, 68

return, 66, 70, 75, 108

revenue sharing, 5, 17, 18, 65, 67, 75, 81, 83,

84, 85, 89, 101, 102, 162

riba, 6, 8, 9, 10, 11, 13, 14, 16, 17, 19, 20, 23,

25, 29, 30, 32, 38, 39, 40, 57, 76, 89, 101,

105, 115, 117, 127, 147, 157, 166, 170, 181

RUPS, 11, 126

S

saving-invesment institutions, 31

SBI, 54

SEBI, 22, 71, 91, 129, 178

Sepky Mardian, 20, 121

shahibul maal, 65, 68, 76, 78, 79, 85, 95, 96,

100

Shariah Compliance, 13, 14, 17, 24, 25, 125,

126, 176, 177, 181

skill, 57, 60

SSB, 121

Standar Tunggakan, 104

stock concept, 160, 163

stockholder, 149, 151

Surianom Miskam, 21

syar‟i., 7

syariah, iii, 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9, 11, 12, 13,

14, 15, 16, 17, 18, 19, 20, 21, 22, 23, 24,

25, 26, 28, 29, 30, 31, 32, 33, 34, 35, 41,

45, 46, 47, 51, 53, 55, 56, 57, 64, 65, 66,

67, 71, 73, 74, 75, 76, 78, 79, 80, 81, 83,

84, 85, 86, 88, 89, 90, 91, 92, 95, 98, 100,

109, 112, 113, 114, 115, 116, 117, 118,

119, 120, 121, 122, 123, 124, 125, 126,

127, 128, 129, 130, 131, 135, 136, 137,

140, 141, 142, 143, 144, 148, 149, 150,

151, 153, 156, 157, 158, 159, 161, 162,

163, 165, 166, 167, 168, 169, 172, 173,

174, 175, 176, 178, 179, 180, 181, 182

syariah complience, 115

Syirkah, 23, 47, 50, 52, 56, 117, 176

syubhat, 39

T

Ta‟widh, 92, 132

Ta‟zir, 92

Takaful, 35, 114, 176

take over, 162

takhalluf, 9

taksiniyyat, 151

tawazun, 8, 115, 118, 119

tertier, 143, 144

thayyib, 8

The Mit Ghmar savings project, 31

transaksi, 3, 6, 7, 8, 10, 11, 13, 21, 23, 24, 35,

48, 49, 50, 51, 53, 68, 70, 74, 79, 89, 101,

109, 113, 114, 115, 116, 117, 118, 119,

120, 126, 136, 137, 147, 148, 149, 150,

151, 153, 154, 155, 157, 159, 161, 163,

166, 168, 169, 170, 172, 174, 179, 181

trust, 13, 25, 33, 57

U

Ujrah, 132, 133

ukhuwah, 115, 116

Ukhuwah Insaniyyah, 115

UMKM, 13, 15

Undang-undang No 21 tahun 2008, 115

under cover, 31

Uni Emirat Arab, 34, 36

Page 233: IRPAN JAMIL - SPs.pdf - Repository UIN Syarif Hidayatullah ...

221

Unit Usaha Syariah, 6, 12, 74, 90, 91, 104,

107, 112, 121, 129, 130, 131, 172, 173, 177

Universalisme, 119

Ushul Fiqh, 141, 142, 143

UUS, 12, 74, 81, 90, 94, 95, 99, 112, 127, 172,

173

V

verifikasi, 107, 110

W

Wanprestasi, 92

Page 234: IRPAN JAMIL - SPs.pdf - Repository UIN Syarif Hidayatullah ...

222

Fatwa Dewan Syariah Nasional Tentang Pembiayaaan Musyarakah :

No. 08/DSN-MUI/IV/2000

MEMUTUSKAN

Menetapkan : FATWA TENTANG PEMBIAYAAN MUSYARAKAH

Beberapa Ketentuan:

1. Pernyataan ijab dan qabul harus dinyatakan oleh para pihak

untuk menunjukkan kehendak mereka dalam mengadakan

kontrak (akad), dengan memperhatikan hal-hal berikut:

a. Penawaran dan penerimaan harus secara eksplisit

menunjukkan tujuan kontrak (akad).

b. Penerimaan dari penawaran dilakukan pada saat kontrak.

c. Akad dituangkan secara tertulis, melalui korespondensi,

atau dengan menggunakan cara-cara komunikasi modern.

2. Pihak-pihak yang berkontrak harus cakap hukum, dan

memperhatikan hal-hal berikut:

a. Kompeten dalam memberikan atau diberikan kekuasaan

perwakilan.

b. Setiap mitra harus menyediakan dana dan pekerjaan, dan

setiap mitra melaksanakan kerja sebagai wakil.

c. Setiap mitra memiliki hak untuk mengatur aset musyarakah

dalam proses bisnis normal.

d. Setiap mitra memberi wewenang kepada mitra yang lain

untuk mengelola aset dan masing-masing dianggap telah

diberi wewenang untuk melakukan aktivitas musyarakah

dengan memperhatikan kepentingan mitranya, tanpa

melakukan kelalaian dan kesalahan yang disengaja.

e. Seorang Mitra tidak diizinkan untuk mencairkan atau

menginvestasikan dana untuk kepentingannya sendiri.

3. Objek akad (modal, kerja, keuntungan, dan kerugian)

a. Modal

1) Modal yang diberikan harus uang tunai, emas, perak,

atau yang nilainya sama.

Modal dapat terdiri dari aset perdagangan, seperti

barangbarang, properti, dan sebagainya. Jika modal

berbentuk aset, harus terlebih dahulu dinilai dengan

tunai dan disepakati oleh para mitra.

2) Para pihak tidak boleh meminjam, meminjamkan,

menyumbangkan atau menghadiahkan modal

musyarakah kepada pihak lain, kecuali atas dasar

kesepakatan.

3) Pada prinsipnya, dalam pembiayaan musyarakah tidak

ada jaminan, namun untuk menghindari terjadinya

penyimpangan, LKS dapat meminta jaminan.

b. Kerja

Page 235: IRPAN JAMIL - SPs.pdf - Repository UIN Syarif Hidayatullah ...

223

1) Partisipasi para mitra dalam pekerjaan merupakan dasar

pelaksanaan musyarakah, akan tetapi, kesamaan porsi

kerja bukanlah merupakan syarat. Seorang mitra boleh

melaksanakan kerja lebih banyak dari yang lainnya, dan

dalam hal ini ia boleh menuntut bagian keuntungan

tambahan bagi dirinya.

2) Setiap mitra melaksanakan kerja dalam musyarakah

atas nama pribadi dan wakil dari mitranya. Kedudukan

masing-masing dalam organisasi kerja harus dijelaskan

dalam kontrak.

c. Keuntungan

1) Keuntungan harus dikuantifikasi dengan jelas untuk

menghindarkan perbedaan dan sengketa pada waktu

alokasi keuntungan atau penghentian musyarakah.

2) Seriap keuntungan mitra harus dibagikan secara

proporsional atas dasar seluruh keuntungan dan tidak

ada jumlah yang ditentukan di awal yang ditetapkan

bagi seorang mitra.

3) Seorang mitra boleh mengusulkan bahwa jika

keuntungan melebihi jumlah tertentu, kelebihan atau

prosentase itu diberikan kepadanya.

4) Sistem pembagian keuntungan harus tertuang dengan

jelas dalam akad.

d. Kerugian

Kerugian harus dibagi di antara para mitra secara

proporsional menurut saham masing-masing dalam modal.

4. Biaya Operasional dan Persengketaan

a. Biaya operasional dibebankan pada modal bersama.

b. Jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau

jika terjadi perselisihan di antara para pihak, maka

penyelesaiannya dilakukan melalui Badan Arbitrasi Syari'ah

setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah.

c.

Fatwa Dewan Syariah Nasional Tentang Pembiayaan Mudharabah

MEMUTUSKAN

Menetapkan : FATWA TENTANG PEMBIAYAAN MUDHARABAH

(QIRADH)

Pertama : Ketentuan Pembiayaan

1. Pembiayaan Mudharabah adalah pembiayaan yang disalurkan

oleh LKS kepada pihak lain untuk suatu usaha yang

produktif.

2. Dalam pembiayaan ini LKS sebagai shahibul mal (pemilik

dana) membiayai 100% kebutuhan suatu proyek (usaha),

Page 236: IRPAN JAMIL - SPs.pdf - Repository UIN Syarif Hidayatullah ...

224

sedangkan pengusaha (nasabah) bertindak sebagai mudharib

atau pengelola usaha.

3. Jangka waktu usaha, tatacara pengembalian dana, dan

pembagian keuntungan ditentukan berdasarkan kesepakatan

kedua belah pihak (LKS dengan pengusaha).

4. Mudharib boleh melakukan berbagai macam usaha yang telah

disepakati bersama dan sesuai dengan syari'ah: dan LKS tidak

ikut serta dalam manajemen perusahaan atau proyek tetapi

mempunyai hak untuk melakukan pembinaan dan

pengawasan.

5. Jumlah dana pembiayaan harus dinyatakan dengan jelas

dalam bentuk tunai dan bukan piutang.

6. LKS sebagai penyedia dana menanggung semua kerugian

akibat dari mudharabah kecuali jika mudharib (nasabah)

melakukan kesalahan yang disengaja, lalai, atau menyalahi

perjanjian.

7. Pada prinsipnya, dalam pembiayaan mudharabah tidak ada

jaminan, namun agar mudharib tidak melakukan

penyimpangan, LKS dapat meminta jaminan dari mudharib

atau pihak ketiga. Jaminan ini hanya dapat dicairkan apabila

mudharib terbukti melakukan pelanggaran terhadap hal-hal

yang telah disepakati bersama dalam akad.

8. Kriteria pengusaha, prosedur pembiayaan, dan mekanisme

pembagian keuntungan diatur oleh LKS dengan

memperhatikan fatwa DSN.

9. Biaya operasional dibebankan kepada mudharib.

10. Dalam hal penyandang dana (LKS) tidak melakukan

kewajiban atau melakukan pelanggaran terhadap kesepakatan,

mudharib berhak mendapat ganti rugi atau biaya yang telah

dikeluarkan.

Kedua : Rukun dan Syarat Pembiayaan

1. Penyedia dana (shahibul mal) dan pengelola (mudharib) harus

cakap hukum.

2. Pernyataan ijab dan qabul harus dinyatakan oleh para pihak

untuk menunjukkan kehendak mereka dalam mengadakan

kontrak (akad), dengan memperhatikan hal-hal berikut:

a. Penawaran dan penerimaan harus secara eksplisit

menunjukkan tujuan kontrak (akad).

b. Penerimaan dari penawaran dilakukan pada saat

kontrak.

c. Akad dituangkan secara tertulis, melalui korespondensi,

atau dengan menggunakan cara-cara komunikasi modern.

Page 237: IRPAN JAMIL - SPs.pdf - Repository UIN Syarif Hidayatullah ...

225

3. Modal ialah sejumlah uang dan/atau aset yang diberikan oleh

penyedia dana kepada mudharib untuk tujuan usaha dengan

syarat sebagai berikut:

a. Modal harus diketahui jumlah dan jenisnya.

b. Modal dapat berbentuk uang atau barang yang dinilai.

Jika modal diberikan dalam bentuk aset, maka aset

tersebut harus dinilai pada waktu akad.

c. Modal tidak dapat berbentuk piutang dan harus

dibayarkan kepada mudharib, baik secara bertahap

maupun tidak, sesuai dengan kesepakatan dalam akad.

4. Keuntungan mudharabah adalah jumlah yang didapat sebagai

kelebihan dari modal. Syarat keuntungan berikut ini harus

dipenuhi:

a. Harus diperuntukkan bagi kedua pihak dan tidak boleh

disyaratkan hanya untuk satu pihak.

b. Bagian keuntungan proporsional bagi setiap pihak harus

diketahui dan dinyatakan pada waktu kontrak disepakati

dan harus dalam bentuk prosentase (nisbah) dari

keuntungan sesuai kesepakatan. Perubahan nisbah harus

berdasarkan kesepakatan.

c. Penyedia dana menanggung semua kerugian akibat dari

mudharabah, dan pengelola tidak boleh menanggung

kerugian apa pun kecuali diakibatkan dari kesalahan

disengaja, kelalaian atau pelanggaran kesepakatan.

5. Kegiatan usaha oleh pengelola (mudharib), sebagai

perimbangan (muqabil) modal yang disediakan oleh penyedia

dana, harus memperhatikan hal-hal berikut:

a. Kegiatan usaha adalah hak eksklusif mudharib, tanpa

campur tangan penyedia dana, tetapi ia mempunyai hak

untuk melakukan pengawasan.

b. Penyedia dana tidak bleh mempenempit tindakan

pengelola sedemikian rupa yang dapat menghalangi

tercapainya tujuan mudharabah, yaitu keuntungan.

c. Pengelola tidak boleh menyalahi hukum Syarah Islam

dalam tindakannya yang berhubungan dengan

mudharabah, dan harus mematuhi kebiasaan yang

berlaku dalam aktivitas itu.

Ketiga : Beberapa Ketentuan Hukum Pembiayaan

1. Mudharabah boleh dibatasi pada periode tertentu,

2. Kontak tidak boleh ikaitkan (mu'allaq) dengan sebuah

kejadian di masa depan yang belum tentu terjadi

3. Pada dasarnya, dalam mudharabah tidak ada ganti rugi,

karena pada dasarnya akad ini bersifat amanah (yad al-

amanah), kecuali akibat dari kesalahan disengaja, kelalaian,

atau pelangaran kesepakatan

Page 238: IRPAN JAMIL - SPs.pdf - Repository UIN Syarif Hidayatullah ...

226

4. Jika salah satu pihak odak menunsikan kewajibannya atau

jika terjadi perselisihan di antara kedua belah pihak, maka

penyelesaiannya dlakukan melaui Badan Arbitrasi Syariah

setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah,

Page 239: IRPAN JAMIL - SPs.pdf - Repository UIN Syarif Hidayatullah ...

227

Quesioner Wawancara untuk Masyarakat Pengguna Bank Syariah

1. Apakah Bapak /Ibu mengetahui bank syariah?

2. Apakah Bapak /Ibu menjadi nasabah bank syariah?

3. Apakah Bapak /Ibu mengetahui produk-produk yang ada di perbankan syariah

4. Jika mengetahui produk-produknya Apakah Bapak /Ibu saudara mengenal

produk musyarakah dan mudharabah?

5. Pernahkah Bapak /Ibu Saudara mengetahui istilah syariah

compliance/kepatuhan syariah?

6. Jika mengetahui, apakah lembaga/bank syariah sudah menerapkan prinsip

syariah compliance?

7. Jika sudah mengenal pernahkah Bapak/Ibu/Saudara menggunakan produk

tersebut?

8. Apakah akad-akad di perbankan syariah menurut bapak/Ibu/Saudara sudah

sesuai dengan ketentuan/ syariah compliance?

9. Selain Syariah Compliance aspek apa saja yang diketahui berkaitan dengan

kepatuhan terhadap prinsip-prinsip syariah?

10. Jika mengetahui, apakah perlu Maqashid al-syariah digunakan untuk

memperkuat syariah compliance di lembaga keuangan syariah?

Page 240: IRPAN JAMIL - SPs.pdf - Repository UIN Syarif Hidayatullah ...

228

Quesioner Wawancara untuk Narasumber dari Lembaga Keuangan Syariah

( Bank BJBS & Bank Muamalat Indonesia)

1. Bagaimana pelaksanaan akad musyarakah dan mudharabah di lembaga

keuangan syariah khususnya pada Perbankan Syariah ?

2. Adakah mekanisme khusus terkait dengan pembiayaan musyarakah dan

mudharabah khususnya pada perbankan syariah?

3. Dalam proses pembiayaan musyarakah dan mudharabah adakah kendala-

kendala yang dihadapi dalam prosesnya?

4. Apakah dalam pelaksanaan pembiayaan musyarakah dan mudharabah sudah

melaksanakan nilai-nilai syariah compliance (kepatuhan syariah) ?

5. Apakah terdapat permasalahan dalam melaksanakan syariah compliance

tersebut?

6. Apakah dalam pelaksanaan akad musyarakah dan mudharabah sudah sesuai

dengan standar produk yang ditetapkan oleh OJK?

7. Sejauh mana peran DPS dalam memberikan kepastian bahwa setiap akad

mengadung kesesuaian syariah?

8. Bagaimana tanggapan terhadap kesesuaian syariah dalam memperkuat syariah

compliance di lembaga perbankan syariah?

9. Apakah DPS memberikan arahan/peraturan khusus berkaitan dengan

pelaksanaan syariah compliance?

10. Di internal perbankan syariah apakah dipandang perlu unit/departemen/divisi

lain selain unit kepatuhan untuk melaksanakan nilai-nilai kepatuhan syariah ?

Page 241: IRPAN JAMIL - SPs.pdf - Repository UIN Syarif Hidayatullah ...

240

Biodata Penulis/ Peneliti

Irpan Jamil, dilahirkan di Cipanas, Cianjur pada tanggal 14 Februari 1976,

lahir dari pasangan Drs. H. Wahid Djamil (alm) dan ibu Hj Ayi Suryati. Menikah

dengan hj. Alvi Muhibah, SAg dan dikaruniai dua orang anak yaitu, Selmy Malicca

Auranisa dan Shaina Idelia Raisya Syafira.

Pendidikan formal ditempuh di SDN Ciranjang 1982-1988, MTsN Ciranjang

Cianjur 1988-1991, MAN Pacet Cianjur 1991-1994. S1 di UIN Sunan Gunung Djati

Bandung Fakultas Syariah jurusan al-akhwal-al-syakhsiyyah 1994-1998, S2 di SPs

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 1999-2002 dengan konsentrasi Hukum Islam,

dan S3 di SPs UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2016-2021 dengan konsentrasi

Hukum Ekonomi Islam.

Penulis pernah menjadi anggota DPRD Cianjur untuk periode 2009-2014,

Wakil Ketua Komisi 1 bidang pemerintahan 2012-2014, pernah menjadi ketua

Pansus Raperda Penanganan Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS) 2013, Anggota

Badan Legislasi Daerah tahun 2009-2014, anggota Badan Anggaran tahun 2009-

2012 dan Sekretaris Fraksi tahun 2009-2014.

Penulis juga pernah aktif di beberapa organisasi seperti Sekretaris Forum

Pondok Pesantren Kabupaten Cianjur tahun 2008-2011, Ketua Bidang Kerja sama

MES (Masyarakat Ekonomi Syariah) Cianjur periode 2018-2021, pengurus Ikatan

Cendikiawan Muslim Indonesia (ICMI) periode 2017-2021, Sekretaris yayasan

Ummul Yatama al-Furqan Cipanas- Cianjur tahun 2006-2011, pembina yayasan

Ummul Yatama al-Furqan 2011 sd sekarang. Ketua harian yayasan Lembaga Kajian

Ekonomi dan Kebijakan Publik (LKPE) Cianjur 2019-2024, Konsultan Badan

Perencanaan Pembangunan Daerah (Bapedda Cianjur) 2018 sd sekarang.

Dalam lingkup akademik, penulis juga menjadi dosen tetap Prodi Akuntansi

Syariah, pada Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam (FEBI) Universitas Suryakancana

Cianjur sejak tahun 2012 sd sekarang. Pernah menjadi Wakil Dekan III Bidang

kemahasiswaan dan kerjasama Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam (FEBI)

Universitas Suryakancana tahun 2016 sd 2018, Ketua Prodi Akuntansi Syariah

2018-2021, penulis aktif menulis beberapa buku ajar diantaranya buku Sejarah

Pemikiran Ekonomi Islam dan buku Hukum dan Manajemen Wakaf dan Zakat, di

samping itu penulis aktif menulis di beberapa jurnal ilmiah terakreditasi.