KESESUAIAN SYARIAH (SYARIAH COMPLIANCE) DALAM PEMBIAYAAN MUSYARAKAH DAN MUDHARABAH PADA PERBANKAN SYARIAH DI INDONESIA Disertasi Oleh: Irpan Jamil NIM : 31161200100082 Pembimbing: Prof. Dr. H. Fathurrahman Djamil, M.A Prof. Dr. Muhammad bin Said Dosen Pengampu : Dosen Pengampu KONSENTRAS HUKUM EKONOMI SYARIAH SEKOLAH PASCASARJANA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA. 2020 M/ 1441 H
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
KESESUAIAN SYARIAH (SYARIAH COMPLIANCE) DALAM
PEMBIAYAAN MUSYARAKAH DAN MUDHARABAH
PADA PERBANKAN SYARIAH DI INDONESIA
Disertasi
Oleh:
Irpan Jamil
NIM : 31161200100082
Pembimbing:
Prof. Dr. H. Fathurrahman Djamil, M.A
Prof. Dr. Muhammad bin Said
Dosen Pengampu :
Dosen Pengampu
KONSENTRAS HUKUM EKONOMI SYARIAH
SEKOLAH PASCASARJANA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA.
2020 M/ 1441 H
ii
KATA PENGANTAR
Peneliti panjatkan segala puji dan syukur bagi Allah Swt tuhan semesta alam,
shalawat serta salam semoga tercurah kepada nabi besar Muhammad Saw,
Alhamdulillah berkat kehendak dan kemurahan-Nya, peneliti akhirnya dapat
menyelesaikan Disertasi yang berjudul Kesesuaian Syariah (syariah compliance)
dalam pembiayaan Musyarakah dan Mudharabah Pada Perbankan Syariah Di
Indonesia.
Dalam penyusunan disertasi ini, peneliti mencoba untuk mendeskripsikan
secara utuh tentang penelitian ini, oleh karena itu peneliti mengucapkan terimakasih
kepada banyak pihak baik dari kalangan akademisi, praktisi perbankan syariah, dan
pihak-pihak lainnya yang telah memberikan informasi, bahan, dan data dalam
penelitian ini.
Banyak pihak yang sudah terlibat dalam penelitian ini, oleh karena itu saya
mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya dan semoga Allah Swt
memberikan balasan yang setimpal, adapun mereka yang terlibat dalam penelitian
ini adalah:
1. Prof Dr. Phil Asep Saepudin Jahar, MA selaku Direktur Sekolah Pascasarjana
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, yang telah memberikan kesempatan kepada
peneliti sehingga disertasi ini bisa diujikan di ujian pendahuluan
2. Prof. Dr. H. Fathurrahman Djamil, MA selaku Pembimbing 1 yang telah
banyak meluangkan waktu untuk membantu, memberi saran, kritik, dan
masukan sehingga disertasi ini dapat diujikan di ujian promosi.
3. Prof. Dr. Muhammad Bin Said selaku pembimbing II yang sudah memberi
masukan, saran, dan kritik yang konstruktif terhadap Disertasi ini sehingga
dapat diujikan.
4. Prof. Dr. Euis Amalia, MAg yang sudah banyak memberikan masukan, saran
dan kritik yang luar biasa sehingga dapat diujikan
5. Prof.Dr. M.Nur Rianto Al-Arif. M.Si yang memberikan masukan sehingga
disertasi ini dapat diujikan
6. Dr. Arif Mufraini, Lc.M.Si yang memberikan saran dan masukan hingga
disertasi ini dapat diujikan.
7. Dr. Hamka Hasan, Lc.,MA selaku wakil direktur Sekolah Pascasarjana UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta.
8. Prof. Dr. Didin Saefudin, MA. dan Dr, Asmawi, MA selaku ketua program
studi dan sekretaris Prodi S3 Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta.
9. Seluruh Dosen dan para pegawai yang ada dilingkungan sekolah Pascasarjana
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang selalu membantu saya dalam
menyelesaikan pendidikan pada jenjang ini. Semoga Allah Swt memberi
balasan yang berlipat.
10. Gubernur Jawa Barat yang sudah memberikan bantuan beasiswa pendidikan
kepada peneliti pada tahun 2017.
11. Hj. Alvi Muhibbah, S.Ag istri tercinta yang selalu memberikan dukungan,
menemani dengan penuh kesabaran dan rela waktunya terbagi, tidak lupa anak-
iii
anakku, Selmy Malica Auranisa dan Shaina Idelia Raisya, yang selalu penuh
pengertian dan kesabaran, semoga kesuksesan menyertai kalian.
12. Rektor, Dekan, dan Pimpinan di Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam Universitas
Suryakancana yang sudah memberikan waktu dan kesempatan kepada peneliti
untuk dapat melanjutkan studi S3 di SPs UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Demikian ucapan yang dapat saya sampaikan, terimakasih yang tak
terhingga atas semua kebaikan, doa dan semangat yang diberikan dalam
membantu penyelesaian studi doktoral ini. Semoga apa yang diberikan kepada
peneliti baik moril maupun materil dibalas dengan pahala yang berlipat ganda.
Aamiin
Cianjur, 21 Juni 2021
v
ix
ABSTRAK
Isu utama dalam penelitian ini adalah kesesuaian syariah yang dianggap
penting khususnya pada perbankan syariah di Indonesia terutama pada aspek
pembiayaan musyarakah dan mudharabah. Pembiayaan musyarakah dan mudharabah
menjadi pilihan sebagian nasabah pengguna lembaga – keuangan syariah (perbankan
syariah) dalam transaksi yang digunakan, namun dalam perkembangannya banyak
ditemukan dinamika permasalahan terutama dalam hal kesesuaian dan kepatuhan
syariah.
Metode yang digunakan dalam penelitian disertasi ini adalah penelitian jenis
kualitatif, dimana data yang dianalisis bersifat kualitatif seperti konsep syariah
compliance ,prinsip-prisip kesesuain syariah,, audit kepatuhan, standar produk dan
lain-lain. Sumber primer penelitiannya berasal dari data primer hasil pengamatan
dan wawancara terkait dengan penggunaan syariah compliance, kesesuaian syariah
pada perbankan syariah di Indonesia. Sedangkan data sekunder berasal dari kitab,
buku, jurnal internasional, peraturan perundangan tentang perbankan syariah.
، إندونيسيا يف اإلسالمية الصريفة يف سيما ال ، مهمة تعترب اليت اإلسالمية الشريعة مع التوافق ىي الدراسة ىذه يف الرئيسية القضية يستخدمون الذين العمالء بعض اختيار من وادلضاربة ادلسياراكة دتويل يعترب .وادلضاربة ادلسرية دتويل جوانب من جانب يف وخاصة
لعديدا ىناك تطورىا يف ولكن ، ادلستخدمة ادلعامالت يف (اإلسالمية الصريفة) اإلسالمية ادلالية ادلؤسسات ال ، ادلشاكل ديناميات من .اإلسالمية الشريعة ألحكام واالمتثال باالمتثال يتعلق فيما سيما
مفهوم مثل نوعية طبيعة ذات حتليلها مت اليت البيانات تكون حيث ، البحث من نوعيا نوعا األطروحة حبث يف ادلستخدمة الطريقة تعتربسالميةاإل الشريعة ومبادئ ، الشريعة مع التوافق البيانات من للبحث الرئيسي ادلصدر يأيت .وغريىا ادلنتج ومعايري ، االمتثال ومراجعة ، يف اإلسالمية ادلصرفية اخلدمات يف الشريعة ألحكام واالمتثال ، للشريعة االمتثال باستخدام ادلتعلقة وادلقابالت ادلالحظات من األولية
، BI لوائح .اإلسالمية بالصريفة اخلاصة واللوائح والقوانني الدولية واجملالت والكتب الكتب من الثانوية البيانات تأيت بينما .إندونيسيا الشريعة لدراسة مقاربة الدراسة ىذه تستخدم .أخرى مهمة ومصادر DPS وآراء ، MUI DSN وفتوى ، OJK ولوائح
جدا مهما النهج ىذا يعترب .وادلضاربة ادلشاركة دتويل مبمارسة تنفيذىا ويتعلق ، اإلسالمي االقتصادي القانون دراسة وحتديدا اإلسالمية صحيح بشكل للشريعة االمتثال تطبيق مت إذا أنو الدراسة ىذه يف النتائج تثبت.البحث اذليكلهذا يف ادلضمنة واحلجج الروايات يقوي ألنو
إلسالميةا ادلالية ادلؤسسات استخدام يف اجلمهور ثقة أو الثقة سيوفر إحداىا فإن ، .اإلسالمية ادلصرفية اخلدمات وخاصة ،
لزيادة للغاية مهم أساس ىو للشريعة االمتثال أن وجد ، الدراسة ىذه يف ، Surianom Miskam حبث مع البحث ىذا يتماشى هبا تقوم اليت واألنشطة واألعمال العمليات تتوافق أن اذلدفيجب ىذا القانون سيادة تعزز أن وجيب ، اإلسالمية البنوك يف اجلمهور ثقة
جوىر أن يرى الذي أمحد حبيب ىو البحث ىذا مع يتفق آخر باحث .اإلسالمية الشريعة أحكام مع اإلسالمية ادلالية ادلؤسسات مع الدراسة ىذه تتفق ال .معها وتتوافق اإلسالمية الشريعة دلبادئ ختضع أن جيب وعملياهتا منتجاهتا أن ىو جيدة إسالمية مالية مؤسسة
ادلالية ادلؤسسات يف الكفاح تطبيق يتم مل ادلمارسة يف الشريعة مع التوافق بأن والتدريب للبحوث اإلسالمي وادلعهد الرمحن حبث .اإلسالمية
الشرعي االمتثال ، ادلضاربة ، ادلسريقة :ادلفتاحية الكلمات
xii
PEDOMAN TRASLITERASI ARAB LATIN
Pedoman transilterasi Arab-Latin yang digunakan dalam karya ilmiah ini
adalah sebagai berikut:
A. Konsonan
B = ب z = ز f = ف
T = ت s = س q = ق
Th = ث sy = ش k = ك
J = ج ṣ = ص l = ل
ḥ = ح ḍ = ض m = م Kh = خ ṭ = ط n = ن
D = د ẓ = ظ w = و Dh = ع = ‗ ذ h = ه
R = ر gh = غ y = ي
B. Vokal
1. Vokal Tunggal
Tanda Nama Huruf Latin Nama
Fathah A A
Kasrah I I
Dammah U U
2. Vokal Rangkap
Tanda Nama Gabungan Huruf Nama
..ي . Fathah dan ya Ai a dan i
..و . Fathah dan wau Au a dan u
Contoh:
xiii
Haul حول Husein : حسين
C. Maddah
Tanda Nama Huruf Latin Nama
Fathah dan alif ā a dan garis di atas ى ا
Kasrah dan ya ī i dan garis di atas ى ى
Dammah dan wau ū u dan garis di atas ى و
D. Ta’Marbūtah (ة)
Transliterasi ta‘ marbūtah ditulis dengan ―h‖ baik dirangkai dengan kata
sesudahnya maupun tidak contoh mar‘ah (مرأة) madrasah (مدرسة)
Contoh:
ورة al-Madinat al-Munawwarah =المدنةالمن
E. Saddah
Shaddah tashdid pada transliterasi ini dilambangkan dengan huruf, yaitu
huruf yang sama dengan huruf yang bershaddah itu.
Contoh:
Nazzala :ن زل
F. Kata Sambung
Kata sandang ―ال‖ dilambangkan berdasarkan huruf yang mengikutinya, jika
diikuti huruf shamsiyah maka ditulis sesuai huruf yang bersangkutan, dan ditulis
―al‖ jika diikuti denga huruf qamariyah . Selanjutnya ―ال‖ditulis lengkap baik
menghadapi al-Qamariyah, contoh kata al-Qamar (القمر) maupun al-Syamsiyah
seperti kata al-Rajulu (الرجل)
Contoh:
al-Qalam :القلم al-Shams :الشمس
xiv
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ........................................................................................ . i
KATA PENGANTAR ...................................................................................... . ii
SURAT PERNYATAAN PLAGIARISME .................................................... . iv
LEMBAR PENGECEKAN PLAGIARISME ................................................ . v
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING ................................................. . vi
LEMBAR PERSETUJUAN HASIL UJIAN PENDAHULUAN ................... . viii
ABSTRAK ........................................................................................................ . ix
PEDOMAN TRASLITERASI ......................................................................... . xii
DAFTAR ISI ..................................................................................................... . xiv
DAFTAR TABEL ............................................................................................. . xvi
DAFTAR GAMBAR ....................................................................................... . xvi
Gambar 2.1 Mudharabah- Musyarakah .................................................... 54
Gambar 2.2 Gambar Produk Mudharabah pada Kegiatan Financing ........ 57
Gambar 2.3 Metode Istinbath Hukum Fatwa DSN-MUI.. ......................... 67
Gambar 3.1 Skema Pembiayaan Musyarakah ........................................... 94
Gambar 3.2 Skema Implementasi pembiayaan syirkah...... ....................... 95
Gambar 3.3 Skema Pembiayaan Mudharabah.................... ....................... 108
Gambar 3.4 Skema implementasi akad Mudharabah Muqayyadah .......... 110
Gambar 4.1 Skema Akad al-Mudharabah ................................................. 116
Gambar 4.2 Skema tabungan Mudharabah .............................................. 119
Gambar 4.3 Skema Deposito Mudharabah ............................................. 121
Gambar 5.1 Maqashid Ammah ................................................................ 205
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Seiring perkembangan peradaban manusia, semakin banyak nilai-nilai dalam
ajaran Islam yang masuk mewarnai berbagai segi kehidupan, termasuk di dalam
praktik perbankan. Ajaran islam mengandung nilai-nilai yang komprehensif dan
universal. Komprehensif diartikan bahwa ajaran Islam merangkum seluruh aspek
kehidupan, baik ritual maupun sosial kemasyarakatan yang bersifat universal.
Universal diartikan bahwa syariah (hukum Islam) dapat diterapkan di mana saja dan
kapan saja1. Universal juga berarti Islam sebagai agama yang kokoh dan
menyampaikan pada nilai-nilai kebenaran, keadilan, kebaikan dan persamaan antara
seluruh manusia, tanpa melihat warna kulit dan jenis, tidak mempercayai
keunggulan unsur (bangsawan) atau ketinggian jenis ras manusia dari yang lain.
Risalahnya merupakan rahmat bagi seluruh alam2. Sifat hukum Islam yang
Universal tersebut merupakan penerapan prinsip Islam sebagai rahmatan lil alamin'.
Segala persoalan hidup terjawab melalui ajaran Islam yang terkristal dalam
kedua sumber hukumnya melalui sumber hukum Islam yaitu al-quran (wahyu Allah
yang disampaikan kepada Nabi Muhammad Shalallahu Alaihi Wassalam) dan Hadis
(praktik dan petunjuk rasulullah berupa perkataan, perbuatan dan persetujuan).
alquran dan hadits merupakan sumber dari segala sumber hukum yang lengkap yang
memuat berbagai kaidah dan norma serta nilai-nilai hukum yang akan menjawab
seluruh persoalan hidup seluruh manusia. Dari kedua sumber hukum inilah umat
Islam menggali norma dan nilai-nilai hukum, serta kepada keduanya pula umat
Islam merujukkan pemecahan semua dan setiap masalan yang pemecahan/
penyelesaiannya memerlukan campur tangan hukum3.
Pengimplementasian segala norma yang dimuat dalam kedua sumber hukum
Islam tersebut berkembang melalui ijtihad-ijtihad para ahli fiqh sebagai jembatan
untuk mempermudah pemahaman dan pengimplementasian hukum Allah sesuai
dengan masanya. Jika terjadi permasalahan dalam kehidupan manusia, upaya
pencarian hukum oleh Jumhur ulama disepakati secara berurutan terhadap empat
sumber hukum 1slam dengan urutan (1) Alquran, (2) Hadits, (3) Ijma' dan terakhir
(4) Qiyas4.
Dapat disimpulkan bahwa sumber hukum dalam Islam meliputi sumber
hukum utama yaitu Alquran dan hadis, lalu penemuan hukum yang ditempuh
1 Trisadini P. Usanti dan Abd. Shomad, Hukum Perbankan,, (Surabaya : Universitas
Ailangga dan Luttansah Mediatama, 2015), h.5. 2 Raghib As-Sirjani, Sumbangan Peradaban Islam Pada Dunia, Cetakan pertama,
(Jakarta :,Pustaka al-Kautsar 2011), h.52-53, dalam judul asli Madza Qaddamal Muslimuna
lil‟Alam Islamaatu al-Muslimin fi al-Hadharah al-Insaniyah. 3 Muhammad Amin Suma, "Persinggungan Hukum Islam dengan Nilai-Nilat Hukum
Tidak Tertulis", Makalah, (Surabaya, Perpustakaan Unair, 2011), h. 35. 4 Abdul Wahab Khalaf, Ilmu Ushul Fiqh, diterjemahkan oleh Masdar Helimy,
(Bandung :Gema Risalah Pers 2003), h. 36.
2
dengan cara penemuan berdasar pada pendapat fuqaha (baik ijma (konsensus)
maupun qiyas (deduksi analogis)5.
Isu syariah sebagai jalan keluar dari berbagai krisis sebenarnya bukan sesuatu
hal yang baru bagi setiap manusia yang mau memahaminya. Namun tidak semua
yang beragama Islam menyadari dan memahami bahwa Islam telah memuat
berbagai solusi atas setiap persoalan hidup manusia. Sebagai Kalamullah yang
begitu lengkap, hrman Allah dalam surat Al-Kahfi (18): ayat 109 telah
menggambarkan betapa lengkap dan mendalamnya wanyu Allah dan aturan yang
dibuat oleh Allah, sebagaimana artinya: "Katakanlah (Ya Muhammad) kalau
sekiranya lautan menjadi tinta untuk menulis) kalimat-kalimat Tuhan-ku, sungguh
habislah lautan itu sebelum habis (ditulis) kalimat-kalimat Tuhan-ku, meskipun
kami datangkan tambahan (lautan) sebanyak itu (pula)6.
Penerapan hukum Islam dalam kegiatan muamalat bukan hanya dilaksanakan
oleh para pemeluk agama Islam saja, tetapi juga telah diterapkan dalam berbagai
aktivitas ekonomi baik oleh pelaku ekonomi Muslim maupun Non-Muslim, seperti
praktik perbankan.
Implementasi hukum Islam dalam praktik perbankan mulai mendapat
sambutan dan dukungan dari berbagai pihak dan sebagai upaya meningkatkan
perekonomian bangsa melalui lembaga perbankan dengan menerapkan prinsip
perbankan yang berbasis ekonomi syariah dalam pelaksanaannya. Hal tersebut
terlihat dari fakta yang menunjukkan pertumbuhan dan perkembangan lembaga
perbankan syariah mengalami kemajuan yang sangat pesat, baik di dunia
internasional maupun di lndonesia. Konsep perbankan dan keuangan lslam yang
memiliki prinsip-prinsip universal telah diakui mencerminkan nilai-nilai keadilan,
kejujuran dan transparansi serta tanggung jawab melalui sistem bagi hasilnya. Dua
pilar kembar yang diperjuangkan oleh perbankan Islam adalah pendanaan dengan
instrumen bagi hasil dan financing dengan menggunakan konsep mudharabah dan
musyarakah7.
Hubungan antara perbankan syariah dan krisis keuangan menjadi fokus utama
para peneliti dan pelaku industri di bidang keuangan setelah terjadinya krisis
keuangan global pada tahun 2008 lalu. Performa perbankan syariah yang lebih stabil
ketika dihadapkan pada guncangan di sektor keuangan menjadikan bank syariah
sebagai alternatitfyang lebih menarik dibandingkan perbankan konvensional. Salah
Satu argumen menjelaskan bahwa perbedaan dari tipe aset yang dimiliki oleh Bank
Syariah dan bank konvensional menjadi kunci dari resiliensi perbankan syariah pada
5 Mervyn K.Lewis & latita M. Al Gaoud, Perbankan Syariah, Prinsip Praktik dan
Konsep, (Jakarta : Serambi llmu Semesta,2009,) h. 34-36. 6 Alquran dan terjemahnya, Yayasan Penyelenggaraan Penterjemah / Pentatsir Al
Quran, cetakan Mujamma Khadim Al Haramain Asy Syarifain Al Malik Fahd Li Thiba‟at Al
Mush-haf asy Syarif, (Madinah, 1991) h. 459. 7 Chandra Setiawan, "Haruskah Sistem Keuangan dan Perbankan Islam Berintegrasi
dalam Sistem Keuangan dan Perbankan Global", Majalah Ekonomi Syariah, vol. 8, No 1
1430 H (tahun 2011), h.3.
3
saat krisis keuangan global8. Demikian juga dengan pertumbuhan Lembaga
Keuangan Syariah yang tumbuh dan berkembang dengan cepat di Indonesia,
sebagaimana dalam tabel sebagai berikut :
Tabel :1.1
DATA PERBANKAN SYARIAH DI INDONESIA
TAHUN 2017 s/d 2021 Januari BUS/Shariah
Commercial
2017 2018 2019 2020 2021
Total Asset (dalam
Milyar Rupiah)
2.88.027 316.691 350.364 397.073 395.476
Jumlah Bank 13 14 14 14 14
Jumlah Kantor 1825 1875 1919 2034 2035
UUS/Syariah
Business Unit Total
Asset
136.154 160.636 174.200 196.876 190.505
Jumlah Bank
konvensional yang
memiliki UUS
21 20 20 20 20
Jumlah kantor UUS 334 354 381 392 351
Total Aset BUS
UUS
424.181 477.327 524.564 593.948 586.041
Total Kantor BUS
& UUS
2169.301 2229 2300 2426 2386
BPRS 2017 2018 2019 2020 2021
Jumlah Bank 167 167 164 163 163
Jumlah Kantor 441 495 617 631 624
Sumber : Otoritas Jasa Keuangan, Statistik Perbankan Syariah, Januari 2021
Berbeda dengan perbankan konvensional, bank syariah mempunyai batasan
yang lebih ketat perihal tipe produk dan sasaran kegatan penyaluran dana kepada
8 IME Working l'aper, The Effects of the Global Crisis on Islamic and Conventional
Banking A Comparative Study, September 2014, h.6.
4
masyarakat9. Bank syariah tidak diperbolehkan untuk terlibat dalam investasi aset
derivatif (aset derivatif adalah sekuritas yang menyediakan hasil yang bergantung
pada atau bersyarat atas nilai aset lain semisal harga komoditas, harga obligasi dan
saham, atau nilai indeks pasar10
) karena produk-produk tersebut lebih sering
digunakan sebagai alat spekulasi, sehingga mengandung unsur maysir (judi), dan
gharar (transaksi yang tidak jelas). Hal ini menjadi salah satu faktor utama yang
membuat perbankan syariah lebih terlindung dari efek krisis keuangan global,
terutama karena penggunaan produk derivatit yang berlebihan menjadi salah satu
pemicu krisis keuangan global".
Konsep perbankan berbasis sistem perekonomian Islam yang awalnya hanya
merupakan diskusi teoritis, telah terealisasi dalam bentuk yang nyata dengan
semakin banyaknya berdiri bank-bank syariah baik di luar negeri maupun di
Indonesia". Gagasan awal pendirian bank Syariah di Indonesia muncul sekitar tahun
1970-an, dan kemudian terealisasi dengan didirikannya Bank Muamalat Indonesia
pada 1 November 1991 sebagai bank pertama di Indonesia yang beroperasi dengan
menggunakan prinsip-prinsip syariah"
Indonesia sebagai negara yang mayoritas pendudukanya adalah muslim,
sangat dapat dipahami jika kemudian formalisasi syariah muncul sebagai sarana
untuk memenuhi kebutuhan sebagian masyarakat lndonesta yang beragama Islam
untuk dapat menjalankan praktik muamalah sesuai dengan ajaran Islam diantaranya
adalah dalam bidang perbankan.
Salah satu perwujudannya adalah dengan diundangkannya peraturan
perundang-undangan yang khusus mengatur tentang perbankan syariah, yaitu
Undang-undang Nomor 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah (Lembaran
Negara Republik Indonesia tahun 2008 Nomor 94, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4867), selanjutnya disebut Undang-Undang Perbankan
Syariah.
Dikeluarkannya Undang-undang perbankan syariah tersebut, dinilai sebagai
salah satu aspek pendukung perkembangannya11
. Setelah sebelumnya melalui
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 (Lembaran Negara Republik Indonesia
9 Hal ini dapat dilihat dalam pembatasan kegiatan usaha bank syariah dan kewajiban
bank syariah untuk taat terhadap rambu-rambu yang dilarang dalam Islam sebagaimana
amanat Undang-undang Perbankan Syariah, antara lain:
1. dalam Pasal: 2, balhwa dalam meliakukan kegiatan usahanya wajib berasaskan
prinsip Syariah.
2. Pasal 24 ayat (1) : tentang larangan bagi Bank Umum Syariah untuk melskuksn
kegiatan usaha yang bertentangan dengan prinsip syrariah; -jual beli saham secara
langsung di pasar modal; -penyertaan modal selain yang diperbolehkan bagi bank
syariah; dan, melakukan usaha perasuransian.
3. Penjelasan Pasal 25 (a): Bahwa usaha yang dianggap bertentangan dengan pprinsip
syariah adalah usaha yang dianggap ngandung riba, maisir, gharar, haram dan
zalim. 10 Bodie, Markus, dan Kane, Manajemen Fortofolio dan Investasi, ( Jakarta,Salemba
Empat 2014), h. 4 11 Raddy N. Sasandra, " Perkembangan Perbankan Syariah Pasca Krisis 2008",
(Majalah Bank & Manajemen, edisi Juli-Agustus,) 2012, h. l3.
5
Tahun 1992 Nomor 3l, tambahan lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
3472) tentang Perbankan sebagaimana telah diubah melalui Undang Undang Nomor
10 lahun 1998 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182,
Tambahan Lembaran Negar Republik Indonesia Nomor 3790), selanjutnya disingkat
UU Nomor 10/1998, telah diatur tentang peluang bagi penyelenggaraan kegiatan
usaha dan kesempatan bagi bank umum konvensional untuk membuka kantor
cabang yang melaksanakan operasional perbankan berdasar prinsip Syariah12
.
Perbankan Syariah di Indonesia, ditempatkan sebagai suatu lembaga
intermediasi yang berupaya mewujudkan kebutuhan masyarakat dalam peningkatan
perekonomian dan kebutuhan terhadap adanya suatu lembaga yang mampu
meminimalisir larangan Isam dalam bermuamalah.
Berangkat dari sistem dan managemen perbankan konvensional, perbankan
syariah mencoba mencari berbagai terobosan untuk mentransformasi model
pembiayaan konvensional menjadi model pembiayaan yang disesuaikan dengan
ajaran agama Islam. Sebagaimana dapat tergambar dalam latar belakang
dibentuknya perbankan syariah yang tersirat dalam konsideran Undang-undang
Perbankan Syariah, yaitu:
1. Untuk mewujudkan tujuan pembangunan nasional Indonesia, yaitu
terciptanya masyarakat adil dan makmur berdasarkan demokrasi ekonomi,
dikembangkan sistem ekonomi yang berlandaskan pada nilai keadilan,
kebersamaan, pemeratan, dan kemantaatan yang sesuai dengan prinsip
syariah;
2. Kebutuhan masyarakat Indonesia akan jasa-jasa perbankan Syariah semakin
meningkat;
3. Bahwa perbankan syariah memiliki kekhususan dibandingkan dengan
perbankan konvensional; serta
4. Bahwa pengaturan mengenai perbankan syariah di dalam Undang- Undang
Nomor 7 1ahun 1992 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992
Nomor 31, lambahan lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3472)
tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang
Nomor 10 lahun 1998 (Lembaran Negara Republik lIndonesia Tahun 1998
Nomor 182, lambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3790)
tentang Perbankan belum spesifik sehingga perlu diatur secara khusus dalam
suatu undang-undang tersendiri.
Membingkai syariah dalam sebuah sistem yang telah lebih dulu dijalankan
oleh perbankan konvensional bukanlah sesuatu yang mudah. Pelaksanaan
operasional maupun regulasi yang mewadahi hidupnya perbankan Syariah di tanah
air ini tidak lepas dari peran besar Bank Indonesia sebagai regulator. Dukungan
Pemerintah sangat dibutuhkan untuk mengotimalkan peran perbankan syariah.
12 Hal mana terlihat dalam definisi Bank yang termuat dalam Pasal 1 ayat (2) Undang-
Undang Perbankan Syariah, bahwa Bank adalah "badan usaha yang menghimpun dana dari
masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk
kredit dan/atau bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan tarap hidup rakyat‖, Bank
Syariah adalah Bank yang menjalankan kegiatan usahanya berdasarkan perinsip Syariah…
6
melihat dari keberhasilan perkembangan perbankan dengan sistem Islam di negara-
negara Eropa dan limur lengah, pertumbuhan dan majunya sistem Perbankan syariah
adalah salah satunya karena adanya intervensi Negara dalam membuat kebijakan"
Bank lndonesia sebagai suatu lembaga yang pada awalnya berangkat dart
model konvensional, tetap harus memfasilitasi perbankan syariah dengan
meregulasikan segala sesuatu terkait perbankan syariah dalam suatu aturan khusus.
Melalui aturan khusus ini diharapkan mampu menjadi batasan dan memberikan
ruang bagi pelaksanaan perbankan dalam koridor syariah dan dapat dilaksanakan
oleh seluruh lembaga keuangan, bank maupun non bank yang berbasis syariah untuk
mewujudkan tujuan syariah dimaksud.
Perbankan syariah dalam pelaksanaannya, dituntut untuk melaksanakan
Kegiatan perbankan dalam koridor hukum Islam atau sesuai dengan prinsip-prinsip
syariah. Namun dalam system operasional bank syariah juga dibatasi oleh aturan-
aturan hukum positif, secara umum tetap mengacu pada Undang-Undang Nomor 10
Tahun 1998 Tentang Perbankan dan secara khusus mengacu pada Undang-Undang
Perbankan Syariah, serta Peraturan Perbankan dari Bank Indonesia berupa PBI
(Peraturan Bank Indonesia), SE (Surat Edaran), dan Peraturan Otoritas Jasa
Keuangan (POJK).
Berdasarkan ketentuan tersebut perbankan syariah merupakan subsistem dari
perbankan nasional, yang prosedur pendirian dan mekanisme kerjanya harus tunduk
pada ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Di sisi lain, lembaga keuangan
syariah di Indonesia telah berkembang dengan pesat, hal ini juga menyebabkan
banyak pihak ingin mengetahui perbedaan mendasar antara lembaga keuangan
syariah dengan lembaga keuangan konvensional. Salah satu perbedaan yang sering
dikemukakan oleh para ahli adalah bahwa di lembaga keuangan syariah harus ada
underlying transaction yang jelas, sehingga uang tidak boleh mendatangkan
keuntungan dengan sendirinya, tanpa ada alas transaksi, seperti jual beli yang akan
menimbulkan margin, sewa menyewa yang akan menimbulkan fee dan penyertaan
modal yang akan memperoleh bagi hasil. Dengan kata lain, perbedaan antara
lembaga keuangan syariah dengan lembaga keuangan konvensional adalah terletak
pada akad transaksinya.13
Keuangan syariah sangat menekankan pentingnya keselarasan aktivitas
keuangan dengan norma dan tuntutan syariah. Aturan terpenting dalam kegiatan
keuangan syariah adalah pelarangan riba. Para ahli fiqh menilai ini sangat kental
eksistensinya dalam akitivitas keuangan konvensional.14
Berkaitan dengan itu perlu
ada kajian yang mendalam berkenaan dengan kesesuaian syariah baik ditinjau dari
aspek kepatuhan atau ketaatan terhadap syariahnya dan juga bentuk operasionalisasi
produknya.
Dalam konteks paradigma melakukan kegiatan yang berdasarkan prinsip-
prinsip syariah maka harus tercapai kemaslahatan sebagai bagian atau bentuk
kemanfaatan yang berdimensi integral duniawi dan ukhrawi, material dan spiritual,
serta inidividual dan kolektif. Sesuatu dipandang Islam bermaslahat jika memenuhi
13 Fathurrahman Djamil, Penerapan Hukum Perjanjian dalam Transaksi di Lembaga
Keuangan Syariah , (Jakarta : Sinar Grafika, 2013), h. 3 14 Naf’an, Pembiayaan Musyarakah dan Mudharabah, (Yogyakarta, Graha Ilmu, 2017).h.22
7
dua unsur, yakni kepatuhan syariah (halal) dan bermanfaat serta membawa kebaikan
(thayyib) bagi semua aspek secara integral yang tidak menimbulkan madharat dan
merugikan pada salah satu aspek, dalam konteks ini makna kepatuhan syariah (
syariah compliance) terutama dalam bank syariah khususnya adalah penerapan
prinsip-prinsip Islam, syariah dan tradisinya dalam transaksi keuangan dan
perbankan serta bisnis lainnya yang terkait. 15
selain itu ada pendapat lain tentang
tentang syariah compliance ini yaitu dikatakan bahwa syariah compliance adalah
salah satu indikator pengungkapan islami untuk menjamin kepatuhan bank Islam
terhadap prinsip syariah.16
Hal ini berarti bahwa syariah compliance sebagai bentuk
pertanggungjawaban pihak bank dalam pengungkapan kepatuhan bank terhadap
prinsip syariah. Kepatuhan syariah (syariah compliance) merupakan manifestasi
pemenuhan seluruh prinsip syariah dalam lembaga yang memiliki wujud
karakteristik, integritas dan kredibitas di bank syariah, budaya kepatuhan tersebut
adalah nilai, perilaku dan tindakan yang mendukung terciptanya kepatuhan bank
syariah terhadap ketentuan yang berlaku. Menurut Adrian Sutedi makna kepatuhan
syariah secara operasional adalah kepatuhan kepada fatwa Dewan Syariah Nasional
(DSN) karena fatwa DSN merupakan perwujudan prinsip dan aturan syariah yang
harus ditaati dalam perbankan syariah.17
Prinsip utama bank syariah tercermin dalam
produk-produk yang dihasilkannya yaitu bebas bunga dengan menggunakan prinsip
bagi hasil..
Kepatuhan syariah tersebut secara konsisten dijadikan sebagai kerangka kerja
bagi sistem dan keuangan bank syariah dalam alokasi sumber daya, manajemen,
produksi, aktivitas, pasar modal, dan distribusi kekayaan. 18
Kepatuhan terhadap
prinsip syariah ini berimbas kepada semua hal dalam industri perbankan syariah
terutama dalam produk dan transaksinya. Kepatuhan syariah dalam operasional bank
syariah tidak hanya meliputi produk saja,akan tetapi meliputi sistem, tekhnik dan
identitas perusahaan. Oleh karena itu, budaya perusahaan, yang meliputi pakaian,
dekorasi , dan image perusahaan juga merupakan salah satu aspek kepatuhan syariah
dalam bank syariah yang bertujuan untuk menciptakan suatu moralitas dan spiritual
kolektif, yang apabila digabungkan dengan produksi barang dan jasa, maka akan
menopang kemajuan dan pertumbuhan jalan hidup yang islami.19
Bank Syariah dapat dikatakan telah memenuhi kepatuhan pada prinsip-prinsip
syariah (syariah compliance) apabila dalam transaksi dan kegiatan usahanya tidak
mengandung unsur riba, gharar, dan maisir, menjalankan bisnis yang berbasis pada
15 Zainal Arifin, dasar-dasar Manajemen bank syariah, (Tanggerang, Aztera Publisher, 2011) h. 2 16 Ansori, pengungkapan Syariah Compliance dan Kepatuhan Bank Syariah terhadap prinsip-prinsip syariah, Jurnal Dinamika, vol 3.. No.2 Maret 2019. 17 Andrian Sutedi, Perbankan Syariah,Tinjauan dan beberapa Segi Hukum. (jakarta : Ghalia Indonesia, 2011) h. 145 18 Andrian Sutedi, Perbankan Syariah Tinjauan dan Beberapa Segi Hukum, h. 145, lihat juga : Siti Maria Wardayati, Implikasi Syariah Governance terhadap Reputasi dan Kepercayaan Bank Syariah, dalam jurnal Walisongo Vol.19.No.1 Mei 2018.h.3 19 Sutedi, Perbankan Syariah..., h. 145
8
keuntungan halal, menjalankan amanah yang dipercayakan kepada nasabah pada
bank dan mengelola zakat, infak dan shadaqah dengan amanah.20
Jaminan kepatuhan syariah ( syariah compliance assurunce) atas keseluruhan
aktivitas bank syariah merupakan hal yang sangat penting bagi nasabah dan
masyarakat. Beberapa ketentuan yang dapat digunakan sebagai ukuran secara
kualitatif untuk menilai ketaatan syariah yaitu misalkan tentang akad atau kontrak
yang digunakan untuk pengumpulan dan penyaluran dana sesuai dengan prinsip-
prinsip syariah dan aturan yang berlaku, termasuk harus terpenuhinya rukun dan
syarat, tidak melanggar prinsip-prinsip yang diatur dalam akad, seluruh transaksi
dan aktivitas ekonomi dilaporkan secara wajar sesuai dengan standar akuntansi
syariah yang berlaku dan aspek lainnya termasuk corporate culture yang harus
sesuai denga nilai-nilai syariah.
Pemahaman yang dapat diambil dari beberapa defnisi tersebut di atas bahwa
kepatuhan syariah (syariah compliance) merupakan pelaksanan secara keseluruhan
terhadap nilai-nilai syariah di lembaga keuangan syariah (dalam hal ini perbankan
syariah) yang menjadikan fatwa DSN-MUI dan regulasi lainnya sebagai alat ukur
pemenuhan prinsip syariah, baik dalam produk, transaksi dan operasional di bank
syariah.
Eksistensi bank syariah harus memiliki warna yang berbeda dengan bank
konvensional, bank syariah harus benar-benar bisa meyakinkan kepada umat muslim
bahwa bank syariah bebas riba dan transaksi-transaksi yang mengarah pada riba,
baik dalam akad maupun produknya. bank syariah harus menjadi pilihan bukan
alternatif bagi umat muslim. Karena pada hakikatnya apabila sudah ada lembaga
keuangan yang syariah yang bebas dari riba, maka kaum muslimin wajib untuk
berhijrah dari lembaga keuangan konvensional menuju lembaga keuangan syariah
termasuk perbankan syariah. Hal ini, menjadi penting agar bank syariah bisa tumbuh
dan berkembang secara pesat.
Sistem ekonomi berdasarkan prinsip syariah tidak hanya merupakan sarana
untuk menjaga keseimbangan kehidupan ekonomi, tetapi juga merupakan sarana
untuk merealokasi sumber-sumber daya kepada orang-orang yang berhak menurut
syariah sehingga dengan demikian tujuan efisiensi ekonomi dan keadilan dapat
dicapai secara bersama-sama.21
Sebenarnya upaya-upaya bank syariah dalam mematuhi prinsip-prinsip
syariah telah ditempuh dengan baik. Hal ini, didasarkan pada regulasi-regulasi
tentang aturan kepatuhan terhadap prinsip-prinsip syariah. Di antaranya adalah
Undang-Undang Perbankan No. 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah pada
pasal 722
menegaskan bahwa Bank Syariah adalah bank yang melaksanakan kegiatan
usahanya berdasarkan prinsip syariah. Hal senada juga diatur dalam Undang-
20 Siti Maria Wardayati, Implikasi Syariah Governance terhadap Reputasi dan Kepercayaan Bank Syariah, dalam jurnal Walisongo Vol.19.No.1. Mei.2019.h. 8 21 Fathurrahman Djamil, Hukum Ekonomi Islam, Sejarah, Teori, dan konsep, (Jakarta :Sinar
Grafika, 2013), h. 17. 22 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2008, Tentang Perbankan Syariah,
Pasal 7, h. 8.
9
Undang No. 40 Tahun 200723
Tentang Perseroan Terbatas pada pasal 109 bahwa: (1)
Perseroan yang menjalankan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah selain
mempunyai Dewan Komisaris wajib mempunyai Dewan Pengawas Syariah. (2)
Dewan Pengawas Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas seorang
ahli syariah atau lebih yang diangkat oleh RUPS atas rekomendasi Majelis Ulama
Indonesia. (3) Dewan Pengawas Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
bertugas memberikan nasihat dan saran kepada Direksi serta mengawasi kegiatan
Perseroan agar sesuai dengan prinsip syariah. Peraturan Bank Indonesia No. 15
Tahun 2013 Tentang Bank Umum Syariah pada pasal 9 juga menjelaskan bahwa
Bank Syariah dalam menjalankan kegiatannya harus berdasarkan prinsip syariah.
Selanjutnya bank syariah dalam praktiknya juga didukung oleh fatwa Dewan
Syariah Nasional, Majelis Ulama Indonesia yang membahas terkait dengan regulasi
atau aturan-aturan perbankan syariah, dan secara internal kelembagaan lembaga
keuangan syariah pengawasan juga dilakukan oleh Dewan Pengawas Syariah.
Namun hal, tersebut tersebut masih dirasakan belum efektif, karena dalam praktik
operasionalnya bank syariah memiliki sistem yang berbeda dengan lembaga
keuangan syariah lainnya dalam memerankan tugas dan fungsinya dalam mengelola
dana nasabah.
Masalah yang terkait dengan muamalah telah diatur secara gamblang dan jelas
oleh Islam, karena muamalah merupakan hal yang sangat sensitif apabila tidak
diperhatikan secara detail. Seperti dalam urusan utang-piutang syariah telah
mengatur dengan tuntas, seperti harus ditulis, disaksikan dan lain-lain agar
dikemudian hari tidak menimbulkan perselisihan di antara kedua belah pihak. Dan
Allah SWT, telah menyerukan kepada hamba-hambanya yang beriman untuk
menepati janji-janjinya.
Berdirinya bank syariah didasarkan pada syariat Islam dan kenyataan-
kenyataan yang ada di Indonesia bahwa (1) masyarakat Indonesia mayoritas
beragama Islam, (2) meningkatnya kesadaran umat Islam untuk melaksanakan nilai-nilai
Islam sesuai ajarannya, (3) Bank Konvensional dirasakan kurang berperan secara
optimal dalam membantu memerangi kemiskinan dan memeratakan pendapatan,
karena bank dengan sistem bunga tidak memberi peluang kepada orang miskin
untuk mengembangkan usahanya lebih produktif, (4) kebijakan pemerintah di
bidang ekonomi khususnya sangat mendukung beroperasinya bank syariah, (5)
wujud bank syariah sejalan dengan orientasi pembangunan nasional di Indonesia.24
Menurut Undang-Undang No.21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah,
ditetapkan bahwa bank-bank syariah Indonesia, yang terdiri atas bank yang
sepenuhnya melaksanakan kegiatan usahanya berdasarkan prinsip syariah dan bank
konvensional yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah
melalui Unit Usaha Syariah (UUS) yang dimilikinya, tidak boleh melakukan
kegiatan usaha yang melanggar prinsip syariah. Prinsip syariah yag harus dipatuhi
oleh bank-bank syariah menurut Undang-Undang Perbankan Syariah adalah prinsip
23 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 2007, Tentang Perseroan
Terbatas, Pasal 109, h. 42. 24 Wakum Sumitro, Asas-Asas Perbankan Islam dan Lembaga-Lembaga Terkait (BAMUI &
TAKAFUL) di Indonesia, (Jakarta : PT. Grafindo Persada, 2011), h. 75-76.
10
syariah yang telah difatwakan oleh Dewan Syariah Nasional-Majelis Ulama
Indonesia yang dituangkan dalam Peratura Bank Indonesia.25
Kepatuhan terhadap prinsip syariah (syariah compliance) merupakan salah
satu dasar utama yang sangat penting. Karena hal ini sangat menentukan dalam
membangun trust (kepercayaan) kaum muslimin terhadap bank syariah. syariah
compliance menjadi pembeda yang jelas antara bank syariah dengan bank
konvensional. Dalam konteks perbankan, ini menjadi isu krusial, karena sampai saat bank
syariah dalam perspektif sebagian masyarakat masih identik mengikuti bank konvensional,
baik produk, sumber daya manusia dan operasional.26
Penerapan syariah compliance
harus didukung penuh oleh semua pihak, baik pemerintah, ulama, pelaku usaha, dan
masyarakat secara umum. Implementasi syariah compliance pada perbankan syariah di
Indonesia merupakan sebuah kewajiban yang harus dilaksanakan dengan baik.
Kepatuhan pada syariah merupakan ciri khas dari eksistensi lembaga
keuangan syariah. Untuk itulah, dalam ketentuan yang berlaku di Indonesia, setiap
lembaga yang melaksanakan kegiatan bisnis berbasis syariah, wajib terdapat Dewan
Pengawas Syariah, yang fungsi utamanya untuk mengawasi dan memastikan bahwa
transaksi di lembaga keuangan syariah tersebut sudah sesuai dengan prinsip
syariah.27
Munculnya dinamika permasalahan yang kerap tejadi terhadap prinsip syariah
biasanya disebabkan oleh berbagai macam faktor, di antaranya adalah umat muslim
yang belum terbiasa untuk berbagi risiko, artinya belum siap dengan investasi yang
kemungkinan merugi. Ekspektasi terhadap bank syariah adalah bahwa bank syariah
siap memberikan bagi hasil yang sesuai. Hampir semua nasabah bank syariah
berharap agar bank syariah menerapkan prinsip syar‟i, sehingga bebas dari riba,
menjadi sarana lalu lintas keuangan yang mampu mengakomodir kebutuhan nasabah
dengan berbagai macam sistem perbankan yang canggih dan profesional,
mengamankan uang nasabah, memberikan kontribusi bagi hasil yang signifikan,
minimal sama dengan bunga bank konvensional, maksimal lebih besar dari itu, dan
menjadi mitra usaha UMKM, maupun kerjasama proyek-proyek besar. Sehingga
keberadaan bank syariah akan mendorong perekonomian umat dan berkontribusi
terhadap pembangunan nasional. Namun demikian, harapan nasabah ini masih
terlalu sulit untuk dipenuhi, hal itu dikarenakan adanya kendala-kendala secara
regulasi keuangan maupun, permintaan pasar yang cukup sulit untuk diakomodir.28
Bank syariah menghimpun dana masyarakat dalam jumlah yang cukup besar,
kemudian bank syariah berkewajiban memberikan bagi hasil yang yang sesuai
dengan harapan, kepada nasabah, tetapi di sisi yang lain bank syariah harus memutar
dana nasabah untuk usaha-usaha halal dan produktif dengan bekerjasama dengan
pengusaha muslim yang memiliki usaha-usaha yang potensial termasuk dengan
menggunakan akad mudharabah dan musyarakah. Bank syariah juga berusaha akan
25 Sutan Remy Syahdaeini, Perbankan Syariah, Produk-produk dan Aspek-aspek Hukumnya, (Jakarta, Kencana Prenamedia, 2015), h.2 26 Sepky Septian, Tingkat Kepatuhan Syariah...,.h.60 27 Fathurrahman Djamil, Penerapan Hukum Perjanjian dalam Transaksi di Lembaga
Keuangan Syariah , Sinar Grafika, Jakarta, 2013, h. 3 28 Sepky Septian, Tingkat Kepatuhan Syariah...,.h.60
11
meminta bagi hasil kepada para pengelola usaha dengan jumlah di bawah bunga
bank konvensional. Sehingga dengan demikian bank syariah akan mendapatkan
untung yang maksimal dari pengelola usaha, kemudian pengelola usaha juga
mendapatkan manfaat dengan adanya fasilitas pembiayaan modal kerja sehingga
bisa terus mengembangkan usahanya, dan bank syariah akhirnya mampu
memberikan bagi hasil yang sesuai kepada nasabah, dan bank syariah sendiri
mendapat keuntungan untuk membiayai manajemennya. Sehingga kepercayaan
nasabah meningkat, bank syariah terus berkembang, usaha kecil, mikro, dan
menengah semakin sehat dan bergairah, dan perekonomian ummat semakin maju.
Namun pada praktiknya tidak demikian.
Musyarakah sendiri menurut dewan syariah nasional adalah pembiayaan
berdasarkan akad kerja sama antara dua pihak atau lebih dalam suatu usaha tertentu,
di mana masing-masing pihak memberikan kontribusi dengan ketentuan bahwa
keuntungan dan risiko akan ditanggung bersama sesuai dengan kesepakatan.29
Sedangkan menurut Bank Indonesia, adalah akad kerja sama usaha patungan antara
dua pihak atau lebih pemilik modal untuk membiayai suatu jenis usaha halal dan
produktif. Pendapatan atau keuntungan dibagi sesuai dengan nisbah yang sudah
disepakati.
Aplikasi musyarakah dapat digunakan oleh lembaga keuangan syariah
misalnya dalam pembiayaan proyek dan modal ventura. Dalam pembiayaan proyek
nasabah dan bank sama-sama menyediakan dana untuk membiayai suatu proyek
tertentu. Setelah proyek itu selesai, nasabah mengembalikan dana tersebut bersama
bagi hasilnya yang telah disepakati dengan pihak LKS. Sementara dalam modal
ventura, penanaman modal dilakukan untuk jangka waktu tertentu, dan setelah itu
bank melakukan divestasi , baik secara singkat atau sekaligus, maupun bertahap.30
Sedangkan mudharabah secara teknis adalah kerjasama usaha antara dua
pihak (shahib al-mal) menyediakan seluruh modal, sedangkan pihak lainnya
menjadi pengelola (mudharib). Keuntungan usaha di bagi menurut kesepakatan yang
dituangkan dalam kontrak, sedangkan kerugian ditanggung secara proporsional dari
jumlah modal, yaitu pemilik modal. Kerugian yang timbul disebabkan oleh
kecurangan atau kelalaian si pengelola, maka si pengelola harus bertanggung jawab
atas kerugian tersebut.31
Aplikasi di lembaga keuangan syariah dalam konteks
pembiayaan dipakai dalam bentuk pembiayaan modal kerja, pembiayaan investasi
dan pembiayaan investasi khusus.32
29 Fatwa DSN No. 08/DSN-MUI/IV/2000 30
Djamil, Penerapan Hukum Perjanjian,... h.6. 31
Fathurrahman Djamil, Penerapan Hukum Perjanjian ……, h. 173-174. 32
Veithzal Rivai dan Andria Permata Veithzal, Islamic Financial Management: Teori,
konsep, dan Aplikasi Panduan Praktis untuk Lembaga Keuangan, Nasabah, Praktisi dan
Mahasiswa, (Jakarta, Rajawali Pers, 2008), h. 123.
12
Tabel : 1.2
Total Pembiayaan Bagi Hasil/Profit Sharing Financing Pada Perbankan
Syariah di Indonesia
Pembiayaan Tahun
2017 2018 2019 2020 2021
1. Mudharabah 17.090 15.866 13.779 11.854 11.474
2. Musyarakah 17.090 15.866 13.779 11.854 11.474
Sumber : Otoritas Jasa Keuangan : Statistik Perbankan Syariah, Januari 2021
Syariah compliance hadir untuk mendorong perbankan syariah di Indonesia
agar mematuhi aturan syariah dan targetnya adalah terbebas dari riba, gharar,
maysir, dan hal-hal yang menyimpang lainnya. syariah compliance tidak bekerja
untuk menilai salah dan benar bank syariah saja, tetapi bertujuan untuk memberi
masukan-masukan solutif kepada bank syariah. Syariah compliance tidak hanya
diterapkan di Indonesia saja, tetapi juga diterapkan di negara-negara lain, seperti,
Malaysia, Pakistan, Yordania, London dan negara-negara yang memiliki bank
syariah. Syariah compliance merupakan sebuah bentuk perhatian yang diberikan
pemerintah dan masyarakat terhadap bank syariah. Agar bank syariah kedepannya
benar-benar tampil di tengah-tengah masyarakat dengan performa yang kaffah..33
Musyarakah dan mudharabah merupakan pembiayaan bagi hasil yang bersifat
produktif. Seharunya akad-akad pembiayaan yang bersifat produktif seperti
musyarakah dan mudharabah ini lebih diminati oleh masyarakat ketimbang akad-
akad yang bersifat konsumtif seperti murabahah. Pembiayaan musyarakah
memberikan benefit yang signifikan terhadap pengembangan UMKM, dapat
meningkatkan taraf hidup dan ekonomi masyarakat. Sudah saatnya masyarakat
diedukasi untuk hijrah pada usaha-usaha produktif. Hal ini senada dengan pendapat
Ma‘ruf Amin34
, bahwa ada beberapa manfaat dari pembiayaan mudharabah dan
musyarakah, (1) akan menggairahkan sektor riil, (2) investasi akan meningkat, (3)
terbukanya lapangan kerja baru, (4) mendorong tumbuhnya investor, dan lain-lain.
Seandainya kaum muslimin berkecukupan, makmur dan sejahtera niscaya
hartanya akan banyak terdistribusi kepada saudara-saudaranya yang membutuhkan.
Tentunya hal ini yang harus menjadi harapan dan cita-cita besar. Sebab sebanyak
apapun harta yang melimpah di tangan kaum muslimin akan bermanfaat untuk
kemaslahatan umat. Sebaliknya jika harta yang melimpah berada di tangan orang-
orang kafir yang tidak bertanggung jawab, tentunya akan mengancam dan
membahayakan kehidupan kaum muslimin. Dibukanya pembiayaan-pembiayaan
bagi hasil di seluruh bank syariah seharusnya menjadi angin segar bagi pengusaha
muslim untuk mengembangkan usahanya. Tetapi yang harus diperhatikan di sini
adalah bahwa Bank Syariah dan nasabah harus sama-sama cakap hukum. Paham
33 Veithzal Rivai dan Andria Permata Veithzal, Islamic Financial Managemement..., h. 124.
dengan prinsip-prinsip syariah dalam bermuamalah serta tunduk dan patuh terhadap
prinsip-prinsip tersebut.. Dan usaha yang bersifat kemitraan ini juga merupakan
upaya saling ber ta‘awun dalam kebaikan dan taqwa.
Dalam melakukan kerjasama, kedua belah pihak dituntut untuk memahami
maqashid al-syariah yang merupakan prinsip-prinsip dasar dalam bermuamalah.
Lebih baik lagi untuk memperkuat sosialisasi dan literasi, jika dipandang perlu
perbankan syariah dapat menyediakan buku panduan atau pedoman kepada para
nasabah dan masyarakat untuk mempelajari syariah dalam muamalah. Karena
sampai saat ini usaha untuk mengedukasi masyarakat dengan prinsip-prinsip syariah
masih terasa sangat minim sekali atau dirasa masih sangat kurang. Maka, wajar jika
masyarakat secara umum tidak paham dengan prinsip-prinsip syariah. Dan akhirnya
tidak cakap hukum sehingga akan menghambat kerjasama pembiayaan syariah yang
akan menimbulkan salah persepsi dan silang sengketa akibat ketidakpahaman. Fiqh
muamalah bukanlah ilmu yang sulit dipelajari, tapi justru sebaliknya lebih simpel
dan lebih mudah. Apabila bank syariah selalu memberikan edukasi secara intens
kepada masyarakat maka mereka akan paham dengan jangka waktu yang relatif
singkat. Kepahaman masyarakat terhadap syariah merupakan ilmu yang wajib
dipelajari. Karena jika seorang muslim tidak paham dengan prinsip-prinsip syariah
dalam bermuamalah maka niscaya ia akan terjebak dalam riba, gharar, maysir, dan
kedzaliman lainnya dalam bertransaksi. 35
Sistem perbankan yang dioperasikan oleh bank syariah juga harus dijelaskan
secara detail kepada nasabah, agar mereka tahu secara persis praktik-praktik
pembiayaan musyarakah dan mudharabah yang sedang diterapkan termasuk juga
sisi kesesuaian syariah yang digunakan. Sebenarnya kerjasama musyarakah dan juga
mudharabah secara teori dan praktik sangat sederhana. Tetapi, dalam praktiknya
memang harus dilengkapi lagi dengan aturan-aturan yang mengikat kedua belah
pihak. Misalkan aturan yang terkait dengan laporan keuangan yang menyatakan
biaya-biaya sebenarnya bisa dibatasi, karena jika estimasi suatu usaha itu berbiaya
tinggi maka keuntungan yang diperoleh akan sedikit. Untuk itu, masih
memungkinkan dilakukan efisiensi terhadap biaya-biaya. Dan biaya-biaya itu sendiri
sebenarnya merupakan beban kebutuhan dana yang harus dikeluarkan untuk
mencapai sebuah keuntungan. Karena setiap usaha yang maju pasti didukung
dengan biaya yang sesuai. 36
35 Eva Muzlifah, Maqashid al-syariah sebagai paradigma dasar ekonomi Islam, dalam Jurnal Ekonomi dan Hukum Islam, no 2. 2015. h.75 36 Muzlifah,” Maqashid al-syariah...” h.75
14
B. Permasalahan
1. Identifikasi Masalah Dari latar belakang masalah di atas ada delapan permasalahan yang dapat
diidentifikasi, yaitu:
a. Seharusnya pembiayaan musyarakah dan mudharabah apabila diterapkan dengan
syariah diharapkan mampu mengembangkan usaha kecil, mikro, dan
menengah yang berkontribusi pada Pembangunan ekonomi nasional.
b. Bank syariah kesulitan untuk mendapatkan laporan keuangan bulanan dari
pengelola usaha sehingga bank syariah menentukan bagi hasil yang bersifat
(flat) tetap.
c. Bank syariah menerapkan sistem bagi hasil kepada masyarakat dengan
istilah revenue sharing yaitu sistem bagi hasil yang dihitung dari total
pendapatan pengelolaan dan tanpa dikurangi dengan biaya pengelolaan
dana. Sistem ini memang menguntungkan bank syariah tapi banyak
merugikan pengelola usaha karena pengelola usaha harus menanggung
sendiri biaya pengelolaan usaha, kemudian sistem ini juga menetapkan bagi
hasil di awal akad perjanjian dengan jumlah tetap, sistem ini tidak
mendasarkan bagi hasil pada untung rugi, sehingga apabila pengelola usaha
mengalami kerugian ia tetap harus membayar bagi hasil flat setiap bulan.
d. Legalitas sistem revenue sharing berdasarkan fatwa DSN MUI No. 15
Tahun 2000, tidak menjelaskan secara aplikatif tentang penerapan sistem ini
di lapangan. Sebenarnya sistem revenue sharing adalah salah satu sistem
yang diperbolehkan oleh DSN selain sistem profit sharing.
e. Bank syariah memiliki kendala keterbatasan SDM pengawas syariah, jika di
setiap cabang harus ada pengawas syariah. Sehingga mengakibatkan
pengawasan syariah ditingkat cabang sulit dilakukan, dan fungsi DPS masih
dirasakan kurang maksimal.
f. Sistem profit sharing dianggap sangat sulit untuk diterapkan oleh bank
syariah karena bank syariah berasumsi akan mendapatkan nilai bagi hasil
yang kecil, sehingga tidak mampu membayar kontribusi bagi hasil pada para
nasabahnya dan dikhawatirkan akhirnya bangkrut, karena biaya pengelolaan
usaha ditanggung bersama, kemudian bagi hasil yang didasarkan pada
untung dan rugi tidak memiliki kepastian keuntungan yang jelas, bahkan
akan menjadi celah atau alasan bagi pengelola usaha untuk membuat
laporan keuangan yang cenderung rugi sehingga tidak perlu ada bagi hasil.
g. Masih minimnya edukasi dan literasi tentang prinsip-prinsip syariah dalam
muamalah kepada masyarakat yang mengakibatkan seseorang atau perusahaan
yang akan bekerja sama pembiayaan dengan bank syariah tidak cakap
hukum.
h. Pentingnya diterapkan transparansi kepada publik dalam pengelolaan
lembaga keuangan syariah.
15
2. Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian-uraian di atas pertanyaan yang akan dirumuskan dalam
penelitian ini adalah:
(1) Bagaimana implementasi pembiayaan musyarakah dan mudharabah
pada lembaga keuangan syariah di Indonesia?
(2) Bagaimana mekanisme lembaga keuangan syariah dalam mendukung
implementasi syariah compliance pada lembaga keuangan syariah di
Indonesia?
(3) Bagaimana kesesuaian syariah (syariah compliance) pada pembiayaan
musyarakah dan mudharabah pada perbankan syariah Indonesia?
3. Pembatasan Masalah Pada penelitian ini masalah di batasi pada satu pertanyaan mayor, yaitu: (1)
Bagaimana kepatuhan bank syariah terhadap prinsip syariah dan kesesuaian syariah
dalam praktik pembiayaan musyarakah dan mudharabah? Kemudian yang menjadi dua
pertanyaan minor, yaitu: (2) Apakah internal Bank Syariah menjalankan syariah
compliance sebgai bentuk kepatuhan sesuai dengan peraturan yang berlaku (3)
Apakah sistem dan mekanisme bank syariah mendukung pelaksanaan kepatuhan
syariah secara kaffah dalam praktik pembiayaan musyarakah dan mudharabah?
Secara konseptual masalah dibatasi pada Kepatuhan bank syariah terhadap
prinsip syariah pada pembiayaan musyarakah dan mudharabah. Penelitian lapangan
pada penelitian ini juga hanya dibatasi pada dua bank syariah yaitu bank Muamalat
Indonesia dan BJB Syariah.
C. Tujuan Penelitian
1. Menganalisis pelaksanaan pembiayaan musyarakah dan mudharabah pada
lembaga keuangan syariah di Indonesia.
2. Menganalisis mekanisme lembaga keuangan syariah dalam mendukung
implementasi syariah compliance pada lembaga keuangan syariah di
Indonesia..
3. Menganalisis bagaimana kesesuaian syariah ( syariah compliance) pada
pembiayaan musyarakah dan mudharabah di perbankan syariah Indonesia.
D. Signifikansi Dan Manfaat Penelitian 1. Disertasi ini akan memberikan gambaran yang utuh dan tuntas tentang
praktik pembiayaan musyarakah dan mudharabah yang terjadi pada
Perbankan Syariah di Indonesia dikaitkan dengan kepatuhan terhadap
syariah dan kesesuain terhadap prinsip-prinsip syariah.
2. Disertasi ini diharapkan dapat memberikan masukan agar adanya konsep
yang jelas dalam mendukung implementasi syariah compliance pada
lembaga keuangan syariah di Indonesia
3. Bagi akademisi penelitian ini tentunya sangat berguna untuk dapat dijadikan
acuan dalam penerapan akad musyarakah serta akad mudharabah yang sesuai
dengan prinsip syariah compliance dan implementasinya di perbankan
syariah dan lembaga keuangan syariah lainnya.
16
E. Penelitian Terdahulu Yang Relevan Muhasabah Keuangan Syariah oleh Muhammad Nizarul Alim.
37 Tulisan ini
membahas tentang: kesenjangan ekspektasi para nasabah dalam praktik pembiayaan
musyarakah, hanya saja tidak dibahas konsep syariah compliance dalam perbankan
syariah.
Penerapan Akad Musyarakah Pada Pembiayaan Hunian Syariah di Bank
Muamalat Indonesia oleh Amalia Nur Adina.38
Hasil penelitian menyimpulkan
sejumlah keluhan yang disampaikan oleh nasabah terkait persyaratan pembiayaan yang
sulit, biaya realisasi dan administrasi yang cukup tinggi, dan pihak bank syariah yang
kurang memperhatikan kemampuan nasabah. Penelitian ini juga tidak membahas tentang
konsep hifdzul maal dalam perbankan syariah di Indonesia.
Dimensi Syariah Compliance Pada Operasional Bank Syariah,oleh Miti
Yarmunida, penelitian ini membahas tentang keharusan bank syariah tunduk dan
patuh pada prinsip-prinsip syariah (syariah compliance). Secara garis besar ada
tujuh dimensi syariah compliance dalam operasional bank syariah sebagai berikut,
1) tidak mengandung unsur riba, 2) terhindar dari bai‟ al-inah, 3) tidak mengandung
gharar, 4) tidak mengandung maisir. 5) bisnis yang dijalankan berbasis pada
keuntungan yang halal. 6) menjalankan amanah yang dipercayakan nasabah pada
bank. 7) mengelola zakat, infak dan shadaqah sesuai dengan syariah 39 Penelitian ini
lebih terfokus kepada ketaatan syariah yang mutlak harus dilaksanakan, penelitian
ini belum terfokus kepada aspek kepatuhan dalam bentuk pembiayaan musyarakah
dan mudharabah.
Tingka Kepatuhan Syariah di Lembaga Keuangan Syariah, oeh Sepky
Mardian dalam Jurnal Akuntansi dan keuangan Islam Vol 3. No 1, Desember 2016.
Penelitian ini membahas kepatuhan bank syariah di lembaga keuangan syariah
terutama berkenaan dengan peran DPS yang dibeberapa lembaga keuangan
dirasakan belum maksimal, penelitian ini membahas isu-isu yang masih terbatas
pada independensi DPS, kompetensi dan audit pada lembaga keuangan syariah yang
juga dirasakan masih belum maksimal.
Shari‟ah Compliance In Islamic Banking An Empirical Study On Selected
Islamic Banks In Bangladesh, Hafij Ullah, Department of Business Administration,
Faculty of Business Studies, International Islamic University Chittagong, Bangladesh,
2014.40
Dalam penelitian ini, ditemukan bahwa banyak sekali Bank Syariah yang
melanggar prinsip syariah, padahal dukungan umat Muslim di sana terhadap Bank
Syariah dalam mematuhi prinsip syariah sangat kuat. Sehingga kalau hal ini bisa
37 Muhammad Nizarul Alim, Muhasabah Keuangan Syariah, PT. Aqwam Media
Profetika, Kartasura, Solo, 2011. 38 Amalia Nur Adina, Penerapan Akad Musyarakah Pada Pembiayaan Hunian Syariah
di Bank Muamalat Indonesia, Jurnal Nasional, 2012. 39 Miti Yarmunida, Dimensi Syariah Compliance Pada Operasional Bank Syariah, Al-Intaj, IAIN Bengkulu, 2018
40 Hafij Ullah, Shari‟ah Compliance In Islamic Banking An Empirical Study On
Selected Islamic Banks In Bangladesh, International Journal, 2014.
17
dilaksanakan oleh Bank Syariah, maka perekonomian masyarakat akan berkembang
dan tingkat kepuasan nasabah pada Bank Syariah akan meningkat.
Shariah Governance In Islamic Finance: The Effects Of The Islamic
Financial Services Act 2013, Surianom Miskam, Department of Business
Management Faculty of Management and Muamalah, Kolej Universiti Islam
Antarabangsa Selangor (KUIS).41
Dalam penelitian ini, ditemukan bahwa
Kepatuhan terhadap syariah adalah fondasi yang sangat penting untuk meningkatkan
kepercayaan masyarakat pada Bank Syariah. Dalam hal ini, IFSA (The Islamic
Financial Services Act) menyediakan kerangka hukum yang komprehensif dan
secara penuh sesuai dengan syariah, dalam semua aspek baik regulasi maupun
pengawasan lembaga keuangan Islam di Malaysia. Lembaga keuangan yang tidak
patuh akan dibubarkan karena undang-undang secara khusus telah menetapkan
regulasi penegakan syariah pada lembaga keuangan Islam. Aturan hukum
menegaskan bahwa tujuan, operasi, urusan, usaha dan kegiatan yang dilaknakan
lembaga keuangan Islam harus sesuai syariah. Hal ini, bertujuan untuk memberikan
kepastian yang lebih besar pada lembaga keuangan syariah dalam rangka
membangun kepercayaan publik tentang lembaga keuangan Islam. Ini merupakan
dasar aktivasi sistem keuangan Islam di Malaysia dalam rangka memenuhi
tantangan baru dan tuntutan pembiayaan terkait dengan transformasi ekonomi
Malaysia dan dunia.
Islamic Banking and Syariah Compliance: A Product Development
Perspective, Habib Ahmed, Durham University Bussines School, the United
Kingdom, 2016.42
Esensi keuangan Islam adalah bahwa produk dan operasi
mematuhi prinsip-prinsip syariah, hal ini telah dikritik karena dianggap mengecilkan
persyaratan syariah. Dalam penelitian ini, ditemukan bahwa beberapa produk
pembiayaan telah menggunakan kontrak yang sah untuk menghasilkan akad
transaksi yang mirip dengan syariah. Tulisan ini, mengidentifikasi peran berbagai
departemen yang bermain dalam proses ini. Peremehan prinsip syariah pada produk
pembiayaan bank syariah merupakan faktor eksternal karena tidak di bawah kontrol
Bank Syariah. Untuk itu departemen syariah harus bertanggung jawab penuh dalam
memastikan bahwa produk-produk baru harus mematuhi prinsip syariah sebelum
diluncurkan di pasar.
Kepatuhan Syariah (Sharia Compliance) dalam industri keuangan syariah,
Lukman Nurhisyam, Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2018.
Dalam penelitian ini terdapat pembahasan aspek hukum dalam industri keuangan
syariah, regulasi tentang kepatuhan syariah (sharia compliance). Kepatuhan syariah
adalah bagian penting bagi industri keuangan syariah dalam segi pengelolaan
(manajemen) maupun operasionalnya. Hal itu didukung dengan mengharuskan
adanya Dewan Pengawas Syariah bagi setiap institusi keuangan berbasis syariah .
41 Surianom Miskam, Shariah Governance In Islamic Finance: The Effects Of The
Islamic Financial Services Act 2013, Department of Business Management Faculty of
Management and Muamalah, Kolej Universiti Islam Antarabangsa Selangor, Malaysia,
International Journal, 2013. 42
Habib Ahmeda,Islamic Banking and Syariah Compliance : A Product Development
Perspective, Durham University Bussines School The United Kingdom, London, 2016.
18
dewan pengawas syariah (DPS) bertugas mengawasi penerapan kontrak atau akad
apakah penerapannya sudah sesuai dengan prinsip-prinsip syariah, ataukah belum.
Penelitian ini meneliti hal yang berkaitan dengan konsep dan implementasi aturan-
aturan dalam bentuk fatwa DSN-MUI oleh Dewan Pengawas Syariah (DPS) sebagai
wujud kepatuhan syariah (sharia compliance) terhadap industri keuangan syariah,
baik bank ataupun non-bank.43
Analisis Pengungkapan Sharia Compliance Dalam Pelaksanaan Good
Corporate Governance Bank Syariah di Indonesia, oleh Dedhiana Mey Saraswati
dan Ahmad Tarmizi Lubis, Sekolah Tinggi Ekonomi Islam, SEBI. Sharia
Compliance merupakan key player dalam pelaksanaan Good Corporate Governance
(GCG) pada industri perbankan syariah. Penelitian ini mengungkapkan aspek Sharia
Compliance Sharia Compliance yang berkaitan dengan pelaksanaan GCG dalam
industri perbankan syariah harus memenuhi dan patuh terhadap prinsip-prinsip
syariah.44
Pelaksanaan Sharia Compliance Pada Bank Syariah, (Studi Kasus Pada
Bank Syariah Mandiri, Jakarta) Ade Sofyan Mulazid, Fakultas Ekonomi dan Bisnis
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui sistem
pengawasan kepatuhan syariah pada Bank Indonesia dan pada Dewan Pengawas
Syariah kepada Bank Syariah Mandiri, pelaksanaan fungsi kepatuhan syariah
direktur kepatuhan pada seluruh jajaran Bank Syariah Mandiri, pelaksanaan audit
internal Bank Syariah Mandiri serta peran dan tanggungjawab direktur kepatuhan
dan satuan kerja kepatuhan pada Bank Syariah Mandiri. Hasil penelitian ini
menunjukkan bahwa sistem pengawasan terhadap kepatuhan di Bank Syariah
Mandiri telah berjalan dengan baik, sementara untuk pelaksanaan audit internal
belum berjalan efektif.45
A Compliance of Islamic Banks With The Principles of Islamic Finance
(Shariah): An Empirical Survey of The Jordanian Business Firms, Sana N.
Maswadeh Jadara University, Yordania 2015.46
Dalam penelitian ini, disimpulkan
bahwa prinsip syariah pada dasarnya mengandung parameter di mana praktik
Perbankan Syariah diterapkan di Yordania. Sedangkan penghapusan transaksi
berbasis bunga adalah prinsip utama dari prinsip syariah. Di Yordania setiap
pembiayaan pada Bank Syariah berubah menjadi kepemilikan saham, dan memiliki
insentif untuk membuat kongsi kerjasama, memaksa mereka untuk membiayai usaha
yang sehat dan menghindari yang spekulatif. Lebih dari itu Bank Syariah harus
membiayai investasi produktif. Dan ditekankan setiap kerjasama harus
menguntungkan. Analisis dalam penelitian ini, menunjukkan bahwa Bank Syariah di
43
Lukman Nurhisyam, Kepatuhan Syariah (Sharia Compliance dalam Industri
Keuangan Syariah. Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta. Yogyakarta, 2018. 44
Dedhiana Mey Saraswati dan Ahmad Tarmizi Lubis, Analisis Pengungkapan
Sharia Compliance dalam pelaksanaan Good Corporate Governance Bank Syaariah di
Indonesia. Sekolah Tinggi Ekonomi Islam SEBI. 2018 45
Ade Sofyan Mulazid, Pelaksanaan Sharia Compliance pada Bank Syariah (Studi
Kasus pada Bank Syariah Mandiri, Jakarta), Jakarta. 2018 46
Sana N. Maswadeh, A Compliance Of Islamic Banks With The Principles Of
Islamic Finance (Shariah): An Empirical Survey Of The Jordanian Business Firms, Jadara
University, Jordan, 2015.
19
Yordania tidak bisa berbagi risiko kerugian dengan pihak lain dalam setiap
pembiayaan. Temuan penting lain bahwa usaha yang dibiayai oleh Bank Syariah
adalah usaha yang halal sistem keuangan bank syariah menekankan keadilan dan
menghindari pembebanan riba pinjaman. Bank Syariah di Yordania harus
menekankan perhatian pada bagi hasil berdasarkan profit and loss sharing.
Pelaksanaan Musyarakah di Bank Syariah Mandiri, kajian prinsip keadilan
dan kepatuhan syariah, Sujian Suretno, Nusa Litera Inspirasi, Cirebon, 2018.
Penelitian ini membahas pelaksanaan musyarakah di Bank Syariah Mandiri
berdasrkan kajian prinsip keadilan dan kepatuhan syariah, dalam penelitian ini
dibahas tentang aspek keadilan dan kepatuhan syariah dalam pelaksanaan
musyarakah khusunya di Bank Syariah Mandiri, penelitian ini masih terbatas pada
aspek prinsip keadilan dan kepatuhan syariah belum membahas aspek yang syariah
compliance sebagai bagian dari dimensi hukum Islam secara umum..
Fiqh Muamalah maliyyah, Akad Syirkah dan Mudharabah, Jaih Mubarok dan
Hasanudin,Simbiosa Rekatama Media, Bandung, 2017. Penelitian ini menjelaskan
tentang konsep akad Syirkah, sebagaimana dijelaskan dalam kitab-kitab fiqh, dan
hubungannya dengan konsep persekutuan dalam kitab Undang-undang Hukum
Perdata. Baik secara langsung maupun tidak, terlihat adanya hubungan konseptual
antara syirkah dan persekutuan.dalam kitab Lisan al Arab karya Ibn Manzhur,
sebagaimana dijelaskan bahwa dalam syirkah terdapat milik masing-masing mitra
yang porsinya harus jelas, baik setengahnya, sepertiganya, atau sepersepuluhnya.
Ibn Muazd membolehkan penduduk Yaman melakukan syirkah (al-isytirak),
misalnya pemilik menyerahkan hartanya kepada pihak lain untuk dijadikan modal
usaha , baik setengahnya, sepertiganya, atau porsi lainnya. Dalam praktiknya
musyarakah atau syirkah dapat digunakan oleh Lembaga keuangan Syariah dalam
pembiayaan proyek dan modal ventura. Musyarakah dapat diaplikasikan pada
perbankan syariah dalam berbagai bentuk.
Penerapan Hukum Perjanjian dalam Transaksi di lembaga Keuangan
Syariah, Fathurrahman Djamil, Sinar Grafika, Jakarta, 2015. Penelitian ini
membahas mengenai Lembaga Keuangan Syariah di Indonesia yang berkembang
pesat. Hal ini menyebabkan banyak pihak ingin mengetahui apa perbedaan
mendasar antara Lembaga keuangan Syariah dengan lembaga keuangan
konvensional. Salah satu perbedaan yang sering dikemukakan oleh para ahli adalah
bahwa di lembaga keuangan syariah harus ada underlying transaction yang jelas,
sehingga uang tidak boleh mendatangkan keuntungan dengan sendirinya, tanpa ada
alas transaksi, seperti jual beli yang akan menimbulkan margin, sewa menyewa yang
akan menimbulkan fee dan penyertaan modal yang akan memperoleh bagi hasil.
Dengan kata lain, perbedaan antara lembaga keuangan syariah dengan lembaga
keuangan konvensional adalah terletak pada akad atau transaksinya. Kaitannya
dengan syirkah dan kepatuhannya, penelitian ini menjelaskan betapa pentingnya
semua prinsip-prinsip ekonomi syariah tunduk dan patuh terhadap ketentuan-
ketentaun syariah dan perangkat lain yang mengaturnya.
20
F. Metodologi Penelitian
1. Metode Penelitian
Metode penelitian disertasi ini menggunakan metode penelitian kualitatif,
yaitu data yang dianalisis bersifat kualitatif, seperti konsep syariah compliance,
audit kepatuhan, dan lain-lain. Metode penelitian ini, juga menggunakan teknik
studi pustaka, wawancara dan diskusi dengan pihak terkait. Kemudian dengan
manajemen bank syariah, nasabah dan mitra usaha bank syariah, MUI berikut
dengan DSN, DPS terkait, serta dengan beberapa akademisi yang aktif memberikan
kontribusi yang riil dan konstruktif pada lembaga keuangan syariah. Tujuannya
adalah untuk memperoleh data yang mendukung penelitian, fakta yang ada di
lapangan dan juga mendapatkan pemahaman yang utuh dan komprehensif
sebagaimana yang termuat dalam tujuan penelitian disertasi ini.
2. Sumber Data
Secara umum sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data
primer dan data sekunder, untuk data primer bersumber dari wawancara dengan
pihak-pihak terkait. Untuk data sekunder merupakan data yang telah dipublikasikan.
Data-data tersebut berasal dari kitab-kitab ulama klasik, buku-buku ulama masa kini,
jurnal-jurnal nasional dan internasional yang membahas tentang syariah compliance,
peraturan perundang-undangan tentang Perbankan Syariah, peraturan BI, Peraturan
Penelitian ini menggunakan beberapa pendekatan yaitu pendekatan
fenomenologi, pendekatan fiqh muamalah dalam literatur klasik dan
kontemporer dan pendekatan dalam perspektik syariah compliance.
Pendekatan fenomonologi47
bertujuan untuk mengetahui objek penelitian
dari sudut pandang orang yang mengalaminya secara langsung.48
Sifat
fenomenologi tertarik dengan keseluruhan (keutuhan) objek, bukan bagian-
bagian tertentu dari sudut pandang yang beragam. Fenomenologi berakar
pada pertanyaan-pertanyaan yang langsung berhubungan dengan makna dari
fenomena yang diamati sehingga peneliti telah mendapatkan gambaran yang
utuh dan jelas dari suatu permasalahan. Pendekatan ini di pilih untuk
mengetahui latar belakang dan filosofi model perbankan syariah di Indonesia
yang merupakan lembaga intermediasi keuangan Islam.49
Pendekatan fiqh
47 Engkus Kuswarno, Fenomenologi, Konsepsi, Pedoman, dan Contoh Penelitian, (Bandung
: Widya Pajajaran 2012), Cet. 2. h. 36 48
Engkus Kuswarno, Fenomenologi, Konsepsi, Pedoman, dan Contoh Penelitian, (Bandung
: Widya Pajajaran 2012), Cet. 2. h. 36 49 Sistem kerjasama bagi hasil mudharabah (kemitraan pasif), musyarakah (kemitraan aktif),
qard al-hasan (pinjaman tanpa bunga), sistem ini telah berjalan pada zaman keemasan Islam
dan beberapa abad setelahnya. Udovitch menyebut sistem ini “ bankers without banks” lihat
21
dalam literatur klasik dan kontemporer sangat diperlukan. Konsep kerjasama
yang diterapkan di bank syariah tentunya berbeda dengan konsep fiqh pada
masa klasik yang bersifat sederhana. Sehingga produk fiqh pada masa klasik
tidak dapat diterapkan begitu saja pada bank syariah yang lebih complicated.
Akad-akad kerjasama pada bank syariah merupakan akad-akad yang berisfat
kontemporer, sehingga perlu dibuat penyesuaian dan inovasi untuk
memenuhi kontrak kerjasama antara nasabah dengan bank syariah.
G. Sistematika Pembahasan
Bahasan disertasi ini terbagi dalam enam bab.
Bab I ; Bab ini merupakan bahasan pendahuluan. bab ini, memaparkan alasan-
alasan tentang pentingnya mengungkap pembiayaan musyarakah dan mudharabah
pada bank syariah, lebih khusus lagi konsep kerjasama musyarakah dan
mudharabah pada bank syariah yang menjadi objek penelitan dalam bingkai syariah
compliance (kepatuhan terhadap prinsip syariah) pada disertasi ini. Musyarakah
adalah kerjasama dengan sistem bagi hasil. Sistem bagi hasil itu sendiri merupakan
ciri khas bank syariah, sedangkan sistem bunga merupakan ciri khas bank
konvensional. Musyarakah dan mudharabah dipilih karena lebih berorientasi ke
arah produktif. Selain itu musyarakah memiliki banyak manfaat50
, baik bagi bank
syariah maupun bagi pengelola usaha. Musyarakah dengan skema bagi hasil akan
meningkatkan trust masyarakat yang merupakan tujuan (Shariah Compliance) untuk
bergabung dengan bank syariah baik dalam kapasitas menjadi investor maupun
pengelola usaha. Dan hal ini akan mendorong transformasi dari budaya konsumtif ke
budaya produktif, yang secara tidak langsung akan meningkatkan taraf hidup
masyarakat dan perekonomian nasional.
Bab II; Bab ini akan membahas landasan filosofis akad musyarakah dan
mudharabah termasuk didalamnya memuat pandangan ulama klasik dan
kontemporer, pada bab ini di bahas pula mengenai konsep dan prinsip bagi hasil
dalam Islam, pembahasan lainnya pada bab ini terkait dengan konsep pembiayaan
musyarakah dan mudharabah dalam perspektif ekonomi Islam
Bab III; Bab ini akan membahas konsep dan perkembangan akad musyarakah
dan mudharabah pada lembaga keuangan syariah, dalam bab ini akan di bahas juga
konsep dan perkembangan akad musyarakah dan mudharabah yang meliputi
pegertian musyarakah dan mudharabah itu sendiri, rukun dan syarat musyarakah
dan mudharabah ketentuan-ketentuan khusus yang terdapat dalam musyarakah dan
mudharabah dan hal-hal lainnya yang terkait dengan akad musyarakah dan
mudharabah.
Bab IV; Bab ini akan membahas aplikasi penggunaan akad-akad musyarakah
dan mudharabah pada bab ini akan di bahas pula standar produk musyarakah dan
mudharabah pada perbankan syariah di Indonesia.
M. Umer Chapra – Tariqullah Khan, Rgulasi dan Pengawasan Bank Syariah (jakarta : Bumi
Aksara, 2016).Cet 2. h.2-3 50 Muhammad Syafii Antonio, Bank Syariah dari Teori ke Praktik, (Gema Insani-Tazkia
Cendekia, Depok, 2015), h. 93
22
Bab V; Bab ini akan membahas implementasi penerapan syariah compliance
pada perbankan syariah di Indonesia pada bab ini akan dibahas defnisi syariah
conpliance, ketentuan syariah compliance, fungsi syariah compliance terhadap
lembaga keuangan syariah, perkembangan syariah compliance di Indonesia dan
aspek pembahasan lainnya yang sesuai dengan kepatuhan syariah.
Bab VI; Bab ini merupakan penutup yang akan menyajikan kesimpulan besar
penelitian dan saran yang mendorong eksistensi konsep musyarakah dan
mudharabah pada bank syariah yang berdasarkan syariah compliance.. Saran juga
digunakan untuk mendorong penyempurnaan konsep musyarakah dan mudharabah
pada perbankan syariah agar dalam praktiknya tetsp mempertahankan eksistensi
syariah compliance secara khusus dan kesesuaian syariah secara umum.
23
BAB II
LANDASAN FILOSOFIS DAN HUKUM AKAD MUSYARAKAH DAN
MUDHARABAH
A. Bagi Hasil dalam Islam
Bagi hasil sebagai suatu sistem ekonomi sebenarnya bukan hanya milik umat
Islam saja, prinsip dan sistem ini telah dijalankan oleh berbagai pihak dan kalangan
sejak sebelum peradaban manusia berkembang seperti saat ini. Menurut Antonio,
bagi hasil adalah suatu sistem pengolahan dana dalam perekonomian Islam yakni
pembagian hasil usaha antara pemilik modal (shahibul maal) dan pengelola
(mudharib)1
Prinsip bagi hasil atau dikenal dengan istilah profit loss sharing principle
(PLS Principle) yaitu suatu prinsip yang dapat dimaknai sebagai berikut ―is a
financial mechanism thinking finance capital to industry and commerce without the
use of interest. Essentially it is a form of equity capital where lenders have a share
in the profits of the borrowers , if there are any, and are also liable to share in the
losses which are incurred during normal business practice. The share in the profits
rate of return are prespecified in the contract "2
Dalam sebuah tulisan, secara harfiah dalam konsepsi pandangan hukum
Islam, bagi hasil lebih sering dikenal dengan istilah “mudharabah”, yang dapat
disebutkan dalam sejarah merupakan akad yang telah dikenal oleh umat muslim
sejak jaman Nabi. Bahkan telah dipraktikkan oleh bangsa Arab jauh sebelum
turunnya Islam3
Model-model kemitraan bisnis berdasar atas konsep mudharabah yang
menjalankan sistem bagi hasil di Timur Tengah, pada zaman pra Islam, berjalan
berdampingan dengan konsep sistem bunga sebagai cara membiayai berbagai
aktivitas ekonomi. Sistem ini umum dilakukan oleh masyarakat Mekah dan Madinah
jauh sebelum Islam diturunkan melalui Nabi Muhammad Saw. Usaha perdagangan
mulai dilakukan dalam berbagai bentuk, serta aneka jenis organisasi usaha juga telah
mereka dirikan. Syirkah (kerja sama) dalam berbagai tipe juga dijalankan, para
pemilik modal dapat secara langsung terlibat dalam perdagangan atau hanya
sleeping partner dan dengan cara demikian mereka ikut menikmati keuntungan dan
menderita kerugian (mudharabah)4
Adapun kerja sama dengan sistem bagi hasil juga telah dipraktikan Nabi
Muhammad Saw pada masa mudanya antara usia 17 atau 18 tahun. Muhammad
menjalankan bisnisnya dengan cara menjalankan modal milik orang lain, baik
dengan mendapat upah maupun berdasarkan persetujuan bagi hasil sebagai mitra.
1 Muhammad Syafi'i Antonio, Bank syariah............. h.90 2 Abd. Shomad ......, h. 133 3 Arifin Bin Badri, Muhammad, Riba & Tinjauan Kritis Perbankan Syari'ah, Cetakan
Keempat ,Bogor : (Pustaka Darul Ilmi, 2011), h. 132. 4 Muhammad Nafik NR, Benarkah Bunga Haram? Perbandingan system bunga
dengan Bagi Hasil dan Dampaknya pada Perekonomian, Cetakan Pertama, Amanah
Pustaka, Surabaya, 2009, h.127.
24
Kerja sama bisnis masa muda Rasulullah Saw yang banyak diriwayatkan adalah
kerja sama dengan Siti Khadijah. Saat itu Khadijah mempercayakan barang
dagangannya untuk dijual ke luar negeri. Dalam hal ini Khadijah berperan sebagai
pemilik modal sedangkan Rasulullah Saw saat itu berperan sebagai pelaksana usaha.
Bentuk kerja sama antara dua pihak dimana salah satu pihak berperan sebagai
pemilik modal dan mempercayakan sejumlah modalnya untuk dikelola oleh pihak
kedua, yakni pelaksana usaha dengan tujuan untuk mendapatkan keuntungan yang
disebut dengan akad mudharabah5Mengenai keutamaan penerapan bagi hasil dalam
menjalankan usaha, sebagaimana dalam sebuah riwayat dari Shalih bin Shuhaib Ra
bahwa Rasulullah Saw bersabda, ―tiga hal yang di dalamnya terdapat keberkahan
yaitu: jual beli secara tangguh, muqaradhah (mudharabah), dan mencampur
gandum dengan tepung untuk keperluan rumah, bukan untuk dijual‖ (HR Ibnu
Majah)6
Dalam usaha dengan sistem bagi hasil, dapat ditetapkan syarat-syarat tertentu,
dan hal tersebut dibenarkan oleh Rasulullah Saw dalam riwayat Ibnu Abbas bahwa
Sayyidina Abbas bin Abdul Muthalib ―Jika memberikan dana kepada mitra
usahanya secara mudharabah ia mensyaratkan agar dananya tidak dibawa
mengarungi lautan, menuruni lembah yang berbahaya, atau membeli ternak. Jika
menyalahi peraturan tersebut yang bersangkutan bertanggung jawab atas dana
tersebut. Disampaikanlah syarat-syarat tersebut kepada Rasulullah Saw, dan
Rasulullah pun membolehkannya‖ (HR Thabrani)7
Riwayat lain menyebutkan dari Hakim bin Nizam, ―dulu beliau menyerahkan
harta untuk diusahakan sampai waktu tertentu, dan beliau memberi syarat pada mitra
usahanya agar jangan melewati dasar wadi (sungai kering), jangan membeli hewan
dan jangan dibawa di atas laut, apabila pihak pelaksana usaha (pengusaha)
melakukan satu dari ketiga hal tersebut, maka pengusaha tersebut wajib menjamin
harta (modal) tersebut. Apabila pengusahanya menyerahkan kepada yang lain, maka
dia menjamin orang yang mengerjakannya‖.
Berdasarkan pada riwayat-riwayat di atas, apabila ditinjau dari segi hukum
Islam, sesungguhnya praktik mudharabah ini dibolehkan, tidak ada secara tegas
dalil tentang mudharabah dalam Alquran maupun dalam Hadis Rasulullah Saw,
akan tetapi kesepakatan ulama tetang kehalalannya dan keberkahan serta
kemanfaatan dalam praktik bagi hasil cukup dijadikan bukti bahwa syariat
membenarkan penerapan konsep bagi hasil dalam menjalankan usaha8. Meski diakui
bahwa dalam al-Quran maupun Hadits tidak ditemui hal-hal yang bersifat teknis
seperti sistem bagi hasil secara tegas.
5 Adiwarwan Karim, Analisis Fiqh dan Keuangan Bank Islam, Rajawali Pers, Jakarta.
2004. h. 204. 6 Dalam Muhammad Nejatullah Siddiqi, Partnership and Profit Sharing in Islamic
Law, seri Ekonomi Islam no:5, diterjemahkan oleh Fakhriyah Mumtihani,( Jakarta :Dana
Bhakti Prima Yasa, 1996), h. 6. 7 Muhammad Arifin Bin Badri, h. 132. 8 Muhammad Bin Baderi, Hukum-hukum Umum Seputar Akad Jual Beli,
https://almanhaj.or.id/3269-hukum-hukum umum seputar akad jual beli, diakses pada 4
Di Indonesia, sistem bagi hasil juga banyak ditemui sejak jaman dulu, yaitu
pada bisnis pertanian, peternakan dan perdagangan9. Mukhabarah dan muzara'ah
dengan persentase 50%:50% adalah yang umum dipraktikan. Kerja sama bagi hasil
memelihara ternak dengan cara maro/paro (bagi hasil dengan nisbah 50%:50% dari
anak ternaknya atau dari selisih nilai jual dengan nilai pada saat ternak diserahkan
kepada pemeliharannya)10
.
Seiring perkembangan zaman dan peradaban manusia dengan datangnya
Islam, bagi hasil kemudian muncul sebagai suatu solusi yang dilakukan untuk
menghindari larangan Islam dalam bermuamalah khususnya larangan bertransaksi
menggunakan sistem riba. Dalam sistem bagi hasil, besaran keuntungan dalam
absolud number dan bagian para pihak dalam sebuah transaksi tidak pula diatur
dengan tegas dan pasti, karenanya ketentuanketentuan yang dibuat dalam sebuah
akad turut menentukan rambu-rambu dan dan hal-hal yang boleh dan tidak boleh.
Konsep kebersamaan (ta'awun) dalam menghadapi ketidakpastian merupakan salah
satu prinsip yang sangat mendasar dalam ekonomi Syariah yang dianggap dapat
mendukung aspek keadilan11
. Menetapkan hasil akhir sebuah kegiatan usaha diawal
kesepakatan antara para pihak yang bekerja sama sangat berpotensi untuk
membebani salah satu pihak mengingat hasil yang akan didapat dalam sebuah usaha
tidak dapat diprediksi secara pasti.
Perjanjian dibutuhkan untuk memberikan suatu kepastian. Dalam rangka
memperjanjikan ketentuan tentang pembagian hasil usaha, maka untuk membagi
keuntungan dapat diterapkan dengan berdasar pada porsi modal atau dapat pula
berdasarkan kesepakatan yang dibuat dalam perjanjian yaitu sesuai dengan nisbah
bagi hasil. Sementara untuk pembagian atas kerugian adalah ditanggung masing-
masing pihak sesuai dengan porsi modal masingmasing pihak. Perbedaan penetapan
ini dikarenakan adanya perbedaan kemampuan menyerap untung dan rugi. Untung
sebesar apapun dapat diserap oleh pihak mana saja. Sementara bila rugi, tidak semua
pihak memiliki kemampuan menyerap kerugian yang sama. Dengan demikian, bila
terjadi kerugian, besar kerugian yang ditanggung disesuaikan dengan besarnya
modal yang diinvestasikan ke dalam bisnis tersebut.12
Dalam industri Perbankan Syariah harus dapat menumbuhkan budaya bahu
membahu (sharing) dalam menghadapi ketidakpastian dalam dunia usaha13
. Namun
9 Lahirnya Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1960, merupakan bukti bahwa hadirnya
Undang-undang tersebut sebagai aturan yang mewadahi praktik bagi hasil, walaupun saat itu
praktik bagi hasil hanya terbatas pada bagi hasil dalam pertanian (antara pemilik tanah
pertanian dengan penggarap), Undang-undang Nomor 2 Tahun 1960 Tentang Perjanjian
Bagi Hasil, angka (3), Ps.1. 10 Muhammad Nafik, Benarkah Bunga Haram? Perbandingan Sistem Bunga dengan
Bagi Hasil dan Dampaknya pada Perekonomian, (Surabaya:Amanah Pustaka) h.130. 11 Hirsanuddin, Disertasi : ―Kemitraan Dalam Bisnis : Perspektif Hukum Islam (Studi
terhadap Pelaksanaan Perjanjian Pembiayaan Bisnis dengan Prinsip Mudharabah di
Perbankan Syariah)", Universitas Indonesia, Jakarta, 2005, h.187. 12 Trisadini P. Usanti, Urgensi Jaminan Pada Pembiayaan Berdasarkan Prinsip Bagi
Hasil Di Bank Syariah dalam Perkembangan Hukum Perdata Di Indonesia, (Yogyakarta:
Laksbang Grafika :2013), h.237. 13 Hirsanuddin, Kemitraan Dalam Bisnis.... h.101.
26
dalam operasional Perbankan Syariah tetap diharuskan untuk waspada terhadap
permasalahan yang rawan timbul seperti problem moral hazard dan adverse
selection. Dari sisi perilaku bankir dalam industri perbankan, moral hazard juga
berarti perilaku dimana bank menggunakan deposit yang mereka terima untuk
pembiayaan investasi pada aset-aset yang berisiko. Untuk menjaga dirinya dari
risiko likuiditas, bank memiliki capital buffer (modal penyangga) yang dapat
digunakan apabila investasi tersebut mengalami kerugian. Namun target likuiditas
bank belum tentu mempertimbangkan kepentingan depositor atau khalayak
masyarakat secara keseluruhan14
. Namun dalam praktiknya, moral hazard menjadi
isu yang membahas sehubungan dengan risiko karakter nasabah yang menerima
pembiayaan dari bank.
Hadirnya konsep bagi hasil merupakan pengejawantahan dari prinsipprinsip
dasar dalam hukum Islam yang mengakui hak manusia untuk memenuhi segala
kebutuhan dan keinginan, menghasilkan manfaat untuk pribadi sebagaimana
dikehendaki dengan batasan bahwa tidak boleh menyianyiakan hak orang lain15
.
Maka, bagi hasil merupakan perimbangan antara pembagian untung dan rugi
dalam suatu kegiatan bisnis yang dijalankan secara syirkah. Mengenai kerugian,
terdapat kaidah hukum yang dikenal dalam muamalah, yaitu al ghunmu bil ghurmi
yang diartikan ―risiko akan selalu menyertai imbal hasil (ekspektasi return)". Bahwa
sebagai orang yang telah memperolah manfaat dari sesuatu, maka dia sendiri yang
harus menanggung kerugiannya, kerugian tersebut tidak boleh ditimpakan pada
orang lain16
.
Pada konteks perbankan, konsep bagi hasil diterapkan dalam bank Islam,
karena Islam mengharamkan sistem bunga. Dalam sistem perbankan dengan prinsip
Syariah, penghapusan riba (bunga) merupakan karakteristik yang paling pokok.
Sehingga jika diterapkan dalam sistem operasi perbankan Islam, akan memberikan
manfaat yang lebih besar terhadap pertumbuhan ekonomi dan membantu negara
dalam mewujudkan tujuan-tujuan sosioekonomi jangka pendek dan jangka panjang.
Penerapan sistem bagi hasil harus menjadi karakteristik utama operasional
pembiayaan perbankan Islam
Teori perbankan Islam, sebagai suatu sistem yang perlu diterapkan, mulai
dikenalkan setelah diterbitkannya buku Islam and the Theory of Interest yang ditulis
14 Erlend Nier and Ursel Baumann, Market discipline, disclosure and moral hazard in
banking, (Journal of Financial Intermediation, 2006) h. 332-361. 15 Tengku. M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Fungsi Aqidah dalam Kehidupan Manusia dan
Perpautannya dengan Ibadah, (Yogyakarta : IAIN Sunan Kalijaga, 1993), h. 41. 16 Dijelaskan dalam buku Al-Wajiz fi Syarh al Qawa'id al-Fiqhiyyah, Abdul Karim
Zaidan, (Beirut :Resalah Publisher, 2009), h. 152, bahwa semua orang yang telah bersepakat
untuk berserikat (bersyirkah) dalam suatu kegiatan bisnis, maka mereka menanggung
kerugian sesuai prosentase kepemilikan sahamnya dan keuntungan sesuai dengan nisbah
kepemilikan saham masing-masing selain itu masing-masing juga wajib menanggung biaya
perawatan sesuai dengan besarnya prosentase kepemilikan saham mereka masing-masing.
Hal mana termasuk pula atas biaya-biaya yang timbul dalam pembuatan perjanjian (jika
timbul biaya), dalam hal ini, peneliti menganalogikan terhadap biaya pembuatan perjanjian
yang dibuat secara notariil-pun seharusnya menjadi beban seluruh pihak yang bersyirkah
secara proporsional sesuai dengan porsi kepemilikan saham yang mereka tempatkan.
27
oleh Qureshi. Qureshi dalam bukunya tersebut memandang bahwa bank merupakan
sebuah pelayanan sosial yang disponsori pemerintah seperti halnya pendidikan dan
kesehatan publik. Pemikiran yang dituangkan dalam buku tersebut muncul semenjak
tidak adanya lagi praktik bunga oleh bank baik kepada pemegang rekening maupun
kepada peminjam dana di bank. Buku tersebut juga membicarakan tentang
kemitraan antara bank dan pengusaha sebagai sebuah alternatif yang memungkinkan
bagi untung dan bagi rugi. Dalam pendapat lain dinyatakan bahwa konsep Bank
Islam bersumber pada konsep Islam tentang uang.17
Di dalam Islam, uang tidak dipandang sebagai komoditas. Uang dalam sistem
perekonomian Islam merupakan perantara dalam kegiatan ekonomi riil,18
Oleh
karena itu, pelaksanaan operasional bank Islam haruslah berprinsip ―Sistem
Ekonomi Islam‖, Keuangan Islam, lebih dari sekadar dari keuangan bebas bunga19
.
Namun adanya uang merupakan perantara untuk memenuhi tujuan sosio-ekonomi
dan menciptakan masyarakat yang adil dan seimbang.
Implikasinya adalah bahwa dalam sistem perbankan Islam pendistribusian
dana dalam bentuk pembiayaan syariah diharapkan menjadi paradigma pembiayaan
ekonomi moral, yaitu ekonomi bersama, ekonomi partisipatif dan kolaboratif dengan
ekonomi pemilikan saham yang meluas. Maka di dalam sistem ekonomi Islam
menggunakan sistem ―bagi hasil‖ atau meminjam istilah ―bagi untung dan bagi
rugi‖, dan tidak menggunakan ―sistem bunga‖ sebagaimana yang digunakan oleh
Qureshi dalam bukunya Islam and the Theory of Interest. Walaupun pada dasarnya
secara implisit Qureshi juga menyatakan bahwa kemitraan adalah sebuah alternatif
yang memungkinkan penerapan konsep bagi untung bagi rugi.
Prinsip bagi hasil dalam perbankan syariah, secara umum dapat dilakukan
dalam empat akad utama, yaitu al-musyarakah, al-mudharabah, al-muzara‟ah, dan
al-musaqah. Sungguhpun demikian prinsip yang paling banyak dipakai adalah al
17
Nejatullah Shiddiqi,Partnership and Profit-Sharing in Islam Law Islamic economics
series, (UK: The Islamic Foundation,1997) h.50. 18 Mehmed Asutay, dalam Public Lecture UINSA Surabaya, Reoriening Islamic
finance for Sosio economic Development Toward a Moral Economy, kerja sama Durham
University dengan Bank Indonesia, 7-November-2017. 19 diuraikan oleh Mehmed Asutay, bahwa ciri keuangan Islam yang pada akhirnya
diimplikasikan dalam bentuk pembiayaan memiliki ciri yang tidak hanya sekedar ikon
terhadap bebas riba (bunga) saja, namun juga menerapkan rambu larangan untuk pembiayaan
dan investasi terhadap adanya larangan atas gharar, maysir dan spekulasi; pembagian
keuntungan dan kerugian; adanya pertukaran barang dan jasa secara nyata; Pembiayaan
proyek wirausaha yang bertoleran, pertimbangan utama adalah berdasarkan kondisi proyek
dan kelayakan kondisi keuangan pengusaha; Tidak ada komoditas fiktif dan tidak
berorientasi pada komoditas berorientasi ekonomi riil;
28
musyarakah dan al-mudharabah20, adapun penjelasan dari kedua prinsip tersebut
antara lain sebagai berikut:21
1. Musyarakah (Joint Venture profit & Loss sharing)
Menurut Antonio22
, ―Musyarakah adalah akad kerja sama antara dua pihak
atau lebih untuk suatu tertentu dimana masing-masing pihak memberikan kontribusi
dana dengan kesepakatan bahwa keuntungan dan risiko akan ditanggung bersama
sesuai dengan kesepakatan. Musyarakah mencampurkan salah satu dari macam harta
dengan harta lainnya sehingga tidak dapat dibedakan di antara akad kerja sama
antara dua pihak atau lebih untuk suatu usaha tertentu di mana masing-masing pihak
memberikan kontribusi dana dengan kesepakatan bahwa keuntungan dan risiko akan
ditanggung bersama sesuai dengan kesepakatan‖.
Para ulama madzhab berselisih pendapat tentang musyarakah. Ulama
Hanabilah berpendapat bahwa semua bentuk musyarakah yang tercakup dalam
Sumitro, Asas-asas Perbankan Islam dan Lembaga-lembaga Terkait, Grafindo Persada,
Jakarta. 2004, h.32. 26 Hirsanudin, Kemitraan Dalam Bisnis : Perspektif Hukum Islam (studi terhadap
Pelaksanaan Perjanjian Pembiayaan Bisnis dengan Prinsip Mudharabah di Perbankan
Syariah, Universitas Indonesia Jakarta, 2007, h.100 27 Mervyn K. Lewis and Latifa M.Algoud....., h.15. 243- h.21. 28 Hirsanuddin, Kemitraan........, h.101.
30
disusul pula dengan berdirinya The Faisal Islamic Bank Sudan pada tahun 1977.
Pada tahun 1978 berdiri pula The Jordan Islamic Bank yang juga mendirikan
Investment banking dengan nama The Jordan Financial and Investment Bank, The
Islamic Investment Company (Uni Emirat Arab, 1978), Kuwait Finance House
(1979) dan Bahrain Islamic Bank juga pada 1979
Tahap masa kini, yaitu perkembangan bank Islam setelah ketiga masa di atas,
yang diawali revolusi Iran pada tahun 1979 yang berusaha mensyariahkan seluruh
sistem ekonominya yang kemudian disusul pula dengan janji presiden Zia Ul Haq
pada Januari 1979 yang akan menghapus riba dalam sistem perekonomian Pakistan
dalam waktu tiga tahun. Diawali pada tahun 1983, perbankan di Iran menerapkan
bagi hasil dan melarang bunga. Iran merupakan negara yang paling sukses
mendorong ekonominya dengan sistem perbankan bagi hasil. Kemudian Sudan
menerapkan sistem bagi hasil mulai tahun 1984 tetapi karena kondisi politik maka
tidak sesukses Iran. Pada bulan Juli 1985 seluruh bank di Pakistan dirubah dengan
sistem profit sharing dan bunga dilarang. Sementara Indonesia sebagai negara yang
berpenduduk muslim terbesar di dunia dikategorikan terlambat penerapan sistem
bagi hasil di dalam praktik perbankan, diprakarsai oleh PT Bank Muamalat
Indonesia (BMI) pada tahun 1992. Sebelum perbankan dengan sistem syariah
dipraktikkan di Indonesia, perbankan di Indonesia dijalankan dengan sistem
perbankan konvensional yang dalam pelaksanaan operasionalnya menerapkan
sistem bunga. Hal mana dapat dipahami bahwa filosofi perbankan adalah lembaga
yang berorientasi pada keuntungan (profit) dengan mengabaikan kondisi nyata
nasabah.
B. Praktik Bunga di Perbankan
Dengan sistem bunga, bank seolah tidak peduli apakah usaha yang dilakukan
oleh nasabah itu sedang mengalami keuntungan atau kerugian. Hal ini dapat
menimbulkan eksploitasi oleh bank terhadap nasabah atau sebaliknya yang memiliki
ekses satu pihak seolah dirugikan sehingga terjadi ribawi. Perbedaan prinsip antara
sistem bunga pada sistem ekonomi konvensional dan sistem bagi hasil pada
ekonomi syariah, adalah terletak pada ―sistem return‖-nya. Sistem ekonomi
konvensional menggunakan bunga29
sebagai tolok ukur. Penetapan prosentase bunga
dilakukan diawal transaksi, sehingga besar nilai nominal dapat diketahui jumlahnya
serta kapan akan diperolehnya tanpa melihat laba rugi yang akan terjadi. Sedangkan
penetapan bagi hasil (atau disebut nisbah) dalam sistem ekonomi Islam, besarnya
ditetapkan diawal transaksi yang bersifat fixed, tetapi nilai nominal rupiahnya belum
dapat diketahui dengan pasti melainkan melihat laba rugi yang akan terjadi. Dalam
ekonomi konvensional, pihak yang menawarkan (tabungan) dan meminta dana
(peminjam) akan menerima atau membayar bunga yang bersifat fixed (tetap).
Sementara dalam ekonomi Islam, pihak yang menawarkan dana akan menerima dan
29 dalam Kamus Bank Indonesia-Bank Sentral Republik Indonesia, Bunga adalah
Interest, yangdidefinisikan sebagai imbalan yang diberikan dengan perhitungan berdasar
persentase tertentu terhadap jumlah dana yang disimpan ataupun dipinjamkan. Sumber:
http://www.mediabpr.com/kamus-bisnis-bank, diunduh pada 8 Pebruari 2019.
31
pihak yang membutuhkan dana akan membayar return (biaya) yang bersifat tidak
fixed yaitu bagi hasil.
Artinya, pada sistem bunga akan ada satu pihak yang pasti menerima
pendapatan yaitu kreditur (yang meminjamkan dana). Adapun pihak satunya yaitu
debitur (peminjam dana) belum tentu mendapatkannya karena dana yang dikelola
belum tentu memperoleh keuntungan atau mendapatkan keuntungan di bawah biaya
bunga sehingga kreditur terbebas dari risiko rugi. Hal ini bertentangan dengan teori
risiko dan sunnatullah. Risiko sebagai kemungkinan keuntungan menyimpang dari
yang diharapkan, dimana besar keuntungan yang diharapkan dari setiap sekuritas
tidak sama30
.
Block dan Hirt mengartikan risiko sebagai "a measure of uncertainty about
the outcomes from a given event. The greater the variability of possible outcomes,
on both the high side and low side, the greater risk”. Dalam teori portofolio, risiko
dinyatakan sebagai tingkat penyimpangan terhadap keuntungan yang diharapkan.
Cantilon berpendapat tentang ketidakpastian masa depan dan risiko yang akan
terjadi, ―bahwa masa depan itu penuh dengan ketidakpastian dan bawa semua
kegiatan ekonomi pada dasarnya mengandung risiko‖. Tetapi seseorang harus
mengambil risiko di masa sekarang demi mendapatkan keuntungan di masa depan.
Jika tidak, tidak akan ada kegiatan produksi yang dilakukan. Pengusaha yang
mengambil risiko karena itu sangat penting bagi perputaran proses produksi untuk
menjalankan proses ini dengan baik dan untuk memakmurkan ekonomi.
Adapun Sunnatullah yang dimaksudkan adalah manusia tidak tahu hasil dari
apa yang mereka usahakan besok karena itu merupakan urusan Allah, sebagaimana
disebutkan dalam QS Luqman ayat 34: Sesungguhnya Allah, hanya pada sisi-Nya
sajalah pengetahuan tentang Hari Kiamat; dan Dialah Yang menurunkan hujan, dan
mengetahui apa yang ada dalam rahim. Dan tiada seorangpun yang dapat
mengetahui (dengan pasti) apa yang akan diusahakannya besok. Dan tiada
seorangpun yang dapat mengetahui di bumi mana dia akan mati. Sesungguhnya
Allah maha mengetahui lagi maha mengenal.
Ayat tersebut memberikan pengertian bahwa manusia tidak dapat mengetahui
dengan pasti apa yang akan terjadi besok, tetapi manusia hanya bisa memperkirakan
dan hasilnya benar atau tidak merupakan ketentuan Allah. Manusia hanya
diharuskan berusaha diiringi dengan berdoa dan menyerahkan hasilnya kepada Allah
kembali. Ketidakpastian tersebut termasuk dalam mencari rejeki sehingga sangat
tidak adil apabila dalam sebuah transaksi ekonomi, ada pihak yang pasti
mendapatkan keuntungan, sedangkan pihak lain belum pasti mendapatkan
keuntungan?.
Pada kondisi ekonomi memburuk, debitur hanya mendapatkan keuntungan
kecil atau bahkan mengalami kerugian maka apakah adil apabila ia harus membayar
bunga yang tinggi. Sebaliknya, pada kondisi ekonomi membaik, debitur
mendapatkan keuntungan yang tinggi tetapi kreditur hanya mendapat bunga rendah,
maka apakah itu juga adil. Dengan demikian, dalam sistem bunga selalu terjadi
―Dalil pokok hukum (syirkah) sebelum ijma' adalah hadis dari alSa'ib Ibn Yazid
yang menjelaskan bahwa dia merupakan mitra Rasulullah (dalam berbisnis) sebelum
33 Abi Ishaq Ibn Ibrahim Ibn Ali Ibn Yusuf al-Firuz Abadi al- Syirazi, al-Muhadzdzab
fi Figh Madzhab al-Imam al-Syafi'i Radhiya Allah 'anh (Beirut: Dar al-Fikr. 1994), vol. I, h.
481. 34 Hadis ini termasuk hadis qudsi. Lihat Abu Daud Sulaiman Ibn al-Asy'ats al-
Sijistani, Sunan Abi Dawud (Bandung: Dahlan. t.th), vol. III, h. 256. 35 Ali Jum'ah Muhammad, Mausu'ah Fatawa al-Mu'amalat al-Maliyyah li al-
Masharif wa al Mu'assasat al-Maliyyah al-Islamiyyah (Kairo: Dar al-S m. 2009), vol. III, h.
18. 36 Ali Jum'ah Muhammad, Mausu'ah Fatawa al-Mu'amalat… h. 18.
35
beliau diutus menjadi Rasul, dan (hal itu menjadi) kebanggaan baginya setelah
beliau diutus menjadi Rasul".
e. Dalam kitab Nail al-Authar dan Subul al-Salam Syarh Bulugh al-
Maram dijelaskan hadis riwayat Ahmad, Abu Daud, dan Ibn Majah dari
al-Sa'ib al-Makhzumi r.a., beliau merupakan mitra bisnis Rasulullah
sebelum bi'tsah (beliau diutus menjadi Rasul). Pada saat penaklukan
(fath) Makkah, kepada al-Sa'ib al-Makhzumi r.a., Rasulullah Saw.
bersabda:37
"Selamat datang wahai saudaraku dan sekutuku (dalam
berbisnis)". Dalam teks lainnya dikatakan bahwa Rasulullah Saw.
Bersabda yang artinya :38
―Engkau adalah mitraku (dalam berbisnis)
pada masa jahiliah. Pada waktu itu engkau adalah mitraku yang terbaik,
engkau tidak mencegahku dan tidak menjelek-jelekanku (tidak pernah
sengketa denganku)".
f. Al-Marghinani al-Hanafi, dalam kitab al-Hidayah Syarh Bidayat al
Mubtadi (3/3), menjelaskan bahwa:39
"(Hukum) syirkah adalah boleh
karena pada saat Muhammad Saw. diutus menjadi Rasul, masyarakat
(terbiasa) melakukan akad syirkah dan beliau mengukuhkannya
(sebagai bagian dari syariah)".
g. Dalam sebuah hadits dijelaskan bahwa Rasulullah Saw. bersabda:40
"(Berpegang teguh pada) amanah akan mendatangkan rezeki dan
khianat akan membuat pelakunya menjadi fakir‖.
Penjelasan hadits tersebut adalah bahwa Allah akan memberkahi pihak-
pihak yang melakukan akad syirkah-baik syirkah harta/amwal maupun
syirkah keterampilan/'abdan-selama dalam syirkah tersebut tidak
terdapat pengkhianatan. Oleh karena itu, pengkhianatan dapat menjadi
penghalang (mani) berkah. Dengan kata lain, pengkhianatan dalam
akad syirkah menjadi faktor penyebab hilangnya keberkahan harta
dan/atau usaha.41
h. Dalam hadis shahih riwayat Bukhari dari Ubai al-Minhal, beliau
menjelaskan bahwa:42
yang artinya"Zaid Ibn Arqam dan al-Barra' Ibn
'Azib melakukan persekutuan. Mereka membeli perak, baik secara tunai
maupun tangguh. Hal tersebut kemudian sampai kepada Nabi Saw.
37 Muhammad Ibn Ismail al-Kahlani, Subulus al Salam (Bandung: Dahlan, uth), vol.
III, h, 64, 38 Muhammad Ibn Ali Ibn Muhammad al-Syaukani, Nail al-Authar Syarh Muntaqa al
Akhbar (Mesir: Mushthala al-Babi al Halabi wa Auladuh. 1347 H), vol. V, h. 223 39 Ali Jum'ah Muhammad, Mausu'ah Fatawa al-Mu'amalat al-Maliyyah li al-
Masharif wa al Mu'assasat al-Maliyyah al-Islamiyyah (Kairo: Dar al-S m. 2009), vol. III, h.
18. 40 Ali Fikri, Muamalat al-Madiyah wa al-Adabiyah (Mesir: Mushthafa al-Babi al-
Halabi wa Awladuh, 1946), vol. III, h. 242. 41 Al-Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah (Beirut: Dar al-Fikr. 1983), vol. III, h. 294. 42 Muhammad Ibn Ali Ibn Muhammad al-Syaukani, Nail al-Authar Syarh Muntaqa al
Akhbar (Mesir: Mushthala al-Babi al Halabi wa Auladuh. 1347 H), vol. V, h. 224
36
maka Nabi Saw. memerintahkan keduanya: adapun membeli (perak)
secara tunai, aku membolehkannya; akan tetapi, jika membelinya
secara tangguh, aku menolaknya (melarang)‖. Hadis ini, dalam
pandangan 'Athiyah 'Adlan 'Athiyah Ramdhan, menunjukkan bahwa
syirkah merupakan akad yang telah ada sebelum kerasulan Muhammad
Saw. Akan tetapi, beliau menolak praktik usaha syirkah yang
menyalahi kaidah syariah.43
i. Dalam hadis riwayat al-Nasa'i dari Abdullah Ibn Mas'ud, beliau
berkata; ―Aku berkongsi dengan 'Ammar dan Sa'd mengenai harta
(rampasan yang akan didapatkan pada Perang Badar. Abdullah lalu
berkata, Sa'd berhasil membawa dua tawanan; sedangkan aku dan
'Ammar tidak berhasil membawa apa-apa‖. Hadis ini merupakan dalil
dibolehkannya syirkah-abdan (syirkaha'mal), yaitu berkongsi dalam
suatu pekerjaan. Hadis riwayat riwayat Abu Daud, Tirmidzi, dan Ibn
Majah mengenai syirkah termasuk hadis munqathi (terputus sanad-nya)
karena Abu Ubaidah tidak mendengar langsung dari ayahnya, Abdullah
Ibn Mas'ud. Syirkah-abdan sah hukumnya dalam pandangan al-
Hadawiyah dan Abu Hanifah. Sementara Imam al-Syafi'i dan Ibn Hazm
berpendapat bahwa syirkah-abdan tidak sah.44
j. Dalam kitab al-Mughni (5/3) dijelaskan bahwa:45
―Sungguh umat Islam
telah ber-ijmak (sepakat) terkait bolehnya syirkah secara umum". Ibn
Mundzir menjelaskan bahwa ulama telah sepakat (ijma') mengenai
bolehnya syirkah.46
k. Di samping itu, dalam konteks kekinian dan keindonesiaan, syirkah
didasarkan juga terdapat pada hukum dan peraturan perundang-
undangan, baik yang tertulis maupun tidak tertulis. Di antaranya fatwa
Dewan Syariah Nasional-Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI), yaitu:
1) Fatwa DSN-MUI Nomor 7 Tahun 2000 tentang Pembiayaan
Mudharabah (Qiradh).
2) Fatwa DSN-MUI Nomor 8 Tahun 2000 tentang Pembiayaan
Musyarakah.
3) Fatwa DSN-MUI Nomor 73 Tahun 2000 tentang Musyarakah
dan baik dalam ber-mu'amalah (husn al-mu'amalah).48
Beberapa pengertian khianat secara etimologis adalah sikap mental orang
yang tidak konsisten dengan amanah yang telah diterimanya atau mengambil hak
orang lain tanpa hak. Amanah-kebalikan dari khianat diartikan sebagai sikap dan
tindakan yang berupa pemeliharaan kepercayaan menyangkut hak-hak pihak lain
yang dilakukan atas dasar perjanjian.49
2. Sejarah Singkat Syirkah
Syirkah merupakan salah satu akad bisnis yang telah ada sebelum Islam. Al-
Sayyid Sabiq menegaskan bahwa syirkah-'inan telah ada sejak Nubuwah. Para
sahabat Nabi Saw. ketika itu telah ber-syirkah (berkongsi) untuk membeli sesuatu,
masing-masing sahabat menyerahkan hartanya (antara lain berupa uang) untuk
membeli barang. Setelah barang dimaksud dibeli, kemudian dibagikan kepada
sahabat secara proporsional.50
Al-Shawi menegaskan bahwa syirkah dengan tujuan berbisnis, yaitu guna
mendapatkan keuntungan, telah ada sebelum Islam. Manusia (termasuk sahabat
Nabi Saw.) melakukannya sehingga eksistensinya dikukuhkan oleh Nabi Saw. Dari
segi penjelasan al-Shawi, syirkah termasuk sunnah-taqririah. Sedangkan dalam
riwayat Ahmad dari Sa'ib Ibn Abi Sa'ib bahwa Nabi Saw. melakukan syirkah guna
mendapatkan keuntungan pada zaman jahiliah.51
Imam Hasan, dalam kitab al-Rawdhah al-Nadiyah, menjelaskan bahwa
syirkah--uqud dan semua syirkah yang dicakupnya (syirkah-inan, syirkah
mufawadhah, syirkah-'abdan, dan syirkah-wujuh) bukanlah akad yang termasuk
48 Ali Fikri, Muamalat al-Madiyah wa al-Adabiyah (Mesir: Mushthafa al-Babi al-
Halabi wa Awladuh, 1946), vol. III, h. 242. 49 Nasroen Haroen (ed), Ensiklopedi Hukum Islam (Jakarta: PT Ichtiar Baru van
Hoeve. 2003), vol. III, h. 913 50 Al-Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah (Beirut: Dar al-Fikr. 1983), vol. III, hlm. 297-
298. 51 Muhammad Shalah Muhammad al-Shawi, Musykilat al-Istitsmar fi al-Bunuk al-
Islamiyah wa Kaifa 'Alajaha al-Islam (Al-Manshurah: Dar al-Wafa. 1990), hlm. 141-142.
39
syar'i (akad bernama dari segi syariah atau al-'aqd al-musamma), melainkan
termasuk istilah baru (akad tidak bernama atau al-'aqd ghair al-musamma).52
Syirkah telah ada sebelum Islam yang kemudian dikokohkan eksistensinya
oleh Nabi Muhammad Saw. Para sahabat telah ber-mudharabah dengan pihak
Yahudi dengan sepengetahuan Nabi Saw. Nabi Saw. tidak menghapuskannya
(naskh) juga tidak melarangnya. Al-Khulafa' al-Rasyidun (Abu Bakar, Umar,
Utsman, dan Ali ) serta sahabat sesudahnya tidak ada yang melarang praktik syirkah.
Oleh karena itu, para sahabat melakukan syirkah atas dasar kebiasaan (al-'adah)
yang sudah dilakukan sebelumnya. Praktik yang demikian dianggap relevan dengan
sabda Nabi Saw., yaitu:53
"Tidaklah sesuatu itu dihukumi haram, kecuali telah
diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya".
3. Hukum Ber-syirkah
Hukum melakukan syirkah (kongsi) pada prinsipnya adalah boleh (al-ibahah)
sebagai hukum asalnya, sebagaimana hukum asal jual-beli atau akad lainnya yang
menyebabkan berpindahnya kepemilikan objek akad. Akan tetapi, hukumnya bisa
bergeser menjadi sunah, wajib, makruh, atau haram. Berikut perinciannya:
a. Boleh (al-ibahah)
Hukum asal syirkah adalah boleh karena syirkah termasuk akad yang bersifat
pilihan (al-ikhtiyariyah), baik pada fase awal maupun keberlanjutannya. Oleh karena
itu, tidak sah syirkah yang bersifat idhthirariyah (mengandung mudharat) dan
dilakukan di bawah paksaan atau ancaman (al-ikrah). Apabila para mitra bersepakat
untuk melakukan kongsi, lakukanlah kongsi. Sebaliknya, apabila mereka
berkehendak untuk mengakhirinya (menyudahinya), bagikanlah modal usaha secara
proporsional sebagai tanda diakhirinya akad syirkah.
b. Sunah (al-nadb [al-mandub])
Hukum syirkah menjadi sunah apabila dilakukan dalam rangka memenuhi
kebutuhan hidup atau mitigasi risiko. Hadits tentang tanahud dipahami sebagai
hadits yang menjelaskan syirkah karena dilakukan dalam rangka mencukupi
perbekalan semua orang yang melakukan perjalanan (karena diduga bahwa
perbekalan tidak mencukupi apabila tidak digabungkan/dikelola masing-masing).
Dalam tanahud, semua mitra yang melakukan perjalanan mendapatkan manfaatnya
tanpa ada yang disakiti di antara mereka.
c. Wajib
Hukum syirkah dapat berubah menjadi wajib apabila syirkah yang dialami
mitra bersifat ijbari (paksa). Dalam hal ini, syirkah yang termasuk dalam domain
syirkah-milik (bukan syirkah-'uqud) seperti menerima harta warisan secara bersama
(QS. an-Nisa' [4]: 12) atau syirkah-mubahat atas kepemilikan air, api, dan rumput.
d. Haram
52 Al-Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah (Beirut: Dar al-Fikr. 1983), vol. III, h. 297. 53 Al-Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah (Beirut: Dar al-Fikr. 1983), vol. III, h. 300.
Dalam kitab Dhawabith al-Mitsli wa al-Qimi fi al-Mu'amalat al-Maliyah, dijelaskan bahwa
syirkah-inan juga termasuk syariat yang dikukuhkan yang telah ada sebelumnya. Lihat al-
'Isawi, Dhawabith al-Mitsli, h. 25.
40
Hukum ber-syirkah berubah menjadi haram apabila dalam syirkah tersebut
terdapat unsur saling membantu (kerja sama) dalam berbuat dosa dan permusuhan
(QS. al-Ma'idah [5]: 2) serta me-mudharat-kan masyarakat umum, di antaranya ber-
syirkah untuk memproduksi atau memperjualbelikan barang-barang haram dari segi
substansinya (haram li dzatih) maupun melakukan tindakan yang dilarang, seperti
melakukan penimbunan (al-ihtikar) dan penipuan (al-gisysy).
e. Makruh (karahah)
Hukum ber-syirkah berubah menjadi makruh apabila dalam syirkah tersebut
terdapat unsur yang dimakruhkan, di antaranya memperdagangkan benda-benda
yang dimakruhkan (seperti jual-beli binatang buas).54
4. Pendapat Ulama mengenai Hukum Syirkah
Salah satu ciri fikih adalah beragamnya pendapat ulama, baik dalam
merumuskan konsep syirkah dan cakupannya (misalnya apakah mudharabah
merupakan bagian dari syirkah atau akad yang berdiri sendiri) maupun status
hukumnya (boleh-tidak bolehnya atau halal-haramnya). Secara umum, pendapat
ulama mengenai akad syirkah dapat disederhanakan sebagai berikut:
a. Ulama Hanabilah menjelaskan bahwa ruang lingkup syirkah--uqud dapat
dilihat dari harta yang dijadikan modal (ra'sal-mal), baik berupa harta
(syirkah-amwal), keahlian (syirkah-'abdan/a‟mal), maupun reputasi
(syirkah-wujuh), baik kuantitas/kualitasnya sama (mufawadhah) maupun
tidak ('inan).
b. Ulama sepakat tentang bolehnya akad syirkah-amwal yang jumlah modal
masing-masing pihak tidak harus sama (syirkat al-amwal “inan[an] atau
syirkat al-'inan fi al-amwal).
c. Ulama Malikiah tidak mengakui keabsahan syirkah-wujuh karena dalam
syirkah-wujuh tidak terdapat harta atau keterampilan yang disatukan untuk
dijadikan modal usaha dan tidak pula mengakui keabsahan syirkah-
mufawadhah.55
d. Imam al-Syafi'i hanya mengakui keabsahan syirkah-amwal‟inan. Dalam
pandangan Imam al-Syafi'i, syirkah-mufawadhah, syirkah-'abdan, dan
syirkah-wujuh adalah batal (tidak sah) hukumnya.56
e. Dalam kitab al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh, Wahbah al-Zuhaili menjelaskan
bahwa ulama Hanafiah, Zhahiriah, dan Imamiah (Syi'ah) berpendapat bahwa
54 Muhammad Tawil, al-Syirkat wa Ahkamuha fi al-Fiqh al-Islami (Beirut: Dar Ibn
Hazm. 2009), h. 46-48. 55 Abu al-Walid Muhammad Ibn Ahmad Ibn Muhammad Ibn Ahmad Ibn Rusyd,
Bidayat al-Mujtahid wa Nihayat al-Muqtashid (Semarang: Thaha Putra. T.th), juz II, h. 189-
192; dan al-Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah (Beirut: Dar al-Fikr. 1983), vol. III, h. 295. 56 Secara lebih tegas pernyataan tersebut dapat dilihat dalam al-Sayyid Muhammad
Al-Dimyathi menegaskan bahwa hukum syirkah-inan fi al-amwal boleh karena terhindar dari
riba. Lihat juga Syihab al-Din al-Qalyubi dan al-Syaikh Umairah, Qalyubi wa ‗Umairah
(Indonesia: Dar Ihya ' al-Kutub al-'Arabiyah. t.th), vol. III, hlm. 333; dan Taqiy al-Din Abi
Bakr Ibn Muhammad al-Husaini, Kifayat al-Akhyar fi Hall Gayat al-Ikhtishar (Semarang:
Thaha Putra. t.th), vol. I, hlm. 281.
41
semua syirkah-uqud batal hukumnya, kecuali syirkah-amwal-Sinan dan
syirkah-mudharab
5. Akad Mudharabah
a. Definisi Akad Mudharabah
Asal kata mudharabah adalah dharaba yang memiliki arti beragam karena
mencari rezeki (dharaba al-thair); mencampur (dharaba al-syai' bi al-syai);
bergantung pada kata ikutannya. Beberapa arti harfiahnya adalah pergi berniaga atau
berdagang (dharaba fi al-mal bi al-mal). Wahbah al-Zuhaili menjelaskan salah satu
arti mudharabah secara harfiah adalah melakukan perjalanan di muka bumi (al-sir fi
al-ardh); beberapa derivasi kata al-sir adalah istar atau istiyar yang berarti belanja
untuk keperluan dalam perjalanannya.57
Dalam literatur fiqh muamalah terdapat dua istilah yang digunakan untuk
menunjukkan usaha bagi hasil yang modalnya secara penuh disediakan oleh salah
satu mitra atau syarik (shahib al-mal), yaitu mudharabah dan qiradh atau
muqaradhah. Dua istilah tersebut memiliki arti yang sama; hanya saja digunakan
oleh ulama yang berbeda. Pada zaman tabi'in terdapat dua pusat pengembangan ilmu
fikih, yaitu Hijaz (Madinah) dan Irak atau dikenal juga dengan Baghdad. Bagi ulama
Irak, kerja sama antara pemodal dan pelaku usaha disebut mudharabah, sedangkan
ulama Hijaz menyebutnya qiradh atau muqaradhah yang secara harfiah berarti al-
qath' (terputus). Hak pemilik modal untuk berusaha dengan modal tersebut telah
ditiadakan karena diserahkan kepada mudharib.58
Akad mudharabah secara historis tidak bisa dilepaskan dari konsep syirkah
karena mudharabah bagian dari syirkah. Syirkah merupakan perkongsian atau
bentuk kerja sama usaha tertentu guna mendapatkan keuntungan (berorientasi pada
profit).
Kerja sama usaha (syirkah) untuk mendapatkan keuntungan, secara umum
dibedakan menjadi empat, salah satunya syirkah-mudharabah, yaitu kerja sama
usaha yang modal usahanya (ra's al-mal) disediakan oleh salah satu syarik,
sedangkan syarik lainnya menyertakan keterampilan usaha/ bisnis. Dengan
demikian, akad mudharabah dalam pandangan sejumlah ulama merupakan bagian
dari akad syirkah. Secara konseptual, syirkah mudharabah merupakan
pengembangan yang berupa perpaduan antara syirkah-amwal dan syirkah-abdan.
Akad mudharabah merupakan akad kerja sama usaha yang dilakukan antara
dua pihak atau lebih dengan modal usaha dari salah satu pihak (tanpa ikut serta
dalam bisnis) dan keahlian usaha dari pihak lain (tanpa ikut dalam penyertaan
modal). Kerja sama antara pemodal dan pelaku usaha disebut syirkah mudharabah.
Oleh karena itu, dalam kitab Lisan al-'Arab dijelaskan bahwa syirkah-mudharabah
57 Wahbah al-Zuhaili, al-Mu'amalat al-Maliyyah al-Mu'ashirah (Beirut: Dar al-Fikr.
2002), hlm. 105; dan lihat S. Askar, Al-Azhar: Kamus Arab-Indonesia (Jakarta: Senayan
Publishing. 2009), hlm. 357 dan 440-441. 58 Al-Sayid Sabiq, Fiqh al-Sunnah (Beirut: Dar al-Fikr. 1983), vol. 111, hlm. 212; dan
Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu (Beirut: Dar al-Fikr al-Mu‘shir. 1997),
vol. V, h. 3923.
42
adalah usaha-bisnis yang dilakukan oleh pihak tertentu atas dasar modal dari milik
pihak lain yang dilakukan berdasarkan kepercayaan (trust/amanah).59
Bisnis dilakukan oleh pelakunya guna mendapatkan keuntungan yang akan
dibagikan secara proporsional atau sesuai kesepakatan di antara pihak-pihak yang
ber-syirkah. Akan tetapi, bisnis yang dilakukan akan memiliki banyak
kemungkinan; setidaknya akan ada tiga kemungkinan: 1) laba/untung (ribh/profit);
2) rugi/khasarah/lost; atau 3) balik modal (tidak untung dan tidak rugi dari segi
jumlah modal). Dalam syirkah mudharabah, keuntungan dibagi antara pemilik
modal (shahib al-mal) dan pelaku usaha/pebisnis/mudharib berdasarkan nisbah yang
disepakati. Kerugian dibebankan hanya kepada shahib al-mal, kecuali kerugian
tersebut terjadi karena kelalaian mudharib.60
b. Dalil Mudharabah dan Pendapat Ulama
Akad mudharabah didasarkan pada ayat al-Quran dan hadis Nabi Muhammad
Saw., antara lain:
1) Dalam QS. al-Muzzamil (73):20, Allah berfirman:
وءاخسون ٱلل وءاخسون نضسبىن ي ٱلزض نبتغىن مه ض ―... (Di antara kamu ada) orang-orang yang berjalan di muka bumi mencari
sebagian karunia Allah..." Penafsiran terhadap kalimat yadhribun fi al-ardh
adalah bahwa mereka melakukan perjalanan untuk melakukan perniagaan
(yusafirun li al-tijarah).61
2) Hadits yang berupa taqrir atas perbuatan sahabat, yaitu "Abbas Ibn Abd al-
Muthallib jika menyerahkan harta sebagai mudharabah, ia mensyaratkan
kepada mudharib-nya agar tidak mengarungi lautan dan tidak menuruni
lembah, serta tidak membeli hewan ternak. Jika persyaratan itu dilanggar, ia
(mudharib) harus menanggung risikonya. Ketika persyaratan yang
ditetapkan Abbas itu didengar Rasulullah, beliau membenarkannya‖.
3) Hadis riwayat Ibn Majah dari Shuhaib, yaitu ―Nabi bersabda, ―Ada tiga hal
yang mengandung berkah: jual-beli tidak secara tunai, muqaradhah
(mudharabah), dan mencampur gandum dengan jewawut untuk keperluan
rumah tangga, bukan untuk dijual".
Akad mudharabah dibedakan menjadi dua, yaitu: 1) akad mudharabah
muthlaqah (mudharabah tidak terikat/bebas) dan 2) akad mudharabah muqayyadah
(mudhabarah terikat). Karena mudharabah sama dengan qiradh, terdapat
terminologi lainnya yang hampir sama dengan ragam mudharabah tersebut.
Mudharabah muthlaqah sama dengan qiradh 'am, sedangkan mudharabah
muqayyadah sama dengan qiradh khash.62
Perbedaan keduanya dijelaskan oleh Wahbah al-Zuhaili sebagai berikut:
59 Abd al-Sattar Abu Ghadah, Buhuts fi al-Mu'amalat wa al-Asalib al-Masharifiyah
alIslamiyyah (t.t: Majmu'ah Dilah al-Barkah. 2003), vol. I, h 217. 60 Wahbah al-Zuhaili , al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh (Beirut: Dar al-Fikr al-Mu'ashir.
1997), vol. V, h. 3924. 61 Wahbah al-Zuhaili, al-Mu'amalat al-Maliyyah al-Mu'ashirah (Beirut: Dar al-Fikr.
2002), h. 106. 62 Ahmad Hasan, Nazhariyyat al-Ujur fi al-Fiqh al-Islami: Dirasah Tahliliyyah
Mubtakirah li Fiqh al-Mu'amalat al-Maliyah (t.t: Dar Iqra'. t.th), h. 302.
43
a) Mudharabah tidak terikat adalah penyerahan modal dari shahib al-mal
kepada mudharib guna melakukan usaha (bisnis) tanpa ditentukan jenis
usahanya, tempatnya, waktunya, sifat bisnisnya, dan/atau pihak yang
melakukan usahanya.63
b) Mudharabah terikat adalah akad mudharabah yang berupa penyerahan
modal dari shahib al-mal kepada mudharib untuk melakukan usaha (bisnis)
yang ditentukan jenis usahanya, tempatnya, waktunya, sifat bisnisnya,
dan/atau pihak yang melakukan usahanya.
Ulama sepakat mengenai sahnya akad mudharabah-muthlaqah. Akan tetapi,
ulama berbeda pendapat tentang status hukum/keabsahan mudharabah muqayyadah.
Perbedaan pendapat ulama mengenai hukum mudharabah muqayadah, di
antaranya:64
a. Ulama Malikiah dan Syafi'iah berpendapat bahwa mudharabah-
muqayyadah tidak sah. Maka dari itu, ulama Malikiah dan Syafi'iah
melarangnya.
b. Ulama Hanafiah berpendapat bahwa akad mudharabah-muqayyadah sah
dilakukan dengan beberapa syarat, antara lain:
1) Imam Abu Hanifah dan Imam Ahmad Ibn Hanbal membolehkan
mudharabah-muqayyadah yang berkaitan dengan waktu usaha, pihak
yang melakukan usaha, dan waktu yang akan datang (idhafatuha ila
almustaqbal), sedangkan Imam Malik dan Imam al-Syafi'i
melarangnya.
2) Akad mudharabah-muqayyadah yang dikaitkan dengan syarat-syarat
yang tidak pasti (misalnya seseorang berkata; jika seseorang datang
kepadamu dengan membayar utang kepadaku melalui engkau,
pembayaran utang tersebut yang telah engkau terima dapat dijadikan
modal usaha dengan akad mudharabah).
c. Ulama Hanabilah dan Zaidiah membolehkan akad mudharabah
muqayyadah.
6. Rukun dan Syarat Mudharabah
Rukun adalah sesuatu yang menjadi tegaknya sesuatu yang lain. Karenanya,
ulama menegaskan bahwa rukun adalah bagian dari yang harus ada (jika rukun akad
tidak ada, akadnya tidak terbentuk (tidak wujud atau tidak ada]). Menjadikan al-ribh
(keuntungan) sebagai rukun akad mudharabah melahirkan risiko batalnya akad jika
usaha yang dialami mudharib (pengelola) tidak mendapatkan keuntungan atau
bahkan rugi. Padahal, usaha mudharib berpotensi rugi, di samping potensi untung
(al-ghurm bi al-ghurm). Oleh karena itu, untung sebaiknya tidak dijadikan rukun
mudharabah.
63 Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh (Beirut: Dar al-Fikr al-Mu'ashir.
1997), vol. V, hlm. 3.928; dan lihat Umar Mushthafa Jabar Isma'il, Sanadat alMuqaradhah
wa Ahkamuha fi al-Fiqh al-Islami: Dirasah Muqaranah Tathbiqiyyah (Amman: Dar al-
Nafa'is. 2006), hlm. 66. 64 Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh (Beirut: Dar al-Fikr al-Mu'ashir.
1997), vol. V, h. 3.928.
44
Syarat-syarat akad mudharabah berkaitan dengan rukunnya. Akan tetapi,
ulama berbeda pendapat mengenai rukun akad mudharabah. Secara umum,
perbedaan tersebut dapat dikelompokkan menjadi tiga, yaitu:
a. Rukun mudharabah menurut jumhur ulama adalah: 1) pihak-pihak yang
melakukan akad, yaitu shahib al-mal dan mudharib; 2) maʼqud, yaitu modal
(ra's al-mal), usaha (al-'amal/al-a‟mal), dan keuntungan (al-ribh); dan 3)
pernyataan mudharabah/sighat akad, yaitu pernyataan yang berupa
ijab/penawaran dan qabul/penerimaan.65
b. Abu Zaid menjelaskan bahwa rukun mudharabah ada lima: 1) dua pihak
yang berakad; 2) shighat akad, yaitu ijab dan qabul; 3) al-mal, yaitu modal
untuk berbisnis; 4) al-ribh, yaitu pertambahan modal; dan 5) al-'amal, yaitu
usaha yang dilakukan mudharib untuk mendapatkan keuntungan.66
c. Umar Mushthafa Jabar Isma'il menjelaskan bahwa dalam pandangan ulama
Hanafiah, rukun mudharabah hanya satu, yaitu shigat akad yang terdiri atas
ijab dan qabul.67
Syarat-syarat mengenai akad mudharabah dijelaskan secara lebih terperinci,
antara lain:
a. Pihak-pihak yang melakukan akad mudharabah dipersyaratkan memiliki
kemampuan (cakap hukum/ahliyat al-wujub wa al-ada) untuk
mewakilkan/memberikan kuasa (bagi shahib almal) dan menerima
perwakilan/ kuasa (bagi mudharib) karena dalam akad mudharabah
terkandung akad wakalah/kuasa, yaitu mudharib melakukan usaha (bisnis)
atas dasar kuasa dari shahib al-mal. Mudharabah boleh dilakukan antara
muslim dan non muslim (dzimmi dan mustaʼmin) di negara muslim. Dalam
bisnis, syarat yang utama bagi mudharib (pelaku usaha) harus memiliki
kemampuan, keahlian, dan/atau keterampilan usaha sehingga mampu
mengembangkan modal usaha.
b. Ra's al-mal (modal usaha) dalam akad mudharabah harus memenuhi syarat-
syarat berikut:
1) Modal harus berupa alat tukar (nuqud/uang), bukan berupa barang.
2) Modal harus dapat diketahui dan terukur.
3) Modal harus tunai (bukan dalam bentuk piutang).
4) Modal harus dapat diserahkan dari shahib al-mal kepada mudharib.68
65 Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh (Beirut: Dar al-Fikr al-Mu'ashir.
1997), vol. V, hlm. 3.928; dan lihat Muhammad 'Abd al-Mun'im Abu Zaid, Nahw Tathwir
Nizham al-Mudharabah fi al-Masharif al-Islamiyyah (Kairo: al-Ma'had al'Alami li al-Fikr al-
Islami. 2000), h. 16. 66 Muhammad 'Abd al-Mun'im Abu Zaid, Nahw Tathwir Nizham al-Mudharabah fi
alMasharif al-Islamiyyah (Kairo: al-Ma'had al-'Alami li al-Fikr al-Islami. 2000), h. 16; Ali
Jum'ah Muhammad dkk, Mausu'ah Fatawa al-Mu'amalat al-Maliyyah li al-Masharif wa al-
Mu'assasat al-Maliyah al-Islamiyah (Kairo: Dar al-Salam. 2009), vol. II, h. 24. 67 Umar Mushthafa Jabar Isma'il, Sanadat al-Muqaradhah wa Ahkamuha fi al-Fiqh al
Islami: Dirasah Muqaranah Tathbiqiyyah (Amman: Dar al-Nafa'is. 2006), h. 60-66. 68 Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh (Beirut: Dar al-Fikr al-Mu'ashir.
1997), vol. V, h. 3.932-3.935.
45
Dalam Ketentuan Nomor 3 Standar Syariah bagi Lembaga Keuangan Syariah
(Ma'ayir al-Muhasabah wa al-Muraja'ah wa al-Dhawabith li al-Mu'assasat al-
maliyyah al-Islamiyyah (Accounting and Auditing Organization for Islamic
Financial Institutions/AAOIFI) terdapat ketentuan-ketentuan akad mudharabah dari
segi personalia atau subjek hukumnya, yaitu shigat (perjanjian) akad, modal (ra's al-
mal), keuntungan (al-ribh), dan usaha (al-amal).
Ketentuan mengenai perjanjian mudharabah menurut AAOIFI, antara lain:
a) Perjanjian mudharabah harus menggunakan kata atau kalimat yang
menunjukkan maksud, yaitu kerja sama usaha, baik secara jelas (sharih)
maupun secara sembunyi (dilalah).
b) Perjanjian dilakukan dalam satu majelis akad yang menunjukkan
tercapainya kesepakatan antara penawaran (al-ijab (offering]) dan
penerimaan (al-qabul [acceptance]).
c) Perjanjian boleh dilakukan secara lisan atau secara tertulis, baik dilakukan
secara langsung maupun dilakukan melalui media yang sah secara hukum
(transaksi secara elektronik atau melalui internet).
Ketentuan mengenai modal mudharabah menurut AAOIFI, antara lain:
a) Jumlah modal dari rabb al-mal (pemodal) yang diserahkan kepada
pengelola (mudharib) harus diketahui jumlahnya.
b) Modal usaha harus berupa uang (al-nuqud). Sejumlah ulama membolehkan
modal usaha berupa barang, dengan syarat barang tersebut ditaksir terlebih
dahulu agar diketahui harganya.
Ulama membolehkan modal usaha mudharabah berupa barang-barang
inventori yang di antaranya berupa kendaraan roda dua, kendaraan roda empat,
pesawat terbang, atau kapal laut. Mudharib melakukan usaha dengan barang tersebut
sebagai modal atau ra's al-mal (misalnya melakukan usaha pengangkutan). Hasil
usaha dibagihasilkan antara pemodal dan pelaku usaha.
Barang-inventori yang dijadikan modal usaha mudharabah harus ditaksir
terlebih dahulu (al-tandhidh), agar diketahui untung-ruginya usaha yang dilakukan
mudharib.
a) Misalnya, modal usaha mudharabah berupa kendaraan roda empat yang
harganya sebesar 240 juta rupiah.
b) Disepakati bahwa jangka waktu usaha mudharabah dilakukan selama 4
(empat) tahun atau 48 (empat puluh delapan) bulan.
c) Karena harga kendaraan mengalami penurunan maka perlu diamortisasi,
misalnya disepakati penurunan harganya sebesar 5 (lima) juta per bulan.
d) Di samping itu, diperlukan juga biaya operasional dan tenaga kerja (di
antaranya pembelian bahan bakar bensin (misalnya 200 ribu rupiah per hari
sama dengan enam juta per bulan]) serta biaya pemeliharaan rutin (misalnya
2 juta setiap empat bulan sama dengan 500 ribu rupiah per bulan).
e) Ditemukan angka sebesar Rp 11.500.00 per bulan sebagai biaya operasional
dan pemeliharaan rutin kendaraan atau ra's al-mal.
f) Apabila kendaraan disewakan kepada pihak lain sebesar Rp 15.000.000 per
bulan, pendapatan yang dapat dibagihasilkan adalah Rp 3.500.000
g) Dengan nisbah bagi hasil 50:50 maka keuntungan masing-masing bagi
shahib al-mal (pemodal) dan mudharib (pengelola) adalah sebesar Rp
1.750.000.
h) Apabila pada bulan tertentu hasil penyewaan kendaraan hanya mencapai Rp
10.000.000, usaha mengalami kerugian sebesar Rp 1.500.000 (11.500.000-
10.000.000). Kerugian tersebut menjadi beban atau tanggung jawab pemilik
modal (pemilik kendaraan) selama kerugian tersebut terjadi bukan karena
kelalaian mudharib.
i) Modal harus berupa uang atau barang yang wujud pada saat akad. Modal
tidak boleh dalam bentuk piutang yang wajib dibayar oleh mudharib).
j) Modal usaha mudharabah harus berupa barang yang dapat diserahterimakan
antara shahib al-mal dan mudharib, baik serah-terima secara fisik berikut
perpindahan tanggung jawab pemeliharaannya atau serahterima secara fisik
tanpa disertai tanggung jawab pemeliharaannya.
Ketentuan mengenai keuntungan usaha mudharabah menurut AAOIFI, antara
lain:
a) Keuntungan merupakan milik bersama antara pemodal dan pelaku usaha.
Keuntungan tidak boleh disepakati hanya untuk pelaku usaha atau hanya
untuk pemodal.
b) Nisbah bagi hasil harus disepakati pada saat akad dan harus diketahui oleh
para pihak .
c) Kerugian usaha yang dialami oleh pengelola menjadi tanggung jawab
pemodal selama kerugian tersebut bukan akibat dari kesalahan pengelola,
baik lalai (tidak melakukan perbuatan yang seharusnya dilakukan (al-
taqshir) atau karena melampaui batas (al-ta'addi).
Ketentuan mengenai usaha mudharabah yang dilakukan oleh pelaku usaha
menurut AAOIFI, antara lain:69
a) Usaha mudharabah hanya boleh dilakukan oleh pelaku usaha (mudharib)
tanpa dicampuri oleh pemilik modal. Akan tetapi, ulama Hanabilah
membolehkan pemilik modal turut serta dalam melakukan usaha.
b) Pemilik modal tidak boleh mempersempit ruang lingkup usaha yang boleh
dilakukan pelaku usaha yang menyebabkan tidak tercapainya tujuan akad
mudharabah, yaitu keuntungan.
c) Pelaku usaha tidak boleh melanggar ketentuan-ketentuan syariah dan
kebiasaan bisnis yang berlaku umum dalam melakukan usaha mudharabah.
d) Pelaku usaha tidak boleh dibatasi ruang lingkup usahanya yang membuat
yang bersangkutan kehilangan kewenangan mutlaknya dalam ikhtiar untuk
mendapatkan keuntungan.
69 Ma'ayir al-Muhasabah wa al-Muraja'ah wa al-Dhawabith li al-Mu'assasat al-Maliyyah
al-Islamiyyah (Accounting and Auditing Organization for Islamic Financial Institutions/
AAOIFI] (Bahrain: Hai'ah al-Muhasabah wa al-Muraja'ah li al-Mu'assasat al-Maliyyah al-
Islamiyyah. 2004), h. 173-173.
47
7. Modal Usaha Inventori dan Teori Tandhidh
Modal usaha mudharabah boleh dalam bentuk barang, tidak mesti dalam
bentuk uang. Tandhidh merupakan terminologi yang relatif baru yang digunakan
dalam akad mudharabah dalam membagi keuntungan antara shahib al-mal (pemilik
modal) dan mudharib (pengelola). Muhammad Abd al-Mun'im Abu Zaid
menjelaskan bahwa tandhidh adalah asas dalam pembagian keuntungan (tandhidh
asas li qismat al-ribhi).
Tandhidh adalah kaidah pembagian keuntungan yang menyatakan bahwa
keuntungan dalam usaha mudharabah tidak boleh dibagi antara shahib al-mal dan
mudharib sebelum dilakukan tahwil (penaksiran) terhadap barang dengan harga/nilai
tertentu (tahwiluhu min „urudh ila nuqud).70 Meskipun asas tandhidh pada awalnya
dikenalkan untuk memudahkan dalam membagi keuntungan usaha, asas ini juga
dapat diaplikasikan dalam menentukan modal usaha dalam bentuk barang, termasuk
barang dagangan.71
Syarat yang terdapat dalam usaha adalah bahwa usaha yang dilakukan oleh
mudharib harus sejalan dengan Al-Quran dan sunah Nabi Saw. serta ijtihad ulama.
Oleh karena itu, mudharib tidak dibenarkan melakukan usaha pada bidang atau
sektor yang diharamkan, baik dari segi objek yang ditransaksikan (harus halal
lizatihi) maupun dari segi cara (harus halal lighairihi).
70 Muhammad Abd al-Mun'im Abu Zaid, Nahw Tathwir Nizham al-Mudharabah fi
alMasharif al-Islamiyyah (Kairo: al-Ma'had al-'Alami li al-Fikrr al-Islami. 2000), h. 159.
Penjelasan yang sama juga dapat dilihat dalam Ali Jum'ah Muhammad dkk, Mausu'ah
Fatawa al-Mu'amalat al-Maliyyah li al-Masharif wa al-Mu'assasat al-Maliyah al-Islamiyah
(Kairo: Dar al-Salam. 2009), vol. II, h. 158. 71 Harta yang dijadikan modal usaha bersama harus berupa "alat tukar" yang ada (wujud),
baik ketika akad kerja sama dibuat maupun ketika modal tersebut dibelanjakan. Jumhur
ulama berpendapat bahwa harta yang dijadikan modal usaha tidak boleh berupa piutang dan
tidak boleh berupa harta yang belum/tidak ada secara hukum. Modal usaha bersama harus
menggunakan harta yang berharga secara mutlak, yaitu berupa alat bayar (nuqud) yang
disebut dinar dan/atau dirham. Jumhur ulama berpendapat bahwa modal usaha dalam
syirkah-amwal tidak boleh berupa barang dagangan. Alasannya adalah bahwa modal yang
berupa barang dagangan berubah-ubah harganya (fluktuatif). Oleh karena itu, keuntungan-
sebagai hasil usaha secara syirkah-tidak dapat dipastikan jumlahnya (majhul) dan
dampaknya adalah jumlah keuntungan pun menjadi samar pula. Hal ini dapat menimbulkan
perselisihan saat pembagian keuntungan. Menurut Imam Malik, modal usaha dalam
mudharabah tidak disyaratkan dalam bentuk uang tunai. Oleh karena itu, modal usaha
mudharabah boleh dalam bentuk barang dagangan yang sama jenisnya maupun yang berbeda
jenisnya. Imam Malik menegaskan bahwa penyertaan modal usaha mudharabah boleh dalam
bentuk barang dagangan selama disepakati oleh semua syarik mengenai harganya (ditaksir
oleh ahlinya). Ulama Hanafiah-menurut riwayat yang rajih—dan ulama Hanabilah
berpendapat bahwa modal mudharabah tidak boleh dalam bentuk tabur (emas dan perak yang
belum dibuat menjadi perhiasan) dan nuqrah (potongan emas yang berupa perhiasan) sebab
kedudukannya sama dengan barang dagangan (al-'urudh). Sedangkan menurut riwayat lain,
ulama Hanafiah berpendapat bahwa modal mudharabah boleh dalam bentuk tabur dan
nuqrah. Muhammad Shalah Muhammad al-Shawi, Musykilat al-Istitsmar fi al-Bunuk al-
Islamiyah wa Kaifa 'Alajaha alIslam (Al-Manshurah: Dar al-Wafa, 1990), hlm. 164-165.
48
Pembagian keuntungan harus ditentukan dalam bentuk nisbah bagi hasil
(misalnya keuntungan 50% untuk mudharib dan 50% untuk shahib al-mal; 70%
keuntungan untuk mudharib atau 30% untuk shahib al-mal). Karena tujuan akad
mudharabah adalah untuk mendapatkan keuntungan maka ketidakjelasan nisbah
pembagian keuntungan akan mengakibatkan fasad-nya akad mudharabah. Akan
tetapi, ada juga ulama yang membolehkan adanya akad mudharabah tanpa
penentuan nisbah keuntungan dalam akad.72
Tandhidh merupakan teori yang dikenalkan, antara lain oleh Muhammad Abd
al-Mun'im Abu Zaid dalam kitab Nahw Tathwir Nizham al-Mudharabah fi al-
Masharif al-Islamiyyah. Teori ini sama dengan teori taqwim al-'urudh (penaksiran
harga barang) dalam akad musyarakah.
8. Akad Mudharabah Kontemporer
Pada bagian sebelumnya sudah dijelaskan mengenai dua macam akad
mudharabah, yaitu akad mudharabah muthlaqah (qirdah „amm/mudharabah tidak
terikat) dan akad mudhrabah muqayyadah (qiradh khash/akad mudhrabah terikat).
Sementara pada perkembangannya, ulama memperkenalkan dua akad mudharabah
kontemporer, yaitu akad mudharabah-muntahiyyah bi al-tamlik dan akad
mudharabah-musytarakah. Penjelasannya adalah sebagai berikut:73
a. Abd al-Razaq al-Haiti (1998) menjelaskan bahwa hakikat akad mudharabah
muntahiyyah bi al-tamlik adalah pihak bank yang menyediakan modal usaha
(berkedudukan sebagai shahib al-mal) dan pihak nasabah yang menjalankan
usaha (berkedudukan sebagai mudharib). Hakikat musyarakah-
72 Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh (Beirut: Dar al-Fikr al-Mu'ashir.
1997), vol. V, hlm. 3.937. Pada prinsipnya, akad mudharabah yang di dalamnya tidak
terdapat ketentuan nisbah yang disepakati, berpotensi menimbulkan ikhtilaf (perbedaan
pendapat), bahkan perslisihan/sengketa (khusumat) pada masa yang akan datang. Di samping
itu, ketidakadaan nisbah yang disepakati dalam akad mengakibatkan tidak adanya dasar
penentuan pembagian keuntungan usaha mudharabah. Oleh karena itu, nisbah pembagian
yang disepakati harus ada dalam akad. Jika berkehendak untuk turut serta mengatur bisnis
dengan sistem musyarakah atau mudharabah, negara berhak menentukan prisnip dasar
pembagian keuntungan dalam usaha musyarakah/ mudharabah, misalnya 50:50. Dengan
demikian, apabila dalam sebuah kontrak/akad musyarakah/mudharabah tidak ditentukan
nisbah keuntungan yang dispekati, berlaku prinsip dasar yang ditetapkan diundangkan oleh
negara tersebut. 73 Kamal Taufiq Muhammad Hathab, ―al-Musyarakah al-Mutanaqishah ka Adah min
Adawat al-Tamwil al-Islami”, dalam Dirasat Iqtishadyah al-Islamiyah (Jedah: al-Bunuk al-
Islami litanmiyah al-Ma'had al-Islami li al-Buhuts wa al-Tadrib. 2003), vol. X, h. 19. ‗Ali
Jumu'ah Muhammad dkk. menjelaskan bahwa mudharabah dapat dibedakan secara subjektif
dan objektif, yaitu:
1) Secara objektif, mudharabah dibedakan menjadi dua, yaitu mudhrabah muthlaqah
(tidak terikat) dan mudharabah muqayyadah (terikat).
2) Secara subjektif, mudharabah juga dapat dibedakan menjadi dua, yaitu
mudharabah fardiyyah dan mudharabah-musytarakah. Lihat ‗Ali Jumu'ah Muhammad dkk, Mausu'ah Fatawa al-Mu'amalat al-Maliyyah li al-
Masharif wa al-Mu'assasat al-Maliyyah al-Islamiyyah: al-Mudharabah (Kairo: Dar alSalam.
2009), vol. II, h. 189-195.
49
mutanaqishah dalam pandangan al-Haiti adalah penyerahan harta dari pihak
bank kepada nasabah untuk dijadikan modal usaha, dan nasabah membagi
keuntungan (dengan bank) serta mengembalikan modal-usaha secara
berangsur sehingga seluruh modal pada akhirnya menjadi milik nasabah
secara penuh (al-muntahiyyah bit tamlik). Al-Haiti-seperti juga dijelaskan
dalam al-Mausu'ah al-'Ilmiyah wa al-'Amaliyah li al-Bunuk al-Islami-
berpendapat bahwa akad tersebut adalah akad al-mudharabah-muntahiyyah
bi al-tamlik.74
Akad mudharabah-muntahiyyah bi al-tamlik merupakan pengembangan akad
yang sejalan dengan teori multi akad (al-'uqud al-murakkabah). Diduga kuat atau
patut diduga bahwa pembentukan akad mudharabah muntahiyyah bi al-tamlik
bersinergi dengan pembentukan akad-akad yang baru lainnya, terutama akad
musyarakah-mutanaqishah dan akad ijarah muntahiyyah bi al-tamlik.
Dalam hal dugaan tersebut benar atau tepat maka akad mudharabah
muntahiyyah bi al-tamlik merupakan kombinasi akad mudharabah dengan janji
(wa'd) atau saling berjanji (al-muwa'adah) dari para pihak untuk melakukan
pemindahan kepemilikan modal (intiqal almilkiyyah), baik dengan akad jual beli
maupun hibah. Karena berhubungan dengan akad IMBT dan MMQ, patut diduga
pula bahwa modal usaha yang diserahkan shahib al-mal adalah barang (inventori),
bukan modal kerja (uang atau nuqud).
Akad mudharabah-muntahiyyah bi al-tamlik dapat diterapkan karena ulama
membolehkan barang-inventori sebagai modal (ra's al-mal) dalam akad
mudharabah. Ilustrasi produk mudharabah-muntahiyyah bi al-tamlik adalah sebagai
berikut:
a) Para mitra melakukan perjanjian mudharabah. Shahib al-mal
menyerahkan truk sebagai modal usaha yang akan dikelola oleh
pengelola (mudharib).
b) Disepakati bahwa truk akan dikelola oleh mudharib dengan akad ijarah
(sewa) untuk usaha angkutan barang.
c) Disepakati bahwa akad ijarah akan dilakukan selama 10 tahun atau 120
bulan.
d) Disepakati bahwa nisbah bagi hasil adalah 50 : 50 untuk masingmasing
mitra; dan bagi hasil dilakukan setiap tanggal 5 bulan berjalan.
e) Dijanjikan bahwa setelah akad mudharabah berakhir, truk tersebut akan
dijual dengan harga yang disepakati (misalnya 12.5% dari harga beli)
atau akan dihibahkan.
f) Pada saat akad mudharabah berakhir, shahib al-mal (pemodal) menjual
atau menghibahkan truk tersebut kepada mudharib.
74 Kamal Taufiq Muhammad Hathab, ―al-Musyarakah al-Mutanaqishah ka Adah min
Adawat al-Tamwil al-Islami”, dalam Dirasat Iqtishadyah al-Islamiyah (Jedah: al-Bunuk al-
Islami litanmiyah al-Ma'had al-Islami li al-Buhuts wa al-Tadrib. 2003), vol. X, hlm. 19; dan
lihat Muhammad Mushthafa Abuhu al-Syinqithi, Dirasah Syariyyah li Ahammi al-'Uqud
alMaliyah al-Mustahdatsah (Madinah: Maktabat al-Ulum wa al-Hikkam. 2001), vol. I, h.
387.
50
b. Konsep mudharabah-mutanaqishah tampaknya dikembangkan sejalan
dengan konsep musyarakah-mutanaqishah, yaitu modal (yang berupa
barang dari bank) berpindah secara bertahap dari pemodal kepada pelaku
usaha (mudharib) karena pembelian secara bertahap (al-bai' bi al-taqsith).
Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/46/PBI/2005 tentang Akad
Penghimpunan dan Penyaluran Dana bagi Bank yang Melaksanakan
Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah, pasal 6, huruf n, terdapat
ketentuan mengenai pembiayaan mudharabah, yaitu pengembalian
pembiayaan dilakukan pada akhir periode akad untuk pembiayaan dengan
jangka waktu sampai dengan satu tahun atau dilakukan secara angsuran
berdasarkan aliran kas masuk (cash in flow) usaha nasabah.
Secara implisit, ketentuan tersebut mirip dengan konsep
mudharabahmutanaqishah karena modal dari Lembaga Keuangan Syariah
dikembalikan secara bertahap oleh nasabah.
c. Akad mudharabah-musytarakah telah difatwakan oleh DSN-MUI Nomor
50/DSN-MUI/III/2006 yang terdiri atas tiga bagian: 1) ketentuan umum; 2)
ketentuan hukum; dan 3) ketentuan akad. Sebelumnya disajikan mengenai
pertimbangan "yuridis‖ yang berupa tiga buah hadits,75
tiga kaidah fikih,76
ijma',77
dan empat pendapat ulama.
Empat pendapat ulama yang dijadikan pertimbangan yuridis adalah:
1) Pendapat ulama-antara lain Ibn Hisyam yang menjelaskan bahwa Nabi
Saw. berniaga sebagai mudharib ke Syam dengan memanfaatkan harta
75 Tiga buah hadis yang dijadikan pertimbangan yuridis, antara lain:
a. Hadis riwayat Imam al-Tirmidzi dari Nabi Saw. yang menyatakan bahwa umat
Islam terikat dengan perjanjian yang telah dibuatnya (al-muslimun ‗ala
syuruthihim).
b. Hadis riwayat Imam Muslim, Imam al-Turmudzi, Imam Nasa'i, Abu Daud, dan
Ibn Majah dari Abi Hurairah yang substansinya Nabi Saw. mencegah jual-beli
yang mengandung unsur gharar. Lihat Imam Muslim, Shahih Muslim
(Bandung: Dahlan. T.th), vol. I, hlm. 658; dan Abu Daud, Sunan Abu Daud,
vol. III, h. 244.
c. Hadis riwayat Ibn Majah yang substansinya Nabi Saw. melarang
mempersulit pihak lain dan dipersulit oleh pihak lain (la dharar wa la
dhirar). 76 Tiga buah kaidah fikih yang dijadikan pertimbangan yuridis, antara lain:
a. Hukum pokok dalam bermuamalat adalah ibahah (boleh)/al-ashl fi al-
mu'amalat al-ibahah.
b. Kemudaratan harus dihindari sedapat mungkin/al-dharar yudfa' bi qadr al-
imkan.
c. Segala mudarat (bahaya) harus dihilangkan/al-dharar yuzal. 77 Ijma' dianggap sebagai sumber hukum mudharabah-musytarakah karena para
sahabat telah melakukan kegiatan tersebut (mudharabah) dan tidak seorang pun dari mereka
yang mengingkarinya. Lihat Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh (Beirut: Dar
al-Fikr al-Mu'ashir. 1997), vol. V, h. 3.925.
51
Sayyidah Khadijah binti Khuwailid. Setelah fase nubuwah, Nabi Saw.
menceritakan perniagaan tersebut sebagai taqrir.78
2) Pendapat Abu Zaid yang menjelaskan bahwa mudharabah adalah akad
yang disyariatkan tanpa ada ikhtilaf di kalangan pakar fikih. Dalilnya
ditetapkan berdasarkan ijma' yang bersandar pada sunah-taqriri.79
3) Pendapat Ibn Qudamah yang menjelaskan bahwa penyatuan harta
mudharib terhadap modal yang dikelolanya yang berasal dari dua
syarik atau lebih merupakan penggabungan antara akad syirkah dan
akad mudharabah; akad tersebut shahih (boleh dilakukan).80
4) Pendapat Wahbah al-Zuhaili yang menyatakan bahwa pengelola
(mudharib) boleh menyertakan dana miliknya ke dalam akumulasi
modal dengan seizin shahib al-mal. Keuntungan dibagi atas dasar
musyarakah, kemudian mudharib mengambil bagian atas dasar jasa
pengelolaan. Hal tersebut dinamakan mudharabah-musytarakah.81
Di antara empat pendapat tersebut, dua pendapat terakhir yang paling relevan
yakni pendapat Ibn Qudamah dan Wahbah al-Zuhaili. Dalam ketentuan umum
ditegaskan bahwa yang dimaksud dengan mudharabah-musytarakah adalah bentuk
akad mudharabah yang dalam kegiatan usahanya mudharib/pengelola dana
menyertakan dana yang dimilikinya (syirkah) untuk diinvestasikan secara bersama-
sama. Dalam ketentuan hukumnya ditetapkan bahwa akad mudharabah-
musytarakah boleh dilakukan oleh Lembaga Keuangan Syariah karena merupakan
pengembangan dari hukum mudharabah. Dalam fatwa DSN-MUI ditetapkan hal-hal
berikut:
a. Akad mudharabah-musytarakah merupakan perpaduan antara akad
mudharabah dan akad musyarakah.
b. Lembaga Keuangan Syariah--sebagai mudharib/pengelola dana
menyertakan dananya serta disatukan dengan dana nasabah untuk
diinvestasikan.
c. Lembaga Keuangan Syariah-sebagai pihak yang menyertakan dana/syarik-
berhak memperoleh bagian dari hasil usaha berdasarkan porsi modal yang
disertakan.
d. Hasil investasi yang sudah dibagikan antara nasabah dan pengelola--sebagai
syarik--dibagihasilkan antara Lembaga Keuangan Syariah-sebagai
mudharib-dan nasabah (shahib al-mal) sesuai dengan nisbah yang
disepakati.82
78 Ibn Hisyam, al-Sirah al-Nabawiyah (Kairo: Dar al-Hadits. 2004), vol. I, hlm. 141
dan Muhammad Abd al-Mun'im Abu al-Zaid, Nahw Tathwir al-Mudharabah (Kairo:
Maktabah al-Ma'had al-'Alami li al-Fikr al-Islami. 2000), h. 411. 79 Lihat Muhammad Abd al-Mun'im Abu al-Zaid, Nahw Tathwir al-Mudharabah
(Kairo: Maktabah al-Ma'had al-'Alami li al-Fikr al-Islami. 2000), h. 11. 80 Lihat Ibn Qudamah al-Maqdisi, al-Mugni (Kairo: Dar al-Hadits. 2004), vol. Vi, h.
348. 81 Wahbah al-Zuhaili, al-Mu'amalat al-Maliyah al-Mu'ashirah (Damaskus: Dar al-
Fikr. 2002), h. 107. 82 Hasil usaha dalam mudharabah-musytarakah dibagi secara bertahap, yaitu:
52
Catatan; dalam fatwa ini ditegaskan bahwa pembagian hasil usaha yang berupa
keuntungan (tidak mengalami kerugian) dilakukan sesuai dengan jumlah modal
yang disertakan (proporsional), apakah pembagian hasil usaha yang berupa
keuntungan hanya dapat dilakukan secara proporsional atau boleh dilakukan
berdasarkan kesepakatan. Dalam fatwa ini juga dijelaskan bahwa hasil investasi
yang sudah dipisahkan antara nasabah dan perusahaan (dalam kedudukan masing-
masing sebagai shahib al-mal), dibagi sesuai kesepakatan. Hal ini terlihat lebih
luwes karena kesepakatan pembagian hasil usaha dapat berupa kesepakatan yang
sepadan dengan pembagian secara proporsional dan boleh juga tidak.
9. Mudharabah-Musytarakah
Dalam kitab Mausu'ah Fatawa al-Mu'amalat al-Maliyayyah li al-Masharif wa
al-Mu'assasat al-Maliyyah al-Islamiyyah yang disusun oleh 'Ali Jum'ah Muhammad
dkk. dijelaskan dua macam akad mudharabah, yaitu akad mudharabah-fardhiyah
(kadang-kadang disebut akad mudharabah qadimah) dan akad mudharabah-
musytrakah.83
Beberapa bentuk mudharabah musytarakah, antara lain:
a. Pihak atau personalia hukum (subjek hukum)-nya ada tiga, yaitu shahib al-mal
(pemilik modal), mudharib (pengelola), dan Lembaga Keuangan Syariah yang
menghubungkan mudharib dengan shahib al-mal. Sedangkan akad
mudharabah pada umumnya hanya memiliki dua subjek hukum, yaitu shahib
al-mal dan mudharib. Masing-masing (tiga) subjek hukum tersebut berhak
untuk mendapat keuntungan.
b. Dalam mudharabah fardiyyah tidak terdapat unsur pencampuran modal usaha
mudharabah, sedangkan dalam akad mudharabah-musytarakah terdapat unsur
pencampuran modal, baik milik mudharib (Lembaga Keuangan Syariah)
maupun modal dari shahib al-mal lainnya (nasabah dana pihak ketiga). Oleh
karena itu, istilah yang digunakan bagi Lembaga Keuangan Syariah adalah
mudharib-mustatsmir.
c. Mudharabah-musytarakah dijalankan atas prinsip pengembangan harta
(modal), sebagaimana dalam akad syirkah, yaitu berlakunya ketentuan-
ketentuan berikut:
1) Kerugian usaha mudhabarah yang satu dapat ditutupi dari keuntungan
usaha mudharabah yang lainnya.
a. Hasil usaha dibagi antara nasabah dan perusahaan dalam kedudukan
masingmasing sebagai syarik berdasarkan porsi modal yang di-syirkah-kan
(proporsional) atau kesepakatan.
b. Hasil yang merupakan bagian nasabah dibagi lagi antara nasabah sebagai
shahib al-mal dan perusahaan sebagai mudharib. Dengan demikian,
perusahaan mendapat dua bagian: bagian sebagai syarik dan sebagai
pengelola. 83 Ali Jum'ah Muhammad dkk., Mausu'ah Fatawa al-Mu'amalat al-Maliyayyah li al-
Masharif wa al-Mu'assasat al-Maliyyah al-Islamiyyah (Iskandairiyyah-Mesir: Dar al-Salam.
2009), vol. II, h. 190.
53
2) Pembagian keuntungan usaha mudharabah dilakukan secara periodik
sesuai perjanjian atau kebiasaan yang berlaku umum.
3) Pembatalan akad mudharabah yang dilakukan oleh salah satu shahib al-
mal tidak berpengaruh terhadap eksistensi atau keabsahan akad
mudharabah yang lainnya.
d. Dibolehkannya mudharib (Lembaga Keuangan Syariah) menjamin ra's al-mal
(dana pihak ketiga) dalam akad mudharabah musytarakah, sementara
penjaminan mudharib terhadap ra's al-mal pada mudharabah fardiyyah
termasuk batal (fasad) secara hukum.84
Mudharabah-musytarakah dinyatakan
oleh 'Ali Jum'ah Muhammad dkk. sebagai akad mudharabah baru yang berlaku
ketentuan-ketentuan berikut:
1) Diakuinya Lembaga Keuangan Syariah sebagai subjek hukum mudharabah
dengan istilah mudharib-mustatsmir yang berhak mendapatkan
keuntungan.
2) Kebolehan dicampurkannya modal usaha mudharabah dengan modal dari
shahib al-mal yang lainnya atau dicampur dengan dana milik Lembaga
Keuangan Syariah sebagai mudharib.
3) Keuntungan dibagi secara proporsional (sesama shahib al-mal) dan
Lembaga Keuangan Syariah berhak mendapatkan keuntungan sesuai
dengan nisbah yang disepakati dalam masing-masing perjanjian.
4) Mudharib boleh menjamin tentang akad dikembalikannya modal kepada
shahib al-mal (meskipun usahanya mengalami kerugian).
5) Membuat akad mudharabah semakin mendekat ke arah akad syirkah.85
Adapun kerangka mudharabah-musytarakah dapat dilihat pada gambar
berikut.
84 Ali Jum'ah Muhammad dkk., Mausu'ah Fatawa al-Mu'amalat al-Maliyayyah li al-
Masharif wa al-Mu'assasat al-Maliyyah al-Islamiyyah (Iskandairiyyah-Mesir: Dar al-Salam.
2009), vol. 11, h. 192-193. 85 Ali Jum'ah Muhammad dkk., Mausu'ah Fatawa al-Mu'amalat al-Maliyayyah li al-
Masharif wa al-Mu'assasat al-Maliyyah al-Islamiyyah (Iskandairiyyah-Mesir: Dar al-Salam.
2009), vol. II, h. 193.
54
Gambar 2.1
Mudharabah-Musyarakah
Keterangan:
1. Shahib al-mal dalam akad mudharabah-musytarakah lebih dari satu orang
2. Mudharib dalam akad mudharabah-musytarakah hanya satu pihak.
3. Ra's al-mal yang diterima dari masing-masing mudharib disatukan dalam
berbagai kegiatan usaha/pembiayaan.
4. Pembagian keuntungan didasarkan atas nisbah (proporsional/kesepakatan)
dengan memperhatikan porsi modal masing-masing mudharib.
Akad mudharabah-musytarakah dipraktikkan oleh LKS dan telah menjadi
produk tabungan dan deposito karena tabungan dan deposito di LKS dibolehkan
menggunakan akad mudharabah. Hal ini akan dijelaskan pada bagian khusus karena
perhitungan bagi hasilnya memasukkan unsur total dana mudharabah sebagai unsur
yang diperhitungan dalam penentuan bagi hasil.
10. Waktu Pengakuan keuntungan
Penjelasan mengenai keuntungan yang dibagihasilkan dalam akad
mudharabah pada prinsipnya sama dengan ketentuan pembagian keuntungan dalam
akad musyarakah, yaitu bersifat pilihan antara metode bagi laba (profit sharing) dan
metode bagi pendapatan (revenue sharing). Akan tetapi, tidak terdapat ketentuan
mengenai waktu pengakuan keuntungan.
Dalam peraturan perundang-undangan dan hubungannya dengan fatwa
DSN-MUI, kaidah yang digunakan adalah 'urf tijari (kebiasaan yang berlaku di
kalangan pengusaha). Karena „urf yang berkaitan dengan waktu pengakuan
pendapatan yang dilakukan lembaga keuangan adalah bulanan maka secara implisit
fatwa DSN-MUI mengakui ‗urf tersebut. Karenanya, pengakuan pendapatan usaha
mudharabah yang dilakukan Lembaga Keuangan Syariah dapat dilakukan secara
55
bertahap setiap bulan (syahriyyah). Berkaitan dengan ketentuan ini, dalam kitab
fikih terdapat pandangan yang berbeda mengenai waktu pengakuan pendapatan
usaha mudharabah.
Dalam kitab Mausu'ah al-Qawa'id al-Fiqhiyyah al-Munazhzhamah li al-
Mu'amalat al-Maliyyah al-Islamiyyah wa Dauruha fi Taujih al-Nazhm al
Mu'ashirah karya 'Athiyah 'Adlan 'Athiyah Ramadhan, dijelaskan mengenai
hubungan antara modal (ra's al-mal) dan keuntungan (al-ribh). Dijelaskan bahwa
kedudukan modal adalah pokok (ashl) dan kedudukan keuntungan adalah cabang
(farun). Penjelasan ini didasarkan pada kaidah fikih yang terdapat dalam kitab
Kifayat al-Akhyar (1/575) yang berbunyi:86
"Keuntungan usaha mudharabah
merupakan penjaga modal usaha".
Atas dasar kaidah tersebut, ditetapkan bahwa keuntungan usaha
mudharabah hanya boleh diakui oleh para pihak setelah modal usaha dikembalikan
kepada pemilik modal (shahib al-mal). Dengan kata lain, keuntungan usaha
mudharabah boleh diakui oleh pemilik dan pelaku usaha setelah akad mudharabah
berakhir (yaitu setelah modal dikembalikan kepada pemiliknya).
Dikarenakan keuntungan usaha mudharabah yang diterima pengelola
secara periodik (bulanan) bersifat sementara ( (fluktuatif) maka risiko pengakuan
pendapatan bulanan berpotensi melahirkan risiko rugi, yaitu bank syariah sudah
mengakui dan melaporkan keuntungan usaha mudharabah, padahal modal usaha
mudharabah belum tentu kembali secara utuh.
Dengan demikian, terkesan bahwa Lembaga Keuangan Syariah
mengabaikan kaidah "keuntungan usaha mudharabah merupakan penjaga modal
usaha‖ karena tidak sejalan dengan urf tijari yang berlaku pada lembaga keuangan.
Di samping itu, modal usaha mudharabah pada umumnya sudah diasuransikan atau
dijamin pihak ketiga (kafi) dengan akad kafalah sebagai bagian dari ikhtiar mitigasi
risiko hilangnya modal usaha,
Kiranya perlu dibedakan antara usaha yang dilakukan lembaga keuangan dan
usaha yang dilakukan oleh non lembaga keuangan. Kaidah yang menyatakan bahwa
keuntungan usaha hanya boleh diakui setelah modal kembali dapat dipertimbangkan
untuk diberlakukan bagi:
a. Usaha mudhabarah yang pendek jangka waktunya (misalnya di bawah satu
tahun)
b. Usaha mudharabah pada sektor riil (bukan sektor keuangan).
c. Modal usaha mudharabah yang tidak dijamin pihak ketiga (kafil).
11. Berakhirnya Akad Mudharabah
Akad mudharabah, dalam pandangan jumhur ulama, termasuk akad ghair lazim,
yaitu akad yang dapat dibatalkan oleh mudharib atau shahib al-mal kapan saja.
Ulama Malikiah berpendapat bahwa akad mudharabah termasuk akad yang lazim,
yaitu akad yang tidak dapat dibatalkan sepihak oleh mudharib atau shahib al-mal.
Pembatalannya hanya dapat dilakukan atas dasar kesepakatan. Wahbah al-Zuhaili
Munazhzhamah li al-Mu'amalat al-Maliyyah al-Islamiyyah wa Dauruha ſi Taujih al-Nazhm
al-Mu'ashirah (Iskandariyyah: Dar al-Aiman, 2009), h. 474.
56
menjelaskan sebab-sebab yang membuat berakhirnya akad mudharabah, antara
lain:87
a. Pembatalan (al-faskh) atau pemecatan (al-azł). Akad mudharabah berakhir
apabila salah satu pihak (shahib al-mal atau mudharib) menyatakan secara
sepihak tentang berakhirnya mudharabah. Akad mudharabah berakhir apabila
mudharib mengundurkan diri atau shahib al-mal memberhentikan mudharib
sebagai pengelola modal. Pembatalan atau pengakhiran akad mudharabah,
termasuk pemakzulan atau pengunduran diri, berlaku efektif setelah
pengakhiran tersebut diketahui pihak yang berkaitan.
b. Meninggalnya salah satu pihak yang berakad, baik yang meninggal pihak
shahib al-mal maupun pihak mudharib. Karena dalam akad mudharabah, dari
segi sifatnya, sama dengan akad wakalah yang berakhir karena meninggalnya
pihak wakil atau pihak yang mewakilkan (muwakkil).
c. Kehilangan kecakapan hukum; akad mudharabah berakhir apabila shahib al-
mal atau mudharib mengalami kehilangan cakap hukum, baik karena gila (al-
junun) maupun karena idiot atau dinyatakan berada di bawah pengampuan.
d. Shaib al-mal (pemilik modal) berpindah agama (al-riddah). Murtad atau
berpindah agama merupakan kematian secara hukum (sebagaimana akad
berakhir karena wafatnya salah satu pihak yang berakad). Akan tetapi, akad
mudharabah tidak berakhir karena murtadnya mudharib dengan seketika, tetapi
harus terjadi proses pengakhiran akad mudharabah dengan membagikan
keuntungan yang sudah didapat serta mengembalikan modal kepada
pemiliknya. 88
12. Produk Mudharabah
Sebagaimana telah disinggung bahwa akad mudharabah dari segi produk
perbankan dan koperasi BMT dapat digunakan untuk produk penghimpunan dana
atau funding yang berupa tabungan, deposito, giro atau simpanan, serta penyaluran
dana (financing atau lending). Pada produk funding berlaku ketentuan mudharabah-
musytarakah, sedangkan pada produk financing berlaku ketentuan mudharabah,
baik muthlaqah maupun muqayyadah. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat gambar
berikut
87 Wahbah al-Zuhaili, al-Mu'amalat al-Maliyah al-Mu'ashirah (Damaskus: Dar al-
Fikr. 2002), h. 107 88 Wahbah al-Zuhaili, al-Mu'amalat al-Maliyah al-Mu'ashirah …, h 107.
57
Gambar 2.2
Produk Mudharabah pada Kegiatan Financing89
Keterangan:
1. Lembaga Keuangan Syariah dan nasabah (anggota) melakukan negosiasi
serta persyaratan untuk melakukan pembiayaan.
2. Lembaga Keuangan Syariah dan nasabah (anggota) melakukan akad
mudharabah.
3. Lembaga Keuangan Syariah dan nasabah (anggota) menyertakan modal
100% (3a) serta nasabah menyerahkan keahlian usaha/skill (3b).
4. Hasil usaha dibagi berdasarkan nisbah yang disepakati untuk LKS (42) dan
nasabah (4b).
5. Modal usaha dikembalikan kepada LKS jika akad mudharabah berakhir.
D. Musyarakah dan Mudharabah dalam Kompilasi Hukum Ekonomi
Syariah
Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (selanjutnya disebut KHES) telah
mengatur ketentuan syariah mengenai musyarakah yang diatur dalam buku II bab VI
tentang syirkah. Sebagaimana dijelaskan di dalamnya beberapa ketentuan seperti
mengenai hak dan kewajiban para pihak yaitu:90
89 Muhammad Antonio Syafii, Perjalanan Perbankan Syariah di Indonesia: Kelembagaan
dan Kebijakan serta Tantangan ke Depan (Jakarta: Departemen Riset Kebanksentralan.
2016), 35 h. 288. 90 Pusat Pengkajian Hukum Islam Dan Masyarakat Madani, Kompilasi Hukum Ekonomi
Syariah, (Jakarta : Prenada Media, 2017) h. 71
58
1. anggota syirkah mewakili anggota lainnya (wakalah) melakukan akad dengan
pihak ketiga dan/atau menerima pekerjaan dari pihak ketiga untuk kepentingan
syirkah.
2. Masing-masing anggota syirkah bertanggung jawab atas risiko (kafalah) yang
diakibatkan oleh akad yang dilakukannya dengan pihak ketiga dan/ atau
menerima pekerjaan dari pihak ketiga untuk kepentingan syirkah.
3. Seluruh anggota syirkah bertanggung jawab atas risiko yang diakibatkan oleh
akad dengan pihak ketiga yang dilakukan oleh salah satu anggotanya dilakukan
atas persetujuan anggota syirkah lainnya. yang
4. Pihak-pihak dalam akad syirkah harus cakap melakukan perbuatan hukum.
5. Dalam akad yang tidak mencantumkan adanya bentuk jaminan, maka para
pihak tidak saling menjamin antara yang satu dengan yang lain.
6. Bagian Kelima berisi ketentuan umum mengenai Syirkah 'Inan yang
menjelaskan bahwa syirkah 'inan dapat dilakukan dalam bentuk kerja sama
modal sekaligus kerja sama keahlian dan/atau kerja di mana pembagian
keuntungan dan/atau kerugian dalam kerja sama modal dan kerja ditetapkan
berdasarkan kesepakatan.91
Dalam syirkah „inan berlaku ketentuan yang mengikat para pihak dan modal
yang disertakannya. Para pihak dalam syirkah „inan tidak wajib untuk menyerahkan
semua uangnya sebagai sumber dana modal dan dibolehkan mempunyai harta yang
terpisah dari modal syirkah „inan. Pembagian untung rugi dalam syirkah „inan
ditentukan sebagai berikut:
1. Nilai kerugian dan kerusakan yang terjadi bukan karena kelalaian para pihak
dalam syirkah al-'inan, wajib ditanggung secara proporsional,
2. Keuntungan yang diperoleh dalam syirkah inan dibagi secara proporsional.
Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah yang diterbitkan pusat pengkajian hukum Islam
dan masyarakat madani menjelaskan tentang mudharabah yang terdapat dalam BAB
VIII yaitu:
1. Syarat dan Rukun mudharabah yang terdapat dalam pasal 231 sampai dengan
237 bahwa:
a. Pemilik modal wajib menyerahkan dana dan/ atau barang yang berharga
kepada pihak lain untuk melakukan kerja sama dalam usaha. dan Penerima
modal menjalankan usaha dalam bidang yang disepakari. Serta
Kesepakatan bidang usaha yang akan dilakukan ditetapkan dalam akad;
b. Yang termasuk Rukun kerja sama dalam Pemilik modal dan usaha adalah
shahib al-mal/pemilik modal, mudharib/pelaku usaha; dan akad.
c. Kesepakatan bidang usaha yang akan dilakukan dapat bersifat
mutlak/bebas dan muqayyad/terbatas pada bidang usaha tertentu, tempat
tertentu, dan waktu tertentu.
d. Pihak yang melakukan usaha dalam syirkah al-mudharabah harus
memiliki keterampilan yang diperlukan dalam usaha.
91 Pusat Pengkajian Hukum Islam Dan Masyarakat Madani, Kompilasi Hukum
Ekonomi.....,h.72
59
e. Modal harus berupa barang, uang dan/atau barang yang berharga., Modal
harus diserahkan kepada pelaku usaha/mudharib, Jumlah modal dalam
suatu akad mudharabah harus dinyatakan dengan pasti.
f. Pembagian keuntungan hasil usaha antara shahib al-mal dengan mudharib
dinyatakan secara jelas dan pasti.
g. Akad mudharabah yang tidak memenuhi syarat, adalah batal.
2. Ketentuan mudharabah terdapat dalam pasal 238 sampai dengan pasal 254
bahwa:
a. Status benda yang berada di tangan mudharib yang diterima dari shahib al-
mal, adalah modal, mudharib berkedudukan sebagai wakil shahib al-mal
dalam menggunakan modal yang diterimanya, dan Keuntungan yang
dihasilkan dalam mudharabah, menjadi milik bersama.
b. Mudharib berhak membeli barang dengan maksud menjualnya kembali
untuk memperoleh untung, mudharib berhak menjual dengan harga tinggi
atau rendah, baik dengan tunai maupun cicilan, mudharib berhak
menerima pembayaran dari harga barang dengan pengalihan piutang, dan
mudharib tidak boleh menjual barang dalam jangka waktu yang tidak biasa
dilakukan oleh para pedagang.
c. Mudharib tidak boleh menghibahkan, menyedekahkan, dan/atau
meminjamkan harta kerja sama, kecuali bila mendapat izin dari pemilik
modal.
d. Mudharib berhak memberi kuasa kepada pihak lain untuk bertindak
sebagai wakilnya untuk membeli dan menjual barang apabila sudah
disepakati dalam akad mudharabah, Mudharib berhak mendepositokan
dan menginvestasikan harta kerja sama dengan sistem syariah, dan
mudharib berhak menghubungi pihak lain untuk melakukan jual beli
barang sesuai dengan kesepakatan dalam akad.
e. Mudharib berhak atas keuntungan sebagai imbalan pekerjaannya yang
disepakati dalam akad, serta Mudharib tidak berhak mendapatkan imbalan
apabila usaha yang dilakukannya rugi.
f. Pemilik modal berhak atas keuntungan berdasarkan modalnya yang
disepakati dalam akad, serta Pemilik modal tidak berhak mendapatkan
keuntungan apabila usaha yang dilakukan oleh mudharib merugi.
g. Mudharib tidak boleh mencampurkan kekayaannya sendiri dengan harta
kerja sama dalain melakukan mudharabah, kecuali bila sudah menjadi
kebiasaan di kalangan pelaku usaha.
h. Mudharib dibolehkan mencampurkan kekayaannya sendiri dengan harta
mudharabah apabila mendapat izin dari pemilik modal dalam melakukan
usaha-usaha khusus tertentu.
i. Keuntungan hasil usaha yang menggunakan modal campuran/shahib al-
mal dan mudharib, di bagi secara proporsional atau atas dasar kesepakatan
semua pihak.
j. Biaya perjalanın yang dilakukan oleh mudharib dalam rangka
melaksanakan bisnis kerja sama, dibebankan pada modal dari shahib al-
mal.
60
k. Mudharib wajib menjaga dan melaksanakan ketentuan-ketentuan yang
ditetapkan oleh pemilik modal dalam akad.
l. Mudharib wajib bertanggung jawab terhadap risiko kerugian dan/atau
kerusakan yang diakibatkan oleh usahanya yang melampaui batas yang
diizinkan dan/atau tidak sejalan dengan ketentuan-ketentuan yang telah
ditentukan dalam akad.
m. Akad mudharabah selesai apabila waktu kerja sama yang disepakati dalam
akad telah berakhir.
n. Pemilik modal dapat mengakhiri kesepakatan apabila ada pihak yang
melanggar kesepakatan dalam akad mudharabah, Pemberhentian kerja
sama oleh pemilik modal diberitahukan kepada mudharib, Mudharib wajib
mengembalikan modal dan keuntungan kepada pemilik modal yang
menjadi hak pemilik modal dalam kerja sama-mudharabah, serta
Perselisihan antara pemilik modal dengan mudharib dapat diselesaikan
dengan shuth/ al-shulh dan/atau melalui pengadilan,
o. Kerugian usaha dan kerusakan barang dagangan dalam kerja sama-
mudharabah yang terjadi bukan karena kelalaian mudharib, dibebankan
pada pemilik modal.
p. Akad mudharabah berakhir dengan sendirinya apabila pemilik modal atau
mudharib meninggal dunia, atau tidak cakap melakukan perbuatan hukum.
q. Pemilik modal berhak melakukan penaginan terhadap pihak-pihak lain
berdasarkan bukti dari mudharib yang telah meningal dunia, serta
Kerugian yang diakibatkan oleh meninggalnya mudharib, dibebankan pada
pemilik modal.92
3. Shariah Standard yang Dikeluarkan oleh Accounting and Auditing
Organization for Islamic Financial Institution (AAOIFI) No 12.
Di dalam AAOIFI, terdapat pula pedoman bagi implementasi produk
musyarakah yang secara umum harus mengacu pula pada karakteristik
musyarakah.
a. Standar syariah akad musyarakah ditetapkan AAOIFI sebagai berikut:
1) Masing-masing pihak dalam musyarakah merupakan wakil (trustee)
atas pihak lainnya terhadap aset yang dimiliki bersama, sehingga
seluruh pihak secara bersama-sama bertanggung jawab atas segala
keuntungan dan kerugian atas aset tersebut;
a) Distribusi keuntungan usaha dapat berdasarkan laba kotor (gross
profit) maupun laba bersih (nett profit) dengan
mempertimbangkan keadilan dan transparansi;
b) Dalam hal keuntungan melebihi target keuntungan yang
disepakati, maka diperbolehkan untuk mendistribusikan
kelebihan keuntungan tersebut pada salah satu pihak (atau
seluruh pihak) dengan menetapkan jumlah tertentu bagi pihak
92 Pusat Pengkajian Hukum Islam Dan Masyarakat Madani, Kompilasi Hukum
Ekonomi.....,h.73
61
tertentu. Jika keuntungan tidak mencapai target atau berada di
bawah target, distribusi keuntungan hanya dilakukan sesuai
nisbah bagi hasil yang disepakati dalam perjanjian di awal.
2) Dalam hal syirkah uqud, tidak diperbolehkan memperjanjikan
pembelian aset pada awal perjanjian dengan menetapkan harga
berdasarkan face value atau pre-agreed value bagi satu pihak untuk
membeli aset tersebut.
3) Dalam hal terjadi kerugian dalam usaha atau aset modal yang
berkurang maka kerugian ditanggung secara proporsional sesuai
komposisi penyertaan modal masing-masing pihak. Jika kerugian
diakibatkan oleh salah satu pihak, pihak tersebut yang harus
menanggung seluruh akibat dari kerugian tersebut.
b. Standar syariah musyarakah ditetapkan AAOIF
1) Musyarakah mutanaqishah adalah bentuk musyarakah di mana para
mitra (syarik) berjanji untuk membeli bagian kepemilikan (equity
share) dari mitra yang lain secara bertahap sampai kepemilikannya
secara sempurna berpindah kepadanya. Transaksi ini dimulai dengan
pembentukan musyarakah yang sesudahnya diikuti dengan jual-beli
dari bagian kepemilikan (equity) yang terjadi diantara kedua mitra.
Perlu ditekankan bahwa jual beli ini tidak boleh disyaratkan dalam
kontrak musyarakah.
Dengan kata lain mitra yang akan membeli itu diizinkan untuk
memberi janji (wad) untuk membeli, namun wad tersebut harus
terpisah (independent) dari akad musyarakah. Sebagai tambahan,
kesepakatan jual-beli juga harus terpisah dari musyarakah. Tidak
dibolehkan satu kontrak menjadi suatu syarat untuk melakukan
kontrak lainnya.
2) Ketentuan umum untuk musyarakah harus diterapkan pada
musyarakah mutanaqishah, terutama ketentuan tentang syirkah
‗inan. Tidak diperbolehkan dalam akad musyarakah mutanaqishah
memuat ketentuan yang memberikan keisitimewaan bagi pihak
manapun hak untuk menarik partisipasinya dalam modal.
3) Tidak diperbolehkan bersepakat bahwa salah satu menanggung
semua biaya asuransi atau pemeliharaan atas dasar bahwa pada
akhirnya mitra tersebut akan memiliki objek musyarakah.
4) Setiap mitra (syarik) harus menyediakan bagian modal. Penyediaan
modal dapat berbentuk kas atau aset yang dapat dinilai menurut nilai
uang, misalnya sebidang tanah untuk bangunan atau peralatan yang
diperlukan untuk operasional musyarakah. Kerugian, jika ada, harus
ditanggung secara periodis oleh para pihak sesuai dengan rasio
penyediaan setiap mitra, ketika saham dari satu pihak menurun dan
bagian pihak lain meningkat.
5) Nisbah keuntungan atau pendapatan dari musyarakah yang
merupakan hak setiap pihak harus secara jelas ditentukan/
disepakati. Namun diperbolehkan bagi para pihak untuk menyetujui
nisbah keuntungan yang tidak selalu merujuk kepada rasio
62
kepemilikan modal/bagian. Juga dibolehkan bagi para pihak untuk
memelihara93
nisbah keuntungan. Meskipun rasio kepemilikan
modal telah berubah, atau menyepakati untuk mengubah nisbah
keuntungan karena perubahan dari rasio kepemilikan modal. Dalam
penerapannya para pihak harus memastikan, bahwa prinsip alokasi
kerugian yang sesuai dengan rasio kepemilikan saham, harus tetap
dipertahankan.
6) Tidak dibolehkan mengatur agar salah satu pihak memiliki hak
untuk menerima keuntungan berdasarkan jumlah tertentu (lump
sum).
7) Dibolehkan bagi salah satu mitra untuk memberikan janji yang
mengikat (berdasarkan kontrak jual beli) yang memberikan hak
kepada mitranya untuk mendapatkan bagian kepemilikannya (equity
share) secara bertahap dengan memperhatikan nilai pasar atau pada
harga yang disepakati pada saat pengalihan. Namun tidak boleh
mensyaratkan bahwa bagian kepemilikan itu dialihkan/ diperoleh
pada harga awal (face value). Mengingat hal ini akan menciptakan
jaminan dari nilai bagian kepemilikan dari salah satu mitra (atau
lembaga) oleh mitra yang lain, yang tidak dibolehkan dalam syariah.
8) Para mitra dapat menyimpan perolehan bagian kepemilikannya dari
syirkah. Maksudnya, janji untuk menyisihkan sebagian dari
keuntungan yang dia peroleh dari musyarakah, untuk membayar
harga pengalihan porsi kepemilikan (equity) dari mitra lain. Objek
musyarakah dapat dibagi menjadi beberapa bagian (shares) yang di
dalamnya salah satu mitra dapat membeli sejumlah bagian tertentu
pada periode (interval) tertentu sampai mitra tersebut memiliki
secara keseluruhan porsi saham dalam syirkah dan dengan demikian
menjadi satu-satunya pemilik objek musyarakah.
9) Dibolehkan bagi salah satu mitra untuk menyewa bagian
kepemilikan mitra yang lain untuk jumlah tertentu dan periode yang
diinginkan namun di dalam kesepakatannya setiap mitra tetap
bertanggung jawab untuk pemeliharaan bagiannya secara regular.
c. Rukun yang harus dipenuhi dalam musyarakah mutanaqishah,
ditentukan sebagai berikut:
1) Pihak yang berakad, Seluruh mitra merupakan penyedia dan
penyerta modal (shahib-al-maal) dan pemilik properti syirkah
secara bersama sedangkan salah satu mitra selain sebagai pemilik
modal juga bisa sebagai penyewa properti bersama tersebut
(musta'jir).
93 Mermelihara maksudnya adalah tetap menggunakan nisbah atas keuntungan yang
disepakati pada awal akad, tidak mengikuti perubahan porsi kepemilikan yang terjadi akibat
penjualan dan pembelian porsi masing-masing pihak (penjelasan diambil dari, M.Nejatullah
Siddiqi, h.9-10.)
63
2) Modal, Masing-masing pihak Bank dan Nasabah menyertakan
modal dengan tujuan untuk membeli suatu properti tertentu yang
akan disewakan kepada Nasabah (atau pihak lain).
3) Objek akad, Objek akad berupa aset properti yang akan dimiliki
bersama, disewakan dan menghasilkan keuntungan bagi para pihak.
4) Ijab Qabul, Terdapat pernyataan penawaran (ijab) dan penerimaan
(qabul) sebagai perwujudan kehendak masing-masing dalam
mengadakan perjanjian (akad).
5) Nisbah Bagi Hasil, Pembagian porsi keuntungan yang akan
diperoleh para pihak dalam bentuk persentase bukan jumlah uang
yang tetap. Metoda yang digunakan dalam praktik adalah metoda
pengambilan keuntungan secara anuitas94
.
E. Fatwa Tentang mudharabah dan musyarakah oleh DSN-MUI
1. Metode penetapan fatwa dan prosedur pemberian fatwa
Sejalan dengan perkembangan lembaga-lembaga keuangan syariah, ulama
semakin tertuntut untuk turut serta dalam memberikan masukan untuk ke. majuan
lembaga tersebut. Dalam rangka mengantisipasi tuntutan tersebut, Majelis Ulama
Indonesia (MUI) membentuk Dewan Syariah Nasional (DSN) yang dianggap
sebagai lembaga efisien untuk mengoordinasikan ulama dalam menanggapi isu-isu
yang berhubungan dengan masalah ekonomi atau keuangan. Di samping itu, DSN
diharapkan berfungsi sebagai pendorong penerapan ajaran Islam dalam kehidupan
ekonomi. Oleh karena itu, DSN berperan serta secara proaktif dalam menanggapi
perkembangan masyarakat Indonesia dalam bidang ekonomi dan keuangan. 95
Majelis Ulama Indonesia (MUI) telah membentuk sebuah lembaga yang diberi
nama Dewan Syariah Nasional (DSN-MUI) yang bertugas membuat fatwa guna
memberikan masukan bagi pihak-pihak regulator Lembaga-Lembaga Bisnis
Syariah (LBS), termasuk Lembaga Keuangan Syariah (LKS). MUI secara resmi
telah mengeluarkan fatwa di awal tahun 2004 tentang haramnya bunga bank
disamping telah menerrbitkan saat ini lebih dari 100 fatwa tentang produk-produk
bank syariah, keuangan syariah sampai layanan keuangan syariah berbasis
teknologi informasi (fintek). 96
Sebagaimana dijelaskan di atas, bahwasanya salah satu tugas utama Dewan
Syariah Nasional (DSN) adalah mengeluarkan fatwa dalam bidang ckonomi
syariah. Fatwa yang dikeluarkan oleh DSN menjadi pedoman bagi lembaga.
94 Sehubungan dengan metode pembagian keuntungan yang diterapkan dalam
pembiayaan musyarakah mutanaqishah, ditetapkan berdasarkan metode pengambilan
keuntungan secara anuitas atau dikenal sebagai hisabat-tanazul. DSN-MUI telah
mengeluarkan fatwa tentang kebolehan Anuitas dalam penentuan keuntungan, melalui Fatwa
DSN Nomor 84/DSN-MUI/XII/2012 tentang Metode Pengakuan Keuntungan. 95 Panji Adam, Analisis Fatwa Dewan Syariah Nasional (DSN) MUI Nomor 13 Tahun 2000
tentang Uang Muka dalam Murabahah, (Bandung : Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan
Gunung Djati Bandung, 2013) h. 81 96 Euis Amalia, Orasi Ilmiah : Akselerasi Sistem Ekonomi IslamTerintegrasi Untuk Ekonomi
Indonesia Yang Berkeadilan.( Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2020) h.33
64
lembaga keuangan syariah. Fatwa tersebut dikeluarkan atas permintaan atau
pertanyaan secara individu atau lembaga yang menghendaki adanya kepastian
hukum secara syar'i atas problem yang dihadapinya. Setiap fatwa yang dikeluarkan
DSN didasarkan atas tujuan agar seluruh operasional keuangan syariah sesuai
dengan prinsip-prinsip syariah. 97
Fatwa yang dikeluarkan oleh DSN tidak hanya dipedomani oleh seluruh
lembaga keuangan syariah, tetapi menjadi sumber materil dalam menentukan
keabsahan operasional lembaga keuangan syariah. Dengan kata lain, kontribusi
fatwa yang dikeluarkan oleh DSN merupakan sumber materil yang dimuat dalam
Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (KHES). 98
Metode penetapan fatwa DSN adalah mengikuti pedoman atau panduan yang
telah ditetapkan oleh komisi fatwa MUI. Adapun pedoman fatwa MUI tertuang
dalam Surat Keputusan Majelis Ulama Indonesia No. U-59/MUI/ X/1997. Dalam
Surat Keputusan ini terdapat 3 (tiga) bagian proses utama dalam menentukan fatwa,
yaitu dasar-dasar umum penetapan fatwa, prosedur penetapan fatwa, serta teknik
dan kewenangan organisasi dalam penetapan fatwa. 99
Dasar-dasar umum penetapan fatwa MUI ditetapkan dalam Pasal 2 ayat (1) dan
(2). Dalam ayat (1) disebutkan bahwa setiap fatwa didasarkan pada al-'illat al-
ahkam yang paling kuat dan membawa kemaslahatan bagi umat. Kemudian dalam
ayat (2) disebutkan bahwa dasar-dasar fatwa adalah al-quran, hadits, ijma', qiyas,
dan dalil-dalil hukum lainnya. Kemudian prosedur penetapan fatwa yang di
keluarkan MUI menggunakan langkah-langkah sebagai berikut.
a. Setiap masalah yang diajukan MUI dibahas dalam rapat komisi untuk
mengetahui substansi dan duduk masalahnya.
b. Dalam rapat komisi, dihadirkan ahli yang berkaitan dengan masalah, yang akan
difatwakan untuk didengar pendapatnya sebagai bahan pertimbangan.
c. Setelah mendengar ahli didengar dan dipertimbangkan, ulama melakukan
kajian terhadap pendapat para imam mazhab dan fugaha dengan
memperhatikan dalil-dalil yang digunakan dengan berbagai cara Istidlal dan
kemaslahatannya bagi umat. Apabila pendapat-pendapat ulama seragam atau
hanya satu ulama yang memiliki pendapat, komisi dapat menjadikan pendapat
tersebut sebagai fatwa. 100
d. Jika fuqaha memiliki ragam pendapat, komisi melakukan pemilihan pendapat
melalui tarjih dan memilih salah satu pendapat untuk difatwakan.
e. Jika tarjih tidak menghasilkan produk yang diharapkan, komisi dapat
melakukan “al-haqul asail bi nadzoiriha‖ dengan memerhatikan mulhaqn bih,
mulhaq ilayah, dan wajh al-ilhaqi.
97 Khatibul Umam, Legislasi Fiqh Ekonomi dan Penerapannya Dalam Produk Perbankan Syariah di Indonesia, (Yogyakarta, BPFE, 2011) h. 49 98 Khatibul Umam, Legislasi..................h. 58 99 Jaih Mubarok, Metodologi Ijtihad Hukum Islam (Yogyakarta : UII Press,2002) h. 169
100 Jaih Mubarok, Metodologi Ijtihad Hukum Islam (Yogyakarta : UII Press,2002) h. 170
65
f. Apabila cara ilhaq tidak menghasilkan produk yang memuaskan, komisi dapat
melakukan ijtihad jam'i dengan menggunakan al-qawa'id al-ushuliyat dan al-
qawa'id al-fiqhiyyat.
Adapun kewenangan MUI adalah berfatwa tentang hal-hal sebagai berikut: (a)
Masalah-masalah keagamaan yang bersifat umum dan menyangkut umat Islam
Indonesia secara nasional: dan (b) Masalah-masalah keagamaan di suatu daerah
yang diduga dapat memperluas ke daerah lain. Teknik berfatwa yang dilakukan oleh
MUI adalah rapat komisi dengan menghadirkan ahli yang diperlukan dalam
membahas suatu permasalahan yang akan difatwakan. Rapat komisi dilakukan
apabila ada pertanyaan atau ada permasalahan yang diajukan, baik pertanyaan atau
permasalahan itu sendiri berasal dari pemerintah, lembaga sosial kemasyarakatan,
maupun dari MUI sendiri.101
DSN-MUI juga telah membuat pedoman untuk menetapkan sebuah fatwa
sebagaimana telah ditetapkan dalam Pedoman Dasar dan Pedoman Rumah sega
tersebut di atas, yaitu sebagai berikut.
a. Badan Pelaksana Harian menerima usulan atau pertanyaan hukum mengenai
suatu produk lembaga keuangan syariah. Usulan ataupun pertanyaan ditujukan
kepada Sekretariat Badan Pelaksana Harian.
b. Sekretariat yang dipimpin oleh Sekretaris paling lambat 1 (satu) hari kerja
setelah menerima usulan/pertanyaan harus menyampaikan permasalahan
kepada Ketua.
c. Ketua Badan Pelaksana Harian bersama anggota dan staf ahli selambat
jambatnya 20 hari kerja harus membuat memorandum khusus yang berisi telaah
dan pembahasan terhadap suatu pertanyaan/usulan.
d. Ketua Badan Pelaksana Harian selanjutnya membawa hasil pembahasan ke
dalam Rapat Pleno Dewan Syariah Nasional untuk mendapat pengesahan.
e. Fatwa atau memorandum Dewan Syariah Nasional ditandatangani oleh Ketua
dan Sekretaris Dewan Syariah Nasional. 102
f. Menurut Kanny Hidaya sebagaimana dikutip oleh Khotibul Umam," bahwa
dalam pembuatan fatwa, DSN-MUI menggunakan empat sumber hukum yang
disepakati oleh para ulama Sunni, yaitu al-quran, al-hadits, ijma', dan qiyas.
Selain itu, DSN-MUI juga sering menggunakan salah satu sumber hukum yang
diperselisihkan, yaitu istishan, maslahah al-mursalah, istishab, sadd al-
dzarifah, 'urf, madzhab shahabi, dan syar'u man qablana. 103
Lebih lanjut menurut Kanny Hidaya, DSN-MUI akan melihat pada kitabkitab
fikih masyhur yang berasal dari mazhab klasik (Hanafi, Maliki, Syafi'i, dan
Hanbali) dan kitab-kitab fikih kontemporer, Ketika ditemukan adanya suatu
Rendapat yang membenarkan sesuatu perbuatan muamalah dan berbeda dengan
(jumhur), maka menurut DSN bisa dipakai. Hal ini mendasarkan pada kaidah
102 Jaih Mubarok, Metodologi.....................h. 172 103 Khatibul Umam, Legislasi Fiqh Ekonomi dan Penerapannya Dalam Produk Perbankan Syariah di Indonesia, (Yogyakarta, BPFE, 2011) h. 49
66
hukum muamalah, yaitu bahwa segala perbuatan di bidang muamalah adalah boleh,
kecuali ada dalil yang secara tegas melarangnya. 104
Fatwa tentang sesuatu tidak boleh ada unsur mafsadat. Oleh karenanya semua
pendapat dari para ulama yang terwadahi di DSN akan didengarkan Apabila dalam
pleno terdapat perbedaan atau dengan kata lain tidak terdapat permufakatan bulat,
maka fatwa akan diputuskan melalui mekanisme voting dengan voting ini apabila
hanya sedikit yang tidak setuju, maka fatwa tetap akan dikeluarkan sepanjang tidak
mengandung mafsadat di dalamnya.
Prosedur Penetapan Fatwa yang telah dikemukakan di atas dapat dikemukakan
secara ringkas, yaitu sebagai berikut."
1. Masalah dari Industri, regulator diajukan ke Pokja-Pokja yang ada:
a. Case hearing dengan pemohon.
b. Klarifikasi dengan pihak terkait.
c. Draf formulasi masalah.
d. Konfirmasi para pihak.
e. Formulasi masalah.
2. Draf farwa dari Badan Pelaksana Harian dibahas dalam Rapat Pleno Badan
Pelaksana Harian:
a. Kajian hukum.
(1) Analisis adillah.
(2) Analisis terhadap qawal.
b. Industri dan regulator hearing.
c. Draf formulasi solusi.
d. konfirmasi kepada regulator.
e. Formulasi solusi/draf fatwa
3. Draf Fatwa dari Badan Pelaksana Harian dibahas dalam pleno:
a. fatwa oleh Badan Pelaksana Harian.
b. Tanggapan pleno (umum dan khusus)
c. Penyempurnaan draf fatwa
d. Harmonisasi dengan fatwa regulasi lain
e. Persetujuan fatwa
Metode instinbath hukum dalam pembuatan fatwa sebagaimana tersebut secara
Sumber : Annual Report Bank Muamalat tahun 2017-2020
5) Syariah compliance Pada Bank Muamalat
Selanjutnya pada bank Muamalat pelaksanaan fungsi kepatuhan adalah
serangkaian tindakan atau langkah-langkah yang bersifat ex ante (preventif) untuk
memastikan bahwa kebijakan, ketentuan, sistem, dan prosedur, serta kegiatan usaha
yang dilakukan oleh bank telah sesuai dengan ketentuan bank Indonesia dan
perarturan perundang-undangan yang berlaku, termasuk sesuai dengan prinsip
syariah, serta memastikan kepatuhan bank terhadap komitmen yang dibuat oleh
bank kepada bank Indonesia dan atau otoritas pengawas lain yang berwenang. Di
bank Muamalat terdapat direktur kepatuhan yang juga membawahi fungsi
manajemen risiko.27
Dalam praktiknya fungsi manajemen risiko bukanlah
merupakan fungsi yang melakukan pengambilan keputusan akhir ataupun
transaksional, namun lebih kepada proses identifikasi, pengukuran, monitoring dan
pengendalian risiko. Hasil review divisi manajemen risiko akan digunakan sebagai
pertimbangan bagi unit bisnis dalam pengambilan keputusan akhir. Rekomendasi
dari fungsi divisi manajemen risiko sifatnya tidak mengikat, sehingga ketika divisi
manajemen risiko tidak merekomendasikan (misalnya suatu pengajuan pembiayaan)
maka unit bisnis masih dapat melanjutkan proses dan memberikan persetujuan atas
pengajuan pembiayaan tersebut.
Mengacu pada PBI No.13/2/PB/2011 tanggal 12 Januari 2011, tugas dan
tanggungjawab direktur kepatuhan adalah : merumuskan strategi guna mendorong
terciptanya budaya kepatuhan bank, memastikan bahwa seluruh kebijakan,
ketentuan, sistem, prosedur serta kegiatan usaha yang dilakukan bank telah sesuai
dengan ketentuan bank Indonesia dan peraturan perundangan yang berlaku,
26 Wawancara dengan manajemen bank Muamalat, tanggal 20 April 2021
27 GCG Report bank Muamalat tahun 2020. ( Jakarta :Bank Muamalat, 2019) h. 56
179
termasuk prinsip syariah bagi bank umum syariah dan unit usaha syariah,
meminimalkan risiko kepatuhan bank.28
Bank Muamalat juga mempunyai Divisi Kepatuhan/Compliance Divison
(CD) yang terdiri dari 4 (empat) Departement yaitu General Compliance
Departement, Sharia Compliance departement, Unit Kerja khusus Anti Pencucian
Uang dan Pencegahan Pendanaan Terorisme (APU & PPT) dan Policy and
Procedure Departement, yang keseluruhannya bertanggung .jawab kepada
Compliance & Risk Management Director melalui Compliance Divison Head. 29
Divisi Kepatuhan mempunyai tugas dan tanggung jawab sebagai berikut :
1. Membantu dalam menetapkan langkah-langkah yang diperlukan guna
memastikan kepatuhan bank dalam memenuhi seluruh peraturan internal dan
eksternal serta peraturan perundangan lain yang berlaku dalam rangka
pelaksanaan prinsip kehati-hatian, termasuk pemenuhan terhadap aspek syariah.
2. Membantu memantau dan menjaga agar kegiatan usaha bank tidak
menyimpang dari ketentuan yang berlaku (secara umum dan syariah)
3. Membuat langkah-langkah dalam rangka mendukung terciptanya budaya
kepatuhan pada seluruh kegiatan usaha Bank pada setiap jenjang organisasi.
4. Melakukan identifikasi, pengukuran, monitoring dan pengendalian terhadap
risiko kepatuhan dengan mengacu kepada peraturan Bank Indonesia mengenai
penerapan manajemen risiko bagi bank umum syariah
5. Melakukan pemantauan dan evaluasi secara berkala terhadap perkembangan
risiko-risiko kepatuhan dan pengendalian internal untuk kepentingan bank
sesuai dengan perkembangan bisnis.
6. Menilai dan mengevaluasi efektifitas, kecukupan, kesesuaian, kebijakan,
ketentuan, sistem maupun prosedur yang dimiliki oleh bank dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
7. Melakukan review dan/atau merekomendasikan kebijakan, ketentuan sistem
maupun prosedur yang dimiliki oleh bank agar sesuai dengan ketentuan Bank
Indonesia dan peraturan perundang-undangan yang berlaku termasukprinsip
syariah bagi bank umum syariah dan unit usaha syariah.
8. Melakukan sosialisasi kepada seluruh karyawan bank mengenai hal-hal yang
berkaitan dengan fungsi kepatuhan.
9. Khusus untuk karyawan Sharia Compliance, bertugas membantu Dewan
Pengawas Syariah dan berperan sebagai Liasion Officer antara Bank Muamalat
Indonesia dengan Dewan Pengawas Syariah dalam melaksanakan pengawasan
terhadap aspek syariah secara rutin dan membantu menyusun laporan
pengawasan Dewan Pengawas Syariah setiap semester yang wajib disampaikan
kepada Bank Indonesia.30
28
PBI No.13/2/PB/2011 tanggal 12 Januari 2011, dalam GCG Report bank Muamalat tahun
2020. 29 GCG Report,.. h. 56 30 GCG Report...., h.55
180
2 Dirkursus Tentang Kepatuhan syariah (Shariah Compliance)
Hasil penelitian Bank Indonesia kerjasama dengan Ernst dan Young menyimpulkan bahwa peran DPS belum optimal. Dilanggarnya syariah compliance akibat lemahnya pengawasan DPS memiliki dampak terhadap risk manajemen.
31
Jenis manajemen risiko yang terkait erat dengan peran DPS adalah risiko reputasi yang selanjutnya berdampak pada displaced commercial risk, seperti risiko likuiditas dan resiko lainnya. Jika peran DPS tidak optimal dalam melakukan pegawasan syariah terhadap praktik syariah yang berakibat pada pelanggaran syariah compliance, maka citra dan kredibilitas bank syariah di mata masyarakat menjadi negatif, sehingga dapat menurunkan kepercayaan masyarakat kepada bank syariah bersangkutan. Hal inilah yang dikatakan oleh Shanin A.Shayan CEO and Board Member of Barakat Foundation “The biggest risk facing the global Financial System is not a fall in its earning power but most importantly a loss of faith and credibility on how it work”s32
Jadi menurutnya risiko terbesar menghadapi system keuangan global bukanlah kesalahan tentang kemampuan menciptakan laba, tetapi yang lebih penting adalah kehilangan kepercayaan dan kredibiliatas tentang bagaimana operasional kerjanya, Di sinilah, peran DPS perlu dioptimalkan, agar mereka bisa memastikan segala produk dan sistem operasinal bank syariah benar-benar sesuai syariah. The role of syariah Board : to ensure that every transaction complies with Islamic Law, Untuk memastikan setiap transaksi sesuai dengan hukum Islam, anggota DPS harus memahami ilmu ekonomi dan perbankan dan berpengalaman luas di bidang hukum Islam. Dengan demikian kualifikasi menjadi anggota DPS mestilah memahami ilmu ekonomi dan keuangan serta perbankan. Namun, sangat disayangkan, masih banyak DPS yang belum memahami ilmu ekonomi keuangan dan perbankan. Selain mereka tidak memahami ilmu tersebut, mereka juga masih banyak yang tidak melakukan supervisi dan pemeriksaan akad-akad yang ada di perbankan syariah. Padahal menurut ketentuannya, Dewan Pengawas Syariah bekerja secara independen dan bebas untuk meninjau dan komentar pada semua kontrak dan transaksi (The Sharia Supervisory Board works independently and is free to review and comment on all contracts and transactions).33
3. Landasan Yuridis Tentang Kepatuhan syariah (Shariah Compliance)
Undang-Undang UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.34
dan
UU No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah.35
Kedua Undang-Undang ini
31 Bank Indonesia kerjasama dengan Ernst dan Young, peran DPS belum
optimal. Dilanggarnya syariah compliance akibat lemahnya pengawasan DPS memiliki
dampak terhadap risk manajemen, 2008. 32 Bank Indonesia kerjasama dengan Ernst dan Young, peran DPS belum
optimal. Dilanggarnya syariah compliance akibat lemahnya pengawasan DPS memiliki
dampak terhadap risk manajemen, 2008. 33 Bank Indonesia kerjasama dengan Ernst dan Young, peran DPS belum
optimal. Dilanggarnya syariah compliance akibat lemahnya pengawasan DPS memiliki
dampak terhadap risk manajemen, 2008 34 Lihat Undang-Undang UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas 35
Lihat Undang-Undang No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah
181
merupakan landasan yuridis yang cukup kuat bagi keberadaan DPS untuk
menjamin terimplementasinya syariah compliance di lembaga perbankan dan
keuangan syariah. Menurut UU No 40 Tahun 2007 Pasal 109.36
1. Perseroan yang menjalankan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah
selain mempunyai Dewan Komisaris wajib mempunyai Dewan
Pengawas Syariah.
2. Dewan Pengawas Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri
atas seorang ahli syariah atau lebih yang diangkat oleh RUPS atas
rekomendasi Majelis Ulama Indonesia.
3. Dewan Pengawas Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
bertugas memberikan nasihat dan saran kepada Direksi serta
mengawasi kegiatan.
Perseroan agar sesuai dengan prinsip syariah. Undang-Undang No 21 Tahun
2008 Pasal 32 menyebutkan :
a. Dewan Pengawas Syariah wajib dibentuk di Bank Syariah dan
Bank Umum Konvensional yang memiliki UUS.
b. Dewan Pengawas Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diangkat oleh Rapat Umum Pemegang Saham atas rekomendasi Majelis
Ulama Indonesia
c. Dewan Pengawas Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertugas
memberikan nasihat dan saran kepada direksi serta mengawasi kegiatan
Bank agar sesuai dengan Prinsip Syariah.
4. Perkembangan Syariah Compliance pada Bank di Luar Negeri
Konsep teoritis bank Islam muncul pertama kali pada tahun 1940-an, dengan
gagasan mengenai perbankan yang berdasarkan pada bagi hasil. Beberapa pemikir
mengenai hal tersebut, antara lain dari Anwar Qureshi (1946), Naeim Siddiq (1948),
dam Mahmud ahmad (1952). Urain yang lebih terperinci mengenai gagasan
pendahuluan perbankan Islam dikemukakan oleh ulama Pakistan, yakni Abu‘ala Al-
Mawdudi (1961) serta Muhammad Hamidullah (1944-1962). Maududi Uzair
merupakan seorang perintis teori perbankan Islam dengan karyanya berjudul A
Groundwork for Interest Free Bank. Diantara penulis-penulis tersebut, yang dikenal
oleh Indonesia hanyalah Dr. Anwar Qureshi karena salah satu bukunya yang
mengkritik riba telah diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia meskipun buku itu
tidak mendapat tanggapan berarti dari gerakan Islam.
Para penulis diatas masih merupakan mean of ideas dan belum menjadi men
of actions seperti halnya Dr. Ahmad El-Najjar dari Mesir yang memiliki gagasan
penghimpunan dana zakat untuk mengembangan masyarakat desa. Dengan bantuan
dana dari Raja Faisal Saudi Arabia, ia mendirikan Mit Ghamr Local Saving Bank.
Bank ini hamper serupa dengan ―Bank Tolong Menolong‖ yang merupakan
koperasi simpan pinjam hasil prakarsa R.M Wariatmaja ketika ia menjabat patih
Purwokerto pada 1904.
Upaya awal penerapan prinsip profit and loss sharing tercatat di Pakistan dan
Malaysia sekitar tahun 1940-an, yaitu adanya upaya mengelola dana jamaah haji
36 Lihat Undang-Undang No 40 Tahun 2007 Pasal 109
182
secara non konvensional. Rintisan institusional lainnya adalah Islamic Bank di desa
Mit ghamr pada tahun 1963 dicari di Kairo di Kairo, Mesir. Setelah itu bank Islam
tumbuh dengan sangat pesat.11
Dari konvensi konferensi Islamic Bank yang
diadakan di Singapura pada bulan Agustus 1998 dapat diketahui bahwa lembaga
keuangan Islam mengalami perkembangan yang pesat di dunia jumlahnya telah
mencapai 200 buah, diantaranya 160 berupa bank dan sisanya berupa lembaga
keuangan non bank.
Pada tahun 1970, diadakan sidang menteri luar negeri, negara-negara
organisasi konferensi Islam di Karachi, Pakistan. Mesir mengajukan sebuah
proposal untuk mendirikan bank syariah. Proposal yang disebut studi tentang
pendirian Bank Islam internasional untuk perdagangan dan pembangunan
(International Islamic Bank trade and development) dan proposal pendirian federasi
Bank Islam (Federation of Islamic Banks) dikaji para ahli dari delapan belas negara
Islam. Proposal tersebut pada intinya mengusulkan bahwa sistem keuangan
berdasarkan bunga harus digantikan dengan suatu sistem kerjasama dengan skema
bagi hasil keuntungan maupun kerugian. Proposal tersebut diterima, sidang
menyetujui rencana mendirikan bank Islam internasional dan federasi bank Islam.
Sidang Menteri Keuangan oke OKI di Jeddah 1975, menyetujui rancangan
pendirian Bank Pembangunan Islam atau Islamic Development Bank (IDB) dengan
modal awal 2 miliar Dinar Islam atau equivalent 2 miliar SDR (special drawing
right). Semua negara anggota OKI menjadi anggota IDB tahun awal beroperasinya
IDB mengalami banyak hambatan karena masalah politik titik Meskipun demikian
jumlah anggota makin meningkat dari 22 menjadi 43 negara.
IDB juga membantu mendirikan bank bank Islam di berbagai negara. Untuk
pembangunan pengembangan sistem ekonomi syariah, institusi ini membangun
sebuah Institut riset dan pelatihan untuk pengembangan penelitian dan pelatihan
ekonomi Islam, baik dalam bidang perbankan maupun keuangan secara umum.
Lembaga ini disingkat IRTI (Islamic research and training Institute).37
5. Perkembangan Syariah Compliance Pada Bank Syariah di Indonesia
Secara normatif dan yuridis empiris, bank syariah diakui keberadaannya di
negara Republik Indonesia. Pengakuan secara yuridis normatif tercatat dalam
peraturan perundang- undangan di Indoensia. Selain itu, pengakuan secara yuridis
empiris dapat dilihat perbankan syariah tumbuh dan berkembang pada umumnya di
seluruh ibu kota provensi dan kabupaten di Indonesia, bahkan beberapa bank
konvesional dan lembaga keuangan lainnya membuka unit usaha syariah ( bank
syariah, asuransi syariah, dan semacamnya)22
. Kerangka hukum pengembangan
industri perbankan syariah diwadahi dalam UU No. 7 tahun 1992 tentang perbankan
yang memperkenalkan ―system bagi hasil‖ atau ―prinsip bagi hasil‖ dalam kegiatan
perbankan nasional. Dalam UU No. 7 tahun 1992 tersebut dibuka kemungkinan bagi
bank untuk melaksanakan usahanya berdasarkan pada prinsip bagi hasil. Ketentuan
ini dimaksud untuk memenuhi kebutuhan masyarakat akan penyediaan jasa
37 Sutan Remy Sjahdeini, Perbankan Syariah, Produk-produk dan Aspek-aspek
Hukumya, (Jakarta, Kencana Prenadamedia, 2015), h. 64
183
perbankan berdasarkan system bagi hasil.38
Prakarsa lebih khusus mengenai pendirian bank Islam di Indonesia baru
dilakukan tahun 1990. Pada tanggal 18 sampai dengan 20 agustus 1990, Majelis
Ulama Indonesia (MUI) menyelenggarakan Lokakarya Bunga Bank dan Perbankan
di Cisarua, Bogor, Jawa Barat. Hasil lokakarya tersebut kemudian dibahas lebih
mendalam pada Musyawarah Nasional IV MUI di Jakarta dari tanggal 22 sampai
dengan tanggal 25 agustus 1990, yang menghasilkan amanat bagi pembentukan
kelompok kerja pendirian bank Islam di Indonesia. Kelompok kerja yang dimaksud
ialah Tim Perbankan MUI diberi tugas untuk melakukan pendekatan dan konsultasi
dengan semua pihak yang terkait. Sebagai hasil kerja Tim Perbankan MUI tersebut
adalah berdirinya PT Bank Muamalat Indonesia (BMI), yang sesuai akta
pendiriannya, berdiri pada tanggal 1 november 1991. Sejak tanggal 1 mei 1992,
BMI resmi beroperasi dengan modal awal sebesar Rp. 106.126.382.000. sampai
bulan september 1999. Setelah berdirinya BMI yang diikuti berdirinya BPRS-BPRS
lainnya dan terbukti Perbankan syariah tidak terkena imbas dari krisis moneter pada
tahun 1998 maka akhirnya diikuti oleh berdirinya perbankan-perbankan umum yang
membangun perbankan berbasis syariah.
Regulasi kepatuhan syariah diawali dengan aturan terhadap perbankan yang
menjalankan aktifitasnya di bidang syariah. Sesuai dengan amandemen UU No. 7
Tahun 1992 yang menjadi UU No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan sebagai awal
bagi beroperasinya perbankan syariah di Indonesia. Masih lemahnya peraturan yang
ada di dalam UU tersebut, karena singkatnya aturan terkait perbankan yang
menjalankan aktifitasnya di syariah, maka dikeluarkannya aturan dari Bank
Indonesia dalam bentuk Peraturan Bank Indonesia (PBI) dan Surat Edaran Bank
Indonesia (SEBI). Diterbitkannya Peraturan Bank Indonesia (PBI) No.
7/35/PBI/2005 tentang Perubahan Atas Peraturan Bank Indonesia No.
6/24/PBI/2004 tentang Bank Umum yang Melaksanakan Kegiatan Usaha
Berdasarkan Prinsip Syariah, serta PBI No. 8/3/PBI/2006 tentang Perubahan
Kegiatan Usaha Bank Umum Konvensional Menjadi Bank Umum yang
Melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah dan Pembukaan Kantor
Bank yang Melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah oleh Bank
Umum Konvensional. Sehubungan dengan regulasi sebelumnya, maka
diterbitkannya UU No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, yang lebih tegas
dan terintegrasi dalam mengatur perbankan syariah yang ada di Indonesia.
Selanjutnya beraneka ragam regulasi terkait pengembangan aturan seiring dengan
kemajuan industry perbankan syariah, berikut aturan dari Bank Indonesia baik dari
PBI maupun dalam bentuk SEBI:39
a. Surat Edaran Bank Indonesia No. 11/9/DPbS tanggal 7 April 2009 perihal Bank
Umum Syariah;
b. Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 11/28/DPbS tanggal 5 Oktober 2009
perihal Unit Usaha Syariah;
38 Bank Indonesia, Sekilas Perbankan Syariah di Indonesia, http:www.bi.go.id/
web/id/Perbankan + Syariah 39 Bank Indonesia, Sekilas Perbankan Syariah di Indonesia, http://www.bi.go.id/
c. Apakah ada fasilitas untuk menunaikan zakat dan berapa dana
zakat terkumpul dalam setiap periode tahun bukunya.
d. Apakah ada kebijakan untuk mendorong untuk menjalankan
puasa dan berapa dananya untuk membantu dan menunjang
pelaksanaan puasa tersebut dalam setiap periode tahun bukunya.
e. Apakah ada dorongan pelaksanaan haji dengan memberikan
bantuan untuk pelaksanaan haji dan berapa dananya untuk
membantu dan menunjang pelaksanaan haji tersebut dalam setiap
periode tahun bukunya.
2. Perlindungan agama diukur dengan pelaksanaan rukun Islam
pada level hajiyyat, indikatornya antara lain:
a. Apakah ada sarana dakwah misalnya alat transportasi untuk
menyadarkan masyarakat tentang eksistensi Allah Swt dan berapa
dana yang selalu disediakan dalam setiap periode tahun bukunya.
b. Apakah dalam menunaikan sholat disediakan sarana berwudhu
dengan air bersih dari PDAM, karpet, sandal dan sebagainya serta
berapa dana yang disediakan untuk pengadaan sarana dan
keberlangsungan sholat tersebut dalam setiap periode tahun
bukunya.
c. Apakah dalam menunaikan zakat disediakan jasa konsultasi,
penjemputan zakat, muzakki boleh menanyakan pelaporan zakat dan
sebagainya serta bagaimana dampaknya terhadap peningkatan
pengumpulan dana zakat terkumpul dalam setiap periode tahun
bukunya.
d. Apakah ada kebijakan untuk mendorong untuk menjalankan puasa
dengan khusuk dan tenang dengan memberikan fasilitas khusus
misalnya penyediaan buka puasa dan pemberian waktu khusus
untuk berbuka puasa serta berapa dananya untuk pelaksanaan
kebijakan tersebut dalam setiap periode tahun bukunya.
e. Apakah ada tunjangan khusus untuk pelaksanaan haji dan berapa
dana tunjangan tersebut dalam setiap periode tahun bukunya.
3. Perlindungan agama diukur dengan pelaksanaan rukun Islam
pada level tahsiniyat, indikatornya antara lain:
a. Apakah ada sarana dakwah misalnya alat transportasi yang ber
AC, sopir dan sebagainya untuk menyadarkan masyarakat
tentang eksistensi Allah swt dan berapa dana yang selalu
disediakan dalam setiap periode tahun bukunya.
b. Apakah dalam menunaikan sholat disediakan sarana berwudhu
dilengkapi handuk, tempat sholat ber-AC dan sebagainya serta
berapa dana yang disediakan untuk pengadaan sarana dan
keberlangsungan sholat tersebut dalam setiap periode tahun
bukunya.
c. Apakah dalam menunaikan zakat disediakan jasa konsultasi ke
rumah, penjemputan zakat dimana saja muzakki selama masih
ekonomis, sarana perbankan dalam berzakat, pelaporan zakat
197
dikirimkan kepada para muzakki dan sebagainya serta bagaimana
dampaknya terhadap peningkatan pengumpulan dana zakat
terkumpul dalam setiap periode tahun bukunya.
d. Apakah ada kebijakan memberikan tunjangan atau reward bagi
bagi mereka yang berpuasa tetapi memiliki kinerja yang lebih
baik daripada mereka yang tidak berpuasa serta berapa cost
untuk pelaksanaan kebijakan tersebut dalam setiap periode tahun
bukunya.
e. Apakah ada tunjangan khusus untuk pelaksanaan haji dengan
fasilitas lebih baik daripada haji pada umumnya misalnya haji plus
dan sebagainya serta berapa dana tunjangan tersebut dalam setiap
periode tahun bukunya.
7) Penerapan Maqashid Syariah Dalam Prinsip-prinsip Syariah
Penerapan maqashid syariah ini merupakan penjabaran dari maqashid
(tujuan) besarnya yaitu hifdzul mal (menjaga dan memenuhi hajat dan maslahat
akan harta). Menjaga dan memenuhi hajat akan harta tersebut adakalanya dari sisi
bagaimana mendapatkannya (min janibi al-wujud) atau dari sisi memelihara harta
yang sudah dimiliki (mi janibi al-'adam). Hifdzul mal tersebut juga menjadi
rumpun kaidah dalam bidang muamalah, kaidah ini dijabarkan dengan maqashid
'ammah (tujuan-tujuan umum) dan maqashid khassah (tujuan khusus) yang sangat
banyak dan tidak terhitung jumlahnya.
Maqashid 'ammah (tujuan-tujuan umum) adalah tujuan disyariatkan
beberapa kumpulan hukum atau lintas hukum. Sedangkan maqashid khassah
(tujuan khusus) adalah tujuan disyariatkan satu hukum tertentu. Maqashid
khassah (tujuan khusus) disebut juga dengan maqashid juz'iyah.
Maqashid khassah (tujuan khusus) adalah hasil istiqra' (kajian) para ulama
terhadap nash dan hukum-hukum syariah dan menghasilkan kepastian (qath'i),
bahwa syariat ini telah menetapkannya sebagai tujuan yang memberikan akibat dan
implikasi.49
Di bawah ini penulis akan menyebutkan beberapa maqasid 'ammah (tujuan-
tujuan umum) dan maqashid khassah (tujuan khusus) sebagai contoh penerapan
maqashid syariah
1. Maqashid „Ammah (Maqashid Umum) Ketentua Ekonomi Syariah
Di antara maqashid umum tersebut adalah sebagai berikut;
a. Setiap Kesepakatan Harus Jelas
Setiap kesepakatan bisnis harus jelas diketahui oleh para pihak akad agar
tidak menimbulkan perselisihan di antara mereka. Untuk mencapai target ini, syariat
Islam memberlakukan ketentuan tautsiq (pengikatan) dalam akad muamalah maliah
seperti ketentuan bahwa setiap transaksi harus tercatat (kitabah) disaksikan (isyhad)
dan boleh bergaransi.50
Ibnu Asyur menguatkan makna ini, ia menjelaskan: menjaga
kepercayaan muktasib (orang yang bekerja) itu dengan cara melindungi hartanya
sebagaimana firman Allah Swt.: Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu
49 Ahmad Risun Wadzoriyyatul Maqashid'inda al imam asy-Syatibi'. h. 12. 50 Yusuf Hamid al-alim, Al-Maqahid al-'Ammah li asy-Syariah al-Islamiyah h. 522.
198
sating memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan
perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. (QS An-Nisa' [4]:
29)
Ayat ini menjadi dalil legalitas tujuan hifdzil-al-mal yang harus diterapkan
dalam setiap praktik bisnis. Hifdzil al-mal yang dimaksud diimplementasikan
dengan ketentuan tautsiq (pengikatan) dalam akad muamalah maliah, seperti
ketentuan bahwa setiap transaksi harus tercatat (kitabah), disaksikan (isyhad) dan
boleh bergaransi agar setiap pihak akad rela sama rela.51
Maqashid tersebut sesuai juga dengan prinsip dalam perdagangan harus
dilakukan atas dasar suka sama suka (kerelaan). Prinsip ini memiliki implikasi
yang luas karena perdagangan melibatkan lebih dari satu pihak, sehingga kegiatan
jual beli harus dilakukan secara sukarela, tanpa paksaan. Perdagangan tidak boleh
dilakukan dengan memanfaatkan ketergantungan karena tidak ada pilihan. Praktik
monopoli berisiko melanggar prinsip ini, kecuali pada situasi tertentu.
Bayu Krisnamurthi menegaskan pentingnya pemahaman yang sama tentang
apa yang diperdagangkan. Informasi yang harus jelas, terbuka, dan dapat dipahami
oleh penjual maupun pembeli. Standardisasi dan labelisasi menjadi faktor yang
menentukan. Keterbatasan pengetahuan mengenai dimensi teknis barang dapat
dibantu dengan meyakini ketentuan standar tertentu yang ditetapkan oleh suatu
otoritas. Standar suatu barang menjadi sarana untuk membangun kesetaraan antara
penjual dan pembeli.52
b. Setiap Kesepakatan Bisnis Harus Adil
Di antara prinsip adil yang diberlakukan dalam bisnis adalah kewajiban
pelaku akad untuk menunaikan hak dan kewajibannya, seperti menginvestasikannya
dengan cara-cara yang baik dan profesional, menyalurkannya dengan cara yang
halal dan menunaikan kewajiban hak hartanya.53
Ibnu ‗Asyur menjelaskan bahwa adil dalam bisnis itu adalah bagaimana
berbisnis dan mendapatkan harta itu dilakukan dengan cara yang tidak menzalimi
orang lain, baik dengan cara komersil atau nonkomersil. Di antara sarana yang
dilakukan syariat ini untuk mencapai tujuan adil yaitu berinfak dan tidak
menghambur-hamburkan harta. Berdasarkan maqshad (tujuan) ini, ada beberapa
ketentuan Islam, di antaranya Rasulullah Saw. melarang makan daging himar
ahliyyah (keledai lokal) karena itu adalah perbekalan umat Islam pada peperangan
khaibar. Juga Rasulullah Saw. melarang mono poli makanan, sebagaimana
perkataan Umar ra.: "Tidak boleh ada monopoli di pasar kita"54
Menurut Bayu Krisnamurthi salah satu contoh nilai Islam yang memiliki
dimensi universal dan harus diintegrasikan ke dalam aktivitas ekonomi adalah
keadilan. Misalkan, dalam sebuah transaksi perdagangan memang tercipta sebuah
51 Ismail Hasani, Nadzariyatu al-Maqashid 'Inda al-Imam ath-Thahir bin :A‟syur, h.
176. 52 Karim Bisnis Consulting Indonesia, Kajian Pengembangan Ekonomi dan
Keuangan Syariah, h. 42. 53 Yusuf Hamid al-alim, Al-maqahid al-ammah li al-Syariah … h. 527. 54 Ismaii Hasani, Nadzariyatu al-Maqashid 'Inda … h. 178.
199
kesepakatan namun kesepakatan tersebut tidak menjamin terpenuhinya rasa keadilan
bagi para pihak yang bertransaksi.
Matthew Rabin dalam risetnya berjudul "Incorporating Fairness into Game
Theory and Economics" menyebutkan bahwa dalam setiap transaksi ada dua
kesepakatan yang harus terpenuhi, yaitu kesepakatan pasar (market equilibria) dan
kesepakatan rasa keadilan (fairness equilibria).
Contoh lain, kesepakatan antara perusahaan besar dengan para pelanggan
kecil yang merasa tereksploitasi karena tidak ada pilihan lain sehingga mereka harus
menerima kesepakatan pasar. Menurut Rabin, kesepakatan seperti itu tidak akan
stabil bahkan cenderung rapuh karena pelanggan merasa tidak nyaman dan ketika
ada pilihan lain yang dapat memberikan rasa keadilan mereka akan berpindah.
Dampaknya, ketika ada salah satu satu pihak yang merasa dirugikan atau
dicurangi maka volume perdagangan akan menyusut. Pelanggan yang tidak
mempunyai pilihan lain yang lebih baik akan mengurangi volume transaksi pada
jumlah kebutuhan minimal. Pada saat mereka memiliki pilihan lain, yang kadang
belum tentu lebih baik, mereka akan pindah. Bagi mereka lebih baik meninggalkan
yang sudah jelas tidak memberikan rasa keadilan, dan mencoba peruntungannya
pada pilihan yang baru.
Ketika para sahabat Rasulullah Saw. di Madinah menyam paikan keluh kesah
karena keuntungan mereka tidak sebesar keuntungan pedagang Yahudi yang
menjual dengan mengurangi berat timbangan, Rasulullah Saw. malah menyarankan
para sahabat untuk menambahkan berat timbangan. Maka tampaklah beda yang
nyata di antara timbangan para pedagang itu. Para pembeli tentu saja memilih
pedagang yang timbangannya lebih berat. Membalas keburukan dengan kebaikan
malah menegaskan perbedaan kesepakatan rasa.55
c. Komitmen dengan Kesepakatan
Allah Swt. berfirman,:‖Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad
itu' ... (QS Al Maidah [5]: 1)56
Ayat ini menegaskan tentang kewajiban memenuhi
setiap kesepakatan dalam akad, termasuk akad-akad bisnis. Karena setiap akad berisi
hak dan kewajiban setiap peserta akad. Dan setiap kesepakatan bisnis akan berhasil
itu ditentukan oleh komitmen peserta akad dalam memenuhi setiap kesepakatan
akad.
d. Melindungi Hak Kepemilikan
Para ulama telah sepakat bahwa mengambil harta orang lain dengan cara yang
batil itu diharamkan. Oleh karena itu, Allah Swt. memberikan hukuman atas setiap
kejahatan terhadap harta (taaddi 'ala amwal).
Mitchell N. Berman menjelaskan bahwa contoh perilaku melawan hukum
sering kali dikombinasikan sehingga menciptakan ciri khusus adalah mencuri
(stealing). Jika mencuri ditambah dengan penipuan (deception) maka ia menjadi
fraud atau alasan palsu (false pretenses). Jika mencuri ditambah ketidaksetiaan
(disloyalty) maka ia menjadi penggelapan (embezzlement) . Jika mencuri ditambah
dengan paksaan (coercion) berarti pemerasan (extortion). Mencuri ditambah dengan
55 Karim Bisnis Consulting Indonesia, Kajian Pengembangan Ekonomi …, h. 6. 56 lsmail Hasani, Nadzariyatu al-Maqashid 'inda … h. 181.
200
penggunaan kekuatan yang tidak dibenarkan berarti merampok (robbery).
Ketidaksesuaian perilaku mencuri (stealing) dengan hukum pencurian (theft )
yang telah ada, terkadang menjadikan perbuatan yang dianggap mencuri menurut
moral menjadi tidak terkena sanksi pidana.
Stuart P. Green berpendapat bahwa sebuah tindak pidana yang biasa
dilakukan memiliki keterkaitan erat dengan penilaian moralitas akal-sehat.
Perdagangan orang dalam (insider trading) seharusnya dipidanakan karena hal
tersebut didasari oleh perilaku curang (cheating). Menerima atau meminta suap
harus dipidanakan karena hal tersebut didasari oleh perilaku ketidaksetiaan
(disloyalty). Penipuan (fraud) dan sumpah palsu memiliki perbedaan halus dengan
norma moral kita terhadap deception dan berbohong (lying).57
Sanksi atas ta'addi (kejahatan) tersebut itu ada dua yaitu: hukuman yang
sudah ditentukan (had) seperti hukuman terhadap tindak pidana pencurian (sariqah).
Yang kedua hukuman ta'zir (yaitu hukuman yang belum ditentukan batasannya).58
Dengan adanya sanksi tersebut, hak kepemilikan setiap orang baik Muslim ataupun
non-Muslim itu dilindungi oleh Islam.
e. Ketentuan Akad-akad Syariah
Dalam teori akad-akad perpindahan hak milik (tamlikat) itu ada 5 tujuan
(maqashid syariah) dalam ketentuan sah dan tidak sah akad tersebut. Kelima
maqashid tersebut adalah distribusi (rawaj), jelas (wudhuh), terpelihara (hifdz),
stabil (tsabat) dan adil ('adl).59
f. Harta itu Harus Terdistribusi
Harta itu harus terdistribusi dan bisa dinikmati oleh seluruh lapisan
masyarakat baik dalam bentuk konsumsi atau distribusi. Di antara sarana yang
digunakan untuk mencapai tujuan distribusi (tadawul) ini di antaranya:
1) Islam mensyariatkan akad-akad baik akad bisnis (mu'awadhah)
ataupun akad sosial (tabarru') agar setiap harta bisa ber pindah
tangan dari satu pihak ke pihak lain.
2) Islam membolehkan akad-akad yang mengandung sedikit gharar
seperti akad salam sebagai rukhsah (keringanan sehingga harta bisa
berpindah kepemilikan dengan akad ini.
3) Islam mensyariatkan akad-akad yang bersifat luzum60
tanpa
pilihan kecuali jika disepakati ada syarat dalam akad.
4) Islam melarang penimbunan uang karena jika uang tidak beredar,
maka akan mengakibatkan terganggunya keseimbangan keuangan,
perdagangan dan sosial sesuai dengan firman Allah Swt.: Apa saja
harta rampasan (fai-i) yang diberikan Allah Kepada. Rasul Nya
(dari harta benda) yang berasal dari penduduk kota-kota Maka
57 Karim Bisnis Consulting Indonesia, Kajian Pengembangan Ekonomi dan Keuangan
Syariah, h. 6, mengutip dari: Mitchell N. Berman, "On the Moral Structure of White Collar
Crime", Ohio State journal of Criminal Law, Vol 5:301, 2007, h. 301. 58 Yusuf Hamid al-alim, Al-Maqahid al-'Ammah li asy-Syariah … h. 548. 59 Husein hamid hasan, Maqashid asy-Syariahfi al-Hayah al-Iqtishadiyah, h. 179. 60 Luzum maksudnya salah satu atau kedua belah pihak tidak boleh memfasakh akad
kecuali dengan persetujuan pihak lain.
201
adalah untuk Allah, untuk rasul, kaum kerabat, anak-anak. yatim,
orang-orang miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan.
Supaya harta itu jangan beredar di antara orang-orang Kaya saja
di antara kamu. (QS Al-Hasyr [59]: 7)
5) Islam melarang setiap bentuk praktik riba karena meng
hilangkan sikap simpati para pelaku riba terhadap sesama dan
karena seluruh tujuannya adalah mendapatkan harta dari sekian
banyak orang, termasuk dari harta orang-orang yang membutuhkan.
Praktik ini bertentangan dengan tujuan syari' dalam mem bangun
hubungan baik antarsesama yang berlandaskan persaudaraan
Islam.61
Ibnu syur mengatakan, bahwa tujuan diharamkannya riba
adalah sebagaimana firman allah Swt.: Wahai orang-orang yang
beriman, janganlah kalian memakan riba yang berlipat-lipat. (QS
Ali 'Imran [3]: 130). Dalam ayat ini Allah Swt. menjelaskan tujuan
diharamkannya riba adalah kewajiban umat untuk menumbuhkan
rasa simpati dan persaudaraan terhadap sesama. Jika kita
membandingkan antara tujuan keharaman riba dan kebolehan
investasi dan mendapatkan keuntungan, maka kita bisa
menyimpulkan bahwa tujuan diharamkannya riba adalah
menghindari kemalasan dalam investasi harta dan kerja sama
dalam urusan dunia.62
Di samping itu, praktik riba mengakibatkan
harta terkonsentrasi pada pelaku riba.
6) Islam melarang perjudian karena merugikan produksi dalam umat
ini, melumpuhkan sumber daya insani sehingga tujuan investasi
tidak tercapai karena dengan terkonsentrasinya harta hanya
ditangan pelaku judi itu sesungguhnya distribusi yang berbahaya
dan tidak melahirkan produks. termasuk implikasi moral yang
timbul seperti permusuhan dan dengki.
7) Memenuhi hajat akan harta, di antaranya dengan memudahkan
ketentuan hukum terkait praktik muamalat, antaranya dengan
Unsur-unsur dalam akad muamalat terdiri dari memindahkan kepemilikan,
menggugurkannya,menggabungkannya, atau membuat kesepakatan, mengizinkan.63
Dengan kemudahan hukum dalam bab muamalat (bisnis maka melahirkan
perpindahan kepemilikan dan transaksi menjadi mudah sehingga barang dan jasa
terdistribusi kepada sekian banyak pelaku bisnis karena salah satu alat tersebut
adalah kontrak bisnis.
g. Kewajiban Bekerja dan Memproduksi
Di antara maqashid syariah adalah kewajiban bekerja dan memproduksi.
Kewajiban ini berdasarkan istiqra' terhadap dalil- dalil yang memberikan dilalah
qath'iah (makna yang pasti) bahwa berkerja dan produksi itu hukumnya wajib sesuai
61 Yusuf Hamid al-alim, Al-Maqahid al-'Ammah li asy-Syariah … h. 522. 62 lsmail Hasani, Nadzariyatu al-Maqashid 'inda … h. 184. 63 Yusuf Hamid al-alim, Al-Maqahid al-'Ammah li asy-Syariah … h. 522
202
dengan firman Allah Swt.: Dialah yang menjadikan bumi itu mudah bagi kamu,
Maka berjalanlah di segala penjurunya dan makanlah sebahagian dari rezeki-Nya
dan hanya kepada-Nya-lah kamu (kembali setelah) dibangkitkan. (QS Al Mulk
[67]: 15). Dalam ayat ini Allah Swt. memerintahkan untuk berjalan di muka bumi
ini untuk mencari rezeki Allah Swt. Dalam konteks maqashid, mencari rezeki
menjadi wajib untuk menyediakan kebutuhan harta dari aspek wujud karena tanpa
bekerja, tidak mungkin ada uang dan harta.
Merealisasikan hifdzul mal dari sisi bagaimana mendapatkannya (min janibi
al wujud) sama halnya dengan merealisasikan harta yang sudah dimiliki (mi janibi
al-adam). Di antara ketentuan dalam syariat ini yang merealisasikan maqashid
kewajiban bekerja ini di antaranya adalah bahwa syariat ini memberikan hak
kepada pengelola usaha dalam bagi hasil untuk mendapatkan keuntungan atas
usahanya. Dan sebaliknya, ketentuan yang melarang pengelola usaha untuk
mendapatkan haknya tersebut itu bertentangan tujuan (maqashid) ini.
Di antaranya juga, syariat ini melindungi kepemilikan seseorang selama harta
tersebut dihasilkan dengan cara-cara yang halal. Syariat ini telah memberikan
kewenangan dan hak kepada setiap pemilik barang jasa untuk memanfaatkannya dan
menggunakannya dengan cara-cara yang dibolehkan syariat ini. Dan sebaliknya,
syariat ini melarang setiap perilaku yang merampas hak kepemilikan ini seperti
pencurian, perampasan dan pengrusakan terhadap hak orang lain. Objek
kepemilikan yang dilindungi oleh syariat ini mencakup 2 hal, yaitu: memiliki fisik
barang tersebut (milk al-yad) dan memiliki manfaatnya.
Oleh karena itu, dilarang menghalangi dan mempersulit pemilik barang untuk
mengelolanya dan memanfaatkannya karena bertentangan maqashid syariah dalam
melindungi hak kepemilikan setiap orang karena itu basil kerjanya yang legal
(masyru').64
h. lnvestasi Harta
Investasi harta adalah salah satu tujuan yang Allah tetapkan dan harus dicapai
dalam harta yang dimiliki setiap orang. Tujuan ini didasarkan pada dalil yang tidak
terbatas, di antaranya istiqra' yang menjadi pijakan mujtahid dalam berijtihad.
Seluruh ulama telah konsensus, bahwa investasi harta itu hukumnya wajib bagi
setiap individu ataupun kelompok. Sungguh manhaj (cara) syari' dalam mengatur
masalah ini menakjubkan, hal tersebut bisa dilihat dalam ketentuan berikut:
1) Bekerja itu hukumnya wajib menurut syariat Islam untuk
merealisasikan maqashid syariah dalam hifdzul mal min janib al-
wujud (Melindungi hajat harta dari Aspek menyediakan harta).
Dengan bekerja ini akan menghasilkan keuntungan karena buah dari
usaha dan kerjanya.
2) Setelah memiliki keuntungan, maka ia berhak untuk
menggunakannya dan menginfakkannya sesuai dengan ketentuan
syariah tanpa israf (berlebih-lebihan) dan tabdzir (pemubadziran).
Seorang mukallaf dengan keuntungan yang dimilikinya beraN:I pun
besarnya, maka harus diinfakkan sebagiannya untuk memenuhi
hajat-hajat masyruah (legal) dan kelebihannya itu harus ditabungkan.
64 Husein hamid hasan, Maqashid asy-Syariahfi al-Hayah …, h. 7.
203
Demikianlah, kenapa Islam melarang membiarkan aset menganggur, dan
mendorong agar setiap kelayakan yang ada pada kita untuk diinvestasikan di
sektor riil. Di dalam buku al-Ihya, Imam Ghazali juga mengecam orang yang
menimbun harta dan tidak ditransaksikan atau di diputar sektor riil.65
i. lnvestasi dengan Akad Mudharabah
Maksud syari' dalam mudharabah bisa dilihat dalam dua hal berikut:
1) Jika seseorang memiliki kelebihan harta dan memiliki kemampuan
untuk mengelolanya, maka ia harus bekerja dan mengelolanya
sendiri. Dan jika usaha berhasil, maka seluruh keuntungan menjadi
haknya. Hal ini sesuai dengan maqashid syariah bahwa keuntungan
harta itu menjadi hak pemiliknya. Jika tidak ada peran dan hak
orang lain dalam dana tersebut, sesuai dengan firman Allah Swt.:
Barangsiapa yang mengerjakan amal yang saleh maka (pahalanya)
untuk dirinya sendiri dan barangsiapa mengerjakan perbuatan
jahat, maka (dosanya) untuk dirinya sendiri; dan sekali-kali
tidaklah Rabb Mu menganiaya hamba-hambaNya. (QS Fushilat
[41]:·1). Dan Firman Allah Swt.: Ia mendapat pahala (dari
kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari
kejahatan) yang dikerjakannya. (QS Al Baqarah [2]: 286). Ia
sendiri yang menanggung risiko usaha ia mendapatkan keuntungan
dan sekaligus menanggung risiko kerugian) sesuai dengan maqashid
syariah bahwa harta itu jika rugi atau rusak menjadi tanggung jawab
pemiliknya, kecuali jika kerugian dan kerusakan itu diakibatkan
oleh pihak lain.
2) jika seseorang yang memilki harta tetapi tidak mampu/ tidak
memiliki kemampuan dalam mengelolanya sendiri, maka ia harus
menyerahkannya kepada pihak lain untuk mengelolanya. Ini adalah
salah satu tujuan dalam m'aqashid syariah.66
Mark Blaug menjelaskan, bahwa mencapai pertumbuhan ekonomi dan
pembangunan sangat erat kaitannya terutama dengan sektor riil. Ekonomi syariah
yang berlandaskan pada prinsip real based economy mengharuskan setiap aktivitas
moneter berkaitan dan berjalan seimbang dengan sektor riil. Di antara ciri khas yang
melekat dengan industri jasa keuangan syariah ialah aset finansia: hanya dapat
tumbuh dengan proporsional dengan pertumbuhan di aktivitas riil ekonomi.
Pembiayaan hanya dapat dilakukan untuk proyek tertentu, perdagangan, ekonomi
dan transaksi komersial.
Menelisik teori klasik, bertambahnya jumlah uang tanpa diiringi produksi
barang dan jasa dapat mengakibatkan harga meningkat (inflasi) dan mengganggu
aktivitas ekonomi baik konsumtif maupun produktif, MV = PI
Konsep Irving Fisher yang berbicara tentang teori kuantitas uang memiliki
kesamaan dengan teori ekonomi Islam yang menyatakan bahwa uang adalah flow
65 Adiwarman A Karim, Ekonomi Mikro Islami, h. 99 mengutip al-Ghazali, Ihya
Ulumuddin, (Beirut Dar-Annadwah), h. 91-93, jilid 4. 66 Husein hamid hasan, Maqashid asy-Syariahfi al-Hayah …, h. 87.
204
concept, bukan stock concept Bagian kiri persamaan di atas (left hand side)
berbicara mengena: penawaran dan perpindahan uang sementara pada bagian kanar:
(right hand side) berbicara mengenai permintaan uang yakni arus barang dan jasa.
Hipotesis yang penting dalam persamaan di atas adalah hubungan sebab-akibat
berasal dari MVke PT.67
j. AI-Kharraj bi adh-Dhaman (Keseimbangan antar Keuntungan dan
Risiko)
Kaidah al-kharraj bi adh-dhaman ini adalah prinsip dalam muamalat Islam
yang bersumber kepada dalil istiqra' terhadap nash-nash syariat dan menghasilkan
maqashid yang berstatus qath'i. Berdasarkan kaidah ini, para ulama melakukan
istinbat hukum, fatwa dan ijtihad atas banyak sekali hukum fikih. Rasulullah Saw. Melarang untuk menjula barang yang belum menjadi milik
atau tanggung jawabnya. Ia juga melarang menjula makanan yang belum
diserahterimakan (taqabudh). Raulullah Saw. Berkata kepada orang yang bertanya
kepadanya tentang menjual barang yang belum dibelinya (belum dimilikinya).
Rasululah menjawab: jangan menjual barang yang belum ada di sisimu". Sesuai
dengan prinsip ini, maka keuntungan (ghunm/ribh) atas modal itu sah didapatkan
jika pemilik modal telah menghadapi risiko (ghurm/mukhatarah) atas modalnya
juga. Karena modal telah dijamin oleh pihak yang menerimanya seperti dalam
akad qardh, maka yang bersangkutan wajib mengembalikan pinjaman tersebut
dalam kondisi apa pun; ia harus menggantinya jika rugi, rusak atau berkurang,
walaupun karena sebab-sebab yang di luar keinginannya.
Sesungguhnya pihak yang meminjamkan berhak atas modalnya saja tanpa
bunga dan tambahan. Jika modal tersebut menghasilkan keuntungan, maka
keuntungan tersebut adalah milik pihak yang menginvestasikannya karena ia yang
bertanggung jawab terhadap harta pinjaman tersebut. Maksudnya pihak yang
meminjam mendapatkan keuntungan karena menanggung risiko. Penerapan prinsip
al-kharraj bi adh-dhaman dalam kasus-kasus di atas itu sangat logis dan jelas.
Kharraj itu maknanya adalah keuntungan, sedangkan dhaman adalah tanggung
jawab ata kerugian/kerusakan.
Syariat Islam telah menjadikan kedua hal ter sebut menjadi dua hal yang
selalu beriringan. Bahwa kharraj tidak bisa didapatkan kecuali dengan dhaman.
Yang dimaksud dengan dhaman di Sini adalah kemungkinan dhaman karena
dhaman belum terjadi. Seseorang yang membeli sesuatu dengan maksud
menjualnya, maka pembeli bertanggung jawab atas barang yang dibelinya karena
kerusakan barang itu menjadi tanggung jawab pemiliknya.
Realitanya, harta itu tidak rusak atau usahanya tidak rugi, tetapi karakter
usaha itu menghadapi resiko kerugian yang mungkin terjadi, maka atas dasar
tersebut, jika ia menjual barang tersebut, ia berhak atas marginnya.68
Dalam
transaksi ribawi, pihak yang meminjam itu harus bertanggung jawab
67 Karim Bisnis Consulting Indonesia, Kajian Pengembangan Ekonomi dan
Keuangan Syariah, h. 6, mengutip dari: Mark Blaug, Economic Theory in Retrospect,
Cambridge University Press: Cambridge, Edisi Kelima, h. 614. 68 Husein hamid hasan, Maqashid asy-Syariahfi al-Hayah …, h. 83.
205
mengembalikan pinjaman beserta bunganya kepada pihak yang meminjam, baik
usaha yang dijalankandengan modal pinjaman tersebut menghasilkan ataupun tidak.
Praktik ini bertentangan dengan Islam karena pihak yang pinjaman tidak
boleh memberikan syarat bunga atas pinjamannya juga karena dhaman dan ghunm
tidak terjadi sekaligus dalam akad tabarru (sosial) tersebut.
Maka dalam akad qardh di atas itu hanya ada dua pilihan:
a. Memilih dhaman dengan cara memberikan pinjaman qardh tanpa
bunga, atau
b. Memilih kharraj dengan cara menyerahkan dana tersebut sebagai modal
usaha, maka ia berhak atas keuntungan dan Menanggung risiko kerugian
jika terjadi. 69
Untuk memudahkan dalam menyimpulkan maqashid‟ammah. Sebagaimana
dijelaskan di atas, berikut ini gambar tentang Maqashid‟ammah.
Gambar 5.1
Maqashid‟ammah.
Maqashid- al-syariah adalah jantung dalam ilmu ushul fiqh, karena itu
maqashid al- syariah menduduki posisi yang sangat penting dalam merumuskan
ekonomi syariah. Maqashid al- syariah tidak saja diperlukan untuk merumuskan
kebijakan-kebijakan ekonomi makro (moneter, fiskal, public finance), tetapi
juga untuk menciptakan produk-produk perbankan dan keuangan syariah serta teori-
teori ekonomi mikro lainnya. Maqashid-al- syariah juga sangat diperlukan dalam
membuat regulasi perbankan dan lembaga keuangan syariah.
Tanpa maqashid-al- syariah, maka semua regulasi, fatwa, produk keuangan
dan perbankan, kebijakan fiskal dan moneter, akan kehilangan substansi syariahnya.
Tanpa maqashid-al syariah, fikih muamalah yang dikembangkan dan regulasi
perbankan dan keuangan yang hendak dirumuskan, akan menjadi kaku dan
statis.Akibatnya lembaga perbankan dan keuangan syariah akan sulit dan lambat
69 Husein hamid hasan, Maqashid asy-Syariahfi al-Hayah …, h. 84.
206
berkembang. Tanpa pemahaman ushul fiqh dan maqashid-al-syariah, maka
pengawas dari regulator mudah sekali menyalahkan yang benar ketika mengaudit
bank-bank syariah. Tanpa maqashid-al- syariah, maka pengawas akan menolak
produk- produk baru yang inovatif, padahal sudah sesuai syariah. Dan tanpa
pemahaman maqashid syariah, maka regulasi dan ketentuan tentang PSAK syariah
akan rancu, kaku dan dan mengalami kesalahan fatal. Jiwa maqashid syariah akan
mewujudkan fikih muamalah yang elastis, fleksibel, lincah dan senantiasa mampu
beradaptasi dengan perkembangan zaman. Penerapan maqashid syariah akan
membuat bank syariah dan LKS semakin cepat berkembang dan kreatif menciptakan
produk-produk baru, sehingga tidak kalah dengan produk bank-bank konvensional.
Maqashid-al- syariah tidak saja menjadi faktor yang paling menentukan
dalam melahirkan produk-produk ekonomi syariah yang dapat berperan ganda (alat
sosial kontrol dan rekayasa sosio- economi) untuk mewujudkan kemaslahatan
manusia, tetapi lebih dari itu, maqashid al-syariah dapat memberikan dimensi
filosofis dan rasional terhadap produk-produk hukum ekonomi Islam yang
dilahirkan dalam aktivitas ijtihad tentang ekonomi syariah kontemporer. Maqashid
syariah akan memberikan pola pemikiran yang rasional dan substansial dalam
memandang akad-akad dan produk-produk perbankan syariah. Pemikiran fikih
semata akan menimbulkan pola pemikiran yang formalistik dan tekstualis. Hanya
dengan pendekatan maqashid-al- syariah, produk perbankan dan keuangan syariah
dapat berkembang dengan baik dan dapat merespons kemajuan bisnis yang terus
berubah dengan cepat.
Di era kemajuan ekonomi dan keuangan syariah kontemporer, banyak
persoalan yang muncul, seperti hedging (swap, forward, options), Margin
During Contruction (MDC), profit equalization reserve (PER), trade finance
dan segala problematikanya, puluhan kasus hybrid contracts, instrument
money market inter bank, skim-skim sukuk, repo, pembiayaan sindikasi antar bank
syariah atau dgn konvensional, restrukturisasi, pembiayaan property indent, ijarah
maushufah fi al- zimmah, hybrid take over dan refinancing, forfeiting, overseas
financing, skim KTA, pembiayaan multi guna, desain kartu kredit, hukum-
hukum terkait jaminan fiducia, hipotek dan hak tanggungan, maqashid dari
anuitas, tawarruq, net revenue sharing, cicilan emas, investasi emas, serta
sejumlah kasus-kasus baru yang terus bermunculan.
Sejalan dengan pertumbuhan perbankan dan keuangan syariah yang semakin
cepat, kekurangan ini harus diperbaiki secara bertahap. Apalagi para pengawas
bank syariah dari Bank Indonesia di seluruh daerah, diwajibkan memiliki
kompetensi ilmu syariah yang terstandar, yaitu ilmu ushul fiqh perbankan dan
maqashid-al-syariah, yang selama ini terabaikan oleh lembaga otoritas
tersebut. Dampak buruk dari mengabaikan pilar penting ini, terjadinya kekakuan,
kesempitan bahkan kesalahan dalam pengawasan dan pengauditan. Banyak sekali
(bahkan tidak terhitung jumlahnya), keluhan dan pengaduan praktisi perbankan
syariah tentang kekakuan, dan kefatalan yang dilakukan oleh personil pengawas
bank dari lembaga regulator pemerintah tersebut, terutama pengawas di daerah-
daerah di seluruh wilayah Indonesia.
8) Maqashid-al- Syariah Pada Investasi dengan Akad Mudharabah
207
Maksud Syari` dalam mudharabah bisa dilihat dalam dua hal, yaitu:
Pertama, jika seseorang memiliki kelebihan harta dan memiliki kemampuan untuk
mengelolanya, maka ia harus bekerja dan mengelolanya sendiri. Dan jika usahanya
berhasil, makaseluruh keuntungan menjadi haknya. Hal ini sesuai dengan maqashid
syari`ah bahwa keuntungan harta itu menjadi hak pemiliknya, jika tidak ada peran
dan hak orang lain dalam dana tersebut, sesuai dengan firman Allah Swt: "Siapa
yang mengerjakan amal yang saleh, maka (pahalanya) untuk dirinya sendiri,
dansiapa yang mengerjakan perbuatan jahat, maka dosanya untuk dirinya