Makin maraknya beberapa kasus pajak di media akhir-akhir, baik berupa penghindaran pajak (taxavoidance) maupun penggelapan pajak (tax evasion) membuat banyak masyarakat yang semakiningin mengetahui tentang perpajakan lebih dekat, khususnya kalangan pemula ( mahasiswa)
Sejak dilakukannya reformasi Tahun 1983, perpajakan menjadi primadona bagi pemasukan negaramenggantikan peranan minyak dan gas bumi yang cadangannya semakin menipis. Pentingnya perananperpajakan dalam kontribusinya membangun negeri ini membawa konsekuensi pada sumber dayamanusia, dalam hal ini wajib pajak, yang harus siap dalam mengimplementasikan peraturan danperundang-undangan perpajakan agar dalam pelaksanaannya tidak mengalami kesalahan yangujungnya akan merugikan wajib pajak itu sendiri.
Tidak kalah peranannya dalam menyukseskan penerimaan negara dari sektor perpajakan ini adalahperguruan tinggi yakni dengan memberi mata kuliah perpajakan kepada mahasiswanya agar merekasiap dengan dinamika perkembangan perpajakan terutama perpajakan indonesia yang selalu dinamisdan berubah dari waktu ke waktu mengikuti perekonomian, politik dan lain-lain.
Buku ini sengaja di desain berdasarkan hasil pengalaman dan penelitian penulis dalam memberikanMata Kuliah Perpajakan agar mahasiswa dapat dengan mudah memahami tentang dunia perpajakansecara sistematis, yang mungkin selama ini mata kuliah perpajakan menjadi momok bagi mahasiswayang belum mengenal lebih dekat.
Pada kesempatan ini juga, penulis mengucapkan terima kasih yang tak terhingga kepada kedua orangtuaku, istriku drg. Dina Krisnawati dan my twinnie yang masih dalam alam rahim, beserta keluargabesarku yang senantiasa mendoakan dan menemani penulis dalam penyelesaian buku ini, serta BapakDr. Mohamad Adam, SE,ME selaku Ketua STIE Rahmaniyah yang telah banyak memberi ijin kepadapenulis, Bapak Drs.H Sofyan Abdurrachman yang telah banyak berjasa dan memberikan bantuan baikmoril maupun materill sekaligus menjadi inspirasi bagi penulis, serta Bapak Jaka Sriyana, Ph.Dselaku tim reviewer banyak memberikan arahan dan bimbingan kepada penulis sehingga buku inidapat diselesaikan.
Penulis menyadari bahwa buku ini jauh dari kata sempurna, dan penulis selalu berusaha memperbaikidan menerima apabila ada saran dan masukan dari pembaca demi pencerdasan anak bangsa yangsedang menimbah ilmu di bangku kuliah..
Akhirnya, semoga Buku Pengantar Perpajakan ; Dengan Teori dan Kasus ini dapat bermanfaat bagikita semua...aamiin...!
Sekayu, Agustus 2014
Irlan Fery Idris
DAFTAR ISI
Halaman JudulPrakataDaftar IsiBAB I ; PENGANTAR PERPAJAKAN
1. Sejarah Tentang Perpajakan 12. Defenisi Perpajakan 63. Fungsi Pajak 74. Syarat Pemungutan Pajak 75. Struktur Pepajakan di Indonesia 86. Tinjauan dan Pendekatan Pajak berbagai Aspek 107. Tata Cara Pemungutan Pajak 118. Prinsip-prinsip Perpajakan yang baik 119. Perbedaan Pajak dan jenis pungutan lainnya 13
BAB II ; PENGELOMPOKAN JENIS PAJAK, SISTEM PEMUNGUTAN, DAN TARIF PAJAK1. Pengelompokan Pajak Berdasarkan Golongan, Sifat dan Lembaga Pemungutnya. 162. Sistem Pemungutan Pajak 183. Berbagai jenis tarif Pajak 18
BAB III ; PERPAJAKAN DARI SUDUT PANDANG HUKUM1. Dasar-dasar teori tentang pemungutan Pajak. 212. Kedudukan Hukum Pajak 223. Hukum pajak Materil dan Hukum Pajak Formil 234. Yuridiksi Pemungutan Pajak 245. Timbul dan Hapusnya Hutang Pajak 25
BAB IV ; SURAT KETETAPAN PAJAK
1. Pengertian Macam-macam Ketetapan Pajak 272. Sanksi administrasi dalam ketetapan pajak 283. Fungsi dan cara penerbitan ketetapan pajak. 29
BAB V ; KEBERATAN DAN BANDING
1. Tata Cara Penyelesaian Keberatan pajak 322. Tata cara Penyelesaian Banding 333. Daluwarsa Penagihan pajak 33
BAB VI ; PEMERIKSAAN DAN PENYELIDIKAN PAJAK1. Pengertian, Sasaran, Tujuan, Duluarsa, Wewenang dan
Prosedur Pemeriksaan Pajak. 342. Pengertian, Wewenang dan Kewajiban Penyidikan perpajakan. 36
BAB VII ; PENAGIHAN PAJAK DENGAN SURAT PAKSA
1. Dasar Hukum Penagihan Pajak dengan Surat Paksa 372. Pengertian dan istilah-istilah, pejabat dn jurusita pajak, 373. Penagihan dengan seketika dan sekaligus, penyitaan, lelang,
pencegahan dan penyanderaan dan ketentuan pidana. 38
BAB VIII ; KEWAJIBAN, HAK DAN SANKSI WAJIB PAJAK
1. Kewajiban dan Hak Wajib Pajak 432. Kewajiban Pembukuan/Pencatatan 443. Sanksi Perpajakan 45
BAB IX ; PAJAK PENGHASILAN UMUM (PPh UMUM)1. Subjek Pajak 502. Subjek Pajak Dalam Negeri 513. Subjek pajak Luar Negeri 534. Badan Usaha Tetap 54
BAB X ; PAJAK PENGHASILAN PASAL 21 ( PPh 21 )1. Dasar Hukum PPh Pasal 21 562. Pemotong Pajak PPh Pasal 21 563. Penerima Penghasilan yang dipotong PPh Pasal 21 574. Penerima Penghasilan yang tidak diportong PPh Pasal 21 575. Penghasilan yang dipotong PPh Pasal 21 596. Yang tidak termasuk Penghasilan yang dipotong PPh Pasal 21 597. Ketentuan lainya 608. Perhitungan PPh pasal 21, Tarif dan penerapannya 61
BAB XI ; PAJAK PENGHASILAN PASAL 221. Pengertian PPh Pasal 22 752. Pemungut Pajak PPh Pasal 22 753. Objek Pemungutan PPh Pasal 22 764. Cara Menghitung pph Pasal 22 78
BAB XII ; PAJAK PENGHASILAN PASAL 231. Pengertian PPh Pasal 23 832. Pemotongan Pajak PPh Pasal 23 833. Yang dikenakan Pemotongan PPh Pasal 23 844. Objek Pemotongan PPh Pasal 23 845. Pengeculian Objek Pemotongan PPh Pasal 23 856. Cara Menghitung pph Pasal 22 857. Dasar Pemotongan 858. Tarif Pemotongan 869. Cara Menghitung PPh Pasal 23 86
BAB XIII ; PAJAK PENGHASILAN PASAL 241. Dasar Hukum 922. Pengertian PPh Pasal 24 923. Pengertian Umum PPh Pasal 24 924. Permohonan Kredit Pajak Luar Negeri 945. Penggabungan Penghasilan 946. Penentuan Sumber Penghasilan 957. Jumlah Kredit Pajak Yang diperbolehkan. 968. Penghasilan Luar Negeri dari beberapa negara 979. Kompensasi Kerugian diluar dan didalam negeri 98
BAB XIV ; PAJAK PENGHASILAN PASAL 251. Dasar Hukum PPh Pasal 25 1002. Pengertian PPh Pasal 25 1003. PPh Pasal 25 dalam tahun berjalan 1014. Angsuran PPh Pasal 25 dalam hal tertentu 1025. Angsuran PPh Pasal 25 dalam WP tertentu 1036. Angsuran PPh Pasal 25 dalam hal WP tidak mempunyai
NPWP berpergian ke Luar Negeri. 103
BAB XV ; PAJAK PENGHASILAN PASAL 261. Pengertian PPh Pasal 26 1102. Pemotong PPh Pasal 26 1103. Pihak yang dipotong PPh Pasal 26 1124. Penghasilan yang dipotong PPH Pasal 26 1135. Tarif dan dasar Pengenaan 1136. Tata cara Penyetoran dan Pelaporan 1147. PPh Pasal 26 ayat (4) (Atas Penghasilan Kena Pajak BUT) 114
BAB XVI ; PAJAK PERTAMBAHAN NILAI DAN PAJAK PENJUATAN ATAS BARANG MEWAH(PPN DAN PPnBM)
1. Pengertian PPN 1172. Karakteristik PPN 1203. Objek, Bukan Objek dan Tarif PPN 1244. Pengusaha kena Pajak dan kewajiban perpajaannya 1275. Kewajiban membangun sendiri dan perhitungn PPN nya 1316. Penjualan aktiva yang tujuan semula tidak untuk diperjual belikan & perhitngan 1317. Pemungut PPN 1328. Fasilitas di bidang PPN 1379. Penjuan atas barang mewah (PPNBM) 137
BAB XVII ; PAJAK BUMI DAN BANGUNAN (PBB)1. Latar Belakang PBB 1402. Pengertian Pajak Bumi dan Bangunan 1413. Objek Pajak yang tidak dikenakan PBB 1424. Manfaat PBB 1435. Subjek Pajak PBB 1436. Objek Pajak PBB 1437. Objek Pajak yang dikecualikan oleh PBB 1458. Cara menghitung dan menetapkan PBB 1469. Contoh soal 147
BAB XVIII ; BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN (BPHTB)1. Pengertian BPHTB 1492. Subjek Pajak BPHTB 1493. Objek Pajak BPHTB 1494. Bukan Objek Pajak BPHTB 1515. Dasar Pengenaan Pajak BPHTB 1516. Tarif Pajak BPHTB 1527. NPOP BPHTB 1528. Cara menghitung BPHTB 1539. Contoh soal 16110. Kertas kerja 165
Susunan naskah Sejarah, Undang-undang Mengenai Pajak Bumi dan Bangunan 178
Peraturan Menteri Keuangan dan Menteri Dalam Negeri TentangTahapan Persiapan Pengalihan PBB sebagai pajak daerah 202
Glosarium
Daftar Pustaka..
1
PENGANTAR PERPAJAKAN ;
1. Sejarah Perpajakan
Sejarah Perpajakan pada mulanya merupakan suatu upeti (pemberian secara cuma-
cuma) kepada penguasa atau raja yang sifatnya dapat dipaksakan. Pada awalnya jenis
pajak ini digunakan untuk kepentingan penguasa semata tanpa adanya imbalan balik
(kontraprestasi). Namun, dalam perkembangannya upeti tersebut telah mengarah kepada
kepentingan rakyat itu sendiri, seperti untuk menjaga keamanan,memelihara jalan,
membangun saluran air, dan sebagainya.
Dengan adanya perkembangan dalam suatu masyarakat, maka sifat upeti (pemberian)
yang semulanya dilakukan cuma-cuma dan sifatnya memaksa tersebut, selanjutnya dibuat
suatu aturan-aturan yang lebih baik lagi (sifat memaksa tetap ada, namun unsur keadilan
lebih diperhatikan). Guna memenuhi unsur inilah maka rakyat diikutsertakan dalam
membuat aturan-aturan dalam pemungutan pajak, yang nantinya akan dikembalikan juga
hasilnya untuk kepentingan rakyat itu sendiri.
Di Indonesia sendiri sejak zaman kolonial Belanda telah banyak diberlakukan
Undang-undang yang mengatur mengenai pembayaran pajak, antara lain; Ordonansi
Rumah Tangga (Stbl 1908 Nomor 13), Aturan bea meterai (Stbl 1921 Nomor 498),
Ordonansi Pajak Pendapatan (Stbl 1944 Nomor 17), Undang-undang Pajak Pembangunan
I (UU Nomor 14 Th. 1947).
Dengan adanya perkembangan perekonomian dimasyarakat, maka beberapa undang-
undang mengalami penyesuaian, antara lain:
1Setelah mempelajari bab ini, mahasiswa diharapkan mampu memahami danmenjelaskan di depan kelas ;
Sejarah Tentang Perpajakan Definisi Perpajakan Fungsi Pajak Sarat Pemungutan Pajak Struktur Pepajakan di Indonesia Tinjauan dan Pendekatan Pajak berbagai Aspek Tata Cara Pemungutan Pajak Prinsip-prinsip Perpajakan yang baik Perbedaan Pajak dan jenis pungutan lainnya
2
1. UU Pajak Penjualan Tahun 1951 dirubah dengan UU Nomor 2 Th. 1968;
2. UU Nomor 21 Tahun 1959 tentang pajak Dividen yang dirubah dengan UU Nomor 10
Tahun 1967 tentang Pajak atas Bunga, Dividen, dan Royalti;
3. UU Nomor 19 Tahun 1959 tentang Penagihan Pajak Negara dengan Surat Paksa;
4. UU Nomor 74 Tahun 1958 tentang Pajak Bangsa Asing;
5. UU Nomor 8 Tahun 1967 tentang Tata Cara Pemungutan PPd, PKK, dan PPs atau
Tata Cara MPS-MPO.
Karena terlalu banyaknya Undang-undang yang dikeluarkan sehingga mengakibatkan
kesulitan dalam pelaksanaan dan realisasinya tidak memenuhi keadilan, maka pada tahun
1983 Pemerintah bersama DPR sepakat melakukan reformasi Undang-undang yang ada
dengan mengundangkan 5 paket Undang-undang perpajakan, bahkan sistem pajak yang
semulanya diatur oleh pemerintah (official assessment system ) dirubah menjadi wajib
pajak sendiri yang menghitung, melapor dan menyetor sendiri pajaknya (self assesstment
system).
Kelima UU yang dimaksud adalah :
1. UU Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan
2. UU Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (PPh);
3. UU Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai atas Barang dan Jasa dan
Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPN dan PPnBM);
4. UU Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan (PBB);
5. UU Nomor 13 Tahun 1985 tentang Bea Meterai (BM).
Keempat dari kelima UU tersebut mengalami perubahan dengan mengubah beberapa
pasal yaitu sebagai berikut:
1. UU Nomor 6 Tahun 1983 diubah dengan UUNomor 9 Tahun 1994;
2. UU Nomor 7 Tahun 1983 diubah dengan UU Nomor 10 Tahun 1994;
3. UU Nomor 8 Tahun 1983 diubah dengan UU Nomor 11 Tahun 1994;
4. UU Nomor 12 Tahun 1985 diubah dengan UU Nomor 12 Tahun 1994.
Selanjutnya pada tahun 1997 pemerintah kembali mengadakan perubahan atas UU
perpajakan yang ada dan membuat beberapa UU yang berkaitan dengan masalah
perpajakan dalam rangka mendukung UU yang sudah ada, yaitu:
1. UU Nomor 17 Tahun 1997 tentang Badan Penyelesaian Sengketa Pajak;
2. UU Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah;
3. UU Nomor 19 Tahun 1997 tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa;
4. UU Nomor 20 Tahun 1997 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak;
3
5. UU Nomor 21 Tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan
Bangunan.
Dalam rangka memberikan rasa keadilan dan meningkatkan pelayanan kepada wajib
pajak, pada tahun 2000 pemerintah kembali mengadakan perubahan terhadap Undang-
undang perpajakan yang dibuat pada tahun 1983, yang selengkapnya seperti dibawah ini:
1. UU Nomor 16 Tahun 2000 mengenai perubahan atas UU No. 6 Tahun 1983
sebagaimana telah dirubah dengan UU No. 9 Th. 1994;
2. UU Nomor 17 Tahun 2000 mengenai perubahan atas UU No. 7 Tahun 1983
sebagaimana telah dirubah dengan UU No. 10 Th. 1994;
3. UU Nomor 18 Tahun 2000 mengenai perubahan atas UU No. 8 Tahun 1983
sebagaimana telah dirubah dengan UU No. 11 Tahun 1994;
4. UU Nomor 19 Tahun 2000 mengenai perubahan atas UU No. 19 Tahun 1997;
5. UU Nomor 20 Tahun 2000 mengenai perubahan atas UU No. 20 Tahun 1997.
Pada beberapa tahun terakhir, pemerintah kembali mengadakan perubahan terhadap
undang-undang perpajakan karena melihat faktor perekonomian yang semakin meningkat.
Beberapa Undang-undang yang dirubah antara lain ;
1. UU Nomor 16 Tahun 2000 dirubah menjadi UU nomor 28 Tahun 2007 tentang
Ketentuan umum dan tata cara perpajakan.
2. UU Nomor 17 Tahun 2000 dirubah menjadi UU nomor 36 Tahun 2008 tentang
Pajak penghasilan.
3. UU Nomor 18 Tahun 2000 dirubah menjadi UU nomor 42 tahun 2009 tentang PPN
dan PPN BM.
4. UU Nomor 19 Tahun 2000tentang Pajak Bumi dan Bangunan tidak mengalami
perubahan karena kontruksi UU Pajak bumi dan bangunan formatnya sama dengan
Undang-undang Bea Perolehan atas tanah dan bangunan.
4
RAKYAT RAJA/PENGUASA
UPETI (pemberian secara cuma-cuma),Berupa padi, ternak & hasil tanaman.
Untuk Kepentingan Raja/Penguasa
- Dipaksakan- Harus Dilaksanakan- Ada Tekanan
Tidak Ada Imbalan/Prestasi/T
Kepentingan SepihakGambar 1.1
Pemungutan pajak sebelum adanya undang-undang pajakSelanjutnya mengalami perkembangan …………….
RAKYAT RAJA/PENGUASA
UPETI (pemberian secara cuma-cuma),Berupa padi, ternak & hasil tanaman.
Mengarah kpd Kepentingan Rakyat
- Dipaksakan- Harus Dilaksanakan- Ada Tekanan- Ada Unsur Keadilan
Ada Imbalan/Prestasi :
- Menjaga Keamanan- Memelihara Jalan- Membangun Irigasi- Sarana Sosial Lainny
Gambar 1.2- Pemungutan pajak setelah perubahan undang-undang pajak
5
Akhirnya ………………………..
Gambar 1.3Pemungutan pajak setelah adanya tuntutan
Undang-undang nomor 28 tahun 2007
Dibuat
Aturan-Aturan
Undang-Undang(Mengatur tata cara pemungutan, jenis
pajak yang dipungut, siapa yangmembayar dan berapa besarnya
P A J A K
6
2. Definisi Perpajakan
1. Prof. Dr. P.J.A. Adriani
Menurut Prof .Dr. P.J.A Adriani dalam bukunya Pengantar Ilmu Hukum Pajak (1991:2)
adalah ;
Pajak adalah iuran kepada negara (yang dapat dipaksakan) yang terutang olehyang wajib membayarnya menurut peraturan-peraturan, dengan tidak mendapatprestasi kembali, yang langsung dapat ditunjuk dan gunanya adalah untukmembiayai pengeluaran-pengeluaran umum berhubung dengan tugas negara untukmenyelenggarakan pemerintahan
2. Mr. Dr. N. J. Feldman
Menurut Mr. Dr. N.J. Fiedlman, Pengertian Pajak adalah ;
Pajak adalah prestasi yang dipaksakan sepihak oleh dan terutang kepada penguasa,menurut norma-norma yang ditetapkannya secara umum, tanpa adanya kontra-prestasi dan semata-mata digunakan untuk menutup pengeluaran-pengeluaranUmum.
3. Prof. Dr. M.J.H. Smeets
Pajak adalah prestasi kepada pemerintah yang terutang melalui norma-normaumum dan yang dapat dipaksakannya, tanpa adanya kontra-prestasi yang dapatditunjukkan dalam hal yang individual; maksudnya adalah untuk membiayaipengeluaran Pemerintah.
4. Dr. Soeparman Soemahamidjaja
Pajak adalah iuran wajib berupa uang atau barang yang dipungut oleh penguasaberdasarkan norma-norma hukum, guna menutup biaya produksi barang-barangdan jasa kolektif dalam mencapai kesejahteraan umum
5. Prof. Dr. Rochmat Soemitro, SH
Menurut Prof .Dr. Rochmat Soemitro dalam bukunya Dasar-dasar Hukum Pajak dan
Pajak Pendapatan (1990:5) adalah ;
Pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan Undang-undang (yangdapat dipaksakan) dengan tiada mendapat jasa timbal (kontra-prestasi), yanglangsung dapat ditunjukkan dan yang digunakan untuk membayar pengeluaranumum.
Dari defenisi tersebut dapat disimpulkan bahwa pajak memiliki empat unsur, yaitu:
1. Iuran dari rakyat kepada Negara
2. Berdasarkan undang-undang
3. Tanpa jasa timbal balik (kontraprestasi)
4. Digunakan untuk membiayai rumah tangga Negara
7
3. Fungsi Pajak
Ada dua fungsi pajak secara umum, yaitu:
1. Fungsi Anggaran
Pajak sebagai sumber dana bagi pemerintah untuk membiayai pengeluaran-
pengeluaran, baik bersifat fisik maupun non fisik.
2. Fungsi Mengatur
Pajak sebagai alat untuk mengatur atau melaksanakan kebijaksanaan
Pemerintah dalam bidang sosial dan ekonomi.
Contoh:
a. pajak yang tinggi dikenakan terhadap minuman keras untuk mengurangi
konsumsi terhadap minuman keras.
b. Pajak yang tinggi dikenakan terhadap barang-barang mewah untuk
mengurangi gaya hidup konsumtif.
c. Tarif pajak untuk ekspor sebesar 0% untuk mendorong ekspor produk
Indonesia di pasaran dunia.
4. Syarat Pemungutan Pajak
Agar pemungutan pajak tidak menimbulkan hambatan atau perlawanan, maka
pemungutan pajak harus memenuhi syarat sebagai berikut:
1. Pemungutan pajak harus adil ( syarat keadilan)
Adil dalam perundang-undangan diantaranya mengenakan pajak secara umum dan
merata, serta disesuaikan dengan kemampuan masing-masing Sedang adil dalam
pelaksanaannya yakni dengan memberikan hak bagi Wajib Pajak untuk mengajukan
keberatan, penundaan dalam pembayaran dan mengajukan banding kepada Majelis
Pertimbangan Pajak.
2. Pemungutan pajak harus berdasarkan undang-undang (syarat yuridis)
Di Indonesia, pajak diatur dalam UUD 1945 pasal 23 ayat 2.
3. Tidak mengganggu perekonomian (syarat ekonomis)
Pemungutan tidak boleh mengganggu kelancaran kegiatan produksi maupun
perdagangan, sehingga tidak menimbulkan kelesuan perekonomian.
4. Pemungutan pajak harus efesien (syarat finansial)
Biaya pajak harus ditekan sehingga lebih rendah dari pemungutannya.
5. Sistem pemungutan pajak harus sederhana
Sistem pemungutan pajak yang sederhana akan memudahkan dan
8
mendorong masyarakat dalam memenuhi kewajiban perpajakannya.
Contoh:
Bea Meterai disederhanakan dari 167 macam tarif menjadi 2 macam tarif.
Tarif PPN yang beragam disederhanakan menjadi hanya 1 tarif, yaitu 10%.
Pajak perseroaan untuk badan dan pajak pendapatan untuk perseorangan
disederhanakan menjadi pajak penghasilan (PPh) yang berlaku bagi badan
maupun perseorangan (orang pribadi).
5. Struktur Perpajakan Di Indonesia
Pajak sebagai sumber penerimaan negara untuk membiayai pengeluaran rutin
dan juga digunakan untuk membiayai pembangunan yang bersumber dari dana
pembayaran oleh masyarakat. Untuk itu struktur pajak di Indonesia terdiri dari ;
1). Pajak Pusat/Negara:
1. Dirjen Pajak :
a. PPh
Dasar hukum pengenaan pajak penghasilan adalah undang-undang No.7 Tahun
1983 sebagaimana telah diubah terakhir dengan undang-undang no.36 tahun 2008.
Undang-undang Pajak penghasilan mulai tahun 1983 dan merupakan pengganti
undang-undang pajak perseroan 1925, undang-undang Pajak pendapatan 1944.
b. PPN & PPn BM
Dasar hukum pengenaan PPN dan PPn BM adalah Undang-undang No. 8 Tahun
1983 sebagaimana telah diubah terakhir dengan undang-undang No.42 Tahun
2009. UU PPN dan PPn BM efektif mulai berlaku sejak tanggal 1 April 1985 dan
merupakan pengganti UU Pajak penjualan tahun 1951.
c. Bea Materai
Dasar hukum pengenaan Bea Materai adalah Undang-undang no.13 Tahun 1985.
UU bea Materai berlaku mulai tanggal 1 Januari 1986 menggantikan peraturan
dan undang-undang bea materai yang lama ( aturan bea materai 1921).
2. Dirjen Bea dan Cukai :
9
a. Bea Masuk
b. Cukai
2). Pajak Daerah :
Dasar Hukum pemungutan Pajak Daerah & Retrebusi Daerah adalah Undang-undang
No.28 Tahun 2009 Tentang Pajak Daerah dan Retrebusi daerah. Pajak daerah terdiri dari :
1. Pajak Propinsi / daerah Tingkat I :
a. Pajak Kendaraan Bermotor
b. Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor
c. Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor
d. Pajak Air Permukaan
e. Pajak Rokok
2. Pajak Kabupaten/Kota Daerah Tingkat II :
a. Pajak Hotel
b. Pajak Restoran
c. Pajak Hiburan
d. Pajak Reklame
e. Pajak Penerangan Jalan
f. Pajak Pengambilan & Pengolahan Bahan Galian Gol. C
g. Pajak Parkir
h. Pajak Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air Permukaan.
i. Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2)
j. Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB)
10
6. Tinjauan & Pendekatan Pajak Dari Berbagai Aspek
a. Aspek Ekonomi
b. Aspek Hukum
c. Aspek Keuangan
d. Aspek Sosiologi
a. Aspek Ekonomi
Pajak merupakan penerimaan negara yang digunakan untuk mengarahkan kehidupan
masyarakat menuju kesejahteraan masyarakat. Pajak sebagai sumber motor penggerak
kehidupan ekonomi masyarakat.
b. Aspek Hukum
Pajak merupakan masalah keuangan negara, adapun dasar yang digunakan untuk
mengatur masalah keuangan negara tersebut yaitu pasal 23 (2) UUD 1945, dan untuk
teknis pelaksanaan perpajakan yang mengatur masalah perpajakan terdapat UU
Perpajakan.
c. Aspek Keuangan
Pajak dipandang sebagai aspek penting dalam penerimaan negara yang menjadikan pajak
sebagai primadona penerimaan negara.
d. Aspek Sosiologi
Pajak sebagai sumber penerimaan negara untuk membiayai pengeluaran rutin dan juga
digunakan untuk membiayai pembangunan, bearti pembangunan ini dibiayai oleh
masyarakat.
11
7. Tata Cara Pemungutan Pajak
1. Stelsel Pajak
Pemungutan pajak dapat dilakukan berdasar 3 stelsel:
a. Stelsel Nyata (Real stelsel)
Pengenaan pajak didasarkan pada objek (penghasilan yang nyata), sehingga
pemungutannya baru dapat dilakukan pada akhir tahun pajak. Kelebihannya
adalah pajak yang dikenakan lebih realistis, sedangkan kelemahannya adalah
pajak baru dapat dikenakan pada akhir periode (setelah penghasilan diketahui).
b. Stelsel Anggapan (fictieve stelsel)
Pengenaan pajak didasarkan pada suatu anggapan yang diatur oleh undang-
undang (penghasilan suatu tahun dianggap sama dengan tahun sebelumnya).
Kebaikanstelsel ini adalah pajak dapat dibayar selama tahun berjalan tanpa harus
menunggu pada akhir tahun, sedangkan kelemahannyaadalah pajak yang
dibayarkan tidak sesuai dengan yang sesungguhnya.
c. Stelsel Campuran
Stelsel ini merupakan kombinasi antara stelsel real dan stelsel fictieve. Pada
awal tahun, besarnya pajak yang dihitung berdasarkan suatu anggapan, kemudian
pada akhir tahun besarnya pajak disesuaikan dengan keadaan yang sebenarnya.
Bila besarnya pajak menurut kenyataan lebih besar dari pada pajak menurut
anggapan, maka wajib pajak harus menambah. Sebaliknya jika lebih kecil,
kelebihannya dapat diminta kembali atau dapat dihitung untuk tahun pajak yang
selanjutnya.
8. Prinsip-Prinsip Perpajakan Yang Baik
1. Prinsip Manfaat
Artinya secara umum, barang-barang dan jasa-jasa yang disediakan oleh pemerintah
merupakan barang untuk kepentingan umum/untuk dimanfaatkan oleh masyarakat
luas.
2. Prinsip Kemampuan Membayar
Artinya negara memperoleh penghasilan dari wajib pajak melalui sumbangan sesuai
dengan kemampuannya.
12
3. Efisiensi
Artinya pengenaan pajak harus mempertimbangkan aspek efisiensinya karena dengan
adanya pengenaan pajak maka akan menaikan harga barang atau jasa tersebut.
4. Pertumbuhan Ekonomi
Artinya sistem perpajakan yang baik harus dapat mengacu pada pertumbuhan
ekonomi, dapat memberi dorongan bagi pembukaan lapangan kerja yang mendorong
pertumbuhan secara bersaing diberbagai sektor ekonomi.
5. Kecukupan Penerimaan
Artinya penerapan jenis pajak harus layak dan memadai sebagai sumber dana untuk
membiayai pengeluaran pemerintah, jangan sampai cost of collection lebih besar dari
perolehan pajaknya.
6. Stabilitas
Artinya dalam pengenaan pajak perlu adanya stabilitas penerimaan pajak karena jika
penerimaan pajak bersifat fluktuatif, maka program pemerintah yang telah
direncanakan dalam APBN dapat terganggu.
7. Kesederhanaan
Artinya suatu sistem perpajakan haruslah sederhana dan mudah dipahami masyarakat,
terutama wajib pajak.
8. Rendahnya Biaya Administrasi dan Biaya Kepatuhan
Artinya sistem perpajakan yang baik harus memiliki biaya administrasi dan kepatuhan
yang rendah.
9. Netralitas
Artinya sistem perpajakan yang baik harus dapat menghilangkan terjadinya distorsi
dalam prilaku konsumsi dan produksi oleh masyarakat, yang dapat membantu
menarik investor lain untuk melakukan investasi.
13
9. Perbedaan Pajak Dengan Jenis Pungutan Lainnya
1. Pengertian Retribusi
Retribusi adalah jenis pungutan yang diberikan atas pembayaran berupa jasa atau
pemberian izin tertentu yang disediakan atau diberikan oleh pemerintah kepada setiap
orang atau badan dengan kepentingan tertentu, Misalnya : Retribusi atas penyediaan
tempat penginapan, retribusi tempat pencucian mobil, pembayaran aliran listrik,
pembayaran abodemen air minum, retribusi tempat penitipan anak, IMB.
Sifat pelaksanaan pada retribusi lebih mengarah pada hal yang bersifat ekonomis.
Jenis-Jenis Retribusi ;
Jenis-jenis Retribusi menurut Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007
tentang Jenis-Jenis Retribusi daerah adalah :
1. Retribusi Jasa Umum, adalah jasa yang disediakan oleh pemerintah daerah untuk
tujuan dan kemanfaatan umum serta dapat dinikmati oleh orang pribadi atau badan.
Retribusi umum, terdiri dari :
a. Pelayanan kesahatan
b. Pelayanan persampahan/kebersihan
c. Penggantian biaya cetak kartu tanda penduduk dan akte catatan sipil
d. Pelayanan pemakaman dan pengabuan mayat
e. Parkir ditepi jalan umum
f. Pelayanan Pasar
g. Air bersih
h. Pengujian kendaraan bermotor
i. Pemeriksaan alat pemadam kebakaran
j. Penggantian biaya cetak peta
k. Pengujian kapal perikanan
l. Penyedotan WC/Kakus
m. Pengendalian menara komunikasi.
14
2. Retribusi Jasa Usaha, adalah jasa yang disediakan oleh pemerintah daerah dengan
menganut prinsip-prinsip komersial karena pada dasarnya dapat juga disediakan oleh
sector swasta. Retrebusi jasa usaha menurut PP no 38 tahun 2007 terdiri dari ;
a. Pemakaian kekayaan daerah
b. Pasar grosir dan atau pertokoan
c. Terminal
d. Tempat khusus parkir
e. Tempat penitipan anak
f. Tempat penginapan/villa
g. Penyedotan kakus
h. Rumah potong hewan
i. Tempat pendaratan kapal
j. Tempat rekreasi dan oleh raga
k. Penyeberangan diatas air
l. Pengolahan limbah cair
m. Penjualan produksi usaha daerah
3. Retribusi Perizinan tertentu,adalah pelayanan perijinan tertentu oleh pemerintah
daerah kepada orang pribadi atau badan yang dimaksudkan untuk pengaturan dan
pengawasan atas kegiatan pemanfaatan ruang, penggunaan sumberdaya alam, barang,
prasarana, sarana, atau fasilitas tertentu guna melindungi kepentingan umum dan
menjaga kelestarian lingkungan. Jenis retrebusi perijinan menurut PP nomor 38 tahun
2007 terdiri dari ;
a. Izin peruntukan penggunaan tanah
b. Izin mendirikan bangunan
c. Izin tempat penjualan minuman beralkohol
d. Izin gangguan
e. Izin trayek
f. Izin pengambilan hasil hutan
g. Izin usaha perikanan
15
2. Pengertian Sumbangan
Sumbangan adalah jenis pungutan sukarela yang dilakukan oleh dan untuk kepentingan
sekelompok masyarakat tertentu dan tidak memerlukan dasar hukum.
Misalnya : Sumbangan pembangunan tempat ibadah, sumbangan untuk bencana alam,
sumbangan swadaya masyarakat untuk perbaikan jalan dilingkungan tempat tinggal.
Perbedaan Pajak Dgn Jenis Pungutan Lain
CIRI-CIRI YANG
MELEKAT
PAJAK RETRIBUSI SUMBANGAN
1. Pemungutannya
berdasarkan UUYA
YA TIDAK
2. Ada kontra prestasi
langsung TIDAK YA YA
3. Dilakukan oleh negara YA YA TIDAK
4. Digunakan untuk
pengeluaran rutin &
pembangunan bagi
kepentingan masyarakat
umum.
YA YA TIDAK
16
PENGELOMPOKAN, JENIS PAJAK,
SISTEM PEMUNGUTAN DAN TARIF PAJAK
1. Pengelompokkan Pajak
A. Menurut Golongannya
Berdasarkan golongannya, pajak di kelompokan menjadi 2 kelompok, yaitu ;
a) Pajak Langsung, yaitu pajak yang harus dipikul sendiri oleh Wajib Pajak dan
tidak dapat dilimpahkan ke orang lain.
Contoh:Pajak Penghasilan (PPh)
b) Pajak tidak langsung, yaitu pajak yang pada akhirnya dapat dilimpahkan
atau dibebankan ke orang lain.
Contoh:Pajak Pertambahan Nilai (PPN), pada industry rokok, pajak yang
seharusnya di tanggung oleh perusahaan bisa dilimpahkan pada konsumen
pengguna rokok tersebut.
B. Menurut Sifatnya
Berdasarkan sifatnya, pajak di kelompokan menjadi 2 kelompok, yaitu ;
a) Pajak Subjektif yaitu pajak yang ditinjau dari subjeknya, maksudnya
memperhatikan kondisi/keadaan diri Wajib Pajak.
Contoh:Pajak Penghasilan (PPh)
b) Pajak Obyektif, yaitu pajak yang ditinjau dari mobjeknya, tanpa
memperhatikan kondisi / keadaan diri Wajib Pajak.
Contoh: Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah( PPN-
BM ).
2
Setelah mempelajari bab ini, mahasiswa diharapkan mampu memahami dan menjelaskandi depan kelas Tentang ;
Pengelompokan Pajak Berdasarkan Golongan, Sifat dan Lembaga Pemungutnya. Sistem Pemungutan Pajak Berbagai jenis tarif Pajak
17
C. Menurut Lembaga Pemungutnya
a) Pajak Pusat, yaitu pajak yang dipungut oleh pemerintah pusat dan digunakan
untuk membiayai rumah tangga Negara.
Contoh: PPh, PPN, PPnBM, dan Bea Meterai.
b) Pajak Daerah, yaitu pajak yang dipungut oleh pemerintah daerah dan
digunakan untuk membiayai rumah tangga daerah.
Pajak Daerah terdiri atas:
Pajak Propinsi, yaitu pajak yang dipungut oleh Pemerintah Daerah Tingkat I contoh:
Pajak Kendaraan Bermotor dan Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor dan pajak
kendaraan di atas air.
Pajak Kabupaten/kota, yaitu pajak yang dipungut oleh Pemerintah Daerah Tingkat II
suatu kabupaten atau kotamadya.
contoh: Pajak Hotel, Pajak Restoran, dan Pajak Hiburan, Pajak Reklame, Pajak
Penerangan Jalan (PPJ), pajak parkir, pajak bahan galian golongan C, dan bermacam
pajak yang disesuaikan dengan potensi di suatu daerah tersebut. Dan pada peraturan
terbaru dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009, diatur masa Transisi Bahwa
BPHTB mulai di pungut oleh daerah tanggal 1 Januari 2011 dan PBB ( Pajak Bumi
dan Bangunan yang awalnya menjadi bagian dari pajak Pusat, dialihkan menjadi
Pajak Daerah dengan nama PBB-P2 (Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan
perkotaan)yang pemberlakuannya mulaitanggal 1 Januari 2011, dan paling lambat
tanggal 1 Januari 2014.
18
3. Sistem Pemungutan Pajak
a. Official Assessment System
adalah suatu system pemungutan yang memberi wewenang kepada pemerintah (fiskus)
untuk menentukan besarnya pajak yang terutang oleh Wajib Pajak.
Ciri-cirinya:
1.) Wewenang untuk menentukan besarnya pajak terutang ada pada fiskus.
2.) Wajib pajak bersifat pasif
3.) Utang pajak timbul setelah dikeluarkan surat ketetapan pajak oleh fiskus.
b. Self Assessment System
Adalah suatu sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang kepada Wajib Pajak
untuk menentukan sendiri besarnya pajak yang terutang.
Ciri-cirinya:
1.) Wewenang untuk menentukan besarnya pajak terutang ada pada Wajib
Pajak sendiri.
2.) Wajib Pajak aktif, mulai dari menghitung, menyetor dan melaporkan sendiri pajak
yang terutang.
3.) Fiskus tidak ikut campur dan hanya mengawasi.
c. With Holding System
Adalah suatu sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang kepada pihak ketiga
(bukan fiskus dan bukan Wajib Pajak) untuk menentukan besarnya pajak yang terutang
oleh Wajib Pajak.
4. Tarif Pajak
Untuk menghitung besarnya pajak yang terutang diperlukan dua unsur, Yaitu tarif pajak
dan dasar pengenaan pajak.
Tarif pajak dibedakan menjadi 4 macam :
1. Tarif Sebanding/proporsional
Tarif berupa persentase tetap terhadap berapapun jumlah yang dikenai pajak, sehingga
besarnya pajak yang terutang sebanding dengan besarnya nilai yang dikenai pajak.
19
Contoh:
Di Indonesia tarif proporsional diterapkan pada PPN (tarif 10%), PPh Pasal 26 (tarif
20%), PPh Pasal 23 (tarif 15% dan 2% untuk jasa lain), PPh WP badan dalam negeri
dan BUT (tarif Pasal 17 ayat (1)b atau 28%); dan lain-lain.
2. Tarif tetap
Tarif berupa jumlah yang tetap (sama) terhadap berapapun jumlah yang dikenai pajak
sehingga besarnya pajak yang terutang tetap.
Contoh:
No. Dasar Pengenaan Pajak Tarif Pajak
1 Rp 1.000.000; Rp 6.000;
2 Rp 2.000.000; Rp 6.000;
3 Rp 5.750.000; Rp 6.000;
4 Rp 50.000.000; Rp 6.000;
Di Indonesia besarnya tarif Bea Meterai cek dan bilyet giro untuk berapapun
jumlahnya dikenakan pajak sebesar Rp 6.000;
3. Tarif progresif
Persentase tarif yang digunakan semakin besar bila jumlah yang dikenai pajak
semakin besar
Contoh: UU PPh
a. Tarif pajak orang pribadi dalam negeri UU No. 36 Tahun 2008 Pasal 17 yang ditetapkan
atas PKP Wajib Pajak pribadi
Dasar Pengenaan Pajak Tarif Pajak
Sampai dengan Rp 50.000.000; 5%
Rp 50.000.000; s/dRp 250.000.000; 15%
Rp 250.000.000;s/dRp 500.000.000; 25%
>Rp 500.000.000; 30%
b. Tarif pajak Badan Dalam Negeri dan Bentuk Usaha Tetap (BUT)
20
Dasar Pengenaan Pajak Tarif Pajak
< Rp 50.000.000; 10%
Rp 50.000.000;s/dRp 100.000.000; 15%
>Rp 100.000.000; 30%
Menurut kenaikan persentase tarifnya, tarif progresif dibagi:
Tarif progresif progresif : kenaikan persentase semakin besar
Tarif progresif tetap : kenaikan persentase tetap
Tarif progresif degresif : kenaikan persentase semakin kecil
Dengan demikian, tarif pajak menurut pasal 17 UU PPh tersebut merupakan tarif progresif
progresif.
4. Tarif degresif
Persentase tarif yang digunakan semakin kecil bila jumlah yang dikenakan pajak
semakin besar.
Contoh:
Dasar Pengenaan Pajak Tarif Pajak
Rp 50.000.000; 30%
Rp 100.000.000; 20%
Rp 200.000.000; 10%
Gambar 2.1
Daftar Lapisan Kena pajak Orang Pribadi dan Badan
21
PERPAJAKAN
DARI SUDUT PANDANG HUKUM
1. Dasar-Dasar Teori Tentang Pajak
Mengapa kita sebagai rakyat harus membayar pajak,? Atas dasar apa negara
mempunyai hak untuk memungut pajak ? untuk menjawab pertnyaan-pertanyaan tersebut,
terdapat beberapa teori yang menjelaskan atau memberikan justifikasi hak kepada negara
untuk memungut pajak. Teori-teori tersebutmenurut Prof.Mardiasmo (2009) antara lain
adalah :
1. Teori Asuransi
Negara melindungi keselamatan jiwa, harta benda, dan hak-hak rakyatnya. Oleh
karena itu rakyat harus membayar pajak yang diibaratkan sebagai suatu premi
asuransi karena memperoleh jaminan perlindungan tersebut.
2. Teori Kepentingan
Pembagian beban pajak kepada rakyat didasarkan pada kepentingan (misalnya
perlindungan) masing-masing orang, semakin besar kepentingan seseorang terhadap
negara, makin tinggi pajak yang harus dibayar.
3. Teori Daya Pikul
Beban pajak untuk semua orang harus sama beratnya, artinya pajak harus dibayar
sesuai dengan daya pikul masing-masing orang. Untuk mengukur daya pikul dapat
digunakan 2 pendekatan yaitu:
- Unsur objektif, dengan melihat besarnya penghasilan atau kekayaan yang dimiliki
oleh seseorang.
- Unsur subjektif, dengan memperhatikan besarnya kebutuhan materiil yang harus
dipenuhi.
3Setelah mempelajari bab ini, mahasiswa diharapkan mampu memahami dan menjelaskandi depan kelas Tentang ;
Dasar-dasar teori tentang pemungutan Pajak. Kedudukan Hukum Pajak Hukum pajak Materil dan Hukum Pajak Formil Yuridiksi Pemungutan Pajak Timbul dan Hapusnya Hutang Pajak
22
Contoh :
Tuan Tino Tuan Bedo
Penghasilan / bulanan Rp 6 juta Rp 6 juta
Status menikah bujangan
Dengan 3 anak
Secara objektif PPh untuk TuanTino sama besarnya dengan Tuan Bedo, karena
mempunyai penghasilan yang sama besarnya.
Secara subjektif PPh untuk Tuan Tino lebih kecil dari pada Tuan Bedo, karena
kebutuhan materiil yang harus dipenuhi tuan Tino lebih besar.
4. Teori Bakti
Dasar keadilan pemungutan pajak terletak pada hubungan rakyat dapat negaranya.
Sebagai warga negara yang berbakti, rakyat harus selalu menyadari bahwa
pembayaran pajak adalah sebagai suatu kewajiban.
5. Teori Asas Daya Beli
Dasar keadilan terletak pada akibat pemungutan pajak. Maksudnya memungut pajak
berarti menarik daya beli dari rumah tangga masyarakat untuk rumah tangga negara.
Selanjutnya negara akam menyalurkannya kembali ke masyarakat dalam bentuk
pemeliharaan kesejahteraan masyarakat. Dengan demikian kepentingan seluruh
masyarakat lebih diutamakan
2. Kedudukan Hukum Pajak
Menurut Prof Dr. Rochmat Soemitro, SH, Hukum Pajak mempunyai kedudukandi antara hukum-hukum sebaga berikut :
1. Hukum Perdata, Mengatur hubungan antara satu individu dengan individu lainnya.
2. Hukum Publik, mengatur hubungan antara pemerintah dengan rakyatnya, hukum ini
dapat dirinci lagi sebagai berikut :
Hukum Tata Negara
Hukum Tata Usaha ( Hukum Administratif )
Hukum Pajak
Hukum Pidana
23
Dengan demikian kedudukan hokum pajak merupakan bagian dari hokum public,
dalam mempelajari bidang hukum,berlaku apa yang disebut Lex Specialis derogate
Lex Generalis yang artinya peraturan khusus lebih diutamakan dari pada peraturan
umum atau jika sesuatu ketentuan yang diatur dalam peraturan umum.dalam hal ini
peraturan khusus adalah hukum pajak, sedangkan peraturan umum adalah hokum
public atau hokum lain yang sudah ada sebelumnya.
Hukum pajak menganut paham imperatif yakni pelaksanaannya tidak dapat
ditunda. misalnya dalam hal pengajuan keberatan, sebelum ada keputusan dari
direktur jenderal pajak bahwa keberatan tersebut diterima, maka wajib pajak yang
mengajukan keberatan terlebih dahulu membayar pajak, sesuai dengan yang telah
ditetapkan.berbeda dengan hukum pidana yang menganut paham oportunitas yakni
pelaksanaannya dapat ditunda setelah ada keputusan lain.
3. Hukum Pajak Materil dan Hukum Pajak Formil
Hukum Pajak mengatur hubungan antara pemerintah ( Fiscus) selaku pemungut
pajak dengan rakyat sebagai wajib Pajak, ada 2 macam Hukum Pajak yakni :
1. Hukum pajak material, memuat norma-norma yang menerangkan antara lain keadaan,
perbuatan, peristiwa, hokum yang dikenai pajak ( objek pajak ), siapa yang dikenakan
pajak ( subjek ), berapa besar pajak yang dikenakan ( tarif ), segala sesuatu tentang
timbul dan hapusnya utang pajak, dan hubungan hokum antara pemerintah dan wajib
pajak.
Contoh : Undang-undang Pajak Penghasilan.
2. Hukum pajak formil, memuat bentuk / tata cara untuk mewujudkan hokum materiil
menjadi kenyataan ( cara melaksanakan hukum pajak materiil ). Hukum ini memuat
antara lain :
Tata cara penyelenggaraan ( prosedur ) penetapan suatu utang pajak.
Hak-hak fiskus untuk mengadakan pengawasan terhadap para wajb pajak
mengenai keadaan, perbuatan dan peristiwa yang menimbulkan utang pajak.
Kewajiban wajib pajak misalnya menyelenggarakan pembukuan / pencatatan
dan hak-hak wajib pajak misalnya mengajukan keberatan dan banding.
Contoh : Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.
24
4. Yuridiksi Pemungutan Pajak
Dasar hukum pengenaan pajak di Indonesia adalah Pasal 23 ayat (2) Undang-
undang Dasar Tahun 1945, yang berbunyi, “Segala pajak untuk kegunaan kas negara
berdasarkan undang-undang.” Setelah amandemen UUD 1945, ketentuan tentang
pajak ada di Pasal 23A, yang berbunyi "Pajak dan pungutan lain yang bersifat
memaksa untuk keperluan negara diatur dengan undang-undang." Ketentuan ini
sesuai dengan suatu dalil yang berkembang di Inggris yaitu No Taxation without
representation. Semua jenis pungutan yang membebani rakyat harus didasarkan pada
undang-undang. Khusus untuk Pajak Penghasilan, yang berlaku saat ini, Indonesia
memiliki Undang-undang Nomor 7 tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan
sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 17 Tahun 2000
(selanjutnya disebut UU PPh 1984).
Berdasarkan Pasal 2 UU PPh 1984, Indonesia membangun yurisdiksi
pemajakan berdasarkan dua kaitan fiskal (fiscal allegiance) yaitu: subjektif dan
objektif. Pasal 2 ayat (3) huruf a UU PPh 1984 yang mengatur subjek pajak dalam
negeri, berbunyi, “Orang pribadi yang bertempat tinggal di Indonesia atau orang
pribadi yang berada di Indonesia lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari
dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, atau orang pribadi yang dalam satu tahun
pajak berada di Indonesia dan mempunyai niat untuk bertempat tinggal di Indonesia.”
Menurut ketentuan ini, orang pribadi dapat disebut Wajib Pajak dalam negeri jika
memenuhi salah satu syarat berikut: tempat tinggal atau domisili, keberadaan, atau
niat bertempat tinggal di Indonesia. Ketiga syarat ini merupakan cara pengujian,
dimanakah seseorang berdomisili.
Sedangkan untuk subjek pajak badan, ketentuan tentang domisili diatur dalam
Pasal 2 ayat (3) huruf b UU PPh 1984. Suatu badan dapat disebut Wajib Pajak dalam
negeri jika memenuhi syarat sebagai berikut: badan tersebut didirikan di Indonesia,
atau bertempat kedudukan di Indonesia.
Kepastian domisili ini sangat penting karena berkaitan dengan hak pemajakan
berdasarkan asas domisili. Asas domisili yaitu asas mengenai pengenaan pajak yang
menentukan bahwa negara tempat Wajib Pajak bertempat tinggal atau berkedudukan
lebih berhak mengenakan pajak atas hasil-hasil yang diperoleh Wajib Pajak dalam
negeri yang berasal dari sumber di mana saja sumber itu ada, baik sumber itu berada
di dalam negeri maupun di luar negeri.
Selain asas domilisi, terdapat satu asas lagi yang berlaku dalam UU PPh 1984 dan
25
diterima secara global, yaitu asal sumber. Yurisdiksi sumber Indonesia mendasarkan
kepada dua unsur, yaitu: menjalankan suatu aktivitas ekonomi secara signifikan, dan
menerima atau memperoleh penghasilan yang bersumber dari negara tersebut.
Menurut asas sumber, negara tempat sumber itu terletak, lebih berhak mengenakan
pajak atas hasil yang keluar dari sumber itu, tak pandang dimana orang yang memiliki
sumber itu berada (di luar negeri yang mengenakan pajak). Siapapun, orang pribadi
atau badan, yang menerima atau memperoleh penghasilan, baik penghasilan dari usaha
(active income) atau penghasilan dari modal (passive income), dari Indonesia dapat
dikenakan Pajak Penghasilan. Dasar hukum asas ini adalah Pasal 2 ayat (4) UU PPh
1984.
5. Timbul dan Hapusnya Utang Pajak
Ada dua ajaran yang mengatur timbulnya utang pajak :
1. Ajaran Formal
Utang Pajak timbul karena dikeluarkannya surat ketetapan pajak oleh fiskus,
ajaran ini diterapkan pada official assessment system.
2. Ajaran Materiil
Utang pajak timbul karena berlakunya undang-undang, seseorang dikenai
pajak karena suatu keadaan dan perbuatan, ajaran ini diterapkan pada self
assessment sytem.
Hapusnya utang pajak dapat disebabkan beberapa hal :
1. Pembayaran
2. Kompensasi
3. Daluwarsa
4. Pembebasan dan Penghapusan
6. Hambatan Pemungutan Pajak
Hambatan terhadap pemungutan pajak dapat dikelompokkan menjadi :
1. Perlawanan Pasif
Masyarakat enggan ( pasif ) membayar pajak, yang dapat disebabkan antara lain :
a. Perkembangan intelektual dan moral masyarakat.
b. Sistem perpajakan yang ( mungkin ) sulit dipahami masyarakat.
c. Sistem control tidak dapat dilakukan atau dilaksanakan dengan baik.
26
2. Perlawanan Aktif
Perlawanan aktif meliputi semua usaha dan perbuatan yang secara langsung
ditunjukan kepada fiskus dengan tujuan untuk menghindari pajak.
Bentuknya antara lain :
- Tax avoidance, usaha meringankan beban pajak dengan tidak melanggar
undang-undang.
- Tax evasion, usaha meringankan beban pajak dengan cara melanggar
undang-undang ( menggelapkan pajak ).
27
SURAT KETETAPAN PAJAK
Surat ketetapan pajak adalah catatan informasi keuangan suatu perusahaan pada suatu
periode akuntansi yang dapat digunakan untuk menggambarkan kinerja perusahaan tersebut.
Laporan keuangan adalah bagian dari proses pelaporan keuangan. Laporan keuangan yang
lengkap biasanya meliputi :
Surat Tagihan Pajak
Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB)
Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar (SKPLB)
Surat Ketetapan Pajak Nihil (SKPN)
Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT)
Surat Ketetapan Pajak adalah surat ketetapan yang meliputi Surat Ketetapan Pajak Bayar,
Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, Surat Ketetapan Pajak Nihil, atau surat
Ketetapan Pajak Lebih Bayar. Surat ketetapan tersebut dihasilkan dari proses pemeriksaan
(pajak) yang dilaksanakan oleh petugas fungsional pemeriksa pajak maupun penyidik pajak
atau hasil penelitian dari petugas pengawasan dan konsultasi pajak.
Surat ketetapan administrasi lainnya dapat berupa Surat Tagihan Pajak yang mempunyai
kekuatan hukum yang sama dengan surat ketetapan pajak.
MACAM – MACAM KETETAPANPAJAK, antara lain :
A. Surat Tagihan Pajak (STP)
4Setelah mempelajari bab ini, mahasiswa diharapkan mampu memahami dan menjelaskandi depan kelas Tentang ;
Pengertian Macam-macam Ketetapan Pajak Sanksi administrasi dalam ketetapan pajak Fungsi dan cara penerbitan ketetapan pajak.
28
1. Pengertian
STP adalah surat untuk melakukan tagihan pajak atau sanksi administrasi berupa
bunga dan atau denda.
2. Penerbitan STP, dikeluarkan apabila :
a. Pajak penghasilan dalam tahun berjalan tidak atau kurang bayar.
b. Wajib pajak dikenakan sanksi administrasi berupa denda dan atau bunga.
c. Pengusaha yang tidak dilakukan sebagai pengusaha kenna pajak tetapi telah
membuat faktur pajak atau pengusaha yang dilakukan sebagai pengusaha kena
pajak tetapi tidak membuat atau tidak mengisi selengkapnya faktur pajak.
3. Fungsi STP, antara lain :
a. Sebagai koreksi atas jumlah pajak yang terutang menurut SPT wajib pajak.
b. Sarana mengenalkan sanksi administrasi berupa bunga atau denda
c. Alat untuk menagih pajak.
4. Sanksi Administrasi STP, antara lain:
a. Jumlah kekurangan pajak yang terutang (poiin 2a dan 2b) dalam STP ditambah
sanksi administasi berupa bunga sebesar 2%sebulan (max 24 bulan), dihitung
sejak saat terutangnya pajak atau bagian tahun pajak atau tahun pajak sampai
dengan diterbitkannya surat tagihan pajak.
b. Terhadap pengusaha kena pajak (poin 2c dan 2d), dikenakan sanksi
adminnistrasi berupa denda sebesar 2% dari dasar pengenaan.
5. Kekuatan Hukum STP, yaitu kekuatan hukum yang sama dengan surat ketetapan
pajak, sehingga dalam hal penagihannya dapat juga dilakukan dengan suurat paksa.
B. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB)
1. Pengertian
29
SKPKB adalah surat keputusan yang menentukan besarnya jumlah pajak yang
terutang, jumlah kredit pajak, jumlah kekurangan pembayaran pokok pajak,
besarnya sanksi administrasi, dan jumlah yang masih harus dibayar.
2. Penerbitan SKPKB, berdasarkan :
a. Berdasarkan hasil pemeriksaan atau ada keterangan lain ternyata jumlah pajak
yang terutang tidak atau kurang dibayar.
b. SPT tidak disampaikan dalam waktunya, dan setelah ditegur secara tertulis tidak
juga disampaikan dalam waktu menurut surat teguran.
c. Berdasarkan pemeriksaan mengenai PPN dan PPn BM ternyata tidak harus
dikompensasikan selisih lebih pajak atau tidak seharusnnya dikenakan tarrif 0 %.
d. Kewajiban menyelenggarakan pembukuan atau pencatatan tidak terpenuhi,
sehingga tidak dapat diketahui besarnya pajak yang terutang.
3. Sanksi Administrasi, antara lain:
a. Apabila SKPKBdikeluarkan alasan pada poin 2a, maka jumlah kekurangan pajak
terutang ditambah dengan sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2 % sebuah
(maksimum 24 bulan), dihitung sejak saat terutangnya pajak atau berakhirnya
masa pajak, bagian tahun pajak atau tahun pajak sampai dengan diterbitkannya
SKPKB.
b. Apabila SKPKB dikeruarkan karena alasan pada poin 2b, 2c, dan 2d, maka
dikenakan sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar :
50% dari PPh yang tidak atau kurang dibayar dalam satu tahun pajak.
100% dari PPh yang tidak atau kurang dipotong, atau tidak kurang dipungut,
tidak tau kurang disetor, dan dipotong atau dipungut tetapi tidak atau kurang
disetorkan.
100% dari PPN dan PPn BM yang tidak atau kurang dibayar.
4. Fungsi SKPKB, antara lain :
1. Koreksi atas jumlah yang terutang menurut SPT-nya.
2. Sarana untuk mengenalkan sanksi
3. Alat untuk menagih pajak
5. Jangka Waktu Penerbitan SKPKB
30
Dalam jangka waktu 10 tahun sesudah saat terutangnya pajak, atau berakhirnya
masa pajak, bagian tahun pajak, atau tahun pajak, direktur Jenderal pajak dapat
menerbitkan SKPKB.
C. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT)
1. Pengertian
SKPKBT adalah surat keputusan yang menentukan tambahan atas jumlah pajak yang
telah diterapkan.
2. Penerbitan SKPKBT, yaitu :
a. Berdasarkan data baru dan atau data yang semula belum terungkap, menyebabkan
penambahan pajak yang terutang dalam surat ketetapan pajak sebelumnya.
b. Ditemukan lagi data yang semula belum terungkap pada saat penerbitan
SKPKBT. Dengan demikian SKPKBT dapat diterbitkan lebih dari satu kali.
3. Fungsi SKPKBT, antara lain :
a. Koreksi atas jumlah yang terutang menurut SPT-nya
b. Sarana untuk mengenakan sanksi
c. Alat untuk menagih pajak
4. Sanksi pajak, yaitu :
Jumlah kekurangan pajak yang terutang dalam SKPKBT, ditambah dengan sanksi
administrasi berupa kenaikan sebesar 100% dari jumlah kekurangan pajak tersebut.
5. Jangka Waktu Penerbitan SKPKBT, yaitu :
Dalam jangka waktu 10 tahun sesudah saat pajak terutang, berakhirnya masa pajak,
bagian tahun pajak atau tahun pajak, direktur jenderal pajak dapat penerbitan
SKPKBT.
D. Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar (SKPLB)
1. Pengertian
SKPLB adalah surat keputusan yang menentukan jumlah kelebihan pembayaran
pajak karena jumlah kredit pajak lebih besar dari pajak terutang atau tidak seharusnya
terutang.
2. Penerbitan SKPLB, yaitu :
31
Apabila jumlah kredit pajak atau jumlah pajak yang dibayar lebih besar dari jumlah
pajak yang terutang, atau telah dilakukan pembayaran pajak yang seharusnya tidak
terutang.
3. Fungsi SKPLB,yaitu sebagai alat atau sarana mengembalikan kelebihan pembayaran
pajak.
4. Tata cara menerbitkan SKPLB, perhitungan dan pengembalian kelebihan
pembayaran pajak, antara lain :
1. Wajib pajak mengajukan permohonan secara tertulis pada direktur jenderal pajak.
2. KPP atas nama Direktur Jenderal Pajak menerbitkan SKPLB dalam waktu
selambat- lambatnya 12 bulan sejak permohonan diterima.
3. Apabila SKPLB tidak diterbitkan dalam jangka waktu 12 bulan, maka wajib
pajak memberitahukan kepada direktur jenderal pajak bahwa permohonan
dikabulkan.
E. Surat Ketetapan Pajak Nihil (SKPN)
1. Pengetian
SKPN adalah surat ketetapan pajak yang menentukan jumlah pokok pajak sama
besarnya dengan jumlah kredit pajak atau pajak tidak terutang dan tidak ada kredit
pajak.
2. Penerbitan SKPN apabila :
Berdasarkan pemeriksaan yang dilakukan oleh Direktur Jenderal Pajak, jumlah kredit
pajak atau jumlah pajak yang dibayar sama dengan jumlah pajak yang terutang, atau
pajak tidak terutang dan tidak ada kredit pajak atau tidak ada pembayaran pajak.
32
KEBERATAN DAN BANDING
A. Tata Cara Penyelesaian Keberatan, antara lain:
a. Wajib pajak dapat mengajukan keberatan hanya kepada Direktur Jenderal Pajak atas
suatu :
Surat ketetapan pajak kurang bayar (SKPKB)
Surat ketetapan pajak kurang bayar tambahan (SKPKBT)
Surat ketetapan pajjak lebih bayar (SKPLB)
Surat Ketetapan pajak nihil (SKPN)
Pemotongan atau pemungutan oleh pihak ketiga berdasarkan ketentuan peraturan
perundang- undang perpajakan.
b. Keberatan diajukan secara tertulis dalam bahasa indonesia dengan mengemukakan
jumlah pajak yang terutang menurut wajib pajak dengan disertai alasan – alasan yang
jelas.
c. Keberatan harus diajukan dallam jangka waktu 3 bulan sejak tanggal surat, tanggal
pemotongan atau pemungutan, kecuali apabila wajib pajak dapat menunjukan jangka
waktu itu tidak dapat dipenuhi
Karena keadaan diluar kekuasaannya.
d. Keberatan yang tidak memenuhi persyaratan tidak dianggap sebagai surat keberatan
sehingga tidak dipertimbangkan.
e. Tanda penerimaan surat keberatan yang diberikan oleh pejabat Direktorat jendral
pajak atau tanda penerimaan surat keberatan melalui pos tercatat menjadi bukti
penerimaan surat keberatan.
f. Direktorat jenderal pajak dalam jangka waktu 12 bulan sejak tanggal surat keberatan
diterima.
g. Apabila dalam jangka waktu 12 bulan telah lewat dan direktur jenderal pajak tidak
memberi suatu keputusan, keberatan yang diajukan dianggap dikabulkan.
5Setelah mempelajari bab ini, mahasiswa diharapkan mampu memahami dan menjelaskandi depan kelas Tentang ;
Tata Cara Penyelesaian Keberatan pajak Tata cara Penyelesaian Banding Daluwarsa Penagihan pajak
33
h. Pengajuan keberatan tidak menundah kewajiban membayar pajak pelaksana penagih
pajak.
i. Apabila pengajuan keberatan sebagian atau seluruhnya, kelebihan pembayaran pajak
dikembalikan dengan ditambah imbalan bunga sebesar 2% sebulan dihitung sejak
tanggal pembayaran yang menyebabkan kelebihan pembayaran pajak sampai dengan
diterbitkan keputusan keberatan.
B. Tata Cara Penyelesaian Banding, antara lain :
a. Wajib pajak dapat mengajukan permohonan banding hanya kepada pengadilan pajak
terhadap keputusan mengenai keberatannya yang ditetapkan oleh direktur jenderal
pajak.
b. Banding diajukan dalam waktu 3 bulan sejak tanggal keberatan dikeluarkan, dengan
cara :
1. Tertulis dalam bahasa indonesia
2. Mengemukakan alasan – alasan yang jelas dan bukti yang diperlukan
3. Melampirkan salinan surat keputusan keberatan
c. Putusan badan peradilan pajak merupakan putusan akhir dan bersifat tetap.
d. Permohonan banding tidak menunda kewajiban pembayaran pajak yang
bersangkutan.
C. DALUWARSA PENAGIHAN PAJAK
Daluwarsa penagihan pajak dapat melampaui 10 tahun apabila :
1. Diterbitkan surat teguran dan surat paksa
2. Ada pengakuan utang pajak dari wajib pajak baik langsung maupun tidak
langsung .
3. Terdapat surat ketetapan pajak kurang bayar atau surat ketetapan pajak kurang
bayar tambahan yang diterbitkan terhadap wajib pajak karena melakukan tindak
pidana dibidang perpajakan berdasarkan putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap.
34
PEMERIKSAAN DAN
PENYELIDIKAN PAJAK
A. PEMERIKSAAN PAJAK
1. Pengertian
Pemeriksaan pajak adalah serangkaian kegiatan untuk mencari, mengumpulkan
mengelolah data dan atau keterangan lainya untuk menguji kepatuhan pemenuhan
kewajiban perpajakan dan untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan
ketentuan peraturan perundang- undangan nomor 28 Tahun 2007.
2. Sasaran Pemeriksaan untuk mencari adanya :
a. Interprestasi undang – undang yang tidak benar
b. Kesalahan hitung
c. Penggelapan secara khusus dr penghasilan
d. Pemotongan dan pengurangan tidak sesungguhnya yang dilakukan wajib
pajak dalam melaksanakan kewajiban perpajakan.
3. Tujuan Pemeriksaan, antara lain :
a. Menguji kepatuhan kewajiban perpajakan dalam rangka memberikan
kepastian hukum, keadilan, dan pembinaan kepada wajib pajak, yang dapat
dilakukan dalam hal :
1. Surat pemberitahuan menunjukan kelebihan pembayan pajak, termasuk
yang telah diberiakan pengembalian pendahuluan kelebihan pajak.
2. Surat pemberitahuan tahunan pajak penghasilan menunjukan rugi.
3. Surat pemberitahuan tidak disampaikan atau disampaikan tidak pada waktu
yang telah diterapkan.
4. Surat pemberitahuan yang memenuhi kriteria seleksi yang ditentukan oleh
direktur jenderal pajak.
5. Apabila indekasi kewajiiban perpajakan selain kewajiban tersebut pada
poin 3 tidak dipenuhi.
6
Setelah mempelajari bab ini, mahasiswa diharapkan mampu memahami dan menjelaskandi depan kelas Tentang ;
Pengertian, Sasaran, Tujuan, Duluarsa, Wewenang dan Prosedur PemeriksaanPajak.
Pengertian, Wewenang dan Kewajiban Penyidikan perpajakan.
35
b. Tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang –
undang perpajakan,, yang tidak dillakukan dalam hal :
1. Pemberian NPWP secara jabatan
2. Penghapusan nomor pokok wajib pajak.
3. Pengukuhan atau pencabutan pengukuhan pengusaha kena pajak.
4. Wewenang Memeriksa untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban
perpajakan dan tujuan lain dalam rangka melaksanakna ketentuan peraturan
perundang – undangan perpajakan.
5. Prosedur Pemeriksaan, antara lain ;
a. Petugas pemeriksa hharus dilengkapi dengan surat perintah pemeriksaan dan
harus memperhatikan kepada wajib pajak yang diperiksa.
b. Wajib pajak yang diperiksa harus :
c. Apabila dalam mengungkapkan pembukuan, pencatatatn, atau dokumen serta
keterangan yang diminta, wajib pajak terikat oleh suatu kewajiban untuk
merahasiakan, maka kewajiban untuk merahasiakan itu ditiadakan.
d. Direktur jenderal pajak berwenang melakukan penyegelan tempat atau
ruangan tertentu, bila wajib pajak tidak memenuhi kewajiban huruf b diatas.
36
B. PENYIDIKAN
1. Pengertian
Penyidikan di bidang perpajakn adalah serangkaian tindakan penyidik untuk
mencari sserta mengumpulkan bukti yang diperlukan, sehingga dapat mmembuat
terang tentang tindak pidana perpajakan yang terjadi, guna menemukan tersangka
serta mengetahui besarnya pajak terutang yang diduga digelapkan.
2. Penyidik dalam tindak pidana perpajakan adalah pegawai di lingkungan direktorat
jenderal pajak yang diangkat oleh menteri kehakiman sebagai penyidik untuk
melakukan penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan.
3. Wewenang Penyidik, antara lain :
a. Menerima, mencari, mmengumoulkan dan meneliti keterangan atau laporan
berkenaan dengan tindak pidana di bidang perpajakan agar keterangan atau
laporan tersebut menjadi lebih lengkap dan jelas.
b. Meneliti, mencari dan mengumpu;lkan keterangan mengenai orang pribadi
atau badan tentang kebenaran perbuatan yang dilakukan sehubungan dengan
tindak pidana di bidang perpajakan.
c. Memintak keterangan dan bahan bukti dari orang pribadi atau badan
sehubungan dengan tindak pidana di bidang perpajakan.
4. Kewajiban penyidik adalah saat akan mulai menyidik harus memberitahu
penuntut umum dan menyampaikan hasil penyidikan kepada penuntu umum
sesuai KUHAP.
37
PENAGIHAN PAJAK DENGAN SURAT PAKSA
1. DASAR HUKUM
Undang-undang nomor 19 tahun 1997 tentang Penagihan pajak dengan surat paksa
sebagaimana telah di ubah dengan Undang-undang nomor 19 tahun 2000.
2. PENGERTIAN PENGERTIAN
1. Penanggung pajak, adalah orang pribadi atau badan yang bertanggung jawab atas
pembayaran pajak, termasuk wakil yang menjalankan hak dan memenuhi kewajiban
wajib pajak menurut ketentuan peraturan perundang undanganperpajakan.
2. Penagihan pajak, adalah serangkaian tindakan agar penanggung pajak melunasi utang
pajak dan biaya penagihan dengan menegur atau memperingatkan, melasanakan
penagihan seketika dan sekaligus, memberitahukan surat paksa, mengusulkan
pencegahan, melaksanakan penyitaan, melaksanakan penyandraan, menjual barang
yang telah di sita.
3. Biaya penagihan Pajak, adalah biaya pelaksanaan surat paksa, surat perintah
melaksanakan penyitaan, Pengumuman Lelang, Pembatalan Lelang, Jasa Penilai, dan
jasa lainnya sehubungan dengan penagihan pajak.
3. PEJABAT DAN JURUSITA PAJAK
Pejabat adalah pejabat yang berwenang mengangkat dan memberhentikan Jurusita
Pajak, menerbitkan Surat Perintah Penagihan seketika dan sekaligus Surat Paksa, Surat
Perintah Melaksanakan Penyitaan, Surat Pencabutan Sita, Pengumuman Lelang, Surat
Penentuan Harga Limit, Pembatalan Lelang, Surat Perintah Penyandraan, dan surat lain
yang diperlukan untuk penagihan pajak sehubungan dengan Penanggung pajak tidak
melunasi sebagian atau seluruh Utang Pajak menurut Undang-undang dan Peraturan
daerah.
7Setelah mempelajari bab ini, mahasiswa diharapkan mampu memahami dan menjelaskandi depan kelas Tentang ;
Dasar Hukum Penagihan Pajak dengan Surat Paksa Pengertian dan istilah-istilah, pejabat dn jurusita pajak, Penagihan dengan seketika dan sekaligus, penyitaan, lelang, pencegahan dan
penyanderaan dan ketentuan pidana.
Setelah mempelajari bab ini, mahasiswa diharapkan mampu memahami dan menjelaskandi depan kelas Tentang ;
Dasar Hukum Penagihan Pajak dengan Surat Paksa Pengertian dan istilah-istilah, pejabat dn jurusita pajak, Penagihan dengan seketika dan sekaligus, penyitaan, lelang, pencegahan dan
penyanderaan dan ketentuan pidana.
38
Menteri Keuangan berwenang menunjuk Pejabat untuk Penagihan Pajak Pusat
Kepala Daerah berwenang menunjuk Pejabat untuk penagihan Pajak Daerah Jurusita
Pajak adalah pelaksana tindakan penagihah pajak yang meliputi penagihan seketika dan
sekaligus pemberitahuan Surat Paksa, Penyitaan dan Penyandraan.
Tugas Jurusita Pajak :
1. Melaksanakan Surat Perintah Penagihan Seetika dan Sekaligus
2. Memberitahukan Surat Paksa
3. Melaksanakan penyitaan atas barang Penanggung Pajak berdasarkan Surat Perintah
Melaksanakan Penyitaan
4. Melaksanakan Penyandraan berdasarkan Surat Perintah Penyanderaan
Dalam melasanakan penyitaan Jurusita Pajak berwenang memasuki dan memeriksa
tempat tinggal penanggung Pajak, semua ruangan termasuk membuka lemari, laci, dan
tempat lain yang dapat diduga sebagai tempat penyimpanan objek sita.
4. PENAGIHAN SEKETIKA DAN SEKALIGUS
Penagihan Seketika dan Sekaligus adalah tindakan Penagihan Pajak yang
dilaksanakan oleh Jurusita Pajak kepada Penanggung Pajak tanpa menunggu tanggal jatuh
tempo pembayaran yang meliputi seluruh Utang Pajak dari semua jenis pajak, mas, dan
tahun pajak.
Surat Perintah Penagihan Seketika dan Sekaligus di terbitkan apabila :
1. Penanggung Pajak akan meninggalkan Indonesia untu selama-lamanya atau berniat
untuk itu;
2. Penanggung Pajak akan memindahtangankan barang yang dimiliki atau yang dikuasai
dalam rangka menghentikan atau mengecilkan kegiatan perusahaan atau pekerjaannya
yang dilakukan di Indonesia;
3. Terdapat Tanda-tanda bahwa Penanggung Pajak akan membubarkan badan usahanya
atau menggabungkan usahanya, atau memekarkan usahanya, atau
memindahtangankan perusahaan yang dimiliki atau melakukan perubahan bentuk
lainnya;
4. Badan usaha akan dibubarkan oleh negara; atau
39
5. Terjadinya penyitaan atas barang Penanggung Pajak oleh pihak ke tiga atau terdapat
tanda-tanda kepailitan.
Surat Penagihan Seketika dan Sekaligus sekurang-kurangnya memuat;
a) Nama Wajib Pajak, atau nama Wajib Pajak dan penanggung Pajak
b) Besarnya Utang Pajak
c) Perintah untuk membayar; dan
d) Saat Pelunasan Pajak.
Surat Perintah Penagihan Seketika dan Sekaligus di terbitkan sebelum Penerbitan
Surat Paksa.
5. SURAT PAKSA
Surat Paksa adalah surat perintah membayar utang pajak dan biaya penagihan
pajak. Surat Paksa mempunyai kekuatan eksekutorial dan kedudukan hukum yang sama
dengan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.
Surat Paksa sekurang-kurangnya meliputi;
a) Nama Wajib Paja, atau nama Wajib Pajak dan Penanggung Pajak;
b) Dasar Penagihan;
c) Besarnya Utang Pajak; dan
1. Perintah untuk membayar.
Surat Paksa diterbitkan apabila;
1. Penanggung Pajak tida melunasi utang pajak dan kepadanya diterbitkan surat
teguran,atau surat peringatan, atau surat sejenis lainnya;
2. Terhadap Penanggung Pajak telah dilaksanakan penagihan seketika dan sekaligus;
atau
3. Penanggung Pajak tidak memenuhi ketentuan sebagaimana tercantum dalam
keputusan persetujuan angsuran atau penundaan pembayaran pajak.
40
Surat Paksa terhadap orang pribadi diberitahukan oleh jurusita Pajak kepada ;
1. Penanggung Pajak.
2. Orang dewasa yang bertempat tinggal bersama,ataupun bekerja di tempat usaha
Penanggung Pajak,apabila Penanggung Pajak yang bersangkutan tidak dapat di
jumpai.
3. Salah satu ahli waris atau pelaksana wasiat atau yang mengurus harta
penunggalannyaapabila Wajib Pajak telah meninggal dunia dan harta warisan belum
dibagi.
4. Para ahli waris, apabila Wajib Pajak telah meninggal dunia dan harta warisannya telah
dibagi.
Surat Paksa Terhadap Badan Diterbitkan oleh Jurusita Pajak Kepada;
1. Pengurus, Kepala perwakilan, kepala cabang, Penanggun Jawab,Pemilik Modal.
2. Pegawai tetap ditempat kedudukan atau tempat usaha badan, apabila Jurusita Pajak
tidak dapat menjumpai salah seorang sebagaimana dimaksud huruf 1.
Dalam hal Wajib Pajak dinyatakan pailit, Surat Paksa diberitahukan kepada
Kurator, Hakim pengawas, atau Balai Harta Peninggalan. Sedangkan dalam hal Wajib
Pajak dinyatakan bubar atau dalam likuiditas, Surat Paksa diberitahukan kepada orang
atau badan yang dibebani untuk melakukan pemberesan, atau likuiditas.
6. PENYITAAN
Penyitaan adalah tindakan Jurusita Pajak untuk menguasai barang Penanggung
Pajak, guna dijadikan jaminan untu melunasi utang pajak menurut peraturan perundang-
undangan.
Barang yang disita dapat berupa;
1. Barang bergerak termsuk mobil, perhiasan, uang tunai, deposito berjangka, tabungan,
saldo rekening koran, giro atau bentuk lainnys.
2. Barang tidak bergerak termasuk tanah bangunan,dan kapal dengan isi kotor tertentu.
Barang bergerak yang dikecualikan dari penyitaan adalah;
41
1. Pakaian dan tempat tidur beserta perlengkapan lain yang digunakan oleh Penanggung
Pajak.
2. Persediaan makanan dan minuman untuk keperluan satu bulan beserta peralatan dapur
yang berada di rumah.
3. Perlengkapan Penanggung Pajak Yang bersifat dinas yang diperoleh dari negara.
4. Buku-buku yang bertalian dengan jabatan atau pekerjaan Penanggung Pajak.
5. Peralatan Penyandang cacat yang digunakan penanggung Pajak dan keluarga yang
menjadi tanggungannya.
Penyitaan tidak dapat dilaksanakan terhadap barang yang telah disita oleh
Pengadilan Negeri atau Instansi lain yang berwenang.
7. LELANG
Lelang adalah setiap penjualan barang dimuka umum dengan cara penawaran harga
secara lisan dan atau tertulis melalui usaha pengumpulan peminat atau calon pembeli.
Apabila utang pajak dan atau biaya penagihan pajak tidak di lunasi setelah dilaksanakan
penyitaan, Pejabat berwenang melaksanakan penjualan secara lelang terhadap barang
yang di sita melalui kantor lelang.
Hasil lelang dipergunakan terlebih dahulu untuk membayar biaya penagihan pajak
yang belum dibayar, dan sisanya untuk membayarutang pajak. Dalam hal penjualan
secara lelang, biaya penagihan pajak ditambah 1% dari pokok lelang dan secara tidak
lelang biaya penagihan pajak ditambah 1% dari hasil penjualan. Besarnya biaya
penagihan pajak adalah Rp50.000,- untuk setiap pemberitahuan Surat Paksa dan Rp
100.000,- untuk setiap pelaksanaan Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan.
Catatan:
Lelang tetap dapat dilaksanakan walaupun keberatann yang diajukan oleh Wajib
Pajak belum memperoleh keputusan keberatan.
Lelang tetap dapat dilaksanakan tanpa dihadiri oleh Penanggung Pajak.
Lelang tidak dilaksanakan apabila Penanggung Pajak telah melunasi utang pajak dan
biaya penagihan Pajak, atau berdasarkan putusan pengadilan, atau putusan Pengadilan
Pajak, atau Objek Lelang musnah.
42
8. PENCEGAHAN DAN PENYANDERAAN
Pencegahan adalah larangan yang bersifat sementara terhadap Penanggung Pajak
tertentu untuk keluar dari wilayah Republik Indonesia berdasarkan alasan tertentu sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pencegahan hanya dapat dilakukan
terhadap Penanggung Pajak yang mempunyai utang Pajak sekurang-kurangnya
sebesarnya Rp 100.000.000,-
Pencegahan dapat dilakukan berdasarkan keputusan pencegahan yang diterbitkan
oleh Menteri Keuangan atas permintaan Pejabat atau atasan Pejabat yang bersangkutan.
Jangka waktu pencegahan paling lama 6 (enam) bulan dan dapat diperpanjang selama-
lamanya 6 (enam) bulan.
Penyanderaan adalah pengekangan sementara waktu kebebasan Penanggung Pajak
dengan menempatkannya di tempat tertentu. Jumlah Utang Pajak,Keputusan
Penyanderaan, dan Jangka Waktu Penyanderaan sama dengan Pencegahan terhadap
Penanggung Pajak.
9. KETENTUAN PIDANA
Penanggung Pajak dilarang:
1. Memindahkan hak, memindah tangankan, menyewa, meminjamkan,
menyembunyikan, menghilangkan, atau merusak barang yang telah disita.
2. Membebani barang tidak bergerak yang telah disita dengan hak tanggungan untuk
pelunasan utang tertentu.
3. Membebani barang bergerak yang telah disita dengan fiducia atau diagunkan untuk
pelunasan utang tertentu.
4. Merusak, mencabut,atau menghilangkan segel sita atau salinan Berita Acara
Pelaksanaan Sita yang telah ditempel pada barang sitaan.
Penanggung Pajak yang melanggar ketentuan ini dipidana dengan pidana penjara paling
lama 4 tahun dan didenda paling banyak Rp 12.000.000,- (dua belas juta rupiah).
Setiap orang yang engan sengaja tidak menuruti perintah atau permintaan yang dilakukan
menurut undang-undang atau dengan sengaja mencegah, menghalang-halangi, atau
menggagalkan tindakan dalam melakukan etentuan undang-undang yang dilakukan Jurusita
Pajak, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empet) bulan 2 (dua) minggu dan
denda paling banyak Rp 10.000.000,- (sepuluh juta rupiah).
43
KEWAJIBAN, HAK, DAN
SANKSI WAJIB PAJAK
A. KEWAJIBAN DAN HAK WAJIB PAJAK
1. Kewajiban Wajib Pajak
a. Mendaftarkan diri untuk mendapatkan NPWP
b. Melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai PKP
c. Menghitung dan membayar sendiri pajak dengan benar.
d. Mengisi dengan benar SPT (SPT diambil sendiri), dan memasukan ke kantor
pelayanan pajak dalam batas waktu yang telah ditentukan.
e. Menyelenggarakan pembukuan / pencatatan.
f. Jika diperiksa wajib :
Memperlihatkan dan atau meminjamkan buku atau catatan, dokumen lain
yang berhubungan dengan penghasilan yang diperoleh, kegiatan usaha,
perpajakan bebas wajib pajak, atau objek yang terutang pajak.
Memberikan kesempatan untuk memasuki tempat atau ruangan yang
dipandang perlu dan memberi bantuan guna kelancaran pemeriksaan.
g. Apabila dalam waktu mengungkapkan pembukuan, pencatatan atau dokumen
serta keterangan yang diminta, wajib pajak terikat oleh suatu kewajiban untuk
merahasiakan , maka kewajiban untuk merahasiakan itu ditiadakan oleh
permintaan untuk keperluan pemeriksaan.
2. Hak – hak wajib pajak, antara lain :
a. Mengajukan surat keberatan dan surat banding
b. Menerima tanda bukti pemasukan SPT
c. Melakukan pembetulan SPT yang telah dimasukan
d. Mengajukan permohonan penundaan pemasukan SPT
e. Mengajukan permohonan penundaan atau pengangsuran pembayaran pajak.
8
Setelah mempelajari bab ini, mahasiswa diharapkan mampu memahami dan menjelaskandi depan kelas Tentang ;
Kewajiban dan Hak Wajib Pajak Kewajiban Pembukuan/Pencatatan Sanksi Perpajakan
44
f. Mengajukan permohonan perhitungan pajak yang dikenakan dalam surat
ketetapan pajak
g. Meminta pengembalian kelebihan pembayaran pajak
h. Mengajukan permohonan penghapusan dan pengurangan sanksi, serta
pembetulan surat ketetapan pajak yang salah.
i. Memberi kuasa kepada orang untuk melaksanakan kewajiban pajaknya.
j. Meminta bukti pemotongan atau pemungutan pajak
k. Mengajukan keberatan dan banding.
3. Kewajiban pembukuan / pencatatan, antara lain :
1. Pembukuan adalah suatu proses pencatatan yang dilakukan secara teratur
untuk mengumpulkan data dan informasi keuangan yang meliputi harta,
kewajiban, modal, penghasilan dan biaya serta harga perolehan dan
penyerahan barang atau jasa yang ditutup dengan penyusunan laporan kurang
Pembukuan adalah suatu proses pencatatan yang dilakukan secara teratur
untuk mengumpulkan data dan informasi keuangan yang meliputi harta,
kewajiban, modal, penghasilan dan biaya serta harga perolehan dan
penyerahan barang atau jasa yang ditutup dengan penyusunan laporan
keuangan berupa neraca dan laporan laba rugi pada setiap tahun pajak
terakhir.
2. Wajib pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan
bebas dan wajib pajak badan di indonesia, wajib menyelenggarakan
pembukuan.
3. Pembukuan dan pencatatan harus :
Diselenggarakan dengan itikad baik dan mencerminkan keadaan usaha
yang sebenarnya.
Diselenggarakan di indonesia
Menggunakan huruf latin angka arab.
Menggunakan satuan mata uang rupiah dan mata uang asing yang
diijinkan oleh menteri keuangan.
4. Sanksi tidak memenuhi kewajiban pembukuan :
a. Tidak mengadakan pembukuan/pencatatan, pajak yang terutang diterapkan
dengan SKP ditambah sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar 100%,
dan khusus untuk PPh pasal 29 ditambah kenaikan sebesar 50%.
45
b. Dengan sengaja :
1. Memperlihatkan pembukuan, pencatatan atau dokumen lain yang palsu
atau dipalsukan seolah – olah benar.
2. Tidak menyelenggarakan pembukuan atau pencatatan.
3. Tidak memperlihatkan atau tidak meminjamkan buku,catatan, atau
dokumen lainya.
Dipidana dengan penjara selama – lamanya 6 tahun dan denda setinggi –
tingginya 4 kali jumlah pajak yang kurang atau tidak dibayar.
B. Sanksi Perpajakan, dibedakan menjadi dua yaitu :
1. Sanksi Administrasi adalah kerugian kepada negara, khususnya yang berupa
buanga dan kenaikan.
a. Bunga 2% per bulan
No Masalah Cara membayar/menagih
1. Pembetulan sendiri SPT (SPT setahun
atau SPT masa) tetapi belum diperiksa
SSP
2. Dari penelitian rutin :
PPh pasal 25 tidak/kurang dibayar.
PPh pasal 21,22,23,dan 26 serta PPN
yang terlambat dibayar.
SKPKB,STP,SKPKBT tidak/kurang
dibayar atau terlambat dibayar.
SPT salah tulis/salah hitung
SSP/STP
SSP/STP
SSP/STP
SSP/STP
SSP/STP
3. Dilakukan pemeriksaan, pajak kurang
bayar (maksimum 24 bulan)
SSP/SPKB
4. Pajak diangsur/ditunda :
SKPKB,SKKPP,STP
SSP/SPKB
5. SPT tahunan PPh ditunda, pajak
kurang dibayar.
SSP/STP
46
Denda Administrasi
No Masalah Cara membayar/ menagih
1. Tidak/terlambat memasukan /
menyampaikan.
STP ditambah Rp. 50.000.00 atau
Rp 100.000.00
2. Pembetulan sendiri,SPT tahunan atau
SPT masa tetapi belum disidik
SSP ditambah 200%
3. Khusus PPN:
a. Tidak melaporkan usaha
b. Tidak membbuat / mengisi faktur
c. Melanggar larangan membuat
faktur (PKP yang tidak
dikukuhkan)
SSP/SPKPB (ditambah 2% denda
dari dasar pengenaan)
4. Khusus PBB
a. SPT,SKPKB tidak/ kurang
dibayar atau terrlambat dibayar
b. Dilakukan pemeriksaan, pajak
kurang dibayar
STP+denda 2% (maksimum 24
bulan).
SKPKB+denda administrasi dari
selisih pajak yang terutang.
b. Kenaikan 50% dan 100%
No Masalah Cara menagih
1. Dikeluarkan SKPKB dengan perhitungan
secara jabatan :
a. Tidak termasuk SPT :
1. SPT tahunan (PPh 29)
2. SPT tahunan (PPh 21,23,26 dan
PPN).
b. Tidak menyelenggarakan pembukuan
sebagaimana dimaksud dalam pasal 28
KUP
c. Tidak memperlihatkan buku/dokumen,
tidak memberi bantuan guna kelancaran
pemeriksaan, sebagaimana yang
SKPKB ditambah kenaikan
50%
SKPKB ditambah kenaikan
100%
SKPKB
50% PPh pasal 29
100% PPh pasal 21,23,26 dan
PPN
47
dimaksud pasal 29.
2. Dikeluarkan SKPKBT karena : ditemukan
data baru, data semula yang belum
terungkap setelah dikeluarkan SKPKB
SKPKBT 100%
3. Khusus PPN :
Dikeluarkan SKPKB karena pemeriksaan,
dimana PKP tidak seharusnya
mengkompensasi selisih lebih, menghitung
tarif 0% diberi restitusi pajak.
SKPKB 100%
2. Sanksi pidana adalah siksaan atau penderitaan, merupakan suatu alat terakhir
atau benteng hukum yang digunakan fiskus agar norma perpajakan dipenuhi.
Sanksi Pidana, antara lain :
1. Ketentuan sanksi pidana,ada 3 macam yaitu denda pidana,kurungan dan
penjara.
Denda pidana biasaya berupa denda administrasi yang hanya diancam/
dikenakan kepada wajib pajak yang melanggar ketentuan peraturan
perpajakan.
Pidana kurungan hanya diancam kepada tindak pidana yang bersifat
pelanggaran. Karena pidana kurungan diancam kepada si pelanggar
norma itu ketentuan sama dengan ketentuan mengenai denda pidana
sekian itu diganti dengan pidana kurungan selama-lamanya sekian.
Pidana penjara diancam terhadap kejahatan, ancaman pidana penjara
tidak dapat ditunjukan kepada pihak ke3, adanya pejabat dan kepada
wajib pajak.
2. Sanksi pidana dibidang perpajakan diatur / ditetapkan dalam UU No. 6 tahun
1983 sebagaimana telah diubah terakhir dengan UU No. 12 tahun 1985
sebagaimana telah diubah dengan UU no. 12 tahun 1994 tentang pajak bumi
dan bangunan.
48
Yang
dikenakan
Sanksi
pidana
Norma Sanksi pidana
I. Wajib
pajak
1. Kealpaan tidak
menyampaikan SPT atau
menyampaikan SPT tetapi
tidak benar/lengkap atau
melampirkan keterangan
yang tidak benar
2. Sengaja tidak
menyampaikan SPT, tidak
meminjamkan pembukuan,
catatan atau dokumen lain,
dan hal – hal lain
sebagaimana dimaksud
dalam pasal 39 KUP.
3. Sengaja tidak
menyampaikan SPOP atau
menyampaikan SPOP tetapi
isinya tidak benar
sebagaimana dimaksudkan
dalam pasal 24 UU PBB.
4. Dengan sengaja
menyampaikan SPOP,
memperhatikan/
meminjamkan
surat/dokumen palsu dan
hal-hal lain sebagai mana
diatur dalam pasal 25 (1)
UU PBB.
Pidana kurungan selama – lamanya 1
dan atau denda setinggi-tingginya 2
kali jumlah pajak yang tidak atau
kurang dibayar.
a. Pidana penjara selama-lamanya 6
tahun dan denda setinggi –
tingginya 4 kali jumlah pajak yang
kurang atau tidak dibayar.
b. Ancaman pidana sebagaimana
dimaksud pada huruf a dilipat
duakan apabila seseorang
melakukan lagi tindak pidana
dibidang perpajakan sebelum
lewat 1 tahun, terhitung sejak
selesainya menjalani pidana
penjara yang dijatuhkan.
Pidana kurungan selama-lamanya
6 bulan dan atau setinggi-
tingginya 2 kali jumlah pajak
terutang.
a. Pidana penjara selama-lamanya 2
tahun dan atau denda setinggi-
tingginya 5 kali jumlah pajak
yang terutang.
b. Sanksi (a) dilipat 2 kan jika
49
sebelum lewat 1 tahun teritung
sejak selesainya menjalani
sebagian/seluruh pidana yang
dijatuhkan melakukan tindak
piidana lagi.
II. Pejabat Kealpaan tidak memenuhi
kewajiban merahasiakan hal
sebagaimana dimaksud dalam
pasal 34 KUP (tindak
pelanggaran).
Pidana kurungan selama – lamanya 1
tahun dan atau denda setinggi-
tingginya Rp 4.000.000.
pihak
ketiga
Sengaja tidak memperlihatkan
atau meminjamkan surat atau
dokumen lainya dan atau tidak
menyampaikan keterangan
yang diperlukan sebagaimana
dimaksud dalam pasal 25 (1)
huruf d dan e UU PBB.
Pidana kurungan selama-lamanya 1
tahun atau denda setinggi-tinggihnya
Rp 2.000.000.
50
PAJAK PENGHASILAN UMUM
( PPh Umum )
1. SUBJEK PAJAK
Yang menjadi Subjek Pajak adalah :
a. Orang Pribadi
Orang pribadi sebagai Subjek Pajak dapat bertempat tinggal atau berada di Indonesia
ataupun di luar Indonesia. Warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan merupakan
Subjek Pajak pengganti, menggantikan mereka yang berhak yaitu ahli waris. Penunjukan
warisan yang belum terbagi sebagai Subjek Pajak pengganti dimaksudkan agar pengenaan
pajak atas penghasilan yang berasal dari warisan tersebut tetap dapat dilaksanakan.
b. Badan;
Pengertian Badan adalah sekumpulan orang dan atau modal yang merupakan kesatuan
baik yang melakukan usaha maupun tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan terbatas,
perseroan komanditer, perseroan lainnya, Badan Usaha Milik Negara atau Daerah dengan
nama dan dalam bentuk apapun, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan,
perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi sosial politik, atau organisasi yang
sejenis, lembaga, bentuk usaha tetap dan bentuk badan lainnya termasuk reksadana.
Dalam Undang-undang bentuk usaha tetap ditentukan sebagai Subjek Pajak tersendiri,
terpisah dari badan. Oleh karena itu, walaupun perlakuan perpajakannya dipersamakan
dengan Subjek Pajak badan, untuk pengenaan Pajak Penghasilan, bentuk usaha tetap
mempunyai eksistensinya sendiri dan tidak termasuk dalam pengertian badan.
9
Setelah mempelajari bab ini, mahasiswa diharapkan mampu memahami danmenjelaskan di depan kelas Tentang ;
Subjek Pajak Subjek Pajak Dalam Negeri Subjek pajak Luar Negeri Badan Usaha Tetap
51
Badan Usaha Milik Negara dan Daerah merupakan Subjek Pajak tanpa
memperhatikan nama dan bentuknya, sehingga setiap unit tertentu dari badan Pemerintah,
misalnya lembaga, badan, dan sebagainya yang dimiliki oleh Pemerintah Pusat dan
Pemerintah Daerah yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan untuk memperoleh
penghasilan merupakan Subjek Pajak.
Unit tertentu dari badan pemerintah yang memenuhi kriteria berikut tidak termasuk
sebagai Subjek Pajak, yaitu :
1) Dibentuk berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
2) Dibiayai dengan dana yang bersumber dari APBN atau APBD;
3) Penerimaan lembaga tersebut dimasukkan dalam anggaran Pemerintah Pusat atau Daerah;
dan
4) Pembukuannya diperiksa oleh aparat pengawasan fungsional negara. Sebagai Subjek
Pajak, perusahaan reksadana baik yang berbentuk perseroan terbatas maupun bentuk lainnya
termasuk dalam pengertian badan.
Dalam pengertian perkumpulan termasuk pula asosiasi, persatuan, perhimpunan, atau
ikatan dari pihak-pihak yang mempunyai kepentingan yang sama.
c. Bentuk Usaha Tetap.
2. Subjek Pajak Dalam Negeri
Subjek Pajak terdiri dari Subjek Pajak dalam negeri dan Subjek Pajak luar negeri.
Yang dimaksud dengan Subjek Pajak dalam negeri adalah :
a.) Orang pribadi yang bertempat tinggal di Indonesia atau orang pribadi yang berada di
Indonesia lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas)
bulan, atau orang pribadi yang dalam suatu tahun pajak berada di Indonesia dan mempunyai
niat untuk bertempat tinggal di Indonesia.
Pada prinsipnya orang pribadi yang menjadi Subjek Pajak dalam negeri adalah orang
pribadi yang bertempat tinggal atau berada di Indonesia. Termasuk dalam pengertian orang
52
pribadi yang bertempat tinggal di Indonesia adalah mereka yang mempunyai niat untuk
bertempat tinggal di Indonesia. Apakah seseorang mempunyai niat untuk bertempat tinggal di
Indonesia ditimbang menurut keadaan.
Keberadaan orang pribadi di Indonesia lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari
tidaklah harus berturut-turut, tetapi ditentukan oleh jumlah hari orang tersebut berada di
Indonesia dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan sejak kedatangannya di Indonesia.
b.) Badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia.
c.) Warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan, menggantikan yang berhak.
Warisan yang belum terbagi yang ditinggalkan oleh orang pribadi Subjek Pajak dalam
negeri dianggap sebagai Subjek Pajak dalam negeri mengikuti status pewaris. Adapun untuk
pelaksanaan pemenuhan kewajiban perpajakannya, warisan tersebut menggantikan kewajiban
ahli waris yang berhak. Apabila warisan tersebut telah dibagi, maka kewajiban perpajakannya
beralih kepada ahli waris.
Warisan yang belum terbagi yang ditinggalkan oleh orang pribadi sebagai Subjek
Pajak luar negeri yang tidak menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui suatu
bentuk usaha tetap di Indonesia, tidak dianggap sebagai Subjek Pajak pengganti karena
pengenaan pajak atas penghasilan yang diterima atau diperoleh orang pribadi dimaksud
melekat pada objeknya.
Subjek Pajak dalam negeri menjadi Wajib Pajak apabila telah menerima atau
memperoleh penghasilan yang besarnya melebihi Penghasilan Tidak Kena Pajak. Dengan
perkataan lain Wajib Pajak adalah orang pribadi atau badan yang telah memenuhi kewajiban
subjektif dan objektif. Sehubungan dengan pemilikan NPWP, Wajib Pajak orang pribadi
yang menerima penghasilan di bawah PTKP tidak perlu mendaftarkan diri untuk memperoleh
NPWP.
53
3. Subjek Pajak Luar Negeri
Yang dimaksud dengan Subjek Pajak luar negeri adalah :
a. orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia atau berada di Indonesia tidak
lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas)
bulan, dan badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia
yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di
Indonesia;
b. orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia atau berada di Indonesia tidak
lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas)
bulan, dan badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia
yang dapat menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia bukan dari
menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di Indonesia.
Subjek Pajak luar negeri sekaligus menjadi Wajib Pajak, sehubungan dengan
penghasilan yang diterima dari sumber penghasilan di Indonesia atau diperoleh melalui
bentuk usaha tetap di Indonesia.
Perbedaan yang penting antara Wajib Pajak dalam negeri dan Wajib Pajak luar negeri
terletak dalam pemenuhan kewajiban pajaknya, antara lain :
Wajib Pajak dalam negeri dikenakan pajak atas penghasilan baik yang diterima atau
diperoleh dari Indonesia dan dari luar Indonesia, sedangkan Wajib Pajak luar negeri
dikenakan pajak hanya atas penghasilan yang berasal dari sumber penghasilan di
Indonesia.
Wajib Pajak dalam negeri dikenakan pajak berdasarkan penghasilan neto dengan tarif
umum, sedangkan Wajib Pajak luar negeri dikenakan pajak berdasarkan penghasilan
bruto dengan tarif pajak sepadan.
Wajib Pajak dalam negeri wajib menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan
sebagai sarana untuk menetapkan pajak yang terutang dalam suatu tahun pajak,
sedangkan Wajib Pajak luar negeri tidak wajib menyampaikan Surat Pemberitahuan
Tahunan, karena kewajiban pajaknya dipenuhi melalui pemotongan pajak yang
bersifat final.
54
Bagi Wajib Pajak luar negeri yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui
bentuk usaha tetap di Indonesia, pemenuhan kewajiban perpajakannya dipersamakan dengan
pemenuhan kewajiban perpajakan Wajib Pajak dalam negeri sebagaimana diatur dalam
Undang-undang Pajak Penghasilan dan Undang-undang tentang Ketentuan Umum dan Tata
Cara Perpajakan.
4. Bentuk Usaha Tetap
Yang dimaksud dengan bentuk usaha tetap adalah bentuk usaha yang dipergunakan
oleh orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia atau berada di Indonesia tidak
lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, atau
badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia, untuk menjalankan
usaha atau melakukan kegiatan di Indonesia, yang dapat berupa :
tempat kedudukan manajemen;
cabang perusahaan;
kantor perwakilan;
gedung kantor;
pabrik;
bengkel;
pertambangan dan penggalian sumber alam, wilayah kerja pengeboran yang
digunakan untuk eksplorasi pertambangan;
perikanan, peternakan, pertanian, perkebunan, atau kehutanan;
proyek konstruksi, instalasi, atau proyek perakitan;
pemberian jasa dalam bentuk apapun oleh pegawai atau oleh orang lain, sepanjang
dilakukan lebih dari 60 (enam puluh) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan;
orang atau badan yang bertindak selaku agen yang kedudukannya tidak bebas;
agen atau pegawai dari perusahaan asuransi yang tidak didirikan dan tidak bertempat
kedudukan di Indonesia yang menerima premi asuransi atau menanggung resiko di
Indonesia.
55
5. Penjelasan tambahan mengenai BUT:
Suatu bentuk usaha tetap mengandung pengertian adanya suatu tempat usaha (place of
business) yaitu fasilitas yang dapat berupa tanah dan gedung termasuk juga mesin-
mesin dan peralatan.
Tempat usaha tersebut bersifat permanen dan digunakan untuk menjalankan usaha
atau melakukan kegiatan dari orang pribadi yang tidak bertempat tinggal atau badan
yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia.
Pengertian bentuk usaha tetap mencakup pula orang pribadi atau badan selaku agen
yang kedudukannya tidak bebas yang bertindak untuk dan atas nama orang pribadi
atau badan yang tidak bertempat tinggal atau tidak bertempat kedudukan di Indonesia.
Orang pribadi yang tidak bertempat tinggal atau badan yang tidak didirikan dan tidak
bertempat kedudukan di Indonesia tidak dapat dianggap mempunyai bentuk usaha
tetap di Indonesia apabila orang pribadi atau badan dalam menjalankan usaha atau
melakukan kegiatan di Indonesia menggunakan agen, broker atau perantara yang
mempunyai kedudukan bebas, asalkan agen atau perantara tersebut dalam
kenyataannya bertindak sepenuhnya dalam rangka menjalankan perusahaannya
sendiri.
Perusahaan asuransi yang didirikan dan bertempat kedudukan di luar Indonesia
dianggap mempunyai bentuk usaha tetap di Indonesia apabila perusahaan asuransi
tersebut menerima pembayaran premi asuransi di Indonesia atau menanggung risiko
di Indonesia melalui pegawai, perwakilan atau agennya di Indonesia. Menanggung
risiko di Indonesia tidak berarti bahwa peristiwa yang mengakibatkan risiko tersebut
terjadi di Indonesia. Yang perlu diperhatikan adalah bahwa pihak tertanggung
bertempat tinggal, berada atau bertempat kedudukan di Indonesia.
56
PAJAK PENGHASILAN PASAL 21
(PPh Pasal 21)
1. Dasar Hukum PPh Pasal 21
Sandaran hukum PPh Pasal 21 adalah Pasal 21 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983
sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 36 Tahun 2008
(selanjutnya disebut UU PPh).
2. Orang yang memotong PPh Pasal 21 adalah:
1. Pemberi kerja yang terdiri dari orang pribadi dan badan.
2. Bendahara pemerintah baik Pusat maupun Daerah.
3. Dana pensiun atau badan lain seperti Jaminan Sosial Tenaga Kerja (Jamsostek), PT
Taspen, PT Asabri.
4. Badan yang membayar honorarium atau pembayaran lain kepada jasa tenaga ahli,
orang pribadi subjek pajak luar negeri, dan peserta pendidikan, pelatihan, dan
magang.
5. Orang Pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas.
6. Penyelenggara kegiatan.
10
Setelah mempelajari bab ini, mahasiswa diharapkan mampu memahami dan menjelaskandi depan kelas Tentang ;
Dasar Hukum PPh Pasal 21 Pemotong Pajak PPh Pasal 21 Penerima Penghasilan yang dipotong PPh Pasal 21 Penerima Penghasilan yang tidak diportong PPh Pasal 21 Penghasilan yang dipotong PPh Pasal 21 Yang tidak termasuk Penghasilan yang dipotong PPh Pasal 21 Ketentuan lainya Perhitungan PPh pasal 21, Tarif dan penerapannya
57
3. Penerima Penghasilan yang Dipotong PPh Pasal 21
1. Pegawai tetap.
2. Tenaga lepas (seniman, olahragawan, penceramah, pemberi jasa, pengelola proyek,
peserta perlombaan, petugas dinas luar asuransi), distributor MLM/direct selling dan
kegiatan sejenis.
3. Penerima pensiun, mantan pegawai, termasuk orang pribadi atau ahli warisnya yang
menerima Tabungan Hari Tua atau Jaminan Hari Tua.
4. Penerima honorarium.
5. Penerima upah.
6. Tenaga ahli (Pengacara, Akuntan, Arsitek, Dokter, Konsultan, Notaris, Penilai, dan
Aktuaris).
7. Peserta Kegiatan.
4. Penerima Penghasilan yang Tidak Dipotong PPh Pasal 21
1. Pejabat perwakilan diplomatik dan konsulat atau pejabat lain dari negara asing, dan
orang-orang yang diperbantukan kepada mereka yang bekerja pada dan bertempat
tinggal bersama mereka, dengan syarat:
o bukan warga negara Indonesia dan
o di Indonesia tidak menerima atau memperoleh penghasilan lain di luar jabatan
atau pekerjaannya tersebut serta negara yang bersangkutan memberikan
perlakuan timbal balik;
2. Pejabat perwakilan organisasi internasional yang ditetapkan oleh Keputusan Menteri
Keuangan sepanjang bukan warga negara Indonesia dan tidak menjalankan usaha atau
kegiatan atau pekerjaan lain untuk memperoleh penghasilan di Indonesia.
5. Penghasilan yang Dipotong PPh Pasal 21
1. penghasilan yang diterima atau diperoleh pegawai atau penerima pensiun secara
teratur berupa gaji, uang pensiun bulanan, upah, honorarium (termasuk honorarium
anggota dewan komisaris atau anggota dewan pengawas), premi bulanan, uang
lembur, uang sokongan, uang tunggu, uang ganti rugi, tunjangan isteri, tunjangan
anak, tunjangan kemahalan, tunjangan jabatan, tunjangan khusus, tunjangan transpot,
tunjangan pajak, tunjangan iuran pensiun, tunjangan pendidikan anak, beasiswa,
58
premi asuransi yang dibayar pemberi kerja, dan penghasilan teratur lainnya dengan
nama apa pun;
2. penghasilan yang diterima atau diperoleh pegawai, penerima pensiun atau mantan
pegawai secara tidak teratur berupa jasa produksi, tantiem, gratifikasi, tunjangan cuti,
tunjangan hari raya, tunjangan tahun baru, bonus, premi tahunan, dan penghasilan
sejenis lainnya yang sifatnya tidak tetap;
3. upah harian, upah mingguan, upah satuan, dan upah borongan yang diterima atau
diperoleh pegawai tidak tetap atau tenaga kerja lepas, serta uang saku harian atau
mingguan yang diterima peserta pendidikan, pelatihan, atau pemagangan yang
merupakan calon pegawai;
4. uang tebusan pensiun, uang Tabungan Hari Tua atau Jaminan Hari Tua, uang
pesangon, dan pembayaran lain sejenis sehubungan dengan pemutusan hubungan
kerja;
5. honorarium, uang saku, hadiah atau penghargaan dengan nama dan dalam bentuk apa
pun, komisi, beasiswa, dan pembayaran lain sebagai imbalan sehubungan dengan
pekerjaan, jasa, dan kegiatan yang dilakukan oleh Wajib Pajak orang pribadi dalam
negeri, terdiri atas:
1. tenaga ahli (Pengacara, Akuntan, Arsitek, Dokter, Konsultan, Notaris, Penilai,
dan Aktuaris)
2. pemain musik, pembawa acara, penyanyi, pelawak, bintang film, bintang
sinetron, bintang iklan, sutradara, crew film, foto model,
peragawan/peragawati, pemain drama, penari, pemahat, pelukis, dan seniman
lainnya;
3. olahragawan;
4. penasihat, pengajar, pelatih, penceramah, penyuluh, dan moderator;
5. pengarang, peneliti, dan penerjemah;
6. pemberi jasa dalam segala bidang termasuk teknik, komputer dan sistem
aplikasinya, telekomunikasi, elektronika, fotografi, ekonomi, dan sosial;
7. agen iklan;
8. pengawas, pengelola proyek, anggota dan pemberi jasa kepada suatu
kepanitiaan, dan peserta sidang atau rapat;
9. pembawa pesanan atau yang menemukan langganan;
10. peserta perlombaan;
11. petugas penjaja barang dagangan;
59
12. petugas dinas luar asuransi;
13. peserta pendidikan, pelatihan, dan pemagangan bukan pegawai atau bukan
sebagai calon pegawai;
6. distributor perusahaan multilevel marketing atau direct selling dan kegiatan sejenis
lainnya.
7. Gaji, gaji kehormatan, tunjangan-tunjangan lain yang terkait dengan gaji dan
honorarium atau imbalan lain yang bersifat tidak tetap yang diterima oleh Pejabat
Negara, Pegawai Negeri Sipil serta uang pensiun dan tunjangan-tunjangan lain yang
sifatnya terkait dengan uang pensiun yang diterima oleh pensiunan termasuk
janda/duda atau anak-anaknya.
6. Yang Tidak Termasuk Penghasilan yang Dipotong PPh Pasal 21
1. pembayaran asuransi dari perusahaan asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan,
asuransi jiwa, asuransi dwiguna, dan asuransi bea siswa;
2. penerimaan dalam bentuk natura dan kenikmatan dalam bentuk apa pun yang
diberikan oleh Wajib Pajak atau Pemerintah, kecuali diberikan oleh bukan Wajib
Pajak selain Pemerintah, atau Wajib Pajak yang dikenakan Pajak Penghasilan yang
bersifat final dan yang dikenakan Pajak Penghasilan berdasarkan norma penghitungan
khusus (deemed profit);
3. iuran pensiun yang dibayarkan kepada dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan
oleh Menteri Keuangan dan iuran Jaminan Hari Tua kepada badan penyelenggara
Jamsostek yang dibayar oleh pemberi kerja;
4. zakat yang diterima oleh orang pribadi yang berhak dari badan atau lembaga amil
zakat yang dibentuk atau disahkan oleh Pemerintah.
5. beasiswa yang memenuhi persyaratan tertentu (Pasal 3 ayat 1 UU PPh). Ketentuannya
diatur lebih lanjut dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 246/PMK.03/2008.
7. Ketentuan Lainnya
1. Pemotong Pajak wajib memberikan Bukti Pemotongan PPh Pasal 21 baik diminta
maupun tidak pada saat dilakukannya pemotongan pajak kepada orang pribadi bukan
sebagai pegawai tetap, penerima uang tebusan pensiun, penerima THT, penerima
uang pesangon, penerima dana pensiun.
60
2. Pemotong PPh Pasal 21 wajib memberikan Bukti Pemotongan PPh Pasal 21 tahunan
(form 1721-A1 atau 1721-A2) kepada pegawai tetap, termasuk penerima pensiun
bulanan dalam waktu dua bulan setelah tahun takwim.
3. Apabila pegawai tetap berhenti bekerja atau pensiun pada bagian tahun takwim, maka
Bukti Pemotongan (form 1721-A1 atau 1721-A2) diberikan oleh pemberi kerja
selambat-lambatnya satu bulan setelah pegawai yang bersangkutan berhenti bekerja
atau pensiun.
4. Penerima penghasilan wajib menyerahkan surat pernyataan kepada Pemotong Pajak
PPh Pasal 21 yang menyatakan jumlah tanggungan keluarga pada permulaan tahun
takwim atau pada permulaan menjadi Subyek Pajak dalam negeri.
8. Penghitungan Pajak Penghasilan Pasal 21
Tarif dan Penerapannya
1. Pegawai tetap, penerima pensiun bulanan, pegawai tidak tetap, pemagang dan calon
pegawai, serta distributor MLM/direct selling dan kegiatan sejenis, dikenakan tarif
Pasal 17 Undang-undang PPh dikalikan dengan Penghasilan Kena Pajak (PKP). PKP
dihitung berdasarkan sebagai berikut:
1. Pegawai Tetap: Penghasilan bruto dikurangi biaya jabatan (5% dari
penghasilan bruto, maksimum Rp 6.000.000 setahun atau Rp 500.000
sebulan); dikurangi iuran pensiun/iuran jaminan hari tua, dikurangi
Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP).
2. Penerima Pensiun Bulanan: Penghasilan bruto dikurangi biaya pensiun (5%
dari penghasilan bruto, maksimum Rp 2.400.000 setahun atau Rp 200.000
sebulan); dikurangi PTKP.
3. Pegawai tidak tetap, pemagang, calon pegawai: Penghasilan bruto dikurangi
PTKP yang diterima atau diperoleh untuk jumlah yang disetahunkan.
4. Distributor MLM/direct selling dan kegiatan sejenis: penghasilan bruto tiap
bulan dikurangi PTKP per bulan.
2. Penerima honorarium, uang saku, hadiah atau penghargaan, komisi, bea siswa, dan
pembayaran lain sebagai imbalan atas jasa dan kegiatan yang jumlahnya dihitung
tidak atas dasar banyaknya hari yang diperlukan untuk menyelesaikan jasa atau
kegiatan; mantan pegawai yang menerima jasa produksi, tantiem, gratifikasi, bonus;
61
peserta program pensiun yang menarik dananya pada dana pensiun; dikenakan tarif
berdasarkan Pasal 17 Undang-undang PPh dikalikan dengan penghasilan bruto.
3. Tenaga Ahli yang melakukan pekerjaan bebas (pengacara, akuntan, arsitek, dokter,
konsultan, notaris, penilai dan aktuaris) dikenakan tarif berdasarkan Pasal 17 Undang-
undang PPh x 50% dari perkiraan penghasilan bruto dikurangi PTKP perbulan.
4. Pegawai harian, pegawai mingguan, pemagang, dan calon pegawai, serta pegawai
tidak tetap lainnya yang menerima upah harian, upah mingguan, upah satuan, upah
borongan dan uang saku harian yang besarnya melebihi Rp 150.000 sehari tetapi
dalam satu bulan takwim jumlahnya tidak melebihi Rp 1.320.000 atau tidak
dibayarkan secara bulanan, maka PPh Pasal 21 yang terutang dalam sehari adalah
dengan menerapkan tarif 5% dari penghasilan bruto setelah dikurangi Rp 150.000.
Bila dalam satu bulan takwim jumlahnya melebihi Rp 1.320.000, maka besarnya
PTKP yang dapat dikurangkan untuk satu hari adalah sesuai dengan jumlah PTKP
sebenarnya dari penerima penghasilan yang bersangkutan dibagi 360.
5. Penerima pesangon, tebusan pensiun, Tunjangan Hari Tua atau Jaminan Hari Tua
yang dibayarkan sekaligus dikenakan tarif PPh final sebagai berikut:
1. 0% dari penghasilan bruto sampai dengan Rp 25.000.000 (dikecualikan dari
pemotongan pajak).
2. 5% dari penghasilan bruto di atas Rp 25.000.000 s.d. Rp 50.000.000.
3. 10% dari penghasilan bruto di atas Rp 50.000.000 s.d. Rp 100.000.000.
4. 15% dari penghasilan bruto di atas Rp 100.000.000 s.d. Rp 200.000.000.
5. 25% dari penghasilan bruto di atas Rp 200.000.000.
6. Pejabat Negara, PNS, anggota TNI/Polri yang menerima honorarium dan imbalan lain
yang sumber dananya berasal dari Keuangan Negara atau Keuangan Daerah dipotong
PPh Pasal 21 dengan tarif 15% dari penghasilan bruto dan bersifat final, kecuali yang
dibayarkan kepada PNS Gol. II/d ke bawah, anggota TNI/Polri berpangkat Peltu atau
Aiptu ke bawah.
62
Penghasilan Tidak Kena Pajak
Merujuk pada peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 162/PMK.011/2012Tentang Penyesuaian Besarnya Penghasilan Tidak Kena Pajak, maka aturan besarnya PTKPterbaru berlaku sejak tanggal 1 Januari 2013, sebagai Berikut ;
KeteranganSetahun
(rupiah)
Diri Wajib Pajak Pajak Orang Pribadi 24.300.000
Tambahan untuk Wajib Pajak yang kawin 2.025.000
Tambahan untuk seorang istri yang penghasilannya digabung dengan
penghasilan suami.24.300.000
Tambahan untuk setiap anggota keturunan sedarah semenda dalam garis
keturunan lurus serta anak angkat yang ditanggung sepenuhnya, maksimal tiga
orang untuk setiap keluarga
2.025..000
Tarif Pajak
Tarif PPh Pasal 21 menurut Undang-undang Pajak Penghasilan No. 36 Tahun 2008 adalah:
Lapisan Penghasilan Kena Pajak (rupiah) Tarif Pajak
Sampai dengan 50.000.000 5%
Di atas 50.000.000 s.d. 250.000.000 15%
Di atas 250.000.000 s.d. 500.000.000 25%
Di atas 500.000.000 30%
63
BEBERAPA CONTOH PERHITUNGAN PEMOTONGAN PAJAK PENGHASILAN
PASAL 21 (PPH PASAL 21)
A. PEGAWAI TETAP
Gaji Bulanan Karyawan
Contoh:
Saefudin adalah pegawai tetap di PT Insan Selalu Lestari sejak 1 Januari 2009. la
memperoleh gaji sebulan sebesar Rp. 3.000.000,- dan membayar iuran pensiun sebesar
Rp. 25.000,- sebulan. Saefudin menikah tetapi belum mempunyai anak (status K/0).
Penghitungan PPh Ps. 21
Penghitungan PPh Ps. 21 terutang
- Gaji Sebulan ………………………………… ............................……… 3.000.000
- Pengh. bruto ……………… …………………………............................ Rp. 3.000.000
Pengurangan
- Biaya Jabatan: 5%x 3.000.000…………………………………150.000
- Iuran pensiun :…………………………………………….…… .25.000
Total Pengurangan…………………… ……....………...............Rp. 175.000
Pengh netto sebulan ………………………………………....………..……..Rp. 2.825.000
Pengh. Netto setahun 12 x 2.825.000 =……………………….……......…….. 33.900.000
PTKP setahun:
WP sendiri …………………..24.300.000
Tambahan WP kawin …….... 2.025.000
Total PTKP ……………………………... 26.325.000
PKP = Rp. 33.900.000 – Rp. 26.325.000
PKP setahun = Rp. 7.575.000
PPh Ps. 21 = 5 % x Rp.7.575.000
= Rp. 378.500,-
PPh Ps. 21 sebulan = Rp. 378.500/ 12 Bulan
= Rp. 31.562, / Bulan.
64
Jon kenedi status menikah belum mempunyai anak (K/0) pada tahun 2012
bekerja pada perusahaan PT. Matahari sebagai pegawai tetap dengan memperoleh gaji
sebulan Rp. 5.000.000,- Selain gaji pokok, Tn. Jon kenedi dalam setiap bulan
menerima beberapa tunjangan antara lain tunjangan jabatan Rp. 500.000,- tunjangan
transport Rp. 500.000,00, tunjangan makan siang Rp. 500.000,- dan tunjangan
kemahalan sebasar Rp. 750.000,. PT. Matahari mengikuti program Jamsostek, Premi
Jaminan Kecelakaan Kerja dan Premi Jaminan Kematian yang dibayar oleh PT.
Matahari masing-masing 0,50% dan 0,30% dari gaji. Perusahaan menanggung iuran
Jaminan Hari Tua setiap bulan sebesar 3,70% dari gaji sedangkan Tn. Jonkenesi
membayar iuran Jaminan Hari Tua sebesar 2,00% dari gaji setiap bulan.
PT. Matahari juga mengikuti program pensiun untuk pegawainya pada lembaga dana
pensiun yang telah disahkan oleh Menteri Keuangan dan komposisi pembayaran iuran
pensiun yang dibayarkan oleh perusahaan sebesar Rp. 400.000,00 sebulan dan dibayar
sendiri oleh Tn. Jonkenedi sebesar Rp. 200.000,00.
Perhitungan PPh Pasal 21 setiap bulan yang harus dipotong dari gaji Tn. Jonkenedi
adalah sebagai berikut (dalam rupiah) :
Gaji sebulan 5.000.000
Tunjangan Jabatan 500.000
Tunjangan Transport 500.000
Tunjangan Makan Siang 500.000
Tunjangan Kemahalan 750.000
Total gaji sebulan 7.250.000
Penambahan Penghasilan
Premi Asuransi JKK dibayar Perusahaan 25.000
Premi Asuransi JK dibayar Perusahaan 15.000
Total Penambahan Penghasilan 40.000
Penghasilan Kotor Per Bulan 7.290.000
Pengurangan Penghasilan :
Biaya Jabatan : 5% X 7.290.000 364.500
Iuran Jaminan Hari Tua 100.000
Iuran Pensiun 200.000
Total Pengurangan Penghasilan 665.500
65
Penghasilan neto sebulan 6.624.500
Penghasilan neto setahun 12 X 6.624.500 79.494.000
PTKP (K/0)
- Untuk WP sendiri 24.300.000
- Status Kawin 2.025.000
26.325.000
Penghasilan Kena Pajak 53.144.000
PPh Pasal 21 Terutang :
- 5% X 50.000.000 = 2.500.000
- 15% X 3.144.000 = 471.600
PPh Pasal 21 Terutang setahun 2.971.600
PPh Pasal 21 Terutang sebulan = 2.971.600 / 12 247.633
66
Gaji Bulanan Karyawati
Fatmawati adalah seorang karyawati dengan status nikah belum mempunyai anak
(K/0) pada tahun 2012 bekerja pada perusahaan manufaktur PT. Ketapang sebagai
pegawai tetap dengan gaji sebulan Rp. 4.000.000,00. Berdasarkan surat keterangan
dari Pemda tempat Fatmawati berdomisili yang diserahkan kepada PT. Ketapang,
diketahui bahwa suami Fatmawati tidak mempunyai pengsilan apapun. Setiap bulan
Fatmawati membayar iuran pensiun kepada dana pensiun yang pendiriannya telah
disahkan oleh Menteri Keuangan sebesar Rp. 100.000,00.
Perhitungan PPh Pasal 21 setiap bulan yang harus dipotong dari gaji Fatmawati
adalah sebagai berikut :
Gaji sebulan 4.000.000
Pengurangan Penghasilan :
Biaya Jabatan : 5% X 4.000.000 200.000
Iuran Pensiun 100.000
Total Pengurangan Penghasilan 300.000
Penghasilan neto sebulan 3.700.000
Penghasilan neto setahun 12 X 3.700.000 44.400.000
PTKP (K/0)
- Untuk WP sendiri 24.300.000
- Status Kawin 2.025.000
26.325.000
Penghasilan Kena Pajak 18.075.000
PPh Pasal 21 Terutang :
- 5% X 18..075.000 = 903.750
PPh Pasal 21 Terutang setahun 903.750
PPh Pasal 21 Terutang sebulan = 903.750/ 12 75.312
Catatan : Apabila suami Fatmawati bekerja, besarnya PTKP Fatmawati adalah PTKP
untuk diri sendiri sebesar Rp. 24.300.000,00.
67
Gaji dibayar Mingguan atau harian
Acik status menikah dengan mempunyai satu anak (K/1) bekerja sebagai
pegawai di PT. Perintis dengan menerima gaji yang dibayar setiap minggu sebesar
Rp. 1000.000,00.
Perhitungan PPh Pasal 21 setiap bulan yang harus dipotong dari gaji Acik adalah
sebagai berikut (dalam rupiah) :
Gaji Sebulan : 4 X 1.000.000 4.000.000
Pengurangan Penghasilan :
Biaya Jabatan : 5% X 4.000.000 200.000
Penghasilan neto sebulan 3.800.000
Penghasilan neto setahun 12 X 3.800.000 45.600.000
PTKP (K/1) :
- Untuk WP sendiri 24.300.000
- Status Kawin 2.025.000
- Tambahan untuk 1 anak 2.025.000
28.350.000
Penghasilan Kena Pajak 17.250.000
PPh Pasal 21 Terutang :
5% X 17.250.000 862.500
PPh Pasal 21 Sebulan = 862.500 / 12
71.875
PPh Pasal 21 Seminggu = 71.875 /4
17.968
68
Perhitungan PPh Pasal 21 atas Pembayaran Rapel
Jonkenedi (lihat contoh no 1) status menikah belum mempunyai anak (K/0)
pada tahun 2012 bekerja pada perusahaan PT. Matahari sebagai pegawai tetap
dengan memperoleh gaji sebulan Rp. 5.000.000,00. Selain gaji pokok, Tn.
Jonkenedi dalam setiap bulan menerima beberapa tunjangan antala lain tunjangan
jabatan Rp. 500.000,00, tunjangan transport Rp. 500.000,00, tunjangan makan
siang Rp. 500.000,00, dan tunjangan kemahalan sebasar Rp. 750.000,00. PT.
Matahari mengikuti program Jamsostek, Premi Jaminan Kecelakaan Kerja dan
Premi Jaminan Kematian yang dibayar oleh PT. Matahari masing-masing 0,50%
dan 0,30% dari gaji. Perusahaan menanggung iuran Jaminan Hari Tua setiap bulan
sebesar 3,70% dari gaji sedangkan Tn. Jonkenesi membayar iuran Jaminan Hari
Tua sebesar 2,00% dari gaji setiap bulan.
PT. Matahari juga mengikuti program pensiun untuk pegawainya pada
lembaga dana pensiun yang telah disahkan oleh Menteri Keuangan dan komposisi
pembayaran iuran pensiun yang dibayarkan oleh perusahaan sebesar Rp.
400.000,00 sebulan dan dibayar sendiri oleh Tn. Jonkenedi sebesar Rp.
200.000,00.
Pada bulan Juni 2012 Jonkenedi menerima kenaikan gaji menjadi Rp.
7.000.000,00 sebulan dan berlaku sejak 1 Januari 2012 sehingga pada bulan Juni
2012 menerima Rapel sejumlah Rp. 10.000.000,00 (kekurangan gaji Tn.
Jonkenedi untuk masa Januari s/d Mei 2012
Untuk menghitung PPh Pasal 21 atas uang rapel tersebut, terlebih dahulu dihitung
kembali PPh Pasal 21 masa Januari s/d Mei 2012 atas dasar penghasilan setelah
ada kenaikan gaji. Dengan demikian perhitungan PPh Pasal 21 atas uang rapel
yang diterima oleh Jonkenedi adalah sebagai berikut (dalam rupiah) :
Gaji sebulan 7.000.000
Tunjangan Jabatan 500.000
Tunjangan Transport 500.000
Tunjangan Makan Siang 500.000
Tunjangan Kemahalan 750.000
Total gaji sebulan 9.250.000
Penambahan Penghasilan
69
Premi Asuransi JKK dibayar Perusahaan 35.000
Premi Asuransi JK dibayar Perusahaan 21.000
Total Penambahan Penghasilan 56.000
Penghasilan Kotor Per Bulan 9.306.000
Pengurangan Penghasilan :
Biaya Jabatan : 5% X 9.306.000 465.300
Iuran Jaminan Hari Tua 140.000
Iuran Pensiun 200.000
Total Pengurangan Penghasilan 805.300
Penghasilan neto sebulan 8.500.700
Penghasilan neto setahun 12 X 8.500.700 102.008.400
PTKP (K/0)
- Untuk WP sendiri 24.300.000
- Status Kawin 2.025.000
26.325.000
Penghasilan Kena Pajak 75.683.400
PPh Pasal 21 Terutang :
- 5% X 50.000.000 = 2.500.000
- 15% X 25.683.400 = 3.852.510
PPh Pasal 21 Terutang setahun 6.352.510
PPh Pasal 21 Terutang sebulan = 2.971.600 / 12 529.375
PPh Pasal 21 Januari s/d Mei 2012 seharusnya adalah
5 X 529.375 2.646.875
PPh Pasal 21 Januari s/d Mei 2010 yang sudah dipotong (lihat contoh no 1)
5 X 247.633 1.238.165
Jadi PPh Pasal 21 untuk uang rapel adalah
2.646.875 – 1.238.165 1.408.710
70
Perhitungan pemotongan PPh {Pasal 21 terhadap penghasilan berupa jasa
produksi, tantiem grafikasi, tunjangan hari raya atau tahun baru, bonus,
premi, dan penghasilan sejenis lainnya yang sifatnya tidak tetap dan
umumnya diberikan sekali dalam setahun.
Edward Alisabana status kawin mempunyai anak satu (K/1) bekerja pada PT.
Abadi dengan memperoleh gaji Rp. 3.000.000,00 sebulan. Dalam tahun yang
bersangkutan edward menerioma bonus sebesar Rp. 4.000.000. Setiap bulan
edward membayar iuran pensiun ke dana pensiun yang pendiriannya telah
disahkan oleh Menteri keuangan sebesar Rp. 50.000,00. Maka perhitungan
Perhitungan PPh Pasal 21 atas bonus adalah sebagai berikut (dalam rupiah) :
PPh Pasal 21 atas Gaji dan Bonus (Penghasilan setahun)
Gaji setahun ( 12 X 3.000.000 ) 36.000.000
Bonus 4.000.000
Penghasilan kotor setahun 40.000.000
Pengurangan penghasilan :
o Biaya jabatan : 5% X 40.000.000 2.000.000
o Iuran Pensiun : 12 X 50.000 600.000
Total pengurangan penghasilan 2.600.000
Penghasilan neto setahun 37.400.000
PTKP (K/1) :
o Untuk WP sendiri 24.300.000
o Status Kawin 2.025.000
o Tambahan untuk 1 anak 2.025.000
28.350.000
Penghasilan Kena Pajak 9.050.000
PPh Pasal 21 Terutang : 5% X 9.050.000 452.500
PPh Pasal 21 atas Gaji setahun
Gaji setahun ( 12 X 3.000.000 ) 36.000.000
Pengurangan penghasilan :
o Biaya jabatan : 5% X 36.000.000 1.800.000
o Iuran Pensiun : 12 X 50.000 600.000
Total pengurangan penghasilan 2.400.000
71
Penghasilan neto setahun 33.600.000
PTKP (K/1) :
o Untuk WP sendiri 24.300.000
o Status Kawin 2.025.000
o Tambahan untuk 1 anak 2.025.000
28.350.000
Penghasilan Kena Pajak 5.250.000
PPh Pasal 21 Terutang : 5% X 5.250.000 262.500
Maka PPh Pasal 21 atas bonus :
452.500 – 262.500 190.000
Contoh ;2 Pegawai tetap menerima bonus, gratifikasi, tantiem, Tunjangan Hari Raya atau
tahun baru, premi dan penghasilan yang sifatnya tidak tetap, diberikan sekali saja atau
sekali setahun
Ikhsan Alisyahbani adalah pegawai tetap di PT .Tiur mas Lampung Indah. la memperoleh
gaji bulan Desember sebesar Rp. 3.200.000,00 menerima THR sebesar Rp. 600.000,00 dan
membayar iuran pensiun sebesar Rp. 25.000,00 sebulan. Ikhsan Alisyahbani menikah tetapi
belum mempunyai anak (status K/0)
PPh Pasal 21 atas gaji dan THR
Penghasilan Bruto setahun = 12x 3.200.000 = Rp. 38.400.000
THR …………………………..……...………..Rp. 600.000
Jumlah Penghasilan Bruto……………………………………Rp. 39.000.000
Pengurangan:
Biaya Jabatan: 5%x 38.400.000 = ………...1.920.000
Iuran pensiun 12x25.000 = …………………. 300.000
Total Pengurangan = ………………………………….Rp. 2.220.000
Penghasilan netto setahun Rp. 36.780.000
PTKP (K/0) setahun = Rp. 26.325. 000
PKP setahun = Rp. 10. 455.000
72
PPh Ps. 21 terutang:
5% x Rp. 10. 455.000 = Rp. 522.750,-
PPh Pasal 21 atas gaji
Penghasilan Bruto setahun = 12 x 3.200.000 = Rp. 38.400.000
Pengurangan:
Biaya Jabatan: 5%x Rp. 38.400.000 = Rp. 1.920.000
Iuran pensiun 12x25.000 = Rp. 300.000
Total Pengurangan = ………………………………… = Rp. 2.220.000
Penghasilan netto setahun …………………................……………..Rp. 36.180.000
PTKP (K/0) setahun Rp. 26.325. 000
PKP setahun = Rp. 9. 855.000
PPh Ps. 21 terutang: 5% x Rp. 9. 855.000 Rp. 492.750,-
PPh Pasal 21 atas gaji dan THR - PPh Pasal 21 atas gaji:
= Rp. 522.750,- - Rp. 492.750,-
= Rp. 30.000,00
Penerima Honorarium atau Pembayaran lain
Contoh : Ali seorang penceramah memberikan ceramah pada lokakarya dan menerima
honorarium Rp. 1.000.000,00. Penghitungan PPh Pasal 21 yang dipotong (tarif Pasal 17) :
5% x Rp.1.000.000,00 = Rp. 50.000,00
Komisi yang dibayarkan kepada penjaja barang dagangan atau petugas dinas luar
asuransi
Contoh:
Tri seorang penjaja barang dagangan hasil produksi PT Jaya, dalam bulan April 2009
menerima komisi sebesar Rp. 750.000,00
PPh Pasal 21 = 5% x Rp. 750.000,00 = Rp. 37.500,00
73
Penerima Hadiah atau Penghargaan sehubungan dengan Perlombaan
Contoh:
Ali pemain tenis yang tinggal di Jakarta, menjadi juara dalam suatu turnamen dan mendapat
hadiah Rp. 30.000.000,00 PPh Pasal 21 yang terutang atas hadiah turnamen adalah :
5% x Rp. 30.000.000,- = Rp. 1.500.000,-
Honorarium yang diterima tenaga ahli yang melakukan pekerjaan bebas
Contoh :
Gatot seorang arsitek, bulan Maret 2009 menerima honorarium Rp.20.000.000,00 dari
PT.Abang sebagai imbalan atas jasa teknik.
Penghitungan PPh Pasal 21 :
15% x 50% x Rp. 20.000.000,00 = Rp. 1.500.000,00
Penghasilan atas Upah Harian
Contoh :
Eko pada bulan Agustus 2009 bekerja sebagai buruh harian pada PT Dayat Harini Perkasa. la
bekerja sehari sebesar Rp. 120.000,00.
Penghitungan PPh Pasal 21 terutang :
Upah sehari = Rp. 120.000,00
Batas Upah harian yang Tidak di potong PPh = Rp. 150.000,00
PKP Sehari = Rp. 0,00
PPh Pasal 21 Sehari = (5% x Rp. 0,00) = Rp. 0,00
74
Penghasilan berupa uang tebusan pensiun, Tunjangan Hari Tua (THT), dan uang
pesangon yang dibayarkan sekaligus oleh Dana Pensiun yang telah disahkan Menteri
Keuangan
Contoh :
Eko bulan Maret 2009 menerima tebusan pensiun dari Dana Pensiun “ X” Rp. 70.000,000.
Penghasilan Bruto Rp.70.000.000, Dikecualikan dari Pemotongan Rp.25.000.000
Penghasilan dikenakan pajak Rp.45.000.000,
PPh Pasal 21 terutang:
5% x Rp. 45.000.000,00 = Rp. 2.250.000,-
Jumlah PPh Pasal 21 terutang = Rp. 2.250.000,-
75
PAJAK PENGHASILAN PASAL 22
1. PENGERTIAN
Pajak penghasilan Pasal 22 (PPh Pasal 22) merupakan salah satu bentuk pemotongan dan
pemungutan PPh yang dilakukan oleh pihak lain selaku pemberi penghasilan terhadap
wajib pajak yang melakukan penyerahan barang.
Merupakan pembayaran pajak penghasilan dalam tahun berjalan yang dipungut oleh:
Bendaharawan pemerintah baik pusat maupun daerah, instansi atau lembaga
pemerintah dan lembaga-lembaga negara lainnya sehubungan dengan pembayaran
atas penyerahan barang.
Badan-badan tertentu, baik badan pemerintah maupun swasta berkenaan dengan
kegiatan di bidang impor atau kegiatan usaha di bidang lain.
2. PEMUNGUT PAJAK
Pemungut PPh Pasal 22 adalah ;
a. Bank Devisa dan Direktorat Jendral Bea dan Cukai, atas impor barang
b. Direktorat Jendral Anggaran, Bendaharawan Pemerintah baik di tingkat pusat maupun
Pemerintah Daerah, yang melakukan pembayaran atas pembelian barang
c. Badan Usaha Milik Negara dan Badan Usaha Milik Daerah yang melakukan
pembayaran atas pembelian barang yang dnaanya dari belanja negara dan atau belanja
daerah, kecuali badan-badan tersebut pada butir 4
d. Bank Indonesia (BI), Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN), Badan Urusan
Logistik (BULOG), PT Telekomunikasi Indonesia 9Telkom), PT Perusahaan Listrik
Negara (PLN), PT Garuda Indonesia. PT Indosat, dan bank-bank BUMN yang
11
Setelah mempelajari bab ini, mahasiswa diharapkan mampu memahami dan menjelaskandi depan kelas Tentang ;
Pengertian PPh Pasal 22 Pemungut Pajak PPh Pasal 22 Objek Pemungutan PPh Pasal 22 Cara Menghitung pph Pasal 22
76
melakukan pembelian barang yang dananya bersumber baik dari APBN maupun non-
APBN
e. Badan usaha yang bergerak di bidang industri semen, industri rokok, industri kertas,
industri baja dan industri otomotif, yang ditunjuk oleh Kepala Kantor Pelayanan
Pajak, atas penjualan hasil produksinya di dalam negeri
f. Pertamina serta badan usaha selain pertamina yang bergerak di bidang bahan bakar
minyak jenis Premix, super TT dan gas, atas penjualan hasil produksinya.
g. Industri eksportir yang bergerak dalam sektor perhutanan, perkebunan, pertanian, dan
perikanan yang ditunjuk oleh Kepala Kantor Pelayanan Pajak, atas pembelian bahan-
bahan untuk keperluan industri atau ekspor mereka dari pedagang pengumpul.
3. OBJEK PEMUNGUTAN PAJAK
Yang merupakan objek pemungutan PPh pasal 22 adalah:
a. Impor barang,
b. Pembayaran atas pembelian barang yang dilakukan oleh Direktorat Jendral Anggaran,
Bendaharawan Pemerintah baik di tingkat Pusat maupun Pemerintah Daerah.
c. Pembayaran atas pembelian barang yang dilakukan Badan Usaha Milik Negara dan
badan Usaha Milik Daerah yang dnanya dari belanja negara dan atau belanja daerah.
d. Penjualan hasil produksi di dalam negeri yang dilakukan oleh badan usaha yang
bergerak di bidang industri semen, industri rokok, industri kertas, industri baja dan
industri otomotif.
e. Penjualan hasil produksi yang dilakukan oleh pertamina dan badan usaha selain
pertamina yang bergerak di bidang bahan bakar minyak jenis Premixd an gas.
f. Pembelian bahan-bahan untuk keperluan industri atau ekspor industri dan eksportir
yang bergerak dalam sektor perhutanan, perkebunan, pertanian, dan perikanan dari
pedagang pengumpul.
Dikecualikan dari Pemungutan PPh pasal 22 adalah:
1. Impor barang dan atau penyerahan barang yang berdasarkan ketentuan peraturan
perundang-undangan tidak terutang pajak penghasilan. Pengecualian ini harus
dinyatakan dengan Surat Keterangan Bebas (SKB) Pajak Penghasilan pasal 22 yang
diterbitkan oleh Direktur Jendral Pajak.
77
2. Impor Barang yang dibebaskan dari bea masuk:
a. Barang perwakilan negara asing beserta para pejabatnya yang bertugas di
Indonesia berdasarkan asas timbal balik.
b. Barang untuk keperluan badan Internasional yang diakui dan terdaftar pada
Pemerintah Indonesia beserta pejabatnya yang bertugas di Indonesia dan tidak
memegang paspor Indonesia
c. Barang kiriman hadiah untuk keperluan ibadah umum, amal, sosial, atau
kebudayaan.
d. Barang untuk keperluan museum, kebun binatang, dan tempat lain semacam itu
yang terbuka untuk umum.
e. Barang untuk keperluan penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan
f. Barang untuk keperluan khusus tuna netra dan penyandang cacat lainnya
g. Peti atau kemasan lain yang berisi jenazah atau abu jenazah
h. Barang pindahan
3. Dalam hal impor sementara jika pada waktu impornya nyata-nyata dimaksudkan
untuk diekspor kembali
4. Pembayaran yang jumlahnya paling banyak Rp 1.000.000,- (satu juta rupiah) dan
tidak merupakan pembayaran yang terpecah-pecah
5. Pembayaran untuk pembelian bahan bakar minyak, listrik, gas, air minum PDAM dan
benda-benda pos.
6. Atas impor emas batangan yang akan diproses untuk menghasilkan barang perhiasan
dari emas untuk tujuan ekspor.
7. Pembayaran/pencairan dana jaring pengaman sosial (JPS) oleh kantor perbendaharaan
dan Kas Negara.
8. Impor kembali (re-impor), yang meliputi barang-barang yang telah diekspor
kemudian diimpor kembali dalam kualitas yang asama atau barang-barang yang telah
diekspr untuk keperluan perbaikan, pengerjaan dan pengujian, yang telah memenuhi
syarat yang ditentukan oleh direktorat Jenderal Bea dan Cukai.
9. Pembayaran untuk pembelian gabah dan atau beras oleh BULOG.
78
4. CARA MENGHITUNG PPh PASAL 22
Cara menghitung PPh Pasal 22 atas kegiatan Impor Barang
Besarnya PPh pasal 22 atas impor:
1. Yang menggunakan Angka Pengenal Importir (API), tarif pemungutannya sebesar 2,5%
dari nilai impor.
PPh Pasal 22 = 2,5% x Nilai Impor
2. Yang tidak menggunakan Angka Pengenal Importir (API), tarif pemungutannya sebesar
7,5% dari nilai impor
PPh Pasal 22 = 7,5% x Nilai Impor
3. Yang tidak dikuasai, tarif pemungutannya sebesar 7,5% dari harga jual lelang.
PPh Pasal 22 = 7,5% x Harga Jual Lelang
Contoh 1:
PT DELL, memiliki nomor API, melakukan Impor komputer dari Amerika Serikat dengan
perincian sebagai berikut:
Harga komputer (cost) US$ 20,000.00
Asuransi (Insurance) US$ 1,000.00
Biaya Angkut (freight) US$ 4,000.00
Harga pabean US$ 25,000.00
Pungutan:
- Bea masuk 20% US$ 5,000.00
- Bea masuk Tambahan 10% US$ 2,500.00
NILAI IMPOR US$ 32,500.00
Apabila pada tanggal impor (sesuai dokumen impor: Pemberitahuan Impor Barang ) Nilai
Kurs US$ 1.00 = Rp 10.000,00, maka:
Dasar pengenalan PPh pasa 22 : US$ 32,500.00 x Rp 10.000,00 =
Rp 325.000.000,00
PPh Pasal 22 yang harus dipungut: Rp 325.000.000,00 x 2,5% =
Rp 8.125.000,00
79
Contoh 2:
Seperti nomor 1 di atas, akan tetapi PT DELL tidak memiliki nomor API, maka perhitungan
PPh Pasal 22 adalah sebagai berikut:
Dasar pengenalan PPh pasa 22 : US$ 32,500.00 x Rp 10.000,00 =
Rp 325.000.000,00
PPh Pasal 22 yang harus dipungut: Rp 325.000.000,00 x 7,5% =
Rp 24.375.000,00
Contoh 3 ;
PT. Al Mukarrom melakukan import barang berupa sajadah karpet dari Saudi Arabia
sebanyak 1.000 Unit dengan harga USD 100/Unit. Kurs Menteri Keuangan (Kurs KMK)
pada waktu itu yang berlaku adalah Rp. 10.000,/ 1 USD. Bea Masuk yang harus dibayar
oleh PT Al Mukarrom sebesar 1 % dari harga jual, sedangkan bea lain-lain sebesar 0,5%
dari harga jual.
Berapakah PPh pasal 22 yang harus dipungut oleh Dirjen Bea Cukai apabila ;
a. PT AL Mukarrom memiliki Angka Pengenal Importir?
b. PT AL Mukarrom Tidak memiliki Angka Pengenal Importir?
Jawab ;
Harga Jual ; 1.000 x USD 1,- x Rp.10.000,- = Rp. 1.000.000.000,-
Bea Masuk ; 1 % x Rp. 1.000.000.000,- = Rp. 10.000.000,-
Bea Lainnya : 0,5% x Rp. 1.000.000.000,- = RP. 5.000.000,-
Nilai Impor = Rp. 1.015.000.000,-
PPh Pasal 22 yang harus dipungut Dirjen bea dan Cukai jika PT Al Mukarrom
memiliki API ; 2,5 % x 1.015.000.000,- = Rp. 25.375.000,-
PPh Pasal 22 yang harus dipungut Dirjen bea dan Cukai jika PT Al Mukarrom
memiliki API ; 7,5 % x 1.015.000.000,- = Rp. 76.125.000,-
80
Cara menghitung PPh pasal 22 atas pembelian Barang yang dibiayai dengan
APBN/APBD
Atas pembelian barang yang dananya dari belanja negara atau belanja daerah dikenakan
pemungutan PPh pasal 22 sebesar 1,5% dari harga pembelian.
PPh Pasal 22 = 1,5% x Harga pembelian
Pembayaran yang dikecualikan dari pemungutan PPh Pasal 22 adalah:
1. Pembayaran atas penyerahan barang (bukan merupakan jumlah yang dipecah-pecah) yang
meliputi jumlah kurang dari Rp 1.000.000,00
2. Pembayaran untuk pembelian bahan bakar minyak, listrik, gas, air minum/PDAM, dan
benda-benda pos.
3. Pembayaran/pencairan dana Jaringan Sosial olehkantor Perbendaharaan dan Kas Negara.
Contoh 3 :
PT Bangun Maju melakukan penjualan Lemari Arsip kepada Departemen Dalam Negeri
senilai Rp 220 juta. Pembayaran dilakukan oleh Bendaharawan Departemen Dalam Negeri.
Dalam kontrak penjualan dengan pemerintah yang didanai dari APBN/APBD, biasanya harga
jual sudah termasuk pajak pertambahan nilai sebesar 10%
Dasar pengenalan PPh pasal 22: (100/110 x Rp 220 juta) =
Rp 200.000.000,00
PPh pasal 22 yang dipungut Bendaharawan Pemerintah dari Transaksi
Pembayaran: 1,5% x Rp 200.000.000,00 = Rp 3.000.000,00
Cara menghitung PPh Pasal 22 atas Penjualan Hasil Produksi Industri Otomotif di
Dalam Negeri
Besarnya PPh pasal 22 atas penjualan semua jenis kendaraan bermotor beroda dua atau lebih
di dalam negeri adalah sebesar 0,45% dari dasar Pengenaan pajak (DPP) Pajak Pertambahan
Nilai.
PPh Pasal 22 = 0,45% x DPP PPN
81
Penjualan kendaraan bermotor yang dikecualikan dari pemungutan PPh Pasal 22 atas Industri
otomotif ini adalah penjualan kendaraan bermotor kepada:
1. Instansi pemerintah
2. Korps diplomatik
3. Bukan subjek pajak
Cara Menghitung PPh Pasal 22 Atas Penjualan Hasil Produksi Industri Rokok di
Dalam Negeri
Besarnya PPh pasal 22 yang wajib dipungut oleh industri rokok pada saat penjualan rokok di
dalam negeri adalah 0,15% dari harga bandrol (pita cukai), dan bersifat Final
PPh Pasal 22 (Final) = 0,15% x Harga Bandrol
Cara menghitung PPh Psal 22 ats penjualan harga produksi industri kertas di Dalam
Negeri
Besarnya PPh 22 yang wajib dipungut oleh industri kertas pada saat penjualan kertas di
dalam negeri adalah 0,1% dari Dasar Pengenalan Pajak (DPP) Pajak Pertambahan Nilai.
PPh Pasal 22 = 0,1% x DPP PPN
Cara menghitung PPh Pasal 22 atas Penjualan hasil Produksi Industri Semen di Dalam
Negeri
Besarnya PPh pasal 22 yang wajib dipungut oleh Industri semen pada saat penjualan semen
di dalam negeri adalah 0,25% dari Dasar Pengenaan Pajak (DPP) Pajak Pertambahan Nilai
PPh Pasal 22 = 0,25% x DPP PPN
Yang dikecualikan dari pemungutan PPh pasal 22 adalah penjualan semen dalam negeri oleh
PT Indocemen, PT Semen Cibinong, dan PT Semen Nusantara kepada distributor
utama/tunggalnya.
Cara menghitung PPh Pasal 22 atas Penjualan Hasil Produksi Industri Baja di DalamNegeriBesarnya PPh pasal 22 yang wajib dipungut oleh industri baja pada saat penjualan hasil
produksinya di dalam negeri adalah 0,3% dari Dasar Pengenalan Pajak (DPP) Pajak
Pertambahan Nilai.
PPh Pasal 22 = 0,3% x DPP PPN
82
Cara menghitung PPh Pasal 22 atas pembelian bahan-bahan untuk keperluan Industriatau ekspor oleh industri yang bergerak dalam sektor perhutanan, perkebunan,pertanian, dan perikanan dan pedagang pengumpul.Besarnya PPh pasal 22 yang wajib dipungut oleh industri atau eksportir yang bergerak dalam
sektor perhutanan, perkebunan, pertanian, dan perikanan yang telah terdaftar sebagai wajib
pajak adalah sebesar 0,5% (satu koma lima persen) dari harga pembelian tidak termasuk PPN
PPh Pasal 22 = 0,5% X Harga Pembelian
Cara menghitung PPh Pasal 22 yang dipungut oleh pertamina dan badan Usaha sdelain
Pertamina
Besarnya PPh pasal 22 yang wajib dipungut oleh Pertamina dan badan usaha lainnya yang
bergerak dalam bidang bahan bakar minyak jenis premix, super TT dan gas atass penjualan
hasil produksinya adalah sebagai berikut:
1. Atas penebusan premium, solar, premix/super TT oleh SPBU swastanisasi adalah 0,3%
dari penjualan
PPh Pasal 22 = 0,3% x Penjualan
2. Atas penebusan premioum, solar, premix/super TT oleh SPBU Pertamina adalah 0.,25%
dari penjualan
PPh Pasal 22 = 0,25% x Penjualan
3. Atas penjualan minyak tanah, gas LPG, dan pelumas adalah 0,3% dari penjualan.
PPh Pasal 22 = 0,3% x Penjualan
83
PAJAK PENGHASILAN PASAL 23
1. PENGERTIAN
Ketentuan dalam pasal 23 UU PPh mengatur pemotongan pajak atas penghasilan yang
diterima atau dip[eroleh wajib pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap yang berasal
dari modal. Penyerahan jasa, atau penyelenggaraan kegiatan selain yang telah dipotong
pajak sebagaimana dimaksud dalam pasal 21, yang dibayarkan atau terutang oleh badan
pemerintah atau subjek pajak dalam negeri, penyelenggara kegiatan, bentuk usaha tetap,
atau perwakilan perusahaan luar negeri lainnya.
2. PEMOTONGAN PPh PASAL 23
Pemotong PPh pasal 23 adalah pihak-pihak yang membayarkan penghasilan, yang
terdiri atas:
1. Badan pemerintah
2. Subjek pajak badan dalam negeri
3. Penyelenggaran kegiatan
4. Bentuk usaha tetap
5. Perwakilan perusahaan luar negeri lainnya
6. Orang pribadi sebagai wajib pajak dalam negeri yang telah mendapat penunjukkan dari
Direktur Jenderal Pajak untuk memotong pajak PPh pasal 23
12Setelah mempelajari bab ini, mahasiswa diharapkan mampu memahami dan menjelaskandi depan kelas Tentang ;
Pengertian PPh Pasal 23 Pemotongan Pajak PPh Pasal 23 Yang dikenakan Pemotongan PPh Pasal 23 Objek Pemotongan PPh Pasal 23 Pengeculian Objek Pemotongan PPh Pasal 23 Cara Menghitung pph Pasal 22 Dasar Pemotongan Tarif Pemotongan Cara Menghitung PPh Pasal 23
84
3. YANG DIKENAKAN PEMOTONGAN PPh PASAL 23
Yang dikenakan pemotongan PPh pasal 23 adalah wajib pajak dalam negeri atau
bentuk usaha tetap yang menerima atau memperoleh penghasilan yang berasal dari
modal, penyerahan jasa, atau penyelenggaraan kegiatan selain yang telah dipotong pajak
sebagaimana dimaksud dalam pasal 21.
4. OBJEK PEMOTONGAN PPh PASAL 23
Penghasilan yang dipotong PPh Pasal 23 adalah:
1. Dividen
2. Bunga, termasuk premium, diskonto, dan imbalan sehubungan dengan jaminan
pengembalian utang.
3. Royalti
4. Hadiah dan penghargaan selain yang telah dipotong pajak penghasilan sebagaimana
dimaksud dalam pasal 21
5. Bunga simpanan yang dibayarkan oleh koperasi
6. Imbalan sehubungan dengan jasa teknik, jasa manajemen, jasa konstruksi, jasa
konsultan, dan jasa lain selain yang telah dipotong pajak sebagaimana dimaksud
dalam pasal 21
7. Sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta.
5. PENGECUALIAN OBJEK PEMOTONGAN PPh PASAL 23
Penghasilan yang tidak dikenakan pemotongan PPh paal 23 adalah:
1. Penghasilan yang dibayar atau terutang kepada Bank
2. Sewa yang dibayarkan atau terutang sehubungan dengan sewa guna usaha dengan hak
opsi.
3. Dividen atau bagian laba yang diterima atau diperoleh perseroan terbatas sebagai
Wajib Pajak dalam negeri. Koperasi, BUMN, atau BUMD, dari penyertaan modal
pada badan usaha yang didirikan dan bertempat kedudukan di Indonesia
4. Bunga obligasi yang diterima atau diperoleh perusahaan reksa dana selama 5 tahun
pertama sejak pendirian perusahaan atau pemberian ijin usaha.
5. Penghasilan yang diterima atau diperoleh perusahaan modal ventura berupa bagian
laba dari badan pasangan usaha yang didirikan dan menjalankan usaha atau kegiatan
di Indonesia.
85
6. Sisa hasil usaha koperasi yang dibayarkan di bursa efek di Indonesia.
7. Bunga simpanan yang tidak melebihi batas yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan
yang dibayarkan oleh koperasi kepada anggotanya.
6. DASAR PEMOTONGAN
Ada dua dasar pemotongan, yaitu:
1. Dari jumlah bruto, untuk penghasilan berupa:
a. Dividen
b. Bunga, termasuk premium, diskonto, dan imbalan sehubungan dengan jaminan
pengembalian utang.
c. Royalti
d. Hadiah penghargaan selain yang telah dipotong pajak sebagaimana dimaksud
dalam pasal 21.
2. Dari perkiraan penghasilan netto, untuk penghasilan berupa:
a. Sewa dari penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta.
b. Imbalan sehubungan dengan jasa teknik, jasa manajemen, jasa konstruksi, jasa
konsultan, dan jasa lain selain yang telah dipotong pajak sebagaimana dimaksud
dalam pasal 21.
7. TARIF PEMOTONGAN
1. 15% dari jumlah bruto atas penghasilan berupa:
a. Dividen
b. Bunga, termasuk premium, diskonto dan imbalan sehubungan dnegan jaminan
pengembalian utang.
c. Royalti
d. Hadiah dan penghargaan selain yang telah dipotong pajak sebagaimana dimaksud
dalam pasal 21.
2. 15% dari jumlah bruto (bersifat final) atas penghasilan berupa:
Bunga simpanan yang dibayarkan oleh Koperasi kepada anggotanya (bila jumlah
bunga melebihi Rp. 240.000).
3. 15% dari perkiraan penghasilan netto atas penghasilan berupa:
a. Sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta tidak termasuk
sewa tanah dan atau bangunan.
86
b. Imbalan sehubungan dengan jasa teknik, jasa manajemen, jasa konsultan hukum,
jasa konsultan pajak, dan jasa lain selain yang telah dipotong pajak sebagaimana
dimaksud dalam pasal 21 (yang ditetapkan oleh Dirjen Pajak).
8. CARA MENGHITUNG PPh PASAL 23
Atas penghasilan berupa dividen akan dikenakan pemotongan PPh pasal 23 sebesar 15% dari
jumlah bruto.
PPh pasal 23 = 15% x Bruto
Contoh:1
PT. Solusindo membayarkan dividen kepada Tn. Bambang pada bula Juni 2006 sebesar Rp.
20.000.000,00.
Pph pasal 23 dipotong PT. Solusindo adalah:
15% x Rp. 20.000.000,00 = Rp. 3.000.000,00
Cara Menghitung PPh pasal 23 atas Bunga, Termasuk Premium, Diskonto, dan
Imbalan Sehubungan dengan Jaminan Pengembalian Utang.
1. Atas penghasilan berupa bunga dikenakan pemotongan PPh pasal 23 sebesar 15% dari
jumlah bruto.
PPh pasal 23 = 15% x Bruto
2. Atas penghasilan berupa bunga simpanan anggota koperasi yang jumlahnya melebihi Rp.
240.000,00 dikenakan pemotongan PPh pasal 23 yang bersifat final sebesar 15% dari
jumlah bruto.
PPh pasal 23 (Final) = 15% x Bruto
Contoh 2:
Amin Ningno anggota Koperasi Persaudaraan, bulan Juli menerima bunga atas simpanannya
sebesar Rp. 800.000,00 dari Koperasi Persaudaraan. PPh pasal 23 yang dipotong Koperasi
Persaudaraan: 15% x Rp. 800.000,00 = Rp. 120.000,00 (Final)
87
Cara Menghitung PPh Pasal 23 atas Royalti
Atas penghasilan berupa royalti akan dikenakan pemotongan PPh pasal 23 sebesar 15% dari
jumlah bruto.
PPh pasal 23 = 15% x Bruto
Contoh 3:
CV. Selera Makan membayar royalti atas pemakaian merk Ayam Goreng “Bu Lastri” sebesar
Rp. 30.000.000,00. PPh pasal 23 yang dipotong CV. Selera Makan adalah:
15% x Rp. 30.000.000,00 = Rp. 4.500.000,00
Cara Menghitung PPh Pasal 23 atas Hadiah dan Penghargaan
PPh pasal 23 = 15% x Bruto
Cara Menghitung PPh Pasal 23 atas Sewa dan Penghasilan Lain Sehubungan dengan
Penggunaan Harta
Atas penghasilan sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta (kecuali
sewa dan penghasilan lain sheubungan dengan persewaan tanah dan atau bangunan)
dikenakan pemotongan PPh Pasal 23 dengan ketentuan sebagai berikut:
a. Sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta khusus angkutan darat
adalah sebesar 15% dari perkiraan penghasilan netto. Besarnya perkiraan penghasilan
netto adalah 20% dari jumlah bruto tidak termasuk PPN.
PPh Pasal 23 = 15% x 20% x Bruto
Contoh 4:
PT. Sejahtera Raya menyewa sebuah mobil Honda Jazzdari Tuan Andi dengan nilai sewa
sebesar Rp. 10.000.000,00.
PPh pasal 23 yang dipotong PT. Sejahtera adalah:
15% x 20% x Rp. 10.000.000,00 = Rp. 300.000,00
b. Sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta, kecuali sewa dan
penghasilan lain sehubungan dengan persewaan tanah dan bangunan yang telah
88
dikenakan Pajak Penghasilan yang bersifat final berdasarkan Peraturan Pemerintah No.
29 Tahun 1995 dan sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta
khusus angkutan darat adalah sebesar 15% dari perkiraan penghasilan netto. Besarnya
perkiraan penghasilan netto adalah 40% dari jumlah bruto tidak termasuk PPN.
PPh Pasal 23 = 15% x 40% x Bruto
Contoh 5:
CV. Adil Makmur menyewa sebuah dispenser pada UD. Starindo selama enam bulan dengan
nilai sewa Rp. 1.000.000,00. PPh pasal 23 yang dipotong Cv. Adil Makmur adalah:
15% x 40% x Rp. 1.000.000,00 = Rp. 60.000,00
Cara Menghitung PPh Pasal 23 atas Imbalan Sehubungan dengan Jasa Teknik, Jasa
Manajemen, Jasa Konsultan Hukum, Jasa Konsultan Pajak, dan Jasa lain.
Atas penghasilan berupa imbalan sehubungan dengan jasa teknik, jasa manajemen,
jasa konsultan hukum, jasa konsultan pajak, dan jasa lain dikenakan pemotongan PPh pasal
23 sebesar 15% dari perkiraan penghasilan netto.
Yang dimaksud jasa lain adalah:
1. Jasa profesi
2. Jasa konsultan, kecuali konsultan konstruksi
3. Jasa akuntansi dan pembukuan
4. Jasa penilai
5. Jasa aktuaris
6. Jasa teknik dan jasa manajemen
7. Jasa perancang/desain:
a. Jasa perancang interior dan jasa perancang pertamanan
b. Jasa perancang mesin dan jasa perancang peralatan
c. Jasa perancang alat-alat transportasi/kendaraan
d. Jasa perancang iklan/logo
e. Jasa perancang alat kemasan
8. Jasa instalasi/pemasangan:
a. Jasa instalasi/pemasangan listrik/telepon/gas/air/TV Kabel, kecuali dilakukan
wajib Pajak yang ruang lingkup pekerjaannya dibidang konstruksi dna
mempunyai izin/sertifikasi sebagai pengusaha konstruksi.
b. Jasa instalasi/pemasangan mesin dan jasa instalasi/pemasangan peralatan.
89
9. Jasa perawatan/pemeliharaan/perbaikan:
Jasa perawatan / pemeliharaan / perbaikan mesin, listrik / telepon / air /gas / AC / TV
kabel.
Jasa perawatan/pemeliharaan/perbaikan peralatan.
Jasa perawatan/pemeliharaan/perbaikan alat-alat transportasi/kendaraan.
Jasa perawatan/pemeliharaan/perbaikan bangunan, kecuali yang dilakukan
oleh wajib pajak yang ruang lingkup pekerjaannya dibidang konstruksi dan
mempunyai izin/sertifikasi sebagai pengusaha konstruksi.
10. Jasa pengeboran (jasa drilling) di bidang penambangan minyak dan gas (migas),
kecuali yang dilakukan oleh bentuk usaha tetap.
11. Jasa penunjang di bidang penambangan migas
12. Jasa penambangan dan jasa penunjang di bidang penambangan selain migas
13. Jasa penebangan hutan termasuk land clearing
14. Jasa penunjang dibidang penerbangan dan bandar udara
15. Jasa pengolahan termasuk pembuangan limbah
16. Jasa maklon
17. Jasa rekuritmen/penyediaan tenaga kerja.
18. Jasa perantara
19. Jasa dibidang perdagangan surat sura berharga, kecuali yang dilakukan oleh BEJ,
KSEI, KPEI.
20. Jasa kustodian/penyimpanan/penitipan kecuali yang dilakukan oleh KSEI dan tidak
termasuk sewa gudang yang dikenakan PPh final berdasarkan PP Nomor 29 Tahun
1996.
21. Jasa telekomunikasi bukan untuk umum
22. Jasa pengisian sulih suara (dubbing) dan atau mixing film.
23. Jasa pemanfaatan informasi dibidang teknologi, termasuk jasa internet.
24. Jasa sehubungan dengan software komputer, termasuk perawatan/pemeliharaan dna
perbaikan.
25. Jasa pelaksanaan konstruksi, termasuk jasa perawatan/pemeliharaan/perbaikan
bangunan, jasa instalasi/pemasangan mesin, listrik/telepon/air/gas/AC/TV kabel,
sepanjang jasa tersebut dilakukan wajib pajak yang ruang lingkup pekerjaannya di
bidang konstruksi dan mempunyai izin/sertifikasi sebagai pengusaha konstruksi.
26. Jasa perencanaan konstruksi
27. Jasa pengawasan konstruksi
90
28. Jasa pembasmian hama dan jasa pembersihan
29. Jasa katering
30. Jasa selain jasa-jasa tersebut diatas yang pembayarannya dibebankan pada APBD atau
APBN.
Yang dilakukan oleh wajib pajak dalam negeri dan Bentuk usaha tetap, selain yang telah
dipotong PPh pasal 21.
PPh Pasal 23 = 15% x Perkiraan Penghasilan Netto x Bruto
Besarnya perkiraan penghasilan netto adalah sebagai berikut:
1. Sebesar 50% atas imbalan sehubungan dengan:
a. Jasa profesi
b. Jasa konsultan, kecuali konsultan konstruksi
c. Jasa akuntansi dan pembukuan
d. Jasa penilai
e. Jasa aktuaris
2. Sebesar 40% atas imbalan sehubungan dengan:
a. Jasa teknik dan jasa manajemen
b. Jasa perancang/desain
c. Jasa instalasi/pemasangan
d. Jasa perawatan/pemeliharaan/perbaikan
3. Sebesar 13 1/3% atas imbalan sehubungan dengan:
Jasa pelaksanaan konstruksi, termasuk jasa perawatan/perbaikan/pemeliharaan
bangunan, jasa instalasi/pemasangan mesin, listrik/telepon/air/gas/AV/TV kabel,
sepanjang jasa tersebut dilakukan wajib pajak yang ruang lingkup pekerjaannya di
bidang konstruksi dna mempunyai izin/sertifikasi sebagai pengusaha konstruksi.
4. Sebesar 26 2/3 % atas imbalan sehubungan dengan:
a. Jasa perencanaan konstruksi
b. Jasa pengawasan konstruksi
5. Sebesar 10% atas imbalan sehubungan dengan:
a. Jasa pembasmian hama dan jasa pembersihan
b. Jasa katering
c. Jasa selain yang tersebut diatas yang pembayarannya dibebankan pada APBN atau
APBD.
91
Contoh 6:
a. PT. Pilar Utama yangbaru berdiri meminta jasa dari Cv. Konsultindo untuk membuat
sistem akuntansi perusahaan dengan imbalan sebesar Rp. 10.000.000,00, PPh pasal 23
yang dipotong oleg PT. Pilar Utama adalah sebesar: 15% x 50% x Rp. 10.000.000,00
= Rp. 750.000,00
b. Fa. Duta Bangsa meminta jasa dari PT. makmur Promosindo yang merupakan agen
periklanan untuk merancang ucapan ikut berduka cita atas musibah gempa bumi di
Yogyakarta dan memuatnya disbeuah surat kabar setempat dengan imbalan Rp.
5.000.000,00
PPh pasal 23 yang dipotong Fa. Duta Bangsa adalah sebesar: 15% x 40% x Rp.
5.000.000,00 = Rp. 300.000,00
c. Yayasan Anak Sholeh membangun sbeuah gedung tiga lantai dengan masing-masing
rekanan dan nilai kontrak sebagai berikut:
PT. Rancang Bangun sebagai perencana konstruksi dengan nilai kontrak Rp.
1.200.00.000,00
PT. Winata Karya sebagai pelaksana konstruksi dengan nilai kontrak Rp.
10.000.000.000,00
PT. Pengawas Jaya sebagai pengawas konstruksi dengan nilai kontrak Rp.
1.100.000.000,00
PPh pasal 23 yang dipotong oleh Yayasan anak sholeh adalah sebagai berikut:
Dipotong terhadap PT. Rancang Bangun 15% x 26 2/3% x Rp. 1.200.000.000,00
= Rp. 48.000.000,00
Dipotong terhadap PT. Winata Karya 15% x 13 1/3% x Rp. 10.000.000.000,00 =
Rp. 200.000.000,00
Dipotong terhadap PT. Pengawas Jaya 15% X 26 2/3% X Rp. 1.100.000.000,00 =
Rp. 44.000.000,00
d. CV. Terang Abadi mengikat kontrak dengan PT. Almaidah yang merupakan
perusahaan Katering makanan untuk menyediakan makanan siang bagi karyawan
perusahaan tersebut selama satu tahun dengan nilai kontrak sebesar Rp.
100.000.000,00
PPh Pasal 23 yang dipotong adalah sebesar: 15% x 10% x Rp. 100.000.000,00 = Rp.
1.500.000,00
92
PAJAK PENGHASILAN PASAL 24
1. Dasar Hukum
UU No. 7 Tahun 1983 Tentang PPh, terakhir dengan UU No. 36 Tahun 2008
2. Pengertian PPh Pasal 24
PPh Pasal 24 adalah salah satu jenis pelunasan PPh dalam tahun berjalan yang merupakan
pajak yang dibayar atau terutang di luar negeri atas penghasilan dari luar negeri yang
diterima atau diperoleh WP dalam negeri boleh dikreditkan terhadap pajak yang terutang
berdasarkan UU PPh dalam tahun pajak yang sama.
3. Pengertian Umum
Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 24 adalah pajak yang terutang atau dibayarkan di luar
negeri atas penghasilan yang diterima atau diperoleh dari luar negeri yang dapat
dikreditkan terhadap penghasilan yang terutang atas seluruh penghasilan Wajib Pajak
Dalam Negeri (WPDN) boleh dikreditkan dengan pajak yang terutang dalam tahun pajak
yang sama, sebesar pajak yang dibayarkan diluar negeri tersebut tetapi tetapi tidak boleh
melebihi penghitungan pajak yang terutang berdasrakan UU No.10 Tahun 1994. Untuk
itu harus dicari batas maksimum kredit pajak luar negeri (KPLN).
13
Setelah mempelajari bab ini, mahasiswa diharapkan mampu memahami dan menjelaskandi depan kelas Tentang ;
Dasar Hukum Pengertian PPh Pasal 24 Pengertian Umum PPh Pasal 24 Permohonan Kredit Pajak Luar Negeri Penggabungan Penghasilan Penentuan Sumber Penghasilan Jumlah Kredit Pajak Yang diperbolehkan. Penghasilan Luar Negeri dari beberapa negara Kompensasi Kerugian diluar dan didalam negeri
93
Batas maksimum kredit pajak luar negeri (KPLN) diambil yang terendah dari ketiga
unsur berikut :
Jumlah pajak yang dibayar / terutang diluar negeri.
Penghasilan Luar Negeri x PPh terutang yang biasa digunakan penghasilan kena pajak.
Jumlah PPh terutang untuk seluruh penghasilan kena pajak, dalam hal pengasilan kena
pajaknya lebih kecil dari penghasilan luar negerinya.
Catatan :
Jika Pajak penghasilan Luar Negeri yang diminta untuk dikrediitkan itu ternyata
dikembalikan maka jumlah pajak yang terutang menurut UU ini harus ditambah dengan
jumlah tersebut pada tahun pengembalian tersebut dilakukan.
Jika Penghasilan Luar Negeribarasal dari beberapa negra maka jumlah maksimum
KPLN dihitung untuk masing-masing negara.
Untuk kerugian yang diderita diluar negeri tidak diperhitungkan dalam menghitung
penghasilan kena pajak. Penghasilan dari luar negeri untuk tahun-tahun berikutnya dapat
dikonpensasikan dengan kerugian tersebut.
Dalam hal pajak yang dibayarlkan diluar negeri lebih besar dari kredit pajak yang
diperkenakan (PPh Pasal 24), maka kelebihan tersebut tidak dapat diminta kembali
dikonpensasikan sebagai Pengurang penghasilan.
Cara mencari pajak penghasilan pasal 24 yang dapat dikreditkan di dalam negeri :
1. Cari Penghasilan Kena Pajak (PKP). PKP = PNDN ( Penghasilan Netto Dalam
Negeri) + PNLN ( Penghasilan Netto Luar Negeri)
2. Cari Pajak penghasilan Terutang (PPh Terutang) Dari Penghasilan Kena Pajak
(PKP)
3. Cari Pajak yang telah dibayar di Luar Negeri (% Pajak yang dikenakan diluar
Negeri x Besarnya Penghasilan di luar Negeri)
4. Cari Kredit Pajak Luar Negeri (KPLN) : KPLN = Penghailan Luar Negeri x PPh
terutang Penghasilan kena pajak
5. Bandingka antara pajak yang telah dibayar diLuar Negeri (Poin 3) dengan Kredit
Pajak Luar Negeri (Poin 4) lalu pilih yang terendah.
6. Jumlahkan Pion 5 untuk mencari besarnya PPh Pasal 24 yang dapat dikredikan.
94
Tujuannya adalah untuk meringankan beban pajak ganda yang dapat terjadi karena
pengenaan pajak atas penghasilan yang diterima atau diperoleh dari luar negeri.
pengkreditan pajak luar negeri tersebut dilakukan dalam Tahun Pajak digabungkan
antara penghasilan luar negeri dengan penghasilan di Indonesia.
4. Permohonan Kredit Pajak Luar Negeri
Untuk melaksanakan pengkreditan pajak luar negeri, Wajib Pajak wajib
menyampaikan permohonan kepada Direktur Jenderal Pajak dengan melampirkan
1. Laporan Keuangan dari penghasilan yang berasal dari luar negeri
2. Foto Copy Surat Pemberitahuan Pajak yang disampaikan di luar negeri
3. Dokumen pembayaran pajak di luar negeri
Permohonan kredit pajak luar negeri disampaikan bersamaan dengan penyampaian
Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan, namun dapat diperpanjang waktunya
oleh Dirjen Pajak berdasarkan permohonan dari Wajib Pajak.
5. Penggabungan Penghasilan
Penggabungan penghasilan yang berasal dari luar negeri dengan aturan sebagai berikut :
1. Untuk penghasilan dari usaha dilakukan dalam tahun pajak diperolehnya
penghasilan tersebut.
2. Untuk penghasilan lainnya dilakukan dalam tahun pajak diterimanya penghasilan
tersebut
3. Untuk penghasilan berupa dividen yang diperoleh Wajib Pajak dalam negeri atas
penyertaan modal sekurang-kurangnya 50% dari jumlah saham yang disetor, atau
secara bersama-sama dengan Wajib Pajak dalam negeri lainnya sekurang-
kurangnya 50% dari jumlah yang disetor pada badan usaha di luar negeri yang
sahamnya tidak diperdagangkan di bursa efek, dilakukan dalam tahun pajak pada
saat diperoleh dividen tersebut.
95
Contoh :
1. Hasil usaha di Filipina dalam Tahun Pajak 2005 sebesar Rp. 600.000.000,-
2. Dividen atas pemilikan saham di Cicago Ltd di USA sebesar Rp. 400.000.000,-
yaitu berasal dari keuntungan tahun 2004 yang ditetapkan dalam RUPS dan
dibayar tahun 2005
3. Dividen atas penyertaan saham sebanyak 75% pada Smith Corporation di
Australia yang sahamnya tidak diperdagangkan di bursa efek sebesar Rp.
80.000.000,- yaitu berasal dari keuntungan saham 2004 yang berdasarkan
Kepmenkeu ditetapkan diperoleh tahun 2005.
4. Bunga kwartal IV tahun 2004 sebesar Rp. 200.000.000,- dari Malaysia yang baru
akan diterima bulan Mei Tahun 2005.
Dari penghasilan yang bersumber dari luar negeri di atas, maka penghasilan yang
digabungkan dengan penghasilan dalam negeri untuk tahun 2004 adalah butir a s/d c,
sedangkan butir d digabungkan dengan penghasilan dalam negeri tahun 2005.
6. Penentuan Sumber Penghasilan
Dalam menghitung batas jumlah pajak atas penghasilan yang dibayar atau
terutang di luar negeri yang boleh dikreditkan, perlu diperhatikan penentuan sumber
penghasilan sebagai berikut :
1. Penghasilan dalam saham dan sekuritas lainnya adalah negara tempat badan yang
menerbitkan saham atau sekuritas tersebut bertempat kedudukan
2. Penghasilan berupa bunga, royalti dan sewa sehubungan dengan penggunaan harta
bergerak adalah negara tempat pihak yang membayar atau dibebani bunga, royalti
atau sewa tersebut bertempat kedudukan atau berada
3. Penghasilan berupa sewa sehubungan dengan penggunaan harta tak gerak adalah
negara tempat harta tersebut terletak
4. Penghasilan berupa imbalan sehubungan dengan jasa, pekerjaan, dan kegiatan adalah
negara tempat pihak yang membayar atau dibebani imbalan tersebut bertempat
kedudukan atau berada
5. Penghasilan bentuk usaha tetap adalah negara tempat bentuk usaha tetap tersebut
menjalankan usaha atau melakukan kegiatan
96
7. Jumlah Kredit Pajak yang diperbolehkan
Jumlah kredit pajak luar negeri yang diperbolehkan hanya atas pajak yang
langsung dikenakan atas penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak dari luar
negeri, dan setinggi tingginya sama dengan jumlah pajak yang dibayar atau terutang di
luar negeri, tetapi tidak boleh melebihi jumlah yang dihitung menurut perbandingan
antara penghasilan dari luar negeri terhadap penghasilan Kena Pajak dikalikan dengan
pajak yang terutang atas penghasilan kena pajak, atau setinggi-tingginya sama dengan
pajak yang terutang atas penghasilan Kena Pajak dalam hal penghasilan Kena Pajak lebih
kecil dari penghasilan luar negeri.
Contoh :
PT Lestari berkedukan di Semarang, mempunyai penghasilan kena paja dari
Indonesia sebesar Rp. 130.000.000,- dan penghasilan kena pajak dari Jepang sebesar Rp.
70.000.000,-. Hitunglah kredit pajak jika tarif yang berlaku di Jepang 10%.
PPh berdasarkan tarif Pasal 17 :
10% x Rp. 50.000.000,- = 5.000.000,-
15% x Rp. 50.000.000,- = 7.500.000,-
30% x Rp. 100.000.000,- = 30.000.000,-
PPh 42.000.000,-
PPh yang dibayar di Jepang 10% x 70.000.000,- = Rp. 7.000.000,-
Bagian penghasilan di Korea :
( Rp. 70.000.000,-/Rp. 200.000.000,- ) x Rp. 42.500.000,- = Rp. 14.875.000,-
Kredit pajaknya adalah mana yang lebih kecil antara PPh dibayar di luar negeri dengan
bagian penghasilan di negara tersebut yaitu sebesar Rp. 7.000.000,-
97
Penghasilan Luar Negeri Berasal dari Beberapa Negara
Apabila penghasilan luar negeri berasal dari beberapa negara, maka jumlah maksimum kredit
pajak luar negeri dihitung sama dengan perhitungan tersebut di atas.
Contoh :
PT Buana berkedudukan di Semarang, mempunyai Penghasilan Kena Pajak dari :
Indonesia = Rp. 200.000.000,-
Brunei Darussalam = Rp. 200.000.000,- ( tarif yang berlaku 10%)
Filipina = Rp. 100.000.000,- ( tarif yang berlaku 20%)
Singapura = Rp. 200.000.000,- ( tarif yang berlaku 30%)
Berapa kredit pajak masing-masing negara ?
Berapa PPh yang harus dibayar di Indonesia ?
Jumlah Penghasilan Rp. 700.000.000,-
PPh berdasarkan tarif Pasal 17 :
10% x Rp. 50.000.000,- Rp. 5.000.000,-
15% x Rp. 50.000.000,- Rp. 7.500.000,-
30% x Rp.600.000.000,- Rp. 180.000.000,-
Jumlah Rp. 192.500.000,-
1. Brunei darussalam :
PPh yang dibayar 10% x Rp. 200.000.000,- = 20.000.000,-
Bagian penghasilan :
( Rp. 200.000.000,- / 700.000.000,- ) x Rp. 192.500.000 = Rp. 55.000.000,-
Kredit Pajak = Rp. 20.000.000,-
98
2 Filipina :
PPh yang dibayar 20% x Rp. 100.000.000 = Rp. 20.000.000,-
Bagian penghasilan :
( Rp. 100.000.000,- / 700.000.000,- ) x Rp. 192.500.000 = Rp. 27.500.000,-
Kredit Pajak = Rp. 20.000.000,-
3 Singapura :
PPh yang dibayar 30% x Rp. 200.000.000 = Rp. 60.000.000,-
Bagian penghasilan :
( Rp. 200.000.000,- / 700.000.000,- ) x Rp. 192.500.000 = Rp. 55.000.000,-
Kredit Pajak = Rp. 55.000.000,-
PPh yang harus dibayar di Indonesia :
Rp. 192.500.000,- – Rp. 20.000.000,- – Rp. 55.000.000,- = Rp. 97.500.000,-
Kompensasi Kerugian di Luar Negeri dan di Dalam Negeri
Dalam menghitung Penghasilan Kena Pajak, kerugian yang diderita di luar negeri tidak boleh
digabungkan atau dikompensasikan dengan penghasilan yang diterima atau diperoleh di
Indonesia.
Sedangkan kerugian yang diderita di dalam negeri boleh digabungkan atau dikompensasikan
dengan penghasilan yang diterima atau diperoleh di luar negeri.
99
Contoh :
PT ABC mempunyai penghasilan dari :
Indonesia = Rp. 200.000.000,-
Inggris = Rp. 300.000.000,- (tarif berlaku 25%)
Belanda = Rp. 200.000.000,- rugi (tarif berlaku 10%)
Swedia = Rp. 200.000.000,- (tarif berlaku 10%)
PPh pasal 17 :
10% x Rp. 50.000.000,- = Rp. 5.000.000,-
15% x Rp. 50.000.000,- = Rp. 7.500.000,-
30% x Rp. 600.000.000,- = Rp. 180.000.000,-
= Rp. 192.500.000,-
PT MA berkedudukan di Jakarta, mempunyai PKP dari :
Indonesia = Rp. 200.000.000,- Rugi
Singapura = Rp. 300.000.000,- ( Tarif yang berlaku 20%)
Malaysia = Rp. 200.000.000,- ( Tarif yang berlaku 10%)
Hongkong = Rp. 400.000.000,- ( Tarif yang berlaku 15%)
PPh Pasal 17 :
10% x Rp. 50.000.000,- = Rp. 5.000.000,-
15% x Rp. 50.000.000,- = Rp. 7.500.000,-
30% x Rp. 600.000.000,- = Rp. 180.000.000,-
= Rp. 192.500.000,
100
PAJAK PENGHASILAN PASAL 25
(PPh PASAL 25)
1. Dasar Hukum
UU No. 7 Tahun1983 Tentang PPh, terakhir dengan UU No. 36 Tahun 2008
2. Pengertian PPh Pasal 25
PPh Pasal 25 adalah salah satu jenis pelunasan PPh dalam tahun pajak berjalan yang
pembayarannya oleh WP sendiri yang dilakukan setiap bulan/masa lain, yang merupakan
angsuran PPh dalam tahun berjalan yang boleh dikreditkan terhadap PPh yang bersangkutan,
kecuali pembayaran PPh yang bersifat final.
3. PPh 25 dalam Tahun Berjalan
A. Besarnya angsuran PPh Pasal 25
Sebesar PPh yang terutang menurut SPT Tahunan PPh tahun pajak yang lalu dikurangi
dengan: (a) PPh yang dipotong menurut Pasal 27 dan Pasal 23 UU PPh, serta PPh yang
dipungut sesuai dalam Pasal 22 UU PPh. (b) PPh yang dibayar dan terutang di luar negeri
dikreditkan sesuai dengan Pasal 24 UU PPh, dibagi 12 atau banyaknya bulan dalam
bagian tahun pajak. Ketentuan ini mengatur tentang penghitungan besarnya angsuran
bulanan yang harus di bayar oleh WP sendiri dalam tahun berjalan.
Contoh berdasarkan penjelasan Pasal 25 ayat (1) UU PPh:
PPh terutang berdasarkan SPT PPh 2009 Rp. 50.000.000
Dikurangi:
PPh yang dipotong pemberi kerja (Pasal 21) Rp. 15.000.000
PPh yang dipungut oleh pihak lain (Pasal 22) Rp. 10.000.000
14
Setelah mempelajari bab ini, mahasiswa diharapkan mampu memahami dan menjelaskandi depan kelas Tentang ;
Dasar Hukum PPh Pasal 25 Pengertian PPh Pasal 25
PPh Pasal 25 dalam tahun berjalan Angsuran PPh Pasal 25 dalam hal tertentu Angsuran PPh Pasal 25 dalam WP tertentu Angsuran PPh Pasal 25 dalam hal WP tidak mempunyai NPWP berpergian ke
Luar Negeri.
Pengeculian Objek Pemotongan PPh Pasal 23
101
PPh yang dipotong oleh pihak lain (Pasal 23) Rp. 2.500.000
Kredit PPh luar negeri (Pasal 24) Rp. 7.500.000
Jumlah kredit pajak Rp. 35.000.000
Selisih (Rp. 50.000.000-Rp. 35.000.000) Rp. 15.000.000
Besarnya angsuran pajak yang harus dibayar sendiri setiap bulan untuk tahun 2010 adalah
sebesar Rp. 15.000.000 di bagi 12 bulan = Rp. 1.250.000
B. Besarnya angsuran PPh Pasal 25 untuk bulan sebelim batas waktu penyampaian
SPT tahunan
Besarnya sama dengan angsuran pajak untuk bulan terakhir tahun pajak yang lalu
Contoh berdasarkan penjelasan Pasal 25 ayat (2) UU PPh
Apabila SPT tahunan PPh disampaikan oleh WP orang pribadi pada bulan Febuari 2010,
besarnya angsuran pajak yang harus dibayar WP tersebut untuk bulan Januari 2010 adalah
sebesar angsuran bulan Desember 2009. Apabila dalam bulan September 2009 diterbitkan
keputusan pengurangan angsuran pajak menjadi nihil sehingga angsuran pajak sejak
bulan Oktober sampai dengan Desember 2009 menjadi nihil, besarnya angsuran pajak
yang harus dibayar WP untuk bulan Januari 2010 tetap sama dengan angsuran bulan
Desember 2009, yaitu nihil.
C. Besarnya angsuran PPh Pasal 25 apabila dalam tahun berjalan diterbitkan Surat
Ketetapan Pajak (SKP)
Perubahan angsuran pajak tersebut berlaku mulai bulan berikutnya setelah bulan
diterbitkannya surat ketetapan pajak.
4. Angsuran PPh Pasal 25 dalam hal-hal tertentu
Pada dasarnya besar pembayaran angsuran pajak oleh WP sendiri dalam tahun berjalan
sedapat mungkin diupayakan mendekati jumlah pajak yang akan terutang pada akhir
tahun. Oleh karena itu, berdasarkan ketentuan ini dalam hal-hal tertentu Dirjen, pajak
diberikan wewenang untuk melakukan penyesuaian.
Contoh berdasarkan penjelasan Pasal 26 ayat (6) UU PPh
Penghasilan PT X tahun 2009 Rp. 120.000.000
Sisa kerugian tahun sebelumnya yang
masih dapat dikompensasikan …………….. Rp. 150.000.000
Sisa kerugian yang belum
dikompensasikan tahun 2009 …………………. Rp. 30.000.000
102
Penghitungan PPh Pasal 25 tahun 2010 adalah :
Penghasilan yang dipakai dasar penghitungan angsuran PPh Pasal 25
= Rp. 120.000.000 – Rp. 30.000.000 = Rp. 90.000.000
PPh yang terutang : 28% x Rp. 90.000.000 = Rp. 25.200.000
Apabila pada tahun 2009 tidak ada PPh yang dipotong atau dipungut oleh pihak lain dan
pajak yang dibayar atau terutang di luar negeri sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 24,
besarnya angsuran pajak bulanan PT. X tahun 2010 = 1/12 x Rp.25.200.000 =
Rp.2.100.000
5. Angsuran PPh Pasal 25 bagi WP Tertentu
Menteri Keuangan menetapkan penghitungan besarnya angsuran pajak bagi:
a. WP baru;
b. Bank, BUMN, BUMD, WP masuk bursa dan WP lainnya yang berdasarkan ketentuan
peraturan perundang-undangan harus membuat laporan keuangan berkala
c. WP orang pribadi pengusaha tertentu dengan tarif paling tinggi 0,75% dari peredaran
bruto (Pasal 25 (7) UU PPh)
6. Angsuran PPh Pasal 25 WP orang pribadi yang tidak punya NPWP yang ke Luar
Negeri (Fiskal LN)
Menurut Peraturan Pemerintah (Pasal 28 (8) UU PPh), ketentuan bagi WP OP DN
yang tidak memiliki NPWP dan telah berusia 21 tahun yang bertolak ke luar negeri wajib
membayar pajak (Fiskal LN) berlaku sampai dengan tanggal 31 Desember 2010 (Pasal 25
(8a) UU PPh).
A. Penghitungan Besarnya Angsuran PPh Pasal 25 dalam hal-hal tertentu
Dengan pertimbangan bahwa sebagai pelaksanaan ketentuan Pasal 25 ayat (6) UU
PPh, Dirjen Pajak telah menetapkan Keputusan Direktur Jenderal Pajak
No.KEP.537/PJ/2000, yang mengatur PPh Pasal 25 dalam hal-hal tertentu, dengan
ketentuan sebagai berikut:
1. Angsuran PPh Pasal 25 WP Berhak Kompensasi Kerugian
Contoh menghitung PPh Pasal 25 = 1/12 x (Tarif PPh x (Peng. Neto Men.SPT Tahun
yang lalu – kompensasi kerugian)-Kredit Pajak (PPh Pasal 21, 22, 23, 24)
Dalam hal SPT tahunan PPh tahun pajak yang lalu atau dasar penghitungan lainnya
seperti tersebut dalam Pasal 2 ayat (2) KEP.537/PJ/2000 menyatakan rugi (lebih bayar
atau nihil), besarnya PPh Pasal 25 adalah nihil (Pasal 2 (3) KEP.537/PJ/2000)
2. Angsuran PPh Pasal 25 WP Memperoleh Penghasilan Tidak Teratur
103
Cara menghitung PPh Pasal 25 = 1/12 x (Tarif PPh x (Penghitungan Neto Menurut
SPT Tahunan PPh Tahun Pajak yang lalu-Penghitungan tidak teratur yang dilaporkan
dalam SPT tahunan tersebut) – Kredit Pajak (PPh Pasal 21, 22, 23, 24).
3. Angsuran PPh Pasal 25 WP yang SPT tahunan PPh tahun lalu disampaikan setelah
lewat batas waktu yang telah ditentukan (Pasal 4 KEP.537/PJ/2000)
4. Angsuran PPh Pasal 25 WP yang diberikan perpanjangan jangka waktu penyampaian
SPT tahunan PPh Adalah : PPh Pasal 25 = Penghitungan Angsuran PPh Pasal 25
berdasarkan SPT sementara
5. Angsuran PPh Pasal 25 WP Membetulkan Sendiri SPT Tahunan PPh Adalah : PPh
Pasal 25 = penghitungan kembali angsuran PPh pasal 25 berdasarkan SPT pembetulan.
6. Angsuran PPh Pasal 25 jika terjadi perubahan keadaan usaha/kegiatan WP Adalah : PPh
Pasal 25 = penghitungan kembali angsuran PPh Pasal 25 berdasarkan perkiraan
penghasilan yang akan diterima atau diperoleh untuk bulan-bulan yang tersisa dari
tahun pajak yang bersangkutan.
B. Penghitungan Besarnya Angsuran PPh Pasal 25 WP Baru, Bank, Sewa Guna
Usaha dengan Hak Opsi, WP BUMN/BUMD, WP OP Pengusaha Tertentu.
(KMK.522/KMK.04/2000, Jo.KMK.394/KMK.03/2001, Jo.KMK.84/KMK.03/2002)
1. Angsuran PPh Pasal 25 Untuk WP baru
WP baru adalah WP orang pribadi dan badan yang baru pertama kali memperoleh
penghasilan dari usaha atau pekerjaan bebas dalam tehun pajak berjalan (Pasal 1
(1)KMK-84?KMK.03/2002)
Cara menghitung:
- WP badan yang menyelenggarakan pembukuan : PPh Pasal 25 = 1/12 x (Tarif PPh x
Peng. Neto sebulan)
- WP badan yang melakukan pencatatan: PPh Pasal 25 = 1/12 x (Tarif PPh x norma
peng. x peredaran/penerimaan bruto sebulan disetahunkan)
- WP orang pribadi yang menyelenggarakan pembukuan: PPh Pasal 25 = 1/12 x [(Tarif
PPh x Peng. neto sebulan disetahunkan) – PTKP]
- WP orang pribadi yang melakukan pencatatan: PPh Pasal 25 = 1/12 x [(Tarif PPh x
norma peng. x peredaran/penerimaan bruto sebulan disetahunkan) – PTKP]
104
2. Angsuran PPh Pasal 25 untuk WP Bank dan Sewa Guna Usaha dengan Opsi
(Financial Lease)
Besarnya angsuran dalah sebesar PPh yang dihitung berdasarkan penerapan tarif umum
atas laba-rugi fiskal menurut laporan keuangan triwulan terakhir yang disetahunkan
dikurangi PPh Pasal 24 yang dibayar atau terutang di luar negeri untuk tahun pajak
yang lalu di bagi 12 (Pasal 3 (1) KMK.522/KMK.04/2000).
Cara menghitung:
- WP Lama bank dan sewa guna usaha dengan hak opsi: PPh Pasal 25 = 1/12 x [(Tarif
PPh x laba/rugi fiskal menurut laopran keuangan per triwulan terakhir disetahunkan)
– PPh Pasal 24 tahun pajak lalu]
- WP baru bank dan sewa guna usaha dengan hak opsi: PPh Pasal 25 = 1/12 x (Tarif
PPh x Perkiraan laba/rugi fiskal triwulan pertama yang disetahunkan).
3. Angsuran PPh Pasal 25 untuk BUMN dan BUMD
Besarnya adalah sebesar PPh yang dihitung berdasarkan penerapan tarif umum atas
laba-rugi fiskal menurut Rencana Kerja dan Anggaran Pendapatan (RKAP) tahun pajak
yang bersangkutan yang telah disahkan Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS)
dikurangi dengan pemotongan dan pemungutan PPh Pasal 22 dan Pasal 23 serta PPh
Pasal 24 yang dibayar atau terutang di luar negeri tahun pajak yang lalu, dibagi 12
(Pasal 4 (1) KMK.522/KMK.04/2000)
Cara menghitung:
- Rencana Kerja dan Anggaran Pendapatan (RKAP) telah disahkan: PPh Pasal 25 =
1/12 x [(Tarif PPh x Laba/Rugi Fiskal cfm RKAP tahun pajak yang bersangkutan) –
Kredit Pajak (PPh Pasal 22, 23, 24)]
- Rencana Kerja dan Anggaran Pendapatan (RKAP) belum disahkan: PPh Pasal 25 =
Angsuran PPh Pasal 25 bulan terakhir tahun pajak sebelumnya.
4. Angsuran PPh Pasal 25 untuk WP Orang Pribadi Pengusaha Tertentu
- WP pengusaha tertentu adalah WP yang melakukan kegiatan usaha di bidang
perdagangan grosir dan atau eceran barang konsumsi melalui tempat usaha/gerai
(outlet) yang tersebar dibeberapa lokasi, tidak termasuk perdagangan kendaraan
bermotor dan restoran. (Pasal 1 (2) KMK.84/KMK.03/2002)
- Besarnya yaitu yang mempunyai tempat usaha di lebih dari satu pusat
perdagangan/pusat perbelanjaan (mal, plaza, dll), ditetapkan sebesar 2% dari jumlah
peredaran bruto setiap bulan (Pasal 5 KMK.84/KMK.03/2002)
Perubahan:
105
Mulai tanggal 1 Januari 2009, berdasarkan Pasal 25 Ayat (7) huruf (c) UU PPh
dinyatakan: WP OP pengusaha tertentu dengan tarif paling tinggi 0,75% dari peredaran
bruto.
F. Ketentuan Pelaksanaan Pengenaan PPh Pasal 25 bagi WP Orang Pribadi
Pengusaha Tertentu (KEP-171/PJ/2002)
Yang mulai berlaku 1 April 2002, dengan ketentuan sebagai berikut:
1. WP OP Pengusaha Tertentu: adalah WP yang melakukan kegiatan usaha di bidang
perdagangan grosir dan atau eceran barang-barang konsumsi melalui tempat usaha/gerai
(outlet) yang tersebar dibeberapa lokasi, tidak termasuk perdagangan kendaraan bermotor dan
restoran.
2. Kewajiban: WP wajib mendaftarkan diri untuk memperoleh NPWP di Kantor Pelayanan
Pajak yang wilayah kerja dan di Kantor Pelayanan Pajak tempat tinggal WP (KPP domisili);
ketentuan juga berlaku dalam hal tempat usaha/gerai (outlet) dan tempat tinggal WP yang
bersangkutan berada dalam wilayah kerja Kantor Pelayanan Pajak yang sama.
3. PPh Pasal 25: besarnya angsuran PPh Pasal 25 sebesar 2% dari jumlah peredaran bruto
berdasarkan pembukuan atau pencatatan setiap bulan, yang dibayarkan atas nama dan NPWP
masing-masing tempat usaha/gerai (outlet)
4. Pembayaran PPh Pasal 25 tersebut merupakan: pelunasan pajak penghasilan yang
terutang; Kredit Pajak atas PPh yang terutang yang bersifat tidak final.
5. Perlakuan kompensasi kerugian tahun-tahun sebelumnya.
6. Wajib SPT Tahunan PPh: WP OP pengusaha tertentu wajib menyampaikan SPT tahunan
PPh dengan melampirkan daftar jumlah penghasilan dan pembayaran PPh Pasal 25 dari
masing-masing tempat usaha/gerai (outlet)
7. WP mendapatkan penghasilan lain
8. SPT Masa, Surat Setoran Pajak, dan Surat Tagihan.
106
Contoh Surat Pemberitahuan (SPT) Masa PPh Pasal 25 WP Orang Pribadi Pengusaha
Tertentu, berdasarkan Lampiran I Keputusan Dirjen Pajak Nomor KEP-171/PJ/2002,
Nama.......................................................(1)
NPWP......................................................(2)
Alamat.....................................................(3)
Daftar Jumlah Penghasilan dan Pembayaran PPh Pasal 25
No. NPWP tempat
usaha/gerai (outlet)
KPP lokasi
Alamat Penghasilan PPh Pasal
25 dibayarPeredaran
Usaha
(perdagangan)
Penghasilan
Lain
(4) (5) (6) (7) (8) (9)
Jumlah
Tanda Tangan, nama, dan Cap
.............................................(10)
Petunjuk Pengisian
Daftar Jumlah Penghasilan dan Pembayaran PPh Pasal 25
Angka 1 : Diisi dengan Nama Wajib Pajak yang terdaftar pada KPP Domisili
Angka 2 : Diisi dengan NPWP pada KPP Domisili
Angka 3 : Diisi dengan Alamat tempat usaha/gerai (outlet) yang terdaftar pada KPP
Domisili
Angka 4 : Cukup Jelas
Angka 5 : Diisi dengan NPWP pada KPP Lokasi
Angka 6 : Diisi dengan Alamat tempat usaha/gerai (outlet) yang terdaftar pada KPP Lokasi
Angka 7 : Diisi dengan jumlah penghasilan tetap yang berasal dari peredaran usaha
(perdagangan)
Angka 8 : Diisi dengan jumlah penghasilan lain yang diterima/diperoleh oleh Wajib Pajak
yang dikenakan PPh yang bersifat tidak final
Angka 9 : Diisi dengan jumlah PPh Pasal 25 yang telah dibayar dan dilaporkan pada
masing-masing KPP Lokasi
Angka 10 : Diisi dengan tanda tangan, nama, dan cap Wajib Pajak.
107
Contoh Surat Pemberitahuan (SPT) Masa PPh Pasal 25 WP Orang Pribadi Pengusaha
Tertentu, berdasarkan Lampiran II Keputusan Dirjen Pajak
Nomor KEP-171/PJ/2002
DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
DIREKTORAT JENDERAL PAJAK
KANTOR PELAYANAN PAJAK...................................(1)
Lembar ke-1 : untuk Kantor Pelayanan Pajak
Lembar ke-2 : untuk arsip Wajib Pajak
SURAT PEMBERITAHUAN MASA PAJAK PENGHASILAN PASAL 25
WAJIB PAJAK ORANG PRIBADI PENGUSAHA TERTENTU
Bulan..............................Tahun..................................(2)
Nama : ....................................................(3)
NPWP : ...................................................(4)
Alamat : ..................................................(5)
No. Uraian Jumlah (Rp) Tarif PPh Pasal 25 Terutang
(Rp)
1 2 3 4 5
(6) (7) (8) (9) (10)
1.
2.
Penghasilan Tetap
Peredaran Usaha
(Perdagangan)
....................................
Penghasilan Lain
....................................
2%
PPh sebesar Rp....................(........................................................................) (11) telah disetor
Pada tanggal ...............(12) di ..................................................(13)
...................................(14)
Tanda tangan, nama dan cap
.............................(15)
108
Perhatian: Lampirkan Lembar ke-3 Surat Setoran Pajak atas jumlah pada kolom 5
Petunjuk Pengisian
SURAT PEMBERITAHUAN MASA PAJAK PENGHASILAN PASAL 25
WAJIB PAJAK ORANG PRIBADI PENGUSAHA TERTENTU
Angka 1 : Diisi dengan nama Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar
Angka 2 : Diisi dengan bulan dan tahun masa pelaporan Surat Pemberitahuan
Angka 3 : Diisi dengan nama Wajib Pajak yang terdaftar pada KPP yang bersangkutan
Angka 4 : Diisi dengan NPWP pada KPP yang bersangkutan
Angka 5 : Diisi dengan Alamat tempat usaha/gerai (outlet) yang terdaftar pada KPP yang
bersangkutan
Angka 6 : Cukup Jelas
Angka 7 : Diisi dengan uraian tentang penghasilan yang diterima/diperoleh Wajib Pajak baik
penghasilan tetap yang berasal dari peredaran usaha perdagangan atau lainnya dan
uraian tentang penghasilan lain yang dikenakan PPh yang bersifat tidak final
Angka 8 : Diisi dengan jumlah penghasilan lain yang diterima/diperoleh oleh Wajib Pajak
Angka 9 : Cukup Jelas
Angka 10 : Diisi dengan jumlah PPh Pasal 25 yang telah dibayar
Angka 11 : Diisi dengan jumlah PPh Pasal 25 sesuai dengan jumlah kolom (5) dalam bentuk
angka dan huruf latin
Angka 12 : Diisi dengan tanggan pembayaran PPh Pasal 25
Angka13 : Diisi dengan tempat pembayaran PPh Pasal 25
Angka 14 : Diisi dengan tempat dan tanggal lapor SPT Masa PPh Pasal 25
Angka 15 : Diisi dengan tanda tangan, nama dan cap Wajib Pajak.
Contoh berdasarkan Lampiran III Keputusan Dirjen Pajak Nomor KEP-171/PJ/2002.
Contoh penghitungan Angsuran PPh Pasal 25 Wajib Pajak Orang Pribadi Pengusaha
Tertentu yang Menerima atau Memperoleh Penghasilan Lain:
Penghitungan besarnya angsuran PPh Pasal 25 atas penghasilan lain yang diterima atau
diperoleh Wajib Pajak untuk bulan-bulan sebelum batas waktu penyampaian SPT Tahunan
Pajak Penghasilan (Berdasarkan SPT Tahunan tahun sebelumnya)
109
Tabel 1.9
PPh Terutang Sebelum dan Sesudah Koreksi Fiskal di Luar Negeri :
PPh Lebih Bayar
Uraian Perdagangan
(Rp)
Penghasilan
Lain (Rp)
Jumlah
(Rp)
Peredaran Bruto
Harga Pokok dan Biaya Lain
Penghasilan Neto
PTKP (K/2)
Penghasilan Kena Pajak
PPh Terutang (Tarif Ps.17 UU PPh)
Kredit Pajak (1%xRp.600.000.000)
PPh Kurang Bayar
Besar Angsuran (1/2x23.450.000)
Besar Angsuran Untuk Penghasilan Lain
(800.000.000/180.000.000)x1.954.167
600.000.000
(500.000.000)
100.000.000
200.000.000
(120.000.000)
80.000.000
800.000.000
(620.000.000)
180.000
(7.200.000)
172.000.000
29.450.000
(6.000.000)
23.450.000
1.954.167
868.518*
*Penghasilan Lain Neto x Besar Angsuran Menurut SPT
Total Penghasilan Neto
Perubahan Tarif
Perubahan tarif PPh Pasal 25 WP OP Pengusaha Tertentu Mulai Berlaku Tanggal 1
Januari 2009. PPh Pasal 25 WP Orang Pribadi Pengusaha Tertentu Menurut UU No. 36
Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat Atas UU No. 7 Tahun 1983 tentang Pajak
Penghasilan, adalah:
Mulai tanggal 1 Januari 2009, berdasarkan Pasal 25 ayat (7) huruf c UU PPh, dinyatakan:
WP orang pribadi pengusaha tertentu dengan tarif paling tinggi 0,75% dari peredaran bruto.
110
Pajak Penghasilan Pasal 26
(PPh) Pasal 26
1. Pengertian
Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 26 adalah penerapan dari azas sumber yang dianut
dalam ketentuan Pajak Penghasilan di Indonesia. Yang berdasarkan azas sumber,
penghasilan yang bersumber dari Indonesia yang dinikmati oleh orang atau badan di luar
Indonesia, bisa dikenakan pajak di Indonesia.
(PPh) Pasal 26 diatur berdasarkan ketentuan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983
sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 36 Tahun 2008
(Undang-undang Pajak Penghasilan 1984),. Ketentuan Pasal 26 ayat (1) diubah dan
ditambah 2 (dua) huruf, yakni huruf g dan huruf h, ayat (2) sampai dengan ayat (5)
diubah, di antara ayat (1) dan ayat (2) disisipkan 1 (satu) ayat, yakni ayat (1a), serta di
antara ayat (2) dan ayat (3) disisipkan 1 (satu) ayat, yakni ayat (2a) sehingga Pasal 26
berbunyi sebagai berikut:
2. Pemotong PPh Pasal 26
Berdasarkan ketentuan Pasal 26 ayat (1) Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983
sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 36 Tahun 2008
(Undang-undang Pajak Penghasilan 1984), pemotong Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 26
ayat (1) adalah :
15
Setelah mempelajari bab ini, mahasiswa diharapkan mampu memahami dan menjelaskandi depan kelas Tentang ;
Pengertian PPh Pasal 26 Pemotong PPh Pasal 26 Pihak yang dipotong PPh Pasal 26 Penghasilan yang dipotong PPH Pasal 26 Tarif dan dasar Pengenaan Tata cara Penyetoran dan Pelaporan PPh Pasal 26 ayat (4) (Atas Penghasilan Kena Pajak BUT)
111
a. Badan Pemerintah
Tidak ada penjelasan dalam Undang-undang Pajak Penghasilan tentang arti Badan
Pemerintah ini. Namun demikian, tidak sulit untuk mengartikan bahwa yang dimaksud
dengan Badan Pemerintah adalah Pemerintah negara Republik Indonesia dan Pemerintah
Daerah di Indonesia beserta instansi-instansi di bawahnya.
b. Subjek Pajak Badan dalam negeri
Berdasarkan Pasal 2 ayat (3) huruf b Undang-undang Pajak Penghasilan 1984, subjek
pajak badan dalam negeri adalah badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di
Indonesia. Istlah didirikan mengandung arti bahwa badan tersebut didirikan berdasarkan
ketentuan hukum di Indonesia. Sementara itu istilah bertempat kedudukan menunjukkan
bahwa badan tersebut memiliki efektif manajemen di Indonesia di mana pengambilan
keputusan-keputusan penting tentang badan tersebut dilakukan di Indonesia.
Pengertian badan sendiri berdasarkan Pasal 2 ayat (1) huruf b Undang-undang Pajak
Penghasilan 1984 adalah sekumpulan orang dan/atau modal yang merupakan kesatuan
baik yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi
perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, badan usaha milik negara
atau badan usaha milik daerah dengan nama dan dalam bentuk apa pun, firma, kongsi,
koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa,
organisasi sosial politik, atau organisasi lainnya, lembaga, dan bentuk badan lainnya
termasuk kontrak investasi kolektif dan bentuk usaha tetap
c. Penyelenggara kegiatan
Penyelenggara kegiatan bisa berbentuk badan, orang pribadi atau kepanitiaan yang
melakukan suatu event atau kegiatan. Contoh penyelenggara kegiatan adalah orang
pribadi atau badan yang mengorganisir suatu acara seperti pertunjukkan, perlombaan,
seminar dan lain-lain.
112
d. Bentuk Usaha Tetap (BUT)
BUT adalah bagian dari Subjek Pajak luar negeri yang melakukan kegiatan di
Indonesia sehingga menerima atau memperoleh penghasilan yang bersumber dari
Indonesia. Walaupun termasuk Wajib Pajak luar negeri, pemenuhan hak dan kewajiban
BUT disamakan dengan pemenuhan hak dan kewajiban Wajib Pajak dalam negeri.
Pengertian BUT bisa kita temukan dalam Pasal 2 ayat (5) Undang-undang Pajak
Penghasilan, yaitu bentuk usaha yang dipergunakan oleh orang pribadi yang tidak
bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi yang berada di Indonesia tidak lebih dari
183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, dan
badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia untuk
menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di Indonesia, yang dapat berupa tempat
kedudukan manajemen, cabang perusahaan, kantor perwakilan, gedung kantor, pabrik,
bengkel dan lain-lain.
e. Perwakilan Perusahaan Luar Negeri Lainnya
Perwakilan perusahaan luar negeri lainnya selain BUT yang ada di Indonesia juga
merupakan pemotong PPh Pasal 23. Contohnya adalah RepresentativeOffice (RO) dari
perusahaan-perusahaan asing.
3. Pihak Yang Dipotong PPh Pasal 26
Beda dengan pemotongan jenis pajak lain, pemotongan PPh Pasal 26 dikenakan
terhadap Wajib Pajak luar negeri selain Bentuk Usaha Tetap.
Pengertian Wajib Pajak luar negeri bisa kita temukan dalam Pasal 2 ayat (4) huruf b
Undang-undang Pajak Penghasilan 1984. Pada ketentuan ini Subjek Pajak (juga Wajib
Pajak) luar negeri selain BUT adalah orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di
Indonesia, orang pribadi yang berada di Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan
puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, dan badan yang tidak
didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia, yang dapat menerima atau
memperoleh penghasilan dari Indonesia tidak dari menjalankan usaha atau melakukan
kegiatan melalui bentuk usaha tetap di Indonesia.
113
Jadi, Wajib Pajak luar negeri seperti ini mendapatkan penghasilan dari Indonesia
tanpa perlu melakukan kegiatan usaha di Indonesia melalui BUT. Misalnya warga
negara Singapura yang memiliki saham PT Indosat yang menerima penghasilan berupa
dividen dari PT Indosat.
Di sisi lain, pengenaan Pajak Penghasilan terhadap Wajib Pajak BUT adalah hampir
sama dengan Wajib Pajak dalam negeri melalui sistem self assesment pelaporan SPT
Tahunan.
4. Penghasilan Yang Dipotong PPh Pasal 26
Jenis-jenis penghasilan yang dipotong PPh Pasal 26 sebagaimana diatur dalam Pasal
26 ayat (1) Undang-undang Pajak Penghasilan adalah :
1. dividen;
2. bunga, termasuk premium, diskonto, dan imbalan sehubungan dengan
jaminan pengembalian utang;
3. royalti, sewa, dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan hartai;
4. imbalan sehubungan dengan jasa, pekerjaan, dan kegiatan;
5. hadiah dan penghargaan;
6. pensiun dan pembayaran berkala lainnya;
7. premi swap dan transaksi lindung nilai lainnya; dan/atau
8. keuntungan karena pembebasan utang
Perhatikan bahwa objek PPh Pasal 26 ayat (1) ini adalah mirip dengan objek
pemotongan PPh Pasal 21 dan PPh Pasal 23. Yang membedakannya dengan PPh Pasal
26 adalah bahwa penerima penghasilan yang dipotong PPh Pasal 26 adalah Wajib Pajak
luar negeri, sedangkan PPh Pasal 21 dan PPh Pasal 23 adalah Wajib Pajak dalam negeri.
5. Tarif dan Dasar Pengenaan
Tarif PPh Pasal 26 adalah tarif tunggal 20% dengan dasar pengenaan pajak nya
adalah jumlah bruto yang dibayarkan kepada Wajib Pajak luar negeri. Misalkan PT ABC
di Indonesia membayarkan dividen kepada Tuan X di negara Y sebesar Rp100 Juta,
maka PPh Pasal 26 yang harus dipotong adalah 20% x Rp100 Juta = Rp20 Juta.
114
Pengenaan PPh Pasal 26 juga tergantung kepada perjanjian perpajakan (P3B) dengan
negara lain. Biasanya dalam P3B ditentukan tarif yang lebih rendah untuk pemotongan
PPh Pasal 26 atas dividen, bunga, royalti dan/atau penghasilan lainnya. Apabila ada P3B,
maka ketentuan yang berlaku adalah ketentuan P3B bukan ketentuan domestik
berdasarkan Undang-undang Pajak Penghasilan Indonesia.
6. Tatacara Penyetoran dan Pelaporan
Pembeli sebagai Pemotong PPh Pasal 26 wajib memotong dan menyetorkan PPh
Pasal 26 yang terutang dengan menggunakan nama Wajib Pajak Luar Negeri yang
menjual atau mengalihkan harta paling lama tanggal 10 (sepuluh) bulan berikutnya
setelah bulan terjadinya transaksi pada Kantor Pos atau Bank Persepsi.
Atas pemotongan tersebut di atas, Pemotong PPh Pasal 26 wajib melaporkan pajak
yang dipotong kepada Kantor Pelayanan Pajak paling lama tanggal 20 (dua puluh) bulan
berikutnya.
Apabila ketentuan di atas tidak dipenuhi oleh Pemotong Pajak, maka kepadanya
dapat dikenakan sanksi sesuai ketentuan perundang-undangan. Misal atas keterlambatan
pembayaran akan dikenakan sanksi bunga dan atas keterlambatan pelaporan akan
dikenakan sanksi denda Pasal 7 KUP.
7. PPh Pasal 26 ayat (4) (Atas Penghasilan Kena Pajak BUT)
Berdasarkan Pasal 26 ayat (4) Undang-undang Pajak Penghasilan 1984, Pajak
Penghasilan Pasal 26 bisa dikenakan terhadap Penghasilan Kena Pajak sesudah
dikurangi pajak dari suatu bentuk usaha tetap (BUT) di Indonesia, kecuali penghasilan
tersebut ditanamkan kembali di Indonesia.
Objek PPh Pasal 26 Penghasilan Kena Pajak BUT ini berbeda dengan objek PPh
Pasal 26 yang lain karena pengenaannya sebenarnya tidak melalui witholding tax tapi
lebih melalui sistem self assesment dari BUT tersebut. Adapun ketentuan pelaksanaan
dari PPh Pasal 26 ayat (4) ini adalah Peraturan Menteri Keuangan Nomor
257/PMK.03/2008 tentang Perlakuan Perpajakan Atas Penghasilan Kena Pajak Sesudah
Dikurangi Pajak Dari Suatu Bentuk Usaha Tetap.
115
Penghasilan Kena Pajak sesudah dikurangi pajak dari suatu bentuk usaha tetap di
Indonesia dikenai pajak sebesar 20% (dua puluh persen), kecuali penghasilan tersebut
ditanamkan kembali di Indonesia.
Misalkan Penghasilan Kena Pajak BUT di Indonesia dalam tahun 2009 adalah sebesar
Rp17.500.000.000,00. Pajak Penghasilan yang terutang :
28% x Rp17.500.000.000,00 =Rp4.900.000.000,00
Penghasilan Kena Pajak setelah pajak adalah Rp12.600.000.000,00
(Rp.17.500.000.000,00 – Rp 4.900.000.000,00), sehingga Pajak Penghasilan Pasal 26
yang terutang adalah :
20% X Rp12.600.000.000 = Rp2.520.000.000,00
Namun apabila penghasilan setelah pajak sebesar Rp12.600.000.000,00 tersebut
ditanamkan kembali di Indonesia sesuai dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri
Keuangan, maka atas penghasilan tersebut tidak dipotong PPh Pasal 26.
Dalam hal persyaratan di atas tidak lagi dipenuhi, penghasilan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) ditetapkan sebagai Penghasilan Kena Pajak sesudah dikurangi
Pajak Penghasilan atas BUT bersangkutan terhitung sejak diperolehnya Penghasilan
Kena Pajak sesudah dikurangi Pajak Penghasilan tersebut dan dikenai sanksi sesuai
dengan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
Wajib Pajak BUT yang melakukan penanaman kembali wajib menyampaikan
pemberitahuan secara tertulis mengenai bentuk penanaman yang dilakukan kepada
Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar, dan dilampirkan pada Surat
Pemberitahuan Tahunan tahun pajak diterima atau diperolehnya penghasilan yang
bersangkutan.
116
8. Ketentuan P3B
Pengenaan Pajak Penghasilan atas Penghasilan Kena Pajak setelah pajak BUT ini
biasanya diatur juga dalam P3B. Nah, apabila diatur dalam P3B, maka ketentuan yang
berlaku adalah ketentuan P3B. Dengan demikian, jika perusahaan induk dari Wajib
Pajak BUT adalah penduduk dari negara mitra P3B Indonesia, besarnya tarif PPh Pasal
26 adalah sebagaimana ditentukan dalam P3B tersebut.
117
PAJAK PERTAMBAHAN NILAI dan
PAJAK PENJUALAN BARANG MEWAH ( PPN & PPnBM )
A. PENGERTIAN PPN & PPnBM
Pajak pertambahan nilai (PPN) adalah pajak tidak langsung atas konsumsi
Barang Kena Pajak (BKP) dan Jasa Kena Pajak (JKP) yang dilakukan di Dalam
Daerah Pabean. Pajak Konsumsi adalah pajak yang dikenakan atas pengurangan yang
ditujukan untuk konsumsi.
Pajak Pertambhan Nilai merupakan pajak tidak langsung, artinya atas beban
pajak yang timbul tersebut dialihkan kepada pihak lain, sepanjang pihka yang
mengalihkan pajak tersebut telah memnuhi syarat sebagai Pengusaha Kena Pajak
(PKP). Oleh karenanya pemungutan PPn selalu menyertai dalam setiap terjadinya
transaksi penyerahan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang dilakukan oleh
Pengusaha Kena Pajak.
Pemungutan Pajak Pertambahan Nilai (Value Added Tax / VAT) di Indonesia
dilakukan sejak tanggal 1 April 1985 berdasarkan Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak
Penjualan atas Barang Mewah. Undang-Undang tentang Pajak Pertambahan Nilai dan
Pajak Penjualan atas Barang Mewah sampai saat ini telah dilakukan beberapa kali
perubahan dengan perubahan terakhir pada Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009.
Perubahan undang-undang tersebut antara lain mencakup tentang kepastian
hukum, meningkatkan daya saing, menghindari pengenaan pajak berganda dengan
16
Setelah mempelajari bab ini, mahasiswa diharapkan mampu memahami dan menjelaskandi depan kelas Tentang ;
Pengertian PPN Karakteristik PPN Objek, Bukan Objek dan Tarif PPN Pengusaha kena Pajak dan kewajiban perpajaannya Kewajiban membangun sendiri dan perhitungn PPN nya Penjualan aktiva yang tujuan semula tidak untuk diperjual belikan & perhitngan Pemungut PPN Fasilitas di bidang PPN Penjuan atas barang mewah (PPNBM)
118
pajak daerah atas objek yang sama, penambahan fasilitas di bidang Pajak
Pertambahan Nilai, pemberi hak restitusi kepada turis asing, dan memberikan
perlakuan perlakuan yang sama atas jasa keuangan oleh siapapun, serta pengaturan
kembali mengenai ketentuan tentang tanggung renteng Pajak Pertambahan Nilai.
Perubahan-perubahan pada Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai dan
Pajak Penjualan atas Barang Mewah tersebut antara lain adalah sebagai berikut :
1. Dalam rangka merentalkan pembebanan PPN, menambah daya saing kegiatan jasa
(JKP) oleh Pengusaha Indonesia di luar daerah pabean, dan pemanfaatan Barang
Kena Pajak (BKP) Tidak Berwujud dari Indonesia di luar Daerah Pabean, maka
atas ekspor JKP dan BKP Tidak Berwujud tersebut dikenakan tarif PPn 0% (nol
persen).
2. Untuk memberikan kepastian hukum, pengaturan jenis barang dan jasa yang tidak
dikenakan PPN, yang semula diatur dengan Peraturan Pemerintah dinaikan ke
batang tubuh Undang-Undang PPN dan PPnBM.
3. Untuk menjamin ketersediaan bahan baku industri energi dalam negeri, barang
hasil pertambangan umum yang diambil langsung dari sumbernya termasuk
batubara tetap sebagai barang yang tidak dikenakan PPN.
4. Barang hasil pertanian yang diambil langsung dari sumbernya tetap sebagai BKP
yang pengenaan PPN-nya akan menggunakan mekanisme pedoman pengkreditan
Pajak Masukan (Deemed Pajak Masukan), yaitu mekanisme penetapan besarnya
Pajak Masukan yang dapat dikreditkan bagi Wajib Pajak tertentu, baik
berdasarkan omzet maupun kegiatan usaha (sektoral), yang bertujuan untuk
memberikan kemudahan Wajib Pajak dalam menghitung kewajiban PPn-nya.
5. Dalam upaya pemenuhan gizi rakyat Indonesia dengan harga yang terjangkau,
maka daging segar, telur yang belum diolah, susu perah, sayuran segar dan buah
buahan segar diterapkan sebagai barang kebutuhan pokok yang tidak dikenakan
PPN.
6. Untuk menghindari pengenaan Pajak berganda terhadap suatu objek pajak yang
sama, maka objek-objek tertentu yang sudah dikenakan pajak daerah dikecualikan
dari pengenaan PPN, yaitu barang hasil pertambangan galian C, makanan dan jasa
perhotelan, jasa boga atau catering.
7. Untuk memberika perlakuan yang sama, jasa keuangan yang dilakukan oleh
siapapun termasuk perbankan syariah ditetapkan sebagai bukan Jasa Kena Pajak
yang atas penyerahannya tidak dikenakan PPN.
119
8. Dalam rangka meringankan beban administrasi Wajib Pajak, maka saat
pembuatan Faktur Pajak adalah pada saat terutangnya pajak, yaitu pada saat
penyerahan, atau dalam hal pembayaran mendahului penyerahan maka Faktur
Pajak dibuat pada saat pembayaran. Dengan pengaturan ini Wajib Pajak tidak
perlu lagi membuat faktur penjualan (invoice) yang berbeda dengan Faktur Pajak.
9. Untuk membantu likuiditas Wajib Pajak, saat penyetoran PPN dan pelaporan SPT
masa PPN yang semula paling lambat tanggal 15 (lima belas) dan tanggal 20 (dua
puluh) setelah masa pajak berakhir sebagaimana diatur dalam UU KUP,
diperlonggar menjadi paling lambat akhir bulan berikut setelah Masa Pajak
berakhir. Karena Ketentuan ini tidak diatur dalam UU KUP, maka ketentuan
tersebut diatur di UU PPN dan PPnBM.
10. Dalam upaya memberikan kepastian hukum untuk memberikan penambahan
fasilitas perpajakan antara lain untuk :
o Perwakilan Negara Asing dan badan-badan Internasional;
o Impor dan Penyerahan BKP / JKP dalam rangka pelaksanaan proyek
Pemerintah yang dibiayai pinjaman / hibah / bantuan luar negeri;
o Listriuk dan Air;
o Kegiatan penanggulangan bencana alam nasional;
o Menjamin tersedianya angkutan umum diudara untuk mendorong kelancaran
perpindahan arus orang dan barang didaerah tertentu yang tidak tersedia
sarana transportasi lainnya yang memadai, dimana perbandingan antara
volume barang dan orang yang harus dipindahkan dengan sarana transportasi
yang tersedia sangat tinggi.
11. Pemberian restitusi Turis Asing diatur pengembalian PPN dan PPnBm-nya atas
barang bawaan yang dibawa ke luar Daerah Pabean oleh Orang Pribadi pemegang
paspor luar negeri (Turis Asing), dengan syarat nilai PPn minimal sebesar Rp.
500.000,00 (lima ratus ribu rupiah).
12. Pengaturan mengenai tanggung renteng PPN yang pada pembahasan KUP
diputuskan dihapus karena merupakan material, dimasukkan ke dalam UU PPN,
mengingat ketentuan ini masih sangat diperlukan untuk melindungi pembeli
maupun penjual.
13. Karena diperlukan waktu untuk mempersiapkan peraturan pelaksanaan undang-
undang ini penyempurnaan sistem dan prosedur, serta pelaksanaan sosialisasi baik
120
internal maupun eksternal, maka UU PPn dan PPnBM ini diberlakukan mulai 1
April 2010.
B. KARAKTERISTIK PPN
1. Pajak Objektif
Yang dimaksud dengan pajak objektif adalah suatu jenis pajak yang saat
timbulnya kewajiban pajak ditentukanoleh faktor kondisi objektif, yaitu
keadaan, peristiwa atau perubahan hukum yang dikenakan pajak juga disebut
dengan nama onjek pajak. Sebagai pajak objektif, timbulnya kewajiban untuk
membayar PPN ditentukan adanya Objek Pajak. Kondisi subjek pajaktidak
ikut menentukan.
2. Pajak Tidak Langsung
Sebagai Pajak Tidak Langsung, Pajak Pertambahan Nilai memiliki ciri-ciri
sebagai berikut :
a. Secara ekonomis, beban Pajak dialihkan kepada pihak lain, yaitu pihak
yang akan mengkonsumsi barang atau jasa yang menjadi Objek Pajak.
b. Secara juridis, tanggung jawab pembayaran pajak kepada Kas Negara
tidak berada ditangan pihak yang memikul beban pajak.
3. Multi Stage Tax
Multi Stage Tax adalak karakteristik PPn yang dikenakan pada setiap mata
rantai jalur produksi maupun jalur distribusi.Setiap penyerahan barang
menjadi objek PPN mulai tingkat Pabrikan kemudian ditingkat Pedagang
Besar atau Distributor sampai dengan tingkat Pedagang Pengecer (Retailer)
dikenakan PPN.
4. Tarif Tunggal
Secara umum tarif PPN 10% (sepuluh persen) atas penyerahan Barang Kena
Pajak atau Jasa Kena Pajak di Dalam Negeri dan 0% (nol persen) atas
transaksi ekspor.
5. Mekanisme Pemungutan PPN menggunakan Faktur Pajak
Dalam hal terjadinya penyerahan Barang Kena Pajak dan /atau Jasa Kena
Pajak maka Pengusaha Kena Pajak wajib memungut PPN yang terutang dan
memberikan faktur pajak sebagai bukti pungutan pajak. Dalam ketentuan yang
baru ini faktur pajak tidak perlu dibuat secara khusus atau berbeda dengan
faktur penjualan. Faktur Pajak dapat berupa faktur penjualan atau dokumen
121
tertentu yang ditetapkan sebagai Faktur Pajak oleh Direktur Jendral Pajak.
Faktur Pajak harus dibuat pada saat penyerahaan atau pada saat penerimaan
pembayaran, dalam hal pembayaran terjadinya sebelum penyerahan.
6. PPN adalah Pajak atas Konsumsi Dalam Negeri
Sebagai pajak atas konsumsi umum dalam negeri, PPNhanya dikenakan atas
konsumsi Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kewna Pajak yang dilakukan
didalam negeri. Sebagai pajak atas konsumsi sebenarnya tujuan akhir PPN
adalah mengenakan pajak atas pengeluaran untuk konsumsi, baik yang
dilakukan perseorangan maupun oleh badan baik badan swasta maupun badan
Pemerintah dalam belanja barang atau jasa yang dibebankan pada APBN.
C. OBJEK PPN
1. Barang Kena Pajak (BKP) didalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh
pengusaha;
Yang dimaksud dengan Barang Kena Pajak adalah barang berwujud yang
menurut sifat atau hukumannyadapat berupa barang bergerak atau barang tidak
bergerak, dan barang tidak berwujud yang dikenakan PPN.
Termasuk dalam pengertian penyerahan Barang Kena Pajak adalah :
a. Penyerahan hak atas Barang Kena Pajak karena suatu perjanjian;
b. Pengalihan Barang Kena Pajak karena suatu perjanjian sewa beli dan/atau
perjanjian sewa guna usaha (leasing);
c. Penyerahan Barang Kena Pajak kepada pedagang perantara atau memalui
juru lelang;
d. Pemakaian sendiri dan/atau pemberian cuma-cumaatas Barang Kena
Pajak;
e. Barang Kena Pajak berupa persediaan dan/atau aktiva yang menurut tujuan
semula tidak untuk dijualbelikan, yang masih tersisa saat pembubaran
perusahaan;
f. Penyerahan Barang Kena Pajak dari pusat (yaitu tempat tinggal atau
kedudukan Pengusaha Kena Pajak) ke cabang atau sebaliknya dan/atau
penyerahan Barang Kena Pajak antar cabang;
g. Penyerahan Barang Kena Pajak secara konsinyasi, dimana PPN harus
dibayar pada saat Barang Kena Pajak diserahkanuntuk dititipkan dan
apabila barang tersebut tidak laku dijual dan dikembalikan kepada
122
pemiliknya pengusaha penerima titipan dapat menerbitkan return atas
barang tersebut; dan
h. Penyerahan Barang Kena Pajak oleh Pengusaha Kena Pajak dalam
rangkaperjanjian pembiayaanyang dilakukan berdasarkan syariah, yang
penyerahannya dianggap langsung dari Pengusaha Kena Pajak kepada
pihak yang membutuhkan Barang Kena Pajak.
Barang yang diserahkan dan yang dikenakan pajak harus memenuhi syarat :
a. Barang berwujud yang diserahkan merupakan Barang Kena Pajak;
b. Barang tidak berwujudkan yang diserahkan merupakan Barang Kena Pajak
Tidak Berwujud;
c. Penyerahannya dilakukan didalam Daerah Pabean;
d. Penyerahannya dilakukan dalam rangka kegiatan usaha atau pekerjaan;
Sedangkan yang termasuk dalam pengertian penyerahan Barang Kena Pajak
adalah :
a. Penyerahan Barang Kena Pajak kepada makelar sebagaimana dimaksud
dalam Kitab Undang-Undang Hukum Dagang;
b. Penyerahan Barang Kena Pajak untuk jaminan utang-piutang;
c. Penyerahan Barang Kena Pajak sebagaiman dimaksud pada ayat (1) huruf
f dalam hal Pengusaha Kena Pajak melakukan pemusatan tempat pajak
terutang;
d. Pengalihan Barang Kena Pajak dalam rangka penggabungan, peleburan,
pemekaran, pemecahan, pengambilalihan usaha dengan syarat pihak yang
melakukan pengalihan dan yang menerima pengalihan adalah Pengusaha
Kena Pajak; dan
e. Barang Kena Pajak berupa aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk
diperjualbelikan, yang masih tersisa pada saat pembubaran perusahaan,
dan yang pajak masukan atas perolehannya tidak dapat dikreditkan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (8) huruf b dan huruf c
Undang-Undang PPN.
2. Impor Barang Kena Pajak
Pajak juga dipungut pada saat impor Barang Kena Pajak dan
pemungutannya dilakukan melalui Direktorat Jendral Bea dan Cukai, tanpa
123
memperhatikan apakah dilakukan dalam rangka kegiatan usaha atau
pekerjaanya tetap dikenai pajak.
3. Penyerahan Jasa Kena Pajak (JKP) di dalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh
pengusaha
Yang dimaksud Jasa Kena Pajak adalah setiap kegiatan pelayanan
yang berdasarkan suatu perikanan atau perbuatan hukum yang menyebabkan
suatu barang atau fasilitas atau kemudahabn tau hak tersedia untuk dipakai,
termasuk jasa yang dilakukan untuk menghasilkan barang kerena pesanan atau
permintaan dengan bahan tas petunjuk dari pemesan yang dikenakan PPN.
Penyerahan jasa yang dikenakan pajak harus memenuhi syarat :
a. Jasa yang diserahkan dalah Jasa Kena Pajak;
b. Penyerahan dilakukan di dalam Daerah Pabean;
c. Penyerahan dilakukan dalam kegiatan usaha atau pekerjaanya, termasuk
dalam pengertian penyerahan Jasa Kena Pajak adalah Jasa Kena Pajak
yang dimanfaatkanuntuk kepentingan sendiri dan/atau yang diberikan
secara cuma-cuma.
4. Pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean di
dalam Daerah Pabean
Untuk memberikan perlakuan pengenaan pajak yang samadengan
impor Barang Kena Pajak, atas Barang Kena Pajak Tidak Berwujud yang
berasal dari luar Daerah Pabean yang dimanfaatkan oleh siapapun didalam
Daerah Pabean juga dikenal Pajak Pertambahan Nilai.
5. Pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean
Jasa yang berasal dari luar Daerah Pabean yang dimanfaatkan oleh
siapapun didalam Daerah Pabean dikenai Pajak Pertambahan Nilai.
6. Ekspor Barang Kena Pajak Berwujud oleh Pengusaha Kena Pajak
Pengusaha yang melakukan ekspor Barang Kena Pajak Berwujud
hanya pengusaha yang telah dikukuhkan menjadi Pengusaha Kena Pajak.
7. Ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud oleh Pengusaha Kena Pajak.
Yang dimaksud Barang Kena Pajak Tidak Berwujud adalah :
a. Penggunaan atau hak menggunakan hak cipta dibidang kesusteraan, kesenian,
atau karya ilmiah, paten, desain, atau model, rencana, formula atau proses
rahasia, merek dagang, atau bentuk hak kekayaan intelektual / industrial, atau
hak serupa lainnya;
124
b. Penggunaan atau hak menggunakan peralatan/perlengkapan industrial,
komersil, atau lainnya;
c. Pemberian pengetahuan atau informasi di bidang ilmiah, teknikal, industrial,
atau komersial;
d. Penggunaan atau hak menggunakanfilm gambar hidup (motion picture film), film
atau pita video untuk siaran telcvisi, atau pita suara untuk siaran radio.
e. Pelepasa seluruhnya atau sebagian hak yang berkenan dengan penggunaan
atau pemberian hak kekayaan intelektual / industrial atau hak-hak lainnya
sebagaimana tersebut diatas.
8. Ekspor Jasa Kena Pajak oleh Pengusaha Kena Pajak
Termasuk dalamdalam pengertian ekspor Jasa Kena Pajak adalah
penyerahan Jasa Kena Pajak dari dalam Daerah Pabean ke luar Daerah Pabean
oleh Pengusaha Kena Pajakmyang menghasilkan dan melakukan ekspor
Barang Kena Pajak Berwujud atas dasar pesanan atau permintaan dengan
bahan dan/atau petunjuk dari pemesan diluar Daerah Pabean.
D. BUKAN OBJEK PPN
1. Jenis barang yang tidak dikenaik PPN adalah barang tertentu dalam kelompok
barang sebagai berikut :
a. Barang hasil pertambangan atau hasil pengeboran yang diambil langsung dari
sumbernya;
b. Barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan oleh rakyat banyak;
c. Makanan dan minumam yang disajikan dihotel, restoran, rumah makan,
warung dan sejenisnya;
d. Uang, emas batangan, dan surat berharga.
2. Jenis jasa yang tidak dikenani PPN adalah barang tertentu dalam kelompok jasa
sebagai berikut :
a. Jasa pelayanan kesehatan medis;
b. Jasa pelayanan sosial;
c. Jasa pengiriman surat dengan prangko;
d. Jasa keuangan;
e. Jasa asuransi;
f. Jasa keagamaan;
g. Jasa pendidikan;
h. Jasa kesenian dan hiburan;
125
i. Jasa penyiaran yang tidak bersifat iklan;
j. Jasa angkutan didarat dan diair serta jasa angkutan udara dalam negeri yang
menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari jasa angkutan udara dalam negeri;
k. Jasa tenaga kerja;
l. Jasa perhotelan;
m. Jasa yang disediakan oleh pemerintah dalam rangka menjalankan
pemerintahan secara umum;
n. Jasa penyediaan tempat parkir;
o. Jasa telpon umum dengan menggunakn uang logam;
p. Jasa pengiriman uang dengan wesel pos; dan
q. Jasa boga ata catering.
E. TARIF PPN
1. Tafif PPN adalah 10%
2. Tarif PPN sebesar 0% diterapkan atas :
a. Ekspor Barang Kena Pajak Berwujud;
b. Ekspor Barang Kena Paajak Tidak Berwujud; dan
c. Ekspor Jasa Kena Pajak
3. Tarif pajak sebagaimana dimaksud pada yat (1) diatas dapat diubah menjadi
paling rendah 5% dan paling tinggi 15% yang perubahan tarifnya diatur dengan
Peraturan Pemerintah.
F. FAKTUR PAJAK
Faktur Pajak adalah bukti pungutan pajak yang dibuat oleh Pengusaha Kena
Pajak (PKP) karena adanya transaksi penyerahan Barang Kena Pajak dan atau Jasa
Kena Pajak, atau bukti pungutan pajak karena impor Barang Kena Pajak yang
digunakan oleh Direktorat Jendral Bea dan Cukai.
Faktur Pajak hanya boleh dibuat oleh Pengusaha Kena Pajak, Pengusaha yang
telah dikukuhkan, melalui persyaratan tertentu, oleh Direktur Jendral Pajak sebagai
Pengusaha Kena Pajak. Larangan membuat Faktur Pajak oleh bukan Pengusaha Kena
Pajak dimaksudkan untuk melindung pembeli dari pungutan pajak yang tidak
semestinya.
Faktur Pajak dibuat pada saat terjadinya :
a. Penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak;
b. Penerimaan pembayaran dalam hal penerimaan pembayaran terjadi sebelum
penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau sebelum penyerahan Jasa Kena Pajak;
126
c. Saat lain yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
Dalam Faktur Pajak harus dicantumkan keterangan tentang penyerahan Barang Kena
Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak yang paling sedikit memuat :
a. Nama, alamat, dan NPWP yang menyerahkan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena
Pajak;
b. Nama, alamat, dan NPWP pembeli Barang Kena Pajak atau penerima Jasa Kena
Pajak;
c. Jenis barang atas jasa, jumlah harga jual atau penggantian, dan potongan harga;
d. PPN yang dipungut;
e. Kode, nomor seri, dan tanggal pembuatan faktur pajak; dan
f. Nama dan tanda tangan yang berhak menandatangani faktur pajak.
Faktur Pajak harus memenuhi persyaratan formal dan material dan berikut
penjelasan tentang tata cara pembuatan Faktur Pajak berdasarkan Peraturan Direktur
Jendral Pajak Nomor : PER-13/PJ/2010 sebagai berikut :
a. Format Kode Dan Nomor Seri Faktur Pajak
1. Format Kode Faktur Pajak terdiri dari 6 (enam) digit, yaitu :
a. 2 (dua) digit pertama adalah kode transaksi.
b. 1 (satu) digit berikutnya adalah kode status.
c. 3 (tiga) digit adalah kode cabang.
2. Format Nomor Seri Faktur Pajak terdiri dari 10 (sepuluh) digit, yaitu :
a. 2 (dua) digit pertama adalah tahun penerbitan.
b. 8 (delapan) digit berikutnya adalah nomor urut.
Sehingga format Kode dan Nomor Seri Faktur Pajak secara keseluruhan menjadi
sebagai berikut :
0 0 0 . 0 0 0 - 0 0 . 0 0 0 0 0 0 0 0
Kode Transaksi Kode Cabang Th. Penerbitan Nomor Urut
Kode Status
Kode FP Kode Nomor Seri FP
127
G. PENGUSAHA KENA PAJAK DAN KEWAJIBAN PERPAJAKAN
Pengusaha Kena Pajak (PKP) adalah Pengusaha yang melakukan penyerahan
Barang Kena Pajak dan atau penyerahan Jasa Kena Pajak dan atau ekspor Barang
Kena Pajak yang dikenakan pajak berdasarkan Undang-Undang PPN yang wajib
melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai PKP, namun tidak termasuk
Pengusaha kecil kecuali Pengusaha Kecil tersebut memilih untuk dikukuhkan sebagai
PKP.
Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 68/PMK/03/2010 tentang
Batasan Pengusaha Kecil Pajak Pertambahan Nilai yang dimaksud dengan Pengusaha
Kecil adalah Pengusaha yang selama satu tahun buku melakukan penyerahan BKP
dan atau JKP dengan jum lah peredaran bruto dan atau penerimaan bruto tidak lebih
dari Rp. 600.000.000,- (enam ratus juta rupiah).
Tidak ada kewajiban bagi Pengusaha Kecil untuk dikukuhkan sebagai
Pengusaha Kena Pajak, kecuali dengan alasan dan tujuan tertentu, atas permintaan
sendiri Pengusaha Kecil untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak.
Berdasarkan Pasal 3A Undang-Undang No. 42 Tahun 2009 tentang Pajak
Pertambahan Nilai, pengusaha yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak
dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak di dalam Daerah Pabean dan/atau melakukan
ekspor Barang Kena Pajak Berwujud, ekspor Jasa Kena Pajak, dan/atau ekspor
Barang Kena Pajak Tidak Berwujud diwajibkan :
a. Melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak;
b. Memungut pajak yang terutang;
c. Menyetorkan Pajak Pertambahan Nilai yang masih harus dibayar dalam hal Pajak
Keluaran lebih besar dari pada Pajak Masukan yang dapat dikredit serta
menyetorkan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang terutang; dan
d. Melaporkan perhitungan pajak.
Kewajiban tersebut diatas tidak berlaku untuk pengusaha kecil.
H. DASAR PENGENAAN PAJAK
Dasar Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai (DPP PPN) adalah Nilai berupa
uang yang dijadikan dasar untuk menghitung Pajak yang terutang, dapat berupa Harga
Jual, Penggantian, Nilai Impor, Nilai Ekspor, atau Nilai Lain yang ditetapkan dengan
Keputusan Menteri Keuangan.
128
Harga Jual adalah niali berupa uang, termasuk semua biaya yang diminta atau
seharusnya diminta oleh penjual karena penyerahan Barang Kena Pajak, tidak
termasuk PPN yang dipungut menurut Undang-Undang PPN dan potongan harga
dicantum dalam faktur pajak.
Pengantian adalah nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang diminta atau
seharusnya diminta oleh pemberi jasa karena penyerahan Jasa Kena Pajak, ekspor
Jasa Kena Pajak, atau ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud, tetapi tidak
termasuk pajak yang dipungut menurut Undang-Undang PPN dan potongan harga
yang dicantumkan dalam Faktur Pajak atau nilai berupa uang yang dibayarkan atau
seharusnya dibayar oleh penerima Jasa karena pemanfaatan Jasa Kena Pajak dan /atau
penerima manfaat Barang Kena Pajak Tidak Berwujud karena pemanfaatan Barang
Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean.
Nilai Impor adalah nilai berupa uang yang menjadi dasar perhitungan bea
masuk ditambah pungutan lainnya yang dikenakan pajak berdasarkan ketentuan
dalam peraturan perundang-undangan Pabean untuk impor Barang Kena Pajak, tidak
termasuk Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang
dipungut menurut Undang-Undang PPN.
Nilai Ekspor adalah nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang diminta
atau seharusnya diminta oleh eksportir.
Yang dimaksud dengan DPP Nilai lain adalah Nilai yang ditetapkan sebagai
DPP karena kesulitan dalam menetapkan Harga Jual atau Nilai Penggantian yang
sebenarnya. Penentuan atas Dasar Pengenaan Pajak atas Nilai Lain, diantaranya
adalah sebagai berikut ;
a. Pemakaian sendiri BKP dan atau JKP penetuan DPP-nya adalah Harga Jual
atau penggantian setelah dikurangi laba kotor;
b. Pemberi Cuma-Cuma BKP dan atau JKP penetuan DPP-nya adalah Harga Jual
atau Penggantian setelah dikurangi laba kotor;
c. Penyerahan media rekaman suara atau gambar penentuan DPP-nya adalah
perkiraan Harga Jual rata-rata;
d. Penyerahan film cerita penentuan DPP-nya adalah hasil rata-rata per judul
film;
e. Oenyerahan film cerita impor penentuan DPP-nya adalah sebesar Rp.
12.000.000,- (dua belas juta rupiah) per judul film;
129
f. Penyerahan produk hasil tembakau penentan DPP-nya adalah sebesar harga
jual eceran;
g. Persedian BKP dan/atau aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk
diperjualbelikan yang masih tersisa pada saat pembubaran perusahaan
penetuan DPP-nya adalah harga pasar wajar;
h. Penyerahan BKP dari pusat ke cabang atau sebaliknya dan/atau penyerahan
BKP antar cabang penentuan DPP-nya penentuan DPP-nya Harga pokok
penjualan atau harha perolehannya;
i. Penyerahan BKP memalui pedagang perantara penentuan DPP-nya adalah
harga yang disepakati antara pedagang perantara dengan pembeli;
j. Penyeraha BKP melalui juru lelang penentuan DPP-nya adalah harga lelang;
k. Aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan sepanjang
PPN atas perolehan aktiva tersebut menurut ketentuan dapat dikreditkan
penentuan DPP-nya adalah harga pasar wajar;
l. Kendaraan bermotor bekas penentuan DPP-nya adalah 10% dari harga jual;
m. Penyerahan jasa biro perjalanan / biro pariwisata penentua DPP-nya adalah
10% dari jumlah tagihan atau jumlah yang seharusnya ditagih;
n. Jasa pengiriman paket penentuan DPP-nya adalah 10% dari jumlah tagihan
atau jumalah yang seharusnya ditagih;
o. Jasa anjak piutang penentuan DPP-nya adalah 5% dari jumlah seluruh imbalan
yang diterima, berupa service charge, provinsi dan diskon;
I. PENGKREDITAN PAJAK MASUKAN
Pajak Masukan dalam suatu Masa Pajak dapat dikreditkan dengan Pajak
keluaran untuk Masa Pajak yang sama, namun demikian apabila ketentuan tersebut
tidak terpenuhi misalnya Faktur Pajak terlambat diterima dari pemasoknya, maka
Pajak Masukan yang dapat dikreditkan tetapi belum dikreditkan dengan Pajak
Keluaran pada Masa Pajak yang sama, dapat dikreditkan pada Masa pajak berikutnya
paling lambat 3(tiga) bulan setelah berakhirnya Masa Pajak yang bersangkutan,
sepanjang :
a. pajak Masukan tersebut belum dibebankan sebagai biaya atau tidak
dikapitalisasikan ke dalam Hara Perolehan BKP atau JKP yang bersangkutan,
dan
b. Belum dilakukan pemeriksaan.
130
Beberapa pajak masukan yang tidak dapat dikreditkan diatur dalam Pasal 9
ayat (8) antara lain atas pengeluaran untuk :
a. Perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak sebelum pengusaha sebagai
Pengusaha Kena Pajak;
b. Perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang tidak mempunyai
hubungan langsung dengan kegiatan usaha;
c. Perolehan dan pemeliharaan kendaraan bermotor berupa sedan dan statio wagon,
kecuali merupakan barang dagangan atau disewakan;
d. Pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud atau pemanfaatan Jasa Kena
Pajak dari luar Daerah Pabean sebelum pengusaha dikukuhkan sebagai pengusaha
kena pajak;
e. Peroleh Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang faktur pajaknya tidak
memenuhi ketentuan perundang-undangan PPN atau tidak mencantumkan nama,
alamat, dan NPWP pembeli Barang Kena Pajak atau penerima Jasa Kena Pajak;
f. Pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud atau pemanfaatan Jasa Kena
Pajak dari luar Daerah Pabean yang faktur pajaknya tidak memenuhi ketentuan
perundang-undangan PPN;
g. Perolehan Barang Kena Pajak yang pajak masukannya ditagih dengan penerbitan
ketetapan pajak;
h. Perolehan Barang Kena Pajak yang pajak masukannya tidak dilaporkan dalam
Surat Pemberitahuan Masa PPN yang ditemukan pada waktu dilakukan
pemeriksaan; dan
i. Perolehan Barang Kena Pajak selain barang modal atau Jasa Kena Pajak sebelum
Pengusaha Kena Pajak berproduksi.
J. KEGIATAN MEMBANGUN SENDIRI
Untuk melindungi masyarakat yang berpenghasilan rendah dari pengenaan
Pajak Pertambahan Nilai atas kegiatan membangun sendiri, maka diatur batasan
kegiatan membangun sendiri denagn Peraturan Menteri Keuangan Nomor :
39/PMK/03/2010 tanggal 22 Februari 2010 dan mulai berlaku 1 April 2010, dengan
penjelasan sebagai berikut :
a. Kegiatan membangun sendiri adalah terutang Pajak Pertambahan Nilai;
131
b. Pajak Pertambahan Nilai terutang bagi orang pribadi atau badan yang
melakukan kegiatan yang membangun sendiri;
c. Kegiatan membangun sendiri adalah kegiatan membangun bangunan yang
dilakukan tidak dalam kegiatan usaha atau pekerjaan oleh orang pribadi atau
badan yang hasilnya digunakan sendiri atau digunakan pihak lain;
d. Bangunan berupa satu atau lebih konstruksi tehknik yang ditanam atau yang
dilekatkan secara tetap pada satu kesatuan tanah / atau perairan dengan kriteria
:
1) Konstruksi utamanya terdiri dari kayu, beton, pasangan batu bata atau
bahan sejenis, dan/atau baja;
2) Diperuntuhkan bagi tempat tinggal atau tempat kegiatan usaha; dan
3) Lunas keseluruhan paling sedikit 300 m2 (tiga ratus meter persegi).
e. Pajak Pertambahan Nilai terutang dihitung dengan cara mengalihkan tarif 10%
dengan dasar pengenaan pajak;
f. Dasar pengenaan pajak adalah 40% dari jumlah biaya yang dikeluarkan
dan/atau yang dibayarkan untuk membangun bangunan, tidak termasuk harga
perolehan tanah;
g. Saat terutangnya Pajak Pertambahan Nilai kegiatan membangun sendiri terjadi
pada saat mulai dibangunnya bangunan;
h. Kegiatan membangun sendiri yang dilakukan secara bertahap dianggap
merupakan satu kesatuan kegiatan sepanjang tenggang waktu antara tahapan-
tahapan tersebut tidak lebih dari dua tahun;
i. Tempat Pajak Pertambahan Nilai Terutang atas kegiatan membangun sendiri
adalah tempat membangun tersebut didirikan;
j. Pemabayara Pajak Pertambahan Nilai terutang dilakukan setiap bulan sebesar
10% dikalikan dengan 40% dikalikan dengan jumlah biaya yang dikeluarkan
dan/atau yang dibayarkan setiap bulan;
k. Pajak Pertambahan Nilai terutang wajib disetor ke Kas Negara melalui Kantor
Pos atau Bank Persepsi paling lama tanggal 15 bulan berikutnya setelah
berakhirnya masa pajak;
l. Orang pribadi atau badan yang melakukan kegiatan membangun sendiri wajib
melaporkan penyetoran kepada Kantor Pelayanan Pajak yang wilayahnya
meliputi tempat membangun tersebut dengan mempergunakan lembar ketiga
132
Surat Setoran Pajak paling lama akhir bulan berikutnya setelah berakhirnya
masa pajak;
m. Pajak masukan yang dibayar sehubungan dengan kegiatan membangun sendiri
tidak dapat dikreditkan;
n. Dalam hal bangunan sebagai hasil kegiatan membangun sendiri digunakan
oleh pihak lain sebagai tempat tinggal tempat kegiatan usaha, orang pribadi
atau badan yang melakukan kegiatan membangun sendiri wajib menyerahkan
bukti Surat Setoran Pajak asli Pajak Pertambahan Nilai atas kegiatan
membangun sendiri kepada pihak lain yang menggunakan bangunan tersebut;
o. Dalam hal orang pribadi atau badan yang membangun sendiri bangunan untuk
digunakan pihak lain tidak dapat menunjukkan bukti Surat Setoran Pajak asli
PPN atas kegiatan membangun sendiri, pihak lain yang menggunakan
bangunan tersebut bertanggung jawab secara renteng atas pembayaran PPN
yang terutang.
K. PENJUALAN AKTIVA YANG TUJUAN SEMULA TIDAK UNTUK
DIPERJUALBELIKAN
Penyerahan Barang Kena Pajak berupa aktiva yang menurut tujuan semula
tidak untuk diperjualbelikan oleh Pengusaha Kena Pajak (Pasal 16D UU PPN Tahun
2010), dikenakan Pajak Pertambahan Nilai.
Padal 16D UU PPN menyatakan bahwa PPN dikenakan atas penyerahan
aktiva oleh Pengusaha Kena Pajak yang menurut tujuan semula aktiva tersebut tidak
untuk diperjualbelikan. Sepanjang PPN yang dibayarkan pada saat perolehannya
dapat dikreditkan berdasarkan ketentuan perundang-undangan perpajakn. Sesuai
dengan Keputusan MenKeu Nomor 567/KMK.03/2000 jo 251/KMK.03/2001 jo
75/PMK.03/2010, PPN dikenakan sebesar 10% dari harga pasar wajar.
L. PEMUNGUTAN PPN
Melalui keputusan Nomor 563/KMK.03/2003 Menteri Keuangan menetapkan
bahwa bendaharawan pemerintah dan kantor perbendaharaan dan kas negara
ditetapkan sebagai Pemungut Pajak Pertambahan Nilai yang melakukan pembayaran
atas penyerahan Barang Kena Pajak dan/ Jasa Kena Pajak oleh Pengusaha Kena Pajak
Rekanan Pemerintah dan atas nama Pengusaha Kena Pajak Rekanan Pemerintah,
Bendaharawan Pemerintah wajib memungut, menyetor, dan melaporkan Pajak
133
Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah yang terutang. Jumlah
pembayaran yang dilakukan oleh Bendaharawan Pemerintah atau Kantor
Perbendaharaan dan Kas Negara termasuk jumlah Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak
Penjualan Atas Barang Mewah yang terutang.
Yang dimaksud dengan Bendaharawan Pemerintah adalah Bendaharawan atau
pejabat yang melakukan pembayaran yang dananya berasal dari Anggaran Pendapatan
dan Belanja Negara atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, yang terdiri dari
Bendaharawan Pemerintah Pusat dan Daerah baik Provinsi, Kabupaten, atau Kota.
Yang dimaksud dengan Pengusaha Kena Pajak Rekana Pemerintah adalah Pengusaha
Kena Pajak yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan/ atau Jasa Kena
Pajak kepada Bendaharawan pemerintah atau Kantor Pembendaharaan dan Kas
Negara.
Objek Pemungutan oleh Bendaharaan Pemerintah adalah setiap pembayaran
yang dilakukan oleh Bendaharawan Pemerintah, kecuali:
a. Pembayaran yang jumlahnya paling banyak Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah)
dan tidak merupakan pembayaran yang terpecah-pecah;
b. Pembayaran untuk pembebasan tanah;
c. Pembayaran atas penyerahan Barang Kena Pajak dan/ atau Jasa Kena Pajak yang
menurut ketentuan perundang-undangan yang berlaku, mendapat fasilitas Pajak
Pertambahan Nilai tidak dipungut dan/ atau dibebaskan dari pengenaan Pajak
Pertambahan Nilai;
d. Minyak oleh PT (PERSERO) PERTAMINA;
e. Pembayaran atas rekening telepon;
f. Pembayaran atas jasa angkutan udara yang diserahkan oleh perusahaan
penerbangan; atau
g. Pembayaran lainnya untuk penyerahan barang atau jasa yang menurut ketentuan
perundang-undangan yang berlaku tidak dikenakan Pajak Pertambahan Nilai.
Pajak pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah yang
terutang sehubungan dengan pembayaran yang jumlahnnya paling banyak Rp
1.000.000,00 (satu juta rupiah), dipungut dan disetor oleh Pengusaha Kena Pajak
Rekanan Pemerintah sesuai dengan ketentuan yang berlaku umum.
Pemungutan PPN dan PPnBM dilakukan saat pembayaran oleh Bendaharawan
Pemerintah atau KPPKN kepada PKP Rekanan Pemerintah dengan cara pemotongan
134
secara langsung dari tagihan Pengusaha Kena Pajak Rekanan Pemerintah dan
disetorkan ke Kas Negara melalui Bank Persepsi atau Kantor Pos paling lambat 7
(tujuh) hari setelah bulan dilakukannya pembayaran atas tagihan. Dalam hal Hari
ketujuh jatuh pada hari libur, maka penyetoran dilakukan pada hari kerja berikutnya.
Bendaharawan Pemerintah wajib melaporkan Pajak Pertambahan Nilai dan
Pajak Penjualan Atas Barang Mewah yang dipungut dan disetor ke Kantor Pelayanan
Pajak dan Kantor Pembendaharaan dan Kas Negara setempat, paling lambat 20 (dua
puluh) hari setelah berahkirnya bulan dilakukan pembayaran tagihan. Pelaporan
pemungutan dan penyetoran Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas
Barang Mewah dilakukan dengan menggunakan Surat Pemberitahuan Masa bagi
Pemungut Pajak Pertambahan Nilai.
Dasar Pemungutan PPN dan PPnBM adalah jumlah pembayaran yang
dilakukan oleh Bendaharawan Pemerintahatau jumlah pembayaran yang dilakukan
oleh KPPKN sebagaimana tersebut dalam SPM (Surat Perintah Membayar).
Tata cara perhitungan dan pemungutan PPN dan PPnBM yang dilakukan oleh
Pemungut PPN adalah sebagai berikut :
1. Dalam hal penyerahan BKP hanya terutang PPN, maka jumlah PPN yang
dipungut adalah 10/110 bagian dari jumlah pembayaran.
Contoh :
Jumlah pembayaran Rp. 11.000.000,-
Jumlah PPN (10/110 X Rp. 11.000.000,-) Rp. 1.000.000,-
Sisa yang dibayarkan kepada PKP rekanan
(Rp. 11.000.000,- – Rp. 1.000.000,-) Rp. 10.000.000,-
2. Dalam hal penyerahan BKP yang tergolong mewah dari pengusaha yang
menghasilkan BKP yang tergolong mewah tersebut, di samping terutang PPN juga
terutang PPnBM, maka jumlah PPN dan PPnBM yang dipungut adalah sebagai
berikut :
Dalam hal terutang PPnBM sebesar 20%, maka jumlah PPN yang dipungut
PPnBM yang dipungut sebesar 10/30 bagian dari jumlah pembayarn sedangkan
jumlah PPnBM yang dipungut sebesar 20/130 bagian dari jumlah pembayaran.
Contoh : PPnBM dengan tarif 20%
Jumlah pembayaran Rp. 13.000.000,-
Jumlah PPN yang dipungut :
(10/130 X Rp. 13.000.000,-) Rp. 1.000.000,-
135
Jumlah PPnBM yang dipungut :
(20/130 X Rp. 13.000.000,-) Rp. 2.000.000,-
Sisa yang dibayarkan kepada PKP rekanan : Rp. 10.000.000,-
3. Dalam hal pembayarn berjumlah paling banyak Rp. 1.000.000,- dan tidak
merupakan jumlah yang terpecah-pecah, maka PPN dan PPnBM tidak perlu
dipungut oleh Bendaharawan Pemerintah.
Batas jumlah pembayaran sebesar Rp. 1.000.000,- tersebut hendaknya diartikan
termasuk PPN dan PPnBM.
Contoh 1 :
Harga jual Rp. 900.000,-
PPN (10% X Rp. 900.000,-) Rp. 90.000,-
PPnBM (Misalnya terutang 20%) Rp. 180.000,-
Harga jual termasuk PPN dan PPnBM Rp. 1.170.000,-
Meskipun harga jual Rp. 900.000,- tapi karena pembayaran termasuk PPN dan
PPnBM berjumlah Rp. 1.170.000,- (diatas Rp. 1.000.000,-), maka PPN dan PPnBM
yang terutang harus dipungut oleh Bendaharawan Pemerintah atau KPPKN.
Contoh 2 :
Harga jual Rp. 800.000,-
PPN (10% X Rp. 800.000,-) Rp. 80.000,-
PPnBM (Misalnya terutang 10%) Rp. 80.000,-
Harga jual termasuk PPN dan PPnBM Rp. 960.000,-
Karena harga jual termasuk PPN dan PPnBM berjumlah Rp. 960.000,-
(kurang dari Rp. 1.000.000,-), maka PPN dan PPnBM yang terutang tidak perlu
dipungut oleh Bendaharawan Pemerintah dan KPPKN, tetapi harus dipungut dan
disetor oleh PKP Rekanan Pemerintah, dan Faktur Pajak tetap harus dibuat.
Tata cara pemungutan dan penyetoran PPN PPnBM yang dilakukan oleh
pemungut PPN adalah sebagai berikut :
a. PKP rekanan pemerintah membuat faktur pajak dan SSP pada saat menyampaikan
tagihan kepada Bendaharawan Pemerintah atau KPPKN baik untuk sebagian
maupun seluruh pembayaran.
b. SSP sebagaimana dimaksud pada huruf a diisi dengan membubuhkan NPWP dan
identitas PKP rekanan pemerintah yang bersangkutan, tetapi penandatanganan
136
SSP dilakukan oleh bendaharawan pemerintah atau KPPKN sebagai penyetor atas
nama PKP rekanan pemerintah.
c. Dalam hal penyerahan BKP tersebut terutang PPnBM maka PKP rekanan
pemerintah mencantumkan jumlah PPnBM yang terutang pada faktur pajak.
d. Faktur pajak sebagaimana dimaksud pada huruf a dibuat dalam rangkap 3 (tiga) :
Lembar ke-1 untuk bendaharawan pemerintahan atau KPPKN sebagai
pemungut PPN
Lembar ke-2 untuk arsip PKP rekanan pemerintah
Lembar ke-3 untuk kantor pelayanan pajak melalui bendaharawan pemerintah
atau KPPKN.
e. Dalam hal pemungutan oleh bendaharawan pemerintah, SSP sebagaiman
dimaksud pada huruf a dibjuat dalam 5 rangkap. Setelah PPN dan atau PPnBM
disetor ke Bank persepsi atau kanto pos, lembar-lembar SSP tersebut
diperuntuhkan sebagai berikut :
o Lembar ke-1 untuk PKP rekanan pemerintah
o Lembar ke-2 untuk kantor pelayanana pajak atau KPPKN
o Lembar ke-3 untuk PKP rekanan pemerintahdilampirkan pada SPT masa PPN
o Lembar ke-4 untuk Bank persepsi atau kantor pos
o Lembar ke-5 untuk pertinggal bendaharawan pemerintah
f. Dalam hal pemungutan oleh KPPKN, SSP sebagaimana dimaksud pada huruf a
dibuat dalam ranmgkap 4 yang masing-masing diperuntuhkan sebagai berikut :
o Lembar ke-1 untuk PKP rekanan pemerintah
o Lembar ke-2 untuk kantor pelayanana pajak atau KPPKN
o Lembar ke-3 untuk PKP rekanan pemerintahdilampirkan pada SPT masa PPN
o Lembar ke-4 untuk pertinggal KPPKN
g. Pada lembar faktur pajak sebagaimana dimaksud pada huruf d oleh bendaharawan
pemerintah yang melakukan pemungut wajib dibubuhi cap “Disetor tanggal
.............” dan ditandatangani oleh bendaharawan pemerintah.
h. Pada setiap lembar faktur pajak sebagaimana dimaksud pada huruf d san SSP
semagaiman dimaksud pada huruf f oleh KPPKN yang melakukan pemungutan
dicantumklan nomor dan tanggal advis SPM.
i. SSP lembar ke-1 dan lembar ke-2 sebagaimana dimaksud pada huruf f dibubuhi
cap “TELAH DIBUKUKAN” oleg KPPKN.
137
j. Faktur pajak dan SSP merupakan bukti pemungutan dan penyetoran PPN dan atau
PPnBM.
Tata cara pelaporan PPN dan PPnBM yang dilakukan oleh pemungut PPN
adalah sebagai berikut :
a. Bendaharawan Pemerintah
Bendaharawan pemerintah yang melakukan pemungutan dan penyetoran PPN dan
PPnBM diwajibkan melaporkan PPN dan PPnBM yang telah dipungut dan
disetor, setiap bulan ke kantor pelajanan pajak tempat bendaharawan pemerintah
terdaftar dengan menggunkan formulir “Surat Pemberitahuan Masa bagi
pemungut PPN” yang dibuat dalam rangkap 3 paling lambat 20 hari setelah
berakhirnya bulan dilakukan pembayaran tagihan, yang masing-masing
diperuntuhkan sebagai berikut :
o Lembar ke-1, dilampiri faktur pajak lembar ke-3 untuk KPP
o Lembar ke-2, untuk KPPKN
o Lembar ke-3, untuk arsip bendaharawan pemerintah.
b. KPPKN
o KPPKN setiap hari kerja menyampaikan lembar ke-3 faktur pajak yang telah
dibubuhi catatan nomor dan tanggal advis kepada kantor pelayanan pajak
dengan surat pengantar.
o Dalam hal tidak ada faktur yang disampaikan pada hari itu, surat pengantar
tetap dibuat dengan catatan “faktur pajak NIHIL”
M. FASILITAS DIBIDANG PPN
Pasal 16B UU PPN menyebutkan bahwa dengan PP dapat ditetapkan bahwa
pajak terutang tidak dipungut sebagian atau seluruhnya, baik untuk sementara waktu
maupun selamanya, atau dibebaskan dari pengenaan pajak, untuk :
o Kegiatan dikawasan tertentu atau tempat tertentu didalam Daerah Pabean
o Penyerahan BKP tertentu atau penyerahan JKP tertentu
o Impor BKP tertentu
o Pemanfaatan BKP tidak berwujud tertentu dari luar daerah pabean didalam
daerah pabean.
o Pemanfaatan JKP tertentu dari luar daerah pabean didalam daerah pabean,
diatur dengan peraturan Pemerintah
o
138
N. PAJAK PENJUALAN ATAS BARANG MEWAH (PPnBM)
Disamping dikenakan PPN, dikenakan pula Pajak Penjualan atas Barang Mewah
yakni terhadap :
a. Penyerahan BKP yang tergolong mewah yang dilakukan oleh pengusaha yang
menghasilkan barang tersebut didalam daerah pabean dalam kegiatan usaha atau
pekerjaanya; dan
b. Impor BKP yang tergolong mewah.
Pertimbangan dikenakannya PPnBM antara lain dikarenakan :
a. Perlu dilakukan keseimbangan pembebanan pajak natara konsumen yang
berpenghasilan rendah dan konsumen yang berpenghasilan tinggi;
b. Perlu adanya pengendalian pola konsumsi atas barang kena pajak yang tergolong
mewah
c. Perlu adanya perlingungan terhadap produsen kecil atau tradisoanal; dan
d. Perlu untuk mengaman kan negara.
Yang dimaksud dengan barang kena pajaka yang tergolong mewah adalah :
a. Barang yang bukan merupakan barang kebutuhan pokok
b. Barang yang dikonsumsi oleh masyarakat tertentu
c. Barang yang pada umumnya dikonsumsi oleh masyarakat berpenghasilan tinggi
d. Barang yang dikonsumsi untuk menunjukan status.
Perlakuan tarif Pajak Penjuatan atas Barang Mewah (PPnBM) yang berlaku di
Indonesia adalah sebagai berikut :
1. Tarif PPnBM dapat ditetapkan dalam beberapa kelompok tarif, yaitu paling
rendah 10% dan paling tinggi 200%. Perbedaan kelompok tarif tersebut
didasarkan pada pengelompokkan BKP yang tergolong mewah yang dikenai
PPnBM sebagaiman dimaksud dalam pasal 5 ayat (1) UU PPN.
2. PPnBM adalah pajak yang dikenakan atas konsumsi Barang Kena Pajak yang
tergolong barang mewah didalam daerah pabean.
3. Dengan mengacu pada pertimbangan sebagaimana tercantum dalam penjelasan
pasal 5 ayat (1) UU PPN, pengelompokan barang-barang yang dikenai Pajak
Penjualan atas Barang Mewah terutama didasarkan pada tingkat kemampuan
golongan masyarakat yang menggunakan barang tersebut, disamping didasarkan
pada nilai gunanya bagi masyarakat pada umumnya.
139
Mekanisme PPnBM diatur dalam pasal 5, pasal 8 dan pasal 10 UU PPN,
secara garis besar adalah sebagai berikut :
a. Atas impor dan penyerahan BKP yang tergolong mewah oleh pengusaha kena
pajak yang menghasilkan BKP yang tergolong mewah tersebut, disamping
dikenakan PPN juga dikenakan PPnBM;
b. PPnBM hanya dipungut satu kali, yaitu pada waktu impor atau pada waktu
penyerahan BKP yang tergolong mewah tersebut oleh pabrik;
c. PPnBM tidak dapat dikreditkan baik terhadap PPN maupun terhadap PPnBM;
d. Tarif PPnBM berdasarkan UU Nomor 42 tahun 2009 paling rendah 10% dan
setinggi-tingginya 200%;
e. Atas ekspor BKP yang tergolong mewah dikenakan PPnBM dengan tarif 0%.
140
PAJAK BUMI DAN BANGUNAN
( PBB )
1. Latar Belakang PBB
Seperti yang kita ketahui bersama, beberapa waktu lalu tepatnya tanggal 15
September 2009, telah lahir Undang-Undang Pajak Daerah dan Retrebusi daerah yang
baru yaitu undang-undang Nomor 28 Tahun 2009. Undang-undang tersebut
menggantikan undang-undang pajak daerah dan retrebusi daerah yang lama , yaitu
undang-undang Nomor 18 Tahun 1997 yang telah d ubah dan ditambah dengan Undang-
undang Nomor 34 Tahun 2000.
Terdapat perbedaan yang cukup signifikan antara undang-undang pajak daerah yang
lama dan undang-undang pajak daerah dan retrebusi daerah yang baru antara lain
dibatasinya jenis pajak daerah yang dapat dipungut oleh daerah ditingkatkannya
pengawasan atas pemungutan pajak daerah, serta dipertegaskannya pengelolaan
pendapatan daeri pajak daerah, sebagai konpensasinya, kepada daerah diberikan
kewenangan yang lebih besar di bidang perpajakan dalam bentuk kenaikan tarif
maksimum, perluasan objek pajak, dan pengalihan sebagian pajak pusat menjadi pajak
daerah.
Salah satu kebijakan pajak daerah yang diatur dalam UU nomor 28 Tahun 2009
adalah menetapkan Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan perkotaan (PBB-P2) serta
Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan ( BPHTB ) menjadi Pajak Kabupaten/kota.
Kedua jenis pajak tersebut layak untuk ditetapkan menjadi pajak daerah karena
memenuhi criteria suatu pajak daerah. Antara lain ditinjau dari aspek loyalitas, hubungan
Setelah mempelajari bab ini, mahasiswa diharapkan mampu memahami dan menjelaskandi depan kelas Tentang ;
Latar Belakang PBB Pengertian Pajak Bumi dan Bangunan Objek Pajak yang tidak dikenakan PBB Manfaat PBB Subjek Pajak PBB Objek Pajak PBB Objek Pajak yang dikecualikan oleh PBB Cara menghitung dan menetapkan PBB Contoh soal
17
141
antara pembayar pajak dengan yang memperoleh manfaat atas pajak, serta praktek umum
di berbagai Negara.
Mengingat pengalihan PBB-P2 dan BPHTB memerlukan persiapan yang tidak sedikit,
maka dalam UU nomor 28 Tahun 2009 diatur masa transisi sebagai berikut ;
BPHTB mulai dipungut oleh daerah tanggal 1 Januari 2011
PBB-P2 dapat dipungut oleh daerah mulai tanggal 1 Januari 2011 dan paling
lambat tanggal 1 Januari 2014.
Selama dalam masa transisi, pemerintah mempersiapkan tahapan pengalihan PBB-P2
daan BPHTB sehingga pada waktunya pemungutan kedua jenis pajak tersebut dapat
dilakukan oleh daerah dengan lancar.
Terkait dengan Tahapan persiapan pengalihan PBB-P2 dan BPHTB menjadi Pajak
Kabupaten/kota, pemerintah telah menerbitkan dua Peraturan bersama menteri Keuangan
dan menteri dalam negeri, yaitu ;
1. Peraturan Bersama (PB) Menkeu dan Mendagri Nomor 186/PMK.07/2010 dan nomor
53 Tahun 2010 tentang Tahapan persiapan pengalihan BPHTB menjadi Pajak Daerah.
2. Peraturan Bersama (PB) Menkeu dan Mendagri Nomor 213/PMK.07/2010 dan nomor
58 Tahun 2010 tentang Tahapan persiapan pengalihan PBB-P2 menjadi Pajak Daerah.
Dalam kedua peraturan bersama tersebut diatur tugas dan tanggung jawab kementrian
keuangan dan kemnterian dalam negeri dan pemerintah daerah dalam proses pengalihan
PBB-P2 dan BPHTB.
2. Pengertian Pajak Bumi dan Bangunan
Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) adalah salah satu jenis pajak yang dikelola oleh
Direktorat Jenderal Pajak (DJP) selain Pajak Penghasilan (PPh), Pajak Pertambahan Nilai
(PPN), Bea Meterai (BM) dan Bea Perolehan Hak Tas Tanah dan/atau Bangunan
(BPHTB). PBB adalah termasuk jenis pajak objektif, di mana yang lebih ditekankan
dalam pengenaan pajak ini adalah pada objeknya. Hal ini bisa kita lihat dari susunan pasal
dalam Undang-undang Nomor 12 Tahun 1985 dan perubahannya yang menempatkan
pasal tentang objek pajak lebih dahulu daripada subjeknya.
Nah, sesuai dengan namanya, Objek PBB ini adalah Bumi dan/atau Bangunan
sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-undang PBB. Sementara itu arti
bumi dan bangunan dijelaskan dalam Pasal 1 Undang-undang PBB.
142
Yang dimaksud dengan bumi adalah permukaan bumi dan tubuh bumi yang ada di
bawahnya. Permukaan bumi meliputi tanah dan perairan pedalaman serta laut wilayah
Indonesia.
Bangunan adalah konstruksi teknik yang ditanam atau dilekatkan secara tetap pada
tanah dan/atau perairan. Yang termasuk dalam pengertian bangunan adalah :
a. jalan lingkungan yang terletak dalam suatu kompleks bangunan seperti hotel, pabrik,
dan emplasemennya, dan lain-lain yang merupakan satu kesatuan dengan kompleks
bangunan tersebut
b. jalan tol
c. kolam renang
d. pagar mewah
e. tempat olah raga
f. galangan kapal, dermaga
g. taman mewah
h. tempat penampungan/kilang minyak, air dan gas, pipa minyak
i. fasilitas lain yang memberikan manfaat.
3. Objek Pajak Tidak Dikenakan PBB
Pasal 3 Undang-undang PBB memberikan pengecualian bumi dan/atau bangunan
yang tidak dikenakan PBB, yaitu objek pajak yang :
a. digunakan semata-mata untuk melayani kepentingan umum di bidang ibadah, sosial,
kesehatan, pendidikan dan kebudayaan nasional, yang tidak dimaksudkan untuk
memperoleh keuntungan
b. digunakan untuk kuburan, peninggalan purbakala, atau yang sejenis dengan itu
c. merupakan hutan lindung, hutan suaka alam, hutan wisata, taman nasional, tanah
penggembalaan yang dikuasai oleh desa, dan tanah negara yang belum dibebani suatu hak
d. digunakan oleh perwakilan diplomatik, konsulat berdasarkan perlakuan timbal balik
e. digunakan oleh badan atau perwakilan organisasi internasional yang ditentukan oleh
Menteri Keuangan
143
4. Manfaat Bumi dan Bangunan
Bumi dan Bangunan tidak dapat disangkal lagi telah memberikan keuntungan dan
atau kedudukan sosial ekonomi yang lebih baik bagi orang atau badan yang mempunyai
suatu hak atasnya atau memperoleh manfaat daripadanya, oleh karena itu wajar apabila
mereka diwajibkan memberikan sebagian manfaat atau kenikmatan yang diperolehnya
kepada negara berupa pembayaran pajak.
Dengan adanya beberapa pemikiran diatas, maka wajar apabila peraturan atau
ordonansi yang tumpang tindih harus dicabut dan diganti dengan undang-undang Pajak
Bumi dan Bangunan.
5. Subyek Pajak dari Pajak Bumi dan Bangunan
Subyek Pajak adalah orang pribadi atau badan yang secara nyata:
mempunyai suatu hak atas bumi, dan / atau;
memperoleh manfaat atas bumi, dan / atau;
memiliki, menguasai atas bangunan, dan / atau;
memperoleh manfaat atas bangunan.
Subyek pajak sebagaimana dimaksud diatas yang dikenakan kewajiban membayar
pajak menjadi wajib pajak menurut undang-undang
6. Obyek Pajak dari Pajak Bumi dan Bangunan
Obyek PBB adalah Bumi dan/ atau bangunan
Bumi Permukaan bumi (tanah dan perairan) dan tubuh bumi yang ada dibawahnya,
Contoh: sawah, ladang, kebun, tanah pekarangan, tambang, dll.
Bangunan: Konstruksi teknik yang ditanamkan atau dilekatkan secara tetap pada tanah
dan/ atau perairan di wilayah Republik Indonesia,
Contoh: rumah tempat tinggal, bangunan tempat usaha, gedung anjungan minyak lepas
pantai, dll
144
7. Obyek Pajak PBB yang dikecualikan
Obyek yang dikecualikan adalah :
Digunakan semata –mata untuk melayani kepentingan umum dibidang ibadah, sosial,
pendidikan dan kebudayaan nasional yang tidak di maksudkan untuk memperoleh
keuntungan, seperti; masjid, rumah sakit, sekolah, panti asuhan, candi, dan lain-lain.
Digunakan untuk kuburan,
a. Digunakan sebagai tempat penyimpanan peninggalan purbakala.
b. Merupakan hutan lindung, suaka alam, hutan wisata, taman nasional, dan lain-
lain.
c. Dimiliki oleh Perwakilan Diplomatik berdasarkan asas timbal balik dan
Organisasi Internasional yang ditentuikan oleh Menteri Keuangan.
8. Cara Menghitung dan Menetapkan PBB
A. Tarif Pajak
Tarif pajak yang dikenakan atas obyek pajak adalah sebesar 0,5% dan jenis tarif ini
disebut sebagai Tarif tunggal yang berlaku terhadap obyek pajak jenis apapun di seluruh
wilayah Indonesi.
B. Dasar Pengenaan PBB :
Adalah Nilai Jual Objek Pajak (NJOP)
Adalah harga rata-rata yang diperoleh dari transaksi jual beli yang terjadi secara
wajar, dan bilamana tidak terdapat transaksi jual beli, NJOP ditentukan melalui
perbandingan harga dengan obyek lain yang sejenis, atau niali perolehan baru atau
nilai objek pajak pengganti.
Besarnya Nilai Jual Objek Pajak ditetapkan oleh Menteri Keuangan setiap 3 tahun
sekali, kecuali untuk daerah tertentu ditetapkan setiap tahun dengan perkembangan
daerahnya.
Dasar perhitungan pajak adalah Nilai Jual Kena Pajak yang ditetapkan serendah-
rendahnya 20% dan setinggi-tingginya 100% dari Nilai Jual Kena Pajak.
Besarnyapersentase Nilai jual Kena Pajak ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah
dengan memperhatikan kondisi ekonomi nasional.
145
Penentuan NJOP
Di dalam penentuan NJOP PBB oleh dirjen pajak Cq Kp PBB ditentukan 3 metode penilaian
atau pendekatan penilaian , antara lain :
1. Pendekatan Data Pasar (Market Data Approach)
2. Pendekatan Biaya (Cos Approach)
3. Pendekatan Pendapatan (Income Approach)
Untuk Cara Penilaian menggunakan 2 cara,yakni :
1. Penilaian Massal (Mass Appraisal)
2. Penilaian Individual (Individual Appraisal)
C. Dasar Perhitungan PBB
Dasar Perhitungan yang digunakan untuk menghitung pajak terhutang adalah Nilai Jual
Kena Pajak (NJKP) ditetapkan serendah-rendahnya 20% dan setinggi-tingginya 100%
dari Nilai Jual Kena Pajak (Peraturan Pemerintah. Besarnya persentase NJKP yang
ditetapkan dengan peraturan pemerintah dengan memperhatikan kondisi ekonomi
nasional.
Berdasar PP No. 74 tahun 1998 ketentuan mengenai NJKP untuk perhitungan Pajak Bumi
dan Bangunan ditetapkan sebesar 20% atay 40% dari Nilai Jual Objek Pajak.
NILAI JUAL KENA PAJAK = 20% atau 40% x Nilai Jual Objek Pajak (NJOP)
Ketentuan mengenai NJKP berdasarkan PP 74 tahun 1998 :
NJKP pada umumnya ditetapkan 20% dari Nilai jual obyek pajak, kecuali untuk obyek-obyek
di bawah ini ditetapkan sebesar 40% dari Nilai Jual Objek Pajak :
146
- Perumahan dengan NJOP sama atau lebih besar dari Rp. 1 Milyar, kecuali yang
dimiliki atau dikuasai oleh PNS, ABRI, dan para pensiunan termasuk janda dan duda.
- Perkebunan dengan luas sama atau lebih besar dari 25 hektar yang dimiliki, dikuasai,
atau dikelola oleh Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha Swasta
- Perhutanan termasuk areal blok tebangan dalam rangka penyelenggaraan kegiatan
pemegang Hak Penguasaan hutan, pemegang Hak pemungutan Hasil Hutan dan
pemegang izin pemanfaatan kayu.
PP No. 46 tahun 2000 memperbarui PP 74 tahun 1998
Besarya NJKP sebagai dasar perhitungan kena pajak yang terhutang sebagaimana dimaksud
dalam pasal 6 ayat (3) Undang-undang Nomor 12 tahun 1994 ditetapkan untuk :
1. Obyek Pajak Perkebunan sebesar 40% dari Nilai Jual Ojek pajak.
2. Objek Pajak kehutanan sebesar 40% dari Nilai Jual Objek pajak
3. Objek Pajak pertambangan sebesar 20% (dua puluh persen) dari Nilai Jual Objek
pajak.
4. Objek pajak lainnya :
Sebesar 40% dari Nilai Jual Objek Pajak apabila nilai jual Objek pajaknya Rp.
1.000.000.000,- (satu Milyar) atau lebih.
Sebesar 20% dari Nilai Jual Objek Pajak apabila nilai jual Objek pajaknya kurang
dari Rp. 1.000.000.000,-
PP 25 Tahun 2002 Memperbarui PP 46 tahun 2000 . berisi ketentuan sebagai berikut :
1. Obyek Pajak Perkebunan, kehutanan dan pertambangan sebesar 40% dari Nilai Jual
Ojek pajak.
2. Obyek Pajak lainnya :
Sebesar 40% dari Nilai Jual Objek Pajak apabila NJOP nya Rp. 1.000.000.000,- (satu
Milyar) atau lebih.
Sebesar 20% dari Nilai Jual Objek Pajak apabila NJOP nya kurang dari Rp.
1.000.000.000,-
147
D. Cara Menghitung Pajak.
Unsur-unsur yang harus diketahui agar dapat menghitung Pajak Bumi dan Bangunan
adalah sebagai berikut :
a. Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) yakni NJOP Bumi dan NJOP Bangunan.
b. Nilai jual Kena Pajak (NJKP) yakni 20% atau 40% dari NJOP
c. Tarif Tunggal : 0,5%
d. NJOPTKP (Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena Pajak) yakni ditetapkan secara
regional paling tinggi sebesar Rp. 12.000.000,-
Sehingga sesuai Pasal 7 Undang-Undang No. 12 tahun 1985 rumus untuk menghitung Pajak
Bumi Bangunan Terhutang :
Pajak Bumi Bangunan Terhutang = Tarif Pajak x Nilai Jual Kena Pajak (NJKP)
Sebelum dikalikan dengan Tarif NJOP harus dikurangkan dengan NJOPTKP. Ketentuan
menyangkut NJOPTKP (Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena Paja adalah sebagai berikut :
NJOPTKP (Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena Pajak) ditetapkan secara regional sebesar Rp.
12.000.000,- yang diberikan dengan ketentuan :
- Untuk setiap wajib pajak hanya diberikan satu NJOPTKP terhadap satu objek yang
dimiliki atau disewa/atau dipakai.
- Diberikan untuk bumi dan/atau bangunan
- Jika wajib pajak memiliki beberapa objek pajak yang diberikan NJOPTKP hanya
salaah satu objek yang memiliki nialai jual objek pajak terttinggi.
Rumus Perhitungan PBB
PBB Terhutang = Tarif x NJKP
= 0,5% x 20% atau 40% x NJOP, sehingga dari rumus asal ini dapat
dijabarkan menjadi :
= 0,5% x 20% x (NJOP – NJOPTKP)
= 0,5% x 20% x NJOP
= 0,5% x 40% x (NJOP-NJOPTKP)
= 0,5% x 40% x NJOP
Catatan :
NJOP= NJOP Bumi + NJOP Bangunan
NJOPTKP = ditetapkan secara regional paling tinggi Rp. 12.000.000,-
148
BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH
DAN BANGUNAN (BPHTB)
1. Pengertian BPHTB
Bea Perolehan Hak ata tanah dan bangunan yang disingkat BPHTB adalah pajak yang
dikenakan atas perolehan hak atas tanah dan bangunan. Terdapat beberapan alasan
2. Subyek Pajak
Yang menjadi Subyek Pajak adalah orang pribadi atau badan yang memperoleh hak
atas tanah dan/ atau bangunan. Subyek Pajak sebagaimana tersebut di atas yang
dikenakan kewajiban membayar pajak menjadi Wajib Pajak menurut Undang-Undang
Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB).
3. Obyek Pajak
Yang menjadi Obyek Pajak adalah perolehan hak atas tanah dan atau bangunan.
Perolehan hak atas tanah dan bangunan meliputi:
1. Pemindahan hak karena:
a. jual beli;
b. tukar-menukar;
c. hibah;
d. hibah wasiat;
e. pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lainnya;
f. pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan;
g. penunjukan pembeli dalam lelang;
Setelah mempelajari bab ini, mahasiswa diharapkan mampu memahami dan menjelaskandi depan kelas Tentang ;
Pengertian BPHTB Subjek Pajak BPHTB Objek Pajak BPHTB Bukan Objek Pajak BPHTB Dasar Pengenaan Pajak BPHTB Tarif Pajak BPHTB NPOP BPHTB Cara menghitung BPHTB Contoh soal
1888
149
h. pelaksanaan putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap;
i. hadiah.
2. Pemberian hak baru karena:
a. kelanjutan dari pelepasan hak;
b. di luar pelepasan hak;
c. hak atas tanah adalah hak milik, hak guna usaha, hak bangunan, hak pakai, hak
milik atas satuan rumah susun atau hak pengelolaan.
4. Bukan Objek Pajak BPHTB
Obyek Pajak yang Tidak Dikenakan Bea Perolehan atas Tanah dan Bangunan
(BPHTB) adalah :
1. Perwakilan diplomatik, konsulat berdasarkan perlakuan timbal balik;
2. Negara untuk penyelenggaraan pemerintahan dan atau untuk pelaksanaan
pembangunan guna kepentingan umum;
3. Badan atau perwakilan organisasai internasional yang ditetapkan oleh Menteri;
4. Orang pribadi atau badan karena konversi hak dan perbuatan hukum lain dengan tidak
adanya perubahan nama;
5. Karena wakaf;
6. Karena warisan;
7. Digunakan untuk kepentingan ibadah.
5. Dasar Pengenaan Pajak
Dasar pengenaan pajak adalah NPOP (Nilai Perolehan Obyek Pajak)
NPOP untuk berbagai jenis perolehan objek pajak ditentukan sebagai berikut :
a. Jual Beli adalah Harga Transaksi
b. Tukar Menukar adalah Nilai pasar
c. Hibah adalah Nilai Pasar
d. Hibah wasiat adalah Nilai Pasar.
e. Waris adalah Nilai Pasar.
f. Pemasukan dalam perseroan/badan hukum lainnya adalah Nilai Pasar.
g. Pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan adalah Nilai Pasar.
150
Apabila NPOP tidak diketahui atau lebih rendah daripada Nilai Jual Obyek Pajak
(NJOP) yang digunakan dalam pengenaan PBB pada tahun terjadinya perolehan hak atas
tanah dan atau bangunan, maka dasar pengenaan BPHTB adalah NJOP PBB
6. Tarif Pajak
Tarif pajak yang dikenakan atas obyek pajak adalah tarif tunggal sebesar 5 %.
7. NPOP Tidak Kena Pajak (NPOPTKP)
Ditetapkan secara regional paling banyak Rp. 60.000.000,00 kecuali dalam hak
perolehan karena waris atau hibah wasiat yang diterima orang pribadi yang masih dalam
hubungan keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajad ke atas atau satu
derajat ke bawah dengan pemberi hibah wasiat, termasuk suami/istri, NPOPTKP
ditetapkan paling banyak Rp. 300.000.000,-
8. Cara Perhitungan Pajak
Besarnya Pajak terhutang dihitung dengan cara mengalikan tarif pajak 5% dengan
Nilai Perolehan Obyek Pajak Kena Pajak (NPOPKP). Besarnya NPOPTKP adalah NPOP
– NPOPTKP apabila NPOP lebih rendah dari NJOP PBB tahun terjadinnya transaksi,
atau bila NPOP tidak diketahui, maka dasar pajanya adalah NJOP PBB.
BPHTB = (NPOP – NPOPTKP) x Tarif
BPHTB = NPOPKP x Tarif
Atau
Bila NJOP digunakan sebagai dasar pengenaan :
BPHTB = (NJOP – NPOPTKP) x Tarif
BPHTB = NPOPKP x Tarif
Peraturan Pelaksanaan tentang tata cara Pengenaan BPHTB :
1. PP RI No. 111 tahun 2000 tentang pengenaan BPHTB karena waris dan Hibah wasiat,
bahwa ;
a. BPHTB yang terhutang atas perolehan hak karena waris dan hibah wasiat
adalah sebesar 50% dari BPHTB yang seharusnya terhutang.
151
b. Saat terhutangnya pajak sejak yang bersangkutan mendaftarkan peralihan
haknya ke Kantor pertanian Kabupaten/Kota.
2. Peraturan pemerintah No. 112 tahun 2000 tentang pengenaan BPHTB karena
pemberian Hak pengelolaan, bahwa :
a. Penerima Hak pengelolaan oleh departemen, lembaga departemen, lembaga
Pemerinta, Non departemen, Pemda Propinsi, Pemda Kab/Kota, lembaga
pemerintah lainnya, Perum perumnas ditetapkan sebesar 0%.
b. Penerima Hak pengelolaan selain yang disebutkan diatas ditetapkan sebesar
50%.
3. PP RI No. 113 tahun 2000 tentang penentuan besarnya NPOP TKP BPHTB, bahwa :
a. NPOP TKP ditetapkan secara regonal paling banyak Rp. 60.000.000,- kecuali
dalam hal perolehan hak karena waris atau hibab wasiat yang diterima orang
pribadi yang masih dalam hubungan keluarga sedarah dalam keturunan garis
lurus satu derajat ke atas atau satu derajat kebawah dengan pemberi hibab
wasiat, termasuk suami, istri, ditetapkan secara regional paling banyak
Rp.300.000.000,-
b. Besarnya NPOP TKP ditetapkan oleh mentri keuangan untuk setiap
kabupaten/kota dengan mempehatikan usulan pemerintah Daerah. NPOP TKP
tersebut dapat diubah dengan mempertimbangkan perkembangan
perekonomian regional.
9. Saat dan Tempat Pajak yang Terutang,
Saat terutang pajak atas perolehan hak atas tanah dan atauBangunan, untuk:
a. Jual beli adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta
b. Tukar-menukar adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta
c. Hibah adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta
d. Waris adalah sejak tanggal yang bersangkutan mendaftarkan peralihan haknya ke
Kantor Pertanahan
e. Pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lainnya adalah sejak tanggal dibuat
dan ditandatanganinya akta
f. Pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan adalah sejak tanggal dibuat dan
ditandatanganinya akta
152
g. Lelang adalah sejak tanggal penunjukan pemenang lelang Putusan hakim adalah
sejak tanggal putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum yang tetap
h. Hibah wasiat ad alah sejak tanggal yang bersangkutan mendaftarkanperalihan haknya
ke Kantor Pertanahan
i. Pemberian hak baru atas tanah sebagai kelanjutan dari pelepasan hak adalah sejak
tanggal ditandatanganinya dan diterbitkannya surat keputusan pemberian hak
j. Pemberian hak baru di luar pelepasan hak adalah sejak tanggal ditanda tangani dan
diterbitkannya surat keputusan pemberian hak
k. Penggabungan usaha adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta
l. Peleburan usaha adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta
m. Pemekaran usaha adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta
n. Hadiah adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta
- Pajak yang terutang harus dilunasi pada saat terjadinya perolehan hak
- Tempat Pajak yang terutang adalah di wilayah Kabupaten Daerah Tingkat II atau
Kotamadya Daerah Tingkat II, atau Propinsi Daerah Tingkat I untuk Kotamadya
Administratif yang meliputi letak tanah dan atau bangunan
Cara Penghitungan BPHTB
- Besarnya BPHTB terutang adalah Nilai Perolehan Objek Pajak (NPOP) dikurangi
Nilai
- Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NPOPTKP) dikalikan tarif 5 % (lima
persen).
- Secara matematis adalah;
- BPHTB = 5 % X (NPOP – NPOPTKP
contoh:
Pada tanggal 7 Januari 2001, Nyonya “D” membeli tanah dan bangunan yang terletak
diKabupaten “XX” dengan NPOP Rp100.000.000,00. NPOPTKP untuk perolehan hak
selain karena waris, atau hibah wasiat yang diterima orang pribadi yang masih dalam
hubungan keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat ke atas atau satu
derajat ke bawah dengan pemberi hibah wasiat, termasuk suami/istri, untuk Kabupaten
153
“XX” ditetapkan sebesar Rp60.000.000,00. Besarnya Nilai Perolehan Objek Pajak Kena
Pajak (NPOPKP) adalah Rp100.000.000,00 dikurangi Rp60.000.000,00 sama dengan
Rp40.000.000,00, maka perolehan hak tersebut terutang Bea Perolehan Hak atas Tanah
dan Bangunan.
BPHTB = 5 % x (Rp 100 – Rp 60) juta
= 5 % x ( Rp 40) juta
- = Rp 2 juta .
10. Pembayaran BPHTB
Pembayaran BPHTB pada prinsipnya menganut sistim “self assessment”. Artinya
Wajib Pajak wajib membayar pajak yang terutang dengan tidak mendasarkan pada
adanya surat ketetapan pajak.Pajak yang terutang dibayarkan ke kas Negara melalui
Kantor Pos dan atau Bank Badan Usaha Milik Negara atau Bank Badan Usaha Milik
Daerah atau tempat lain yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan dengan menggunakan
Surat Setoran Bea (SSB).
11. Penetapan
1. Dalam jangka waktu 5 (lima) tahun sesudah saat terutangnya pajak, Direktur
Jenderal Pajak dapat menerbitkan Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak Atas Tanah
dan Bangunan Kurang Bayar (SKBPHTBKB) apabila berdasarkan hasil
pemeriksaan atauketerangan lain ternyata jumlah pajak yang terutang kurang
dibayar. Jumlah kekurangan pajak yang terutang dalam SKBKB ditambah dengan
sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2 % (dua persen) se bulan untuk jangka
waktu paling lama 24 bulan, dihitung mulai saat terutangnya pajak sampai dengan
diterbitkannya SKBKB.
2. Dalam jangka waktu 5 (lima) tahun sesudah saat terutangnya pajak, Direktur
Jenderal Pajak dapat menerbitkan Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak Atas Tanah
dan Bangunan Kurang Bayar Tambahan (SKBKBT) apabila ditemukan data baru
dan atau data yang semula belum terungkap yang menyebabkan penambahan
jumlah pajak yang terutang setelah diterbitkannya SKBKB. Jumlah kekurangan
pajak yang terutang dalam SKBKBT ditambah dengan sanksi administrasi berupa
kenaikan sebesar 100 % (seratus persen) dari jumlah kekurangan pajak tersebut,
kecuali wajib pajak melaporkan sendiri sebelum dilakukan tindakan pemeriksaan.
154
12. Penagihan
Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan Surat Tagihan Bea Perolehan Hak atas
Tanah dan Bangunan apabila :
1. pajak yang terutang tidak atau kurang dibayar;
2. dari hasil pemeriksaan SSB terdapat kekurangan pembayaran pajak sebagai akibat
salah tulis dan atau salah hitung;
3. wajib pajak dikenakan sanksi administrasi berupa denda dan atau bunga.
Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Kurang Bayar, Surat
Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Kurang Bayar Tambahan, Surat
Tagihan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan, dan Surat Keputusan Pembetulan,
Surat Keputusan Keberatan maupun Putusan Banding yang menyebabkan jumlah pajak
yang harus dibayar bertambah, merupakan dasar penagihan pajak dan harus dilunasi
dalam jangka waktu paling lama 1 (satu) bulan sejak diterima oleh Wajib Pajak. Dan jika
tidak atau kurang dibayar pada waktunya dapat ditagih dengan Surat Paksa.
Contoh Latihan Soal Perhitungan Pajak Bumi dan Bangunan :
1. Tuan Ferdy seorang Karyawan Poltek Unsri pada tahun 2009 hanya memiliki sebuah
objek pajak berupa bumi di kawasan Soekarno-Hatta, km.7 Palembang dan diketahui
Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) Bumi tersebut sebesar Rp. 10.000.000. Berapakah Besar
PBB yang terhutang pada tahun 2009 milik Tuan Ferdy !
Jawab :
Karena besarnya NJOP kurang dari Rp. 12.000.000,- maka objek pajak tidak dikenakan
Pajak Bumi dan Bangunan.
2. Tuan Iqbal Marshal seorang pengusaha terkenal memiliki 2 buah rumah pada tahun 2007,
objek pertama terletak di desa Talang Kelapa, Banyuasin dan Objek kedua terletak di
desa Rambutan, Banyuasin. Diketahui bahwa untuk objek pertama NJOP Bumi sebesar
Rp. 8.000.000,- dam NJOP Bangunan sebesar Rp. 7.500.000,-. Untuk Objek yang kedua
diketahui NJOP bumi sebesar Rp. 9.000.000,- dan NJOP Bangunan sebesar Rp.
6.000.000,-
155
Hitung PBB terhutang tahun 2007 Tuan Iqbal Marhal atas kedua objek tersebut !
Jawab:
PBB Terhutang = Tarif (0,5%) x NJKP
NJKP = NJOP – NJOPTKP
Dimana NJOP = NJOP Bumi + NJOP Bangunan
NJOP Di desa Talang Kelapa
NJOP Bumi = Rp. 8.000.000,-
NJOP Bangunan = Rp. 7.500.000,-
Total Rp. 15.500.000,- Merupakan NJOP terbesar
NJOP di desa Rambutan
NJOP Bumi = Rp. 9.000.000,-
NJOP Bangunan = Rp. 6.000.000,-
Total Rp. 15.000.000,-
Desa Talang Kelapa :
NJOP Bumi = Rp. 8.000.000,-
NJOP Bangunan = Rp. 7.500.000,-
NJOP sbg dasar pengenaan PBB Rp. 15.500.000,- (NJOP Terbesar)
NJOPTK Rp. 12.000.000 –
NJOP utk
Perhitungan PBB Rp. 3.500.000,-
Desa Rambutan :
NJOP Bumi = Rp. 9.000.000,-
NJOP Bangunan = Rp. 6.000.000,-
NJOP sbg dasar pengenaan PBB Rp. 15.000.000,-
NJOPTK Rp. 0,- (-)
156
NJOP utk
Perhitungan PBB Rp. 15.000.000,-
PBB Terhutang = Tarif x NJKP
= 0,5% x 20% x Rp. 18.500.000,-
= Rp. 18.500
3. Tuan Yusman adalah seorang pengusaha terkenal memiliki 2 buah rumah yang terletak di
Blitar. Objek pertama terletak di jalan semeru dan objek kedua terletak di jalan raya
rinjani. Diketahui objek pertama NJOP bumi sebesar Rp. 1.000.000.000,- (1 M) dan
NJOP bangunan Rp. 3.500.000,- (3,5 M) sedangkan untuk yang kedua diketahui NJOP
bumi sebesar Rp. 1.000.000.000,- (1 M) dan NJOP Bangunan sebesar Rp.
4.500.000.000,- (4,5 M). Hitunglah PBB terhutang Tuan Yusman atas kedua objek
tersebut.
Jawab :
NJOP terbesar adalah terletak pada NJOP di Jalan Raya Rinjani dengan :
NJOP Bumi = Rp. 1. 000.000.000,-
NJOP Bangunan = Rp. 4.500.000.000,- +
NJOP sbg dasar
Pengenaan PBB = Rp. 5.500.000.000,-
NJOPTKP = Rp. 12.000.000,- (-)
NJOP utk
Perhitungan PBB Rp. 5.488.000.000,-
Jl. Semeru :
NJOP Bumi = Rp. 1.000.000.000,-
NJOP bangunan = Rp. 3.500.000.000,- +
NJOP sbg dasar
Pengenaan PBB = Rp. 4.500.000.000,-
NJOPTKP = Rp. 0,- (-)
NJOP utk
Perhitungan PBB = Rp. 4.500.000.000,-
NJOP = NJOP Bumi + NJOP Bangunan = Rp. 5.488.000.000 + Rp. 4.500.000.000,- =
157
Rp.9.988.000.000.
PBB Terhutang = Tarif x NJKP = Tarif x (NJOP-NJOPTKP)
= 0,5% x 40% x 9.988.000.000.
= Rp. 19.970.000,-
4. Tuan Yusa seorang pegawai negeri yang memiliki 2 buah rumah pada suatu Kawasan
Real Estate bernama Pondok Indah. Objek pertama terletak di Pondok Indah Estate
dengan NJOP sebesar Rp. 28.000.000,- dan NJOP Bangunan sebesar Rp. 23.500.000,-
Untuk Objek kedua terletak di Puncak Dieng dengan NJOP Bumi sebesar Rp.
31,000,000,- dan NJOP Bangunan sebesar Rp. 10.000.000,-. Hitunglah PBB terhutang
pada tahun 2007 dari Tuan Yusa !
Jawab :
Rumah di kawasan Pondok Indah :
NJOP Bumi = Rp. 28.000.000,-
NJOP Bangunan = Rp. 23.500.000,-
Total NJOP = Rp. 41. 500.000
Rumah di kawasan Puncak Dieng :
NJOP Bumi = Rp, 31.000.000,-
NJOP Bangunan = Rp, 10.000.000,-
Total NJOP = Rp. 41.000.000,-
NJOP terbesar terletak Pada Rumah Di kawasan Pondok Indah.
NJOP Bumi = Rp. 28.000.000,-
NJOP Bangunan = Rp. 23.500.000,-
NJOP sbg dasar
Pengenaan PBB = Rp. 41. 500.000,-
158
NJOPTKP = Rp 12. 000.000,- (-)
NJOP utk
Perhitungan PBB Rp 29.500.000,-.
Kemudian untuk Pondok Dieng Estate :
NJOP Bumi = Rp. 31.000.000,-
NJOP Bangunan = Rp. 10.000.000,-
NJOP sbg dasar
Pengenaan PBB = Rp. 41.000.000,-
NJOPTKP = Rp. 0,- (-)
NJOP utk
Perhitungan PBB Rp. 41.000.000,-
PBB Terhutang = Tarif x NJKP = Tarif x (NJOP-NJOPTKP)
= 0,15% x 20% x Rp. 70.500.000,-
= Rp. 70,500,-
159
Contoh Latihan Soal Biaya Perolehan atas Tanah Dan Bangunan(BPHTB)
1. Wajib Pajak A membeli sebidang tanah di Kota Malang seharga Rp. 100 juta, NJOP PBB
pada tahun terjadinya transaksi adalah Rp.95 juta. Jika NJOPTKP kota Malang atas
transaksi tersebut sebesar Rp. 60 juta, maka tentukan BPHTB yang terutang atas
perolehan hak Tersebut !
Jawab :
NPOP = Rp. 100.000.000,-
NPOPTKP = Rp. 60.000.000,-
NPOPKP = Rp. 40.000.000,-
BPHTB = (NPOP – NPOPTKP) x Tarif
BPHTB = NPOPKP x Tarif
BPHTB Terhutang = (100.000.000 – 60.000.000) x 5%
= Rp. 40.000.000 x 5%
= Rp. 2.000.000,-
2. Seorang anak memperoleh warisan dari ayahnya dengan nilai pasar Rp. 500.000.000,-
NJOP yang tercantum dalam SPPT Rp. 800.000.000,-. NPOP TKP Rp. 300.000.000,-
Berapa Besarnya BPHTBnya ?
Jawab :
NPOP = Rp. 800.000.000,-
NPOP TKP = Rp. 300.000.000,-
NPOP KP = Rp. 500.000.000,-
BPHTB yang seharusnya terhutang = 5% x Rp. 500.000.000 = Rp. 25.000.000,-
BPHTB Terhutang = 50% x Rp. 25.000.000,- = Rp. 12.500.000,-
160
3. Budi menerima hibah wasiat dari anak kandungnya sebidang tanah dan bangunan dengan
nilai pasar Rp. 500.000.000,-, SPPT NJOP-nya Rp. 450.000.000 Apabila NPOPTKP
ditetapkan Rp. 300.000.000, maka BPHTBnya adalah :
Jawab :
NPOP = Rp. 500.000.000,-
NPOPTKP = RP. 300.000.000,-
NPOPKP = Rp. 200.000.000,-
BPHTB yang seharusnya terhutang = 5% x Rp. 200.000.000 = Rp. 10.000.000,-
BPHTB Terhutang = 50% x Rp. 10.000.000 = Rp. 5.000.000,-
4. Suatu Yayasan Panti Asuhan Anak yatim memperoleh hibah wasiat sebidang
Tanah dan Bangunan dengan nilai pasar Rp. 1.000.000.000,00. SPPT dengan NJOP Rp.
900.000.000. Apabila NPOP TKP Rp. 300.000.000, maka BPHTB adalah :
Jawab :
NPOP = Rp. 1.000.000.000,-
NPOPTKP = Rp. 300.000.000,-
NPOPKP = Rp. 700.000.000,-
BPHTB seharusnya terhutang = 5% x Rp. 700.000.000,- = Rp. 35.000.000,-
BPHTB yang terhutang = 50% x Rp. 35.000.000,- = Rp. 17.500.000,-
5. PERUM perumnas memperoleh hak pengelolaan atas tanah seluas 10 ha dengan NPOP
RP. 1.000.000,-. BPHTB adalah :
Jawab :
NPOP = Rp. 1.000.000.000,-
NPOPTKP = 60.000.000,-
NPOPKP = Rp. 940.000.000,-
BPHTB Terhutang = 5% x Rp. 940.000.000,- = Rp. 47.000.000,-
161
KASUS 1a :
Pajak Bumi dan Bangunan (PBB)
Berdasarkan data berikut anda diminta :
1. Menghitung PBB yang harus dibayar Tuan Huzairin tahun 20092. Menghitung PBB yang harus dibayar Tuan Huzairin tahun 20103. Menghitung PBB yang harus dibayar Tuan Huzairin tahun 2011
INFORMASI :
Sejak tahun 2005,Tuan Huzairin menempati sebuah rumah dijalan R.E Martadinata No.27B
Kelurahan 2 Ilir,Kecamatan Kalidoni Palembang. Luas rumah tersebut adalah 600 M2 diatas
tanah seluas 700 M2. NJOP tanah adalah Rp.464.000/M2 (kelas A-21) dan NJOP bangunan
Rp.365.000/M2 (kelas 8A).
Pada pertengahan tahun 2009, Tuan Huzairin membeli sebidang tanah dengan luas 900 M2
yang direncanakan akan dibangun sebuah ruko ditahun 2010. Tanah tersebut berlokasi dijalan
Kol.H.Burlian Km.5 Palembang,berada dikelas A23 dengan luas 900 M2, NJOP bangunan
Rp.335.000/M2.
Bulan September tahun 2010,Tuan Huzairin menyelesaikan pembangunan ruko seluas 800
M2.NJOP bangunan adalah Rp.968.000/M2 berada dikelas A-2.
Apabila NJOP Tidak Kena Pajak PBB di Palembang sebelum tahun 2012 adalah
Rp.8.000.000
KASUS 1b :
Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB)
Berdasarkan data berikut Saudara diminta :
1. Menghitung BPHTB yang terutang atas penjualan rumah Tuan Huzairin dibulan Juli
2012
2. Menghitung PBB yang harus dibayar Tuan Huzairin ditahun 2012
INFORMASI :
Melanjutkan kasus sebelumnya, pada tanggal 2 Juli 2012,Tuan Huzairin menjual rumah nya
yang berlokasi dijalan R.E Martadinanta dan segera menempati ruko yang telah
dibangunnya. Rumah tersebut terjual dengan harga Rp.700.000.000
Apabila Nilap Perolehan Tidak Kena Pajak BPHTB Rp.60.000.000 dan NJOP Tidak Kena
Pajak PBB di Palembang tahun 2012 adalah Rp.10.000.000.
162
MENGHITUNG PBB TAHUN 2009
Lokasi : jalan RE. Martadinata No. 27B Kelurahan 2 Ilir Kecamatan Kalidoni Palembang.
OBJEK PAJAK
LUAS
(M²) KELAS NJOP (Rp)
BUMI Rp. Rp.
BANGUNAN Rp. Rp.
NJOP Sebagai dasar pengenaan PBB Rp.
NJOPTKP (NJOP Tidak Kena Pajak) Rp.
NJOP untuk menghitung PBB Rp.
NJKP (Nilai Jual Kena Pajak) …. % x …. Rp.
Pajak Bumi dan Bangunan yang
terutang …. % x …. Rp.
PBB yang harus dibayar Tuan Huzairindi tahun 2009 adalah …..
MENGHITUNG PBB TAHUN 2010
Lokasi 1 : Jalan RE. Martadinata No. 27B Kelurahan 2 Ilir Kecamatan Kalidoni Palembang
OBJEK PAJAK
LUAS
(M²) KELAS NJOP (Rp)
BUMI Rp. Rp.
BANGUNAN Rp. Rp.
NJOP Sebagai dasar pengenaan PBB Rp.
NJOPTKP (NJOP Tidak Kena
Pajak) Rp.
NJOP untuk menghitung PBB Rp.
NJKP (Nilai Jual Kena Pajak) …. % x …. Rp.
Pajak Bumi dan Bangunan yang
terutang …. % x …. Rp.
163
Lokasi 2 : Jalan Kol. H.Burlian Km.5 Palembang
OBJEK PAJAK
LUAS
(M²) KELAS NJOP (Rp)
BUMI Rp. Rp.
BANGUNAN Rp. Rp.
NJOP Sebagai dasar pengenaan PBB Rp.
NJOPTKP (NJOP Tidak Kena
Pajak) Rp.
NJOP untuk menghitung PBB Rp.
NJKP (Nilai Jual Kena Pajak) …. % x …. Rp.
Pajak Bumi dan Bangunan yang
terutang …. % x …. Rp.
Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) Lokasi 1 Rp.
Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) Lokasi 2 Rp.
Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) yang terutang ditahun 2010 Rp.
MENGHITUNG PBB TAHUN 2011
Lokasi 1 : Jalan RE. Martadinata No. 27B Kelurahan 2 Ilir Kecamatan Kalidoni Palembang
OBJEK PAJAK
LUAS
(M²) KELAS NJOP (Rp)
BUMI Rp. Rp.
BANGUNAN Rp. Rp.
NJOP Sebagai dasar pengenaan PBB Rp.
NJOPTKP (NJOP Tidak Kena
Pajak) Rp.
NJOP untuk menghitung PBB Rp.
NJKP (Nilai Jual Kena Pajak) …. % x …. Rp.
Pajak Bumi dan Bangunan yang
terutang …. % x …. Rp.
164
Lokasi 2 : Jalan Kol. H.Burlian Km.5 Palembang
OBJEK PAJAK
LUAS
(M²) KELAS NJOP (Rp)
BUMI Rp. Rp.
BANGUNAN Rp. Rp.
NJOP Sebagai dasar pengenaan PBB Rp.
NJOPTKP (NJOP Tidak Kena
Pajak) Rp.
NJOP untuk menghitung PBB Rp.
NJKP (Nilai Jual Kena Pajak) …. % x …. Rp.
Pajak Bumi dan Bangunan yang
terutang …. % x …. Rp.
Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) Lokasi 1 Rp.
Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) Lokasi 2 Rp.
Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) yang terutang ditahun 2011 Rp.
MENGHITUNG PBB TAHUN 2012
Lokasi 1 : Jalan RE. Martadinata No. 27B Kelurahan 2 Ilir Kecamatan Kalidoni Palembang
OBJEK PAJAK
LUAS
(M²) KELAS NJOP (Rp)
BUMI Rp. Rp.
BANGUNAN Rp. Rp.
NJOP Sebagai dasar pengenaan PBB Rp.
NJOPTKP (NJOP Tidak Kena
Pajak) Rp.
NJOP untuk menghitung PBB Rp.
NJKP (Nilai Jual Kena Pajak) …. % x …. Rp.
Pajak Bumi dan Bangunan yang
terutang …. % x …. Rp.
165
Lokasi 2 : Jalan Kol. H.Burlian Km.5 Palembang
OBJEK PAJAK
LUAS
(M²) KELAS NJOP (Rp)
BUMI Rp. Rp.
BANGUNAN Rp. Rp.
NJOP Sebagai dasar pengenaan PBB Rp.
NJOPTKP (NJOP Tidak Kena
Pajak) Rp.
NJOP untuk menghitung PBB Rp.
NJKP (Nilai Jual Kena Pajak) …. % x …. Rp.
Pajak Bumi dan Bangunan yang
terutang …. % x …. Rp.
Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) Lokasi 1 Rp.
Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) Lokasi 2 Rp.
Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) yang terutang ditahun 2012 Rp.
MENGHITUNG BPHTB BULAN JULI 2012
OBJEK PAJAK
LUAS
(M²) KELAS NJOP (Rp)
BUMI Rp. Rp.
BANGUNAN Rp. Rp.
Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) Rp.
Dasar Pengenaan BPHTB (harga
pada saat pelepasan hak/harga jual) Rp.
Nilai Perolehan Tidak Kena Pajak Rp.
Nilai Perolehan Kena Pajak Rp.
BPHTB yang terutang .… % x…. Rp.
166
SUSUNAN DALAM SATU NASKAH SEJARAH
UNDANG-UNDANG MENGENAI PAJAK BUMI DAN BANGUNAN
KETENTUAN UMUM
Pasal 1 (UU No 12 Tahun 1985)
Yang dimaksud dalam Undang-undang ini dengan :
1. Bumi adalah permukaan bumi dantubuh bumi yang ada dibawahnya;
2. Bangunan adalah konstruksi teknikyang ditanam atau dilekatkan secara tetap pada tanah
dan/atau perairan;
3. Nilai Jual Obyek Pajak adalahharga rata-rata yang diperoleh dari transaksi jual beli yang
terjadi secarawajar, dan bilamana tidak terdapat transaksi jual beli, Nilai Jual ObyekPajak
ditentukan melalui perbandingan harga dengan obyek lain yang sejenis,atau nilai
perolehan baru, atau Nilai Jual Obyek Pajak Pengganti;
4. Surat Pemberitahuan Obyek Pajakadalah suratyang digunakan oleh wajib pajak untuk
melaporkan data obyek pajak menurutketentuan undang-undang ini;
5. Surat Pemberitahuan PajakTerhutang adalah suratyang digunakan oleh Direktorat
Jenderal Pajak untuk memberitahukan besarnyapajak terhutang kepada wajib pajak;
Penjelasan Pasal 1
Angka 1
Permukaan bumi meliputi tanah danperairan pedalaman serta laut wilayah Indonesia.
Angka 2
Termasuk dalam pengertian bangunan adalah:
- jalan lingkungan yang terletakdalam suatu kompleks bangunan seperti hotel, pabrik, dan
emplasemennya, danlain-lain yang merupakan satu kesatuan dengan kompleks bangunan
tersebut;
- jalan TOL;
- kolam renang;
- pagar mewah;
- tempat olah raga;
- galangan kapal, dermaga;
- taman mewah;
167
- tempat penampungan/kilang minyak,air dan gas, pipa minyak;
- fasilitas lain yang memberikan manfaat.
Angka 3
Yang dimaksud dengan :
- Perbandingan harga dengan objeklain yang sejenis, adalah suatu pendekatan/metode
penentuan nilai jual suatuobjek pajak dengan cara membandingkannya dengan objek pajak
lain yang sejenisyang letaknya berdekatan dan fungsinya sama dan telah diketahui
hargajualnya.
- Nilai perolehan baru, adalahsuatu pendekatan/metode penentuan nilai jual suatu objek
pajak dengan caramenghitung seluruh biaya yang dikeluarkan untuk memperoleh objek
tersebutpada saat penilaian dilakukan, yang dikurangi dengan penyusutan berdasarkan
kondisifisik objek tersebut.
- Nilai jual pengganti, adalahsuatu pendekatan/metode penentuan nilai jual suatu objek pajak
yangberdasarkan pada hasil produksi objek pajak tersebut.
Angka 4
Cukup jelas
Angka 5
Cukup jelas
OBYEK PAJAK
Pasal 2 (UU No 12 Tahun 1985)
(1) Yang menjadi obyek pajak adalahbumi dan/atau bangunan.
(2) Klasifikasi obyek pajaksebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur oleh Menteri
Keuangan.
Penjelasan Pasal 2
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
168
Yang dimaksud dengan klasifikasibumi dan bangunan adalah pengelompokan bumi dan
bangunan menurut nilai jualnyadan digunakan sebagai pedoman serta untuk memudahkan
penghitungan pajakterhutang.
Dalam menentukan klasifikasi bumi/tanah diperhatikanfaktor-faktor sebagai berikut :
1. letak;
2. peruntukan;
3. pemanfaatan;
4. kondisi lingkungan dan lain-lain.
Dalam menentukan klasifikasi bangunan diperhatikanfaktor-faktor sebagai berikut :
1. bahan yang digunakan;
2. rekayasa;
3. letak;
4. kondisi lingkungan dan lain-lain.
Pasal 3
(1) Obyek Pajak yang tidak dikenakanPajak Bumi dan Bangunan adalah objek pajak yang :
(UU No 12 Tahun 1985)
a. digunakan semata-mata untuk melayanikepentingan umum di bidang ibadah, sosial,
kesehatan, pendidikan dankebudayaan nasional, yang tidak dimaksud-kan untuk
memperoleh keuntungan.
b. digunakan untuk kuburan,peninggalan purbakala, atau yang sejenis dengan itu;
c. merupakan hutan lindung, hutansuaka alam, hutan wisata, taman nasional, tanah
penggembalaan yang dikuasaioleh desa, dan tanah negara yang belum dibebani suatu
hak;
d. digunakan oleh perwakilan diplomatik, konsulatberdasarkan asas perlakuan timbal
balik.
e. digunakan oleh badan atau perwakilanorganisasi internasional yang ditentukan oleh
Menteri Keuangan.
(2) Objek pajak yang digunakan oleh negarauntuk penyelenggaraan pemerintahan,
penentuan pengenaan pajaknya diatur lebihlanjut dengan Peraturan Pemerintah. (UU No
12 Tahun 1985)
(3) Besarnya Nilai Jual Objek PajakTidak Kena Pajak ditetapkan sebesar Rp.
169
8.000.000,00(delapan juta rupiah) untuk setiap Wajib Pajak. (UU No 12 Tahun 1994)
(4) Penyesuaian besarnya Nilai JualObjek Pajak Tidak Kena Pajak sebagaimana dimaksud
pada ayat (3) ditetapkanoleh Menteri Keuangan. (UU No 12 Tahun 1994)
Penjelasan Pasal 3
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan tidakdimaksudkan untuk memperoleh keuntungan adalah bahwa
objek pajak itu diusahakan untuk melayani kepentingan umum, dan nyata-nyata tidak
ditujukan untuk mencari keuntungan. Hal ini dapat diketahui antara lain dari anggaran
dasardan anggaran rumah tangga dari yayasan/badan yang bergerak dalam bidang ibadah,
sosial, kesehatan, pendidikan, dan kebudayaan nasional tersebut. Termasuk pengertian ini
adalah hutan wisata milik Negara sesuai Pasal 2 Undang-undangNomor 5 Tahun 1967
tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kehutanan.
Contoh :
- pesantren atau sejenis dengan itu;
- madrasah;
- tanah wakaf;
- rumah sakit umum.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan objek pajak dalamayat ini adalah objek pajak yang
dimiliki/dikuasai/digunakan oleh PemerintahPusat dan Pemerintah Daerah dalam
menyelenggarakan pemerintahan.
Pajak Bumi dan Bangunan adalah pajak negara yang sebagianbesar penerimaannya
merupakan pendapatan daerah yang antara laindipergunakan untuk penyediaan fasilitas
yang juga dinikmati oleh PemerintahPusat dan Pemerintah Daerah.
Oleh sebab itu wajar PemerintahPusat juga ikut membiayai penyediaan fasilitas tersebut
melalui pembayaran Pajak Bumi dan Bangunan. Mengenai bumi dan/atau bangunan milik
perorangan dan/atau badan yang digunakan oleh negara, kewajiban perpajakannya
tergantungpada perjanjian yang diadakan.
Ayat (3)
170
Untuk setiap Wajib Pajak diberikan Nilai Jual Objek PajakTidak Kena Pajak sebesar Rp
8.000.000,00 (delapan jutarupiah).
Apabila seorang Wajib Pajak mempunyai beberapa ObjekPajak, yang diberikan Nilai Jual
Objek Pajak Tidak Kena Pajak hanya salah satuObjek Pajak yang nilainya terbesar,
sedangkan Objek Pajak lainnya tetapdikenakan secara penuh tanpa dikurangi Nilai Jual
Objek Pajak Tidak Kena Pajak.
Contoh :
1. Seorang Wajib Pajak hanyamepunyai Objek Pajak berupa berupa bumi dengan nilai
sebagai berikut :
- Nilai Jual Objek Pajak Bumi Rp 3.000.000,00
- Nilai Jual Objek Pajak TidakKena Pajak Rp 8.000.000,00
Karena Nilai Jual Objek Pajakberada di bawah Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena Pajak,
maka Objek Pajaktersebut tidak dikenakan Pajak Bumi dan Bangunan.
2. Seorang Wajib Pajak mempunyai dua Objek Pajak berupabumi dan bangunan masing-
masing di Desa A dan di Desa B dengan nilai sebagaiberikut :
a. Desa A
- Nilai Jual Objek Pajak Bumi Rp 8.000.000,00
- Nilai Jual Objek Pajak Tidak KenaPajak Rp 5.000.000,00
Nilai Jual Objek Pajak untukPenghitungan Pajak :
- Nilai Jual Objek Pajak Bumi Rp 8.000.000,00
- Nilai Jual Objek Pajak TidakKena Pajak Rp 5.000.000,00 (+)
- Nilai Jual Objek Pajak sebagai dasarpengenaan pajak Rp13.000.000,00
- Nilai Jual Objek Pajak TidakKena Pajak Rp 8.000.000,00 (-)
- Nilai Jual Objek Pajak untukPenghitungan Pajak Rp 5.000.000,00
b. Desa B
- Nilai Jual Objek Pajak Bumi Rp 5.000.000,00
- Nilai Jual Objek Pajak TidakKena Pajak Rp 3.000.000,00
Nilai Jual Objek Pajak untukPenghitungan Pajak :
- Nilai Jual Objek Pajak Bumi Rp 5.000.000,00
171
- Nilai Jual Objek Pajak TidakKena Pajak Rp 3.000.000,00 (+)
- Nilai Jual Objek Pajak sebagaidasar pengenaan pajak Rp 8.000.000,00
- Nilai Jual Objek Pajak TidakKena Pajak Rp 0,00 (-)
- Nilai Jual Objek Pajak untukPenghitungan Pajak Rp 8.000.000,00
Untuk Objek Pajak di Desa B,tidak diberikan Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena Pajak
sebesar Rp8.000.000,00 (delapan juta rupiah), karena Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena
Pajaktelah diberikan untuk Objek Pajak yang berada di Desa A.
3. Seorang Wajib Pajak mempunyai dua Objek Pajak berupabumi dan bangunan pada satu
Desa C dengan nilai sebagai berikut :
a. Objek I
- Nilai Jual Objek Pajak Bumi Rp 4.000.000,00
- Nilai Jual Objek Pajak TidakKena Pajak Rp 2.000.000,00
Nilai Jual Objek Pajak untukPenghitungan Pajak :
- Nilai Jual Objek Pajak Bumi Rp 4.000.000,00
- Nilai Jual Objek Pajak TidakKena Pajak Rp 2.000.000,00 (+)
- Nilai Jual Objek Pajak sebagaidasar pengenaan pajak Rp 6.000.000,00
- Nilai Jual Objek Pajak TidakKena Pajak Rp 8.000.000,00 (-)
Karena Nilai Jual Objek Pajak berada di bawah Nilai JualObjek Pajak Tidak Kena
Pajak, maka Objek Pajak tersebut tidak dikenakan PajakBumi dan Bangunan.
b. Objek II
- Nilai Jual Objek Pajak Bumi Rp 4.000.000,00
- Nilai Jual Objek Pajak TidakKena Pajak Rp 1.000.000,00
Nilai Jual Objek Pajak untukPenghitungan Pajak :
- Nilai Jual Objek Pajak Bumi Rp 4.000.000,00
- Nilai Jual Objek Pajak TidakKena Pajak Rp 1.000.000,00 (+)
- Nilai Jual Objek Pajak sebagaidasar pengenaan pajak Rp 5.000.000,00
- Nilai Jual Objek Pajak TidakKena Pajak Rp 0,00 (-)
- Nilai Jual Objek Pajak untukPenghitungan Pajak Rp 5.000.000,00
172
Ayat (4)
Berdasarkan ketentuan ini Menteri Keuangandiberikan wewenang untuk mengubah
besarnya Nilai Jual Objek Pajak Tidak KenaPajak sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
dengan mempertimbangkan perkembanganekonomi dan moneter serta perkembangan
harga umum objek pajak setiap tahunnya.
SUBYEK PAJAK
Pasal 4 (UU No 12 Tahun 1985)
(1) Yang menjadi subyek pajak adalah orang atau badan yang secara nyata mempunyai suatu
hak atas bumi, dan/ataumemperoleh manfaat atas bumi, dan/atau memiliki, menguasai,
dan/ataumemperoleh manfaat atas bangunan.
(2) Subyek pajak sebagaimana dimaksuddalam ayat (1) yang dikenakan kewajiban
membayar pajak menjadi wajib pajakmenurut Undang-undang ini.
(3) Dalam hal atas suatu obyek pajak belumjelas diketahui wajib pajaknya, Direktur Jenderal
Pajak dapat menetapkansubyek pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) sebagai
wajib pajak.
(4) Subyek pajak yang ditetapkansebagaimana dimaksud dalam ayat (3) dapat memberikan
keterangan secara tertulis kepada Direktur Jenderal Pajak bahwa ia bukan wajib pajak
terhadapobyek pajak dimaksud.
(5) Bila keterangan yang diajukanoleh wajib pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (4)
disetujui, maka DirekturJenderal Pajak membatalkan penetapan sebagai wajib pajak
sebagaimana dimaksuddalam ayat (3) dalam jangka waktu satu bulan sejak diterimanya
surat keterangandimaksud.
(6) Bila keterangan yang diajukan itutidak disetujui, maka Direktur Jenderal Pajak
mengeluarkan surat keputusan penolakan dengan disertaialasan-alasannya.
(7) Apabila setelah jangka waktu satubulan sejak tanggal diterimanya keterangan
sebagaimana dimaksud dalam ayat(4), Direktur Jenderal Pajak tidak memberikan
keputusan, maka keterangan yangdiajukan itu dianggap disetujui.
173
Penjelasan Pasal 4
Ayat (1)
Tanda pembayaran/pelunasan pajakbukan merupakan bukti kepemilikan hak.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Katentuan ini memberikan kewenangankepada Direktur Jenderal Pajak untuk menentukan
subjek pajak sebagai wajibpajak, apabila suatu objek pajak belum jelas wajib pajaknya.
Contoh:
1. Subjek pajak bernama A yangmemanfaatkanatau menggunakan bumi dan/atau bangunan
milik orang lain bernama B bukankarena sesuatu hak berdasarkan Undang-undang atau
bukan karena perjanjianmaka dalam hal demikian A yang memanfaatkan atau
menggunakan bumi dan/ataubangunan tersebut ditetapkan sebagai wajib pajak.
2. Suatu objek pajak yang masihdalam sengketa pemilikan di pengadilan, maka orang atau
badan yangmemanfaatkan atau menggunakan objek pajak tersebut ditetapkan sebagai
wajib pajak.
3. Subjek pajak dalam waktu yang lamaberada di luar wilayah letak objek pajak, sedang
untuk merawat objek pajaktersebut dikuasakan kepada orang atau badan yang diberi kuasa
dapat ditunjuk sebagai wajib pajak. Penunjukan sebagai wajib pajak oleh Direktur
Jenderal Pajak (DJP) bukan merupakan bukti pemilikan hak.
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Cukup jelas
Ayat (6)
Cukup jelas
Ayat (7)
Berdasarkan ketentuan dalam ayat ini, apabila Direktur Jenderal Pajak tidak memberikan
keputusan dalam waktu 1(satu) bulan sejak tanggal diterimanya keterangan dari wajib
pajak, makaketetapan sebagai wajib pajak gugur dengan sendirinya dan berhak
mendapatkankeputusan pencabutan penetapan sebagai wajib pajak.
174
TARIF PAJAK
Pasal 5 (UU No 12 Tahun 1985)
Tarif pajak yang dikenakan atas obyekpajak adalah sebesar 0,5% (lima persepuluh persen).
Penjelasan Pasal 5
Cukup jelas
DASAR PENGENAAN DAN CARA MENGHITUNG PAJAK
Pasal 6 (UU No 12 Tahun 1985)
(1) Dasar pengenaan pajak adalahNilai Jual Obyek Pajak.
(2) Besarnya Nilai Jual Obyek Pajaksebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan setiap
tiga tahun oleh MenteriKeuangan, kecuali untuk daerah tertentu ditetapkan setiap tahun
sesuai denganperkembangan daerahnya.
(3) Dasar penghitungan pajak adalahNilai Jual Kena Pajak yang ditetapkan serendah-
rendahnya 20% (dua puluhpersen) dan setinggi-tingginya 100% (seratus persen) dari
nilai jual obyekpajak.
(4) Besarnya persentase Nilai Jual KenaPajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (3)
ditetapkan dengan PeraturanPemerintah dengan memperhatikan kondisi ekonomi
nasional.
Penjelasan Pasal 6
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Pada dasarnya penetapan Nilai Jual ObjekPajak adalah 3 (tiga) tahun sekali. Namun
demikian untuk daerah tertentuyang karena perkembangan pembangunan mengakibatkan
kenaikan Nilai Jual ObjekPajak cukup besar, maka penetapan nilai jual ditetapkan
setahun sekali.
Dalam menetapkan nilai jual,Menteri Keuangan mendengar pertimbangan Gubernur serta
memperhatikan asas selfassessment.
Ayat (3)
175
Yang dimaksud Nilai Jual Kena Pajak(assessment value) adalah nilai jual yang
dipergunakan sebagai dasarpenghitungan pajak, yaitu suatu persentase tertentu dari nilai
jual sebenarnya.
Contoh:
1. Nilai jual suatu objek pajaksebesar Rp 1.000.000,00 Persentase Nilai Jual Kena Pajak
misalnya 20% makabesarnya Nilai Jual Kena Pajak 20% x Rp 1.000.000,00 = Rp
200.000,00
2. Nilai jual suatu objek pajaksebesar Rp 1.000.000,00 Persentase Nilai Jual Kena Pajak
misalnya 50% makabesarnya Nilai Jual Kena Pajak 50% x Rp 1.000.000,00 = Rp
500.000,00
Ayat (4)
Pasal 7 (UU No 12 Tahun 1985)
Besarnya pajak yang terhutangdihitung dengan cara mengalikan tarif pajak denganNilai Jual
Kena Pajak.
Penjelasan Pasal 7
Ayat (1)
Nilai jual untuk bangunan sebelum diterapkan tarif pajakdikurangi terlebih dahulu dengan
batas nilai jual bangunan tidak kena pajaksebesar Rp 2.000.000,00 (dua juta rupiah).
Contoh :
Wajib Pajak A mempunyai Obyek Pajak berupa :
- Tanah seluas 800 m2 dengan harga jual Rp.300.000/m2
- Bangunan seluas 400 m2 dengan nilai jual Rp.350.000/m2;
- Taman mewah seluas 200 m2 dengannilai jual Rp. 50.000/m2;
- Pagar mewah sepanjang 120 m dan tinggi rata-rata pagar1,5 m dengan nilai jual
Rp.175.000/m2;
Persentase Nilai Jual Kena Pajakmisalnya 20%.
Besarnya pajak yang terhutang adalah sebagai berikut :
176
1. Nilai jual tanah : 800 xRp.300.000,00 = Rp. 240.000.000,00
Nilai jual bangunan :
a. Rumah dan garasi
400 x Rp. 350.000,00 = Rp. 140.000.000,00
b. Taman Mewah
200 x Rp. 50.000,00 = Rp. 10.000.000,00
c. Pagar mewah
(120 x 1,5) x Rp. 175.000,00 = Rp. 31.500.000,00 (+)
Rp. 181.500.000,00
Batas nilai jual bangunan
Tidak Kena Pajak = Rp. 2.000.000,00 (-)
Nilai jual bangunan = Rp. 179.500.000,00 (+)
Nilai jual tanah dan bangunan = Rp. 419.500.000,00
2. Besarnya Pajak Bumi dan Bangunanyang terhutang :
a. Atas tanah = 0,5% x 20% x Rp.240.000.000,00 = Rp. 240.000,00
b. Atas bangunan = 0,5% x 20% x Rp.179.000.000,00 = Rp. 179.500,00 (+)
Jumlah pajak yang terhutang = Rp. 419.500,00
TAHUN PAJAK, SAAT, DAN TEMPAT YANG MENENTUKAN PAJAK
TERHUTANG
Pasal 8 (UU No 12 Tahun 1985)
(1) Tahun pajak adalah jangka waktusatu tahun takwim.
(2) Saat yang menentukan pajak yang terhutangadalah menurut keadaan obyek pajak pada
tanggal 1 Januari.
(3) Tempat pajak yang terhutang :
a. untuk daerah Jakarta, di wilayah Daerah Khusus IbukotaJakarta;
b. untuk daerah lainnya, di wilayah KabupatenDaerah Tingkat II atau Kotamadya
177
Daerah Tingkat II;
Yang meliputi letak obyek pajak
Penjelasan Pasal 8
Ayat (1)
Jangka waktu 1 (satu) tahun takwimadalah dari 1 Januari sampai dengan 31 Desember.
Ayat (2)
Karena tahun pajak dimulai padatanggal 1 Januari, maka keadaan objek pajak pada
tanggal tersebut merupakansaat yang menentukan pajak yang terhutang.
Contoh :
a. Objek pajak pada tanggal 1Januari 1986 berupa tanah dan bangunan. Pada tanggal 10
Januari 1986bangunannya terbakar, maka pajak yang terhutang tetap berdasarkan
keadaanobjek pajak pada tanggal 1 Januari 1986, yaitu keadaan sebelum bangunan
ituterbakar.
b. Objek pajak pada tanggal 1Januari 1986 berupa sebidang tanah tanpa bangunan di
atasnya. Pada tanggal 10Agustus 1986 dilakukan pendataan, ternyata di atas tanah
tersebut telahberdiri suatu bangunan, maka pajak yang terhutang untuk tahun 1986
tetapdikenakan pajak berdasarkan keadaan pada tanggal 1 Januari 1986.
Sedangkanbangunannya baru akan dikenakan pada tahun 1987.
Ayat (3)
Tempat pajak yang terhutang untukKotamadya Batam, di wilayah Propinsi Daerah
Tingkat I yang bersangkutan.
PENDAFTARAN, SURAT PEMBERITAHUAN OBYEK PAJAK, SURAT
PEMBERITAHUAN PAJAK TERHUTANG, DAN SURAT KETETAPAN PAJAK
Pasal 9 (UU No 12 Tahun 1985)
(1) Dalam rangka pendataan, subyekpajak wajib mendaftarkan obyek pajaknya dengan
mengisi Surat PemberitahuanObyek Pajak.
(2) Surat Pemberitahuan Obyek Pajaksebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus diisi
dengan jelas, benar, danlengkap serta ditandatangani dan disampaikan kepada Direktorat
178
Jenderal Pajakyang wilayah kerjanya meliputi letak obyek pajak, selambat-lambatnya 30
(tigapuluh) hari setelah tanggal diterimanya Surat Pemberitahuan Obyek Pajak
olehsubyek pajak.
(3) Pelaksanaan dan tata carapendaftaran obyek pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
dan ayat (2)diatur lebih lanjut oleh Menteri Keuangan.
Penjelasan Pasal 9
Ayat (1)
Dalam rangka pendataan, wajib pajak akandiberikan Surat Pemberitahuan Objek Pajak
untuk diisi dan dikembali kepadaDirektorat Jenderal Pajak. Wajib pajak yang pernah
dikenakan IPEDA tidak wajibmendaftarkan objek pajaknya kecuali kalau ia
menerimaSPOP maka dia wajib mengisinya dan mengembalikannya kepada Direktorat
JenderalPajak
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan jelas, benar, dan lengkap adalah :
Jelas, dimaksudkan agar penulisandata yang diminta dalam Surat Pemberitahuan Objek
Pajak (SPOP) dibuatsedemikian rupa, sehingga tidak menimbulkan salah tafsir yang
dapat merugikannegara maupun wajib pajak sendiri.
Benar, berarti data yang dilaporkanharus sesuai dengan keadaan yang sebenarnya, seperti
luas tanah dan/ataubangunan, tahun dan harga perolehan dan seterusnya sesuai
dengankolom-kolom/pertanyaan yang ada pada Surat Pemberitahuan Objek Pajak
(SPOP).
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 10 (UU No 12 Tahun 1985)
(1) Berdasarkan Surat PemberitahuanObyek Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9
ayat (1), Direktur JenderalPajak menerbitkan Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang.
(2) Direktur Jenderal Pajak dapatmengeluarkan Surat Ketetapan Pajak dalam hal-hal sebagai
berikut :
179
a. apabila Surat PemberitahuanObyek Pajak tidak disampaikan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2)dan setelah ditegor secara tertulis tidak
disampaikan sebagaimanaditentukan dalam Surat Tegoran;
b. apabila berdasarkan hasil pemeriksaanatau keterangan lain ternyata jumlah yang
terhutang lebih besar dari jumlahpajak yang dihitung berdasarkan Surat
Pemberitahuan Obyek Pajak yangdisampaikan oleh wajib pajak.
(3) Jumlah pajak yang terhutang dalamSurat Ketetapan Pajak sebagaimana dimaksud dalam
ayat (2) huruf a, adalahpokok pajak ditambah dengan denda administrasi sebesar 25%
(dua puluh lima persen) dihitungdari pokok pajak.
(4) Jumlah pajak yang terhutang dalamSurat Ketetapan Pajak sebagaimana dimaksud dalam
ayat (2) huruf b adalahselisih pajak yang terhutang berdasarkan hasil pemeriksaan atau
keterangan lain dengan pajak yang terhutang yang dihitung berdasarkanSurat
Pemberitahuan Obyek Pajak ditambah denda administrasi sebesar 25% (duapuluh
limapersen) dari selisih pajak yang terhutang.
Penjelasan Pasal 10
Ayat (1)
Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang (SPPT) diterbitkanatas dasar Surat Pemberitahuan
Objek Pajak (SPOP), namun untuk membantu wajib pajakSurat Pemberitahuan Pajak
Terhutang dapat diterbitkan berdasarkan data objekpajak yang telah ada pada Direktorat
Jenderal Pajak.
Ayat (2)
Ketentuan ayat ini memberi wewenangkepada Direktur Jenderal Pajak untuk dapat
mengeluarkan Surat Ketetapan Pajak(SKP) terhadap wajib pajak yang tidak memenuhi
kewajiban perpajakan sebagaimanamestinya.
Menurut ketentuan ayat (2) huruf a, Wajib Pajak yang tidakmenyampaikan Surat
Pemberitahuan Objek Pajak pada waktunya, walaupun sudahditegor secara tertulis juga
tidak disampaikan dalam jangka waktu yangditentukan dalam Surat Tegoran itu, Direktur
Jenderal Pajak dapat menerbitkanSurat Pajak secara jabatan. Terhadap ketetapan ini
dikenakansanksi administrasi sebagaimana diatur dalam ayat (3).
180
Menurut ketentuan ayat (2) huruf b, apabila berdasarkanhasil pemeriksaan atau
keterangan lain yang ada pada Direktorat Jenderal Pajakternyata jumlah pajak yang
terhutang lebih besar dari jumlah pajak dalam SuratPemberitahuan Pajak Terhutang yang
dihitung atas dasar Surat PemberitahuanObjek Pajak yang disampaikan wajib pajak,
Direktur Jenderal Pajak menerbitkanSurat Ketetapan Pajak secara jabatan. Terhadap
ketetapan inidikenakan sanksi administrasi sebagaimana diatur dalam ayat (3).
Ayat (3)
Ayat ini mengatur sanksi administrasi yang dikenakanterhadap wajib pajak yang tidak
menyampaikan Surat Pemberitahuan Objek Pajaksebagaimana dimaksud dalam ayat (2)
huruf a, sanksi tersebut dikenakan sebagaitambahan terhadap pokok pajak yaitu sebesar
25% (dua puluh lima persen) daripokok pajak.
Surat Ketetapan Pajak ini,berdasarkan data yang ada pada Direktorat Jenderal Pajak
memuat penetapan objekpajak dan besarnya pajak yang terhutang beserta denda
administrasi yangdikenakan kepada wajib pajak.
Contoh :
Wajib pajak A tidak menyampaikanSPOP. Berdasarkan data yang ada, Direktur Jenderal
Pajak mengeluarkan SKP yang berisi :
- Obyek Pajak dengan luas dan nilai jual.
- luas Obyek Pajak menurut SPOP.
- pokok pajak = Rp. 1.000.000,00
- Sanksi administrasi = 25% x Rp. 1.000.000,00 = Rp. 250.000,00
- Jumlah pajak yang terhutang dalam SKP = Rp. 1.250.000,00
Ayat (4)
Ayat ini mengatur sanksi administrasi yang dikenakanterhadap wajib pajak yang mengisi
Surat Pemberitahuan Objek Pajak tidak sesuaidengan keadaan sebenarnya sebagaimana
dimaksud dalam ayat (2) huruf b yaitusebesar 25% (dua puluh lima persen) dari selisih
pajak terhutang berdasarkanhasil pemeriksaan atau keterangan lain dengan pajak
terhutang dalam SuratPemberitahuan Pajak Terhutang yang dihitung berdasarkan Surat
PemberitahuanObjek Pajak yang disampaikan oleh wajib pajak.
181
Berdasarkan SPOP diterbitkan SPPT = Rp. 1.000.000,00
Berdasarkan pemeriksaan pajak yang seharusnya terhutangdalam SKP = Rp. 1.500.000,00
Selisih = Rp. 500.000,00
Denda administrasi 25% x Rp. 500.000,00 = Rp. 125.000,00
Jumlah pajak terhutang dalam SKP = Rp. 625.000,00
Adapun jumlah pajak yang terhutang sebesar = Rp. 1.000.000,00
Jumlah yang tercantum dalam SuratPemberitahuan Pajak Terhutang, apabila belum
dilunasi wajib pajak, penagihannyadilakukan berdasarkan Surat Pemberitahuan Pajak
Terhutang tersebut.
182
TATA CARA PEMBAYARAN DAN PENAGIHAN
Pasal 11 (UU No 12 Tahun 1985)
(1) Pajak yang terhutang berdasarkanSurat Pemberitahuan Pajak Terhutang sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1)harus dilunasi selambat-lambatnya enam bulan sejak
tanggal diterimanya SuratPemberitahuan Pajak Terhutang oleh wajib pajak.
(2) Pajak yang terhutang berdasarkanSurat Ketetapan Pajak sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 10 ayat (3) dan ayat(4) harus dilunasi selambat-lambatnya 1 (satu) bulan sejak
tanggalditerimanya Surat Ketetapan Pajak oleh wajib pajak.
(3) Pajak yang terhutang yang padasaat jatuh tempo pembayaran tidak dibayar atau kurang
dibayar, dikenakandenda administrasi sebesar 2% (dua persen) sebulan, yang dihitung
dari saatjatuh tempo sampai dengan hari pembayaran untuk jangka waktu paling lama
24(dua puluh empat) bulan.
(4) Denda administrasi sebagaimanadimaksud dalam ayat (3) ditambah dengan hutang pajak
yang belum atau kurangdibayar ditagih dengan Surat Tagihan Pajak yang harus
dilunasiselambat-lambatnya 1 (satu) bulan sejak tanggal diterimanya Surat TagihanPajak
oleh wajib pajak.
(5) Pajak yang terhutang dibayar diBank, Kantor Pos dan Giro, dan tempat lain yang
ditunjuk oleh MenteriKeuangan.
(6) Tata Cara pembayaran danpenagihan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2),
ayat (3), ayat (4),dan ayat (5) diatur oleh Menteri Keuangan.
Penjelasan Pasal 11
Ayat (1)
Contoh:
Apabila SPPT diterima oleh wajibpajak tanggal 1 Maret 1986, maka jatuh tempo
pembayarannya adalah tanggal 31Agustus 1986.
Ayat (2)
Contoh:
Apabila SKP diterima oleh wajibpajak tanggal 1 Maret 1986, maka jatuh tempo
pembayarannya adalah tanggal 31Maret 1986.
Ayat (3)
183
Menurut ketentuan ini pajak yang terhutang pada saat jatuh tempo pembayaran tidak atau
kurang dibayar, dikenakan denda administrasi 2%(dua persen) setiap bulan dari jumlah
yang tidak atau kurang dibayar tersebutuntuk jangka waktu paling lama 24 (dua puluh
empat) bulan, dan bagian daribulan dihitung penuh 1 (satu) bulan.
Contoh :
SPPT tahun pajak 1986 diterima oleh wajib pajak padatanggal 1 Maret 1986 dengan
pajak terhutang sebesar Rp 100.000,00 (seratus riburupiah). Oleh wajib pajak baru
dibayar pada tanggal 1September 1986. Maka terhadap wajib pajak tersebut dikenakan
denda administrasi sebesar 2% (dua persen) yakni: 2% x Rp 100.000,00 = Rp 2.000,00.
Pajak yang terhutang yang harus dibayar pada tanggal 1September 1986 adalah:
Pokok pajak + denda administrasi =
Rp 1.000.000,00 + Rp 2.000,00 =Rp102.000,00
Bila wajib pajak tersebut baru membayar hutang pajaknyapada tanggal 10 Oktober 1986,
maka terhadap wajib pajak tersebut dikenakandenda 2 x 2% dari pokok pajak, yakni 4% x
Rp 100.000,00 = Rp 4.000,00
Pajak yang terhutang yang harus dibayar pada tanggal 10Oktober 1986 adalah:
Pokok pajak + denda administrasi =
Rp 1.000.000,00 + Rp 4.000,00 =Rp104.000,00
Ayat (4)
Menurut ketentuan ini denda administrasidan pokok pajak seperti tersebut pada contoh
penjelasan ayat (3), ditagihdengan menggunakan Surat Tagihan Pajak (STP) yang harus
dilunasi dalam jangkawaktu satu bulan sejak tanggal diterimanya STP tersebut.
Ayat (5)
Cukup jelas
Ayat (6)
Cukup jelas
Pasal 12 (UU No 12 Tahun 1985)
SuratPemberitahuan Pajak Terhutang, Surat Ketetapan Pajak, dan Surat Tagihan
Pajakmerupakan dasar penagihan pajak.
Penjelasan Pasal 12
Cukup jelas
184
Pasal 13 (UU No 12 Tahun 1985)
Jumlah pajak yangterhutang berdasarkan Surat Tagihan Pajak yang tidak dibayar pada
waktunyadapat ditagih dengan Surat Paksa.
Penjelasan Pasal 13
Dalam hal tagihan pajak yang terhutang dibayar setelahjatuh tempo yang telah ditentukan,
penagihannya dilakukan dengan surat paksayang saat ini berdasarkan Undang-undang Nomor
19 Tahun 1959 tentang PenagihanPajak Negara dengan Surat Paksa. (UU Nomor 19 Tahun
1997 tentang PenagihanPajak dengan Surat Paksa s.t.d.d. UU Nomor 19 Tahun 2000)
Pasal 14 (UU No 12 Tahun 1985)
Menteri Keuangandapat melimpahkan kewenangan penagihan pajak kepada Gubernur Kepala
DaerahTingkat I dan/atau Bupati/Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II.
Penjelasan Pasal 14
Pelimpahan kewenangan penagihanpajak kepada Gubernur Kepala Daerah Tingkat I dan/atau
Bupati/Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II, bukanlah pelimpahan urusan penagihan,
tetapi hanyasebagai pemungut pajak, sedangkan pendataan objek pajak dan penetapan
pajakyang terhutang tetap menjadi kewenangan Menteri Keuangan.
KEBERATAN DAN BANDING
Pasal 15 (UU No 12 Tahun 1985)
(1) Wajib Pajak dapat mengajukankeberatan pada Direktur Jenderal Pajak atas :
a. Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang;
b. Surat Ketetapan Pajak.
(2) Keberatan diajukan secaratertulis dalam bahasa Indonesia dengan menyatakan alasan
secara jelas.
(3) Keberatan harus diajukan dalamjangka waktu 3 (tiga) bulan sejak tanggal diterimanya
surat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) olehwajib pajak, kecuali apabila wajib pajak
dapat menunjukkan bahwa jangka waktuitu tidak dapat dipenuhi karena keadaan diluar
kekuasaannya.
185
(4) Tanda penerimaan Surat keberatan yangdiberikan oleh pejabat Direktorat Jenderal Pajak
yang ditunjuk untuk itu danatau tanda pengiriman Surat Keberatan melalui pos tercatat
menjadi tandabukti penerimaan Surat Keberatan tersebut bagi kepentingan wajib pajak.
(5) Apabila diminta oleh wajib pajakuntuk keperluan pengajuan keberatan, Direktur Jenderal
Pajak wajib memberikansecara tertulis hal-hal yang menjadi dasar pengenaan pajak.
(6) Pengajuan keberatan tidak menundakewajiban membayar pajak.
Penjelasan Pasal 15
Ayat (1)
Keberatan terhadap Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang danSurat Ketetapan Pajak
harus diajukan masing-masing dalam satu surat keberatantersendiri untuk setiap tahun
pajak.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Ketentuan ini dimaksudkan untuk memberi waktu yang cukupkepada wajib pajak untuk
mempersiapkan surat keberatan besertaalasan-alasannya.
Apabila ternyata batas waktu 3(tiga) bulan tersebut tidak dapat dipenuhi oleh wajib pajak
karena keadaan diluar kekuasaannya (force mayeur) maka tenggang waktu tersebut masih
dapatdipertimbangkan untuk diperpanjang oleh Direktur Jenderal Pajak.
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Cukup jelas
Ayat (6)
Cukup jelas
186
Pasal 16 (UU No 12 Tahun 1985)
(1) Direktur Jenderal Pajak dalam jangkawaktu paling lama 12 (dua belas) bulan sejak
tanggal Surat Keberatanditerima, memberikan keputusan atas keberatan yang diajukan.
(2) Sebelum surat keputusan diterbitkan, wajib pajakdapat menyampaikan alasan tambahan
atau penjelasan tertulis.
(3) Keputusan Direktur Jenderal Pajakatas keberatan dapat berupa menerima seluruhnya
atau sebagian, menolak ataumenambah besarnya jumlah pajak yang terhutang.
(4) Dalam hal wajib pajak mengajukankeberatan atas ketetapan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 10 ayat (2) hurufa, wajib pajak yang bersangkutan harus dapat membuktikan
ketidakbenaranketetapan pajak tersebut.
(5) Apabila jangka waktu sebagaimanadimaksud dalam ayat (1) telah lewat dan Direktur
Jenderal Pajak tidak memberisuatu keputusan, maka keberatan yang diajukan tersebut
dianggap diterima.
Penjelasan Pasal 16
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Ketentuan ini mengharuskan wajib pajakmembuktikan ketidakbenaran ketetapan pajak,
dalam hal wajib pajak mengajukankeberatan terhadap ketetapan secara jabatan. Apabila
wajibpajak tidak dapat membuktikan ketidakbenaran Surat Ketetapan Pajak secarajabatan
itu, maka keberatannya ditolak.
Ayat (5)
Ketentuan ini dimaksudkan untuk memberikan kepastian hukumbagi wajib pajak, yaitu
apabila dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan sejaktanggal diterimanya surat
keberatan, Direktur Jenderal Pajak tidak memberikeputusan atas keberatan yang diajukan
berarti keberatan tersebut diterima.
187
Pasa1 17 (UU No 12 tahun 1994)
Dihapus
Penjelasan Pasal 17
Dengan dihapusnya Pasal 17, ketentuan banding Pajak Bumi dan Bangunan mengikuti
ketentuan Pasal 27 Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata
Cara Perpajakan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 9 Tahun 1994
(Lembaran Negara Tahun 1994 Nomor 59, TambahanLembaran Negara Nomor 3566).
(UU Nomor 6 Tahun 1983 tentang KUP stdtd UU Nomor 16 Tahun2000) (KEP-59/PJ./2000
tentang Tata Cara Pengajuan dan Penyelesaian KeberatanPBB)
PEMBAGIAN HASIL PENERIMAAN PAJAK
Pasal 18 (UU No 12 Tahun 1985)
(1) Hasil penerimaan pajak merupakanpenerimaan negara yang dibagi antara Pemerintah
Pusat dan Pemerintah Daerah denganimbangan pembagian sekurang-kurangnya 90%
(sembilan puluh persen) untukPemerintah Daerah Tingkat II dan Pemerintah Daerah
Tingkat I sebagaipendapatan daerah yang bersangkutan.
(2) Bagian penerimaan PemerintahDaerah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), sebagian
besar diberikan kepadaPemerintah Daerah Tingkat II.
(3) Imbangan pembagian hasilpenerimaan pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan
ayat (2) diaturdengan Peraturan Pemerintah.
Penjelasan Pasal 18
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Karena penerimaan pajak inidiarahkan untuk kepentingan masyarakat di Daerah Tingkat
II yang bersangkutan,maka sebagian besar penerimaan pajak ini diberikan kepada Daerah
Tingkat II.
Ayat (3)
Cukup jelas
188
KETENTUAN LAIN-LAIN
Pasal 19 (UU No 12 Tahun 1985)
(1) Menteri Keuangan dapat memberikanpengurangan pajak yang terhutang :
a. karena kondisi tertentu obyekpajak yang ada hubungannya dengan subyek pajak
dan/atau karena sebab-sebabtertentu lainnya;
b. dalam hal obyek pajak terkenabencana alam atau sebab lain yang diluar biasa.
(2) Ketentuan mengenai pemberianpengurangan pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) diatur oleh MenteriKeuangan.
Penjelasan Pasal 19
Ayat (1)
huruf a
Kondisi tertentu objek pajak yang ada hubungannya dengansubjek pajak dan sebab-
sebab tertentu lainnya, berupa lahan pertanian yangsangat terbatas, bangunan yang
ditempati sendiri yang dikuasi atau dimilikioleh golongan wajib pajak tertentu, lahan
yang nilai jualnya meningkat akibatperubahan lingkungan dan dampak positif
pembangunan serta yang pemanfaatannyabelum sesuai dengan peruntukan
lingkungan.
huruf b
- Yang dimaksud dengan bencana alam adalah gempabumi, banjir, tanah longsor.
- Yang dimaksud dengan sebab lain yang luar biasaadalah seperti :
- kebakaran;
- kekeringan;
- wabah penyakit tanaman;
- hama tanaman.
Ayat (2)
Cukup jelas
189
Pasal 20 (UU No 12 Tahun 1985)
Atas permintaan wajibpajak Direktur Jenderal Pajak dapat mengurangkan denda administrasi
karenahal-hal tertentu.
Penjelasan Pasal 20
Ketentuan ini memberi kesempatan kepada wajib pajak untukmeminta pengurangan denda
administrasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat(3), Pasal 11 ayat (3) dan ayat (4)
kepada Direktur Jenderal Pajak. Direktur Jenderal Pajak dapat mengurangkan sebagian atau
seluruhdenda administrasi dimaksud.
Pasal 21 (UU No 12 Tahun 1985)
(1) Pajak yang dalam jabatannya atautugas pekerjaannya berkaitan langsung dengan obyek
pajak, wajib :
a. menyampaikan laporan bulananmengenai semua mutasi dan perubahan keadaan
obyek pajak secara tertuliskepada Direktorat Jenderal Pajak yang wilayah kerjanya
meliputi letak obyekpajak;
b. memberikan keterangan yang diperlukanatas permintaan Direktorat Jenderal Pajak.
(2) Kewajiban memberikan keterangansebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b,
berlaku pula bagi pejabat lainyang ada hubungannya dengan obyek pajak.
(3) Dalam hal pejabat sebagaimanadimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) terikat oleh
kewajiban untuk memegangrahasia jabatan, kewajiban untuk merahasiakan itu
ditiadakan sepanjangmenyangkut pelaksanaan Undang-undang ini.
(4) Tata cara penyampaian laporan danpermintaan keterangan sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) dan ayat (2) diaturoleh Menteri Keuangan.
Penjelasan Pasal 21
Ayat (1)
- Pejabat yang tugas pekerjaannya berkaitan langsungdengan Obyek Pajak adalah : Camat,
sebagai PejabatPembuat Akta Tanah, Notaris Pejabat Pembuat Akta Tanah, dan Pejabat
PembuatAkta Tanah.
190
- Laporan tertulis mutasi obyek pajak misalnyaantara lain jual beli, hibah, warisan, harus
disampaikankepada Direktorat Jenderal Pajak yang wilayah kerjanya meliputi letak
ObyekPajak.
Ayat (2)
Pejabat yang dimaksud dalam ayat (1) misalnya antara lain: Kepala Kelurahan atau
Kepala Desa, Pejabat Dinas Tata Kota, Pejabat DinasPengawasan Bangunan, Pejabat
Agraria, Pejabat Balai Harta Peninggalan.
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Pasal 22 (UU No 12 Tahun 1985)
Pejabat yangtidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21, dikenakan
sanksi menurutperaturan perundang-undangan yang berlaku.
Penjelasan Pasal 22
Peraturan perundang-undangan yang berlaku bagi pejabatdalam pasal ini antara lain :
Peraturan PemerintahNomor 30 Tahun 1980 tentang Peraturan Disiplin Pegawai Negeri Sipil,
StaatsbladNomor 3 tentang Peraturan Jabatan Notaris
Pasal 23 (UU No 12 Tahun 1994)
Terhadap hal-hal yang tidak diatursecara khusus dalam Undang-undang ini, berlaku
ketentuan dalam Undang-UndangNomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata
Cara Perpajakan sebagaimanatelah diubah dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1994
(Lembaran Negara Tahun1994 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3566) serta
peraturanperundang-undangan lainnya.
191
Penjelasan Pasal 23
Yang dimaksud dengan peraturan perundang-undangan lainnyaadalah antara lain Undang-
undang Nomor 19 Tahun 1959 tentang Penagihan PajakNegara dengan Surat Paksa
KETENTUAN PIDANA
Pasal 24 (UU No 12 Tahun 1985)
Barang siapa karena kealpaannya :
a. tidak mengembalikan/menyampaikan SuratPemberitahuan Obyek Pajak kepada Direktorat
Jenderal Pajak;
b. menyampaikan Surat PemberitahuanObyek Pajak, tetapi isinya tidak benar atau tidak
lengkap dan/ataumelampirkan keterangan yang tidak benar;
sehingga menimbulkan kerugian Negara, dipidanadengan pidana kurungan selama-lamanya 6
(enam) bulan atau dendasetinggi-tingginya sebesar 2 (dua) kali pajak yang terutang.
Penjelasan Pasal 24
Kealpaan sebagaimana dimaksud dalampasal ini berarti tidak sengaja, lalai, dan kurang hati-
hati sehingga perbuatantersebut mengakibatkan kerugian pada Negara.
Surat Pemberitahuan Objek Pajak harusdikembalikan/disampaikan kepada Direktorat
Jenderal Pajak selambat-lambatnya 30(tiga puluh) hari sejak tanggal diterimanya Surat
pemberitahuan Objek Pajak sebagaimanadimaksud dalam Pasal 9 ayat (2).
Pasal 25 (UU No 12 Tahun 1985)
(1) Barang siapa dengan sengaja :
a. tidakmengembalikan/menyampaikan Surat Pemberitahuan Obyek Pajak
kepadaDirektorat Jenderal Pajak;
b. menyampaikan SuratPemberitahuan Obyek Pajak, tetapi isinya tidak benar atau
tidak lengkapdan/atau melampirkan keterangan yang tidak benar;
c. memperlihatkan surat palsu atau dipalsukan atau dokumenlain yang palsu atau
dipalsukan seolah-olah benar;
192
d. tidak memperlihatkan atau tidakmeminjamkan suratatau dokumen lainnya;
e. tidak menunjukkan data atautidak menyampaikan keterangan yang diperlukan;
sehingga menimbulkan kerugian pada Negara,dipidana dengan pidana penjara selama-
lamanya 2 (dua) tahun atau dendasetinggi-tingginya sebesar 5 (lima)kali pajak yang
terhutang.
(2) Terhadap bukan wajib pajak yang bersangkutanyang melakukan tindakan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) huruf d dan hurufe, dipidana dengan pidana kurungan selama-
lamanya 1 (satu) tahun atau dendasetinggi-tingginya Rp. 2.000.000,- (dua jutarupiah).
(3) Ancaman pidana sebagaimanadimaksud dalam ayat (1) dilipatkan dua apabila seseorang
melakukan lagitindak pidana di bidang perpajakan sebelum lewat 1 (satu) tahun,
terhitungsejak selesainya menjalani sebagian atau seluruh pidana penjara yangdijatuhkan
atau sejak dibayarnya denda.
Penjelasan Pasal 25
Ayat (1)
Perbuatan atau tindakan sebagaimanadimaksud dalam ayat ini yang dilakukan dengan
sengaja merupakan tindak pidanakejahatan, karena itu diancam dengan pidana yang lebih
berat.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan bukan wajibpajak dalam ayat ini yaitu pejabat yang tugas
pekerjaannya berkaitan langsungatau ada hubungannya dengan objek pajak ataupun pihak
lainnya.
Ayat (3)
Untuk mencegah terjadinya pengulangan tindak pidanaperpajakan maka bagi mereka
yang melakukan lagi tindak pidana sebagaimanadimaksud dalam ayat (1) sebelum lewat 1
(satu) tahun sejak selesai menjalanisebagian atau seluruh pidana penjara yang dijatuhkan
atau sejak dibayarnyadenda, dikenakan pidana lebih berat ialah 2 (dua) kali lipat dari
ancamanpidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
193
Pasal 26 (UU No 12 Tahun 1985)
Tindak pidana sebagaimana dimaksuddalam Pasal 24 dan Pasal 25 tidak dapat dituntut
setelah lampau waktu 10(sepuluh) tahun sejak berakhirnya tahun pajak yang bersangkutan.
Penjelasan Pasal 26
Cukup jelas
Pasal 27 (UU No 12 Tahun 1985)
Dihapus
Penjelasan Pasal 27
Cukup jelas
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 28 (UU No 12 Tahun 1985)
Terhadap Iuran Pembangunan Daerah (Ipeda),Pajak Kekayaan (PKk), Pajak Jalan dan Pajak
Rumah Tangga (PRT) yang terhutanguntuk tahun pajak 1985 dan sebelumnya berlaku
ketentuan peraturanperundang-undangan perpajakan yang lama sampai dengan tanggal 31
Desember 1990.
Penjelasan Pasal 28
Cukup jelas
Pasal 29 (UU No 12 Tahun 1985)
Dengan berlakunya Undang-undangini, peraturan pelaksanaan yang telah ada di bidang Iuran
Pembangunan Daerah(Ipeda) berdasarkan Undang-undang Nomor 11 Prp Tahunn 1959
tentang Pajak HasilBumi, tetap berlaku sampai dengan tanggal 31 Desember 1990 sepanjang
tidakbertentangan dan belum diatur dengan peraturan pelaksanaan yang baruberdasarkan
Undang-undang ini.
Penjelasan Pasal 29
Cukup jelas
194
Pasal 30 (UU No 12 Tahun 1985)
Terhadap obyek pajak dalam bidang penambanganminyak dan gas bumi serta dalam bidang
penambangan lainnya, sehubungan denganKontrak Karya dan Kontrak Bagi Hasil yang
masih berlaku pada saat iniberlakunya Undang-undang ini, tetap dikenakan Iuran
Pembangunan Daerah (Ipeda)berdasarkan ketentuan-ketentuan dalam perjanjian Kontrak
Karya dan Kontrak BagiHasil yang masih berlaku.
Penjelasan Pasal 30
Ketentuan Undang-undang ini baru berlaku terhadap objekpajak yang digunakan dalam
rangka Kontrak Karya dan Kontrak Bagi Hasil dalambidang penambangan minyak dan
gas bumi serta dalam bidang penambangan lainnyayang perjanjiannya ditandatangani
sejak berlakunya Undang-undang ini yaitutanggal 1 Januari 1986, sedangkan untuk
Kontrak Karya dan Kontrak Bagi Hasilyang telah ada tetap berlaku ketentuan-ketentuan
yang tercantum dalam KontrakKarya dan Kontrak Bagi Hasil tersebut.
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 31 (UU No 12 tahun 1985)
Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 1986.
Agar setiap orangmengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-undang ini
denganPenempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
195
PERATURAN BERSAMA
MENTERI KEUANGAN DAN MENTERI DALAM NEGERI
NOMOR : 213/PMK.07/2010
NOMOR : 58 TAHUN 2010
TENTANG
TAHAPAN PERSIAPAN PENGALIHAN PAJAK BUMI DAN BANGUNAN
PERDESAAN DAN PERKOTAAN SEBAGAI PAJAK DAERAH
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
MENTERI KEUANGAN DAN MENTERI DALAM NEGERI,
Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 182 angka 1 Undang-
Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi
Daerah, perlu menetapkan Peraturan Bersama Menteri Keuangan dan
Menteri Dalam Negeri tentang Tahapan Persiapan Pengalihan Pajak
Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan sebagai Pajak Daerah;
Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan
Tata Cara Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3262) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan
Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2009 Nomor 62, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4999);
2. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan
Bangunan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1985 Nomor
68, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3312)
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun
1994 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1994 Nomor 62,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3569);
196
3. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan
Retribusi Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009
Nomor 130, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
5049);
4. Keputusan Presiden Nomor 84/P Tahun 2009;
5. Keputusan Presiden Nomor 56/P Tahun 2010;
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN BERSAMA MENTERI KEUANGAN DAN MENTERI
DALAM NEGERI TENTANG TAHAPAN PERSIAPAN
PENGALIHAN PAJAK BUMI DAN BANGUNAN PERDESAAN
DAN PERKOTAAN SEBAGAI PAJAK DAERAH.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Bersama ini, yang dimaksud dengan:
1. Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan, yang selanjutnya disebut PBB-P2,
adalah pajak atas bumi dan/atau bangunan yang dimiliki, dikuasai, dan/atau
dimanfaatkan oleh orang pribadi atau badan, kecuali kawasan yang digunakan untuk
kegiatan usaha perkebunan, perhutanan, dan pertambangan.
2. Pemerintah Pusat, yang selanjutnya disebut Pemerintah, adalah Presiden Republik
Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan negara Republik Indonesia
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945.
3. Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota, yang selanjutnya disebut Pemerintah Daerah,
adalah Bupati/Walikota dan perangkat daerah kabupaten/kota sebagai unsur
penyelenggara pemerintahan daerah kabupaten/kota.
4. Undang-Undang Pajak Bumi dan Bangunan, yang selanjutnya disebut Undang-Undang
PBB adalah Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1994.
197
5. Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, yang selanjutnya disebut
Undang-Undang KUP adalah Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan
Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir
dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009.
6. Tahun Pengalihan adalah tahun dialihkannya kewenangan pemungutan PBB-P2 ke
Pemerintah Daerah, paling lambat tahun 2014.
7. Pemungutan adalah suatu rangkaian kegiatan mulai dari penghimpunan data objek dan
subjek pajak, penentuan besarnya pajak yang terutang sampai kegiatan penagihan pajak
kepada wajib pajak serta pengawasan penyetorannya.
Pasal 2
(1) Kewenangan pemungutan PBB-P2 dialihkan dari Pemerintah ke Pemerintah Daerah
mulai tanggal 1 Januari Tahun Pengalihan.
(2) Persiapan pengalihan PBB-P2 sebagai pajak daerah dilakukan dalam waktu paling
lambat tanggal 31 Desember sebelum Tahun Pengalihan.
BAB II
PERSIAPAN PENGALIHAN PBB-P2
Bagian Kesatu
Tugas dan Tanggung Jawab Kementerian Keuangan
Pasal 3
(1) Dalam rangka pengalihan kewenangan pemungutan PBB-P2 sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2 ayat (1), Direktorat Jenderal Pajak bertugas dan bertanggung jawab
mengkompilasi:
a. peraturan pelaksanaan PBB-P2 sebagai bahan acuan Pemerintah Daerah dalam
menyusun Peraturan Daerah dan Peraturan Kepala Daerah;
b. standard operating procedure (SOP) terkait PBB-P2 sebagai bahan acuan Pemerintah
Daerah dalam menyusun SOP;
c. struktur, tugas, dan fungsi organisasi Direktorat Jenderal Pajak terkait pemungutan
PBB-P2 sebagai bahan acuan Pemerintah Daerah untuk merumuskan struktur
organisasi dan tata kerja pemungutan PBB-P2;
d. data piutang PBB-P2 beserta data pendukungnya;
198
e. Surat Keputusan Menteri Keuangan mengenai penetapan Nilai Jual Objek Pajak Tidak
Kena Pajak (NJOPTKP) yang berlaku dalam kurun waktu 10 (sepuluh) tahun sebelum
Tahun Pengalihan;
f. salinan Peta Desa/Kelurahan, Peta Blok, dan Peta Zona Nilai Tanah dalam bentuk
softcopy;
g. hasil penggandaan basis data PBB-P2 sebelum Tahun Pengalihan; dan
h. hasil penggandaan sistem aplikasi terkait PBB-P2 beserta source code-nya;
untuk diserahkan ke Pemerintah Daerah.
(2) Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan bertugas dan bertanggung jawab
menggandakan hasil kompilasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, huruf b,
dan huruf c, dan selanjutnya menyerahkan hasil kompilasi dimaksud ke Pemerintah
Daerah, serta melakukan pemantauan dan pembinaan pelaksanaan pengalihan
kewenangan pemungutan PBB-P2 ke Pemerintah Daerah.
Pasal 4
Kementerian Keuangan dan Kementerian Dalam Negeri secara bersama-sama atau sendiri-
sendiri memberikan pelatihan teknis pemungutan PBB-P2 ke Pemerintah Daerah.
Pasal 5
Ketentuan lebih lanjut mengenai persiapan Direktorat Jenderal Pajak dalam rangka
pengalihan kewenangan pemungutan PBB-P2 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 dan
Pasal 4 diatur dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak.
Bagian Kedua
Tugas dan Tanggung Jawab Kementerian Dalam Negeri
Pasal 6
(1) Sekretariat Jenderal, Direktorat Jenderal Keuangan Daerah, dan Badan Pendidikan dan
Pelatihan Kementerian Dalam Negeri bertugas dan bertanggung jawab untuk
memfasilitasi, membina dan mengawasi Pemerintah Daerah dalam rangka pengalihan
kewenangan pemungutan PBB-P2 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1).
(2) Tugas dan tanggung jawab sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam bentuk
penyiapan pedoman struktur organisasi dan tata kerja Pemerintah Daerah, dan pemberian
199
bimbingan, konsultasi, pendidikan dan pelatihan teknis serta pelaksanaan supervisi
dalam rangka pengalihan kewenangan pemungutan PBB-P2.
(3) Penyiapan pedoman struktur organisasi dan tata kerja Pemerintah Daerah sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) ditetapkan dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri setelah
berkoordinasi dengan instansi terkait lainnya.
Bagian Ketiga
Tugas dan Tanggung Jawab Pemerintah Daerah
Pasal 7
(1) Dalam rangka menerima pengalihan kewenangan pemungutan PBB-P2 sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1), Pemerintah Daerah bertugas dan bertanggung jawab
menyiapkan:
a. sarana dan prasarana;
b. struktur organisasi dan tata kerja;
c. sumber daya manusia;
d. Peraturan Daerah, Peraturan Kepala Daerah, dan SOP;
e. kerjasama dengan pihak terkait, antara lain, Kantor Pelayanan Pajak, perbankan,
kantor pertanahan, dan Notaris/Pejabat Pembuat Akta Tanah; dan
f. pembukaan rekening penerimaan PBB-P2 pada bank yang sehat.
(2) Penyiapan sarana dan prasarana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, dilakukan
dengan mengutamakan pemanfaatan sarana dan prasarana yang dimiliki Pemerintah
Daerah.
(3) Penyiapan struktur organisasi dan tata kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b
berpedoman pada Peraturan Menteri Dalam Negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6
ayat (3).
(4) Dalam rangka penyiapan sumber daya manusia sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf c, Pemerintah Daerah dapat meminta bantuan ke Kementerian Keuangan dan
Kementerian Dalam Negeri untuk melakukan bimbingan, pendidikan dan pelatihan
teknis pemungutan PBB-P2.
(5) Peraturan Daerah tentang PBB-P2 dan Peraturan Kepala Daerah sebagai penjabaran dan
dasar pelaksanaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d disusun dengan
mempertimbangkan ketentuan peraturan pelaksanaan pemungutan PBB-P2 yang selama
200
ini berlaku di Direktorat Jenderal Pajak serta disesuaikan dengan kebutuhan riil dan
kondisi objektif sesuai kewenangan sebagai daerah otonom.
(6) Pembukaan rekening PBB-P2 pada bank yang sehat sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf f ditetapkan dengan Keputusan Kepala Daerah.
BAB III
TAHAPAN PERSIAPAN PENGALIHAN PBB-P2
Pasal 8
(1) Pengalihan kewenangan pemungutan PBB-P2 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat
(1) hanya dapat dilakukan pada 1 Januari Tahun Pengalihan.
(2) Dalam hal Pemerintah Daerah memungut PBB-P2 sebelum tahun 2014, Pemerintah
Daerah harus memberitahukan kepada Menteri Keuangan dan Menteri Dalam Negeri
dalam jangka waktu paling lambat tanggal 30 Juni sebelum Tahun Pengalihan.
(3) Penyampaian pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilampiri dengan
Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) huruf d.
Pasal 9
Batas waktu penyelesaian persiapan pengalihan kewenangan pemungutan PBB-P2 oleh
Direktorat Jenderal Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1), yang berkaitan
dengan kompilasi:
a. peraturan pelaksanaan PBB-P2, paling lambat tanggal 30 November 2010;
b. SOP terkait PBB-P2, paling lambat tanggal 30 November 2010;
c. struktur, tugas, dan fungsi organisasi Direktorat Jenderal Pajak terkait pemungutan PBB-
P2, paling lambat tanggal 30 November 2010;
d. data piutang PBB-P2 beserta data pendukungnya, paling lambat tanggal 31 Januari
Tahun Pengalihan;
e. Surat Keputusan Menteri Keuangan mengenai penetapan Nilai Jual Objek Pajak Tidak
Kena Pajak (NJOPTKP) yang berlaku dalam kurun waktu 10 (sepuluh) tahun sebelum
Tahun Pengalihan, paling lambat tanggal 31 Desember sebelum Tahun Pengalihan;
f. salinan Peta Desa/Kelurahan, Peta Blok, dan Peta Zona Nilai Tanah dalam bentuk
softcopy, paling lama 3 (tiga) bulan sebelum Tahun Pengalihan;
g. hasil penggandaan basis data PBB-P2, paling lama 3 (tiga) bulan sebelum Tahun
Pengalihan; dan
201
h. hasil penggandaan sistem aplikasi terkait PBB-P2, paling lama 3 (tiga) bulan sebelum
Tahun Pengalihan.
Pasal 10
Batas waktu penyelesaian Peraturan Menteri Dalam Negeri mengenai pedoman struktur
organisasi dan tata kerja Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (3),
paling lambat tanggal 30 November 2010.
Pasal 11
Batas waktu penyelesaian persiapan pengalihan kewenangan pemungutan PBB-P2 oleh
Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) berkaitan dengan:
a. sarana dan prasarana, paling lambat tanggal 30 November sebelum Tahun Pengalihan;
b. struktur organisasi dan tata kerja pemungutan PBB-P2, paling lambat tanggal 30
November sebelum Tahun Pengalihan;
c. sumber daya manusia, paling lambat tanggal 30 November sebelum Tahun Pengalihan;
d. Peraturan Daerah, paling lambat tanggal 30 Juni sebelum Tahun Pengalihan;
e. Peraturan Kepala Daerah, dan SOP, paling lambat tanggal 31 Oktober sebelum Tahun
Pengalihan;
f. kerjasama dengan pihak terkait, paling lambat tanggal 30 November sebelum Tahun
Pengalihan; dan
g. pembukaan rekening PBB-P2 pada bank yang sehat, paling lambat tanggal 31 Desember
sebelum Tahun Pengalihan.
Pasal 12
(1) Hasil kompilasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf a, huruf b, dan
huruf c, diserahkan oleh Direktur Jenderal Pajak kepada Direktur Jenderal Perimbangan
Keuangan paling lambat tanggal 10 Desember 2010.
(2) Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan menyerahkan hasil kompilasi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) ke Pemerintah Daerah dengan tembusan kepada
Direktur Jenderal Keuangan Daerah, paling lambat tanggal 17 Desember 2010.
(3) Hasil kompilasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf d, dan huruf e,
diserahkan oleh Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak/Kepala Kantor
Pelayanan Pajak Pratama ke Pemerintah Daerah di lingkungan kerjanya, paling lambat
tanggal 31 Januari Tahun Pengalihan.
202
(4) Hasil kompilasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf f, huruf g, dan huruf
h, diserahkan oleh Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak/Kepala Kantor
Pelayanan Pajak Pratama ke Pemerintah Daerah di lingkungan kerjanya, paling lambat
tanggal 5 Januari Tahun Pengalihan.
Pasal 13
Kementerian Keuangan, Kementerian Dalam Negeri, dan Pemerintah Daerah melakukan
sosialisasi mengenai pengalihan kewenangan pemungutan PBB-P2.
BAB IV
PEMANTAUAN DAN PEMBINAAN
Pasal 14
Pemantauan dan pembinaan terhadap pelaksanaan tahapan persiapan pengalihan kewenangan
pemungutan PBB-P2 dari Pemerintah ke Pemerintah Daerah dilakukan oleh Kementerian
Keuangan dan Kementerian Dalam Negeri.
BAB V
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 15
Usulan penghapusan piutang PBB-P2 yang disampaikan Direktur Jenderal Pajak kepada
Menteri Keuangan paling lambat tanggal 31 Desember sebelum Tahun Pengalihan, penetapan
penghapusan piutang PBB-P2 tersebut masih menjadi kewenangan Menteri Keuangan.
203
BAB VI
PENDANAAN
Pasal 16
Segala biaya yang diakibatkan sehubungan dengan pelaksanaan pengalihan kewenangan
pemungutan PBB-P2 yang terkait dengan Kementerian Keuangan, Kementerian Dalam
Negeri, dan Pemerintah Daerah dibebankan pada anggaran masing-masing.
BAB VII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 17
Peraturan Bersama ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Bersama ini
dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 30 November 2010
MENTERI DALAM NEGERI, MENTERI KEUANGAN,
ttd. ttd.
GAMAWAN FAUZI AGUS D.W.
MARTOWARDOJO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 30 November 2010
MENTERI HUKUM DAN HAM,
ttd.
PATRIALIS AKBAR
BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2010 NOMOR 581
204
GLOSARIUM
Pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi ataubadan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidakmendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagisebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Wajib Pajak adalah orang pribadi atau badan, meliputi pembayar pajak, pemotongpajak, dan pemungut pajak, yang mempunyai hak dan kewajiban perpajakan sesuaidengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
Badan adalah sekumpulan orang dan/atau modal yang merupakan kesatuan baik yangmelakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi perseroanterbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, badan usaha milik negara ataubadan usaha milik daerah dengan nama dan dalam bentuk apa pun, firma, kongsi,koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa,organisasi sosial politik, atau organisasi lainnya, lembaga dan bentuk badan lainnyatermasuk kontrak investasi kolektif dan bentuk usaha tetap.
Pengusaha adalah orang pribadi atau badan dalam bentuk apa pun yang dalamkegiatan usaha atau pekerjaannya menghasilkan barang, mengimpor barang,mengekspor barang, melakukan usaha perdagangan, memanfaatkan barang tidakberwujud dari luar daerah pabean, melakukan usaha jasa, atau memanfaatkan jasa dariluar daerah pabean.
Pengusaha Kena Pajak adalah Pengusaha yang melakukan penyerahan BarangKena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak yang dikenai pajak berdasarkanUndang-Undang Pajak Pertambahan Nilai 1984 dan perubahannya.
Nomor Pokok Wajib Pajak adalah nomor yang diberikan kepada Wajib Pajaksebagai sarana dalam administrasi perpajakan yang dipergunakan sebagai tandapengenal diri atau identitas Wajib Pajak dalam melaksanakan hak dan kewajibanperpajakannya.
Masa Pajak adalah jangka waktu yang menjadi dasar bagi Wajib Pajak untukmenghitung, menyetor, dan melaporkan pajak yang terutang dalam suatu jangkawaktu tertentu sebagaimana ditentukan dalam Undang-Undang ini.
Tahun Pajak adalah jangka waktu 1 (satu) tahun kalender kecuali bila Wajib Pajakmenggunakan tahun buku yang tidak sama dengan tahun kalender.
Bagian Tahun Pajak adalah bagian dari jangka waktu 1 (satu) Tahun Pajak. Pajak yang terutang adalah pajak yang harus dibayar pada suatu saat, dalam Masa
Pajak, dalam Tahun Pajak, atau dalam Bagian Tahun Pajak sesuai dengan ketentuanperaturan perundang-undangan perpajakan.
Surat Pemberitahuan adalah surat yang oleh Wajib Pajak digunakan untukmelaporkan penghitungan dan/atau pembayaran pajak, objek pajak dan/atau bukanobjek pajak, dan/atau harta dan kewajiban sesuai dengan ketentuan peraturanperundang-undangan perpajakan.
Surat Pemberitahuan Masa adalah Surat Pemberitahuan untuk suatu Masa Pajak. Surat Pemberitahuan Tahunan adalah Surat Pemberitahuan untuk suatu Tahun
Pajak atau Bagian Tahun Pajak. Surat Setoran Pajak adalah bukti pembayaran atau penyetoran pajak yang telah
dilakukan dengan menggunakan formulir atau telah dilakukan dengan cara lain ke kasnegara melalui tempat pembayaran yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan.
Surat ketetapan pajak adalah surat ketetapan yang meliputi Surat Ketetapan PajakKurang Bayar, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, Surat KetetapanPajak Nihil, atau Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar.
Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar adalah surat ketetapan pajak yangmenentukan besarnya jumlah pokok pajak, jumlah kredit pajak, jumlah kekuranganpembayaran pokok pajak, besarnya sanksi administrasi, dan jumlah pajak yang masihharus dibayar.
Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan adalah surat ketetapan pajakyang menentukan tambahan atas jumlah pajak yang telah ditetapkan.
Surat Ketetapan Pajak Nihil adalah surat ketetapan pajak yang menentukan jumlahpokok pajak sama besarnya dengan jumlah kredit pajak atau pajak tidak terutang dantidak ada kredit pajak.
Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar adalah surat ketetapan pajak yang menentukanjumlah kelebihan pembayaran pajak karena jumlah kredit pajak lebih besar daripadapajak yang terutang atau seharusnya tidak terutang.
Surat Tagihan Pajak adalah surat untuk melakukan tagihan pajak dan/atau sanksiadministrasi berupa bunga dan/atau denda.
Surat Paksa adalah surat perintah membayar utang pajak dan biaya penagihan pajak. Kredit Pajak untuk Pajak Penghasilan adalah pajak yang dibayar sendiri oleh
Wajib Pajak ditambah dengan pokok pajak yang terutang dalam Surat Tagihan Pajakkarena Pajak Penghasilan dalam tahun berjalan tidak atau kurang dibayar, ditambahdengan pajak yang dipotong atau dipungut, ditambah dengan pajak atas penghasilanyang dibayar atau terutang di luar negeri, dikurangi dengan pengembalianpendahuluan kelebihan pajak, yang dikurangkan dari pajak yang terutang.
Kredit Pajak untuk Pajak Pertambahan Nilai adalah Pajak Masukan yang dapatdikreditkan setelah dikurangi dengan pengembalian pendahuluan kelebihan pajak atausetelah dikurangi dengan pajak yang telah dikompensasikan, yang dikurangkan daripajak yang terutang.
Pekerjaan bebas adalah pekerjaan yang dilakukan oleh orang pribadi yangmempunyai keahlian khusus sebagai usaha untuk memperoleh penghasilan yang tidakterikat oleh suatu hubungan kerja.
Pemeriksaan adalah serangkaian kegiatan menghimpun dan mengolah data,keterangan, dan/atau bukti yang dilaksanakan secara objektif dan profesionalberdasarkan suatu standar pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhankewajiban perpajakan dan/atau untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakanketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
Bukti Permulaan adalah keadaan, perbuatan, dan/atau bukti berupa keterangan,tulisan, atau benda yang dapat memberikan petunjuk adanya dugaan kuat bahwasedang atau telah terjadi suatu tindak pidana di bidang perpajakan yang dilakukanoleh siapa saja yang dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara.
Pemeriksaan Bukti Permulaan adalah pemeriksaan yang dilakukan untukmendapatkan bukti permulaan tentang adanya dugaan telah terjadi tindak pidana dibidang perpajakan.
Penanggung Pajak adalah orang pribadi atau badan yang bertanggung jawab ataspembayaran pajak, termasuk wakil yang menjalankan hak dan memenuhi kewajibanWajib Pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
Pembukuan adalah suatu proses pencatatan yang dilakukan secara teratur untukmengumpulkan data dan informasi keuangan yang meliputi harta, kewajiban, modal,penghasilan dan biaya, serta jumlah harga perolehan dan penyerahan barang atau jasa,
yang ditutup dengan menyusun laporan keuangan berupa neraca, dan laporan labarugi untuk periode Tahun Pajak tersebut.
Penelitian adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan untuk menilai kelengkapanpengisian Surat Pemberitahuan dan lampiran-lampirannya termasuk penilaian tentangkebenaran penulisan dan penghitungannya.
Penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan adalah serangkaian tindakan yangdilakukan oleh penyidik untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan buktiitu membuat terang tindak pidana di bidang perpajakan yang terjadi serta menemukantersangkanya.
Penyidik adalah pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu di lingkungan DirektoratJenderal Pajak yang diberi wewenang khusus sebagai penyidik untuk melakukanpenyidikan tindak pidana di bidang perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturanperundang-undangan.
Surat Keputusan Pembetulan adalah surat keputusan yang membetulkan kesalahantulis, kesalahan hitung, dan/atau kekeliruan penerapan ketentuan tertentu dalamperaturan perundang-undangan perpajakan yang terdapat dalam surat ketetapan pajak,Surat Tagihan Pajak, Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, SuratKeputusan Pengurangan Sanksi Administrasi, Surat Keputusan Penghapusan SanksiAdministrasi, Surat Keputusan Pengurangan Ketetapan Pajak, Surat KeputusanPembatalan Ketetapan Pajak, Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan KelebihanPajak, atau Surat Keputusan Pemberian Imbalan Bunga.
Surat Keputusan Keberatan adalah surat keputusan atas keberatan terhadap suratketetapan pajak atau terhadap pemotongan atau pemungutan oleh pihak ketiga yangdiajukan oleh Wajib Pajak.
Putusan Banding adalah putusan badan peradilan pajak atas banding terhadap SuratKeputusan Keberatan yang diajukan oleh Wajib Pajak.
Putusan Gugatan adalah putusan badan peradilan pajak atas gugatan terhadap hal-hal yang berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan dapatdiajukan gugatan.
Putusan Peninjauan Kembali adalah putusan Mahkamah Agung atas permohonanpeninjauan kembali yang diajukan oleh Wajib Pajak atau oleh Direktur Jenderal Pajakterhadap Putusan Banding atau Putusan Gugatan dari badan peradilan pajak.
Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak adalah suratkeputusan yang menentukan jumlah pengembalian pendahuluan kelebihan pajakuntuk Wajib Pajak tertentu.
Surat Keputusan Pemberian Imbalan Bunga adalah surat keputusan yangmenentukan jumlah imbalan bunga yang diberikan kepada Wajib Pajak.
DAFTAR PUSTAKA
Bohari, 1995, Pengantar Singkat Hukum Pajak, Jakarta : PT Rajawali Persada
Brotodiharjo, R. Santoso (1991), Pengantar Ilmu Hukum Pajak, Bandung : Eresco.
Chidir, Ali (1991), Badan Hukum, Bandung : Eresco.
Kansil (1991), Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta : Balai Pustaka.
Kurniawan, Panca dan Agus Purwanto (2004), Pajak Daerah dan Retribusi Daerah di
Indonesia, Malang Banyumedia Publishing.
Mansyuri, R. (2002), Pajak Penghasilan Rasca Reformasi 2000, Jakarta : Bina Rena
Pariwara.
Mardiasmo, Perpajakan, Edisi Revisi 2011, Yogyakarta : C.V Andi offset, 2011
Mardiana, Indah (2010), Modul Pengantar Perpajakan, Bekasi : Akademi Akuntansi Bina
Insani.
Muljono, Djoko (2009), Pengantar PPh dan PPh 21, edisi revisi, Yogyakarta : CV Andi
Offset.
Rahman, Abdul (2010), Administrasi Perpajakan, Bandung : Nuansa.
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga atas
Undang-Undang Nomor 6 tahun 1983 Tentang Ketentuan Umum Dan Tata Cara
Perpajakan.
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat
atas Undang-Undang Nomor 7 tahun 1983 Tentang Pajak Penghasilan.
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 tentang Perubahan Ketiga atas
Undang-Undang Nomor 8 tahun 1983 Tentang Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak
Penjualan atas Barang Mewah.
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan
Retribusi Daerah (PDRD).
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2000 tentang Perubahan atas Undang-
Undang Nomor 21 tahun 1997 Tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan
Bangunan.
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1985 tentang Bea Materai.
Republik Indonesia, Peraturan Pemerintah Nomor 31 tahun 2009 tentang Pedoman Teknis
Tata Cara Pemotongan, Penyetoran dan Pelaporan Pajak Penghasilan Pasal 21
dan/atau Pajak Penghasilan Pasal 26 Sehubungan dengan pekerjaan, jasa dan kegiatan
orang pribadi.
Republik Indonesia, Peraturan Pemerintah Nomor 51 tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan
atas Penghasilan Dari Usaha Jasa Konstruksi.
Republik Indonesia, Peraturan Pemerintah Nomor 40 tahun 2009 tentang perubahan
Peraturan Pemerintah Nomor 51 tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan Dari
Usaha Jasa Konstruksi.
Resmi, Siti (2009) Perpajakan : Teori dan Kasus, Jakarta : Salemba Empat.
Setioraharjo, Budi, Mienati Somya Lasmana (2010), Cara Perhitungan dan Pemotongan PPH
Pasal 21, Yogyakarta : Graha Ilmu.
Siahan, Marihot P. (2010), Hukum Pajak Elementer, Jogyakarta : Graha Ilmu.
Smith, Adam (2000), An Inquiri Into The Nature and Cause of The Wealth of Nations, New
York : New York Press.
Suandy, Erly (2008), Perencanaan Pajak, edisi 4, Jakarta : Salemba Empat
Suhartono, Rudy, Wirawan B. Ilyas (2010), Ensiklopedia Perpajakan Indonesia, Jakarta :
Salemba Empat.
Supriyanto, Edi (2011), Perpajakan di Indonesia, Yogyakarta : Graha Ilmu.
Supriyanto, Heru (2010), Cara Menghitung PBB, BPHTB dan Bea Materai, Jakarta : Indeks.
Tansuria, Billy Ivan (2001), Pajak Penghasilan Final, Yogyakarta : Graha Ilmu.
Waluyo, (2011), Perpajakan Indonesia, Buku 1, edisi 10, Jakarta : Salemba Empat.