KOMODIFIKASI KEMISKINAN DALAM REALITY SHOW ( ANALISIS ISI PROGRAM REALITY SHOW “BEDAH RUMAH” ) SKRIPSI Oleh : IRENE SUSANTI F1C 006001 Diajukan Sebagai Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Strata Satu (S1) Jurusan Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Jenderal Soedirman KEMENTERIAN PENDIDIKAN NASIONAL 1
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
KOMODIFIKASI KEMISKINAN DALAM REALITY SHOW
( ANALISIS ISI PROGRAM REALITY SHOW “BEDAH RUMAH” )
SKRIPSI
Oleh :
IRENE SUSANTI
F1C 006001
Diajukan Sebagai Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Strata Satu (S1)Jurusan Ilmu Komunikasi
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu PolitikUniversitas Jenderal Soedirman
KEMENTERIAN PENDIDIKAN NASIONAL
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
JURUSAN ILMU KOMUNIKASI
PURWOKERTO
2011
1
ABSTRAKSI
Pengaruh negatif kemajuan teknologi, khususnya televisi, kurang menjadi perhatian disebabkan Production House (rumah produksi) lebih menekankan tersedianya alternatif informasi dan hiburan bagi konsumennya. Oleh sebab itu, televisi swasta yang ada di Indonesia menghadirkan beragam acara untuk menarik minat masyarakat, sehingga menambah rating, misalkan film, sinetron, gossip, reality show dan charity show. Salah satu program tayangan televisi yang sedang digemari adalah reality show. Survei yang dilakukan oleh Nielsen Media Research (NMR) di Indonesia sejak pertengahan tahun 2005 tercatat reality show yang memiliki rating tertinggi adalah Bedah Rumah. Program acara reality show ‘kemiskinan’ hingga saat ini masih menduduki rangking tertinggi untuk dijadikan komoditas segala kepentingan individu atau yang dapat disebut sebagai komodifikasi kemiskinan. Komodifikasi berupaya menjadikan media bukan sebagai pusat perhatian, dengan konsentrasi lebih diarahkan pada kajian mengenai keterkaitannya dengan ekonomi, politik dan faktor-faktor lainnya.
Fokus penelitian ini untuk mengetahui bagaimana bentuk-bentuk komodifikasi kemiskinan dalam acara reality show “Bedah Rumah” edisi 22 Mei 2009. Hal ini dititik beratkan pada beberapa tujuan penelitian yang diantaranya membedah isi melalui interpretasi text dalam acara reality show “Bedah Rumah” dan mengetahui bagaimana penerimaan (resepsi) pemirsa terhadap tayangan Bedah Rumah yang merepresentasikan komodifikasi kemiskinan.
Penelitian ini menggunakan metode Analisis Isi Kualitatif untuk menginterpretasikan objek penelitian ke dalam simbolik dan mencari makna yang terkandung di dalamnya demikian mencari makna laten di dalam isi pesan. Pengumpulan data dilakukan dengan dokumentasi dengan teknik cuplikan yang bersifat selektif serta FGD (Focus Grup Discussion) sebagai pendukung penelitian yang dikaji dengan menggunakan metode analisis isi kualitatif interpretative.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa acara reality show “Bedah Rumah” merepresentasikan bentuk-bentuk komodifikasi kemiskinan. Bentuk-bentuk komodifikasi kemiskinan tersebut terbagi menjadi empat bentuk yaitu gambaran kondisi kemiskinan, sensasi kegembiraan, merangsang syaraf keharuan serta memancing simpati dan emosi spontan. Penerimaan dan pemahaman informan FGD sebagai audiens yaitu pembantu rumah tangga dan majikan mendukung kategorisasi bentuk-bentuk komodifikasi kemiskinan dalam tayangan reality show “Bedah Rumah”.
Kata Kunci : Komodifikasi, Komodifikasi Kemiskinan, Reality Show
2
ABSTRACT
Negative influence of technological advances, especially television, is less a concern due to Production House (home production) is more emphasized the availability of alternative information and entertainment for consumers. Therefore, the private television in Indonesia presents a variety of events to attract people, so add rating, eg films, soap operas, gossip, reality shows and charity shows. One of television programs that are popular are reality shows. Surveys by Nielsen Media Research (NMR) in Indonesia since mid 2005 have recorded a reality show which is the highest rating is “Bedah Rumah”. Programme reality show 'poverty' are still ranked the highest for any commodity used as the interests of individuals or which may be cited as the commodification of poverty. Commodification of trying to make the media not as a center of attention, with concentration focused on the study of their relation with the economic, political and other factors.
The focus of this research to know how the forms of commodification of poverty in the reality show "Bedah Runah" edition May 22, 2009. It is put emphasis on a number of purposes including research that dissect the contents through interpretation of the text in the reality show "Bedah Rumah" and find out how the reception (reception) viewers of the show that represents the commodification of Bedah Rumah poverty.
This study uses qualitative content analysis method to interpret the object of research into the symbolic and the search for the meaning contained in it so look for the meaning latent in the message body. The data was collected technique documentation with footage that is selective and FGD (Focus Group Discussion) as the supporting research that examined using qualitative interpretative content analysis method.
The results of this study indicate that the reality show "Bedah Rumah" represents the commodification of forms of poverty. The forms of commodification of poverty is divided into four forms of presentation of the conditions of poverty, the sensation of excitement, nerves stimulate emotion and provoke sympathy and spontaneous emotion. Acceptance and understanding of the informant FGD as an audience is a housemaid and the employer support the categorization of the forms of commodification of poverty in the reality show "Bedah Rumah".
Keywords: Commodification, Commodification Poverty, Reality Show
Kode sinematik Zoom in Zoom out Pan (ke kiri atau ke kanan) Tilt (ke atas atau ke bawah) Fade in Fade out Dissolve Wove Iris out Cut Slow motion
Observasi KonteksMengikuti, mengamatiMengikuti, mengamatiMulai/awalSelesai/akhirJarak waktu, hubungan antar adeganKesimpulan yang menghentakFilm tuaKesamaan waktu, perhatianEvaluasi, apresiasi keindahan
Sumber : Keith Selby dan Ron Cowdery dalam Widiningtyas, 2002
44
Petunjuk pengambilan gambar adalah posisi pengambilan oleh kamera pada
objek yang diambil. Secara mendasar terdapat 3 cara pengambilan, yaitu :
1. Long Shot (LS), yaitu pengambilan yang memperlihatkan latar secara
keseluruhan dalam segala dimensi dan perbandingannya.
2. Medium Shot (MS), yaitu pengambilan yang memperlihatkan pokok
sasarannya secara lebih dekat dengan mengesampingkan latar belakang
maupun detail yang kurang perlu.
3. Close-Up (CU), yaitu pengambilan yang memfokuskan pada subjeknya atau
bagian tertentu. Lainnya dikesampingkan supaya perhatian tertuju ke situ.
Tabel 2. Petunjuk pengambilan gambar
SHOOTMunculnya gambar di layar TV yang diambil dengan memakai sebuah kamera selama jangka waktu tertentu.
TWO SHOOTBiasanya dalam naskah ditulis 2-Shoot atau 2s; hanya dua orang saja yang terlihat pada gambar
GROUPSHOOTPengambilan gambar lebih dari 2 orang atau sekelompok orang
BCU atau BCS
Big Close UP atau Big Close Shoot kadang disebut juga PCS (Very Close Shoot). Shoot ini hanya memperlihatkan beberapa bagian dari wajah seseorang biasanya antara dagu dan dahi atau detil-detil yang terperinci dari sebuah benda.
CU atau CSClose Up atau Close Shoot, memperlihatkan seluruh wajah seseorang atau bagian bentuk untuk sebuah benda.
ECUExtreme Close UP, yaitu pengambilan sangat dekat sekali, sampai pori-pori kulitpun dapat kelihatan. Fungsinya untuk memperlihatkan detil suatu objek.
MCU atau MCS
Medium Close UP atau Medium Close Shoot, seringkali disebut chest shoot atau bust shoot memperlihatkan kepala dan bahu sampai ke dada bagian atas. Untuk benda akan terlihat bagian penuh benda tersebut atau bagian dari sebuah bangunan.
MS Medium Shoot; seringkali dikenal istilah “waist”
45
(pinggang) shoot, memperlihatkan kepala sampai pinggang seseorang atau seluruh bagian sebuah benda atau sebagian besar sebuah bangunan.
MLSMedium Long Shoot; sering kali dikenal dengan istilah “knee” sampai lutut atau gambar sebagian besar kelompok bangunan.
LS atau WS atau WA
Long Shoot atau Wide Shoot atau “wide angle” memperlihatkan ¾ badan seseorang dengan latar belakang yang luas atau seluruh badannya bila berdiri sendiri pemandangan alam luas atau bagian dalam bangunan secara penuh
VLS atau VWAVery Long Shoot atau Very Wide Angle jarang dipakai di studio karena studio tidak cukup luas untuk menampilkan luasnya pemandangan.
OSS
Over Sholder Shoot; sering dipakai untuk mengambil dua orang yang sedang bercakap-cakap. Pengambilannya lewat pundak seseorang membelakangi kamera.
HA
Heigh Angle : sudut pengambilan dari suatu objek sehingga kesan objekjadi mengecil, dan kesan pengambilan ini mengandung unsur dramatis yaitu “kerdil”.
LA
Low Angle : sudut pengambilan dari arah bawah sehingga kesan objek jadi membesar, sama seperti high angle posisi ini juga terkesan dramatis untuk menunjukkan keagungan
ELEye Level : sudut pengambilan gambar sejajar dengan mata.
Sampling ini dikenal juga sebagai interval sampling yang diambil karena
mewakili informasinya dengan kelengkapan dan kedalamannya (Sutopo, 2002 :
55). Seperti dikemukakan Miles dan Huberman (1992 : 47) dan Patton (2002 :
230) bahwa umumnya teknik sampling dalam penelitian kualitatif tidak
didasarkan pada prinsip random probabilitas dimana setiap populasi memiliki
peluang sama untuk dipilih sebagai sampel. Namun dalam penelitian kualitatif
teknik sampling didasarkan pada informasi yang diwakilinya dan bukan
generalisasi populasi. Oleh sebab itu, prinsip purposeful selection diambil
berdasarkan tujuan yang hendak dicapai.
J. Validitas Data
Teknik menetapkan keabsahan data dalam penelitian ini dengan
melakukan derajat kepercayaan. Kriteria ini berfungsi untuk melaksanakan
pengamatan (inquiry) sedemikian rupa sehingga penemuannya dapat dicapai
dan menunjukkan derajat kepercayaan hasil penemuan dengan jalan
61
pembuktian pada kenyataan ganda yang sedang diteliti (Moeleong, 2001 : 173-
175). Teknik pemeriksaan keabsahan dapat menggunakan :
a. Pemeriksaan Sejawat Melalui Diskusi
Teknik ini, penulis akan mengeskposkan hasil penelitian guna memperoleh
masukan dan sekaligus dilakukan diskusi analisis dengan teman-teman
penulis serta dosen pembimbing. Teknik ini diambil penulis, dengan
harapan untuk memperoleh masukan-masukan guna keberhasilan, dalam
penelitian ini. Selain itu, juga dapat menambah pemahaman dalam
menyikapi data yang diperoleh untuk mendapatkan klarifikasi penafsiran
yang sesuai dengan teori dan metodologi yang dipakai penulis.
b. Memberi ruang bebas secara komunikatif terhadap berbagai kelompok
kepentingan untuk memberikan komentar, kritik, evaluasi terhadap
penelitian ini. Sehingga penelitian ini bukan dijadikan kajian akhir tapi
sebagai awal dari sebuah metode dan perspektif tertentu untuk selalu
diperdebatkan secara ilmiah, teoritis dan terbuka.
62
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. DESKRIPSI REALITY SHOW “BEDAH RUMAH”
Pengaruh negatif kemajuan teknologi, khususnya televisi, kurang menjadi
perhatian disebabkan Production House (rumah produksi) lebih menekankan
tersedianya alternatif informasi dan hiburan bagi konsumennya. Oleh sebab itu,
televisi swasta yang ada di Indonesia menghadirkan beragam acara untuk menarik
minat masyarakat, sehingga menambah rating, misalkan film, sinetron, gossip,
reality show dan charity show. Salah satu program tayangan televisi yang sedang
digemari adalah reality show.
Bedah Rumah adalah tayangan reality show yang ditayangkan di stasiun
swasta yakni stasiun televisi RCTI setiap hari kamis sampai minggu pukul 16.30
WIB. Konsep acara ini yaitu bertujuan merenovasi rumah yang tak layak huni
menjadi layak huni hanya dalam waktu 12 jam saja. Selain dipandu Ratna Listy
sebagai host acara, acara ini juga menampilkan bintang tamu yaitu artis yang
berbeda disetiap episodenya yang berperan mendampingi dan merasakan
kesusahan keluarga yang terpilih untuk dibedah rumahnya.
Acara reality show ini sudah ada sejak tahun 2005 sudah mencapai rating
tertinggi dan sampai sekarang menurut indorating bulan Agustus 2010 masih
menduduki peringkat pertama acara reality show televisi yaitu mencapai 4,67 %
di seluruh acara televisi swasta. Sedangkan survei yang dilakukan oleh Nielsen
63
Media Research (NMR) di Indonesia pada pertengahan tahun 2005 tercatat reality
show yang memiliki rating tertinggi adalah reality show Bedah Rumah disusul
reality show Uang Kaget diperingkat kedua.
B. TIM PRODUKSI REALITY SHOW “BEDAH RUMAH”
Gambar 1. Logo Bedah Rumah
KERABAT KERJA
Konsep Acara : Helmi Yahya
Eko Nugroho
Produser Eksekutif : Helmi Yahya
Liem Siau Bok
Supervisi Produksi : Zulkarnaen
Kepala Divisi Support : Reny Sulasiah
Produser : Johana Asbanu
Asisten Produser : Angela Putri P.
Sutradara : Michael Rusmanah
Kreatif : Yanto
Administrasi : Yuni
Melia
64
Legal : Sarah Dilla
Penata Gambar : Adi (Koordinator)
Luhur
Yanto Gemblong
Agus Keong
Teknisi : Yanto
Unit : Ony Sahrony
Arsitek : Rudi Raja (Koordinator)
Rudi Black
Adi
Editor : Novadi Papa Vanessa
Asisten Editor : Borink
Koordinator Artis : Prasha Asmarandana
Tim Survey : Ocha Victoria
Onset : Edy Doyok
Bomad
Pengemudi : Gendon, Mainal & Rudi Patrol
65
C. SEKILAS TENTANG BEDAH RUMAH EDISI JUMAT 22 MEI 2009
Pada Bedah Rumah edisi Jumat 22 Mei 2009, menampilkan artis dan model
Tiara Smith mendatangi keluarga nenek Sami. Seorang nenek tua yang berprofesi
sebagai pemulung dan pembuat sapu lidi. Nenek Sami tinggal bersama Santi, cucu
perempuannya dan suaminya.
Pada awalnya Tiara Smith berpura-pura sedang disuruh oleh perusahaan
tempat dia bekerja untuk mencari barang-barang rongsokan sampai akhirnya tiba
di rumah nenek Sami. Sampai di rumah nenek Sami, Tiara disambut oleh Santi,
beberapa saat kemudian nenek Sami juga ikut keluar menemui Tiara. Selain sudah
berusia lanjut, nenek Sami juga sudah mulai berkurang dalam pendengarannya.
Setelah berbincang-bincang beberapa saat, mereka bertiga kemudian masuk ke
dalam rumah.
Tiara melihat-lihat kondisi rumah yang ditinggali oleh nenek Sami dan
cucunya mulai dari ruang tamu, kamar tidur, dapur dan sumur. Setelah melihat
kondisi rumah, Tiara kemudian menanyakan tentang kehidupan nenek Sami,
dengan siapa dia tinggal, pekerjaannya apa, penghasilannya berapa dan
sebagainya. Sampai pada akhirnya Tiara meminta ijin untuk tinggal beberapa hari
di rumah nenek Sami.
Pada hari kedua, Tiara mulai ikut membantu dan ikut terlibat dalam setiap
aktivitas yang dilakukan oleh nenek Sami. Ketika nenek Sami membuat sapu lidi,
Tiara berusaha ikut membantu dan menunjukkan kepada pemirsa betapa tidak
mudahnya membuat sapu lidi. Ketika nenek Sami pergi “mulung”, Tiara pun ikut
66
membantu nenek Sami untuk memulung barang-barang bekas di tempat
pembuangan sampah. Bahkan ketika nenek Sami mencuci kakinya di got, Tiara
pun ikut melakukan apa yang dilakukan oleh nenek Sami, sampai akhirnya sandal
yang tiara pakai terlepas dan hanyut terbawa air. Pada malam harinya ketika
nenek Sami dan cucunya tertidur pulas, Tiara gelisah dan tidak bisa tidur. Selain
karena tempat tidurnya sempit dan keras, Tiara juga banyak digigit oleh nyamuk.
Pada hari ketiga, Tiara menemani nenek Sami untuk mengambil dana BLT.
Tak lama setelah itu nenek beserta keluarga dikejutkan dengan berita
menggembirakan yang menyatakan bahwa rumah nenek akan segera dibedah.
Setelah itu, Tiara mengajak nenek Sami dan cucunya pergi ke salon untuk
melakukan perawatan tubuh, perawatan rambut dan perawatan kecantikan lainnya
yang bisa didapatkan di salon kecantikan. Setelah dari salon mereka pergi ke
sebuah hotel untuk istirahat, ditempatkan di sebuah kamar yang berstandar VIP
dan menikmati makan malam di hotel. Ketika berada di hotel, nenek Sami sempat
tertinggal di lantai bawah, namun akhirnya berhasil ditemukan oleh Tiara.
Di tempat yang lain, tim bedah rumah sudah mulai merenovasi rumah nenek
sami agar menjadi rumah yang layak huni. Sampai pada malam hari, keluarga
nenek Sami pulang ke rumah dan disambut oleh presenter tim Bedah Rumah
Ratna Listy beserta warga sekitar. Dan akhirnya tirai pun dibuka.
67
D. ANALISIS DAN REPRESENTASI DATA
D.1. Konsepsi Komodifikasi Media dalam Bedah Rumah
Pendekatan ekonomi politik memusatkan kajiannya pada bagaimana
hubungan dominasi dan penguasa ekonomi bisa mempengaruhi institusi sosial
lain, termasuk media massa. Hingga hubungan kepengaruhan tersebut dapat
mempengaruhi sistem produksi, distribusi dan konsumsi media massa.
“Political economy is the study of the social relations, particularly the power relations, that mutually constitute the productions, distribution, and consumption of resource, including communication resources”. (Mosco, 1996:2)
Terdapat tiga konsep kunci dalam pendekatan ekonomi politik media massa.
Yang pertama adalah komodifikasi, kedua spasialisasi dan terakhir strukturasi.
Komodifikasi menurut Vincent Mosco digambarkan sebagai cara kapitalisme
dengan membawa akumulasi tujuan kapitalnya. Atau dapat pula digambarkan
sebagai sebuah perubahan nilai fungsi atau guna menjadi sebuah nilai tukar. Dan
sekarang ini telah sangat banyak sekali bentuk komodifikasi yang muncul dalam
perkembangan kehidupan manusia. Karena mulai banyak juga yang dijadikan
komoditas oleh manusia.
Dan sekarang kaitan komodifikasi dan komunikasi, dapat digambarkan dari
dua dimensi hubungan. Yang pertama adalah proses komunikasi dan
terknologinya memiliki kontribusi terhadap proses umum komodifikasi secara
keseluruhan. Kedua adalah proses komodifikasi yang terjadi dalam masyarakat
secara keseluruhan menekan proses komunikasi dan institusinya, jadi perbaikan
dan bantahan dalam proses komodifikasi sosial mempengaruhi komunikasi
sebagai praktik sosial.
68
Konsep Komodifikasi Media oleh Vincent Mosco (1996) pada tayangan
reality show “Bedah Rumah” :
1. Bedah Rumah adalah acara reality show yang bertemakan kemiskinan yang
pada akhirnya tema kemiskinan menjadi content media (Komodifikasi isi
media). Komodifikasi isi media berarti mengubah pesan menjadi produk yang
dapat dipasarkan.
“Commodification processes analyzed included media content as commodity, the sale of audiences to advertisers, the collection and sale of personal information, and intrusion of advertising into public spaces.”(Mosco,1996).
2. Pengertian komodifikasi Isi / Content dari sebuah isi media sendiri adalah
mengubah pesan melalui teknologi yang ada menuju sistem interpretasi
manusia yang penuh makna hingga menjadi pesan yang marketable. Alhasil
akan terjadi keseragaman bentuk dan isi media untuk dapat menarik perhatian
khalayak. Namun sayangnya, konten media dibuat sedemikian rupa sehingga
agar benar-benar menjadi kesukaan publik meski hal itu bukanlah fakta dan
kebutuhan publik. Inilah yang menjadi ciri dari ideology industry media
tertentu, ideology ekonomi misalnya. Dan kemudian jika komodifikasi ini
berhasil maka para advertiser akan tertarik untuk membeli waktu jeda dalam
program tersebut, inilah logika bisnis industri media.
3. Salah satu prinsip dimensi komodifikasi media massa menurut Gamham dalam
buku yang ditulis Mosco menyebutkan bahwa penggunaan periklanan
merupakan penyempurnaan dalam proses komodifikasi media secara ekonomi.
Audiens merupakan komoditi penting untuk media media massa dalam
69
mendapatkan iklan dan pemasukan. Media dapat menciptakan khalayaknya
sendiri dengan membuat program semenarik mungkin dan kemudian khalayak
yang tertarik tersebut dikirimkan kepada para pengiklan. Konkritnya media
biasanya menjual audiens dalam bentuk rating atau share kepada advertiser
untuk dapat menggunakan air time mereka. Program tersebut biasanya
menjawab kebutuhan audiensnya, programmer media massa akan
menggabungkan beragam kebutuhan audiens dalam satu program atau
beberapa program. Dengan demikian audiens dapat menikmati beragam
kebutuhan hiburan (misalnya) dalam satu program saja.
Hasil Analisa Peneliti :
a. Mencari dan menjawab keinginan audiens (Audiens need & want)
Seperti isu awal yang disebarkan adalah memberikan alternatif tontonan
bagi keluarga. Dan tentu saja tetap memiliki banyak unsur, bukan hanya
hiburan. Seolah-olah program ini memang menjawab kebutuhan dari
audiens.
b. Menyesuaikan keinginan audiens dalam satu program
Tayangan Bedah Rumah yang menampilkan tema kemiskinan menjadi
indikasi dalam komodifikasi. Dengan membuat program yang “all in one”
maka RCTI dapat mengklain bahwa inilah program yang benar-benar
diinginkan oleh audiens. Dan akan selalu mendapat perhatian yang tinggi
dari audiens.
c. Program sebagai andalan
1. Penciptaan audiens dengan program semenarik mungkin
70
Acara Bedah Rumah menjadi program acara favorit oleh anggota
keluarga dan telah mendapat angka rating yang cukup tinggi. Hal ini
menunjukkan bahwa memang penonton program ini bukanlah sedikit,
dibuktikan dengan angka ratingnya yang cukup tinggi.
2. Khalayak yang tertarik berjumlah banyak
Audiens sama dengan komoditas. Dalam hal ini tentu saja audiens
adalah sumber pemasukan yang sangat menggirukan bagi medianya. Kita
tahu jika rating tinggi maka jumlah penontonnya termasuk tinggi dan para
pengiklan akan sangat tertarik dengan program ber-rating tinggi untuk
memasang iklannya. Seperti acara “Bedah Rumah” yang dalam
pemunculan iklannya jika diakumulasikan sebanyak 48 spot dalam waktu
18 menit atau memiliki iklan sebanyak 28 % dari seluruh jam tayang yang
berdurasi 50 menit.
D.2. Telaah Penelitian
Secara keseluruhan, dari hasil pengamatan sementara, peneliti melihat
struktur plot atau shot-shot yang ada dalam video acara “Bedah Rumah” edisi
Jum’at 22 Mei 2009 dapat berdiri dalam satu kerangka besar yang
menggabungkan aspek-aspek komoditas dan psikologis seperti hasrat, impian,
tangisan dan atau sebuah bentuk pemuasan kebutuhan manusia. Aspek-aspek
tersebut hadir secara dominan dalam bagian-bagian video berupa visual maupun
audio.
71
Bagian-bagian tersebut dapat teruraikan dalam penggalan scene atau shot-
shot yang pada dasarnya dapat dikategorikan dalam tiga bagian yakni bagian
pembuka, isi dan penutup. Pertama, bagian pembuka atau awalan berisi shot yang
secara sekilas sedang berbicara tentang permasalahan pokok yang sedang dihadapi
serta latar belakang dan karakteristik tokoh.
Narasi utama dalam bagian – bagian awal audio visual ini adalah tentang
sebuah bentuk kemiskinan atau lebih tepatnya permasalahan sebagian orang yang
terhimpit oleh kesulitan ekonomi dan ketidakmampuan dalam memenuhi
kebutuhan hidup. Sedangkan latar belakang dan karakteristik individu yang
terbangun dalam video ini adalah sebuah keluarga miskin yang terdiri seorang
nenek beserta anak dan cucunya yang yang keadaannya sangat memprihatinkan.
Kedua, bagian isi atau tujuan utama dari adanya acara reality show “Bedah
Rumah. Terdiri dari bagian-bagian shot, bagian ini dalam pandangan peneliti
sebagai bagian dari serangkaian kegiatan penekanan konsep kemiskinan. Dengan
menampilkan satuan-satuan tanda ciri-ciri kemiskinan yang dikemas secara
menyedihkan hadir sebuah pemaknaan akan sebuah realitas media. Realitas media
menampilkan berbagai citra menurut penilaian normatif masyarakat. Kesadaran
sebagian masyarakat akan arti penting dan kekuatan media dalam membangun
kendali atas berbagai citra menjadikan apa yang disebut sebagai “realitas media”
kadang disalah-artikan sebagai “realitas sosial”. Dari hal tersebut peneliti melihat
penekanan konsep kemiskinan sebagai realitas media adalah sebagai konsep
komodifikasi kemiskinan di media.
72
Ketiga, bagian penutup. Dalam bagian terakhir acara ini ada semacam
penekanan fokus pada kehebatan acara reality show “Bedah Rumah” yang mampu
menyulap rumah tak layak huni menjadi layak huni hanya dalam waktu 12 jam
saja. Hal tersebut bisa diamati bila dikaitkan dengan penggunaan tanda-tanda
sebelumnya dimana ada semacam konstruksi psikologis yang coba dibangun
bahwa kenikmatan dan khayalan yang mungkin belum pernah dialami bisa
terwujud jika dengan adanya tim bedah rumah dimana acara tersebut tentu tidak
lepas dari para pemilik modal.
Dari penelaahan ketiga bagian diatas, dapat ditarik kesimpulan bahwa acara
reality show “Bedah Rumah” edisi Jumat 22 Mei 2009 disini membentuk bingkai
makna komodifikasi isi media dengan tema kemiskinan yang menghadirkan unsur
pengharapan dari seseorang yang miskin sebagai pencapaian kenikmatan hidup.
Bahwa orang yang miskin bisa memperoleh sebuah kenikmatan hidup yang ia
inginkan lewat sebuah kesempatan yang diberikan oleh acara reality show
Data hasil tentang bentuk komodifikasi kemiskinan dalam tayangan reality
show Bedah Rumah ini diperoleh setelah melakukan analisis isi kualitatif terhadap
tayangan Bedah Rumah yang khususnya signifikan menggambarkan simbol dan
bentuk mengeksploitasi kemiskinan dan akan dilakukan kategorisasi bentuk-
bentuk komodifikasi kemiskinan. Sampel tayangan yaitu Bedah Rumah episode
22 Mei 2009 diperoleh melalui You Tube. Sampel ini merupakan salah satu dari
banyak episode yang ditayangkan dalam periode 1 tahun terakhir. Pemilihan
73
episode ini semata didasarkan pada pertimbangan kebutuhan akan isi atau muatan
yang signifikan dengan bentuk-bentuk komodifikasi kemiskinannya yang
kemudian jika diperlukan akan didukung oleh hasil dari proses FGD .
Untuk memudahkan pengambilan data dan untuk menjamin kualitas gambar
yang akan diteliti maka rekaman video Bedah Rumah selanjutnya ditransfer
kedalam format Flash Video File (.flv) menjadi empat bagian. Gambar yang telah
diperoleh kemudian dilakukan proses pengeditan yaitu dengan cara di capture
dengan menggunakan software GOM Player berupa beberapa cuplikan untuk
keperluan analisis atau deskripsi detail tayangan acara reality show Bedah Rumah.
Dokumen gambar yang didapat dari proses editing maupun rekaman keseluruhan
di simpan kedalam laptop guna memudahkan proses analisis maupun FGD.
Setelah melalui proses olah data maka beberapa cuplikan tersebut
dikelompokkan dan dianalisis menurut signifikan memuat komodifikasi
kemiskinan berdasarkan pengambilan gambar dan narasi guna memperoleh
kategorisasi dari bentuk komodifikasi kemiskinan. Untuk memudahkan peneliti
dalam menganalisis tayangan bedah rumah tersebut, peneliti membagi tayangan
bedah rumah menjadi beberapa shot/gambar yang peneliti anggap penting.
Gambar-gambar tersebut merupakan rangkaian dari isi cerita tayangan bedah
rumah.
Berikut ini merupakan hasil penelitian yang dilakukan oleh peneliti atas
tayangan Bedah Rumah episode 22 Mei 2009, yaitu berupa analisis isi terhadap
beberapa cuplikan gambar yang telah dipilih dalam tayangan tersebut yang
dianggap merepresentasikan bentuk-bentuk komodifikasi kemiskinan. Adapun
74
cuplikan gambar yang dipilih oleh peneliti sebanyak 13 shot yang terdiri dari 20
gambar. Shot I menggambarkan pemandangan rumah keluarga nenek Sami
tampak depan, shot II menampilkan gambar tempat mandi nenek Sami yang
kumuh, shot III terdiri dari 3 gambar yaitu menampilkan pemandangan dapur
yang kotor, atap yang bocor dan lantai yang masih tanah. Shot IV menampilkan
gambar nenek Sami dan cucunya yang sedang menangis, shot V menampilkan
menceritakan kesedihan keluarga nenek Sami dan Tiara Smith, shot VI
menggambarkan kegiatan membuat sapu lidi oleh nenek Sami, cucu dan Tiara
Smith.
Berikutnya, shot VII menampilkan gambar kegiatan memulung sampah,
shot VIII menampilkan gambar Tiara Smith yang ikut menginap dan tidur
seranjang dengan nenek Sami, shot IX menampilkan gambar keluarga Sami yang
berada di hotel, shot X menggambarkan suasana keluarga Sami yang menikmati
fasilitas hotel, shot XI menggambarkan suasana saat berada di tempat
pengambilan BLT, shot XII menampilkan gambar nenek Sami yang berpelukan
dengan Tiara, shot XIII menampilkan gambar suasana di depan rumah saat rumah
selesai dibedah, shot XIV terdiri dari 4 gambar yaitu gambar saat rumah depan,
ruang tamu, dapur dan kamar selesai dibedah.
Tabel 5. Karakteristik cuplikan gambar yang dipilih
Shot Visualisasi Narasi dan Dialog
LSPemandangan lingkungan rumah yang berada di desa, diperlihatkan juga kondisi sekitar halaman luar rumah sebelum tim Tiara Smith mendatangi rumah keluarga Sami
Pemirsa, roda kehidupan terus berputar. Ibarat jalan yang menanjak, semakin hari semakin terasa berat. Dan bagi sebagian orang, himpitan dan kesulitan ekonomi terus menghantui mereka. tidak terkecuali nenek sami di Kranggan Bogor yang menggantungkan hidupnya sebagai
75
LS
MS
EC
EC
CU
FS
LS
Kondisi tempat mandi keluarga Sami yang berada di luar rumah. Tiara Smith tidak jadi mandi karena tempatnya yang terlalu terbuka
Suasana dapur keluarga Sami
Genteng dari dalam rumah
Lantai dalam rumah
Santi, cucu nenek Sami menceritakan kisah hidupnya kepada Tiara Smith
Suasana saat Santi, nenek Sami dan Tiara mencurahkan perasaannya masing-masing
Dihari pertama pada siang hari kegiatan membuat sapu lidi di
pemulung dan juga pembuat sapu lidi. Lalu sanggupkah artis kita Tiara Smith mampu menyelami kehidupan nenek sami ? Kita lihat Bedah Rumah episode kali ini.
Tiara : " Kamar mandinya kok kebuka gini apa ga takut dilihatin orang ? Kenapa kebuka ? Ntar kalau dilihatin orang gimana ?
Sami : "Gada yang lihat. pake aja kain " Tiara : "Trus nenek misalnya sendiri
kalau ambil air suka sendiri?, masih kuat ?
Sami : " Jam 12 malem juga sering ke sumur.
Tiara : " Kenapa atuh ga dibenerin ? ditutup."
Sami : " Ga dibenerin, emang belum ada alatnya.
Atap ini yang tidak layak adalah genteng tua yang telah bocor dan tak pantas. Terasa sangat sedih dan miris melihat apa yang terjadi jika hujan datang. Begitu pula lantai yang tanah,debu, kotor dan pengap.
Tiara : " ini mah berat ini yah? ini mah lebih dari satu kilo yah ?
Santi : "tapi ini murah." Tiara : " ini kalau dijual sama ke tempat
yang tadi ?Santi : “Iya sama. Ya Allah..sedih
mak...sedih. sedih mak kerjaannya kaya gini, sedih mak, sedih... sedih mak orang ga punya ditanya-tanya, malu...malu mak.”
Tiara : " terus teh santi,kalau misalkan bisa dapat biaya sehari-hari itu dari
76
LS
FS
FS
belakang rumah
Dihari kedua pada siang hari kegiatan memulung sampah
Suasana di malam pertama Tiara menginap di rumah nenek Sami
Hari dimana tim Bedah Rumah member kejutan. Nenek Sami
jualan sapu lidi itu ?Santi :"ga sapu lidi aja kadang-kadang
Nenek sami hanyalah seorang pemulung yang sehari-harinya hanyalah berkutat dengan samah yang kotor, bau dan juga jorok. sampah-sampah yang menggunung ini adalah teman sejati nenek stiap hari. aku heran apa nenek ga sesak yah napasnya ataupun sakit. Jujur ini bau banget, perutku mual.Namun semua kekotoran yang ada seakan terhapus oleh kebiluan nenek. aku yang melihat nenek semangat untuk mengambil sampah-sampah itu seakan gak perduli walaupun bau dan kotor. nenek tetap bersemangat untuk mencari sampah-sampah itu. semangatku jadi timbul lagi. nenek gak pernah kenal lelah tetap harus semangat.naku malu sama nenek. aku yang masih mudah sudah gak kuat. Tapi nenek di usia yang 75 tahun seperti ini masih kuat setiap hari kaya gini.
Santi : sekilo 5rb, kalau sedikit 3 rb.Tiara Smith : itu yang ngambil nenek
sendiri?Nenek Sami : orang gada yang ngambil,
apa aja yang khalal
Malam ini nenek begitu sedih. melihat wajah nenek juga sangat mengenaskan dan sangat mengharukan. Aku ga ngerti apa yang ada dipikiran nenek. Sudah puluhan tahun, nenek dan cucunya hidup dalam ketiadaan seperti ini, kasihan, tapi nenek tetap tegar.
77
FS
FS
CU
FS
MS
FS
FS
FS
FS
FS
beserta keluarga diajak ke sebuah hotel berbintang.
Nenek Sami dan Santi sedang melakukan perawatan rambut di salon
Nenek Sami dan Santi sedang melakukan perawatan kulit di salon
Pijat Refleksi
Suasana saat berada di tempat pengambilan BLT
Suasana saat nenek Sami mencurahkan perasaannya kepada Tiara
Suasana sejenak setelah tirai dibuka
Rumah dari luar sebelum dan sesudah dibedah
Ruang depan sebelum dan sesudah dibedah
Dapur sebelum dan sesudah dibedah
Kamar sebelum dan sesudah dibedah
impian nenek akan hunian yang layak sebentar lagi akan terwujud, saya dan tim bedah rumah telah menyiapkan kejutan untuk keluarga nenek sami. sesaat setelah layar dibelakang saya terbuka, impian, harapan dan semangat yang baru akan hadir. seperti apa ekspresi dari keluarga ini dalam menyambut hari yang bersejarah ini, kita akan lihat sama-sama.
Keterangan :CU : Close UpFS : Full ShotMS : Medium Shot
78
EC : Extreme CloseLS : Long Shot
Shot 1 :
Gambar 2. Rumah tampak dari luar
Pada gambar diatas menunjukkan potongan scene pembuka atau opening
acara. Dalam shot ini dihadirkan pemandangan sebuah rumah di pedesaan yang
tampak dari luar bisa dianggap rumah yang sangat sederhana. Disebut termasuk
berada di daerah pedesaan melihat konstruksi setting yang ditampilkan, antara lain
halaman sekitar rumah yang masih ditumbuhi tanaman liar yang tidak terawat,
jalan yang masih berupa tanah dan letak rumah yang saling berjauhan satu sama
lain. Secara umum rumah yang sangat sederhana diartikan sebagai “papan” atau
tempat tinggal yang apa adanya dan atau rumah yang terbuat dari bahan seadanya
yang bisa digunakan untuk melindungi diri dari panas dan hujan.
Dalam shot ini, ukuran pengambilan gambar (shot size) yang digunakan
adalah Long Shot (LS) kode sinematik zoom out dengan memperlihatkan latar
79
secara keseluruhan dalam dimensi dan perbandingannya. Sebagai suatu proses
penandaan, setting yang terlihat di gambar ini dilihat dalam satu pertalian dengan
tanda dalam kategori rumah miskin. Dalam sudut pandang peneliti, penggunaan
Long Shot (LS) dan zoom out dalam gambar ini kemudian memunculkan makna
status social.
Penggunaan kedua teknik pengambilan gambar tersebut dalam hal ini
menghadirkan pemaknaan bahwa rumah yang ditampilkan dalam shot ini tidak
sekedar sebagai rumah yang berada di pedesaan tapi juga sebagai rumah yang
miskin dengan kondisi yang memprihatinkan. Selain itu, shot (rumah) disini juga
dapat ditempatkan dalam sebuah penataan bertingkat dengan rumah mewah yang
dalam aspek-aspek tertentu memiliki perbedaan jenjang kualitas baik secara
ekonomi maupun social.
Jadi dari pemetaan pengambilan gambar di atas makna yang ditimbulkan
oleh shot size adalah deep focus atau konteks jarak public artinya isi dari semua
elemen adalah penting “lihatlah semua”. Yaitu bagaimana pesan yang
disampaikan media melalui cuplikan gambar ini dapat mencerminkan dari suatu
bentuk kemiskinan dan bagaimana public dapat menangkap suatu simbol
kemiskinan itu dengan melihat cuplikan gambar.
80
Shot 2 :
Gambar 3. Tempat mandi kumuh
Dalam shot LS ini, penekanan terletak pada minimnya dan tidak
memadainya kondisi tempat mandi keluarga Sami. Gambar diatas menjelaskan
tidak adanya akses terhadap kebutuhan hidup dasar lainnya yaitu kesehatan,
sanitasi dan air bersih. Keluarga miskin adalah dengan akses yang serba minim,
termasuk ruang hunian atau tempat tinggal yang tidak layak, tidak memenuhi
derajat kesehatan, dan terkesan apa adanya (Evers & Korff, 2002).
Dialog
Tiara : " Ka mar mandinya kok kebuka gini apa ga takut dilihatin orang ? Sami : "Gada yang lihat. pake aja kain " Tiara : "Trus nenek misalnya sendiri kalau ambil air suka sendiri?, masih
kuat ?Sami : " Jam 12 malem juga sering ke sumur.Tiara : " Kenapa atuh ga dibenerin ? ditutup."
Sami : " Ga dibenerin, emang belum ada alatnya.
Dialog diatas secara tidak langsung memberikan pemahaman sosok nenek
Sami yang pasrah dan tidak peduli dengan keamanan dan kebersihan lingkungan
sekitar. Dengan fasilitas yang seadanya yaitu sumur yang sudah tua, ember dan
tempat penampungan air bekas, serta penutup kamar mandi yang tidak layak
81
seperti yang tergambar diatas, tidak hanya mengarahkan pemaknaan sebagai
sebuah tempat mandi yang kumuh saja tapi lebih dari itu memperkuat sebuah
makna kualitas status ekonomi dan social kebawah yang juga hadir dalam shot
sebelumnya.
Shot 3:
Gambar 4. Dapur yang kotor dan jorok
Gambar 5. Genteng yang bocor Gambar 6. Lantai yang tanah
Ketiga gambar tersebut menceritakan kondisi di dalam rumah nenek Sami.
Penekanan terletak pada dapur, atap dan tanah yang diambil dengan extreme close
up. Sebagai sebuah signifikasi atau penandaan, ketiga gambar tersebut secara
implisit mengacu pada sebuah realitas social bahwa tanda-tanda di atas
82
merupakan ciri orang miskin atau orang yang tidak bisa memenuhi kebutuhan non
makanan.
Pada tataran interpretative, kehadiran tanda ini hanya dimiliki oleh orang
yang berada pada sebuah kondisi yang berada di bawah garis nilai standar
kebutuhan minimum, baik untuk makanan dan non makanan, yang disebut garis
kemiskinan (poverty line) atau batas kemiskinan (poverty threshold). Garis
kemiskinan adalah sejumlah rupiah yang diperlukan oleh setiap individu untuk
dapat membayar kebutuhan makanan setara 2100 kilo kalori per orang per hari
dan kebutuhan non-makanan yang terdiri dari perumahan, pakaian, kesehatan,
pendidikan, transportasi, serta aneka barang dan jasa lainnya (BPS dan Depsos,
2002:4).
Dalam kaitannya dengan persepsi penonton, penghadiran gambar-gambar
diatas membentuk makna ketidakmampuan dan kepasrahan sehingga
menimbulkan rasa simpati audiens. Hal ini didukung dengan adanya narasi
berikut :
“ Atap ini yang tidak layak adalah genteng tua yang telah bocor dan tak pantas. Terasa sangat sedih dan miris melihat apa yang terjadi jika hujan datang. Begitu pula lantai yang tanah,debu, kotor dan pengap. ” (Narasi II)
Menyimak narasi diatas, turut menunjukkan bagaimana sebuah
kemiskinan itu adalah suatu hal yang memang miris sehingga kemiskinan identik
dengan pemaknaan “belas kasihan”. Dalam cuplikan dan narasi di atas menurut
peneliti adalah hal yang bersifat komoditas media dimana fenomena-fenomena
kemiskinan yang mencerminkan rasa iba bagi yang menontonnya dikemas secara
83
segar, menarik dalam sebuah tontonan yang sebenarnya tontonan tersebut adalah
bersifat privat.
Shot 4:
Gambar 7. nenek dan cucu yang menangis
Dalam shot ini, penekanan terletak pada mimik wajah yang diambil
dengan Close Up Shot (CU) dengan memfokuskan pada subjek dan
mengesampingkan bagian yang lain agar perhatian tertuju hanya kepada subjek.
Makna yang dapat dihadirkan dari shot pengambilan gambar Shot size Close Up
menandakan adanya suatu keintiman yang dalam pandangan peneliti dapat ditarik
dalam hubungannya dengan respon pemirsa atau penerima pesan untuk dapat
terhanyut dan ikut dalam keintiman tersebut dengan selective focus guna menarik
perhatian penonton.
Dialog
Tiara : " ini mah berat ini yah? ini mah lebih dari satu kilo yah ?Santi : "tapi ini murah." Tiara : " ini kalau dijual sama ke tempat yang tadi ?
84
Santi : “Iya sama. Ya Allah.. sedih mak...sedih. sedih mak kerjaannya kaya gini, sedih mak, sedih... sedih mak orang g a punya ditanya-tanya, malu...malu mak. ”
Dialog dan mimik wajah menangis yang ditampilkan pada gambar ini
merupakan bentuk dari sebuah keluhan atas keprihatinan dan ketidakmampuan
seseorang yang dalam pandangan peneliti terkait erat dengan masalah kemiskinan.
Bentuk komodifikasi kemiskinan dalam gambar ini terlihat dari bagaimana
subyek yaitu tangisan nenek Sami dan cucunya yang termasuk golongan
masyarakat miskin ditampilkan secara dominan mencerminkan sekelumit realitas
menggambarkan bahwa mereka golongan miskin yang tidak terlahir bahagia dan
serba tidak bercukupan membawa mereka kepada sebuah ketidakadilan.
Shot 5:
Gambar 8. Tiara Smith menangis
Gambar diatas menceritakan tentang cucu nenek Sami yang mencurahkan
perasaan dan keluahannya kepada bintang tamu artis Tiara Smith. Full Shot yang
diambil dari seorang perempuan yang menangis menciptakan suasana tersendiri
85
bagi audiens. Suasana tersebut adalah sebuah emosi atau drama menyedihkan dan
kepedihan rakyat ketika mengalami nasib sebagai seorang yang miskin.
Pada shot ini juga ikut menampilkan ekspresi tangisan Tiara. Mengenai
tampilnya ekspresi Tiara yang ikut menangis memunculkan karakter simpati atas
penderitaan nenek Sami dan cucunya. Karakter ini akan semakin menarik
perhatian penonton dan menggali keharuan untuk bisa merasakan apa yang
mereka rasakan. Tiara Smith sebagai artis tentunya memiliki kelebihan tersendiri
untuk menarik perhatian audiens.
Shot 6:
Gambar 9. Tiara membantu membuat sapu lidi
Bisa dilihat dalam shot ini menggambarkan kehidupan sehari-hari.
Keseharian tampak pada aktivitas pagi nenek Sami dan cucunya yang membuat
sapu lidi dibantu oleh Tiara. Shot ini dipenuhi dengan aktivitas di belakang rumah
(penggambaran belakang rumah dalam shot ini terlihat dari terdapatnya peralatan
86
dapur yang memang berada di luar ruangan serta bahan tanaman untuk membuat
sapu lidi).
Dialog
Tiara : " terus teh santi,kalau misalkan bisa dapat biaya sehari-hari itu dari jualan sapu lidi itu ?
Santi :"ga sapu lidi aja kadang-kadang suka mulung juga.Tiara : "nenek mulung juga ?"Sami : " besok mulung."
Jika melihat pengambilan gambar Long Shot diatas memunculkan karakter
kepedulian Tiara sebagai seorang artis untuk ikut merasakan kesulitan yang
dihadapi keluarga nenek Sami. Terlepas dari itu semua keberadaan dari seorang
bintang tamu artis adalah merupakan sebuah peranan dari sebuah scenario media
dalam hal pendukung acara Bedah Rumah sebagai satuan paket strategi untuk
memancing rasa keharuan pemirsa.
Shot 7:
Gambar 10. Kegiatan memulung sampah
87
Pada shot Long Shot diatas tampaknya menampilkan sebuah lingkungan
tempat pembuangan sampah sebagai lahan tempat bekerja nenek Sami sehari-hari
sehingga menciptakan suatu asumsi bahwa orang miskin sudah terbiasa berada di
tempat kotor, jorok dan bau. Memulung adalah kegiatan mengumpulkan barang-
barang bekas yang masih bisa sekiranya masih bisa didaur ulang untuk dipakai
kembali. Yaitu suatu pekerjaan yang sebagian besar dilakukan oleh masyarakat
yang berstatus social rendah. Menambah rasa kemirisan audiens ketika yang
ditampilkan pada gambar adalah seorang nenek tua berusia 75 tahun yang
seharusnya sudah tidak produktif ternyata masih saja mengerjakan pekerjaan kasar
hanya untuk mendapatkan sesuap nasi untuk kelanjutan hidupnya beserta
keluarganya.
“ Nenek sami hanyalah seorang pemulung yang sehari-harinya hanyalah berkutat dengan samah yang kotor, bau dan juga jorok. sampah-sampah yang menggunung ini adalah teman sejati nenek stiap hari. aku heran apa nenek ga sesak yah napasnya ataupun sakit. Jujur ini bau banget, perutku mual. Namun semua kekotoran yang ada seakan terhapus oleh kebiluan nenek. aku yang melihat nenek semangat untuk mengambil sampah-sampah itu seakan gak perduli walaupun bau dan kotor. nenek tetap bersemangat untuk mencari sampah2 itu. semangatku jadi timbul lagi. nenek gak pernah kenal lelah tetap harus semangat.aku malu sama nenek. aku yang masih mudah sudah gak kuat. Tapi nenek di usia yang 75 tahun seperti ini masih kuat setiap hari kaya gini. ” (Narasi III).
Dialog
Santi : sekilo 5rb, kalau sedikit 3 rb.Tiara Smith : itu yang ngambil nenek sendiri?Nenek Sami : orang gada yang ngambil, apa aja yang khalal
Keterlibatan Tiara dalam gambar ini yang ikut merasakan hal-hal yang
sebelumnya tidak pernah dia alami sebelumnya yang harus berada di antara
88
benda-benda kotor, mencium bau busuk sampah dan memungut sampah yang
menjijikan dengan tangan adalah suatu maksud untuk menunjukkan sebuah
kegiatan yang mencerminkan sikap prososial. Namun dalam hal ini yang terlihat
justru sebuah gambar yang menonjolkan penderitaan lakon yang berasal dari ‘true
story’ kemiskinan warga yang menjadi hidangan utama media. Yaitu bagaimana
media dengan tanpa rasa malu mengumbar kemiskinan dan penderitaan di depan
umum penikmat televisi.
Shot 8:
Gambar 11. Tiara saat tidur dirumah nenek Sami
Pada shot ini penonton diajak untuk menyelami kesederhanaan masyarakat
miskin dari tanda-tanda yang hadir. Kesederhanaan ditampilkan melalui peralatan
yang masih tradisional, dinding yang masih terbuat dari gedhek (anyaman bambu)
dan atap kayu yang menambah kesan kehidupan sederhana yang apa adanya.
Koentjaraningrat (1994: 138) menegaskan bahwa rumah berdinding gedhek
merupakan satu bagian dari rumah asli keluarga petani Jawa.
89
Pada gambar diatas menceritakan bagaimana menyedihkannya nenek Sami
yang hanya tidur hanya beralaskan dipan tua tanpa kasur. Pada shot ini
ditampilkan juga Tiara yang secara rela menemani nenek Sami dan tidur ditempat
yang sama. Reaksi Tiara yang gelisah menunjukkan suatu ketidaknyamanan
tinggal di rumah itu menjadi gambaran menyedihkan bahwa untuk dapat istirahat
dan tidur dengan nyaman saja sulit untuk dipenuhi. Reaksi dan ekspresi Tiara
tersebut semakin menimbulkan efek iba yang timbul bagi pemirsa yang
menontonnya.
Shot 9 :
Gambar 12. Keluarga Sami menikmati fasilitas hotel
Penekanan pada shot diatas adalah bagaimana ekspresi kegembiraan yang
terpancar dari keluarga nenek Sami yang menikmati kemewahan hotel yang
belum pernah mereka rasakan sebelumnya. Kamar yang luas, modern yang penuh
dengan peralatan yang megah, tempat tidur spring bed, pendingin ruangan, kamar
mandi shower menjadi bentuk kenikmatan yang tidak pernah mereka bayangkan
sebelumnya. Kenikmatan tersebut akan memperlihatkan keluguan dan kepolosan
mereka yang akhirnya akan menjadi hal menarik untuk ditonjolkan. Pengambilan
90
gambar menggunakan teknik mengikuti gerakan objek sehingga audiens mampu
untuk dibawa larut dan seolah-olah masuk dalam situasi yang menggembirakan
dan seperti berada dalam situasi yang sebenarnya.
Ukuran gambar yang digunakan adalah Full Shot (FS) yang menyatakan
hubungan social, sehingga antara audiens dengan keluarga Sami adalah sama.
Artinya bagi audiens yang berstatus social sama yaitu masyarakat menengah
kebawah akan meyakini, bahwa acara ini adalah acara yang memang
diperuntukkan untuk mereka dan akan menimbulkan harapan bahwa suatu saat
akan tiba waktu bagi mereka untuk mendapatkan kesempatan yang sama.
Shot 10 :
Gambar 13. Keluarga nenek Sami yang dimanja fasilitas salon
91
Pada gambar ini menceritakan aktifitas saat keluarga nenek Sami
mendapat kesempatan untuk mendapatkan kenikmatan dan pemanjaan fasilitas
salon yaitu berupa pelayanan perawatan rambut seperti creambath dan cuci blow,
serta perawatan kulit seperti lulur dan pijat refleksi.
Pengambilan gambar Full Shot yang aktivitas creambath dan lulur
kemudian begitu juga pengambilan gambar Close Up pijat refleksi dapat ditarik
dalam hubungan dengan aktifitas relaksasi atau perawatan kulit khusus yang
dalam pandangan peneliti konteks gambar ini menghadirkan makna yang terkait
erat dengan nilai-nilai kecantikan kulit bukan sekedar mandi (membersihkan
badan dari kuman dan kotoran) yang biasa dilakukan. Aktifitas ini tentunya tidak
hanya mengarahkan pemaknaan sebagai sebuah perawatan kecantikan saja tetapi
lebih dari itu memperkuat makna kualitas status ekonomi sebagai perawatan
wanita kelas sosial menengah keatas.
Dari gambar inilah mencoba menggambarkan sebuah sensasi baru bagi
keluarga Sami sebagai wanita kelas sosial ke bawah yang ikut merasakan aktifitas
wanita kelas sosial menengah keatas. Reaksi yang timbul dari sensasi baru itu
tentu saja menjadi sebuah hal yang menarik perhatian, dimana seorang nenek dan
cucu sangat merasa takjub dan senang ketika diberi kemanjaan yang tidak pernah
mereka bayangkan sebelumnya.
Reaksi inilah yang menurut peneliti merupakan indikasi dari sebuah
kemiskinan yang di komodifikasi yaitu bagaimana hal-hal yang mungkin dapat
menjadi ketertarikan sendiri bagi audiens ditonjolkan.
92
Shot 11
Gambar 14. Kejutan saat diberi kesempatan oleh Bedah Rumah
Pada gambar diatas menceritakan saat-saat dimana kejutan tiba yaitu
berupa kesempatan yang diberikan oleh tim Bedah Rumah untuk merenovasi
rumah keluarga Sami. Semuanya berawal dari niat Tiara Smith yang mengantar
nenek Sami beserta cucunya untuk mengambil dana BLT. Dana BLT adalah dana
Bantuan Langsung Tunai yang diberikan oleh pemerintah kepada orang yang
berstatus miskin agar tidak jatuh ke lubang kemiskinan akibat kenaikan BBM.
Setelah selesai mengambil dana BLT kemudian secara tak diduga petugas yang
bersangkutan memberi kejutan berupa sebuah amplop yang berisikan
pemberitahuan bahwa rumah keluarga nenek Sami akan segera dibedah.
Alhasil secara spontan nenek Sami dan cucunya seketika merasa kaget
kegirangan dan meluapkan kebahagiaan lewat pelukan dan tangisan. Hal ini
tentunya akan memancing keharuan audiens sebagai bentuk rasa simpati.
Sementara itu untuk menunjukkan betapa besarnya rasa terima kasih kepada tim
Bedah Rumah, ukuran pengambilan gambar menggunakan Full Shot dimana ada
sebuah hubungan sosial yang keluar ketika audiens melihatnya.
93
Shot 12
Gambar 15. Saat melihat rumah selesai dibedah
Pada penggunaan ukuran gambar menggunakan Medium Shot, yang
mengartikan bahwa audiens seakan ikut terlarut dalam suasana mengharukan
tersebut dan sepakat dengan apa yang mereka rasakan. Indikasi komodifikasi pada
gambar diatas adalah berupa ekspresi tangisan bahagia nenek Sami yang tua dan
miskin yang dan tangisan Tiara yang mencerminkan simpati kegembiraan secara
signifikan akan menghubungkan kedekatan perasaan lakon terhadap audiens
sehingga audiens akan ikut terenyuh dan menangis.
Shot 13:
Gambar 16. Saat tirai dibuka
94
Gambar diatas menggambarkan suasana saat tirai Bedah Rumah telah
dibuka. Ini merupakan moment yang tentu saja menjadi hal yang ditunggu-tunggu
oleh audiens. Saatnya menyaksikan sebuah impian seorang rakyat yang sangat
miskin yang akan segera menjadi kenyataan hanya dalam waktu sehari saja.
Pengambilan gambar Full Shot menyatakan hubungan sosial audiens sehingga
audiens akan ikut terlarut dalam ketegangan dan penantian kebahagiaan yang akan
segera terwujud. Hal ini terlihat dari naskah berikut ini :
“I mpian nenek akan hunian yang layak sebentar lagi akan terwujud, saya dan tim bedah rumah telah menyiapkan kejutan untuk keluarga nenek sami. sesaat setelah layar dibelakang saya terbuka, impian, harapan dan semangat yang baru akan hadir. seperti apa ekspresi dari keluarga ini dalam menyambut hari yang bersejarah ini, kita akan lihat sama-sama ” . (Narasi V).
Bentuk ekspresi yang ditonjolkan yaitu moment kebahagiaan yang
terpancar dari keluarga Sami. Dengan pencahayaan high contrast akan
menciptakan sebuah teaterikal dan dramatis ditambah lagi ketika shot kerumunan
masyarakat sekitar yang secara berbondong-bondong sangat antusias menunggu
detik-detik pembukaan tirai. Semangat dan tepuk tangan masyarakat sekitar
dijadikan “bumbu” moment teaterikal tersebut.
95
Shot 14:
Gambar 17. Rumah sebelum dan sesudah dibedah
Gambar 18. Ruang depan sebelum dan sesudah dibedah
Gambar 19. Dapur sebelum dan sesudah dibedah
Gambar 20. Kamar sebelum dan sesudah di bedah
96
Pada shot 13 terdapat empat jenis gambar yang berbeda namun memiliki
makna serupa. Yaitu menampilkan perbandingan keadaan rumah sebelum dibedah
dan setelah dibedah. Perbedaan yang mencolok terlihat dari perbedaan kondisi
rumah keseluruhan yang sangat kontras, tidak hanya terlihat renovasi rumah saja
tetapi juga mencakup seluruh isi rumah yang dipenuhi dengan perabotan baru
yang modern dan megah.
Pengambilan gambar Full Shot yang diambil untuk kondisi rumah sebelum
dibedah menggunakan kode sinematik iris out yang mempunyai makna gambar
tua. Ini menginterpretasikan bahwa rumah lama yang hampir tidak layak huni itu
telah menjadi masa lalu dan yang akan menjadi masa depan adalah hasil rumah
yang telah disulap secara ajaib oleh tim Bedah Rumah. Ini tak lain untuk
menunjukkan kehebatan acara Bedah Rumah yang mampu membuktikan dapat
mewujudkan impian seorang rakyat miskin.
Dilihat dari sisi lain mengenai manfaat pemberian perabotan yang serba
mewah sebenarnya cenderung dirasa kurang efektif. Karena kebiasaan rakyat
miskin yang serba hidup dengan peralatan yang sederhana tentu akan mengalami
kesulitan jika secara tiba-tiba harus membiasakan hidup dengan peralatan dan
perabotan rumah tangga yang serba mewah. Perabotan mahal seperti lemari es,
televise, kompor gas dan mesin cuci yang butuh biaya listrik dan biaya tambahan
lainnya justru akan menimbulkan masalah baru yang pengaruhnya akan cepat
dirasakan.
Namun inilah faktanya bahwa untuk memenuhi kebutuhan hidup seperti
biasa saja mereka sangat terbatas, bagaimana mereka akan memenuhi gaya hidup
97
yang menuntut “serba uang”. Kalau pun mereka diberikan modal fisik, belum
tentu modal tersebut dapat dipastikan berhasil dan dapat menjadi penopang hidup
barunya mengingat pendapatan tiap bulan mereka yang sangat terbatas sebagai
masyarakat miskin yang tidak mempunyai pekerjaan tetap.
Persoalan ekonomi yang tidak tuntas ini menimbulkan masalah budaya
baru, misalnya soal kamar tidur dan kamar mandi. Tidak jarang orang terbiasa
tidur tanpa alas menjadi sangat tersiksa saat harus tidur di atas kasur yang empuk.
Tidak sedikit pula orang yang terbiasa memenuhi kebutuhan fisiologisnya berbaur
dengan alam (di sungai), tidak nyaman harus mandi dan buang hajat di kamar
mandi yang bersih dan tertutup. Saya tidak yakin, tim Bedah Rumah berpikir
sampai ke persoalan itu, alih-alih melakukan proses transformasi budaya dengan
pelatihan atau kursus.
Kemiskinan yang dibenturkan dengan budaya konsumerisme akan
melahirkan sebuah konstruksi budaya yang ambivalen yaitu pada satu sisi tidak
mungkin dalam sebuah kemiskinan seseorang dapat “berbelanja”, padahal
tuntutan gaya hidup mendorong untuk tetap belanja demi hidup yang terus
berjalan. Jika modalitas ekonomi dan budaya mereka tidak juga terpenuhi tetap
akan kembali kepada kemiskinannya. Hidup dari alam dan sedikit demi sedikit
menjual apa yang telah dimilikinya.
Grossberg dan kawan-kawan dalam Media Making: Mass Media in a
Popular Culture (Sage Publication, 2006) menegaskan bahwa media mempunyai
peran dalam memproduksi identitas masyarakat, membangun relasi produksi,
distribusi dan konsumsi, serta bagaimana pada titik tertentu media membangun
98
sebuah perilaku atau tindakan tertentu. Intinya, bagaimana media berpengaruh
secara langsung maupun tidak dalam kehidupan masyarakat, terutama dalam
ekonomi, politik, sosial dan ideologi, alih-alih bagaimana media berkontribusi
signifikan pada proses-proses globalisasi yang melahirkan imperialisme
kebudayaan karena adanya “global media”.
Betapa media mempunyai kekuatan yang luar biasa dalam membangun
sebuah perubahan mendorong dinamika sosial budaya masyarakat, sesuai dengan
apa yang diharapkan oleh media sendiri. Media dengan segenap kekuatannya
mampu membangun sebuah konstruksi masyarakat sebagai audiens dengan
idenditas budaya tertentu yang sangat bergantung pada bagaimana media berlaku
dan bagaimana sebenarnya proses konsumsi media dijalankan.
Dari analisis interpretative penulis diatas dapat disimpulkan menjadi
kategori bentuk-bentuk komodifikasi kemiskinan pada tayangan reality show
“Bedah Rumah” yaitu antara lain :
A. Komodifikasi Kemiskinan : Gambaran Kondisi Kemiskinan
Dari penjelasan interpretasi penulis diatas dapat dikatakan bahwa ada
hubungan yang dimiliki oleh media massa dengan adanya fenomena kemiskinan
yaitu suatu fenomena kemiskinan dimanfaatkan oleh media massa untuk dimuat
dengan asumsi bahwa fenomena kemiskinan dapat menguntungkan pihak media
secara ekonomi. Yaitu publik akan tertarik dengan fenomena yang dimuat. Hal ini
99
terlihat dari semakin tinggi oplah yang terjual atau semakin tinggi rating dan
selanjutnya menarik pemasang iklan maka jenis acara ini menguntungkan pihak
media. Dengan memanfaatkan fenomena kemiskinan sebagai bahan pemuatan
hiburan reality show maka sebenarnya telah terjadi komodifikasi fenomena
kemiskinan oleh media massa.
Ada hubungan yang diuntungkan terutama pihak media massa oleh terjadinya
fenomena-fenomena kemiskinan walau dalam pemuatannya setiap media
mempunyai kriteria yang tidak sama. Hal itu menjadikan adanya persaingan yang
ketat antar industri TV menyebabkan mereka berlomba untuk dapat menarik
public dengan memuat tema tayangan yang diasumsikan menaikkan oplah atau
rating. Sehingga terlihat persaingan ini tidak lagi mengindahkan bagaimana efek
yang terjadi bagi publiknya. Terutama pemuatan fenomena kemiskinan yang
cukup detail mengenai tampilan shot-shot kondisi fisik yang melekat pada orang
miskin cendeung tidak mengindahkan etika atau bagaimana tanggungjawab media
sebagai institusi bagi publiknya. Kesan yang timbul adalah kasihan dan tak
berdaya, merupakan hal yang sangat memprihatinkan terjadi pada saat ini.
Pe-make up-an, menjadikan nilai acara sensasional dengan menggunakan
angle dan pemuatan shot-shot yang disengaja menciptakan keadaan lemah, tak
mampu, dan serba kekurangan. Dari adanya dominasi ini secara tidak langsung
akan menciptakan suatu asumsi bahwa “kemiskinan bukan ancaman tetapi
peluang” bagi media massa sebagai untuk dijadikan tema yang menarik.
Tema kemiskinan tentang kehidupan sebuah keluarga miskin yang lengkap
disajikan dengan sorotan gambar rumah yang tidak layak, fasilitas yang tidak
100
memadai, tidak adanya jaminan kesehatan, dan keterbatasan dalam memenuhi
kebutuhan pangan adalah bentuk reality show yang bergenre tentang kehidupan
pribadi seorang yang miskin tersebut akan menjadi tontonan yang menarik dan
memang peminatnya lebih banyak dibandingkan dengan reality show bergenre
lainnya. Ketertarikan pemirsa akan reality show yang bergenre demikian
disebabkan para penonton masih sangat tertarik dengan hal-hal yang berhubungan
dengan kehidupan pribadi seseorang, dan biasanya kasus yang dibahas dalam
reality show tersebut cukup mengena dengan kehidupan sehari-hari para pemirsa
setianya.
Tabel 6. Kategorisasi bentuk komodifikasi kemiskinan : Gambaran
Kondisi Kemiskinan
Pengambilan
ShotKeterangan Gambar
Unsur pesan yang signifikan dengan
bentuk komodifikasi kemiskinan
Shot 1
(Gambar 2)
Shot 2
(gambar 3)
Pemandangan rumah
sebelum di bedah
tampak dari luar
Tempat mandi yang
kumuh dan kotor
Setting rumah :
Halaman dan lingkungan di sekitar
rumah.
Pengambilan gambar :
Long Shot (LS), kode sinematik zoom
out.
Long Shot (LS) : keadaan tempat
yang terbuka, fasilitas yang tidak
memenuhi derajat kesehatan.
101
Shot 3
(gambar 4)
(gambar 5)
(gambar 6)
Dapur kotor, genteng
bocor dan lantai yang
masih tanah
Dialog signifikansi komodifikasi
Extreme Close Up (ECU) : kondisi di
dalam rumah.
Narasi signifikansi komodifikasi
kemiskinan.
B. Komodifikasi Kemiskinan : Sensasi Kegembiraan
Wasburn (dalam Fajar Junaedi 2005: 175) menyebutkan media massa
mempunyai kecenderungan proses trivialisasi. Trivialisasi adalah kecenderungan
media untuk menampilkan hal-hal yang kurang esensial dalam tayangannya.
Kecenderungan media untuk menampilkan hal-hal yang lebih “disukai” daripada
“dibutuhkan” menjadi hal yang justru lebih dipilih oleh media. Akibatnya, tidak
berlebihan jika bisa dikatakan bahwa media massa membuat paket berita bukan
semata-mata karena adanya peristiwa penting yang harus diberitakan melainkan
untuk “jualan” berita itu sendiri.
Seperti halnya dalam tayangan Bedah Rumah ini yang lebih mengumbar
sensasi kegembiraan dari golongan miskin yang baru bisa merasakan nikmatnya
kemewahan lewat kesempatan yang diberikan tim Bedah Rumah. Dari sensasi
yang ditampilkan akan menciptakan suatu budaya bahwa seolah-olah masyarakat
102
miskin hanya dilihat sebagai beban masyarakat dan harus segera diberi bantuan
kemanusiaan (charity).
Komodifikasi isi pesan media ini termaktub dalam komodifikasi intrinsik, di
mana nilai tukar yang berusaha didapatkan oleh media semata-mata berasal dari
interaksi antara isi dan audiens. Misalkan audiens dianggap senang dengan isi
media tayangan yang berisikan tentang sebuah cerita yang berakhir dengan
kebahagiaan atau happy ending, maka isi pesan kesedihan yang berakhir
kebahagiaan ini akan selalu dipertontonkan.
Dilain pihak bagi kalangan kebawah secara tidak langsung akan menimbulkan
efek pengharapan orang miskin yang membuat mereka tidak produktif dan
akhirnya bisa mengalami stress karena pengharapan yang tak kunjung datang
tersebut padahal jika kita tilik lebih lanjut sebenarnya kemiskinan berasal dari
masyarakat itu sendiri. Menikmati siaran yang mengangkat kemiskinan mungkin
baik jika hasilnya adalah tumbuh empati dan rasa ingin membantu. Namun jika
tidak, tentu tetap tidak ada perubahaan pada bangsa ini.
Tabel 7. Kategorisasi bentuk komodifikasi kemiskinan : Sensasi Kegembiraan
Pengambilan
ShotKeterangan Gambar
Unsur pesan yang signifikan dengan
bentuk komodifikasi kemiskinan
Shot 9
(Gambar 10)
Keluarga Sami yang
menikmati fasilitas hotel
Full Shot (FS) : tingkah laku keluarga
nenek Sami.
Ekspresi keluguan dan kepolosan.
Ekspresi tawa keluarga Sami.
103
Shot 10
(gambar 11)
Shot 13
(gambar 14)
Keluarga Sami dimanja
fasilitas hotel
Saat tirai dibuka
FS menyatakan hubungan social
pemirsa.
Full Shot (FS) : Aktivitas creambath
dan lulur.
Close Up (CU) : aktivitas pijat
refleksi.
Ekspresi nenek Sami dan cucu.
Full Shot (FS) suasana diluar saat tirai
dibuka :
Tangisan kegembiraan keluarga Sami
dan Tiara.
Tepuk Tangan penonton (warga)
sekitar rumah.
Narasi signifikansi komodifikasi
kemiskinan.
C. Komodifikasi Kemiskinan : Merangsang Syaraf Keharuan
Struktur media yang terkonsentrasi menyebabkan peningkatan pengaruh
kekuatan pemilik (ownership) terhadap media (McQuail, 2000: 199). Akibatnya,
independensi kebijakan editorial menjadi suatu “kemewahan” yang semakin sulit
104
untuk dimiliki oleh media. Sehingga tidak sulit dipahami jika kemudian media
cenderung lebih merupakan sebuah “mesin pengeruk keuntungan” bagi para
penanam modal di dalamnya.
Dengan masuknya modal, segala produk dan simbol budaya pada
gilirannya harus distandardisasikan, dihomogenisasikan, dikomersialisasikan,
dikomodifikasikan, karena semua hal harus menjadi produk budaya untuk
konsumsi massa (Ibrahim, 2000: 149). Oleh karena itu, Terry Lovell ( 1994: 467)
menyatakan bahwa :
Cultural production shares features with all capitalist commodity production, and tehe most appropiate starting point of a Marxist analysis of cultural production might be Marx’s own categories for the analysis of capitalist commodity production. These are use-value, value, exchange-value, surplus-value and comodity fetishism.
Nilai (value) komoditas tidak tergantung pada manfaatnya tapi pada
jumlah jam kerja yang telah digunakan untuk menghasilkannya. Uang kemudian
digunakan sebagai ukuran nilai (Lovell, 1994: 468). Akibatnya yang terjadi
kemudian media memperlakukan semua hal sebagai komoditas. Tidak hanya
cinta, tidak hanya kesetiaan, tidak hanya impian, bahkan tubuh, kecantikan, seni,
musik dan suara pun telah menjadi “komoditi” (Ibrahim, 2000: 149). Hal tersebut
terjadi karena berbagai informasi yang dihadirkan media sudah disesuaikan
dengan berbagai kepentingan pihak-pihak di balik layar media. Sehingga produk
informasi di media sudah melewati apa yang disebut Wasburn (dalam Fajar
Junaedi 2005: 175) sebagai proses dramatisasi.
Dramatisasi adalah penonjolan unsur drama daripada penyajian acara
mendalam yang mempunyai makna sosial. Hal ini antara lain disebabkan oleh
105
asumsi bahwa penyajian visualisasi secara dramatik lebih menarik daripada yang
kurang dramatik. Dalam penyajian tayangan Bedah Rumah terkait dengan proses
dramatisasi adalah merupakan proses sekontekstualisasi di mana media lebih
menonjolkan menampilkan peristiwa yang penuh belas kasihan dan penuh rasa
haru untuk menciptakan keintiman pada audiensnya.
Bentuk dramatisasi perangsang keharuan seperti yang ditayangkan dalam
acara Bedah Rumah tercermin pada penonjolan ekspresi kesedihan, penderitaan,
kesusahan dan ketidakberdayaan masyarakat miskin berupa banyaknya sorotan
isak tangisan kesedihan ataupun tangisan kebahagiaan, ekspresi kepasrahan
dalam menerima hidup susah, dan pelukan yang disertai tangisan serta keluhan.
Merangsang syaraf keharuan adalah bagaimana pemirsa dapat menerima pesan
tayangan untuk dapat terhanyut dalam acara itu sehingga menjadikan seakan-
akan terjadi kedekatan langsung antara pemirsa dengan orang-orang yang terlibat
dalam isi acara. Komodifikasi terjadi saat dilakukan pengambilan gambar seperti
yang dijelaskan di atas yang dilakukan dengan kesengajaan dengan teknik-teknik
pengambilan gambar tertentu yang bertujuan menunjukkan susah duka orang
miskin secara dramatisasi untuk diharapkan terdapat simpati publik.
Anggota Dewan Pers Bekti Nugroho mengatakan tayangan reality show
yang menawarkan kesedihan membuat masyarakat menjadi melankolis dan
pesimis. Tayangan itu membangun generasi yang rapuh, tidak mengerti
bagaimana berjuang. Masyarakat menjadi bingung dengan yang benar dan salah.
Sementara itu, perwakilan ANTV Edi mengatakan program reality show
mendapatkan perhatian besar dari masyarakat, iklan pun tinggi, sehingga
106
memberikan keuntungan kepada industri televisi. Senada dengan Edi, perwakilan
Trans Coorporation Panca mengatakan, reality show memberikan keuntungan
kepada masyarakat (www.kompas.com)
Tabel 8. Kategorisasi bentuk komodifikasi kemiskinan : Merangsang Syaraf
Keharuan.
Pengambilan
ShotKeterangan Gambar
Unsur pesan yang signifikan dengan
bentuk komodifikasi kemiskinan
Shot 4
(Gambar 7)
Shot 5
(gambar 8)
Shot 11
(gambar 12)
Nenek Sami dan cucu
menangis
Tiara Smith menangis
Kejutan saat diberi
kesempatan oleh Bedah
Rumah
Close Up (CU) pada mimic wajah cucu
nenek Sami.
Ekspresi menangis yang ditampilkan.
Memancing kesedihan dan tangisan
pemirsa.
Dialog signifikansi komodifikasi
Full Shot (FS) emosi tangisan.
Terdapat drama yang menyedihkan.
Karakter simpati Tiara Smith.
Ekspresi menangis Tiara.
Full Shot (FS) pelukan Tiara Smith.
FS tangisan nenek dan Tiara Smith.
107
Shot 12
(gambar 13)
Saat melihat rumah
selesai dibedah
Medium Shot (MS) : ekspresi Tiara dan
nenek yang berpelukan.
Tangisan bahagia nenek dan Tiara.
D. Komodifikasi Kemiskinan : Memancing Simpati dan Emosi Spontan
Memancing simpati dan emosi spontan yang dimaksud adalah bagaimana
reaksi-reaksi yang dapat timbul secara spontan ketika menyaksikan tayangan
yang memperlihatkan indikasi-indikasi komodifikasi kemiskinan. Cara tim
Bedah Rumah yang mengirimkan selebriti untuk menyamar menjadi orang yang
butuh bantuan dan akhirnya ikut tinggal dan merasakan kesusahan keluarga
miskin tentunya akan menimbulkan simpati yang besar kepada audiesnya dan itu
akan menambah jumlah rating acara, walaupun sebenarnya semua hal yang
ditayangkan merupakan suatu bentuk kesengajaan dan terdapat unsur scenario.
Kehebohan saat tim Bedah Rumah datang terutama saat pembukaan tirai di
akhir acara itulah yang menarik untuk direkam dan dijadikan sebuah show.
Merekam emosi-emosi orang yang mendapat rezeki tak terduga juga terlihat
dalam acara ini. Sebutan yang tepat dalam hal ini adalah bagaimana merekam
keajaiban, mungkin itulah yang menjadi gagasan bagi penyelenggara acara
reality show yang mewujudkan mimpi yang kontroversional bagi pengamat yang
menikmatinya. Acara reality show memang menarik dari segi hiburan. Namun
yang sangat tidak dibutuhkan dalam acara tersebut adalam adanya dimensi
108
ekspoitasi orang miskin untuk ditayangkan, dan tentu saja dari pihak televisi
beralasan bahwa acara ini untuk menolong orang miskin. Seperti dipaparkan oleh
produser acara Bedah Rumah Helmy Yahya dalam sebuah artikel yang
mengatakan, tayangan mengenai kemiskinan seperti pada acara berita dan
sejenisnya justru untuk menginspirasikan orang lain ikut membantu sesama yang
kesusahan. “Harus ada desain (acara) lain yang bisa membuat orang terinspirasi
membantu orang lain”. (http://www.kompas.com/kompas -cetak)
Namun di sisi lain, televisi sudah menjadi sebuah instrument social dan
cultural sehingga meski orang-orang yang menjadi “korban” tayangan Bedah
Rumah tidak keberatan, namun tak berarti tak ada masalah. Karena begitu
mereka masuk ke televisi, cakupannya sudah tidak hanya orang itu dan stasiun
televise saja. Karena disiarkan, artinya ini sudah menjadi areal publik.
Bak telur dan ayam, industri televisi berlanjut kalau pendapatan dari iklan
tinggi. Pendapatan besar bila acara yang disajikan ditonton sebanyak mungkin
pemirsa. Masalahnya, sikap pelaku industry pertelevisian menganggap rating
seakan segala-galanya. Maka, acara yang rating-nya cenderung naik akan
langsung diproduksi sebanak mungkin. Kalau sudah begini, tak heran bila
kemudian muncul budaya latah yang menyebutkan acara yang sukses di satu
stasiun televisi, tak lama kemudian akan muncul di beberapa stasiun televisi
lainnya.
Seperti dua sisi mata uang, acara yang rating-nya terus meningkat itu bagi
sebagian pemirsa lebih merupakan sebuah bentuk eksploitasi kemiskinan
masyarakat bawah. Visualisasi yang menunjukkan ekspresi dan tingkah laku
berlebihan seperti menangis terisak-isak tidak jarang yang sampai pingsan,
kesusahan masyarakat miskin untuk mencari sesuap nasi sampai rela seadanya
hanya dengan pendapatan sangat kecil merupakan sesuatu yang sangat tidak
layak disaksikan atau menjadi tontonan. Alasannya, hal ini dapat berimplikasi
pada sikap memandang kesusahan orang lain sebagi hiburan.
Tabel 9. Kategorisasi bentuk komodifikasi kemiskinan : Memancing Simpati
dan Emosi Spontan
Pengambilan Shot
Keterangan Gambar Unsur pesan yang signifikan dengan
bentuk komodifikasi kemiskinan
Shot 6
(gambar 9)
Shot 7
(gambar 10)
Tiara membantu membuat
sapu lidi
Kegiatan saat memulung
sampah
Long Shot (LS) : membuat sapu lidi.
Simpati artis Tiara Smith.
Memancing rasa kasihan dan simpati
pemirsa.
Dialog signifikansi komodifikasi
Long Shot (LS) : kegiatan
memulung sampah.
Kondisi tempat yang bau dan jorok.
Nenek tua yang masih bekerja kasar.
Narasi dan dialog signifikansi
komodifikasi kemiskinan.
Memancing rasa iba dan simpati
pemirsa.
110
Shot 8
(gambar 11)
Shot 14
(gambar 16)
(gambar 17)
(gambar 18)
(gambar 19)
Tiara saat tidur di rumah
nenek Sami
Penampilan kondisi
rumah tampak dari luar,
ruang depan, dapur dan
kamar saat sebelum dan
selesai dibedah.
Full Shot (FS) : setting kamar tidur.
Ekspresi gelisah Tiara.
Memancing rasa iba pemirsa.
Full Shot (FS) : perbandingan rumah
sebelum dan sesudah dibedah.
Iris Out (pemaknaan gambar tua).
Memancing rasa kagum pemirsa.
E. PENERIMAAM PESAN PEMIRSA TERHADAP TAYANGAN
E.1. Karakteristik Informan
Informasi mengenai resepsi khalayak pemirsa terhadap tayangan reality
show “Bedah Rumah” diperoleh setelah melakukan serangkaian FGD ( Focus
Group Discussion ). Terdapat 2 kelompok dalam FGD ini, yaitu kelompok
majikan dan kelompok pembantu rumah tangga. Identitas sumber dapat dilihat
selengkapnya dalam Tabel 3 dan 4. Untuk melakukan FGD ini terlebih dahulu
dilakukan pemetaan terhadap kebutuhan kategori berdasarkan kriterianya.
Sebelum menggali lebih jauh mengenai resepsi atau penerimaan khalayak
terhadap tayangan Bedah Rumah, maka perlu diperoleh informas mengenai
111
kesan umum atau pengalaman partisipan. Informan seperti itu akan
memberikan deskripsi tentang karakteristik mereka.
Berdasarkan informasi yang berhasil digali baik pada saat mengawali
aktivitas FGD maupun perkenalan FGD diperoleh keterangan bahwa para
pembantu rumah tangga belum tergolong pemirsa yang sangat “fanatic”
namun acara ini merupakan salah satu acara favorite. Artinya mereka memang
mempunyai pengalaman dalam menonton acara reality show Bedah Rumah
namun bukan termasuk pilihan tontonan yang wajib untuk ditonton pada
setiap episodenya. Hal ini bisa dimaklumi mengingat begitu banyaknya acara
di televisi. Selain itu karena kebutuhan untuk meluangkan waktu menonton
televisi juga terbatas karena pekerjaan mereka. Namun mereka mengaku, jika
memang ada kesempatan dan waktu luang untuk menonton televisi, mereka
lebih memilih untuk menonton acara reality show Bedah Rumah. Penayangan
acara pada sore hari menjadi pilihan yang tetap karena dapat menghibur di
waktu istirahat setelah melakukan pekerjaan rutin. Seperti pengalaman salah
satu pembantu rumah tangga :
“... yo rak sering-sering banget nonton. Tapi nek ada kesempatan nonton yo aku nonton. Kan acarane ora sore-sore banget jadi waktu luange luwih akeh”
(… tapi tidak terlalu sering menonton. Tapi kalau memang ada kesempatan, saya pergunakan untuk menontonnya. Karena jam tayangnya tidak terlalu sore jadi waktu luangnya lebih banyak.) (Kutipan FGD kelompok I, p.3, Yuni, 20 tahun).
Terlepas dari itu semua, mengapa acara ini diminati dikarenakan
berdampak positif bagi masyarakat miskin dalam bentuk membantu
112
merenovasi rumah menjadi rumah layak huni. Sebagaimana dikemukakan
oleh salah satu pembantu rumah tangga :
“Iyo ra mbak, lha kan acara itu biso ngubah omah sing olo dadi apik. Biso ngebantu wong seng mlarat. Aku be gelem mbak. yo rak?”
( Jelas iya mbak, acara itu bisa mengubah rumah yang jelek jadi bagus. Bisa membantu orang yang miskin. Saya sih juga mau. Bener gak? ) (Kutipan FGD kelompok I,p.5, Kuswati,17 tahun).
Untuk kalangan pemirsa umum Ibu Rumah Tangga, tanggapan mereka
terhadap acara reality show Bedah Rumah cukup bersikap kontra. Hal ini
tercermin dari pernyataan sebagaimana diungkapkan oleh salah satu ibu rumah
tangga ketiika menjawab pertanyaan bagaimana tanggapan secara umum
mengenai acara Bedah Rumah :
“Saya sih sama saja kalau anak-anak nonton ya saya ikut nonton. Itu kalau tidak salah acaranya sore hari kan? Sebenarnya saya pribadi sebagai orang tua sih tidak suka , tapi kalau anak-anak nonton ya saya jadinya nonton. Mau melarang juga gimana jadi ya, mereka juga sudah pada gede jadi saya ikutan nonton saja. Tapi yang jelas saya kurang suka sih sama acara itu.” (Kutipan FGD kelompok II,p.3, Bu Peni,43 tahun).
Selain itu, dari salah satu jawaban kalangan ibu-ibu ini juga diperoleh
informasi bahwa karena faktor personal. Misalnya latar belakang hobi atau
karena semata-untuk hiburan saja seperti jawaban Bu Sari : “ Oh…acara
bedah rumah yang di TV itu, yang rumahnya miskin terus dibedah jadi bagus
itu ya. Oh kadang-kadang suka nonton sih, ngikutin anak-anak saja. Kalau
anaknya nonton ya ibu sama bapaknya juga ikutan nonton. Yah dijadikan hobi
saja.” (p.3)
113
Dari beberapa temuan yang dikemukakan di atas, dapat dicatat hal pokok
berkaitan dengan pengalaman mereka dengan acara reality show Bedah
Rumah yakni bahwa penerimaan mereka terhadap acara ini dilatarbelakangi
oleh persoalan kebutuhan hiburan dan faktor latar belakang personal (hobi).
Setelah melakukan FGD maka dilakukan analisis terhadap hal-hal apakah
yang kemudian muncul dan menjadi perhatian para peserta. Jawaban/
pernyataan dari masing-masing peserta ketika mereka memaknai beberapa
contoh tayangan itulah yang kemudian menjadi dasar penentuan di dalam
pengelompokkan kategori konsep terkait dengan “Bentuk-Bentuk
Komodifikasi Kemiskinan”.
E.2. TEMUAN FOCUS GROUP DISCUSSION (FGD)
Pada analisis ini menggunakan model pendekatan dispossisional dan
pendekatan kontekstual yang mengarah pada kelengkapan hasil analisis.
Kedua pendekatan tersebut melihat dari sisi yang berbeda. Hal tersebut terlihat
dari variable-variabel yang menjadi prioritas sehingga dalam penerapannya,
jawaban informan akan dianalisis dengan kedua pendekatan tersebut, serta
akan melihat pendekatan mana yang lebih dominan dalam mempengaruhi
pembentukan komodifikasi kemiskinan.
Jawaban para informan yang sama berdasarkan jenis model pendekatan
akan dikelompokkan. Dalam pengelompokan tersebut akan dijabarkan dari
setiap perwakilan informan yang dianggap representative.
E.2.1 Resepsi Komodifikasi Kemiskinan Informan
114
Jawaban informan yang akan dianalisis dengan kedua model pendekatan
berawal dari pertanyaan kepada informan, mengenai bentuk-bentuk
komodifikasi kemiskinan pada tayangan. Dari apa, mengapa, dan bagaimana
bentuk komodifikasi yang digambarkan dalam reality show Bedah Rumah.
Dari jawaban yang diterima peneliti melalui salah satu informan yaitu Bu
Tien (52 tahun). Mengatakan :
“Kalau mendefinisikan tema mbak yang tentang apa tadi, komodifikasi ya, mungkin itu sama saja dengan eksploitasi kemiskinan. Yaitu keadaan dimana manusia yang menempatkan kondisi actual kemiskinan yang ada, di bawah kondisi potensialnya yang seharusnya. Termasuk di dalamnya ya komersialisasi kemiskinan. (p.8)
Begitu juga dengan Bu Peni (43 tahun) yang menyatakan bahwa
masyarakat kurang menyadari adanya komodifikasi kemiskinan,
“ Untuk melihat suatu bentuk kemiskinan itu dijual tentunya mungkin untuk kebanyakan orang terutama masyarakat di bawah tidak sadar mengenai apa yang mbak sebut tadi sebagai komodifikasi kemiskinan, karena orang melihat acara ini dari kemasannya saja tidak dari kebutuhan.” (p.8)
Melihat pernyataan diatas, bahwa kesadaran akan adanya bentuk
komodifikasi berasal dari stimulus. Artinya harus ada seseorang atau
kelompok yang melakukan tindakan aktif agar masyarakat tersebut paling
tidak menyadari adanya aspek negative dari bedah rumah itu selain melihat
hanya pada aspek positif saja.
Stimulus tersebut menurut analisis disposisi merupakan faktor situasi
langsung, yang merupakan bentukan dari sosialisasi yang berasal dari
115
hubungan bersifat assosiatif (orang belajar melalui pengamatan atau
mengalami assosiasi atau hubungan berbagai hal). (Subakti : 120).
E.2.2. Bentuk Komodifikasi Kemiskinan : Gambaran Kondisi
Kemiskinan
Penerimaan para informan terhadap bentuk penyajian kondisi kemiskinan
adalah merupakan sesuatu yang “miris” yang mengedepankan ketertarikan
audiens saja. Hal tersebut terlihat dari pernyataan Bu Sari (45 tahun),
mengatakan :
“Memang seperti itu. Acara ini kan awalnya menampilkan kesengsaraan orang miskin. Apa yang bisa dilihat dari kesengsaraan itu malah dinikmati oleh yang nonton. Rumah yang udah lapuk, pakaian yang lusuh, kadang juga dilihatkan nyuci di sungai kotor saking gak ada sarana air. Hal-hal yang miris seperti itu kan justru diperlihatkan untuk membuat kita kasihan kan.” (p.3)
Penerimaan para informan terhadap bentuk komodifikasi kemiskinan
yang secara tidak langsung telah memberikan efek kepada audiens khususnya
masyarakat menengah kebawah yaitu bagaimana mereka menangkap isi dari
proses panyajian visualisasi tayangan reality show Bedah rumah. Seperti yang
diungkapkan Yanti (22 tahun) :
“Nek didelok koyo neng tv kui yo podo karo omahku seng neng deso mbak. Podo wae serba kekurangan koyo neng tv kuwi. Omahku soale juga elek mbak, nek dibangun omahe gratisan yo sopo sing rak gelem mbak”( Kalau dilihat seperti di televisi itu ya sama seperti rumah saya mbak. Sama saja serba kekurangan seperti di televisi itu. Karena rumah saya juga jelek mbak, kalau dibagun secara gratis, siapa yang tidak mau mbak. ) (p.6)
116
Melihat pernyataan di atas, menyatakan bahwa keluarga miskin
mempunyai rasa ketidakpuasan atas hidupnya yang telah dibangun bertahun-
tahun namun tetap menjadikan mereka sebagai masyarakat yang masih berada
di garis kemiskinan. Sehingga dengan adanya program acara yang
menawarkan perbaikan rumah tak layak secara drastis menjadi rumah idaman,
akan menimbulkan suatu bentuk pengaharapan atas acara tersebut. Karena
disebutkan bahwa 70 persen sampel pemirsa yang digunakan untuk rating
acara televisi adalah golongan ekonomi masyarakat C, D, dan E yang berarti
pengeluaran per bulannya di bawah Rp 1 juta. Golongan tersebut biasanya
tidak mengetahui tayangan televisi seperti apa yang sebenarnya mereka
butuhkan. ((http://www.kompas.com/kompas -cetak).
Keadaan kemiskinan pada dasarnya dipengaruhi oleh perumahan bagi
keluarga miskin itu sendiri. Perumahan bagi keluarga miskin seringkali tidak
memberikan kepastian hukum bagi penghuninya, atas tanah dan bangunan
yang mereka tempati. Bagi perempuan, kurangnya kepastian hokum ini
bahkan terjadi pada barang dan aset formal lainnya. Kampung-kampung
tempat kelompok masyarakat miskin tinggal dapat dengan mudah beralih
fungsi menjadi kawasan bisnis atau kawasan lainnya. Sebaliknya, kawasan
perkotaan sangat sulit menyediakan lahannya untuk keperluan perumahan
masyarakat miskin. Hal ini menyebabkan masyarakat miskin di mana banyak
terdapat perempuan di dalamnya semakin tergusur ke kawasan pinggiran yang
jauh dari kota.
E.2.3. Bentuk Komodifikasi Kemiskinan : Sensasi Kegembiraan
Penerimaan para informan terhadap bentuk komodifikasi sensasi
kegembiraan yaitu bentuk kesenangan berupa ekspresi dan hal-hal yang
menyenangkan dari masyarakat miskin.
“Nah dari kesenangan-kesenangan itulah juga bisa menjadi dimanfaatkan. Kita kan akan penasaran seperti apa sih senengnya orang yang dibedah rumahnya, mungkin menjadi hal yang kita tunggu-tunggu juga ya, ya karena dengan menonton itu kita justru merasa terhibur ya..”(Bu Sari, FGD 11,p.8)
Bentuk komodifikasi sensasi kegembiraan lebih menunjuk pada aspek
hiburan dibanding aspek manfaat, hal tersebut dinyatakan oleh Bu Sihombing,
salah satu peserta FGD II :
“Saya rasa lebih banyak ke hiburannya. Bagi yang miskinnya kan yang bersangkutan mungkin hanya sesaat saja ya. Tapi bagi yang lain hiburan. Walaupun ada nilai positifnya sedikit mungkin ya sedikit menggugah membantu. Tapi lebih condong ke hiburan, karena tujuannya ini sebenarnya menjual kemiskinan.” (p.18)
Senada dengan Bu Sihombing yang menyatakan bahwa :
“…. saya kurang sukanya saat-saat adegan yang diinapkan ke hotel, yang tadinya rumahnya sangat sederhana sekali dan bisa dikatakan kaum ke bawah tapi diajak ke hotel, tidur di hotel, diperlihatkan bagaimana dia menikmati tidur di hotel, saat sedang mandi menggunakan shower yang mereka tidak pernah merasakannya sebelumnya, kemudian diperlihatkan juga bagaimana mereka sedang lompat-lompat di atas kasur dan sebagainya. Semua itu sebenarnya buat apa harus ditampilkan.” (p.8)
Dari pernyataan di atas, reality show Bedah Rumah yang menyajikan
sensasi kegembiraan masyarakat miskin ditujukan semata-mata hanya untuk
menarik perhatian audiens dengan tontonan yang menjual moment tampilnya
tim Bedah Rumah sebagai pihak yang telah mewujudkan mimpi masyarakat
miskin untuk menjadi orang kaya. Namun jika dilihat dari pihak rakyat miskin
118
tentu pada kenyataannya tidak bisa menjamin kelanjutan kehidupan yang lebih
baik untuk masa depannya. Dalam reality show ini yang menjadi ukuran
kebahagiaan hanya dilihat dari materinya saja, sedangkan harus ada perbedaan
antara kebutuhan dan keinginan. Seperti yang diungkapkan Bu Sari bahwa :
“Kebutuhan itu memang kita perlukan, kalo keinginan sesuai dengan orang itu mau gini menurut versinya dia, padahal belum tentu dibutuhkan. Misalnya, saya nggak tahu ya apa yang dilakukan disana tapi sebetulnya kenapa sih orang itu menciptakan rumah dengan kondisi tertentu. Karena kebutuhannya seperti itu dengan kemampuan yang ada, dia menciptakan rumahnya seperti itu. Ada fungsi-fungsi tertentu. Nah kalo sekarang, fungsi atau keadaan itu diubah sesuai dengan keinginan dari pihak penyelenggara.. mungkin kalo sesaat sih.. surprise..tapi kalo untuk kepanjangan saya juga nggak tau gitu.” (p.14)
Melihat pernyataan diatas, selain komodifikasi hanya menjual
kesenangan saja, Bu Sari juga meresepsi bahwa dari bentuk kesenangan itu
akan menjadikan masyarakat menjadi konsumtif atau timbul budaya
konsumerisme. Memang konsep konsumerisme di sini tidak sama persis
dengan perspektif yang berkembang dalam wacana kajian budaya. Namun
inilah faktanya, yaitu untuk memenuhi kebutuhan hidup seperti biasa saja
mereka sangat terbatas, bagaimana mereka akan memenuhi gaya hidup yang
menuntut “serba belanja” dan “serba uang”. Kalau pun mereka diberikan
modal usaha, belum tentu ketrampilan usaha tersebut dimiliki sehingga
pengusahaannya dapat dipastikan berhasil dan dapat menjadi penopang hidup
barunya.
E.2.4. Bentuk Komodifikasi Kemiskinan : Merangsang Syaraf Keharuan
119
Penerimaan para informan terhadap bentuk komodifikasi merangsang
syaraf keharuan lebih kepada saat-saat dimana kamera menyorot tangisan
yang menjadi hal yang paling sensitif karena berkaitan dengan perasaan para
pemirsa sehingga ketertarikan untuk menonton akan lebih besar. Hal tersebut
diungkapkan oleh Kuswati. Kuswati berkata :
“Iyo mbak, nek ndelok gambar mbahe nangis aku dadi melu nangis juga. Melaske soale sampe nangise koyo kuwi.”( Iya mbak, kalau saya melihat gambar nenek itu nangis saya jadi terharu dan ikut menangis. Kasihan dia sampai menangis seperti itu.) (p.12)
Menurut sebagian besar kelompok FGD II menyatakan bahwa semua
bentuk sorotan kamera yang berisi tangisan merupakan hal-hal yang tidak
pantas untuk dipertontonkan seperti yang dikatakan oleh Bu Peni (43 tahun) :
“ Kalau kita lihat secara teliti, kan terlihat tuh apa yang sebenarnya pingin dilihatkan oleh sang sutradara kepada pemirsa, kayak misalnya ada sedih, menangis, itu kan disorot lebih lama, lebih jelas dan lebih besar. Berarti memang itu yang ingin diutamakan sebagai tontonan.” (p.8)
Dan hal tersebut juga didukung oleh pernyataan Bu Tutik yang
menyatakan bahwa hal-hal yang bisa membuat pemirsa merasa terharu adalah
merupakan sebuah kesengajaan yang diatur oleh penyelenggara. Kemiskinan
yang membuat banyak penonton menangis dan terharu adalah sebuah
komoditas menguntungkan bagi para pemilik modal.
Tak diragukan lagi, saat media menjadi sebuah wahana pengembangan
budaya, maka apa yang dihadirkan media seringkali dimaknai sebagai apa
yang ada dan harus ada dalam kenyataan sebenarnya. Menjadi relevan apa
120
yang dikatakan oleh Baudrillard (Madan Sarup, 2007) bahwa media
menciptakan dunia simulasi yang kebal terhadap kritik rasional tidak ada satu
pun iklan yang menampilkan sesuatu secara rasional. Sangat rasional apa yang
muncul dalam Bedah Rumah adalah sebuah simulasi.
E.2.5. Bentuk Komodifikasi Kemiskinan : Memancing Simpati dan Emosi
Spontan
Penerimaan para informan terhadap bentuk komodifikasi yang
memancing simpati serta emosi spontan ditunjukkan dengan adanya reaksi-
reaksi yang di luar dugaan oleh rakyat miskin yang dibedah rumahnya begitu
juga timbul respon-respon yang spontan dari audiens. Seperti contohnya yang
diungkapkan oleh Bu Tutik :
“Salah satu bentuk kemiskinan yang dimanfaatkan ya seperti salah satunya banyak adegan menangis, sampai teriak-teriak, rasa sedih, kecewa, memelas, seperti itu malah justru dijual kan mbak. Semua bagaikan sudah diatur.” (p.8)
Dari penyajian acara tayangan sendiri akan sering terlihat reaksi
kesenangan, kesedihan ataupun keharuan yang tidak disangka-sangka oleh
oleh audiens yang menonton seperti kebahagiaan yang meluap-luap hingga
pingsan, rasa terima kasih yang berlebihan yang ditunjukkan dengan menangis
terisak-isak dan sampai bersujud, serta ekspresi kesedihan yang juga
berlebihan akan semakin memancing simpati dan emosi-emosi tertentu para
audiens seperti emosi iba, marah, kaget, dan kagum. Bentuk-bentuk emosi
inilah yang menjadi indikasi komodifikasi kemiskinan.
121
E.3. Analisis Kontekstual
Analisis kontekstual lebih mengarah pada faktor-faktor lingkungan sosio-
ekonomi dan politik masyarakat yaitu tempat individu tersebut hidup. Faktor-
faktor yang masuk dalam kategori ini antara lain, status social dan ekonomi
dan rezim yang berkuasa.
E.3.1. Status ekonomi dan status social
Pada penerimaan informan didapatkan bahwa status ekonomi dan social
yang rendah dari masyarakat miskin lebih menjadi ketertarikan untuk diangkat
sebagai tema yang menarik. Bu Tien (52 tahun) berpendapat,
“Sekarang kalau ini namanya proyek kemiskinan kemudian dia bisa bikin proposal, dia bisa jual kemana-mana, mungkin keluar negeri atau dalem. Saya sendiri juga nggak tahu, itu artinya uang yang dia keluarkan dengan yang dia terima pastinya lebih banyak yang dia terima kemungkinan. Jadi mengkomersialkan kemiskinan sebetulnya.” (p.11)
Dari pernyataan diatas, menjelaskan bahwa kemiskinan menjadi harga
yang besar sebagai bentuk komersialisasi. Kemiskinan tidak lahir dengan
sendirinya (given), ia tidak muncul bukan tanpa sebab. Argumen para
penganut teori konservatif dan liberal telah lama dipatahkan. Orang-orang
miskin muncul bukan karena mereka malas atau boros. Mereka miskin bukan
pula karena nasibnya yang sedang sial sehingga menjadi miskin. Mereka
menjadi orang miskin karena dibuat miskin oleh struktur ekonomi, politik dan
sosial. Mereka miskin karena memang sengaja dilestarikan untuk menjadi
miskin. Mereka menjadi kaum tertindas karena memang disengaja, direkayasa
dan diposisikan sedemikian rupa untuk ditindas. Mereka miskin karena
dieksploitasi, diperas, dijarah dan dirampok hak-haknya. Mereka miskin
122
karena dipaksa oleh sistem ekonomi dan politik yang tidak adil. Kemiskinan
penting untuk dipelihara dan dilestarikan karena besar manfaatnya, yakni
menunjang kepentingan kelompok dominan, elite penguasa (the ruling elites)
atau kaum kapitalis.
Hal tersebut di ataslah yang membuat kemiskinan sulit diatasi karena
kaum miskin tidak memiliki daya tawar terhadap kebijakan yang selama ini
tidak berpihak kepada mereka. Kaum miskin hanya menjadi alat produksi
semata-mata. Pendapatan mereka hanya sekadar mencukupi kebutuhan hidup
saja. Inilah yang selama ini membuat kaum miskin tak berdaya untuk
memiliki daya tawar terhadap pengambilan keputusan, dan membuat yang
kaya semakin berada di puncak.
Kebijakan politik yang ada selama ini sering (dan sebagian besar) hanya
berpihak kepada mereka yang memiliki alat produksi dan modal. Kaum
miskin diperas tenaganya hanya sekadar menjadi buruh kasar dengan dalih
keterampilan mereka terbatas. Tetapi pemerintah, di sisi lain, tidak mampu
berbuat bagaimana seharusnya meningkatkan keterampilan mereka agar bisa
berkompetisi lebih adil dengan lainnya (Suparlan, 1993).
Kaum miskin selalu dilihat sebelah mata dalam berbagai proses pembuatan
kebijakan. Kebijakan yang dilahirkan penguasa tidak terlalu banyak
memerhatikan poros warga negara. Warga negara yang miskin dianggap tidak
memiliki kedaulatan tertinggi di dalam sebuah negara. Pelanggaran konstitusi
ini terus terjadi tanpa adanya kemauan untuk memperbaikinya dengan
melahirkan sebuah kebijakan yang sungguh-sungguh mengapresiasi dan
123
melibatkan kaum miskin untuk berperan sebagai warga negara normal.
Struktur kemiskinan masyarakat kita tidak terlepas dari persoalan utama,
yakni adanya dosa struktur. Dosa struktur yang dimaksud adalah menyangkut
bagaimana distribusi yang adil dan menjangkau semua pihak. Dengan
demikian, keadilan yang sedang kita bicarakan di sini adalah menyangkut
keadilan untuk semua.
E.3.2. Rezim yang berkuasa
Bu Tien mengatakan bahwa :
“….Ya suatu organisasi mungkin. Stasiun televisi kan organisasi, punya kelembagaan, punya sistem organisasi, punya anggota atau kru dan itu pimpinannya kan pasti ada. Dan untuk mewujudkan itu kan dibutuhkan dana yang cukup besar. (p.11)
Dari pernyataan Bu Tien terlihat bahwa televisi dikatakan sebagai media
industri, di pihak lain juga Bu Peni berpendapat bahwa :
“Iya, walaupun yang melaksanakan bedah rumah itu kan bukan dari TV nya melainkan dari sponsor. Seperti sponsor itu yang saya tahu familiar itu ya dari Likna itu salah satunya. Itu juga agar Likna itu sendiri juga terdongkrak menjadi banyak yang menyukai. Jadi banyak dikenal dan khususnya untuk anak-anak muda itu biar pada suka dan produknya itu bisa laku keras. Saya kira begitu.” (p.11)
Dari ciri diatas bisa dikatakan tipe yang berkuasa menurut resepsi
informan adalah iklan, yang tentu tidak lepas dari persoalan modal, persaingan
dan profit oriented. Terkait dengan modal, persaingan dan profit oriented ini,
maka salah satu hal utama yang terungkap adalah pola kepemilikan serta
124
praktik produksi dan distribusi produk media yang terkonsentrasi pada
kelompok bisnis besar.
Sehubungan dengan kekuasaan media, yang menjadi persoalan pokok
adalah bagaimana keefektifan media sebagai sarana untuk mencapai tujuan
kekuasaan tertentu (persuasi, mobilisasi,informasi) dan kekuasaan siapa yang
diterapkan media, apakah kekuasaan masyarakat keseluruhan, kekuasaan kelas
atau kelompok kepentingan tertentu, atau kekuasaan komunikator sebagai
individu karena pada umumnya media bertindak untuk meningkatkan,
mendukung atau meniadakan ketidakmerataan kekuasaan yang terjadi di
masyarakat (Fajar Junaaedi, 2005).
Dari penjelasan di atas ada kemungkinan yang muncul. Pertama, dalam
batasan tertentu, keadaan distribusi dapat dan memang terjadi kecondongan
terhadap audiens dan kecenderungan lainnya dalam masyarakat, dampak
komunikasi dn perubahan jangka panjang, yang berkaitan dengan arah yang
tersirat dalam media. Kedua, karena berbagai alasan, tampaknya media
cenderung lebih berfungsi, melindungi atau menonjolkan kepentingan mereka
yang memiliki kekuasaan ekonomi atau politik yang lebih besar dalam
masyarakatnya sendiri melalui tindakan atau peniadaan, meskipun atau bahkan
aspirasi media berupaya untuk bersikap netral.
E.4. Kategorisasi FGD I (Kelompok Pembantu Rumah Tangga)
Pada proses FGD peneliti melakukan diskusi interpretasi terhadap
tayangan dan mencoba mengelompokkan hal-hal yang menonjol dari diskusi
125
FGD kelompok pembantu rumah mengenai pemaknaan peserta terhadap
acara reality show Bedah Rumah. Untuk kelompok I yaitu kelompok
pembantu rumah tangga, penulis mencoba menangkap beberapa pernyataan
spontan hasil diskusi bersama mengenai bentuk-bentuk komodifikasi yang
cara interpretasi tayangannya masih bersifat dangkal. Berikut adalah
pembagian temuan pernyataan audiens berdasarkan kategori yang telah
dilakukan peneliti mengenai bentuk-bentuk komodifikasi kemiskinan.
Tabel 10 . FGD I Kategori Gambaran Kondisi Kemiskinan
PartisipanExample
Pernyataan Partisipan dalam diskusi
Kuswati(17 tahun)
I’ah(29 tahun)
“Bedah rumah kan memang nggo acarane wong miskin mbak, nek seng dibedah wong sugih yo wagu. Omahe wong ra nduwe kan mrihatini, dadi mesti yo dadi acara sing apik nek pas dewe ndelok omah elek biso dadi apik.”( Bedah rumah memang acara bagi orang miskin, kalau yang dibedah orang kaya itu baru aneh. Rumah orang yang tidak punya yang memprihatinkan pasti menjadikan acara ini bagus saat kita menyaksikan rumah jelek bisa jadi bagus). (p.9)
“ha’a akehe kan digoleki seng omahe jek nganggo kayu, durung ubinan. Pokoke durung nggo tembok.”( Iya kebanyakan dicari yang rumahnya masih memakai kayu, belum pakai lantai. Pokoknya belum pakai tembok.) (p.8)
“Seng omahe wes rak layak mbak, soko gajine sing rak tentu, omahe seng wes meh bobrok,
126
Yuni(20 tahun)
nggo maem tok be angel. Koyo sing neng video kuwi kan melaske, buat mandi aja tempate angel neng njobo koyo kuwi. Kan kasihan mbak. ” (Yang rumahnya sudah tidak layak, dari gaji yang tak tentu, rumah yang sudah mau rubuh, buat makan saja susah. Seperti yang di video itu buat mandi saja tempatnya susah seperti itu. Kasihan mbak.) (p.8)
Tabel 11. FGD I Kategori Sensasi Kegembiraan
Partisipan ExamplePernyataan Partisipan dalam diskusi
Yuni(20 tahun)
Kuswati(17 tahun)
“ Seng paling pengen dilihat ya pas omah seng olo berubah dadi apik mbak. pas buka tirai.”(Yang paling ingin dilihat saat-saat rumah yang jelek berubah jadi bagus saat tirainya dibuka.) (p.14)
“Iyo mbak, koyo sak durunge dibedah kan keluargane digowo neng hotel ndisik, men nggo kejutan. Diajak neng hotel, restoran, salon. Aku seneng wae ndelo’e. ”(Iya mbak, contohnya sebelum dibedah, keluarga dibawa ke hotel dulu untuk kejutan. Diajak ke hotel, restoran, salon. Saya senang melihatnya.) (p.11)
Tabel 12. FGD I Kategori Merangsang Syaraf Keharuan
PartisipanExample
Pernyataan Partisipan dalam diskusi
Kuswati(17 tahun)
“Iyo mbak, nek ndelok gambar mbahe nangis aku dadi melu nangis juga. Melaske soale
127
Yanti(22 tahun)
sampe nangise koyo kuwi.”( Iya mbak, kalau saya melihat gambar nenek itu nangis saya jadi terharu dan ikut menangis. Kasihan dia sampai menangis seperti itu.) (p.12)
“Ya kan kalau ngliat wong sing nangis, semakin banyak nangise kita sing ndelok semakin melas juga jadi aku yo ngeroso koyo kuwi juga mbak, aku kan juga wong cilik. Nek artis sing nangis kayane sih bisa dadi skenario. Contohe nek ono artise kan bisa lebih menarik co’an mbak.”( Kalau kita melihat orang yang menangis, semakin banyak tangisannya maka kita yang melihat semakin merasa kasihan jadi saya juga ikut merasa seperti itu, saya juga orang kecil. Kalau artis yang menangis sepertinya bisa termasuk skenario. Misalnya kalau ada artisnya mungkin bisa lebih menarik.) (p.13)
Tabel 13. FGD I Kategori Memancing Simpati dan Emosi Spontan
Partisipan ExamplePernyataan Partisipan dalam diskusi
I’ah(29 tahun)
Ita’(32 tahun)
“Seng marai deg-degan kan pas opo jenenge, tirai yo. Iyo, pas tiraine dibuka. Pertama liat ki yo campur ono rasa kaget, takjub karo rak percoyo.”(Yang bikin deg-degan waktu tirainya dibuka. Pertama lihat bercampur ada rasa kaget, takjub dan tidak percaya ) (p.14)
“ iya mbak waktu ngliat wonge sing senenge ra karuan nyampe sujud ngucap alhamdulilah, ono sing semaput juga, dadine yo keto’e emang kejadian kuwi berkah banget
128
mbak.”( iya mbak kalau melihat orang yang sangat gembira samapi bersujud mengucap Alhamdulillah, ada juga yang pingsan, jadinya ya sepetinya memang kejadian itu merupakan berkah). (p.14)
E.5. Kategorisasi FGD II (Kelompok Majikan)
Sedangkan hal-hal yang menonjol dari diskusi FGD kelompok majikan
adalah mengenai pemaknaan yang lebih peka dalam menanggapi text dalam
reality show Bedah Rumah ini. Berikut adalah pembagian temuan
pernyataan audiens berdasarkan kategori yang telah dilakukan peneliti
mengenai bentuk-bentuk komodifikasi kemiskinan.
Tabel 14. FGD II Kategori Gambaran Kondisi Kemiskinan
PartisipanExample
Pernyataan Partisipan dalam diskusi
Bu Sari(45 tahun)
“Memang seperti itu. Acara ini kan awalnya menampilkan kesengsaraan orang miskin. Apa yang bisa dilihat dari kesengsaraan itu malah dinikmati oleh yang nonton. Rumah yang udah lapuk, pakaian yang lusuh, kadang juga dilihatkan nyuci di sungai kotor saking gak ada sarana air. Hal-hal yang miris seperti itu kan justru diperlihatkan untuk membuat kita kasihan kan.” (p.3)
Tabel 15. FGD II Kategori Sensasi Kegembiraan
Partisipan ExamplePernyataan Partisipan dalam diskusi
129
Bu Sari(45 tahun)
Bu Sihombing(34 tahun)
“Nah dari kesenangan-kesenangan itulah juga bisa menjadi dimanfaatkan. Kita kan akan penasaran seperti apa sih senengnya orang yang dibedah rumahnya, mungkin menjadi hal yang kita tunggu-tunggu juga ya, ya karena dengan menonton itu kita justru merasa terhibur ya..” (p.8)
“…. saya kurang sukanya saat-saat adegan yang diinapkan ke hotel, yang tadinya rumahnya sangat sederhana sekali dan bisa dikatakan kaum ke bawah tapi diajak ke hotel, tidur di hotel, diperlihatkan bagaimana dia menikmati tidur di hotel, saat sedang mandi menggunakan shower yang mereka tidak pernah merasakannya sebelumnya, kemudian diperlihatkan juga bagaimana mereka sedang lompat-lompat di atas kasur dan sebagainya. Semua itu sebenarnya buat apa harus ditampilkan.” (p.8)
Tabel 16. FGD II Kategori Merangsang Syaraf Keharuan
PartisipanExample
Pernyataan Partisipan dalam diskusi
Bu Peni(43 tahun)
Bu Tutik(47 tahun)
“Apalagi kalau ada acara tangis-tangisannya itu lho yang kayaknya terlalu berlebihan banget yang mungkin ini menjadi salah satu bentuk bagaimana kemiskinan tadi dimanfaatkan. Ya memang sih kalau kita bilang bahasanya mungkin mereka terenyuh ya, seneng melihat sebegitu mewahnya rumah mereka. Nangis-nangis seperti itu jadi kan anak-anak saya yang nonton jadi ikutan nangis padahal siapa mereka kita juga gak kenal. Kita juga tidak tahu apakah acara itu di set terlebih dahulu atau tidak kan.” (p.8)
“Salah satu bentuk kemiskinan yang dimanfaatkan ya seperti salah satunya banyak adegan menangis, sampai teriak-teriak, rasa sedih, kecewa, memelas, seperti itu malah justru dijual kan mbak. Semua bagaikan sudah
130
Bu Peni(43 tahun)
diatur.” (p.8)
“ Kalau kita lihat secara teliti, kan terlihat tuh apa yang sebenarnya pingin dilihatkan oleh sang sutradara kepada pemirsa, kayak misalnya ada sedih, menangis, itu kan disorot lebih lama, lebih jelas dan lebih besar. Berarti memang itu yang ingin diutamakan sebagai tontonan.” (p.8)
Tabel 17. FGD II Kategori Memancing Emosi dan Simpati Spontan
Partisipan ExamplePernyataan Partisipan dalam diskusi
Bu Tien(52 tahun)
“Ya itu sih strategi saja ya, strategi pertelevisian ya, biasalah mereka yang golongan selebriti itu biasa tampil di TV, biasa main sinetron, biasa melakukan adegan tangis menangis seperti itu kan mudah sekali untuk memancing untuk menangis.” (p.9)
F. ANALISIS SPECTRUM OF READING
Analisis ini melihat pernyataan para informan dari pertanyaan tentang hal
yang menarik dari tayangan Bedah Rumah, pesan apa saja yang ada di dalam
tayangan, menerima atau menolak isi tayangan serta pengalaman si informan.
F.1. Gambaran Penerimaan Pesan
Dari pernyataan salah satu informan tentang menerima atau tidaknya
pesan, nilai tayangan, mengatakan :
131
“Saya menerima, tapi ada pengkritisan, Saya rasa begini, kalo…kalo memang niatnya membantu kan dia tidak perlu sampai program-program seperti itu to. Saya rasa pertama. Memang ada sisi positifnya juga ya. Pertama, pasti yang tadi ada menolong, dermawan dan unsure lain mungkin ada. Walaupun itu niat utama atau urutan kesekian kita nggak tahu gitu ya.. itu tu tetep ada, ok kita hargai. Terus yang kedua juga dengan ditayangkan di TV seperti gitu, itu juga akan mendorong supaya orang juga terbuka untuk membantu kelompok-kelompok yang miskin. Ok dalam hal ini, mungkin ada sisi positifnya gitu ya. Tapi ya kalo dari sudut pandang kapitalisme sebetulnya itu enggak…nggak..nggak nyucuk lah, nggak sebanding, yang terjadi seperti itu..” (FGD II,Bu Tutik).(p.12)
Pernyataan diatas memperlihatkan bahwa Bu Tutik tidak sepenuhnya
menerima semua isi pesan begitu saja, tetapi memperlihatkan tawaran bahwa
seharusnya tayangan reality show itu lebih imbang dari segi pesan atau nilai
yang dibawa di dalam tayangan.
Hal lain yang mencerminkan penerimaan nilai atu pesan yang ada
dinyatakan oleh Yuni FGD II dari kelompok pembantu rumah tangga, bahwa :
“Ya membantu mbak. Saya menerima, karena menurut saya baru kali ini ada acara televisi yang model seperti ini yang membantu secara langsung rakyat yang miskin”. (p.18)
Pada bagian pernyataan tersebut Yuni telah melihat sebuah contoh
perilaku prososial dalam tayangan Bedah Rumah yang menyatakan terdapat
perilaku prososial membantu, membangun, dan bekerja sama.
Pernyataan lainnya adalah yang dikatakan salah satu informan ibu
rumah tangga yang melihat ada dampak cemburu social yang terjadi di sekitar
masyarakat :
“Menurut ibu itu ya dua-duanya. Dapat membantu tetapi membuat beberapa orang menjadi cemburu. Misalnya gini, membantunya ya dalam membantu orang yang betul-betul tidak punya menjadi orang yang punya. Tetapi membantu dengan dratis itu kurang baik ya, nanti takutnya dengan hal
132
yang tiba-tiba menjadi berubah total itu tidak akan mendidik tapi justru memberi kebiasaan orang untuk malas. Inginnya seperti ini, inginnya seperti itu sehingga kadang-kadang orang punya pikiran yang tidak wajarlah. Sementara hidup sekarang ini sangat sulit tapi karena dia sudah diberi kesempatan untuk punya sesuatu yang baik sementara dia tidak punya kerja yang tetap itu akan menjadikan budaya malas di masyarakat.” (FGD II, Bu Tutik). (p.7)
Pada pernyataan tersebut melihat bahwa informan kelompok ibu rumah
tangga menerima sebagian pesan prososial acara reality show, namun menolak
ketika terjadi bentuk-bentuk komodifikasi kemiskinan yang dibawa dalam
reality show tersebut. Sedangkan untuk informan kelompok pembantu rumah
tangga menerima sebagian besar pesan acara sebagai bentuk perilaku
prososial. Hal ini membuktikan bahwa masyarakat kelas bawah dengan jelas
menerima pesan media secara mentah-mentah yang tidak lain adalah
merupakan korban dari komodifikasi kemiskinan media.
Menyelesaikan persoalan kemiskinan tidak akan pernah tuntas ketika
warganya lebih senang “bermain” dengan status miskin. Ada semacam
perasaan tidak aman ketika tidak lagi disebut miskin. Takut tidak bisa berobat
gratis, sekolah gratis, mendapat sembako murah, dan bantuan-bantuan lainnya.
Jika kemiskinan sudah dianggap sebagai sebuah kondisi aman dan nyaman,
maka program-program yang dirancang akan senantiasa membentur tembok
tebal mentalitas pengemis dan manipulatif.
133
F.2. Pengelompokan Audiens
F.2.1. Dominan (or hegemonic) reading
Dominant (or hegemonic) reading adalah pembaca yang membagi kode
program (system nilai, tingkah laku, kepercayaan, dan asumsi) dan
sepenuhnya menerima program “yang dibentuk” (pembacaan yang bukan
merupakan hasil dari keinginan yang sadar dari bagian yang dibuat oleh
pembuat program). Dalam analisis informan pembantu rumah tangga
cenderung menerima sepenuhnya program beserta isinya sebagai bentuk
perilaku prososial.
F.2.2. Negotiated reading
Negotiated reading adalah pembaca yang sebagian membagi kode program
dan secara luas menerima bacaan yang dibentuk, tetapi mengubahnya
sedemikian rupa sehingga merefleksikan posisi dan kepentingan mereka.
Pada negotiated reading para informan ibu rumah tangga menerima jika
terdapat pesan prososial namun menolak secara luas isi pesan yang
mencerminkan bentuk komodifikasi kemiskinan.
F.2.3. Oppositional (counter hegemonic) reading
Oppositional (counter hegemonic) reading adalah pembaca yang tidak
membagi kode program dan menolak pembacaan yang dibentuk, dan lebih
memilih untuk membawa sesuatu kerangkan alternative pemikiran.
134
Pada kelompok ibu rumah tangga melihat dan sepakat bahwa reality show
adalah bentukan program televisi yang syarat kepentingan dan manipulasi.
Kepentingan dan manipulasi ini bisa dibuat berdasarkan scenario dan proses
editing.
G. Konsep Ekonomi Media
Media massa adalah institusi ekonomi yang berkaitan dengan produksi dan
penyebab isi media yang ditargetkan pada khalayak atau konsumen (Picard,
1987). Industri media dijalankan dengan sistem ekonomi kapitalis yang pada
dasarnya berorientasi pada keuntungan. Produksi content media cenderung lebih
menghibur karena pertimbangan agar disukai dan dibeli oleh khalayak.
Tercipta media global, dimana media negara tertentu juga diproduksi dan
didistribusikan di berbagai negara lain. Samuelson dan Nodhaus, menyatakan
bahwa :
1. Economics is the study how societies use scare resources to produce valuable
commodities and distribute them among different groups.
2. Resources dipahami oleh paradigma ekonomi sebagai item yang dipergunakan
untuk memproduksi barang.
Konsumsi adalah pemanfaatan barang dan sumbersumber untuk memuaskan
kebutuhan dan keinginan yang berbeda. Kebutuhan dan keinginan yang berbeda
tersebutlah yang menciptakan ‘genre’ yang berbeda dalam produksi content media
massa Karenanya dapat dikatakan bahwa “ media economics is the study of how
media industries use scarce resources (sumberdaya langka) to produce content
135
that is distributed among consumers in a society to satisfy various want and
needs”
Konsep ekonomi, struktur ekonomi seluruh masyarakat dipengaruhi oleh
politik, hukum dan karakteristik sosial, membentuk praktek atau aktivitas bisnis
perusahaan media. Konsep kapitalisme mempengaruhi seluruh aktivitas ekonomi
masyarakat dan negara. Persoalan ekonomi melibatkan proses yang berkaitan
dengan isu-isu penting dari produksi dan konsumsi. Konsep komodifikasi media
dapat terjadi di semua aspek bidang yaitu jasa maupun aktivitas ekonomi.
Kepemilikan Media
Membicarakan bisnis media massa mendorong kita untuk melihat media dari
perspektif ekonomi. Media massa modern merupakan hasil persilangan pasar,
produk dan teknologi. Karena itulah keberadaan dan karakteristik media massa tak
pernah lepas dari persoalan modal, persaingan dan profit oriented. Terkait dengan
modal, persaingan dan profit oriented ini, maka salah satu wacana utama yang
menarik untuk diungkap adalah pola kepemilikan serta praktik produksi dan
distribusi produk media yang terkonsentrasi pada kelompok bisnis besar.
(Albarran dan Melody dalam Subiakto, 2001: 16).
Tuntutan akan modal yang tinggi untuk mendirikan sebuah industri media
baik cetak maupun penyiaran, telah menjadi sebuah entry barrier tersendiri yang
menghambat masuknya para pelaku media baru. Akibatnya kepemilikan media
kemudian hanya terkonsentrasi pada sekelompok orang tertentu yang memiliki
dukungan modal yang kuat. Ketika modal sudah menjadi sebuah tuntutan yang
harus dipenuhi maka upaya-upaya untuk mengembalikan modal sehingga
136
perusahaan bisa mencapai break point bahkan mendapat keuntungan sebesar-
besarnya dari investasi yang ditanamkan tersebut kemudian menjadi suatu hal
yang lumrah. Persaingan dan berbagai upaya yang muaranya pada perolehan
profit sebesar-besarnya menjadi tidak terelakkan. Di sinilah idealisme media yang
semula menjadi pelayan kepentingan publik, yang mereflesikan realitas yang ada
di masyarakat menjadi bias. Produk media kemudian bermetamorfosis menjadi
tidak lebih dari sebuah komoditas yang perhitungannya hanya diukur dari
seberapa besar uang atau keuntungan yang bisa dihasilkannya.
H. Konsep Politik Media
Media massa (pers) adalah subsistem dari sistem politik. (Mursito BM,
2000:24). Sebagai subsistem dari system politik maka media massa tidak
memberi corak pada sistem politik, melainkan sebaliknya, system politiklah yang
menentukan corak bahkan perilaku media. Menurut perspektif ini, perilaku pers
sangat tergantung pada kebijakan dan control dari pemerintah. Ketika represi
pemerintah terhadap media sangat kuat, itu berarti fungsi control media dimatikan
dan media tidak bisa bebas memberitakan isu-isu politik.
Pers adalah salah satu sarana bagi warga negara untuk mengeluarkan pikiran
dan pendapat serta memiliki peranan penting dalam negara demokrasi. Pers yang
bebas dan bertanggung jawab memegang peranan penting dalam masyarakat
demokratis dan merupakan salah satu unsur bagi negara dan pemerintahan yang
demokratis karena salah satu ciri negara demokrasi adalah memiliki pers yang
bebas dan bertanggung jawab.
137
Negara demokrasi adalah negara yang mengikutsertakan partisipasi rakyat
dalam pemerintahan serta menjamin terpenuhinya hak dasar rakyat dalam
kehidupan berbangsa, dan bernegara. Salah satu hak dasar rakyat yang harus
dijamin adalah kemerdekaan menyampaikan pikiran, baik secara lisan maupun
Akses informasi melalui media massa ini sejalan dengan asas demokrasi,
dimana adanya tranformasi secara menyeluruh dan terbuka yang mutlak bagi
negara yang menganut paham demokrasi, sehingga ada persebaran informasi yang
merata.
Wajah demokrasi sendiri terlihat pada dua sisi. Pertama, demokrasi
sebagai realitas kehidupan sehari-hari, kedua, demokrasi sebagaimana ia
dicitrakan oleh media informasi. Di satu sisi ada citra, di sisi lain ada realitas.
Antara keduanya sangat mungkin terjadi pembauran, atau malah keterputusan
hubungan. Ironisnya yang terjadi sekarang justru terputusnya hubungan antara
citra dan realitas demokrasi itu sendiri. Istilah yang tepat digunakan adalah
simulakrum demokrasi, yaitu kondisi yang seolah-olah demokrasi padahal sebagai
citra ia telah mengalami deviasi, distorsi, dan bahkan terputus dari realitas yang
sesungguhnya. Distorsi ini biasanya terjadi melalui citraan-citraan sistematis oleh
media massa. Demokrasi bukan lagi realitas yang sebenarnya, ia adalah kuasa dari
pemilik informasi dan penguasa opini publik.
138
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. KESIMPULAN
1. Kesimpulan yang dapat ditarik dari hasil penelitian ini adalah bahwa
reality show “Bedah Rumah” merepresentasikan bentuk-bentuk
komodifikasi kemiskinan dalam media.
2. Bentuk-bentuk komodifikasi kemiskinan tersebut terbagi menjadi empat
bentuk yaitu gambaran kondisi kemiskinan, sensasi kegembiraan,
merangsang syaraf keharuan dan memancing simpati dan emosi spontan.
3. Pemahaman resepsi informan sebagai audiens kalangan menengah ke atas
tayangan reality show “Bedah Rumah” yaitu ibu rumah tangga secara
luas mencoba menyaring pesan yang diterima. Sedangkan resepsi
informan sebagai audiens kalangan menengah ke bawah yaitu pembantu
rumah tangga secara luas menerima semua bentuk pesan tayangan acara
baik dari isi media maupun bentuk penyajiannya.
4. Penerimaan dan pemahaman informan FGD sebagai audiens yaitu
pembantu rumah tangga dan majikan mendukung kategorisasi bentuk-
bentuk komodifikasi kemiskinan dalam tayangan reality show “Bedah
Rumah”.
139
B. SARAN
1. Dalam sebuah reality show tentunya juga mengandung story taled dan
nilai baik yang jelas terlihat maupun terselubung. Untuk itu audiens
diharapkan memiliki resistensi dapat mengungkap dan menyaringnya agar
tidak mempengaruhi pemikiran tertentu audiens tentang suatu kebenaran.
Sehingga untuk penelitian kedepannya diharapkan ada peneliti yang
meneliti media yang lebih mengungkap tentang konsep komodifikasi isi
dalam media.
2. Diharapkan para mahasiswa dapat menggunakan banyak analisis isi media
dan banyak persepsi lainnya melalui pendekatan-pendekatan lainnya
dalam melihat keseluruhan tayangan reality show, terutama reality show
yang sarat akan bentuk komodifikasi.
140
DAFTAR PUSTAKA
Asamen, Joy Keiko & Gordon L. Berry. 1998. Research Paradigms, television, and Social Behavior. Thousand Oaks : Sage Publication.
BPS/Badan Pusat Statistik dan Depsos/Departemen Sosial (2002). Penduduk Fakir Miskin Indonesia 2002. Jakarta: BPS
Berger, Arthur Asa. 2000. Media and Communication Research Methods An Introduction to Qualitative and Quantitative Approaches. New York : Sage Publication.
Bungin, Burhan. 2008. Penelitian Kualitatif : Komunikasi, Ekonomi, Kebijakan Publik dan Ilmu Sosial Lainnya. Kencana : Jakarta.
_____________. 2007. Metodologi Penelitian Kualitatif : Aktualisasi Metodologi ke Arah Varian Kontemporer. PT. RajaGrafindo Persada : Jakarta.
_____________. 2001. Imaji Media Massa : Konstruksi dan Makna Realitas Sosial Iklan Televisi dalam Masyarakat Kapitalistik. Jendela : Yogyakarta.
Carey, James W. 2002. “A Cultural Approach to Communication”. Dalam Dennis Mc Quail (ed) Mc Quail’s Reader in Mass Communication Theory. London : Sage Publication.
Cox, David (2004). “Outline of Presentation on Poverty Alleviation Programs in the Asia-Pacific Region” makalah yang disampaikan pada International Seminar on Curriculum Development for Social Work Education in Indonesia. Bandung: Sekolah Tinggi Kesejahteraan Sosial.
Gunter, Barrie. 2000. Media Research Methods : Measuring Audiences, Reactions and Impact. London : Sage Publication.
Ibrahim, I. S. “Kebangkitan “Generasi Ne(x)T” dalam Rimba Budaya Pop : Parodi di Balik Budaya Musik Kawula Muda”, Jurnal ISKI, Industri Pers dan Prospek Kebebasannya, No. 5/Oktober 2000.
Junaedi, Fajar. 2005. Komodifikasi Budaya dalam Media Massa. Sebelas Maret University Press : Surakarta.
Krippendorff, Klaus. 1993. Analisis Isi : Pengantar Teori dan Metodologi. PT Raja Grafindo Persada : Jakarta.
Lincoln, Yvonna S. Dan Egon G. Guba, 1985. Nauralistic Inquiry. Beverly Hill : Sage Publication.
141
Lovell, T. “Cultural Production”. Dalam Storey, J. (ed) Cultural Theory & Popular Culture, A Reader Havester Wheatsheaf : Heatfordshire, 1994.
Miles, Mathew B dan Michael A. Huberman. 1992. Analisis Data Kualitatif : Buku Sumber tentang Metode Baru. Terj. Tjetjep Rohendi Rohidi. University Indonesia Press : Jakarta.
Moleong, Lexy, 1996. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung : PT Remaja Rosdakarya.
_____________. 2005. Metode Penelitian Kualitatif Edisi Revisi. Bandung : PT Remaja Rosdakarya.
Mosco, Vincent. 1996. The Political Economy of Communication. Sage Publication: New York.
Putra, IGN. “Demokrasi dalam Komunikasi Terprivatisasi”. Dalam Jurnal ISKI, Pers Indonesia Era Transisi, Vol. VI/ Nopember 2001.
Slamet, Y. 2006. Metode Penelitian Sosial. Surakarta : Sebelas Maret University Press.
Sugiyono. 2005. Memahami Penelitian Kualitatif. Bandung : Alfabeta.
Suharto, Edi (1997), Pembangunan, Kebijakan Sosial dan Pekerjaan Sosial: Spektrum Pemikiran, Bandung: Lembaga Studi Pembangunan-STKS
Sumardi, Mulyanto. 1982. Kemiskinan dan Kebutuhan Pokok. CV. Rajawali : Jakarta.
Sutopo, H.B. 2002. Metodologi Penelitian Kualitatif Dasar Teori dan Terpaannya dalam Penelitian. Surakarta : Sebelas Maret University Press.
Wirodono, Sunardian. 2006. Matikan TV- Mu! : Teror Media Televisi di Indonesia. Nailil Printika : Yogyakarta.
Sumber Lain :
http ://www.marxist.org/glossary/terms/c/o.htm diakses pada 9 Agustus 2010
http://www.kompas.com/kompas-cetak diakses pada 21 November 2010