I(OMPAS o Senin 123 17 18 19 o Jan . Peb o Selasa 0 Rabu 4 @ 6 7 20 21 22 o Mar OApr OMei . Kamis 0 Jumal 8 9 10 11 23 24 25 20 OJun 0 Jul 0 Ags UU BHP :J Minggu 14 15 16 29 30 31 ONov ODes o Sablu 12 13 27 28 o Sep 0 Okt Uji Mater~ Mengapa Tidak? Oleh ST SULARTO U ndang-Undang Badan Hukum Pendidikan (UU BHP) menambah daftar '{JU yang ditolak masyarakat atau setidak-tidaknya kontrover- sial. Meskipun sebelum disah- kan DPR sebagai UU tanggal17 Desember 2008 masyarakat su- dah menyampaikan kekhawatir- an-tidak bisa tuntas sebab ter- masuk saJah satu RUU yang se- cara sumir disosialisasikan sebe- lum dibahas di DPR-sampai hari ini penolakan atas UU BHP masih terus berlangsung, bah- kan mulai memasuki titik-titik kritis pasal demi pasal. Reaksi Mendiknas Bambang Sudibyo, "baca dulu UU-nya ba- ru protes", barangkali ungkapan kemarahan, sama seperti berak- si terhadap kontroversi ujian nasional ataupun pernyataan agar universitas berstatus badan hukum milik negara tidak "ke- bablasan" mencari uang. Reaksi pemerintah atas keberatan UU BHP merupakan cermin sikap adigang adiguna daJam mena- ngani persoaJan, tidak terkesan IIgemollg, perilakuyang seharus- hya melekaterat dan menjiwaijati <diri dalam penyelenggaraan praksis pendidikan. Setiap proses pengundangan kegiatan pemerintahan didasar- kan atas semangat, semacam op- tiofulldamentalis. Pilihanda~arda- lam kasus UU BHP adalah pena- taan secara legal praksis pendidik- an, dengan penerapanmanajemen berbasissekolahlmadrasahpada jenjang pendidikanda~ardan me- nengah, serta otonomi perguruan tinggi pada jenjang pendidikan tinggi (Pa~al3 UU BHP). Sema- ngatyang melatarbelakangiadalah bagaimanakeikutsertaandan rasa memilikimasyarakatmemperoleh wadah, seperti kemudiantercermin dalam Bab VI Pendanaan,khusus- nya Pasal41 tentang sumber dana dan Pasal42 tentanginvesta~i; yang tidak selesai denganjargon politis "pendidikanadalah tugas ma~yarakat,pemerintah.dan ke- luarga". PasaJ-pasal di atas dikutip se- bab di sanalah terletak titik kru- siaJ penolakan masyarakat, yak- ni representasi semangat meng- ajak partisipasi masyarakat di sisi positif sebaJiknya komersi- aJisasi-liberatif di sisi negatif. Yang muncul kemudian, kecu- rigaan UU BHP diundangkan berangkat dari sebuah kondisi masyarakat yang tabula rasa-va- kum-kosong lebih dominan da- lam pembentukan opini publik. PadahaJ, menurut pemerintah dan DPR, UU BHP diciptakan dan dibangun daJam sebuah masyarakat yang memiliki seja- rah panjang tentang peranan swasta daJam ikut serta menye- lenggarakan praksis pendidikan, misalnya. Opini publik menimbulkan kecurigaan dan reaksi serba skeptis. Kecurigaan itu berbuah lanjut dalam berbagai bentuk protes. Keberadaan sekolah-se- kolah swasta terancam, tidak memperoleh pengakuan,. penye- lenggaraan pendidikan identik dengan mendirikan sebuah pab- rik karena itu lantas dipajak se- bab mendatangkan keuntungan, dan kurang diperhatikannya se- mangat dan latar belakang pe- nyelenggaraan sekolah swasta. Entah karena sosiaJisasi kurang atau didorong nafsu besar mem- bongkar UU BHP, protes-protes pun terkesan sering tidak dida- sarkan atas studi mendaJam apaJagi secara ideologis legaJ,se- perti yang terlihat dalam tun- tutan keterlibatan mahasiswa daJam organ representasi pe- mangku kepentingan menye- lenggarakan pendidikan tinggi (Pasal18). Kesan arogan pun, "baca dulu baru protes" dari fakta di atas, barangkaJi ada be- narnya! Kondisi masyarakat Protes atas pengesahan untuk diundangkan BHP sarna seperti pada kasus UU MA dan UU Pornografi. Prosesnya kurang memerhatikan apa yang hidup daJam masyarakat dan kurang memerhatikan kondisi sosial psikologis budaya masyarakat. PadahaJ, prosedur ini berten- tangan dengan semangat refor- masi, yang membuka lebar ke- Kliping Humos Unpod 2009 inginan untuk merepresentasi- kan keinginan terbuka-kenya- taan yang seharusnya dilihat se- bagai sesuatu yang positif dan tidak dilawan dengan mengabai- kannya, seperti daJam kasus pe- nyelenggaraan praksis pendidik- an terlihat pada kasus ujian na- sional dan terakhir pada UU BHP. " Bangsa ini tentu tidak ingin menambah daftar UU ibarat macan kertas, atau UU yang dari waktu ke waktu perlu diamandemen. Mengutip pendapat pakar hu- kum tata negara dari UGM, Prof Sudjito, UU BHP dan sejumlah produk hukum pascareformasi mengandung cacat ideologis. Pa- dahaJ, pada awaJ reformasi ada tekad untuk menciptakan pro- duk hukum yang didasarkan atas nilai-nilai luhur bangsa yang bersumber dari Pancasila. UU BHP tidak selaras'dengan ideologi bangsa. Pernyataan itu dipungut untuk menegaskan bahwa kesaJahan awaJ terutama tidak pada pasal per pasal, tetapi pada titik berangkat proses pe- ngesahan UU. Dengan menga- baikan kondisi riil masyarakat, Prof Sudjito. memakai istilah produk hukum itu cacat secara ideologis, UU BHP pun meng- atur lembaga pendidikan ibarat usaha bisnis. DaJam haJ kondisi riil masya- rakat, ketika lebih dari separuh peserta didik diselenggarakan lembaga pendidikan swasta, se- mangat UU BHP yang memberi kesan ada dikotomi negeri dan swasta, pernyataan cacat ideo- logis merupakan masaJah serius. Barangkali menjadi batu penju- ru uji materi yang akan dilaku-