I(OMPAS • Selasa o Rabu o Kamis o Jumat o Sabtu o Minggu 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 <ID 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 o Mar OApr OMei OJun OJul 0 Ags OSep .Okt ONov ODes Mahasiswa Universitas In- donesia meng- uji kandungan Acrylamide pada minyak jelantah dengan menggunakan alat kromato- grafi cair kiner- ja tinggi di Kampus UI, Depok, Jawa Barat. Masih terasa jauh dari nalar, kenapa kualitas pendidikan Indonesia terasa jauh tertinggal, bahkan dibandingkan dengan Malaysia? Padahal, Malaysia dulu berguru kepada Indonesia. ~ ke, kesa- daran se- perti itu te- lah kita ra- sakan pu- luhan ta- hun lalu. Waktu itu kita berha- rap, dengan peningkatan pendi- dikan yang dilakukan pemerin- tah, kita bisa menyalip Malaysia. Namun, hingga 2009, indika- tor Human Development Index (HDO masih menunjukkan kita jauh tertinggal dibanding Ma- laysia, bahkan dibanding lima ne- gara ASEAN lainnya. Indonesia di urutan ke-LIl, Malaysia urutan ke-66, Indonesia berada di kotak negara-negara dengan Hfrlmedium, sedangkan Malaysia di kotak HDI tinggi. Beda level! HDI memang diukur tidak ha- nya dari pendidikan, tetapi juga dari angka harapan hidup, tingkat melek aksara, dan standar hidup negara-negara dunia. Hal yang membuat kita makin pilu, kita masih di bawah Palestina (110), Turkmenistan (109), Algeria (104), Tonga (99), dan Suriname (97). , . Di saat kita harus berjuang meningkatkan pendidikan, situ- asi justru dipersulit semakin me- roketnya biaya kuliah. Komer- sialisasi pendidikan tak diragu- kan lagi telah mencengkeram masyarakat Indonesia. "Sebagai perbandingan, tahun 1995 ketika saya mau masuk ke PTN (perguruan tinggi negeri) favorit saya, tak ada tarikan biaya masuk, dan SPP hanya Rp 225.000 per tahun. Sekarang, keponakan saya mau masuk ke PTN, barn masuk saja sudah di- tarik Rp 50 juta, duh nanti gi- mana kuliah anak saya?" kata Herman Santoso, seorang pega- wai negeri sipil. Sudah komersial, kampus- kampus kita dari sisi peringkat, menurut Webometrics 2010,juga tak lebih baik daripada Malaysia yang menerapkan biaya kuliah tak seprogresif Indonesia. Ka- rena mahalnya biaya kuliah ini- lah, anak-anak Kalimantan lebih suka melanjutkan sekolah ke Ma- laysia GI Belum ada pe Kecenderunga mengomersi- alkan pendidikan, atau kini bisa disebut sebagai industri pendi- dikan, ternyata j ga disumbang- kan dari keruwetan tata aturan perundang-undangan yang ada, terutama denga lahirnya DU Nomor 9 Tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan (BHP). Pemerin mengurangi subsidi perguru 1tinggi yang di- sinyalir memaksa kampus-kam- pus memungut biaya pendidikan lebih tinggi. DU ini merupakan sinyal bah- wa pemerintah sempat mencoba melempar tanggung jawab atau amanah yang dibebankan DUD 1945 Pasal 31 tentang Penye- lenggaraan Pendidikan. Pemerintahlah yang punya tanggung jawab.membiayai pen- didikan rakyat. Untunglah, DU BHP ini akhirnya dicabut Mah- kamah Konstitusi pada 31 Maret 2010. Namun, sampai kini belum ada perubahan yang bisa dirasakan masyarakat tak berkecukupan. "Pendidikan rnasih merupakan hak setiap warza negara yang mempunyai uan banyak," kata Abdul Jalil, Tadris Fisika IAIN Walisongo, Semarang, Lernbaga pendidikan yang se- harusnya mendidik dan mencer- daskan anak bangsa malah di- jadikan ajang bisnis para peda- gang ilmu. "Semakin hari sema- kin mahal, seperti melambung- nya barang-barang sembako sa- ja," kata Abdul. r Dengan biaya yang makin ting- gi, sayangnya ti ak diimbangi de- ngan pengada fasilitas mema- dahi dan tenaga pendidik pro- fesional. "Teta i, anehnya, ma- syarakat yang seharusnya beron- tak malah setuji dengan berdiam diri," kata Abd I. Ya, masyar t kita memang punya tradisi unik yang tidak sehat, yaitu terbiasa memberikan sesuatu untuk menjamin anak- nya diterima di perguruan tinggi pilihan. Walau terpaksa mem- berikan, pola ini seolah diamini oleh kita sermu M Wahyu Amiruddin, Jurusan Bahasa clan Sastra Indonesia Universitas N geri Semarang, memberi penjelasan secara logis Kliping Humas Unpad 2010