K.SUBROTO SERANGANKEKUALABATUACEH INVASIMILITERPERTAMA AMERIKASERIKAT
K.�SUBROTO
SERANGAN�KE�KUALA�BATU�ACEH
INVASI�MILITER�PERTAMA�AMERIKA�SERIKAT
K. Subroto
Laporan Edisi 1 / Januari 2019
ABOUT US
Laporan ini merupakan sebuah publikasi dari Lembaga Kajian Syamina (LKS). LKS merupakan sebuah lembaga kajian independen yang bekerja dalam rangka membantu masyarakat untuk mencegah segala bentuk kezaliman. Publikasi ini didesain untuk dibaca oleh pengambil kebijakan dan dapat diakses oleh semua elemen masyarakat. Laporan yang terbit sejak tahun 2013 ini merupakan salah satu dari sekian banyak media yang mengajak segenap elemen umat untuk bekerja mencegah kezaliman. Media ini berusaha untuk menjadi corong kebenaran yang ditujukan kepada segenap lapisan dan tokoh masyarakat agar sadar realitas dan peduli terhadap hajat akan keadilan. Isinya mengemukakan gagasan ilmiah dan menitikberatkan pada metode analisis dengan uraian yang lugas dan tujuan yang legal. Pandangan yang tertuang dalam laporan ini merupakan pendapat yang diekspresikan oleh masing-masing penulis.
Untuk komentar atau pertanyaan tentang publikasi kami,
kirimkan e-mail ke:
Seluruh laporan kami bisa didownload di website:
www.syamina.org
SYAMINA
SERANGAN KE KUALA BATU ACEHInvasi Militer Pertama Amerika Serikat
SYAMINA Edisi 1 / Januari 2019
3
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI — 3
EXECUTIVE SUMMARY — 4
Pantai Barat Aceh Menjadi Pusat Perdagangan Lada Internasional — 7
Adat Dan Syariat yang Menyatu di Aceh — 11
Sistem Perlindungan Perdagangan Barat yang Biadab — 12
Mengapa Penduduk Kuala Batu Berani menantang AS? — 13
Peristiwa Penyerangan Kapal Friendship — 14
Kehebohan di Amerika — 15
Perintah Serangan dari Presiden Andrew Jackson — 16
Invasi Angkatan Laut AS Membantai Penduduk Kuala Batu — 17
Antara Pahlawan dan 'Pembunuh Bengis’ — 21
Serangan Kedua Angkatan Laut Amerika — 25
KESIMPULAN — 28
DAFTAR PUSTAKA — 29
SYAMINAEdisi 1 / Januari 2019
4
Hari ini nama Kuala Batu (Kuala Batee) hampir tidak diketahui oleh para
sarjana Indonesia maupun Melayu, kecuali mereka yang telah mempelajari
sejarah dan masyarakat provinsi Aceh, di Sumatra bagian Utara. Bahkan
dalam buku-buku sejarah Indonesia sangat sedikit yang menyebutkan tentang Kuala
Batee, dan apa yang terjadi di sana pada tahun 1831-1832, yang menggerakkan rantai
peristiwa yang menyebabkan ekspedisi Sumatera Pertama tahun 1832 dan intervensi
Amerika di sana. Peristiwa yang juga menjadi alasan Belanda untuk terlibat lebih
lanjut dalam politik lokal Aceh.
Pulau Sumatera yang luas dan kaya sudah sejak lama diincar oleh Belanda.
Sumatera menempati posisi strategis yang sangat penting, merupakan wilayah yang
dipersengketakan dengan Inggris karena menghasilkan lada dan jenis komoditas
lain yang berharga.
Kuala Batu (beberapa sumber Barat menulis dengan ejaan Quallah Battoo)
adalah sebuah kerajaan kecil di wilayah Aceh pada masa lalu. Pada awalnya negeri
Kuala Batu merupakan bagian dari kekuasaan Susoh. Kerajaan ini berkuasa sekitar
tahun 1785 – 1832 Masehi. Kini lokasinya masuk dalam wilayah Kecamatan Kuala
Batee yang berbatasan dengan Kecamatan Susoh, Kabupaten Aceh Barat Daya. Kuala
Batee terletak di ujung pulau Sumatera, dan pada 1830-an adalah pemerintahan kecil
yang independen di Aceh.
Aceh telah terlibat dalam perdagangan lada dengan banyak negara Barat
termasuk Inggris, Belanda, Prancis, Denmark dan Spanyol sejak abad ke-17. Dan kala
itu Aceh dikenal reputasinya sebagai pengekspor lada terbesar di dunia. Kesultanan
Aceh merupakan pemerintahan di kawasan Asia Tenggara yang kuat. Aceh saat
itu memiliki hubungan dekat dengan kekuatan besar Muslim lainnya, seperti
Kekhalifahan Turki Utsmani (Ottoman) yang berpusat di Istanbul.
Pada tahun 1831, Friendship sering hilir mudik di pantai Barat Aceh, Sumatera
Utara, untuk mencari lada. Menurut Robert Booth, pada tahun 1832, sebelum
EXECUTIVE SUMMARY
SYAMINA Edisi 1 / Januari 2019
5
peristiwa yang menggemparkan Amerika itu, Penduduk Kuala Batu, Aceh muak
dengan para pedagang Amerika yang suka mencurangi takaran timbangan. “Endicott
(Kapten kapal Friendship) banyak menghabiskan waktu dengan Po Adam, uleebalang
setempat, yang memperingatkannya bahwa raja-raja lokal tengah marah karena
turunnya harga lada dan kapten-kapten kapal yang kabur dengan tidak membayar
penuh”
Di Kesultanan Aceh, hukum Islam dan adat senantiasa memayungi seluruh lini
kehidupan masyarakat. Keduanya berjalan beriringan, seperti ‘dua sisi mata uang’.
Menurut adat istiadat penduduk Aceh; Kecurangan dalam timbangan dianggap
sebagai kesalahan besar (dosa besar).
Dengan berbagai pelanggaran aturan (adat) perdagangan setempat yang
berulang kali dilakukan oleh para pedangan asal Amereka, beberapa orang mungkin
kesal dan marah sehingga melakukan kekerasan. Saat itu kapal dagang Friendship
asal Amerika muatannya dirampas, kapalnya disandera dan beberapa anak buah
kapalnya terbunuh oleh penduduk di wilayah ini. Menurut versi kedua, kapal dagang
Amerika Serikat Friendship diserang dan di sandera oleh penduduk Kuala Batu
pada 3 Februari 1813 karena kapal AS tersebut hendak menyelundupkan lada dari
pelabuhan Kuala Batu.
Keberhasilan berdagang di pantai Aceh tergantung pada kemahiran berbahasa
Melayu, atau berbahasa Aceh. Kenyataan bahwa “pantai lada” Aceh terdiri dari
banyak sekali wilayah otonomi, yang mengakui kedaulatan Kesultanan Aceh
tetapi tidak “mengacuhkan” perintahnya, menjadikan pantai lada itu wilayah
klasik “diplomasi kapal perang” Barat. Kapten kapal yang menunjukkan kehalusan
perasaan, kesabaran dan berlaku adil tidak banyak mengalami kesulitan, dan bahkan
dapat berdagang secara kredit, yang menuntut kepercayaan yang tinggi kepada
mereka oleh pedagang-penjual Aceh.
Ketika berita tentang serangan terhadap Friendship mencapai Amerika, kabar itu
disambut dengan kemarahan. Tiga hari setelah Friendship tiba di Salem, pemiliknya
(yang merupakan senator dan sahabat presiden Amerika) menulis surat kepada
Presiden Andrew Jackson dan menuntut agar dia mengambil tindakan pembalasan
terhadap para perompak Melayu di Kuala Batu.
Potomac diperintahkan oleh Presiden Jackson untuk pergi ke Kuala Batee,
menilai situasi dan mengambil tindakan yang dianggap perlu untuk memastikan
keselamatan kapal-kapal dagang Amerika yang berlayar di perairan Hindia Timur di
masa depan.
Pada awal Februari 1832 (satu tahun setelah serangan terhadap Friendship),
Potomac sampai di Aceh, dan kemudian ke Kuala Batu, dan rencana dibuat untuk
serangan. Serangan terhadap Kuala Batu dilakukan menggunakan kombinasi tipu
daya dan strategi.
Potomac disamarkan sebagai kapal dagang Denmark. Setelah mendekati Kuala
Batu, Potomac menangkap sejumlah penduduk setempat dan menanyai mereka
tentang pertahanan di kota kecil itu. Diputuskan bahwa serangan (pada 6 Februari
SYAMINAEdisi 1 / Januari 2019
6
1832) dilakukan dinihari (jam 2 malam), menggunakan kombinasi pasukan darat
dan juga pemboman dari laut.
Pada gempuran pertama kota Kuala Batu berhasil ditaklukkan dan pasukan
Amerika membunuh 150 orang yang berusaha mempertahankan kota itu. Walaupun
sudah berhasil dikalahkan pasukan amerika belum puas. Mereka kembali menyisir
seluruh kota, merampas semua harta bendanya dan membantai 300 orang, hampir
semua penduduk kuala Batu. Setelah itu mereka membakar, membombardir dan
menghancurkan semua yang ada.
Kapten dan Kru Potomac mendapat banyak kritik atas peristiwa itu. Beredar juga
kabar tentang para pelaut dan tentara Amerika yang terlibat dalam pembantaian,
pemerkosaan, dan penjarahan atas persetujuan komandan mereka. Seluruh
kekacauan dapat dihindari jika kapten Potomac mau berunding dengan orang
Sumatra sebelum bertindak. Seorang kolumnis surat kabar Boston berargumen
“dengan awak pelayaran, dan beberapa marinir, ia dapat mengelilingi kota, dan
mengajukan tuntutan, tanpa penumpahan setetes darahpun”
Bukankah lebih bijaksana bila para pelaku yang bertanggung jawab atas serangan
pada kapal dagang Amerika saja yang ditangkap dan dibawa ke pengadilan untuk
mempertanggung jawabkan perbuatannya? Tapi itu juga tidak menjadi pilihan.
Maka wajar bila setelah kabar serangan dan pembantaian sampai di publik Amerika,
Kapten dan kru mendapat kritikan yang sangat luas dari berbagai kalangan. Kritikan
dan hujatan itu bahkan bertahan sampai beberapa tahun setelah serangan terjadi.
Anehnya dengan semua kejahatan, dan kekejaman serta kritikan dan hujatan publik
Amerika, presiden Jackson justru mendukung dan membela tindakan tersebut ketika
pidato tahunan di kongres Amerika.
Pemerintah Amerika tidak pernah menginvestigasi atau mengkroscek laporan
penyerangan kapal dagangnya. Apa latar belakang penyerangan tersebut? Kenapa
yang diserang kapal Amerika? Dan siapa sebenarnya pelakunya? Semua itu tidak
pernah dilakukan.
Hal yang dilakukan rezim Presiden Adrew Jackson saat itu, langsung mengirim
kapal perang Potomac untuk menghukum (bahkan menghabisi) seluruh penduduk
Kuala Batu atas tindakan yang dilakukan oleh beberapa orang saja.
Ekspedisi Sumatera Pertama menandai titik balik penting dalam hubungan
maritim Amerika dengan Asia Tenggara. Karena peristiwa itu menandakan bahwa
Amerika tidak hanya datang untuk berdagang secara pasif, tetapi juga menggunakan
kekerasan untuk melindungi kepentingan komersialnya.
Amerika saat itu memang belum menjadi negara kolonial, negara penjajah seperti
beberapa negara Eropa saat itu, namun apa yang dilakukan oleh angkatan lautnya
dengan perintah Presiden dan persetujuan dari Kongres merupakan kebijakan
resmi yang mendahulukan kekerasan dalam menyelesaikan masalah yang dihadapi,
perbuatan yang sering dilakukan negara penjajah (kolonial). Dan tampaknya budaya
dan kebijakan tersebut masih terus dipertahankan dan berlanjut sampai beberapa
dekade sesudahnya.
SYAMINA Edisi 1 / Januari 2019
7
SERANGAN KE KUALA BATU ACEHInvasi Militer Pertama Amerika Serikat
Amerika telah lama diketahui menjadi pemain dalam urusan Asia Tenggara,
karena kehadiran Amerika di negara-negara seperti Indonesia, Thailand,
Filipina dan Vietnam telah didokumentasikan dengan baik sejak Perang Dingin.
Namun, sedikit sekali peristiwa yang menunjukkan peran Amerika di Asia Tenggara
sebelum abad ke-20.
Pada Ekspedisi Sumatera Pertama tahun 1832 - Amerika memainkan peran
kepolisian perairan di lepas pantai Sumatera. Meskipun peristiwa tersebut telah
banyak dilupakan saat ini, dan bahkan tidak disebutkan dalam buku-buku sejarah
Indonesia. Tema ini penting karena menandai kedatangan Amerika - pertama sebagai
negara perdagangan, dan kemudian memainkan peran sebagai kekuatan kepolisian -
di wilayah tersebut.
Pantai Barat Aceh Menjadi Pusat Perdagangan Lada InternasionalKapal-kapal dari New England (Amerika) mulai berdagang di Asia dalam skala
besar pada 1780-an, dan kunjungan pertama yang tercatat di padang dan Bengkulu
pada tahun 1789. Pada tahun 1795, kapal-kapal dari Salem berhasil menemukan jalan
menuju pusat perkebunan lada yang besar dan masih baru di pantai Barat Aceh, yakni
pantai yang terletak antara Susoh (saat itu disebut Susu) dan Trumon.
Pemimpin di Susoh, Leubee Dapa telah menjanjikan pada Inggris pada 1787
bahwa ia akan menyediakan semua lada yang bisa ia dapatkan. Namun dalam satu
SYAMINAEdisi 1 / Januari 2019
8
dasarwarsa pedagang Amerika telah menjadi pelanggan terbesar lada di seluruh
penjuru pantai ini. Hingga tahun 1803, pantai tersebut menghasilkan sekitar 5.000
ton lada, dan sebagian besar dikirim ke New England (Amerika) sehingga Amerika
menjadi penyedia utama lada bagi Eropa.1 Menurut keterangan Nathaneil Bowditch,
seorang kapten kapal dagang Amerika, Putnam tentang perdagangan lada di pantai
Barat Aceh;
Harga lada pada tahun 1803 mulai dari 10-11 dolar (dolar spanyol)
perpikul (sekitar 62,5 kg). Sebelumnya harga terendah adalah delapan
dolar, tetapi permintaan lada telah menaikkan harga menjadi amat
tinggi; setidaknya ada 30 kapal Amerika di pantai sana. Sebagian pribumi
mampu berbicara bahasa Inggris dengan cukup baik, sehingga tidak ada
kesulitan dalam membuat perjanjian dengan mereka.2
Sejak akhir 1790-an, kapal dagang New England telah berhenti di sepanjang
pantai barat pulau (Sumatra) untuk menukar perak Spanyol dengan rempah-rempah.
Rempah-rempah dibutuhkan untuk membumbui dan yang lebih penting sebagai
komoditas perdagangan trans-Atlantik yang menguntungkan dengan Eropa Utara.3
Sejak 1801, Susu (Susoh) dan pelabuhan-pelabuhan di sekitarnya menjadi
pemasok utama lada dunia sebagai pemasok lada ke Amerika. Pada tahun 1803,
30 kapal Amerika tiba di pantai dan mengangkut lada antara 30.000 sampai 36.000
pikul. Pada tahun 1805 pedagang amerika membeli 70.000 pikul atau 7/8 dari seluruh
hasil panen lada. Karena barang melimpah, harga lada sempat anjlok, dari 11 dolar
spanyol per pikul pada tahun 1804 menjadi 5 dolar per pikul pada tahun 1809. Namun
sesudah berakhirnya perang Napoleon harga lada kembali naik menjadi 11-12 dolar
per pikul pada tahun 1819.
Selain pedagang Amerika ada pedagang lain yang juga mendatangi pusat
perkebunan lada tersebut. Pada musim lada tahun 1823, ada 27 kapal Amerika,
6 pedagang lokal, dan 4 kapal Perancis. Selain itu banyak pula kapal-kapal East
India Company serta banyak jongkong besar dan perahu pribumi dari Padang yang
memperoleh muatan barang dagangan dari pantai Barat Sumatra.
Pada tahun 1821-1822, impor Amerika dari pantai ini berjumlah sekitar satu
juta dolar. Produksi lada terus meningkat, pada tahun 1826, pantai lada diperkirakan
telah menghasilkan lada 150.000 pikul per tahun. Namun karena pasar dunia tidak
bisa menyerap semua hasil lada, sehingga harganya turun. Baru pada tahun 1871
harga lada naik lagi menyamai tahun 1822-1823.4
1 Anthony Reid, Sumatera Tempo Doeloe, dari Marcopolo sampai Tan Malaka, Komunitas Bambu Depok 2014. (terjemahan dari buku berbahasa Inggris: Winesses to Sumatra, A Travellers Anthology, Oxford University Press New York 1995). h.284
2 Nathaniel Bowditch, dalam Anthony Reid, op.cit. h.290-291.3 Colonel Charles H. Waterhouse, Marines in the Frigate Navy, History Division United States Marine Corps
Washington, D.C. Reprinted 2006, h.53 di akhir artikel disebutkan bahwa materi diambil dari beberapa sumber berikut: James Duncan Phillips, Pepper and Pirates: Adventures in the Sumatra Pepper Trade of Salem (Boston: Houghton Mifflin Company, 1949); J. N. Reynolds, Voyage of the United States Frigate Potomac, Under the Command of Commodore John Downes, During the Circumnavigation of the Globe, in the Years 1831, 1832, 1833, and 1834 (New York: Harper and Brothers, 1835); Francis Warriner, A.M., Cruise of the United States Frigate Potomac Round the World, During Years, 1831-34 (New York: Leavitt, Lord & Co., 1835).
4 Christine Dobbin, Gejolak Ekonomi, Kebangkitan Islam dan Gerakan Padri, Minangkabau 1784-1847, Komunitas Bambu Depok Mei 2008, (diterjemahkan dari judul Asli: Islamic Revivalism in Changing Peasant Economy, Central Sumatra 1784-1874, Curzon Press London 1983) h.265
SYAMINA Edisi 1 / Januari 2019
9
Hari ini nama Kuala Batee (Kuala Batu) hampir tidak diketahui oleh para
sarjana Indonesia maupun Melayu, kecuali mereka yang telah mempelajari sejarah
dan masyarakat provinsi Aceh, di Sumatra bagian Utara. Bahkan dalam buku-buku
sejarah Indonesia sangat sedikit yang menyebutkan tentang Kuala Batu, dan apa
yang terjadi di sana pada tahun 1831-1832, yang menggerakkan rantai peristiwa
yang menyebabkan ekspedisi Sumatera Pertama tahun 1832 dan intervensi Amerika
di sana. Peristiwa yang pada gilirannya memberikan Belanda alasan untuk terlibat
lebih lanjut dalam politik lokal di Sumatera bagian Utara (Aceh).5
Pulau Sumatera yang luas dan kaya sudah sejak lama diincar oleh Belanda.
Sumatera menempati posisi strategis yang sangat penting, merupakan wilayah yang
dipersengketakan dengan Inggris karena menghasilkan lada dan jenis komoditas
lain yang berharga.6
Kuala Batu merupakan daerah di sepanjang pesisir Samudera Hindia dengan
panorama teluk yang tenang, pantai yang asri dan alami mulai dari Surin Lama Tuha,
Lama Muda hingga Kuala batu yang daerahnya terdiri dari muara-muara sungai,
rawa-rawa dan hutan belantara.
Kuala Batu (beberapa sumber Barat menulis dengan ejaan Quallah Battoo)
adalah sebuah kerajaan kecil di wilayah Aceh pada masa lalu. Pada awalnya negeri
Kuala Batu merupakan bagian dari kekuasaan Susoh. Teluk Susoh (sekarang menjadi
nama Kecamatan yang ada di Kabupaten Aceh Barat Daya) pada abad ke-18 dan awal
abad ke-19, merupakan salah satu pusat perdagangan di pantai Barat Aceh dengan
5 Farish A. Noor, America in Southeast Asia before the ‘Pivot’: The ‘Battle of Quallah Battoo’ in 1832, The RSIS Working Paper series No. 275, S. Rajaratnam School of International Studies Singapore, 12 June 2014, h.1
6 Ricklefs, Sejarah indonesia Modern, Gadjah Mada University Press cetakan kesepuluh 2011. h.211
SYAMINAEdisi 1 / Januari 2019
10
pusat pelabuhan di Kedai Susoh.7 Negeri Kuala Batu berkuasa sekitar tahun 1785
– 1832 Masehi. Kini lokasinya masuk dalam wilayah Kecamatan Kuala Batee yang
berbatasan dengan Kecamatan Susoh, Kabupaten Aceh Barat Daya. Kuala Batu
terletak di ujung pulau Sumatera, dan pada 1830-an adalah pemerintahan kecil yang
independen di Aceh.
Meski memiliki wilayah yang kecil, namun nama Kuala Batu pernah membuat
geger Amerika Serikat pada tahun 1832. Saat itu kapal dagang Friendship asal Amerika
muatannya dirampas, kapalnya disandera dan beberapa anak buah kapalnya
terbunuh oleh penduduk di wilayah ini. Amerika kemudian mengirim kapal perang
Potomac sebagai hukuman atas penyerangan kapal dagang AS tersebut. Peristiwa ini
sekaligus menjadi awal dari berakhirnya kekuasaan Kerajaan Kuala Batu, di wilayah
Aceh Barat Daya.
Serangan angkatan laut AS ini menjadi petualangan militer pertama Amerika
di Asia Tenggara, yang berlangsung di pemukiman pesisir Kuala Batu, Aceh Barat
Daya. Tujuh dekade sebelum intervensi Amerika di Filipina, pertempuran Kuala Batu
adalah salah satu hubungan kekerasan pertama antara Amerika Serikat dan kerajaan-
kerajaan di Asia Tenggara.8
Pada tahun 1831, Friendship sering hilir mudik di pantai barat Aceh, Sumatera
Utara, untuk mencari lada. Aceh telah terlibat dalam perdagangan lada dengan
banyak negara Barat termasuk Inggris, Belanda, Prancis, Denmark dan Spanyol sejak
abad ke-17. Dan kala itu Aceh dikenal reputasinya sebagai pengekspor lada terbesar
di dunia. Kesultanan Aceh adalah titik paling utara pulau Sumatera, yang merupakan
pemerintahan di kawasan Asia Tenggara yang kuat. Aceh saat itu memiliki hubungan
dekat dengan kekuatan besar Muslim lainnya, seperti Kekhalifahan Turki Utsmani
(Ottoman) yang berpusat di Istanbul.
Namun, kekuatan Aceh telah mulai menurun secara nyata pada awal abad
ke-19, sehingga menimbulkan pemerintahan baru yang lebih kecil yang juga
memperdagangkan lada dengan orang asing di sepanjang pantai Sumatra. Salah
satunya adalah Kota Kuala Batu yang berada di bawah kekuasaan beberapa pemimpin
setempat yang menjaga hubungan baik dengan istana Aceh.9
Menurut Leong Sau Heng, arkeolog dari University Malaya, yang dikutip
oleh Susanto Zuhdi; dijumpai beberapa kategori pelabuhan yang berfungsi sebagai
penghubung antara dunia Barat dan Timur. Dia menyebutkan berbagai fungsi
pelabuhan yaitu, sebagai feeder points, collecting center, dan entrepot. Kategori
pertama (feeder points) adalah yang berfungsi sebagai “pengumpan” komoditas
kepada pelabuhan kategori kedua dan atau langsung ke pelabuhan kategori ketiga.
Dengan gerak pelabuhan-pelabuhan itulah terbentuk jaringan maritim, yang intinya
adalah sistem-sistem laut (sea systems).10
7 Nerisa Afwan, Perubahan Status Sosial Ekonomi Istri Dan Peningkatan Perceraian, Studi Kasus Di Kabupaten Aceh Barat Daya Tahun 2017, Skripsi Program Studi Komunikasi dan Penyiaran Islam Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah Yogyakarta 2018, h. 77
8 Farish A. Noor, Op.Cit., h.29 Farish A. Noor, Op.Cit., h.410 Leong, dalam Susanto Zuhdi, Mengarungi Selat Malaka dan Perairan Kepulauan Riau: Menguak Prospek
Kebaharian dan Masalahnya, Tanjung Pinang, Ajari 2009, Direktorat Geografi Sejarah Depbudpar, 2009, hlm.3
SYAMINA Edisi 1 / Januari 2019
11
Pada masa kurun niaga dengan kejayaan ladanya, pelabuhan Kuala Batu
tumbuh menjadi salah satu pelabuhan feeder points internasional. Di pelabuhan ini
banyak kapal asing yang mengambil komoditas utama lada hitam untuk di bawa ke
pelabuhan entrepot. Feeder points ini kemudian menjadi rebutan dalam sea systems
perdagangan lada sehingga terjadi saling intervensi, yang dapat menimbulkan
peperangan baik dengan bangsa asing maupun dengan tetangga dalam merebut
hegemoni, setelah bangsa Barat datang.
Adat Dan Syariat yang Menyatu di AcehBudaya Aceh telah lama dipengaruhi Islam. Tidak dapat dinafikan bahwa
sejak berabad-abad lamanya hukum adat atau yang dikenal sebagai adat istiadat
merupakan peraturan nilai-nilai dan keyakinan sosial budaya telah tumbuh dan
berurat akar dalam kehidupan masyarakat Aceh. Sehubungan dengan itu, dalam
masyarakat Aceh selanjutnya telah termaktub dalam suatu hadih maja “Hukom
ngon adat lagei zat ngon Sifeut”. Artinya, hukum agama Islam dan hukum adat
tidak ubahnya seperti zat dengan sifat yang tak dapat dipisahkan.11
Budaya itu melingkupi sistem hukum dan adat serta tradisi, termasuk juga
di dalamnya perdagangan dan komoditas barang dagangannya. Budaya dalam
perdagangan dan komoditas barang dagang tersebut paling tidak sudah berkembang
sejak abad ke-13 ketika Samudera-Pasai muncul sebagai ‘bandar dagang’ yang
terkenal di sekitar Selat Malaka. Sedangkan adat dan tradisi dalam kehidupan
masyarakat Aceh Darussalam, baru mulai ditata pada abad ke-16, yaitu ketika
‘kesultanan Aceh Darussalam’ terbentuk. Di Kesultanan Aceh, sistem hukum dan
adat senantiasa memayungi seluruh lini kehidupan masyarakat. Keduanya berjalan
beriringan, seperti ‘dua sisi mata uang’
Pada masa kesultanan Aceh (1528-1903) telah dibangun tempat khusus
untuk berdagang yang disebut Peukan, Keude, dan Pasai. Peukan, Keude dan
Pasai dikendalikan oleh syahbandar yang disebut syahbanda atau hariya. Para
pedagang yang berjual-beli harus tunduk pada peraturan-peraturan kesultanan
yang dijalankan oleh syahbandar atau hariya peukan. Dalam perkara timbang-
menimbang barang dilakukan oleh tandi yang diawasi secara baik oleh petugas. Hal
itu dilakukan untuk menghindari kecurangan yang dapat merugikan taksir wasee
kesultanan atau pedagang. Kecurangan dalam timbangan dianggap sebagai dosa
besar. Barang-barang dagangan yang disimpan di peukan-peukan (di pasar-pasar)
menjadi tanggung jawab dari syahbanda atau hariya. Sedangkan adat wasee atau
cukai dikenakan kesultanan kepada pedagang selalu dibayarkan lunas. Sewa tempat
dan keude (toko) juga selalu dilunasi secara kolektif oleh pedagang di pasar tersebut.
Di Aceh, masyarakat memandang sangat hina pada perampas/perampok
harta orang lain. Perampas/perampok harta orang disebut dengan gelaran “si
meurampah” (si perampas/perampok). Barang-barang yang dirampok apabila
tertangkap, harus dikembalikan utuh. Apabila mengalami kerusakan atas barang
11 Muhammad Arifin dan Khadijah Binti Mohd Khambali, Islam Danakulturasi Budaya Lokal Di Aceh (Studi Terhadap Ritual Rah Ulei Di Kuburan Dalam Masyarakat Pidie Aceh) Jurnal Ilmiah ISLAM FUTURA Vol. 15. No. 2, Februari 2016, h.257
SYAMINAEdisi 1 / Januari 2019
12
tersebut harus dibayarkan sesuai ‘kadar’ kerusakannya. Barang-barang yang
diserobot juga harus dibayar sesuai dengan harga saat kejadian perkara.
Di Aceh, arak (minuman yang memabukkan) dan peternakan babi dilarang.
Apabila barang terlarang tersebut tetap diperdagangkan, boleh dirusak dan isinya
dibuang atau ditumpahkan. Arak yang ditumpahkan atau babi yang dibunuh tidak
akan dilakukan pembayaran ganti-rugi.
Para pedagang asing diperbolehkan berdagang di Aceh sampai ke kampung-
kampung dari pagi sampai sore saja. Sedangkan pada malam hari, mereka harus
kembali ke kapal atau tempat-tempat ‘penampungan’ yang sudah disediakan
di pinggir-pinggir sungai. Hal itu untuk menjaga keamanan dan barang-barang
dagangan mereka.12
Ketika para pedagang asing melanggar aturan perdagangan yang sudah berlaku
di Aceh, maka kericuhan mungkin saja terjadi. Pelanggaran tersebut bisa jadi karena
tidak tahu budaya setempat atau bisa jadi karena kesengajaan yang didorong oleh
rasa sombong dan merasa lebih tinggi budayanya dibanding budaya masyarakat
setempat.
Sampai sekarang di wilayah Aceh Barat Daya secara umum, mempunyai pola
karakteristik budaya yang diatur oleh hukum adat yang bersumber pada kaidah-
kaidah hukum Islam.13 Budaya Aceh yang bersumber dari ajaran Islam ini dalam
beberapa kasus bertolak belakang dengan budaya Barat. Misalnya minuman keras;
di Aceh minuman keras dilarang, namun bagi orang Eropa atau Amerika minum
minuman keras menjadi kebiasaan sehari-hari.
Sistem Perlindungan Perdagangan Barat yang BiadabKeberhasilan berdagang di pantai Aceh tergantung pada kemahiran
berbahasa Melayu, atau berbahasa Aceh. Kenyataan bahwa “pantai lada” Aceh
terdiri dari banyak sekali wilayah otonomi, yang mengakui kedaulatan Kesultanan
Aceh tetapi tidak “mengacuhkan” perintahnya, menjadikan pantai lada itu wilayah
klasik “diplomasi kapal perang” Barat. Kapten kapal yang menunjukkan kehalusan
perasaan, kesabaran dan berlaku adil tidak banyak mengalami kesulitan, dan bahkan
dapat berdagang secara kredit, yang menuntut kepercayaan yang tinggi kepada
mereka oleh pedagang-penjual Aceh.
Namun, fluktuasi harga yang sangat cepat di pasar yang tidak stabil,
menimbulkan konflik-konflik yang tidak dapat diselesaikan oleh pemegang
wewenang politik manapun. Sedikit sekali orang asing yang menyukai kontrol
terpusat, baik oleh Aceh ataupun pemerintah kolonial di wilayah itu, yang mungkin
menetapkan pembatasan-pembatasan terhadap perdagangan. Sebaliknya, jalan
akhir yang mereka tempuh jika diserang ketika sedang berdagang di Aceh adalah
meminta angkatan laut masing-masing untuk menghancurkan desa atau kota
tempat serangan terjadi.
12 Moehammad Hoesin, Adat Atjeh, Dinas Pendidikan dan Kebudajaan, Propinsi Daerah Istimewa Atjeh 197013 Nerisa Afwan, Op.Cit. h. 84
SYAMINA Edisi 1 / Januari 2019
13
Sebagai sebuah “sistem” perlindungan perdagangan, cara seperti itu
jelas sewenang-wenang dan biadab. Orang Aceh selalu mundur ke pedalaman
sampai aktivitas kapal perang “selesai”. Dan, mendirikan kembali rumah-rumah
kayu mereka setelah kapal perang puas memuntahkan peluru meriamnya dan
meninggalkan tempat tersebut.
Kapal-kapal perang Inggris dan Belanda sudah lama menggunakan cara
biadab ini di wilayah Melayu, bahkan juga di bagian-bagian lain pantai Aceh. Namun,
Amerika merupakan pelopor yang memperkenalkan bentuk “hukuman” ini pada
negara Barat lain, pemain perdagangan lada di pantai Barat Aceh.
Insiden Kuala Batu, pada kenyataannya, merupakan titik balik dalam aktivitas
Angkatan Laut Amerika di perairan Asia Tenggara, dan mendahului kegiatan kelautan
Angkatan Laut Amerika di wilayah itu lebih dari setengah abad. Insiden ini terjadi pada
saat Amerika adalah pemain yang relatif baru dalam manuver geopolitik kekuatan
Barat di Asia Tenggara, dan jauh sebelum daratan dan maritim Asia Tenggara dijajah
secara efektif dan terpecah oleh kekuatan Eropa Barat lainnya.
Inggris misalnya; baru saja mencaplok bagian-bagian garis pantai Burma
(Arakan dan Tenneserim setelah Perang Anglo-Burma Pertama tahun 1824-1826),
baru saja menciptakan Pemukiman di Penang, Singapura, dan Malaka (pada tahun
1826) dan telah menandatangani perjanjian dengan Holland14 (1824) dan Siam (1826)
yang akan membagi-bagi wilayah menjadi blok-blok untuk menjadi wilayah jajahan
negara Barat. Inggris, Belanda, Spanyol dan Prancis belum mengkonsolidasikan
dan memperluas kekuatan mereka di seluruh Asia Tenggara, dan Sumatra belum
mengalami intervensi langsung oleh penjajah Belanda.
Sumatra berada dalam konteks yang berubah-ubah ini dan Amerika
muncul sebagai kekuatan yang mengambil langkah-langkah tentatif pertamanya
di kawasan Asia Tenggara, awalnya sebagai kekuatan perdagangan dan kemudian
sebagai kekuatan yang lebih agresif yang akan menunjukkan superioritasnya dalam
mempertahankan kepentingan komersialnya dengan kekuatan. Namun, reaksi yang
keras itu bukan tanpa kritik di dalam negeri Amerika. Dan insiden Kuala Batu telah
memicu perdebatan panjang dan sengit di Amerika tentang peran dan niat Amerika
di Asia.15
Mengapa Penduduk Kuala Batu Berani menantang AS?Menurut Robert Booth, Penduduk Kuala Batu, Aceh muak dengan pedagang
Amerika yang suka mencurangi takaran timbangan. “Endicott menghabiskan banyak
waktu dengan Po Adam, uleebalang setempat, yang memperingatkannya bahwa
raja-raja lokal tengah marah karena turunnya harga lada dan kapten-kapten kapal
yang kabur dengan tidak membayar penuh.”16
14 Lee Kam Hing, The Sultanate of Aceh: Relations with the British 1760-1824. Oxford University Press, Kuala Lumpur, 1995
15 Farish A. Noor, Op.Cit., h.316 Robert Booth, Death of an Empire: The Rise and Murderous Fall of Salem, America’s Richest City, New York: St.
Martin's Press, h.157
SYAMINAEdisi 1 / Januari 2019
14
Keterangan di atas sesuai dengan informasi dari buku Anthony Reid yang
mengutip dari kapten kapal yang sering hilir mudik di sekitar Kuala Batu untuk
memuat lada, yang menyatakan seringkali terjadi konflik dengan penyedia lada
penduduk lokal karena masalah harga; Dari waktu ke waktu, kapal-kapal Amerika
dirampas oleh orang Aceh, seringkali disebabkan oleh konflik yang muncul akibat
masalah harga ataupun perilaku liar dari kedua belah pihak.17
Menurut versi kedua kapal dagang Amerika Serikat Friendship diserang dan
di sandera oleh penduduk Kuala Batu pada 3 Februari 1813 karena kapal AS tersebut
hendak menyelundupkan lada dari pelabuhan Kuala Batu.18
Namun alasan yang sangat berbeda ada di beberapa sumber Barat lainnya,
menurut sumber tersebut, Kuala Batu adalah kota bajak laut, gerombolan yang
sering merampok kapal-kapal dagang di selat Malaka. Dengan dalih itulah kapal
perang AS Potomac menghancurkan kota Kuala Batu dan membantai hampir semua
penghuninya. Alasan ini aneh dan janggal, karena selat Malaka berada di pantai
Timur pulau Sumatra sedangkan Kuala Batu berada di pantai Barat pulau Sumatra.
Peristiwa Penyerangan Kapal FriendshipFriendship asli dibangun di Salem, Massachusetts oleh galangan kapal Enos
Briggs di Stage Point di Sungai Selatan untuk Aaron Waite dan Jerathmiel Pierce.
Friendship diluncurkan 28 Mei 1797. Beratnya 342 ton dan terdaftar di kantor bea
cukai pada 18 Agustus 1797. Friendship panjangnya 102 kaki dan lebar 27 kaki 7
inci. Kapal ini secara teratur mencatat kecepatan 10 knot dan kecepatan tertinggi
12 knot. Friendship melakukan lima belas perjalanan selama beroperasi dan telah
mengunjungi Batavia, India, Cina, Amerika Selatan, Karibia, Inggris, Jerman,
Mediterania, dan Rusia. Sekitar tahun 1812 kapal ini sudah tidak beroperasi lagi.19
Pada tahun 1815, Jerathmiel Pierce dan Aaron Waite memiliki kapal kedua dengan
nama yang sama dibangun di Portland, Maine. Friendship baru ini memiliki berat
366 ton dan didaftarkan di rumah pabean di Salem pada 6 Januari tahun berikutnya.
Tiga tahun kemudian Kapal dijual ke George Nichols, Ichabod Nichols, Benjamin
Pierce, Henry Pierce dan Charles Saunders. Pada tahun 1827 kapal tersebut dibeli
oleh Dudley L. Pickman, Nathaniel Silsbee, William Zachariah Silsbee dan Richard F.
Stone yang mengoperasikan kapal untuk perdagangan lada.20
17 Anthony Reid, Sumatera Tempo Doeloe, h.28418 Zakaria Ahmad (ed)., Negeri dan Rakyat Aceh Barat Daya Dalam Lintas Sejarah, Menuju Daerah Otonom,
Blangpidie: Pemkab ABDYA, 2009, h.1719 Nichols, George. Nichols, Martha, ed. Salem Shipmaster and Merchant: The Autobiography of George Nichols,
The Four Seas Company, Boston, Massachusetts, 1921. h. 62. Frayler, John. "Partners for Eternity," Pickled Fish and Salted Provisions, Historical Musings from Salem Maritime NHS, Volume I, No. 7, Sept. 1999, National Park Service, Salem Maritime National Historic Site. (https://www.nps.gov/sama/learn/historyculture/upload/Vol1no7Partners.pdf Putnam, George Granville (1922). Salem Vessels and Their Voyages. The Essex Institute. Frayler, John, Friendship: The World of a Salem East Indiaman, 1797-1813, Fort Washington: Eastern National,1998,h.3-4 Hurd, Duane Hamilton. History of Essex County, Massachusetts, vol. 1, J. W. Lewis & Co., Philadelphia, Pennsylvania, 1888. h. 69, 72. https://en.wikipedia.org/wiki/Friendship_of_Salem#Namesake
20 Hitching Essex Institute Historical Collection Vol. 40 Salem: Essex
SYAMINA Edisi 1 / Januari 2019
15
Pada bulan Februari 1831, kapal dagang Amerika, Friendship, telah mendarat
dekat Kuala Batu dengan maksud untuk membeli muatan merica (lada). Pada
tanggal 7 Februari, kapten Friendship Charles Endicott dan sekelompok kecil pelaut
mendarat di Kuala Batu untuk bernegosiasi dan membeli lada dalam jumlah besar.
Sementara kapten dan anak buahnya berada di pantai, sekelompok kecil pria dari
Kuala Batu naik ke Friendship dan menyerang awaknya, membunuh perwira, dua
awak dan menyandera kapal.
Kapten Endicott dan anak buahnya kemudian mencari bantuan dari beberapa
orang Melayu setempat, termasuk seorang pemimpin lokal yang bernama Pak Adam,
yang membantu mereka melakukan kontak dengan kapal-kapal Barat lainnya di
sekitarnya, dan akhirnya mendapatkan kembali Friendship yang telah kosong tanpa
muatan.21
Kapten Endicott kembali ke Salem 16 Juli 1831. Tiga hari setelah Friendship
tiba di Salem, pemiliknya menulis surat kepada Presiden Andrew Jackson dan
menuntut agar dia mengambil tindakan terhadap para perompak Melayu di Kuala
Batu.22
Kehebohan di AmerikaDengan misinya yang gagal, Friendship kemudian berlayar kembali ke Salem,
Massachusetts, di mana akhirnya berita tentang serangan terhadap kapal dagang itu
menghebohkan. Serangan pada Friendship ini menggerakkan rantai peristiwa yang
21 Farish A. Noor, Op.Cit., h.422 Phillips, James Duncan, Pepper and Pirates: Adventures in the Sumatra Pepper Trade. Boston:Houghton
Mifflin Co., 1949, h.88-99
SYAMINAEdisi 1 / Januari 2019
16
pada akhirnya akan melibatkan kapten dan awak USS Potomac, Presiden Amerika
Serikat, Angkatan Laut Amerika dan pihak Kongres.
Ketika berita tentang serangan terhadap Friendship mencapai Amerika, kabar
itu disambut dengan kemarahan: media Amerika menyoroti informasi bahwa kapal
dagang Amerika yang tidak bersenjata telah diserang, krunya terbunuh, dan kapal
disandera oleh orang Sumatra. Friendship milik perusahaan Silsbee, Pickman dan
Stone, dan di sini pertimbangan politik dan ekonomi domestik lainnya ikut bermain.
Nathaniel Silsbee adalah salah satu pemilik Friendship dan dia juga seorang senator
dari Partai Republik.
Robert Stone dan Andrew Dunlop yang juga pemilik kapal dagang itu
bersahabat dengan Presiden Andrew Jackson, tetapi ketika kapal mereka disandera
oleh orang-orang Sumatra, mereka mengambil sikap yang mirip dengan Senator
Silsbee, dan bersikeras bahwa Pemerintah Amerika harus melakukan sesuatu untuk
melindungi kapal-kapal Amerika di luar negeri. Masalah ini ditanggapi dengan penuh
semangat oleh Partai Republik, sedang Demokrat di Kongres bersikap defensif, dan
tanggapan segera dianggap perlu.23
Perintah Serangan dari Presiden Andrew Jackson Opini yang berkembang AS menjadi semakin tidak bersahabat sampai
pemerintah dipaksa untuk bertindak: Presiden Andrew Jackson, presiden AS yang ke-
7, yang reputasinya meningkat setelah perang dengan Inggris 1812, memerintahkan
Komodor John Downes, yang saat itu adalah kapten American Frigate Potomac,
yang berlayar di lepas pantai Brasil. Potomac diperintahkan oleh Presiden Jackson
untuk pergi ke Kuala Batu, menilai situasi dan mengambil tindakan yang dianggap
perlu untuk memastikan keselamatan kapal-kapal dagang Amerika yang berlayar di
perairan Hindia Timur di masa depan.24
Ellis menjelaskan perintah penyerangan oleh Andrew Jackson pada John
Downes sebagai berikut: “Pada tahun 1832 Andrew Jackson adalah Presiden Amerika
Serikat dan Levi Woodbury adalah Sekretaris Angkatan Laut. Butuh beberapa bulan
untuk membawa kabar serangan (serangan terhadap kapal dagang Friendship)
kepada pemerintah, tetapi kemudian berita itu akhirnya tiba, dan 'sesuatu telah
dilakukan'. Pada tanggal 9 Agustus, Komodor John Downes, dari Frigate Potomac
Amerika Serikat, diperintahkan untuk segera berlayar ke Sumatra, melalui Tanjung
Harapan ...
Setelah tiba di Kuala Batu, ia diminta untuk mengambil langkah-langkah
sesuai dengan informasi paling lengkap dan paling akurat yang ia terima, bukan
dengan emosi tetapi sesuai kepentingan pemerintah. Tersirat bahwa Commodore
Downes harus menggunakan kehati-hatian, kebijaksanaan, dan kelembutan terbaik
untuk mencegah ketidakadilan atau kesalahan apa pun. Dari pihak berwenang yang
tepat dia menuntut pengembalian harta curian atau ganti rugi darinya, dan hukuman
yang cepat bagi pembunuh para awak Friendship.
23 Farish A. Noor, Op.Cit., h.524 Farish A. Noor, Op.Cit., h.5
SYAMINA Edisi 1 / Januari 2019
17
Jika tuntutan ditolak, Commodore Downes diperintahkan untuk melakukan
tindakan terbaik untuk menangkap para pembunuh dan mengirim mereka ke
Washington untuk diadili sebagai perompak, mengambil kembali barang milik kapal
Friendship. Dan menghancurkan kapal apa pun yang terlibat dalam pembajakan,
dan benteng dan tempat tinggal di dekat lokasi pembajakan.”25
Presiden Andrew Jackson adalah presiden AS yang ke-7 yang kontroversial
dengan keputusannya untuk menghapuskan suku asli Amerika, dengan menanda
tangani undang-undang penghapusan Indian pada tahun 1830. Pada 26 Mei 1830,
Kongres meloloskan Indian Removal Act, yang ditandatangani presiden Jackson
menjadi undang-undang dua hari kemudian.
Kini seorang presiden AS dikabarkan meneladani presiden Amerika ke-7
tersebut. Ketika seorang presiden meletakkan potret seorang pendahulunya di
dinding samping mejanya, itu menandakan kepada publik dan dunia bahwa ia
dijadikan sebagai panutan baginya. Segera setelah pelantikannya, Donald Trump
memilih Andrew Jackson, presiden ketujuh Amerika, sebagai panutannya.
Dua kasus Jackson yang paling terkenal dalam menggunakan angkatan laut
untuk menanggapi serangan terhadap orang AS adalah ekspedisi ke Sumatra dan
Kepulauan Falkland. Jackson pertama kali mengetahui tentang serangan terhadap
kapal dagang Friendship di Kuala Batu, Sumatra melalui surat kabar. Pengusaha di
Salem, Massachusetts, memohon kepadanya agar dilakukan pembalasan.
Sumatra adalah pusat perdagangan lada, yang telah menciptakan miliuner
pertama di kota itu. Jackson memerintahkan USS Potomac untuk pergi ke Sumatra
untuk balas dendam dan hanya menggunakan kekerasan jika upaya lain gagal. Kapten
John Downes dikritik karena melampaui perintahnya setelah Potomac menyerang
Kuala Batu (dan menurut beberapa laporan, telah melakukan kejahatan dengan
membunuh hampir semua penduduk Kuala Batu termasuk penduduk sipil, wanita
dan anak-anak), tetapi Jackson tidak menyesali perintahnya untuk menyerang Kuala
Batu di Sumatra dan justru memuji operasi itu. Dalam pidato tahunannya di Kongres
ia menyatakan bahwa kekejaman itu telah ditanggapi dengan tanggapan yang tepat
untuk mencegah bajak laut melakukan hal yang sama.26
Sikap presiden Jackson tersebut sebenarnya tidak mengejutkan bila
mencermati perjalan hidupnya yang ditulis oleh beberapa penulis. Perjalanan hidup
Jackson dihiasi dengan intrik, skandal dan penuh dengan kekerasan. Pada masa
pemerintahannya, antara 1829 sampai 1837, anggaran angkatan laut Amerika Serikat
meningkat 270 persen.27
Invasi Angkatan Laut AS Membantai Penduduk Kuala BatuUSS Potomac adalah kapal perang Angkatan Laut Amerika Serikat yang mulai
dibuat pada bulan Agustus 1819 dan diluncurkan pada bulan Maret 1822. Kapal ini
25 Edward S. Ellis, The History of Our Country, JH Woolling and Company, Indianapolis, 1898. Vol. 3, hal. 750.26 https://warontherocks.com/2017/09/the-trump-administration-has-a-model-in-andrew-jacksons-navy/27 ibid
SYAMINAEdisi 1 / Januari 2019
18
masuk kategori first class frigate, kapal perang terbaik di AS masa itu, bersenjatakan
32 meriam di geladak spar-nya (geladak atasnya), dan 30 senapan panjang di dek
senapannya.28 Panjang kapal 177,83 kaki (54,2 m), dan lebarnya 46,17 kaki (14,07 m).
USS Potomac 182229
Potomac mengubah arah dan berlayar ke arah timur, meninggalkan garis
pantai Brasil menuju Tanjung Harapan, Afrika Selatan, setelah itu menyeberangi
Samudera Hindia dan menuju Selat Malaka. Pada awal Februari 1832 (satu tahun
setelah serangan terhadap Friendship), sampai di Aceh, dan kemudian ke Kuala
Batu, dan rencana dibuat untuk serangan.
Rute pelayaran Kapal Perang USS Potomac30
28 Blane, William N., An excursion through the United States and Canada: during the years 1822 - 23, h.334-33529 Karen Goodrich-Hendrick and John D. Hendrick, Cruise of United State Frigate Potomac, Winter 1972, h.3330 Karen Goodrich-Hendrick and John D. Hendrick, Cruise of United State Frigate Potomac, Winter 1972, h.28
SYAMINA Edisi 1 / Januari 2019
19
Serangan terhadap Kuala Batu dilakukan secara bertahap, dan menggunakan
kombinasi tipu daya dan strategi. Commodore Downes menyamarkan kapalnya
sebagai kapal dagang Belanda, meriamnya disembunyikan di belakang geladak.
Beberapa kisah, termasuk oleh Ellis, mengemukakan bahwa Potomac disamarkan
sebagai kapal dagang Denmark.31
Sore tanggal 6 Downes dan banyak petugas pergi ke darat untuk mengintai
wilayah itu. Downes memutuskan untuk menyerang, meskipun ada banyak penduduk
asli yang tampaknya bersenjata lengkap.32 Potomac menangkap sejumlah penduduk
setempat dan menanyai mereka tentang pertahanan di kota kecil itu. Diputuskan
bahwa serangan akan dilakukan saat fajar, menggunakan kombinasi pasukan darat
dan juga pemboman dari laut.
Secara keseluruhan, total kekuatan Amerika ada 282 marinir dan pelaut
mendarat di tepi pantai, disertai dengan beberapa senjata ringan. Serangan itu
dimulai saat fajar, pasukan darat menyerang benteng Kuala Batu yang paling dekat
dengan pantai, yang menyebabkan Tewasnya sekitar 150 orang Sumatra dalam
pertempuran itu.
Lukisan ilustrasi saat Angkatan laut AS membombardir Kuala Batu33
Orang-orang Sumatra yang kewalahan oleh senjata-senjata Amerika kemudian
mundur ke benteng kelima yang lebih jauh masuk ke daratan, sementara orang-
orang Amerika kemudian menyerang kota Kuala Batu, membakar rumah-rumah
dan kapal-kapal. 300 orang Sumatra dibunuh lagi atau terluka dalam serangan itu,
dan pada tengah hari penyelesaian perang telah diserahkan kepada Amerika.34 Para
31 Ellis, 1898. h.750 32 George B. Clark, Battle History of the United States Marine Corps, 1775–1945, McFarland & Company, Inc.,
Publishers, Jefferson, North Carolina 2010, h.4733 Karen Goodrich-Hendrick and John D. Hendrick, Cruise of United State Frigate Potomac, Winter 1972, h.3134 Laporan tentang insiden Kuala Batu tidak jelas jumlah orang Sumatra yang terbunuh atau terluka dalam
pertempuran. Beberapa laporan menyebutkan angka 'seratus atau lebih' orang Sumatra yang terbunuh, sementara yang lain mengatakan 'banyak korban'. Keterangan dalam karya J. Reynolds, dalam bukunya tentang Ekspedisi Sumatra Pertama dianggap paling akurat, karena ia sendiri berada di atas Potomac mengikuti sebagian besar pelayaran.
SYAMINAEdisi 1 / Januari 2019
20
Pemimpin Kuala Batu, telah melarikan diri dari tempat pertempuran; sisa penduduk
dipaksa untuk menghentikan perlawanan mereka dan Amerika menghancurkan apa
pun yang tersisa dari struktur pertahanan pemukiman.35
Tak lama setelah tengah malam, Downes bergerak lebih dekat ke pantai
dan, pada 8 Februari melepaskan tembakan meriam ke kota. Pengebomannya
berlangsung sekitar satu jam, setelah itu para pejuang mengangkat bendera putih.
Downes memutuskan untuk menunggu siang hari sebelum bergerak.
Pagi itu beberapa petugas yang dilindungi oleh beberapa marinir datang ke
kota, kembali naik pada sore hari. Malamnya, sebuah perahu penduduk asli menuju
ke kapal perang AS. Di dalamnya ada delegasi kepala suku penduduk pribumi yang
dengan rendah hati menyatakan "penyesalan terbesar atas kesalahan mereka." Dan
menambahkan "tolong jangan ada lagi meriam yang ditembakkan."36
Ada sedikit rincian berbeda menurut keterangan dari sumber angkatan
laut Amerika: Pada pukul dua pagi, setelah semalam sibuk dengan persiapan,
280 pelaut dan Marinir memasuki kapal dan bergerak dalam serangan itu. Segera
setelah mendarat, kru Potomac dibagi menjadi beberapa kelompok, masing-masing
ditugaskan ke salah satu dari empat benteng yang menjaga kota.
Ketika garis-garis cahaya siang hari pertama muncul, pasukan Marinir yang
dipimpin oleh Letnan Alvin Edson dan George Terrett, bergerak maju. Tidak jauh
dari kota, setiap divisi maju untuk menyerang bentengnya masing-masing; Marinir
menuju Tuko de Lima, terletak di hutan di belakang kota.
Dalam beberapa menit benteng diambil, dan orang-orang Melayu dipaksa
untuk mundur ke hutan. Benteng-benteng dihancurkan, kota terbakar, orang-orang
Melayu lari ke hutan, dan ombak naik dengan cepat, para pelaut dan marinir dipanggil
kembali ke kapal. Di bawah perlindungan sekelompok kecil Marinir, perahu-perahu
lepas landas dari pantai dan menuju Potomac.
Seluruh kelompok penyerbu berada di kapal perang sebanyak 1000 orang.
Kemudian pada hari itu, semua berkumpul di dek untuk menyaksikan penguburan
tiga teman mereka, satu pelaut dan dua marinir, terbunuh dalam serangan itu. Pagi
berikutnya, Potomac bergerak dalam jarak satu mil dari Quallah Battoo, meluncurkan
senapan panjang 32 pon dan membombardir kota, sebelum mengangkat layar penuh
dan menuju ke laut.37
35 Farish A. Noor, Op.Cit., h.536 George B. Clark, Battle History of the United States Marine Corps, 1775–1945, Mc Farland & Company, Inc.,
Publishers, Jefferson, North Carolina 2010, h.4737 Colonel Charles H. Waterhouse, Marines in the Frigate Navy, h.53
SYAMINA Edisi 1 / Januari 2019
21
Kerugian Amerika sangat kecil, hanya dua tentara tewas dan sekitar setengah
lusin terluka, tidak ada yang kritis. Commodore Downes dan rekan-rekan perwiranya
menyimpulkan bahwa tujuan operasi mereka telah tercapai. Setelah beberapa hari
berlabuh di Kuala Batu mereka melanjutkan perjalanan mereka ke arah timur sampai
mereka akhirnya mengelilingi dunia dan kembali ke Amerika.
Perjalanan USS Potomac ke Amerika Serikat akan memakan waktu beberapa
bulan, namun berita tentang serangan terhadap Kuala Batu mencapai Amerika lebih
cepat.
Antara Pahlawan dan 'Pembunuh Bengis’Terlepas dari keberhasilan serangan Potomac terhadap Kuala Batu, berita
tentang serangan terhadap pemukiman Sumatra membawa perubahan yang
menarik dan mengejutkan dalam opini publik di masyarakat Amerika. Menyusul
penerbitan berita tentang serangan tersebut di pers Amerika, beberapa surat kabar
dan kolumnis Amerika mulai mengajukan pertanyaan tentang perilaku kapten dan
kru Potomac, dan mempertanyakan karakter tentara Amerika.
Di antara pertanyaan kunci yang diajukan saat itu adalah:
• Mengapa Commodore Downes tidak bernegosiasi dengan kepala suku Kuala
Batu terlebih dahulu, dan menyepakati cara-cara damai untuk mencari solusi
atas penyerangan kapal dagang Frienship? Tidak ada satu pun laporan surat kabar
yang menyebutkan upaya Commodore Downes untuk mengadakan negosiasi
dengan orang Sumatra, atau bahkan mencoba memastikan apa yang sebenarnya
terjadi pada awak Frienship yang diserang tahun sebelumnya. Laporan Observer
memberi kesan bahwa kapten telah memutuskan untuk menyerang penyelesaian
segera setelah kesempatan untuk melakukannya disajikan dengan sendirinya.
• Mengapa serangan itu dilakukan pada malam hari (jam 2 dinihari), ketika
diasumsikan bahwa orang-orang Kuala Batu tertidur, dan dengan demikian
SYAMINAEdisi 1 / Januari 2019
22
tidak menyadari dan tidak siap untuk menghadapi serangan yang datang?
(Laporan Observer pada 7 Juli, misalnya, menyatakan bahwa persiapan untuk
serangan dimulai pada malam hari, meskipun pendaratan terjadi pada waktu
subuh.) Fakta bahwa Potomac telah disamarkan sebagai kapal dagang asing dan
persiapan serangan itu dilakukan pada malam hari hanya menambah spekulasi
di antara para kritikus bahwa serangan di Kuala Batu licik dan tidak menunjukkan
keberanian, dan dipandang oleh beberapa orang sebagai pengecut.
• Mengapa perempuan dan anak-anak terbunuh, dan bagaimana mungkin
pembunuhan perempuan bisa dibenarkan bahkan dalam kasus pembalasan
terhadap pembajakan? Laporan Pengamat mencatat bahwa perintah itu
diberikan untuk tidak melukai wanita atau anak-anak, tetapi kemudian dalam
laporan yang sama dicatat bahwa beberapa wanita terbunuh dalam pertempuran;
dan laporan itu memberikan laporan yang jelas tentang hal tersebut. Laporan
itu hanya mencatat bahwa dalam situasi "kabut perang" tidak mungkin
untuk membedakan antara pejuang pria atau wanita: "tidak mungkin untuk
membedakan jenis kelamin, mereka berpakaian sangat mirip.”38 Berdasarkan
gambar yang diterbitkan dalam buku tulisan Ellis terlihat bahwa pakaian pria
dan wanita Kuala Batu tidak mirip, bahkan sangat berbeda.
Lukisan Seorang wanita Aceh menahan bayonet tentara Amerika yang akan
menusuk seorang lelaki Aceh39
38 War with the Malays of Sumatra.” The New-York Observer, July 7, 1832 39 Dilukis oleh J. Carter Beard dengan judul Quallah Battoo, dalam Edward S. Ellis, The History of Our Country the
United States, J. H. Woolling and Company, Indianapolis, 1898. Vol. 3, h.751.
SYAMINA Edisi 1 / Januari 2019
23
Ketika perdebatan tentang perilaku para kru Potomac mulai berkobar, kapal
tersebut masih mengelilingi dunia dan mencari jalan kembali ke pantai Amerika.
Namun, berita sensasional serangan terhadap Kuala Batu sudah mulai mendominasi
halaman surat kabar mulai dari San Francisco, Boston sampai Washington. Beberapa
surat kabar dan kolumnis telah mengambil sikap yang jelas mengkritik masalah ini,
menyatakan bahwa serangan terhadap Kuala Batu tidak berdasar dan pengecut.
Mereka juga menyayangkan penggunaan kekuatan berlebihan terhadap para
pejuang yang tidak siap untuk membela diri. Masalah yang semakin menambah kritik
adalah skala kekerasan dan jumlah korban, dengan lebih dari seratus lima puluh
orang Sumatra dilaporkan tewas atau terluka, sementara korban Amerika hanya dua
yang tewas.
Beredar juga kabar tentang para pelaut dan tentara Amerika yang terlibat
dalam pembantaian, pemerkosaan, dan penjarahan atas persetujuan komandan
mereka. Beberapa kolumnis berpendapat bahwa seluruh kekacauan dapat dihindari
jika kapten Potomac mau berunding dengan orang Sumatra sebelum bertindak.
Seorang kolumnis surat kabar Boston berargumen bahwa "dengan awak pelayaran,
dan beberapa marinir, ia dapat mengelilingi kota, dan mengajukan tuntutan, tanpa
penumpahan setetes darahpun".40
Jadi pada pertengahan 1832, insiden Kuala Batu telah dicerna dan disajikan
kembali oleh hampir semua pers Amerika. Surat kabar mengambil posisi yang
berseberangan tentang masalah tersebut. Alih-alih disanjung dan dipuji sebagai
pahlawan dan pembela kepentingan nasional, di beberapa tulisan Commodore
Downes dan prajuritnya justru disebut sebagai "pembual yang sia-sia, penjarah,
dan pembunuh biadab terhadap perempuan dan anak-anak."
Surat Kabar Intelligencer mempertanyakan rasa kemanusiaan Commodore
Downes ketika berita tentang insiden Kuala Batu mencapai Amerika: Downes
dituduh memerintahkan penghancuran secara tidak sah atas seluruh pemukiman
Kuala Batu, karena memilih untuk tidak bernegosiasi dengan para penduduk lokal,
dan memerintahkan pembantaian wanita dan anak-anak yang tidak bersenjata.41
Meskipun beberapa penulis bersikeras bahwa tidak ada wanita yang terbunuh
dalam pertempuran, klaimnya dibantah oleh kesaksian orang lain yang mencatat
bahwa wanita memang dibunuh. Laporan The New York Observer pada 7 Juli 1832,
misalnya, mencatat bahwa: “Ada beberapa wanita yang terbunuh yang memiliki
kemungkinan untuk mengangkat senjata ketika mereka melihat suaminya dibunuh
di depannya."42
Potomac sampai di pelabuhan Boston, Amerika serikat pada 8 April 1834.
Perjalanan Potomac akhirnya berakhir di pangkalan Angkatan Laut Charlestown
pada hari berikutnya, 9 April 1834. Kisah lengkap Perjalanan Potomac kemudian
ditulis dalam dua buah buku tentang Pelayaran Potomac mengelilingi dunia dan
serangan ke pemukiman Sumatra yang terbit pada tahun 1835. Buku pertama ditulis
40 Quot di: The National Intelligencer, Washington, 17 Juli 1833. 41 Farish A. Noor, Op.Cit., h.1042 The New-York Observer, New York, July 7, 1832, h. 3.
SYAMINAEdisi 1 / Januari 2019
24
oleh Jeremiah Reynolds dengan judul Voyage of the United States Frigate Potomac 43 dan yang kedua ditulis oleh Francis Warriner berjudul Cruise of the United States
Frigate Potomac.44
Kisah Reynolds dan Warriner tentang perjalanan Potomac diceritakan dari
sudut pandang orang-orang yang berada di atas kapal AS, Potomac ketika mengelilingi
dunia, dan yang telah menyaksikan langsung kejadian di Kuala Batu. Reynolds
naik ke kapal Potomac ketika kapal itu berada di Pasifik Selatan, ditambatkan di
Valparaiso, Chili. Ia menjabat sebagai sekretaris pribadi Commodore Downes selama
perjalanan. Kedua buku karya Reynolds dan Warriner itu sangat mirip, karena kedua
pria itu, melaporkan peristiwa di atas kapal yang sama. Reynolds menyelesaikan
manuskripnya pada bulan April 1835 dan Warriner pada bulan Mei.
Tujuan dari buku Reynolds seperti yang ia nyatakan adalah untuk
menyelamatkan reputasi Commodore Downes, kru Potomac dan reputasi angkatan
laut Amerika. Untuk tujuan ini, Reynolds mengumpulkan semua sumber data,
dan sumber informasi dan bukti yang ditemukan dalam karyanya adalah asli,
rekomendasi, arahan dan surat yang telah disampaikan antara Downes dan komando
tinggi angkatan laut AS, selama dan setelah Ekspedisi Sumatra Pertama. Dalam
karya Reynolds, dokumen-dokumen ini dipublikasikan untuk pertama kalinya, dan
ditampilkan dalam isi buku serta lampiran panjang di akhir buku.45
Surat-surat Downes yang direproduksi dalam karya Reynolds, sebuah
gambaran pembelaan atas aksi brutal tersebut dari seorang komandan yang terbelah
antara dua tujuan: di satu sisi untuk menuntut pembalasan atas tindakan pembajakan
43 Jeremiah N. Reynolds, Voyage of the United States Frigate Potomac, Under the command of Commodore John Downes, during the circumnavigation of the globe, in the years 1831, 1832, 1833, and 1844; Including a particular account of the engagement at Quallah-Battoo, on the coast of Sumatra; with all the official documents relating to the same. Harpers and bros, New York, 1835.
44 Francis Warriner, Cruise of the United States Frigate Potomac Around the World, during the years 1831-1834, Embracing the Attack on Quallah Battoo, including Scenes, Manners, etc. Leavitt, Lord and Co. New York, 1835.
45 Farish A. Noor, Op.Cit., h.13-14
SYAMINA Edisi 1 / Januari 2019
25
terhadap kapal dagang AS, dan pada sisi lain untuk melanjutkan dengan hati-hati dan
untuk menciptakan kesan yang baik pada penduduk Sumatra. Pembenaran Downes
sendiri atas serangan dan pembunuhan masal itu didasarkan pada logika kebutuhan
militer, seperti yang disebutkan di atas: Dia merasa bahwa dia perlu memutus
semua rute pelarian yang mungkin bagi para pejuang Aceh, untuk menghancurkan
kemampuan ofensif musuh dan untuk menetralisir ancaman pembajakan sambil
melindungi anak buahnya sendiri.
Yang menarik dan penting untuk dicatat, adalah Reynolds tidak menyangkal
bahwa wanita terbunuh dalam pertempuran; dia tidak membesar-besarkan jumlah
korban Amerika; dia tidak menyembunyikan fakta bahwa kota dan pemukiman
Kuala Batu dihancurkan setelah benteng utama di tepi pantai hancur. Menyangkut
ekspedisi ke Sumatra, Potomac melakukan misi militer untuk membalas dendam
atas tindakan pembajakan, dan tentu saja bukan misi niat baik dalam bentuk apa pun
- dan untuk tujuan ini, setelah orang Sumatra menyerah kepada pasukan Amerika,
Reynolds mencatat bahwa persediaan mesiu mereka diledakkan, meriam mereka
dibuang ke laut, dan benteng mereka dibongkar, pemukiman (bersama dengan
kapal-kapal Sumatra) dibakar dan dihancurkan.46
Pada awal abad ke-19 intervensi Barat di luar negeri bukan hal baru, dan
Ekspedisi Sumatra Pertama bukan satu-satunya kasus. Contoh-contoh lain muncul,
seperti reaksi keras di London terhadap invasi Inggris ke Jawa pada tahun 1811, setelah
Belanda menyerah ke Perancis dalam perang Napoleon di Eropa. Meskipun invasi
Inggris ke Jawa dan seluruh Hindia Belanda dipandang sebagai kasus pengamanan
perbatasan kepemilikan Inggris di Timur Jauh, ada juga kritikus radikal di Inggris
yang menganggapnya sebagai bukti ambisi Inggris untuk menjadi kekaisaran.
Ekspedisi Sumatera Pertama menandai titik balik penting dalam hubungan
maritim Amerika dengan Asia Tenggara. Karena peristiwa itu menandakan bahwa
Amerika tidak hanya datang untuk berdagang secara pasif, tetapi juga menggunakan
kekerasan untuk melindungi kepentingan komersialnya.47
Serangan Kedua Angkatan Laut Amerika Kontroversi yang muncul setelah Ekspedisi Sumatera Pertama segera hilang
dan digantikan dengan kontroversi lain, yaitu Ekspedisi Sumatera Kedua yang terjadi
pada tahun 1838.
Ekspedisi Sumatra Pertama tahun 1832 tidak menjadi yang terakhir. Ada lagi
serangan terhadap Kuala Batu, dan kontroversi meletus begitu berita pembalasan
sampai di Amerika Serikat. Serangan terhadap kapal dagang Amerika lainnya terjadi
lagi enam tahun kemudian. Pada tahun 1838, kapal dagang Amerika Eclipse berlabuh
dan diserang oleh orang Sumatra di dekat Kuala Batu. Saat berita tentang serangan
terhadap Eclipse mencapai Amerika Serikat, kapal-kapal perang Columbia dan John
Adams, dengan kekuatan gabungan lebih dari 700 (tujuh ratus) tentara dan pelaut di
bawah komando Commodore George C. Read, diberangkatkan dari pantai Sri Lanka
46 Farish A. Noor, Op.Cit., h.1647 Farish A. Noor, Op.Cit., h.17
SYAMINAEdisi 1 / Januari 2019
26
dengan misi akan melakukan serangan hukuman. Kuala Batu dan pemukiman Mukie
diserang oleh pasukan darat serta dibombardir dari laut.
Kontroversi muncul lagi tentang penggunaan kekuatan yang berlebihan,
dan lagi-lagi masalah itu hanya dijawab dengan buku yang ditulis dan diterbitkan
oleh Fitch W. Taylor (1840).48 Fitch Taylor adalah pendeta di skuadron yang berada
di bawah komando Commodore Read, dan karyanya mencakup seluruh pelayaran
Read di seluruh dunia dan mencakup serangan hukuman terhadap orang Melayu di
Sumatra.
Setelah Ekspedisi Sumatra Kedua, kapal-kapal dagang Amerika yang berlayar
di Asia Tenggara aman dari serangan lebih lanjut. Namun opini publik Amerika
terbelah atas intervensi militer Angkatan Laut Amerika di luar negeri.
Insiden Kuala Batu (dan kemudian serangan terhadap pemukiman pesisir
Mukie selama Ekspedisi Sumatra Kedua tahun 1838) terjadi pada saat Amerika Serikat
masih merasa tidak nyaman dengan gagasan bermain agresif dan intervensionis
dalam urusan negara-negara non-Barat lainnya. Meskipun ada yang mengkritik,
banyak orang di Amerika Serikat kemudian percaya bahwa serangan terhadap Kuala
Batu bisa dibenarkan sebagai tindakan pembalasan atas serangan sebelumnya
terhadap kapal dagang Friendship; meskipun ini tidak mengarah pada ide untuk
intervensi langsung dan berlanjut dalam urusan Sumatra, dan tidak disertai dengan
ide untuk kolonisasi Sumatera. Perlu tujuh dekade lagi bagi publik Amerika untuk
beralih ke ide yang lebih ekspansionis, ketika Amerika Serikat berusaha memainkan
peran yang menentukan dalam perangnya melawan Spanyol dan penjajahannya
atas Filipina pada (1898-1946).49
Kebijakan Amerika Serikat secara keseluruhan terhadap negeri-negeri dunia
ketiga, non-intervensi. Penting juga untuk diingat bahwa persepsi populer tentang
negara Amerika oleh orang Amerika pada waktu itu adalah bahwa Amerika adalah
negara yang tidak agresif yang tidak memiliki agenda ekspansionis besar, tidak
seperti negara-negara "Eropa kuno" seperti Inggris, Prancis, Belanda, dan Spanyol
yang dilihat sebagai kekuatan imperialis (penjajah).
Hanya setelah Perang sipil Amerika, dan pada periode pasca-rekonstruksi,
Amerika Serikat mencari tempat dan peran yang lebih menonjol dalam urusan
internasional. AS kemudian terlibat perang melawan Meksiko dan Spanyol, dan
akhirnya penjajahan Filipina. Karenanya, artikel dan buku yang ditulis antara tahun
1831-1834 memberi kita pandangan menarik tentang pola pikir orang Amerika pada
saat kekuatan kekaisaran Amerika masih belum aktif.
Meskipun beberapa penulis di media Amerika mendukung tindakan Potomac
di Kuala Batu, banyak orang Amerika biasa kaget dan tersinggung oleh kenyataan
bahwa wanita dan anak-anak terbunuh dalam pertempuran, dan korban sipil yang
begitu tinggi. Terbunuhnya wanita merupakan sesuatu yang mengejutkan bagi
48 Taylor, Fitch W. The Flag Ship, or, A Voyage Around the World in the United States Frigate Columbia; attended by her Sloop of War John Adams, and bearing the broad pennant of Commodore George C Read. D Appleton and Co, Broadway, New York: 1840.
49 Farish A. Noor, Op.Cit., h.18
SYAMINA Edisi 1 / Januari 2019
27
banyak pembaca Amerika yang menganggap tindakan membunuh perempuan
sebagai tindakan tidak jantan dan pengecut, dan ini merusak reputasi kru Potomac.
Walaupun ada opini publik Amerika yang memprotes perempuan dan anak-
anak Sumatra yang terbunuh di Kuala Batu, pada kenyataannya banyak perempuan
dan anak-anak juga menjadi korban dalam pertempuran melawan orang asli Amerika
(Indian). Koran-koran periode (1831-1834) penuh dengan laporan ekspansi Amerika
ke tanah penduduk asli Amerika, dan banyak kampanye militer yang mendesak
penduduk asli Amerika agar pindah ke wilayah Barat Amerika. Presiden Jackson,
telah memerintahkan akuisisi wilayah-wilayah baru ini, dan dengan demikian
memperluas perbatasan Amerika Serikat. Mereka membuka wilayah baru yang luas
untuk pemukiman dan pengembangan ekonomi.
Perdebatan tentang perilaku kapten dan kru Potomac terus berlangsung
beberapa tahun setelah insiden itu terjadi. Perdebatan itu baru bisa dihentikan
ketika diumumkan kepada publik penerbitan sebuah buku tentang insiden itu. Buku
tersebut ditulis oleh Reynolds dengan judul Voyage of the Frigate Potomac pada
tahun 1835. Buku itu hadir pada saat tidak ada pengadilan atau investigasi pasca-
perang, peran penulis-pelaut seperti Reynolds amat penting karena tulisannya
dianggap paling komprehensif dan berwibawa. Tapi itu juga menunjukkan kekuatan
opini publik, bagaimana insiden serangan terhadap Kuala Batu, ribuan mil jauhnya
dari Washington, dapat mengangkat atau menghancurkan karier para politisi dan
pejabat Amerika saat itu.
Namun kenyataannya banyak aktor utama di balik insiden ini tidak rusak
kariernya: Senator Silsbee, Robert Stone, Andrew Dunlop dan para manajer Silsbee.
Pickman dan Stone merasa diri mereka benar terlibat dalam ekspedisi hukuman untuk
mengamankan perairan Sumatera bagi perdagangan Amerika. Presiden Andrew
Jackson juga memenangkan pemilihan presiden pada tahun 1832 dan melanjutkan
program untuk memindahkan penduduk asli Amerika ke tanah reservasi khusus,
sehingga menambah seratus juta hektar tanah wilayah Amerika Serikat, dan selamat
dari dua serangan terhadap dirinya sendiri (pada tahun 1833 dan 1835).
Commodore John Downes tidak seberuntung Presiden Jackson, dan setelah
kembali ke Amerika Serikat dia terjebak dalam pusaran tuduhan selama bertahun-
tahun. Pendukung terkuatnya saat itu adalah Presiden Jackson sendiri. Downes
pensiun sebagai Komandan Charlestown Naval Yard, dan tiga kapal Amerika dinamai
dengan namanya; tetapi dia tidak pernah diberi perintah lain di laut setelah ekspedisi
ke Kuala Batu.
Kuala Batu sendiri setelah peristiwa itu terkenal sebagai sarang perompak dan
perampok di kalangan pedagang Barat. Serangan terhadap Friendship mendorong
angkatan laut Belanda untuk mengambil tindakan dan campur tangan di Pulau
Sumatra bagian Utara (Aceh). Hal ini ditandai dengan serangan Belanda atas Aceh
pada tahun 1832 (dipimpin oleh Letnan Kolonel Roeps) dan penaklukan Baros oleh
Belanda, yang menggerakkan manuver ekspansionis Belanda di wilayah tersebut
dan puncaknya saat Belanda menyerang kesultanan Aceh pada tahun 1873.50
50 Farish A. Noor, Op.Cit., h.19-20
SYAMINAEdisi 1 / Januari 2019
28
KesimpulanPerdagangan lada di Pantai Barat Aceh dengan pedagang lokal, regional dan
Internasional termasuk Amerika dan negara-negara Eropa mencapai puncaknya
pada tahun 1800 sampai 1830-an. Sebagian besar pembeli lada saat itu adalah para
pedagang Amerika. Kedua belah pihak memperoleh keuntungan dengan kemajuan
perdagangan tersebut. Ekonomi di pantai Barat Sumatra, atau pantai Barat Aceh
khususnya meningkat saat itu, terbukti banyak kapal-kapal asing yang berdagang
berbagai macam barang di pantai-pantai tersebut di kurun itu.
Demikian juga dengan para pedagang Amerika memperoleh keuntungan
yang sangat besar dari perdagangan lada yang diambil dari para petani dan pengepul
di pantai Barat Aceh. Banyak diantaranya menjadi saudagar yang kaya di tempat
asalnya, Amerika karena keuntungan perdagangan tersebut. Karena saat itu Amerika
menjadi pemasok utama lada bagi Eropa.
Dalam menjalankan perdagangan antara kedua kelompok masyarakat yang
sangat berbeda latar belakang dan budayanya sering kali terjadi masalah atau
gesekan. Hal itu disebabkan karena kedua belah pihak kurang saling memahami
dan menghormati budaya (adat), aturan (hukum) yang berlaku di negeri mitra
dagangnya. Demikian juga yang terjadi di Kuala Batu pada tahun 1831-1832 dan
pada tahun 1838. Masyarakat Kulala Batu mungkin saja merasa tersinggung karena
aturan dan adat perdagangan yang berlaku di sana tidak ditaati dan tidak dihormati
oleh para pedagang Amerika.
Menurut beberapa sumber pedagang Amerika telah melakukan kecurangan
dalam timbangan dan tidak membayar sebagian lada yang dumuat dalam kapalnya.
Perbuatan semacam itu menurut adat perdagangan yang berlaku di Aceh tentu suatu
pelanggaran besar. Karena bagi masyarakat Aceh yang memegang teguh ajaran Islam,
mengurangi timbangan adalah dosa besar. Pelanggaran yang sering dilakukan itu
mungkin saja membuat beberapa orang kesal dan marah sehingga menempuh jalan
kekerasan untuk menghukum pelanggaran tersebut, yang berujung penyerangan
dan perampasan Kapal frienship milik pedagang Amerika yang sekaligus seorang
senator.
Namun pemerintah Amerika tidak pernah menginvestigasi atau mengkroscek
laporan penyerangan kapal dagangnya. Apa latar belakang penyerangan tersebut?
Kenapa yang diserang kapal Amerika? Dan siapa sebenarnya pelakunya? Semua itu
tidak pernah dilakukan.
Yang terjadi justru budaya Cowboy, siapa yang mengganggu geng kami, atau
kepentingan kami harus berurusan dengan kami, tidak peduli siapa yang bersalah.
Dalam istilah jawa; Adigang adigung adiguno. Dan itulah yang dilakukan rezim Adrew
Jackson saat itu, langsung mengirim kapal perang Potomac untuk menghukum
(bahkan menghabisi) seluruh penduduk Kuala Batu atas tindakan yang mungkin
hanya dilakukan oleh beberapa orang saja.
Setelah pertahanan kota berhasil dikalahkan oleh angkatan laut Amerika,
mereka belum puas dan melampiaskan dendam dengan pembalasan yang sangat
SYAMINA Edisi 1 / Januari 2019
29
kejam dan tidak manusiawi. Tentara Amerika kemudian menyisir seluruh kota
menghancurkan semua yang ada dan menjarah semua harta benda yang mereka
temukan. Bahkan, menurut beberapa laporan mereka terlibat dalam pemerkosaan
dan pembantaian penduduk sipil, wanita dan anak-anak yang tidak bersalah
dan tidak terlibat dalam pertempuran. Dan kabarnya semua itu atas persetujuan
komandan mereka.
Bukankah lebih bijaksana bila para pelaku yang bertanggung jawab atas
serangan pada kapal dagang Amerika saja yang ditangkap dan dibawa ke pengadilan
untuk mempertanggung jawabkan perbuatannya? Tapi itu juga tidak menjadi pilihan.
Maka wajar bila setelah kabar serangan dan pembantaian sampai di publik Amerika,
kapten dan kru mendapat kritikan yang sangat luas dari berbagai kalangan. Kritikan
dan hujatan itu bahkan bertahan sampai beberapa tahun setelah serangan terjadi.
Anehnya dengan semua kejahatan, dan kekejaman serta kritikan dan hujatan publik
Amerika, presiden Jackson justru mendukung dan membela tindakan tersebut ketika
pidato tahunan di kongres Amerika.
Saat itu Amerika memang belum menjadi kekuatan super power dunia, dan
belum dikenal sebagai polisi dunia. Namun tindakan Amerika tersebut menunjukkan
bahwa mereka mulai menampakkan dirinya sebagai polisi dunia. Amerika saat
itu memang belum menjadi negara kolonial, negara penjajah seperti beberapa
negara Eropa saat itu, namun apa yang dilakukan oleh Angkatan Lautnya dengan
perintah Presiden dan persetujuan dari Kongres merupakan kebijakan resmi yang
mendahulukan kekerasan dalam menyelesaikan masalah yang dihadapi, perbuatan
yang sering dilakukan negara penjajah (kolonial).
Seperti dalam film cowboy Amerika yang selalu mengedepankan kekerasan
untuk membela kepentingannya dan menyelesaikan masalahnya. Dalam film
cowboy yang menampilkan budaya khas Amerika tidak pernah lepas dari kekerasan
(senjata), minuman keras, skandal dan wanita (sex). Dan tampaknya budaya dan
kebijakan tersebut masih terus dipertahankan dan berlanjut sampai beberapa
dekade sesudahnya.
Daftar PustakaAnthony Reid, Sumatera Tempo Doeloe, dari Marcopolo sampai Tan Malaka,
Komunitas Bambu Depok 2014. (terjemahan dari buku berbahasa Inggris:
Winesses to Sumatra, A Travellers Anthology, Oxford University Press New York
1995).
Christine Dobbin, Gejolak Ekonomi, Kebangkitan Islam dan Gerakan Padri,
Minangkabau 1784-1847, Komunitas Bambu Depok Mei 2008, (diterjemahkan
dari judul Asli: Islamic Revivalism in Changing Peasant Economy, Central
Sumatra 1784-1874, Curzon Press London 1983)
Colonel Charles H. Waterhouse, Marines in the Frigate Navy, History Division United
States Marine Corps Washington, D.C. Reprinted 2006,
SYAMINAEdisi 1 / Januari 2019
30
Farish A Noor, Attack, Reprisal and dealing with the Media Fall-Out: The Battle of
Quallah Battoo in 1832, Media Syariah, Vol. XVI No. 1 Juni 2014
Farish A. Noor, America in Southeast Asia before the ‘Pivot’: The ‘Battle of Quallah
Battoo’ in 1832, The RSIS Working Paper series No. 275, S. Rajaratnam School
of International Studies Singapore, 12 June 2014
Francis Warriner, Cruise of the United States Frigate Potomac Around the World,
during the years 1831-1834, Embracing the Attack on Quallah Battoo, including
Scenes, Manners, etc. Leavitt, Lord and Co. New York, 1835.
George B. Clark, Battle History of the United States Marine Corps, 1775–1945,
McFarland & Company, Inc., Publishers, Jefferson, North Carolina 2010
George B. Clark, Battle History of the United States Marine Corps, 1775–1945,
McFarland & Company, Inc., Publishers, Jefferson, North Carolina 2010.
Jeremiah N. Reynolds, Voyage of the United States Frigate Potomac, Under the
command of Commodore John Downes, during the circumnavigation of the
globe, in the years 1831, 1832, 1833, and 1844; Including a particular account of
the engagement at Quallah-Battoo, on the coast of Sumatra; with all the official
documents relating to the same. Harpers and bros, New York, 1835.
Karen Goodrich-Hendrick and John D. Hendrick, Cruise of United State Frigate
Potomac, Winter 1972,
Moehammad Hoesin, Adat Atjeh, Dinas Pendidikan dan Kebudajaan, Propinsi
Daerah Istimewa Atjeh 1970
Muhammad Arifin dan Khadijah Binti Mohd Khambali, Islam Danakulturasi Budaya
Lokal Di Aceh (Studi Terhadap Ritual Rah Ulei Di Kuburan Dalam Masyarakat
Pidie Aceh) Jurnal Ilmiah ISLAM FUTURA Vol. 15. No. 2, Februari 2016
Nerisa Afwan, Perubahan Status Sosial Ekonomi Istri Dan Peningkatan Perceraian,
Studi Kasus Di Kabupaten Aceh Barat Daya Tahun 2017, Skripsi Program
Studi Komunikasi dan Penyiaran Islam Fakultas Agama Islam Universitas
Muhammadiyah Yogyakarta 2018
Phillips, James Duncan, Pepper and Pirates: Adventures in the Sumatra Pepper Trade.
Boston:Houghton Mifflin Co., 1949,
Rahadian Rundjan, Ketika Amerika Menginvasi Aceh pada 1832 https://historia.id/
modern/articles/ketika-amerika-menginvasi-aceh-pada-1832-DAlQ7
Ricklefs, Sejarah indonesia Modern, Gadjah Mada University Press cetakan kesepuluh
2011.
Robert Booth, Death of an Empire: The Rise and Murderous Fall of Salem, America’s
Richest City, New York: St. Martin's Press
Sabri Zain, The United States Attack on Kuala Batu, http://www.sabrizain.org/
malaya/potomac.htm
SYAMINA Edisi 1 / Januari 2019
31
Susanto Zuhdi, Mengarungi Selat Malaka dan Perairan Kepulauan Riau: Menguak
Prospek Kebaharian dan Masalahnya, Tanjung Pinang, Ajari 2009, Direktorat
Geografi Sejarah Depbudpar, 2009
Wikipedia, First Sumatran expedition https://en.wikipedia.org/wiki/First_Sumatran_
expedition
Wikipedia, Second Sumatran expedition https://en.wikipedia.org/wiki/Second_
Sumatran_expedition
Wikipedia, USS Potomac (1822), https://en.wikipedia.org/wiki/USS_Potomac_(1822)
Zakaria Ahmad (ed)., Negeri dan Rakyat Aceh Barat Daya Dalam Lintas Sejarah,
Menuju Daerah Otonom, Blangpidie: Pemkab ABDYA, 2009