INTOKSIKASI OPIOID Fadillah Nur Herbuono *, Wahyu Hendarto ** ABSTRACT An opioid is a chemical that works by binding to opioid receptors , which are found principally in the central nervous system and the gastrointestinal tract . The receptors in these organ systems mediate both the beneficial effects and the side effects of opioids. The analgesic effects of opioids are due to decreased perception of pain, decreased reaction to pain as well as increased pain tolerance. The side effects of opioids include sedation , respiratory depression , and constipation . Opioids can cause cough suppression, which can be both an indication for opioid administration or an unintended side effect. Physical dependence can develop with on going administration of opioids, leading to a withdrawal syndrome with abrupt discontinuation. Opioids can produce a feeling of euphoria, and this effect, coupled with physical dependence, can lead to recreational use of opioids by many individual. Intoxication acute of opioid can cause syndrome like coma, bradypneu, and miosis. Cause of died from intoxication is central depression of respiratory. All opioid effects can readily be reversed with an opioid antagonist such as naloxone or naltrexone . These competitive antagonists bind to the opioid receptors with higher affinity than agonists but do not activate the * Co ass Anestesi Fakultas Kedokteran Trisakti Periode 8 Oktober – 10 November 2012 ** Pembimbing Kepaniteraan Klinik Anestesiologi dan Terapi Intensif RSUD Kota Semarang 1
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
INTOKSIKASI OPIOID
Fadillah Nur Herbuono *, Wahyu Hendarto **
ABSTRACT
An opioid is a chemical that works by binding to opioid receptors, which
are found principally in the central nervous system and the gastrointestinal tract.
The receptors in these organ systems mediate both the beneficial effects and the
side effects of opioids.
The analgesic effects of opioids are due to decreased perception of pain,
decreased reaction to pain as well as increased pain tolerance. The side effects of
opioids include sedation, respiratory depression, and constipation. Opioids can
cause cough suppression, which can be both an indication for opioid
administration or an unintended side effect. Physical dependence can develop
with on going administration of opioids, leading to a withdrawal syndrome with
abrupt discontinuation. Opioids can produce a feeling of euphoria, and this effect,
coupled with physical dependence, can lead to recreational use of opioids by
many individual. Intoxication acute of opioid can cause syndrome like coma,
bradypneu, and miosis. Cause of died from intoxication is central depression of
respiratory.
All opioid effects can readily be reversed with an opioid antagonist such
as naloxone or naltrexone. These competitive antagonists bind to the opioid
receptors with higher affinity than agonists but do not activate the receptors. This
displaces the agonist, attenuating and/or reversing the agonist effects. However,
the elimination half-life of naloxone can be shorter than that of the opioid itself,
so repeat dosing or continuous infusion may be required, or a longer acting
antagonist such as nalmefene may be used.
Keyword : Intoxication, Opioid, Antagonist
* Co ass Anestesi Fakultas Kedokteran Trisakti Periode 8 Oktober – 10 November 2012** Pembimbing Kepaniteraan Klinik Anestesiologi dan Terapi Intensif RSUD Kota Semarang
penglihatan, palpitasi, disforia, sinkop dan sedasi.
Kontraindikasi penggunaan meperidin menyerupai kontraindikasi terhadap
morfin dan opioid lain. Pada pasien penyakit hati dan orang tua harus dikurangi
karena terjadinya perubahan pada disposisi obat. Selain itu dosis meperidin perlu
dikurangi bila diberikan bersama antipsikosis, hipnotik sedative dan obat – obat
lain penekan SSP. Depresi nafas oleh meperidin dapat dilawan oleh nalorfin atau
nalokson. Pada pecandu meperidin yang telah kebal akan efek depresi, pemberian
meperidin dalam dosis besar dapat menimbulkan tremor, kedutan otot, midriasis,
refleks hiperaktif, dan konvulsi. Bila terjadi gejala perangsangan terhadap
meperidin obat dihentikan dan diganti dengan opioid lain (misal morfin) untuk
mengatasi nyeri, dan ditambahkan antikonvulsan benzodiazepine bila diperlukan.
2.2.5 ADIKSI DAN TOLERANSI
18
Toleransi terhadap efek depresi meperidin timbul lebih lambat dibanding
dengan morfin. Timbulnya toleransi lambat bila interval pemberian lebih dari 3 –
4 jam. Toleransi tidak terjadi terhadap efek stimulasi dan efek mirip atropin.
Gejala putus obat pada penghentian tiba – tiba penggunaan meperidin timbul
lebih cepat tapi berlangsung lebih singkat daripada gejala setelah penghentian
morfin dengan gangguan sistem otonom yang lebih ringan.8
2.2.6 SEDIAAN DAN PASOLOGI
Meperidin HCl tersedia dalam bentuk tablet 50 mg dan 100 mg, dan ampul 50
mg/ml. meperidin lazim diberikan per oral atau IM. Pemberian meperidin IV
menimbulkan reaksi lebih sering dan lebih berat. Pemberian meperidin subkutan
menyebabkan iritasi lokal dan indurasi; pemberian yang sering dapat
menyebabkan fibrosis berat jaringan otot. Pemberian 50 – 100 mg meperidin
parenteral dapat menghilangkan nyeri sedang atau hebat. Efektifitas meperidin
oral kurang, dan diperlukan dosis yang relative lebih besar dari dosis parenteral.
Alfaprodin, tersedia dalam bentuk ampul 1 mL dan vial 10 mL dengan kadar 60
mg/mL.
Difenoksilat. Derivate meperidin ini berefek konstipasi jelas pada manusia. Obat
ini dikenal sebagai antidiare. Tersedia dalam bentuk tablet dan sirop yang
mengandung 2,5 mg difenoksilat dan 25 μg atropine sulfat tiap tablet atau tiap 5
mL sirop. Dosis yang dianjurkan untuk pengobatan diare pada orang dewasa 20
mg per hari dalam dosis terbagi.
Loperamid. Seperti difenoksilat obat ini memperlambat motilitas saluran cerna
dengan mempengaruhi otot sirkuler dan longitudinal usus. Obat ini berikatan
dengan reseptor opioid sehingga diduga efek konstipasinya diakibatkan oleh
ikatan loperamid dengan reseptor tersebut. Efek samping yang sering dijumpai
ialah kolik abdomen, sedangkan toleransi terhadap efek konstipasi jarang sekali
terjadi. Sebagian besar obat dieksresi bersama tinja. Kemungkinan
disalahgunakan obat ini lebih kecil dari difenoksilat karena tidak menimbulkan
19
euphoria seperti morfin dan kelarutannya rendah. Loperamid tersedia dalam
bentuk tablet 2 mg dan sirup 1 mg/5 mL dan digunakan dengan dosis 4 – 8
mg/hari.
Fentanil dan derivatnya.
Contoh : sulfentanil, alfentanil, dan remfentanil merupakan opioid sintetik dari
kelompok fenilpiperidin dan bekerja sebagai agonis reseptor μ. Fentanil banyak
digunakan utnuk anestetik karena waktu untuk digunakan untuk anestetik karena
waktu untuk mencapai puncak analgesia lebih singkat dibandingkan morfin dan
meperidin (sekitar 5 menit), efeknya cepat berakhir setelah dosis kecil yang
diberikan secara bolus, dan relative kurang mempengaruhi kardiovaskular.
Fentanil dan derivatnya paling sering digunakan IV, meskipun juga sering
digunakan secara epidural dan intratekal untuk nyeri paska bedah atau nyeri
kronik. Dengan dosis lebih besar atau pemberian infus lebih lama efek analgetik
bertahan lebih lama. Efek euphoria dan analgetik fentanil diantagonis oleh
antagonis opioid, tetapi secara tidak bermakna diperpanjang masanya atau
diperkuat oleh droperidol yaitu suatu neuroleptik yang biasanya digunakan
bersama sebagai anestetik IV.
Seperti agonis reseptor μ lainnya fentanil dan derivatnya dapat menimbulkan
mual, muntah, dan gatal. Kekakuan otot, yang mungkin terjadi setelah
penggunaan semua narkotik, lebih sering terjadi bila fentanil atau derivatnya
diberikan secara bolus. Kekakuan otot dapat dikurangi dengan
menghindarkan/memperlambat pemberian secara bolus, dan induksi anestesi
dengan obat nonopioid. Depresi respirasi lebih cepat timbul dibandingkan agonis
reseptor μ lainnya. Fentanil dan derivatnya dapat mengurangi frekuensi jantung
dan sedikit menurunkan tekanan darah. Akan tetapi karena obat – obat ini tidak
melepaskan histamine dan pengaruh langsung depresi miokard minimal, maka
dosis tinggi fentanil dan sulfentanil sering digunakan sebagai anestetik pada
operasi kardiovaskular, atau untuk operasi pada pasien dengan fungsi jantung
yang buruk.
20
2.3 METADON DAN OPIOID LAIN
2.3.1 FARMAKODINAMIK
2.3.1.1 SUSUNAN SARAF PUSAT
Efek analgetik 7,5 – 10 mg metadon sama kuat dengan efek 10 mg morfin. Dalam
dosis yang tunggal, metadon tidak menimbulkan hipnosis sekuat morfin. Dosis
ekuianalgetik menimbulkan depresi nafas yang sama kuat seperti morfin dan
dapat bertahan lebih dari 24 jam setelah dosis tunggal. Seperti morfin, metadon
berefek antitusif, menimbulkan hiperglikemia, hipotermia dan penglepasan ADH.
- Otot polos
Metadon menimbulkan relaksasi sediaan usus dan menghambat efek spasmogenik
asetilkolin atau histamin. Efek konstipasi metadon lebih lemah daripada morfin.
Seperti morfin dan meperidin, metadon menimbulkan spasme saluran empedu
pada manusia dan hewan coba. Ureter mengalami relaksasi, mungkin karena telah
terjadi antidiuresis.
Miosis yang ditimbulkan metadon lebih lama daripada miosis oleh morfin. Pada
pecandu metadon timbul toleransi efek miosis yang cukup kuat.
2.3.1.2 SISTEM KARDIOVASKULAR
Metadon menyebabkan vasodilatasi perifer sehingga dapat menimbulkan
hipotensi ortostatik. Pemberian metadon tidak mengubah gambaran EKG tetapi
kadang – kadang timbul sinus bradikardia. Obat ini merendahkan kepekaan tubuh
terhadap CO2 sehingga timbul retensi CO2 yang dapat menimbulkan dilatasi
pembuluh darah serebral dan kenaikan tekanan serebrospinal.
2.3.2 FARMAKOKINETIK
Metadon diabsorbsi secara baik oleh usus dan dapat ditemukan dalam plasma
setelah 30 menit pemberian oral, kadar puncak dicapai setelah 4 jam. Metadon
cepat keluar dari darah dan menumpuk dalam paru, hati, ginjal, dan limpa; hanya
sebagian kecil yang masuk otak. Kadar maksimal metadon dalam otak dicapai
21
dalam 1 – 2 jam setelah pemberian parenteral dan kadar ini sejajar dengan
intensitas dan lama analgesia. Sebagian besar metadon yang diberikan akan
ditemukan dalam urin dan tinja sebagai hasil biotransformasi yaitu pirolidin dan
pirolin.
2.3.3 INDIKASI
- Analgesia
Jenis nyeri yang dapat dipengaruhi metadon sama dengan jenis nyeri yang dapat
dipengaruhi morfin. Dosis ekuianalgetik metadon kira – kira sama dengan morfin,
tetapi ada yang berpendapat bahwa metadon sedikit lebih kuat daripada morfin.
Dosis ekuianalgetik metadon kira – kira sama dengan morfin, tetapi ada yang
berpendapat bahwa metadon sedikit lebih kuat daripada morfin. Efek analgetik
mulai timbul 10 – 20 menit setelah pemberian parenteral atau 30 – 60 menit
setelah pemberian oral metadon. Masa kerja metadon dosis tunggal kira – kira
sama dengan masa kerja morfin. Obat ini menyebabkan depresi napas pada janin
sehingga tidak dianjurkan sebagai analgesic pada persalinan. Metadon juga
digunakan sebagai pengganti morfin atau opioid lain (misalnya heroin) untuk
mencegah atau mengatasi gejala – gejala putus obat yang ditimbulkan oleh
metadon tidak sekuat dari yang ditimbulkan oleh morfin atau heroin tetapi
berlangsung lebih lama, dan timbulnya lebih lambat.
- Antitusif
Metadon merupakan antitusif yang baik. Efek antitusif 1,5 – 2 mg per oral sesuai
dengan 15 – 20 mg kodein, tetapi kemungkinan timbulnya adiksi pada metadon
jauh lebih besar daripada kodein. Oleh karenanya dewasa ini penggunaannya
sebagai antitusif tidak dianjurkan atau telah ditinggalkan.
2.3.4 EFEK SAMPING
Metadon menyebabkan efek samping berupa perasaan ringan, pusing, kantuk,
fungsi mental terganggu, berkeringat pruritus, mual dan muntah. Seperti pada
morfin dan meperidin, efek samping ini lebih sering timbul pada pemberian oral
22
daripada pemberian parenteral dan lebih sering timbul pada pasien berobat jalan.
Terapi intoksikasi akut metadon sama dengan terapi intoksikasi akut morfin.9
2.3.5 TOLERANSI DAN KEMUNGKINAN ADIKSI
Toleransi metadon dapat timbul terhadap efek analgetik, mual, anoreksia, miotik,
sedasi, depresi napas dan efek kardiovaskular, tetapi tidak timbul terhadap
konstipasi. Toleransi ini lebih lambat daripada konstipasi. Toleransi ini lebih
lambat lambat daripada toleransi terhadap morfin.
Timbulnya ketergantungan fisik setelah pemberian metadon secara kronik dapat
dibuktikan dengan cara kronik dapat dibuktikan dengan cara menghentikan obat
atau dengan memberikan nalorfin.8
2.3.6 SEDIAAN DAN PASOLOGI
Metadon dapat diberikan secara oral maupun maupun suntikan, tetapi suntikan
subkutan menimbulkan iritasi lokal. Metadon tersedia dalam bentuk tablet 5 dan
10 mg serta sediaan suntikan dalam ampul atau vial dengan kadar 10 mg/mL.
Dosis analgetik metadon oral untuk dewasa berkisar antara 2,5 – 15 mg,
tergantung dari hebatnya nyeri dan respons pasien, sedangkan dosis parenteral
ialah 2,5 – 10 mg.
2.4 PROPOKSIFEN
2.4.1 FARMAKODINAMIK
Propoksifen berefek analgetik karena kerja sentralnya. Propoksifen terutama
terikat pada reseptor μ meskipun kurang selektif dibandingkan morfin.
Propoksifen 65 – 100 mg secara oral memberikan efek yang sama kuat dengan 65
mg kodein, sedangkan 130 mg propoksifen parenteral menimbulkan analgesia
yang sama kuat dengan 50 mg meperidin parenteral. Tetapi propoksifen
menimbulkan perasaan panas dan iritasi ditempat suntikan. Seperti kodein
kombinasi propoksifen sengan asetosal berefek analgesik yang jauh lebih baik
23
daripada jika masing – masing obat diberikan tersendiri. Obat ini tidak berefek
antitusif.
2.4.2 FARMAKOKINETIK
Propoksifen diabsorbsi setelah pemberian oral maupun parenteral. Seperti kodein
efektifitas jauh berkurang jika propoksifen diberikan per oral. Biotransformasi
propoksifen dengan cara N-demetilasi yang terjadi dalam hati.
2.4.3 INDIKASI
Propoksifen hanya digunakan untuk mengobati nyeri ringan hingga sedang, yang
tidak cukup baik diredakan oleh asetosal. Kombinasi propoksifen bersama
asetosal berefek sama kuat seperti kombinasi kodein bersama asetosal. Dosis
propoksifen untuk orang dewasa biasanya 4 kali 65 mg sehari, dengan atau tanpa
asetosal.
2.4.4 EFEK SAMPING
Pada dosis terapi propoksifen tidak banyak mempengaruhi system kardiovaskular.
Pemberian 130 mg propoksifen per oral pada orang dewasa sehat tidak banyak
mengubah reaksi terhadap CO2. Dengan dosis ekuianalgetik insiden efek samping
propoksifen seperti mual, anoreksia, sembelit, nyeri perut dan kantuk kurang lebih
sama dengan kodein. Dosis toksik biasanya menimbulkan depresi SSP dan depresi
nafas, tetapi jika dosis lebih besar lagi timbul konvulsi.
2.4.5 ADIKSI
Timbulnya adiksi terhadap propoksifen lebih propoksifen lebih kecil
kemungkinannya daripada terhadap kodein. Penghentian tiba – tiba pada terapi
dengan propoksifen akan menimbulkan gejala putus obat ringan. Dosis oral
propoksifen yang besar (300 – 600 mg) menimbulkan efek subyektif yang
menyenangkan, tetapi tidak serupa dengan efek morfin. Obat ini cukup iritatif
pada pemberian subkutan, sehingga tidak digunakan secara parenteral.8
3. ANTAGONIS OPIOID
24
Obat – obat yang tergolong antagonis opioid umumnya tidak menimbulkan
banyak efek kecuali bila sebelumnya telah ada efek agonis opioid atau bila opioid
endogen sedang aktif misalnya pada keadaan stress atau syok. Nalokson
merupakan prorotip antagonis opioid yang relative murni, demikian pula
naltrekson yang dapat diberikan per oral dan memperlihatkan masa kerja yang
lebih lama daripada nalokson. Kedua obat ini merupakan antagonis kompetitif
pada reseptor μ, κ, dan δ, tetapi afinitasnya terhadap reseptor μ jauh lebih tinggi.10
3.1 FARMAKODINAMIK
Efek tanpa pengaruh opioid. Pada berbagai eksperimen diperlihatkan bahwa
nalokson
(1) Menurunkan ambang nyeri pada mereka yang biasanya ambang nyerinya
tinggi.
(2) Mengantagonis efek analgetik placebo
(3) Mengantagonis analgesia yang terjadi akibat perangsangan lewat jarum
akupunktur
Efek subyektif yang ditimbulkan nalorfin pada manusia tergantung dari dosis,
sifat orang yang bersangkutan dan keadaan. Pemberian 10 – 15 mg nalorfin atau
10 mg morfin menimbulkan analgesia sama kuat pada pasien dengan nyeri paska
bedah. Efek tersebut diduga disebabkan oleh kerja agonis pada reseptor κ.
Nalorfin dan levalorfan juga menimbulkan depresi nafas yang diduga karena
kerjanya pada reseptor κ. Berbeda dengan morfin, depresi napas ini tidak
bertambah dengan bertambahnya dosis. Kedua obat ini, terutama levalorfan
memperberat depresi nafas oleh morfin dosis kecil, tetapi mengantagonis depresi
napas akibat morfin dosis besar.
Efek dengan pengaruh opioid
Semua efek agonis opioid pada reseptor μ diantagonis oleh nalokson dosis kecil
(0,4 – 0,8 mg) yang diberikan IM atau IV. Frekuensi napas meningkat dalam 1 – 2
menit setelah pemberian nalokson pada pasien dengan depresi nafas akibat agonis
25
opioid, efek sedatif dan efek terhadap tekanan darah juga segera dihilangkan. Pada
dosis besar, nalokson juga menyebbakan kebalikan efek dari efek psikomimetik
dan disforia akibat agonis – antagonis. Antagonisme nalokson ini berlangsung
selama 1 – 4 jam, tergantung dari dosisnya.
Antagonisme nalokson terhadap efek agonis opioid sering disertai dengan
terjadinya fenomena overshoot misalnya berupa peningkatan frekuensi napas
melebihi frekuesni sebelum dihambat oleh opioid. Fenomena ini diduga
berhubungan dengan terungkapnya (unmasking) ketergantungan fisik akut yang
timbul 24 jam setelah morfin dosis besar.
Terhadap individu yang memperlihatkan ketergantungan fisik terhadap morfin,
dosis kecil nalokson SK akan menyebabkan gejala putus obat yang dapat berat.
Gejala ini mirip dengan gejala akibat penghentian tiba – tiba morfin, hanya
timbulnya beberapa menit setelah penyuntikan dan berakhir setelah 2 jam. Berat
dan lama berlangsungnya sindrom ini tergantung dari dosis antagonis dan
beratnya ketergantungan.
3.2 FARMAKOKINETIK
Nalokson hanya dapat diberikan parenteral dan efeknya segera terlihat setelah
penyuntikan IV. Secara oral nalokson juga diserap, tetapi karena hampir
seluruhnya mengalami metabolisme lintas pertama maka harus diberikan
parenteral. Obat ini dimetabolisme dihati, terutama dengan glukoronidasi. Waktu
paruhnya kira – kira 1 jam dengan masa kerja 1 – 4 jam. Naltrekson efektif setelah
pemberian per oral, kadar puncaknya dalam plasma dicapai dalam waktu 1 -2 jam,
waktu paruhnya sekitar 3 jam dan masa kerjanya mendekati 24 jam. Naltrekson
lebih poten dari nalokson, pada pasien adiksi opioid pemberian 100 mg secara
oral dapat menghambat efek euphoria yang ditimbulkan oleh 25 mg heroin IV
selama 48 jam.
3.3 TOLERANSI DAN KETERGANTUNGAN FISIK
26
Toleransi hanya terjadi terhadap efek yang ditimbulkan oleh sifat agonis, jadi
hanya timbul pada efek subyektif, sedatif dan psikotomimetik dari nalorfin.
Penghentian riba – tiba pemberian nalorfin kronis dosis tinggi menyebabkan
gejala putus obat yang khas tetapi lebih ringan daripada gejala putus obat morfin.
Nalokson, nalorfin dan levalorfan kecil kemungkinannya untuk disalahgunakan
sebab :
a. Tidak menyebabkan ketergantungan fisik
b. Tidak menyokong ketergantungan fisik morfin
c. Dari segi objektif dianggap sebagai obat yang kurang menyenangkan bagi
para pecandu.
3.4 INDIKASI
Antagonis opioid ini dindikasikan untuk mengatasi depresi nafas akibat over dosis
opioid.pada bayi yang baru dilahirkan oleh ibu yang mendapat opioid sewaktu
persalinan, atau akibat tentamen suicide dengan suatu opioid; dalam hal ini
nalokson merupakan obat terpilih. Obat ini juga digunakan untuk mendiagnosis
dan mengobati ketergantungan fisik terhadap opioid.
3.5 SEDIAAN DAN PASOLOGI
Nalorfin HCl ( Nafin HCl ), tersedia untuk penggunaan parenteral, masing –
masing mengandung 0,2 mg nalorfin/mL untuk anak, 5 mg nalorfin/mL untuk
orang dewasa. Juga tersedia levalorfan 1 mg/mL dan nalokson 0,4 mg/mL.
Pada intoksikasi opioid diberikan 2 mg nalokson dalam bolus IV yang mungkin
perlu diulang. Karena waktu paruh yang singkat, dosis ini diulang tiap 20 – 60
menit, terutama pada keracunan opioid kerja lama misalnya metadon. Cara lain
ialah memberikan dosis 60% dari dosis awal. Untuk mengatasi depresi nafas oleh
opioid pada neonatus biasanya diberikan dosis awal 0,01 mg/kgBB IV, IM atau
SK yang dapat diulang tiap 3 – 5 menit bila respons belum tampak. Tergantung
dari beratnya depresi nafas dosis ini dapat diulang tiap 30 – 90 menit.1
27
KESIMPULAN
Opioid sebagai analgesia narkotik yang sering digunakan dalam anastesia
untuk mengendalikan nyeri saat pembedahan dan nyeri paska pembedahan.
Opioid mempunyai potensi yang berbeda sebagai suatu agonis, agonis parsial,
atau antagonis pada lebih dari dari satu jenis reseptor atau subtipe reseptor maka
senyawa yang tergolong opioid dapat memiliki efek farmakologik yang beragam.
Intoksikasi opioid menyebabkan sindrom yang ditandai dengan koma, bradypnea
dan miosis. Depresi pusat pernafasan adalah penyebab kematian prinsip yang
terkait dengan intoksikasi ini. Nalokson, inhibitor kompetitif terhadap reseptor
mu-opioid, merupakan obat penawar untuk intoksikasi opioid.
DAFTAR PUSTAKA
1. Katzung, Betram G. Farmakologi Dasar dan Klinik, Edisi 10, Bagian Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga. Jakarta : EGC; 2010; 28-29.
2. "Opioid receptors". IUPHAR Database. International Union of Pharmacology. 2008.
3. Gunawan, Sulistia G, dkk, Farmakologi dan Terapi, Edisi 5, Departemen Farmakologi dan Terapeutik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta : UI Fakultas Kedokteran; 2009; 183-6.
4. Colvin L, Forbes K, Fallon M; Difficult pain. BMJ. 2006; 332 (7549):1081-3. Available at http://www.medicalnewstoday.com/info/oic/what-are-opioids.php . Accessed on November 3, 2012.
5. Girdlestone D, Cox BM, Chavkin C, Christie MJ, Civelli O, Evans C, et al. "Opioid receptors”. The IUPHAR Compendium of Receptor Characterization and Classificatio, Second Edition. London: IUPHAR Media; 2000; 321–333.
6. Available at http://ningrumwahyuni.wordpress.com/2009/09/04/keracunan-opiat/ . Accessed on November 3, 2012.
7. Stoelting, Robert K, Simon C.H. Handbook of Pharmacology & Physiology in Anesthetic Practise, Second Edition. USA : LWW; 2005; 151-154.
8. Available at http://en.wikipedia.org/wiki/Opioid . Accessed on November 3, 2012.
9. Increase in Fatal Poisonings Involving Opioid Analgesics in the United States. Available at http://www.medscape.com/viewarticle/709744 . Accessed on November 3, 2012.
10. Martin WR. "Opioid antagonists". Pharmacol. Rev. 19 (4): 463–521. PMID 4867058. Available at http://pharmrev.aspetjournals.org/cgi/pmidlookup?view=long&pmid=4867058 . Accessed on November 3, 2012.