8 TINJAUAN PUSTAKA Tanah Ultisol dan Permasalahannya Pada wilayah beriklim tropika basah seperti di Indonesia, kemasaman tanah yang tinggi merupakan suatu masalah utama yang sering ditemui. Curah hujan ≥ 2.000 mm per tahun, temperatur rata-rata 27 C, mengakibatkan tercucinya kation-kation basa, sehingga tanah umumnya didominasi oleh oksida aluminium dan besi yang tinggi. Hal ini mengakibatkan tanah bereaksi masam. Masamnya tanah ini dapat terjadi sebagai akibat kemampuan ion Al dalam menghidrolisis air sehingga dibebaskan ion H . Ion H + merupakan anasir penyebab tanah menjadi masam. Salah satu jenis tanah yang bersifat masam adalah Ultisol. Luas tanah Ultisol di Indonesia adalah 45.8 juta ha atau sekitar 24 luas daratan Indonesia (Subagyo et al. 2000). Pemanfaatan tanah Ultisol untuk produksi banyak menghadapi masalah, dimana terdapat horizon argilik dengan kepadatan yang tinggi di dekat permukaan tanah yang mengakibatkan hambatan terhadap laju perkolasi air hujan ataupun penetrasi akar tanaman, sehingga apabila terjadi hujan, lapisan tanah bagian atas akan cepat mengalami jenuh air, bersifat masam, jumlah basa-basa yang dapat ditukar tergolong sangat rendah (Hidayat dan Mulyani 2002). Selanjutnya dikatakan bahwa pada reaksi tanah sangat masam (pH < 4.5) kelarutan Al dapat ditukarkan meningkat sehingga menaikan kejenuhan Al. Konsepsi pokok dari tanah Ultisol adalah tanah yang telah mengalami proses hancuran lanjut (ultimate) dan pencucian berat oleh curah hujan yang tinggi, berwarna merah kuning, berpenampang > 2 m, dan terdapat lapisan argilik dari akumulasi liat (Subagyo et al. 2000). Tanah Ultisol dengan kejenuhan Al lebih dari 30% dan pH kurang dari 4.5 akan menimbulkan cekaman Al bagi tanaman (Subagyo et al. 2000). Bentuk-bentuk Al dalam larutan tanah tergantung tingkat kemasamannya. Pada keadaan reaksi tanah sangat masam (pH 4.5), Al menjadi sangat larut terutama dalam bentuk Al 3+ yang beracun bagi tanaman (Rout et al. 2001; Vitorello et al. 2005). Akibat keracunan pertumbuhan akar menjadi terhambat dan akhirnya menurunkan kemampuan akar menyerap hara mineral dan air (Matsumoto et al. 1996; Samuel et al. 1997). Gejala umum yang paling nyata terlihat bila keracunan Al adalah terhambatnya pertumbuhan dan perpanjangan
14
Embed
Inokulasi Fungi Mikoriza Arbuskula untuk Meningkatkan ... · Konsepsi pokok dari tanah Ultisol adalah tanah yang telah mengalami proses hancuran lanjut (ultimate) dan ... golongan
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
8
TINJAUAN PUSTAKA
Tanah Ultisol dan Permasalahannya
Pada wilayah beriklim tropika basah seperti di Indonesia, kemasaman tanah
yang tinggi merupakan suatu masalah utama yang sering ditemui. Curah hujan ≥
2.000 mm per tahun, temperatur rata-rata 27 C, mengakibatkan tercucinya
kation-kation basa, sehingga tanah umumnya didominasi oleh oksida aluminium
dan besi yang tinggi. Hal ini mengakibatkan tanah bereaksi masam. Masamnya
tanah ini dapat terjadi sebagai akibat kemampuan ion Al dalam menghidrolisis air
sehingga dibebaskan ion H . Ion H+ merupakan anasir penyebab tanah menjadi
masam. Salah satu jenis tanah yang bersifat masam adalah Ultisol.
Luas tanah Ultisol di Indonesia adalah 45.8 juta ha atau sekitar 24 luas
daratan Indonesia (Subagyo et al. 2000). Pemanfaatan tanah Ultisol untuk produksi
banyak menghadapi masalah, dimana terdapat horizon argilik dengan kepadatan
yang tinggi di dekat permukaan tanah yang mengakibatkan hambatan terhadap
laju perkolasi air hujan ataupun penetrasi akar tanaman, sehingga apabila terjadi
hujan, lapisan tanah bagian atas akan cepat mengalami jenuh air, bersifat masam,
jumlah basa-basa yang dapat ditukar tergolong sangat rendah (Hidayat dan Mulyani
2002). Selanjutnya dikatakan bahwa pada reaksi tanah sangat masam (pH < 4.5)
kelarutan Al dapat ditukarkan meningkat sehingga menaikan kejenuhan Al.
Konsepsi pokok dari tanah Ultisol adalah tanah yang telah mengalami proses
hancuran lanjut (ultimate) dan pencucian berat oleh curah hujan yang tinggi,
berwarna merah kuning, berpenampang > 2 m, dan terdapat lapisan argilik dari
akumulasi liat (Subagyo et al. 2000). Tanah Ultisol dengan kejenuhan Al lebih dari
30% dan pH kurang dari 4.5 akan menimbulkan cekaman Al bagi tanaman
(Subagyo et al. 2000). Bentuk-bentuk Al dalam larutan tanah tergantung tingkat
kemasamannya. Pada keadaan reaksi tanah sangat masam (pH 4.5), Al menjadi
sangat larut terutama dalam bentuk Al 3+
yang beracun bagi tanaman (Rout et al.
2001; Vitorello et al. 2005). Akibat keracunan pertumbuhan akar menjadi
terhambat dan akhirnya menurunkan kemampuan akar menyerap hara mineral dan
air (Matsumoto et al. 1996; Samuel et al. 1997). Gejala umum yang paling nyata
terlihat bila keracunan Al adalah terhambatnya pertumbuhan dan perpanjangan
9
akar, baik akar primer, akar lateral maupun bulu akar. Tanaman yang keracunan Al
mempunyai akar yang pendek, percabangan sedikit, akar adventif lebih banyak
tumbuh pada pangkal akar, serta akar primer berkembang melebar ke arah apikal
meristem sehingga terlihat gemuk (Rout et al. 2001). Pertumbuhan akar yang
demikian sulit melakukan penetrasi ke lapisan sub soil, menyebabkan penyerapan
hara dan air menjadi lebih rendah (Marschner 1995).
Pada tanah masam, fosfat yang dibebaskan baik dari proses pelapukan
mineral apatit, dekomposisi bahan organik ataupun pupuk, akan segera diikat oleh
liat serta aluminium, besi, ataupun kalsium, sehingga fosfat tidak tersedia bagi
tanaman karena berubah menjadi garam yang mengendap dan tidak larut air
(Syekhfani 1999). Radjagukguk (1983) mengemukakan bahwa salah satu ciri tanah
mineral masam adalah rendahnya kandungan P dan fiksasi P yang tinggi.
Taksonomi, Karakteristik dan Habitat FMA
Mikoriza merupakan suatu struktur khas pada sistem perakaran yang terbentuk
karena adanya simbiosis mutualistik antara fungi (myces) dan akar (rhiza) dari
tumbuhan tingkat tinggi. Brundrett (2004) mendifinisikan mikoriza secara luas,
yang mencakup seluruh keragaman mikoriza sebagai suatu asosiasi simbiotik
yang esensial bagi satu atau kedua mitra, antara suatu fungi dan akar dari suatu
tumbuhan hidup, yang terutama bertanggung jawab untuk transfer hara. Bentuk
struktur khas mikoriza dapat dibedakan berdasarkan cara infeksinya pada
perakaran tanaman inang, yaitu (1) endomikoriza, merupakan struktur mikoriza
yang terbentuk sampai ke dalam sel korteks akar, (2) ektomikoriza, merupakan
struktur mikoriza pada lapisan luar akar yang bentuknya berupa jala hartig; dan
(3) ektendomikoriza, merupakan struktur mikoriza yang tidak hanya dapat
membentuk jala hartig di permukaan akar, tetapi dapat menembus sel korteks
(Smith dan Read 1997). Salah satu simbion fungi yang banyak membentuk
struktur endomikoriza pada tanaman pertanian adalah FMA.
Berdasarkan hasil tes analisa DNA filum Glomeromycota dikenali ada dua belas
genus yaitu Archaeospora, Geosiphon, Paraglomus, Gigaspora, Scutellospora,
Acaulospora, Kuklospora, Intraspora, Entrophospora, Diversipora, Pacispora dan
Glomus (Schubler et al. 2001, Oehl dan Sieverding 2006). Dalam INVAM (2006)
10
dinyatakan bahwa FMA adalah salah satu tipe fungi mikoriza dan termasuk kedalam
golongan endomikoriza termasuk kedalam golongan Glomeromycota, dengan ordo
Glomales yang mempunyai dua sub-ordo, yaitu Gigasporineae dan Glomineae.
Gigasporineae dengan famili Gigasporaceae mempunyai dua genus yaitu Gigaspora dan
Scutellospora. Glomineae mempunyai empat famili yaitu Glomaceae dengan genus
Glomus, famili Acaulosporaceae dengan genus Acaulospora dan Entrophospora,
Paraglomaceae dengan genus Paraglomus dan Archaeosporaceae dengan genus
Archaespora. Identifikasi FMA dapat dilakukan berdasarkan morfologi sporanya,
ataupun dengan menggunakan teknik molekuler. Perbedaan morfologinya dapat dilihat
dari perkembangan spora, bentuk spora, ukuran spora, warna spora, pola lapisan dinding
spora dan reaksi warnanya, ornamentasi pada dinding spora, isi spora, perkecambahan
spora dan hifa (Simanungkalit 2007).
Fungi mikoriza arbuskula bersifat obligat, tidak mampu melengkapi daur
hidupnya tanpa tanaman inang. Sporanya dapat berkecambah dan tumbuh tanpa
tanaman inang akan tetapi pertumbuhannya sangat terbatas. Fungi mikoriza arbuskula
memiliki beberapa karakteristik yaitu perakaran inang yang terkena infeksi tidak
membesar, tetap mempunyai rambut-rambut akar sehingga penampilannya tidak berbeda
dengan akar-akar yang tidak terinfeksi. Hal tersebut disebabkan karena fungi hanya
membentuk struktur hifa tipis pada permukaan akar, tidak setebal mantel seperti pada
ektomikoriza. Karakteristik lain yang merupakan ciri khas FMA adalah adanya struktur
berbentuk percabangan hifa yang disebut arbuskula (arbuscules) dan ada juga yang
membentuk struktur berbentuk oval yang disebut vesikula (vesicules), hifa koil dan spora
(pada beberapa spesies) fungi mikoriza arbuskula dalam asosiasinya dengan tanaman
juga membentuk organ/struktur diluar akar tanaman yaitu hifa eksternal,
vesikula eksternal, dan spora. Arbuskula mengisi sebagian besar volume sel dan
merupakan organ tempat pertukaran hara antara fungi dan tanaman. Vesikula
berfungsi sebagai organ penyimpan cadangan makanan. Jenis FMA yang
membentuk arbuskula dan vesikel adalah jenis Glomus, Sclerocitis, Acaulospora
dan Entrophospora (Gambar 2), sedangkan jenis lainnya seperti Gigaspo ra dan
Scutellospora hanya membentuk struktur arbuskula (Brundrett et al. 1996).
Bentuk arbuskula dan vesikel pada masing-masing spesies berbeda (Gambar 3, 4,
5, 6). Struktur infeksi mikoriza arbuskula dicirikan oleh formasi struktur
11
(arbuskula, vesikel) di dalam sel korteks (Gambar 7). Secara simultan, hifa juga
tumbuh di luar akar dan membentuk jaringan miselium yang ekstensif. Pertumbuhan
fungi dalam tanah dapat mencapai 80 sampai 134 kali panjang akar yang
dikolonisasinya.
Gambar 2. Struktur mikoriza dalam perakaran
(Brundrett et al. 1996)
Gambar 3. Arbuskula pada Glomus Gambar 4. Arbuskula pada Acaulospora
(Brundrett et al. 1996) (Brundrett et al. 1996)
Gambar 5. Visikel dari Glomus Gambar 6. Visikel dari Acaulopsora
(Brundrett et al. 1996) (Brundrett et al. 1996)
Arbuskula Vesikel
Hifa
12
Secara umum proses kolonisasi FMA pada akar tanaman melewati empat tahap,
yaitu (1) induksi perkecambahan spora dan pertumbuhan hifa, (2) kontak antara
hifa dan permukaan akar yang menyebabkan pengenalan dan pembentukan
apresorium, (3) penetrasi hifa ke dalam akar, dan (4) perkembangan struktur hifa
interseluler.
.
Gambar 7. Struktur infeksi FMA pada sel-sel kortek akar (Diouf et al. 2003)
Fungi mikoriza arbuskula memiliki selang ekologis yang luas dan dapat
dijumpai pada ekosistem semak, sabana (Cuenca dan Lovera 1992), arid (Allen
dan Allen. 1992), semi arid (Lee et al. 1996), daerah temperate, tropika
(Muthukumar et al. 1996), di daerah antartika (Phipps Taylor 1996),
ekosistem gambut alami (Astianti Ekamawati 1996) dan gambut yang sudah
terbuka (Ervayenri 1998; Kartika 2006), hutan hujan tropika (Janos
Hartsorn 1997), padang rumput (Nadarajah dan Nawawi l997) serta daerah
pantai (Setiadi 2000; Swasono 2006). Fungi mikoriza arbuskula dapat diisolasi
dari tanah asam hingga alkalin pH 2.7- 9.2. Menurut Sieverding (1991), FMA
yang hidup baik pada pH <5.0 adalah Entrophospora columbiana, pada pH >5.0
meliputi Glomus mosseae dan Gigaspora margarita serta pada pH 4.0 – 8.0 terdiri
dari Acaulospora myriocarpa, A longula, A morrowae, A scrobiculata, G
aggregatum, G versiforme dan Scutellospora pellucida. Gigaspora gigantean
toleran terhadap kejenuhan Al tinggi. Hasil penelitian Heijne et al. (1996)
menunjukkan bahwa infeksi FMA Glomus fasciculatum menurun dengan
menurunnya pH tanah pada perakaran tanaman Arnica Montana L, Hietacium
pilosella L dan Deschampsia flexuosa L. Menurut Marschner (1995) infeksi akar
13
dimulai dari propagul (spora dan residu akar) atau dari akar yang berdekatan
dengan tanaman yang sama atau berbeda spesies tanaman. Propagul mampu
menginfeksi akar tanaman inang karena adanya sinyal berupa eksudat flavanoid
dari akar. Perkembangan infeksi FMA di akar berhubungan dengan pembentukan
eksudat gula dan asam organik. Fungi mikoriza arbuskula dengan cepat
mengkonversi dan mentransfer hasil fotosintat tanaman inang ke dalam senyawa
karbon yang spesifik sebagai lipid atau glikogen (Gianinazzi-Pearson dan
Gianinazzi 1983).
Mikoriza arbuskula dapat berasosiasi dengan hampir 90% jenis tanaman.
Tiap jenis tanaman juga dapat berasosiasi dengan satu atau lebih jenis FMA.
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa setiap jenis tanah dan jenis tanaman
memiliki jenis FMA yang berbeda, seperti di sawah tadah hujan Laladon Bogor
ditemukan 2 isolat Gigaspora dan 5 isolat Glomus (Hanafiah 2001); pada lahan
penanaman padi di tanah podsolik ditemukan 1 isolat Acaulospora, 4 isolat
Glomus (Iriani 2003); pada tanah PMK bekas hutan ditemukan 4 isolat Glomus, 5
isolat Acaulospora; pada tanah PMK bekas karet ada 7 isolat Glomus dan 2 isolat
Acaulospora (Kartika 2006), pada kawasan pantai Samas sekitar tegakan Tridax
procumbens terdapat 2 isolat Glomus dan 1 isolat Gigaspora (Swasono 2006).
Terbentuknya simbiosis antara tanaman dan FMA sangat tergantung pada
jenis FMA, genotip tanaman, faktor iklim dan kondisi tanah serta interaksi
keempat faktor. Tanaman yang ketergantungannya tinggi terhadap fosfat akan
cenderung untuk berasosiasi dengan mikoriza. Intensitas infeksi FMA
dipengaruhi oleh berbagai macam faktor meliputi pemupukan, nutrisi tanaman,