BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Infeksi respiratorik akut (IRA) atau Infeksi saluran napas akut (ISPA) merupakan penyebab terpenting morbiditas dan mortalitas pada anak. Kelompok usia 6-23 bulan adalah kelompok umur paling rentan untuk mengalami IRA (Nasution, dkk., 2008). Kejadian penyakit IRA di Indonesia masih cukup tinggi terutama pada anak -anak yaitu pada kelompok Balita. Sekitar 20% - 30% kematian anak balita disebabkan oleh penyakit IRA. Pelaksanaan program pemberantasan penyakit IRA di Indonesia telah dilakukan mulai tahun 1984, walaupun demikian sampai saat ini penyakit tersebut masih menjadi masalah kesehatan masyarakat (Agung, dkk., 2006). IRA paling sering terjadi pada anak. Di Indonesia, kasus IRA menempati urutan pertama dalam jumlah pasien rawat jalan terbanyak. Hal ini menunjukkan angka kesakitan akibat IRA masih tinggi. Kasus IRA merupakan 50% dari seluruh penyakit pada anak berusia di bawah 5 tahun dan 30% pada anak berusia 5-12 tahun. Puncak insiden biasanya terjadi pada usia 2-3 tahun. Insiden IRA di negara berkembang adalah 2-10 kali lebih banyak daripada negara maju. Di negara maju IRA didominasi oleh virus, sedangkan di negara berkembang oleh 1
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Infeksi respiratorik akut (IRA) atau Infeksi saluran napas akut (ISPA)
merupakan penyebab terpenting morbiditas dan mortalitas pada anak. Kelompok
usia 6-23 bulan adalah kelompok umur paling rentan untuk mengalami IRA
(Nasution, dkk., 2008).
Kejadian penyakit IRA di Indonesia masih cukup tinggi terutama pada anak -
anak yaitu pada kelompok Balita. Sekitar 20% - 30% kematian anak balita
disebabkan oleh penyakit IRA. Pelaksanaan program pemberantasan penyakit
IRA di Indonesia telah dilakukan mulai tahun 1984, walaupun demikian sampai
saat ini penyakit tersebut masih menjadi masalah kesehatan masyarakat (Agung,
dkk., 2006).
IRA paling sering terjadi pada anak. Di Indonesia, kasus IRA menempati
urutan pertama dalam jumlah pasien rawat jalan terbanyak. Hal ini menunjukkan
angka kesakitan akibat IRA masih tinggi. Kasus IRA merupakan 50% dari seluruh
penyakit pada anak berusia di bawah 5 tahun dan 30% pada anak berusia 5-12
tahun. Puncak insiden biasanya terjadi pada usia 2-3 tahun. Insiden IRA di negara
berkembang adalah 2-10 kali lebih banyak daripada negara maju. Di negara maju
IRA didominasi oleh virus, sedangkan di negara berkembang oleh bakteri. Di
negara berkembang IRA dapat menyebabkan 10-25% kematian dengan 1/3-1/2
kematian pada balita. Sedangkan pada bayi, angka kematian mencapai 45 per
1000 kelahiran kehidupan (Wantania, dkk., 2008).
Tahun 2010, pemerintah telah merencanakan untuk menurunkan angka
kesakitan akibat IRA hingga 3 per 1000 balita. Akan tetapi keberhasilannya
bergantung pada banyaknya faktor risiko (Wantania, dkk., 2008).
B. TUJUAN
Untuk mengetahui klasifikasi IRA/ISPA dan faktor risiko sehingga
diharapkan dapat menurunkan angka kesakitan akibat IRA/ISPA, serta dapat
mendiagnosis dan melakukan penatalaksanaan dengan benar dan akurat.
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. ANATOMI
Secara umum saluran udara pernafasan adalah sebagai berikut :
Terdiri dari 3 lobus, yaitu lobus superius, medius, dan inferius.
Bangunannya:
1) Apex pulmonis dextra
2) Facies mediastinalis
3) Facies costalis
b. Pulmo sinister
Terdiri dari 2 lobus, yaitu lobus superius dan inferius.
Bangunannya:
1) Apex pulmonalis sinistra
2) Facies mediastinalis
3) Facies costalis
Vaskularisasi Inervasi Sistema Lymphatica
1. Arteri pulmonalisMembawa darah yang akan dioksigenasi dalam pulmo.
2. Arteri bronchialisMembawa darah untuk nutrisi jaringan pulmo.
1. ParasimpatisN. Vagus
2. SimpatisTruncus simpaticus (vertebrae thoracalis 1-4)Keduanya membentuk plexus anterior dexter dan sinister yang terletak di ventral hilus pulmonalis dan plexus pulmonalis posterior di dorsal hilus pulmonalis.
Akan menerima aliran limfe dari cabang bronchus vasa pulmonalis dan jaringan ikat pulmo vasa lymphatica septa lobulus secundus hilus pulmonalis nodus lymphaticus broncho pulmonalis.
4
B. FISIOLOGI
Secara fungsional saluran pernapasan dibagi menjdai 2 bagian:
1. Zona konduksi
Terdiri dari hidung, faring, trakea, bronkus, dan bronkiolus terminalis.
2. Zona respiratorik
Terdiri dari bronkiolus respiratorik, sacus alveoli, dan alveol.
Proses respirasi berlangsung beberapa tahap, yaitu:
1. Ventilasi
Adalah proses pergerakan udara ke dan dari dalam paru. Terdiri atas 2
tahap, yaitu:
a. Proses inspirasi
Kontraksi otot diafragma dan intercostalis eksterna volume thoraks
membesar tekanan intra pleura menurun paru mengembang
tekanan inta alveoli menurun (mencapai -30 mmHg) udara masuk
ke dalam paru.
b. Proses ekspirasi
Otot inspirasi relaksasi volume thoraks mengecil tekanan intra
pleura meningkat volume paru mengecil tekanan intra alveoli
meningkat (+1 mmHg sampai +3 mmHg) udara keluar paru.
2. Pernapasan luar
Pertukaran gas di dalam alveoli dan darah.
3. Transportasi gas melalui darah
4. Pernapasan dalam
Pertukaran gas antara darah dan sel jaringan.
5. Pernapasan seluler
Metabolisme penggunaan O2 di dalam sel serta pembuatan CO2.
5
C. DEFINISI
Infeksi respiratorius adalah infeksi mulai infeksi saluran napas atas dan
adneksanya hingga parenkim paru. Sedangkan pengertian akut merupakan infeksi
yang berlangsung hingga 14 hari. Infeksi respiratorius atas adalah infeksi primer
respiratori di atas laring, sedangkan infeksi laring ke bawah disebut infeksi
respiratori bawah (Wantania, dkk., 2008).
ISPA adalah radang akut saluran pernafasan atas maupun bawah yang
disebabkan oleh infeksi jasad renik atau bakteri, virus, maupun riketsia, tanpa atau
Mikroorganisme penyebab terhisap ke paru bagian perifer melalui
saluran respiratori. Mula-mula terjadi edema akibat reaksi jaringan
proliferasi dan penyebaran kuman ke jaringan sekitarnya
konsolidasi yaitu terjadi serbukan sel PMN, fibrin, eritrosit, cairan
edema dan kuman di alveoli disebut hepatisasi merah deposisi
fibrin semakin bertambah dan fagositosis capat disebut hepatisasi
kelabu jumlah makrofag meningkat sel degenerasi, fibrin
menipis, kuman dan debris menghilang disebut resolusi.
5) Manifestasi klinis
Gambaran klinis pada pneumonia bayi dan anak bergantung pada
berat ringannya infeksi, tetapi secara umum adalah sebagai berikut :
Gejala infeksi umum, yaitu : demam, sakit kepala, gelisah,
malaise, penurunan nafsu makan, keluhan gastrointestinal seperti
21
mual, muntah atau diare, kadang-kadang ditemukan gejala infeksi
ekstrapulmoner.
Gejala gangguan respiratorik, yaitu : batuk, sesak nafas, retraksi
dada, takipneu, nafas cuping hidung, air hunger, merintih, dan
sianosis.
Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan tanda klinis seperti, pekak
perkusi, suara nafas melemah, dan ronkhi.
6) Pemeriksaan penunjang
Darah perifer lengkap
Pneumonia virus dan mycoplasma umumnya ditemukan leukosit
dalam batas normal atau sedikit meningkat. Sedangkan
pneumonia bakteri didapatkan leukositosis yang berkisar antara
15.000-40.000/mm3 dengan predominan PMN.
CRP
Secara klinis CRP digunakan sebagai alat diagnotis untuk
membedakan antara faktor infeksi dan non infeksi, infeksi virus
dan bakteri, atau infeksi bakteri superficialis dan profunda.
Uji serologis
Untuk mendeteksi antigen dan antibodi pada infeksi bakteri tipik
mempunyai spesifitas dan sensitivitas yang rendah.
Pemeriksaan mikrobiologis
Untuk diagnosis pneumonia anak tidak rutin dilakukan kecuali
pada pneumonia berat. Spesimen dapat berasal dari uap
tenggorok, sekret nasopharing, bilasan bronkus, darah, fungsi
pleura, aspirasi paru.
Rontgen Thoraks
Rontgen thoraks pada pneumonia ringan tidak rutin dilakukan,
hanya direkomendasikan pada pneumonia berat.
Secara umum gambaran foto thorak terdiri dari :
Infiltrat intertitial, ditandai dengan peningkatan corakan
bronkovaskular, peribronkial cuffing, dan hiperaerasi.
22
Infiltrat alveolar merupakan konsolidasi paru dengan air
bronchogram.
Bronkopneumoni ditandai dengan gambaran difus merata pada
kedua paru, berupa bercak-bercak infiltrat yang dapat meluas
hingga daerah perifer paru disertai dengan peningkatan corakan
peribronkial.
7) Diagnosis
Diagnosis etiologik berdasarkan pemeriksaan mikrobiologis dan
serologis merupakan dasar terapi yang optimal. Akan tetapi,
penemuan bakteri penyebab tidak selalu mudah karena memerlukan
laboratorium penunjang yang memadai. Prediktor paling kuat adanya
pneumonia adalah demam, sianosis, dan lebih dari satu gejala
respiratori sebagai berikut: takipneu, batuk, napas cuping hidung,
retraksi, ronki, dan suara napas melemah.
Klasifikasi Pneumonia berdasarkan pedoman diagnosis
a) Bayi dan anak usia 2 bulan – 5 tahun
Pneumonia berat
- Bila ada sesak napas
- Harus dirawat dan diberikan antibiotik
Pneumonia
- Bila tidak ada sesak napas
- Ada napas cepat dengan laju napas :
O >50 x/menit untuk anak usia 2 bulan-1 tahun
O >40 x/menit untuk anak >1-5 tahun
- Tidak perlu dirawat, diberikan antibiotik oral
Bukan pneumonia
- Bila tidak ada napas cepat dan sesak napas
- Tidak perlu dirawat dan tidak perlu antibiotik, hanya
diberikan pengobatan simptomatis seperti penurun
panas.
23
b) Bayi berusia dibawah 2 bulan
Pneumonia
- Bila ada napas cepat (>60 x/menit) atau sesak napas
- Harus dirawat dan diberikan antibiotik
Bukan pneumonia
- Bila tidak ada napas cepat dan sesak napas
- Tidak perlu dirawat dan tidak perlu antibiotik, hanya
diberikan pengobatan simptomatis
8) Tatalaksana
Sebagian besar pneumonia pada anak tidak perlu dirawat inap.
Indikasi perwatan terutama berdasarkan berat-ringannya penyakit.
Neonatus dan bayi kecil dengan klinis pneumonia harus dirawat inap.
Dasar tatalaksana pneumonia rawat inap adalah pengobatan kausal
dengan antibiotik yang sesuai, serta tindakan suportif. Pengobatan
suportif meliputi pemberian cairan intravena, terapi oksigen, koreksi
terhadap gangguan keseimbangan asam basa, elektrolit, dan gula
darah. Untuk nyeri dan demam dapat diberikan analgesik atau
antipiretik.
24
DAFTAR PUSTAKA
Agung A.A., Sulistyorini L., Keman S., 2006. Determinan Sanitasi Rumah Dan Sosial Ekonomi Keluarga Terhadap Kejadian Ispa Pada Anak Balita Serta Manajemen Penanggulangannya Di Puskesmas. Jurnal Kesehatan Lingkungan. 3: 50.
Alsagaff H., Mukty A., 2009. Dasar-Dasar Ilmu Penyakit Paru. Surabaya : Airlangga Universty.
Azizi S., Budianto A., Nugroho A., 2005. Guidance to Anatomy II. Surakarta : FK UNS.
Hasan A., Alatas H., 1985. Buku Kuliah 3 Ilmu Kesehatan Anak. Jakarta: infomedika.
Nasution K., Azharry R.M., Erida K.B., Adi K., Ramdhani M.Y., Ishal M.L., Pratiwi L., Wawolumaja C., Endyarni B., 2008. Infeksi Saluran Napas Akut pada Balita di Daerah Urban Jakarta. Sari Pediatri. 11: 223-224.