1. Infeksi Odontogenik dan Spasia Wajah Dalam (Deep Facial Space) 1.1 Patofisiologi infeksi Berikutnya akan dijelaskan mengenai kepatogenesisan fisiologi yang menyebabkan adanya infeksi, dinataranya adalah: 1.1.1 Virulensi dan resistensi Flora normal biasanya hidup secara komensalisme dengan host. Apabila keadaan memungkinkan terjadinya invasi, baik oleh flora normal ataupun asing, maka dapat terjadi perubahan hubungan menjadi parasitisme. Lingkungan biokimia jaringan setempat akan menentukan kerentanan dan ketahanan hospes terhadap mikrorganisme. Serangan mikroorganisme diawali dengan terjadinya luka langsung, sehingga memungkinkan mikroorganisme melakukan invasi, mengeluarkan eksotoxin, endotoxin dengan cara autolisis (pada dinding sel bakteri gram negatif). Sedangkan host 1
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
1. Infeksi Odontogenik dan Spasia Wajah Dalam (Deep Facial Space)
1.1 Patofisiologi infeksi
Berikutnya akan dijelaskan mengenai kepatogenesisan fisiologi yang
menyebabkan adanya infeksi, dinataranya adalah:
1.1.1 Virulensi dan resistensi
Flora normal biasanya hidup secara komensalisme dengan host.
Apabila keadaan memungkinkan terjadinya invasi, baik oleh flora normal
ataupun asing, maka dapat terjadi perubahan hubungan menjadi parasitisme.
Lingkungan biokimia jaringan setempat akan menentukan kerentanan dan
ketahanan hospes terhadap mikrorganisme.
Serangan mikroorganisme diawali dengan terjadinya luka langsung,
sehingga memungkinkan mikroorganisme melakukan invasi, mengeluarkan
eksotoxin, endotoxin dengan cara autolisis (pada dinding sel bakteri gram
negatif). Sedangkan host dapat menunjukkan reaksi alergi terhadap produk-
produk mikrobial atau kadang-kadang menimbulkan gangguan langsung
terhadap fungsi metabolisme sel oleh sel-sel hospes.
1.1.2 Pertahanan sel
Respon lokal dari host adalah terjadinya peradangan. Proses ini
diawali dengan dilatasi kapiler, terkumpulnya cairan edema, penyumbatan
limfatik oleh fibrin. Didukung oleh kemotaksis maka akan terjadi fagositosis.
Daerah tersebut menjadi sangat asam dan protease selular cenderung
menginduksi terjadinya lisis terhadap leukosit. Akhirnya makrofag
1
mononuklear timbul, memangsa debris leukositik, membuka jalan untuk
pemulihan terhadap proses infeksi dan penyembuhan.
1.1.3 Pertahanan humoral
Respon sistemik host adalah pertahanan humoral, yaitu reaksi antigen-
antibodi. Antibodi menetralkan toksin bakteri, mencegah perlekatan dan
mengaktifkan komplemen. Komplemen berperan dalam pengenalan host
terhadap bakteri dan memicu proses fagositosis.
1.1.4 Gambaran klinis infeksi
Akibat perubahan jaringan yang disebabkan karena aktivitas bakteri
dan pertahanan lokal dari host serta mekanisme serupa yang bekerja secara
sistemik), menimbulkan gambaran klinis infeksi. Rasa sakit tekan, eritema dan
edema mudah dikenali sebagai manifestasi suatu peradangan. Kadang-kadang
bakteri yang memproduksi gas bisa memicu dan mendukung terjadinya respon
pembengkakan. Pernanahan adalah akibat langsung dari mekanisme lokal
pertahanan virulensi bakteri.
1.1.5 Manifestasi sistemik dari infeksi
Manifestasi sistemik yang utama dari infeksi adalah demam
( temperatur mulut di atas 37,5oC dianggap febril). Keadaan tersebut mungkin
disebabkan oleh endotoksin bakteri, ekstrak leukosit, hipermetabolisme,
defisiensi cairan, atau kombinasi dari hal-hal tersebut. Bakteremia bisa
mengakibatkan demam, malaise, hipotensi, takikardia, takhipnea. Sistem
hematopoetik merespon dengan terjadinya leukositosis (sel darah putih di atas
2
10.000/mm3) dan meningkatkan neutrofil polimorfonuklear. Perubahan yang
lain adalah meningkatnya laju endap darah (ESR) yang normalnya adalah 0-
20 mm/jam menjadi 30-70 mm/jam pada keadaan infeksi.
1.2 Jalur penyebaran infeksi dental
Infeksi odontogenik memiliki 2 sumber, yaitu :
1. Periapical
Berawal dari nekrosis pulpa yang dilanjutkan dengan invasi bakteri ke jaringan
periapikal
2. Periodontal
Berawal dari poket periodontal yang dalam yang memudahkan bakteri masuk ke
jaringan lunak.
Nekrosis pulpa karena karies yang dalam, akan memberikan jalan bagi bakteri
untuk memasuki jaringan periapical. Ketika jaringan ini telah diinokulasi oleh bakteri
lalu terjadi infeksi aktif, maka infeksi menyebar ke berbagai arah, terutama yang
paling sedikit memiliki pertahanan. Infeksi menyebar melalui tulang cancellous
hingga lempeng cortical. Jika lempeng cortical tipis, infeksi akan mengikis tulang
dan memasuki jaringan lunak.
Lokasi infeksi yang spesifik tergantung pada 2 faktor utama, yaitu
1. Ketebalan tulang pada apex gigi
3
Ketika infeksi mencapai tulang, infeksi akan memasuki jaringan lunak melalui
bagian tulang yang palig tipis.
Gambar di bawah menunjukkan bagaimana infeksi yang mengalami perforasi
melewati tulang sampai jaringan lunak. Pada gambar A, tulang labial yang mendasari
apex gigi lebih tipis dibandingkan dengan tulang pada bagian palatal. Karena itu,
proses infeksi menyebar ke dalam jaringan lunak labial. Pada gambar B, tulang labial
lebih tebal dan tulang palatal lebih tipis. Dalam situasi ini, infeksi menyebar melalui
tulang ke dalam jaringan lunak, sehingga disebut abses palatal.
2. Hubungan pada tempat perforasi dari tulang ke perlekatan otot pada maxila dan
mandibula.
4
Pada gambar A, infeksi mengikis melalui aspek labial dari gigi dan menginfeksi
perlekatan dari otot buccinators, sehingga menghasilkan infeksi yang tampak sebagai
vestibular abscess. Pada gambar B, infeksi mengikis melalui tulang superior ke
perlekatan dari otot buccinator, dan akan dinyatakan sebagai infeksi ruang buccal
(buccal space).
Infeksi dari kebanyakan gigi pada maxilla melalui lempeng labiobuccocortical.
Infeksi ini juga melalui tulang dibawah perlekatan dari otot yang melekat ke maxilla,
yang berarti kebanyakan abses pada maxilla diawali oleh abses vestibular. Infeksi
pada mandibula biasanya melalui lempeng labiobuccocortical dan diatas tempat
berkumpulnya otot-otot, sehingga menghasilkan abses vestibular.
Infeksi odontogenic yang paling umum terjadi ialah abses vestibular. Kadang
pasien mengobati infeksi ini, dan proses tersebut akan menghasilkan pemecahan
infeksi. Kadang-kadang abscess ini membentuk sinus kronis ke kavitas oral. Selama
sinus tersebut terus membesar, pasien tidak akan merasa sakit. Antibiotik dapat
menghentikan infeksi ini, tetapi ketika antibiotik dihentikan, infeksi akan berulang.
5
1.3 Pengobatan infeksi odontogenik
1.3.1 Perawatan infeksi dengan pembedahan
Prinsip utama dari perawatan infeksi odontogenik adalah melakukan
pembedahan drainase dan menghilangkan penyebab dari infeksi. Tujuan
utamanya adalah menghilangkan pulpa nekrotik dan poket periodontal yang
dalam. Tujuan yang kedua adalah menghilangkan pus dan nekrotik debris.
6
Ketika pasien memiliki infeksi odontogenik yang biasanya terlihat abses
vestibular yang kecil. Dokter gigi memiliki 3 pilihan untuk perawatannya,
diantaranya adalah perawatan endodontik, extraksi, dan insisi drainase (I&D).
Jika tidak dilakukan ekstraksi, bagian tersebut harus dibukan dan pulpa harus
dihilangkan, sehinga menghilangkan penyebab dari infeksi dan menghasilkan
drainase yang terbatas. Jika gigi tidak bisa diselamatkan, harus dilakukan
ekstraksi secepatnya.
Ekstraksi memberikan baik menghilangkan penyebab dari infeksi
dan drainase dari akumulasi pus dna debris. Pada prosedur I&D, insisi dari
cavitas abses memberikan drainase untuk akumulasi pus dan bakteri dari
jaringan dibawahnya. Drainase dari pus dapat mengurangi tekanan terhadap
jaringan, berarti menambah supply darah dan meningkatkan antibodi dari
host. Prosedur I&D termasuk insersi dari saluran untuk mencegah penutupan
dari insisi mucosa, yang akan mengakibatkan deformasi dari abses
cavitas.Jika perawatan endodontik dengan membuka gigi tidak bisa
memberikan drainase yang adekuat, maka lebih baik memilih perawatan I&D.
Sebelum melakukan prosedur I&D, perlu diperimbangkan untuk
melakuakan tes culture dan sensitivitas (C&S) pada spesimen pus. Ketika
area lokasi telah di anestesi, jarum ukuran besar, biasa ukuran 18, digunakan
untuk pengumpulan specimen. Syringe kecil, biasanya 2 ml, sudah cukup.
Permukaan dari mukosa didisinfeksi dengan larutan seperti betadine lalu
dikeringkan dengan sterile gauze. Kemudian jarum di masukan ke dalam
7
abses kavitas, dan 1 atau 2 ml dari pus diaspirasikan. Syringe dipegang secara
vertical, dan beberapa gelembung udara yang terkandung dalam syringe
disemprotkan.
Ujung dari jarum lalu ditutupi oleh rubber stopper dan diambil secara
langsung untuk laboratorium mikrobiologi. Metode ini digunakan untuk
mendapatkan jenis bakterinya, seperti yang dibicarakan sebelumnya bahwa
bakteri anaerob hampir selalu hadir dalam infeksi odontogenik.
Sesudah culture specimen didapatkan, insisi dibuat dengan blade no 11
melewati mucosa dan submucosa ke dalam kavitas abses. Insisi sebaiknya
pendek tidak lebih dari 1 cm. Sesudah insersi selesai, curved hemostat yang
pendek di masukan melewati insisi ke dalam abes kavitas. Hemostat
kemudian membuka ke berbagai arah untuk memisahkan beberapa lokulasi
kecil atau kavitas dari pus yang tidak terbuka oleh insisi awal. Pus dianjurkan
agar mengalir keluar selama proses dengan menggunakan suction, pus
sebaiknya tidak dianjurkan mengalir dalam mulut pasien.
Sesudah semua area dari abses cavitas dibuka, dan semua pus dibuang,
saluran kecil dimasukan untuk mempertahankan pembukaan. Umumnya
saluran yang digunakan untuk intraoral abses adalah saluran ¼ inch steril
Penrose. Yang biasanya digunakan sebagai pengganti adalah strip kecil
sterilisasi dari rubber dam. Saluran tersebut dimasukan dengan menggunakan
hemostat. Saluran kemudian di jahitan ke dalam tempat dengan jahitan yang
8
nonresobrsi. Jahitan sebaiknya ditempatkan di daerah yang terlihat untuk
mencegah hilangnya saluran yang telah ada.
Saluran sebaiknya tetap dalam tempat sampai pembuangan dari abses
cavitas berhenti, biasanya 2-5 hari. Tahap awal infeksi yang terlihat awal-
awal sebagai cellulitis dengan pembengkakan yang soft, doughty, dan
menyebar, sebenarnya bukan respon khas terhadap prosedur I&D. Surgical
management infeksi dari tipe ini terbatas untuk pembersihan nekrosis dari
pulpa atau pembersihan dari gigi yang terlibat.
Sangatlah kritikal untuk berpikir bahwa metode utama untuk
penyembuhan infeksi odontogenik adalah dengan melakukan surgery untuk
membersihkan sumber dari infeksi dan membuang pus dimana saja pus itu
berada.
Jika surgeon bertanya apakah pus tersebut ada, test aspirasi sebaiknya
dilakukan dengan jarum ukuran 18.Tahapan yang perlu dipikirkan oleh
surgeon adalah, pertama surgeon sebaiknya memutuskan jika pasien memiliki
abcess, apakah gigi sebaiknya di ekstrasi dan abcess dibuang, atau pemisahan
dengan I&D. Lalu pasien sebaiknya diberi antibiotic, jika pasien tidak
memiliki abcess tetapi memiliki cellulitis yang ringan, gigi sebaiknya
diekstrasi dan pasien diberikan antibiotic. Jika cellulitis berat, extraksi dan
I&D sebaiknya dilakukan, antibiotic juga diberikan.
9
1.3.2 Memilih antibiotik yang tepat
Pemilihan antibiotik harus dilakukan dengan hati-hati. Sering terjadi
salah pemahaman bahwa semua infeksi harus diberikan antibiotik, padahal
tidak semua infeksi perlu diberikan antibiotik. Pada beberapa situasi,
antibiotik mungkin tidak banyak berguna dan justru bisa menimbulkan
kontraindikasi. Untuk menentukannya, ada 3 faktor yang perlu
10
dipertimbangkan. Yang pertama adalah keseriusan infeksi ketika pasien datan
ke dokter gigi. Jika pasien datang dengan pembengkakan yang ringan,
progress infeksi yang cepat, atau difuse celulitis, antibiotik bisa ditambahkan
dalam perawatan. Faktor yang kedua adalah jika perawatan bedah bisa
mencapai kondisi adekuat. Pada banyak situasi ekstraksi bisa menyebabkan
mempercepat penyembuhan infeksi.Pada keadaan lain, pencabutan mungkin
saja tidak bisa dilakuakan. Sehingga, terapi antibiotik sangat perlu dilakukan
untuk mengontrol infeksi sehingga gigi bisa dicabut. Pertimbangan yang
ketiga adalah keadaan pertahanan tubuh pasien. Pasien yang muda dan
dengan kondisi sehat memiliki antibodi yang baik, sehingga penggunaan
antibiotik bisa digunakan lebih sedikit. Di sisi lain, pasien dengan penurunan
pertahanan tubuh, seperti pasien dengan penyakit metablik atau yang
melakukan kemoterapi pada kanker, mungkin memerlukan antibiotik yang
cukup besar walaupun infeksinya kecil.
Indikasi penggunaan antibiotik :
a. Pembengkakan yang berproges cepat
b. Pembengkakan meluas
c. Pertahanan tubuh yang baik
d. Keterlibatan spasia wajah
e. Pericoronitis parah
f. Osteomyelitis
11
Kontra indikasi penggunaan antibiotik :
a. abses kronik yang terlokalisasi
b. abses vestibular minor
c. soket kering
d. pericoronitis ringan
Pengobatan pilihan pada infeksi adalah penisilin. Penicillin ialah
bakterisidal, berspektrum sempit, meliputi streptococci dan oral anaerob,
yang mana bertanggung jawab kira-kira untuk 90% infeksi odontogenic,
memiliki toksisitas yang rendah, dan tidak mahal.
Untuk pasien yang alergi penisilin, bisa digunakan clarytromycin dan
clindamycin. Cephalosporin dan cefadroxil sangat berguna untuk infeksi yang
lebih luas. Cefadroxil diberikan dua kali sehari dan cephalexin diberikan
empat kali sehari. Tetracycline, terutama doxycycline adalah pilihan yang
baik untuk infeksi yang ringan. Metronidazole dapat berguna ketika hanya
terdapat bakteri anaerob.
Pada umumnya antibiotik harus terus diminum hingga 2 atau 3 hari
setelah infeksi hilang, karena secara klinis biasanya seorang pasien yang telah
dirawat dengan pengobatan antibiotik maupun pembedahan akan mengalami
perbaikan yang sangat dramatis dalam penampakan gejala di hari ke-2, dan
terlihat asimptomatik di hari ke-4. Maka dari itu, antibiotik harus tetap
diminum hingga 2 hari setelahnya (total sekitar 6 atau 7 hari).
12
Dalam situasi tertentu dimana tidak dilakukan pembedahan (contohnya
endodontik atau ekstraksi), maka resolusi dari infeksi akan lebih lama
sehingga antibiotik harus tetap diminum hingga 9 – 10 hari. Penambahan
beberapa administrasi obat antibiotik juga dapat dilakukan untuk infeksi yang
tidak sembuh dengan cepat.
1.4 Infeksi spasia wajah
Fascia adalah suatu balutan jaringan pengikat yang mengelilingi struktur (seperti pelapis
pada otot), dapat menyebabkan peningkatan spasia (space) jaringan yang potensial dan jalur
yang menyebabkan penyebaran infeksi.
Spasia wajah adalah ruangan potensial yang dibatasi, ditutupi, atau dilapisi oleh lapisan
jaringan ikat. Lapisan-lapisan pada fascia menghasilkan spasia pada wajah yang kesemuanya
terisi dengan jaringan pengikat longgar areolar
Spasia wajah adalah area fascia-lined yang dapat dikikis atau membengkak berisi eksudat
purulent. Spasia ini tidak tampak pada orang yang sehat namun menjadi berisi ketika orang
sedang mengalami infeksi. Ada yang berisi struktur neurovascular dan disebut kompartemen,
dan ada pula yang berisi loose areolar connective tissue disebut cleft.
Infeksi odontogenic dapat berkembang menjadi spasia-spasia wajah. Proses pengikisan
(erosi) pada infeksi menembus sampai ke tulang paling tipis hingga mengakibatkan infeksi
pada jaringan sekitar (jaringan yang berbatasan dengan tulang). Berkembang atau tidaknya
menjadi abses spasia wajah, tetap saja hal ini dihubungkan dengan melekatnya tulang pada
sumber infeksi. Kebanyakan infeksi odontogenik menembus tulang hingga mengakibatkan
13
abses vestibular. Selain itu terkadang dapat pula langsung mengikis spasia wajah dan
mengakibatkan infeksi spasia wajah. Penyakit odontogenik yang paling sering berlanjut
menjadi infeksi spasia wajah adalah komplikasi dari abses periapikal. Pus yang mengandung
bakteri pada abses periapikal akan berusaha keluar dari apeks gigi, menembus tulang, dan
akhirnya ke jaringan sekitarnya, salah satunya adalah spasia wajah. Gigi mana yang terkena
abses periapikal ini kemudian yang akan menentukan jenis dari spasia wajah yang terkena
infeksi. Tulang hyoid merupakan struktur anatomis yang paling penting pada leher yang
dapat membatasi penyebaran infeksi
Spasia diklasikfikasikan menjadi spasia primer dan spasia sekunder. Spasia primer
diklasifikasikan lagi menjadi spasia primer maxilla dan spasia primer mandibula. Spasia
primer maxilla terdapat pada canine, buccal, dan ruang infratemporal. Sedangkan spasia
primer mandibula terdapat pada submental, buccal, ruang submandibular dan sublingual.
Infeksi juga dapat terjadi di tempat-tempat lain yang disebut sebagai spasia sekunder, yaitu
pada Masseteric, pterygomandibular, superficial dan deep temporal, lateral pharyngeal,
retropharyngeal, dan prevertebral.
14
1.4.1 Spasia kanina
Spasia kanina merupakan ruang tipis di antara levator angulioris dan M. labii
superioris. Spasia kanina terbentuk akibat dari infeksi yang terjadi pada gigi caninus
rahang atas. Gigi caninus merupakan satu-sarunya gigi dengan akar yang cukup
panjang untuk menyebabkan pengikisan sepanjang tulang alveolar superior hingga
otot atau facial expression. Infeksi ini mengikis bagian superior hingga ke dasar M.
levator anguli oris dan menembus dasar M. levator labii superior.
Ketika spasia ini terinfeksi, gejala klinisnya yaitu pembengkakan pipi bagian
depan dan swelling pada permukaan anterior menyebabkan lipatan nasolabial
15
menghilang. Penyebaran lanjut dari infeksi canine spaces dapat menyerang daerah
infraorbital dan sinus kavernosus.
1.4.2 Spasia bukal
Spasia bukalis terikat pada permukaan kulit muka pada aspek lateral dan M.
buccinators dan berisi kelenjar parotis dan n. facialis. Spasia dapat terinfeksi akibat
perpanjangan infeksi dari gigi maxilla dan mandibula. Penyebab utama infeksi spasia
bukal adalah gigi-gigi posterior, terutama Molar maxilla. Spasia bukal menjadi
berhubungan dengan gigi ketika infeksi telah mengikis hingga menembus tulang
superior hingga perlekatan M. buccinators.
Gejala infeksi yaitu edema pipi dan trismus ringan. Keterlibatan spasia bukal
dapat menyebabkan pembengkakan di bawah lengkung zygomatic dan daerah di atas
batas inferior dari mandibula. Sehingga baik lengkung zygomatic dan batas inferior