Top Banner
INDUSTRI BIOPROSES PRODUKSI FENILALANIN MAKALAH Tugas Mata Kuliah TK-2222 Dasar-dasar Bioproses Oleh: ANDY WIRANATA WIJAYA 13009008 PROGRAM STUDI TEKNIK KIMIA FAKULTAS TEKNOLOGI INDUSTRI INSTITUT TEKNOLOGI BANDUNG BANDUNG 2011
31

Industri Bioproses Fenilalanin

Jul 04, 2015

Download

Documents

andy_ww
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: Industri Bioproses  Fenilalanin

INDUSTRI BIOPROSES PRODUKSI FENILALANIN

MAKALAH

Tugas Mata Kuliah TK-2222 – Dasar-dasar Bioproses

Oleh:

ANDY WIRANATA WIJAYA

13009008

PROGRAM STUDI TEKNIK KIMIA

FAKULTAS TEKNOLOGI INDUSTRI

INSTITUT TEKNOLOGI BANDUNG

BANDUNG

2011

Page 2: Industri Bioproses  Fenilalanin

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Sejarah Perkembangan Proses Produksi Fenilalanin, Penemuan-

Penemuan, Penelitian, serta Perkembangan Teknologi

Menurut catatan sejarah yang ada, fenilalanin pertama kali ditemukan oleh

ilmuan biokimia asal Jerman, J.Heinrich Matthaei dan ilmuan biokimia asal Amerika,

Marshall Nirenberg pada tahun 1961. Pada saat itu fenilalanin dikenal sebagai suatu

senyawa aktif yang mempengaruhi kerja system saraf (neuron). Kemudian setelah

diteliti fenilalanine dapat dikategorikan sebagai suatu asam amino karena mempunyai

strustur bangun utama yang sama dengan asam amino lainnya. Kemudia fenilalanin

dikategorikan sebagai asam amino esensial karena tidak mampu diproduksi oleh tubuh

makhluk hidup (mamalia).

Dari berbagai catatan sejarah yang penulis dapat, dapat disimpulkan bahwa

industri bioproses dengan produk fenilalanin pertama kali berkembang seiring dengan

industri makanan dan pemanis rendah kalori (L-aspartylphenylalanine). Fenilalanin

merupakan asam amino yang biasa terdapat pada makanan-makanan dan pemanis

rendah kalori seperti aspartam (aspratam mengandung sekitar 50% fenilalanin).

Industri fermentasi asam amino mulai berkembang di Jepang mulai tahun 1956.

Kemudian pada tahun 1969 proses produksi asam amino telah menggunakan

bioreactor dengan enzim amobil guna meningkatkan efisiensi produksi asam amino.

Pada tahun 1986, teknik DNA rekombinan pada kultur yang digunakan untuk proses

produksi telah diimplementasikan.

Berbagai penelitian juga dilakukan untuk meningkatkan proses produksi

fenilalanin karena permintaan pasar yang besar terhadap asam amino esensial ini.

Berbagai metode produksi fenilalanin sudah diteliti, mulai dari sintesis fenilalanin

secara kimiawi sampai dengan teknologi fermentasi yang melibatkan mikroorganisme

dengan berbagai substrat, reagen tambahan ataupun enzim. Berbagai jalur biosintesis

fenilalanin juga telah berhasil diidentifikasi dan dipelajari oleh para ilmuan. Dengan

mengetahui berbagai jalur biosintesis fenilalanin untuk masing-masing mikroorganisme,

diharapkan dapat meningkatkan yield produk, yaitu yield fenilalanin sendiri. Biasanya

mikroorganisme yang digunakan cenderung dipilih yang memiliki jalur biosintesis

fenilalanin yang sederhana dan pendek agar produk yang dihasilkan mempunyai

selektivitas yang tinggi.

1

Page 3: Industri Bioproses  Fenilalanin

2

Temperatur optimum kerja aminocilase amobil. Aktivitas dari enzim pada

berbagai temperatur diukur menggunakan metode standar. Temperatur

optimum yaitu temperatur dimana aktivitas relatifnya 100%.

[M. Lee, Pat, H. Kong Lee and Yew S. Siaw, (1993), Covalent Immobilization

of Aminoacylase to Alginate for L-Phenylalanine Production, Journal of Chem.

Tech. Biotechnol, 59, 65-70]

Dari penelitian yang dilakukan oleh Pat M. Lee (Indiana University – Malaysia)

serta Kong H. Lee dan Yew S. Siaw (Universiti Pertanian Malaysia) dalam jurnalnya

yang berjudul Covalent Immobilization of Aminoacylase to Alginate for L-Phenylalanine

Production disebutkan bahwa biokatalis mempunyai tingkat kerja yang berbeda pada

suhu yang berbeda tergantung karakteristik dari biokatalis itu sendiri. Banyak sekali

penelitian yang dilakukan untuk menentukan suhu optimum perkembangan dan

produksi dari suatu mikrooganisme yang digunakan dalam industri.

Setelah menentukan substrat, mikrooganisme yang akan digunakan serta

mendapatkan berbagai data proses optimum untuk fermentasi fenilalanin,

perkembangan lain yang banyak diteliti yaitu skala produksinya. Dari jurnal yang

berjudul Enhanced pilot-scale fed-batch L-phenylalanine production with recombinant

Escherichia coli by fully integrated reactive extraction, M.R. Gerigk dan tim penelitinya

sudah berhasil mengembangkan proses produksi fenilalanin skala pilot yang langsung

diintegrasikan dengan ekstraksi (pemurnian produk). Dari penelitian yang mereka

lakukan juga sudah dikembangkan teknologi-teknologi otomatisasi dengan

menggunakan bantuan komputer dan berbagai instrument pengendali yang dipasang.

Dari diagram proses dan instrumentasi di bawah dapat dilihat bahwa M.R. Gerigk dan

Page 4: Industri Bioproses  Fenilalanin

3

tim penelitinya tidak menggunakan metode manual dalam proses produksi fenilalanin

skala pilot yang dikembangkan mereka.

Proses produksi L-fenilalanin menggunakan reactor fed-batch

[Gerigk, M.R. et.al (2002), Enhanced pilot-scale fed-batch L-phenylalanine

production with recombinant Escherichia coli by fully integrated reactive

extraction, Bioprocess Biosyst. Engineering, 25, 43-52]

B. Struktur Kimia, Sifat Fisik dan Sifat Kimiawi Fenilalanin

Struktur kimia fenilalanin dapat dilihat pada gambar di samping. Fenilalanine

(biasanya disingkat dengan Phe atau F) mempunyai gugus karbonil berupa asam

karboksilat dan gugus amin seperti asam-asam amino pada umumnya. Ciri khas

fenilalanin dibandingkan dengan asam-asam amino lainnya yaitu fenilalanin

mempunyai rantai R pengganti C- yang merupakan gugus benzil (mengandung gugus

aromatik) yang mirip dengan Tirosin dan Tryptopan. Nama IUPAC dari fenilalanin

sendiri yaitu asam -aminobenzenpropanoat(S) dengan rumus molekul C9H11NO2.

Yang diarsir : Gugus pengganti R yang berupa fenil

[L. Nelson, David and M. Cox, Michael (2008),

Lehninger: Principles of Biochemistry 5th Edition,

W.H. Freeman and Company, New York, 75]

Page 5: Industri Bioproses  Fenilalanin

4

Data-data fisik fenilalanin (R. Lide, David (2009), Handbook of Chemistry and Physics

90th Edition, CRC Press, Boca Raton, Florida, 3-424):

Nama Senyawa (Trivial) Fenilalanin

Nama IUPAC asam -aminobenzenpropanoat(S)

Rumus Molekul C9H11NO2

Berat Molekul Relatif 165,189 g/mol

Bentuk Fisik Kristal / prisma (H2O)

Titik leleh 283

Titik didih -

Kelarutan Larut dalam H2O

Keasaman (pKa) 1,83 (karbonil); 9,13 (amino)

Pendeteksian eksistensi asam amino dalam suatu sampel dapat digunakan

berbagai metode, misalnya dengan spektroskopi menggunakan sinar ultraviolet.

Fenilalanin menyerap cahaya dengan baik dengan panjang gelombang antara 260-280

nm. Maka dari itu fenilalanin dapat dideteksi menggunakan sinar ultraviolet. Gambar di

bawah [L. Nelson, David and M. Cox, Michael (2008), Lehninger: Principles of

Biochemistry 5th Edition, W.H. Freeman and Company, New York, 76] menunjukkan

gambar serapan sinar UV oleh asam amino tirosin dan tryptopan yang gugusnya

hamper sama dengan fenilalanin. Dasar hukum yang digunakan yaitu Hukum Lambert-

Beer yang menyatakan hubungan serapan foton-foton spectrum oleh suatu molekul

tertentu yang dapat ditulis dengan persamaan :

Struktur garis fenilalanin

Page 6: Industri Bioproses  Fenilalanin

5

Tabel data fisik berbagai asam amino

[L. Nelson, David and M. Cox, Michael (2008), Lehninger: Principles of Biochemistry 5th

Edition, W.H. Freeman and Company, New York, 73]

Selain menggunakan sinar UV, saat ini banyak digunakan alat-alat uji kuantitatif

dan kualitatif dengan menggunakan MS (Mass Spectroscopy), Infla-Red Spectroscopy

maupun NMR (Nuclear Magnetic Resonance). Berbagai alat uji ini biasanya menguji

berdasarkan daya serap spektrum yang berbeda-beda untuk tingkat energi ikatan yang

berbeda-beda.

Page 7: Industri Bioproses  Fenilalanin

6

Contoh hasil uji fenilalanine dengan spectrum IR dalam pelat KBr:

[Gambar di atas diuduh dari server National Institute of Advanced Industrial

Science and Technology (AIST) Research Information Database (RIO-DB) yang

berada di Jepang]

Contoh hasil uji fenilalanine dengan NMR (Nuclear Magnetic Resonance):

Page 8: Industri Bioproses  Fenilalanin

7

[Gambar di atas diuduh dari server National Institute of Advanced

Industrial Science and Technology (AIST) Research Information

Database (RIO-DB) yang berada di Jepang]

Selain menggunakan metode fisis, metode-metode kimiawi juga sering

digunakan untuk mendeteksi kandungan fenilalanin dalam suatu sampel, misalnya uji

xanthoproteic untuk menguji kandungan cicin benzene dalam suatu sampel protein, uji

Guthrie yang menggunakan sampel sebagai medium tumbuh bagi mikroorganisme

contohnya Basillus subtilis dan menganalisis pertumbuhan mikroorganisme tersebut

dalam medium sampel yang dibuat. Pengujian terhadap fenilalanin dapat dilakukan

juga dengan menggunakan enzim deaminase.

C. Kegunaan, Fungsi Fenilalanin dan Volume Produksi Fenilalanin

Secara umum fenilalanin merupakan senyawa yang ditambahkan sebagai zat-zat

aditif dalam makanan dan perasa makanan. Asam amino bergugus aromatik, L-

fenilalanin, merupakan building block penting untuk sistesis aspartam, pemanis buatan.

Selain itu, fenialanin juga mempunyai peranan penting dalam mencukupi asupan asam

amino esensial yang tidak dapat diproduksi oleh tubuh manusia yang artinya asam

amino ini hanya didapat dari asupan makanan sehari-hari. Fenilalanin juga diproduksi

sebagai bahan baku untuk produksi pakan ternak.

Fenilalanin merupakan asam amino esensial yang diperlukan pada sistem pusat

saraf agar dapat berfungsi dengan baik. Senyawa ini sudah berhasil digunakan untuk

membantu mengendalikan gejala-gejala depresi dan rasa sakit yang kronis, serta rasa

sakit lainnya yang terhubung dengan sistem saraf pusat.

Fenilalanin sangat efektif khususnya untuk mengobati gangguan otak karena

mampu menembus barrier darah-otak. Barrier darah otak merupakan lapisan

pelindung yang dibentuk oleh sel-sel darah merah dan glia otak yang melindungi otak

dari racun, bakteri dan virus yang beredar melalui pembuluh darah. Hanya senyawa

kimia tertentu yang dapat melalui barrier ini dan berhubungan langsung dengan otak.

Tubuh manusia memerlukan fenilalanin untuk mensintesis epinefrin, dopamin

dan norepinefrin yang merupakan neurotransmitter (senyawa jembatan antar saraf),

yang pada dasarnya mengendalikan cara kita memandang dan berinteraksi dengan

lingkungan sekitar. Asupan fenilalanin dapat membantu seseorang merasa lebih

bahagia, kurang lapar dan lebih waspada, mengobati rasa sakit kronis dan

Page 9: Industri Bioproses  Fenilalanin

8

meningkatkan memori dan konsentrasi. Penelitian terbaru menunjukkan bahwa

fenilananin, yang membantu dalam sintesis melatonin, mungkin efektif untuk

pengobatan vitiligo, yaitu suatu kondisi yang menyebabkan bercak putih pada kulit.

Sampai saat ini, keberadaan asam amino dalam pasar-pasar hanya sebagian

kecil dari pasar secara keseluruhan. Produksinya mencapai sekitar 100 ton per tahun

pada perusahaan Ajinomoto Co. Inc di Kawasaki, Jepang. Dari 100 ton per tahun

fenilalanin yang diproduksi di Ajinomoto Co. Inc, sebagian besar digunakan sebagai

bahan baku untuk industri makanan lainnya dalam bentuk larutan. Penggunaan L-

aspartyllphenylalanine (aspartam) sebagai pemanis menyebabkan peningkatan

kebutuhan fenilalanin dalam pasar, serta asam aspartat.

D. Potensi di Indonesia

Berikut merupakan data statistik impor aspartam ke dalam negeri yang dihimpun oleh

BPS (Badan Pusat Statistik) pada tahun 2011 :

Nama Komoditi

Januari

Nilai (US $)

Januari

Berat (kg)

Februari

Nilai (US $)

Februari

Berat (kg)

Aspartam 927008 49024 1857168 100668

Sumber : Badan Pusat Statistik Indonesia

Dari data statistik yang didapat dari BPS (Badan Pusat Statistik), didapatkan

bahwa Indonesia mengimpor aspartam dalam jumlah yang cukup tinggi sedangkan

Indonesia sama sekali tidak mengekspor aspartam. Dari data impor yang cukup tinggi,

dapat disimpulkan bahwa tingkat penggunaan aspartam yang cukup tinggi di Indonesia

Page 10: Industri Bioproses  Fenilalanin

9

sehingga penulis dapat mengklaim bahwa industri bioproses dengan hasil fenilalanin

yang merupakan bahan baku untuk produksi aspartam ini sangat potensial untuk

dikembangkan di Indonesia terlebih lagi nilai impor aspartam yang cukup tinggi. Pada

bulan Januari 2011 nilai impor aspartam sebesar US$ 927 008 yaitu hampir setara

dengan Rp9.270.000.000,00 (9 milyar rupiah) dan lebih tinggi lagi pada Februari 2011.

Kebutuhan aspartam yang tinggi juga memicu peningkatan impor aspartam ke dalam

semakin tinggi.

Kapasitas Produksi Gula di Indonesia 2010:

No. Pabrik Gula Produksi Gula (ribu ton/ tahun)

1. PTPN II 100

2. PTPN VII 120

3. PTPN IX 260

4. PTPN X 570

5. PTPN XI 500

6. PTPN XIII 50

7. PTPN XIV 80

8. PT Trigunabina 110

9. PT Candi 30

10. PT Rajawali I 200

11. PT Rajawali II 205

12. PT Gunung Madu Plantation 200

13. PT Gula Putih Mataram 500

Jumlah 2925

Sumber : BAPPENAS (Badan Perencanaan Pembangunan Nasional)

Kemudian tinjauan potensial pembangunan industri bioproses dengan produk

fenilalanin dilanjutkan dari sisi ketersediaan bahan baku. Pada makalah ini, bahan

baku untuk industri fermentasi fenilalanin digunakan glukosa dan molase. Molase

merupakan hasil samping dari industri gula sukrosa yang berarti ketersediaan molase

dapat diasumsikan sebanding dengan tingkat produksi gula sukrosa.

Table di atas menyatakan produktivitas gula sukrosa di Indonesia selama satu

tahun. Dari table tersebut didapat hasil produksi gula sukrosa di Indonesia selama

setahun mencapai 2925 ribu ton yang artinya molase yang didapat juga akan

mencapai 2000an ton per tahunnya. Akan tetapi penggunaan molase terus meningkat

Page 11: Industri Bioproses  Fenilalanin

10

karena berkembangnya berbagai proses yang melibatkan molase sebagai substrat,

misalnya dalam produksi bioetanol, asam asetat, dan asam-asam amino lainnya.

Dengan mempertimbangkan bahwa skala produksi fenilalanin termasuk industri skala

kecil, industri fermentasi fenilalanin dinilai oleh penulis sangat potensial untuk

dikembangkan di Indonesia dengan dengan pengembangan pencarian bahan baku

baru pengganti molase yang melimpah di Indonesia.

Page 12: Industri Bioproses  Fenilalanin
Page 13: Industri Bioproses  Fenilalanin

12

BAB II

POKOK BAHASAN

A. Mikroorganisme, Jenis Strain, Pemeliharaan dan Strain Development

dalam Industri Bioproses Fenilalanin

Dari berbagai penelitian yang sudah dilakukan, fermentasi fenilalanin

dilangsungkan menggunakan bakteri Bacillus subtilis (Gibson dan Pittard, 1968),

Brevibacterium flavum (Shiio, 1982), Corynebacterium parvum (Hagino dan Nakayama,

1974a). Adapun jamur yang pernah digunakan dalam penelitian produksi fenilalanin

yaitu Rhodotorula glutinis (Michael J. Fiske, 1984). Selain jamur dan bakteri,

Actinomycetes juga pernah digunakan dalam penelitian fermentasi fenilalanin yaitu

Amycolatopsis methanolica. (A. Abou-Zeid, 1995)

Dari mikroorganisme di atas yang pernah digunakan dalam fermentasi fenilalanin,

Bacillus subtilis merupakan mikrooganisme yang paling sering ditemukan dalam

industri bioproses penghasil fenilalanin. Mikroorganisme lainnya yang pernah

digunakan untuk fermentasi fenilalanin kebanyakan merupakan mikrooganisme yang

telah melalui proses pemuliaan ataupun perubahan struktur DNA, misalnya bakteri

E.coli liar tidak bisa memproduksi fenilalanin, akan tetapi setelah mengalami pemuliaan

dan didapatkan strain E.coli CWML2, maka jenis strain E.coli ini dapat menghasilkan

fenilalanin. Adapun mikroorganisme yang sudah berhasil dimuliakan untuk proses

fermentasi fenilalanin yaitu: Corynebacterium glutamicum ATCC 13032,

C.acetoacidophilum ATCC 13870, C.herculis ATCC 13868, C.lilium ATCC 15990,

C.melassecola ATCC 17965, Brevibacterium divaricatum ATCC 14020, B.flavum

ATCC 14067, B.immariophilium ATCC 14068, B.lactofermentum ATCC 13869,

B.thiogenitalis ATCC 19240.

Saat ini banyak dikembangkan strain dari bakteri genus Corynebacterium dan

Brevibacterium. Kedua genus tersebut mampu memproduksi asam-asam amino

bergugus aromatik dan mempunyai aktivitas enzim transketolase yang lebih tinggi

daripada strain-strain sebelumnya. Strain mutan yang mempunyai aktivitas

transketolase yang tinggi daripada strain induk bisa diperoleh dari cara mutagenesis

konvensional seperti penambahan N-metil-N’-nitro-N-nitrosoguanidin dan radiasi sinar

X-ray atau menggunakan metode rakayasa genetika. Selain itu, Aspergillus niger juga

dikembangkan dalam fermentasi yang menghasilkan L-fenilalanin.

12

Page 14: Industri Bioproses  Fenilalanin

13

Dalam hal metode rekayasa genetik, strain mutan yang termasuk ke dalam

genus Corynebacterium atau Brevibacterium yang mempunyai aktivitas enzim

transketolase lebih tinggi daripada strain induk diperoleh dengan cara mengkloning

(memperbanyak dengan struktur gen yang sama) gen transketolase dan menempelkan

gen tersebut ke plasmid lalu ditanamkan ke genus Corynebacterium atau

Brevibacterium dengan teknik DNA rekombinan. Mikroorganisme apapun dapat

digunakan sebagai pendonor gen transketolase selama mikroorganisme tersebut

mempunyai aktivitas enzim transketolase dalam metabolismenya. Dalam hal ini lebih

diutamakan gen dari bakteria yang merupakan sel prokariotik, contohnya strain dari

genus Escherichia, Corynebacterium, Brevibacterium atau Bacillus.

Gen transketolase dapat diklon dengan mengisolasi DNA kromosomal dari

mikroorganisme pendonor, memecah DNA kromosomal tersebut dengan enzim

restriksi yang tepat untuk membuat fragmen DNA, menggabungkan fragmen DNA

dengan vektor DNA untuk membuat ligation mixture (campuran ligase), mengubah

resipien asam shikimik yang bersifat auxotrof dengan campuran ligase, memilih

transforman asam shikimik yang bersifat prototrof, dan mengisolasi DNA rekombinan

yang mengandung gen transketolase dari transforman.

Sebuah DNA rekombinan tersusun dari sebuah vektor DNA dan sebuah fragmen

DNA yang mengandung gen transketolase yang dapat diperoleh sebagai sebuah

campuran dengan berbagai rekomninan DNA sesuai dengan metode di atas,

contohnya dengan memutuskan DNA donor dan vektor DNA dengan enzim restriksi

yang cocok dilanjutkan dengan perlakuan terhadap pemutusan tersebut dengan DNA

polymerase lalu menyambungkan DNA-DNA tersebut dengan DNA ligase. [Methods in

Enzymology, 68 (1979)].

Bacillus subtilis, dikenal dengan hay bacillus atau grass bacillus, merupakan

bakteri gram positif, katalase-positif, kemohetrotop yang umunya ditemukan di tanah.

B.subtilis dapat diisolasi dari air, udara maupun sisa-sisa tanaman yang sudah

membusuk. Bakteri ini tidak bersifat patogenik, tidak seperti beberapa kerabat bakteri

dari genus Bacillus, seperti B.anthracis.

Ukuran sel bakteri ini lebih besar daripada E.coli, sekitar 0,5-2,5 μm lebar dan

1,2-10 μm panjang. Bakteri ini merupakan anggota genus Bacillus, berbentuk batang

dan mempunyai kemampuan membentuk endospora yang keras yang menyebabkan

bakteri ini tahan dalam kondisi lingkungan yang ekstrim. B.subtilis diklasifikasikan

sebagai bakteri aerob obligat walaupun penelitian mutakhir menunjukkan bahwa hal itu

tidak sepenuhnya benar.

Page 15: Industri Bioproses  Fenilalanin

14

Ciri utama bakteri ini yang membedakannya dari E.coli yaitu dari struktur dinding

sel dan kemampuan membentuk spora. Dinding sel B.subtilis merupakan tipe dinding

sel bakteri gram positif yang lebih sederhana daripada dinding sel bakteri gram negatif

seperti E.coli. Dinding sel bakteri ini mempunyai ketebalan 20-50 nm dan terdiri dari

20-25 lapisan peptidoglikan. Di luar dinding sel, B.subtilis memproduksi sebuah kapsul

polipeptida yang mengandung asam D-glutamat dan asam L-glutamat. Bakteri ini juga

mempunyai flagella sebagai alat gerak.

Klasifikasi Bacillus subtilis :

Kromosom B.subtilis lebih kecil daripada kromosom E.coli, yaitu 4188 kbp.

B.subtilis bereproduksi dengan cara transversal binary fission, yaitu dengan membelah

dirinya menjadi 2 sel bakteri anak. Cara lain B.subtilis bereproduksi yaitu membentuk

spora pada keadaan lingkungan yang ekstrim dan kurang menguntungkan seperti

panas, asam dan tingkat salinitas yang tinggi agar dapat bertahan hidup. Endospora

juga dibentuk pada keadaan waktu nutriotional stress yang memungkinkan bakteri ini

bertahan hidup sampai kondisi lingkungan membaik.

Kehilangan nutrisi membuat bakteri ini memulai tahap sporulasi melalui sinyal-

sinyal kimiawi. Pembelahan sel yang tidak seimbang menghasilkan forespore yang

lebih kecil dan sel induk yang lebih besar dengan pembentukan sebuah sekat asimetris

dekat salah satu kutub dari sel. Sebuah dinding sel primordial (yang terbentuk dari

awal) peptidoglikan lalu terbentuk sekitar sel forespore, yang kelak akan menjadi

dinding sel dari sel vegetatif yang nampak ketika spora mulai tumbuh. Dinding sel

primordial ini kemudian ditindih oleh lapisan peptidoglikan kompleks yang lebih tebal

yang dikenal dengan korteks spora.

Korteks spora ini mempunyai komposisi spesifik yang unik, dimana 50% dari

residu asam muramat pembentuk korteks ini hadir dalam bentuk asam muramat δ-

laktam. Setelah korteks mengendap, struktur spora akhirnya tertutup di antara mantel

Domain : Bacteria

Phylum : Firmicutes

Class : Bacilli

Order : Bacillales

Family : Bacillaceae

Genus : Bacillus

Species : B.subtilis

Page 16: Industri Bioproses  Fenilalanin

15

Domain : Bacteria

Phylum : Actinobacteria

Order : Actinomycetales

Sub-order : Corynebacterineae

Family : Corynebacteriaceae

Genus : Corynebacterium

Species : C.glutamicum

protein, dan sel induk di sekitarnya spora tersebut mati dan mengalami lisis untuk

menghasilkan spora. Spora ini sangat tidak aktif (dorman), terlihat dari kurangnya

metabolisme yang terjadi, dan sangat tahan terhadap kekeringan, panas, radiasi dan

pemberian zat-zat kimia keras. Spora-spora ini dapat bertahan dalam waktu yang lama.

Ketika berada dalam kondisi yang sesuai untuk pertumbuhannya, spora ini

bergerminasi (berkecambah) membentuk sel vegetatif.

Ada banyak penelitian yang saat ini sedang dilakukan terhadap B.subtilis. Satu

proyek penelitian baru-baru ini berfokus pada ketahanan spora B.subtilis terhadap

panas, radiasi dan bahan kimia. Telah diketahui bahwa spora dapat bertahan hidup

ratusan, bahkan juatan tahun dalam keadaan tidak aktif. Studi ini meneliti faktor

penting yang berkontribusi terhadap spora perlawanan. Peneliti menemukan bahwa

mantel bakteri ini adalah faktor utama karena mantel menyediakan penghalang bagi

organinsme terhadap agen beracun, radiasi ultraviolet dan enzim litik. Membrane

dalam juga ditemukan mempunyai peranan yang penting karena permeabilitas yang

rendah terhadap bahan racun. Perbaikan DNA juga ditemukan mempunyai peranan

penting karena dapat mengontrol kerusakan DNA akibat radiasi, panas dan racun.

Spora B.subtilis juga tahan terhadap panas lembab, terutama dengan kadar air inti

yang rendah. Semakin rendah kadar air di inti spora, semakin tahan spora tersebut

terhadap panas lembab. (Setlow 2006)

Corynebacterium glutamicum merupakan bakteri dari genus Corynebacterium,

yang merupakan kelompok bakteri gram positif dan berbentuk batang. Genus bakteri

ini tersebar banyak dan merata di alam. C.glutamicum merupakan bakteri yang

awalnya digunakan pada industri MSG (Mono Sodium Glutamate), yaitu bakteri yang

menghasilkan asam glutamat. Pada perkembangannya, C.glutamicum tidak hanya

digunakan untuk menghasilkan asam glutamat, akan tetapi juga berbagai asam amino

lainnya seperti L-lisin dan L-fenilalanin. Pengembangan dan pemuliaan strain

C.glutamicum menyebabkan tingkat produktivitas yang kian meningkat dan selektivitas

dari bakteri ini yang terus meningkat.

Klasifikasi Corynebacterim glutamicum:

Page 17: Industri Bioproses  Fenilalanin

16

Secara spesifik, C.glutamicum merupakan bakteri kecil, tidak dapat bergerak

yang tersebar banyak di tanah-tanah maupun sisa tanaman. Bakteri ini tidak dapat

memproduksi spora. Bakteri ini mempunyai katalase dan dapat memecah karbohidrat

dalam rantai metabolismenya. C.glutamicum pertama kali ditemukan di Jepang pada

tahun 1950an dan mempunyai peranan penting dalam industri bioproses dan

bioteknologi. C.glutamicum tidak bersifat patologi. Selain tidak bersifat patologi,

C.glutamicum sudah mulai digunakan dalam proses bioremediasi pada pengolahan

limbah arsen.

Pada proses metabolismenya, C.glutamicum memecah karbohidrat dalam proses

fermentasi. Bakteri ini dapat menggunakan sumber karbon dari berbagai senyawa,

misalnya beberapa senyawa aromatik. Karena C.glutamicum dapat menerima /

mencerna berbagai nutrisi sumber karbon, C.glutamicum memiliki 127 protein yang

terkait dengan fungsi regulasi pada bakteri ini dan pengendalian metabolisme. Dari

struktur sel yang dimiliki C.glutamicum, dinding sel bakteri ini merupakan bagian yang

paling unik. Selain mengandung lapisan peptidoglikan, dinding sel C.glutamicum juga

mengandung rantai pendek dari asam mikolat dan pasangan-pasangan dari lipid yang

tidak umum ditemukan (misalnya asam meso-diaminopimelik dan polimer arabino-

galaktan).

Selain B.subtilis dan C.glutamicum, Aspergillus niger juga sering dijumpai dalam

fermentasi fenilalanin. Aspergillus niger merupakan fungi berfilamen haploid dari filum

Ascomycota. A.niger mempunyai hifa yang termasuk ke dalam jenis hifa yang non-

coenocytic (hifa septate). A.niger dapat ditemukan dimana-mana, di tanah, sisa

tumbuhan, bahkan udara sekeliling kita. A.niger biasanya merupakan penyebab

bercak-bercak hitam pada buah, sayur, bawang dan kacang tertentu. Pada industri

pangan, A.niger biasanya dikenal sebagai jamur kontaminan. A.niger digunakan

secara luas untuk pengolahan limbah dan biotransformasi karena memproduksi enzim

ekstrasellular.

Klasifikasi Aspergillus niger:

Domain : Eukaryota

Kingdom : Fungi

Phylum : Ascomycota

Subphylum : Pezizomycotina

Class : Eurotiomycetes

Order : Eurotiales

Family : Trichocomaceae

Genus : Aspergillus

Species : A.niger

Page 18: Industri Bioproses  Fenilalanin

17

A.niger ditemukan berkoloni yang terdiri dari bulu-bulu halus (felt) kuning dan

putih yang ditutupi oleh spora aseksual yang berwarna hitam. Misellium atau benang

hifa mempunyai septum dan trasnparan. Konidia (spora aseksual) A.niger biasanya

berkisar 900-1600 pm panjang dan dapat ditemukan bulatan-bulatan yang disebut

globose vesicle dengan ukuran diameter yang berkisar 40-60 μm. Globose vesicle

biasanya juga dikenal dengan kantong askus pada fungi Ascomycota.

Pada industri bioproses, A.niger terkenal sebagai jamur yang berperan dalam

proses fermentasi asam sitrat ketika ditemukan pertama kalinya. Dalam

pengembangannya, A.niger dengan berbagai strain yang sudah ada sekarang mampu

berperan dalam berbagai fermentasi, misalnya : fermentasi asam-asam amino,

fermentasi minuman beralkohol dan lain sebagainya.

B. Bahan Baku, Penanganan Bahan Baku, Medium Fermentasi, Substrat

(Sumber Karbohidrat), Nutrien Lain dan Cara Sterilisasi.

Pada buku COMPREHENSIVE BIOTECHNOLOGY : The Principles, Applications

and Regulations of Biotechnology in Industry Agricultural and Medicine (1985) pada

artikel yang ditulis oleh H. Enei dan Y. Hirose, penelitian yang dilakukan oleh

Ajinomoto Co. Inc menggunakan bahan baku glukosa dan molase sebagai sumber

karbon dan didapat perbandingan yield produk L-fenilalanin yang dihasilkan sebagai

berikut :

Strain Markera Substrate

L-Phe formed

(g.l-1

)

Yieldb

(%)

Bacillus subtilis 5FTr Glucose 6.0 7.5

Brevibacterium lactofermentum 5MTr, PFP

r, Dec

r, Tyr

-, Met

- Glucose 25.0 19.0

Corynebacterium glutamicum PFPr, PAP

r, Tyr

- Cane mollases 9.5 9.5

a Singkatan : 5FT, 5-fluorotryptophan; 5MT, 5-methyltryptophan; PFP, p-fluorophenylalanine;

PAP, p-aminophenylalanine; Dec, decoyinine. b g phenylalanine / g substrate consumed 100.

Keterangan : Molase adalah produk sampingan dari industri sukrosa (gula tebu) yang

mempunyai nilai kegunaan yang rendah. Molase biasanya digunakan sebagai bahan

baku untuk berbagai industri fermentasi lainnya misalnya fermentasi alkohol,aseton,

asam sitrat, gliserol, asam-asam amino lainnya.

Kandungan berbagai senyawa dalam beet dan cane molasses:

Page 19: Industri Bioproses  Fenilalanin

18

[Okafor, Nduka, (2007), Modern Industrial Microbiology and Biotechnology, Science

Publishers, Enfield, NH, USA, 61]

Pada jurnal yang ditulis oleh M. R. Gerigk dan tim penelitinya : Enhanced pilot-

scale fed-batch L-phenylalanine production with recombinant Escherichia coli by fully

integrated reactive extraction (2002), proses produksi menggunakan bakteri E.coli

W3110-4 menggunakan glukosa sebagai sumber karbon dan L-Tyr sebagai bahan

bakunya. Amoniak digunakan sebagai pengendali pH dengan cara titrasi. Adapun

formulasi medium fermentasi yang digunakan yaitu : 3,0 g/L MgSO4.7H2O; 0,015 g/L

CaCl2.H2O; 3,0 g/L KH2PO4; 1,0 g/L NaCl; 5,0 g/L (NH4)2SO4; 0,075/0,1 g/L

FeSO4.7H2O/ Na-Sitrat; 0,075 g/L tiamin; 0,3 g/L L-Tyr; 0,1 g/L ampicilin; 15 g/L

glukosa dan 1,5 ml/L larutan sisa yang mengandung 2,0 g/L Al2(SO4).18H2O; 0,75 g/L

CoSO4.7H2O; 2,5 g/L CuSO4.5H2O; 0,5 g/L H3BO3; 24 g/L MnSO4.H2O; 3,0 g/L

Na2MoO4.2H2O; 2,5 g/L NiSO4.6H2O; dan 15,0 g/L ZnSO4.7H2O. Medium yang sama

digunakan sebagai medium prakultur dengan beberapa perubahan sebagai berikut: 0,3

g/l MgSO4.7H2O; 0,1 g/l NaCl; 0,0075 g/l tiamin HCl; 0,08 g/l L-Tyr; 5,0 g/l glukosa

dan tambahan 12 g/l K2HPO4 (pH akhir 7,2).

Medium pertumbuhan biokatalis yang digunakan sama seperti medium yang

dijelaskan di atas yang dimodifikasi sehingga mengandung komponen-komponen

berikut: 30 mM (NH4)2SO4; 6,6 mM K2HPO4; 3,7 mM KH2PO4; 1 mM MgSO4; 50 Μm

CaCl2; 0,2 mM FeCl2; dan 0,3 μM vitamin B1. 100 μL/L polipropilen ditambahan

sebagai antifoam agent untuk mencegah terbentuknya buih pada saat fermentasi.

Sumber karbon glukosa dibuat pada 50% (w/v) larutan cadangan dan disterilisasi

menggunakan autoclave secara terpisah pada 121 selama 20 menit. Untuk

pemeliharaan plasmid pSY130-14, medium ditambahkan dengan ampcilin 100 mg/L.

(Christian Weikert, Uwe Sauer, dan James E. Bailey; Institute of Biotechnology –

Switzerland; 1998)

Page 20: Industri Bioproses  Fenilalanin

19

C. Lintasan Biosintesis Fenilalanin

Jalur biosintetik dengan produk L-fenilalanin dan L-tirosin. Singkatan : PAT =

Prephenate aminotransferase

[Rippert, Pascal, et. al (2009), Tyrosine and Phenylalanine Are Synthesized within

the Plastids and Arabidopsis, Plant Physiology,149, 1251-1260]

Page 21: Industri Bioproses  Fenilalanin

20

Jalur biosintetik dari prephenate dan arogenate menjadi fenilalanin pada tanaman

dan mikrooganisme

[Ho Cho, Man, et. al (2007), Phenylalanine Biosynthesis in Arabidopsis thaliana :

Indentification and Characterization of Arogenate Dehydratases, The Journal of

Biological Chemistry, 282, 30827-20835]

Jalur biosintesis fenilalanin dalam E.coli dan hubugannya dengan sintesis asam-

asam amino bergugus aromatik dan vitamin-vitamin lainnya. Singkatan : PEP,

Phosphonolpyruvate; E4P, erythrose-4-phosphate; DAHP, 3-deoxy-D-

arabinoheptulosonic acid-7-phosphate; SA, shikimic acid; CA, chorismic acid; PA,

prephenic acid; PPA, phenylpyruvic acid.

[Gowrishankar, J. And Pittard, James (1982), Regulation of Phenylalanine

Biosynthesis in Escherichia coli K-12: Control of Transcription of the pheA Operon,

Journal of Bacteriology, 150, 1130-1137]

Jalur biosintetik asam amino. Simbol : 1, DAHP synthase-Phe; 2, DAHP synthase-

Tyr; 3, DAHP synthase-Typ; 4, CMI; 5, CMII; 6, prephenate dehydrase; 7,

anthanilate synthase. Singkatan : E4P, erythrose-4-phosphate; PEP,

phosphoenolpyruvate; CHA, chorismate; PPA, prephenate; PPY, phenylpyruvate;

HPP, hydroxyphenylpyruvate; ANT, anthanilate; PHE, phenylalanine; TYR,

tyrosine; TRP, tryptophan.

Page 22: Industri Bioproses  Fenilalanin

21

[J. Fiske, Michael and F. Kane, James (1984), Regulation of Phenylalanine

Biosynthesis in Rhodotorula glutinis, Journal of Bacteriology, 160, 676-681]

Jalur biosintetik konversi prephenate menjadi L-fenilalanin dan L-tirosin pada

Amycolatopsis methanolica. Tanda panah dengan panjang yang berbeda-beda

digunakan untuk mengindikasikan tingkat kepentingan relatif dari isoenzim yang

terdeteksi pada strain WV2. Simbol : a, prephenate dehydrase; b dan c, Phe AT

(Phe ATI dan –II berurutan); b,d dan e, (Ppa ATI, -II dan –III berurutan); f,

arogenate dehydrogenase; b dan c, tyrosine AT (Tyr ATI dan II berurutan).

[Aboud-Zeid, A. , et.al (1995), Biosynthesis of L-Phenylalanine and L-Tyrosine in

the Actinomycete Amycolatopsis methanolica, Applied and Environmental

Microbiology, 61, 1298-1302]

Page 23: Industri Bioproses  Fenilalanin

22

[G. Villas-Boas, Silas, et.al (2005), High-Throughput Metabolic State Analysis: The

Missing Link in Integrated Functional Genomics of Yeasts, Biochemisty Journal,

388, 669-677]

[Okafor, Nduka, (2007), Modern Industrial Microbiology and Biotechnology,

Science Publishers, Enfield, NH, USA, 95]

D. Pengembangan Inokulum

Kultur persediaan yang disimpan pada suhu -80 dalam medium Luria-Bertani

(LB) yang mengandung 20% gliserol dan 25 mg/L kanamicin. Untuk prakultur, 200 mL

medium LB ditambahkan dengan 40 mg/L kanamicin, 20 g/L glukosa dan 1 tetes dari

antifoam (Adecanol 19). pH campuran disesuaikan ke 7,5 dengan menggunakan

NaOH. Satu mililiter dari kultur persediaan tersebut diinokulasi dan dikembangkan

Page 24: Industri Bioproses  Fenilalanin

23

selama 12 jam pada gelas 12-L Sakaguchi pada suhu 37 dan ditempatkan pada

reciprocal shaker (sejenis alat pengaduk).

Komposisi dari medium sintetik untuk produksi L-fenilalanin sama seperti yang

disebutkan sebelumnya (Konstantinov et. al, 1990b) kecuali pada konsentrasi

AlCl3.6H2O, MnSO4.nH2O, Na2MoO4.2H2O, FeSO4.7H2O, ZnSO4.7H2O dan H3BO3

yang dikalikan tiga dan 4,5 mg/L dari CuCl2.2H2O dan 15,0 mg/L dari CoCl2.6H2O

ditambahkan. Konsentrasi glukosa awal yaitu 20 g/L. Setelah kadar glukosa menipis,

penambahan larutan 30% (w/v) glukosa dilakukan secara berkala.

Beberapa set dari 3 g L-tirosin dan 250 mg dari tiamin HCl ditambahkan secara

berkala untuk mengkompensasi defisiensi genetik dari strain yang digunakan ketika

densitas optikal pada 660 nm (OD660) mencapai 45, 70, 80 dan 30, 60, 80, 90. Setelah

penambahan dari L-tirosin selesai dilakukan, larutan 2 g/L L-tirosin dalam larutan

amoniak (2,8%) diumpankan secara berkala. Dua ratus miligram dari kanamicin

diumpankan ketika OD660 mencapai 50, 80 dan 90, dan dengan kadar yang sama

KH2PO4, K2HPO4, CaCl2.2H2O, MgSO4.7H2O dan Na-glutamat seperti pada medium

sebelumnya diumpan ketika OD660 80. Antifoam ditambahkan ketika diperlukan.

Pengembangan kultur dilakukan dalam fermentor (13,5 L, MBF-1350, Tokyo Rika

Co. Ltd., Jepang) dengan kondisi-kondisi sebagai berikut: inokulum awal, 300 mL;

volume kultur awal 5L; temperatur 38,5 ; pH 7,0 (dikendalikan dengan menambahkan

28% air amoniak); DO 20% udara jenuh (dikendalikan dengan meningkatkan laju

agitasi mencapai 1000 putaran per menit dan mencampurkan oksigen murni dengan

gas inlet); tekanan gauge dalam 0,5 kg/cm2; laju alir udara 0,5 L/menit. Pengontrolan

kondisi operasi ini dilakukan dengan perangkat lunak (software) yang diprogram

menggunakan bahasa C yang dijalankan pada perangkat keras (hardware) IBM AT-

compatible. [Takagi, Mutsumi, et al, (1996), Osaka University]

Sebuah sistem multireaktor Sixforce (Infors AG), yang terdiri dari 6 reaktor

dengan volume masing-masing 350 mL, digunakan untuk semua proses batch dan

experimen sel. Kondisi pengembangan kultur sebagai berikut: pH 7,0 0,1

(dikendalikan dengan 4 M NaOH atau 2 M H3PO4); temperatur 37 ; agitasi 500

putaran per menit; aerasi 1,5 vvm dengan udara yang sudah disaring dan disterilkan.

Bioreaktor mengandung medium-medium dengan komposisi yang sudah dibahas pada

sub-bab sebelumnya dan antifoam yang disterilkan dengan autoclave pada suhu 121

selama 30 menit. Larutan steril dari MgSO4, CaCl2, FeCl2 dan sumber karbon

ditambahkan secara terpisah pada suhu 37 . Inokulum (1/10 volume) dikembangkan

pada kondisi aerob dalam 100 mL medium yang sama pada gelas kocok 500 mL yang

ditempatkan ke dalam rotary shaker dari kultur segar (12 jam, 37 ).

Page 25: Industri Bioproses  Fenilalanin

24

Perkembangan sel selama pengembangan inokulum dipantau melalui perubahan

pada OD420 pada pengenceran yang sesuai dalam 0,9% formaldehida. Untuk

penentuan berat sel kering (BSK), sejumlah volume tertentu dari kaldu fermentasi

disentrifugasi pada gelas kaca yang sudah ditimbang pada 2000g (2000 kali

percepatan gravitasi) selama 10 menit menggunakan alat sentrifugasi Beckman SC 6R.

Granul-granul sel kemudian dibersihkan dengan PBS buffer dan dilanjutkan dengan air,

tabung-tabung kemudian dikeringkan pada suhu 90 selama 12-16 jam sampai berat

yang terukur konstan. Total konsentrasi protein sel ditentukan dengan metode Lowry

yang sudah dimodifikasi (Lowry et al., 1951). Granul-granul sel dari 1 mL sampel kultur

dibersihkan dengan PBS dan kembali disuspensi dalam 1 mL 0,4 M NaOH. Suspensi

tersebut kemudian diinkuasi selama 15 menit pada 100 . Larutan 400 μL yang

mengandung 10 mM CuSO4; 50 mM natrium-kalium tartrat; 0,25 M NaOH; dan 40 mM

kalium iodida ditambahkan pada suhu ruangan, dan campuran diikubasi selama 30

menit pada 37 . Sisa-sisa sel yang hancur dipisahkan dengan cara sentrifugasi pada

3300g selama 15 menit dan absorbansi supernatan diukur pada panjang gelombang

576 nm. (Ingraham et al., 1990) [Weikert, Christian et al., Institute of Biotechnology –

Switzerland, 1998]

Pengembangan kultur dilakukan dalam bioreaktor 20 L (ISF 200, Infors,

Switzerland) termasuk ke dalam batasan-batasan berikut: 10% inokulum, volume awal

7,5 L; temperatur 37 ; pH 6,5 (pH dikendalikan dengan 25% amoniak dalam air); 50

jam fermentasi. Operasi dikendalikan oleh perangkat lunak terintegrasi (Infors,

Switzerland) Untuk pra-optimasi dari parameter dasar proses, sebuah sistem 12 gelas

kocok pada reciprocal incubator (inkubator yang dilengkapi dengan pengocok)

digunakan (Infors, Switzerland). Inkubator kemudian ditambahkan dengan sistem

pararel pengukur pH dan pengendali pengumpan substrat (Dasgip GmbH, Germany)

untuk masing-masing labu. Dengan sistem fermentasi 12 pengendali pH fed-batch

dapat dilakukan secara pararel dalam labu kocok.

Fermentasi skala pilot dilakukan dalam bioreaktor 300 L Chemap (Chemap,

Switzerland) termasuk di dalamnya bioreaktor yang digunakan untuk pengembangan

kultur (30 L) dengan batasan-batasan sebagai berikut: bioreaktor 30 L, volume awal

(medium pengembangan kultur) 11.0 L; pH 7,2 (tidak dikendalikan); 6 jam fermentasi.

Bioreaktor 300 L: volume awal (medium fermentasi) 123 L; pH 6,5 (dikendalikan

dengan air amoniak 25%); 50 jam fermentasi. Operasi dikendalikan oleh perangkat

lunak terintegrasi. [R. Gerigk, M. et al., 2002]

Page 26: Industri Bioproses  Fenilalanin

25

E. Proses Produksi, Jenis Proses, Proses Flowsheet

Proses produksi L-fenilalanin dengan reactor fed-batch

[R. Gerigk, M. et.al (2002), Enhanced Pilot-Scale Fed-Batch L-Phenylalanine

Production with Recombinant Escherichia coli by Fully Integrated Reactive

Extraction, Bioprocess Biosyst Eng., 25, 43-52]

Pengembangan fermentasi skala lab untuk penggunaan biokatalis E.coli dimulai

dengan pendekatan pengendalian proses secara manual dan mengarah ke variasi

kinerja proses yang sangat signifikan yang ditunjukkan oleh kadar glukosa yang sangat

bervariasi, konsentrasi L-Tyr dan L-Phe yang mengalir. Misalnya pembatasan glukosa

yang harus dihindari untuk mencegah penurunan tingkat produksi. Namun, akumulasi

glukosa juga tidak seharusnya tidak terjadi oleh karena pembentukan produk

sampingan (terutama asetat). Dengan demikian, pendekatan proses yang dilakukan

dapat ditingkatkan dengan tujuan reproduktivitas tinggi, kesesuaian untuk strain

produksi yang berbeda dan kemampuan upscale.

Sebuah pengendali glukosa tipe loop tertutup dipasang yang terdiri dari unit

ultrafiltrasi (penyaringan) untuk pengambilan sampel secara berkala, OLGA untuk

pengukuran substrat langsung dan sebuah penyaring Kalman yang dikombinasikan

dengan pengendali dengan variance minimum untuk pengendalian laju umpan. Untuk

pengembangan proses lebih lanjut, analisis komponen utama digunakan untuk

Page 27: Industri Bioproses  Fenilalanin

26

menganalisis hasil fermentasi. Dengan cara ini, L-Tyr telah diidentifikasi sebagai

variable kunci fermentasi. Oleh karena itu, analisis tambahan dilakukan untuk

mengetahui pengaruh konsentrasi L-Tyr pada kinerja proses. Sebuah analisis yang

dilakukan terhadap 10 kali fermentasi menunjukkan bahwa efek dari L-Tyr pada akhir

titer L-Phe. [R. Gerigk, M. et al., 2002]

F. Perolehan Produk, Tipe Perolehan Produk

Proses produksi L-fenilalanin dengan reactor fed-batch dan dilanjutkan ke unit

ekstraksi.

[R. Gerigk, M. et.al (2002), Enhanced Pilot-Scale Fed-Batch L-Phenylalanine

Production with Recombinant Escherichia coli by Fully Integrated Reactive

Extraction, Bioprocess Biosyst Eng., 25, 43-52]

Setelah umpan melalui bioreaktor dan mengalami fermentasi, kemudian proses

dilanjutkan ke tahap ekstraksi untuk pemisahan L-fenilalanin dari hasil fermentasi.

Proses ekstraksi ini menggunakan larutan berumatan yang dapat menarik ion-ion

tertentu. Pada gambar dapat dilihat bahwa larutan yang berisi sel-sel yang tidak

digunakan dalam proses fermentasi digunakan pada unit pemisahan produk. Pada

larutan H2SO4 1 M, sebuah ion proton ditambahkan.

Larutan tersebut dialirkan pada organic cycle (pada gambar) yang mengandung

pelarut organik bersamaan dengan zat pembawa (D2EHPA). Pemisahan terjadi pada

lapisan antara fasa aqueous (polar) dan fasa organik. Setelah dipisahkan antara L-

fenilalanin dan sisa produk lainnya, kemudian L-fenilalanin dilepaskan pada unit

Page 28: Industri Bioproses  Fenilalanin

27

stripper setelah melewati unit ekstraksi. Beberapa penelitian menyatakan bahwa pada

unit ekstraksi, sistem ekstraksi terdiri dari asam di-2-etil-heksil-fosfat (DEHPA) dalam

10% (v/v) kerosene dan 1 mol asam sulfat yang merupakan sistem optimal untuk

ekstraksi L-fenilalanin dari hasil fermentasi.

G. Pengolahan Limbah, Bentuk Limbah dan Jenis Pengolahan Limbah

Pada berbagai industri asam amino atau lebih spesifiknya industri fenilalanin

sering kali tidak ditemukan limbah yang berbahaya. Aliran keluaran dari bioreaktor

pada jurnal ‘Enhanced Pilot-Scale Fed-Batch L-Phenylalanine Production with

Recombinant Escherichia coli by Fully Integrated Reactive Extraction’ berupa

campuran substrat dan fenilalanin yang dipisahkan pada kolom ekstraksi

menggunakan DEHPA lalu dilanjutkan pemisahan pada stripper. Sisa ekstraksi dari

kolom ekstraksi yang bukan fenilalanin dialirkan kembali ke dalam bioreaktor untuk

dikonversi karena proses yang dilakukan bersifat fed-batch atau lebih tepatnya semi

fed-batch karena hanya ada aliran produk yang dikehendaki yang keluar, yaitu L-

fenilalanin.

Page 29: Industri Bioproses  Fenilalanin
Page 30: Industri Bioproses  Fenilalanin

29

REFERENSI

1. J. Waites, Michael, et al., (2001), Industrial Microbiology : An Introduction, T.J.

International Ltd., Padstow, Cornwall, England, 12-13

2. Okafor, Nduka, (2007), Modern Industrial Microbiology and Biotechnology, Science

Pyblishers, Enfield, NH, USA, 388-396

3. Setlow, P., (2006), Spores of Bacillus subtilis : Their Resistance to and Killing by

Radiation, Heat and Chemicals, Journal of Applied Microbiology, 101, 514-525

4. Koukol, Jane and Eric E. Conn, (1961), The Metabolism of Aromatic Compounds in

Higher Plants, The Journal of Biological Chemistry, 236, 2692-2698

5. R. Lide, David (2009), Handbook of Chemistry and Physics 90th Edition, CRC Press,

Boca Raton, Florida, 3-424

6. L. Nelson, David and M. Cox, Michael (2008), Lehninger: Principles of Biochemistry

5th Edition, W.H. Freeman and Company, New York, 76

7. Mary Ederer, Grace, Jackie H. Chu and Donna J. Blazevic, (1970), Rapid Test for

Urease and Phenylalanine Deaminase Production, Apllied Microbiology, 21, 545

8. D. Fernstrom, John and Madelyn H. Fernstrom, (2011), Tyrosine, Phenylalanine and

Catecholamine Synthesis and Function in The Brain, The Journal of Nutrition, 137,

1539S-1547S

9. MD, Josefweglage, et al., (2001), Individual blood-brain barrier phenylalanine

transport determines clinical outcome in phenylketonuria, Annals of Neurology, 50,

463-467

10. Rippert, Pascal et al., (2009), Tyrosine and Phenylalanine Are Synthesized within

The Plastids in Arabidopsis, Plant Physiology, 149, 1251-1260

11. Camakaris, H. and J. Pittard, (1973), Regulation of Tyrosine and Phenylalanine

Biosynthesis in Escherichia coli K-12 : Properties of the tyrR Gene Product,

Journal of Bacteriology, 115, 1135-1144

12. J. Fiske, Michael and James F. Kane, Regulation of Phenylalanine Biosynthesis in

Rhodotorula glutinis, Journal of Bacteriology, 160, 676-681

13. Gowrishankar, J. and James Pittard, Regulation of Phenylalanine Biosynthesis in

Escherichia coli K-12 : Control of Transcription of the pheA Operon, Journal of

Bacteriology, 150, 1130-1137

14. R. Gerigk, M., et al., (2002), Enhanced Pilot-Scale Fed-Batch L-Phenylalanine

Production with Recombinant Escherichia coli by Fully Integrated Reactive

Extraction, Bioprocess Biosyst Eng., 25, 43-52

Page 31: Industri Bioproses  Fenilalanin

30

15. Gerigk, M., et al., (2002), Process Control for Enhanced L-Phenylalanine

Production Using Different Recombinant Escherichia coli Strains, Biotechnology

and Bioengineering, 80, 746-754

16. Ho Cho, Man et al., (2007), Phenylalanine Biosynthesis in Arabidopsis thaliana,

The Journal of Biological Chemistry, 282, 30827-30835

17. Weikert, Christian, Uwe Sauer and James E. Bailey, Increased Phenylalanine

Production by Growing and Nongrowing Escherichia coli Strain CWML2,

Biotechnol. Prog., 14, 420-424

18. Takagi, Mutsumi, et al., (1996), Control of L-Phenylalanine Production by Dual

Feeding of Glucose and L-Tyrosine, Biotechnology and Bioengineering, 52, 653-

660

19. Ziehr, H., M.R. Kula, et al., (1986), Continuous Production of L-Phenylalanine by

Transamination, Biotechnology and Bioengineering, XXIX (29), 482-487

20. Abou-Zeid, A., et al., (1995), Biosynthesis of L-Phenylalanine and L-Tyrosine in the

Actinomyceta Amycolatopsis methanolica, Applied and Environmental

Microbiology, 61, 1298-1302

21. W. Nester, Eugene and Alice L. Montoya, (1976), An Enzyme Common to

Histidine and Aromatic Amino Acid Biosynthesis in Bacillus subtilis, Jounal of

Bacteriology, 126, 688—705

22. Katsumata, Ryoichi, et al., (1995), Process For Producing L-Tryptophan, L-

Tyrosine or L-Phenylalanine, United States Patent, 5605818

23. M. Lee, Pat, H. Kong Lee and Yew S. Siaw, (1993), Covalent Immobilization of

Aminoacylase to Alginate for L-Phenylalanine Production, Journal of Chem. Tech.

Biotechnol, 59, 65-70

24. Ali, S. and Haq, (2010), Production of 3,4—dihydroxy L-phenylalanine by a Newly

Isolated Aspergillus niger and Parameter Significance Analysis by placket-Burman

Design, BMC Biotechnology, 10:86