MODEL PERDAGANGAN KARET ALAM INDONESIA: Simulasi Kebijakan Menghadapi Kesepakatan Triparteit dan Perdagangan Bebas RINGKASAN Dompak MT Napitupulu, Program Pascasarjana Universitas Brawijaya, 17 Agustus 2004. Model Perdagangan Karet Alam Indonesia: Simulasi Kebijakan Menghadapi Kesepakatan Triparteit Dan Perdagangan Bebas; Komisi Pembimbing, Promotor: Prof. Dr. Ir. M. Muslich M., M.Sc., Ko-Promotor: 1) Dr. Harry Susanto, SU. 2) Dr. Ir. Nuhfil Hanani, MS 3) Dr. Kaman Nainggolan, MSc. Karet alam, hingga tahun 1998, merupakan komoditas penyumbang devisa terbesar dari sektor pertanian, namun harga karet alam yang terus merosot sejak tahun 1986 menyebabkan komoditas ini hanya mampu menyumbang devisa sebesar US. $. 786,2 juta pada tahun 2001 sehingga berada pada urutan tiga penyumbang devisa sektor pertanian bersama sama udang dan kelapa sawit. Harga karet alam yang turun dengan drastis menyebabkan tiga negara produsen karet alam utama dunia bersepakat untuk melakukan interfensi melalui pengurangan produksi (Supply Management Scheme / SMS) dan penawaran ekspor (Agreed Export Tonnage Scheme / Aets) yang di kenal dengan ‘kesepakatan tripartite’. Namun demikian, apakah kesepakatan tripartite dapat menaikkan harga karet alam Indonesia hingga ke tingkat yang layak khususnya bagi petani karet rakyat masih perlu dipertanyakan. Dalam pada itu, perdagangan internasional telah mulai memasuki era awal perdagangan bebas, bagaimana kinerja perdagangan karet alam Indonesia dalam menyongsong perdagangan bebas yang secara mutlak akan dilaksanakan pada tahun 2020 juga perlu dikaji. Dua pertanyaan tersebut dapat dijawab dengan menggunakan model perdagangan karet alam Indonesia. Tujuan utama dari penelitian ini adalah untuk menganalisis dampak kesepakatan tripartite dan sejumlah alternatif kebijakan dalam koridor liberalisasi perdagangan yang dapat meningkatkan harga dan perolehan devisa dari perdagangan karet alam Indonesia melalui pendekatan model simultan dinamis dengan skenario kebijakan yang dapat dilakukan oleh pemerintah. Hasil penelitian ini dapat memperkaya pendekatan yang dapat dilakukan dalam ilmu perencanaan pembangunan pertanian. Selain berguna dalam pengembangan ilmu, hasil
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
MODEL PERDAGANGAN KARET ALAM INDONESIA:
Simulasi Kebijakan Menghadapi Kesepakatan Triparteit dan Perdagangan Bebas
RINGKASAN
Dompak MT Napitupulu, Program Pascasarjana Universitas Brawijaya,
17 Agustus 2004. Model Perdagangan Karet Alam Indonesia: Simulasi Kebijakan
Menghadapi Kesepakatan Triparteit Dan Perdagangan Bebas; Komisi Pembimbing,
Promotor: Prof. Dr. Ir. M. Muslich M., M.Sc., Ko-Promotor: 1) Dr. Harry Susanto,
SU. 2) Dr. Ir. Nuhfil Hanani, MS 3) Dr. Kaman Nainggolan, MSc.
Karet alam, hingga tahun 1998, merupakan komoditas penyumbang
devisa terbesar dari sektor pertanian, namun harga karet alam yang terus merosot
sejak tahun 1986 menyebabkan komoditas ini hanya mampu menyumbang devisa
sebesar US. $. 786,2 juta pada tahun 2001 sehingga berada pada urutan tiga
penyumbang devisa sektor pertanian bersama sama udang dan kelapa sawit.
Harga karet alam yang turun dengan drastis menyebabkan tiga negara produsen
karet alam utama dunia bersepakat untuk melakukan interfensi melalui
pengurangan produksi (Supply Management Scheme / SMS) dan penawaran
ekspor (Agreed Export Tonnage Scheme / Aets) yang di kenal dengan ‘kesepakatan
tripartite’. Namun demikian, apakah kesepakatan tripartite dapat menaikkan harga
karet alam Indonesia hingga ke tingkat yang layak khususnya bagi petani karet
rakyat masih perlu dipertanyakan. Dalam pada itu, perdagangan internasional
telah mulai memasuki era awal perdagangan bebas, bagaimana kinerja
perdagangan karet alam Indonesia dalam menyongsong perdagangan bebas yang
secara mutlak akan dilaksanakan pada tahun 2020 juga perlu dikaji. Dua
pertanyaan tersebut dapat dijawab dengan menggunakan model perdagangan karet alam Indonesia.
Tujuan utama dari penelitian ini adalah untuk menganalisis dampak
kesepakatan tripartite dan sejumlah alternatif kebijakan dalam koridor liberalisasi
perdagangan yang dapat meningkatkan harga dan perolehan devisa dari
perdagangan karet alam Indonesia melalui pendekatan model simultan dinamis
dengan skenario kebijakan yang dapat dilakukan oleh pemerintah. Hasil penelitian
ini dapat memperkaya pendekatan yang dapat dilakukan dalam ilmu perencanaan
pembangunan pertanian. Selain berguna dalam pengembangan ilmu, hasil
ii
penelitian ini juga diharapkan dapat digunakan sebagai informasi untuk
pengambilan keputusan dalam upaya menaikkan harga dan perolehan devisa dari
perdagangan karet alam Indonesia.
Upaya menaikkan harga dapat dilakukan dengan mengurangi
penawaran disatu sisi dan meningkatkan permintaan disisi lainnya. Kerjasama
tripartite pada dasarnya merupakan manifestasi dari struktur pasar karet alam dunia
yang bersifat oligopoly dimana mayoritas (66,52 %) produksi karet alam dunia
dihasilkan oleh tiga negara yakni Indonesia, Malaysia dan Thailand. Kolusi antara
tiga produsen utama sehingga menciptakan struktur pasar oligopoly menyebabkan
peluang menaikkan harga dengan cara mengurangi penawaran terbuka untuk
dilakukan. Penerapan kesepakatan tripartite dengan demikian akan mampu
menaikkan harga dan penerimaan devisa dari perdagangan karet alam Indonesia.
Hipotesis lain yang dibangun dalam penelitian ini adalah: penghapusan pajak
ekspor, pengurangan subsidi harga pupuk, dan pegurangan areal perkebunan karet
dapat menaikkan harga dan perolehan devisa dari perdagangan karet alam
Indonesia.
Data dalam penelitian ini adalah data timeseries yang dihimpun dari
berbagai institusi baik nasional maupun mancanegara yang memiliki data kinerja
perdagangan karet alam Indonesia. Nilai determinan perdagangan karet alam
dalam penelitian ini diprediksi dengan menggunakan model simultan dinamis yang
menggambarkan pola hubungan antara variabel dalam industri karet alam mulai dari
tingkat produksi hingga perdagangan luar negeri. Simulasi guncangan terhadap
kinerja perdagangan karet alam Indonesia serta alternatif kebijakan dilakukan
dalam model perdagangan karet alam Indonesia yang terdiri dari 78 variabel
endogen dan 261 variabel eksogen. Keterhandalan model diuji dengan
menggunakan uji-F, sementara pengaruh variabel prederterminan terhadap variabel
endogen dievaluasi dengan indikator koefisien determinasi R2, serta signifikasi dari
masing masing paremeter diuji dengan melihat derajat selang kepercayaan
kemampuan menolak hipotesis parameter variabel predeterminan sama dengan nol
(Ho: αi = 0) serta divalidasi dengan menggunakan pendekatan Gauss-Seidel.
Skenario simulasi yang dilakukan meliputi: melanjutkan Kesepakatan Tripartite,
pegurangan subsidi pupuk sebesar 15 dan 25 %, peingkatan suku bunga riel
sebesar 1,25 kali, peningkatan upah disektor pertanian sebesar 10 persen,
peningkatan investasi pertanian sebesar 25 persen, dan penghapusan Lahan
Perkebunan karet alam besar. Kinerja perdagangan juga disimulasikan pada
kondisi terjadi peningkatan produksi ban dalam negeri sebesar 5 persen,
iii
peningkatan harga minyak sawit mentah sebesar 10 persen pertahun, peningkatan
harga minyak bumi sebesar 10 persen pertahun, terjadi depresiasi mata uang
Indonesia, Malayasia, dan Thailand sebesar 10 persen dan peningkatan GDP
negara importir sebesar 5 persen.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa:
1. Kesepakatan tripartite tahun 2002 dan 2003 berdampak pada kenaikan
harga karet alam Indonesia sebesar 5,45 % dan penerimaan devisa
sebesar 0,31 % namun belum memberikan harga yang layak bagi
petani produsen ( US $ 1,191/ kg).
2. Kebijakan tripartite hingga tahun 2008 dapat meningkatkan harga karet
alam Indonesia sebesar 2,74 dan perolehan devisa meningkat
sebesar 4,27 %.
3. Penghapusan pajak ekspor karet alam oleh Indonesia, Malaysia dan
Thailand akan meningkatkan harga karet alam Indonesia sebesar 3,68
persen dan devisa sebesar 5,55 persen.
4. Reduksi subsidi pupuk sebesar 15 persen akan menyebabkan harga
karet alam Indonesia naik sebesar 12,50 serta devisa sebesar 9,57
persen.
5. Harga yang layak bagi petani dapat diperoleh dengan kombinasi
kesepakatan Tripartite dengan penambahan investasi pertanian (15 %),
peningkatan upah disektor pertanian (10 %), serta penghapusan lahan
perkebunan besar
Penelitian ini memiliki beberapa keterbatasan diantaranya adalah:
1. Model yang dibangun belum dapat mengungkap faktor yang
mempengaruhi transaksi perdagangan karet alam Indonesia baik di
pasar domestik maupun luar negeri secara sempurna karena belum
memasukkan variabel mutu karet alam Indonesia dan faktor yang
mempengaruhinya,
2. Penelitian ini, meskipun dalam beberapa aspek tertentu didukung oleh
data primer, belum dapat mengungkapkan bagaimana pelaksanaan riel
dari kesepakatan tripartite yang telah berakhir tahun 2003 yang lalu.
3. Keterbatasan data industri yang diperoleh menyebabkan variabel ini
hanya dijadikan sebagai variabel eksogen sehingga tidak mengungkap
lebih jauh faktor yang mempengaruhinya.
iv
Berdasarkan keterbatasan yang dimiliki dalam penelitian ini maka peneliti
menyarankan untuk melakukan penelitian yang lebih konprehensif. Dalam penelitian
lanjutan disarankan untuk:
1. Menganalisis pelaksanaan nyata kesepakatan tripartite pada tahun 2002
dan 2003 dianjurkan untuk dilakukan
2. Fakta bahwa harga ekspor karet alam Indonesia lebih rendah dari
harga karet alam Malaysia dan Thailand merupakan penomena lain
yang menarik untuk dikaji. Penelitian yang dapat mengungkap faktor
perbedaan harga karet alam tiga negara produsen utama tersebut
dianjurkan untuk diteliti lebih lanjut.
3. Variabel agroindustri yang diharapkan menjadi full-factor dalam
menggerakkan permintaan bahan baku karet alam di pasar domestik
masih terbatas pada ‘jumlah produksi ban yang dihasilkan Indonesia’.
Pada penelitian selanjutnya disarankan untuk menjadikan variabel ini
sebagai variabel endogen sehingga dapat menambah variabel kebijakan
yang dapat dianjurkan untuk disimulasi.
Selain saran untuk penelian lanjutan, dalam upaya meningkatkan harga dan
perolehan devisa maka disarankan kepada pemerintah untuk:
1. Memperlambat laju pertumbuhan produksi karet alam dengan
mengurangi areal tanam atau setidaknya mencegah munculnya areal
perkebunan karet yang baru. Set aside jangka panjang lahan pertanian
dan realokasi lahan perkebunan karet menjadi lahan perkebunan lain
seperti kelapa sawit dapat dilakukan untuk merealisasi saran ini.
2. Perubahan permintaan minyak kelapa sawit yang mengarah pada
peningkatan harga CPO diperkirakan akan menyebabkan areal tanam
karet semakin berkurang. Berbagai kebijakan yang berkaitan dengan
pengembangan komoditas kelapa sawit dan hasil produksinya dengan
demikian dapat mengurangi motivasi petani karet untuk membuka areal
tanam baru.
3. Mayoritas (90,17 %) dari produk karet alam Indonesia yang diekspor
adalah kualitas SIR-20. Mutu bahan baku yang lebih baik seyogyanya
lebih disukai oleh konsumen, oleh karena itu pemerintah hendaknya
meningkatkan partisipasi aktif dari lembaga Litbang agar mutu karet
alam Indonesia dapat lebih ditingkatkan. Kerjasama anrtar negara
dibidang Litbang juga disarankan untuk dapat dipererat sebagaimana
yang dilakukan dibidang perdagangan.
v
4. Investasi swasta besar pada industri karet alam hendaknya diarahkan
pada industri crumb rubber dan pengolahan bahan baku karet alam
menjadi barang setengah jadi
SUMMARY
Dompak MT Napitupulu, Postgraduate Program Brawijaya University, 17 Agustus 2004. Indonesia Natural Rubber Trade Model: Policy Simulation In the presence of Tripartite Joint Declaration and Trade Liberalization; Supervisor Commission: Promotor: Prof. Dr. Ir. M. Muslich M., M.Sc., Co-Promotor: 1) Dr. Harry Susanto, SU. 2) Dr. Ir. Nuhfil Hanani, MS 3) Dr. Kaman Nainggolan, MSc.
It was reported that natural rubber has been the major contributor among
agricultural commodity in generating Indonesian foreign income. However its price
vast decreasing since year 1996 made it contribute as much as US. $. 786.2 million
only to the Indonesian foreign income in year 2001. The natural rubber price was so
cheap that made three major producer countries sign an agreement to control the
market price through Supply Management Scheme (SMS) and Agreed Tonnage
Export Scheme (Aets) that is to reduce the production by four percent and export
supply by ten percent a year. Nevertheless, it is still questionable whether the
collaboration among those three countries is powerful enough in lifting the natural
rubber prices up to covers the farmer minimum basic needs. Furthermore, the world
trade liberalization is about to coming. How trade liberalization will effect the
Indonesian natural rubber trade performance is still need to be analyzed.
Comprehensive answer to those two problems could be finely established by
constructing an Indonesian Natural Rubber Trade Model. The main goal of this research was to find out some policy instruments that
could be taken in lifting up the natural rubber price in presence of tripartite joint
declaration and trade liberalization. Data was collected in time series from some
legal institutions which present natural rubber trade data on its database. The
quantitative value of natural rubber trade determinant in this research was predicted
in dynamic simultaneous model. This research could contribute in enriched the
agriculture development planning science through offering new natural rubber
international trade model. In addition to the scientific contribution, the research also
offers some alternatives for the government to increase the natural rubber price as
well as gain more foreign income.
Theoretically, raising commodity price could be stimulated by reducing the
quantity supplied as well as encouraging demand on the other side. Natural rubber
vi
supply could be reduced by holding more domestic stock and harvesting less.
Collaboration among three natural rubber main producers called tripartite joint
agreement’ is, in fact, a manifestation of oligopoly market structure that enable
them reducing quantity supplied in order to raise the commodity price. Due to the
monopoly power gained by those three main producer countries, it is hypothesized
that the two schemes, SMS and Aets, declared in tripartite will raise both price and
foreign income gathered from Indonesia natural rubber trade. Other hypotheses built
in this research were: natural rubber export tax elimination, reducing fertilizer price
subsidy, and lessening natural rubber production area could increase both natural
rubber price and foreign income.
As it was declared in tripartite joint agreement, reducing both natural rubber
home production and export quota by four and ten percent respectively, do lifting up
the natural rubber price as well as foreign income, but the model simulation showed
that it was still not high enough to let small farmer gains sufficient income to cover
his family minimum needs. More specifically, the research findings were:
1. Implementation of tripartite in year 2002 and 2003 could increase the Indonesian natural rubber price up to 5.45 % and foreign income as much as 0.31 %.
2. Continuing the tripartite implementation until year 2008 could increase the natural rubber price and foreign income by 2.74 % and 4.27 % respectively.
3. Natural rubber export tax exclusion by Indonesia, Malaysia and Thailand will increase the natural rubber price and foreign income by 3.68 % and 5.55 % respectively.
4. Reducing domestic fertilizer price subsidy by 15 % will increase the natural rubber price and foreign income by 12.50 % and 9.57 % respectively.
5. Sufficient natural rubber price to meet the farmer minimum needs could be generated in combination of tripartite schemes, eliminating large private estate natural rubber production area, as well as increasing agriculture investment and agriculture wage by 15 % and 10 % respectively.
Some limitation of the research was: 1. The model has not powerful enough to perfectly reveal the factors
effecting Indonesia natural rubber trade since its failure to entering product quality as an endogenous variable.
vii
2. In spite of the primary data has also been collected in supporting data analysis, the research has not able to well explained the riel implementation of supply management scheme (SMS) in small farmer production level.
3. Industries poor data gathered in this research obstructed the research to make it as an endogen variable as it was needed to well explain the full factors in raising both natural rubber price and foreign income.
Due to the limitation of the research, it is suggested to: 1. Undertake a primary data base research in order to find out the riel
implementation of tripartite agreement particularly in small farmer production level.
2. Undertake a more complicated research that enable to uncover the factors effecting price differentiation among three natural rubber main producer countries.
4. It is necessary to find out more information about agro-industry data to let it be an endogenous variable in constructing a powerful natural rubber trade model.
The implications of the research finding to the government economic development program were:
1. In order to facilitate the reduction of production supplied to the foreign market, it is necessary to cut natural rubber production area. The old natural rubber plantation should be renovated or changed to other export agriculture commodity plantation. Set aside program to the export agriculture commodity estate area could be declared in order to slow down the commodity supplied to the world market.
2. It is found a negative cross elasticity between crude palm oil price and the demand for natural rubber production area. It is meant that any improving in crude palm oil trade would hinder farmer to ask more land for natural rubber. It is suggested to the government to improve palm oil industries performance in order to hinder new entry in natural rubber industry.
3. It was found that most of exported Indonesian natural rubber was SIR-20 grade, the lowest allowed grade to enter the international natural rubber market. In order to win the international market competition it is suggested to the government to improve the domestic Natural Rubber Research and Development (R&D) Institution performance. It is also suggested that government to initiate tripartite collaboration on R&D among three main natural rubber production countries.
viii
4. Private investment on natural rubber industry should be directed to crumb rubber factory as well as natural rubber based row material plants in order to create demand full factor in domestic natural rubber industry.
ix
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan yang maha pengasih
dan penyayang sebab karuniaNya sematalah yang menyebabkan penulis dapat
menyajikan tulisan disertasi yang berjudul: “Model Perdagangan Karet Alam
Indonesia: Simulasi Kebijakan Menghadapi Kesepakatan Triparteit Dan
Perdagangan Bebas’ ini.
Tulisan ini memuat pokok-pokok bahasan yang meliputi kinerja
perdagangan karet alam Indonesia dan sejumlah simulasi kebijakan yang dapat
ditempuh dalam rangka meningkatkan harga karet alam Indonesia baik di pasar
domestik maupun pasar luar negeri dengan tetap mempertahankan perolehan
devisa. Penulis menyadari bahwa meskipun upaya telah dikerahkan sepenuhnya
dalam menyajikan tulisan ini, namun karena keterbatasan kemampuan yang dimiliki
penulis masih terdapat banyak kekurang tepatan dari analisis yang dilakukan. Oleh
karena itu, penulis mengharapkan saran yang membangun dari para pembaca agar
tulisan ini dapat berfanfaat bagi yang membutuhkannya.
Malang, 17 Agustus 2004,
Penulis
x
DAFTAR ISI
Halaman
RINGKASAN .............................................................................................. iii
SUMMARY ............................................................................................. vii
KATA PENGANTAR .............................................................................................. x
DAFTAR ISI .............................................................................................. xi
I. PENDAHULUAN ......................................................................................... 1
1.1. Latar Belakang ............................................................................ 1
1.2. Rumusan Masalah ......................................................................... 1
1.3. Tujuan Penelitian ............................................................................. 2
1.4. Kegunaan Penelitian ..................................................................... 2
1.5. Ruang Lingkup Penelitian ................................................................ 3
II KERANGKA PIKIR ................................................................................... 4
2.1. Kerangka Teori ................................................................................. 4
3.3. Konstruksi Model ............................................................................ 6
3.4. Identifikasi Model .............................................................................. 8
3.4. Validasi Model ................................................................................. 8
3.5. Simulasi Model ................................................................................ 9
IV. KERAGAAN INDUSTRI KARET ALAM INDONESIA ...... 12 4.1. Produksi .......................................................................................... 12
4.2. Penawaran Karet Alam Indonesia ................................................... 13
4.3. Permintaan Karet Alam Indonesia ...................................................... 14
4.3.1. Permintaan Dalam Negeri ..................................................... 14
VIII. KESIMPULAN DAN SARAN ............................................ 35 8.1. Kesimpulan ................................................................................... 35
Keterangan : SMS = Skim pengurangan produksi sebesar 4 % / Tahun
Aets = Skim pengurangan ekspor sebesar 10 % / Tahun
29
VI. ALTERNATIF KEBIJAKAN PERDAGANGAN KARET ALAM INDONESIA
6.1. Kesepakatan Tripartite Kerjasama tripartite telah disepakati untuk dilaksanakan selama dua
tahun yakni tahun 2002 dan 2003. Terlepas dari derajat kontribusi dua program
dalam kesepakatan tripartite, harga karet alam di pasar internasional telah
menunjukkan peningkatan sejak awal tahun 2003. (Abdullah, 2002; Amir, 2003;
Wiyono, 2003)
Apabila dua skim kebijakan tripartite dilanjutkan hingga tahun 2008 maka
pengurangan ekspor sebesar 10 persen serta produksi sebesar 4 persen oleh
tiga negara yang bersepakat diperkirakan akan meningkatkan harga karet alam
Indonesia, Malaysia, Thailand masing masing sebesar 2,74; 2,60; dan 2,14
persen dibandingkan dengan tanpa interfensi.
Tabel 9. Perkiraan Dampak kesepakatan Tripartite terhadap Kinerja Perdagangan Karet alam Indonesia Tahun 2004 – 2008,
Variabel Unit Dasar Tripartite
Jumlah Jumlah Perubahan (%)
Harga Ekspor, Indonesia US $/ton 1022.00 1050.00 2.74
Harga Domestik Rp/Kg 8386.50 8447.00 0.72
Harga Ekspor, Malaysia US $/ton 1205.50 1236.90 2.60
Harga Ekspor, Thailand US $/ton 1053.90 1076.50 2.14
Harga Dunia US $/ton 1243.30 1275.20 2.57
Produksi Perkebunan Besar 1000 ton 426.80 427.10 0.07
Produksi Perkebunan Rakyat 1000 ton 722.50 725.10 0.36
Ekspor 1000 ton 961.80 976.10 1.49
Konsumsi Domestik 1000 ton 156.60 157.30 0.45
Penerimaan Domestik Rp juta 1313325.90 1328713.10 1.17
Penerimaan Devisa US $.1000 982959.60 1024905.00 4.27Sumber : Analisis data penelitian
Kenaikan harga karet alam di pasar domestik sebesar 0,72 persen
sebagai dampak dari kesepakatan tripartite akan diikuti oleh kenaikan produksi
karet rakyat rata-rata sebesar 0,31 persen, sementara produksi perkebunan
besar diperkirakan hanya meningkat sebesar 0,07 persen selama tahun 2004
hingga 2008. Kesepakatan tripartite diperkirakan akan memberikan dampak
30
positip pada penerimaan transaksi perdagangan karet alam Indonesia.
Kenaikan harga dan volume perdagangan baik di pasar domestik maupun ekspor
diperkirakan akan mengakibatkan perubahan penerimaan dari perdagangan di
pasar domestik sebesar 1,17 persen serta peningkatan devisa dari ekspor karet
alam Indonesia sebesar 4,27 persen pertahun selama Tahun 2004-2008.
6.2. Liberalisasi Perdagangan Upaya memposisikan karet alam sebagai salah satu penyumbang devisa
dari sektor non migas dihadapkan pada perkembangan perekonomian dunia
yang akan memasuki era perdagangan bebas. Besarnya (92,83 %) persentase
produksi karet alam Indonesia yang dipasarkan ke luar negeri menyebabkan
industri karet alam Indonesia sangat rentan terhadap perubahan pasar yang
pesat seiring dengan dicanangkannya liberalisasi perdagangan. Liberalisasi
perdagangan telah membuka peluang kepada konsumen tradisional Indonesia
untuk melakukan pembelian langsung ke negara produsen lain sehingga dapat
menimbulkan guncangan terhadap perdagangan karet alam Indonesia.
Mutu diyakini menjadi salah satu kata kunci dalam memenangkan
persaingan pasar. Issue lingkungan yang semakin berkembang dalam paket
sanitasi dan fitosanitasi (SPS) dapat menyebabkan industri pengguna bahan
baku karet alam berupaya mencari bahan baku yang tidak berbau. Pergeseran
selera yang didorong oleh issue lingkunan tersebut dapat menjadi ancaman bagi
pasar karet alam Indonesia yang hingga dewasa ini masih menghasilkan karet
alam mutu rendah. Selain issue lingkungan, perkembangan teknologi yang
mengarah pada otomisasi membutuhkan mutu bahan baku karet alam yang
semakin baik. Data hasil yang diperoleh dari BPS Indonesia selama periode
tahun 1986 hingga 2001 menunjukkan bahwa mayoritas (90,18 %) karet alam
yang diproduksi Indonesia adalah SIR-20, kategori mutu karet alam terendah
yang diperbolehkan untuk diekspor.
Perdagangan tanpa interfensi adalah kata kunci dari liberalisasi
perdagangan. Interfensi yang umum dilakukan adalah upaya mempengaruhi
keputusan pelaku industri dari produsen hingga konsumen dalam melakukan
transaksi. Subsidi input pertanian dan restriksi ekspor merupakan bentuk
interfensi yang lazim dilakukan dalam lingkup industri tanaman ekspor termasuk
komoditi karet alam. Hasil analisis data menunjukkan bahwa pupuk termasuk
salah satu input pertanian yang secara intensif disubsidi. Dengan asumsi
besarnya subsidi adalah merupakan selisih harga dunia dengan harga ditingkat
31
petani, maka subsidi pupuk Indonesia adalah rata-rata sebesar 71,67 persen dari
harga impor selama kurun waktu 1977 hingga 2001.
Hasil simulasi pada model perdagangan yang dibangun menunjukkan
bahwa pengurangan subsidi pupuk hingga sebesar 25 persen diperkirakan akan
berdampak pada penurunan produksi baik perkebunan besar maupun
perkebunan karet rakyat rata-rata sebesar 15,42 dan 33,05 persen pertahun
selama kurun waktu tahun 2004 hingga 2008.
Tabel 10. Perkiraan Dampak Penurunan Subsidi Pupuk sebesar 25 % terhadap Kinerja Perdagangan Karet alam Indonesia Tahun 2004 – 2008,
Variabel Unit Dasar Penurunan Subsidi Pupuk
Jumlah Jumlah Perubahan (%)
Harga Ekspor, Indonesia US $/ton 1022.00 1235.00 20.84
Harga Domestik Rp/Kg 8386.50 8857.70 5.62
Harga Ekspor, Malaysia US $/ton 1205.50 1210.20 0.39
Harga Ekspor, Thailand US $/ton 1053.90 1083.90 2.85
Harga Dunia US $/ton 1243.30 1248.10 0.39
Produksi Perkebunan Besar 1000 ton 426.80 361.00 -15.42
Produksi Perkebunan Rakyat 1000 ton 722.50 483.70 -33.05
Ekspor 1000 ton 961.80 922.90 -4.04
Konsumsi Domestik 1000 ton 156.60 159.40 1.79
Penerimaan Domestik Rp juta 1313325.90 1411917.38 7.51
Penerimaan Devisa US $.1000 982959.60 1139781.50 15.95Sumber : Analisis data penelitian
Ekspor karet alam Indonesia diperkirakan akan berkurang rata-rata
sebesar 4,04 persen sementara permintaan domestik mengalami perubahan
sebesar 1,79 persen. Penurunan volume ekspor dapat diimbangi kenaikan harga
sehingga penerimaan devisa dari transaksi perdagangan karet alam Indonesia
naik menjadi US. $ 1.139,782 atau lebih tinggi sebesar 15.95 persen
dibandingkan jika tanpa kebijakan baru.
32
6.3. Simulasi Kebijakan Penerimaan devisa dan peningkatan pendapatan petani merupakan
tujuan utama dari pembangunan ekonomi, termasuk pembangunan perkebunan
karet didalamnya. Skim interfensi managemen produksi dan ekspor yang
disepakati harus disertai dengan kebijakan produksi dan perdagangan karet
domestik. Upaya meningkatkan harga karet alam hendaknya dilakukan hingga
harga tersebut layak bagi petani karet rakyat sebagai kontributor utama dalam
industri karet alam di Indonesia. Petani karet rakyat umumnya memiliki
pendapatan utama dari usahatani karet yang dilakukan. Kebutuhan hidup sehari-
hari dengan demikian digantungkan pada jumlah penerimaan dari usahatani
karet yang dilakukan. Dengan demikian standart kebutuhan minimal petani
rakyat dapat digunakan sebagai ukuran harga layak minimal karet alam yang
dihasilkan. Bank Dunia menggunakan rata-rata pendapatan satu dollar Amerika
per kapita perhari sebagai batas garis kemiskinan di negara sedang
berkembang.
Hasil analisis data primer yang dilakukan menunjukkan bahwa rata-rata
petani karet rakyat, dengan luas areal sadap rata-rata sebesar 4,58 Ha, dapat
menghasilkan 3,45 kg per kapita per hari dengan bagian harga yang diterima
petani produsen sebesar 24.32 persen dari harga f.o.b. Agar standar pendapatan
minimal, US $ 1/kapita/hari, oleh Bank Dunia dapat terpenuhi maka harga karet
alam yang harus diterima oleh petani adalah US. $ 0,289/kg. Dengan asumsi
nilai tukar rupiah sebesar Rp 9000/US $, maka harga karet ditingkat petani
adalah Rp 2605 /kg dan harga karet alam Indonesia di pasar ekspor (f.o.b)
sebesar US $. 1,191 / kg.
6.3.1. Skenario Kebijakan Tunggal
Simulasi kebijakan dalam tulisan ini akan dipandu oleh indikator
perubahan perolehan devisa lebih besar dari nol dan harga karet alam Indonesia
sebesar US $ 1,191/kg. Instrumen kebijakan ekonomi yang diharapkan dapat
dilakukan oleh pemerintah menyertai kesepakatan tripartite atau liberalisasi
perdagangan adalah: reduksi subsidi pupuk, meningkatkan investasi di sektor
pertanian, meningkatkan upah disektor pertanian, dan penghapusan lahan
perkebunan karet besar. Harga karet alam Indonesia juga dapat meningkat
apabila terjadi kenaikan harga minyak bumi (Crude oil), depresiasi nilai tukar
33
mata uang Indonesia, Malaysia, dan Thailand, serta peningkatan pendapatan
nasional negara importir karet alam utama Indonesia.
Tabel 11. Perkiraan dampak perubahan beberapa instrumen kebijakan terhadap perubahan rata- rata harga dan perolehan devisa dari perdagangan karet alam Indonesia tahun 2004 -2008
No Skenario Harga Devisa
Perubahan
Harga Devisa
US $/Ton US. $.1000 % %
1 Tripartite 1.050,00 1.024.905,0 2,74 4,27
2 Penghapusan Pajak Ekspor oleh Indonesia, Malaysia, Thailand 1.059,60 1.037.560,3 3,68 5,55
8 Penghapusan Lahan Perkebunan, Besar 1.053,30 1.004.848,2 3,06 2,23
9 Peningkatan Produksi Ban Dalam Negeri 5 % 1047.10 785429.71 2.46 -20.09
10 Peningkatan Harga Minyak Sawit Mentah10 % 1.026,00 987.422,4 0,39 0,33
11 Peningkatan Harga Minyak Bumi 10 % 1.022,70 984.144,2 0,07 0,12
12 Depresiasi mata uang Indonesia, Malaysia dan Thailand 10 % 1.071,00 1.054.506,6 4,79 7,28
13 Peningkatan GDP negara Importir 5 % 1.027,10 990.946,1 0,50 0,81
Keterangan : Harga : Harga ekspor karet alam Indonesia (F.O.B), US $/Ton Devisa : Perolehan Devisa, US $ 1000/Ton
Sumber : Analisis data penelitian
Hasil simulasi instrumen kebijakan yang disajikan pada Tabel 11
menunjukkan bahwa peningkatan investasi di sektor pertanian sebesar 25
persen akan berdampak pada kenaikan peroleh devisa sebesar 2,46 persen.
Kenaikan harga karet alam dan perolehan ekspor juga dapat diperoleh melalui
peningkatan upah di sektor pertanian sebesar 10 persen dan penghapusan lahan
perkebunan karet besar. Hasil simulasi petumbuhan produksi industri ban
sebesar lima persen pertahun akan mengakibatkan harga domestik meningkat
hingga 23,8 persen dan menyebabkan volume ekspor berkurang hingga 22,01
persen sehingga penerimaan devisa berkurang sebesar 20,09 persen.
34
Simulasi perubahan empat variabel eksogen lain yang diekspektasi akan
berubah seiring dengan pertumbuhan ekonomi dunia menunjukkan dampak
positip baik terhadap perubahan harga ekspor maupun devisa yang diperoleh
dari transaksi perdagangan ekspor karet alam Indonesia. Dengan demikian
simulasi perubahan yang terjadi pada empat variabel eksogen tersebut
bersamasama dengan kesepakatan tripartite dan liberalisasi perdagangan
diprediksi akan mampu meningkatkan harga karet alam hingga layak untuk
memenuhi kebutuhan rumah tangga petani produsen.
6.3.2. Skenario Kombinasi Kebijakan
Hasil analisis data menunjukkan bahwa kesepakatan tripartite yang hanya
dikombinasikan dengan penambahan investasi pertanian sebesar 25 persen,
peningkatan upah disektor pertanian, serta penghapusan lahan perkebunan
besar (kombinasi skenario 1,5,7,8) hanya mampu menghasilkan harga karet
alam Indonesia hingga US. $ 1.158,5 per ton. Harga karet alam tersebut masih
lebih rendah dari US. $ 1,19 per ton yakni tingkat harga yang diperhitungkan
dapat memberikan penerimaan minimal satu dollar Amerika Serikat per kapita
per hari khususnya kepada petani karet rakyat. Kombinasi kebijakan dalam
koridor tripartite ini diperkirakan akan mampu meningkatkan harga karet alam
hingga mencapai US. $ 1,19 per ton jika dikombinasikan dengan kebijakan
reduksi subsidi pupuk sebesar 15 persen .
Kebijakan dalam koridor liberalisasi perdagangan yang dapat dilakukan
agar petani karet rakyat dapat memperoleh penerimaan diatas US. $. 1 / kapita /
hari adalah kombinasi skenario penghapusan pajak ekspor oleh tiga negara
produsen karet alam, reduksi subsidi pupuk sebesar 25 persen dan menambah
investasi pertanian sebesar 25 persen. Kombinasi tiga skenario ini dapat
diprediksi akan dapat menyebabkan harga karet alam naik hingga US $ 1.302,8
/ ton. Tujuan yang sama juga dapat dilakukan dengan reduksi subsidi sebesar
15 persen namun harus diikuti dengan upaya meningkatkan upah disektor
pertanian sebesar 10 persen dan penghapusan areal perkebunan karet besar.
Beberapa skenario kombinasi kebijakan lain yang dapat dilakukan dalam upaya
meningkatkan harga karet alam Indonesia dipasar ekspor diantaranya adalah
kombinasi skenario ‘reduksi subsidi pupuk sebesar 25 persen, menambah
investasi pertanian sebesar 25 persen dan meningkatkan upah disektor pertanian
sebesar 10 persen’.
35
Tabel 12. Perkiraan dampak perubahan beberapa instrumen kebijakan terhadap rata- rata harga dan peningkatan devisa dari perdagangan karet alam Indonesia tahun 2004 -2008
1 Kesepakatan Tripartite 2 Penghapusan Pajak Ekspor oleh Indonesia, Malaysia, Thailand 3 Reduksi Subsidi Pupuk 15 % 4 Reduksi Subsidi Pupuk 25 % 5 Peningkatan Investasi Pertanian 25 % 7 Peningkatan Upah di Sektor Pertanian 10 % 8 Penghapusan Lahan Perkebunan Besar G Peningkatan Harga Minyak Minyak Kelapa Sawit Mentah 10 %
Peningkatan Harga Minyak Bumi 10 % Depresiasi mata uang Indonesia, Malaysia dan Thailand 10 % Peningkatan GDP negara Importir 5 %
36
VIII. KESIMPULAN DAN SARAN
8.1. Kesimpulan Model Perdagangan karet alam Indonesia yang dibangun dalam
penelitian ini terdiri dari 78 persamaan perilaku yang perubahannya dijelaskan
oleh 261 variabel eksogen sebagaimana yang disajikan pada Lampiran 6. Hasil
validasi menunjukkan bahwa model yang dibangun memiliki keterhandalan yang
cukup baik untuk dapat digunakan memprediksi perilaku perdagangan karet alam
Indonesia. Simulasi beberapa variabel kebijakan yang diduga dapat
mempengaruhi harga karet alam dan perolehan devisa negara dengan
menggunakan model perdagangan karet alam Indonesia yang dibangun dalam
penelitian ini menunjukkan bahwa:
Penerapan kesepakatan tripartite pada tahun 2002 dan 2003 berdampak
pada kenaikan harga karet alam dunia sebesar 6,04 persen, harga karet alam
Indonesia sebesar 5,45 % dan penerimaan devisa dari transaksi perdagangan
ekspor karet alam Indonesia meningkat sebesar 0,31 per tahun pada periode
yang sama.
Penerapan kesepakatan tripartite juga berdampak pada kenaikan harga
konsumen sebesar 1,02 persen sehingga mengakibatkan konsumsi domestik
berkurang sebesar 0,89 persen pada tahun 2002 dan 2003.
Interaksi simulatan dari perubahan variabel akibat penerapan
kesepakatan tripartite berdampak pada kenaikan produksi karet alam Indonesia
sebesar 0,66 persen, lebih rendah 0,11 persen dibandingkan tanpa penerapan
kesepakatan tripartite.
Apabila dua skim kebijakan tripartite dilanjutkan hingga tahun 2008 maka
harga karet alam Indonesia, Malaysia, Thailand diperkirakan akan meningkat
masing masing sebesar 2,74; 2,60; dan 2,14 persen dan harga di pasar
domestik sebesar 0,72 persen. Kenaikan harga yang terjadi pada seluruh pasar
belum akan mengurangi transaksi ekspor karet alam Indonesia yang diperkirakan
akan mengalami peningkatan sebesar 1,49 persen pertahun pada periode tahun
2004 – 2008.
Laju pertumbuhan volume ekspor karet alam Indonesia yang melemah
dapat mempertahankan harga karet alam menyusul kenaikan harga minyak
mentah. Hasil analisis data menunjukkan bahwa setiap kenaikan satu persen
37
harga minyak mentah akan menyebabkan kenaikan harga karet sintetis sebesar
0,38 persen.
Kesepakatan tripartite akan dampak positip pada penerimaan transaksi
perdagangan karet alam Indonesia. Kenaikan harga dan volume perdagangan
baik di pasar domestik maupun ekspor akan diikuti oleh kenaikan penerimaan
dari pasar domestik sebesar 1,17 persen serta devisa sebesar 4,27 persen
pertahun selama Tahun 2004-2008.
Reduksi subsidi pupuk sebesar 25 persen akan menyebabkan harga
ekspor karet alam Indonesia naik sebesar 20,84 persen serta harga di pasar
domestik sebesar 5,62 persen; penurunan permintaan karet alam Indonesia
rata-rata sebesar 4,04 persen dan permintaan domestik meningkat sebesar 1,79
persen lebih rendah dari laju pertumbuhan selama kurun waktu 1977-2001 yakni
sebesar 6,04 persen pertahun. Persentase peningkatan harga ekspor yang lebih
besar dari persentase penurunan volume ekspor menyebabkan penerimaan
devisa diprediksi akan naik sebesar 15.95 persen.
Penghapusan pajak ekspor karet alam oleh Indonesia, Malaysia dan
Thailand akan meningkatnya harga ekspor karet alam Indonesia sebesar 3,68
persen serta harga domestik sebesar 0,69 persen sehingga akan meningkatkan
penerimaan devisa sebesar 5,55 persen serta nilai perdagangan karet alam di
pasar domestik sebesar 0,88 persen.
Kombinasi kebijakan dalam koridor tripartite diperkirakan akan mampu
meningkatkan harga karet alam hingga mencapai US. $ 1,191 per ton jika
dikombinasikan dengan kebijakan reduksi subsidi pupuk sebesar 15 persen.
Kebijakan dalam koridor liberalisasi perdagangan yang dapat dilakukan
agar petani karet rakyat dapat memperoleh penerimaan layak adalah kombinasi
penghapusan pajak ekspor oleh tiga negara produsen karet alam, reduksi subsidi
harga pupuk Indonesia sebesar 25 persen dan menambah investasi pertanian
sebesar 25 persen. Kombinasi tiga skenario ini dapat diprediksi akan dapat
menyebabkan harga karet alam naik hingga US $ 1.302,8 / ton. Reduksi subsidi
pupuk sebesar 25 persen dapat dikurangi hingga 15 persen namun harus diikuti
dengan upaya meningkatkan upah disektor pertanian sebesar 10 persen dan
penghapusan areal perkebunan karet besar.
Perubahan harga minyak sawit mentah sebesar 10 persen akan
berkontribusi pada penambahan harga karet alam sebesar 0,39 persen dan
penerimaan devisa sebesar 0,33 persen.
38
Kombinasi ‘perubahan nilai tukar mata uang Rupiah, Ringgit Malaysia dan
Bath sebesar 10 persen, peningkatan pendapatan nasional negara importir
sebesar lima persen dan peningkatan harga minyak sawit mentah dan minyak
bumi masing masing sebesar 10 persen’ akan berkontribusi pada peningkatan
harga karet alam Indonesia sebesar 5,75 persen dan nilai ekspor sebesar 8,54
persen.
8.2. Keterbatasan Penelitian Model perdagangan karet alam Indonesia telah dirumuskan namun
demikian model yang dibangun belum dapat mengungkap faktor yang
mempengaruhi transaksi perdagangan karet alam Indonesia baik di pasar
domestik maupun luar negeri secara sempurna. Model yang dibangun belum
memasukkan variabel mutu karet alam Indonesia sebagai salah satu variabel
endogen sementara variabel ini diyakini sangat mempengaruhi harga karet alam
Indonesia. Penelitian selanjutnya disarankan untuk memasukkan variabel mutu
dalam model yang dibangun.
Jumlah variabel yang cukup banyak dalam model yang dibangun
menyebabkan peneliti harus memenuhinya dari beberapa sumber data sekunder
yang berbeda. Peneliti harus memilih sumber data yang diyakini lebih valid pada
saat dua atau lebih sumber menyajikan data variabel tertentu yang memiliki nilai
yang berbeda. Namun demikian bias data tidak dapat dihindari mana kala dua
atau lebih variabel harus saling dikaitkan pada model persamaan tertentu.
Penelitian sejenis dimasa mendatang dianjurkan untuk menggunakan sumber
data yang sama sehingga akurasi prediksi model yang lebih baik dapat dimiliki.
Jumlah persamaan yang cukup besar (78 persamaan) menyebabkan
formulasi masing-masing persamaan tergolong sulit sehingga model persamaan
yang memiliki kelompok variabel independen yang mampu menjelaskan
perubahan variabel dependent diatas 80 persen (R2 > 0,80) sejumlah 37
persamaan, sementara sisanya yakni sejumlah 41 persamaan memiliki 0,20 <R2
< 0,80. Formulasi model yang lebih hati hati dan akurat diharapkan dapat
dilakukan dalam penelitian sejenis berikutnya.
Penelitian ini, meskipun dalam beberapa aspek tertentu didukung oleh
data primer, belum dapat mengungkapkan bagaimana pelaksanaan riel dari
kesepakatan tripartite yang telah berakhir tahun 2003 yang lalu. Penelitian
lanjutan yang melihat pelaksanaan dan mengkaji dampak kesepakatan tripartite
pada tahun 2002 dan 2003 dianjurkan untuk dilakukan.
39
Fakta bahwa harga ekspor karet alam Indonesia lebih rendah dari harga
karet alam Malaysia dan Thailand merupakan penomena lain yang menarik untuk
dikaji. Penelitian yang dapat mengungkap faktor yang mempengaruhi perbedaan
harga karet alam tiga negara produsen utama tersebut dianjurkan untuk diteliti
lebih lanjut.
Variabel agroindustri yang diharapkan menjadi full-factor dalam
menggerakkan permintaan bahan baku karet alam di pasar domestik masih
terbatas pada ‘jumlah produksi ban yang dihasilkan Indonesia’. Keterbatasan
data industri yang diperoleh menyebabkan variabel ini hanya dijadikan sebagai
variabel eksogen sehingga tidak mengungkap lebih jauh faktor yang
mempengaruhinya. Pada penelitian selanjutnya disarankan untuk menjadikan
variabel ini sebagai variabel endogen sehingga dapat menambah variabel
kebijakan yang dapat dianjurkan untuk disimulasi.
Simulasi perubahan variabel dalam penelitian ini masih sangat terbatas
yakni reduksi subsitusi harga pupuk sebesar 15 dan 25 %, Peningkatan
investasi dibidang pertanian sebesar 25 %, peningkatan suku bunga perbankan
sebesar 25 %, Peningkatan upah disektor pertanian sebesar 10 % dan
penghapusan areal perkebunan karet besar hingga nol. Simulasi lebih rigit
disarankan untuk dilakukan dalam penelitian sejenis yang hendak dilakukan agar
dampak simulasi perubahan masing masing variabel terhadap perubahan harga
karet alam Indonesia dapat diprediksi lebih baik. Terlepas dari cukup banyaknya
keterbatasan penelitian ini, upaya yang telah dilakukan diharapkan dapat menjadi
pemicu penelitian sejenis sehingga perumusan kebijakan dalam upaya
meningkatkan kinerja perdagangan karet alam Indonesia dapat dilakukan
dengan lebih akurat.
40
8.3. Saran Secara teoritis harga yang lebih tinggi dapat diperoleh jika terjadi ekses
permintaan. Memperlambat atau bahkan mencapai laju pertumbuhan produksi
negatif merupakan salah satu target dari kebijakan pembangunan ekonomi karet
alam Indonesia yang harus dilakukan. Laju pertumbuhan produksi karet alam
domestik sebagai misal dapat di perlambat dengan mengurangi areal tanam atau
setidaknya mencegah munculnya areal perkebunan karet yang baru. Set aside
jangka panjang lahan pertanian dengan merotasi penggunaan lahan pertanian
sebagai misal dapat dilakukan untuk mengurangi lahan perkebunan karet
domestik. Realokasi lahan perkebunan karet menjadi lahan perkebunan lain
seperti kelapa sawit misalnya, dapat diawali dari realokasi perkebunan karet
besar dan lahan perkebunan karet milik pemerintah.
Model yang dibangun juga menunjukkan adanya hubungan negatip yang
nyata antara luas areal tanam perkebunan karet dengan harga minyak mentah
kelapa sawit (CPO). Hal ini berarti perubahan permintaan minyak kelapa sawit
yang mengarah pada peningkatan harga CPO diperkirakan akan menyebabkan
areal tanam karet semakin berkurang. Berbagai kebijakan yang berkaitan
dengan pembangunan ekonomi kelapa sawit dengan demikian dapat mengurangi
motivasi petani karet untuk membuka areal tanam baru.
Mayoritas (90,17 %) dari produk karet alam Indonesia yang diekspor
adalah kualitas SIR-20. Mutu bahan baku yang lebih baik seyogyanya lebih
disukai oleh konsumen, oleh karena itu pemerintah hendaknya meningkatkan
partisipasi aktif dari lembaga Litbang agar mutu karet alam Indonesia dapat lebih
ditingkatkan. Kerjasama anrtar negara dibidang Litbang juga disarankan untuk
dapat dipererat sebagaimana yang dilakukan dibidang perdagangan.
Investasi swasta besar pada industri karet alam hendaknya diarahkan
pada industri crumb rubber dan pengolahan bahan baku karet alam menjadi
barang setengah jadi
41
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah. S., 2002, Harga karet di pasaran internasional belakangan ini mulai mantap. Harian Umum Kompas, 18 Agustus 2002. Jakarta
Ahmad R.. 1998. Perkebunan dari NES ke PIR.. Puspa Swara. Jakarta.
Amir. S. A., Daud H. B., Honggokusumo S., dan Tunas E., 2003. Strategi Pemasaran Karet Alam. Paper disampaikan dalam rangka Pertemuan Teknis Peningkatan Dayasaing Karet Alam dalam era Pasar bebas. Pusat Penelitian Karet – Balai Penelitian Sembawa. Sumatera Selatan.
Anania G., 2001. Modeling Agricultural Trade Liberalization and Its Implication for the European Union. Working Paper N.12. INEA. Observatorio Sulle Politiche Agricole Dell’UE. Instituto Nazionale de Economia Agraria. Rende. Italy.
, 2001. The WTO Negotiation on Agriculture and the Common Agriculture Policy. Working Paper N.9/01. INEA. Observatorio Sulle Politiche Agricole Dell’UE. Instituto Nazionale de Economia Agraria. Rende. Italy.
Anderson. K., 2001. Globalization, WTO and ASEAN. Disiapkan secara khusus untuk Globalization for The ASEAN Economic Bulletin. Centre for International Economic Studies. University of Adelaide. Australia.
Anderson . K., dan Tyres . R. 1990. How Developing Contries could Gain From Agriculture Trade Liberalization in the Uruguay Round. Dalam Goldin. I., dan Knudsen . 1990. Ed. Agriculture Trade Liberalization. Implications for Developing Countries. Organization for Economic Co-Operation and Development. Paris
Anderson, K., Nick Berger, and Glyn Witter, 2001. Projecting the World Wine Market to 2005: Impacts of Structural and Policy Changes. CIES Discussion Paper 0121. Centre for International Economic Studies. University of Adelaide. Australia.
Androkovich R. A., and K. R. Stollery. 1991. Tax versus Quota Regulation: A Stochastic Model of the Fishery. American Journal of Agricultural Economics. Vol 72 (2): 300 – 308.
Anindita R., 2002. Economic Effects of Trade Liberalization on The Indonesian Coffee, Coconut and Rubber Industries. Dissertation. University of the Los Banos. Los Banos The Philippines.
Anonimus, 1998. Rencana Pembangunan Lima Tahun Provinsi Jambi. Bappeda Provinsi Jambi. Jambi
, 1999. Laporan Tahunan Dinas Perkebunan Provinsi Jambi. Pemerintah Daerah Provinsi Jambi. Jambi
, 1999. Provinsi Jambi Dalam Angka. BPS-Pemda Provinsi Jambi.
Babcock B. A. 1990. Acreage Decisions under Marketing Quotas and Yield Uncertainty. American Journal of Agricultural Economics. Vol 72 (4): 958 – 965.
Bannock G., Baxter R. E. and Davis. E. 1989. Dictionary of Economics. The Economist Books. Hutchinson. London.
Ball. V. E. 1988. Modeling Supply Response in a Multiproduct Framework. American Journal of Agricultural Economics. Vol 70 (4): 813 – 825.
42
Bertola G., R Faini. 1990. Import Demand and Nontariff Barriers: The impact of trade liberalization. Journal of Development Economics . 34 (2) : 269-268.
Bhuana, K.S., 2003. Prospek Pengembangan Industri Barang Jadi Karet: Studi kasus di PTP Nusantara III (Persero). Paper disampaikan dalam rangka Pertemuan Teknis Peningkatan Dayasaing Karet Alam dalam era Pasar bebas. Pusat Penelitian Karet – Balai Penelitian Sembawa. Sumatera Selatan.
Budiman, A.F.S., 2002. Exiting times ahead for Natural Rubber. Natural Rubber : 28 4th quarter 2002 : 1-3 . Rubber-Stichting. The Netherlands.
Burger. K, Smit. H, dan Vogelvang. B, 2002. Exhange rates and natural rubber prices, the effect of the Asian crisis. Working Paper. Faculty of Economics and Business Administration, Vrije Universiteit, Amsterdam, The Netherlands.
Bustami G., 2002. Ekspor Non Migas 2002 Diperkirakan Naik Lima Persen. Harian Umum Kompas, 04 Januari 2002. Jakarta
Caves. R.E., Jefrey A. F., Ronald W.J. 1996. World Trades and Payments, An Introduction. VIIth Ed . Harper Collins College Publishers. United States of America.
Chambers R. G., and P. L. Paarlberg. 1991. Are More Exports Always Better? Comparing Cash and In-Kind Export Subsidies. American Journal of Agricultural Economics. Vol 73(1): 142 – 154.
Chavas J. P. and M. T. Holt. 1990 . Acreage Decisions Under Risk. The Cost of Corn anad Soybeans. American Journal of Agricultural Economics. Vol 72 (3): 529 – 538.
Edizal. 1998. Analisis Ekonomi Lada Putih Muntok dan Perdagangan Lada Putih Dunia Sebagai Usaha Peningkatan Daya Saing Lada Putih Indonesia di Pasar Internasional. Disertasi. Program Pascasarjana. IPB Bogor
Ekelund, Jr Robert B. dan Robert F. Hebert. 1997. A History of Economic Theory and Method. McGraw Hill Book Co. Singapore.
Elwamendri. 2000. Perdagangan Karet Alam Antar Negara Produsen Utama dan Amerika Serikat. Tesis. Program Pascasarjana. IPB. Bogor
Engchuan. A., 2000. Malaysia-Indonesia-Thailand Capai Kesepakatan Perdagangan Karet . Harian Umum Kompas 14 Juli 2000. Jakarta.
Falvey. R. 1999. Trade Liberalization and Factor Price Convergence. Journal of International Economics. Vol. 49 (1999): 195 – 210.
Frandsen. E. Soren., Jensen G. H., Yu Wusheng, Jorgensen. W. A., Modeling the EU Sugar Policy reform scenarios. Working Paper. Danish Institute of Agricultural and Fisheries Economics. Denmark
Frohberg. K., G. Fisher., and K. S. Parikh. 1990. Would Developing Countries Benefit from Agricultural Trade Liberalization in OECD Countries?. Dalam Goldin. I., dan Knudsen O. 1990. Ed. Agriculture Trade Liberalization. Implications for Developing Countries. Organization for Economic Co-Operation and Development. Paris
Fusfeld Daniel R. 1994. The Age Of the Economist. 7th Ed. Harper Collins College Publishers. New York. NY
GAPKINDO, Bulletin Karet: Informasi pasar & perkembangan karet Indonesia. Berbagai terbitan. Gabungan Perusahaan Karet Indonesia. Jakarta
43
., List of Member. Berbagai terbitan. Gabungan Perusahaan Karet Indonesia. Jakarta
Gelan. A. 2002. Trade Liberalization and Urban-Rural Linkages: a CGE analysis for Ethiopia. Journal of Policy Modeling. Vol. 24 (2002): 707-738.
Grilli R. Enz, Barbara. B. E., dan Maria J. H. W.1980. The World Rubber Economy, Structure, Change, and Prospects. World Bank. Johns Hopkins University Press. Baltimore and London.
Hadisapoetra, S., 1973, Laporan perkembangan penyaluran pupuk, Team Ahli Pengendali Bimas. Departemen Pertanian. Jakarta.
Haley, Stephen L. 1998. Modeling the US Sweetner Sector: An Aplication to the Analysis of Policy Reform. Working Paper # 98-5. International Agricultural Trade Research Consortium. USDA/ERS/MTED. Washington, DC. USA.
Hanani. N. AR. Model Mikro-Makroekonomi Indonesia: Analisis Simulasi Kebijakan Menghadapi Era Liberalisasi Perdagangan. Disertasi. Program Pascasarjana. IPB. Bogor
Hendratno. S. 1989. Analisis Pasar Karet Alam TSR dan RSS Indonesia. Tesis. Fakultas Pascasarjana. IPB. Bogor
IRSG. 1980 – 2002. Rubber Statistical Bulletin. Internasional Rubber Study Group, London
Jones R. W. and Peter . B. K. 1985. Handbook of International Economics. Volume II. North-Holland. Amstrerdam, New York. Oxpords
Jehle Geoffrey A. dan Vassar College. 1991 Ed. Advanced Microeconomic Theory. 10th .Prentice-Hall International, Inc. Englewood Cliffs. N.J
Kindleberger. C. P., Lindert. P.H. 1995. Ekonomi Internasional. Alih Bahasa oleh: Burhanuddin Abdullah. 8th Ed. Penerbit Erlangga.
Kohli. U. R. 1978. A Gross National Product Function and the Derived Demand for Imports and Supply of Exports. The Canadian Journal of Economics. Vol XI (2) 167 – 182.
Koutsoyannis A. 1977. Theory of Econometrics. Harper & Row Publishers, Inc. United Kingdom.
Krugman. P.R, dan Maurice O. 1999. Ekonomi Internasional. Teori dan Kebijakan. 2nd Ed. Universitas Indonesia- HarperCollins Publisher. Indonesia
Kustiari, R., Erwidodo, and Sjaiful Bahri. 1977. Indonesia’s Agricultural Trade Policies: A Review. Working Paper 97.09. ACIAR Indonesian Research Project. CIES. University of Adelaide. Australia.
Lucas. R. E. B. 1988. Demand for India;s Manufactured Exports. Journal of Development Economics. Vol 29 (1): 63 – 75.
Marpaung. K. Iksan S. Kiptiyah S. M. 1998. Analisis Pemasaran Karet Rakyat Dalam Upaya Meningkatkan Harga di Tingkat Petani. Studi Kasus pada Daerah Sentra Produksi di Kecamatan Kumai. Kalimantan Tengah. Jurnal Penelitian Ilmu ilmu Sosial. Vol. I No. 2:127-140. PPS. Universitas Brawijaya. Malang.
Matusz S. J., and D Tarr. 1999. Adjusting to Trade Policy Reform. Policy Research Working Paper No. 2124. The World Bank. Washinton DC.
44
McCorriston S., 1990. Imperfect Competition, Trade Policy and Processed Agricultural Products: Some Initial Results. Journal of Food Distribution Research. June 90.
Mergos G., P. Karadeloglou, and C. Stoforos. 1999. Exploring the Impact of Agriculture Reform under Transition in Albania. Journal of Economic Planning. Vol. 32 (2): 103-127.
Moreddu C., K. Parris., and B. Huff. 1990. Agtriculture Policies in Developing Countriesand Agriculture Trade. Dalam Goldin. I., dan Knudsen . 1990. Ed. Agriculture Trade Liberalization. Implications for Developing Countries. Organization for Economic Co-Operation and Development. Paris
Mubyarto dan Dewanta. A. S., , 1991. Karet: Kajian Sosial Ekonomi. Aditya Media Yogyakarta.
Nainggolan, K., 1996, Indonesian Agriculture Under A Free Trade Regime. Paper disajikan pada Konfrensi ASAE, 6 – 9 Agustus. Bali.
Nancy C. 1988 Usaha Untuk Meningkatkan Daya Saing Karet Alam Indonesia di Pasar Internasional Melalui Efisiensi Pemasaran. Tesis. Fakultas Pascasarjana. IPB. Bogor.
Nikensari, S. I., Bambang Trianoso. 2003. Dampak Penurunan Subsidi BBM Terhadap Perekonomian Indonesia: Model Analisa Komputasi Keseimbangan Umum. Indonesian Journal of Economics and Development. Vol. 4 No. 1. July 2003.
Octaviani R. 2000. The Impact of trade Liberalization on Indonesia Economy and Its Agricultural Sector. Dissertation. Department of Agriculture Economics. University of Sidney. dalam Anindita. R. 2002. Economic Effects of Trade Liberalization on The Indonesian Coffee, Coconut and Rubber Industries. Dissertation. University of the Los Banos. Los Banos The Philippines.
Paarlberg, P. L. 1995. Agricultural Export Subsidies and Intermediate Goods Trade. American Journal of Agricultural Economics. Vol 77 (1): 119 – 128.
Pindyck S. P., dan D. L. Rubinfeld. 2001. Microeconomics. 5th Ed. Prentice-Hall International. New Jersey
Ramanathan Ramu. 1994. Introductory Econometrics. With Aplication. 3rd Ed. San Diego. California
Ray E., J. 1981. The Determinants of Tariff and Nontariff Trade Restrictions in the United States. Jurnal of Political Economy. Vol. 89 (1): 105 – 121.
Ratnawati. A. 1996. Kebijakan Penurunan Tarif Impor dan Pajak Ekspor. Kinerja Perekonomian Sektor Pertanian dan Distribusi Pendapatan di Indonesia. Disertasi. Fakultas Pascasarjana . IPB Bogor
Rivai S. R. 1987. Pendugaan Dampak Kegiatan Ekspor Karet Alam Terhadap Pendapatan Wilayah Kalimantan Barat dan Kotamadya Pontianak. Fakultas Pasca sarjana. IPB Bogor.
Saleh. D. 1991. Optimalisasi Produksi dan Pemasaran Karet Alam Indonesia Dalam Dinamika Struktur Industri Karet Dunia. Disertasi. Fakultas Pascasarjana Ipb. Bogor
Schwarz, D., (1998), Trends in natural rubber usage for tyres, Proceedings of the International Rubber Forum, International Rubber Study Group, Bali, Indonesia.
45
Sinuraya J. F., 2000. Respon Produksi dan Ekspor Karet Sumatera Utara. Disertasi. Program Pascasarjana IPB. Bogor
Siswoputranto, 1981. Perkembangan Karet Internasional. Lembaga Penunjang Pembangunan Nasional (LEPPENAS). Jakarta.
Soediyono. R. 2000. Pengantar Ekonomi Makro. 6th Ed. Universitas Gajah mada. BPFE. Yogyakarta.
Stepherson. S., dan Erwidodo. 1995. The impact of the Uruguay Round on Indonesia’s Agriculture Sector. dalam Zulkifli. 2000. Dampak Liberalisasi Perdagangan Terhadap Keragaan Industri Kelapa Sawit Indonesia dan Perdagangan Minyak Sawit Dunia. Disertasi. Program Pascasarjana. IPB. Bogor
Peterson, E.B., T. W. Hertel.. J.V. Stout. 1994. A Critical Assessment of Supply – Demand Models of Agricultural Trade. American Journal of Agricultural Economics. Vol 76 (4): 709 – 721.
Sunariyo. 2000. Analisis Perbaiki Mutu Bahan Olah Karet. Kasus Penggunaan Unit Pengolahan Hasil (UPH) Karet Rakyat di Lima Desa di Kecamatan Dusun Timur, Kabupaten Barito Selatan. Kalimantan Tengah. Tesis. Program Pasca Sarjana Universitas Brawijaya. Malang
Syarbaini. Z., 2001. Harga Karet Alam Diprediksi Membaik Akhir Tahun 2001, Harian Umum Kompas 12 Me1 2001. Jakarta.
Trakayama A., M. Ohyama, dan H. Ohta. 1991. Trade, Policy, and International Adjustments. Academic Press, Inc. San Diego, New York, Boston, London, Sydney, Tokyo, Toronto
Takeno T. 2001. Protectionism and Product Standarts Under Asymmetric Information. Georgetown University
Tomek. William G. dan Kenneth L.Robinson. 1981. Agricultural Product Prices. Cornell University Press. Ithaca dan London.
Warsito R dkk 1984. Transmigrasi. Dari Daerah Asal sampai Benturan Budaya di Tempat Pemukiman. C.V. Rajawali. Jakarta.
Wibawa. G., 2002, Nasib Petani Karet Semakin Pahit. Harian Umum Kompas 6 Juli. 2002. Jakarta
Wijaya. A., 2000 Dampak Liberalisasi Perdagangan Terhadap Kinerja Ekonomi Indonesia Suatu Pendekatan makroekonomika. Disertasi. Program Pascasarjana. IPB. Bogor
Wittwer G., N. Berger, K. Anderson. 2001. A Model of the Worl Wine Market. CIES Discussion Paper 0121. Center for International Economic Studies. University of Adelaide.
Wohlgenant. M. K., and Cox T.L. 1986. Prices and Quality Effects in Cross-Sectional Demand Analysis. American Journal of Agricultural Economics. Vol 68 (4): 908-919
Zulkifli. 2000. Dampak Liberalisasi Perdagangan Terhadap Keragaan Industri Kelapa Sawit Indonesia dan Perdagangan Minyak Sawit Dunia. Disertasi. Program Pascasarjana. IPB. Bogor.