1. LATAR BELAKANG 1.1. Otonomi Daerah Pembangunan Bangsa Indonesia selama ini diarahkan untuk membangun tingkat kesejahteraan rakyat Indonesia dengan melakukan berbagai pembangunan fisik yang sekaligus secara bertahap berupaya mengurangi tingkat kemiskinan. Pembangunan fisik yang dilakukan tersebar di seluruh daerah diharapkan dapat membawa perubahan pada tingkat kesejahteraan masyarakat secara merata. Pembangunan fisik berupa gedung-gedung perkantoran dan pemukiman penduduk, sarana transportasi, tempat ibadah, maupun tempat untuk kegiatan sosial masyarakat yang diarahkan untuk memenuhi kebutuhan kegiatan masyarakat di berbagai bidang terus mengalami perkembangan yang dinamis sesuai dengan gerak roda perekonomian daerah masing-masing. Untuk mendukung keberhasilan pembangunan nasional tersebut, pemerintah telah menempuh kebijakan Otonomi Daerah yang ditujukan agar hasil-hasil pembangunan dapat dirasakan secara merata dan adil. Selama lima tahun terakhir ini telah terjadi perubahan mendasar pada penyelenggaraan pemerintahan baik di Pusat maupun 1
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
1. LATAR BELAKANG
1.1. Otonomi Daerah
Pembangunan Bangsa Indonesia selama ini diarahkan untuk
membangun tingkat kesejahteraan rakyat Indonesia dengan
melakukan berbagai pembangunan fisik yang sekaligus secara
bertahap berupaya mengurangi tingkat kemiskinan. Pembangunan
fisik yang dilakukan tersebar di seluruh daerah diharapkan
dapat membawa perubahan pada tingkat kesejahteraan masyarakat
secara merata. Pembangunan fisik berupa gedung-gedung
perkantoran dan pemukiman penduduk, sarana transportasi, tempat
ibadah, maupun tempat untuk kegiatan sosial masyarakat yang
diarahkan untuk memenuhi kebutuhan kegiatan masyarakat di
berbagai bidang terus mengalami perkembangan yang dinamis
sesuai dengan gerak roda perekonomian daerah masing-masing.
Untuk mendukung keberhasilan pembangunan nasional tersebut,
pemerintah telah menempuh kebijakan Otonomi Daerah yang
ditujukan agar hasil-hasil pembangunan dapat dirasakan secara
merata dan adil.
Selama lima tahun terakhir ini telah terjadi perubahan
mendasar pada penyelenggaraan pemerintahan baik di Pusat maupun
Daerah. Perubahan tersebut mencakup antara lain : system
pemerintahan dari sentralistik ke desentralistik (Undang-Undang
No. 22 tahun 1999), struktur organisasi pemerintahan di pusat
1
maupun di daerah (Peraturan Pemerintah Nomor 84 Tahun 2001),
perimbangan keuangan pemerintah pusat dan daerah (Undang-Undang
No. 25 tahun 1999), beserta perubahan instrument kebijakan
pemerintah yang menyertainya (dituangkan dalam Peraturan
Pemerintah (PP), Keputusan Presiden (Kepres) dan Peraturan
daerah (Perda) untuk mengatur tata cara pelimpahan kewenangan
pemerintah pusat ke pemerintah daerah dalam rangka otonomi
daerah dan transformasi pengelolaan keuangan dan anggaran
pendapatan dan belanja daerah (APBD). Semuanya itu membawa
perubahan nyata dan cepat (baca progresif) pada system hukum,
kelembagaan, penyelengaraan pemerintahan daerah, dan manajemen
keuangan dan pelayanan masyarakat yang menjadi tugas dan fungsi
utama pemerintah daerah yang berlaku selama ini.
Transformasi kekuasaan dan kewenangan dari pemerintah
pusat ke pemerintah daerah, seperti yang diamanatkan oleh
undang-undang dalam rangka pemberdayaan dan kemandirian daerah
untuk melayani kebutuhan masyarakatnya, selama dua tahun
terakhir ini belum mencapai sasaran yang diinginkan karena
belum siapnya infrastruktur, kelembagaan dan sumber daya daerah
serta masih belum mantapnya konsep dan menyatunya persepsi
pada tataran pelaksanaan. Landasan hukum dan perangkat aturan
yang ada dalam membagi hak dan kewajiban masing-masing pihak
seolah-olah tumpul menghadapi berbagai macam aspirasi dan
tingkat kepentingan. Perbedaan persepsi dan sudut pandang
2
antara perencanaan di pemerintah pusat dan aparat daerah, dan
antara legislatif dan executif baik di tingkat pusat maupun
daerah masih lebar dan menjadi kendala utama belum lancarnya
program/upaya transformasi tersebut.
Otonomi daerah yang dilaksanakan sejak 1 Januari 2001
memberikan kewenangan yang luas, nyata dan bertanggung jawab
kepada daerah untuk menyelenggarakan pemerintahan dan
pembangunan di daerahnya masing-masing dalam melayani kebutuhan
masyarakat dan pemberdayaan masyarakat. Untuk mendukung
pelaksanaan Otonomi Daerah tersebut, kepada Pemerintahan Daerah
diberikan kewenangan untuk mendayagunakan potensi keuangan
daerah sendiri serta sumber keuangan lain seperti perimbangan
keuangan Pusat dan daerah yang berupa Dana Bagi Hasil Pajak dan
Bukan Pajak, Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Alokasi Khusus
(DAK).
Selama beberapa tahun terakhir, DAU merupakan sumber
pendapatan utama Pemerintah Daerah. Azas kesenjangan fiskal
(fiskal gap) yang mendasari penghitungan DAU memerlukan
dukungan data yang valid, akurat dan terkini sehingga pembagian
DAU ke daerah menjadi adil, proporsional dan merata. Selain
dari pada itu, kebutuhan dukungan data dan informasi statistik
yang lengkap tidak hanya diperlukan oleh Lembaga Eksekutif
tetapi juga Legeslatif khususnya diperlukan untuk mengukur
3
kinerja Eksekutif. Sehubungan dengan keperluan itu, maka pada
saat ini sangat diperlukan tersedianya data jumlah penduduk,
Indeks Pembangunan Manusia (IPM), Indeks Kemahalan Konstruksi
(IKK), dan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) tingkat
Kabupaten.
Indeks Kemahalan Konstruksi (IKK) sebagai salah satu
informasi yang dibutuhkan pemerintah daerah adalah informasi
yang memuat berbagai harga barang dan jasa khususnya di bidang
konstruksi. Selain sebagai salah satu komponen/variabel dasar
dalam menghitungan Dana Alokasi Umum (DAU), Indeks Kemahalan
Konstruksi juga berguna dalam mendapatkan standarisasi harga
barang dan jasa yang digunakan dalam kegiatan pembangunan.
Selain itu perkembangan harga barang dan jasa yang diikuti dari
waktu ke waktu dapat dijadikan sebagai indikator pembangunan,
baik sebagai indikator input, indukator proses ataupun
indikator output.
1.2. Dana Alokasi Umum (DAU)
Dana Alokasi Umum (DAU) sebagai instrument kebijakan
fiscal pemerintah mempunyai peran yang sangat strategis dalam
proses otonomi daerah. DAU diharapkan dapat menjembatani tidak
hanya kesenjangan fiscal antara pusat dan daerah (vertical
fiscal gap), tetapi juga sebagai alat pemerataan kemampuan
fiscal antar daerah (horizontal fiscal equization). Lebih dari
4
itu DAU merupakan instrument kebijakan pemerintah dengan
persetujuan legeslatif yang dipakai untuk menstabilkan keamanan
dari pergolakan daerah yang dipicu oleh rasa ketidakadilan
ekonomi dan social (economic and social injustice) masyarakat
daerah. Kesenjangan fiscal antara pusat dan daerah yang selama
ini menjadi isu sensitive sehubungan dengan ketidakseimbangan
pembagian hasil sumber daya alam akan diperbaiki dengan system
pembagian bagi hasil sumber daya alam yang lebih adil.
Sedangkan kesenjangan kemampuan fiscal antara daerah yang
surplus dan daerah yang defisit akan ditutup dengan DAU.
Otonomi daerah yang dimulai 1 Januari 2001, untuk pertama
kalinya menggunakan konsep DAU sesuai dengan UU No. 25 tahun
1999 dimana DAU merupakan bagian dari dana perimbangan sebagai
sumber pembiayaan daerah untuk mendukung penyelenggaraan
otonomi daerah. Formula DAU atas dasar PP No.104 tahun 2000
direalisasikan untuk pertama kalinya dengan Keppres No. 181
tahun 2000. Jumlah DAU yang dialokasikan ke daerah-daerah
sebagian besar (80 %) didasarkan atas factor penyeimbang
(balancing factor) yakni jumlah subsidi daerah otonom (SDO)
yang selama ini merupakan sumber anggaran rutin daerah dan dana
pembangunan daerah (Inpres) yang merupakan anggaran pembangunan
daerah. Peranan formula sesuai dengan PP No. 104 dalam
mengalokasikan DAU dengan sendirinya hanya 20 %.
5
Sejak tahun 2002 hingga saat ini, peranan formula DAU
terus ditingkatkan dan peranan dana perimbangan dikurangi untuk
meningkatkan kapasitas fiskal daerah dalam mengoptimalkan
penerimaan asli daerah (PAD) sekaligus mengurangi
ketergantungan daerah akan DAU.
1.2.1. Konsep dan Variabel DAU
a. Konsep DAU
UU No. 25 Tahun 1999 yang dijadikan dasar dalam merumuskan
dana perimbangan menyatakan bahwa pembagian keuangan antara
Pusat-daerah dan antar daerah diberikan secara merata,
proporsional demokratis, adil dan transparan dengan
memperhatikan potensi, kondisi dan kebutuhan daerah. Oleh
karena itu dalam perumusan Dana Alokasi Umum (DAU) harus
memenuhi kaidah-kaidah tersebut.
Dana perimbangan akan diberikan oleh pemerintah pusat
kepada pemerintah daerah untuk menutupi seluruh atau sebagian
kekurangan pembiayaan kebutuhan daerah. Jadi pemerintah daerah
terlebih dahulu membiayai kebutuhan daerahnya dengan
menggunakan pendapatan asli daerah (PAD), sedangkan pemerintah
pusat hanya membantu meringankan beban tersebut. Apabila masih
terdapat kekurangan sebaiknya daerah terlebih dahulu merevisi
APBD nya dengan cara menyusun kembali daftar skala prioritas
sasaran yang akan dicapai pada tahun anggaran yang akan
6
berjalan agar supaya dana tersebut dapat mencukupi kebutuhan
daerah.
Kemampuan fiscal (fiscal capacity) daerah untuk menghimpun
pendapatan, pada kenyataannya, sangat bervariasi tergantung
kepada kondisi daerah masing-masing. Ada daerah yang mempunyai
sumber daya alam sebagai sumber pendapatan langsung, ada daerah
yang intensitas ekonominya tinggi sebagai sumber pendapatan
pajak daerah, tetapi ada juga daerah yang tidak memiliki
keduanya dan bergantung kepada transfer dana dari pemerintah
pusat. Dilain pihak kebutuhan berjalan (fiscal need) daerah
juga berbeda ditinjau dari pelayanan public, kondisi penduduk,
kondisi wilayah. Kebutuhan anggaran daerah ini diperbesar lagi
dengan adanya perasaan tertinggal, ketidak adilan, dan
keinginan untuk memanfaatkan peluang yang terbuka dengan adanya
program otonomi daerah.
Berdasarkan hal tersebut maka dipilihlah variable-variabel
yang mencerminkan besaran potensi fiscal (fiscal capacity)
daerah dan besaran kebutuhan fiscal (fiscal need) daerah.
Selisih dari kedua besaran (fiscal gap) tersebutlah yang
nantinya akan digunakan sebagai bobot daerah dalam
memproporsikan dana alokasi umum. Secara matematis hasil
rumusan tersebut memungkinkan adanya daerah yang tidak menerima
DAU dikarenakan daerah tersebut memiliki selisih sama dengan
7
nol atau negative. Namun untuk sementara waktu hal tersebut
dihindari dengan memakai factor penyeimbang (balancing factor)
yang merupakan alokasi minimal berupa lumpsum dan belanja
pegawai.
Jumlah DAU yang disediakan oleh pemerintah pusat adalah
sebesar 25 % dari penerimaan dalam negeri di APBN pada tahun
bersangkutan dengan rincian 10 % untuk pemerintah propinsi dan
90 % untuk pemerintah kabupaten/kota. Skema kerangka piker DAU
adalah sebagai berikut :
Diagram 1 : Kerangka Pikir DAU
b. Variabel Yang Digunakan
VARIABEL POTENSI PDRB Industri dan JasaBagi Hasil SDA, PBB, BPHTB Pph orang pribadi
VARIABEL KEBUTUHAN Jumlah PendudukLuas WilayahKepadatan PendudukIndeks Harga BangunanProverty Gap atau Jarak KemidskinanPenduduk Miskin
MODEL DAU
8
AMANAT UU 25/1999Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah
Variabel kebutuhan fiscal suatu daerah hendaknya dapat
mengakomodir kebutuhan suatu daerah yang digunakan untuk
pembiayaan program-program daerah dan pembangunan fasilitas
daerah seperti fasilitas pendidikan, kesehatan, infrastruktur
dan kebutuhan pokok lainnya. Variabel-variabel yang digunakan
disini juga diharapkan mampu untuk mengakomodir kebutuhan-
kebutuhan tersebut secara umum, sehingga dapat terbentuk suatu
rumusan yang sederhana dan mudah dihitung oleh daerah dengan
data yang mudah didapatkan. Tidak ada seorangpun yang dapat
menjamin bahwa variable-variabel yang digunakan sudah 100 %
benar. Hanya saja perlu dilakukan uji variable (specification
test) lebih lanjut apakah variable-variabel tersebut signifikan
mewakili besaran kebutuhan fiscal daerah.
2. Jumlah Penduduk
Jumlah penduduk suatu daerah mencerminkan kebutuhan
pelayanan yang diperlukan. Pelayanan tersebut dapat meliputi
beberapa aspek, seperti pendidikan, kesehatan, transportasi dan
lainnya. Untuk membedakan kebutuhan satu daerah dengan daerah
lain berdasarkan jumlah penduduk, maka dibuatlah indeks
penduduk. Indeks penduduk dihitung dengan cara :
9
dimana
= Indeks Penduduk daerah i
= Jumlah Penduduk Kabupaten/Kota ke-i
= Jumlah Penduduk Rata-rata
n = Jumlah Kabupaten/Kota
3. Luas Wilayah
Daerah dengan cakupan wilayah yang luas membutuhkan
pembiayaan yang lebih besar, maka dibentuklah suatu indeks
untuk membedakan besaran luas wilayah tersebut. Hal tersebut
yang dijadikan alasan oleh penyusun untuk digunakannya variable
luas wilayah. Padahal disisi lain luas wilayah tersebut juga
merupakan potensi yang besar dalam sisi penerimaan, seperti
hutan, perkebunan, dan pertanian. Data luas wilayah menggunakan
dua sumber yaitu yang bersumber dari Badan Pusat Statistik
serta Depdagri dan Otda. Apabila terdapat perbedaan luas daerah
yang cukup besar, maka digunakan luas daerah yang memiliki
tingkat densitas yang memenuhi kewajaran. Indeks Wilayah
tersebut adalah :
Indeks Wilayah I =Luas Daerah i
Rata-rata Luas Daerah Secara Nasional
4. Kepadatan Penduduk (Densitas)
10
Tingkat kepadatan penduduk (densitas) dapat dihitung
menggunakan juga jumlah dibagi dengan luas wilayah
kabupaten/kota. Sedangkan rata-rata densitas Indonesia didapat
dari jumlah penduduk Indonesia dibagi dengan Luas wilayah
Indonesia, sehingga indeksnya adalah :
Indeks Density I =Density Daerah i
Rata-rata Density Nasional
Wilayah yang luas dengan penduduk yang sedikit memiliki
masalah yang lebih ringan dibanding dengan wilayah yang lebih
padat. Hal tersebutlah yang mendasari digunakannya variabel
dasar untuk membentuk density telah digunakan dan diharapkan
tidak menjadikan variabel yang tumpang tindih.
5. Indikator Kemiskinan
Pembangunan daerah dilaksanakan bertujuan untuk
mewujudkan suatu masyarakat yang adil dan makmur secara merata.
Maka makin banyak jumlah penduduk yang berada dibawah garis
kemiskinan dibutuhkan dana yang lebih besar dalam meningkatkan
taraf hidup masyarakat. Untuk melihat perbedaan tingkat
kemiskinan antar daerah digunakan poverty gap sebagai ukuran.
Poverty gap memberikan gambaran sebaran pendapatan penduduk
miskin dari garis kemiskinan. Makin besar poverty gap-nya, maka
tingkat kemiskinannya semakin tinggi begitu juga sebaliknya
11
apabila poverty gap-nya makin kecil maka tingkat kemiskinannya
makin rendah bahkan apabila proverty gap tidak dapat dihitung
karena q = 0 maka suatu daerah dapat dinyatakan tidak memiliki
penduduk miskin. Rumusan poverty gap adalah sebagai berikut :
dimana :
PGi = Poverty Gap daerah ke iyj = Pendapatan penduduk ke jZ = Poverty line (batas kemiskinan)n = Jumlah penduduk suatu daerah ke iq = Jumlah penduduk miskin suatu daerah ke i
Untuk mendapatkan Indeks Poverty Gap, terlebih dahulu
kita harus mencari Head Cout Index, dan Income Gap. Setelah itu
barulah dapat dihitung Indeksnya.
Head Count Index Daerah i =Penduduk Miskin Daerah Ke i
X 100%Jumlah Penduduk daerah ke i
Income Gap Daerah i =Proverty Gap daerah Ke i
Head Count Index Daerah Ke i
Indeks Proverty Gap =Income Gap daerah Ke i
Rata-rata Income Gap Seluruh Indonesia
6. Indeks Kemahalan Konstruksi
12
Untuk meningkatkan pelayanan pemerintah sangat dibutuhkan sarana dan prasarana
berupa bangunan gedung, jalan, jembatan, irigasi dan lain sebagainya. Pembangunan ini
semua merupakan tanggung jawab pemerintah daerah. Kondisi geografis negara Indonesia
menyebabkan perbedaan pembiayaan untuk membangun fasilitas-fasilitas tersebut. Hal inilah
yang mendasari untuk digunakannya Indeks Harga Bangunan sebagai pembeda kebutuhan
suatu daerah dilihat dari sektor konstruksi. Formula indeks yang digunakan adalah indeks
Laspeyres yaitu indeks harga yang ditimbang dengan kuantitas pada tahun dasar. Sedangkan
indeks kemahalan konstruksi kabupaten/kota didapatkan dari perbandingan tingkat kemahalan
konstruksi kabupaten/kota terhadap kemahalan rata-rata nasional.
IKK Daerah i = Indeks kemahalan konstruksi daerah Ke-iRata-rata Indeks Kemahalan Konstruksi Daerah
1.3. Variabel Potensi Daerah
Yang menjadi komponen dari potensi daerah adalah Pendapatan Asli daerah (PAD),
Pajak Bumi Bangunan (PBB), Bagian Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB),
Bagi Hasil Sumber Daya Alam (BHSDA), dan Pajak Penghasilan (Pph). PAD estimasi
merupakan hasil kali dari pendapatan asli daerah rata-rata dengan indeks industri dan jasa,
sedangkan untuk data lainnya tersedia di Departemen Keuangan. Variabel PAD belum
mencerminkan kapasitas fiskal daerah yang sebenarnya karena besarannya sangat tergantung
dari kemampuan daerah mengumpulkan pajak dan retribusi. Apabila data PAD ini lebih kecil
dari seharusnya, maka perkiraan penerimaan daerah akan underestimate dan mengakibatkan
ketergantungan daerah akan PAD semakin besar. Untuk menghindarinya, maka digunakan
variabel Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) sektor Industri dan Jasa. Untuk perumusan
PAD-nya dapat dituliskan sebagai berikut :
13
PAD rata-rata = PAD Seluruh Indonesia
Jumlah daerah
Indeks Industri dan Jasa Ke I =(PDRB Industri dan Jasa)i
Rata-rata PDRB Industri Jasa Nasional
PÂD = PAD rata-rata X Indeks Industri dan Jasa ke i
= 0 + 1 PDRB Jasa
Sehingga Potensi Penerimaan = PÂD + PBB + BPHTB + BHSDA + Pph
2. Permasalahan
Mengingat begitu strategisnya peranan program otonomi
daerah dalam rangka memperbaiki system penyelenggaraan
pemerintahan yang selama ini terpusat (sentralistik) dan
dianggap mengabaikan hak dan aspirasi daerah untuk
menyelenggarakan rumahtangganya sendiri, maka keberhasilan
program otonomi daerah sagat tergantung kemampuan formulasi
DAU, sebagai solusi dan instrument kebijakan pemerintah,
mengakomodir berbagai kepentingan dan aspirasi daerah. Beberapa
masalah dan kendala yang merupakan potensi penyebab
ketidakberhasilan formula DAU sebagai pengemban amanat
kemandirian dan pemerataan seperti dikehendaki oleh UU Otonomi
Daerah dan UU Perimbangan Keuangan Pemerintah Pusat dan Daerah
dapat bersumber pada : konsep, formula, variabel yang dipakai,
data/informasi yang tersedia, dan teknis pelaksanaannya.
14
2.1. Masalah Konseptual (Conseptual Problems)
Masalah konseptual (conceptual problem) dalam menyusun DAU
terletak pada bagaimana menterjemahkan visi otonomi dan
kemandirian fiscal yang diamanatkan oleh UU yang bersifat
pedagang eceran, dan kategori lainnya, seperti: kontraktor dan
instansi terkait lainnya (khususnya untuk mengumpulkan data
harga sewa alat-alat berat dan upah pekerja/jasa konstruksi).
Kegiatan pengumpulan data ini dilakukan dalam empat tahap
triwulanan, yaitu triwulan pertama (dilaksanakan Bulan
Februari), triwulan kedua (dilaksanakan Bulan Mei), triwulan
ketiga (dilaksanakan Bulan Agustus) dan triwulan keempat
(dilaksanakan Bulan November).
Data harga ini dikumpulkan melalui Survei Harga
Perdagangan Besar Barang-barang konstruksi dengan menggunakan
daftar HPB-K. Sementara itu, data yang digunakan untuk
penghitungan Indeks kemahalan Konstruksi (IKK) tahun 2007
adalah hasil survei HPB-K triwulan II dengan periode pencacahan
bulan Mei 2006. Data Harga yang dikumpulkan terdiri dari 60
jenis barang yang mencakup sekitar 145 kualitas serta harga
sewa 4 macam alat berat dan 9 upak tukang dan mandor.
20
Data Lain yang dikumpulkan adalah perkiraan persentase
pengeluaran kegiatan pembangunan fisik gedung/konstruksi
masing-masing kelompok jenis bangunan terhadap total nilai
pengeluaran kegiatan pembangunan tersebut. Data ini diperoleh
dari pemerintah Kota Tanjungpinang berdasarkan realisasi APBD.
3.5. Metode Penghitungan
Pada tahun 2004 dan tahun-tahun sebelumnya, Indeks
Kemahalan Konstruksi (IKK) dihitung menurut kelompok jenis
bangunan, terdiri dari 5 (lima) kelompok, mengacu pada
Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia (KBLI). Indeks
Kemahalan Konstruksi (IKK) yang digunakan dalam penghitungan
DAU adalah IKK umum, yaitu angka tertimbang dari kelima IKK
kelompok jenis bangunan. Kelima kelompok jenis bangunan
tersebut adalah:
1. Bangunan tempat tinggal dan bukan tempat tinggal;
2. Pekerjaan umum untuk jalan, jembatan, dan pelabuhan;
3. Bangunan pekerjaan umum untuk pertanian (prasarana
pertanian);
4. Bangunan untuk instalasi listrik, gas, air minum dan
komunikasi;
5. Bangunan lainnya.
21
Sebagai gambaran lebih jelas, berikut dijabarkan klasifikasi
masing-masing jenis bangunan tersebut, yang dipakai pada tahun
2004 dan tahun-tahun sebelumnya:
1. Bangunan tempat tinggal dan bukan tempat tinggal:
a. Konstruksi gedung tempat tinggal, meliputi rumah yang
dibangun sendiri, real estate, rumah susun, dan
perumahan dinas.
b. Konstruksi gedung bukan tempat tinggal, meliputi
konstruksi gedung perkantoran, industri, kesehatan,
pendidikan, tempat hiburan, tempat ibadah,
terminal/stasiun, dan bangunan monumental lainnya.
2. Bangunan pekerjaan umum untuk jalan, jembatan, dan
pelabuhan:
a. Bangunan, jembatan dan landasan
meliputi: pembangunan jalan, jembatan, landasan
pesawat terbang, pagar/tembok, drainase jalan, marka
jalan dan rambu-rambu lalu lintas.
b. Bangunan jalan dan jembatan kereta
meliputi: pembangunan jalan dan jembatan kereta.
3. Bangunan pekerjaan umum untuk pertanian (prasarana
pertanian):
a. Bangunan pengairan
meliputi: pembangunan waduk (reservoir), bendungan
(weir), embung, jaringan irigasi, pintu air, sipon
22
dan drainase, irigasi, talang, check dam, tanggul
pengendalian banjir, tanggur laut, krib, dan viaduk.
b. Bangunan tempat proses hasil pertanian
meliputi: bangunan penggilingan dan bangunan
pengeringan.
4. Bangunan untuk instalasi listrik, gas, air minum, dan
komunikasi:
a. Bangunan elektrikal
meliputi: pembangkit tenaga listrik, transmisi dan
transmisi tegangan tinggi.
b. Konstruksi telekomunikasi udara
meliputi konstruksi bangunan telekomunikasi dan
navigasi udara, bangunan pemancar/penerima radar, dan
bangunan antena.
c. Konstruksi sinyal dan telekomunikasi kereta api
meliputi: pembangunan Konstruksi sinyal dan
telekomunikasi kereta api.
d. Konstruksi sentral telekomunikasi
meliputi bangunan sentral telepon/telegraf,
konstruksi menara pemancar radar microwave, dan
bangunan stasiun bumi kecil/stasiun satelit.
e. Instalasi air
meliputi: instalasi air bersih dan air limbah serta
saluran drainase pada gedung.
23
f. Instalasi listrik
meliputi: pemasangan instalasi jaringan listrik
tegangan lemah dan pemasangan instalasi listrik pada
gedung bukan tempat tinggal.
g. Instalasi gas
meliputi: pemasangan gas pada gedung tempat tinggal
dan pemasangan instalasi gas pada gedung bukan tempat
tinggal.
h. Instalasi listrik jalan
meliputi: instalasi listrik jalan raya, instalasi
listrik jalan kereta api, dan instalasi listrik
lapangan udara.
i. Instalasi jaringan pipa
meliputi: jaringan pipa, jaringan air, dan jaringan
minyak.
5. Bangunan lainnya
meliputi: bangunan sipil, pembangunan lapangan olahraga,
lapangan parkir, dan sarana lingkungan pemukiman.
Untuk keseragaman dalam penghitungan Indeks Kemahalan
Konstruksi (IKK) yang dipakai pada tahun 2004 dan tahun-tahun
sebelumnya, setiap kelompok jenis bangunan kontruksi diwakili
oleh satu unit bangunan/konstruksi yang mempunyai nilai
termahal atau andil yang paling besar di masing-masing daerah,
yaitu:
24
1. Bangunan tempat tinggal dan bukan tempat tinggal,
diwaliki oleh bangunan tempat tinggal
2. Pekerjaan umum untuk jalan, jembatan, dan pelabuhan,
diwaliki oleh pembangunan jalan
3. Bangunan pekerjaan umum untuk pertanian (prasarana
pertanian),
diwaliki oleh bangunan jaringan irigasi
4. Bangunan untuk instalasi listrik, gas, air minum dan
komunikasi,
diwaliki oleh instalasi listrik jalan raya
5. Bangunan lainnya,
diwaliki oleh pembangunan lapangan parkir.
Berbeda dari Indeks Kemahalan Konstruksi (IKK) tahun 2004
dan tahun-tahun sebelumnya, mulai tahun 2005 Indeks Kemahalan
Konstruksi (IKK) dihitung hanya menurut 3 (tiga) kelompok jenis
bangunan. Kelompok jenis bangunan yang tidak diikutsertakan
adalah bangunan untuk instalasi listrik, gas, air minum dan
komunikasi, sedangkan kelompok jenis bangunan pekerjaan umum
untuk pertanian (prasarana pertanian) digabung dengan kelompok
jenis bangunan lainnya.
Perubahan pengelompokan jenis bangunan ini dilakukan agar
Indeks Kemahalan Konstruksi (IKK) antar kabupaten/kota yang
dihasilkan lebih mempunyai keterbandingan/comparable. Kelompok
jenis listrik, gas, air minum dan komunikasi tidak
25
diikutsertakan, dikarenakan kualitas barang-barang dalam
kelompok jenis bangunan tersebut sangat beragam antar
kabupaten/kota. Sedangkan kelompok jenis bangunan pekerjaan
umum untuk pertanian (prasarana pertanian), dinilai tidak
relevan lagi digunakan untuk daerah perkotaan.
Berikut ini, 3 (tiga) kelompok jenis bangunan yang
digunakan dalam penghitungan Indeks Kemahalan Konstruksi (IKK)
tahun 2005 yang juga digunakan pada saat penghitungan IKK tahun
2006:
a. Bangunan tempat tinggal dan bukan tempat tinggal,
b. Pekerjaan umum untuk jalan, jembatan dan pelabuhan,
c. Bangunan lainnya
3.6. Paket Komoditas
Paket komoditas yang digunakan dalam penghitungan Indeks
Kemahalan Konstruksi (IKK) tahun 2006 terdiri dari 18 jenis
barang/bahan bangunan dan 4 sewa alat-alat berat. Jenis
barang/bahan bangunan dan sewa alat-alat berat tersebut dipilih
dari sekitar 60 jenis barang/bahan bangunan dan 4 sewa alat-
alat berat yang terdapat dalam daftar HPB-K, jenis barang yang
tidak termasuk dalam paket komoditas IKK 2006 adalah barang-
barang yang digunakan pada kelompok jenis bangunan listrik,
gas, air minum dan komunikasi Jumlah jenis barang/bahan
bangunan ini lebih sedikit bila dibandingkan dengan paket
26
komoditas Indeks Kemahalan Konstruksi (IKK) tahun 2004 yang
terdiri dari 23 jenis barang/bahan bangunan dan 3 sewa alat-
alat berat.
Delapan belas jenis barang/bahan bangunan dan empat sewa
alat-alat berat yang menjadi paket komoditas penghitungan
Indeks Kemahalan Konstruksi (IKK) tahun 2005 tersebut, yaitu:
pasir pasang, batu kali, sirtu, kayu papan, kayu balok, kayu
lapis, cat tembok, cat kayu/besi, aspal, pipa PVC, kaca, batu
bata, semen, batu split, lantai keramik, besi beton, seng plat,
seng gelombang, sewa alat berat hidrolik excavator, bulldozer
dan three wheel roller (mesin gilas) dan Dump Truck. Ke 18
jenis barang/bahan bangunan dan 4 sewa alat-alat berat tersebut
dipilih karena mempunyai nilai atau andil cukup besar dan data
harga barang-barang tersebut comparable atau mempunyai
keterbandingan antar kabupaten/kota di seluruh Indonesia.
3.7. Penimbang atau Bobot
Diagram Timbang (DT) atau bobot terdiri dari Diagram
Timbang (DT) kelompok jenis bangunan dan Diagram Timbang (DT)
umum. Diagram Timbang (DT) kelompok jenis bangunan disusun
berdasarkan besarnya volume masing-masing jenis bahan bangunan
untuk membangun satu unit bangunan per satuan ukuran luas.
27
Sedangkan Diagram Timbang (DT) umum disusun berdasarkan data
realisasi APBD dan pengeluaran belanja pembangunan dan rutin
yang diperoleh dari Pemerintah Kabupaten/Kota setempat, yang
dalam hal ini berarti pihak Pemerintah Kota Tanjungpinang atau
DT disusun berdasarkan perkiraan persentase pengeluaran
pembangunan fisik yang ada di masing-masing kabupaten/kota dan
dirinci menurut 3(tiga) kelompok jenis bangunan/konstruksi.
3.8. Tingkat Kemahalan Harga Bangunan/Konstruksi (TKK)
a. Tingkat Kemahalan Harga Bangunan/Konstruksi Kelompok
Jenis Bangunan Kabupaten/Kota:
Keterangan:
TKKkj = tingkat kemahalan harga bangunan/konstruksi
kabupaten/kota k kelompok jenis bangunan j
Hi = harga bahan bangunan i
Qij = kuantitas/volume bahan bangunan i kelompok
jenis bangunan j
= diagram timbang kelompok jenis bangunan j
i = jenis barang/bahan bangunan
j = kelompok jenis bangunan
k = kabupaten/kota
28
m = jumlah jenis barang/bahan bangunan dan sewa
alat berat (m=22)
b. Tingkat Kemahalan Harga Bangunan/Konstruksi Kelompok
Jenis Bangunan Rata-rata Nasional:
Keterangan:
TKKnj = tingkat kemahalan harga bangunan/konstruksi
rata-rata nasional kelompok jenis bangunan
j
n = jumlah kabupaten/kota di seluruh Indonesia
(n=434 )
3.9. Indeks Kemahalan Konstruksi (IKK)
a. Indeks Kemahalan Harga Bangunan/Konstruksi kelompok
Jenis Bangunan Kabupaten/Kota:
Keterangan:
IKKkj = indeks kemahalan harga bangunan/konstruksi
kabupaten/kota k kelompok jenis bangunan j
b. Indeks Kemahalan Harga Bangunan/Konstruksi Umum
Kab./Kota:
29
Keterangan:
IKKuk = indeks kemahalan harga bangunan/konstruksi
umum kabupaten/kota k
Qj = Diagram timbang IKK umum kabupaten/kota
p = jumlah kelompok jenis bangunan (p=3)
u = umum
I = Suatu Konstanta yang menggambarkan
perkembangan harga barang-barang yang
digunakan di sektor konstruksi di Indonesia
(IHPB sektor konstruksi) februari 2004 –
Mei 2006 yaitu sebesar 1,5092.
b. Indeks Kemahalan Konstruksi (IKK) tahun 2007
penyesuaian diperoleh dengan cara mengalikan data
IKK tahun 2006 dengan perkembangan IHPB konstruksi
bulan Februari tahun 2004 ke bulan Mei tahun 2006.
4. TENAGA AHLI DAN TENAGA PENDUKUNG YANG DI BUTUHKAN
No Tenaga Ahli Pendidikan Jumlah Personil
Pengalaman
1 Team Leader (Ahli Perencanaan Kota)
S1/S2 Teknik Sipil
1 Orang Minimum 3 Tahun
2 Ahli Ekonomi S1 Ekonomi 1 Orang Minimum 3 Tahun
30
No Tenaga Pendukung Pendidikan Jumlah Personil
Pengalaman
1 Estimator D3 1 Orang Minimum 3 Tahun
2 Administrasi Kantor SMA 1 Orang Minimum 3 Tahun
3 Surveyor SMEA 1 Orang Minimum 3 Tahun
5. Rencana dan Jadwal pekerjaan
NO. KEGIATAN JADWAL WAKTU
1 2 3
1. Persiapan Kegiatan 1 september -10 September 2008
2. Pengumpulan Data 20 September – 27 Sepember 2008
3. Pengolahan dan Tabulasi 28 – 31 September 2008
4. Analisa Data 1-7 Oktober 2008
5. Penyusunan Draf Publikasi 8 – 22 oktober 2008
6. Perbaikan Draf 23 – 25 ktober 2008
7. Penggandaan Publikasi 26 Oktober – 14 November 2008
6. Rencana Kerja Lengkap
6.1. Persiapan Kegiatan
Persiapan kegiatan meliputi kegiatan pengumpulan bahan
penyusunan publikasi, pengumpulan bahan dilakukan dengan
cara pengumpulan bahan referensi penyusunan dari internet,
pengumpulan publikasi yang menunjang seperti publikasi
dari Bapekko Kota Tanjungpinang, BPS Pusat Jakarta, BPS
Propinsi Kepulauan Riau, BPS Kota Tanjungpinang, dinas
Kimpraswil Kota Tanjungpinang dsb.
6.2. Pengumpulan Data
31
a. Pengumpulan Data Primer
Data Primer yaitu data yang dikumpulkan dan diolah
sendiri oleh suatu organisasi atau perorangan
langsung dari objeknya. Data Primer yang dikumpulkan
adalah data Harga Bahan Kontruksi dari 18 Pedagang
bahan kontruksi yang ada di seluruh Kota
Tanjungpinang, hal ini untuk mendapatkan gambaran
mengenai perbedaan harga bahan kontruksi di masing-
masing kelurahan sebagai akibat biaya transportasi
yang berbeda di masing-masing Kelurahan. Asal Bahan-
bahan Kontruksi dan tempat bongkar muat bahan
kontruksi.
b. Pengumpulan Data Sekunder
Data Sekunder ialah data yang diperoleh dalam bentuk
jadi dan telah diolah oleh pihak lain, yang biasanya
dalam bentuk publikasi. Kegiatan ini dilakukan dengan
mengumpulkan publikasi yang ada hbungannya dengan
penyusunan publikasi IKK kota Tanjungpinang
diantaranya yaitu Publikasi Tanjungpinang Dalam Angka
dari Bapekko Kota Tanjungpinang, Publikasi IKK yang
dikeluarkan BPS Propinsi Kepulauan Riau, Publikasi
Kegiatan Percepatan Penyediaan Data Statistik Dalam
Rangka Kebijakan Dana Perimbangan Tahun 2008
dikeluarkan Oleh BPS Jakarta, dan sebagainya.
32
6.3. Pengolahan Dan Tabulasi
Data primer atau sekunder yang sudah dikumpulkan kemudian
dilakukan pengolahan dan di tabulasikan, hal ini dilakukan
agar memudahkan dalam proses analisis data. setelah di
olah kemudian data disajikan kedalam bentuk tabel ataupun
grafik.
6.4. Analisis Data
Analisis yang digunakan adalah analisis deskriftip, yaitu
analisis yang sifatnya memberikan gambaran terhadap
persoalan tentang konstruksi yang ada dan analisis SWOT
untuk penentuan kebijakan yang mungkin diambil dalam hal
kontruksi di Kota Tanjungpinang.
6.5. Penyusunan Draft Publikasi
Setelah datanya diolah dan dianalisis, hasilnya kemudian
disusun menjadi suatu publikasi.
6.6. Perbaikan Draft
Hal ini dilakukan untuk memperbaiki dan menambah hal-hal
yang dianggap penting dalam penyusunan draft akhir
publikasi ikk
6.7. Penggandaan publikasi
7. Rancangan Untuk tahap pengembangan
Untuk tahap pengembangan, akan dilakukan analisis
deskriftip sesuai dengan data yang sebenarnya dan akan
33
dilakukan analisis mengenai kebijakan dalam bidang
kontruksi untk menjawab semua permasalahan yang ada yang
berkaitan dengan bidang konstruksi,
DAFTAR ISI1. LATAR BELAKANG.....................................................................................................1
1.1. Otonomi Daerah...................................................................................................11.2. Dana Alokasi Umum (DAU)...............................................................................41.3. Variabel Potensi Daerah....................................................................................13
3. Tingkat Kemahalan Konstruksi (TKK).........................................................................173.1. Pengertian dan Definisi Tingkat Kemahalan Konstruksi..................................173.2. Maksud dan Tujuan...........................................................................................183.3. Ruang Lingkup dan Sumber Data......................................................................193.4. Kegiatan Pengumpulan Data.............................................................................203.5. Metode Penghitungan........................................................................................213.6. Paket Komoditas................................................................................................263.7. Penimbang atau Bobot.......................................................................................283.8. Tingkat Kemahalan Harga Bangunan/Konstruksi (TKK).................................283.9. Indeks Kemahalan Konstruksi (IKK)................................................................29
4. Tenaga Ahli Dan Tenaga Pendudkung Yang Dibutuhkan.............................................315. Rencana dan Jadwal pekerjaan......................................................................................31
34
6. Rencana Kerja Lengkap.................................................................................................326.1. Persiapan Kegiatan............................................................................................326.2. Pengumpulan Data.............................................................................................326.3. Pengolahan Dan Tabulasi..................................................................................336.4. Analisis Data......................................................................................................336.5. Penyusunan Draft Publikasi...............................................................................346.6. Perbaikan Draft..................................................................................................346.7. Penggandaan publikasi......................................................................................34
7. Rancangan Untuk tahap pengembangan........................................................................34