1 IMPLIKASI DARI GLOBALISASI/PERDAGANGAN BEBAS DUNIA TERHADAP EKONOMI NASIONAL 1 Tulus Tambunan Kadin Indonesia Pengertian Tidak ada definisi yang baku atau standar mengenai globalisasi, tetapi secara sederhana globalisasi ekonomi dapat diartikan sebagai suatu proses dimana semakin banyak negara yang terlibat dalam kegiatan ekonomi dunia. Jadi, jika pada periode sejak perang dunia kedua berakhir hingga tahun 1970-an ekonomi dunia didominasi oleh ekonomi Amerika Serikat (AS), sekarang ini walaupun produk domestik bruto (PDB) AS masih besar yakni sekitar 45% dari PDB dunia, peran dari ekonomi Uni Eropa, Jepang dan negara-negara yang tergolong dalam newly industrialized countries (NICs), seperti Korea Selatan, Taiwan, dan Singapura, dan Cina jauh lebih kuat sebagai motor penggerak perekonomian dunia. Semakin mengglobalnya suatu negara di dalam perekonomian dunia dapat dilihat dari misalnya peningkatan dari perdagangan internasionalnya (ekspor dan impor) yang tercerminkan antara lain pada peningkatan pangsa ekspornya di pasar global dan peningkatan rasio impor terhadap PDB-nya; semakin aktif terlibat dalam proses produksi yang melibatkan banyak negara (misalnya dalam membuat pesawat Boeing lebih dari 50 negara terlibat yang masing-masing membuat bagian-bagian tertentu dari pesawat tersebut, atau dalam membuat pesawat Airbus, sejumlah negara Eropa terlibat dalam proses pembuatannya), dan semakin besar arus investasi asing yang masuk ke negara tersebut atau semakin besarnya investasi dari negara tersebut ke negara-negara lain. Jadi, proses globalisasi dari sisi ekonomi adalah suatu perubahan di dalam perekonomian dunia yang bersifat mendasar atau struktural dan akan berlangsung terus dalam laju yang semakin pesat mengikuti kemajuan teknologi yang juga prosesnya semakin cepat. Perkembangan ini telah meningkatkan kadar hubungan saling ketergantungan dan juga mempertajam persaingan antarnegara, tidak hanya dalam perdagangan internasional tetapi juga dalam kegiatan investasi, finansial dan produksi. Globalisasi ekonomi ditandai dengan semakin menipisnya batas-batas kegiatan ekonomi atau pasar secara nasional atau regional, tetapi semakin mengglobal menjadi “satu” proses yang melibatkan banyak negara. Dalam tingkat globalisasi yang optimal arus produk dan faktor-faktor produksi lintas negara atau regional akan selancar lintas kota di suatu negara atau desa di dalam suatu kecamatan. Pada tingkat ini, seorang pengusaha yang punya pabrik di Kalimantan Barat setiap saat bisa memindahkan usahanya ke Serawak atau Filipina tanpa ada halangan, baik halangan logistik maupun halangan birokrasi dari pihak pemerintah Malaysia atau Filipina maupun dari pemerintah Indonesia dalam urusan administrasi seperti izin dan sebagainya. Sekarang ini tidak relevan lagi mencantumkan nama negara asal dari suatu produk; orang hanya tau bahwa lampu itu adalah buatan Philips yang pabrik pembuatanya bukan di Belanda, tetapi misalnya di Tangerang. Banyak produk dari Disney bukan buatan AS melainkan dibuat di Cina dengan memakai tenaga kerja, bahan baku dan modal dari negara 1 Bahan diskusi dalam Seminar Penataan Ruang dan Pengembangan Wilayah, Dep.PU, Jakarta, 1 Juli 2005.
24
Embed
IMPLIKASI DARI GLOBALISASI/PERDAGANGAN … · Arus modal internasional atau arus modal ... dari modal asing pemerintah juga termasuk pinjaman dari badan-badan dunia seperti Dana Moneter
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
1
IMPLIKASI DARI GLOBALISASI/PERDAGANGAN BEBAS DUNIA TERHADAP EKONOMI NASIONAL1
Tulus Tambunan Kadin Indonesia
Pengertian
Tidak ada definisi yang baku atau standar mengenai globalisasi, tetapi secara sederhana globalisasi ekonomi dapat
diartikan sebagai suatu proses dimana semakin banyak negara yang terlibat dalam kegiatan ekonomi dunia. Jadi, jika pada
periode sejak perang dunia kedua berakhir hingga tahun 1970-an ekonomi dunia didominasi oleh ekonomi Amerika Serikat
(AS), sekarang ini walaupun produk domestik bruto (PDB) AS masih besar yakni sekitar 45% dari PDB dunia, peran dari
ekonomi Uni Eropa, Jepang dan negara-negara yang tergolong dalam newly industrialized countries (NICs), seperti Korea
Selatan, Taiwan, dan Singapura, dan Cina jauh lebih kuat sebagai motor penggerak perekonomian dunia. Semakin
mengglobalnya suatu negara di dalam perekonomian dunia dapat dilihat dari misalnya peningkatan dari perdagangan
internasionalnya (ekspor dan impor) yang tercerminkan antara lain pada peningkatan pangsa ekspornya di pasar global dan
peningkatan rasio impor terhadap PDB-nya; semakin aktif terlibat dalam proses produksi yang melibatkan banyak negara
(misalnya dalam membuat pesawat Boeing lebih dari 50 negara terlibat yang masing-masing membuat bagian-bagian
tertentu dari pesawat tersebut, atau dalam membuat pesawat Airbus, sejumlah negara Eropa terlibat dalam proses
pembuatannya), dan semakin besar arus investasi asing yang masuk ke negara tersebut atau semakin besarnya investasi dari
negara tersebut ke negara-negara lain.
Jadi, proses globalisasi dari sisi ekonomi adalah suatu perubahan di dalam perekonomian dunia yang bersifat mendasar
atau struktural dan akan berlangsung terus dalam laju yang semakin pesat mengikuti kemajuan teknologi yang juga
prosesnya semakin cepat. Perkembangan ini telah meningkatkan kadar hubungan saling ketergantungan dan juga
mempertajam persaingan antarnegara, tidak hanya dalam perdagangan internasional tetapi juga dalam kegiatan investasi,
finansial dan produksi. Globalisasi ekonomi ditandai dengan semakin menipisnya batas-batas kegiatan ekonomi atau pasar
secara nasional atau regional, tetapi semakin mengglobal menjadi “satu” proses yang melibatkan banyak negara. Dalam
tingkat globalisasi yang optimal arus produk dan faktor-faktor produksi lintas negara atau regional akan selancar lintas kota
di suatu negara atau desa di dalam suatu kecamatan. Pada tingkat ini, seorang pengusaha yang punya pabrik di Kalimantan
Barat setiap saat bisa memindahkan usahanya ke Serawak atau Filipina tanpa ada halangan, baik halangan logistik maupun
halangan birokrasi dari pihak pemerintah Malaysia atau Filipina maupun dari pemerintah Indonesia dalam urusan
administrasi seperti izin dan sebagainya.
Sekarang ini tidak relevan lagi mencantumkan nama negara asal dari suatu produk; orang hanya tau bahwa lampu itu
adalah buatan Philips yang pabrik pembuatanya bukan di Belanda, tetapi misalnya di Tangerang. Banyak produk dari
Disney bukan buatan AS melainkan dibuat di Cina dengan memakai tenaga kerja, bahan baku dan modal dari negara
1 Bahan diskusi dalam Seminar Penataan Ruang dan Pengembangan Wilayah, Dep.PU, Jakarta, 1 Juli 2005.
2
tersebut. Sekarang ini semakin banyak produk-produk yang komponennya di buat di lebih dari satu negara (seperti
komputer, mobil, pesawat terbang, dll.), dan banyak perusahaan-perusahaan multinasional mempunyai kantor pusat bukan
di negara asal melainkan di pusat-pusat keuangan di negara-negara lain seperti London dan New York.
Semakin menipisnya batas-batas kegiatan ekonomi secara nasional maupun regional disebabkan oleh banyak hal,
diantaranya menurut Halwani (2002) adalah komunikasi dan transportasi yang semakin canggih dan murah, lalu lintas
devisa yang semakin bebas, ekonomi negara yang semakin terbuka, penggunaan secara penuh keunggulan komparatif dan
keunggulan kompetitif tiap-tiap negara, metode produksi dan perakitan dengan organisasi manajemen yang semakin
efisien, dan semakin pesatnya perkembangan perusahaan multinasional di hampir seantero dunia. Selain itu, penyebab-
penyebab lainnya adalah semakin banyaknya industri yang bersifat footloose akibat kemajuan teknologi (yang mengurangi
pemakaian sumber daya alam), semakin tingginya pendapatan dunia rata-rata per kapita, semakin majunya tingkat
pendidikan mayarakat dunia, ilmu pengetahuan dan teknologi di semua bidang, dan semakin banyaknya jumlah penduduk
dunia.
Menurut Friedman (2002), globalisasi mempunyai tiga dimensi. Pertama, dimensi ide atau ideologi yaitu
“kapitalisme”. Dalam pengertian ini termasuk seperangkat nilai yang menyertainya, yakni falsafah individualisme,
demokrasi dan HAM. Kedua, dimensi ekonomi, yaitu pasar bebas yang artinya arus barang dan jasa antarnegara tidak
dihalangi sedikitpun juga. Ketiga, dimensi teknologi, khususnya teknologi informasi yang akan membuka batas-batas
negara sehingga negara makin tanpa batas.
Dalam ekonomi, secara garis besar fenomena globalisasi dapat dilihat dari pertumbuhan kegiatan ekonomi lintas
negara dalam berbagai bentuk. Diantaranya, dua bentuk kegiatan ekonomi yang secara nyata semakin mengglobal, yakni
arus perdagangan dan arus modal internasional. Oleh sebab itu, arus globalisasi dan arus perdagangan serta investasi dunia
berlangsung bersamaan.
Arus Perdagangan Internasional
Pangsa dari pengeluaran konsumsi domestik terhadap barang dan jasa yang diimpor dari negara-negara lain meningkat, dan
bagian dari produksi barang dan jasa di dalam negeri yang diekspor meningkat. Peningkatan ini membuat volume
perdagangan antarnegara di dunia meningkat, baik secara absolut maupun relatif, yakni rasio dari perdagangan
internasional (ekspor + impor) terhadap PDB dari masing-masing negara secara individu atau dunia. Data dari Bank Dunia
tahun 2000 misalnya menunjukkan bahwa di dalam kelompok negara-negara kaya/maju, pangsa dari perdagangan
internasional di dalam output total naik dari 27% ke 39% selama periode 1987-1998. Sedangkan di dalam kelompok
negara-negara sedang berkembang, rasio perdagangan internasional terhadap PDB naik dari 10% ke 17% dalam periode
yang sama (Bank Dunia, 2000a).
3
Arus Modal Internasional.
Arus modal internasional atau arus modal antarnegara terdiri dari modal swasta dan modal pemerintah. Arus modal swasta
antarnegara bisa berbentuk investasi atau pinjaman; sedangkan arus modal asing pemerintah pada umumnya dalam bentuk
pinjaman, misalnya pinjaman yang diterimah dari pemerintah dari negara-negara yang tergabung dalam CGI (Consultancy
Group on Indonesia) atau dalam konteks bilateral dengan pemerintah negara-negara donor secara individual. Pengertian
dari modal asing pemerintah juga termasuk pinjaman dari badan-badan dunia seperti Dana Moneter Internasional (IMF),
Bank Dunia dan Bank Pembangunan Asia (ADB).
Arus modal asing dalam bentuk investasi bisa investasi investasi langsung atau jangka panjang, yang disebut foreign
direct investment (FDI) atau penanaman modal asing (PMA), atau investasi tidak langsung atau jangka pendek, yang umum
disebut investasi portofolio. Dalam hal PMA, dalam dua dekade belakangan ini semakin banyak perusahaan-perusahaan
yang berbasis di suatu negara melakukan investasi jangka panjang di negara-negara lain, yang dilandasi oleh berbagai
motivasi seperti pasar yang luas dan ketersediaan sumber daya produksi di negara-negara tujuan investasi. Perkembangan
ini dengan sendirinya meningkatkan arus PMA antarnegara, yang terefleksi dalam peningkatan pangsa dari PMA sebagai
suatu persentase dari investasi total dunia.
Menurut data Bank Dunia pada tahun 1975 PMA berjumlah hanya 23 miliar dollar AS, dan pada tahun 1997 jumlahnya
meningkat menjadi 644 miliar dollar AS (Friedman, 2002). Juga data Bank Dunia menunjukkan bahwa pada tahun 1998
jumlah investasi langsung dari perusahaan-perusahaan AS di banyak negara lain di dunia telah mencapai 133 miliar dollar
AS, sedangkan PMA di AS pada tahun yang sama bernilai 193 miliar dollar AS. Secara keseluruhan, arus PMA di dunia
meningkat sangat signifikan selama periode 1988-1998 dari 192 miliar dollar AS ke 610 miliar dollar AS. Arus PMA dari
kelompok negara-negara maju ke kelompok negara-negara sedang berkembang juga meningkat tajam selama periode yang
sama, termasuk Indonesia, terkecuali sejak krisis ekonomi arus PMA neto ke Indonesia mengalami suatu penurunan (Bank
Dunia 2000b).
Dalam hal investasi jangka pendek, juga dalam dua dekade belakangan ini semakin banyak penabung-penabung,
terutama di negara-negara maju yang mendiversifikasikan portofolio mereka ke berbagai macam aset-aset keuangan luar
negeri seperti obligasi, saham, pinjaman atau deposito). Juga semakin banyak perusahaan-perusahaan terutama di negara-
negara sedang berkembang yang membiayai kegiatan produksi mereka dengan memakai dana investasi dari sumber-
sumber luar negeri, selain dari kredit perbankan dan pasar modal domestik. Indonesia juga mengalami peningkatan arus
modal asing jangka pendek yang pesat sejak deregulasi di sektor perbankan pada tahun 1980-an hingga tahun 1997, pada
saat krisis rupiah mencuat. Bahkan dapat dikatakan bahwa penyebab utama rupiah mengalami depresiasi lebih dari 100%
pada tahun 1998 adalah akibat larinya modal asing jangka pendek dari Indonesia (capital flight). Dalam kata lain, apabila
selama periode orde baru ekonomi Indonesia tidak terlalu tergantung pada modal asing jangka pendek, kemungkinan besar
rupiah tidak akan mengalami depresiasi, atau paling tidak persentase penurunan nilainya tidak sampai di atas 100%.
4
Sebagai suatu ilustrasi empiris, jumlah arus modal asing neto (swasta dan pemerintah) ke negara-negara sedang
berkembang (LDCs) mengalami peningkatan yang signifikan dari 120,8 miliar dollar AS pada tahun 1990 ke 289,3 miliar
dollar AS pada tahun 2000 (Tabel 1). Diantara negara-negara ASEAN, arus modal asing neto ke Indonesia paling besar;
tetapi sejak 1998 arus yang keluar lebih besar daripada yang masuk. Sedangkan, di Malaysia, Singapura dan bahkan
Filipina yang juga terkena krisis ekonomi, netonya tetap positif. Tahun 1990, arus modal asing neto ke Indonesia tercatat
sebesar 6,3 miliar dollar AS, atau sekitar 5% dari jumlah arus modal asing neto ke LDCs, tetapi turun terus dan tahun 1997
sahamnya menjadi sekitar 3,2%.Negara Asia yang arus modal asingnya paling besar adalah Cina yang pada tahun 1998
mencapai 45,8 miliar dollar AS dan pada tahun 2000 mencapai hampir 61,1 miliar dollar AS. Dengan masuknya Cina ke
WTO, diperkirakan arus modal asing, khususnya swasta ke Cina akan tumbuh lebih pesat lagi, karena memang selama ini
Cina termasuk negara eksportir besar di dunia, dan Cina sangat menarik bagi investor asing karena upah buruh murah, infra
struktur cukup baik (terutama di wilayah pantai), dan pasar domestik sangat besar dengan jumlah penduduk lebih dari 1
miliar orang.
Tabel 1 Total Arus Modal Asing Neto dari Semua Sumber ke Beberapa Negara Asia (miliar dollar AS): 1990-2000 Negara 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000
Cina Hong Kong Korea Selatan Taiwan Thailand Vietnam Indonesia Malaysia Filipina Singapura LDCs
Selanjutnya, berdasarkan RCA di atas, Indeks Spesialisasi untuk Indonesia untuk produk-produk tersebut dapat
dihitung, seperti yang diilustrasikan di gambar di bawah. Walaupun indeks RCA Indonesia untuk produk-produk mineral
jauh lebih besar daripada RCA dari tekstil, pakaian jadi, IT dan barang-barang elektronik rumah tangga/konsumen dan
komponen-komponen listrik, dilihat dari perspektif dunia (lintas negara), Indonesia mempunyai derajat spesialisasi (tingkat
keunggulan) untuk empat jenis produk tersebut terakhir lebih tinggi dibandingkan produk-produk mineral.
11
Indeks Spesialisasi dari Indonesia, 2003
Sumber:Table 2.
Tabel 3 di bawah menyajikan tren perkembangan dari RCA dari beberapa produk tekstil dan elektronik Indonesia untuk
period 1996-2002, yang menunjukkan bahwa di dalam suatu kelompok produk, tingkat daya saing bervariasi antar jenis
produk yang berbeda. Misalnya, RCA untuk pakaian jadi adalah 1,98 pada tahun 2003 (lihat Tabel 2); namun demikian,
RCA berbeda antara jenis-jenis pakaian jadi yang berbeda (Tabel 3).
Table 3 RCA dari Beberapa Produk Tekstil dan Elektronik Indonesia Tahun SITC code
(3 digit) Produk
19996 1997 1998 1999 2000 2001 2002
651 652 653 654 655 657 658 841 842 843 845
774
Tekstil & produk-produknya Textile thread Cotton/weaving Weaving from fabricated fibre Other weaving Knitting embroiderry Special thread & textile & its products Other textile products Non-knitting cloth for man and boy Non-knitting cloth for woman and girl Knitting cloth for man and boy Other non-finished textile products Elektronik Electronic equipment for medical treatment
Secara teori, daya saing berkorelasi positif dengan volume ekspor, atau secara hipotesis, dapat diasumsikan bahwa
semakin tinggi daya saing semakin besar volume ekspor. Namun demikian, data dari Bank Dunia atau WTO menunjukkan
bahwa semakin banyak negara yang melakukan ekspor dan impor untuk jenis atau kelompok barang yang sama, yang
menunjukkan bahwa semakin penting intra-trade (perdagangan di dalam kelompok barang/sektor yang sama)
dibandingkan inter-trade (perdagangan antara kelompok barang/sektor yang berbeda) antara negara. Implikasinya adalah
bahwa walaupun Indonesia mempunyai daya saing yang tinggi untuk suatu jenis produk, tidak selalu berarti Indonesia
merupakan suatu negara pengekspor neto atas produk tersebut. Jadi, pertanyaan sekarang: apakah Indonesia cenderung
menjadi suatu negara pengekspor neto terhadap produk-produk yang mana Indonesia memiliki RCA di atas 1?
Table 4 menunjukkan suatu indeks yang disebut Indeks Spesialisasi Produk (ISP) dari produk-produk di Tabel 3 di
atas. Indeks ini bias memberi suatu gambaran mengenai kecenderungan Indonesia dalam arah perdagangan dunia dari
produk-produk tersebut. Indeks ini membandingkan neraca perdagangan (ekspor neto atau ekspor-impor) dari Indonesia
dari suatu produk dengan total perdagangan (ekspor + impor) dari Indonesia untuk produk tersebut. Jika nilainya di atas 0,5
hingga 1 menandakan bahwa Indonesia cenderung menjadi suatu negara pengekspor neto (ekspor>impor) untuk produk
bersangkutan, dan jika nilainya di bawah 0,50 hingga mendekati -1 berarti Indonesia cenderung menjadi suatu negara
pengimpor neto (ekspor<impor).
Tabel 4 ISP dari Sejumlah Produk Tekstil dan Elektronik Indonesia Tahun SITC code
(3 digit) Produk
19996 1997 1998 1999 2000 2001 2002
651 652 653 654 655 657 658 841 842 843 845
774 775 778
Tekstil & produk-produknya Textile thread Cotton/weaving Weaving from fabricated fibre Other weaving Knitting embroiderry Special thread & textile & its products Other textile products Non-knitting cloth for man and boy Non-knitting cloth for woman and girl Knitting cloth for man and boy Other non-finished textile products Elektronik Electronic equipment for medical treatment Household electronics Others
dan Feridhanusetyawan dan Pangestu (2003).4Satriawan (1997) melakukan suatu simulasi mengenai pengaruh dari
penghapusan/pengurangan tarif impor terhadap sektor pertanian di negara-negara ASEAN. Dengan menggunakan suatu
2 Komentar-komentar mengenai kesenjangan yang semakin membesar antara kelompok Selatan dan kelompok Utara yang didorong oleh proses liberalisasi perdagangan dunia yang semakin kencang dapat dibaca di laporan-laporan tahunan lainnya dari UNCTAD. 3 Lihat juga seperti Raghavan (1990), Rodrik (1999) dan Shavaeddin (1994) yang juga memberi komentar-komentar mengenai distribusi yang tidak adil dari keuntungan dari liberalisasi perdagangan dunia terhadap NSB. Selain itu, lihat juga literatur yang memperdebatkan manfaat dari globalisasi misalnya terhadap kaum miskin di dunia, diantaranya Mander dkk. (2003), dan terhadap pembangunan berkelanjutan, misalnya Khor (2002). 4 Studi-studi lain yang juga menarik untuk dilihat diantaranya adalah dari APEC (1997, 1999), Anderson dkk. (1997), Young dan Huff (1997), dan Bora dkk. (2002)..
17
model yang disebut Computable General Equilibrium (CGE), hasilnya menunjukkan bahwa dibandingkan dengan negara-
negara ASEAN lainnya, sektor pertanian Indonesia menderita kerugian yang sangat besar dalam bentuk penurunan volume
produksi sebesar 332,83%, dan khususnya produksi beras berkurang hampir 30%. Hasil simulasinya menunjukkan bahwa
dampak awal pada ASEAN sendiri sebagai suatu wilayah ekonomi di dunia sebenarnya tidak terlalu besar. Namun karena
produksi dari komoditi-komoditi pertanian di Indonesia memainkan suatu peran yang sangat besar, tidak hanya di dalam
perekonomian Indonesia sendiri tetapi juga di dalam perekonomian ASEAN secara keseluruhan, maka dampak (negatif)
terhadap Indonesia menjadi paling besar di dalam ASEAN. Selain itu, penerapan liberalisasi perdagangan, baik dalam
lingkup AFTA maupun pada tingkat dunia (WTO), mempunyai suatu efek negatif yang sangat besar terhadap pertumbuhan
ekspor dari komoditi-komoditi pertanian Indonesia, yakni lebih dari 800%. Efek ini paling besar dibandingkan efek
terhadap ekspor dari komoditi-komoditi pertanian dari negara-negara ASEAN lainnya. Di antaranya, ekspor beras
Indonesia diestimasikan turun hampir 70%, dibandingkan misalnya Malaysia yang turun hanya 2,8%. Hanya untuk ekspor
ternak hidup, baik di Indonesia maupun di negara-negara ASEAN lainnya diproyeksikan tumbuh positif.
Ingco (1997) menghasilkan suatu estimasi yang sedikit berbeda dengan hasil simulasi dari Satriawan di atas. Dengan
memakai dasar tukar perdagangan (ToT) sebagai indikatornya, hasil analisanya menunjukkan bahwa
penurunan/penghapusan tarif impor sesuai Putaran Uruguay (WTO) membuat subsektor makanan mengalami suatu
kerugian yang diestimasikan berkisar antara 17 juta dollar AS (skenario I) hingga 45 juta dollar AS (skenario II) (Tabel 5).
Tetapi, untuk sektor pertanian secara keseluruhan, Indonesia diprediksikan akan mendapat keuntungan sebesar 10 juta
dollar AS (skenario I) hingga 12 juta dollar AS lebih (skenario II) (Tabel 6). Hasil estimasi ini memberi suatu kesan bahwa
jumlah komoditi pertanian Indonesia yang mengalami kenaikan ToT (atau yang daya saing globalnya relatif bagus) lebih
banyak daripada jumlah komoditi yang mengalami penurunan ToT, termasuk bahan-bahan makanan, sehingga secara neto
sektor pertanian lebih diuntungkan daripada dirugikan oleh liberalisasi perdagangan.
Tabel 5 Dampak dari Putaran Uruguay terhadap ToT Makanan dari Sejumlah NSB
Negara Efek ToT (juta dollar AS) Skenario I-II
% dari PDB Skenario I-II
Bangladesh Benin Bhutan Botswana Burkina Faso Burundi Chad Kambodia RRC Comoros Mesir Ethiopia Gambia Ghana Haiti Honduras India Indonesia Kenya
Tabel 6 Dampak dari Putaran Uruguay terhadap ToT Pertanian secara total dari Sejumlah NSB Negara Efek ToT (juta dollar AS)
Skenario I-II % dari PDB Skenario I-II
Bangladesh Benin Bhutan Botswana Burkina Faso Burundi Chad Kambodia RRC Comoros Mesir Ethiopia Gambia Ghana Haiti Honduras India Indonesia Kenya Liberia Madagaskar Malawi Myanmar Namibia Nepal Nicaragua Pakistan Sierra Leone Somalia Sri Lanka Sudan Tanzania Uganda Vietnam Yemen Zaire Zambia Zimbabwe
Dengan memakai tiga skenario yang sama, Gilbert dkk (1999) memprediksi pengaruh dari liberalisasi perdagangan
khusus terhadap subsektor makanan. Pengaruh tersebut diukur tidak hanya dalam nilai absolut (dollar AS) tetapi juga
dengan suatu persentase dari baseline PDB riil untuk tahun 2005 untuk memberi suatu indikasi mengenai besarnya efek
kesejahteraan dari liberalisasi tersebut (Tabel 9). Estimasi keuntungan total untuk semua negara di wilayah APEC berkisar
antara US$55 hingga US$112 miliar, dengan keuntungan yang paling besar adalah dari skenario A. Untuk semua skenario
tersebut, hasil estimasi menunjukkan bahwa liberalisasi perdagangan makanan tidak menguntungkan Indonesia, sedangkan
tiga negara ASEAN lainnya yakni Malaysia, Filipina dan Thailand mendapat keuntungan.
Tabel 9 Estimasi Dampak Kesejahteraan dari Liberalisasi Perdagangan Makanan, basis variasi ekuivalen
(deviasi dari baseline 2005 (miliar US$ 1995) dan persentase dari baseline 2005 PDB riil). A B C Wilayah/Negara
US$ % US$ % US$ % Australia Selandia Baru Jepang Korea Selatan Indonesia Malaysia Filipina Thailand RRC Kanada AS Meksiko Negara APEC lainnya Eropa Sisa dari dunia Negara Berkembang APEC Negara Maju APEC Total APEC Dunia
Terakhir, sebuah simulasi dari Feridhanusetyawan dkk. (2000) terhadap sejumlah sektor dan subsektor di Indonesia;
yang kemudian disempurnakan oleh Feridhanusetyawan dan Pangestu (2003). Dengan menggunakan suatu model yang
21
disebut Global Trade Analysis Project, yang pada prinsipnya adalah model CGE, mereka mengevaluasi bentuk-bentuk
liberalisasi perdagangan yang berbeda yang dilakukan oleh Indonesia sejak tahun 1980-an. Tujuan dari studi mereka adalah
untuk melihat besarnya efek dari masing-masing bentuk liberalisasi tersebut terhadap pertumbuhan output dan ekspor
Indonesia, dan mengkaji bentuk yang mana yang memberikan keuntungan paling optimal bagi Indonesia. Di dalam
penelitian ini, ekonomi dunia dibagi ke dalam 19 wilayah dan 12 sektor seperti yang dapat dilihat di Tabel 6 dan Tabel 7.
Dasar teorinya adalah bahwa liberalisasi perdagangan membuat realokasi dari semua sumber daya produksi yang ada
(seperti tenaga kerja, sumber daya alam dan modal) lebih baik, yang terrefleksikan di dalam perubahan-perubahan dari pola
produksi dan ekspor sektoral, yang selanjutnya akan menurunkan biaya produksi per satu unit output (atau menaikan
tingkat daya saing harga), dan di sisi lain, meningkatkan pertumbuhan output dan ekspor, dan pada akhirnya meningkatkan
kesejahteraan (pendapatan).
Tabel 10 menyajikan estimasi dampak dari liberalisasi perdagangan terhadap komposisi output, yang dinyatakan dalam
perbedaan-perbedaan persentase dari hasil-hasil tanpa liberalisasi. Sedangkan, Tabel 11 memperlihatkan perkiraan dampak
dari liberalisasi perdagangan terhadap nilai ekspor. Secara umum, hasil simulasi mereka menunjukkan bahwa dalam semua
skenario liberalisasi perdagangan, sumber daya produksi pindah menuju industri tekstil dan pakaian jadi, yang mana
outputnya diproyeksikan naik 100% atau lebih. Ekspor dari produk-produk ini diestimasikan naik senilai US$12-14 miliar,
yang kurang lebih sama dengan semua kenaikan dari ekspor total Indonesia.
Tabel 10 Dampak dari Bentuk-Bentuk Liberalisasi Perdagangan terhadap Output Indonesia (% Perubahan)* UR +
AFTA APEC Komoditas Hanya putaran
Uruguay (UR) Unilateral oleh Indonesia Skenario I
TP** Sk.2a
DP** Sk.2b
TP Sk.3a
DP Sk.3b
Beras Biji-bijian Bukan biji-bijian Hewan Kehutanan Perikanan Pertambangan Makanan Tekstil & pakaian jadi Olahan lainnya Minyak, batu bara & kimia Jasa-jasa
-1,5 -0,9 -2,5 0,6 -7,2 -5,0 -18,8 -1,5
117,6 -8,8 -2,1 0,1
-0,9 0,9 -2,7 1,0 -6,8 -4,6
-17,9 -1,0
106,7 -8,5 -1,0 0,2
-1,5 -0,9 -2,5 0,6 -7,4 -2,1
-19,1 -1,5
117,8 -9,0 -2,2 0,1
-1,8 27,9 -3,3 1,0 -7,6 -2,3
-19,2 -1,9
117,0 -9,3 -2,4 0,0
-1,0 -0,4 -2,1 0,8 -7,2 -4,0
-16,1 -1,0
100,3 -9,2 -0,8 0,2
-1,3 1,3 -2,1 0,9 -7,0 -3,9
-16,0 -1,3 99,7 -9,0 -0,8 0,2
Keterangan: *: hasil yang merefleksikan dampak dengan penghapusan the Multi Fibre Arrangement (MFA); ** TP = tanpa pertanian; DP = dengan pertanian Sumber: Feridhanusetyawan dan Pangestu (2003).
22
Tabel 11 Dampak dari Liberalisasi Perdagangan terhadap Ekspor Indonesia (juta US$)* UR +
AFTA APEC Komoditas Hanya putaran
Uruguay (UR) Unilateral oleh Indonesia TP** DP** TP DP
Beras Biji-bijian Bukan biji-bijian Hewan Kehutanan Perikanan Pertambangan Makanan Tekstil & pakaian jadi Olahan lainnya Minyak, batu bara & kimia Jasa-jasa Perubahan total dalam ekspor (juta US$) Perubahan saham dari ekspor total (%) Perubahan dalam neraca perdagangan (juta US$)
0 4
703 27 -2
-162 -2.636 -106
14.108 1.601 318 -174
13.682
36,7
434,5
0 3
678 23 -2
-167 -2.669 -136
12.817 841 93
-209
11.272
30,2
427,7
0 4
697 27 -2 -58
-2.280 -98
14.138 1.557 307 -181
13.711
36,8
447,9
0 271 642 47 -2 -61
-2.691 -143
14.066 1.512 287 -186
13.743
36,9
517,8
0 4
703 26 1
-144 -2.404 -147
12.216 698 136 -159
10.930
29,3
433,2
0 4
738 26 2
-137 -2.393 -178
12.192 725 140 -157
10.963
29,4
453,5
Keterangan: *: hasil yang merefleksikan dampak dengan penghapusan the Multi Fibre Arrangement (MFA); ** TP = tanpa pertanian; DP = dengan pertanian Sumber: Feridhanusetyawan dan Pangestu (2003).
Di sektor pertanian, output dari padi/beras dan komoditi pertanian non-biji-bijian diproyeksi turun sebesar 0,9%
(padi/beras, skenario 1) ke 3,3% (non-biji-bijian, skenario 2b). Di sisi lain, dengan memasukkan pertanian di dalam AFTA,
Indonesia menjadi suatu negara penting penghasil biji-bijian di ASEAN, dan outputnya diestimasikan naik sekitar 28%.
Dalam skim liberalisasi ini (skenario 2b), ekspor biji-bijian Indonesia rata-rata per tahun diperkirakan naik sebesar US$271
juta. Ekspor dari komoditi-komoditi pertanian ke ASEAN dari negara-negara eksportir tradisional seperti Australia dan AS
diperkirakan turun jika tarif impor untuk ekspor pertanian dari negara-negara ASEAN lainnya diturunkan (dalam konteks
AFTA). Walaupun tidak terlalu nyata, output dari hewan hidup juga diperkirakan naik 0,6% hingga 1,0%. Ekspornya
diestimasikan naik dengan US47 juta dalam skenario 2b dan dengan US$23-27 juta dalam skenario-skenario lainnya.
Hasil-hasil untuk semua skenario di Tabel 10 dan Tabel 11 menunjukkan bahwa output dari sektor pertambangan turun
16% atau lebih dengan liberalisasi perdagangan, sedangkan ekspornya turun dengan nilai US2,4-2,7 miliar.
Tentu semua hasil-hasil dari simulasi di atas hanya merupakan perkiraan-perkiraan yang didasarkan pada kondisi
sebenarnya pada tahun tertentu sebagai tahun dasar dan di run melalui suatu model ekonomi global (CGE). Hasil-hasil
tersebut bisa berbeda tetapi juga bisa sama seperti yang akan terjadi dalam kenyataan, tergantung pada apakah asumsi-
asumsi yang digunakan di dalam analisa-analisa tersebut memang sesuai dengan realitas, misalnya mengenai nilai-nilai dari
elastisitas tarif dari impor dan koefisien output agregat-impor, khususnya untuk periode jangka panjang, di mana banyak
faktor-faktor yang sangat berpengaruh yang berubah terus sepanjang waktu seperti teknologi, cuaca, dan selera masyarakat
Meskipun demikian, hasil dari suatu simulasi seperti di atas bisa memberikan suatu perkiraan yang mungkin sekali bisa
menjadi suatu kenyataan mengenai pengaruh dari liberalisasi perdagangan dunia terhadap ekspor dan produksi dalam
23
negeri suatu negara. Misalnya, hasil-hasil simulasi di atas menunjukkan bahwa Indonesia tidak termasuk kelompok negara
yang sangat diuntungkan oleh liberalisasi perdagangan, dan ini memberi suatu kesan bahwa daya saing global Indonesia
tergolong rendah.
Daftar Pustaka
APEC (1997), The Impact of Trade Liberalization in APEC, Economic Committee of APEC, APEC Secretary, Singapore. APEC (1999), The Impact of Trade Liberalization on Labor Markets in the Asia Pacific Region, Report by the Network for
Economic Development Management, Human Resource Development Working Group, APEC Secretary, Singapore. Anderson, Kym, Betina Dimaranan, Tom Hertel dan Will Martin (1997), “Economic Growth and Policy Reform in the
APEC Region: Trade and Welfare Implications by 2005”, Asia Pacific Economic Review, 3(1). Bank Dunia (2000a), Development Indicators 2000, Washington, D.C. Bank Dunia (2000b), Global Economic Prospects and the Developing Countries 2000, Washington, D.C. Bank Dunia (2003), Development Indicators 2003, Washington, D.C. Bora, Bijit, Lucian Cernat dan Alessandro Turrini (2002), “Duty and Quota-Free Access for LDCs: Further Evidence from
CGE Modelling”, Policy Issues in International Trade and Commodities Study Series No.14, New York dan Geneva: UNCTAD.
Feridhanusetyawan, Tubagus (2001), “Indonesia’s Trade Policy and Performance: An Overview”, makalah dalam Seminar on “Indonesian Economic Institution Building in a Global Economy: Promoting Competition Based Trade Policies”, 13 November, PEG, CSIS dan USAID, Jakarta.
Feridhanusetyawan, Tubagus dan Mari Pangestu (2003), “Indonesian Trade Liberalisation: Estimating The Gains”, Bulletin of Indonesian Economic Studies, 39(1).
Feridhanusetyawan, Tubagus, Mari Pangestu, dan Erwidodo (2002), “Effects of AFTA and APEC Trade Policy Reforms on Indonesia Agriculture”, dalam Randy Stringer, Erwidodo, Tubagus Feridhanusetyawan, dan Kym Anderson (ed.), Indonesia in a Reforming World Economy: Effects on Agriculture, Trade and the Environment, Centre for International Economic Studies, University of Adelaide, Adelaide.
Friedman, Thomas L. (2002), Memahami Globalisasi. Lexus dan Pohon Zaitun, Penerbit ITB. Giddens, Anthony (2001), Runaway World-Bagaimana Globalisasi Merombak Kehidupan Kita, Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama. Gilbert, J., R. Scollay dan T. Wahl (1999), “An APEC Food System: Implications for Welfare and Income Distribution by
2005”, APEC Study Centre, Mimeo, New Zealand. Halwani, R. Hendra (2002), Ekonomi Internasional dan Globalisasi Ekonomi, Jakarta: Penerbit Ghalia Indonesia. Ingco, Merlinda D. (1997), “Has Agricultural Trade Liberalization Improved Welfare in the Least-Developed Countries?
Yes”, Policy Research Working Paper No.1748, April, Washington, D.C.: The World Bank. Khor, Martin (2002), “Globalisasi Perangkap Negara-Negara Selatan”, Seri Kajian Global, Yogyakarta: Cindelaras Pustaka
Rakyat Cerdas. Naisbitt, John (1997), Megatrends Asia 2000, London: Nicholas Brealey Publishing. Nayyar, D. (1997), Globalization: The Past in Our Future, Penang, Malaysia, Third World Network. Raghavan, Chakravarty (1990), Recolonization: The Uruguay Round, GATT and the South, Penang, Malaysia, Third World
Network. Rodrik, D. (1999), The Global Economy and Developing Countries: Making Openness Work, Washington, DC, Overseas
Development Council. Satriawan, Elan (1997), “Prospek Sektor Pertanian Indonesia pada Era Pemanasan Global”, Media Ekonomi, 4(2). Scollay, R. dan J. Gilbert (1999a), “Measuring the Gains from APEC Trade Liberalisation: An Overview of CGE
Assessments”, APEC Study Centre, New Zealand, Memeo. Scollay, R. dan J. Gilbert (1999b), “An APEC Food System: Trade and Welfare Implications by 2005”, APEC Study
Centre, New Zealand, Memeo.
24
Scollay, R. dan J. Gilbert (2000), “.Measuring the Gains from APEC Trade Liberalisation: An Overview of CGE Assessments”, World Economy, 23(2).
Scollay, R. dan J. Gilbert (2001), “.An Integrated Approach to Agricultural Trade and Development Issues: Exploring The Welfare and Distribution Issues”, Policy Issues in International Trade and Commodities Study Series No.11, UNCTAD, New York dan Geneva.
Shavaeddin, S.M. (1994), “The Impact of Trade Liberalization on Export and GDP Growth in Least Developed Countries”, Discussion Paper No.85, Geneva: UNCTAD.
Tjager, I Nyoman dan Yudi Pramadi (1997), “Pasar Modal Dalam Menghadapi Persaingan Internasional Pada Era Globalisasi”, dalam Marzuki Usman, Singgih Riphat dan Syahrir Ika (editor), Peluang dan Tantangan Pasar Modal Indonesia Menghadapi Era Perdagangan Bebas, Jakarta: Penerbit Institut Bankir Indonesia Bekerjasama dengan Jurnal Keuangan dan Moneter.
Toffler, Alvin (1980), Future Shock, London: Pan Book Ltd. UNCTAD (1997), Trade and Development Report, 1997, Geneva: United Nations Conference on Trade and Development UNCTAD (1999), Trade and Development Report, 1999, Geneva: United Nations Conference on Trade and Development Young, Linda M. dan Karen M. Huff (1997), “Free Trade in the Pacific Rim: On What Basis?”, dalam Thomas W. Hertel (ed.), Global
Trade Analysis: Modelling and Applications, Cambridge University Press, Cambridge.