IMPLEMENTASI PERPRES RI NOMOR 73 TAHUN 2012 TENTANG STRATEGI NASIONAL PENGELOLAAN EKOSISTEM MANGROVE DI KOTA TANJUNGPINANG (Perda Nomor 4 Tahun 2014 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup) M Guna Dharma Program Studi Ilmu Administrasi Negara Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Maritim Raja Ali Haji ABSTRAK Kota Tanjungpinang yang terletak di Kepulauan Riau merupakan daerah yang memiliki ekosistem mangrove seluas kurang lebih 1.300 ha, namun 100 ha diantaranya rusak akibat penebangan dan penimbunan untuk pemukiman dan industri. Berdasarkan Perpres Nomor 73 Tahun 2012 seharusnya terdapat tim koordinasi pengelolaan ekosistem mangrove namun amanat pada peraturan presiden tersebut tidak dilaksanakan di provinsi Kepulauan Riau sehingga tidak ada tim yang mengelola ekosistem mangrove baik ditingkat provinsi maupun kabupaten/kota. Pada penelitian ini penulis menggunakan jenis penelitian deskriptif dengan pendekatan kualitatif. Informan pada penelitian ini sebanyak 7 orang yang terdiri dari 1 orang kepala seksi Kepala seksi pemberdayaan masyarakat dan penyuluhan di Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan, 1 orang staf lapangan, kepala seksi tata hutan dan penggunaan kawasan hutan, 1 orang kepala seksi pengelolaan hasil hutan, pemasarandan PNBP, 1 orang Polisi Hutan, 2 orang Nelayan, 1 orang masyarakat pesisir. Teknik analisis dalam penelitian ini menggunakan teknik analisis data deskripif dalam pendekatan kualitatif. Dari hasil penelitian maka dapat diambil kesimpulan bahwa pengelolaan ekosistem mangrove belum mengikuti Perpres Nomor 72 Tahun 2012 tentang strategi nasional pengelolaan ekosistem mangrove, sehingga hingga saat ini belum ada tim koordinasi pengelolaan ekosistem mangrove tingkat provinsi dan kabupaten/kota. Dalam pengelolaan pelestarian ekosistem mangrove terdapat banyak kepentingan-kepentingan yang mempengaruhi sehingga perlu adanya kerjasama dengan berbagai pihak dari pemerintah, pelaku usaha dan masyarakat. Kata Kunci : Mangrove, Kepulauan Riau
25
Embed
IMPLEMENTASI PERPRES RI NOMOR 73 TAHUN 2012 …repository.umrah.ac.id/811/1/Jurnal M Guna Dharma.pdfABSTRAK Kota Tanjungpinang yang terletak di Kepulauan Riau merupakan daerah yang
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
IMPLEMENTASI PERPRES RI NOMOR 73 TAHUN 2012 TENTANG STRATEGI
NASIONAL PENGELOLAAN EKOSISTEM MANGROVE DI KOTA
TANJUNGPINANG
(Perda Nomor 4 Tahun 2014 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup)
M Guna Dharma
Program Studi Ilmu Administrasi Negara Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas
Maritim Raja Ali Haji
ABSTRAK
Kota Tanjungpinang yang terletak di Kepulauan Riau merupakan daerah yang memiliki
ekosistem mangrove seluas kurang lebih 1.300 ha, namun 100 ha diantaranya rusak akibat
penebangan dan penimbunan untuk pemukiman dan industri. Berdasarkan Perpres Nomor 73
Tahun 2012 seharusnya terdapat tim koordinasi pengelolaan ekosistem mangrove namun amanat
pada peraturan presiden tersebut tidak dilaksanakan di provinsi Kepulauan Riau sehingga tidak
ada tim yang mengelola ekosistem mangrove baik ditingkat provinsi maupun kabupaten/kota. Pada penelitian ini penulis menggunakan jenis penelitian deskriptif dengan pendekatan
kualitatif. Informan pada penelitian ini sebanyak 7 orang yang terdiri dari 1 orang kepala seksi
Kepala seksi pemberdayaan masyarakat dan penyuluhan di Dinas Lingkungan Hidup dan
Kehutanan, 1 orang staf lapangan, kepala seksi tata hutan dan penggunaan kawasan hutan, 1
orang kepala seksi pengelolaan hasil hutan, pemasarandan PNBP, 1 orang Polisi Hutan, 2 orang
Nelayan, 1 orang masyarakat pesisir. Teknik analisis dalam penelitian ini menggunakan teknik
analisis data deskripif dalam pendekatan kualitatif. Dari hasil penelitian maka dapat diambil kesimpulan bahwa pengelolaan ekosistem
mangrove belum mengikuti Perpres Nomor 72 Tahun 2012 tentang strategi nasional pengelolaan
ekosistem mangrove, sehingga hingga saat ini belum ada tim koordinasi pengelolaan ekosistem
mangrove tingkat provinsi dan kabupaten/kota. Dalam pengelolaan pelestarian ekosistem
mangrove terdapat banyak kepentingan-kepentingan yang mempengaruhi sehingga perlu adanya
kerjasama dengan berbagai pihak dari pemerintah, pelaku usaha dan masyarakat.
Kata Kunci : Mangrove, Kepulauan Riau
IMPLEMENTASI PERPRES RI NOMOR 73 TAHUN 2012 TENTANG STRATEGI
NASIONAL PENGELOLAAN EKOSISTEM MANGROVE DI KOTA
TANJUNGPINANG
(Perda Nomor 4 Tahun 2014 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup)
M Guna Dharma
Program Studi Ilmu Administrasi Negara Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas
Maritim Raja Ali Haji
ABSTRACT
The Tanjungpinang city, located in the Riau Archipelago, is an area with a mangrove
ecosystem of approximately 1,300 ha, but 100 ha of which are damaged by logging and
stockpiling for settlements and industry. Based on Presidential Decree No. 73 of 2012 there
should be a coordination team of mangrove ecosystem management but the mandate on the
presidential regulation is not implemented in Kepulauan Riau province so no team manage the
mangrove ecosystem either at the provincial or district / city level. In this researh, authors use a descriptive research type with a qualitative approach.
Informants in this research were 7 people consisting of 1 head section head of community
empowerment and counseling section in Environment and Forestry Office, 1 field staff, head of
forest and forest use section, 1 head of forest product management section, marketing and
PNBP, 1 Forest Police, 2 Fisherman, 1 coastal community member. Analytical techniques in this
study using qualitative descriptive data analysis techniques. From the research result, it can be concluded that the management of mangrove
ecosystem has not followed Presidential Regulation No. 72/2012 on national strategy of
mangrove ecosystem management, so until now there is no coordination team of mangrove
ecosystem management at provincial and district level. In the conservation management of
mangrove ecosystem there are many interests that influence so that the need for cooperation with
various parties from government, business actor and society.
Keywords: Mangrove, Riau Archipelago
A. Latar Belakang
Wilayah Provinsi Kepulauan Riau terdiri dari gugusan pulau-pulau besar dan kecil
yang letak satu dengan yang lainnya dihubungkan oleh perairan/laut. Beberapa pulau yang
relatif besar diantaranya adalah Pulau Bintan dimana Ibukota Provinsi (Tanjungpinang) dan
Kabupaten Bintan berlokasi; Pulau Batam yang merupakan Pusat Pengembangan Industri
dan Perdagangan; Pulau Rempang; dan Pulau Galang yang merupakan kawasan perluasan
wilayah industri Batam; Pulau Karimun, Pulau Kundur di Karimun, Pulau Lingga, Pulau
Singkep di Lingga, Pulau Bunguran di Natuna, serta Gugusan Pulau Anambas (di Kepulauan
Anambas). Selain itu Provinsi Kepulauan Riau memiliki pulau-pulau kecil yang hampir
tersebar di seluruh kabupaten/kota yang ada, termasuk diantaranya pulau-pulau kecil yang
terletak di wilayah perbatasan Negara Indonesia.
Kota Tanjungpinang yang terletak di Kepulauan Riau merupakan daerah yang
memiliki ekosistem mangrove seluas kurang lebih 1.300 ha, namun 100 ha diantaranya
rusak akibat penebangan dan penimbunan untuk pemukiman dan industri. Sebagian besar
mangrove yang sudah dialihfungsikan tersebut menjadi penyebab banjir disejumlah wilayah
di Kota Tanjungpinang (Hafsar dkk, 2014:3). Upaya konservasi kemudian dilakukan oleh
pemerintah Kota Tanjungpinang untuk menyelamatkan hutan mangrove yang masih ada
dengan tujuan mempertahankan keberadaannya dan melestarikan hutan mangrove tersebut.
Hutan mangrove merupakan hutan yang tumbuh pada tanah berlumpur dan berpasir
di daerah pantai dan muara sungai yang dipengaruhi oleh pasang surut laut. Ekosistem hutan
mangrove juga tergolong dinamis karena hutan mangrove dapat terus berkembang serta
mengalami suksesi sesuai dengan perubahan tempat tumbuhnya, namun hutan mangrove
juga tergolong labil, karena mudah sekali rusak dan sulit untuk pulih kembali. Berdasarkan
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan
Hidup, adapun beberapa poin yang terkait dengan perlindungan hutan mangrovepada pasal 3
tentang tujuan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup sebagai berikut :
1. Melindungi wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dari pencemaran dan
kerusakan lingkungan hidup.
2. Menjamin kelangsungan kehidupan makhluk hidup dan kelestarian ekosistem.
3. Menjaga kelestarian fungsi lingkungan hidup.
4. Mencapai keserasian, keselarasan, dan keseimbangan lingkungan hidup.
5. Mengendalikan pemanfaatan sumber daya alam secara bijaksana.
6. Mengantisipasi isu lingkungan global.
Selain daripada itu adapun ruang lingkup perlindungan dan pengelolaan lingkungan
hidup berdasarkan undang Undang Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang perlindungan dan
pengelolaan Lingkungan Hidup meliputi, Perencanaan, Pemanfaatan, Pengendalian,
Pemeliharaan, Pengawasan dan penegakan Hukum.Provinsi Kepulauan Riau mempunyai
lahan mangrove 54 juta s/d 178 juta hektar tanah lahan mangrove. Berdasarkan dari data
statistik BAKOSURTANAL (2009) dan RLPS-MOF (2007). Selain itu karena Provinsi
Kepulauan Riau ini sedang mengalami pembangunan yang sangat pesat, baik itu di Kota
Batam dan Kota Tanjungpinang maupun seluruh pulau di Provinsi Kepulauan Riau dapat
disimpulkan bahwa secara tidak langsung mangroveyang ada di Provinsi Kepulauan Riau
akan terancam, menggantungkan nasib dari hutan mangroveitu sendiri bagaimana
pemerintah daerah baik itu Kabupaten dan Provinsi kota menjaga dan melestarikan melalui
kebijakan dan program pemerintah.
Upaya perlindungan, pelestarian dan pemanfaatan ekosistem mangrove tersebut
tertuang dalam Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 73 Tahun 2012 Tentang
Strategi Nasional Pengelolaan Ekosistem Mangrove dimana dijelaskan bahwa untuk
menyelenggarakan pengelolaan ekosistem mangrove berkelanjutan yang merupakan bagian
integral dari pengelolaan wilayah pesisir yang terpadu dengan Pengelolaan Daerah Aliran
Sungai diperlukan koordinasi, integrasi, sinkronisasi dan sinergi lintas sektor, instansi dan
lembaga. Pengelolaan ekosistem mangrove berkelanjutan adalah semua upaya perlindungan,
pengawetan dan pemanfaatan lestari melalui proses terintegrasi untuk mencapai
keberlanjutan fungsi-fungsi ekosistem mangrove bagi kesejahteraan masyarakat. Dengan
adanya Strategi Nasional Pengelolaan Ekosistem Mangrove (SNPEM) ini maka diharapkan
pengelolaan ekosistem mangrove menjadi bagian integral dari perencanaan pembangunan
nasional, seperti pada pasa 2 ayat (1) yaitu SNPEM bertujuan untuk mensinergikan
kebijakan dan program pengelolaan ekosistem mangrove yang meliputi bidang ekologi,
sosial ekonomi, kelembagaan, dan peraturan perundang-undangan untuk menjamin fungsi
dan manfaat ekosistem mangrove secara berkelanjutan bagi kesejahteraan masyarakat.
Pemerintah provinsi Kepulauan Riau dalam melindungi ekosistem mangrove
tertuang pada Perda No 4 Tahun 2014 tentang perlindungan dan pengelolaan lingkungan
hidup pada Bagian Keenam Pengendalian Kerusakan Ekosistem Mangrove, Padang Lamun
dan Terumbu Karang Pasal 89 yaitu Pengendalian kerusakan ekosistem mangrove, padang
lamun, danterumbu karang, meliputi:
a. Pencegahan kerusakan ekosistem mangrove, padang lamun, dan terumbu karang;
b. Penanggulangan kerusakan ekosistem mangrove, padang lamun,dan terumbu karang; dan
c. Pemulihan kerusakan ekosistem mangrove, padang lamun, danterumbu karang
Salah satu contoh wilayah di Provinsi Kepulauan Riau yang mengalami kerusakan
ekosistem mangrove terdapat di Kota Tanjungpinang, Kota yang terletak di kawasan pesisir
yang terdapat banyak kekayaan alam laut, seperti salah satunya sumber daya alam
perikanan, maka tak heran yang menjadi sumber mata pencaharian masyarakat
Tanjungpinang tersebut adalah sebagai nelayan. Oleh karena itu di Kota Tanjungpinang
banyak terdapat hutan yaitu, hutan lindung yang di darat dan hutan lindung mangroveyang
terdapat disekitar pesisir laut Tanjungpinang, dalam Selayang Pandang Pengelolaan Hutan
mangrove Kota Tanjungpinang (Fitriady 2014:3) fungsi hutan mangrovebagi Kota
Tanjungpinang adalah :
1. Daerah asuhan (nursery grounds), daerah mencari makan (feeding grounds) dan daerah
pemijahan (spawing grounds) berbagai jenis ikan, udang dan biota laut lainnya.
2. Penghasil sejumlah besar detritus dari daun dan dahan pohon mangrove.
3. Pemasok larva ikan, udang dan biota laut lainnya.
4. Perlindungan terjadinya abrasi pantai.
5. Menangkap dan merelokasi sedimen.
6. Indikator kualitas air laut.
7. Mencengah intrusi air laut.
8. Peredam gelombang dan angin badai.
9. Penghasil kayu untuk bahan kayu arang, bahan kontruksi (cerucuk), kayu bakar dan
pakan ternak.
10. Habitat berbagai jenis satwa diantaranya monyet ekor panjang dan ular.
Mangrovedi Kota Tanjungpinang sudah mulai terancam seiring dengan
perkembangan pembangunan yang terjadi di Kota tersebut, terancammnya mangrovedi Kota
Tanjungpinang disebabkan karena pengkaplingan kawasan mangroveoleh warga yang
beralasan karena dianggap sebgai kawasan tidak bertuan yang bisa dimanfaatkan. Kondisi
seperti ini juga dipicu oleh era keterbukaan dengan gerbong reformasi, selain dengan
masalah pengkaplingan, terancamnya mangrove di Kota Tanjungpinang disebabkan dengan
penimbunan kawasan hutan mangroveuntuk kepentingan lain yang dikarenakan Kota
Tanjungpinang merupakan daerah yang cukup menjanjikan bagi pencari kerja, kawasan
mangrove sering dikorbankan dan di timbun untuk di jadikan komplek perumahan maupun
tempat usaha. Dengan melihat kondisi ini apabila tidak diantisipasi akan menimbulkan
dampak bagi daerah rendah disekitarnya yaitu kebanjiran, karena kawasan mangrove
merupakan salah satu daerah resapan air. Selain itu penyebab terancamnya mangrove yang
sangat merugikan adalah illegal logging untuk diselundupkan ke Malaysia maupun
Singapura.
Keberadaan hutan mangrove di Tanjungpinang mulai terancam. Sedikit demi sedikit
lahan mangrove mulai beralih fungsi. Padahal hutan mangrove memiliki fungsi dan manfaat
yang sangat penting bagi ekosistem, air, dan alam sekitarnya. Lemahnya pengawasan telah
menyebabkan banyak hutan mangrove yang beralih fungsi menjadi pengusaan kepemilikan
dan juga dalam bentuk penguasaan lain. Di beberapa kawasan mangrove di kota
tanjungpinang sudah mengalami kerusakan cukup memprihatinkan seperti kawasan
mangrove pulau dompak yang memusnahkan habitat mangrove untuk pembangunan
infrastruktur, adapun kondisi luas hutan mangrove di kawasan pesisir kota Tanjungpinang
dapat dilihat pada tabel berikut.
Tabel 1.1
Luas Ekosistem Mangrove di Kota Tanjungpinang
No Kawasan Luas Hutan Mangrove (Ha)
1. Muara Sungai Ular 140,82
2. Muara Sungai Ladi 182,57
3. Muara Sungai Carang 55,63
4. Tanjung Unggat 27,38
5. Muara Sungai Jang 62,32
6. Muara Sungai Dompak 305,53
Total 774,25
Sumber: Jurnal Dinamika Maritim Volume VI(1) hal 70
Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan sebagai instansi pemerintahan yang
mempunyai tugas dan wewenang mengelola lingkungan hidup telah melakukan beberapa
program kegiatan diantaranya:
Tabel 1.2
Kegiatan Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan 2015-2016
NO KEGIATAN WAKTU
1. Pelatihan pelaporan izin lingkungan tahun 19 Maret 2015
2015, “Dokumen lingkungan sebagai asset
pengelolaan dan pemantauan lingkungan”
2. Bimbingan teknis tim pembinana adiwiyata 30 September – 2
se provinsi kepulauan riau, “dengan Oktober 2015
adiwiyata kita jadikan sekolah yang peduli
dan berbudaya lingkungan
3. Rapat koordinasi penegakan hukum 15 April 2015
lingkungan tingkat provinsi kepualaun riau
4. Sosialisasi pembinaan dan pemulihan 19 Maret 2015
kerusakan hutan mangrove bagi masyarakat,
bagi pejabat pelaksana teknis BLH prov
kepri
5. Peringatan hari lingkungan hidup sedunia
tahun 2015
6. Diklat fungsional, pejabat pengawas 19 April-9 Mei 2015
lingkungan hidup daerah (PPLHD), tingkat
provinsi kepulauan riau tahun 2015
7. Sosialisasi program adiwiyata, “dengan 4 November 2015
adiwiyata kita jadikan sekolah yang peduli
dan berbudaya lingkungan”
8. Pembinaan dan pemulihan hutan mangrove 1-2 September 2015
berbasis masyarakat, pencanangan dan
penanaman bibit mangrove di desan resun
pesisir kabupten lingga, 1-2 septmber 2015
9. Rapat koordinasi dan singkronisasi 4-7 Maret 2015
pengelolaan lingkungan hidup provinsi
kepulauan riau ta 2015
10. Penanaman sejuta terumbu karang serentak 18 Agustus 2015
secara nasional subsektor 10, Yonmarharlan
IV Tanjungpinang
11. Rapat koordinasi dan sinkronisasi 23-24 Maret 2016
pengelolaan lingkungan hidup tahun
anggaran 2016
12. Silahturahmi dan rapat bersama asosiasi 20 September 2016
pengelolaan limbah bahan berbahaya dan
bahan beracun (Aspel B3 indonesia)
Sumber: http://blh.kepriprov.go.id
Adapun langkah Pemerintah Provinsi Kepulauan Riau melalui Dinas Lingkungan
Hidup dan Kehutanan untuk melaksanakan koordinasi, integrasi dan sinkronisasi dengan
mengadakan Rapat Koordinasi Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Kehutanan merupakan
ajang mengkoordinasikan, mengintegrasikan, mensinkronkan serta mensosialisasikan semua
program dan kegiatan pengelolaan lingkungan hidup dan Kehutanan antara Pemerintah
Provinsi Kepulauan Riau dengan Pemerintah Kabupaten/Kota dan untuk menginventarisasi
usulan program dan kegiatan. Dari kegiatan rakor ini, diharapkan menjadi bahan dan dan
sekaligus ditetapkan Rencana Kerja 2017 sebagai masukan Musrenbang Provinsi Kepulauan
Riau tahun 2018. Selain untuk mensinergikan berbagai program dan kegiatan, Rapat
Koordinasi Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Kehutanan Provinsi Kepulauan Riau tahun
2017 juga membahas berbagai isu-isu lingkungan yang ada di Provinsi Kepulauan Riau.
Rapat Koordinasi Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Kehutanan Provinsi kepulauan Riau
tahun 2017, mempunyai maksud, diantaranya :
a. Menyamakan persepsi dan mengintegrasikan perencanaan program/kegiatan antara
Pemerintah Provinsi Kepulauan Riau dan Pemerintah Kabupaten/Kota;
b. Memperkuat sinergi Provinsi dan Kabupaten/Kota dan antar sektor dalam rangka
perbaikan pelaksanaan program;
c. Mendapatkan masukan mengenai upaya perbaikan program.
Menurut pasal 9 pada Peraturan Presiden Nomor 73 Tahun 2012 menyebutkan bahwa
“Dalam melaksanakan SNPEM di Provinsi, Gubernur menetapkan Strategi pengelolaan
Ekosistem Mangrove Tingkat Provinsi dan membentuk Tim Koordinasi Strategi Pengelolaan
Ekosistem Mangrove Tingkat Provinsi”, namun amanat pada peraturan presiden tersebut
tidak dilaksanakan di provinsi Kepulauan Riau sehingga tidak ada tim yang mengelola
ekosistem mangrove baik ditingkat provinsi maupun kabupaten/kota, sebagai wilayah
kepulauan seharusnya provinsi kepulauan riau seharusnya membentuk tim tersebut
mengingat luasnya hutan mangrove dan pentingnya keberadaaan mangrove.
Berdasarkan latar belakang diatas maka peneliti mempunyai ketertarikan ingin
melihat bagaimana strategi pemerintah kota tanjungpinang dalam pelesterian mangrove
tersebut, dengan judul penelitian ini :
“Implementasi Perpres Nomor 73 Tahun 2012 Tentang Strategi Nasional Pengelolaan
Ekosistem Mangrove”( Perda Nomer 4 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup )
Dilakukan suatu penelitian adalah dengan tujuan memberikan jawaban terhadap
permasalahan penelitian dan mempunyai kegunaan untuk memberikan solusi permasalahan
tersebut. Adapun tujuan dan kegunaan penelitian ini dapat dilihat sebagai berikut :
1. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan penelitian adalah sebagai berikut :
“Untuk mengetahui implementasi Perpres Nomor 73 tahun 2012 tentang Strategi
Pengelolaan Ekosistem Mangrove ( Perda Nomor 4 Tahun 2014 Tentang Perlindungan
Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup )”
2. Kegunaan penelitian
a. Secara akademis : Memberikan wawasan dan memperluas ilmu pengetahuan dalam
melihat implementasi perpres nomor 73 tahun 2012 yang dilakukan Pemerintah
Provinsi Kepulauan Riau melalui Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan
b. Secara praktis : Memberikan informasi yang bermanfaat dan bahwan evaluasi bagi
pembaca dan peneliti, dan dapat menjadi acuan pembuatan kebijakan oleh instansi
terkait di bidang lingkungan hidup agar dapat terwujudnya pelestarian hutan
mangrove yang baik di kota tanjungpinang.
B. Landasan Teori
Untuk menjawab pertanyaan penelitian sekaligus mewujudukan hal-hal yang
menjadi tujuan penelitian , maka diperlukan kerangka teoritis sebagai landasan
1. Kebijakan Publik
Kebijakan itu merupakan rumusan suatu tindakan yang dikembangkan dan
diputuskan oleh instansi atau pejabat pemerintah guna mengatasi atau mempertahankan
suatu kondisi dengan memberikan sanksi bagi yang melakukan pelanggaran. Kebijakan
merupakan suatu tindakan yang mengarah pada tujuan yang diusulkan dalam lingkungan
tertentu sehubungan dengan adanya hambatan-hambatan tertentu unutk mencapai tujuan
atau mewujudkan sasaran yang diinginkan.
Pada dasarnya kebijakan publik dapat berupa aturan atau ketentuan yang
mengatur kehidupan masyarakat yang mana aturan-aturan tersebut disususun dalam
beberapat bentuk kebijakan. Menurut James P. Lester (Luthfi, 2011 : 14), “ kebijakan
publik adalah proses atau serangkaian keputusan atau aktivitas pemerintah yang didesain
untuk mengatasi masalah publik, apakah hal itu riil ataukah masih di rencanakan.”
James memberikan pendapat sesuatu kebijakan yaang akan menjadi aktivitas
pemerintah. Dimana kebijakan ini akan menjadi alat dari pemecahan masalah publik.
Carl Friedrich (Solihin, 2004 : 3) mengatakan:
“kebijaksanaan ialah suatu tindakan yang mengarah pada tujuan yang diusulkan
oleh seseorang, kelompok atau pemerintah dalam lingkungan tertentu sehubungan dengan adanya hambatan-hambatan tertentu seraya mencari peluang-peluang
untuk mencapai tujuan atau mewujudkan sasaran.” 2. Implementasi Kebijakan
Secara sederhana implementasi dapat diartikan sebagai pelaksanaan atau
penerapan. Dalam arti luas implementasi sering dianggap sebagai bentuk pengoperasian
atau penyelenggaraan aktivitas yang telah ditetapkan dan menjadi kesepakatan bersama
diantara pemangku kepentingan, aktor, organisasi, prosedur dan teknik secara sinergis
yang digerakkan untuk bekerja sama dan menerapkan kebijakan kearah tertentu yang
dikehendaki. Menurut Mazmanian dan Sabatier (Wahab, 212:177), ada tiga variable
yang mempengaruhi keberhasilan implementasi yaitu:
a. Mudah atau tidaknya masalah yang akan digarap, meliputi:
1. Kesukaran-kesukaran teknis
2. Keberagaman perilaku yang diatur
3. Presentase totalitas penduduk yang tercakup dalam kelompok sasaran
4. Tingkat dan ruang lingkup perubahan perilaku yang dikehendaki b. Kemampuan kebijakan untuk menstrukturisasikan proses implementasi
secara tepat Para pembuat kebijakan mendayagunakan wewenang yang dimilikinya
untuk menstruktur proses implementasi secara tepat melalui beberapa cara: 1. Kecermatan dan kejelasan penjenjangan tujuan-tujuan resmi yang
akan diacapai 2. Keterandalan teori kualitas yang diperlukan
3. Ketepatan alokasi sumber dana 4. Keterpaduan hirarki didalam lingkungan dan diantara lembaga-
lembaga atau isntansi-instansi pelaksana 5. Kesepakatan para pejabat terhadap tujuan yang termaktub dalam undang-
undang 6. Akses formal pihak luar
c. Variabel-variabel diluar undang-undang yang mempengaruhi implementasi
1. Kondisi sosial ekonomi dan teknologi
2. Dukungan publik
3. Sikap dan sumber yang dimiliki masyarakat
4. Kesepakatan dan kemampuan kepemimpinan para pejabat pelaksana
Sedangkan teori model implementasi kebijakan menurut Merilee S Grindle.
Teori tersebut menjelaskan bahwa keberhasilan implementasi kebijakan publik dapat
diukur dari proses pencapaian hasil akhir yaitu tercapai atau tidaknya tujuan yang ingin
diraih, variable-variabel yang mempengaruhi suatu implementasi yakni isi kebijakan
dan lingkungan implementasi.
Variabel dari isi kebijakan mencakup :
1. Isi Kebijakan (content of policy) a. Kepentingan-kepentingan yang mempengaruhi. Kepentingan yang
terpengaruh kebijakan menyangkut sejauh mana kepentingan kelompok sasaran atau target groups termuat dalam isi kebijakan
b. Tipe manfaat. manfaat kebijakan berupaya untuk menunjukkan dan
menjelaskan bahwa di dalam sebuah kebijakan harus terdapat beberapa jenis manfaat yang memuat dan menghasilkan dampak positif oleh
pengimplementasian kebijakanyang akan dilaksanakan. c. Derajat perubahan yang ingin dicapai. Derajat perubahan yang ingin
dicapai menunjukkan seberapa besar perubahan yang hendak atau ingin dicapai melalui adanya sebuah implementasi kebijakan harus
memiliki skala yang jelas d. Letak pengambilan keputusan. Dalam melaksanakan suatu kebijakan
atau program harus didukung dengan adanya pelaksana kebijakan yang
memiliki kompetensi dan capable demi keberhasilan suatu kebijakan. e. Pelaksana program. Pelaksanaan suatu kebijakan juga harus
didukungdengan sumberdaya yang memadai dengan tujuan agar pelaksanaannya dapatberjalan dengan baik
f. Sumber daya yang digunakan. Pelaksanaan suatu kebijakan juga harus didukungdengan sumberdaya yang memadai dengan tujuan agar pelaksanaannya dapatberjalan dengan baik.
2. Lingkungan Kebijakan a. Kekuasaan kepentingan-kepentingan dan strategi dari aktor yang
terlibat. Dalam sebuah kebijakan perlu untuk diperhitungkan mengenai kekuatan atau kekuasaan, kepentingan, serta strategiyang digunakan
oleh para aktor yang terlibat guna melancarkan pelaksanaan suatuimplementasi kebijakan.
b. Karakteristik lembaga dan rezim yang berkuasa. Lingkungan dimana
suatu kebijakan tersebut dilaksanakanjuga memiliki pengaruh terhadap keberhasilannya
c. Tingkat kepatuhan dan adanya respon dari pelaksana. Kepatuhandan respon dari para pelaksana juga dirasa menjadi sebuah aspek penting dalamproses pelaksanaan suatu kebijakan
C. Metode Penelitian
1. Jenis penelitian
Jenis penelitian ini bersifat penelitian deskriptif dengan pendekatan kualitatif.
Penelitian deskriptif dengan pendekatan kualitatif sebagai alat analisisnya. Bertujuan
untuk memecahkan masalah-masalah yang dihadapi saat ini, kemudian data tersebut
akan dikumpulkan, disusun,dijelaskan,dianalisis dengan memaparkan suatu keadaan
yang terjadi pada saat sekarang serta menjelaskan setiap variable yang akan diteliti.
Dalam kaitannya dengan penelitian ini adalah untuk mengungkapkan berbagai
fenomena yang berkaitan dengan masalah penelitian, yaitu Implementasi Perpres
Nomor 73 Tahun 2012 pada Pemerintah Kota Tanjungpinang (Perda Nomer 4 Tahun
2014 Tentang Pengelolaan dan Perlindungan Lingkungan Hidup).
2. Lokasi penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di Kota Tanjungpinang Provinsi Kepulauan Riau.
Adapun pertimbangan didalam pemilihan lokasi ini menjadi lokasi penelitian tersebut
adalah kesesuaian objek penelitian dan lokasi penelitian, serta kemudahan dalam
memperoleh data yang dibutuhkan. Alasan berikutnya yakni kurangnya jumlah
pertumbuhan mangrove setiap tahunnya akibat dari pembangunan di Kota
Tanjungpinang, sehingga hutan mangrove menjadi semakin berkurang luasnya.
3. Jenis Data
a. Data Primer adalah data yang peneliti dapatkan secara langsung yang belum
diolah oleh pihak lain yaitu informasi terkait tentang Strategi Pemerintah Kota
Tanjungpinang Dalam Upaya Pelestarian Hutan Mangrove di Kota
Tanjungpinang. Untuk mendapat informasi tersebut, dalam penelitian informan
meliputi tiga macam yaitu (1) Informan Kunci (key informan) , yaitu mereka
yang mengetahui dan memiliki berbagai informasi pokok yang diperlukan dalam
penelitian, (2) Informan Utama, yaitu mereka yang melibatkan secara langsung
dalam interaksi social yang diteliti, (3) Informan Tambahan, yaitu mereka yang
dapat memberikan informasi walaupun tidak langsung terlibat dalam interaksi
sosial yang sedang diteliti (Suyanto, dkk 2005:171)
b. Data sekunder adalah data yang diperoleh secara tidak langsung dari sumbernya,
yaitu melalui studi pustaka seperti mengambil data dari sejumlah buku,
internet,maupun perundang-undangan yang mana dapat mendukung dan
menjelaskan masalah penelitian.
4. Sumber Data
Untuk menentukan informan maka peneliti menggunakan pengambilan sampel secara
purposive sampling. Teknik sampel secara purposive adalah peneliti menentukan
sendiri sampel yang diambil karena ada pertimbangan tersendiri. Pada penelitian ini
Kepala seksi pada Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan sebagai Key Informan.
Berdasarkan pada teknik purposive sampling maka peneliti menetapkan informan
pada penelitian ini antara lain, seperti:
Tabel 1.4
Data Informan Penelitian
No Informan Jumlah
1 Kepala Seksi 3 orang
2 Polisi Hutan, Pos Hutan 1 orang
Tanjungpinang
3. Staf lapangan DLHK 1 orang
4. Masyarakat pesisir 1 orang
5. Nelayan 1 orang
Sumber: Olahan lapangan 2017
5. Teknik Pengumpulan Data
a. Wawancara adalah kegiatan pengumpulan data primer yang bersumber
langsung dari responden penelitian dilapangan. Dalam penelitian ini alat
pengumpulan data yang digunakan adalah pedoman wawancara.
b. Observasi digunakan untuk menggali data dari sumber data yang berupa
peristiwa, tempat atau lokasi dan benda serta rekaman gambar. Salah satu
alat pengumpul data adalah chek list.
c. Dokumentasi adalah kegiatan atau proses pekerjaan mencatat atau
merekam suatu peristiwa dan objek atau aktifitas yang dianggap berharga
dan penting.
D. Teknik Analisis Data
Data yang terkumpul akan dianalisa secara kualitatif, sesuai jumlahvariabel yang
dijadikan indikator dalam penelitian ini. Analisis data dilakukandengan mengorganisaksikan
data, menjabarkannya kedalam unit-unit, menyusunke dalam pola, memilih mana yang
penting dan yang akan dipelajari,menguraikan dalam bentuk kata dan kalimat, dan
selanjutnya membuatkesimpulan. Menurut Nasution ( Sugiyono, 2014:244 ),
“Melakukan analisisadalah pekerjaan sulit, memerlukan kerja keras. Tidak ada cara tertentu yangdapat diikuti untuk mengadakan analisis sehingga setiap peneliti harus
mencarisendiri metode yang di rasakan cocok dengan sifat penelitiannya. Bahan yangsama bisa di klasifikasikan lain oleh peneliti yang berbeda”.
Karena dalam penelitian Kualitatif data yang diperoleh dilapangan bisa jadicukup
banyak dan komplek maka perlu dilakukan analisis data menurut Miles danHuberman
(Sugiono, 2014:247).
a. Reduksi data yaitu dengan merangkum data, memilih data – data, sesuai dengan indikator dari penelitian yakni merakum hasil wawancara dengan memilih data – data yang diperlukan sesuai urutan dari implementasi kebijakan.
b. Setelah data yang direduksi atau dirangkum berdasarkan kategorinya maka selanjutnya
tahap berikutnya adalah dengan cara penyajian data atau bisa dalam bentuk uraian
singkat atau narasi. Penyajian data – data yang diperoleh disajikan dalam bentuk
narasi dan penjelasan yang didasarkan dari kutipan – kutipan wawancara yang
diperoleh dari informan. Kemudian narasi atau penjelasan yang disajikan tidak akan
lari dari definisi konsep yang di buat sehingga menghasilkan analisis data yang
dianggap dan merespon kebutuhan penelitian yang ada yaitu implementasi kebijakan. c. Langkah berikutnya adalah menyimpulkan, namun demikian menurut Miles dan
Huberman, “ Kesimpulan awal dikemukakan masih bersifat sementara dan akan berubah bila tidak ditemukan bukti – bukti yang valid dan konsisten saat peneliti
kembali ke lapangan mengumpulkan data, maka kesimpulan yang dikemukakan kesimpulan yang kredibel.
E. Pembahasan
Analisis Implementasi Prepres Nomor 12 Tahun 2012 Tentang Pengelolaan
Ekosistem Mangrove, diperkuat dengan data yang telah didapatkan dari hasil penelitian
lapangan. Dengan penelitian ini menggunakan teori teori model implementasi kebijakan
menurut Merilee S Grindle. Teori tersebut menjelaskan bahwa keberhasilan implementasi
kebijakan publik dapat diukur dari proses pencapaian hasil akhir yaitu tercapai atau
tidaknya tujuan yang ingin diraih, variable-variabel yang mempengaruhi suatu
implementasi yaitu:
1. Kepentingan-Kepentingan Yang Mempengaruhi
Terdapat pengaruh kepentingan dari pemerintah untuk menjaga pelestarian
hutan mangrove dengan membuat regulasi yang tepat agar kelestarian tetap terjaga,
disisi lain kebutuhan tempat tinggal masyarakat di pesisir dan kebutuhan dari
pelaku usaha yang membuat pabrik pembuatan kapal menjadikan beberapa
kepentingan-kepentingan mempengaruhi dalam pelestarian hutan mangrove.
Terdapat berbagai kepentingan dalam implementasi pelestarian mangrove,
masyarakat disekitar pesisir menjadikan tempat tumbuhnya mangrove sebagai
tempat tinggal serta dijadikan kayu bakar untuk konsumsi serta di tempat lain
terjadi penimbunan oleh pengusaha untuk mendapatkan lahan hutan bakau untuk
dijadikan dermaga perbaikan kapal yang banyak terdapat di sekitar Sei Jang dan
aliran sungai Sei Carang.
2. Tipe Manfaat
Pemanfaatan hutan mangrove di kota tanjungpinang masih sebatas untuk
wisata, mangrove belum dimanfaatkan untuk kebutuhan yang dapat menunjang
ekonomi masyarakat di wilayah pesisir. Pemanfaatan hutan mangrove perlu
ditingkatkan serta dilestarikan sehingga mangrove selain bermanfaat untuk
menghambat abarasi pantai juga dapat menunjang pendapatan ekonomi
masyarakat dan daerah
3. Derajat Perubahan yang ingin dicapai
Derajat perubahan yang ingin dicapai dalam pelestarian hutan mangrove
berupa menutup kembali lahan kritis sehingga kawasan yang mangrovenya rusak
dapat kembali ditanam. Potensi sumber daya hutan mangrove di era otonomi saat
ini merupakan aset daerah yang memberikan kontribusi terhadap pembangunan
daerah khususnya pembangunan daerah pesisir. Karena itu pelestarian hutan
mangrove merupakan salah satu prioritas dalam pembangunan dengan tetap
memperhatikan manfaat ekologi, ekonomi, sosial, dan budaya lokal setempat.
4. Letak Pengambilan Keputusan
Pengambilan keputusan yang diambil sudah memiliki aturan yang jelas melalui
kepada dinas lingkungan hidup dan kehutanan sebagai pengambil kebijakan. Pada
beberapa kejadian perusakan mangrove akan di tindak lanjuti dan diputuskan oleh
kepala dinas terkait keputusan yang akan diambil
5. Pelaksana Program
Untuk mendukung upaya pelestarian mangrove, Pemerintah Provinsi
Kepulauan Riau melalui Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan pada tahun
anggaran 2017 akan melaksanakan kegiatan Pembinaan dan Pemulihan
Kerusakan Hutan Mangrove Berbasis Masyarakat. Pada beberapa kejadian
perusakan mangrove akan di tindak lanjuti dan diputuskan oleh kepala dinas
terkait keputusan yang akan diambil
6. Sumber Daya Yang Digunakan
Sumber Daya DLHK dalam melaksanakan pelestarian mangrove untuk
anggaran bersumber dari APBD Provinsi Kepulauan Riau serta dari APBN dalam
penanganan kegiatan-kegiatan tertentu, untuk anggaran pengamanan dan
penanaman terdapat pembagian tugas dan kerja sesuai dengan SOTK. dalam
pengamanan hutan mangrove terdapat polisi hutan di tiap-tiap kabupaten/kota
untuk melaksanakan patroli dan monitoring di lapangan yang terdapat UPTD di
masing-masing kabupaten/kota. Namun terdapat kebutuhan sarana prasarana
penunjang untuk menangani kasus-kasus dilapangan yang tidak disediakan oleh
pihak provinsi disebabkan masa transisi perubahan kewenangan dari
kabupaten/kota ke provinsi.
7. Kekuasaan, Kepentingan-Kepentingan dan Strategi dari Aktor yang Terlibat
Pemerintah daerah juga harus menyampaikan informasi mengenai
pentingnya melestarikan hutan mangrove, karena dengan adanya informasi
tersebut masyarakat jadi mengetahui betapa pentingnya manfaat hutan mangrove
bagi kehidupan terutama bagi yang berdomisili disekitar garis pantai sehingga
masyarakat akan berusaha semaksimal mungkin untuk melestarikan keberadaan
hutan mangrove tersebut. Selain itu berdirinya perusahaan/Pabrik yang berada
disekitas persisir mangrove juga diawasi oleh Dinas Lingkungan Hidup dan
Kehutanan Provinsi Kepulauan Riau hal ini berguna untuk melihat dampat yang
terjadi akibat adanya pabrik tersebut terhadap kelestarian hutan mangrove
8. Karakteristik Lembaga Rezim yang Berkuasa
Masih lemahnya pengawasan dan penindakan dari pemangku kebijakan
menunjukkan karakteristik rezim yang berkuasa perlu meningkatkan peran
hubungan antar lembaga karena terdapat pembagian kewenagan antara
pemerintah pusat dan daerah dan meningkatkan partisipasi masyarakat sekitar
untuk melakukan pengawsan.
9. Tingkat Kepatuhan dan Adanya Respon dari Pelaksana
Bentuk dari respon pelaksana dalam pelestarian hutan mangrove adalah
melaksanakan pelayanan tindak lanjut berdasarkan laporan dan aduan dari
masyaraka. Masih terdapat keluhan dari masyarakat disebabkan kurangnya
petugas terkait untuk memantau kondisi mangrove ditimbun oleh pihak tertentu
yang memiliki modal, DLHK selaku pelaksana pelestarian mangrove masih
kurang responsive dibeberapa wilayah di kota tanjungpinang.
F. Penutup
Dari hasil penelitian pada bab sebelumnya dapat diambil kesimpulan bahwa
pengelolaan ekosistem mangrove belum mengikuti Perpres Nomor 72 Tahun 2012 tentang
strategi nasional pengelolaan ekosistem mangrove, sehingga hingga saat ini belum ada tim
koordinasi pengelolaan ekosistem mangrove tingkat provinsi dan kabupaten/kota. Adapaun
beberapa kesimpulan.
Variabel isi kebijakan :
1. Terdapat beberapa kepentingan dalam pengelolaan mangrove baik dari pemerintah
sebagai pembuat kebijakan yang berupaya menjaga kelestarian mangrove, pelaku usaha
untuk membuat pabrik/pelabuhan kapal untuk kebutuhan ekonomi dan masyarakat
tempatan yang sudah sejak turun temurun tinggal diwilayah mangrove.
2. Manfaat pelestarian mangrove selain untuk menjaga habitat hewan di pesisir pantai
juga dapat dimanfaatkan sebagai sarana wisata yang memilki daya tarik tersendiri guna
menunjang ekonomi dan pendapatan daerah.
3. Derajat perubahan yang diinginkan yakni menutup kembali lahan yang kritis dan rusak
sehingga dapat ditutup kembali, hutan mangrove merupakan aset daerah yang harus
dijaga.
4. Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan sebagai pihak yang mengambil keputusan
dalam penanganan kerusakan mangrove telah menyiapkan polisi hutan yang bertugas
menjaga kelestarian mangrove, selain itu pengambilan keputusan juga berada pada
pihak lain yang berwenang mengelola hutan mangrove untuk berbagai kebutuhan.
5. Program pelestarian mangrove berada di dinas lingkungan hidup dan kehutanan provinsi
kepulauan riau dengan di bantu oleh Unit Pelaksana UPT Kesatuan Pengelolaan Hutan
di tingkat kabupaten/kota
Variabel lingkungan kebijakan :
6. Sumber Daya yang diaerahkan dalam pengelolaan ekosistem mangrove berupa sumber
daya, pendanaan bersumber dari APBD sedangkan Sumber Daya Manusia untuk
pengamanan hutan mangrove dilaksanakan oleh polisi hutan yang terdapat di tiap
kabupaten/kota.
7. DLHK Provinsi Kepulauan Riau dalam bentuk pengawasan pada perusahaan/pabrik
disekitar wilayah hutan, hal ini disebabkan adanya aktivitas pabrik yang bisa merusak
mangrove.
8. Pemangku kebijakan pengelolaan kawasan hutan mangrove sudah berdasarkan
peraturan yang berlaku, akan tetapi dalam pengelolaan hutan mangrove juga merujuk
kepada bentuk tata ruang wilayah, sehingga dapat disimpulkan bahwa pembuat
kebijakan juga melihat pada aspek lain seperti pembangunan wilayah kota yang bisa
saja merusak kawasan mangrove tetapi dibutuhkan untuk pembangunan sarana dan
prasarana
9. Tingkat kepatuhan dan respon dari pelaksana, staf lapangan dan polisi hutan yang
bertugas langsung dilapangan telah berupaya responsive terhadap segala kebutuhan,
namun masih terdapat kekurangan sarana dan prasarana penunjang tugas dilapangan.
Adapun saran-saran yang dapat disampaiakan pada penelitian ini adalah :
1. Pemerintah Provinsi Kepulauan Riau perlu membuat tim koordinasi pengeloaan
ekosistem mangrove di tingkat provinsi serta dibantu oleh kelompok kerja, sesuai pasal
9 Peraturan Presiden Nomor 73 tentang strategi nasional pengelolaan ekosistem
mangrove, hal ini bertujuan untuk menjaga kelestarian mangrove yang perlu melibatkan
berbagai pihak lintas sektor
2. Pengusaha/pemilik usaha yang memiliki kepentingan dipinggir pantai perlu turut
menjaga kelestarian lingkungan mangrove, serta menjadi penopang ekonomi bagi
pemerintah daerah sehingga lahan yang ditimbun dapat memberi manfaat di bidang lain.
3. Masyarakat di pinggir pantai yang telah turun temurun berada di sekitar mangrove harus
diberi pemahaman pentingnya menjaga kelestarian hutan mangrove sehingga menjaga
kelestarian hutan mangrove tidak hanya dilakukan pemerintah saja.
4. Pihak-pihak terkait harus tegas dan responsive sesuai dengan peraturan-peraturan yang
ada,tegas dalam menindak dan melakukan pengawasan,berani menjalankan tugas apa
bila ada pihak lain yang melakukan perusakan dan pencemaran ekosistem mangrove.
5. DLHK di dalam melakukan rehabilitasi dan sosialisai harus benar-benar menjelaskan
manfaat dan fungsi serta landasan hukum tentang larangan merusak wilayah ekosistem
mangrove di seluruh wilayah pesisir di Kota Tanjung Pinang secara merata.
DAFTAR PUSTAKA
Buku-Buku
Abdul Wahab, Solihin. 2005. Analisa Kebijaksanaan, dari Formulasi ke Implementasi Kebijakan Negara, Jakarta :BumiAksara
Adisasmita, R., 2008. Ekonomi Archipelago. CetakanPertama. Graha Ilmu: Yogyakarta.
Arief Arifin, 2003. Hutan Mangrove Fungsi dan Manfaatnya. Yogyakarta : Kanisius