1 IMPLEMENTASI PERATURAN DAERAH NOMOR 19 TAHUN 2015 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PEMBERDAYAAN PASAR TRADISIONAL DAN PENATAAN TOKO SWALAYAN DIKABUPATEN MAJENE Skripsi Diajukan Kepada Fakultas Syariah Dan Hukum Universitas Islam Negri Alaudin Makassar Untuk Memenuhi Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Oleh Ahmad Fadel Lutfi Atjo Lopa NIM:10400114366 JURUSAN ILMU HUKUM FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGRI ALAUDDIN MAKASSAR 2018
88
Embed
IMPLEMENTASI PERATURAN DAERAH NOMOR 19 TAHUN ...repositori.uin-alauddin.ac.id/13924/1/Ahmad Fadel Lutfi...Pemberdayaan Pasar Tradisional Dan Penataan Pasar Modern, h. 4-5. 11Naskah
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
1
IMPLEMENTASI PERATURAN DAERAH NOMOR 19 TAHUN 2015
TENTANG PERLINDUNGAN DAN PEMBERDAYAAN PASAR
TRADISIONAL DAN PENATAAN TOKO SWALAYAN DIKABUPATEN
MAJENE
Skripsi
Diajukan Kepada Fakultas Syariah Dan Hukum
Universitas Islam Negri Alaudin Makassar
Untuk Memenuhi Syarat Memperoleh
Gelar Sarjana Hukum
Oleh
Ahmad Fadel Lutfi Atjo Lopa
NIM:10400114366
JURUSAN ILMU HUKUM
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGRI ALAUDDIN MAKASSAR
2018
4
PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI
Mahasiswa yang bertanda tangan dibawah ini:
Nama: :Ahmad Fadel Lutfi Atjo Lopa
Nim: :10400114366
Tempat/Tgl. Lahir :Majene 31 agustus 1996
Jurusan :Ilmu Hukum
Alamat :Abdesir
Judul skripsi :Implementasi Peraturan Daerah Nomor 19 Tahun 2015
Tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Pasar Tradisional Dan
Penataan Toko Swalyan Di Kabupaten Majene
Menyatakan dengan penuh kesadaran bahwa skripsi ini benar adalah karya
Penulis sendiri jika dikemudian hari terbukti bahwa ia merupakan duplikat, tiruan,
plagiat, atau dibuat orang lain, sebagian atau seluruhnya, maka skripsi dan gelar
58. Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak
menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu
menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya
kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha mendengar lagi Maha melihat.6
Implementasi kebijakan seperti ini dapat disebut kebijakan yang gagal dalam
menyelesaikan problem masyarakat. Kebijakan yang kurang terimplementasi tersebut
menjadikan problem baru yaitu muncul paham Neoliberalisme, dimana kurangnya
campur tangan pemerintah dalam menangani persaingan usaha Pasar Modern dan
Pasar Tradisional. Dunia Perpasaran sekarang ini dipengaruhi besar oleh
7.rsabe aldmoreb angy sarap ukalep atau erndarMosaP
Salah satu fakta yang dapat dipastikan memberikan garansi bagi
pengembangan pasar tradisional adalah bahwa sejatinya pasar tradisional harus
5Dr.Jumadi,.S.H.MH., beberapa aspek negara dan hukum dalam sistem adat Bugis 6 Al qur’an surah an-nisaa ayat 58 7Finta Nurhadiyanti,” Gurita Neoliberalism :Pasar Modern dan Pasar Tradisional di Kota
Surabaya”, jurnal politik muda, vol. 2, No. 1, Januari-Maret 2012, h. 71.
12
mampu memiliki keunggulan yang tidak dimiliki oleh pesaingnya. Ia adalah pusat
perdagangan yang paling mudah diakses bagi pedagang kelas bawah. Barang
dagangan yang ditawarkan mencakup hampir semua jenis kebutuhan masyarakat.
Bervariasinya barang dagangan yang ditawarkan membuat pasar menjadi one-stop
service bagi masyarakat yang ingin berbelanja. Kelebihan ketiga dan utama adalah
adanya interaksi yang kuat antara pedagang dan pembeli.8
Namun demikian pada sisi lain pengembangan ke arah harapan tersebut
terhambat yang justru hambatan itu muncul dan secara asumtif berasal dari sisi
kelembagaan birokrasi yang dalam konteks proses implementasi nampaknya tidak
berjalan atau malahan belum terkonstruk secara lebih kohesif dan komprehensif.
Sehingga hingga saat ini pasar tradisional memiliki sejumlah kelemahan yang
membuatnya kurang kompetitif dibandingkan dengan pasar modern.9
Kejadian ini terjadi di hampir seluruh situasi di berbagai daerah di
Indonesia, termasuk di Kabupaten Majene yang menunjukkan adanya gap
pengembangan antara pasar tradisional dan pasar modern yang justru cenderung
menghasilkan ketidakadilan usaha dimana menimbulkan dampak pengembangan
pasar tradisional menjadi terhambat dan melemah dibandingkan pengembangan
pasar modern.
Pada sisi lain bahwa pada umumnya keberadaan pasar tradisional terus
mengalami peminggiran dan terjadi di kota-kota kecil bahkan sekelas kecamatan.
Hal ini merupakan penyebab utama dari adanya dan terjadinya ekspansi mini
8Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah Kab. Majene Tentang Perlindungan,
Pemberdayaan Pasar Tradisional Dan Penataan Pasar Modern, h. 2. 9Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah Kab. Majene Tentang Perlindungan,
Pemberdayaan Pasar Tradisional Dan Penataan Pasar Modern, h. 2.
13
market dan super market yang semakin menyebar, tidak lagi mengindahkan aturan
persaingan usaha.
Permasalahan lain yang relevan adalah terjadinya ekspansi pasar modern
seperti Minimarket mulai mengancam keberadaan pasar-pasar lokal atau
tradisional. Bahkan paling dirasakan adalah menurunnya omzet para pedagang itu
setiap bulan. Bila kondisi ini tetap dibiarkan, ribuan bahkan jutaan pedagang kecil
akan kehilangan mata pencaharian. Pasar tradisional akan tenggelam seiring
dengan perkembangan dunia ritel saat ini yang didominasi pasar modern.10
Persaingan antara pasar modern dengan pasar tradisional semakin tak
terkendali akhir-akhir ini di Kabupaten Majene, dengan munculnya berbagai
macam toko modern seperti Indomaret dan Alfamidi memberikan berbagai
dampak baikpositif maupun negatif bagi masyarakat. Dampakpositif yang
diberikan antara lain mempermudahakses masyarakat mendapatkan barang
konsumsiyang mereka butuhkan karena minimarket memilikikelengkapan barang-
barang kebutuhan sehari-hari.11
Selain itu letaknya yang berada dekat dengan pemukiman maupun akses
jalan membuat minimarket mudah dijangkau. Hal lain yangberkitan dengan
dampak positif yang diberikan minimarket adalah fasilitas yang nyaman dan
bersih, harga-harga yang terjangkau dan seringnya diskon maupun potongan-
potongan harga terhadap produk-produk tertentu. Dalam hal penciptaan lapangan
10Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah Kab. Majene Tentang Perlindungan,
Pemberdayaan Pasar Tradisional Dan Penataan Pasar Modern, h. 4-5. 11Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah Kab. Majene Tentang Perlindungan,
Pemberdayaan Pasar Tradisional Dan Penataan Pasar Modern, h. 6.
14
pekerjaan, minimarket dapat menambah peluang kerja bagi masyarakat yang pada
akhirnya mampu meningkatkan penghasilan dan mengurangi pengangguran.12
Selain dampak-dampak positif yang telah disebutkan di atas, maraknya
pasar modern juga memberikan berbagai dampak negatif bagi masyarakat.
Dampak negatif yang utama dengan munculnya toko modern adalah mematikan
pasar tradisional. Persaingan keberadaan pasar tradisional maupun toko kebutuhan
sehari-hari(toko kelontong) tradisional muncul karena fasilitas, kenyamanan
maupun pelayanan dari minimarket yang lebih baik sehingga membuat konsumen
lebih memilih ritel modern tersebut. Hal ini jelas dapat mematikan keberadaan
pasar dan warung tradisional yang jumlahnya lebih besar dan menyangkut hajat
hidup masyarakat yang lebih luas. Penurunan omset yang didapat penjual pasar
warung tradisional akan berkurang jauh lebih sedikit dibandingkan dengan
sebelum munculnya minimarket di sekitar mereka.13
Keberadaan toko moderen yang ada di Kabupaten Majene yang sangat
semrawut dan nampak berdekatan dan jumlahnya sudah sangat banyak hal inilah
yang didasari terbitnya perda nomor 19 tahun 2015 untuk membatasi atau menata
toko moderen dan sangat jelas beberapa toko moderen yang ada di Majene
melanggar pasal 12 ayat (4) huruf d mengenai lokasi pendirian toko swalayan
yang diantaranya mini market dapat berlokasi pada setiap jaringan jalan termasuk
sistem jaringan jalan (lingkungan) di dalam kota/ perkotaan dengan syarat dalam
12Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah Kab. Majene Tentang Perlindungan,
Pemberdayaan Pasar Tradisional Dan Penataan Pasar Modern, h. 6-7. 13Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah Kab. Majene Tentang Perlindungan,
Pemberdayaan Pasar Tradisional Dan Penataan Pasar Modern, h. 7.
15
satu lingkungan pemukiman. Paling banyak 2 (dua) mini market dengan jarak
paling dekat 5 (lima) kilometer.
B. Fokus Penelitian dan Deskripsi Fokus
1. Fokus Penelitian
Tipe penelitian yang digunakan adalah deskriptif analisis, yaitu penelitian
yang menggambarkan secara jelas dan menganalisis mengenai implemetasi dari
kebijakan perda No. 19 tahun 2015 tentang perlindungan, pemberdayaan pasar
tradisional dan penataan pasar modern di Kab. Majene.
Dasar penelitian yang digunakan ialah kulitatif yang menggambarkan
secara jelas mengenai variable yang mempengruhi implementasi kebijakan publik,
seperti isi kebijakan dalam hal ini tujuan dan sasaran, actor-aktor yang terlibat,
mulai dari pemerintah daerah dalam hal ini terkait, DPRD, para pedagang pasar
tradisional, pengusaha pasar modern, dll, khususnya dalam penerapan perda No.
19 tahun 2015 tentang perlindungan dan pemberdayaan pasar tradisional dan
penataan passer modern di Kabupaten Majene
2. Deskripsi Fokus
Adapun deskripsi focus penelitian yakni sebagai berikut;
a. Implementasi adalah bentuk aksi nyata dalam menjalankan rencana
yang telah dirancang dengan matang.
b. Peraturana daerah adalah peraturan perundang-undangan yang
dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dengan persetujuan
bersama kepala daerah.
16
c. Pasar tradisional adalah merupakan tempat bertemunya penjual dan
pembeli serta ditandai dengan terjadinya transaksi penjual dan
pembeli secara langsung dan biasa ada proses tawar-menawar
bangunan biasanya terdiri dari kios-kios atau gerai dan dasaran
terbuka yang dibuka oleh penjual maupun pengelola pasar.
d. Pasar modern adalah pasar-pasar yang bersifat modern yag dimana
barang yang diperjual belikan dengan harga yang pas sehingga tidak
ada aktivitas tawar menawar dan denagan layanan yang baik.
C. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang terdapat pada penjelasan diatas, maka
pokok permasalahan dalam penelitian ini adalah Bagaimana Implementasi
Pelaksanaan Perda Nomor 19 Tahun 2015 Tentang Perlindungan, Pemberdayaan
Pasar Tradisional Dan Penataan Pasar Modern Di Kab. Majene? Selanjutnya
pokok permasalahan dalam penelitian ini dijabarkan dalam sub bab sebagai
berikut:
1. Bagaimana Implementasi Perlindungan, Pemberdayaan Pasar rakyat dari
maraknya perkembangan toko swalayan Di Kab. Majene Berdasarkan Perda
No. 19 Tahun 2015?
2. Dampak implementasi peraturan daerah nomor 19 tahun 2015 tentang,
perlindungan dan pemberdayaan pasar tradisional dan penataan toko moderen
terhadap eksistensi pasar tradisional di Kabupaten Majene?
17
D. Kajian Pustaka
Dalam buku yang berjudul “cara praktis menyusun dan peraturan
daerah (suatu kajian teoritis dan praktis disertai manual)” oleh Dr. Hamzah Halim
1. S.H, M.H. dan Kmal Redindo Syahrul Putera, S.H. dalam bukunya
dikatakan peraturan daerah merupakan salah satu cirri daerah yang mempunyai
hak mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri (otonom). Urusan rumah
tangaga daerah berasal dari dua sumber, yakni otonom dan tugas pemebentukan,
karna itu peraturan daerah yang bersumber dari atribusi, sementara peraturan
daerah dibidang perbantuan daerah yang bersumber yang bersumber dari
kewengan delegasi14
2. Dalam jurnal yang berjudul “konsistensi pembentukan perturan daerah
berdasarka hirarki perundang undangan” oleh Aristo Evandi A. Barlian, terdapat
bentuk hubungan komunikasi, konsultasi dan klarifikasi perda yang diterapkan
antara intansi pemerintah dengan aparat daerah yang selama ini kurang
efektif,selain optimalisasi dari 0peran gubernur dan angota dewan dalam
membina dan mengawasi pemerintah kabupaten atau kota adalah salah satu factor
yang mebuat perda tidak diterapkan sesuai dengan yang semestinya15
3 . Dalam buku “asas-asas pemebentukan peraturan perundang-undangan”
oleh Yuliandri, dalam bukunya diakatakan suatu rumusan peraturan perundang-
undangan harus mendapat pemebenaran (rechtvaardiging) yang dapat diterima
jika dikaji seacara filosofis. Pemebenaran itu harus sesuai dengan cita-cita
14Hamzah Halim dan KemalRedindoSyahrul Putra,S.Hcaraprakti menyusun dan
merancangperaturandaerah
15Arianto Evandi A. Barlian “konsistensi perturan daearah berdasarkan hirarki
perundang undangan “
18
kebenran (ideader wearheid), dan cita-cita keadilan (idée der grechtigheid) serta
cita-cita kesusilaan (idée der zedelijkheid)16
4. Dalam buku “pembentukan peraturan perundang-undangan Indonesia
(sutau kajian normatif) oleh Abdul Latif, SH., MH, dalam bukunya dikatakan
materi muatan peraturan perundang-undanagan pada kakekatnya merupakan
konkrit dari pernyataan kehendak pemerintah secara tertulis, yang bertumpuk dan
bersumber dari konsep kekuasaan pemerintah tentang wewenag dibidang legislatif
(wewenang peraturan perundang-undangan)17
E. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui bagaimana implementasi perlindungan dan pemberdayaan
pasar rakyat dari perkembangan toko swalayan di Kabupaten Majene
berdasarkan peraturan daerah nomor 19 tahun 2015
2. Untuk mengetahui faktor apa saja yang mempengaruhi perlindungan dan
pemberdayaan pasar rakyat yang tercantum dalam peraturan daerah nomor 19
tahun 2015 .
F. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis
a) Mengetahui implementasi dari setiap kebijakan yang dilakukan oleh
pemerintah kota, khususnya yang berhubungan dengan Perda no. 19
Tahun 2015 tentang Perlindungan, Pemberdayaan Pasar Tradisonal dan
Penataan Pasar Modern .
16Yuliandri, asas-asas pemebentukan perturan perundang-uandangan, Jakarta, Grafindo
Bentuk lain dari pendekatan keperilakuan adalah menagement by
objectives (MBO). MBO adalah suatau pendekatan yang menggabungkan unsur-
unsur yang terdapat dalam pendekatan prosedural/manajerial dengan unsusr-
unsur yang termuat dalam analisis keperilakuan. Jelasnya, MBO berusaha
23 Solichin Abdul Wahab, Analisis Kebijaksanaan Dari Formulasi Ke Implementasi
Kebijaksanaan Negara, h 113
25
menjembatani antara tujuan-tujuan yang telah dirumuskan secara spesifik dengan
implementasinya. MBO adalh sebuah nama dari sebuah bidang yang amat luas
yag mencakup praktek-praktek dan prosedur-prosedur yang telah dicoba pada
sektor swasta, dan pada derajad tertentu di sektor pemerintahan, sajak pertengahan
dasawarsa 50-an. Unsur-unsur pokok biasanya melekat pada MBO ialah:24
Pertama, harus ada perjenjangan tujuan-tujuan, sehingga seorang manajer
dapat melihat bagaimana tujuan-tujuan pribadinya, jika dapat dicapai, akan
menunjang terhdap tujuan-tujuan organisasi
Kedua, proses untuk mencapai tujuan-tujuan atau sasaran-sasaran yang
bernaung di bawah nama MBO haruslah bersifat interaktif, yakni didasarkan atas
perserujuan bersama, jika tujuan-tujuan tersebut semata-mata disodorkan oleh
para maneger, maka sistem tersebut bukanlah MBO.
Ketiga, harus ada suatu sistem penilaian atas prestasi kerja (performance
apparaisal) yang mencakup suatu kombinasi monitoring kemampuan diri
manajemen dan pengawasan melekat dan evaluasi bersama terhadap kemajuan-
kemajuan oleh tiap manajer dan atasan mereka.25
4. Pendekatan-pendekatan Politik (Political Approaches)
Pendekatan politik ini secara fundamental menentang asumsi yang
diketengahkan oleh ketiga pendekatan terdahulu – khususnya pendekatan
keperilakuan. Pada umumnya para ilmuan sosial menentang asumsinya bahwa
24 Solichin Abdul Wahab, Analisis Kebijaksanaan Dari Formulasi Ke Implementasi
Kebijaksanaan Negara, h 117
25 Solichin Abdul Wahab, Analisis Kebijaksanaan Dari Formulasi Ke Implementasi
Kebijaksanaan Negara, h 118
26
konflik itu adalah suatu bentuk pertentangan yang dapat disembuhkan dengan cara
menyempurnakan kemampuan kominikasi anatar pribadi (interpersonal
communication). Konflik yang berlangsung diantara dan didalam lingkungan
kebanyakan organisasi dan kelompok-kelompok sosial merupakan gejala yng
sifatnya endemis, karnanya tidak bisa hanya diatasi lewat komonikasi dan
koordinasi26
Analisis mengenai aspek-aspek politis dan implementasi kebijaksanaan ini
makin penting bila menyangku lembaga pemerinta, mengingat kenyataan bahwa
sebagian besar kebijaksanaan pemerintah pusat sebenarnya tidaklah dilaksanakan
oleh kantor-kantor/ departemen pemerintah pusat. Pemerintah-pemerintah daerah
dan instansi-instansi lain pada hakikatnya juga mengeluarkan kebijaksanaan yang
membutuhkan kesepakatan/persetujuan dari organisasi lainnya. Apabila
keseluruhan aspek dan keanekaragaman badan-badan yang menangani sektor
publik tersebut diperhitungkan --- departemen-depatemen pemerintah pusat,
pemerintah-pemerintah daerah/desa dan berbagai macam organisasi sektor swasta
--- nampaknya reganelesasi yang berlebihan mengenai hubungan antar lembanga
pemerintahan seharusnya dihindarkan. Sebab, ruang lingkup yang tesedia bagi
badan publik untuk berurusan dengan organisasi-organisasi lain akan tergantung
pada bermacam-macam sumber yang dimilikinya, (bukan hanya keungan dan
kekuasaan formal), dan pada apa yang diinginkanya dari organisasi-organisasi
lain (lihat Rhodes, 1979 b, 1981) penguasaan sumber-sumber yang berbeda,
menegaskan adanya kendala yang berbeda, menegaskan adanya kendala yang
26 Solichin Abdul Wahab, Analisis Kebijaksanaan Dari Formulasi Ke Implementasi
Kebijaksanaan Negara, h 119
27
bebeda pada berbagai badan publik tersebut. Bahkan meskipun secara formal satu
badan/instansi pemerintah sesungguhnya berada perintah badan yang lain,mereka
seringkali saling tergantung (misalnya pemrintah tingkat desa dan pemrintah
tingkat kecamatan atau pemerintah tingkat kecamatan dan pemerintah daerah
tingkat kabupaten; demikian pula pemerintah tingkat kabupaten dan pemerintah
tingkat provinsi. Pada setiap pasangan organisasi publik ini masing-masing
menginginkan sesuatu dari yang lain.27
C. Otonomi daerah di Indonesia
Otonomi daerah di Indonesia perlu secara terus menerus untuk ditemukan
format yang paling tepat untuk menjaga hubungan pusat dan daerah tetap
harmonis dalam kerangka negara kesatuan republik Indonesia sekaligus mampu
mewujudkan tujuan otonomi daerah yang berupa peningkataran kesejahteraan
rakyat, penigkatan pelayana publik dan peningkatan iklim investasi yang berjuan
pada daya saing daerah dan nasiona yang semakin membaik28.
Otonimi daerah pada saat ini cendrung direduksi menjadi persoaalan
pemekaran daerah dan pemilihan kepala daerah. Padahal otonomi daerah adalah
jauh lebih besar dan lebih luas dari pada dua persoalan tesebut. Otonomi daerah
justru besandar pada bagimana urusan pemerintahan dan wewenag
peneyelenggaraan pemerintah dapat diserahkan (didelegasikan) atau dilimpahkan
(dimandatkan) kepada daerah seabagi ujung tombak penyelenggaraan
pemerintahan. Urusan pemerintahan harusnya menjadi batu penjuru utama dalam
27 Solichin Abdul Wahab, Analisis Kebijaksanaan Dari Formulasi Ke Implementasi
Kebijaksanaan Negara, h 120 28 Zudan Arif Fakrullah, dkk, hukum di Indonesia dalam berbagai perspektif, h 16
28
pengelolaan otonomi daerah dengan tetap mempertimbangkan penataan darerah
dan penataan sistem penyelenggaran pemerintahan secara keseluruhan yang
meliputi penataan kelembagaan dan birokrasi, pentaan sistem politik, penetaan
aparatur penataa pengeloaan keuangan dan pelayanan sistem publik.29
Penyelanggaraan otonomi daerah setelah era revormasi yang diawali
dengan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 dan dianjutkan dengan Undang-
Undang Nonor 23 Tahun 2014 tentang pemerintahan daerah teleh mendorong
penyerahan urusan pemerintahan kepada daerah sebanyak 31 (tiga puluh satu)
urusan wajib dan 8 (delapan) urusan pilihan. Urusan wajib merupakan urusan
yang harus dilaksanakan oleh daerah , sedangkan urusan pilihan merupkan urusan
yang dilaksankan sesuai dengan kebutuhan dan kemmpuan daerahnya.30
Penyelengaraan otonomi daerah di Indonesia, mempunyai dinamika yang
tinggi dan berkali-kali terjadi terjadi perubahan peratursn perundang-undangan
yang menjadi basis legalitasnya. Perubhan ini merupakan hal yang wajar karna
setiap peraturan perundang-undangan memuat konsep otonomi daerah yang
berbeda-beda sesuai dengan dinamika sosial politik, budaya dan ekonomi yang
terjadi pada masa itu, sevara terinci perturan peraturan yang digunakan sebagai
dasar pelaksanaan otonomi daerah setelah Indonesia merdeka adalah sebagai
berikut. UU No. 1 Tahun 1945, UU No. 22 Tahun 1948, UU No. 1 Tahun 1957,
penetapan presiden No. 6 Tahun 1959, UU No. 18 1965, UU No. 5 Tahun 1974
29 .Zudan Arif Fakrullah, dkk, hukum di Indonesia dalam berbagai perspektif, h 16
30.Zudan Arif Fakrullah, dkk, hukum di Indonesia dalam berbagai perspektif, h 17
29
dan UU No. 22 Tahun 1999, UU No., 32 Tahun 2004 dan UU No. 23 TAHUN
201431.
Otomomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom
untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat
setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Pada hakikatnya otonomi
daerah memberikan ruang gerak secukupnya bagi pemerintah daerah untuk
mengelola daerahnya sendiri agar lebih berdaya mampu bersaing dalam kerja
sama, dan profesional terutamam dalam menjalankan pemerintah daerah
menjalankan dan mengelola sumber daya serta potensi yang dimiliki daerah
tersebut.32
Sesuai dengan konstruksi otonomi daerah dalam undang-undang 1945,
mka hak, kewenangan dan kewajiban untuk mengatur dan mengurus rumah
tangga daerah lebih diarahkan pada pemenuhan kepentingan masyarakat. Tujuan
pemberian otonomi daerah adalah memacu kesejahteraan, pemerataan
pembangunan dan hasil-hasilnya serat meningkatkan pemdayagunaan potensi
daerah secara optimal dan terpadu dalam rangka meningkatkan kesejahteraan
rakyat, menggalakkan prakarsa dan peran serta aktif masyarakat dalam
penyelenggaraan otonomi daerah secara luas, nyata, dan bertangguang jawab,
serta meperkuat persatuan bangsa, meningkatkan pelayanan publik dan daya saing
daerah.33
31 .Zudan Arif Fakrullah,, dkk, hukum di Indonesia dalam berbagai perspektif, h 17
32 .Zudan Arif Fakrullah, dkk, hukum di Indonesia dalam berbagai perspektif, h 22
33 .Zudan Arif Fakrullah, dkk, hukum di Indonesia dalam berbagai perspektif, h 22
30
Dalam praktik pemerintahan di Indonesia, otonomi diarahkan pada
beberapa hal yaitu:
Pertama, dari aspek politik pemberian otonomi daerah bertujuan untuk
mengikutseratakan dan menyalurkan aspirasi masyarakat kedalam program-
program pembangunan baik untuk kepentingan daerah sendiri maupun untuk
mendukung kebijakan nasional tentang demokrasi.
Kedua, dari aspek menejemen pemerintahan, pemberian otonomi daerah
bertujuan meningkatkan daya guna penyelenggaraan pemerintahan terutama
dalam pemberian pelayanan dalam berbagai kebutuhan masyarakat
Ketiga, dari aspek kemasyarakatan pemberian otonomi daerah bertujuan
menigkatkan partisipasi serta menumbuhkembangkan kemandirian dari
masyarakat untuk tidak perlu banyak bergantung kepada pemberian pemerintah
dalam proses pertumbuhan daerahnya sehingga daerah memiliki daya saing yang
kuat
Kempat, dari aspek ekonomi pembangunan, pemberian otonomi daerah
bertujuan menyukseskan pelaksanaan program pembangunan guna tercapainya
kesejahteraan rakyat yang makin meningkat.34
Otonomi daerah perlu memerhatikan peningkatan evisiensi dan efektivitas
penyelenggaraan pemerintahan daerah dengan lebih memperhatikan aspek
hubungan antar susunan pemerintah dan antar susunan pemerintah daeah, potensi
dan keanekaragaman daerah, peluang dan tantangan global dengan memberikan
kewengan yang seluas-luasnya kepada daerah disertai dengan pemberian hak dan
34 .Zudan Arif Fakrullah, dkk, hukum di Indonesia dalam berbagai perspektif, h 22
31
kewajiban penyelenggaran otonomi daerah dalam kesatuan sistem penyelenggraan
pemerintahan negara. Dengan demikian, maka daerah otonom diberi keleluasaan
yang besar untuk mengtur dan mengurus kepentingan daerah dan masyarakatnya
sesuai kebutuhan dan kemampuan masing-masing namun harus tetap dalam
sistem NKRI.35
D. Pemerintah Daerah dan Peraturan Daerah
1. Tugas dan Wewenang Pemerintah Daerah
Terdapat tugas dan wewenang pemerintahan daerah yang tertuang dalam
undang-uandang nomor 23 tahun 2014 pasal 65 ayat 1 dan 2 kepala daerah
memiliki tugas :
Ayat 1
a) memimpin pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi
kewenagan daerah berdasarkan perturn perundang dan kebijakan yang
ditetapkan bersama DPRD
b) mememlihara ketentraman dan ketertiban masyarakat
c) menyusun dan mengajukan rancangan perda tentang RPJMD dan
rancangan perda tentang RPJMD kepada DPRD untuk dibahas
bersama DPRD, serta menyusun dan menetapkan RKPD
d) menyusun dan mengajukan rancangan perda tentang APBD,
rancangan perda tentang perubahan APBD dan rancanga perda tentang
perubahan APBD dan rancangan perda tentang pertangung jawaban
pelaksanaan APBD kepada DPRD untuk dibahas bersama
35 .Zudan Arif Fakrullah, dkk, hukum di Indonesia dalam berbagai perspektif, h 23
32
e) mewakilii daerahnya didalam dan diluar pengadilan, dan dapat
menunjuk kuasa hokum untuk mewakilinya sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang undangan
f) megusullkan pengankatan wakil kepala daerah
g) melaksankan tugas lain dengan ketentuan peraturan peraturan
perundang undangan .
Dalam melaksanakan sebagaimana dimaksud ayat 1 kepala daerah
berwenang :
Ayat 2
a) mengajukan rancangan perda
b) menetapkan perda yang telah mendapat persetujuan bersama DPRD
c) mentapkan perkada dan keputusan kepala daerah
d) mengambil tindakan tertentu dalam keadaan mendesak yang sangat
mendesak dibituhkan oleh daerah dan / atau masayarakat.
e) Melaksanakan wewenang lain sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang undangan
Selain itu jaga terdapat tugas dan wewenang wakil kepala daerah yang
tertulis dalam pasal 66 ayat 1, 2 dan wakil kepala daerah mempunyai tugas
ayat 1
a) Membantu kapala daerah dalam :
1. Memimpin pelaksaan urusan pemerintahan daerah yang menjadi
kewenangan daerah;
33
2. Mengordinasikan kegiatan perangkat daerah dan menindak lanjuti
laporan dan atau temuan hasil pengawasan aparat daerah
3. Memantau dan mengevaluasi peneyelengaraan pemerintahan
daerah yang dilaksankan oleh perangkat daerah provinsi bagi
wakil gubernur
4. Memantau dan mengevaluasi penyelenggaraan pemerintahan
yang dilaksanakan perangakat daerah kabupaten atau kota,
kelurahan dan atau desa bagi wakil bupati atau walikota
b) Memberikan saran dan pertimbangan kepada kepala daerah dalam
melaksanakan pemerintahan daerah
c) Melaksanakan tugas dan wewenang kepala daerah apabila kepala
daerah menjalani masa tahanan tau berhalanga sementera
d) Melaksanakan tugas lain sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang undangan.
Ayat 2
“selain melaksankan tugas dan wewenang sebagaimna yang dimaksud
pada ayat (1) wakil kepala daerah melaksankan tugas dan kewajinban
pemerintahan lainnya yang diberikan oleh kepala daerah yang ditetapkan
dengan keputusan kepala daerah “.
Setelah melihat tugas dan kewenangan yang dimiliki oleh pemerintah
daerrah yang telah dituangkan dalam undang-undang pemerintah daerah, dapat
diliha secara jelas bagaiman suatu sistem pemerintah daerah memiliki aturan main
sendiri yang dimana masing-masing daerah melakukan hal yang sama oleh kepala
34
daerah dan wakil kepal daerah menjadi tonggak utama dalam pelaksaan
pemerintah daerah di Indonesia. Tidak kalah pentinganya dawn perwakilan rakyat
daerah yang turut dalam pelaksanaan pemerintahan daerah juga mesti
mendapatkan perhatian khusus , mengingat sebagai lembaga legislative DPRD
harus menjalin kerja sama yang baik kepada pemerintah sebagai lembaga
eksekutif didaerah .
1. Kewajiban Pemerintah daerah
Dalam melaksakan suatu roda pemerintahan dengan tuags dan wewenang
yang dimiliki tersebut, pemerintah daerah juga memiliki beberapa kewajiban
untuk tetap menjaga daerah agar tetap dalam koridor. Kewajiban pemerintah telah
tercantum dalam dalam undang undang pemerintah daerah dalam pasal 67 yaitu:
Kewajiban kepala daerah dan dan wakil kepal daerah meliputi:
a. Memegang teguh dan mengamalkan pancasila, melaksanakan undang-
undang dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 serta
mempertahankan dan memelihara keutuhan Negara kesatuan Republik
Indonesia;
b. Menaati seluruh ketentuan peraturan perundang undangan
c. Mengembang kehidupan demokrasi
d. Menjaga etika dan norma dalam melaksanakan urusan pemerintahan
yang menjadi kewenagan daerah
e. Menerapkan prinsip pemerintahan yang baik dan bersih
f. Melaksanakan program strategis nasioanal
35
g. Melaksanakan hubungan dengan seluruh instansi vertical di daerah
dan semua perangkat daerah
Kewajiban yang telah diatur dalam pasal 67 dapat dilihat, bagaimna ada
tujuh poin penting yang semuanya itu merupakan suatu bentuk penegasan untuk
suatu daerah otonom dengan kepala daerah dan wakil kepala daerah seabgai
pemimpin daerah untuk menjalankan pemerintahan secara menyeluruh dan merata
disemua wialayah didaerah tersebut.
Selain itu terdapat pula kewajiban yang bersifat administratif yang
tercantum dalam undang undang pemerintah daerah nomor 23 tahun 2014 pasal
69 ayat 1 yaitu:
“Selain mempunyai kewajiban sebagaimna yang dimaksud dalam pasal 67
kepala daerah wajib laporan penyelenggaraan pemerintah daerah, laporan
keterangan pertanggung jawaban, dan ringkasan laporan penyelengraan
pemerintah daerah. Timbulnya kewajiban pemrintah daerah”
2. Dasar konstitusi pemebentukan peraturan daerah
Suatu rumusan peraturan perundang uandangan harus mendapat
pembenaran yang dapat diterima jiak dikaji secara filosofis pemebenaran itu harus
sesuai denga cita-cita kebenaran dan cita-cita keadilan serta cita-cita kesusilaan36
undang-undang dasar 1945 pasal 18 ayat 5 mengamanatkan:
“pemerintah daerah menjalankan otontomi seluas-luasnya kecuali urusan
pemerintahan yang oleh undang-undang ditenrukan sebagai urusan
pemerintah pusat.”
36Yuliandri, asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan, jakarta, Grafindo
persada, 2009, h 113
36
Pasal 18 ayat 5 ini kemudian diperkuat lagi denagan ayat 6 yaitu,
“pemerintah daerah berhak berhak menetapkan peraturan daerah dan
peraturan paerarturan lain untuk melaksanakan tugas otonomi dan tugas
perbantuan.”
Secara tugas undang-undang dasar Negara kesatuan republik Indonesia
memberikan keluasan untuk setiap daerah agar dapat melaksanakan
pemerintahannya masing-masing.
Pemebentukan peraturan daerah merupakan kewangan kepala daerah
bersama-sama dengan DPRD. Inisiatif pemebentukan peraturan daerah bisa
berasal dari kepala daerah maupun inisiatif DPRD.37 Dalam pelaksanaan
sinkroisasi lembaga eksekutif dan legislatif dalam hal ini pemerintah daerah dan
DPRD harus berpaduagar dapat mencetak instrumen-instrumen hukum yang baik
untuk pelaksaan pemerintah daerah yang dicita-citakan.
Berdasarkan ketentuaan didalam keputusan menteri dalam negri dan
otonomi daerah nomor 23 Tahun 2001 tentang prosedur penyusunan hukum
daerah, yakni peraturan daerah, keputusan kepala daerah dan intruksi gubernur/
bupati/ walikota.38 DPRD memmilik kekuasaan yang juga menentukan dalam
pemebetukan peraturan daerah, karna dilengkapi dengan hah-hak inisiatif dan
hak-hak mengadakan perubahan. Bahkan secara yuridis persetujuan itu sendiri
37 Hamzah Halim, dan Kemal Redindo Syahrul Putra, cara praktis menyusun dan
merancang peraturan daerah (suatu kajian teoritis dan praktis disertai dengan manual). Jakarta
pranada media gru, 2010. H 50 38Keputusan Mentri Dalam Negri Dan Otonomi Daerah Nomor 23 Tahun 2001
37
mempunyai makna kewengan menetukan karna itu tidak berlebihan jika dikatakan
bahwa tanpa persetujuan DPRD tidak akan ada peraturan daerah .39
Sumber hukum dapat dibedakan sumberhukum materil dan sumber hukum
formal. Menrut utrecht (1983: 84-85), sumber kukum materil adalah perasan
hukum (keyakinan hukum) individu dan pendapat umum yang menjadi penentu isi
hukum. Sedangkang sumber hukum formal adalah yang menjadi penentu formal
membentuk hukum, menetukan berlakunya hukum.
3. Materi Muatan Peraturan Daerah
Istilah “materi muatan” pertama kali digunakan oleh A. Hamid S.
Attanmimi (1990: 194) sebagai tejemahan dari istilah “het onderwerp” . menurut
Attamami, materi muatan suatu sebuah peraturan perundang-unangan negara
dapat ditentukan atau tidak, tergantung pada sistem pembentukan peraturan
perundang-undangan negara tersebut beserta latar belakang sejarah dan sistem
pembagian kekuasaan negara yang menentukan.40
Materi muatan peraturan perundang-undangan pada hakekatnya
merupakan wujud konkrit dari pernyataan kehendak pemerintah secara tertulis,
yang bertumpuk dan bersumber dari konsep kekuasaan pemerintahan tentang
wewenang dibidang legislatif (wewenag peraturan perundang-undangan).41 jadi
suatu materi muatan dapat menjadi gambaran atas langkah dan sikap pemerintah
dari suatau perundang-undangan yang ada.
39Abdul Latif, pembentukan peraturn perundang-undangan Indonesia (suatu kajian
normati), Ujung Pandang, 1997 h102 40Hamzah Halim, kemal Redindo Syahrul Putra, cara praktis menyusun dan merancang
perda (suatu kajian teoritis dan praktis disertai dengan manual) . Jakarta, prenada media grup,
2010 h 65 41Abdul Latif, pembentukan peraturan perundang-undangan Indonesia (suatu kajian
normatif), Ujung Pandang, 1997 h 102
38
Mengenai materi muatan juga diatur dalam undnag-undnag No. 12 tahun
2011 pada pasal 10 ayat 1 tentang pemebentukan peraturan perundang-undangan,
dimana harus memuat materi sabagai berikut:
a. Pengaturan lebih lanjut mengenai ketentuan undang-undang dasar
Negara Republik Indonesia tahun 1945
b. Perintah suatau undang-undang untuk diatur dalam dengan undang-
undang
c. Pengesahan perjanjian internasional tertentu;
d. Tindak lanjut atas putusan mahkamah konstitusi dan/atau;
e. Pemenuhan kebutuhan hidup masyarakat
kemudian selanjutnya dijelaskan lebih jauh didalam pasal 14 undang-
undang No. 12 Tahun 2011 tentang pembentukan peraturan perundang-undangan:
Materi muatan peraturan peraturan daerah provinsi dan peraturan daerah
kabupaten/kota berisi materi muatan dalam rangka penyelenggaraan
otonomi daerah dan tugas perbantuan serta menampung kondisi khusus
daerah dan/ atau penjabaran lebih lanjut peraturan perundang-undangan
lebih tinggi.
Dalam mengkaji materi muatan peraturan perundang-undangan berkenaan
dengan tindak pemerintahan dalam meneyelenggarakan urusan pemerintahan,
diawali dengan materi muatan undang-undang, baik yang bersumber dari
kewenangan legislatif maupun kewenangan pemerintah berdasarkan delegasi,
dengan pertimbangan agar kajian mengenai materi muatan peraturan perundang-
undangan dapat dikaji secara sistematis.42
42 Abdul Latif, pembentukan peraturan perundangan Indonesia (suatu kajian normatif),
h 74
39
Materi muatan peraturan daerah adalah materi yang yang berhubungan
dengan urusan otonomi daerah (desentralisasi) dan materi yang berhubungan
dengan tugas perbantuan.43 Artinya bahwa materi yang terkandung didalam
peraturan daerah merupkan suatau urusan daerah itu sendiri yang diterbitkan guna
menciptakan cita-cita hukum ditengah masyarakat
E. Konsep Dan Pemaknaan Tentang Pasar
Dikotomi antara pasar tradisional dan pasar modern sesungguhnya tidak
hanya bersumber dari arsitektur bangunan atau manajemen pengelolaannya,
melainkan bersumber dari pemaknaan tentang konsepsi pasar sebagai tempat
berlangsungnya transaksi ekonomi. Konsep tentang pasar dapat dipahami dari
berbagai perspektif, seperti perspektif ekonomi, sosial, budaya, bahkan politik.
Dalam perspektif ekonomi, konsep tentang pasar (dalam pengertian luas, sebagai
tempat bertemunya permintaan dan penawaran) terbentuk sebagai salah satu
implikasi dari proses perubahan masyarakat menuju masyarakat kapitalis. Boeke
(1910) merupakan salah satu ahli ekonomi yang mencoba menerangkan fenomena
terbentuknya pasar dalam kerangka pertumbuhan ekonomi dalam masyarakat
prakapitalistik dengan masyarakat kapitalistik. Menurutnya, perbedaan yang
paling mendasar antara masyarakat prakapitalistik dengan masyarakat kapitalistik
terletak dalam hal orientasi kegiatan ekonominya. Masyarakat dalam tingkatan
prakapitalistik berupaya untuk mempertahankan tingkat pendapatan yang
43 H. Rosjidi Ranggawidjaja,, pengantar ilmu perundang-undangan Indonesia, h 67
40
diperolehnya, sedangkan masyarakat dalam tingkatan kapitalistik tinggi berupaya
untuk mendapatkan laba maksimum 44.
Perbedaan orientasi ekonomi tersebut melahirkan nilai-nilai sosial dan
budaya yang membentuk pemahaman terhadap keberadaan pasar dalam kedua
kategori masyarakat tersebut. Dalam masyarakat kapitalistik, individu secara
otonom menentukan keputusan bebas. Dalam masyarakat seperti itu, pasar
merupakan kolektivitas keputusan bebas antara produsen dan konsumen45Jika
keputusan produsen ditentukan oleh biaya alternatif, harapan laba, dan harapan
harga pasar, maka keputusan konsumen ditentukan oleh daya beli, pendapatan
minus tabungan, harga dan harapan harga komoditas, serta faktor individual
(minat, kebutuhan, dll). Dalam masyarakat prakapitalistik, sebaliknya,
kolektivisme menentukan keputusan individual. Pasar dalam masyarakat seperti
itu merupakan pertemuan sosial, ekonomi, dan kultural. Jika keputusan produsen
lebih ditentukan oleh harapan untuk mempertahankan posisi pendapatan yang
telah dicapai, maka keputusan konsumen lebih dekat pada nilai kolektif yang
dapat diraihnya.
Nilai kolektivitas menjadi pembeda dalam pemahaman tentang konsepsi
pasar di kalangan masyarakat prakapitalistik dan masyarakat kapitalistik. Bagi
masyarakat prakapitalistik yang ciri cirinya tampak dalam kelompok masyarakat
yang masih berpatokan pada kolektivitas, kegiatan ekonomi yang berlangsung di
pasar (dalam arti tempat bertemunya penjual dan pembeli) masih sangat diwarnai
44Boeke, J. H, 1953. “Economics and Economic Policy of Dual Societies: As Exemplified
by Indonesia. N. V. Haarlem: HD Tjeenk Willink & Zoon.
45
Sastradipoera, Komaruddin, “pasar sebagai etalase haraga diri” dalam ajib rosidi, dkk
(ads) 2006 prosiding konfrensi internasional budaya sunda (jilid 2)
41
oleh nuansa kultural yang menekankan pentingnya tatap muka, hubungan personal
antara penjual dan pembeli (yang ditandai oleh loyalitas ‘langganan’), serta
kedekatan hubungan sosial (yang ditandai konsep ‘tawar-menawar harga’ dalam
membeli barang atau konsep ‘berhutang’). Karakteristik semacam ini pada
kenyataannya tidak hanya ditemukan dalam masyarakat perdesaan sebagaimana
ditesiskan Boeke, tapi juga dalam masyarakat perkotaan, yang bermukim di kota-
kota besar di Indonesia. Kondisi semacam inilah yang kemudian memunculkan
dualisme sosial, yang tampak dalam bentuk pertentangan antara sistem sosial
yang berasal dari luar masyarakat dengan sistem sosial pribumi yang hidup dan
bertahan di wilayah yang sama.
Secara sosiologis dan kultural, makna filosofis sebuah pasar tidak hanya
merupakan arena jual beli barang atau jasa, namun merupakan tempat pertemuan
warga untuk saling interaksi sosial atau melakukan diskusi informal atas
permasalahan kota 46. Pemaknaan ini merefleksikan fungsi pasar yang lebih luas,
namun selama ini kurang tergarap pengelolaannya dalam berbagai kebijakan.
Kebijakan-kebijakan yang terkait dengan pengelolaan pasar, seperti kebijakan
perdagangan, tata ruang, dan perizinan lebih banyak berorientasi pada dimensi
ekonomi dari konsep pasar. Pengabaian terhadap fungsi sosial-kultural pasar
inilah yang kemudian melahirkan bentuk-bentuk pasar modern yang bernuansa
kapitalistik, yang lebih menonjolkan kenyamanan fisik bangunan, kemewahan,
kemudahan, dan kelengkapan fasilitas namun menampilkan sisi lain yang
individualistis, “dingin”, dan anonim.
46 Wahyudi dan Ahmadi. “Kasus Pasar Wonokromo Surabaya Cermin Buruknya
Pengelolaan Pasar”. Artikel dalam Kompas, 24 Maret 2003.
42
Masuknya nilai-nilai baru, seperti kolektivitas rasional atau otonomi
individu yang menjadi karakteristik masyarakat kapitalistik ternyata tidak
diimbangi oleh pelembagaan nilai-nilai ini dalam dimensi kehidupan masyarakat.
Kebiasaan sosial di kalangan masyarakat perkotaan yang seyogianya
menampakkan ciri-ciri masyarakat kapitalistik, pada kenyataannya masih
menunjukkan kebiasaan masyarakat prakapitalistik. Kondisi inilah yang kemudian
memunculkan fenomena dualisme, seperti berkembangnya para pedagang kaki
lima di sekitar mall. Dualisme sosial ini selanjutnya mengarah pada pola relasi
yang timpang di mana salah satu pihak mendominasi pihak lain dan pihak lain
berada dalam posisi termarginalkan, baik dalam kerangka struktural maupun
kultural. Friedman dalam Sastradipoera,47 menjelaskan bahwa kesenjangan dalam
pola relasi tersebut disebabkan oleh ketimpangan dalam basis kekuasaan sosial.
Kemiskinan yang berkaitan dengan ketidakseimbangan dalam kekuatan tawar
menawar di pasar terutama disebabkan oleh ketidaksamaan kesempatan untuk
mengakumulasikan basis kekuasaan sosial tersebut. Beberapa penyebabnya adalah
ketidaksamaan untuk memperoleh modal atau aktiva produktif, ketidaksamaan
dalam memperoleh sumber-sumber finansial, ketidaksamaan dalam memasuki
jaringan sosial untuk memperoleh peluang kerja, dan ketidaksamaan akses untuk
menguasai informasi.
Ketimpangan yang muncul sebagai akibat ketidakseimbangan dalam
kekuatan tawarmenawar setidaknya memunculkan dua akibat, yakni: (1)
hilangnya harga diri (self-esteem) karena pembangunan sistem dan pranata sosial
47 Sastradipoera, Komaruddin. “Pasar sebagai Etalase Harga Diri”., dalam Ajip Rosidi,
dkk (eds). 2006. Prosiding Konferensi Internasional Budaya Sunda (Jilid 2). Jakarta:
Yayasan Kebudayaan Rancage. Hal 112.
43
dan ekonomi gagal mengembangkan martabat dan wibawa kemanusiaan; dan (2)
lenyapnya kepercayaan pada diri sendiri (self-reliance) dari masyarakat yang
berada dalam tahapan belum berkembang karena ketidakmandirian. Kondisi
ketidakseimbangan dalam hal bargaining position sebagaimana diuraikan di atas
juga menjadi salahsatu penyebab melemahnya kapasitas pasar tradisional dalam
persaingan dengan pasar modern. Ruang bersaing pedagang pasar tradisional kini
semakin terbatas. Bila selama ini pasar modern dianggap unggul dalam
memberikan harga relatif lebih rendah untuk banyak komoditas, dengan fasilitas
berbelanja yang jauh lebih baik, skala ekonomis pengecer, area pasar modern
yang cukup luas dan akses langsung mereka terhadap produsen dapat menurunkan
harga pokok penjualan sehingga mereka mampu menawarkan harga yang lebih
rendah. Sebaliknya para pedagang pasar tradisional, mereka umumnya
mempunyai skala yang kecil dan menghadapi rantai pemasaran yang cukup
panjang untuk membeli barang yang akan dijualnya. Akibatnya, keunggulan biaya
rendah pedagang tradisional kini mulai terkikis.
Keunggulan pasar tradisional mungkin juga didapat dari lokasi.
Masyarakat akan lebih suka berbelanja ke pasar-pasar yang lokasinya lebih dekat.
Akan tetapi pusat-pusat perbelanjaan modern terus berkembang memburu lokasi-
lokasi potensial. Dengan semakin marak dan tersebarnya lokasi pusat
perbelanjaan modern maka keunggulan lokasi juga akan semakin hilang.
Kedekatan lokasi kini tidak lagi dapat dijadikan sumber keunggulan bagi pasar
tradisional.
44
Upaya untuk menyeimbangkan kedudukan pasar tradisional dengan pasar
modern belum secara konkret dilakukan karena tidak ada kebijakan yang
mendukung pasar tradisional, misalnya dalam hal pembelian produk pertanian
tidak ada subsidi dari pemerintah sehingga produk yang masuk ke pasar
tradisional kalah bersaing dalam hal kualitas dengan produk yang masuk ke pasar
modern. Bahkan dewasa ini berkembang pengkategorian pasar yang cenderung
memarginalkan masyarakat, seperti pasar tradisional untuk masyarakat berdaya
beli menengah ke bawah tapi kualitas barang yang dijual tidak sesuai standar,
sementara pasar modern untuk masyarakat menengah ke atas dengan kualitas
produk sesuai bahkan melebihi standar minimal.
Kategorisasi semacam itu memunculkan kesenjangan dan kecemburuan
sosial bukan hanya antara pasar tradisional dengan pasar modern, tapi semakin
meluas mengarah pada konflik horizontal di masyarakat. Pembedaan kategori
pasar tradisional dan pasar modern juga menunjukkan stigmatisasi dan
diskriminatif. Padahal konsep pasar modern kenyataannya lebih sarat dengan
makna konsumtif dibandingkan makna sebagai ruang sosial lintas strata
masyarakat
45
BAB III
METODE PENELITIAN
Pada bab ini menguraikan tentang perangkat-perangkat penelitian, mulai
dari pemilihan lokasi penelitian, tipe dan dasar penelitian, teknik pengumpulan
data, analisa data serta konsep operasional yang sangat membantu dalam
kelangsungan penelitian ini.
A. Lokasi dan Objek Penelitian
Lokasi penelitian ini dilakukan di Kota Majene. Alasan memilih Kota
Majene sebagai lokasi penelitian karena Majene adalah salah satu daerah di
Sulawesi barat yang memiliki Perda tentang perlindungan pasar tradisional. Selain
itu, pasar dan lingkungan, yang keberadaannya akan terancam oleh maraknya
pertumbuhan dan pembangunan pasar pasar modern.
Objek penelitian adalah Perda No. 19 tentang perlindungan, pemberdayaan
pasar tradisional dan penataan pasar modern di Kota Majene. Alasan memilih
Perda No. 19 tentang perlindungan, pemberdayaan pasar tradisional dan penataan
pasar modern di Kota Majene, karena dalam Perda ini memuat aturan aturan
tentang pendirian pasar modern, yang selama ini oleh berbagai kalangan banyak
dilanggar oleh pasar pasar modern dalam pembangunannya, contohnya:
Pasal 12 ayat (4) huruf d, mengenai lokasi pendirian toko swalayan yang
diaantaranya minimarket dapat berlokasi padasetiap jaringan jalan termasuk
sistem jaringan jalan lingkungan (perumahan) didalam kota/ atau perkotaan
dengan syarat dalam satu lingkungan pemukiman, namun fakta lapangan
menunjukkan keberdaaan toko moderen yang ada dimajene yang nampak
46
berdakatan dan jumlahnya yang sudah banyak, Alasan lainnya ialah peneliti mau
melihat sampai sejauh mana tahapan implementasi Perda tersebut dilakukan oleh
Pemerintah Daerah Kota Majene.
B. Tipe dan Dasar Penelitian
Tipe penelitian yang dipergunakan ialah deskriptif analisis, yaitu
penelitian yang menggambarkan secara jelas dan menganalisis mengenai
implementasi dari kebijakan Perda No. 19 tentang perlindungan, pemberdayaan
pasar tradisional dan penataan pasar modern di Kota Majene oleh pemerintah
daerah serta dampak dari implementasi tersebut bagi eksistensi pasar tradisional di
Kota Majene.
Dasar penelitian yang digunakan ialah kualitatif yang menggambarkan
secara jelas mengenai variabel yang mempengaruhi implementasi kebijakan
publik, seperti isi kebijakan dalam hal ini tujuan dan sasaran, aktor aktor yang
terlibat, mulai dari pemerintah daerah dalam hal ini dinas terkait, DPRD,
Organisasi Pedagang Pasar Tradisional, pengusaha pasar modern, dll, khususnya
dalam penerapan Perda No.19 tentang perlindungan, pemberdayaan pasar
tradisional dan penataan pasar modern di Kota Majene.
C. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini ada dua,
yaitu data primer dan data sekunder. Adapun yang dimaksud sebagai berikut:
a. Data Primer
Data Primer dilakukan dengan cara wawancara. Wawancara yaitu data
yang diperoleh langsung dari informan melalui wawancara secara mendalam
47
untuk mendapatkan informasi sebanyak-banyaknya terutama yang berkaitan
dengan penerapan kebijakan perda No.19 tentang perlindungan, pemberdayaan
pasar tradisional dan penataan pasar modern di Kota Majene. Proses wawancara
ini menggunakan pedoman wawancara (interview guide), agar wawancara tetap
berada pada fokus penelitian. Informan yang akan penulis wawancarai dalam
pengumpulan data, ada lima yaitu:
a. DPRD Kota Majene
b. Dinas penanaman modal dan pelayanan terpadu satu pintu
Kabupaten Majene
c. Dinas Perizinan Kota Majene
d. Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) Kota Majene
e. Kamar Dagang Indonesia Provinsi Sulawesi barat
b. Data Sekunder
Data sekunder dilakukan dengan studi pustaka dengan mengumpulkan dan
menganalisis arsip atau dokumen mengenai berbagai informasi yang berkaitan
dengan kajian dan fokus penelitian. Arsip dan dokumen yang dimaksud dapat
berupa artikel dan berita di surat kabar ataupu di internet, peraturan perundang
undangan terkait, dokumen dokumen perencanaan Kota Majene, data statistik,
dan tulisan tulisan yang dapat memperkaya data yang dikumpulkan.
48
D. Teknik Analisis Data
Analisa data akan berlangsung hampir bersamaan dengan pengumpulan
data. Hal ini untuk membantu peneliti melihat sejumlah kekurangan penelitian ini,
sekaligus untuk menarik dugaan-dugaan sementara yang akan dikaji lebih
mendalam. Proses ini akan dimulai dengan penulisan data yang lebih teratur dari
proses pengumpulan informasi yang dilakukan melalui proses wawancara,
pencatatan lapangan serta observasi. Hal ini untuk memudahkan peneliti
mencermati sejumlah informasi tersebut. Informasi ini selanjutnya akan di
triangulasi untuk memastikan keabsahan (validity) data.
Langkah selanjutnya adalah penyajian data yang diperoleh dari hasil
analisis serta interpretasi terhadap sejumlah informasi selama penelitian.
Penggunaan penyajian data ini untuk memudahkan peneliti memahami data.
Selain itu, juga akan membantu dalam menentukan tindakan lain berdasarkan
pemahaman tersebut, seperti melakukan proses analisis lebih dalam. Kesimpulan
sementara ini selanjutnya akan dicermati untuk menghasilkan kesimpulan
penelitian, dan akan dituliskan secara deskriptif-analitis. Penelitian ini akan
berakhir ketika data sudah mencukupi untuk menjawab pertanyaan penelitian
49
BAB IV
GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN
A. Kondisi Geografis dan Kependudukan Kota Majene
Penelitian ini dilakukan di Majane. Majene adalah salah satu kota yang
ada di provinsi Sulawesi barat. Wilayah Majene sebagian besar merupakan
kawasan pesisir dengan ketinggian 0-20 meter dari permukaan laut, dengan luas
wilayah 947,8 km². Luas wilayah tersebut secara administratif terbagi dalam 9
Kecamatan dengan 143 kelurahan, dan pada tahun 2010 tercatat dengan jumlah
penduduk, yakni 150.939 jiwa. Dari jumlah tersebut,.48
B. Kondisi Perekonomian Kota Majene
Perkembangan Kota Majene juga memicu kegiatan ekonomi yang kian
pesat, pertumbuhaan ekonomi merupakan suatau indikator penting untuk
mengetahui keberhasilan pembangunan suatu daerah. Indikator tersebut dapat
diukur dengan memanfaatkan hasil perhitingan produk domestik regional bruto
(PDRB). Analisis hasil perhitungan PDRB tersebut dapat digunakan untuk
melakukan pengukuran pencapaian indikator ekonomi yang indikatornya terdiri
dari; perkembangan ekonomi dengan perhitungan PDRB berdasrkan harga
berlaku, laju pertumbuhan ekonomi (LPE) dengan perhitungan PDRB
berdasarkan harga-harga konstan dan PDRB per kapita.
Perkembngan ekonomi Kabupaten Majene selama priode tahun 2009
sampai tahun 2012, terus memperlihatkan kecenderungan yang positif yang
48 Sulawesi Barat Dalam Angka 2010. Badan Pusat Statistik Provinsi Sulawesi Barat.
50
ditandai dengan peningkatan PDRB atas dasar haraga yang berlaku. Pada tahun
2009 nilai PDRB atas dasar harag yang berlaku sekitar 1.121,907 miliyar rupiah
meningkat menjadi 1.339,663 milyar rupiah di tahun 2010, 1.506,698 milyar
rupiah pada tahun 2011 dan terus meningkat sampai dengan 1.672,717 pada tahun
2012 dengan rata-rata perkembangan sekitar 14,22 persen per tahun.
Sebagaimana perkembangan kota pada umumnya, Majene juga menjadi
tujuan masyarakat dari sejumlah daerah di Sulawesi barat dalam memasarkan
produk-produk pertaniannya. Mereka yang datang dari sejumlah daerah ini, pada
umumnya bergerak disektor ‘informal’ seperti menjadi pedagang di pasar lokal.
Namun munculnya sejumlah toko swalayan dalam 6 tahun terakhir memberikan
sedikit rasa cemas pada para pedagang kecil yang ada d imajene. Dimana ke
khawatiran itu berupa penurunan omset yang diperolaeh dan beralihnya para
pembeli dari pasar tradisional ke toko swalyan yang notabennya jauh lebih
nyaman.
Bab ini akan menjelaskan temuan penelitian tentang bagaimana
implementasi dari Peraturan daerah No. 19 tahun 2015 tentang perlindungan,
pemberdayaan pasar tradisional dan penataan toko moderen dijalankan oleh
pemerintah kota Majene dan dampaknya terhadap pasar lokal yang ada di kota
Majene . Hal ini sangat perlu untuk membantu menganalisis kecenderungan apa
yang mendasari aktor-aktor di pemerintahan dalam hal ini Satuan Kerja Perangkat
Dinas (SKPD) melakukan setiap tindakannya dalam mengimplementasikan Perda.
51
C. IMPLEMENTASI PERDA NO.19 TAHUN 2015 TENTANG
PERLINDUNGAN, PEMBERDAYAAN PASAR TRADISONAL
DAN PENATAAN TOKO SWALAYAN DI KABUPATEN MAJENE
Dalam konteks perlindungan pasar tradisional di Indonesia, terlepas dari
ideal atau tidaknya peraturan per-undang undangan yang mengaturnya. Ada satu
penyakit kronis yang sampai saat ini tidak terobati. Penyakit tersebut adalah
implementasi dan penegakan hukumannya. 49 Contoh kasus di beberapa daerah di
Indonesia seperti Jakarta dan Bandung. Setelah terbitnya Perpres No.112 Tahun
2007 serta peraturan turunannya lewat Permendagri No.58 Tahun 2008 tentang
Penataan dan Pembinaan Pasar Tradisional, Pusat Perbelanjaan dan Toko Modern,
tidak lantas memberikan suatu payung hukum yang jelas kepada nasib pasar
tradisional dan para pedagang di dalamnya. Untuk kasus kota Jakarta, terdapat
enam pasar yang dikategorikan “mati” antara lain Pasar Sinar Utara, Pasar Karet
Pedurenan, Pasar Blora, Pasar Cipinang Baru, Pasar Muncang, dan Pasar
Prumpung Tengah. 50 Kematian beberapa pasar tersebut terjadi karena dalam lima
tahun terakhir, pendirian ritel modern dalam hal ini Hypermarket terjadi semakin
massif. 51 Dari data yang dikeluarkan oleh APPSI, penurunan omzet pasar
49 Lembaga Studi & Advokasi Masyarakat (ELSAM), 2008, Oktober. “Pemantauan
terhadap Implementasi Perda-perda Bermasalah”
50 Smeru, 2007. “Dampak Pendirian Supermarket Terhadap Pasar Tradisional”,
Indonesia 51 Pusat Penelitian dan Pengembangan Perdagangan Dalam Negeri Departemen
Perdagangan RI bekerja sama dengan PT Indef Eramadani (INDEF), 2007, Desember. “Kajian
Dampak Ekonomi Keberadaan Hypermarket terhadap Pasar Tradisional”, Jakarta
52
tradisional di DKI Jakarta merosot tajam sampai dengan 60 %, setelah hadirnya
Hypermarket. 52
Lain halnya yang terjadi di kota Bandung. Daerah yang menjadi ikon
wisata Jawa Barat ini, semakin hari semakin bertumbuh pesat terutama dalam
bidang perdagangannya. Hal ini memberikan efek terhadap gaya hidup
masyarakatnya dalam hal berbelanja. Gaya hidup berbelanja tersebut disokong
dengan maraknya pembangunan beberapa pusat perbelanjaan dan toko modern
yang berada disana. Sehingga membuat beberapa pasar tradisional mengalami
penurunan omzet yang sangat tajam. 53 Hal tersebut mendorong pemerintah Kota
Bandung untuk menerbitkan Perda No. 2 Tahun 2009 tentang Penataan Pasar
Tradisional, Pusat Perbelanjaan dan Toko Modern. Dalam perjalannanya, Perda
tersebut tidak lantas membuat aktivitas persaingan antara pasar tradisional dan
ritel modern tersebut semakin membaik. Dari 50 pasar tradisional yang ada di
kota Bandung tidak berimbang dengan populasi ritel modern yang mencapai 147
unit. Ini menandakan perkembangan ritel modern cukup signifikan di Kota
Bandung. 54
Dalam perjalanannya, banyak kalangan mengharapkan agar Perpres 112
Tahun 2007 dan permendagri No. 53 Tahun 2008 menjadi salah satu solusi
terhadap konflik antara pasar tradisional dengan pasar modern. Tetapi saat ini
masih terdapat ketidakjelasan tentang implementasi Perpres untuk tujuan
52 Sumber : Ac Nielsen, 2008 53 Caroline Paskarina, S.IP., M.Si, dkk, 2007. “Evaluasi Kebijakan Pengelolaan Pasar di
Kota Bandung” Pusat Penelitian Kebijakan Publik & Pengembangan Wilayah Lembaga
Penelitian Universitas Padjajaran Bandung 54 Positioning Paper Ritel Komisi Pengawas Persaingan Usaha, 2008. Jakarta
53
perlindungan dan pemberdayaan pasar tradisional. Banyak daerah yang
seharusnya menjadi ujung tombak pelaksanaan tidak melakukan apa apa karena
ketidakpahaman tentang implementasi dari Perpres dan Permendagri tersebut.
Seperti apa sesungguhya implementasi tentang zonasi dari pasar modern terhadap
pasar tradisional dan pemberdayaan pasar tradisional serta UMKM dapat
dilaksanakan secara optimal. Kejelasan konsep yang dibangun oleh Perpres 112
Tahun 2007 dan Permendagri Tahun 53 Tahun 2008 menjadi sandaran utama
banyak kalangan sehingga mereka mengharapkan penjelasan yang lebih rinci
terkait hal tersebut.
Ketidakjelasan konsep lantas memberikan stimulus kepada beberapa
daerah untuk membuat suatu peraturan turunan dari Perpres 112 Tahun 2007 dan
Permendagri No. 53 Tahun 2008. Salah satu daerah yang membuat Peraturan
tentang perlindungan pasar tradisional ialah Kota Majene. Lewat Perda No. 19
Tahun 2015 Tentang Perlindungan, Pemberdayaan Pasar Tradisonal dan Penataan
Pasar Modern diharapkan mampu untuk memecahkan masalah persaingan di
antara pasar modern dan tradisional yang ada di kota Majene. Hal itu seperti
diungkapkan dalam wawancara bersama Drs. Darmansyah, yang merupakan ketua
DPRD kota Majene.
“ realitas yang terjadi pasar tradisional saat ini, di tengah maraknya toko
modern yang berkembang di kota Majene. Untuk mengantisipas
terpuruknya pasar tradisional maka pemerintah dan DPRD mengeluarkan
Perda tentang perlindungan pasar tradisonal” 55
55 Wawancara dengan Drs. Dramansyah (ketua DPRD Kota Majene)..
54
Kebijakan publik, menurut William Dunn merupakan alat dalam
menangani masalah masalah publik atau administrasi pemerintahan. 56 Begitupun
Dwidjowijoto 57 telah merumuskan definisi yang lebih sederhana, yaitu kebijakan
publik adalah keputusan yang dibuat oleh Negara, khususnya pemerintah, sebagai
strategi untuk merealisasikan tujuan Negara yang bersangkutan. Kebijakan publik
dipandang juga sebagai strategi untuk mengantar masyarakat pada masa awal,
memasuki masyarakat pada masa transisi, untuk menuju pada masyarakat yang
dicita-citakan. Berdasarkan definisi kebijakan publik tersebut, tampaklah bahwa
kebijakan publik hanya dapat ditetapkan pemerintah, pihak-pihak lain atau yang
lebih dikenal dengan sebutan aktor-aktor kebijakan publik, yang dapat
memepengaruhi proses kebijakan publik dalam kewenangannya masing-masing.
Senada dengan itu, politisi Abdul Wahab,SH mengatakan bahwa konsep
pembuatan Perda ialah untuk menjaga keberlangsungan pasar tradisional agar
konsumennya tidak diambil oleh toko modern. Baginya keberlangsungan pasar
tradisional di kota Majene agak terancam dengan keberadaan toko moderen . 58
Pernyataan tersebut sangat beralasan melihat fenomena saat ini, dimana pendirian
toko moderen berada tidak jauh dengan keberadaan pasar tradisional. Sehingga
pemerintah dalam melakukan tanggung jawabnya, dalam melindungi pasar
tradisional harus di dukung oleh suatu aturan yang mengikat setiap masyarakat
agar patuh.
56 Dunn, William N, 2000. ”Pengantar Analisis Kebijakan Publik”.Yokyakarta: Hanindita
Graha Widya 57 Dwidjowijoto, R. N, 2007. “Analisis Kebijakan”. Jakarta: Elek Media komputindo 58 Wawancara dengan Abdul Wahab, SH(DPRD Kota Majene). Jumat 30 oktober 2018.
Pukul 10.00 Wita.
55
Perda No.19 Tahun 2015 mengemukakakan bahwa kepentingan kelompok
sasaran (target groups) yang dituju berasal dari pasar tradisional, pasar moderen
dan toko moderen. Dalam konsep impelementasi kebijakan, Merilee S. Grindle, 59
mengemukakan bahwa terdapat dua hal penting dalam terealisasinya suatu
kebijakan. Pertama, melingkupi isi kebijakan. Dalam isi kebijakan, Merilee S.
Grindle mengemukakan enam variabel yang mempengaruhinya, antara lain
tercakupnya kepentingan kelompok sasaran (target groups); tipe manfaat; derajat
perubahan yang diinginkan; letak pengambilan keputusan; pelaksana program;
dan sumberdaya yang dilibatkan. Kedua, lingkungan implementasi. Ada tiga
variabel yang mempengaruhi antara lain : kekuasaan, kepentingan dan strategi
actor yang terlibat; karakteristik lembaga dan penguasa; dan kepatuhan serta daya
tanggap.
Merujuk pada Pasal 4 mengenai perlindungan dan pemberdayaan pasar
tradisional dikatakan perlindungan, pemberdayaan pasar rakyat dan penataan toko
swalayan, bertujuan untuk:
a. Mengatur dan melindungi dan meberdayakan pasar rakyat dan toko
swalayan;
b. Mewujudkan sinergi dan menjamin terselenggaranya kemitraan antara
pelaku usaha toko swalayan; dan
59 Grindle, Merilee.S dalam Subarsono, G. A, 2008. “ Analisis Kebijakan Publik”.
Yokyakarta: Pustaka Pelajar. Hal 93
56
c. Medorong terciptanya partisipasi dan kemitraan publik serta swasta
dalam penyelenggaraan usaha perpasaran di Indonesia
Dari data yang di keluarkan oleh Dinas pendapatan daerah Kabupaten
Majene, terdapat 19 pasar tradisional resmi yang ada di kota Majene. Ada dua
alasan terbentuknya pasar tradisional. Pertama, pasar tradisional dibentuk oleh
masyarakat setempat dikarenakan kebutuhan akan tempat untuk aktifitas jual-beli.
Kedua, pasar tradisonal terbentuk karena perintah atau intruksi dari pemerintah.
Itu bisa kita lihat dari pasar Inpres (Intruksi Presiden).
Dalam perjalanannya, peran pasar tradisional untuk Pendapatan Asli
Daerah (PAD) tidak bisa dibilang kecil. Seperti yang terdapat dalam laporan PAD
Dinas pendapatan daerah Kabupaten Majene pada bualan september 2018, PAD
yang diperoleh dari keberdaan pasar tradisional sebesar Rp 339.023274,0060
Dari data yang dikeluarkan oleh Asosiasi Pengelola Pasar Indonesia
(APRINDO) mengungkapkan bahwa di Indonesia terdapat 13.000 pasar
tradisional yang menghidupi 12,5 juta pedagang kecil.61 Ini menguatkan bahwa
keberadaan pasar tradisional di Indonesia sangat penting dan harus di lindungi.
Perlindungan tersebut bisa saja tidak berarti jika penerapan Peraturan mengenai
perlindungan pasar tradisional baik tingkat nasional dan daerah tidak dijalankan
secara tegas.
Perda No. 19 tahun 2015 mengatakan bahwa perlindungan adalah segala
upaya pemerintah daerah dalam melindungi pasar tradisional, usaha mikro, kecil
60 Laporan PAD kabupaten Majene september 2018
61 Aprindo News, Oktober 2009.
57
menengah, dan koperasi dari persaingan yang tidak sehat dengan pasar modern,
toko modern dan sejenisnya, sehingga tetap eksis dan mampu berkembang
menjadi lebih baik sebagai layaknya suatu usaha.
Definisi perlindungan menurut Perda diartikan bahwa pemerintah
berkewajiban memberikan perlindungan kepada pasar tradisional, antara lain:
status hak pakai lahan pasar, lokasi usaha yang strategis dan menguntungkan,
kepastian hukum dalam status hak sewa, dan perlindungan terhadap timbulnya
persaingan usaha tidak sehat/seimbang dengan pelaku usaha di pasar modern dan
toko modern. Disini dijelaskan bahwa, pemerintah kota merupakan aktor yang
paling berpengaruh dalam menjalankan setiap aspek yang berhubungan dengan
status hukum seperti hak pakai lahan pasar dan status hak sewa.
Beberapa fenomena yang terjadi belakangan ini berbanding terbalik
dengan harapan yang ada. Penarapan peraturan daerah nomr 19 tahun 2015
dianggap belum maksimal, wawancara dengan salah satu pedagang dipasar sentral
majene bapak Rahmat terkait bapak ini menuturkan menurutnya sebagai salah
satu pedagang pasar yang dilindungi oleh perda ini dia mengatakan biarpun sudah
ada perda yang mengatur mengenai keberadaa toko moderen tetap saja toko
moderen itu keleluasaan untuk dibuka di kabupaten majene dan malah jumlahnya
terus bertambah
“biarpun sudah ada perda yang mengatur mengenai keberadaan toko
moderen tetap saja toko moderen ini leluasa untuk berdiri di kota majene
hal ini pun membuat saya dan mungkin para pedagan lain mengalami