uletinILWI ( Indonesian Land reclamation & Water management Institute), adalah sebuah lembaga kajian dibidang reklamasi dan pengelolaan air. Lembaga ini berupaya untuk menyebarkan informasi dan pengetahuan di bidang reklamasi & pengelolaan air kepada masyarakat. Salah satunya dengan penerbitan bulletin. Buletin ini kami kirimkan secara gratisTulisan, saran dan pemberitaan media menjadi bagian dari isi buletin ini. Alamat : Jl. Rajawali II No. 5A Manukan, Condong Catur Yogyakarta 55283 atau P.O. Box 7277/JKSPM Jakarta Selatan 12072 Email :[email protected]Runtuhnya Tanggul Situ Gintung No : 02-2009 April 2009
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Pengantar RedaksiPembaca yang budiman, berita tidak enak datang dipengujung
musim penghujan kali ini. Situ yang seharusnya menjadi penyelematwarga dari masalah banjir justru mengalami kegagalan teknis. Jutaanmeter kubik air mengalir cepat , merangsek hingga ke dalam rumah-rumah penduduk. Akibatnya fatal, tak hanya rumah dan harta bendayang hilang, bahkan puluhan nyawa manusia juga melayang sia-sia.
Kami turut merasa belangsukawa dan mengucapkan turutberduka cita atas meninggalnya beberapa warga Tangerang, Banten,yang menjadi korban jebolnya Situ Gintung, di Cireundeu, Tangerang.Kita sesali kejadian tersebut.
Pembaca, berkaitan dengan runtuhnya tanggul Situ Gintung,Buletin ILWI kali ini, akan membahas tentang kegagalan tanggultersebut, mengapa musibah tersebut bisa terjadi. Kami jugamelengkapinya dengan membahas upaya-upaya kesiapasiagaan danmitigasi terhadap bencana, yang bagi kebanyakan masyarakat kitabelum menganggap serius masalah ini. Dimana hal ini juga terlihatdalam kasus jembatan Situ Gintung.
Disamping mengangkat permasalahan Situ Gintung, kami jugamenampilkan artikel lainnya yang berkaitan dengan banjir ataumanajamen air. Seperti usaha mencari jalan menuju Jakarta bebasbanjir , tanggul penahan badai di New Orleans, Amerika Serikat,penahan air dari air dan lai-lain. Pembaca, selamat menikmati buletinedisi ini.
Besarnyanya jumlah korban akibat jebolnya Tanggul Situ Gintung, membuat banyak orang terperanjat.Disamping masalah teknis, kesiapsiagaan menghadapi bencana tersebut memang dipertanyakan. Perlu ada upaya untuk mempersiapkan warga dalam menghadapi bencana semacam ini.
Jumat pagi, 27 Maret 2009, sebagian warga baru
menyelesaikan Sholat Subuh di Masjid Jabarul Rohmah.
Saat beberapa orang mulai beranjak dari Masjid, yang
jaraknya hanya sekitar seratus meter dari mulut Tanggul
Situ Gintung, itu, mendadak suara gemuruh yang diiringi
dengan aliran air, datang tepat ke arah Masjid. Warga
pun berlari menyelamatkan diri.
Tepat di depan Masjid air dengan jumlah besar
itu, terbelah menjadi dua. Meski tak membuat Masjid
ambruk, air tak tertahankan bergerak liar merangsek
bangunan di kiri kanannya. Beberapa warga kalang kabut
keluar dari rumahnya, sayangnya sebagian lagi justru tak sempat menyelamatkan diri, mereka pun hanyut terbawa
air. Memilukan, beberapa orang yang hanyut justru
disaksikan sendiri oleh keluarganya.
Masyarakatpun mulai menyoroti kelemahan dari
tanggul ini, sehingga tak mampu menahan tekanan air
yang semakin banyak. Kontroversi mengenai kekuatan
struktur, nyaris membuat orang lupa akan perlunya
memperhatikan kesiapsiagaan warga setempat dalammenghadapi bencana. Padahal jika masyarakat setempat
sedikit lebih awas terhadap kemungkinan robohnya
tanggul tentu jumlah korban tak sebesar ini.
Sedikit melihat kebelakang, pascakeluarnya
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang
Penanggulangan Bencana, perhatian terhadap usaha-usaha
menanggulangi bencana sebenarnya sudah mulai
meningkat. Meski masih terbatas tapi gaungnya sudah
mulai kelihatan.
Dalam menghadapi masa-masa pasca bencana,
dalam hal ini situasi tanggap darurat, pemerintah dan
pemangku kepentingan lain juga telah bisa bertindak
lebih sigap dan terkoordinasi. Penyelamatan korban,pengobatan dan bantuan lebih cepat bisa dilakukan.
Sehingga korban bisa lebih cepat tertangani.
Sayangnya untuk urusan pra bencana, kelihatan
benar perhatian terhadap hal ini sangat minim sekali.
Bagaimana mungkin orang membangun rumah di
bantaran sungai yang letaknya hanya beberapa puluh
meter di dekat pintu air yang berfungsi sebagai tempat
pelimpasan air. Secara kasat mata memang bisa dilihat,
betapa mulut tanggul yang berada di Kampung Gintung,
Cirendeue, Kecamatan Ciputat Timur, cukup tinggi. Jauh
melebihi tinggi rumah yang disapu air ketika tanggul
tersebut jebol. Ini sangat terkait dengan mitigasi bencana.
Hal lain yang juga perlu diperhatikan adalah
kesiapsiagaan menghadapi bencana. Jika melihat dariberbagai cerita di berbagai media dan beberapa kesaksian
warga, terlihat memang warga tak cukup maksimal
menyikapi tanda-tanda akan adanya bencana.
Sebagaian warga sudah mulai curiga dengan
banyak jumlah air di situ tersebut, apalagi sudah terdengar
bunyi krek di sekitar tanggul. Kebanyakan warga tak
tanggap akan tanda-tanda tersebut, mungkin mereka
meanggap hal itu adalah hal kejadian biasa. Maklum,
kolam air raksasa itu sudah sekitar 77 tahun bertetangga
dengan mereka. Akibatnya kepekaan terhadap perubahan
yang terjadi menjadi sangat kecil, begitu air datang tak
terbendung, warga pun kalang kabut menyelamatkan diri.
Ketidaksiapan warga ini sekaligus menunjukkan
bahwa kebanyakan dari kita hanya menganggap gempa
dan tsunami saja, sebagai bencana besar. Perhatian untuk
melakukan kesiapsiagaan dan mitigasi tercurah kepada
Pada dinihari Jumat 27 Maret tanggul Situ Gintung runtuh. Tanggul yang dibangun pada tahu 1932 ini, pada awalnya mempunyai luas 31 ha, namun seiring dengan berjalannya waktu luas situ ini berkurang menjadi 21 ha.Kapasitas waduk ini 1.5 juta meter kubik air dan khabarnya pada saat kejadian menampung sebanyak sekitar 2 juta meter kubik air.
Kronologis kejadian
Mengutip beberapa laporan media yang ada, beberapa
kejadian penting sebelum peristiwa runtuhnya Situ
Gintung
Kamis 26 maret, pkl 16.00 WIB
Hujan deras disertai es dan angin kencang melanda
kawasan Jakarta Selatan dan sekitarnya, termasuk wilayah
Ciputat dan Cirendeu
Kamis 26 Maret, pkl 23.00 WIB
Warga mulai mendengar suara gemuruh dari arah tanggul
Kamis 26 Maret, pkl 24.00 WIB
Beberapa warga mulai berbenah dan siaga
Jumat 27 Maret, pkl 04.00 WIB
Warga mulai mendengar suara gemuruh lebih keras dari
sebelumnya. Suara berasal dari arah tanggul.
Jumat 27 Maret, pkl 05.00 WIB
Tanggul telah jebol dan air sudah menerjang Kampung
Situ RT 1/8 Cirendeu, Ciputat, Tangerang bantenargamulai mendengar suara gemuruh lebih keras dari
sebelumnya.
Kondisi struktural situ di Jabodetebak
Seperti diketahui situ ini adalah peninggalan
zaman Belanda, yang didirikan sekitar tahun 1930’an.
Disela kunjungannya ke negeri Belanda, Wakil Presiden Jusuf Kalla berkesempatan untuk membicarakan
permasalahan banjir diJakarta dengan counterpartnya di negeri kincir angin tersebut. Kunjungan itu untuk mempererat kerjasama dalam penanggulangaan banjir ini.
Sebelumnya telah berkunjunga ke Jakarta, Wakil Menteri
Transportasi dan Pengelolan Air, Mrs. J.C. Huizinga-
Heringa. Bekas anggota parlemen Belanda pernah
mengunjungi Indonesia sewaktu menjadi anggota
parlemen Belanda dan pernah mengunjungi Kalimantan
untuk melihat situasi bekas lahan sejuta hektar yang oleh
beberapa kalangan disebut-sebut sebagai pemberi andil
bagi meningkatnya efek rumah kaca.
Dalam kunjungan kali ini, dilakukan sejumlah
pembicaraan dengan pihak kemeterian Pekerjaan Umum
dan kementerian Lingkungan Hidup Indonesia. Dari
pembicaraan dan diskusi tersebut disepakati untuk
melakukan kerjasama di sejumlah bidang yang berkaitan
dengan masalah pekerjaan Umum khusunya pengeloaaan
air dan maslaah lingkungan hidup.
Dalam kesempatan kunjungan ini, pemerintah belanda
menyerahkan dua buah ’floating buldozer’ untuk
pemerintah provinsi DKI Jakarta. Kedua alat diserahkan
dalam seremni yang dilakukan di balai Kota Gubernur
DKI pada tanggal 20 Janurai 2009..
Seromoni penyerahan ’floating buldozer’ di Balai Kota’
SURAT PEMBACARedaksi ILWI menerima beberapa surat dari pembaca. Beberapa surat/email pembaca yang kami terima berasal dari:
- Bp Anwari (Kalimantan Selatan)
- Bp. Kushariadi (Jakarta)
- Bp. Nurrachman W (Bandung)
- Bp Lugiman (Bekasi)- Bp. Gerard Pichel (Dhaka, Bangladesh)
- Bp Hermono Budinetro (Solo)
- Bp Adi Purwanto (Jakarta)
- Bp ZZA Dengkeng (Rotterdam, Belanda)
- Bp Rudianto Handojo (Jakarta)
- Bp Teguh Kriswanto (Jakarta)
- Bp Ayub Sulaiman Pulungan (Jakarta
- Bp Wim Lattuputy (Apeldoorn, Belanda)
- Dll
Redaksi mengucapkan terima kasih atas perhatian dan dukungan, serta kesediaan untuk memberikan masukan/tulisan
yang kiranya bermanfaat bagi peningkatan kwalitas isi buletin ini.
Banjir di Jakarta memiliki sejarah yang panjang. Selain faktor-faktor alam, masalah banjir ini berkaitan erat dengan laju urbanisasi dan tidak adanya pengembangan dan perbaikan fasilitas drainase yang seimbang. Pada tahun 1948 jumlah penduduk di Jakarta sekitar 1,2 juta orang. Dalam master plan drainase Jakarta, yang pertama yang dirumuskan oleh NEDECO 1973, dilaporkan bahwa kepadatan penduduk waktu itu sudah mencapai 5 juta orang.Jumlah ini meningkat menjadi 10 juta di tahun 1996 (NEDECO 1996) dan pada tahun 2000 meningkat lagi menjadi 12 juta sampai 13 juta pada siang hari (SAPI 2004). Llaju urbanisasi berdampak, pada peningkatkan banjir, akibat tidak tertampungnya aliran runoff, perkembangan sistem drainase semakin tidak bisa berpacu mengimbangi perubahan-perubahan yang terjadi.
Tulisan ini mengulas secara ringkas mengenai konsep-
konsep penanggulangan banjir yang direkomendasikan
oleh beberapa studi terdahulu . Juga akan diberikangambaran mengenai permasalahan yang berkaitan dengan
timbulnya masalah banjir yang berulang dengan frekuensi
yang lebih sering ini.
Menghadapi persoalan (baca:tantangan) ini diperlukan
pola pendekatan baru yang lebih melibatkan publik
sebagai stakeholders (pemangku kepentingan). Kerjasama
yang erat antar stakeholders menjadi prasyarat
keberhasilan penanggulangan banjir.
Konsep studi terdahulu
Van Breen & Banjir Kanal Barat
Kesadaran perlunya diambil tindakan penanggulangan
banjir sudah ada sejak lama. Pada tahun 1918, Prof. Ir. H.Van Breen merencanakan untuk Banjir Kanal Barat
(BKB). Banjir Kanal Barat (BKB) dibangun pada tahun
1920, mulai dari sungai Ciliwung melingkar ke Barat yang
pada waktu itu merupakan bagian utama kota. Terjadi
perbaikan sistem pengendalian banjir, namun tidak adanya
saluran sejenis untuk mengalihkan banjir di wilayah Timur
kota menyebabkan wilayah Timur tersebut tetap banjir
akibat luapan sungai-sungai yang berasal dari luar kota.
Satgas khusus pada 1965
Pada bulan Pebruari 1965, satuan tugas khusus dibentuk
oleh Pemerintah Pusat, dalam hal ini Departemen
Pekerjaan Umum dan Tenaga Listrik melalui suratKeppres untuk membantu Pemerintah Kota Jakarta
mengatasi masalah banjir yang tertuang dalam Rencana
Pengembangan untuk Jakarta Raya.
Setelah banjir besar pada Pebruari 1970, bantuan teknis
diberikan oleh Pemerintah Belanda atas permintaan
Pemerintah Indonesia. The Master Plan for Drainage and
Flood Control of Jakarta oleh NEDECO 1973 merupakan
hasil dari inisiatif tersebut.
NEDECO 1973
Pengendalian banjir didefinisikan oleh NEDECO 1973
sebagai upaya mengalihkan banjir dari sungai-sungai dan
mencegahnya mengalir ke dalam wilayah kota. Drainase
ini diartikan sebagai upaya evakuasi runoff pada saat
hujan lebat yang terjadi di wilayah kota tersebut untuk
bisa mengalir dengan lancar ke dalam saluran pengalihan
banjir.
NEDECO 1973 merekomendasikan rehabilitasi sistem
drainase yang ada untuk penyaluran runoff secara efisien,dan upaya-upaya yang spesifik untuk mengendalikan
banjir. Upaya pertama dalam pengendalian banjir adalah
usulan pembangunan Banjir Kanal Timur (BKT) dari
sungai Cipinang ke arah Timur sebagai penampung dan
pengalih banjir dari sungai-sungai Cipinang, Sunter,
Buaran, dan Cakung. Selain itu direkomendasikan
pelebaran saluran BKB pada titik belokan ke utara ke
sungai Angke di Pesing, untuk menampung banjir dari
sungai Grogol dan Sekretaris.
Pada daerah diantara BKB dan BKT direkomendasikan
untuk dibangun waduk/polder (empolderment), untuk
mengatasi masalah banjir di berbagai area terisolasi yangmengalami proses penurunan tanah.
Berdasarkan Master Plan NEDECO 1973, Jakarta dibagi
menjadi 6 zona drainase yang sebagian besar meliputi
daerah dataran rendah di Jakarta (termasuk Banjir Kanal
Barat dan Banjir Kanal Timur). Peta dari pembagian zona
Pembangunan tanggul penahan badai New Orleans di Amerika Serikat dimulai awal tahun ini. Tanggul sepanjang
3 km harus sudah selesai pada musim panas tahun ini, sebelum musim orkan datang lagi. Sebuah rencana yang ketat.
Agar bencana sebagaimana yang diakibatkan olehKatrina di tahun 2005 tidak terulang kembali, US Army Corps of engineer mendapat tugas dariKongres Amerika untuk membangun sebuah tanggulpenahan banjr di New Orleans. Sebelum musimorkan 2009, konstruksi itu diharapkan mampu untukmenahan kemungkinan bencana yang diakibatkanorkan berikutnya.
Realistiskah rencana ini? Tampaknya tidak.Namun target ini, kemungkinan dapat jugadirealisasikan, setidaknya itu menurut keyakinanbeberapa insinyur Belanda yang terlibat dalamperencanaan dan pelaksanaan proyek ini. . Tempo
pembangunan yang ditargetkan sedemikian cepatini, memaksa pelaksanaan dan disain harusdilakukan secara terintegrasi. Pelaksaan dimulai,sambil disain disempurnakan, menuju disain yangdefinitif.
Proyek New Orleans ini yang diharapkan bisamemberikan keamanan yang memadai bagimasyarakat sekitar, meiputi pembangunan tanggulyang besar maupun kecil, penguatan 500 km tanggul(dike) dan pemasangan stasion pompa.Storm barrier, yang sedang dikerjakan di timur neworleans oleh kontraktor Shaw diperkirakan akanmenelan biaya sebesar 700 juta dolar.
Penahan air Gulf Intecoastal Waterway (GIWW)
Penahan Bayaou Bienvenue mempunyai alur seleba 17 m