PENDAHULUAN (Oleh: Sarwiyono) Latar belakang Kebutuhan akan bahan pangan khususnya yang berasal dari susu dan daging serta telur dari tahun ketahun selalu meningkatkan sejalan dengan makin meningkatnya jumlah penduduk, tingkat pendidikan, kesadaran masyarakat akan peranan zat- zat makanan khususnya protein bagi kehidupan. Kebijaksanaan pemerintah untuk memacu peningkatan produksi susu di dalam negeri antara lain melalui program pengembangan usaha ternak sapi perah yang didukung oleh penyediaan dana melalui paket kredit dan pembinaan pada petani peternak sapi perah. Sebagai salah satu perwujudan dari kegiatan tersebut adalah pemberian paket kredit untuk mendapatkan ternak bibit baik yang berasal dari dalam negeri maupun yang berasal dari negeri serta digalakkannya program inseminasi buatan dengan bibit unggul. Upaya-upaya tersebut diatas akan dapat memberikan hasil yang memadai apabila didukung oleh kemampuan para peternak dalam hal melakukan pengelolaan pada ternak peliharaannya, serta dukungan penyediaan dan Sarwiyono: ILMU PRODUKSI TERNAK PERAH 1
66
Embed
ILMU PRODUKSI TERNAK PERAH - Student Blogblog.ub.ac.id/.../10/ILMU-PRODUKSI-TERNAK-PERAH-2013.docx · Web viewDemikian pula sapi pada waktu birahi terdapat perubahan faal yang mempengaruhi
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
PENDAHULUAN
(Oleh: Sarwiyono)
Latar belakang
Kebutuhan akan bahan pangan khususnya yang berasal dari susu dan
daging serta telur dari tahun ketahun selalu meningkatkan sejalan dengan
makin meningkatnya jumlah penduduk, tingkat pendidikan, kesadaran
masyarakat akan peranan zat-zat makanan khususnya protein bagi
kehidupan.
Kebijaksanaan pemerintah untuk memacu peningkatan produksi
susu di dalam negeri antara lain melalui program pengembangan usaha
ternak sapi perah yang didukung oleh penyediaan dana
melalui paket kredit dan pembinaan pada petani peternak sapi perah. Sebagai
salah satu perwujudan dari kegiatan tersebut adalah pemberian paket kredit
untuk mendapatkan ternak bibit baik yang berasal dari dalam negeri
maupun yang berasal dari negeri serta digalakkannya program inseminasi
buatan dengan bibit unggul. Upaya-upaya tersebut diatas akan dapat
memberikan hasil yang memadai apabila didukung oleh kemampuan para
peternak dalam hal melakukan pengelolaan pada ternak peliharaannya, serta
dukungan penyediaan dan prasarana seperti pemasaran hasil, penyediaan
pakan yang bermutu dan pencegahan serta pemberantasan penyakit. Ketram-
pilan peternak didalam melakukan pengelolaan pada usaha ternak perah
tersebut perlu makin ditingkatkan agar dapat memberikan lingkugan yang
mendukung yang diperlukan oleh ternak untuk berproduksi sesuai dengan
potensi genetiknya. Hal ini mengingat bahwa sebagian besar sapi perah yang
dipelihara oleh petani peternak berasal dari negara-negara yang mempunyai
suhu lingkungan sejuk dengan mutu pakan yang baik. Oleh karena itu,
upaya untuk menciptakan lingkungan yang sesuai dengan kebutuhan ternak
perah tersebut sangat penting mengingat bahwa lingkungan pemeliharaan
sapi perah di Indonesia cukup beragam mulai lingkungan yang bersuhu udara
yang cukup panas di daerah sekitar pantai sampai ke daerah pegunungan
yang sejuk tetapi kelembaban udaranya masih cukup tinggi. Intensitas
Sarwiyono: ILMU PRODUKSI TERNAK PERAH 1
terjadinya penyakit dan parasit pada kondisi lingkungan yang lembab dan
hangat tersebut cukup tinggi sehingga hal ini juga merupakan suatu
kendala di dalam upaya meningkatkan produksi susu. Keadaan ini menjadi
serius dengan adanya pasokan pakan yang kurang teratur ditinjau dari jumlah
maupun mutu yang dengan sendirinya akan berpengaruh ketahanan ternak
terhadap serangan penyakit dan parasit yang selanjutnya mempengaruhi
penampilan produksi ternak.
MASALAH LINGKUNGAN TERNAK DI DAERAH TROPIS
Usaha pengembangan ternak perah di daerah tropis umumnya
mengalami beberapa hambatan terkait dengan kondisi lingkungan di mana
ternak tersebut dipelihara (Lihat gambar 1).
Lingkungan tropis umumnya mempunyai ciri suhu udaranya hangat
dan lembab. Keragaman dari suhu udara lingkungan sangat rendah tetapi
makin menjauhi equator keragaman ini makin tinggi khususnya di daerah
yang lebih kering. Pada daerah yang letaknya cukup tinggi dari permukaan
laut maka suhu udaranya lebih dingin dengan perubahan yang lebih
nyata antara
SINAR MATAHARI JUMLAH DAN MUTU PAKAN
KONDISI SIFAT FISIK PAKAN
CURAH HUJAN KONSUMSI & EFISIENSI PENGGUNAAN PAKAN
ANGIN
PENYAKIT PANAS YG DIPRODUKSI ATAU YANG HILANG
PENAMPILAN TERNAK
Gambar 1. Faktor lingkungan yang berpengaruh pada ternak.
[Type text] [Type text] [Type text]2
malam dan siang hari. Tempat dengan ketinggian antara 300 sampai 1520
meter diatas permukaan laut umumnya cocok untuk usaha sapi perah yang
umumnya berasal dari daerah tempe-rate (Bos taurus). Daerah tropis yang
terletak antara 7oC Lintang Utara dan Selatan umumnya mempunyai rataan
suhu udara lingkungan 27o C dengan curah hujan yang tinggi antara 2000
sampai 3000 mm/tahun dan kelemban udara yang tinggi, makin jauh dari
garis khatulistiwa maka curah hujannya makin rendah (Chamberlain, 1989).
Keadaan semacam ini dapat menimbulkan resiko yang cukup besar bagi
berjangkitnya berbagai penyakit dan parasit. Tingginya kelembaban udara
lingkungan dapat menghambat mekanisme pelepasan panas tubuh atau
penurunan beban panas yang dapat menimbulkan apa yang disebut heat
stress yang menurunkan produksi dan reproduksi ternak (Mc Dowell, 1972).
Produksi hijauan di daerah ini sekalipun cukup tinggi tetapi biasanya
kandungan serat kasarnya tinggi (termasuk di dalamnya kandungan ligninnya)
dan rendah kandungan energi dan proteinnya. Hal ini akan menurunkan
kemampuan ternak didalam mengkonsumsi ransum yang disediakan
peternak, yamg tentunya akan mempengaruhi pasokan zat-zat makanan untuk
menunjang produksi. Di daerah arid perubahan suhu lebih nyata dapat
berkisar antara 0 sampai 52o C dengan curah hujan yang sulit diprakirakan
dan tidak jarang hanya mencapai 50 mm/tahun. Persediaan pakan dan air
sangat terbatas demikian pula naungan untuk ternak (Chamberlain, 1989).
Hal-hal semacam ini kiranya perlu diketahui terlebih dahulu bagi mereka
yang akan berusaha dalam bidang ternak perah terutama yang menggunakan
bibit ternak dari daerah temperate yang mungkin menuntut yang sangat baik
dalam hal pakan, perkandangan dan pengelolaan lainnya. Peternak selaku
pengelola atau manajer dalam usaha peternakannya perlu memiliki
pengetahuan atau pengalaman dan ketrampilan yang cukup agar dapat
mengelola peternakan sapi perahnya secara bijaksana dalam arti dapat
memanfaatkan sumberdaya alam, modal, teknologi dan manusia yang ada
secara efesien dan efektif. Untuk itu peternak perlu mengetahui faktor apa
Sarwiyono: ILMU PRODUKSI TERNAK PERAH 3
saja yang dapat mempengaruhi penampilan produksi susu baik ditinjau
dari jumlah maupun mutunya, sebagaimana yang diuraikan dibawah ini.
BAB 1. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PRODUKSI TERNAK PERAH
(Oleh: Sarwiyono)
1.1. Genetik
Faktor genetik merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi produksi susu
yang diturunkan dari tetua ke generasi berikutnya dengan besaran (heritability)
yang berbeda untuk beberapa sifat produksi demikian pula hubungan antar
sifat tersebut. Sebagai contoh dapat dilihat pada komposisi susu dan bangsa
berikut:
A. Komposisi susu:
Heritability Korelasi antar
% lemak 0.58 % Lemak dan % Protein r= .45 to .55
% Protein 0.49 % Lemak dan % SNF r= .40
% Laktose 0.55 % SNF dan % Protein r= .81
Prod. Susu 0.27 Prod. susu dan % Fat r= -.15 to -.30
Prod. susu dan % SNF r= -.10
Prod. susu dan % Protein r= -.10 to -.30
(SNF is Solids-Not-Fat)
B. Perbedaaan bangsa
– Lemak bervariasi kadarnya dalam susu sementara mineral dan lactose
relatif tetap. Perbedaan individu dalam bangsa kadang lebih besar dari
perbedaan antar bangsa .
C. Diameter globula lemak susu
– Diameter globula lemak susu bervarasi dari 1 sampai 10 microns. Sapi
Guernseys paling besar ukuran globulanya kemudian Holsteins dan
[Type text] [Type text] [Type text]4
Ayrshire paling kecil. Secara umum semakin tinggi kadar lemak susu
maka makin besar ukuran globulanya dan makin lanjut laktasinya makin
kecil ukuran globulanya.
D. Carotene
– Caroten merupakan precursor vitamin A, dan merupakan pigment
kuning. Sapi Guernsey dan Jersey mengkonversi carotene jadi vitamin
jauh lebih sedikit dari bangsa sapi perah lain. Jadi susu dari sapi
Guernsey dan Jersey berwarna kuning sebagai akibat excretion dari ß-
carotene dalam lemak susu. Holsteins lebih efisien dalam mengkonversi
carotene menjadi vitamin A. Jadi susu dari kedua bangsa tadi
menghasilkan vitamin A setara dengan susu dari bangsa sapi lain
1.2. Tingkat Laktasi dan Persistency
Colostrum vs. Milk
Colostrum itu dihasilkan dalam ambing segera setelah sapi beranak,
komposisinya sangat jauh berbeda dari susu normal. Tiga sampai 5 hari
setelah beranak terjadi perubahan komposisi dari colostrums menjadi susu
normal. Colostrum kandungan total solidnya tinggi demikian pula
immunoglobulins, sebagai pasif anti bodi yang dimanfaatkan pedet untuk
menanggulangi gangguan berbagai macam organisme penyakit. Pedet harus
mengkonsumsi colostrums segera setelah dilahirkan utamanya 24 jam pertama
dari kelahirannya sebab setelah waktu itu enzyme dalam alat pencernakan
pedet akan mendegradasi antibody dan permeabilitas dari usus terhadap
antibody tersebut turun. Lactose dalam colostrum lebih rendah dari yang ada
dalam susu normal sementara fat dan casein percentagenya bervariasi. Kadar
lactose yang tinggi dalam susu dapat menimbulkan mencret pada pedet oleh
karena itu rendahnya lactose dalam colostrum ini mungkin dalam rangka
mencegah terjadinya mencret pada pedet
Calcium, magnesium, phosphorus, dan chloride tinggi kadarnya dalam
colostrum, tetapi potassiumnya rendah. Zat besi (Iron) jumlahnya 10 sampai
17 lebih besar dalam colostrum dari susu normal. Zat besi yang tinggi
Sarwiyono: ILMU PRODUKSI TERNAK PERAH 5
kadarnya tadi penting untuk mendukung peningkatan hemoglobin dalam butir
darah merah pedet yang baru dilahirkan. Colostrum merupakan sumber
vitamin A yang sangat baik bagi hewan yang baru lahir untuk menghadapi
berbagai tingkat serangan penyakit. Kadar vitamin A pada colostrums 10 kali
lebih banyak sedang vitamin D nya 3 kali lebih banyak dari susu normal.
Salah satu bangsa ternak perah yang cukup terkenal sebagai penghasil susu
segar di Indonesia adalah sapi Holstein Friesian.
Sapi ini berasal dari Eropa
yaitu negeri Belanda khususnya di North Holland dan Friesland di dekat
Zuider Zee. Ternak asli berwarna belang hitam putih dari Batavians dan
Friesians. Selama bertahun-tahun Holsteins diternakkan dan di seleksi untuk
mendapatkan ternak dengan kemampuan memanfaatkan rumput dengan baik
dan berproduksi susu tinggi. Sapi ini mulai masuk Indonesia sejak awal abat
19 pada zaman pendudukan Belanda, dimana pada waktu itu sangat
dibutuhkan tersedianya susu segar untuk memenuhi kebutuhan masyarakat
Belanda, Cina dan bangsa pendatang lainnya. Lokasi peternakan sapi perah
tersebut umumnya didaerah dataran tinggi yang bersuhu lingkungan sejuk dan
dekat dengan aktivitas konsumen atau pasar misalnya Malang ( untuk Batu-
Pujon) dan Pasuruan (untuk Nongkojajar) serta Semarang-Surakarta-
Yogyakarta (untuk Ungaran Salatiga dan Boyolali), Jakarta (untuk Bandung-
Baturaden) .
[Type text] [Type text] [Type text]6
Mutu susu sapi mengalami perubahan pada saat beranak (colostrum) hingga
menjadi susu normal (segar) sebagaimana dapat dilihat di Tabel 1 berikut.
Produksi susu dari seekor ternak perah disamping dipengaruhi oleh faktor
genetik maka faktor lain yang tidak kecil peranannya adalah faktor
lingkungan. Penjabaran lebih lanjut dari kedua faktor tadi dapat pula disebut
sebagai faktor internal dan faktor eksternal dimana factor tadi dapat
berinteraksi untuk dapat menimbulkan pengaruh yang dapat kita amati.
Sebagai suatu contoh sinar matahari sebagai faktor eksternal dapat
menimbulkan pengaruh secara langsung pada ternak namun juga secara tidak
langsung misalnya sinar matahari tersebut berpengaruh pada mutu dan
SRW- hijauan yang dihasilkan oleh suatu wilayah maupun perkembangan
Sarwiyono: ILMU PRODUKSI TERNAK PERAH 7
Tabel 1. Perubahan komposisi kolostrum dan susu segar
Pemerahan ke 1 2 3 Susu Normal
Berat jenis 1.056 1.040 1.035 1.032
Total Solids (%) 23.9 17.9 14.1 12.9
Protein, % 14.0 8.4 5.1 3.1
Casein, % 4.8 4.3 3.8 2.5
IgG, g/L 48.0 25.0 15.0 0.6
Lemak, % 6.7 3.9 4.4 5.0
Lactose, % 2.7 3.9 4.4 5.0
pada bibit penyakit ataupun parasit yang pada gilirannya nanti juga akan
berpengaruh pada kesehatan ternak dan ini dapat gangguan fisiologis yang
berpengaruh pada produksi ternak.
Kandungan atau komposisi dari susu itu sebagian adalah selalu tetap
setiap harinya tetapi beberapa bagian mengalami perubahan yang cukup
berarti. Salah satu faktor yang dapat menimbulkan pengaruh pada komposisi
susu adalah jumlah produksi yang dihasilkan pada suatu pemerahan. Faktor
yang lain yang dapat mempengaruhi komposisi susu dapat berupa pengaruh
tak langsung yang dapat menimbulkan perubahan jumlah produksi susu.
Tetapi masih banyak pula hal-hal lain yang dapat mempengaruhi komposisi
susu yang belum dapat dijelaskan secara rinci apa yang menjadi
penyebabnya. Sebagai contoh terjadinya perubahan kadar lemak susu yang
kadang-kadang mencapai 30% dimana hal tersebut belum dapat dijelaskan
oleh para ahli. Namun para ahli sependapat bahwa jumlah dan komposisi
susu itu merupakan suatu interaksi antara elemen-elemen yang ada dalam
tubuh ternak dengan lingkungannya. Dengan kata lain penampilan produksi
ternak itu ditentukan oleh interaksi antara faktor internal (genetik) dan
lingkungan (Foley dkk.,1972). Uraian berikut akan menjelaskan tentang
beberapa faktor yang berpengaruh pada jumlah dan mutu produksi susu .
Telah diketahui bersama bahwa setiap bangsa atau species ternak perah
mempunyai kemampuan didalam menghasilkan sejumlah produksi susu
dengan kandungan lemak tertentu. Sapi yang memiliki bakat keturunan
[Type text] [Type text] [Type text]8
yang tinggi akan menurunkan sifat tersebut pada keturunannya. Besar
kecilnya sifat yang dapat diturunkan beragam untuk setiap sifat dan
umumnya hanya berkisar antara 20 sampai 30 prosen
Faktor genetik walaupun tidak cukup besar peranannya pada produksi yang
ditampilkan tetapi sifat ini diturnkan ke generasi berikutnya, selanjutnya
dipengaruhi oleh faktor lingkungan sebesar 70 sampai dengan 80 persen. Jadi
sapi-sapi yang mempunyai catatan produksi air susu yang tinggi ( baik sapi
betina maupun sapi jantan) berpeluang mempunyai keturunan dengan
kemampuan produksi yang tinggi pula, atau bangsa dari sapi perah yang
besar mempunyai kemampuan berproduksi air susu lebih banyak, jika
dibandingkan dengan bangsa sapi yang kecil serta untuk setiap individu pada
bangsa yang sama mempunyai perbedaan jumlah produksi air susu, serta
kualitas air susu terutama mengenai kadar lemaknya. Hal tersebut dapat
dilihat dalam Tabel 2. Dari data pada tabel tersebut dapat dilihat bahwa
kadar lemak mempunyai kisaran yang cukup besar sedangkan mineral
dan laktosa perubahannya sangat kecil. Perbedaan di dalam gene yang
mengontrol jumlah dan komposisi susu umumnya diperhitungkan dalam
rataan perbedaan antar bangsa ternak. Dalam suatu bangsa ternak masih
dapat dijumpai adanya perbedaan yang cukup besar dan hal inilah nantinya
memberikan peluang bagi pembibit (breeder) untuk melakukan seleksi
dalam satu bangsa ternak perah. Beberapa sapi FH (Friesian Holstein)
mungkin masih dapat dijumpai mampu menghasilkan produksi susu
dengan kadar lemak sampai 5 % dan beberapa ekor sapi Jersey hanya
menghasilkan susu dengan kadar lemak sebesar kadar lemak rata-rata dari
FH. Oleh karena itu diharapkan bahwa apabila kita menginginkan sapi-sapi
yang dapat memberikan keturunan yang mampu menghasilkan kuantitas
produksi susu yang tinggi maka bangsa sapi FH adalah pilihan
yang tepat, dan bila sasaran kita pada kadar lemak susu maka bangsa Jersey
paling sesuai. Selanjutnya bila kita ingin mendapatkan susu yang mempunyai
Sarwiyono: ILMU PRODUKSI TERNAK PERAH 9
ukuran globula lemak yang kecil garis tengahnya maka pilihan kita paling
tepat adalah susu yang dihasilkan oleh bangsa sapi FH dan Ayrshire
demikian pula sebaliknya adalah sapi Guernsey. Dengan kata lain berlaku
Tabel 2. Rataan komposisi air susu dari berberapa bangsa sapi perah asal daerah temperate
Bangsa Lemak SNF Protein Laktose Abu Produksi susu2 x pemerahan
% % % % % (305 hari) (kg)
Jersey 5,2 9,6 3,7 4,7 77 4.010,4
Guernsey 4,8 9,2 3,5 4,8 75 4.363,3
Ayrshire 4,0 8,7 3,3 4,6 72 5.033,7
Brown Swiss 4,1 9,0 3,2 4,8 72 5.528,0
Holstein 3,6 8,5 3,1 4,6 73 6.316,2
Diolah dari Foley,et al (1972).
[Type text] [Type text] [Type text]10
Oleh karena itu kita perlu pula mempertimbangkan potensi sapi perah asal
daerah tropis seperti yang ditampilkan pada Tabel 3, dimana nampak
bahwa beberapa sapi daerah tropis mampu menunjukkan penampilan yang
cukup baik bila diberi lingkungan dan pakan yang baik, sehingga untuk
itu perlu dilakukan pengkajian lebih saksama dalam penentuan bibit ternak
yang akan dipelihara pada suatu lokasi. Hal ini mengingat bahwa
kelestarian suatu usaha peternakan sapi perah khususnya banyak
dipengaruhi oleh faktor ekonomi dari pada faktor teknis produksinya.
Sebagai contoh di negara-negara Timur Tengah secara teknis pemeliharaan
ternak perah dari bangsa FH dapat dilaksanakan dengan baik tetapi apakah
secara ekonomis biaya produksinya dapat sepadan dengan harga jual dari
produk yang dihasilkan ?
Untuk itu kiranya perlu dipertimbangkan lagi bila kita akan memelihara
exotic breed, tentunya harus telah dipertimbangkan kondisi yang bagaimana
Tabel 3. Rataan komposisi air susu dari beberapa bangsa sapi perah asal daerah tropis
Bangsa Lemak Lama Beranak Selang Produksi laktasi pertama Beranak Normal Maks. ( % ) (hari) (bulan) (bulan) (liter)Damascus 4,5 - - - 1500-3000 5000
Boulanger D., F. Bureau, D. Melotte, J. Mainil and P. Lekeux, 2003. Increased Nuclear Factor-B Aktivity in Milk Cells of Mastitis-Affected Cows. J. Dairy Science.86:1259-1267.
Bradkey A.J., and M.J. Green. 2001. Adaptation of Escherichia coli to the Bovine Mammary Gland. J. of Clinical Microbiology, May 2001,p.1845- 1849,Vol.39,No.5.
Fontaine, M., J.P. Casal, X.M. Song, J. Shelford, P.J. Willson and A.A. Potter. 2002. Immunisation of Dairy Cattle with Recombinant Streptococcus uberis GapC or Chemeric CAMP Antigen Confers Protection against Heterologous Bacterial Challenge. http://www.elsevier.com/locate/vaccine. J.Vaccine20:2278-2286.
Gibbons, J.M. 1963. Disease of Cattle. Second Ed. American Veterinay Publication Inc., Drawer KK.
Gonzales, R.N., 1996. Mycoplsma Mastitis In Dairy Cattle: If Ignored, It Can Be a Costly Drain On the Milk Producer. Quality Milk Promotion Services College of Veterinary Medicine, Cornell University Ithaca. New York.
Gill,R., W.H. Howard, K.E Leslie and K. Lissmore. Economic of Mastitis Control. J. Dairy Sci. 73:11:3340e-349.
Judge, L., 1997. Mycoplasma Mastitis:An Emerging Disease in Michigan Dairy Cattle. Michigan Dairy Review:2 (2):4, may, 1997.
Mellenberger R. and J. Kirk., 2004. Mastitis Control Program for Coliform Mastitis In DairyCows. http://www.uwex.edu/milkquality/PDF/coliform mastitis.pdf.
Novita, T., 1999. Manajemen Penanganan Susu Di Koperasi Unit Desa Wajak Kecamatan Wajak Kabupaten Malang. Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya. Malang.
Soltys J. and T. Quinn. 2002. Selective Recruitment of T-Cell Subsets to the Udder During Staphylococcal and Streptococcal Mastitis: Analysis of Lymphocyte Subsets and Adhesion Molecule Expression. Infection and Immunity, December 202,p.6293-6302,Vol.67,No.12.
Surjowardojo. 1990. Hubungan Antara mastitis Berdasarkan CMT Terhadap Produksi Susu Pada peternakan Sapi Perah Rakyat di Wilayah Kecamatan Pujon. Malang.
(Baled hay with silage)-----------------------------------------------------------------------------* Modified from Hubbel (1965)
3.3. The ambient temperatureIt is important to maintain the ambient temperatures as required by groups of animals
which have per category a specific range of environmental temperature in which the
animals could live and produce comfortable ( Table 3.4). It is important to understand
that there are some variation between breed of cattle to be tolerant to such
environmental temperature (European cattle more tolerant to cold but intolerant to heat).
Concerning the upper critical temperature of cattle (as an example) is varies in
relation to the breed or the environmental where the animal originated. As an example
the upper critical temperature for Friesian and Jersey approximately 21 - 25 0 C, Brown
Swiss 30 - 32 0 C and in Brahman cattle as high as 32 0 C. Davison et. al. (1988),
reported that animals with access to shade had significantly higher (P<0.01) milk yield
than did animals without shade; however, there was a significant interaction between
yield and parity (P< 0,05) cows without shade incurred a significant (P< 0,05) decrease,
while heifer with out shade showed cows no significant (P>0.05), decrease. Sainsbury
and Sainsbury (1988) that when the temperature rise above 18 0 C in open field and 22 0
C in the open barns, some protection should be given. Provision of shade and sprinklers
in summer when maximum temperatures ranged from 30 to 33.3 0 C give up to 2.8 kg
more milk per day than shade alone.
3.4. Lay-out and construction
In designing and construction of livestock housing specialized knowledge is required
which is related to the need of the animal, the need of the farmer/human being and other
technical and socio-economic points of view. Every breed of animals have their own
behaviour and characteristic needs. Mature animals may be able to adapt at the lower
environmental temperature, while the young animal are growing better at the higher
environmental temperatures.
Table 3.4 Ambient temperatures required by livestock---------------------------------------------------------------------------------------Species Temperature range (o C) Lower
critical (o C) *) **)
Sarwiyono: ILMU PRODUKSI TERNAK PERAH 33
----------------------------------------------------------------------------------------Mature Cattle - Milk production optimum 10 to 20 -26 -13 but temperature from - 6 to 25 have little effect on yield.
Calves - at birth 10 to 15 9 17 - for veal prod. 15 to 22 -14 -1
----------------------------------------------------------------------------------*) Lower air speed (0.2 m/s)*) Draught (2 m/s)Modified from Sainsbury and Sainsbury, 1988
When new lay-outs for milk production farms are planned, general considerations
arise regarding siting in relation to other farm buildings and the best possible access.
Essential features include a suitably sheltered site with infra-structure for an ample
supply of pure water and electricity, and facilities for drainage and dung slurry disposal.
Proximity to fodder storage, both bulk and concentrates, calf accommodation, good
access for wheeled traffic, space for movement routes of the cattle, which can be kept
clean and preferably separate, are all essential factors for a good design. On the other
hand it could be said that in the location of the buildings one should consider the
following aspects:
Topography and drainage, soil type, exposure to sun and protection again wind,
accessibility, durability and attractiveness, water supply, surroundings, labour facilities,
marketing channels, electricity and other facilities
The type of lay out will further be guided by the following considerations:
1. Farm size and system of husbandry
When the farm has plenty of bulk feeds and bedding, the design will probably
require a completely different system than the small all-grass farm, where skill in
stockmanship to encourage high yields could be more important than labour cost.
2. Soil and climate
Regions which have a high rainfall and humidity need special consideration
particularly in the requirements for animal health and soil management.
3. Size related to the potential of the farm and the possibility of extension or
adaptability to the other system of husbandry if the need arise.
4. Availability of skill of management of labour.
[Type text] [Type text] [Type text]34
5. Economy in construction, use and maintenance.
6. Limitation imposed due to difficulties of waste disposal.
7. The position and appearance in relation to the surrounding landscape.
3.5. Building Material
The farmer or manager of the farm should to be able to chose the building material
which has comparable advantages above other materials, in term of price, durability,
thermal insulation capacity, easiness of cleaning, waterproof, not slippery and the
materials have to be available at any time and at reasonable price. Local materials should
be used as much as possible in order to provide material which may be available at any
time and may be more economic (especially when transportation is very expensive). As
an example, the farmer may have the option of selecting building material for walls
either from: brickwork, concrete block work, concrete walls (either pre-cast or cast in
situ), timber, metal. plywood, hardboard, asbestos, plastic or bamboo etc. The choice of
the material usually will depend on a number of factors: personal preference, degree of
strength, degree of thermal insulation, and hygienic reasoning (see Table 3.5 as an
example).
Table 3.5. Reflection and emission of radiation (in percent) of some typical surfaces.