Page 1
BAB IPENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Amerika merupakan salah satu negara yang mencoba
menjunjung nilai-nilai Hak Asasi Manusia (HAM). Menurut
Undang-Undang No.39 Tahun 1999, HAM adalah seperangkat hak
yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai
makhluk Tuhan Yang Maha Kuasa dan merupakan anugerah-Nya
yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh
hukum demi kehormatan serta perlindungan harkat dan
martabat manusia (Baehr, 1998:88).
Deklarasi Kemerdekaan Amerika Serikat tahun 1776
menyebutkan bahwa kehidupan, kebebasan, dan meraih
kebahagian adalah hak semua orang dan tidak dapat
dihilangkan. Sepuluh amandemen pertama Undang-Undang
Dasar negara Amerika Serikat disebut Bill of Rights atau
Undang-Undang Hak yang mencakup sejumlah hak asasi manusia
paling pokok (Baehr, 1998:88).
1
Page 2
Pemikiran filsuf John Locke (1632-1704) yang
merumuskan hak-hak dasar, seperti hak atas hidup,
kebebasan, dan hak atas kepemilikan terlihat jelas dalam.
Deklarasi Kemerdekaan Amerika Serikat yang dikenal dengan
Declaration Of Independence Of The United States . Revolusi Amerika
dengan Declaration of Independence tanggal 4 juli 1776, suatu
deklarasi kemerdekaan yang diumumkan secara aklamasi oleh
13 negara bagian, merupakan pula piagam hak-hak asasi
manusia karena mengandung pernyataan ''Bahwa sesungguhnya
semua bangsa diciptakan sama derajat oleh Maha Pencipta"
(Gunawan, 1993: 77-81).
Decalarations of Independence di Amerika Serikat ingin
mewujudkan Amerika sebagai negara yang memberi
perlindungan dan jaminan hak-hak asasi manusia dalam
konstitusinya. Kendatipun demikian pelanggaran HAM masih
sering terjadi, tercermin dari masih adanya diskriminasi
terhadap wanita, kekerasan, pelecehan seksual, dan
eksploitasi anak.
2
Page 3
Salah satu contoh pelanggaran hak asasi manusia yang
kemudian diangkat menjadi film “Changeling” adalah kasus
pembunuhan massal yang dikenal sebagai Chiken Coop Murders
Wineville . Kasus tersebut menjadi pusat perhatian rakyat
Amerika Serikat pada tahun 1928. Kasus ini bermula ketika
pada tanggal l2 Februari 1928, Deputi County Sheriff Los
Angeles Police Departement (LAPD) menemukan sebuah karung goni
berisi tubuh tanpa kepala di sebuah parit La Puente, LA
county California. Tersangka pembunuhan tersebut bernama
Gordon Stewart Northcot yang telah membunuh sebanyak 20
anak laki-laki.
(http://id.shvoong.com/entertainment/movies/1999933-
changeling-true-story/, diakses pada tanggal 24 Desember
2011).
Pada tahun 1920- an LAPD dikenal dengan sebutan
departemen yang korup terkenal dengan kebrutalannya.
Banyak publik tidak percaya pada departemen tersebut tetapi
tidak berani untuk melawannya. Kesatuan Kepolisian Los
Angeles pada awalnya hanya dibentuk oleh beberapa
sukarelawan untuk menjamin dan menjaga setiap penduduk Los
3
Page 4
Angeles agar menghormati hak asasi manusia masing-masing
individu, golongan serta memberikan perlindungan terhadap
masyarakat dari tindak kejahatan di kota tersebut.
Departemen ini dibuat pada tahun 1853 dengan nama Los
Angeles Ranger. Awalnya mereka mendirikan departemen suka
rela yang membantu polisi setempat atau biasa disebut
polisi daerah. Mereka sukses menjaga kota Los Angeles,
tetapi lambat laun mereka menjadi terkenal dengan
kekerasan, perjudian, dan berperilaku tidak baik dan
meresahkan masyarakat. Setelah perang dunia II semua
personil dikerahkan untuk membantu militer. Pada tahun 1926
akhirnya kesatuan itu dibuat lebih professional dan otonomi
(berdiri sendiri) dengan nama Los Angeles Police Departement
(http://id.wikipedia.org/wiki/ Los Angeles Police Departemant.
Diakses pada tanggal 24 Desember 2011).
Film merupakan salah satu media komunikasi yang
menjadi penyalur ispirasi dan aspirasi masyarakat. Kisah
penculikan dan pembunuhan anak yang dikenal dengan Chiken
Coop Murders Wineville diangkat kedalam sebuah film berjudul
“Changeling” . Film tersebut mengedepankan isu tentang
4
Page 5
pelanggaran HAM dan kisah tentang perjuangan seorang ibu
dalam pencarian anaknya yang hilang.
Naskah “Changeling” ditulis oleh J. Michael Straczynski
setelah melakukan penelitian dokumen selama enam bulan
mengenai kasus tersebut. Naskah dibeli oleh Howards Imagine
Entertainment and Universal Pictures untuk di aplikasikan
kedalam sebuah film.
Clint Eastwood’s salah satu sutradara terkenal
tertarik untuk menggambarkan kisah nyata tersebut. Clint
Eastwood’s yang memiliki nama lahir Clinton Eastwood’s Jr.
lahir di San Francisco, California Amerika pada 31 Mei 1930.
Ia dikenal sebagai sutradara, aktor, komposer, penulis dan
produser. Clint Eastwood’s mengawali karirnya dengan
membintangi film Tarantula, Francis In The Navy.
Film Unforgiven pada tahun 1992 dimana dirinya menjadi
aktor sekaligus sutradaranya, sehingga mengantarkan film
tersebut memenangkan kategori Best Picture, Best Director dan
nominasi Best Actor dari Academy Award (Oscar). Begitupun
filmnya Million Dollar Baby tahun 2004, juga meraih Best Picture,
Best Director dan nominasi Best Actor dari Academy Award (Oscar).
5
Page 6
(http://www.imdb.com/name/nm0000142/biography.html,
diakses pada tanggal 24 Desember 2011).
Film “Changeling” pertama kali diputar di Festival Film
Cannes yang ke-61 pada tanggal 20 Mei 2008. Secara global
film tersebut meraih keuntungan hingga US$ 113 juta Dollar.
Film yang menjadi nominasi dalam tiga Academy Award dan
delapan kategori dalam BAFTA Award. Film “Changeling”
mengeksplorasi tema humanisme seperti diskriminasi
terhadap hak perempuan, korupsi politik, kejahatan pada
anak, dan reaksi terhadap tindak kekerasan.
Tokoh utama film “Changeling” diperankan oleh Angelina
Jolie sebagai Christine Collins. Christine Collins adalah
seorang ibu tunggal (single parent) yang memiliki seorang anak
bernama Walter Collins. Drama pada film “Changeling” bermula
dari laporan Christine ke kantor polisi bahwa Walter
menghilang dari rumahnya. Pihak kepolisian LAPD berusaha
menemukan Walter Collins karena kasus hilangnya Walter
sudah menjadi sorotan publik.
Berita hilangnya Walter tersebut disiarkan oleh
Pastur dari gereja St. Paul’s Presbyterian yang bernama
6
Page 7
Gustav Briegleb. Gustav Briegleb adalah seorang pastur
ternama yang dikenal kritis dan menentang keras kebrutalan
dari LAPD melalui ceramah-ceramahnya yang langsung
disiarkan lewat radio lokal KGF.
Melalui kasus Christine, kepolisian ingin mengangkat
citranya kembali yang selama ini dianggap buruk oleh
masyarakat dengan ditemukannya kembali anak tersebut.
Namun usaha tersebut terancam gagal karena ternyata telah
terjadi kesalahan dalam kasus Christine. Anak yang
ditemukannya ternyata bukanlah Walter, walaupun anak
tersebut mengaku bernama Walter Collins. Kapten Jones yang
menangani kasus menganggap Christine masih shock atas
kehilangan anaknya selama lima bulan. Sehingga, ia tidak
mengenali anaknya lagi dan dianggap hanya ingin
meninggalkan tanggung jawabnya untuk mengurus anaknya
kembali.
Tuduhan tersebut hanya sebagai alasan karena polisi
tidak ingin mengakui kesalahnya akan kasus tersebut yang
dapat mempermalukan citra Kepolisian. Akhirnya Christine
dinyatakan mengalami depresi berat sehinnga ia dijebloskan
7
Page 8
kerumah sakit jiwa. Tindakan ini adalah upaya pihak
kepolisian untuk mementahkan pernyatan-pernyataan
Christine sebelumnya yang menentang kepolisian Los
Angeles.
Terungkap kasus pembunuhan masal secara tidak
sengaja, saat seorang petugas polisi ditugaskan untuk
menangkap seorang pemuda disebuah pertanin untuk
dideportasi, pemuda tersebut mengugkapkan bahwa ia menjadi
kaki tangan atas penculikan dan pembunuhan terhadap 20 anak
berumur 9-10 tahun dipertanian tersebut dan salah satu
korbannya adalah Walter Collins.
Derita Christine didalam rumah sakit jiwa berakhir
setelah Pendeta Gustav dan jemaatnya berdemo ke kantor
kepolisian Los Angeles. Gustav menekan pihak rumah sakit
dan kepolisian untuk segera membebaskan Christine karena
apa yang ditemukan polisi di La Puente dimungkinkan
berkaitan dengan kasus hilangnya Walter Collins putra dari
Christine Collins. Northcot ditangkap dalam pelariannya
dirumah adik perempuannya di Los Angeles, kemudian Northcot
di dakwa bersalah dan menjalani hukuman gantung.
8
Page 9
Terbongkarnya kasus pembunuhan Walter Collins adalah
merupakan titik balik perubahan dan pembenahan kepolisian
Los Angeles setelah diberhentikannya beberapa pimpinan
kepolisian Los Angeles yang korup
(http://id.shvoong.com/entertainment/movies/1999933-
changeling-true-story/, diakses pada tanggal 24 Desember
2011).
Nilai-nilai pelanggaran hak asasi terhadap wanita
didasarkan pada sikap LAPD yang memaksakan kehendaknya
dengan menggunakan kekuatan departemennya. LAPD tidak
menerapkan klausul kebebasan berpendapat melindungi
masyarakat dalam Amandemen Pertama. Penggambaran
pelanggaran HAM tersebut tidak hanya melalui ungkapan yang
ditampilkan melalui dialog saja, tetapi juga tergambarkan
dari beberapa adegan di dalam film “Changeling” .
Berdasarkan latar belakang, peneliti tertarik untuk
mengangkat film “Changeling” menjadi kajian yang disebabkan
oleh beberapa hal, antara lain ketertarikan pada
pelanggaran hak asasi terhadap wanita yang digambarkan ke
dalam adegan-adegan di film “Changeling” yang memunculkan
9
Page 10
banyak tanda dan simbol. Merujuk pada fenomena tersebut
peneliti ingin mengetahui seperti apa makna pelanggaran hak
asasi manusia yang terdapat dalam film “Changeling” karya
Clint Eastwood’s dalam pendekatan semiotika.
1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian di atas maka dapat diambil suatu
rumusan masalah yaitu, “Bagaimanakah Makna dan Tanda yang
Menggambarkan Pelanggaran Hak Asasi Manusia Terhadap
Wanita dalam Film Changeling?”
1.3. Tujuan Penelitian
a. Untuk mengetahui tanda-tanda penggambaran
pelanggaran hak asasi manusia terhadap wanita yang
dilakukan oleh Departemen kepolisian LAPD dalam film
“Changeling”.
b. Untuk mengetahi makna yang ingin disampaikan film
“Changeling” kepada penontonnya.
10
Page 11
1.4 Manfaat penelitian
a. Manfaat Akademis
Diharapkan penelitian ini dapat diambil
manfaatnya untuk perkembangan studi semiotika
khususnya dalam kasus pelanggaran hak asasi manusia
terhadap wanita.
b. Manfaat Praktis
1. Untuk memberikan informasi bahwa Hak Asasi Manusia
perlu dijunjung tinggi oleh setiap Negara dan
masyarakatnya.
2. Diharapkan tidak ada lagi pelanggaran hak asasi
manusia terhadap wanita.
3. Bagi masyarakat luas, penelitian ini diharapkan
bisa memberikan pemahaman tentang makna yang
terdapat dalam sebuah film.
4. Memberi wacana baru tentang pentingnya peran
kritik, saran dan pesan dalam suatu karya film bagi
dunia perfilman di Indonesia.
11
Page 12
1.5 Kerangka Pemikiran
1.5.1 Teori Semiotika
Semiotika adalah suatu ilmu atau metode analisis untuk
mengkaji tanda. Tanda-tanda adalah perangkat yang kita
pakai dalam upaya berusaha mencari jalan di dunia ini, di
tengah-tengah manusia dan bersama-sama manusia.
Semiotika, atau dalam istilah Barthes adalah semiologi yang
pada dasarnya ingin mempelajari bagaimana manusia (humanity)
memakai hal-hal (things). Memberi makna dalam hal ini tidak
dapat dicampurkan dengan mengkomunikasikan (Barthes dalam
Sobur, 2003:15).
Menurut pandangan Saussure, tanda merupakan
menifestasi kongkret dari citra bunyi dan sering
diidentifikasi dengan citra bunyi itu sebagai penanda. Jadi
penanda dan petanda merupakan unsur mentalistik. Dengan
kata lain, di dalam tanda terungkap citra bunyi ataupun
konsep sebagai dua komponen yang tidak dapat dipisahkan.
Adalah pengikut Saussure, yaitu Roland Barthes yang pertama
kali menyusun model sistematik untuk menganalisis gagasan
interaktif yang dikemukakan oleh Saussur. Inti teori
12
Page 13
Barthes adalah gagasan tentang dua tatanan pertandaan (order
of signification) yaitu denotasi dan konotasi (Sobur,2003:32-
34).
Tanda merupakan istilah yang sangat penting, yang
terdiri atas penanda (signifier) dan petanda (signified). Penanda
mewakili elemen bentuk dan isi, sementara petanda mewakili
elemen konsep atau makna. Keduanya merupakan kesatuan yang
tak dapat dipisahkan sebagaimana layaknya dua bidang pada
sekeping mata uang. Kesatuan antara penanda dan petanda
itulah yang disebut sebagai tanda. Pengaturan makna atas
sebuah tanda dimungkinkan oleh adanya konvensi sosial di
kalangan komunitas bahasa. Suatu kata mempunyai makna
tertentu karena adanya kesepakatan bersama dalam komunitas
bahasa (Sobur, 2001: 114).
Film adalah bidang kajian yang amat relevan bagi
analisis struktural atau semiotika. Seperti dikemukakan
oleh Van Zoest, film pada umumnya dibangun dengan banyak
tanda (sign). Tanda-tanda itu termasuk berbagai sistem tanda
yang bekerja sama dengan baik dalam upaya mencapai efek yang
diharapkan. Hal terpenting dalam film adalah gambar dan
13
Page 14
suara, kata yang diucapkan (ditambah dengan suara-suara
lain yang serentak mengiringi gambar-gambar) dan musik film
(Zoest, 1992: 10).
Menurut John Fiske, terdapat tiga area penting dalam
studi semiotik, yakni:
1. Tanda itu sendiri. Hal ini terdiri atas studi tentang berbagai tanda yang berbeda, cara tanda-
tanda itu terkait dengan manusia yangmenggunakannya.
2. Kode atau sistem yang mengorganisasikan tanda. Studi ini mencakup cara atau berbagai kode
dikembangkan guna memenuhi kebutuhan suatu masyarakat atau budaya atau untuk
mentransmisikannya.3. Kebudayaan tempat kode dan tanda bekerja. Ini
pada gilirannya bergantung pada penggunaan kode-kode dan tanda-tanda itu untuk keberadaan
dan bentuknya sendiri (Fiske, 2007: 105).
Sementara istilah semiotika yang dimunculkan oleh
filsuf aliran pragmatik Amerika, Charles Sanders Pierce,
mengandung pernyataan bahwa dasar dari semiotika adalah
konsep tentang tanda: tak hanya bahasa dan sistem
komunikasi yang tersusun atas tanda-tanda, melainkan dunia
itu sendiri terdiri atas tanda-tanda, karena jika tidak
begitu, manusia tidak bisa menjalin hubungan dengan
realitas (Kurniawan, 2001: 53).
14
Page 15
Dalam Charles Sanders Pierce menegaskan bahwa tanda
berkaitan dengan obyek yang menyerupainya, keberadaannya
memiliki hubungan sebab dan akibat dengan tanda-tanda. Ia
menggunakan icon untuk kesamaannya, indeks untuk hubungan
sebab-akibat dan simbol untuk asosiasi konvensional. Tanda
sendiri memiliki dua entitas yaitu signifier dan signified.
Signifier (tanda) adalah bunyi yang bermakna atau coretan yang
bermakna (aspek material), yakni apa yang dikatakan dan
pada yang ditulis atau dibaca. Signified (makna) adalah gambar
mental yakni pikiran atau konsep mental dari bahasa.
Hubungan antara keduanya bersifat arbitrer (berubah-ubah)
sesuai dengan kesepakatan (Sobur, 2003: 32-34).
Semiotik untuk studi media massa ternyata tidak hanya
terbatas sebagai kerangka teori, namun sekaligus juga bisa
sebagai metode analisis. Menurut Pierce, salah satu bentuk
tanda adalah kata. Objek adalah sesuatu yang dirujuk tanda.
Sementara interpretan adalah tanda yang ada dalam benak
seseorang tentang objek yang dirujuk suatu tanda. Isi teori
segitiga makna adalah persoalan begaimana makna muncul dari
15
Page 16
sebuah tanda ketika tanda itu digunakan orang pada waktu
berkomunikasi (Sobur, 2001: 115)
Sign
Interpretant Object
Gambar 1.1 Elemen Makna Pierce
Sumber : Sobur, Analisis Teks Media , 2001: 115
Menurut Van Zoest ada tiga ciri tanda, yaitu tanda
harus dapat diamati agar dapat berfungsi sebagai tanda,
tanda harus menunjuk pada sesuatu yang lain atau bersifat
representatif, dan tanda bersifat interpretatif. Jadi, ada
tiga unsur yang menbentuk tanda, tanda yang dapat ditangkap
oleh indera, yang ditunjuknya dan yang ada dibenak si
penerima.
16
Page 17
Secara sederhana, ketiga hal itu dapat digambarkan
menjadi segitiga tanda (Zoest, 1992: 48).
Denotarium
Ground Interpretant
Gambar 1.2 Segitiga Tanda dari Pierce
Sumber : Ratmanto, Pesan: Tinjauan Bahasa, semiotika, dan
Hermeneutika , 2004: 31
Tanda tidak dapat dilepaskan dari segitiga tanda ini.
Artinya, bila berbicara tanda, maka akan selalu dibahas
segitiga tanda. Ground adalah latar belakang tanda, yang
dapat berupa bahasa atau konteks sosial. Interpretant adalah
pengalaman subjektif yang dialami oleh tiap orang yang
17
Page 18
berbeda dari suatu individu ke individu lain, dan merupakan
wilayah dunia subjektif individu.
Dalam kaitan tanda dengan denotatum , Pierce juga
menyebutkan ada tiga hal. Denotatum bagi Pierce sering
disebut sebagai objek. Denotatum tidak selalu harus sesuatu
yang konkret, dapat juga sesuatu yang abstrak. Denotatum
dapat berupa sesuatu yang ada, pernah ada atau mungkin ada
(Ratmanto, 2004: 32).
Pierce membedakan tiga macam tanda menurut sifat hubungan
tanda dengan denotatumnya, yaitu :
1. Ikon, yaitu tanda yang ada sedemikian rupa sebagai kemungkinan tanpa tergantung pada adanya sebuah denotatum, tetapi dapat
dikaitkan dengannya atas dasar suatu persamaan yang secara potensial dimilikinya.
2. Indeks, yaitu sebuah tanda yang dalam corak tandanya tergantung dari adanya sebuah
denotatum . Dalam hal ini hubungan antara tanda dan denotatumnya adalah bersebelahan.
3. Simbol adalah tanda yang hubungan antara tanda dan denotatumnya ditentukan oleh suatu
peraturan yang berlaku umum. Secara umum, yang dimaksud dengan simbol adalah bahasa
(Ratmanto, 2004: 32-33).
Ada tiga hal menurut Pierce, dalam kaitan tanda dengan
interpretan -nya :
18
Page 19
1. Rheme . Tanda merupakan rheme bila dapat diinterpretasikan sebagai representasi dari
kemungkinan denotatum. 2. Dicisign . Tanda merupakan dicisign bila ia
menawarkan kepada interpretan -nya suatu hubungan yang benar. Artinya, ada kebenaran antara
tanda yang ditunjuk dengan keadaan yang dirujuk oleh tanda itu, terlepas dari cara
eksistensinya. 3. Argument , yaitu bila dalam hubungan interpretative
tanda itu tidak dianggap sebagai bagian dan suatu kelas (Ratmanto, 2004: 33).
Pemikiran Saussure yang paling penting dalam konteks
semiotik adalah pandangannya mengenai tanda. Saussure
meletakkan tanda dalam konteks komunikasi manusia dengan
melakukan pemilahan antara apa yang disebut signifier
(penanda) dan signified (petanda).
Signifier adalah bunyi yang bermakna atau coretan yang
bermakna (aspek material), yakni apa yang dikayakan dan apa
yang ditulis atau dibaca. Signified adalah gambaran mental,
yakni pikiran atau konsep aspek mental dari bahasa.
Hubungan antara keberadaan fisik tanda dan konsep mental
tersebut dinamakan signification . Dengan kata lain signification
adalah upaya dalam memberi makna terhadap dunia (Sobur,
2001: 125).
19
Page 20
Sign
Composed of
Signifier plus signified external
Reality (mental ofmeaning
(physical concept)
Existence
Of the sign)
Gambar 1.3 Elemen-elemen Makna Saussure
Sumber : Sobur, Analisis Teks Media , 2001:125
Roland Barthes merupakan orang yang pertama kali
menyusun model sistematik untuk menganalisis negoisasi dan
gagasan makna interaktif. Barthes secara khusus tidak
tertarik bukan pada apa makna berada, tetapi pada bagaimana
makna menjadi bermakna. Dalam Theory Order of Signification ini,
Barthes membagi dua tatanan bagaimana tanda itu bekerja.
Pada tatanan pertama, Barthes mengistilahkan dengan
istilah denotasi, yaitu konsep awal yang melekat pada tanda
20
Page 21
tertentu. Pada tatanan kedua, Barthes membedakannya
menjadi tiga cara kerja tanda yakni konotasi, mitos dan
simbolik.
1. Denotasi, tatanan ini menggambarkan relasi antara penanda atau petanda di dalam tanda dan antara tanda
dengan refern -nya dalam realitas eksternal. Hal ini mengacu pada anggapan umum, makna jelaslah tentang
tanda.2. Konotasi, dipakai untuk menjelaskan salah satu cara
kerja tanda dalam tatanan pertandaan kedua. Konotasi menggambarkan interaksi yang berlangsung tantakala
tanda bertemu dengan perasaan atau emosi penggunaannya dan nilai-nilai kulturalnya. Ini
terjadi tatkala makna bergerak menuju subjektif atau setidaknya intersubjektif. Ini terjadi tatkala
intrpretan dipengaruhi sama banyaknya oleh penafsir dan objek atau tanda.
3. Mitos, Barthes menggunakan mitos sebagai seorang yang percaya, dalam artiannya yang orisinil. Mitos adalah
cerita yang digunakan suatu kebudayaan untuk menjelaskan atau memahami beberapa aspek dari
realitas atau alam. Bagi Barthes, mitos merupakan cara berpikir dari suatu kebudayaan tentang sesuatu, cara
untuk mengkonseptualisasikan atau memahami sesuatu. Pengertian mitos disini tidaklah menunjuk pada
mitologi dalam pengertian sehari-hari, seperti halnya cerita-cerita tradisional, melainkan sebuah cara
pemaknaan atau dalam bahasa Barthes, disebut tipe wicara (Barthes,2004: 152).
Pada dasarnya semua hal dapat menjadi mitos, suatu
mitos timbul untuk sementara waktu dan tenggelam utuk waktu
yang lain karena digantikan oleh berbagai mitos lain. Mitos
21
Page 22
menjadi pegangan atas tanda-tanda yang hadir dan
menciptakan fungsinya sebagai penanda pada tingkatan lain.
Mitos oleh karenanya bukanlah tanda yang tidak berdosa,
netral melainkan menjadi penanda untuk memainkan pesan-
pesan tertentu yang boleh jadi berbeda sama sekali dengan
makna asalnya. Kendati demikian, kandungan makna mitologis
tidaklah dinilai sebagai sesuatu yang salah (‘mitos’
diperlawankan dengan ‘kebenaran’). Praktik penandaan
seringkali memproduksi mitos.
Produksi mitos dalam teks membantu pembaca untuk
menggambarkan situasi sosial budaya, mungkin juga politik
yang ada disekelilingnya. Bagaimanapun mitos juga
mempunyai dimensi tambahan yang disebut naturalisasi.
Melaluinya sistem makna menjadi masuk akal dan diterima apa
adanya pada suatu masa dan mungkin tidak untuk masa yang
lain (Barthes, 2004: 153).
Pemikiran Barthes tentang mitos nampaknya masih
melanjutkan apa yang diandalkan Saussure tentang hubungan
bahasa dan makna atau antara penanda dan petanda. Tetapi
yang dilakukan Barthes sesungguhnya melampaui apa yang
22
Page 23
dilakukan Saussure. Bagi Barthes, mitos bermain pada
wilayah pertandaan tingkat kedua atau pada tingkat konotasi
bahasa. Jika Saussure mengatakan bahwa makna adalah apa
yang didenotasikan oleh tanda, Barthes menambah pengertian
ini menjadi makna pada tingkat konotasi. Konotasi bagi
Barthes justru mndenotasikan sesuatu hal yang ia nyatakan
sebagai mitos, dan mitos ini mempunyai konotasi terhadap
ideologi tertentu.
1.5.2. Semiotika Roland Barthes
Roland Barthes merupakan salah satu penganut teori
semiotika Saussure yang berasal dari Perancis. Barthes
menyatakan bahwa semua obyek kultural dapat diolah secara
tekstual. Studi semiotika mengkaji signifikasi yang
terpisah dari isinya. Sehingga teks dalam arti yang luas
dapat diteliti, seperti sebuah berita, film, iklan, karya
sastra, bahkan fashion . Salah satu area penting yang dirambah
Barthes dalam studinya tentang tanda adalah peran pembaca
(the reader)
(Sobur, 2003: 68-69).
23
Page 24
Barthes mengungkapkan bahwa tujuan dari semiotika
adalah menafsirkan tanda. Ia juga menjelaskan maksud dari
semiotika adalah untuk menerima semua sistem tanda, apapun
hakekatnya dan batasannya, baik gambar, isyarat badaniah,
suara musik, objek dan semua hal yang berhubungan dengan
hal-hal tersebut, yang membentuk kebiasaan atau hal lain
yang jika bukan berupa bahasa, paling tidak adalah suatu
sistem signifikasi, yaitu ada hubungan antara signifier dan
signified untuk memberi makna (Barthes, 2004 : 156).
Konotasi, walaupun merupakan sifat asli tanda,
membutuhkan keaktifan pembaca agar dapat berfungsi.
Barthes secara panjang lebar mengulas apa yang sering
disebut sebagai sistem pemaknaan pada tataran ke-dua, yang
dibangun di atas sistem lain yang telah ada sebelumnya.
Sistem ke-dua ini oleh Barthes disebut konotatif , yang di
dalam Mythologies -nya secara tegas ia bedakan dari denotatif
atau sistem pemaknaan tataran pertama. Dalam konsep
Barthes, tanda konotatif tidak sekedar memiliki makna
tambahan namun juga mengandung kedua bagian tanda denotatif
yang melandasi keberadaannya. Sesungguhnya, inilah
24
Page 25
sumbangan Barthes yang sangat berarti bagi penyempurnaan
semiotika dari Saussure yang hanya berhenti pada penandaan
dalam tataran denotatif (Sobur, 2003: 69).
Dalam kerangka Barthes, konotasi identik dengan
operasi ideologi, yang disebutnya sebagai “mitos” dan
berfungsi untuk mengungkapkan dan memberikan pembenaran
bagi nilai-nilai dominan yang berlaku dalam suatu periode
tertentu. Di dalam mitos pula sebuah petanda dapat memiliki
beberapa penanda. Barthes menempatkan ideologi dengan
mitos karena, baik di dalam mitos maupun ideologi, hubungan
antara penanda denotasi dan petanda konotasi terjadi secara
termotivasi.Barthes memikirkan mitos sebagai mata rantai
dari konsep-konsep terkait. Mitos adalah cerita yang
digunakan suatu kebudayaan untuk menjelaskan atau memahami
beberapa aspek dari realitas atau alam (Sobur, 2003: 69).
Bagi Barthes, mitos merupakan cara berpikir suatu
kebudayaan tentang sesuatu cara untuk
mengkonseptualisasikan atau memahami sesuatu. Bila
konotasi merupakan pemaknaan tatanan kedua dari penanda,
25
Page 26
mitos merupakan pemaknaan tatanan kedua dari petanda
(Fiske, 2004:121).
Untuk lebih jelasnya penulis menyertakana peta tanda
Roland Barthes :
Tabel 1.1. Peta Tanda Roland Barthes
1. SIGNIFIER(penanda)
2. SIGNIFIED(petanda)
3. DENOTATIVE (tanda denotativef)
4. CONOTATIVE SIGNIFIER (penanda konotatif)
5. CONOTATIF SIGNIFIED (petanda konotatif)
6. CONOTATIVE SIGN (tanda konotatif)
Sumber : Sobur, 2003: 69
Dari peta Barthes di atas terlihat tanda denotatif (3),
terdiri atas penandaa(1), dan petanda (2). Akan tetapi,
pada saat bersamaan tanda konotatif tidak sekedar memiliki
makna tambahan namun jugaa amengandung kedua bagian tandaa
denotatif ayang melandasi keberadaannya. Dari peta
tersebut operasionalisasi yang digunakan dalama
penelitian ini adalah signifier (penanda) adalah film
26
Page 27
“Changeling” dan signified (petanda) adalah pembentukan makna
dan image yang ada dalam film tersebut. (Sobur, 2003: 69).
Salah seorang pengikut Saussure, Roland Barthes
membuat sebuah model sistematis dalam menganalis makna
dari tanda-tanda. Fokus bahasan Barthes lebih tertuju
kepada gagasan tentang signifikasi dua tahap ( two order of
signification ) (Fiske, 2007:121).
Tatanan pertama tatanan kedua
Realitas tanda
kultur
bentuk
isi
27
Denotasi
Penanda
petanda mito
s
konotasi
Page 28
Gambar 1.4 Dua Tatanan Pertandaan Barthes.
Sumber : Fiske, Cultural and Communication Studies . 2007: 122.
Gambar di atas menjelaskan signifikasi tahap pertama
merupakan hubungan antara signifier (ekspresi) dan signified
(isi) di dalam sebuah tanda terhadap realitas eksternal.
Barthes menyebutnya sebagai denotasi, yaitu makna paling
nyata dari tanda. Konotasi adalah istilah yang digunakan
untuk menunjukkan signifikasi tahap kedua. Hal ini
menggambarkan interaksi yang terjadi ketika tanda bertemu
dengan perasaan atau emosi dari pembaca serta nilai-nilai
dari kebudayaannya.
1.5.3. Teori Representasi
Gagasan tentang ide representasi menaruh perhatian
terhadap cara subyek didefinisikan berkaitan dengan apakah
subyek tersebut dan apakah yang bukan subyek tersebut.
Sebagai contoh, representasi kaum gay sebagai stereotip
dalam materi komedi berkonsentrasi pada aspek-aspek
penampilan dan perilaku yang dimaksudkan menjadikan mereka
28
Page 29
dapat dikenali, berbeda. Representasi dapat dilihat
sebagai menaruh perhatian terhadap perbedaan sosial untuk
menegakkan norma-norma sosial (Borton, 2012:140).
Representasi yang terdapat dalam media visual,
dikonstruksikan dari sudut pandang tertentu. Frasa “sudut
pandang” memiliki dua makna:
1. Sudut pandang yang merujuk pada pandangan harfiah dalam ruang angkasa, yaitu sudut pandang dari
penempatan kamera ketika mengambil gambar. Pandangan spasial menempatkan kita dalam hubungan
subyek dan mempengaruhi bagaimana kita memahaminya. Posisi kamera, yang dipilih oleh
fotografer atau pembuat film untuk suatu alasan, menjadi posisi penonton kita.
2. Pemahaman lainnya tentang “sudut pandang” berkaitan dengan pandangan intelektual dan kritis
yang diambil berkaitan dengan materi media.
Stuart Hall memandang bahwa, pandangan kritis
terhadap representasi dapat melalui tiga hal, yang dilihat
dari posisi viewer maupun creator . Terutama dalam hal ini
mengkritisi makna konotasi yang ada dibalik sebuah
representasi, yaitu:
a. Reflektif yakni pandangan tentang makna representasi dari realitas masyarakat sosial.
29
Page 30
b. Intensional, adalah sudut pandang dari creator tentang makna yang diharapkan dan terkandung
dalam representasi.c. Konstruktionis, menaruh perhatian terhadap
bagaimana representasi dibuat melalui bahasa, termasuk kode-kode visual (Burton, 2012: 140-
141).
Menurut Burton, representasi itu sangat ideologis.
Kita dapat mengajukan argumen bahwa makna tentang subyek-
subyek representasi adalah makna yang menyangkut, siapa
pemilik kekuasaan dan siapa yang tidak, bagaimana kekuasaan
tersebut diterapkan, nilai-nilai yang mendominasi cara
kita berfikir tentang masyarakat dan hubungan-hubungan
sosial. Burton memberikan contoh sebagai berikut,
representasi kaum yang cacat sebagai petarung yang berani
terhadap kesengasaraan dapat menimbulkan keanehan
terhadap posisi kaum yang cacat tersebut. Sebagai
permulaan, representasi tersebut tetap manruh perhatian
terhadap kecacatan, terhadap kaum abnormal bahkan terhadap
perbedaan.
Representasi terhadap kaum cacat tersebut juga
mempromosikan ide-ide tentang kemandirian (self sufficiency)
30
Page 31
yang besifat ideologis. Menurutnya, kita dapat beragumen
bahwa semua subyek representasi terutama yang menyangkut
stereotip dapat mempersonifikasikan wacana. Ide tentang
perempuan yang histeris mempersonifikasi tidak hanya
menganggap kegilaan dan juga menyajikan ide tentang hakekat
perempuan. Fungsi representasi adalah untuk mendukung ide-
ide tentang:
1. Perempuan-perempuan itu emosional melebihi emosipria.
2. Emosi dipertentangkan dengan logika, sedangkan pria lebih logis.
3. Kelebihan emosi tidak diharapkan apapun tingkat kelebihan tersebut.
4. Emosi adalah kelemahan, sehingga memandang bahwa wanita itu lemah dan pria itu kuat (Burton, 2012:
142-143)
Proses representasi melibatkan tiga elemen: pertama,
objek yang direpresentasikan. Kedua, adalah tanda sebagai
representasi itu sendiri. Ketiga , coding yakni seperangkat
aturan yang menentukan hubungan tanda dengan pokok
persoalan. Coding membatasi makna-makna yang mungkin muncul
dalam proses interpretasi tanda. Tanda dapat menghubungkan
objek yang telah ditentukan secara jelas. Dengan demikian
31
Page 32
representasi merupakan sebuah kedalaman makna, termasuk di
dalamnya terdapat identitas suatu kelompok tertentu pada
suatu tempat tertentu (Noviani, 2002: 62).
Film merupakan salah satu produk representasi
sosial. Film memberikan gambaran mengenai suatu realitas.
Sebagai refleksi dari realitas, film membentuk dan
menghadirkan kembali realitas berdasarkan kode-kode,
konvensi-konvensi dan ideologi dari kebudayaannya. Film
dibuat berdasarkan point of view dari kreator film. Film
merupakan seni dimana dunia direpresentasikan sebagaimana
yang diinginkan kreatornya (Sobur, 2009:127).
Film ikut mempresentasikan gambar realitas
masyarakat melalui sistem kode, mitos dan ideologi budaya
masyarakat secara spesifik, melalui film dapat diberikan
gambaran tentang masyarakat itu sendiri. Cerita yang
diangkat dalam sebuah film biasanya sangat dekat dengan
kenyataan sehari hari dimana cerita tersebut ditampilkan
agar penonton lebih peka dalam memahami berbagai persoalan
yang terjadi dan dapat menjadi aspirasi bagi penonton.
32
Page 33
Melalui film ini diharapkan mampu membuka lebar-lebar mata
masyarakat. Karena film mengandung unsur hiburan sehingga
dalam penyampaian pesan dapat lebih mudah diterima oleh
masyarakat (Sobur, 2009: 127).
Representasi-representasi tersebut dituangkan
sedemikian rupa sehingga terlihat natural dan sistem-
sistem yang ada pada representasi adalah inti dari
ideologi-ideologi tertentu, film menuturkan ceritanya
dengan cara khusus. Kekhususan film adalah mediumnya, cara
pembuatannya dengan kamera dan pertunjukannya. “Sebuah
film pada dasarnya melibatkan bentuk-bentuk simbol visual
dan linguistik untuk mengkodekan pesan yang disampaikan”
(Sobur, 2009: 127).
Bahasa film mencakup kode-kode representasi yang
lebih halus, yang cukup dalam kompleksitas dari
penggambaran visual yang harfiah hingga simbol-simbol yang
paling abstrak dan arbiter serta metafora. Metafora visual
sering menyinggung objek-objek dan simbol-simbol dunia
nyata serta mengkonotasikan makna-makna sosial dan budaya.
33
Page 34
Tanda dan hubungan kemudian menjadi kata-kata kunci dalam
analisis semiotika. Bahasa dilucuti strukturnya dan
dianalisis dengan cara mempertalikan penggunaannya
beserta latar belakang penggunaan bahasa itu.
Usaha-usaha menggali makna teks harus dihubungkan
dengan aspek-aspek lain di luar bahasa itu sendiri atau
sering juga disebut sebagai konteks. Teks dan konteks
menjadi dua kata yang tak terpisahkan, keduanya membentuk
makna. Konteks menjadi penting dalam intratekstualitas dan
intertekstualitas. Intratekstualitas menunjuk pada tanda-
tanda lain dalam teks, sehingga produksi makna bergantung
pada bagaimana hubungan antar tanda dalam sebuah teks.
Sementara intertekstualitas menunjuk pada hubungan antar
teks alias teks yang satu dengan yang lain. Makna seringkali
tidak dapat dipahami kecuali dengan menghubungkan teks yang
satu dengan teks yang lain (Sobur, 200 9 :114).
34