Top Banner
1 TAKHRIJ AL-HADITS Oleh: M. Syafi'i WS al-Lamunjani A. PENDAHULUAN Sebagaimana yang telah menjadi keyakinan umat Islam, al-Hadits 1 merupakan sumber paling pokok kedua setelah al-Qur’an dalam ajaran Islam. Allah berfirman, “Dan Kami telah turunkan al-Qur’an kepadamu (Muhamad SAW.), agar engkau terangkan kepada manusia apa saja yang telah diturunkan kepada mereka, supaya mereka berfikir”. 2 Rasulullah sebagai pembawa risalah Ilahi berfungsi untuk menjelaskan ajaran-ajaran melalui al-Qur’an. Sedangkan al-Hadits merupakan bentuk pendukung atau penjelas al-Qur’an. Dalam hal ini Fathurrahman menjelaskan, sekurang-kurangnya fungsi al- Hadits terhadap al-Qur’an ada tiga fungsi: Menetapkan dan memperkuat hukum- hukum dalam al-Qur’an, memberikan perincian dan penafsiran pada ayat-ayat al- Qur’an yang masih mujmal, 3 dan menetapkan hukum-hukum atau aturan-aturan yang tidak tertera dalam al-qur’an. 4 Oleh karena itu, mempelajari Ulum al-Hadits merupakan hal yang penting agar dapat memahami al-Qur’an secara maksimal, dan di antaranya adalah Takhrij al-Hadits. Takhrij al-Hadits dapat diibaratkan sebagai anak kunci pembuka gudang perbendaharaan hadits, dan bagaikan obor dalam upaya menelusuri dan menguak 1 Hadits adalah sesuatu yang disandarkan pada Rasulullah, baik berupa perkataan, pernyataan (takrir) , perbuatan ataupun sifat beliau. 2 Q.S. An-Nahl: 44. 3 Maksudnya adalah masih global, seperti perintah shalat. Dalam hal ini Rasulullah menjelaskan, “Shalatlah kamu sebagaimana kamu melihat aku shalat.” (H.R. Bukhari dan Muslim) 4 Fathur Rahman, Ikhtisar Musthalahul Hadits, (Bandung: PT. Al-Ma’arif, 1991), cet. 7, hal. 47-49
23

Ilmu Hadits. TAKHRIJ AL-HADITS. Oleh M. Syafi'i WS Al-Lamunjani (Makalah 2008)

Jun 24, 2015

Download

Documents

ria_permata19
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: Ilmu Hadits. TAKHRIJ AL-HADITS. Oleh M. Syafi'i WS Al-Lamunjani (Makalah 2008)

1

TAKHRIJ AL-HADITS

Oleh: M. Syafi'i WS al-Lamunjani

A. PENDAHULUAN

Sebagaimana yang telah menjadi keyakinan umat Islam, al-Hadits1

merupakan sumber paling pokok kedua setelah al-Qur’an dalam ajaran Islam. Allah

berfirman, “Dan Kami telah turunkan al-Qur’an kepadamu (Muhamad SAW.), agar

engkau terangkan kepada manusia apa saja yang telah diturunkan kepada mereka,

supaya mereka berfikir”.2 Rasulullah sebagai pembawa risalah Ilahi berfungsi untuk

menjelaskan ajaran-ajaran melalui al-Qur’an. Sedangkan al-Hadits merupakan bentuk

pendukung atau penjelas al-Qur’an.

Dalam hal ini Fathurrahman menjelaskan, sekurang-kurangnya fungsi al-

Hadits terhadap al-Qur’an ada tiga fungsi: Menetapkan dan memperkuat hukum-

hukum dalam al-Qur’an, memberikan perincian dan penafsiran pada ayat-ayat al-

Qur’an yang masih mujmal,3 dan menetapkan hukum-hukum atau aturan-aturan yang

tidak tertera dalam al-qur’an.4 Oleh karena itu, mempelajari Ulum al-Hadits

merupakan hal yang penting agar dapat memahami al-Qur’an secara maksimal, dan di

antaranya adalah Takhrij al-Hadits.

Takhrij al-Hadits dapat diibaratkan sebagai anak kunci pembuka gudang

perbendaharaan hadits, dan bagaikan obor dalam upaya menelusuri dan menguak

1 Hadits adalah sesuatu yang disandarkan pada Rasulullah, baik berupa perkataan, pernyataan

(takrir), perbuatan ataupun sifat beliau. 2 Q.S. An-Nahl: 44. 3 Maksudnya adalah masih global, seperti perintah shalat. Dalam hal ini Rasulullah

menjelaskan, “Shalatlah kamu sebagaimana kamu melihat aku shalat.” (H.R. Bukhari dan Muslim) 4 Fathur Rahman, Ikhtisar Musthalahul Hadits, (Bandung: PT. Al-Ma’arif, 1991), cet. 7, hal.

47-49

Page 2: Ilmu Hadits. TAKHRIJ AL-HADITS. Oleh M. Syafi'i WS Al-Lamunjani (Makalah 2008)

2

kegelapan informasi tentang keadaan sanad serta kapasitas para perawi yang menjadi

mata rantai dalam proses periwayatannya, sejak dari sahabat yang menerimanya dari

Rasulullah SAW., sampai periwayat terakhir yang menukilkan hadits tersebut dalam

kitab aslinya. Hal ini disebabkan, karena di dalam Takhrij akan lebih banyak

mengungkap berbagai jalur isnad dan matan. Di sana akan muncul berbagai

waawasan untuk ditela’ah lebih lanjut, baik rawi, sanad ataupun matan.

Dalam kesempatan ini penulis akan memaparkan “Takhrij al-Hadits”, baik

mengenai pengertiannya, keurgenannya, bagaimana metode pen-takhrijan-nya,

ataupun kitab-kitab yang diperlukan dalam proses pen-takhrij-an.

B. DEFENISI TAKHRIJ AL-HADITS

Secara etimologi, kata Takhrij ( ريجـخت ) berarti menjadikan keluar atau

mengeluarkan5. Istilah ini juga berarti subur dan menarik, tanaman bumi yang

terpisah-pisah, menulis sebagian dan meninggalkan yang lain, warna putih dan

hitam.6 Sedangkan menurut al-Thahhan “Takhrij” berarti:

ماع أمرین متضادین فى شئ واحدإجت “Berkumpulnya dua perkara yang saling

berlawanan dalam satu masalah”. Namun arti yang paling populer menurutnya

adalah اإلستنباط (mengeluarkan), التدریب (meneliti), جیھوالت (mengarahkan).7

Adapun secara terminologi hadits, kata Takhrij memiliki beberapa arti, antara

lain:

5 Louis Ma’luf, 1986, al-Munjid fi al-Lughah (Beirut: Dar al-Masyriq), hal. 142. 6 Al-Fairuz al-Abadi, 1313 H, al-Qamus al-Muhith (Kairo: al-Mayammaniyah), hal. 191-192 7 Mahmud At-Thahhan, Ushul al Takhrij wa Dirasatu al Asaanid, (Riyadh: Maktabah al

Rusydi, 1983), cet. 5, hal. 9

Page 3: Ilmu Hadits. TAKHRIJ AL-HADITS. Oleh M. Syafi'i WS Al-Lamunjani (Makalah 2008)

3

1. Kata Takhrij merupakan persamaan kata “ikhraj” (إخرج) yang berarti

menampakkan hadits kepada orang lain dengan menyebut tempat

pengambilannya. Artinya para tokoh isnad yang mentakhrijkan hadits itu

disebutkan. Misalnya hadits ini dikeluarkan oleh Bukhari, yang berarti ia

meriwayatkan dan menyebutkan tempat dikeluarkannya secara independen.8

2. Kata Takhrij juga terkadang digunakan untuk arti mengeluarkan hadits dan

periwayatannya dari isi kitab-kitab. Dalam kitabnya Samsuddin Muhamad al-

Sakhawi yang berjudul “Fathul Mughits”9 dikatakan bahwa Takhrij adalah ahli

hadits mengeluarkan hadits dari guru, kitab dan lain sebagainya, dan dikatakan

dari periwayatan dirinya atau dari sebagian gurunya, dari teman-temannya atau

yang lain-lainnya. Bisa jadi membicarakannya bagi orang yang pernah

meriwayatkannya dari pengarang kitab tersebut.

3. Takhrij berarti mengemukakan hadits berdasarkan sumbernya atau berbagai

sumbernya yakni kitab-kitab hadits yang di dalamnya disertakan metode

periwayatan dan sanadnya masing-masing serta diterangkan keadaan para

periwayat dan kualitas hadits.10

4. Menurut Syuhudi Ismail dalam kitabnya “Metodologi Penelitian Hadits Nabi”

Takhrij berarti menunjukkan atau mengemukakan letak asal hadits pada

sumbernya yang asli yakni berbagai kitab yang di dalamnya dikemukakan hadits

itu secara lengkap dengan matan dan sanadnya masing-masing; kemudian untuk

kepentingan penelitan dijelaskan kualitas hadits yang bersangkutan.11

8 Ibid., hal. 10 9 Syamsuddin Muhammad ibn Abdurrahman Al-Sakhawi, Fath al-Mughits, Syarh Alfiyah al-

Hadits li al-‘Iraqi, (al-Madinah: al-Maktabah al-Syalafiyah, 1968), juz III, hal. 338. 10 Suyitno, Studi Ilmu-ilmu Hadits, (Palembang: IAIN Raden Fatah Press, 2006), cet. 1, hal

204. 11 M. Syuhudi Isma’il, Metodologi Penelitian Hadits Nabi, (Jakarta: Bulan Bintang, 1992),

hal. 42.

Page 4: Ilmu Hadits. TAKHRIJ AL-HADITS. Oleh M. Syafi'i WS Al-Lamunjani (Makalah 2008)

4

5. Selanjutnya menurut Muhammad at-Thahhan Takhrij al-Hadits adalah:12

الداللة على موضع الحدیث فى مصادره األصلیة التي إخترجتھ بسنده ثم بیان مرتبتھ عند

.الحاجة

“Petunjuk jalan ke tempat/letak hadits pada sumber-sumbernya yang orisinil

yang takhrijnya berikut sanadnya kemudian menjelaskan martabatnya jika

diperlukan”

Yang dimaksud dengan kata الداللة على موضع الحدیث yang dikemukakan oleh

at-Thahhan di sini, adalah menunjuk sejumlah kitab yang didapati hadits itu di

dalamnya, 13 artinya di sini, keberadaan suatu hadits dapat ditelusuri dari indikasi

kitab sumber yang menyebutkannya, contohnya: أخرجھ البخاري (hadits itu telah

ditakhrij oleh Bukhari dalam sahihnya), artinya di sini, keberadaan hadits tersebut

ada di Shahih Bukhari. atau أخرجھ الترمذي (hadits ini telah ditakhrij oleh Turmudzi

dalam Sunan-nya), ini juga mengandung arti bahwa hadits tersebut terdapat di Sunan

Turmudzi. dan ungkapan-ungkapan lain yang sejenis.

Selanjutnya yang dimaksud dengan مصادره الحدیث األصلیة adalah:14

- Kitab-kitab hadits yang dihimpun oleh penyusunnya setelah menerima

langsung dari guru-gurunya berikut sanad-sanadnya yang bersambung sampai

kepada Nabi SAW., seperti dalam kitab hadits yang enam (Kutub al-Sittah)15,

Muwattha’Imam Malik, Musnad Ahmad, Mustadrak al-Hakim, Musannaf

Abdu al-Razzaq dan lain-lain.

12 Mahmud at-Thahhan, Ushul al Takhrij wa Dirasatu al Asaanid, hal. 12.

13 Ibid. 14 Ibid., hal. 12-13 15 Kitab Hadits Enam (كتب الستة) ialah Shahih Bukhari (صحيح خباري), Shahih Muslim (صحيح مسلم),

Sunan Abu Daud (سنن أبو داؤد), Sunan Tirmidzi (سنن ترمزي), Sunan Nasa’i (سنن نسائ) dan Sunan Ibnu Majah .(سنن ابن جماح)

Page 5: Ilmu Hadits. TAKHRIJ AL-HADITS. Oleh M. Syafi'i WS Al-Lamunjani (Makalah 2008)

5

- Kitab-kitab hadits pengikut atau pendukung (tabi’) kitab-kitab pokok di atas

seperti “al-Jam’u Baina al-Shahibain karangan al Humaidi.

- Kitab-kitab selain hadits (yang berhubungan dengan disiplin ilmu lain),

seperti tafsir, fiqih dan sejarah yang diperkuat oleh hadits-hadits dengan syarat

penyusunnya meriwayatkannya dengan sanad-sanad secara independen.

Contohnya “Tafsir at-Thabari” dan kitab “al-Umm”.

Kitab-kitab asli yang dimaksudkan dalam pengertian takhrij di sini adalah

kitab-kitab yang menghimpun sebagian hadits oleh para muhadditsin yang memang

menerima langsung dari gurunya, dan bukan mengambil dari kitab-kitab hadits yang

telah ada. Adapun kitab-kitab hadits yang diambil dari kitab-kitab hadits yang sudah

ada, dalam konteks ini dinamakan kitab furu’ yakni cabang kitab-kitab sumber seperti

kitab Bulughu al-Maram karangan al-Hafidz Ibn Hajar, Jami’ al-Shaghir karangan

Suyuthi, Arba’in al-Nawawi dan Riyadhu al-Shalihin karangan Imam Nawawi serta

kitab-kitab lain yang sejenis.

Dan selanjutnya, yang dimaksud dengan 16 بیان مرتبتھ عند الحاجة yakni

menjelaskan martabat suatu hadits apakah ia termasuk shahih, hasan, dha’if atau

lainnya apabila diperlukan. Karena penjelasan mengenai martabat hadits ini bukanlah

hal yang asasi dalam proses pentakhrij-an, namun ia hanya bersifat pelengkap jika

penjelasan martabat hadits ini diperlukan.

Dengan demikian, dari defenisi-defenisi yang telah dikemukakan di atas,

dapat disimpulkan bahwa Takhrij al-Hadits adalah upaya penelusuran di mana

terdapatnya hadits (yang menjadi objek kajian/pembicaraan) dengan merujuk kitab-

kitab hadits sumber asli (yang menukilnya lengkap dengan sanadnya) dan disertai

dengan penjelasan tentang kualitas atau nilai kehujjahannya (apakah suatu hadits

dapat dijadikan dalil atau tidak) jika diperlukan.

16 Mahmud At-Thahhan, Ushul al Takhrij wa Dirasatu al Asaanid, hal. 14.

Page 6: Ilmu Hadits. TAKHRIJ AL-HADITS. Oleh M. Syafi'i WS Al-Lamunjani (Makalah 2008)

6

Dalam konteks ini, istilah untuk orang yang mengerjakan pentakhrij-an

(mentakhrij) disebut Mukharrij (مخرج). Sedangkan pekerjaannya disebut Takhrij

Adapun istilah Mukharrij yang dimaksudkan di sini adalah para rawi .(تخریج)

terakhir (imam hadits) yang meriwayatkan hadits bukan rawi pertama yakni sahabat

yang mendengar dari Nabi SAW. 17 sebagai contoh sering kita temui lafadz dibagian

akhir hadits; أخرجھ البخارى ومسلم (Hadits tersebut diriwayatkan oleh Imam

Bukhari dan Imam Muslim). Di sini dimaksudkan bahwa Imam Bukhari dan Imam

Muslim adalah rawi terakhir hadits.

C. SEJARAH SINGKAT TAKHRIJ AL-HADITS

AL-Hafidz al-Iraqi, dalam pengantar takhrijnya terhadap kitab Ihya’ ‘Ulum

al-Din mengatakan, bahwa jarang sekali ulama’ terdahulu menyebutkan perawi hadits

dalam karyanya; menjelaskan apa hadits tersebut shahih atau dhaif, meskipun mereka

ahli hadits. Kemudian datanglah Imam Nawawi yang mulai mentakhrijnya.

Para ulama’ terdahulu tidak menyebutkan perawi Hadits dalam karya-

karyanya, karena pengetahuan mereka sangatlah luas dan ingatan mereka sangat kuat

terhadap sumber-sumber hadits, sehingga ketika mereka membutuhkan suatu Hadits

sebagai penguat, dalam waktu singkat mereka akan dapat menemukan tempatnya

dalam kitab-kitab hadits. Keadaan yang demikian berlangsung berabad-abad, hingga

pengetahuan para ulama’ tentang hadits dan sumber aslinya menjadi sempit, maka

sulitlah bagi mereka untuk mengetahui tempat hadits yang menjadi dasar ilmu syar’i,

seperti fiqih, tafsir dan lainnya.18

Berangkat dari kenyataan ini, maka bangkitlah beberapa ulama’ untuk

bersungguh membela Hadits dengan cara mentakhrij kitab-kitab terdahulu,

17 Fathur Rahman, Ikhtisar Musthalahul Hadits, hal. 18. 18 Mahmud at-Tahhan, Ushul al Takhrij wa Dirasatu al Asaanid, hal. 15

Page 7: Ilmu Hadits. TAKHRIJ AL-HADITS. Oleh M. Syafi'i WS Al-Lamunjani (Makalah 2008)

7

menisbahkan pada sumber aslinya, menyebutkan sanad-sanadnya dan membicarakan

keshahihan dan kedhaifan bila diperlukan.

Menurut al-Thahhan, yang mula-mula kitab yang ditakhrij Haditsnya oleh

al-Khatib al-Baghdadi (463 H). Adapun di antara kitab-kitab populer yang ditakhrij

adalah Takhrij al-Fawaid al-Muntakhabah al-Shahihah wa al-Ghara’ib, karya al-

Syarif Abu al-Qasim al-Husaini dan Takhrij al-Muntakhabah al-Shahihah wa al-

Ghara’ib, karya Abu al-Qasim al-Mahrawani. Kemudian berturut-turut kitab-kitab

yang ditakhrij oleh para Ulama’ hingga menjadi populer dan banyak sekali

jumlahnya.19

Demikianlah usaha para ulama’ dalam memperhatikan Hadits agar tetap

terjaga kedudukannya. Seandainya mereka tidak menempuh usaha besar ini, maka

akan terjadi ketimpangan yang menimpa dalam kitab-kitab syar’i.

D. URGENSI TAKHRIJ AL-HADITS

Takhrij al-Hadits memiliki arti penting dalam ilmu hadits, karena adakalanya

hadits yang diterima atau ditemukan merupakan penggalan matan hadits, bukan

matan yang lengkap dan kadangkala tidak pakai sanad, bahkan tidak disebut

perawinya, Misalnya seorang mengatakan bahwa kalimat:

"إنمااألعمال بالنیات "

“Sesungguhnya semua pekerjaan itu tergantung dengan niat”

merupakan sebuah hadits. Namun, pada matan (teks) hadits tersebut tidak dijelaskan

sumbernya sehingga memberi kemungkinan bahwa kalimat tersebut merupakan

potongan dari suatu hadits yang panjang. Dan dengan melalui takhrij ini kita dapat

mengetahui secara terperinci sumber hadits tersebut dan para perawi yang

menghubungkan penulis kitab hadits itu dengan Rasulullah.

19 Ibid.

Page 8: Ilmu Hadits. TAKHRIJ AL-HADITS. Oleh M. Syafi'i WS Al-Lamunjani (Makalah 2008)

8

Selain itu juga, meskipun suatu hadits sudah ditemukan dalam kitab hadits

yang memuatnya, namun seringkali kualitas kehujjahannya tidak dijelaskan, apakah

dapat diterima (maqbul) ataukah harus ditolak (mardud). Maka Takhrij al-Hadits-lah

yang dapat mengantarkan seseorang untuk menemukan jawaban atau

penyelesaiannya atas masalah-masalah tersebut. Dengan demikian, melalui takhrij

seseorang akan tahu, apakah sanad hadits itu maqtu’ (terputus) atau muttasil

(tersambung), dan takhrij juga merupakan jalan menuju jarh wa al-ta’dil.

Secara garis besarnya, faidah Takhrij al-Hadits dapat dilihat dari empat hal

pokok antara lain; dari segi kitab sumber, sanad, matan, dan penilaiannya.20

Pertama, dari segi Kitab Sumber.

Takhrij al-Hadits mengantarkan seseorang untuk dapat mengetahui lebih

banyak kitab-kitab hadits sumber asli yang memuatnya, serta dapat menunjukkan

secara tepat tempat terdapatnya hadits tersebut dalam kitab-kitab hadits yang

memuatnya.

Kedua, dari segi Sanad.

Dengan ditemukannya hadits di dalam kitab-kitab sumber asli yang

memuatnya, maka si pen-takhrij akan dapat mengetahui lebih banyak jalur sanad

yang turut mendukung proses periwayatan hadits tersebut dan membandingkan satu

dengan lainnya sehingga mendapat informasi yang lebih banyak dan saling

melengkapi.

20 Abdul Aziz Dahlan (ad), Ensiklopedi Hukum Islam, (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve,

2000), cet. 4, hal. 1757-1758.

Page 9: Ilmu Hadits. TAKHRIJ AL-HADITS. Oleh M. Syafi'i WS Al-Lamunjani (Makalah 2008)

9

Selain itu juga dapat membedakan para perawi hadits yang memiliki nama yang

sama, misalnya; “dari Muhamad”, “dari Khalid”, “dari Abdullah”. Karena bayaknya

nama yang sama dengan nama tersebut.

Dengan takhrij ini juga bisa membatasi nama perawi sehingga tidak terlalu

panjang tetapi dapat dibedakan satu sama lainnya, karena pada nama orang Arab

sering dicantumkan nama kuniyah (gelar) misalnya dengan menyebut Ibn pada Ibnu

Abbas, Ibnu Umar, atau Abu pada Abu Bakar as-Shiddiq atau Abu Hafs bagi Umar

ibn Khattab; atau dengan Laqab (gelar) misalnya Saif Allah bagi Ali ibn Abi Thalib;

dan Nasab (marga) seperti al-Qusyairi bagi Imam Muslim.

Ketiga, dari segi Matan.

Sebagaimana sanad, Takhrij juga dapan menghantarkan seseorang untuk dapat

mengetahui redaksi-redaksi matan yang terdapat dalam berbagai kitab sumber dan

membandingkan satu dengan lainnya sehingga memungkinkannya mengetahui mana

redaksi yang lebih lengkap, serta kejanggalan-kejanggalan pada sebagian matan yang

ditemui. Misalnya ada ungkapan “عن رجل” (dari seseorang), “عن فالن” (dari si anu)

atau “جاء رجل إلى النبى صلى اهللا علیھ وسلم” (telah datang seseorang kepada Nabi

SAW), maka dengan penelitian ini akan dilacak siapa seseorang atau si anu tersebut.

Dengan takhrij ini pula dapat menghilangkan kekhawatiran adanya hadits

yang tercampur oleh perkataan perawi, misalnya pada hadits yang diriwayatkan oleh

Imam Hanbali dari Aisyah binti Abu Bakar tentang beristinjak dengan air. Dalam

hadits tersebut dikatakan: “Suatau ketika Nabi masuk ke WC, lalu beliau beristinjak

dengan air. Beristinjak dengan air dapat menyembuhkan wasir”. Ternyata, kata-kata

terakhir (dalam matan berbunyi وھو شفاء من البصور merupakan tambahan dari

Aisyah. Hal ini diketahui dengan cara membandingkannya melalui jalur lain,

sehingga dapat dibedakan perkataan perawi dengan perkataan Nabi.

Page 10: Ilmu Hadits. TAKHRIJ AL-HADITS. Oleh M. Syafi'i WS Al-Lamunjani (Makalah 2008)

10

Keempat, dari segi Penilaiannya.

Takhrij memungkinkan seseorang untuk memberikan penilaian komprehensif

terhadap suatu hadits yang ditelitinya dengan kelengkapan informasi yang didapat

berkenaan dengan sanad dan matan sehingga ia tidak ragu-ragu untuk mengatakan

apakah hadits tersebut dapat dijadikan hujjah atau tidak. Juga dapat menaikkan

kualitas suatu hadits yang tadinya dha’if menjadi hasan atau shahih berdasarkan jalur

lain yang kuat kualitasnya misalnya sebuah hadits yang dhaif dapat menjadi kuat

karena adanya jalur lain yang semakna dan syawahid (saksi) serta tawabi’ (pengikut)

yang menguatkan hadits tersebut.

E. METODE TAKHRIJ HADITS DAN KITAB-KITAB YANG DIGUNAKAN

Adapun yang pertama kali harus dilakukan bagi seseorang yang hendak

menelusuri keberadaan hadits (men-takhrij hadits) dalam kitab hadits (sumber asli)

adalah dengan memperhatikan orang-orang yang meriwayatkan hadits tersebut. atau

dengan memperhatikan temanya, lafadz-lafadznya, atau sifat-sifat khusus baik pada

sanad, atau matannya. Sehingga hal ini dapat memudahkan kita dalam menentukan

metode takhrij.

Dalam hal ini, terdapat beberapa metode pen-Takhrij-an Hadits yang

dikemukakan oleh para ilmuwan hadits, antara lain sebagai berikut:

1. Menurut Abu Muhammad Abd al-Mahdi ibn Abd al-Qadir ibn Abd al-Hadi, ada

lima metode, yakni:21

a. Takhrij menurut lafadz pertama hadits.

b. Takhrij menurut lafadz-lafadz yang terdapat dalam hadits.

21 Dari Kitab yang dikarang oleh Abu Muhammad Abd al-Mahdi ibn Abd al-Qadir ibn Abd

al-Hadi, Turuq Takhrij Hadits Rasulullah, (1994), hal. 15, yang dikutip oleh Tim Ilmuwan Ulumul Hadits, MKDK Ulumul Hadits; Disusun Sesuai dengan Silabus Kurikulum Nasional, (Palembang: P3RF IAIN, 2004), hal.114.

Page 11: Ilmu Hadits. TAKHRIJ AL-HADITS. Oleh M. Syafi'i WS Al-Lamunjani (Makalah 2008)

11

c. Takhrij menurut perawi terakhir.

d. Takhrij menurut tema hadits.

e. Takhrij menurut klasifikasi jenis hadits.

2. Menurut Mahmud at-Thahhan, juga ada lima metodenya yakni:22

a. Dengan mengetahui sahabat yang meriwayatkan hadits.

b. Dengan cara mengetahui lafadz pertama dari matan hadits.

c. Dengan cara mengetahui lafaz matan hadits yang sedikit berlakunya.

d. Dengan cara mengetahui pokok bahasan hadits atau sebagiannya, jika

mengandung beberapa pembahasan.

e. Dengan cara meneliti keadaan-keadaan hadits baik dalam sanad atau

matannya.

3. Menurut Syuhudi Ismail, bahwa secara umum metode Takhrij ada dua macam,

yaitu Takhrij al-Hadits bi al-Lafdzi dan Takhrij al-Hadits bi al-Maudhu’i.23

Pendapat ini merupakan gabungan dari dua pendapat Abu Muhammad Abd al-

Mahdi dan Mahmud at-Thahhan.

Dari metode-metode Takhrij yang dikemukakan oleh ketiga pakar hadits di

atas, maka dapat diklasifikasi dengan uraian sebagai berikut:

22 Mahmud at-Thahhan, Ushul al Takhrij wa Dirasatu al Asaanid, hal. 35 23 M. Syuhudi Isma’il, Metodologi Penelitian Hadits Nabi, hal. 24

Page 12: Ilmu Hadits. TAKHRIJ AL-HADITS. Oleh M. Syafi'i WS Al-Lamunjani (Makalah 2008)

12

Dengan Mengetahui Sahabat yang Meriwayatkan Hadits (Perawi Paling

atas)

Menelusuri hadits dengan cara ini terlebih dahulu harus mengetahui perawi

paling atas dari hadits tersebut, terkadang dari kalangan sahabat jika hadits tersebut

muttasil atau dari tabi’in jika hadits mursal. Dengan demikian jika hadits yang kita

temui tersebut disebutkan perawi atasnya, maka hadits tersebut dapat ditelusuri

dengan cara ini. Namun jika terdapat hadits ditemukan tersebut tidak disebutkan

perawi atasnya, maka dapat ditelusuri dengan cara lain.

Adapun kitab-kitab yang memuat hadits dengan metode ini terbagi tiga yakni

al-Masanid, al-Ma’aajim dan Kutub al-Athraf ;24

1. Al-Masanid (Kitab-kitab Musnad) yaitu kitab yang disusun secara hijaiyah

berdasarkan nama perawi paling awal dari kalangan sahabat atau tabi’in.

Kitab-kitab ini berjumlah cukup banyak, dan di antaranya yang terkenal

adalah; “Musnad al-Imam Ahmad Ibn Hanbal” karya Ahmad Ibn Hanbal

(Imam Hanbali).25

2. Al-Ma’aajim merupakan bentuk jamak dari mu’jam, yaitu kitab yang padanya

disusun hadits-hadits berdasarkan musnad-musnad sahabat, guru-guru, dan

seterusnya. Biasanya penyusunan nama-namanya berdasarkan huruf-huruf

ensiklopedi. Sejumlah kitab mu’jam yang terkenal antara lain; “al-Mu’jam al-

Khabir”, “al-Mu’jam al-Shaghir” dan “al-Mu’jam al-Ausath” karya Abu

Qasim Sulaiman ibn Ahmad at-Thabari, “al-Mu’jam al-Shahabah” karya

Ahmad Ali Hamdani serta “al-Mu’jam al-Shahabah” karya Abu YA’la

Ahmad ibn Ali al-Mushili.26

24 Mahmud at-Thahhan, Ushul al Takhrij wa Dirasatu al Asaanid, hal. 39.

25 Ibid., hal. 40 26 Ibid., hal. 45-46

Page 13: Ilmu Hadits. TAKHRIJ AL-HADITS. Oleh M. Syafi'i WS Al-Lamunjani (Makalah 2008)

13

3. Kutub al-Athraf (Kitab-kitab “Sudut”) yaitu kitab yang memuat bagian-

bagian awal (athraf, “sudut”) matan hadits dari kitab-kitab hadits tertentu

secara hijaiyah berdasarkan nama perawi paling atas. Di antara kitab Athraf

ini adalah; “Athraf as-Shahihain” (Kitab “sudut” untuk Bukhari Muslim)

karya Abu Mas’ud Ibrahim ibn Muhammad ibn Ubaid ad-Dimasqi, “Athraf

Shahihaini” (Kitab “sudut” untuk Bukhari Muslim) karya Khalf ibn Hamdun

al-Wasiti, “Athraf Kutub al-Sittah” (Kitab “sudut” dari Enam Kitab Hadits)

karya Syamsuddin Abu al-Fadl Muhammad ibn Thahir ibn Ahmad al-Maqdisi

al-Qaisarani, dan lain sebagainya.27

Dengan Cara Mengetahui Lafadz Pertama dari Matan Hadits.28

Untuk melakukannya, terlebih dahulu harus diketahui seluruh atau sekurang-

kurangnya awal dari suatu hadits. Kemudian dilihat huruf awal dari kata yang paling

awal matan hadits tersebut.

Misalnya Matan hadits :

" من غسن فلیس منا "

” Barangsiapa menipu, bukan ummatku”

Ini dapat ditelusuri pada kitab takhrij bab ”mim” dan “nun” (huruf awal dan

kedua pada kata pertama hadits tersebut, "َمْن" ). Pada kitab tersebut akan ditemukan

penjelasannya, dan sumber kitab hadits utama yang mencantumkan hadits tersebut

misalnya; Sahih al Bukhari, Sahih Muslim atau lainnya, serta jalur-jalur dan

rangkaian silsilahnya sampai kepada Nabi SAW.

27 Ibid., hal. 47- 49.

28 TIM UIN Syarif Hidayatullah, Ensiklopedi Hukum Islam, (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van

Hoeve, 1999), cet. 3, hal. 213-214.

Page 14: Ilmu Hadits. TAKHRIJ AL-HADITS. Oleh M. Syafi'i WS Al-Lamunjani (Makalah 2008)

14

Berikut ini merupakan kitab-kitab hadits yang disusun dengan menggunakan

metode secara kronologis hijaiyah (alfabetis) dari huruf ‘alif’ hingga ‘ya’

berdasarkan huruf pertama dari lafal awal yang ada poada hadits tersebut. Yakni:

a. Kitab karangan Jalaluddin as-Suyuthi diantaranya;

- Kitab al-Jami’ as-Shagir min Hadits al-Basyir an-Nadzir (Koleksi Kecil

Hadits Kabar Gembira dan Peringatan)

- Kitab al-Fath al-Kabir fi Dammi az-Ziyadah ila al-Jami’ as-Shagir

(Suplemen Kitab al-Jami’ as-Shagir)

- Kitab Jam’u al-Jawami’ (Kitab Himpunan) atau disebut juga al-Jami’ al-

Kabir (Himpunan Besar)

b. Kitab Karangan Abdur Rauf ibn Tajuddi Ali al-Hadi al-Munawi yakni:

- Kitab al-Jami’ al-Azhar min Hadits an-nabi al-Anwar (Untaian Bunga

dari Hadits Nabi Pembawa Sinar)

- Kanz al-Haqa’iq fi Hadits Khair al-Khala’iq (Perbendaharaan Hadits

dari Manusia Pilihan)

c. Karangan Abdu ar-Rahman ibn Anbar al-Tahtawi yang berjudul “Hidayah

al-Bari ila Tartib Ahadits al-Bukhari” (Petunjuk yang Baik ke Arah Hadits-

hadits Bukhari).

d. Kitab karangan As-Sakhawi yang berjudul “al-Maqasid al-Hasanah fi Bayan

Katsir min Ahadits al-Musytahirah ‘ala Alsinah” (Penjelasan yang Bai bagiu

Hadits-hadits Terkenal).

e. Kitab karangan Abdu ar-Rahman ibn Ali ad-Darbi yang berjudul “Kitab

Tamyiz at-Thayyib min al-Hadits” (Kitab Pembeda antara yang Baik dan

yang Buruk dari Perkataan Manusia tentang Hadits).

Page 15: Ilmu Hadits. TAKHRIJ AL-HADITS. Oleh M. Syafi'i WS Al-Lamunjani (Makalah 2008)

15

Dengan Cara Mengetahui Lafaz Matan Hadits yang Sering Digunakan atau

tidak (yang sedikit Berlakunya).29

Cara ini dilakukan dengan menelusuri hadits berdasarkan huruf awal kata

dasar pada lafadz-lafdz yang ada pada matan hadits, baik ism (kata benda), maupun

fi’il (kata kerja). Dalam hal ini huruf tidak dijadikan pegangan, misalnya, ditemukan

hadits:

"إنمااألعمال بالنیات "

“Sesungguhnya semua pekerjaan itu tergantung dengan niat”

dapat ditelusuri melalui lafal “al’a’mal (األعمال)” dari ‘ain sebagai huruf

pertamanya dari kata dasar ‘amal (عمل) atau ‘amalan (عمال). Dan bisa juga melalui

lafadz an-niyyat (النیات) dari huruf pertamanya nun sebagai awal dari kata dasar

nawa (نوى). Hadits ini tidak bisa ditelusuri melalui lafadz innama (إنما) atau bi (ب)

karena keduanya dalam bahasa Arab dikategorikan sebagai huruf.

Adapun kitab takhrij yang menggunakan cara ini antara lain; “al-Mu’jam al-

Mufahras li Alfadz al-Hadits an-Nabawi” (Indeks Hadits Nabi) karya A.J. Wensinck

(ahli keIslaman Universitas Leiden) yang diterjemahkan ke dalam bahasa Arab oleh

Dr. Muhammad Fu’ad Abdul Baqi (ahli Hadits). Kitab ini memuat susunan lafadz-

lafadz (isim dan fi’il) secara hijaiyah yang terdapat pada matan hadits al-Kutub as-

Tis’ah (Kitab yang sembilan) yaitu ialah Shahih Bukhari, Shahih Muslim, Sunan

Abu Daud, Sunan Tirmidzi, Sunan Nasa’i dan Sunan Ibnu Majah, Sunan Darimi, Al-

Muwaththa’ dan Musnad Imam Ahmad ibn Hanbal. Kemudian kitab “Fihris Shahih

Muslim” (Indeks Shahih Muslim) karya Muhammad Fu’ad Abdul Baqi, serta “Fihris

Sunan Abi Dawud” (Indeks Sunan Abu Daud) karya Ibn Bayumi yang diuraikan oleh

Mahmud Khattah as-Subki.

29 Mahmud at-Thahhan, Ushul al Takhrij wa Dirasatu al Asaanid, hal. 91-105.

Page 16: Ilmu Hadits. TAKHRIJ AL-HADITS. Oleh M. Syafi'i WS Al-Lamunjani (Makalah 2008)

16

Dengan Cara Mengetahui Pokok Bahasan Hadits (Tema Hadits) atau

Sebagiannya, jika Mengandung beberapa Pembahasan.30

Dilakukan dengan cara menelusuri hadits berdasarkan temanya, apakah

bersifat umum atau tertentu (khusus) seperti fiqih, tafsir, atau hukum. Misalnya;

Kitab yang umum (mencakup semua topik) di antaranya;

- “Kanz al-‘Ummal fi al-Aqwal wa al-Af’al” (Perbendaharaan Amal dari

Sunnah Perkataan dan Perbuatan Nabi) karya al-Burhanpuri al’Hindi

- “Miftah Kunuz as-Sunnah” (Kunci Pembuka Bendahara Sunnah) karya A.J.

Wensinck.

- “Al-Mughni an Haml al-Ashfar fi Takhrij ma fi al-Ihya min al-Akhbar” (Kitab

Lengkap untuk Mengetahui dan Menghidupkan Hadits Nabi) karya al-‘Iraqi

- “Kitab Nasb ar-Riwayah li Takhrij Ahadits ar-Riwayah” (Kitab Riwayat

untuk Mengetahui Hadits Riwayat) karya Jamaluddin Abu Muhammad

Abdullah ibn Yusuf ibn Muhammad Ayyub ibn Musa al-Hanafi az-Zaila’i.

- selanjutnya beberapa kitab karya Ibnu Hajar al-Asqalani yaitu “ad-Dirayah fi

Takhrij Ahadits al-Hidayah (Kitab Hadits Hidayah) dan kitab “at Talkhis al-

Habir fi Takhrij Ahadits ar-Rafi’ al-Kabir (Ringkasan dari Kitab-kitab Hadits

Besar).

Sedangkan Kitab-kitab yang khusus seperti masalah Hukum antara lain;

“Muntaqa al-Akhbar min Ahadits Sayyid al-Akhyar SAW” (Hadits Bersih dari Nabi

Pilihan) karya Ibn Taimiyyah, “Bulug al-Maram” (ke arah Tujuan) karya Ibnu Hajar

al-Asqilani. Selanjutnya contoh kitab yang berisi Peringatan antara lain; “Kitab at-

Targhib wa Tarhib min Ahadits asy-Syarif” (Kitab Pembawa Kabar Suka dan Duka

dari Hadits yang Mulia) karya al-Munziri, contoh kitab Hadits Tafsir misalnya; “ad-

30 TIM UIN Syarif Hidayatullah, Ensiklopedi Islam, hal. 215. Lihat juga Mahmud at-

Thahhan, Ushul al Takhrij wa Dirasatu al Asaanid, hal. 108-145.

Page 17: Ilmu Hadits. TAKHRIJ AL-HADITS. Oleh M. Syafi'i WS Al-Lamunjani (Makalah 2008)

17

Durr al-Mansur fi Tafsir bi al-Mansur” (Permata Tersembunyi dari Tafsir Riwayat)

karya as-Suyuthi, serta “Fath al_qadir al-Jami’ baina Fannay ar-Riwayah wa ad-

Dirayah min ‘Ilm at-Tafsir” (Pembuka Kekuatan, Sintesa dari Dua Bidang, Riwayah

dan Dirayah dari Ilmu Tafsir) karya Muhammad ibn Ali as-Syaukani.

Dengan Cara Meneliti sifat Lahir Hadits (Keadaan-keadaan Hadits baik

dalam Sanad atau Matannya).31

Cara penelusuran ini misalnya pada hadits mutawatir (diriwayatkan oleh

sejumlah orang pada setiap sanadnya), qudsi (maknanya berasal dari Allah SWT.,

sedangkan lafalnya dari Nabi Muhammad SAW), masyhur (diriwayatkan oleh tiga

tiga perawi atau lebih tetapi belum mencapai derajat mutawatir), mursal

(diriwayatkan langsung dari tabi’in), dan maudhu’ (hadits palsu).

Adapun kitab-kitab yang memuat kategori hadits-hadits tersebut antara lain

adalah;

- Mutawatir ; “al-Azhar al-Mutanasirah fi al-Akhbar al-Mutawatirah”

(Permata yang Memancar dari Hadits Mutawatir) karya Jalaluddin as-Suyuthi.

- Kitab yang memuat hadits Qudsi misalnya; “al-Ittihafat as-Sunniah fi al-

Ahadits al-Qudsiah” (Persembahan Sunnah dari hadits Qudsi) karya al-

Madani.

- Kitab yang memuat hadits Masyhur seperti; “al-Maqasid al-Hasanah fi

Bayan Katsir min al-Hadits al-Musytahirah” (Tujuan yang Baik dalam

Menjelaskan Sebagian Besar Hadits Masyhur) karya al-Sakhawi.

- Kitab yang memuat hadits Mursal misalnya; “al-Marasil” (Hadits-hadits

Mursal) karya Abu Dawud.

31 At-Thahhan, Ushul al Takhrij wa Dirasatu al Asaanid, hal. 148-153.

Page 18: Ilmu Hadits. TAKHRIJ AL-HADITS. Oleh M. Syafi'i WS Al-Lamunjani (Makalah 2008)

18

- Kitab yang memuat hadits Dha’if misalnya; “al-Maudhu’at” (Hadits-hadits

Palsu), “al-‘Ilal al-Mutanahiyyah fi al-Ahadits al-Wahiyyah”, dan “al-Manar

al-Munif fi as-Shahih wa al-Dha’if” (Cahaya yang Tinggi dalam Hadits Sahih

dan Da’if) karya Ibnu Qayyim al-Jauziah, serta karya Jalaluddin as-Suyuthi

yang berjudul “ al-La’i al-Masnu’at fi Ahadits al-Maudhu’at”.

Metode-metode yang dikemukakan di atas, akan sangat berguna sekali bagi

setiap orang yang akan menelusuri keberadaan suatu hadits serta kehujjahannya yang

terdapat dalam kitab-kitab sumber asli. Dalam prakteknya sendiri, pentakhrij dapat

memilih salah satu dari metode yang dikemukakan di atas, tentunya harus sesuai

dengan kondisi hadits yang ditemukan atau kriteria hadits yang akan ditelusuri.

F. CONTOH PRAKTEK PENTAKHRIJAN

Berikut ini adalah contoh apabila hendak mentakhrij sebuah hadits yang tidak

dicantumkan perawi, atau sanadnya yang tidak lengkap, seperti:

"إنمااألعمال بالنیات "

Adapun langkah awal yang diharuskan dalam pentakhrijan adalah mengetahui

atau mengenal kitab-kitab kunci sebagi alat untuk menelusuri hadits kepada sumber

aslinya. Dalam praktek takhrij (penelusuran hadits) ini, penulis hanya memberikan

salah satu contoh kitab kunci yang digunakan untuk menelusuri keberadaan hadits

pada kitab-kitab sumber asli. Sebagai contoh kitab kunci yang dimaksud adalah: Al-

Mu’jam al-Mufahras li Alfaadzi al-Hadits an-Nabawi32

32 Kitab ini disusun oleh Dr. A.J. Wensinck (ahli keIslaman Universitas Leiden) yang dibantu

oleh Dr. Muhammad Fu’ad Abdul Baqi (ahli Hadits) dalam mentakhrijkan hadits dan menerbitkan kitab tersebut. Kitab ini juga merupakan kitab mu’jam yang memuat daftar lafal hadits dalam sembilan kitab hadits yang termasyhur.

Page 19: Ilmu Hadits. TAKHRIJ AL-HADITS. Oleh M. Syafi'i WS Al-Lamunjani (Makalah 2008)

19

Dalam pencarian hadits tersebut di atas yang melalui al-Mu’jam al-Mufahras,

pentakhrij dapat mengambil satu kalimat tersebut di atas. Kita bisa mengambil kata

dalam kata a’mal ini seorang pentakhrij tidak mencari dalam kata) أعمال atau النیات

a’mal, namun mencari pada kata عمل.

Kemudian pentakrij akan mendapatkan hadits tersebut di atas dalam kitab al-

Mu’jam al-Mufahras ini sebagai berikut:

زھدجھ طھارةن طالقد امارة م بدء الوحي خ: تإنمااألعمال بالنیا

Dengan demikian seorang pentakhrij akan mengetahui bahwa hadits tersebut

secara lengkap matannya dan juga sanadnya dapat diketahui pada kitabab Shahih

Bukhari, bab Bad’u al-wahy, hal. 1; Shahih Muslim, bab Imarah, hal. 100; Sunan

Abu Daud, bab Thalaq, hal. 11; Sunan an-Nasa’i, bab Thaharah, hal. 59; Sunan Ibnu

Majah, bab Zuhd, hal. 26.

Namun perlu diperhatikan di sini dalam halaman kitab-kitab hadits. Tidak

semua penerbit kitab-kitab hadits yang sesuai dengan halaman yang setandar dengan

al-Mu’jam al-Mufahras. Oleh karena itu, agar memudahkan dalam pentahrijan hadits

seorang pentakhrij sebaiknya memakai kitab-kitab hadits yang setandar dengan kitab

al-Mu’jam al-Mufahras.

Adapun kitab-kitab hadits yang menjadi bahasan Mu’jam ini digunakan

rumus sebagai berikut:

untuk Shahih Bukhari خ .1

untuk Shahih Muslim م .2

untuk Jami’ at-Turmudzi ت .3

untuk Sunan Abu Dawud د .4

untuk Sunan an-Nasa’i ن .5

untuk Sunan Ibnu Majah جھ .6

Page 20: Ilmu Hadits. TAKHRIJ AL-HADITS. Oleh M. Syafi'i WS Al-Lamunjani (Makalah 2008)

20

’untuk al-Muwaththa ط .7

untukMusnad Ahmad ibn Hanbal حم .8

.untuk Musnad ad-Darimi دي .9

Dengan demikian cara yang dipakai pada Mu’jam Mufahras ini untuk

menunjukkan tempat hadits dalam kesembilan buah kitab hadits tersebut setelah

ditulis tanda-tandanya, lalu ditulis pula nama pembahas yang dikandung hadits

tersebut. Seperti masalah adab, tijarah, fadla’ilu al-shahabah dan lainnya. Lain pula

dalam Musnad Ahmad karena kitab ini disusun berdasarkan nama-nama sahabat,

kemudian menjelaskan nomor bab dalam pembahasan tersebut.

G. PENUTUP

Takhrij al-Hadits merupakan upaya penelusuran di mana terdapatnya hadits

(yang menjadi objek kajian/pembicaraan) di dalam kitab-kitab hadits sumber asli

(yang menukilnya lengkap dengan sanadnya) dan disertai dengan penjelasan tentang

kualitas atau nilai kehujjahannya (apakah suatu hadits dapat dijadikan dalil atau tidak)

jika diperlukan. Istilah untuk orang yang mengerjakan hal ini (mentakhrij) disebut

Mukharrij (مخرج).

Kitab-kitab takhrij yang dihimpun oleh para imam hadits yang digunakan

untuk menelusuri keberadaan dan keorisinilan suatu hadits, baik matan, sanad atau

rawinya, serta derajat kehujjahannya adalah kitab-kitab sumber asli yang diterima

langsung oleh para imam hadits langsung dari gurunya dan bukan dari kitab-kitab

hadits yang telah ada.

Dalam pengertian terminologi, pengeluaran hadits dengan merujuk kepada

kitab-kitab yang menghimpun sebagian hadits bukan menerimanya secara langsung

dari guru-gurunya tetapi dari kitab-kitab yang sudah ada tidak dinamakan Takhrij,

dikarenakan hadits tersebut tercantum pada sebuah kitab yang menjadi acuan namun

Page 21: Ilmu Hadits. TAKHRIJ AL-HADITS. Oleh M. Syafi'i WS Al-Lamunjani (Makalah 2008)

21

dipergunakan oleh orang-orang yang lemah dalam mengetahui sumber-sumber

orisinil hadits.

Adapun mekanisme pen-Takhrij-an antara lain; mengetahui sahabat yang

meriwayatkan hadits (perawi paling atas), meneliti sifat lahir hadits (keadaan-keadaan

hadits baik dalam sanad atau matannya), mengetahui pokok bahasan hadits (tema

hadits) atau sebagiannya, jika mengandung beberapa pembahasan, mengetahui lafadz

pertama dari matan hadits, dan mengetahui lafaz matan hadits yang sering digunakan

atau tidak (yang sedikit berlakunya).

Page 22: Ilmu Hadits. TAKHRIJ AL-HADITS. Oleh M. Syafi'i WS Al-Lamunjani (Makalah 2008)

22

DAFTAR PUSTAKA

Al-Abadi, Al-Fairuz, 1313 H, al-Qamus al-Muhith (Kairo: al-Mayammaniyah)

At Thahhan, Mahmud, Ushul al Takhrij wa Dirasah al Asaanid, (Riyadh: Maktabah

al Rusydi, 1983), cet. 5

Al-Khatib, Ajjaj, Ushul al-Hadits; ‘Ulumuhu wa Mushthalahuhu, (Beirut: Dar al-

Fikr, 1981)

Al-Sakhawi, Syamsuddin Muhammad ibn Abdurrahman, Fath al-Mughits, Syarh

Alfiyah al-Hadits li al-‘Iraqi, (al-Madinah: al-Maktabah al-Syalafiyah, 1968)

As Sayuthi, Jalaluddin, Asbab Wurud al Hadits, diterjemahkan oleh H.O. Taufiqullah

& Afif Mohammad, (Bandung: Pustaka, 1985), cet. 1

Ash Shiddieqy, M. Hasbi, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits, (Jakarta: Bulan

Bintang, 1993), cet. 2

--------------------, Pokok-pokok Ilmu Dirayah Hadits, (Jakarta: Bulan Bintang, 1976),

cet. 4, Jil. II

Ambary, Hasan Mu’arif (ed)., Ensiklopedi Islam, (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van

Hoeve, 1999), cet. 3

TIM UIN Syarif Hidayatullah, Ensiklopedi Hukum Islam, (Jakarta: PT. Ichtiar Baru

Van Hoeve, 2000), cet. 4

Husnan, Ahmad, Kajian Hadits; Metode Takhrij, (Jakarta: Pustaka al Kautsar, 1993)

Ibn ‘Ali, Muhammad Ma’shum, al-Amtsilah al-Tashrifiyah li Madaris as-Salafiyyah

as-Syafi’iyyah, (Jombang: Maktabah as-Syaikh Salim ib Sa’ad Nubhan, tt)

Isma’il, M. Syuhudi, Metodologi Penelitian Hadits Nabi, (Jakarta: Bulan Bintang,

1992)

Ma’luf, Louis, 1986, al-Munjid fi al-Lughah (Beirut: Dar al-Masyriq)

Page 23: Ilmu Hadits. TAKHRIJ AL-HADITS. Oleh M. Syafi'i WS Al-Lamunjani (Makalah 2008)

23

Rahman, Fathur, Ikhtisar Musthalahul Hadits, (Bandung: PT. Al-MA’arif, 1991)

Suyitno, Studi Ilmu-ilmu Hadits, (Palembang: IAIN Raden Fatah Press, 2006), cet. 1

Tim Ilmuwan Ulumul Hadits, MKDK Ulumul Hadits; Disusun Sesuai dengan Silabus

Kurikulum Nasional, (Palembang: P3RF IAIN, 2004)