Vol. 13• No. 1 • Januari 2015 ISSN 1693-3834 Jurnal Ilmu dan Teknologi Kayu Tropis (Journal of Tropical Wood Science and Technology) Diterbitkan oleh: Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (The Indonesian Wood Research Society)
Vol. 13• No. 1 • Januari 2015 ISSN 1693-3834
Jurnal
Ilmu dan Teknologi Kayu Tropis (Journal of Tropical Wood Science and Technology)
Diterbitkan oleh:
Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia
(The Indonesian Wood Research Society)
Vol. 13• No. 1 • Januari 2015 ISSN 1693-3834
Jurnal
Ilmu dan Teknologi Kayu Tropis (Journal of Tropical Wood Science and Technology)
Penanggung Jawab: Ketua Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia
Ketua Dewan Penyunting (Chief editor): Fauzi Febrianto
Penyunting Ahli (Editorial Board Members):
Edi Suhaimi Bakar (UPM Malaysia)
Enos Tangke Arung (Fahutan UNMUL)
Imam Wahyudi (Fahutan IPB)
Nyoman Jaya Wistara (Fahutan IPB)
Lina Karlinasari (Fahutan IPB)
Musrizal Muin (Fahutan UNHAS)
Ragil Widyorini (Fahutan UGM)
Subyakto (UPT BPP Biomaterial LIPI)
Wahyu Dwianto (UPT BPP Biomaterial LIPI)
Penyunting Pelaksana (Managing Editors)
Anne Carolina
Deded Sarip Nawawi
Fengky Satria Yoresta
Rita Kartika Sari
Sukma Surya Kusumah
Alamat Redaksi Departemen Hasil Hutan Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor
Kampus IPB Darmaga Bogor 16680
Telp/Fax. +62-251-8621285, email : [email protected] http://www.mapeki.org
Jurnal Ilmu dan Teknologi Kayu Tropis adalah jurnal resmi Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia
(MAPEKI) yang terbit sejak tahun 2003. Jurnal ini mempublikasikan artikel asli baik penelitian
dasar maupun terapan di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi kayu, bahan berlignoselulosa
bukan kayu, hasil hutan lainnya dan industri hasil hutan. Selain itu, jurnal ini juga
mempublikasikan artikel ulas balik (review) dengan tema yang ditentukan oleh redaksi. Setiap
artikel yang diterbitkan dalam jurnal ini telah ditelaah oleh mitra bestari yang dicantumkan pada
nomor paling akhir dari setiap volume. Penerbitan jurnal 2 kali dalam setahun (Januari dan Juli).
Harga langganan jurnal (hardcopy) sebesar Rp 100.000/tahun. Jurnal juga dapat diakses secara
online di http://www.mapeki.org/jitkt. Jurnal ini telah terakreditasi B oleh DIKTI dengan Nomor
212/P/2014.
Vol. 13• No. 1 • Januari 2015 ISSN 1693-3834
Daftar Isi Artikel Asli: Aktivitas Antifungi Ekstrak Akar Mahoni terhadap Isolat
Botryodiplodia theobromae Pat. Penyebab Mati Pucuk pada Bibit
Jabon
(Antifungal Activity of Mahogany Root Extracts against Botryodiplodia
theobromae Pat. Isolate Causing Dieback on Jabon Seedling)
Syamsul Falah, Achmad, Aji Winara……………….….............................
1-10
Physical and Mechanical Properties of 10-Year Old Superior and
Conventional Teak Planted in Randublatung Central Java Indonesia
Fanny Hidayati, Joko Sulistyo, Ganis Lukmandaru, Tomy Listyanto, Harry
Praptoyo, Rini Pujiarti……………………………………..…………….....
11-21
Perilaku Elastik Beban-Defleksi Balok Kayu Laminasi pada
Pengujian Lentur
(Elastic Load-Deflection Behavior of Timber Laminated Beam on
Flexural Test)
Fengky S Yoresta……………………..……………..……….......................
22-27
Kadar Kinon dalam Kayu Teras Jati yang Diisolasi dengan Ekstraksi
Rendaman Dingin
(Quinone Contents in Teak Heartwood Isolated by Cold Extraction)
Ganis Lukmandaru………….………………………………………………
28-38
Properties of Wood Plastic Composite Using Primary Sludge as Filler
Iwan Risnasari, Fauzi Febrianto, Nyoman J Wistara, Sucahyo Sadiyo, Siti
Nikmatin........................................................................................................
39-50
Karakteristik Kecepatan Gelombang Suara dan Sifat Anatomi
Sadapan Pohon Pinus
(Characteristics Ultrasonic Waves Velocity and Anatomical Properties of
Tapping Pine)
Maryam Jamilah, Lina Karlinasari, Sucahyo Sadiyo, Gunawan Santosa….
51-60
Formulasi Umpan dari Campuran Kayu Terdegradasi dan Kertas
Limbah untuk Pengendalian Rayap
(Bait Formulations from the Mixture of Degraded Wood and
Wastepaper for Termite Control)
Musrizal Muin, Astuti Arif, Sitti Nuraeni, Wa Ode F Zohra………………
61-69
Trace Elements Content of Mangium Pulp throughout ECF Bleaching
Stages as Measured by ICP
Nyoman Wistara, Devi Nurmala...................................................................
70-79
Vol. 13• No. 1 • Januari 2015 ISSN 1693-3834
Pemanfaatan Kulit Buah Durian sebagai Stimulan Penyalaan Briket
Batubara
(The Application of Durian Rind as a Burning Stimulant of Coal
Briquettes)
Sanjaya……………..……………………………………………………….
80-87
Aktivitas Antioksidan dan Inhibitor Tirosinase Ekstrak Metanol
Mangium (Acacia mangium)
(Antioxidant and Tyrosinase Inhibitor Activities of Methanol Extracts
of Acacia mangium)
Rita K Sari, Rahmi Utami, Irmanida Batubara, Anne Carolina, Salina
Febriany………………………………………………………………….….
88-97
1 Aktivitas Antifungi Ekstrak Akar Mahoni terhadap Isolat Botryodiplodia theobromae Pat.
Penyebab Mati Pucuk pada Bibit Jabon
Syamsul Falah, Achmad, Aji Winara
Aktivitas Antifungi Ekstrak Akar Mahoni terhadap Isolat
Botryodiplodia theobromae Pat. Penyebab Mati Pucuk pada Bibit Jabon
(Antifungal Activity of Mahogany Root Extracts against Botryodiplodia
theobromae Pat. Isolate Causing Dieback on Jabon Seedling)
Syamsul Falah1*, Achmad2, Aji Winara3
1 Departemen Biokimia Fakultas MIPA Institut Pertanian Bogor, Kampus Dramaga,
Bogor 16680 2 Departemen Silvikultur Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor, Kampus
Dramaga, Bogor 16680 3 Peneliti Balai Penelitian Teknologi Agroforestry Kementerian Kehutanan,
Ciamis
*Penulis korespondensi: [email protected]
Abstract
Dieback on jabon (Anthocephalus cadamba (Roxb.) Miq.) seedling caused by fungi
Botryodiplodia theobromae Pat. decreased seedling’s quality and nurseries economic benefits. The
control of dieback pathogen on jabon seedling used biofungicide from plant extract have not been
studied intensively nowadays. Mahogany (Swietenia macrophylla King.) is one of the promising
medicinal plants in Indonesia but its utilization as a biofungicide specially for controlling the
dieback on jabon seedling has not been reported. This research aimed to examine the antifungal
activities of mahogany root extracts against B.theobromae isolate causing dieback on jabon seedling
in vitro. The poisoned food technique was used in assay of the antifungal activities of mahogany
root extract. The result showed that mahogany root extract has antifungal activities against
B.theobromae with the highest efective growth inhibition was the metanol solvent on 50%
concentration level. Microscopical examination showed the inhibition of mycelium growth was
caused by the changes on hyphae morphology and growth direction which were beads formation
and curling.
Keywords: antifungal, Botryodiplodia theobromae, jabon, mahogany root
Abstrak
Penyakit mati pucuk pada bibit jabon (Anthocephalus cadamba (Roxb.) Miq.) yang disebabkan
oleh fungi Botryodiplodia theobromae telah menurunkan kualitas bibit dan merugikan para
pegiat persemaian. Saat ini pengendalian penyakit mati pucuk pada bibit jabon menggunakan
fungisida dari ekstrak tanaman masih sangat minim. Mahoni (Swietenia macrophylla King.)
merupakan salah satu potensi tumbuhan obat Indonesia yang ketersediaannya melimpah namun
potensinya sebagai fungisida nabati khususnya dalam mengendalikan penyakit mati pucuk pada
bibit jabon belum diketahui. Penelitian ini bertujuan mengukur aktivitas antifungi ekstrak akar
mahoni secara in vitro terhadap isolat B. theobromae penyebab mati pucuk pada bibit jabon.
Pengukuran aktivitas antifungi ekstrak akar mahoni dilakukan melalui teknik peracunan
makanan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa secara in vitro ekstrak akar mahoni bersifat
antifungi B. theobromae dengan nilai penghambatan pertumbuhan isolat tertinggi efektif
dihasilkan oleh ekstrak metanol akar pada taraf konsentrasi 50%. Penghambatan pertumbuhan
isolat disebabkan oleh morfologi hifa yang abnormal berupa bentuk manik-manik dan
perubahan arah pertumbuhan hifa yang melingkar.
Kata kunci: akar mahoni, antifungi, Botryodiplodia theobromae, jabon.
2 J. Ilmu Teknol. Kayu Tropis Vol.13 No.1 Januari 2015
Pendahuluan
Penyakit mati pucuk pada bibit Jabon
(Anthocephalus cadamba (Roxb.) Miq.)
telah menurunkan kualitas bibit dan
merugikan para pegiat budidaya jabon.
Jabon saat ini menjadi komoditi hasil
hutan tanaman khususnya sebagai
penyedia bahan baku kayu lapis, papan
partikel, papan semen, papan blok, pulp
dan kertas, kayu kontruksi ringan, bahan
baku kerajinan, perahu, batang korek api,
batang sumpit dan pensil (Soerianegara
& Lemmens 1993). Selain itu jabon
banyak digunakan sebagai tanaman
penghijauan dan rehabilitasi lahan bekas
tambang. Hal ini disebabkan jabon
memiliki sifat yang relatif adaptif pada
berbagai kondisi tempat tumbuh
(Krisnawati et al. 2011).
Patogen primer penyakit mati pucuk
pada bibit jabon adalah fungi
Botryodiplodia theobromae Pat. dengan
tingkat kejadian penyakit mati pucuk
pada bibit jabon di Bogor mencapai 15%.
Gejala awal yang muncul pada bibit
berupa nekrotik pada batang yang
bergerak secara vertikal menuju daun
kemudian pucuk, mengakibatkan batang
membusuk, daun menguning dan pucuk
mati (Aisah 2014). Fungi B. theobromae
tergolong kelompok fungi anamorfik dan
menjadi patogen penyakit tanaman
berkayu khususnya di daerah tropis (Ellis
et al. 2007).
Menurut Anggraeni dan Lelana (2011),
fungi Botryodiplodia dilaporkan menjadi
patogen pada beberapa tanaman
kehutanan di Indonesia antara lain
menyebabkan bercak daun pada pulai
(Alstonia sp.), busuk akar pada meranti
(Shorea sp.), bercak daun pada merbau
(Intsia bijuga Kuntze.), bercak daun pada
bakau (Rhizophora mucronata Lamk.),
bledok pada nyamplung (Calophyllum
inophyllum Linn.), penyakit batang pada
gaharu (Aquilaria malaccensis Lamk.)
dan bercak daun pada skubung
(Macaranga gigantea Muell.). Selain itu,
di dunia fungi B. theobromae telah
menjadi patogen mati pucuk pada
beberapa tanaman budidaya antara lain
Albizia falcataria (Sharma & Shankaran
1988), Mangifera indica (Khanzada et al.
2004, Ismail et al. 2012), Pinus taeda
dan P. elliotii (Cillier et al. 1993),
Grevellia robusta (Njugana 2011),
Syzygium cordatum (Pavlic et al. 2007),
Pouteria sapota (Pedraza et al. 2013),
aprikot dan persik (Li et al. 1995),
Theobroma cacao (Semangun 2000,
Kannan et al. 2010), Citrus spp. (Alam
et al. 2001, Salamiah et al. 2008),
Annona squamosa dan A. cherimola
(Haggag & Nofal 2006), Prunus spp.
(Shah et al. 2010) dan Vitis vinifera
(Torres et al. 2008, Al-Saadon et al.
2012).
Pemanfaatan ekstrak tanaman sebagai
agen pengendali penyakit tanaman pada
tataran aplikasi masih sangat minim
termasuk pada kegiatan pengendalian
penyakit mati pucuk pada bibit jabon
yang hingga saat ini masih menggunakan
fungisida sintetik. Pemanfaatan fungisida
nabati dalam pengendalian penyakit mati
pucuk belum dilakukan disebabkan
kurangnya informasi tentang potensi
fungisida nabati, padahal potensi
tumbuhan obat di Indonesia sangat tinggi
yang kemungkinan berpotensi pula
sebagai bahan baku fungisida nabati,
salah satunya adalah mahoni (Swietenia
macrophylla King.). Beberapa bagian
mahoni diketahui secara ilmiah memiliki
sifat farmakologi sebagai obat seperti
antifungi, antidiabetes, antimutagenik,
antibakteri, antihepatitis C, antivirus,
antitumor, antikanker, antioksidan,
inflammatori (Eid et al. 2013). Adapun
bagian mahoni yang telah diketahui
bersifat antifungi khususnya terhadap
3 Aktivitas Antifungi Ekstrak Akar Mahoni terhadap Isolat Botryodiplodia theobromae Pat.
Penyebab Mati Pucuk pada Bibit Jabon
Syamsul Falah, Achmad, Aji Winara
fungi patogen penyakit pada manusia
antara lain daun (Tan et al. 2009), kulit
batang (Dewanjee et al. 2007) dan biji
(Maiti et al. 2007). Sementara itu
pemanfaatan bagian akar mahoni sebagai
fungisida nabati belum banyak diketahui
terutama potensinya dalam
mengendalikan penyakit mati pucuk
pada bibit jabon. Penelitian ini bertujuan
untuk menguji aktivitas antifungi ekstrak
akar mahoni terhadap pertumbuhan isolat
B. theobromae secara in vitro.
Bahan dan Metode
Penyiapan patogen dan uji virulensi
Isolat B. theobromae yang berasal dari
koleksi Laboratorium Patologi Hutan
IPB diremajakan pada media kultur agar
potatoes sucrose agar (PSA) dan 1000
ml aquades selektif yang mengandung
antibiotik kloramfenikol 250 mg l-1.
Pemilihan PSA sebagai media kultur
didasarkan pada hasil uji pendahuluan
dan merujuk pada Alam et al. (2001).
PSA dibuat dari 200 g kentang, 20 g
sukrosa, dan 20 g agar. Sebelum isolat
patogen digunakan pada uji bioaktivitas
ekstrak akar mahoni, uji virulensi
patogen dilakukan terlebih dahulu pada
bibit jabon berumur 4 bulan dengan
metode inokulasi blok agar tempel yang
mengacu pada Michailides (1991). Hasil
uji virulensi patogen menunjukkan
bahwa isolat B. theobromae
menyebabkan gejala mati pucuk hingga
kematian bibit setelah 10 hari sejak
inokulasi (HSI) yang menunjukkan
bahwa isolat patogen masih memiliki
virulensi yang tinggi.
Penyiapan ekstrak tanaman
Sampel akar mahoni dikeringudarakan
selama satu bulan, kemudian dijadikan
serbuk berukuran 40-60 mesh
menggunakan alat Willey Mill. Proses
ekstraksi dilakukan dengan teknik
maserasi menggunakan dua pelarut yaitu
metanol dan air panas yang mengacu
pada Maiti et al. (2007) dan Falah et al.
(2010). Proses ekstraksi metanol
dilakukan dengan cara merendam 500 g
serbuk akar mahoni dalam larutan
metanol dengan perbandingan 1:3 (v/v)
selama 3x24 jam sehingga diperoleh
ekstrak metanol. Selama proses
perendaman, pengadukan dilakukan
menggunakan pengaduk kaca.
Pemisahan cairan ekstrak dari residu
dilakukan dengan penyaringan
menggunakan kertas saring. Ekstrak
metanol dipekatkan dengan rotary
vacuum evaporator hingga diperoleh
ekstrak pekat, kemudian dikeringkan
dengan oven pada suhu 40 ºC. Proses
ekstraksi dengan pelarut air panas
dilakukan dengan cara sebanyak 500 g
serbuk akar mahoni dilarutkan dengan
aquades pada erlenmeyer 2000 ml
dengan perbandingan 1:3 (v/v),
kemudian dipanaskan dalam waterbath
pada suhu 100 ºC selama 4 jam. Cairan
ekstrak disaring dengan kain empat lapis,
kemudian cairan ekstrak yang diperoleh
dijadikan serbuk dengan alat vacuum pan
evaporator pada suhu 60 ºC.
Sediaan ekstrak akar mahoni (EM) yang
akan digunakan dalam setiap pengujian
dibuat dengan cara melarutkan sebanyak
5000 mg EM dalam 100 ml aquades
hingga homogen dengan steril panas
menggunakan stirrer selama 15 menit.
Khusus untuk EM dengan pelarut
metanol, pembuatan sediaan disterilisasi
dengan menambahkan sebanyak 5 ml
metanol terlebih dahulu sebelum
ditambahkan aquades, sedangkan
sterilisasi EM dari pelarut air panas
dilakukan pada autoclave dengan suhu
121 ºC tekanan 1 atm selama 15 menit
(Achmad & Suryana 2009).
4 J. Ilmu Teknol. Kayu Tropis Vol.13 No.1 Januari 2015
Uji aktivitas antifungi
Uji aktivitas antifungi EM terhadap
pertumbuhan isolat B. theobromae
dilakukan secara in vitro melalui teknik
peracunan makanan yang mengacu pada
Achmad dan Suryana (2009).
Rancangan penelitian yang digunakan
ialah rancangan acak lengkap dengan
sepuluh perlakuan EM dan tiga kali
ulangan. Perlakuan yang diberikan
berupa konsentrasi EM dengan pelarut
air panas (EAM) dan pelarut metanol
(EMM) pada taraf masing-masing 0, 5,
10, 25, dan 50% (Sangeetha et al. 2013).
Penyiapan konsentrasi ekstrak dilakukan
dengan cara mencampur EM dengan
media kultur PSA steril (v/v) sesuai
konsentrasi yaitu sebanyak 0,0; 0,5; 1,0;
2,5; dan 5,0 ml EM dicampurkan dengan
10,0; 9,5; 9,0; 7,5; dan 5,0 ml PSA untuk
menghasilkan media padat nutrisi
teracuni EM pada konsentrasi 0, 5, 10,
25, dan 50%.
Semua proses penyiapan media kultur uji
dilakukan secara steril pada laminar air
flow cabinet. Parameter uji yang diukur
adalah diameter koloni miselium setiap
periode 12 jam dan pengukuran
dihentikan pada saat koloni miselium
perlakuan kontrol memenuhi seluruh
permukaan cawan petri. Nilai efikasi EM
terhadap pertumbuhan isolat dihitung
dengan rumus penghambatan
pertumbuhan isolat yang mengacu pada
Dubey et al. (2009).
P (%) =C – T
C× 100%
dengan P = Penghambatan pertumbuhan
(%), C = Diamater radial koloni kontrol
(mm), T = Diameter radial koloni
perlakuan (mm).
Pangamatan mikroskopis
Pengamatan mikroskopis dilakukan
untuk mengetahui karakteristik
morfologi hifa B. theobromae pada
setiap perlakuan. Pengamatan dilakukan
dengan mikroskop cahaya pada gelas
preparat yang ditambahkan aquades.
Analisis data
Hasil uji in vitro dilakukan analisis
ragam dan jika pengaruhnya nyata maka
dilanjutkan dengan uji selang berganda
Duncan pada taraf uji 5%. Nilai
persentase penghambatan secara in vitro
diukur dengan kategorisasi efektivitas
mengacu pada Sangoyomi (2004) dalam
Okigbo dan Emeka (2010) yaitu
penghambatan ≤0% = tidak efektif;
penghambatan >0-20% = efektivitas
rendah; penghambatan >20-50% =
efektivitas sedang; penghambatan >50
%-<100% = efektif, penghambatan
100% = efektivitas sangat tinggi.
Hasil dan Pembahasan
Aktivitas antifungi
Hasil uji menunjukkan bahwa EM
memiliki sifat antifungi B. theobromae
baik ekstrak dengan pelarut metanol
maupun pelarut air yang ditunjukkan
dengan adanya penghambatan
pertumbuhan radial isolat B. theobromae
secara in vitro (Gambar 1). Hal ini
menunjukkan bahwa bagian metabolit
sekunder akar mahoni memiliki sifat
yang sama dengan bagian lainnya yang
bersifat antifungi seperti bagian daun,
biji, dan kulit batang meskipun diujikan
pada patogen fungi yang berbeda.
Gambar 2 menunjukkan nilai
penghambatan EM terhadap partum-
buhan isolat B. theobromae yang berbeda
antar kedua jenis pelarut dengan nilai
penghambatan tertinggi ditunjukkan oleh
EMM pada taraf perlakuan ekstrak 50%.
5 Aktivitas Antifungi Ekstrak Akar Mahoni terhadap Isolat Botryodiplodia theobromae Pat.
Penyebab Mati Pucuk pada Bibit Jabon
Syamsul Falah, Achmad, Aji Winara
Sementara itu pengaruh EAM
menunjukkan nilai penghambatan yang
lebih kecil dan berbeda nyata dengan
pengaruh EMM. Adanya perbedaan nilai
penghambatan pertumbuhan isolat akibat
EM dengan pelarut yang berbeda senada
dengan hasil penelitian Maiti et al.
(2007) bahwa ekstrak metanol biji
mahoni memberikan pengaruh
penghambatan yang lebih besar terhadap
pertumbuhan fungi secara in vitro
dibandingkan dengan ekstrak biji mahoni
dengan pelarut air. Demikian pula hasil
penelitian Kagale et al. (2004) bahwa
ekstrak Datura metel dengan pelarut
metanol lebih toksik 10-35% terhadap
pertumbuhan Rhizoctonia solani secara
in vitro dibandingkan ekstrak tanaman
yang sama dengan pelarut air.
Perbedaan pengaruh antar jenis pelarut
kemungkinan berkaitan dengan tingkat
kepolaran pelarut yang digunakan,
sehingga senyawa yang terekstrak akan
berbeda. Metanol mengandung pelarut
polar dan beberapa semipolar, sedangkan
air merupakan pelarut yang polar
menyebabkan senyawa kimia yang
terekstrak berbeda. Hal ini dibuktikan
oleh Tan et al. (2009), bahwa terdapat
perbedaan total senyawa fenol, tannin
dan flavonoid serta sifat antifungi yang
dihasilkan dari ekstrak daun mahoni
dengan pelarut yang berbeda tingkat
kepolarannya. Ayyappadhas et al. (2012)
juga melaporkan bahwa senyawa
metabolit sekunder dalam ekstrak daun
mahoni dengan pelarut yang berbeda
menghasilkan kandungan saponin,
flavonoid, tanin, alkaloid, antrakuinon,
dan terpenoid yang berbeda serta
aktivitas antibakteri dan antifungi yang
berbeda pula.
Berdasarkan kriteria efektivitas
fungisida, maka EMM efektif dalam
menghambat pertumbuhan isolat B.
theobromae, sedangkan EAM bersifat
kurang efektif. Efektivitas penghambatan
pertumbuhan fungi secara in vitro akibat
peracunan nutrisi oleh metabolit
sekunder tanaman dapat bersifat
fungisida atau fungistatik bergantung
pada nilai dan stabilitas penghambatan.
Gambar 1 Pertumbuhan koloni miselium B. theobromae pada berbagai taraf konsentrasi
ekstrak akar mahoni. Huruf a-e menunjukkan EMM dengan taraf a. konsentrasi 0%
(kontrol), b. 5%, c. 10%, d. 25% dan e. 50%. Huruf f sampai dengan j menunjukkan
EAM dengan taraf f. konsentrasi 0% (kontrol), g. 5%, h. 10%, i. 25% dan j. 50%.
a b c d
a
e
f g h i
d
j
6 J. Ilmu Teknol. Kayu Tropis Vol.13 No.1 Januari 2015
Gambar 2 Pengaruh taraf konsentrasi ekstrak akar mahoni terhadap penghambatan
pertumbuhan radial miselium isolat B.theobromae. EMM (■), EAM (□). Huruf-huruf di
atas balok data menunjukkan pembandingan nilai tengah antar perlakuan berdasarkan uji
selang berganda Duncan pada taraf nyata 0,05.
Stabilitas pengaruh ekstrak
Gambar 3 menunjukkan hasil
pengamatan pengaruh EMM pada taraf
konsentrasi 50% dalam menghambat
pertumbuhan radial isolat B. theobromae
secara berulang dalam periode 12 jam.
Pengaruh EMM bersifat stabil selama
periode pengamatan yang ditunjukkan
dengan pengaruh nilai penghambatan
seiring dengan waktu inkubasi bersifat
tidak berbeda nyata secara statistik. Nilai
penghambatan tertinggi EMM berada
pada periode waktu pengamatan jam ke-
36 yaitu sebesar 75,66%, kemudian
mengalami penurunan pada jam ke-48
menjadi 70,74% meskipun secara
statistik mengalami penurunan yang
tidak signifikan. Secara umum sejak
waktu inkubasi jam ke-12, pengaruh
EMM terhadap pertumbuhan isolat B.
theobromae masih di atas 50% hingga
akhir pengamatan. Hal ini menunjukkan
bahwa sejak awal periode pengamatan,
EMM efektif dalam menghambat
pertumbuhan isolat atau dalam arti lain
secara in vitro EMM potensial sebagai
bahan fungisida dalam mengendalikan
patogen B. theobromae penyebab mati
pucuk pada bibit jabon meskipun perlu
uji lanjut pada tingkatan in planta dan uji
fitotoksisitas.
Hasil pengamatan mikroskopis terhadap
isolat B. theobromae yang mendapatkan
perlakuan menunjukkan adanya
perubahan morfologi hifa menjadi tidak
normal yaitu berupa hifa yang berbentuk
manik-manik dan penyimpangan arah
pertumbuhan menjadi melingkar
(Gambar 4). Bentuk hifa isolat yang
tidak normal merupakan efek dari racun
yang dikeluarkan oleh EMM sehingga
pertumbuhan hifa menjadi terhambat.
Adanya morfologi hifa yang tidak
normal mengkonfirmasi penyebab
penghambatan pertumbuhan radial isolat
B. theobromae akibat EMM sebagaimana
menurut Hu et al. (2003) bahwa
perubahan morfologi hifa patogen yang
tidak normal akibat media kultur yang
mengalami peracunan oleh metabolit
sekunder tanaman dapat berupa
pembengkakan, berbentuk manik-manik,
pertumbuhan yang melingkar dan
berlebihan.
0.00d 2.78d
34.07b
70.74a
0.00d 1.48d 3.89d
20.74c
0
10
20
30
40
50
60
70
80
5% 10% 25% 50%
Pen
gham
bat
an (
%)
Taraf konsentrasi ekstrak
EMM EAM
7 Aktivitas Antifungi Ekstrak Akar Mahoni terhadap Isolat Botryodiplodia theobromae Pat.
Penyebab Mati Pucuk pada Bibit Jabon
Syamsul Falah, Achmad, Aji Winara
Gambar 3 Pengaruh taraf konsentrasi 50% ekstrak metanol akar mahoni terhadap
penghambatan pertumbuhan radial miselium isolat B. theobromae.
Gambar 4 Morfologi hifa B. theobromae secara mikroskopis : a. normal, b. berbentuk
manik-manik, c. perubahan arah pertumbuhan (melingkar). Tanda panah menunjukkan
letak morfologi hifa yang tidak normal.
Bentuk hifa tidak normal berupa bentuk
manik-manik akibat ekstrak tanaman
terjadi pula pada hifa Colletotrichum
lagenarium patogen antraknosa pada
kukumbar akibat ekstrak Cinnamomum
camphora (L.) sebagaimana dilaporkan
oleh Chan dan Dai (2012), sedangkan
bentuk hifa yang tidak normal berupa
perubahan arah pertumbuhan hifa yang
melingkar terjadi pula pada pertumbuhan
Ganoderma sp. akibat metabolit
sekunder dari ekstrak kulit Acacia
mangium sebagaimana dilaporkan oleh
Yuniarti (2010). Informasi mengenai
kandungan metabolit sekunder akar
mahoni belum diketahui, namun secara
umum kandungan utama mahoni adalah
limonoid yang merupakan turunan dari
terpenoid (Moghadamtousi et al. 2013).
Kesimpulan
Ekstrak akar mahoni memiliki aktivitas
antifungi B. theobromae secara in vitro
dan efektif dalam menghambat
pertumbuhan isolat patogen dengan nilai
penghambatan tertinggi dihasilkan oleh
55.86
74.25 75.66
70.74
0
10
20
30
40
50
60
70
80
12 24 36 48
Pen
gham
bat
an (
%)
Waktu inkubasi (Jam ke-)
a b c
8 J. Ilmu Teknol. Kayu Tropis Vol.13 No.1 Januari 2015
ekstrak dengan pelarut metanol pada
taraf konsentrasi ekstrak 50%.
Daftar Pustaka
Achmad, Suryana I. 2009. Pengujian
aktivitas ekstrak daun sirih (Piper
betle Linn.) terhadap Rhizoctonia sp.
secara in vitro. Bul Littro. 20(01):92-
98.
Aisah AR. 2014. Identifikasi dan
patogenisitas cendawan penyebab
primer penyakit mati pucuk pada bibit
jabon (Anthocephalus cadamba
(Roxb). Miq). [Tesis]. Bogor:
Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.
Alam MS, Begum MF, Sarkar MA,
Islam MR. 2001. Effect of
temperature, light and media on
growth, sporulation, formation of
pigments and pycnidia of
Botryodiplodia theobromae Pat.
Pakistan J Biol Sci. 4(10):1224-1227.
Al-Saadon AH, Ameen MKM, Al-
Rubaie EMA. 2012. Histopathology
of grapevine inoculated with
Lasiodiplodia theobromae. Basrah J
Agric Sci. 25(1):1-12.
Anggraeni I, Lelana NI. 2011. Diagnosis
Penyakit Tanaman Hutan. Haneda
NF, Rahayu S, editor. Bogor: Pusat
Litbang Peningkatan Produktivitas
Hutan.
Ayyappadhas R, Jestin C, Kenneth N,
Dayana N, Dhanalekshmi UM. 2012.
Preliminary studies on antimicrobial
activity of Swietenia macrophylla leaf
extract. Int J Pharm Sci Rev Res.
16(2):1-4.
Chan Y, Dai G. 2012. Antifungal activity
of plant extracts against
Colletotrichum lagenarium, the causal
agent of anthracnose in cucumber. J
Sci Food Agric. 92:1937-1943. Doi:
10.1002/jsfa.5565.
Cillier AJ, Swart WJ, Wingfield MJ.
1993. A review of Lasiodiplodia
theobromae with particular reference
to each occurrence on coniferous
seeds. South African For J. 166:47-52.
Dewanjee S, Kundu M, Maiti A,
Majumdar R, Majumdar A, Mandal
SC. 2007. In vitro evaluation of
antimicrobial activity of crude extract
from plants Diospyros peregrina,
Coccinia grandis and Swietenia
macrophylla. Trop J Pharm Res.
6(3):773-778.
Dubey R, Kumar H, Pandey R. 2009.
Fungitoxic effect of neem extracts on
growth and sclerotial survival of
Macrophomina phaseolina in vitro. J
Am Sci. 5:17-24.
Eid AMM, El-Marzugi NA, El-Enshasy
HA. 2013. A review on the
phytopharmacological effect of
Swietenia macrophylla. Int J Pharm
Pharm Sci. 5(3):47-53.
Ellis D, Davis S, Alexiou H, Handke R,
Bartley R. 2007. Description of
Medical Fungi. Adelaide: School of
Molecular and Biomedical Science
University of Adelaide.
Falah S, Safithri M, Katayama T, Suzuki
T. 2010. Hypoglycemic effect of
mahogany (Swietenia macrophylla
King) bark extracts in alloxan-induced
diabetic Rats. Wood Res J. 1(2):89-94.
Haggag WM, Nofal MA. 2006.
Improving the biological control of
Botryodiplodia disease on some
Annona cultivar using single or multi-
bioagent in Egypt. Biol Control.
38:341-349. Doi:10.1016/j.
biocontrol.2006.02.010.
Hu K, Dong A, Kobayashi H, Iwasaki S,
Yao X. 2003. Antifungal agent from
tradisional Chinese medicines against
rice blast fungus Pyricularia oryzae
9 Aktivitas Antifungi Ekstrak Akar Mahoni terhadap Isolat Botryodiplodia theobromae Pat.
Penyebab Mati Pucuk pada Bibit Jabon
Syamsul Falah, Achmad, Aji Winara
Cavara Pp. 525-549. Dalam buku:
Plant-Derived Antimycotics :Current
Trend and Future Prospects. Rai M,
Mares D (Edt.). New York: Food
Product Press.
Ismail AM, Cirvilleri G, Polizzi G,
Crous W, Groenewald JZ, Lombard L.
2012. Lasiodiplodia species
associated with dieback disease of
Mango (Mangifera indica) in Egypt.
Aust Plant Pathol. 41:649–660.
Doi:10.1007/s13313-012-0163-1
Kagale S, Marimuthu T, Thayumanavan
B, Nandakumar R, Samiyappan R.
2004. Antimicrobial activity and
induction of systematic resistance in
rice by leaf extract of Datura metel
against Rhizoctonia solani and
Xanthomonas oryzae pv. oryzae. Phys
Mol Plant Pathol. 65:91-100. Doi:
10.1016/j.pmpp.2004.11.008.
Kannan C, Karthik M, Priya K. 2010.
Lasiodiplodia theobromae causes a
damaging dieback of Cocoa in India.
Plant Pathol. 59:410. Doi:
10.1111/j.1365-3059.2009.02192.x.
Khanzada MA, Lodhi AM, Shahzad S.
2004. Pathogencity of Lasiodiplodia
theobromae and Fusarium solani on
Mango. Pak J Bot. 36(1):181-189.
Krisnawati H, Kallio M, Kanninnen M.
2011. Anthocephalus cadamba Miq.,
Ecology, Silviculture dan
Productivity. Bogor: CIFOR.
Li HY, Cao RB, Mu YT. 1995. In vitro
inhibition of Botryosphaeria dothidea
and Lasiodiplodia theobromae, and
chemical control of Gummosis disease
of Japanese apricot and peach trees in
Zhejiang Province, China. Crop
Protect. 14(3):187-191.
Maiti A, Dewanjee S, Mandal SC,
Annadurai S. 2007. Exploration of
antimicrobial potential of methanol
and water extract of seed of Swietenia
macrophylla (famili: Meliaceae), to
substantiate folklore claim. Iranian J
Pharm Therapeutics. 6(1):99-102.
Mbenoun M, Zeutsa EHM, Samuels G,
Amougou, Nyasse S. 2008. Dieback
due to Lasiodiplodia theobromae, a
new constaint to cocoa production in
Cameroon. Plant Pathol. 57:381. Doi:
10.1111/j.1365-3059.2007. 017 555.x
Michailides TJ. 1991. Pathogenicity,
distribution, sources of inoculum and
infection courts of Botryosphaeria
dothidea on Pistachio. Phyto-
pathology. 81(5):566-571.
Moghadamtousi SZ, Goh BH, Chan CK,
Shabab T, Kadir HA. 2013.
Biological activities and phytoche-
micals of Swietenia macrophylla King.
Molecules.18:10465-10483. Doi:10.
3390/molecules180910465.
Njugana JW. 2011. Stem cancer and
dieback disease on Grivellea robusta
Cun. Ex. RBr. Distribution, causes,
and implications in agrofoestry system
in Kenya [Disertation]. Uppsala (SE):
Swedish University of Agricultural
Science.
Okigbo RN, Emeka AN. 2010.
Biological control of rot-inducing
fungi of Water Yam (Dioscorea alata)
with Trichoderma harzianum,
Pseudomonas syringae and
Pseudomonas chlororaphis. J Stored
Prod Postharvest Res. 1(2):18-23.
Pavlic D, Slipper B, Coutinho TA,
Wingfield MJ. 2007. Botryo-
sphaeriaceae occurring on native
Syzigium cordatum in South Africa
and their potential threat to
Eucalyptus. Plant Pathol. 56:624-636.
Doi: 10.1111/j.1365-3059. 2007.
01608.x
10 J. Ilmu Teknol. Kayu Tropis Vol.13 No.1 Januari 2015
Pedraza JMT, Aguilera JAM, Diaz CN,
Ortiz DT, Monter AV, Mir SGL.
2013. Control of Lasiodiplodia
theobromae, the causal agent of
dieback of sapote mamey (Pouteria
sapota Jacq.) H.E. Moore and Stern)
grafts in Mexico. Rev Fitotec Mex.
36(3):233-238.
Salamiah, Badruzsaufari, Arsyad M.
2008. Jenis tanaman inang dan masa
inkubasi patogen Botryodiplodia
theobromae Pat. penyebab penyakit
kulit diplodia pada jeruk. JHPT Trop.
8(2):123-131.
Sangeetha G, Thangavelu R, Rani SU,
Muthukumar A. 2013. Antimicrobial
activity of medicinal plants and
induction of defence related
compounds in banana fruits cv.
Robusta againts crown rot patogens.
Biol Control. 64:16-25.
Semangun H. 2000. Penyakit-Penyakit
Tanaman Perkebunan di Indonesia.
Yogyakarta: Gajah Mada University
Press.
Shah MD, Verma KS, Singh K, Kaur R.
2010. Morphological, pathological
and molecular variability in
Botryodiplodia theobromae
(Botryosphaeriaceae) isolated
associated with die-back and bark
cancer of pear trees in Punjab, India.
Gen Mol Res. 9(2):1217-1228.
Sharma JK, Sankaran KV. 1988.
Incidence and severity of
Botryodiplodia die-back in plantations
of Albizia falcataria in Kerala, India.
For Ecol Manag. 24:43-58.
Soerianegara I, Lemmens RHMJ. 1993.
Plant Resources of South-East Asia.
No. 5(1): Timber Trees: Major
Commercial Timbers. Wageningen:
Pudoc Scientific Publishers.
Tan SK, Osman H, Wong KC, Boey PL,
Ibrahim P. 2009. Antimicrobial and
antioxidant activities of Swietenia
macrophylla leaf extract. Reasearch
articles. As J Food Ag-Ind. 2(02):181-
188.
Torres JRU. 2008. Identification and
pathogenicity of Lasiodiplodia
theobromae and Diplodia seriata, the
causal agents of bot canker disease of
grapevines in Mexico. Plant Dis.
92:519-529. Doi: 0.1094/PDIS-92-4-
0519.
Yuniarti. 2010. Kajian pemanfaatan
ekstrak kulit Acacia mangium Wild.
sebagai antifungi dan pengujiannya
terhadap Fusarium sp. dan
Ganoderma sp. Sains Terapan Kim.
4(2):190-198.
Riwayat naskah:
Naskah masuk (received): 11 Agustus 2014
Diterima (accepted): 15 Oktober 2014
11 Physical and Mechanical Properties of 10-Year Old Superior and Conventional Teak Planted in
Randublatung Central Java Indonesia
Fanny Hidayati, Joko Sulistyo, Ganis Lukmandaru, Tomy Listyanto, Harry Praptoyo, Rini Pujiarti
Physical and Mechanical Properties of 10-Year Old Superior and
Conventional Teak Planted in Randublatung Central Java Indonesia
Fanny Hidayati*, Joko Sulistyo, Ganis Lukmandaru, Tomy Listyanto, Harry Praptoyo,
Rini Pujiarti
Faculty of Forestry, Gadjah Mada University, Jl. Agro No 1. Bulaksumur, Yogyakarta
*Corresponding author: [email protected]
Abstract
Tree breeding program has been conducted in Indonesia in order to produce more productive
teak trees. Recently, from this program, superior clones (clone source) of teak have been
selected for the establishment of the wider plantations. These clones show a good performance
on growth characteristics such as stem diameter and tree height. However, it is important to
evaluate wood quality of selected superior teak. Physical (heartwood percentage, wood color,
basic density, and shrinkage per 1% change in moisture content) and mechanical (static bending
strength and compressive strength) properties were investigated for 10-year old of two sources
type of teak (superior and conventional) planted in Randublatung, Central Java, Indonesia. There
was not significant different between superior and conventional teak was found in all physical
and mechanical properties of both teak wood, suggesting that wood properties of both teak are
similar at the same age. All trees are in juvenile phase as show by increasing of basic density
from pith to bark. Basic density has positively correlation with all mechanical properties
measured. It can be said that basic density can be used to estimate mechanical properties.
Keywords: conventional teak, mechanical properties, physical properties, superior teak
Abstrak
Program pemuliaan pohon telah dilakukan di Indonesia untuk meningkatkan produktivitas hutan
jati. Program ini telah menghasilkan bibit unggul dengan perbanyakan vegetative (klon) dan
telah digunakan sebagai materi pembangunan hutan tanaman jati di banyak lokasi. Karakteristik
pohon jati dari klon ini menunjukkan pertumbuhan diameter dan tinggi yang sangat baik. Akan
tetapi, sifat-sifat kayu dari pohon jati ini juga penting untuk diketahui. Oleh karena itu,
penelitian ini bertujuan untuk mengkaji sifat fisis (pesentase teras, warna kayu, kerapatan dasar,
dan perubahan dimensi per 1% perubahan kadar air) and mekanis (kekuatan lengkung statis dan
kekuatan tekan) pohon jati umur 10 tahun yang berasal dari 2 tipe sumber benih (superior dan
konvensional) yang ditanam di Randublatung, Jawa Tengah, Indonesia. Dari hasil penelitian
menunjukkan bahwa sifat fisis dan mekanis kayu jati superior (klon) dan jati konvensional (biji)
tidak berbeda secara nyata. Hal ini menunjukkan bahwa, pada umur yang sama jati superior dan
konvensional memiliki sifat yang sama. Variasi pada arah radial dari kerapatan dasar adalah naik
dari hati ke kulit. Dari hasil ini, diperkirakan bahwa kayu jati tersebut masih dalam fase juvenil.
Selanjutnya, kerapatan dasar berkorelasi positif terhadap semua sifat mekanis yang diukur. Hal
ini menunjukkan bahwa sifat mekanis dapat diduga melalui kerapatan dasar.
Kata kunci: jati unggul, jati konvensional, sifat fisis, sifat mekanis
Introduction
Teak (Tectona grandis L.f.) is an
important commercial plantation species,
and its demand is increasing in
Indonesia. In contrast, the total teak
wood production is decreasing because
of declining teak wood resources and the
plantation productivity (Hidayati et al.
12 J. Ilmu Teknol. Kayu Tropis Vol.13 No.1 Januari 2015
2014). Therefore, tree breeding program
has been conducted by Indonesian State
Forest Enterprise (Perhutani) since 1981
to produce more productive teak trees
(Suseno 2000). Recently, from this
program, superior clones (clone source)
of teak, which is called Jati Plus
Perhutani (JPP), have been selected for
the establishment of the wider
plantations. These clones show good
performance on growth characteristics
such as stem diameter and tree height.
It is important to evaluate wood quality
of selected superior teak. Wood quality is
determined by wood properties such as
anatomical, physical, and mechanical
properties which are very important for
the end use of the wood. Furthermore,
heartwood percentage is also important
factor due to its relationships with
natural durability of the wood.
The color of wood is one of the criteria
of wood to assess its suitability for
certain end-use, such as furniture and
decorative veneers (Thulasidas et al.
2006). Research about wood properties
of teak has been conducted by many
researchers in the world by destructive
and non-destructive evaluation
(Kedharnath et al. 1963, Indira & Bhat
1998, Bhat et al. 2001, Cordero &
Kanninen 2003, Bhat & Priya 2004,
Moya & Marin 2011, Hidayati et al.
2013a, 2013b, Hidayati et al. 2014).
Furthermore, many researchers also
conducted the research about heartwood
percentage and wood color of teak
(Cordero & Kanninen 2003; Kokutse et
al. 2006, Thulasidas et al. 2006,
Lukmandaru et al. 2009, Moya &
Berrocal 2010, Moya & Marin 2011).
However, researches about wood
properties of clone sources are limited in
Indonesia (Wahyudi & Arifien 2005,
Krisdianto & Sumarni 2006, Basri &
Wahyudi 2013, Wahyudi et al. 2014a,b).
The objectives of this study were to
clarify the heartwood percentage, wood
color, physical properties, and
mechanical properties of 10-year-old of
clone source and conventional teak (seed
source) planted in Randublatung, Central
Java. The differences between two
sources type, radial variation of basic
density, and relationship between basic
density and mechanical properties
measure were also investigated. The
information of these result are important
for the plantation management and
silvicultural practices.
Material and Methods
Sample preparation
Three trees of clone source and two trees
of seed source from Perum Perhutani
plantation located in Randublatung,
Central Java, Indonesia (7o05’S,
111o30’E) were used in this present
study. The environmental condition of
site was as follow; average temperature
of 27.5 oC; annual precipitation of 1650
mm/year; relative humidity of 72%,
altitude of 140 meter above sea level.,
soil of homous margalitic, loamy sand.
The mean diameter of clone and seed
source was 19.4 and 16.3 cm,
respectively. From these trees, only the
bottom part was used for determining
physical properties [heartwood
percentage, wood color, basic density,
and shrinkage per 1% change in moisture
content (radial, tangential, and
longitudinal)] and mechanical properties
(Modulus of Rupture, MOR and
Modulus of Elasticity, MOE) and
compressive strength (parallel and
perpendicular to grain).
Heartwood percentage and wood color
properties
Heartwood percentage was measured on
5-cm-thick disks cut from 30 cm above
13 Physical and Mechanical Properties of 10-Year Old Superior and Conventional Teak Planted in
Randublatung Central Java Indonesia
Fanny Hidayati, Joko Sulistyo, Ganis Lukmandaru, Tomy Listyanto, Harry Praptoyo, Rini Pujiarti
the ground. Total diameters of disks,
heartwood diameter, bark thickness,
height of disk were measured.
Heartwood percentage was calculated
using formula proposed by Wahyudi and
Arifien (2005).
For measuring wood color (heartwood
and sapwood), air-dried wood meal were
prepared. Color of wood meal was
measured using a colorimeter (NF333,
Nippon Denshoku). The CIELAB (L*,
a*, b*) system was employed to evaluate
heartwood and sapwood colors. The
value of L*, a*, and b* indicate
psychometric lightness, a color
parameter on the red/green axis, and a
color parameter on the yellow/blue axis,
respectively.
Physical properties
Basic density (BD) was measured on 10-
cm-thick disks cut from 30 cm above the
ground. Radial strips (2 cm in width, 2
cm in thickness, and length depend on
tree diameter) were prepare from each
disk. The radial variations of basic
density were determined at 2 cm
intervals from pith to bark. Small blocks
were obtained from two opposite sides
with respect to the pith of the disk. Basic
density was calculated as the ratio of
oven-dry weight to green volume as
determined by the water displacement
method.
A total of 25 specimens of clone and 12
specimens of conventional teak were
prepared from the disk cut from 30 cm
above the ground. The specimens were
placed in the laboratory until air-dried
condition. The radial, tangential, and
longitudinal dimensions of the specimens
under air- and oven-dried conditions
were measured by digital caliper.
Shrinkage in the radial, tangential, and
longitudinal directions per 1% change in
moisture content was calculated
according to Istikowati et al. (2012).
Mechanical properties
Air-dried specimens for MOR and MOE
tests (2 x 2 x 30) cm3, compressive tests
parallel and perpendicular to the grain (2
x 2 x 6) cm3 were obtained from air-
dried radial-sawn board cut from logs at
40 cm above the ground at 2-cm
intervals. The procedure of the testing
was according to British Standard (BS.
373:1957). The total specimens were 30
and 18 for clone and seed source
respectively. MOR, MOE tests and
compressive tests were conducted using
a Universal Testing Machine (Instron
3369) with load speed of 0.25 cm min-1
and 0.06 mm min-1, respectively. MOR,
MOE, compressive strength (parallel and
perpendicular to grain) were calculated
by using software (Bluehill 3, Instron).
Data analysis
T-test analysis was conducted to
determine the significant differences
between clone and seed source of all
physical and mechanical properties
measured. Simple correlation was also
conducted for determining correlation
between basic density and all mechanical
properties measured using Excel 2003.
Result and Discussion
Heartwood percentage and wood color
The statistical values of heartwood
percentage are listed in Table 1. The
mean value of heartwood percentage
from clone source and seed source teak
was 45.2 and 28.5%, respectively.
Krisdianto and Sumarni (2006) reported
that heartwood percentage was 39.6 and
20.3% of 7-year old clone and seed
source planted in East Kalimantan. On
the other hand, heartwood percentage of
14 J. Ilmu Teknol. Kayu Tropis Vol.13 No.1 Januari 2015
9-year old superior teak (JPP) planted in
Central Java was 25% (Basri & Wahyudi
2012). In addition, heartwood percentage
of 3-year old clone and seed source
planted in Semarang, Central Java were
29.81 and 25%, respectively (Wahyudi &
Arifien 2005). They also reported that
heartwood percentage of 8-year-old
conventional teak planted at the same
place was 58.23%.
This result of the heartwood percentage
is consistent with the result of previous
study by Krisdianto and Sumarni (2006).
Furthermore, heartwood percentage of
clone source was higher than seed source
but no significant difference was found
between clone and seed source. Wahyudi
and Arifien (2005) reported that
heartwood percentage was not significant
different between 3-year-old clone and
seed source. On the other hand,
heartwood percentage was significantly
different between clone and seed source,
which was clone source, has higher
heartwood percentage than seed source
(Krisdianto & Sumarni 2006). Our result
of the differences of heartwood
percentage of clone and seed source was
similar to this previous result (Wahyudi
& Arifien 2005). However, based on this
result, it is suggesting that clone source
has high possibility to have higher
heartwood percentage.
Table 1 also shows the statistical value of
the wood color of the two different
sources type. No significant difference
was found between L*, a*, and b* value
of heartwood and sapwood for clone and
seed sources. Moya and Berrocal (2010)
reported that the mean values of L*, a*,
and b* at the heartwood form 7- to 15-
year old teak trees planted in Costa Rica
were 58.2, 10.4, and 25.9, respectively.
At the sapwood, L*, a*, and b* were
73.8, 5.8, and 25.2, respectively. The
values of L*, a*, and b* at the inner
heartwood of 32-year old teak from
Randublatung were 54.2, 6.3, and 23.5,
respectively (Lukmandaru et al. 2009).
At the same age, previously report
showed that L*, a*, and b* of the
sapwood were 70.1, 3.8, and 26.4,
respectively. Our result of the wood
color (L*, a*, and b*) of heartwood and
sapwood were lower than these previous
reports (Lukmandaru et al. 2009, Moya
& Berrocal 2010).
Physical and mechanical properties
Table 2 shows physical and mechanical
properties of clone and seed sources. The
mean value of basic density was 0.47 and
0.48 g cm-3 for clone and seed sources,
respectively. Basri and Wahyudi (2012)
reported that specific gravity of superior
teak (JPP) from Central Java at 5-, 7-,
and 9-year old were 0.46, 0.49, and 0.51.
Specific gravity of 3-year old from clone
source planted in Semarang was 0.43-
0.64 (Wahyudi & Arifien 2005).
Wahyudi et al. (2014a) also reported that
specific gravity of 4- and 5-year old
superior teak planted in West Java was
0.35 and 0.45, respectively. Wenneng et
al. (2014) found that basic density of 10-,
15-, 20-, and 25-year old teak (source is
unknown) planted in Laos was 0.53,
0.52, 0.53, 0.50 g cm-3. Specific gravity
of 8-year old of seed source planted in
Semarang was 0.47 – 0.70 (Wahyudi &
Arifien 2005). Furthermore, basic
density of 10-year old teak planted in
Solomon island was 0.54 g cm-3
(Anonim, 2011).
In the present study, mean value of basic
density of clone and seed source is lower
than previous results at the same age and
around (Basri & Wahyudi 2012,
Wenneng et al. 2014, Wahyudi &
Arifien, 2005). However, the value is
higher than the result of the younger age
15 Physical and Mechanical Properties of 10-Year Old Superior and Conventional Teak Planted in
Randublatung Central Java Indonesia
Fanny Hidayati, Joko Sulistyo, Ganis Lukmandaru, Tomy Listyanto, Harry Praptoyo, Rini Pujiarti
of the previous results (Basri & Wahyudi
2012, Wahyudi & Arifien 2005,
Wahyudi et al. 2014a). Therefore, it can
be said that basic density of wood will
increase with the increasing of the three
age.
Table 1 Statistical values of heartwood percentage and wood color of teak from two
sources type
Properties
Source Significant between
two sources type Clone (n=3) Seed (n=2)
Mean SD Mean SD
Heartwood percentage 45.2 9.1 28.5 7.6 ns
Wood color Heartwood L* 46.7 6.3 45.3 5.3 ns
a* 10.5 0.7 10.3 0.9 ns
b* 19.1 1 18.9 2 ns
Sapwood L* 56.8 3 59.2 3.1 ns
a* 6.9 0.8 8.4 0.8 ns
b* 11.6 1.9 15.5 2.4 ns Note : n = number of sample tree, SD = standard deviation, ns = no significance.
Table 2 Mean values of physical properties and mechanical properties of teak from two
sources type
Properties
Source Significant
between two
source types
Clone (n=3) Seed (n=2)
Mean SD Mean SD
Physical properties
Basic density (g cm-3) 0.47 0.02 0.48 0.03 ns
RS per 1% change in MC (%) 0.13 0.03 0.10 0.01 ns
TS per 1% change in MC (%) 0.24 0.04 0.21 0.01 ns
LS per 1% change in MC (%) 0.04 0.02 0.04 0.01 ns
Mechanical properties
Static bending strength
MOR (kg cm-2) 805 66 889 23 ns
MOE (x 1000 kg cm-2) 92 8 109 14 ns
Compressive strength parallel to
grain (kg cm-2) 406 34 441 6 ns
Compressive strength
perpendicular to grain (kg cm-2) 202 11 239 31 ns Note : RS = radial shrinkage, TS = tangential shrinkage, LS = longitudinal shrinkage, MC = moisture
content, n = number of sample tree, SD = standard deviation, ns = no significance.
16 J. Ilmu Teknol. Kayu Tropis Vol.13 No.1 Januari 2015
The statistical analysis using t-test shows
that basic density was not significant
difference between two source types of
teak (Table 2). Wahyudi and Arifien
(2005) reported that at 3-year old, clone
and seed source has similar value of
density. Our result of differences of basic
density between clone and seed source
are consistent with the previous results
(Wahyudi & Arifien 2005). Furthermore,
Figure 1 shows the radial variation of
clone and seed source. The radial
variation of basic density of both sources
type were increase from pith to bark.
Hidayati et al. (2014) reported that basic
density of 12-year old teak clones were
gradually increased from pith to bark. On
the other hand, basic density varied
relatively little from pith to bark (Bhat et
al. 2001). Our result of radial variation of
basic density is consistent with the result
reported by Hidayati et al. (2014).
Based on this result, it is suggesting that
these woods are still in juvenile phase.
Hidayati et al. (2014) reported that
xylem maturation process in teak is
depending on age rather than diameter
growth. Furthermore, Bhat et al. (2001)
reported that the maturity of teak begins
at approximately 15-25 year.
The mean value of radial, tangential, and
longitudinal shrinkages per 1% change in
Moisture content are shown in Table 2.
The mean value of radial, tangential, and
longitudinal shrinkage were 0.13 and
0.10, 0.24 and 0.21, and 0.04 and 0.04
for clone and seed source, respectively.
On the other hardwood species in
Indonesia, the mean values of radial
shrinkage of Terap, Medang, and Balik
Angin were 0.15, 0.26, and 0.17,
respectively. The mean value of
tangential shrinkage was 0.24, 0.31, and
0.22 for Terap, Medang, and Balik Angin
(Istikowati et al. 2014). In addition, the
basic density of Terap and Balik Angin
was lower and Medang was higher than
our results in Table 2. Furthermore, no
significant difference was found between
clone and seed source for radial,
tangential, and longitudinal shrinkages
(Table 2). Based on this result, it is
suggesting that dimensional stability
between clone and seed source is similar
at the same age.
Figure 1 Radial variation of the basic density form two different sources type.
0.0
0.1
0.2
0.3
0.4
0.5
0.6
2 4 6 8
Bas
ic d
ensi
ty (
g c
m-3
)
Distance from pith (cm)
Clone Seed
17 Physical and Mechanical Properties of 10-Year Old Superior and Conventional Teak Planted in
Randublatung Central Java Indonesia
Fanny Hidayati, Joko Sulistyo, Ganis Lukmandaru, Tomy Listyanto, Harry Praptoyo, Rini Pujiarti
Table 2 also shows the result of
mechanical properties. The mean value
of static bending strength of MOR was
805 and 889 kg cm-2 for clone and seed
source, respectively. MOE was 92,000
and 109,000 kg cm-2 for clone and seed
source respectively. MOR and MOE of
10-year-old teak at base part planted in
Solomon Island were 1,080 and 118,000
kg cm-2, respectively (Anonim, 2011).
Wahyudi and Arifien (2005) reported
that MOR and MOE of 8-year-old of
conventional teak at the base part planted
in Semarang were about 970 and 73,000
kg cm-2. On the other hand, at 3-year-old
of clone and seed source planted in the
same place, MOR was about 780 and
720 kg cm-2, respectively, whereas for
MOE was 62,000 and 42,000 kg cm-2
(Wahyudi & Arifien 2005). Furthermore,
MOR was 654 and 782 kg cm-2 for 4-
and 5- year-old of teak planted in West
Java. At the same ages, MOE was 77.995
and 80,653 kg cm-2, respectively
(Wahyudi et al. 2014a).
Figure 2 Relationships between basic density and MOR and MOE of teak.
R² = 0.501
0
400
800
1200
1600
0.0 0.2 0.4 0.6 0.8
MO
R (
kg c
m-2
)
Basic density (g cm-3)
R² = 0.5593
0
40
80
120
160
0.0 0.2 0.4 0.6 0.8
MO
E (
x1
00
0 k
g c
m-2
)
Basic density (g cm-3)
18 J. Ilmu Teknol. Kayu Tropis Vol.13 No.1 Januari 2015
Figure 3 Relationships between basic density and compressive strength of teak.
In the present study, MOE and MOR
values especially for conventional teak
was slightly lower than previous results
at the same age (Anonim 2011).
However, the values were higher than
previous results at the younger age of
teak trees (Wahyudi & Arifien 2005,
Wahyudi et al. 2014a). Therefore,
similar to basic density, MOE and MOR
of static bending strength will increase
with the increasing of tree age.
Furthermore, compressive strength
parallel to grain and compressive
strength perpendicular to grain were also
determined in this present study (Table
2). The mean value of compressive
strength parallel to grain was 406 and
441 kg cm-2 for clone and seed source,
respectively. In addition, the mean value
of compressive strength perpendicular to
grain was 202 and 239 kg cm-2 for clone
and seed source. The information of
R² = 0.3043
0
200
400
600
0.0 0.2 0.4 0.6 0.8
Co
mp
ress
ive
stre
ngth
par
alle
l to
gra
in
(kg c
m-2
)
Basic density (g cm-3)
R² = 0.2301
0
100
200
300
400
0.0 0.2 0.4 0.6 0.8
Co
mp
ress
ive
stre
ngth
per
pen
dic
ula
r to
gra
in (
kg c
m-2
)
Basic density (g cm-3)
19 Physical and Mechanical Properties of 10-Year Old Superior and Conventional Teak Planted in
Randublatung Central Java Indonesia
Fanny Hidayati, Joko Sulistyo, Ganis Lukmandaru, Tomy Listyanto, Harry Praptoyo, Rini Pujiarti
compressive strength for the young teak
is very limited. No significant difference
was found between clone and seed
source for all mechanical properties
(Table 2). Wahyudi and Arifien (2005)
reported that MOE and MOR were not
different between clone and seed source
which was in agreement with this results.
Based on this result, it can be said that
mechanical properties is not differ
between clone and seed source at the
same age.
Relationship between basic density
and mechanical properties
Figure 2 and 3 show the relationships
between basic density and mechanical
properties. Basic density was positively
significant correlation with all
mechanical properties measured.
Thulasidas and Bhat (2012) reported that
MOR, MOE, and compressive strength
parallel to grain has significant positive
correlation with air-dried density in teak
planted in Kerala, India. Other
researchers reported that basic density
has positively significant correlation with
compressive strength parallel to grain in
teak clones planted in Indonesia
(Hidayati et al. 2014). Similar result was
also found in other hardwood species in
Indonesia (Makino et al. 2012, Istikowati
et al. 2014). In the present study, result
of the relationship between basic density
and mechanical properties was in
agreement with these previous studies
(Thulasidas & Bhat 2012, Hidayati et al.
2014, Makino et al. 2012, Istikowati et
al. 2014). Therefore, based on this result,
it can be concluded that mechanical
properties can be predicted by basic
density.
Conclusion
No significant difference between two
sources type of teak seed was found in
heartwood percentage, wood color, and
all physical and mechanical properties
measured. It is suggesting that wood
properties are similar between clone and
seed source at the same age. This result
shows the promising future of utilization
of clone as source of superior teak.
Plantation management and silvicultural
practices should be concerning to
produce more productive teak forest
without decreasing the quality of wood.
However, further research is required to
clarify this result. Furthermore, radial
variation of basic density was increase
from pith to bark, indicating that this
wood is still in juvenile phase. As basic
density was significantly correlation to
all mechanical properties. It can be said
that basic density can be used to estimate
mechanical properties.
Acknowledgment
The author expresses sincere thanks to
Perum Perhutani especially for ADM-
KKPH Randublatung for providing
sample trees. Sincere thanks also
addressed to Project of PUPT DIKTI for
the funding to conduct this research.
References
Anonim. 2011. Selected wood properties
and potential uses for plantation teak
and poumuli. ACIAR project report
FST/2007/020. States of Queensland:
Dept of Employment, Economic
Development and Inovation. pp: 1-35.
Basri E, Wahyudi I. 2012. Sifat dasar
kayu jati plus Perhutani dari berbagai
umur dan kaitannya dengan sifat dan
kualitas pengeringan. J Penelitian
Hasil Hutan. 31:93-102.
Bhat KM, Priya PB. 2004. Influence of
provenance variation on wood
properties of teak from the Western
20 J. Ilmu Teknol. Kayu Tropis Vol.13 No.1 Januari 2015
Ghat region in India. IAWA J. 25:273-
282.
Bhat KM, Priya PB, Rugmini P. 2001.
Characterization of juvenile wood in
teak. Wood Sci Technol. 34:517-532.
Cordero LDP, Kanninen M. 2003.
Heartwood, sapwood and bark
content, and wood dry density of
young and mature teak (Tectona
grandis) trees grown in Costa Rica.
Silva Fennica. 37:45-54.
Hidayati F, Ishiguri F, Iizuka K, Makino
K, Marsoem NS, Yokotas S. 2014.
Among-clone variations of anatomical
characteristics and wood properties in
Tectona grandis planted in Indonesia.
Wood Fiber Sci. 46:385-393.
Hidayati H, Ishiguri F, Iizuka K, Makino
K, Takashima Y, Danarto S, Winarni
WW, Irawati D, Na`iem M, Yokota S.
2013. Variation in tree growth
characteristics, stress-wave velocity,
and Pilodyn penetration of 24-year-
old teak (Tectona grandis) trees
originating in 21 seed provenances
planted in Indonesia. J Wood Sci. 59:
512-516.
Hidayati H, Ishiguri F, Iizuka K, Makino
K, Tanabe J, Marsoem SN, Na`iem
M, Yokota S, Yoshizawa N. 2013.
Growth characteristics, stress-wave
velocity, and Pilodyn penetration of
15 clones of 12-year-old Tectona
grandis trees planted at two different
sites in Indonesia. J Wood Sci. 59:
249-254.
Indira EP, Bhat KM. 1998. Effects of site
and place of origin on wood density
of teak (Tectona grandis) clones. J
Trop For Sci. 10:537-541.
Istikowati W, Ishiguri F, Aiso H,
Hidayati F, Tanabe J, Iizuka K, Sutiya
B, Wahyudi I, Yokota S. 2014.
Physical and mechanical properties of
woods from three native fast-growing
species in a secondary forest in South
Kalimantan, Indonesia. Forest Prod J.
64:48-54.
Kedharnath S, Chacko VJ, Gupta SK,
Mattews JD. 1963. Geographic and
individual tree variation in some
wood character of teak (Tectona
grandis L.f): I. Fiber length. Silvae
Genet. 12:181-187.
Kokutse AD, Stokes A, Bailleres H,
Kokou K, Baudasse C. 2006. Decay
resistance of Togolese teak (Tectona
grandis L.f) heartwood and
relationship with colour. Trees. 20:
219-223.
Krisdianto, Sumarni G. 2006.
Perbandingan persentase volume teras
kayu jati cepat tumbuh dan
konvensional umur 7 tahun asal
Penajam, Kalimantan Timur. J
Penelitian Hasil Hutan. 24:385-394.
Lukmandaru G, Ashitani T, Takahashi
K. 2009. Color and chemical
characterization of partially black-
streaked heartwood in teak (Tectona
grandis). J For Res. 20: 377-380.
Makino K, Ishiguri F, Wahyudi I,
Takashima Y, Iizuka K, Yokota S,
Yoshizawa N. 2012. Wood properties
of young Acacia mangium trees
planted in Indonesia. Forest Prod J.
62:102-106.
Moya R, Berrocal A. 2010. Wood colour
variation in sapwood and heartwood
of young trees of Tectona grandis and
its relationship with plantation
characteristics, site, and decay
resistance. Ann For Sci. 67:109. Doi
10.1051/forest/2009088.
Moya R, Marin JD. 2011. Grouping of
Tectona grandis (L.f) clones using
wood color and stiffness. New For.
42:329-345.
21 Physical and Mechanical Properties of 10-Year Old Superior and Conventional Teak Planted in
Randublatung Central Java Indonesia
Fanny Hidayati, Joko Sulistyo, Ganis Lukmandaru, Tomy Listyanto, Harry Praptoyo, Rini Pujiarti
Thulasidas PK, Bhat KM, Okuyama T.
2006. Heratwood color variation in
home garden teak (Tectona grandis)
from wet and dry localities of Kerala,
India. J Trop For Sci. 18:51-54.
Thulasidas PK, Bhat KM. 2012.
Mechanical properties and wood
structure characteristics of 35-year old
home-graden teak from wet and dry
localities of Kerala, India in
comparison with plantation teak. J
Indian Acad Wood Sci. 9:23-32.
Wahyudi I, Arifien AF. 2005.
Perbandingan struktur anatomis, sifat
fisis, dan sifat mekanis kayu jati
unggul dan kayu jati konvensional. J
Ilmu Teknol. Kayu Tropis. 3:9-15.
Wahyudi I, Priadi T, Rahayu IS. 2014a.
Karakteristik dan sifat-sifat dasar
kayu jati unggul umur 4 dan 5 tahun
asal Jawa Barat. J Ilmu Pertanian
Indonesia. 19:50-56.
Wahyudi I, Sinaga DKD, Muhran, Jasni
LB. 2014b. Pengaruh jarak tanam
terhadap pertumbuhan pohon dan
beberapa sifat fisis-mekanis kayu jati
cepat tumbuh. J Ilmu Pertanian
Indonesia. 19:204-010.
Wanneng PX, Ozarska B, Daian MS.
2014. Physical properties of Tectona
grandis grown in Laos. J Trop For
Sci. 26:389-396.
Riwayat naskah:
Naskah masuk (received): 4 September 2014
Diterima (accepted): 2 Nopember 2014
22 J. Ilmu Teknol. Kayu Tropis Vol.13 No.1 Januari 2015
Perilaku Elastik Beban-Defleksi Balok Kayu Laminasi pada Pengujian
Lentur
(Elastic Load-Deflection Behavior of Timber Laminated Beam on
Flexural Test)
Fengky S Yoresta
Departemen Hasil Hutan, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor
Kampus IPB Dramaga, Bogor 16680
Penulis korespondensi: [email protected]
Abstract
This research aims to understand the behavior of elastic bending curve on several types of timber
laminated beams using bolts and combination of bolt-adhesive as connector among the timber
layers. The beams are divided into types A, B, and C based on position of bolts and adhesive on
beam. Flexural testing is conducted with one-point loading method using 5 tons capacity of
Instron machine. The test results are then compared with theory of beam deflection by Euler-
Bernoulli and Timoshenko. The research concludes that Timoshenko beam equation is accurate
enough to predict the elastic behavior of beams. Deflection obtained from experiment is about
two times larger than Euler-Bernoulli beam and not more than 1% error to Timoshenko.
Keywords: adhesive, bolts, elastic behavior, flexural testing, laminated beam
Abstrak
Penelitian ini bertujuan memahami perilaku kurva elastik lentur beberapa tipe balok laminasi
kayu yang menggunakan baut dan kombinasi baut-perekat sebagai penghubung antar lapisan
kayu. Balok dibedakan menjadi tipe A, B, dan C berdasarkan posisi penempatan baut dan
perekat pada balok. Pengujian lentur dilakukan dengan metode one point loading menggunakan
mesin Instron berkapasitas 5 ton. Hasil pengujian kemudian dibandingkan dengan teori defleksi
balok Euler-Bernoulli dan Timoshenko. Hasil penelitian menyimpulkan bahwa persamaan balok
Timoshenko cukup akurat untuk memprediksi perilaku elastik balok. Defleksi yang diperoleh
dari eksperimen adalah sekitar dua kali lebih besar dari balok Euler-Bernoulli dan error tidak
lebih dari 1% dari balok Timoshenko.
Kata kunci: balok laminasi, baut, pengujian lentur, perekat, perilaku elastik
Pendahuluan
Balok laminasi baut adalah balok yang
terdiri lebih dari satu lapisan kayu yang
membentuk suatu sistem laminasi
dengan baut berfungsi sebagai transfer
geser antar lapisan (Pranata et al. 2010,
Pranata et al. 2011). Penggunaan baut
sebagai penghubung antar lapisan kayu
pada balok laminasi memungkinkan
balok ini menjadi lebih mudah dan cepat
dalam pembuatannya. Hal ini terutama
sangat berguna ketika menghadapi
kondisi darurat setelah terjadi bencana.
Kebanyakan insfrastruktur sipil seperti
jembatan mengalami rusak berat setelah
terjadi gempa kuat misalnya, sehingga
membutuhkan perbaikan dengan sangat
segera karena fungsi dan keberadaannya
sangat diperlukan untuk akses darurat
bencana.
Kekakuan balok laminasi dapat melebihi
kayu solid. Berbagai faktor seperti jenis
kayu dan cara menghubungkan antar
lapisan kayu akan mempengaruhi
23 Perilaku Elastik Beban-Defleksi Balok Kayu Laminasi pada Pengujian Lentur
Fengky S Yoresta
kekuatan dan kekakuan balok laminasi.
Penelitian terhadap berbagai jenis balok-
kotak laminasi baut untuk jembatan
(Gotou 2014) menyimpulkan bahwa,
dalam beberapa kasus, kekakuan lentur
balok dapat mencapai 50% lebih kecil
dari nilai kekakuan yang diperoleh
menggunakan teori Euler-Bernoulli. Hal
ini sekitar 10% disebabkan oleh
perlemahan titik hubung di area tarik
balok (bagian bawah balok) dan
selebihnya (sebagian besar) disebabkan
oleh deformasi geser yang terjadi. Hal ini
sesuai dengan teori Timoshenko yang
memperhitungkan adanya pengaruh
geser pada balok. Biasanya tegangan
geser bernilai tinggi disekitar daerah
sumbu netral balok sehingga
memungkinkan deformasi geser yang
besar di daerah ini. Dalam penelitian ini
hasil pengujian dibandingkan dengan
teori defleksi balok yang dikemukakan
oleh Euler-Bernoulli dan Timoshenko.
Penelitian ini bertujuan memahami
perilaku elastik lentur beberapa tipe
balok laminasi kayu yang menggunakan
baut dan paku.
Bahan dan Metode
Penelitian ini menggunakan kayu mahoni
berkadar air 13%. Perekat Epoxy demp-
X dengan perbandingan 1:1 serta baut
berdiameter 3 mm digunakan sebagai
penghubung geser.
Total semua balok berjumlah 18 sampel
uji. Balok dibagi menjadi 3 tipe, yaitu
tipe A, B, dan C. Pembagian tipe tersebut
dilakukan berdasarkan posisi
penempatan baut dan perekat pada balok.
Balok tipe A hanya menggunakan baut
sebagai penghubung antar laipsan kayu
penyusun balok. Baut ditempatkan di
setiap jarak 5 cm disepanjang bentang
balok. Sementara itu balok tipe B dan C
menggunakan gabungan antara perekat
dan baut. Baut pada balok tipe C
ditempatkan disepenjang 30 cm di tengah
bentang balok, dengan jarak yang sama
dengan jarak baut pada balok tipe A, dan
perekat digunakan di selain area tersebut,
sedangkan pada balok tipe B baut
ditempatkan di sepanjang area yang
menggunakan perekat pada balok tipe C
yaitu sepanjang 30 cm di kedua ujung
balok, dan perekat ditempatkan di area
yang menggunakan baut (sepanjang 30
cm di tengah bentang balok).
Balok terdiri atas 3 lapis lamina dengan
ketebalan masing-masing lamina adalah
1,67 cm. Tabel 1 memperlihatkan
pembagian sampel uji untuk masing-
masing tipe balok. Semua balok diuji
lentur menggunakan mesin Instron
berkapasitas 5 ton. Pengujian dilakukan
dengan metode pembebanan terpusat di
tengah bentang dengan panjang bentang
balok adalah 90 cm.
Tabel 1 Pembagian sampel uji balok kayu laminasi
No Tipe Penghubung Diameter baut Kode sampel Jumlah
1 A baut 3 cm Exp1, Exp2, Exp3 3
2 B baut, perekat 3 cm Exp1, Exp2, Exp3 3
3 C baut, perekat 3 cm Exp1, Exp2, Exp3 3
Total 9
24 J. Ilmu Teknol. Kayu Tropis Vol.13 No.1 Januari 2015
Hasil dan Pembahasan
Perbedaan mendasar antara teori balok
Euler-Bernoulli dan Timoshenko dapat
dijelaskan seperti pada Gambar 1. Teori
balok Euler-Bernoulli mengabaikan
adanya pengaruh deformasi geser pada
penampang balok, yaitu dengan cara
mengasumsikan bahwa bidang
penampang tetap tegak lurus (tidak
berubah) terhadap garis netral
penampang balok selama terjadi
lenturan. Hal ini menjadikan tegangan
dan regangan geser tidak diperhitungkan
dalam teorinya.
Namun berbeda dengan teori balok
Timoshenko bahwa deformasi balok
didasarkan pada deformasi geser.
Disekitar daerah netral terjadi tegangan
geser yang tinggi sehingga menyebabkan
deformasi geser. Tegangan geser yang
bekerja di satu sisi elemen selalu akan
disertai tegangan geser yang besarnya
sama dan bekerja tegak lurus muka
elemen tersebut. Dengan asumsi bahwa
tegangan geser yang bekerja disetiap
elemen kecil pada penampang balok
tersebut adalah vertikal, maka terjadi
tegangan horizontal yang bekerja antara
lapisan horizontal balok yang besarnya
sama dengan tegangan geser vertikal
tersebut. Tegangan geser maksimum
(τmaks) di balok dengan penampang
persegi panjang adalah 50% lebih besar
dari teganagn geser rata-rata V/A (Gere
et al. 1997).
Hasil pengujian lentur dan nilai yang
diperoleh secara teoritis balok laminasi
baut tipe A diperlihatkan pada Gambar 2.
Garis “EB” adalah grafik hubungan
beban-defleksi yang diperoleh
menggunakan teori deflesi balok yang
dikemukakan oleh Euler-Bernoulli
(persamaan 1) dan garis “Timo” adalah
grafik beban-defleksi berdasarkan teori
balok Timoshenko (persamaan 2),
sedangkan angka 1, 2, dan 3
menunjukkan nomor sampel balok.
Sementara itu, defleksi balok laminasi
yang diperoleh dari hasil pengujian
lentur diperlihatkan oleh garis Exp1,
Exp2, dan Exp3.
Gambar 1 Perbandingan deformasi balok
Euler-Bernoulli dan balok Timoshenko.
Kedua persamaan ini (Persamaan 1 dan
2) ditentukan dengan melibatkan
persamaan (3) untuk nilai koefisien geser
k yang dipengaruhi oleh nilai rasio
poisson υ material balok (Timoshenko
1972), persamaan (4), dan persamaan (5)
(Cahyono et al. 2014). Eapp adalah nilai
Modulus Elastisitas yang diperoleh
dengan hanya memperhitungkan defleksi
akibat lentur, sedangkan Etrue adalah
Modulus Elastisitas akibat lentur dan
geser. Kedua nilai ini memiliki
perbedaan mencapai 13,4% untuk balok
glulam kayu eukaliptus (Sulistyawati
2006). Substitusi persamaan (5) ke (4)
menghasilkan persamaan hubungan
antara modulus geser G dan Eapp.
Persamaan tersebut selanjutnya
disubstitusi kembali ke persamaan (2).
Nilai modulus geser G yang dihasilkan
kemudian digunakan untuk menentukan
Eapp dari hasil substitusi persamaan (5)
dan (4).
25 Perilaku Elastik Beban-Defleksi Balok Kayu Laminasi pada Pengujian Lentur
Fengky S Yoresta
𝛿 =𝑃𝐿3
48𝐸𝑎𝑝𝑝.𝐼 ...... (1)
𝛿 =𝑃𝐿3
48𝐸𝑎𝑝𝑝.𝐼+
𝑃𝐿
4𝑘𝐺𝐴 ...... (2)
𝑘 =10(1+𝑣)
12+11𝑣 ...... (3)
𝐸𝑡𝑟𝑢𝑒 =𝑃𝐿3
4𝑏ℎ3𝛿(1−3𝑃𝐿
10𝑏ℎ𝐺𝛿) ...... (4)
𝐸𝑡𝑟𝑢𝑒 = −829 + 1,04𝐸𝑎𝑝𝑝 ...... (5)
Dari Gambar 2 dapat dilihat bahwa kurva
hasil pengujian lentur balok tipe A untuk
semua ulangan berhimpit dengan kurva
balok Timoshenko. Kondisi ini juga
terjadi pada balok tipe B dan C (Gambar
3 dan 4). Perbedaan kedua kurva tersebut
bahkan tidak melebihi 0.6%. Hasil
pengujian terhadap 3 sample balok tipe
A diperoleh bahwa sampel 1, 2, dan 3
berturut-turut adalah 2,72; 5,07; dan 1,08
kali lebih besar dari balok Euler-
Bernoulli. Error balok tersebut terhadap
balok Timoshenko masing-masing
adalah 0,58; 1,11; dan 0,02%.
Dengan cara yang sama dengan balok
laminasi tipe A, hasil pengujian lentur
balok laminasi tipe B dan tipe C juga
dibandingkan dengan teori defleksi balok
Euler-Bernoulli dan Timoshenko.
Perbandingan kurva beban-defleksi yang
diperoleh kemudian diperlihatkan pada
Gambar 3 dan 4. Defleksi balok laminasi
dari pengujian lentur ditunjukkan oleh
garis Exp1, Exp2, dan Exp3, sedangkan
balok Euler-Bernoulli dan Timoshenko
masing-masing disimbolkan sebagai
“EB” dan “Timo”.
Gambar 2 Hubungan beban-defleksi
balok tipe A.
Gambar 3 Hubungan beban-defleksi
balok tipe B.
Gambar 4 Hubungan beban-defleksi
balok tipe C.
26 J. Ilmu Teknol. Kayu Tropis Vol.13 No.1 Januari 2015
Pengujian terhadap 3 sample balok tipe
B diperoleh bahwa sampel 1, 2, dan 3
berturut-turut adalah 2,09; 1,75; dan 2,50
kali lebih besar dari balok Euler-
Bernoulli, sedangkan untuk balok tipe C
masing-masing adalah 2,65; 2,50; dan
2,67 kali lebih besar dari balok Euler-
Bernoulli. Sementara itu, error tiga balok
tipe B dan C terhadap balok Timoshenko
berturut-turut adalah 0, 0,12, 0,02%, dan
0,03, 0,06, 0,0%.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa
rata-rata defleksi balok tipe A yang
diperoleh dari pengujian lentur adalah
2,96 kali lebih besar dari defleksi balok
Euler-Bernoulli, sedangkan balok tipe B
dan C berturut-turut memiliki rata-rata
defleksi 2,11 dan 2,61 kali lebih besar
dari defleksi balok Euler-Bernoulli.
Balok tipe A, B, dan C memiliki relatif
error terhadap balok Timoshenko
berturut-turut adalah sebesar 0,57, 0,05,
dan 0,04%.
Selain mengindikasikan keakuratan
persamaan (5) dalam mendefinisikan
hubungan antara Eapp dan Etrue (R2 =
0,99), nilai error yang sangat kecil ini
juga menegaskan bahwa defleksi balok
sangat mungkin didekati dengan
persamaan Timoshenko. Sebagai
perbandingan, nilai error terhadap balok
Timeshenko untuk balok kotak kayu
laminasi tegangan (timber stress-
laminated box-beam) adalah sekitar 1%
(Gotou 2014). Selain itu, Gambar 2, 3,
dan 4 memperlihatkan kekakuan balok
meningkat dari tipe A, B, dan C.
Kekakuan terbesar pada balok tipe C
mengindikasikan bahwa perekat berperan
cukup signifikan dibandingkan dengan
baut dalam menahan geser.
Kesimpulan
Penelitian ini membandingkan kekakuan
3 tipe (A,B, dan C) balok kayu laminasi
baut hasil pengujian lentur terhadap hasil
perhitungan menggunakan teori defleksi
balok Euler-Bernoulli dan Timoshenko.
Defleksi yang diperoleh dari pengujian
lentur adalah sekitar dua kali lebih besar
dibandingkan dengan teori balok Euler-
Bernoulli, sedangkan error tidak
melebihi 1% terhadap balok
Timoshenko. Hal ini mengindikasikan
bahwa geser berpengaruh besar terhadap
defleksi balok. Selain itu, persamaan
balok Timoshenko cukup akurat untuk
memprediksi perilaku elastik balok.
Daftar Pustaka
Cahyono TD, Wahyudi I, Priadi T,
Febrianto F, Ohorella S. 2014.
Analisis modulus geser dan
pengaruhnya terhadap kekakuan panel
laminasi kayu samama (Antocephallus
Macrophyllus). J Teknik Sipil. 21(2):
121-128.
Gere JM, Stephen PT,. 1997. Mechanics
of Material. New York: Publishing
Company.
Gotou H. 2014. Shear behavior of on-site
timber stress-laminated box-beam
bridges, Proceeding World
Conference on Timber Engineering
WCTE, 10-14 Agustus 2014. Quebec
City, Canada.
Pranata YA, Suryoatmono B, Tjondro
JA. 2010. Flexural behavior of bolt-
laminated beams:experimental and
numerical analyses. Proceeding 2nd
International Conference Indonesian
Wood Research Society, 12-13
November 2010. Bali: Indonesian
Wood Research Society.
Pranata YA, Suryoatmono B, Tjondro,
JA. 2011. The flexural rigidity ratio of
indonesian timber bolt-laminated
beam, Indonesia: Proceeding The 3rd
European Asian Civil Engineering
27 Perilaku Elastik Beban-Defleksi Balok Kayu Laminasi pada Pengujian Lentur
Fengky S Yoresta
Forum. 20-22 September 2011.
Yogyakarta: Universitas Atma Jaya.
Timoshenko S, Gere JM. 1972.
Mechanics of Materials. New York:
Van Nostrand Reinhold Co.
Sulistyawati I. 2006. ratio of shear to
bending deflection and its influence to
bending stiffness (EI) of timber beam,
J Trop Wood Sci Technol. 4(2):44-49.
Riwayat naskah:
Naskah masuk (received): 16 September 2014
Diterima (accepted): 12 Nopember 2014
28 J. Ilmu Teknol. Kayu Tropis Vol.13 No.1 Januari 2015
Kadar Kinon dalam Kayu Teras Jati yang Diisolasi dengan Ekstraksi
Rendaman Dingin
(Quinone Contents in Teak Heartwood Isolated by Cold Extraction)
Ganis Lukmandaru
Jurusan Teknologi Hasil Hutan, Fakultas Kehutanan, Universitas Gadjah Mada, Jl.
Bulaksumur, Yogyakarta
Penulis korespondensi: [email protected]
Abstract
Sampling by increment borer along with wood extraction by cold soaking would be useful for
large sample size and if the destructive sampling is undesirable. This work aimed to evaluate the
reliability of cold extraction by methanol and acetone to extract the quinone compounds of teak
heartwood compared to the conventional soxhlet extraction by ethanol-benzene. Another
purpose of this work was to find out the intra-tree variability of quinone compound around the
outer heartwood parts (8 angles, 16 points). On the basis of the yield of ethanol-benzene extracts
in 6 trees, cold extraction could remove the extracts of 37-66% by methanol and 23-61% by
acetone. By correlaton analysis, considerable degree of correlations (r>0.9) were calculated
between soxhlet and cold extraction in the contents of deoxylapachol, lapachol, tectoquinone.
With regard to intra-tree variation quinones, wide level ranges were observed in all compounds
by judging the coefficient of variation, except for tectol. Therefore, it is suggested that the
sampling in the tangential direction in a single tree should be taken at 3 points separated by at
least 90 degrees to avoid the bias in the individual components. The variation of quinone total
amounts, however, showed comparatively low (18%) of coefficient of variation.
Keywords: cold extraction, extractives, incrrement borer, quinone, Tectona grandis
Abstrak
Pengambilan sampel dengan bor riap serta ekstraksi kayu melalui rendaman dingin akan
bermanfaat apabila dalam situasi sampel dengan jumlah besar dan metode sampling yang
merusak tidak diinginkan. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi kehandalan ekstraksi
rendaman dingin pelarut metanol dan aseton dalam mengekstrak senyawa-senyawa kinon
(deoksilapakol dan isomernya, lapakol, tektokinon, tektol) dari kayu teras jati dibandingkan
dengan metode konvensional ekstraksi soxhlet pelarut etanol-benzena. Tujuan lain penelitian ini
adalah untuk mengetahui variasi senyawa kinon di dalam pohon bagian sekeliling kayu teras luar
(8 sudut, 16 titik). Analisis komponen dilakukan melalui GC dan GC-MS. Berdasarkan nilai
rendemen ekstraksi etanol-benzena dari 6 pohon, rendaman dingin mampu mengekstrak
sebanyak 37-66% bagian melalui metanol dan 23-61% bagian melalui aseton. Melalui analisis
korelasi, derajat korelasi yang tinggi (r>0,9) dihitung antara ekstraksi soxhlet dan rendaman
dingin dalam kadar deoksilapakol, lapakol, dan tektokinon. Dari variasi dalam pohon untuk
senyawa kinon, kisaran lebar diamati di semua komponen bila dilihat dari koefisien variasinya,
kecuali untuk tektol, sehingga disarankan dalam arah tangensial dalam satu pohon harus diambil
di 3 titik terpisah minimal 90 derajat untuk menghindari bias untuk komponen-komponen
tunggal. Meski demikian, variasi kadar kinon total mempunyai koefisien variasi yang relatif
rendah (18%).
Kata kunci : bor riap, ekstraktif, kinon, rendaman dingin, Tectona grandis
29 Kadar Kinon dalam Kayu Teras Jati yang Diisolasi dengan Ekstraksi Rendaman Dingin
Ganis Lukmandaru
Pendahuluan
Senyawa kinon merupakan komponen
ekstraktif yang terdapat pada beberapa
kayu teras seperti jati (Tectona grandis),
walnut (Juglans nigra), dan Tabebuia
avellanedae (Thomson 1971, Umezawa
2001). Pada jati, komponen kinon seperti
tektokinon, lapakol, dan deoksilapakol
berperan besar terhadap ketahanan
terhadap rayap dan jamur dengan derajat
yang berbeda (Lukmandaru 2013,
Sandermann & Simatupang 1966,
Sumthong et al. 2006, Sumthong et al.
2008). Penelitian sebelumnya telah
mengkuantifikasi keberadaan senyawa
kinon (Nawawi et al. 2011) dan
hubungannya dengan keawetan alaminya
(Lukmandaru & Takahashi 2009,
Niamke et al. 2011, Thulasidas & Bhat
2007), kecepatan tumbuh (Lukmandaru
2010) dan pengaruhnya terhadap warna
doreng kayu teras (Lukmandaru 2009).
Senyawa ekstraktif jumlahnya bervariasi
pada pohon dan antar pohon. Di
Indonesia, variasi senyawa kinon
berdasarkan tempat tumbuh, fenotip,
umur, dan biji untuk kayu jati datanya
masih terbatas. Penelitian mengenai
kemotaksonomi kayu jati (87 individu)
berdasarkan senyawa kinonnya pada
beberapa lokasi telah dilakukan
(Lukmandaru 2012). Kuantifikasi kinon
dalam beberapa penelitian disebutkan di
atas dilakukan dengan ekstraksi etanol-
benzena pada alat soxhlet dengan asumsi
senyawa-senyawa kinon sudah terekstrak
secara keseluruhan.
Untuk melakukan penelitian terhadap
senyawa ekstraktif pada variasi jati yang
ada, tentunya diperlukan metode yang
efisien dengan akurasi yang bisa
diandalkan. Dalam melakukan penelitian
kemotaksonomi pada kayu teras
misalnya, tentunya diperlukan jumlah
sampel yang besar sehingga pengambilan
sampel dengan metode bor riap menjadi
pilihan utama. Penelitian sebelumnya
pada beberapa spesies lainnya (Jactel et
al. 1996, Latta et al. 2003, Mosedale et
al. 1996, Mosedale & Savill 1996,
Ogiyama et al. 1983, DeBell et al. 1997,
Yanchuk et al. 1998) dilakukan untuk
untuk penentuan variasi kadar dan
komponen ekstraktifnya menggunakan
bor riap untuk sampel/individu dalam
jumlah besar. Metode ekstraksi dengan
alat soxhlet yang dirasa kurang praktis
untuk jumlah sampel yang besar. Untuk
itu, metode ekstraksi dengan cara
sederhana seperti perendaman dingin
dengan pelarut yang murah dan mudah
tersedia perlu dievaluasi keakuratannya.
Eksperimen ini diarahkan pada
penentuan metode sampling yang akurat
pada pengambilan sampel melalui bor
riap. Dari latar belakang di atas maka
tujuan penelitian ini adalah mengetahui
akurasi metode perendaman dingin
dengan pelarut metanol dan aseton
dengan membandingkan dengan metode
standar yaitu ekstraksi etanol-benzena
dengan soxhlet. Metanol dan aseton
adalah pelarut universal yang selain
efektif, tersedia banyak dan murah juga
lebih aman apabila dibandingkan
benzena yang relatif mahal dan bersifat
karsinogenik. Satu hal lainnya adalah
pada jati perlu terlebih dahulu ditentukan
variasi dalam satu pohon pada komponen
ekstraktifnya terlebih dahulu sehingga
titik pengambilan sampelnya melalui bor
riap menjadi lebih akurat untuk
merepresentasikan populasi. Oleh karena
itu, tujuan lain dari penelitian ini adalah
mengetahui variasi dalam 1 pohon pada
5 senyawa kinon (tektokinon, lapakol,
tektol, deoksilapakol dan isomernya)
yang merupakan senyawa utama atau
bersifat bioaktif pada jati (Sandermann &
Simatupang 1966, Thulasidas & Bhat
2007).
30 J. Ilmu Teknol. Kayu Tropis Vol.13 No.1 Januari 2015
Bahan dan Metode
Penyiapan bahan
Eksperimen untuk membandingkan
metode ekstraksi dilakukan
menggunakan sampel dari penebangan 6
pohon jati (no. 1-6) KU VII dari KPH
Purwakarta. Tiap pohon dalam kondisi
relatif sehat dan lurus (diameter 50-70
cm) diambil lempengan kayu (disk)
setebal 5 cm pada ketinggian kira-kira 1
m dari permukaan tanah. Serbuk pada
bagian teras luar secara acak diambil dan
dihaluskan pada ukuran 40-60 mesh
untuk analisis komponen kimia. Untuk
mengetahui variasi senyawa kinon dalam
satu pohon, dipilih pohon no. 1 yang
selanjutnya diambil sampel serbuk kayu
pada 16 titik dalam 8 sudut disk searah
lingkaran tahun atau tangensial (Gambar
1). Metode pengambilan sampel ini
mengacu pada DeBell et al. (1997)
dalam penentuan akurasi ekstraksi untuk
kadar tropolon total pada kayu Western
Redcedar. Bahan kimia yang dipakai
adalah etanol, metanol, benzena, dan
aseton dengan grade PA dari Merck.
Komponen standar yang dipakai adalah
tektokinon (Kanto Chemical), lapakol
(Sigma-Aldrich), dan naftakinon (Sigma).
Ekstraksi
Metode perendaman dingin 2 g serbuk
kayu setara kering tanur dengan pelarut
metanol dan aseton secara terpisah
dilakukan selama 72 jam. Ekstraksi
soxhlet dengan pelarut etanol-benzena
(1:2 v/v) mengacu pada ASTM D-1107
(1984) dilakukan sebagai pembanding.
Kadar ekstraktif dihitung setelah
menyaring filtrat, menguapkan pelarut
dan menimbang ekstrak keringnya.
Ekstraksi soxhlet dengan pelarut etanol-
benzena juga dilakukan untuk
mengetahui variasi kadar senyawa kinon
dalam pohon (Thulasidas & Bhat 2007).
Identifikasi dan kuantifikasi senyawa
kinon
Ekstrak dari perendaman dingin dan
ekstraksi soxhlet dicuplik dan dilarutkan
dalam pelarut yang bersesuaian sehinga
diperoleh konsentrasi 100 mg ml-1.
Selanjutnya dari supernatan tiap sampel
diinjeksikan secara manual ke
kromatografi gas (GC Hitachi G-3500,
kolom NB-1) dengan kondisi suhu
kolom 120~300 ºC, suhu deteksi dan
injeksi 250 ºC, waktu pada suhu
maksimal 15 menit, kecepatan 4 ºC per
menit sedangkan helium dipakai sebagai
gas pembawa. Identifikasi komponen
memakai kromatografi gas-
spektrofotometer massa (GC-MS
Shimadzu QP 5000, kolom DB-1)
dengan kondisi serupa analisis GC,
sedangkan kondisi MS adalah voltase
suhu ionisasi 70 eV, suhu transfer 250 ºC,
dan kisaran pindai 50-500 satuan massa
atom. Penentuan kadar komponen
berdasarkan persentase luasan puncaknya
terhadap total area puncak. Kadar kinon
total merupakan penjumlahan dari kadar
deoksilapakol dan isomernya, tektokinon,
lapakol dan tektol. Identifikasi
komponen secara detail dideskripsikan
pada penelitian sebelumnya
(Lukmandaru & Takahashi 2009,
Lukmandaru 2012). Kalibrasi pada alat
dilakukan sehingga koefisien variasi
tidak melebihi 20% pada sampel yang
sama dalam kuantifikasi komponennya.
Analisis data
Data yang diperoleh dianalisis secara
deskriptif dan secara statistic
menggunakan korelasi Pearson untuk
mengetahui keeratan hubungan antar
parameter bebas. Perhitungan statistik
dilakukan dengan menggunakan program
SPSS versi 10.0.
31 Kadar Kinon dalam Kayu Teras Jati yang Diisolasi dengan Ekstraksi Rendaman Dingin
Ganis Lukmandaru
Gambar 1 Skema pengambilan sampel
serbuk kayu di bagian teras luar pada
berbagai sudut piringan kayu jati.
Hasil dan Pembahasan
Evaluasi metode ekstraksi rendaman
dingin
Gambar 2 memperlihatkan kadar
ekstraktif terlarut aseton (KEA) dan
metanol (KEM) dari 6 pohon
menghasilkan kisaran 2,47-8,44% dan
5,11-9,87%, secara berurutan. Nilai
tersebut lebih rendah dari kelarutan
dalam etanol-benzena (KEB)
menghasilkan kisaran 10,69-14,74%
seperti yang diduga sebelumnya. Nilai
KEB yang relatif tinggi ini wajar karena
sampel pohon cukup tua dan diambil
pada bagian teras terluar. Secara
matematis, KEM mengekstrak sekitar
37-66% dari ekstraktif keseluruhan
(KEB) sedangkan KEA mengekstrak
sedikit di bawah KEM (23-61%).
Kecuali pada sampel no. 2, nilai KEM
pada setiap sampel lebih tinggi dari KEA.
Hal tersebut dapat dijelaskan dari
polaritasnya dimana metanol lebih polar
dari aseton sehingga lebih banyak
mengekstrak komponen yang lebih polar
dari ekstrak jati.
Untuk mengetahui efektivitias metode
rendamaan dingin dalam melarutkan
kinon, hasil ekstraksi tersebut disajikan
pada Gambar 3. Dari urutan puncaknya
adalah deoksilapakol (BM = 226),
disusul oleh lapakol (BM = 240),
isodeoksilapakol (BM = 226), tektokinon
(BM = 222) serta tektol (BM = 450).
Pada grafik juga terlihat puncak terbesar
adalah skualena (waktu retensi sekitar 37
menit). Terlihat bahwa untuk konsentrasi
dan komponen yang sama, pelarut aseton
menghasilkan puncak (peak) yang lebih
lebar sedangkan pelarut 31 etanol dan
etanol-benzena tidak banyak berbeda.
Gambar 2 Rerata kadar ekstraktif pada 6 sampel kayu teras jati dengan 3 pelarut berbeda
(error bar menunjukkan standar deviasi). Keterangan: KEA = kadar ekstraktif terlarut
aseton, KEA: kadar ekstraktif terlarut aseton, KEM = kadar ekstraktif terlarut metanol,
KEEB = kadar ekstraktif terlarut etanol-benzena.
0
2
4
6
8
10
12
14
16
KEA KEM KEEB
Kadar
ekstr
aktif
(%)
32 J. Ilmu Teknol. Kayu Tropis Vol.13 No.1 Januari 2015
Gambar 3 Gas kromatogram dari ekstrak kayu teras jati yang terlarut pada (a) metanol,
(b) aseton, dan (c) etanol-benzena. Beberapa komponen utama kinon yang teridentifikasi
(sesuai nomor puncak) : deoksilapakol (1), lapakol (2), isodeoksilapakol (3), tektokinon
(4), dan tektol (5).
Hasil ini menunjukkan bahwa aseton
efektif dalam melarutkan zat kinon
melalui perendaman dingin. Sjostrom
dan Allen (1999), menyatakan bahwa
aseton merupakan pelarut yang baik
untuk kebanyakan ekstraktif. Meskipun
rendemen tertinggi didapatkan pada
etanol-benzena, zat-zat ekstraktif selain
kinon juga banyak terlarut sehingga
puncak komponen kinon tidak terlalu
besar. Penjelasan yang sama juga
dikemukakan apabila membandingkan
antara hasil pelarut aseton dan 32 ethanol.
Tabel 1 memperlihatkan hasil
kuantifikasi 5 macam senyawa kinon dari
kayu jati. Jika dihitung berdasarkan
relatif terhadap persentase luasan puncak
totalnya maka ekstrak metanol
memberikan nilai tertinggi untuk tiap
komponennya.
33 Kadar Kinon dalam Kayu Teras Jati yang Diisolasi dengan Ekstraksi Rendaman Dingin
Ganis Lukmandaru
Tabel 1 Kadar komponen kinon pada ekstrak kayu teras jati (n=6) berdasarkan
persentase luas puncak total dalam 3 pelarut berbeda
Pelarut Kadar (%)
Deoksilapakol Lapakol Isodeoksilapakol Tektokinon Tektol
Metanol
- Nilai minimum 1,19 1,39 5,75 7,97 7,44
- Nilai maksimum 39,48 16,00 12,95 20,19 15,04
- Rerata 15,23 8,17 8,22 13,67 11,71
- Standar deviasi 16,47 6,63 2,76 5,04 3,06
Aseton
- Nilai minimum 3,43 0,99 2,85 4,54 4,63
- Nilai maksimum 32,14 11,14 11,54 17,44 10,76
- Rerata 11,73 5,33 6,06 10,33 6,21
- Standar deviasi 12,00 4,20 3,68 6,11 2,30
Etanol-benzena
- Nilai minimum 2,76 1,18 2,17 4,07 2,25
- Nilai maksimum 31,00 9,43 5,32 14,27 11,40
- Rerata 12,53 4,04 3,74 7,19 6,61
- Standar deviasi 11,04 3,60 1,13 4,81 4,10
Hal ini diduga disebabkan oleh
banyaknya senyawa berat molekul tinggi
yang tidak terdeteksi oleh kromatografi
gas pada ekstrak metanol tetapi tidak
terlarut dalam aseton. Standar deviasi
yang diperoleh cukup besar yang
menunjukkan variasi besar meski sampel
diambil dalam KU yang sama. Nilai
standar deviasi yang besar tersebut
diabaikan karena tujuan penelitian ini
adalah ingin mengetahui kecenderungan
pada pelarut yang berbeda pada kisaran
konsentrasi rendah sampai tinggi.
Terlihat bahwa dari nilai relatif reratanya
maka urutan konsentrasi terbesar ke
terkecil pada pelarut etanol-benzena
adalah deoksilapakol > tektokinon >
tektol > isodeoksilapakol > lapakol.
Penelitian sebelumnya (Lukmandaru
2012) menunjukkan adanya 3 kemotipe
berdasarkan komponen yang dominan
pada ekstraktif pada jati di Jawa yaitu
tipe skualena, tipe tektokinon dan tipe
naftakinon. Data di atas menunjukkan
sampel yang dipakai umumnya memiliki
tipe naftakinon karena relatif tingginya
nilai deoksilapakol. Kecenderungan
tersebut sedikit berbeda apabila
menggunakan pelarut aseton dan metanol
dimana urutan konsentrasi terbesar ke
terkecil pada pelarut etanol-benzena
adalah deoksilapakol > tektokinon >
tektol > lapakol > isodeoksilapakol.
Dari analisa korelasi (Tabel 2) terlihat
bahwa derajat korelasi yang tinggi
(r>0,9) antara ekstrak etanol-benzena
dengan ekstrak aseton atau ekstrak
metanol diukur pada komponen
deoksilapakol, lapakol dan tektokinon
sedangkan pada 2 komponen lainnya
derajat korelasinya cukup moderat (r =
0,40-0,78). Hal ini menunjukkan metode
rendaman dingin cukup akurat,
khususnya aseton, dalam memprediksi
kadar senyatanya komponen individual
di atas dalam ekstrak etanol-benzena.
Meski demikian, korelasi tidak nyata
diamati di parameter kadar kinon total.
34 J. Ilmu Teknol. Kayu Tropis Vol.13 No.1 Januari 2015
Tabel 2 Koefisien korelasi (r) antara komponen kinon pada ekstrak kayu teras jati pada
tiga pelarut berbeda
Komponen Pelarut
Metanol- etanol/benzena Aseton-etanol/benzena
Deoksilapakol 0,95** 0,99**
Lapakol 0,97** 0,98**
Isodeoksilapakol 0,40* 0,78**
Tektokinon 0,99** 0,93**
Tektol 0,60* 0,72**
Kinon total 0,27 0,56 Keterangan : *= nyata pada taraf uji 5%, ** = nyata pada taraf uji 1%
Jika kelarutan etanol-benzena melalui
soxhlet dianggap ideal, penggunaan
metode rendaman dingin di atas masih
perlu disempurnakan karena
kecenderungan rerata berbeda maupun
relatif rendahnya derajat korelasi antara
ekstrak etanol-benzena dan ekstrak
aseton/metanol pada komponen
isodeoksilapakol dan tektol, serta kadar
kinon total. Metode perendaman dingin
untuk penelitian kemotaksonomi atau
variasi antar pohon pada spesies lain
dengan sampel bor riap telah dilakukan
pada kayu Cryptomeria japonica
(Ogiyama et al. 1983) menggunakan
metanol untuk mengekstrak senyawa
golongan norlignan.
Selanjutnya, pelarut pentana untuk
melarutkan kelompok monoterpena pada
spesies Pinus ponderosa (Latta et al.
2000, 2003), maupun campuran etanol-
air untuk melarutkan senyawa-senyawa
tanin (Mosedale & Savill 1996) serta
campuran metanol, air, asam fosfat untuk
melarutkan senyawa-senyawa elagitanin
(Mosedale et al. 1996) pada spesies
Quercus sp. Pada jati, pencampuran
aseton atau metanol dengan senyawa
yang non-polar yang tidak bersifat
karsinogenik perlu dipertimbangkan
sehingga ekstraksi senyawa-senyawa
kinon menjadi lebih menyeluruh.
Sebelumnya, Nawawi et al. (2011) telah
mengevaluasi beberapa komposisi
pelarut melalui ekstraksi soxhlet untuk
melarutkan tektokinon dalam kayu jati
dan didapatkan pelarut toluena-etanol
(2:1, v/v) yang paling efektif jika
senyawa tersebut dideteksi dengan Pyr-
GC-MS.
Variasi kadar kinon dalam pohon
Penelitian ini tidak menggunakan bor
riap secara langsung tetapi pengambilan
sampel secara konvensional dengan
menebang. Pengambilan di kayu teras
terluar diasumsikan bor riap akan lebih
mudah mengakses bagian tersebut dari
keseluruhan kayu teras dan bagian
tersebut mempunyai kadar ekstraktif
tertinggi pada kayu jati (Sandermann &
Simatupang 1966, Lukmandaru &
Takahashi 2008). Hasil pengukuran
beberapa senyawa kinon yang terlarut
dalam ekstrak etanol-benzena bisa dilihat
pada diagram pencar (Gambar 4) dan
disarikan pada Tabel 3.
Secara keseluruhan didapatkan koefisien
variasi antara 11-69% yang
menunjukkan bahwa kadar kinon kayu
jati bervariasi cukup lebar meski dalam 1
disk. Kecuali pada tektol, nilai kadar
maksimal bisa melebihi dua kali dari
nilai minimalnya. Pada sudut yang sama
(3 ulangan) juga didapatkan variasi
cukup lebar (lapakol, isodeoksilapakol)
meski tidak sebesar variasi antar sudut.
35 Kadar Kinon dalam Kayu Teras Jati yang Diisolasi dengan Ekstraksi Rendaman Dingin
Ganis Lukmandaru
Gambar 4 Pengukuran kadar (%) beberapa senyawa kinon kayu teras jati berdasarkan
persentase luas puncak total dengan sampling di berbagai sudut pada sebuah disk.
Tabel 3 Data kadar komponen kinon pada ekstrak kayu teras jati
Kadar Komponen
Komponen
Deoksi-
lapakol
Lapakol Isodeoksi-
lapakol
Tektokinon Tektol Kinon
total
Nilai kadar minimal (%)
Nilai kadar maksimal (%)
Rerata nilai kadar (%)
Standar deviasi (%)
Koefisien variasi (%)
Sudut pada nilai minimal
Sudut pada nilai maksimal
0,55
9,08
4,46
2,37
53,27
225, 180
135, 270
1,34
8,31
3,36
2,32
69,20
0, 270
180, 90
4,38
12,17
7,52
2,14
28,43
180, 225
90, 270
4,41
12,21
6,64
2,65
39,88
90, 135
180, 315
5,50
8,97
7,75
0,91
11,75
45, 0
180, 225
21,69
41,90
29,41
5,30
18,02
225, 270
180, 315
36 J. Ilmu Teknol. Kayu Tropis Vol.13 No.1 Januari 2015
Cukup beralasan bila pengambilan
sampel harus dilakukan pada lebih dari
satu tempat untuk menghindari bias.
Kisaran nilai minimal, maksimal dan
rerata serta posisi dimana nilai-nilai
tersebut diambil yang disarikan di Tabel
3 menunjukkan bahwa nilai maksimal
dan minimal berjarak 90 derajat
(deoksilapakol, isodeoksilapakol, dan
tektokinon) dan 180 derajat (lapakol).
Hasil tersebut menyarankan bahwa
pengambilan sampel dalam satu pohon
sebaiknya dilakukan pada tiga titik yang
masing-masing berjarak 90 derajat untuk
menghindari bias pada komponen-
komponen tunggalnya apabila individu
pohon berjumlah relatif sedikit. Hal
tersebut tidak diperlukan apabila yang
dicari kadar kinon totalnya karena
koefisien variasi yang relatif rendah
(18%) dalam satu disk. Pada kayu Larix
sp (DeBell et al. 1997), disarankan untuk
mengambil pada dua posisi dengan
selisih 90 derajat dalam satu disk untuk
menghindari perbedaan yang tinggi pada
kadar tropolon total yang merupakan
gabungan dari empat senyawa dari
golongan tersebut. Di lain pihak, Latta et
al. (2000) mendapatkan variasi dalam
satu pohon (antara sudut 0 dan 180
derajat) yang relatif kecil pada enam
senyawa monoterpena di batang Pinus
ponderosa.
Kesimpulan
Metode rendaman dingin dengan pelarut
aseton dan metanol cukup akurat untuk
menggantikan metode ekstraksi soxhlet
dengan pelarut etanol-benzena
khususnya untuk komponen-komponen
deoksilapakol, lapakol dan tektokinon.
Penyempurnaan metode diperlukan
untuk mendapatkan derajat korelasi yang
lebih tinggi antara ekstrak yang terlarut
dalam etanol-benzena dengan terlarut
aseton maupun metanol pada komponen
isodeoksilapakol, tektol, dan kinon total.
Untuk variasi dalam satu pohon, kisaran
lebar (koefisien variasi 28-69%)
didapatkan pada semua komponen
kecuali tektol. Untuk itu, pengambilan
sampel serbuk kayu dengan bor riap
disarankan dilakukan pada 3 titik yang
berjarak 90 derajat dalam arah tangensial
disk. Meski demikian, koefisien variasi
yang relatif rendah (18%) dalam 1 disk
dihitung di parameter kadar kinon total.
Daftar Pustaka
[ASTM] American Society for Testing
and Materials. 1984. Standard Test
Method for Alcohol-benzene
Solubility of Wood. Designation of D
1107-84. Philadelphia: ASTM.
DeBell J, Morrell JJ, Gartner BL. 1997.
Tropolone contents of increment cores
as an indicator of decay resistance in
Western Redcedar. Wood Fiber
29:364-369.
Jactel H, Kleinhentz M, Marpeau-Bezard
JA, Marion-Poll F, Menassieu P,
Burban C. 1996. Terpene variations in
maritime pine constitutive oleoresin
related to host tree selection by
Dioryctria sylvestrella Ratz.
(Lepidoptera: Pyralidae). J Chem Ecol.
22:1037-1050.
Latta RG, Linhart YB, Lundquist L,
Snyder MA. 2000. Patterns of
monoterpene variation within
individual trees in ponderosa pine. J
Chem Ecol. 26:1341-1357.
Latta RG, Linhart YB, Snyder MA,
Lundquist L. 2003. Patterns of
variation and correlation in the
monoterpene composition of xylem
oleoresin within populations of
ponderosa pine. Biochem Systematics
Ecol. 31:451–465.
37 Kadar Kinon dalam Kayu Teras Jati yang Diisolasi dengan Ekstraksi Rendaman Dingin
Ganis Lukmandaru
Lukmandaru G. 2009. Perubahan warna
pada kayu teras jati (Tectona grandis)
doreng melalui ekstraksi berturutan. J
Ilmu Teknol Hasil Hutan. 2(1):15-20.
Lukmandaru G. 2010. Sifat kimia kayu
jati (Tectona grandis) pada laju
pertumbuhan berbeda. J Ilmu Teknol
Kayu Tropis. 8(2):188-196.
Lukmandaru G. 2012. Chemotaxonomic
study in the heartwood in the
heartwood of Javanese teak – analysis
of quinones and other related
components. Wood Res. 3(1):30-35.
Lukmandaru G. 2013. Antifungal
activities of certain components of
teak wood extractives. J Ilmu Teknol.
Kayu Tropis. 11(1):11-18.
Lukmandaru G, Takahashi K. 2008.
Variation in the natural termite
resistance of teak (Tectona grandis
Linn fil.) wood as a function of tree
age. Ann For Sci. 65:708 (p1-8)
Lukmandaru G, Takahashi K. 2009.
Radial distribution of quinones in
plantation teak (Tectona grandis
L.f.). Ann For Sci. 66:605 (p1-9).
Mosedale JR, Savill PS. 1996. Variation
of heartwood phenolics and oak
lactones between the species and
phenological types of Quercus
petraea and Q. robur. Forestry.
69:47-55.
Mosedale JR, Charrier B, Crouch N,
Janin G, Savill PS. 1996. Variation in
the composition and content of
ellagitannins in the heartwood of
European oaks (Quercus robur and Q.
petraea). A comparison of two French
forests and variation with heartwood
age. Ann For Sci. 53 : 1005-1018.
Nawawi DS, Suyono, Widyorini AA.
2011. Ekstrak kayu jati sebagai katalis
delignifikasi pulping soda. J Ilmu
Teknol. Kayu Tropis 9(2):101-110.
Niamké FB, Amusant N, Charpentier JP,
Chaix G, Baissac Y, Boutahar N,
Adima AA, Coulibaly SK, Allemand
CJ. 2011. Relationships between
biochemical attributes (non-structural
carbohydrates and phenolics) and
natural durability against fungi in dry
teak wood (Tectona grandis L. f.).
Ann For Sci. 68:201-211.
Ogiyama K, Yasue M, Takahashi K.
1983. Chemosystematic study on
heartwood extractives of Cryptomeria
japonica D. Don. Proceedings of
International Symposium on Wood
and Pulp Chemistry, Tsukuba, Japan
1:101–106.
Sandermann W, Simatupang MH. 1966.
On the chemistry and biochemistry of
teakwood (Tectona grandis L. fil).
Holz Roh Werkst. 24:190-204.
Sumthong P, Romero-González RR,
Verpoorte R. 2008. Identification of
anti-wood rot compounds in teak
(Tectona grandis L.f.) sawdust
extract. J Wood Chem Technol.
28:247- 260.
Sumthong P, Damveld RA, Choi YH,
Arentshorst M, Ram AFJ, Van den
Hondel CAMJJ, Verpoorte R. 2006.
Activity of quinones from teak
(Tectona grandis) on fungal cell wall
stress. Planta Medica. 72:943-944.
Thomson RH. 1971. Naturally
Occurring Quinones (2nd ed). New
York : Academic Press.
Thulasidas PK, Bhat KM. 2007.
Chemical extractive compounds
determining the brown-rot decay
resistance of teak wood. Holz Roh-
Werkst. 65:121–124.
38 J. Ilmu Teknol. Kayu Tropis Vol.13 No.1 Januari 2015
Umezawa T. 2001. Chemistry of
extractives. Dalam Hon DNS,
Shiraishi N (ed). Wood and Cellulosic
Chemistry. New York: Marcel Dekker.
Yanchuk AD, Spilda I, Micko MM.
1988. Genetic variation of
extractives in the wood of
trembling aspen. Wood Sci Technol.
22:67-71.
Riwayat naskah:
Naskah masuk (received): 20 September 2014
Diterima (accepted): 21 November 2014
39 Characteristics of Wood Plastic Composite Using Primary Sludge as Filler
Iwan Risnasari, Fauzi Febrianto, Nyoman J Wistara, Sucahyo Sadiyo, Siti Nikmatin
Properties of Wood Plastic Composite Using Primary Sludge as Filler
Iwan Risnasari1,2* , Fauzi Febrianto3, Nyoman J Wistara3, Sucahyo Sadiyo3, Siti
Nikmatin4
1Department of Forestry, Faculty of Agriculture, University of Sumatera Utara 2Student of Graduate School, Bogor Agricultural University (IPB)
3Department of Forest Products, Faculty of Forestry, Bogor Agricultural University
(IPB)
4Department of Physics, Faculty of Mathematics and Natural Science, Bogor
Agricultural University (IPB)
*Corresponding author: [email protected]
Abstract
Sludge is the largest waste produced from the pulp and paper mill, it consists of 50-60% fibers
and inorganic materials and have caused serious disposal problem. Recycling sludge into value-
added product can give environmental and economic benefits. The objective f this research was
to optimize utilization of sludge as filler in wood plastic composite using polypropylene as a
matrix resin. Sludge with and without purification treatment were used as filler. The
concentration of filler used was 40%, 50% and 60%. Maleic anhydride-modified- polypropylene
(MAPP) with concentration of 5% was used as a coupling agent. Filler, matrix with and without
coupling agent were compounded using Haake polydrive labopastomill at 175 °C, 60 rpm for 20
min. The results indicated that the morphology, physical, mechanical and thermal properties of
wood plastic composites was much influenced by purification treatment, filler loadings and
addition of coupling agent. Interaction of between fibers and matrix resin and thermal stability of
wood plastic composites were much improved by purification treatment on sludge and addition
of coupling agent.
Keywords: coupling agent, fillers, purification, sludge, wood plastic composite
Abstrak
Sludge adalah limbah terbesar yang dihasilkan dari pabrik pulp dan kertas, terdiri dari 50-60%
serat dan bahan anorganik. Penanganan sludge menyebabkan masalah terutama dalam hal
pembuangannya. Daur ulang sludge menjadi produk yang memiliki nilai tambah dapat
memberikan manfaat lingkungan dan ekonomi. Penelitian ini bertujuan untuk memanfaatkan
secara optimal sludge sebagai pengisi dalam pembuatan komposit kayu plastik dengan matrik
polipropilena. Sludge dengan dan tanpa perlakuan purifikasi digunakan sebagai pengisi.
Konsentrasi pengisi digunaka sebanyak 40%, 50% dan 60%. Maleic anhydride-modified-
polypropylene (MAPP) dengan konsentrasi 5% digunakan sebagai agen pengkopel. Pengisi,
matrik dengan dan tanpa agen pengkopel dicampur menggunakan Haake polydrive labopastomill
pada suhu 175 °C dengan laju putaran 60 rpm selama 20 menit. Hasil penelitian menunjukkan
sifat morfologi, sifat fisis, mekanis dan termal komposit kayu plastik dipengaruhi oleh perlakuan
purifikasi, kadar pengisi dan pemberian agen pengkopel. Perlakuan purifikasi dan penambahan
agen pengkopel terutama mempengaruhi interaksi antara serat dan matriks polypropylene serta
meningkatkan stabilitas termal dari komposit kayu plastik.
Kata kunci: agen pengkopel, komposit kayu plastik, pengisi, purifikasi, sludge
40 J. Ilmu Teknol. Kayu Tropis Vol.13 No.1 Januari 2015
Introduction
Natural fiber has been widely used as the
primary material in the manufacturing of
plastic composite for its advantages over
synthetic fiber. Other than plant’s waste,
the sludge from pulp and paper industry
also acts as a potential source of
cellulose. Sludge consists of fiber (50-
60%) and inorganic materials such as
mineral and ash (Mehmood et al. 2010),
thus it has the potential to be utilized as
an alternative source of cellulose.
However, as natural fiber, sludge has its
disadvantages, such as the existence of
hydroxyl groups and other polar groups
which are causing it to have hydrophilic
properties which can resulted in low
wettability and poor interface bonding
with matrix resin (Taramian et al. 2007,
Li et al. 2011, Lima et al. 2014). The
poor bonds between hydrophilic fiber
and hydrophobic matrix could affect the
physical and mechanical properties of the
composites product. Faruk et al. (2012)
explained that in order to increase the
interface adhesion between the fiber and
the matrix, there should be a
modification in the matrix or the fibers.
The modification of fiber can be
conducted through physical and chemical
methods, in which the physical methods
such as corona/plasma and mercerisation
aim to affect the mechanical bonding
with polymer matrix. Moreover, the
chemical modification of fiber aims to
form the hydroxyl group reaction in fiber
with correct reactive compound in order
to form covalent bonding. The newly
formed group will act as the interface
between the fiber and the matrix to
produce composite products with better
properties. The use of third component
besides the matrix and fiber is also
categorized as chemical method, known
as compatibilizer, or coupling agent. The
coupling agent’s function is modifying
one or both of the two component of the
composite in order to improve its
adhesion (Lu et al. 2000, Febrianto et
al.2005, 2006a, 2006b, 2006c, 2014).
Examples of coupling agents that have
been used in several researches are
maleic anhydride polypropylene
(MAPP), maleic anhydride polyethylene
(MAPE), isocyanate, silane, and other
anhydride such as acid and succinic
anhydride (Lu et al. 2000, Febrianto et
al. 2005, Febrianto et al. 2006a, 2006b).
MAPP and MAPE are obtained through
the reaction between the matrix and
MAH with additional initiator. The
coupling agent widely used in the
manufacturing of plastic composite with
PP matrix is MAPP. Maleic anhydride
has advantages such as its effectivity in
low concentration, low surface energy,
can be obtained commercially, and not
require pretreatment of the fiber or PP
before its manufacturing (Lu et al. 2000;
Lin et al. 2002; Kim et al. 2007). This
research aims to determine the effect of
MAPP towards the mechanial and
thermal properties of the manufactured
plastic composite.
Materials and Methods
Materials used in this research are
primary sludge obtained from PT. Indah
Kiat Pulp and Paper, Serang-Banten.
Polypropylene impact copolymer (block
copolymer) BI9.0GA was obtained from
PT. Chandra Asri Petrochemical,
Cilegon. The most important
characteristics of PP impact copolymer
(block copolymer) BI9.0GA is its
impact-resistance material (it’s hard to
break) and its resistance of low
temperature (reaching as low as -30 oC),
melt flow rate (MFR) of 9.0 g per 10
min., and its density of 0.9 g cm-3. The
coupling agent used is Licocene PPMA
6452 TP, produced by Clariant
41 Characteristics of Wood Plastic Composite Using Primary Sludge as Filler
Iwan Risnasari, Fauzi Febrianto, Nyoman J Wistara, Sucahyo Sadiyo, Siti Nikmatin
Chemical, Ltd., Germany. Several
characteristics of Licocene PPMA 6452
TP are its acidic number of 41 mg
KOH/g, its softening point of 143 oC, its
density of 0.93 g cm-3, and its grafting
level of maleic anhydride (7%). The
chemical materials used are ethanol,
benzene, sodium chloride (NaClO2),
acetic acid, sodium hydroxyde, destilated
water, and acid chloride.
Purification treatment
The purification treatment was
conducted in order to isolate the
cellulose component of the primary
sludge, and it was based on the methods
of Fahma et al. (2010). Firstly, sludge
was extracted using ethanol/benzene
solution (1:2 v/v) through soxhlet
extraction for 48 h to remove the
extractive components (resin, oil, fat, and
wax). Further, fiber was washed using
ethanol to remove the benzene, followed
by rinsing using destilated water.
Afterwards, bleaching was conducted
using sodium chloride solution 1.25% in
acidic condition (pH = 4-5). Bleaching
treatment was conducted at 70 °C for 4
h. Fiber was rinsing with destilated water
until pH 7. Furthermore, fiber was
extracted with sodium hydroxyde 17.5%
for 2 h at 20 °C, and rinsing several
times with destilated water to remove the
alkali. Finally, the fiber was extracted
with 1M acid chloride solution to remove
the inorganic materials. Fiber was rinsing
with destilated water until pH 7, and then
it was dried at 50 °C.
Plastic composite manufacture
The composite was manufactured
through the following steps: the mixing
of sludge, PP matrix, and MAPP using
Haake Polydrive labo plastomill at 175
°C and 60 rpm for 20 min. The
composition (percentage) of materials
used by sludge/PP/MAPP are 40/55/5,
50/45/5, and 60/35/5. Afterwards, the
resulting mixture was formed into
pellets, and then manufactured into
sheets/composites using hot press at 180
°C for 20 min. Further, it was cold-
pressed for 10 min. After, the
manufactured composite was conditioned
at room temperature and cutting into
specific sizes to be examined.
Plastic composite characterizations
The physical properties of composite
film consist of water absorption and
thickness swelling with the samples’ size
of (2×2) cm2. Before the testing, each
samples’ mass and thickness were
measured. After, samples were soaked in
aquades at room temperature for two
days. After two days, each samples were
swabbed using tissue paper to wipe off
the water and then their mass and
thickness were determined. The
examination of mechanical properties
(tensile strength, young modulus, and
break elongation) of composite film was
conducted based on ASTM D882-75b
(Standard Test Method for Tensile
Properties of Thin Plastic Sheeting) with
the crosshead speed of 50 mm/min. The
sludge-filled composite’s morphology
was analyzed using SEM (Scanning
Electron Microscope) JEOL-JSM
6510LV. In this morpology analysis,
samples were put down on the
carbontape fixed to the samples holder of
1 cm diameter. Samples were coated
with osmium in coating device, and then
they were put into SEM and scanned
with the voltage of 15 kV. The thermal
properties of composite were determined
using TGA (Thermo-Gravimetrix
Analysis) and DSC (Differential
Scanning Calorimetry). The TGA testing
was conducted by taking 10 mg of the
composite samples and then put into the
42 J. Ilmu Teknol. Kayu Tropis Vol.13 No.1 Januari 2015
crucible. This samples-contained
crucible was placed inside a testing
chamber with heating program at 50 °C
to 600 °C and rising temperature speed
of 10 °C min-1 and nitrogen gas flow
speed of 50 ml min-1. Afterwards, it was
put into hold (isothermic) for 5 minutes
at 600 °C before the heating was
continued again until it reached 900 °C
in the oxygen gas-environment and
oxygen gas flow speed of 50 mL/min.
The DSC testing was conducted using
DSC Mettler Toledo type-DSC 821. 16
mg of samples were then put into the 40
µL crucible. The analysis was conducted
with temperature program from -75 to
125 oC with heating speed of 5 oC min-1.
The purging gas used was nitrogen with
flow speed of 50 ml min-1.
Results and Discussion
Physical and mechanical properties of
plastic composite
Figure 1 shows the density of composite.
The increasing fiber content added into
the PP matrix tends to increase the
density. The addition of MAPP toward
all treatments also causing the increasing
of composite’s density, due to the
interaction between PP with sludge
becomes better and thus decrease the
amount of empty spaces/gaps between
the fibers and matrix.
Figure 2 shows the water absorption
properties and thickness swelling
tendency of the composite after two days
being submerged. The water absorption
in all treatments increases with the
increasing amount of fiber. The natural
properties of plastic matrix is
hydrophobic, which means the water was
absorbed by cellulose materials inside
the composite (Hamzeh et al. 2011). The
decrease of water absorbed was caused
by the addition of MAPP in all of the
treatments. The addition of MAPP was
probably causing the forming of better
linkages between matrix and fiber, for it
decreases the amount of gaps on the
composite’s interface. Moreover, the
fiber’s hydrophilic properties was
blocked by the existence of hydroxyl
group, due to the coupling agents
increase the amount of ester bonds
between hydroxyl group in the fiber with
the anhydride group in MAPP.
Our result was agreed with the previous
result reported by Febrianto et al.
(2006a) using woody filler in
manufacturing wood flour-poly lactic
acid composites.
Figure 1 The density of the plastic composite.
43 Characteristics of Wood Plastic Composite Using Primary Sludge as Filler
Iwan Risnasari, Fauzi Febrianto, Nyoman J Wistara, Sucahyo Sadiyo, Siti Nikmatin
Figure 2 Water absorption and thickness swelling of the composite.
The thickness swelling properties of the
composite show the same tendency with
the water absorption properties. The
hydrophilic properties of lignocellulosic
materials are mostly caused by the
existence of polar groups which pull the
water molecules by hydrogen bond. This
causes the water molecules trapped
within fiber cell’s wall (causing the cells
to swell) and also in the interfaces
between fiber and the matrix. This
affects the dimensional changes of
plastic composite, especially on its
thickness (Hamzeh et al. 2011). Figure 3
shows the results of tensile strength
testing of sludge-filled plastic composite.
The tensile strength decreases by the
increasing of amount of fiber of the
composite. These decreases are caused
by the heterogenity of sludge’s size, due
to the composites are not able to
withstand the stress transferred from the
matrix to the filler.
Similar result was reported by Febrianto
et al. (2005) increasing the filler loadings
resulted in decreasing the tensile strength
and breaking elongation and increasing
the Young’s modulus of wood
polypropylene composite.
The addition of MAPP towards all
composites increases their tensile
strength. This increase in strength
occurred because of the better bonding
between fiber and PP. The increase in
interaction between fiber and PP happens
through esterification between anhydride
groups of MAPP with hyrdroxyl groups
of fibers. Figure 4 shows the mechanism
of chemical reaction in the forming of
interface bonding between fiber’s surface
with matrix. The reaction begins through
44 J. Ilmu Teknol. Kayu Tropis Vol.13 No.1 Januari 2015
the peroxyde catalyst which starts the
forming of radical on PP chain through
hydrogen bonding and chain breaking.
The formed radical further reacts with
maleic anhydride to form MAPP (Park et
al. 2006, Febrianto et al. 2005).
Figure 5 shows that there is an increase
in young modulus of the plastic
composite along with the increase of
sludge content. Young modulus shows
the composite’s rigidity. The larger the
amount of fiber added into the matrix,
the composite structure becomes more
rigid. The addition of MAPP increases
the composite’s rigidity for there is a
compatibility between the fiber and the
matrix. Figure 6 shows the break
elongation graphic of the composite, in
which the addition of fiber causes the
composite to become more rigid and its
break elongation to decline.
Figure 3 Tensile strength of plastic composite.
Figure 4 The mechanism of chemical reaction between fiber with MAPP.
45 Characteristics of Wood Plastic Composite Using Primary Sludge as Filler
Iwan Risnasari, Fauzi Febrianto, Nyoman J Wistara, Sucahyo Sadiyo, Siti Nikmatin
Figure 5 Young modulus of plastic composite.
Figure 6 Break elongation of the plastic composite.
Figure 7 shows the SEM results of the
composite with PP matrix based on the
varied sludge treatment. There are
morphological differences of the
composite’s surface made with the
different fillers and sludge treatments.
The unpurified sludge-filled composite
shows the existence of gaps between
fibers and matrix which indicates that the
interaction between fiber and the matrix
does not occured. While the composite
added coupling agents already seen the
interaction between the fibers with the
matrix has shown by the matrix that
surrounds the fiber so it is not seen again
the gap between the fibers with the
matrix. The similar thing also occured on
the purified sludge-filled composite.
Thermal properties of plastic
composite
Figure 8 shows the TGA thermogram of
sludge, PP film composite, and PP film
composite with sludge filler. The steps of
sludge’s mass declination from the heat
was started with the change of mass
caused by water evaporation from the
fiber at 50-150 °C (Figure 8a). The next
step is the mass change caused by initial
damage of sludge at 200-350 °C.
46 J. Ilmu Teknol. Kayu Tropis Vol.13 No.1 Januari 2015
Figure 7 SEM image of plastic composite filled: a) unpurified sludge without MAPP, b)
unpurified sludge with MAPP, c) purified sludge without MAPP, and d) purified sludge
with MAPP.
According to Onggo et al. (2005), in this
step, the components inside the fiber
undergo carbon chain breaking, followed
by the secretion of volatile matters such
as carbon dioxide, hydrocarbon, and
hydrogen gas. Components with lower
molecular mass will undergo degradation
before the components with high
molecular mass. Therefore, on fiber, the
degradation is firstly experienced by
hemicellulosic component, lignin, and
lastly, cellulose which produces
charcoal. Further, the mass change was
happened because of the oxydation
reaction of residue such as charchoal,
followed by the process of carbon
burning into ashes which happened at
400-600 °C.
PP decomposition shows one
degradation step with the mass
diminution on the exothermic peak at
420 °C (Figure 8b). Moreover, on
composite with 50% PP-50% sludge, the
decomposition consists of two steps of
mass reduction. The first step is caused
by the sludge and PP: the amalgamation
of 50% sludge in PP matrix increases the
sludge component decomposition at 320
°C (sludge decomposition at 300 °C).
This shows that PP is the component
protecting the fibers, thus delaying the
degradation. The second step is the
consistent decomposition of PP at ≈420
°C, showing that the existence of sludge
doesn’t affect the thermal stabilization or
mass reduction of the matrix greatly
(Spoljaric et al. 2009).
For the composite film with 45% PP-5%
MAPP-50% sludge (Figure 8d), the
observed changes in decomposition
profile is the change in mass reduction
steps according to the matrix. The
decomposition temperature of the matrix
increases toward 440oC. The rate of mass
reduction slightly decreases compared to
the composite without coupling agent.
This change is caused by the existence of
coupling agent inside the composite. The
specific interaction between cellulose
and maleat anhydride could produce an
association through esterification
between anhydride group and hydroxyl
group of the cellulose (Spoljaric et al.
2009).
Unpurified sludge
Purified sludge
a b
c d
47 Characteristics of Wood Plastic Composite Using Primary Sludge as Filler
Iwan Risnasari, Fauzi Febrianto, Nyoman J Wistara, Sucahyo Sadiyo, Siti Nikmatin
Gambar 8 TGA thermogram on a) sludge; b) PP composite film; c) composite film with
50% sludge-50% PP and d) composite film with 50% sludge-45% PP-5% MAPP.
Figure 9 shows the DSC thermogram of
the composite to determine the glass
transition temperature and melting point
of the manufactured composite. The first
endothermic peak of PP film (115 °C) is
the process of the increasing of glass
transition at 125 °C in the PP composite
with sludge filling, whereas on the PP-
sludge composite with MAPP addition,
the glass transition temperature is the
same as the PP’s. The second
endothermic of the PP film (163.73 °C)
shows the process of polymer meltdown
from its solid state into liquid. The
addition of sludge toward matrix causes
the melting point to increase at 164.40
°C. However, the addition of MAPP on
the PP-sludge composite decreased the
melting point into 160.38°C. The ΔH
value is the change of calor which was
happening along the calor absorption or
desorption process, showing that the
addition of MAPP toward the composite
causes the change of calor becoming
smaller.
48 J. Ilmu Teknol. Kayu Tropis Vol.13 No.1 Januari 2015
Figure 9 DSC thermogram of a) sludge; b) PP composite film; c) composite film of
sludge 50%-PP 50% and d) composite film of sludge 50%-PP 45%-MAPP 5%.
Table 1 Thermal characteristics of composite
Sample Glass transition
(0C)
Melting point (0C) ΔH (J/g)
PP (pure) 115 163.73 79.7894
Sludge Composite
50%-PP 50%
125 164.40 39.1249
Sludge Composite
50%-PP 45%-MAPP 5%
115 160.38 35.7662
a
b
c
49 Characteristics of Wood Plastic Composite Using Primary Sludge as Filler
Iwan Risnasari, Fauzi Febrianto, Nyoman J Wistara, Sucahyo Sadiyo, Siti Nikmatin
Conclusion
Purification treatment of sludge prior to
be used as filler improved the physical,
mechanical and thermal properties of
wood plastic composites. The physical
and mechanical properties of wood
plastic composites were also influence by
filler loadings. The addition of coupling
agents improved the interaction between
the fiber and the matrix in the
manufacturing of wood plastic
composite. The SEM results of the
composite added with coupling agent
show good interaction between the fiber
and the matrix, as was shown by the
matrix which engulfs the fiber, leaving
no gaps between the fibers and the
matrix. The addition of coupling agent
also improved the thermal stability of the
manufactured composite, as is shown by
the increase of temperature of matrix
decomposition, mass loss rate, and the
decrease of the calor’s change.
References
Faruk O, Bledzki AK, Fink H-P, Sain
M. 2012. Biocomposites reinforced
with natural fibers: 2000–2010. Prog
Polym Sci. 37(11):1552-1596. Doi:
10.1016/j.progpolymsci.2012.04.003
Febrianto F, Lee SH, Jang JH, Hidayat
W, Kwon JH, Kondo T, Kim NH.
2014. Tensile properties and
dimensional stability of wood flour-
reinforced cis-1,4-isoprene rubber
composites. J Fac Agr Kyushu Univ.
59(2); 333-337. ISSN 0023-6152
Febrianto F, Yoshioka M, Nagai Y, Thair
MT, Syafii W, Shiraishi N. 2006a.
The morphological, mechanical and
physical properties of composites of
wood flour-polylactic acid under
various filler types. J Biol Sci.
6(3):555-563. Doi: 10.3923/jbs.
2006.555.563 URL: http://scialert.net/
abstract/?doi=jbs.2006.555.563
Febrianto F, Yoshioka M, Nagai Y,
Shiraishi N. 2006b. Characterization
and properties of composites of wood-
flour and poly lactic acid. J Korean
Wood Sci Technol. 34(5):67-78. Doi
prefix : 10.5658
Febrianto F, Sulaeman R, Karina M,
Ashaari Z, Hadi YS. 2006c.
Weathering and termite resistance of
composites of wood flour and
recycled polypropylene in tropical
region. J Korean Wood Sci Technol.
34(5):88-97. Doi: 10.5658/WOOD
Febrianto F, Setyawati D, Karina M,
Bakar ES, Hadi YS. 2005. Influence
of wood flour and modifier content on
the physical and mechanical
properties of wood flour-polypropylne
composites. J Biol Sci. 6(2):337-343.
Doi: http://dx.doi.org/10.3923/
jbs.2006.337.343
Hamzeh Y, Ashori A, Mirzaei B. 2011.
Effects of Waste Paper Sludge on the
Physico-Mechanical Properties of
High Density Polyethylene/Wood
Flour Composites. J Polym Environ.
19:120-124. Doi: 10.1007/s10924-
010-0255-3
Johar N, Ahmad I, Dufresne A. 2012.
Extraction, preparation and
characterization of cellulose fibres
and nanocrystals from rice husk. Ind
Crops Prod. 37:93-99. Doi: 10.1016/
j.indcrop.2011.12.016
Kim H-S, Lee B-H, Choi S-W, Kim S,
Kim H-J. 2007. The effect of types of
maleic anhydride-grafted
polypropylene (MAPP) on the
interfacial adhesion properties of bio-
flour-filled polypropylene composites.
Compos. Part A-Appl. S. 38(6):1473-
50 J. Ilmu Teknol. Kayu Tropis Vol.13 No.1 Januari 2015
1482. Doi: 10.1016/j.compositesa.
2007.01.004
Li Z, Zhou X, Pei C. 2011. Research
article effect of sisal fiber surface
treatment on properties of sisal fiber
reinforced polylactide composites. Int
J Polym Sci. 1-7. Doi: 10.1155/
2011/803428
Lima PRL, Santos RJ, Ferreira SR,
Filho RDT. 2014. Characterization
and treatment of sisal fiber residues
for cement-based composite
application. Eng Agríc Jaboticabal.
34(5):812-825.
Lin Q, Zhou X, Dai G, Bi Y. 2002.
Some studies on mechanical
properties of wood flour/continuous
glass mat/polypropylene composite. J
Appl Polym Sci. 85(3):536-544. Doi:
10.1002/app.10591
Lu JZ, Wu Q, Harold S, McNabb J.
2000. Chemical coupling in wood
fiber and polymer composites: a
review of coupling agents and
treatments. Wood Fiber Sci. 32(1):
88-104.
Onggo H, Subowo W, Sudirman. 2005.
Analisis Sifat Termal Komposit
Polipropilen-Kenaf. Prosiding
Simposium Nasional Polimer V:149-
153.
Park J-M, Quang ST, Hwang B-S,
DeVries KL. 2006. Interfacial
evaluation of modified Jute and Hemp
fibers/polypropylene (PP)-maleic
anhydride polypropylene copolymers
(PP-MAPP) composites using
micromechanical technique and
nondestructive acoustic emission.
Compos Sci Technol. 66(15):2686-
2699. Doi: 10.1016/j.compscitech.
2006.03.014
Spoljaric S, Genovese A, Shanks RA.
2009. Polypropylene–microcrystalline
cellulose composites with enhanced
compatibility and properties. Compos
Part A-Appl S. 40(6-7):791-799. Doi:
10.1016/j.compositesa.2009.03.011
Taramian A, Doosthoseini K,
Mirshokraii SA, Faezipour M. 2007.
Particleboard manufacturing: an
innovative way to recycle paper
sludge. Waste Manag. 27(12):1739-
1746. Doi: 10.1016/j.wasman. 2006.
09.009
Riwayat naskah:
Naskah masuk(received): 23September 2014
Diterima (accepted): 24 Nopember 2014
51 Karakteristik Kecepatan Gelombang Suara dan Sifat Anatomi Sadapan Pohon Pinus
Maryam Jamilah, Lina Karlinasari, Sucahyo Sadiyo, Gunawan Santosa
Karakteristik Kecepatan Gelombang Suara dan Sifat Anatomi
Sadapan Pohon Pinus
(Characteristics Ultrasonic Waves Velocity and Anatomical Properties of
Tapping Pine)
Maryam Jamilah1*, Lina Karlinasari2, Sucahyo Sadiyo2, Gunawan Santosa3
1Mahasiswa Pascasarjana Departemen Hasil Hutan Fakultas Kehutanan IPB, Kampus
IPB Dramaga Bogor, 16680 2Departemen Hasil Hutan Fakultas Kehutanan IPB, Kampus IPB Dramaga Bogor, 16680 3Departemen Manajemen Hutan Fakultas Kehutanan IPB, Kampus IPB Dramaga Bogor,
16680
*Penulis korespondensi: [email protected]
Abstract
Non-destructive testing based on sound wave propagation has been used widely to estimate
wood quality of standing trees. The aim of this study was to evaluate the characteristics of the
sound wave velocity in relation to pine resin productivity and resin intercellular frequency and
diameter. The samples were 72 trees consisted of 36 trees which were tapped by the quarre
method and 36 other trees were tapped with addition of stimulants. The speed of sound waves
propagation was measured by SylvatestDuo for radial direction and longitudinal. The tapping
position was determined refering to the wind direction. The resin productivity was twice for
tapping with stimulant comparing to the control. The highest resin productivity was 87.31 g per
harvest for tapping with stimulant and the lowest (39.86 g per harvest) for control. Statistically,
there was not significant difference in sound speed for tapped position as well as for
measurement before and after tapped of both radial and longitudinal testing, as well as for the
anatomical properties of both of treatments. A high positive correlation was found between resin
productivity and intercellular frequency for both treatments (r>0.80), however, there was not
significance correlation between resin productivity and other parameters.
Keywords: Pinus merkusii, resin tapping, sound wave propagation
Abstrak
Pengujian metode non-destruktif testing (NDT) berbasis gelombang suara biasa digunakan untuk
menduga kualitas pohon di lapangan. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi karakteristik
kecepatan rambat gelombang suara pada kayu pinus sadapan dan kaitannya dengan produksi
getah berdasarkan penyebaran jumlah dan diameter saluran resin. Sampel uji pohon pinus
sebanyak 72 pohon terdiri atas 36 pohon disadap dengan metode quarre, dan 36 pohon disadap
dengan penambahan stimulansia. Pengukuran kecepatan gelombang suara menggunakan
SylvatestDuo pada arah radial (horizontal) dan arah longitudinal (searah serat batang utama).
Posisi penyadapan dilakukan berdasarkan pada arah mata angin. Hasil penelitian menunjukkan
produksi getah meningkat sebanyak dua kali lipat dengan penambahan stimulansia. Produksi
tertinggi diperoleh dari penyadapan dengan penambahan stimulansia (87,31 g per panen) dan
terendah dari kontrol (39,86 g per panen). Hasil analisis statistik menunjukkan tidak terdapat
perbedaan signifikan antara kecepatan gelombang suara dengan posisi penyadapan, dan antara
pengujian sebelum dan setelah penyadapan pada arah radial dan longitudinal. Perbedaan sifat
anatomi berdasarkan jumlah dan diameter saluran resin pada kedua perlakuan juga menunjukkan
perbedaan tidak signifikan. Hubungan antara produksi getah dengan jumlah diameter saluran
52 J. Ilmu Teknol. Kayu Tropis Vol.13 No.1 Januari 2015
resin pada kedua perlakuan menunjukkan korelasi yang positif dan signifikan (r>0,80).
Sementara itu, hubungan produksi dengan beberapa parameter lainnya menunjukkan korelasi
tidak signifikan.
Kata kunci: kecepatan gelombang suara, penyadapan pinus, Pinus merkusii
Pendahuluan
Hutan pinus (Pinus merkusii) tidak hanya
memproduksi kayu tetapi juga
diandalkan sebagai penghasil produk
hasil hutan non kayu melalui produksi
getahnya (Indrajaya dan Handayani
2008). Salah satu produk hasil hutan
yang bernilai tinggi dan pada saat ini
sangat diminati pasar didalam dan diluar
negeri adalah gondorukem. Penelitian
Fachrodji et al. (2009) dan Surbakti et al.
(2014) mengemukakan bahwa produk
tersebut termasuk produk potensial dan
dikelompokkan sebagai pine chemical
products, dihasilkan dari proses
pemasakan getah pohon pinus yang
cukup memegang peranan penting
sebagai andalan hasil hutan non kayu di
Indonesia terutama dalam menghasilkan
devisa dan menyerap tenaga kerja.
Pemanfaatan gondorukem berkembang
pesat seiring dengan perkembangan
industri diberbagai bidang. Tercatat
beberapa kegunaan dan manfaat dari
gondorukem pada berbagai industri
antara lain sebagai proses pembuatan
sabun mandi, sabun cuci, pelapis kertas,
pengering cat, penyamak kulit, semir
pengkilat keramik, penggunaan didunia
farmasi dan masih banyak kegunaan
lainnya.
Untuk menghasilkan getah pinus menjadi
gondorukem maka perlu dilakukan
proses penyadapan. Penyadapan getah
pinus umumnya dilakukan dengan
menggunakan metode quarre atau
koakan. Kelebihan metode ini adalah
murah dan mudah diaplikasikan serta
menghasilkan produksi getah yang
meningkat dan stabil. Selain faktor
penyadapan, terdapat faktor lain yang
juga berpengaruh yaitu pemberian
stimulansia yang dapat meningkatkan
produksi getah pinus. Santosa (2011)
mengemukakan bahwa penggunaan
stimulansia dapat berfungsi sebagai
perangsang terbentuknya etilenapada
tanaman dan selanjutnya menaikkan
tekanan osmosis serta tekanan turgor
yang menyebabkan aliran getah
bertambah cepat dan lebih lama.
Stimulansia bertujuan untuk merangsang
keluarnya getah pada saat penyadapan
sehingga produksi getah menjadi
semakin meningkat. Teknik penyadapan
umumnya dapat mengakibatkan
kerusakan pada pohon. Pada penelitian
Teknologi Non Destruktive Testing
(NDT) berbasis gelombang suara biasa
digunakan untuk menemukan adanya
ketidakteraturan di dalam kayu akibat
faktor alami yang dipengaruhi oleh
lingkungan. Ross (1992) mengemukakan
pengujian non denstruktif digunakan
untuk menilai cacat yang muncul akibat
diskontinuitas, adanya rongga (voids)
serta kemungkinan adanya pembesaran
(inclusions) selama proses pembuatan
yang dapat berpengaruh terhadap sifat
fisis dan mekanis produknya. Saat ini
pemanfaatan teknologi NDT pada pohon
sadapan pinus belum banyak dilakukan.
Informasi pengukuran rambatan
gelombang suara terhadap jumlah dan
ukuran saluran resin pada pohon pinus
belum tersedia. Wu dan Hu (1997),
Pandit dan Kurniawan (2008)
mengemukakan bahwa saluran resin
pada kayu pinus terbentuk melalui proses
schizogenous, yaitu terpisahnya sel-sel
parenkim sehingga menciptakan ruang-
ruang kosong diantara sel-sel tersebut.
53 Karakteristik Kecepatan Gelombang Suara dan Sifat Anatomi Sadapan Pohon Pinus
Maryam Jamilah, Lina Karlinasari, Sucahyo Sadiyo, Gunawan Santosa
Penelitian ini bertujuan untuk
mengevaluasi karakteristik kecepatan
rambatan gelombang suara pada kayu
pinus sadapan kaitannya dengan
produksi getah berdasarkan penyebaran
jumlah dan diameter saluran resin. Hasil
penelitian diharapkan dapat memberikan
informasi ilmiah mengenai karakteristik
kecepatan gelombang suara pada kayu
pinus yang disadap serta kemungkinan
penggunaan gelombang suara untuk
menduga produksi getah pinus.
Bahan dan Metode
Penelitian ini dilakukan pada tegakan
pinus sebanyak 72 pohon di Hutan
Pendidikan Gunung Walat, Kabupaten
Sukabumi, Jawa Barat. Bahan berupa
stimulansia organik etilena asam sitrat
(etrat) yang berfungsi sebagai bahan
perangsang keluarnya getah pinus selama
penyadapan. Alat yang digunakan pada
penelitian ini adalah alat pengukur
kecepatan rambatan gelombang suara
merk SylvatestDuo (f = 22 kHz), alat bor
mekanis yang dapat melubangi pohon
untuk memasang transduser, label pohon,
pita ukur, bor riap untuk pengambilan
sampel anatomi, kadukul ukuran 6 cm,
plastik ukuran (12x25) cm2, timbangan
digital, talang sadap dan alat lainnya
yang dibutuhkan.
Penentuan pohon sasaran
Pemilihan pohon sasaran dilakukan
berdasarkan penelitian sebelumnya oleh
Febriani (2014) dan Purnawati (2014)
mengenai produksi getah pinus. Pada
penelitian tersebut dilakukan penyadapan
getah untuk mengetahui potensi awal
produksi getah pinus. Data tersebut
merupakan data awal dalam pemilihan
pohon sasaran dilapangan. Berdasarkan
data produksi getah 90 pohon maka
dilakukan seleksi terhadap pohon yang
memiliki produksi getah yang ekstrim
(terlalu tinggi atau terlalu rendah) untuk
dikeluarkan dari populasi sehingga
diperoleh sebanyak 72 pohon contoh.
Hal ini bertujuan dalam pengambilan
pohon sasaran menjadi seragam.
Selanjutnya pohon sasaran tersebut
dibagi menjadi 2 (dua) bagian yaitu
perlakuan koakan tanpa stimulansia dan
perlakuan koakan dengan menggunakan
stimulansia masing-masing 36 pohon.
Pohon sasaran tiap perlakuan dibagi lagi
menjadi 4 (empat) kelompok pohon yaitu
pohon yang disadap di sisi bagian utara,
selatan, barat dan timur yang masing-
masing sebanyak 9 pohon.
Penyadapan batang pohon pinus
Pada keseluruhan pohon sasaran
dilakukan penyadapan dengan
menggunakan metode koakan. Metode
koakan yang dilakukan mengacu pada
standar Perhutani yaitu pelukaan dimulai
sekitar 20 cm dari permukaan tanah.
Pembukaan luka sadapan awal berukuran
(10x6) cm2 dengan kedalaman 1,5 cm
(tidak termasuk tebal kulit) dan
selanjutnya diperbaharui setiap 3 hari
sekali. Pembaharuan luka dilakukan di
atas luka sadapan awal sekitar 5 mm
sehingga luka sadapan dalam satu bulan
adalah 5 cm. Pengambilan data
dilakukan sebanyak 10 kali dengan
periode pembaharuan luka sadapan,
pemanenan dan pemberian stimulansia
setiap 3 hari. Pada setiap kali pembaruan
luka diberikan stimulansia Etrat 1240
dengan cara disemprot pada bidang
sadapan pohon sebanyak satu kali atau
0,5 ml per koakan untuk merangsang
keluarnya getah pada pohon.
Pengukuran kecepatan gelombang
suara
Pengukuran kecepatan rambatan
gelombang suara dilakukan untuk
menduga kondisi bagian dalam pohon
54 J. Ilmu Teknol. Kayu Tropis Vol.13 No.1 Januari 2015
pinus. Pengukuran ini dilakukan dengan
menggunakan alat uji non destruktif
metode gelombang ultrasonik merk
SylvatestDuo. Pengukuran ini dilakukan
dengan cara memasang transduser pada
bagian batang pohon pinus yang sudah
dilubangi sedalam ±2 cm dengan diameter
5 mm secara berlawanan (pengukuran
radial) dan sejajar (pengukuran
longitudinal). Gelombang suara akan
dibangkitkan dan merambat dari transduser
pengirim dan diterima oleh transduser
penerima sehingga kecepatan gelombang
akan terbaca pada alat tersebut.
Pengukuran radial
Pengukuran radial dilakukan pada arah
horizontal batang kayu pinus dengan
posisi transduser saling berlawanan
melintang diameter pohon. Pengukuran
arah radial ini dilakukan sebelum
penyadapan, setiap 3 kali panen atau
setiap 9 hari kegiatan penyadapan
(pengukuran hari ke 9, 18, 27) dan
terakhir pada hari ke-30 atau setelah
penyadapan. Pengukuran radial ini
dilakukan pada ketinggian minimal ±20
cm dan maksimal ±100 cm dari
permukaan tanah.
Pengukuran longitudinal
Pengukuran longitudinal dilakukan
searah serat batang utama pohon (arah
aksial) pada salah satu sisi batang pohon
pinus yang disadap. Pengukuran
dilakukan sejajar arah serat dan aliran
getah. Pengukuran longitudinal
dilakukan dengan menempatkan
transduser pada posisi sudut ±45 dengan
jarak antara transduser ±100 cm mulai
dari permukaan bawah sekitar bidang
sadap (±20 cm dari permukaan tanah)
hingga ketinggian ±130 cm. Pengukuran
longitudinal ini dilakukan sebelum
penyadapan dan setelah penyadapan.
Pengambilan sampel anatomi
Pengambilan sampel dilakukan dengan
melubangi batang pohon secara
horizontal pada dua arah mata angin
dengan menggunakan bor riap
berdiameter 0,5 cm dan panjang 30 cm.
Contoh uji diambil dari bagian terluar
batang pohon hingga ke arah bagian
empulur. Pengambilan sampel sebelum
penyadapan dilakukan pada ketinggian
±50 cm dari permukaan tanah, dan
setelah penyadapan pengambilan sampel
dilakukan pada ketinggian ±30 cm dari
permukaan tanah. Sampel disimpan pada
wadah tertutup untuk dilakukan
pengamatan di laboratorium.
Sampel dipotong menjadi beberapa
segmen dengan panjang per segmen
yaitu ±3 cm untuk memudahkan proses
pengamatan, selanjutnya disayat pada
arah tegak lurus serat untuk pengamatan
dan pengukuran sampel anatomi. Sampel
difoto dengan mikroskop cahaya pada
luasan 12 mm dan perbesaran 30 kali,
lalu diamati menggunakan software
Motic Image Plus untuk menentukan
jumlah dan diameter saluran resin.
Hasil dan Pembahasan
Produksi getah pohon pinus
Gambar 1 menunjukkan produksi getah
pada pohon pinus tanpa stimulansia dan
dengan stimulansia. Hasil produksi getah
tiap pohon pada awal pemanenan koakan
seragam. Pada pembaharuan luka yang
kedua (hari ke-6) produksi getah yang
dihasilkan menurun. Hal ini diduga
karena deposit getah menjadi lebih
sedikit dari sebelumnya akibat proses
metabolisme sekunder menjadi
terganggu karena adanya “shock” atau
tekanan yang diberikan pada kegiatan
pelukaan bagian batang pohon
(Darmastuti 2014, Purnawati 2014).
55 Karakteristik Kecepatan Gelombang Suara dan Sifat Anatomi Sadapan Pohon Pinus
Maryam Jamilah, Lina Karlinasari, Sucahyo Sadiyo, Gunawan Santosa
Gambar 1 Produksi getah pinus dengan metode koakan dan koakan dengan stimulansia.
Produksi getah dengan stimulansia lebih
rendah dibandingkan dengan tanpa
stimulansia. Pada tahap awal,
penambahan stimulansia etilen asam
sitrat mengakibatkan kondisi luka tetap
terbuka dan getah tetap mengalir
(Sukadaryati & Dulsalam 2013). Hal
tersebut akan merangsang terbentuknya
etilen pada tanaman yang menyebabkan
naiknya tekanan osmosis serta tekanan
turgor sehingga aliran getah menjadi
cepat dan lebih lama (Santosa 2011).
Pada periode penyadapan berikutnya
produksi getah meningkat karena pohon
sudah beradaptasi dengan pelukaan pada
proses penyadapan. Hasil produksi getah
tanpa stimulansia terendah 6,29 g per
panen dan tertinggi 39,86 g per panen,
sedangkan dengan stimulansia diperoleh
produksi getah terendah 23,03 g per
panen dan tertinggi 87,31 g per panen.
Produksi getah pinus dengan stimulansia
2 kali lipat atau 48,3% tanpa stimulansia.
Berdasarkan hasil uji-t menunjukan
perbedaan yang signifikan antara
produksi getah dengan stimulansia dan
tanpa stimulansia, dan sama halnya
dengan hasil penelitian sebelumnya
(Purnawati 2014, Darmastusi 2014).
Karakteristik kecepatan gelombang
suara
Gambar 2 menjelaskan kecepatan
gelombang suara sebelum dan setelah
penyadapan setiap tiga kali panen.
Pengukuran arah radial dilakukan pada
keempat sisi batang pohon, yaitu pada
arah barat dan timur (B-T) dan arah utara
selatan (U-S). Pada perlakuan koakan
saja, rata-rata kecepatan rambatan
gelombang suara pada arah B-T 1416 m
det-1 dan arah U-S 1220 m det-1. Untuk
perlakuan koakan plus penambahan
stimulansia diperoleh 1397 m/detik pada
arah B-T dan 1319 m det-1 di arah U-S.
Kecepatan rambatan gelombang suara
pada hari ke-9 menurun daripada kondisi
awal pohon sebelum disadap. Kondisi ini
sama halnya dengan produksi getah yang
dihasilkan. Pelukaan pada pohon pinus
secara terus menerus menyebabkan stres
pada bagian internal batang. Pada
pengukuran hari ke-18 pohon sudah
dapat beradaptasi akibat adanya kegiatan
penyadapan. Pengukuran kecepatan
gelombang suara pada hari berikutnya
kembali meningkat dan mendekati pada
kondisi semula sebelum penyadapan.
0
10
20
30
40
50
60
70
80
90
100
3 6 9 12 15 18 21 24 27 30
Pro
duksi
get
ah (
g/p
anen
)
Hari ke-
Koakan
Koakan+stimulan
56 J. Ilmu Teknol. Kayu Tropis Vol.13 No.1 Januari 2015
(a) (b)
Gambar 2 Kecepatan gelombang suara radial pada perlakuan koakan (a), dan kecepatan
gelombang suara radial pada koakan dan stimulansia (b).
Dari kedua perlakuan yang diberikan
menunjukkan perubahan kecepatan
gelombang yang terjadi adalah sama, dan
adanya penambahan stimulansia tidak
mempengaruhi kondisi internal pohon.
Hal ini menjelaskan bahwa kondisi
bagian dalam pohon pinus yang diamati
adalah seragam.
Pengukuran secara longitudinal juga
dilakukan dengan tujuan untuk
mengetahui adanya perubahan yang
terjadipada arah aksial sejajar sumbu
batang. Pengujian dilakukan pada salah
satu sisi pohon yang mengalami
penyadapan dan pada arah yang
berlawanan sesuai dengan arah mata
angin yaitu barat, timur, utara dan
selatan. Gambar 3 menunjukkan nilai
rata-rata kecepatan gelombang ultrasonik
pada perlakuan awal adalah 4023 m det-1
untuk pohon yang hanya disadap dengan
koakan, dan 3806 m det-1 untuk pohon
yang disadap dengan penambahan
stimulansia. Pada akhir penyadapan,
rataan nilai kecepatan gelombang
ultrasonik 4204 m det-1 dan 4151 m det-1
masing-masing untuk perlakuan koakan
dan koakan dengan penambahan
stimulansia. Hasil uji perbandingan
statistik (uji-t) menunjukkan bahwa
kecepatan rambatan gelombang suara
pada perlakuan koakan dan koakan
dengan stimulansia tidak berbeda
signifikan. Hal yang sama ditunjukkan
untuk pengukuran pada sisi batang arah
barat-timut dan utara-selatan.
Evaluasi saluran resin pinus
Penyebaran jumlah saluran resin pada
keempat sisi tersebut hampir sama, yaitu
antara 15 sampai 20 saluran resin per
mm. Berdasarkan jumlah penyebaran
saluran resin pada keempat arah mata
angin dari sisi penyadapan diperoleh
sebelum penyadapan rata-rata jumlah
saluran resin yaitu 16 saluran per
millimeter dan setelah penyadapan 18
saluran per milimeter. Hasil pengamatan
menunjukkan bahwa kegiatan
penyadapan mengakibatkan terjadinya
penambahan jumlah saluran resin.
Namun, hasil uji perbandingan statistik
(uji-t) menjelaskan bahwa jumlah
penyebaran saluran resin sebelum dan
setelah penyadapan tidak terdapat
perbedaan yang signifikan. Dari kelima
0
200
400
600
800
1000
1200
1400
1600
1800
2000
0 9 18 27 30
V (
md
et-1
)
Hari Pengukuran
B-T U-S
0
200
400
600
800
1000
1200
1400
1600
1800
2000
0 9 18 27 30
V (
md
et-1
)
Hari Pengukuran
B-T U-S
57 Karakteristik Kecepatan Gelombang Suara dan Sifat Anatomi Sadapan Pohon Pinus
Maryam Jamilah, Lina Karlinasari, Sucahyo Sadiyo, Gunawan Santosa
segmen yang diamati, hasil perhitungan
jumlah saluran resin menunjukkan nilai
yang hampir sama, namun pada segmen
yang mendekati ke arah kulit luar kayu
jumlah penyebaran saluran resin lebih
banyak dibandingkan dengan dekat
dengan empulur.
Hasil pengukuran diameter saluran resin
yang dilakukan pada keempat sisi
penyadapan. Berdasarkan klasifikasi sisi
penyadapan, ukuran diameter saluran
resin sebelum penyadapan berkisar
121,5-133,30 μm, sedangkan ukuran
diameter saluran setelah penyadapan
yaitu 129,58-139,31 μm. Dari
keseluruhan sampel yang diuji diperoleh
rata-rata diameter saluran resin yaitu
129,92 μm dan setelah penyadapan
135,15 μm. Hasil tersebut menjelaskan
bahwa diameter saluran resin menjadi
besar akibat kegiatan penyadapan.
Namun, berdasarkan hasil uji
perbandingan statistik (uji-t)
menunjukkan bahwa pengukuran
diameter saluran sebelum dan setelah
penyadapan tidak menunjukkan
perubahan yang signifikan, begitu juga
pengukuran yang dilakukan berdasarkan
sisi penyadapan juga menunjukkan hasil
yang tidak signifikan.
Dari hasil penelitian Susilowati (2013)
tentang klasifikasi diameter saluran resin
pohon pinus, diperoleh kandidat bocor
getah tinggi antara 267,92-681,58 μm,
kandidat bocor getah rendah 172,75-
553,53 μm dan untuk kategori pohon
normal atau yang tidak termasuk ke
dalam bocor getah adalah 68,82-274,12
μm. Kategori tersebut menjelaskan
bahwa pohon pinus yang diamati ini
merupakan pohon pinus normal.
(a) (b)
Gambar 3 Kecepatan gelombang suara longitudinal pada perlakuan koakan (a), dan
kecepatan gelombang suara longitudinal pada koakan dan stimulansia (b).
0
1000
2000
3000
4000
5000
6000
U S B T
V (
md
et-1
)
Mata Angin
Sebelum Sesudah
0
1000
2000
3000
4000
5000
6000
U S B T
V (
md
et-1
)
Mata Angin
Sebelum Sesudah
58 J. Ilmu Teknol. Kayu Tropis Vol.13 No.1 Januari 2015
Korelasi produksi getah pinus dengan
karakteristik gelombang suara dan
sifat anatomi kayu
Beberapa variabel yang diamati untuk
pendugaan produksi getah, yaitu
kecepatan rambatan gelombang secara
longitudinal, kecepatan rambatan
gelombang secara radial, kerapatan kayu,
jumlah dan diameter saluran resin. Dari
kelima variabel yang dikorelasikan pada
perlakuan koakan dan koakan plus
stimulansia terdapat satu variabel yang
mempunyai nilai korelasi yang tinggi
yaitu jumlah saluran resin. Korelasi
Pearson disajikan pada Tabel 1 dan 2.
Tabel 1 Korelasi produksi getah pada perlakuan tanpa stimulansia Korelasi N Produksi
Getah
VLongitudinal VRadial Kerapatan Saluran
Resin
Saluran
Resin
Produksi Getah 6 - 0,55
(0,25)
-0,24
(0,64)
0,41
(0,41)
0,88
(0,01)*
-0,51
(0,29)
VLongitudinal 6 - - 0,58
(0,22)
-0,06
(0,89)
0,29
(0,56)
-0,05
(0,92)
VRadial 6 - - - -0,38
(0,45)
-0,48
(0,33)
0,63
(0,17)
Kerapatan 6 - - - - 0,40
(0,42)
0,11
(0,83)
Saluran Resin 6 - - - - - -0,73
(0,09)
Saluran Resin 6 - - - - - -
Keterangan: N = jumlah sampel, VLongitudinal = kecepatan gelombang suara longitudinal, VRadial =
kecepatan gelombang suara radial, = jumlah, = diameter, angka dalam kurung
menunjukkan nilai signifikansi, * = korelasi signifikan pada < 0.05
Tabel 2 Korelasi produksi getah pada perlakuan dengan stimulansia Korelasi N Produksi
Getah
VLongitudinal VRadial Kerapatan Saluran
Resin
Saluran
Resin
Produksi Getah 6 - 0,32
(0,53)
0,08
(0,87)
0,58
(0,22)
0,89
(0,01)*
0,17
(0,74)
VLongitudinal 6 - - -0,13
(0,80)
0,11
(0,82)
0,37
(0,46)
0,67
(0,13)
VRadial 6 - - - 0,73
(0,09)
-0,26
(0,61)
0,04
(0,93)
Kerapatan 6 - - - - 0,29
(0,57)
0,08
(0,86)
Saluran Resin 6 - - - - - 0,35
(0,49)
Saluran Resin 6 - - - - -
Keterangan: N = jumlah sampel, VLongitudinal = kecepatan gelombang suara longitudinal, VRadial =
kecepatan gelombang suara radial, = jumlah, = diameter, angka dalam kurung
menunjukkan nilai signifikansi, * = korelasi signifikan pada < 0.05
59 Karakteristik Kecepatan Gelombang Suara dan Sifat Anatomi Sadapan Pohon Pinus
Maryam Jamilah, Lina Karlinasari, Sucahyo Sadiyo, Gunawan Santosa
Korelasi antara produksi getah pinus
dengan jumlah saluran resin
menghasilkan persamaan y=1,55x-12,64
dengan nilai koefisien korelasi sebesar
0.88 untuk perlakuan koakan, dan pada
perlakuan koakan plus stimulansia
menghasilkan persamaan y=4,94x-67,09
dengan koefisien korelasi = 0,89. Hasil
menunjukkan bahwa terdapat korelasi
yang positif dengan keeratan hubungan
yang kuat pada produksi getah dengan
jumlah saluran resin.
Kesimpulan
Penambahan stimulansia dapat
meningkatkan produktivitas getah pinus
hingga mencapai dua kali lipat
dibandingkan kontrol. Hasil pengukuran
kecepatan gelombang suara batang
pohon belum dapat menjelaskan
fenomena produktivitas getah pinus.
Peningkatan produksi getah pinus
sadapan lebih berkorelasi kuat dengan
sifat anatomi pohon khususnya jumlah
dan diameter saluran resin.
Ucapan Terima Kasih
Penulis ucapkan terima kasih kepada
Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi
(DIKTI) yang telah memberikan
Beasiswa Unggulan selama masa studi,
dan ucapan terima kasih kepada pihak
pengelola Hutan Pendidikan Gunung
Walat (HPGW) yang telah memberikan
fasilitas selama proses penelitian.
Daftar Pustaka
Darmastusti IN. 2014. Penyempurnaan
metode quare dan stimulansia organik
pada penyadapan getah pinus. [Tesis].
Bogor: Pasca Sarjana, Institut
Pertanian Bogor.
Fachrodji A, Suwarman U, Suhendang E,
Harianto. 2009. Perbandingan daya
saing produk gondorukem di pasar
internasional. J Man Agribisnis.
6(2):7-11.
Indrajaya Y, Handayani W. 2008.
Potensi hutan Pinus merkusii Jungh
sebagai pengendali tanah longsor di
Jawa. Info Hutan. 5(3):231-240.
Pandit KN, Kurniawan D. 2008. Struktur
Kayu : Sifat kayu sebagai bahan baku
dan ciri diagnostik kayu perdagangan
Indonesia. Bogor: Institut Pertanian
Bogor.
Purnawati RR. 2014. Produktivitas
penyadapan getah pinus dengan
metode bor tanpa pipa. [Skripsi].
Bogor: Institut Pertanian Bogor.
Ross RJ. 1992. Nondestructive Testing of
Wood. Prosiding Nondestructive
evaluation of civil structures and
materials. Colorado: University of
Colorado Boulder.
Santosa G. 2011. Pengaruh pemberian
ETRAT terhadap peningkatan
produktivitas penyadapan getah pinus
(Studi kasus di KPH Sukabumi perum
perhutani unit III Jawa Barat dan
Banten). Bogor: LPPM, Institut
Pertanian Bogor.
Sukadaryati, Dulsalam. 2013. Teknik
penyadapan pinus untuk peningkatan
produksi melalui stimulan hayati. J
Hasil Hutan 31(3):221-227.
Sukadaryati. 2014. Pemanenan getah
pinus menggunakan tiga cara
penyadapan. J Hasil Hutan. 32(1):62-
70.
Surbakti ARE, Batubara R, Muhdi. 2014.
Penggunaan Asam Sulfat (H2SO4)
sebagai Stimulansia dalam
Meningkatkan Produktivitas Getah
Pinus dengan Metode Rill. Penomena
For Sci J. 3(1):33-37.
Susilowati A. 2013. Karakterisasi
genetik dan anatomi kayu Pinus
60 J. Ilmu Teknol. Kayu Tropis Vol.13 No.1 Januari 2015
merkusii kandidat bocor getah serta
strategi perbanyakannya. [Tesis].
Bogor: Pasca Sarjana, Institut
Pertanian Bogor.
Wu H, Hu ZH. 1997. Ultrastructure of the
resin duct initiation and formation in
Pinus tabulaeformis. Chin J Bot.
(6):123-126.
Riwayat naskah:
Naskah masuk (received): 2 Oktober 2014
Diterima (accepted): 8 Desember 2014
61 Formulasi Umpan dari Campuran Kayu Terdegradasi dan Kertas Limbah
untuk Pengendalian Rayap
Musrizal Muin, AstutiArif, Sitti Nuraeni, Wa Ode Fatima Zohra
Formulasi Umpan dari Campuran Kayu Terdegradasi dan Kertas
Limbah untuk Pengendalian Rayap
(Bait Formulations from the Mixture of Degraded Wood and Wastepaper
for Termite Control)
Musrizal Muin*, Astuti Arif, Sitti Nuraeni, Wa Ode F Zohra
Fakultas Kehutanan, Universitas Hasanuddin
Jl. Perintis Kemerdekaan KM 10, Makassar 90245
*Penulis korespondensi: [email protected]
Abstract
The bait formulation from the mixture of organic wastes for termite (Coptotermes sp) control
was evaluated in laboratory and field tests. Four formulations were prepared by equally mixing
based on dried weights, i.e. the mixture of degraded pine wood and HVS wastepaper, degraded
pine wood with HVS and newsprint wastepaper, degraded pine wood with HVS and cardboard
wastepaper, and the mixture of degraded pine wood with HVS, newsprint, and cardboard
wastepaper. Boiled soybean water was used as an additional substance of the formulation. The
termite survival rate and food transfer were evaluated using no-choice test. The food transfer
was studied using test samples dyed with 0.1% Nile Blue A. The food formulations were also
subjected to field test for six weeks to evaluate the termite attacks. The results showed that the
highest food transfer efficiency was found for degraded pine wood and HVS wastepaper
formulation, however, the survival rate was not significantly different among the formulations.
The field test proved that the mixture formulation of degraded pine wood with HVS and
cardboard wastepaper as well as that of degraded pine wood with HVS, newsprint, and
cardboard wastepaper were attacked by termites to the failure level.
Keywords: bait formulation, Coptotermes sp., food transfer efficiency, survival rate, termite
control
Abstrak
Pengembangan sistim pengendalian rayap (Coptotermes sp) dengan memanfaatkan umpan dari
campuran beberapa limbah organik telah dilakukan melalui uji di laboratorium dan lapangan.
Empat formulasi umpan dari beberapa jenis limbah bahan organic dibuat dengan proporsi
seimbang berdasarkan berat keringnya, yaitu campuran kayu pinus terdegradasi dan limbah
kertas HVS, kayu pinus terdegradas ditambah limbah kertas HVS dan koran, kayu pinus
terdegradasi ditambah limbah kertas HVS dan kardus, dan kayu pinus terdegradasi ditambah
limbah kertas HVS, koran, dan kardus. Air rebusan kedelai ditambahkan untuk menambah
nutrient dan pengaturan kadar air dari formulasi umpan. Pengukuran kelangsungan hidup rayap
dan transfer makanannya dilakukan dengan uji “no-choice”. Transfer makanan oleh rayap
dimonitor menggunakan sampel uji yang telah diwarnai Nile Blue A 0,1%. Uji lapangan juga
dlakukan selama enam minggu untuk mengevaluasi derajat serangan rayap. Hasil uji
laboratorium menunjukkan bahwa transfer makanan oleh rayap tertinggi dijumpai pada
formulasi umpan campuran kayu pinus terdegradasi dan limbah kertas HVS, akan tetapi, tingkat
kelangsungan hidup rayap pada semua formulasi umpan berbeda tidak nyata. Hasil uji lapangan
menunjukkan bahwa campuran kayu pinus terdegradasi dengan limbah kertas HVS dan kardus
serta campuran kayu pinus terdegradasi dengan limbah kertas HVS, koran, dan kardus diserang
rayap hingga hancur.
62 J. Ilmu Teknol. Kayu Tropis Vol.13 No.1 Januari 2015
Kata kunci: Coptotermes sp, efisiensi transfer makanan, formulasi umpan, keberlanjutan hidup,
pengendalian rayap
Pendahuluan
Rayap tanah telah dikenal sebagai
serangga yang tidak hanya mampu
merusak bangunan kayu, tetapi juga
melakukan aktivitas yang memiliki
pengaruh nyata terhadap perbaikan
tipologi tanah, baik secara fisik maupun
kimia. Tantangan yang muncul adalah
bagaimana keberadaan organisme
tersebut dapat dikontrol agar aktivitasnya
sesuai dengan tujuan yang diinginkan,
baik untuk perlindungan bangunan
maupun untuk perbaikan produktivitas
lahan. Salah satu teknologi yang
berkembang dan menguasai pasar
komersil dalam pengendalian rayap pada
bangunan adalah penggunaan “bait
system” (Rust & Su 2012). Sistem
tersebut menggunakan umpan makanan
dengan penambahan insektisida yang
memiliki sifat racun low action untuk
memungkinkan terjadinya distribusi
makanan dari sumber umpan tersebut ke
seluruh anggota koloni rayap. Sistem ini
dapat menyebabkan koloni rayap yang
menyerang struktur kayu bangunan
menjadi musnah. Pada dasarnya, sistem
ini dapat pula ditujukan untuk
pengendalian rayap bagi perbaikan sifat-
sifat lahan dengan menggunakan sumber
makanan sebagai umpan dengan daya
tarik tinggi tanpa penambahan bahan
beracun. Dengan demikian, rayap dapat
melakukan aktivitas yang di samping
memperbaiki aerasi tanah juga dapat
menghasilkan produk biogenic yang
memberikan kontribusi pada peningkatan
kadar hara tanah (Muin et al. 2013).
Usaha pengendalian rayap tanah
dengan sistem bait seperti dikemukakan
di atas menuntut pentingnya formulasi
umpan/ bait sebagai penarik
(attractants). Pentingnya formulasi atau
produk umpan untuk pengendalian rayap
telah menjadi perhatian banyak peneliti
(Rojas et al. 2003, Martin & Richardson
2007, Eger et al. 2012). Penelitian ini
ditujukan untuk mengembangkan dan
mengevaluasi penggunaan campuran
limbah organik berupa kayu terdegradasi
dan kertas limbah sebagai bahan
attractants melalui uji laboratorium dan
uji lapangan. Uji laboratorium dilakukan
untuk mengamati efisiensi transfer
formulasi umpan tersebut oleh rayap
Coptotermes sp. dan kelangsungan
hidupnya (termite survival rate).
Sedangkan uji lapangan dilakukan untuk
mengevaluasi derajat serangan rayap
terhadap formulasi umpan yang
diberikan.
Bahan dan Metode
Persiapan bahan
Bahan yang digunakan adalah berupa
kayu pinus terdegradasi, kertas HVS
limbah, kertas koran limbah, kertas
karton limbah, dan air rebusan kacang
kedelai. Semua limbah kertas berasal
dari kantor di Universitas Hasanuddin
yang dihancurkan dengan menggunakan
high-power blender. Bahan limbah
tersebut, dalam jumlah yang seimbang
berdasarkan berat kering ovennya,
dicampur sesuai dengan formulasi yang
telah ditentukan berdasarkan hasil
penelitian sebelumnya (Muin et al.
2013). Formulasi tersebut adalah
campuran kayu pinus terdegradasi
dengan kertas HVS, campuran kayu
pinus terdegradasi dengan kertas HVS
dan koran limbah, campuran kayu pinus
terdegradasi dengan kertas HVS dan
karton limbah, serta campuran kayu
pinus terdegradasi dengan kertas HVS,
koran, dan karton limbah. Air rebusan
63 Formulasi Umpan dari Campuran Kayu Terdegradasi dan Kertas Limbah
untuk Pengendalian Rayap
Musrizal Muin, AstutiArif, Sitti Nuraeni, Wa Ode Fatima Zohra
kacang kedelai yang dihasilkan dari
perebusan kacang kedelai seberat 400 g
dengan air sebanyak 6000 ml selama
sekitar satu jam disiapkan sebagai bahan
tambahan untuk memberikan kadar air
50-60% pada sampel uji.
Pembuatan contoh uji
Setiap formulasi umpan dibuat contoh uji
dengan dua ukuran yang berbeda untuk
masing-masing tujuan pengujian, di
laboratorium dan di lapangan, tetapi
dengan target kerapatan yang sama (0,5 g
cm-3). Untuk tujuan uji laboratorium,
contoh uji dibuat dengan ukuran (2x2x1)
cm3, sedangkan untuk tujuan uji
lapangan, contoh uji dibuat dengan
ukuran (2x2x2) cm3. Perbedaan ukuran
tersebut didasarkan pada kesesuaiannya
dengan kapasitas alat laboratorium dan
desain unit pengumpanan di lapangan.
Pengamatan laboratorium
Pengamatan laboratorium dilakukan
untuk mengetahui efisiensi transfer
makanan dan kelangsungan hidup rayap
pada setiap formulasi contoh uji yang
telah dibuat. Untuk tujuan tersebut, rayap
Coptotermes sp. dikoleksi dari lapangan
sekitar kampus Universitas Hasanuddin,
Makassar dengan cara pengumpanan
menggunakan potongan kayu dan kertas
karton. Koleksi rayap yang diperoleh
bersama dengan sumber makanan
umpannya kemudian dimasukkan dalam
kontainer plastik dan dibawa ke
laboratorium. Sebelum menggunakannya
sebagai bahan uji, koleksi rayap tersebut
dikondisikan pada suhu 26-28 ºC dan
kelembaban 70-80% selama seminggu.
Efisiensi transfer makanan dari setiap
formulasi umpan dan kelangsungan
hidup rayap diamati dan ditentukan
berdasarkan prosedur Wang and
Henderson (2012). Transfer makanan
tersebut diamati dengan menggunakan
pewarna berupa Nile Blue A (0,1%) yang
dicampurkan pada setiap formulasi
umpan. Sebanyak 25 pekerja dan 2
prajurit rayap Coptotermes sp.
dimasukkan ke dalam unit pengujian
berupa Petri dish yang berisi 20 g pasir
steril yang lembab (kadar air ±15%)
dengan sampel uji di atasnya. Unit
pengujian untuk setiap formulasi dibuat
sejumlah 15 unit untuk pengamatan
transfer makanan harian selama lima
hari. Jumlah rayap yang berubah warna
diamati setiap hari pada tiga unit
pengujian yang diambil secara acak.
Selama pengujian di laboratorium, semua
unit pengujian disimpan pada ruang
gelap dengan suhu 26-28 ºC dan
kelembaban 70-80%.
Pengamatan lapangan
Penelitian lapangan dirancang dengan
menempatkan sampel uji dari semua
formulasi umpan dalam jumlah yang
seimbang ke dalam unit pengujian
berupa kotak stryroform berukuran
(35x22x12) cm3. Keempat kelompok
sampel uji (formulasi umpan) dalam unit
pengujian dirancang untuk memiliki
akses yang sama untuk menerima
serangan rayap (four-choice test) dengan
memberikan lubang (diameter 1 cm)
pada bagian bawah dan samping kotak
stryroform. Lokasi pengujian ditentukan
berdasarkan survei awal yang
menunjukkan adanya aktivitas rayap
Coptotermes sp. Pengamatan dilakukan
dengan menentukan persentase serangan
rayap pada permukaan sampel uji dalam
unit pengujian setiap minggu selama
enam minggu uji kubur. Pada akhir
pengamatan, semua unit pengujian
dibongkar untuk menentukan derajat
serangan rayap dengan visual rating
berdasarkan American Wood Preservers’
Association (AWPA) standard E1-97.
64 J. Ilmu Teknol. Kayu Tropis Vol.13 No.1 Januari 2015
Penilaian tingkat kerusakan berdasarkan
pada klasifikasi sebagai berikut:
Nilai 10 untuk sampel utuh
Nilai 9 untuk sampel dengan
serangan ringan
Nilai 7 untuk sampel dengan
serangan sedang
Nilai 4 untuk sampel dengan
serangan ringan
Nilai 0 untuk sampel hancur.
Hasil dan Pembahasan
Transfer makanan dan kelangsungan
hidup rayap
Transfer makanan dari bahan umpan
(formulasi) ke rayap dapat dilihat dari
jumlah rayap yang berubah warna
menjadi biru setelah memakan umpan
yang sebelumnya telah diwarnai dengan
larutan 0,1% Nile Blue A. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa transfer
makanan dari bahan umpan ke rayap
relatif sama dan berbeda tidak nyata pada
semua formulasi hingga hari ke-4 (Tabel
1). Transfer makanan tersebut tampak
menunjukkan perbedaan yang sangat
nyata pada hari ke-5. Hasil analisis
statistik menunjukkan bahwa transfer
makanan tertinggi dijumpai pada
formulasi umpan dari campuran kayu
pinus terdegradasi dan kertas HVS
limbah dengan penambahan air rebusan
kacang kedelai, meskipun formulasi
tersebut diketahui berbeda tidak nyata
dengan yang tanpa penambahan air
rebusan kacang kedelai.
Kelangsungan hidup rayap dalam proses
transfer makanan dari bahan umpan ke
rayap dinyatakan sebagai rata-rata
persentase jumlah rayap yang tetap hidup
(Tabel 2). Dari tabel tersebut dapat
dilihat bahwa kelangsungan hidup rayap
relatif sama pada semua formulasi
umpan dalam jangka waktu pengamatan.
Hasil uji laboratorium mengenai transfer
makanan dari umpan ke rayap dan
kelangsungan hidupnya memberikan
gambaran bahwa semua formulasi
umpan yang diteliti berpotensi untuk
dikembangkan sebagai bagian dari
sistem pengendalian rayap. Meskipun
demikian, transfer makanan dan
kelangsungan hidup rayap yang tidak
secara nyata konsisten dalam penelitian
ini perlu dilihat secara seksama sebagai
dua hal yang memerlukan pertimbangan
tertentu dalam pengembangan sistem
kontrol rayap.
Tabel 1 Transfer makanan dari bahan umpan ke rayap
Formulasi Umpan* Jumlah Rayap Biru**
Hari-1 Hari-2 Hari-3 Hari-4 Hari-5
K + H 16± 6 a 16 ± 4 a 19 ± 1 a 22 ± 2 a 23 ± 1 ab
K + H + ARK 9 ±4 a 12 ±2 a 18 ±4 a 19 ±2 a 25 ±1 b
K + H + Ko + ARK 7 ±4 a 9 ±3 a 14 ±2 a 21 ±4 a 23 ±3 ab K + H + Ka + ARK 8 ± 6 a 8 ±5 a 17 ±3 a 17 ±2 a 18 ±3 a K + H + Ko + Ka + ARK 10 ±2 a 15 ±1 a 19 ±3 a 19 ±1 a 19 ±2 a
* K: Kayu pinus terdegradasi; H: HVS limbah; Ko: Koran limbah; Ka: Karton limbah; ARK=Air rebusan
kacang kedelai
** Rata-rata dan standar deviasi dari tiga ulangan setiap hari. Nilai diikuti huruf berbeda dalam kolom
yang sama berbeda sangat nyata dengan uji Tukey’s (P< 0,01).
65 Formulasi Umpan dari Campuran Kayu Terdegradasi dan Kertas Limbah
untuk Pengendalian Rayap
Musrizal Muin, AstutiArif, Sitti Nuraeni, Wa Ode Fatima Zohra
Tabel 2 Kelangsungan hidup rayap pada transfer makanan dari bahan umpan
Formulasi Umpan* Persentase Rayap Hidup**
Hari-1 Hari-2 Hari-3 Hari-4 Hari-5
K + H 100±0 a 100±0 a 96±4 a 96±6,9 a 94,7±6,1 a
K + H + ARK 100±0 a 100±0 a 100±0 a 92±4 a 89,3±9,2 a
K + H + Ko + ARK 100±0 a 100±0 a 100±0 a 94,7± 9,2 a 97,3±4,6 a
K + H + Ka + ARK 100±0 a 100±0 a 100±0 a 100±0 a 94,7±2,3 a
K + H + Ko + Ka + ARK 100±0 a 100±0 a 100±0 a 100±0 a 97,3±2,3 a
*K: Kayu pinus terdegradasi; H: HVS limbah; Ko: Koran limbah; Ka: Karton limbah; ARK=Air rebusan
kacang kedelai
**Rata-rata dan standar deviasi dari tiga ulangan setiap hari. Nilai diikuti huruf berbeda dalam kolom
yang sama berbeda sangat nyata dengan uji Tukey’s (P< 0,01).
Menurut Chen and Henderson (1996)
dan Lenz and Evans (2002), transfer
makanan berhubungan dengan
ketertarikan rayap terhadap umpan.
Lebih lanjut dijelaskan bahwa umpan
dengan bahan-bahan yang kaya
karbohidrat dan asam amino dapat
meningkatkan daya tarik umpan terhadap
rayap. Hedlund and Henderson (1999)
juga mengemukakan bahwa luas
permukaan umpan dapat meningkatkan
konsumsi dari rayap. Faktor-faktor ini
diduga berkontribusi pada formulasi
umpan berupa campuran kayu pinus
terdegradasi dengan kertas HVS limbah
yang memiliki persentase bahan kayu
yang lebih besar dibanding formulasi
umpan lainnya. Pada aspek kelangsungan
hidup rayap, Gautam and Henderson
(2011) menjelaskan adanya pengaruh
lingkungan pengujian yang
memungkinkan adanya serangan
mikroorganisme lainnya seperti jamur
yang berkembang pada permukaan
umpan.
Serangan rayap di lapangan
Hasil penelitian menunjukkan adanya
serangan yang nyata pada sampel uji
yang ditempatkan di lapangan setelah
dua minggu. Jenis rayap yang menyerang
diidentifikasi sebagai Coptotermes sp.
sesuai dengan hasil penelitian Astuti
(2013). Nilai persentase serangan rayap
pada permukaan sampel dalam unit-unit
pengujian ditunjukkan pada Gambar 1.
Meskipun demikian, jangka waktu
mulainya terjadi serangan rayap terhadap
makanan umpan yang diberikan dapat
saja lebih pendek atau bahkan lebih
panjang dari waktu tersebut. Menurut
Esenther and Beal (1978), waktu
serangan rayap terhadap umpan yang
diberikan sangat tergantung pada ukuran
koloni rayap dan proporsi kasta
pembentuknya.
Gambar 1 menunjukkan bahwa serangan
rayap pada permukaan sampel uji terus
mengalami peningkatan dengan
berjalannya waktu, tetapi besarnya
peningkatan tersebut berbeda-beda
menurut formulasi umpan. Secara umum,
dari gambar tersebut dapat dilihat bahwa
perbedaan persentase serangan rayap
yang tidak nyata dijumpai pada
permukaan unit pengujian dengan
formulasi umpan berupa campuran kayu
pinus terdegradasi dengan kertas HVS
limbah dengan maupun tanpa
penambahan air rebusan kacang kedelai.
Namun demikian, kedua formulasi
umpan tersebut menunjukkan perbedaan
yang nyata dengan bahan umpan berupa
campuran kayu pinus terdegradasi +
66 J. Ilmu Teknol. Kayu Tropis Vol.13 No.1 Januari 2015
0
10
20
30
40
50
60
70
80
90
K+H K+H+ARK K+H+Ko+ARK K+H+Ka+ARK K+H+Ko+Ka+ARK
Per
senta
se s
eran
gan
per
mukaa
n (
%)
Formulasi umpan
Minggu-1 Minggu-2 Minggu-3 Minggu-4 Minggu-5 Minggu-6
HVS + kertas karton atau pun dengan
campuran kayu pinus terdegradasi +
HVS + kertas koran + kertas karton,
yang keduanya ditambah dengan air
rebusan kacang kedelai. Kedua formulasi
umpan yang disebutkan terakhir juga
menunjukkan perbedaan yang tidak
nyata. Selain itu, formulasi umpan
berupa campuran kayu pinus
terdegradasi dengan kertas HVS dan
kertas koran dengan penambahan air
rebusan kacang kedelai menunjukkan
persentase serangan rayap yang sangat
rendah dan memiliki perbedaan yang
sangat nyata dengan formulasi umpan
lainnya.
Serangan rayap ke dalam unit pengujian
pada umumnya masuk melalui lubang
akses pada bagian bawah kotak unit
pengujian. Derajat serangan rayap hasil
visual rating pada setiap formulasi
ditunjukkan pada Tabel 3. Data pada
tabel tersebut menunjukkan bahwa
derajat serangan rayap berbeda tidak
nyata antara formulasi campuran kayu
pinus terdegradasi dan kertas HVS
dengan atau tanpa penambahan air
rebusan kacang kedelai. Perbedaan
derajat serangan yang tidak nyata juga
dijumpai antara formulasi campuran
kayu pinus terdegradasi dengan kertas
HVS limbah dan kertas karton limbah
dengan formulasi campuran kayu pinus
terdegradasi dengan kertas HVS limbah,
kertas koran limbah dan kertas karton
limbah, yang pada kedua formulasi
tersebut ditambahkan air rebusan kacang
kedelai.
Gambar 1 Rata-rata persentase serangan rayap pada permukaan sampel dalam unit
pengujian setiap formulasi (K: Kayu pinus terdegradasi; H: HVS limbah; Ko: Koran
limbah; Ka: Karton limbah; ARK=Air rebusan kacang kedelai).
67 Formulasi Umpan dari Campuran Kayu Terdegradasi dan Kertas Limbah
untuk Pengendalian Rayap
Musrizal Muin, AstutiArif, Sitti Nuraeni, Wa Ode Fatima Zohra
Tabel 3 Derajat serangan rayap (visual rating) pada sampel uji setelah pemaparan enam
minggu di lapangan
Formulasi umpan* Visual Rating**
K + H 9,26 ± 0,34 b
K + H + ARK 9,06 ± 0,36 b
K + H + Ko + ARK 9,85 ± 0,17 c
K + H + Ka + ARK 0,08 ± 0,02 a
K + H + Ko + Ka + ARK 0,00 ± 0,00 a * K: Kayu pinus terdegradasi; H: HVS limbah; Ko: Koran limbah; Ka: Karton limbah; ARK=Air rebusan
kacang kedelai
** Rata-rata dan standar deviasi dari empat unit pengujianberdasarkan kriteria nilai 10 = utuh; 9 =
serangan ringan; 7 = serangan sedang; 4 = serangan hebat; 0 = hancur. Nilai diikuti huruf berbeda
dalam kolom berbeda nyata dengan uji Tukey’s (P< 0,01).
Hasil ini menunjukkan kesesuaian
dengan hasil sebelumnya berupa
persentase serangan rayap pada
permukaan sampel dalam unit pengujian.
Dilihat dari besarnya derajat serangan,
formulasi umpan berupa campuran kayu
pinus terdegradasi dengan kertas HVS
limbah dan kertas karton limbah serta
formulasi campuran kayu pinus
terdegradasi dengan kertas HVS limbah,
kertas koran limbah dan kertas karton
limbah, yang pada kedua formulasi
tersebut ditambahkan air rebusan kacang
kedelai, mengalami tingkat kerusakan
terbesar, yaitu hancur. Sedangkan
formulasi umpan lainnya hanya
mengalami derajat serangan ringan.
Secara umum, hasil ini memberikan
gambaran bahwa rayap yang menyerang
dalam penelitian ini (Coptotermes sp.)
cenderung tertarik pada kedua formulasi
umpan tersebut.
Hasil uji lapangan yang menunjukkan
derajat serangan rayap tingkat
menghancurkan terhadap formulasi
umpan berupa campuran kayu pinus
terdegradasi dengan kertas HVS limbah
dan kertas karton limbah serta berupa
campuran kayu pinus terdegradasi
dengan kertas HVS limbah, kertas koran
limbah dan kertas karton limbah, yang
pada kedua formulasi tersebut
ditambahkan air rebusan kacang kedelai,
memerlukan kajian lebih dalam. Hal ini
terutama perlu dilakukan secara
komprehensif untuk menentukan
perubahan karakteristik formulasi umpan
atas interaksinya dengan keadaan kotak
dan lingkungan aplikasinya. Hal ini
sangat penting mengingat adanya
pengaruh yang nyata dari metode
aplikasi umpan untuk evaluasi dan
pengendalian rayap, selain pengaruh dari
komposisi umpannya sendiri (Rojas et al.
2003).
Kesimpulan
Formulasi umpan berupa campuran
seimbang antara kayu pinus terdegradasi,
kertas HVS limbah, dan kertas karton
limbah dengan penambahan air rebusan
kacang kedelai hingga kadar air 50-60%
memiliki potensi besar untuk dijadikan
umpan dalam usaha pengendalian rayap
di lapangan. Hasil penelitian ini juga
mengindikasikan bahwa penambahan
kertas koran limbah secara berimbang
pada formulasi potensil tersebut tidak
berdampak negatif pada tingkat serangan
rayap Coptotermes sp. di lapangan.
Untuk tujuan aplikasi, formulasi umpan
tersebut harus disiapkan dalam suatu
tempat (kotak) yang didesain tertutup,
tetapi dengan memberikan akses
68 J. Ilmu Teknol. Kayu Tropis Vol.13 No.1 Januari 2015
terhadap rayap untuk dapat masuk ke
dalamnya. Serangan rayap terhadap
kedua formulasi umpan potensil tersebut
yang ditempatkan dalam kotak desain
tertutup menunjukkan tingkat
menghancurkan setelah enam minggu.
Meskipun demikian, penelitian lanjutan
sangat diperlukan untuk mengetahui
perubahan karakteristik formulasi umpan
atas interaksinya dengan keadaan dan
desain kotak serta lingkungan
aplikasinya.
Daftar Pustaka
Astuti. 2013. Identifikasi, Sebaran dan
Derajat Kerusakan Kayu oleh
Serangan Rayap Coptotermes
(Isoptera: Rhinotermitidae) di
Sulawesi Selatan. (Disertasi).
Makassar: Pasca Sarjana, Universitas
Hasanuddin.
Chen J, Henderson G. 1996.
Determination of feeding preference
of Formosan subterranean termite
(Coptotermes formosanus Shiraki) for
some amino acid additives. J Chem
Ecol. 22:2359-2369.
Esenther GR, Beal RH. 1978.
Insecticidal baits on field plot
perimeters suppress Reticulitermes. J
Econ Entomol. 71:604-607.
Eger JE, Lees MD, Neese PA, Atkinson
TH, Thoms EM, Messenger MT,
Demark JJ, Lee LC, Vargo EL, Tolley
MP. 2012. Elimination of
subterranean termite (Isoptera:
Rhinotermitidae) colonies using a
refined cellulose bait matrix
containing novifumuron when
monitored and replenished quarterly. J
Econ Entomol.105:533-539.
Gautam BK, Henderson G. 2011.
Relative humidity preference and
survival of starved Formosan
subterranean termites (Isoptera:
Rhinotermitidae) at various
temperature and relative humility
conditions. Environ Entomol.
40:1232-1238.
Hedlund JC, Henderson G. 1999. Effect
of available food size on search tunnel
formation by the Formosan
subterranean termite (Isoptera:
Rhinotermitidae). J Econ Entomol.
92:610-616.
Lenz M, Evans TA. 2002. Termite bait
technology perspectives from
Australia. In: Johns SC, Zhai J,
Robertson WH, editor. Proceedings of
the 4th International Conference in
Urban Pests; Charleston, SC. 7-10
July 2002. Pocahontas Press Inc.,
Blacksburg, VA. Pp. 27-36.
Lenz M, Lee CY, Lacey MJ, Yoshimura
T, Tsunoda K. 2011. The potential and
limits of termites (Isoptera) as
decomposers of waste paper products.
J Econ Entomol. 104:232-242.
Martin SRJA, Richardson RO. 2007.
Optimum Density Termite Bait
Composition. United States Patent No.
US 2007/0020229 A1. Jan. 25, 2007.
Muin M, Arif A, Nuraeni S. 2013.
Pengembangan Sistem Kontrol Rayap
Untuk Produksi Biogenik dan
Perbaikan Produktivitas Lahan Hutan
Pendidikan Universitas Hasanuddin.
Laporan Penelitian. Makassar:
Lembaga Penelitian dan Pengabdian
pada Masyarakat, Universitas
Hasanuddin.
Rust MK, Su NY. 2012. Managing social
insects of urban importance. Annu Rev
Entomol. 57:355-375.
Rojas GM, Juan AMR, Edgar GK. 2003.
Termite Bait Matrix. United States
Patent No. US 6, 585, 991 B1. Jul. 1,
2003.
69 Formulasi Umpan dari Campuran Kayu Terdegradasi dan Kertas Limbah
untuk Pengendalian Rayap
Musrizal Muin, AstutiArif, Sitti Nuraeni, Wa Ode Fatima Zohra
Wang C, Henderson G. 2012. Evaluation
of three bait materials and their food
transfer efficiency in Formosan
subterranean termites (Isoptera:
Rhinotermitidae). J Econ Entomol.
104:1758-1765.
Riwayat naskah:
Naskah masuk (received): 12 Oktober 2015
Diterima (accepted): 9 Desember 2015.
70 J. Ilmu Teknol. Kayu Tropis Vol.13 No.1 Januari 2015
Trace Elements Content of Mangium Pulp throughout ECF
Bleaching Stages as Measured by ICP
Nyoman Wistara*, Devi Nurmala
Department of Forest Products, Faculty of Forestry,
Bogor Agricultural University, Indonesia
*Corresponding author: [email protected]
Abstract
The fate of metals in pulp of the five years old mangium wood (Acacia mangium Wild) during
bleaching process was investigated. The wood was divided into tree division, i.e. bottom, middle
and upper divisions. The wood was chipped and kraft pulped to achieve a kappa number of 14 +
0.5. The resulting pulps were then bleached following an elementally chlorine free (ECF)
method of D0, EO, D1, D2 and P sequences. The measurement of metals content was carried out
with Inductively Coupled Plasma (ICP) type Optical Emission Spectrometry (OES) Optima
4300DV. Brightness and viscosity of bleached pulps were measured in accordance with TAPPI
T 525 om - 92 and TAPPI T 230 om-89 standard procedures, respectively. It was found that,
metals content of five years old Acacia mangium tended to increase from the bottom to the upper
divisions of the stem. Beyond the EO stage, the content of Mn reduced to below detrimental
limit required in peroxide bleaching, which is of 1 ppm. However, the content of Cu and Fe of
pulp from every stage of bleaching sequences were much higher than their detrimental limit, i.e.
0.5 ppm and 2 ppm, respectively. Metals content were also found to reduce brightness gain in
ECF bleaching.
Keywords: Acacia mangium, brightness, ECF bleaching, metals, viscosity
Abstrak
Dalam penelitian ini dilakukan pengukuran terhadap kadar logam pulp mangium (Acacia
mangium Wild) hasil setiap tahap pemutihan. Batang mangium berumur 5 tahun dibagi menjadi
tiga bagian, yaitu bagian pangkal, tengah dan ujung. Kayu dibuat serpih dan dimasak
menggunakan proses kraft untuk menghasilkan bilangan kappa 14 + 0.5. Pulp yang diperoleh
kemudian diputihkan dengan metode pemutihan elementary chlorine free (ECF) D0EOD1D2P.
Pengukuran kadar logam pulp dilakukan dengan Inductively Coupled Plasma (ICP) tipe Optical
Emission Spectrometry (EOS) Optima 4300DV. Derajat putih dan viskositas pulp masing-
masing ditentukan mengikuti prosedur standar TAPPI T 525 om-92 dam TAPPI T 230 om-89.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa kadar logam mangium berumur 5 tahun cenderung
meningkat dari bagian pangkal ke bagian ujung batang. Setelah tahap EO, kadar Mn menurun
dibawah batas yang diijinkan (1 ppm) untuk pemutihan tahap P. Tetapi, kadar Cu dan Fe pulp
dari setiap tahap pemutihan jauh melebihi batas yang diijinkan, yaitu masing-masing sebesar 0.5
ppm dan 2 ppm. Kandungan logam juga berdampak pada menurunnya peningkatan derajat putih
pulp.
Kata kunci: Acacia mangium, derajat putih, logam, viskositas, pemutihan ECF
Introduction
An environmentally friendly bleached
pulp production requires the application
of elemental chlorine free (ECF) and
totally chlorine free (TCF) bleaching
methods. The methods have been well
known capable of preventing the
formation of toxic organochlorine
71 Trace Elements Content of Mangium Pulp throughout ECF Bleaching
Stages as Measured by ICP
Nyoman Wistara, Devi Nurmala
compounds from elemental chlorine
based pulp bleaching. Although in ECF
bleaching Cl2 is replaced by a more
environmentally benign ClO2 (Smook
1994), the final objective of pulp
production technology is the application
of the totally effluent free (TEF)
technology. The main prerequisite of
TEF technology is the use of close loop
cycle where the application of TCF
bleaching and counter current washing
methods is unavoidable.
The presence of trace elements such as
metallic component in mill systems will
impede the practice of close loop cycle
system. The trace elements content is
dependent on its intake (from pulp wood,
process water and chemical used in pulp
production), process configuration, and
operating conditions (Nurmesniemi et al.
2005). Many metal ions reduce the
brightness and strength properties of
pulp, mainly when pulp is bleached with
oxygen, ozone and peroxide (Yokohama
et al. 1999). Dahl (1999) reported that
the detrimental limit of Cu2+, Mn2+, and
Fe2+ and Fe3+ in peroxide bleaching were
0.5 ppm, 1 ppm, and 2 ppm, respectively.
Furthermore, metal ions are corrosive
and may damage iron or steel based
equipment (Bryant & Edwards 1996).
Hydrogen peroxide decomposition by Fe,
Cu and Mn proceed through Fenton
reaction. In Fenton reaction, metal ions
continuously alter their oxidation degree
and decompose hydrogen peroxide to
produce hydroxyl radical and other
radicals (Lidén & Ohman (1997).
Hydroxyl radical reacts and
depolymerizes cellulose, thus reducing
the strength properties of pulp (Et al.
2000). In these ways, metal ions also
increase the consumption of bleaching
chemical and decrease the selectivity of
oxygen based bleaching (Ni et al. 1996).
At an excessive concentration, Ca, Mg
and Al are corrosive to bleaching
equipment. Nevertheless, Mg can act as a
stabilizer for hydrogen peroxide;
however, Ca possibly disturbs the
performance of the digester heating
elements and evaporator effects (Bryant
& Edward 1996). Numerous lignin
components such as veratryl alcohol, bis-
eugenol, vanillyl alcohol and catechol
formed complexes with metals (Yoon et
al. 1999). Iron and lignin form colored
complexes that reduce the brightness of
pulp (Sunden et al. 2000). The
appearance of color from lignin-metal
complexes was because of the d-d
interaction (between the d-electron of
metal ion and ligan) or charge transfer
between metal ion and ligan or both
(Gosh & Ni 1998). These authors also
found that the influence of Mn and Al on
pulp brightness is negligible.
Fast growing tree such as mangium
wood (Acacia mangium) is the preferred
pulp wood plantation in Indonesia. It can
be grown in both infertile and fertile
lands. As for other tropical woods
(Fengel & Wegener 1984), the ash
content of mangium is relatively high
and has been reported to reach 0.38-0.46
% with the lowest metal content was
retained by the 5 years old (Wistara &
Yustiana 2014). Ash content is indicative
to the metals content of wood.
From the standpoint of its trace elements
content, mangium wood will possibly be
a challenging raw material for TEF based
pulp production. Various methods have
been developed to eliminate the negative
effects of metallic component in the TEF
pulping process. Chelating agents
applied in acidic media reduced the
metallic component through the
formation of complexes with trace
elements. The most commonly used
chelating agents are ethylene diamine
tetra acetic acid (EDTA) and diethylene
72 J. Ilmu Teknol. Kayu Tropis Vol.13 No.1 Januari 2015
triamine penta acetic acid (DTPA).
DTPMP is another excellent chelating
agent proven capable of effectively
removing Mn, Ba, Mg and Zn (Kujala et
al. 2004). The transition (Fe and Mn) and
scale-inducing (Ba, Ca, Mg and Al)
metals content determine the application
of chelating stages (Bryant & Edwards
1996). Pulp washing at the pH of 1.5-3
capable of reducing metallic ions in a
more environmentally friendly approach
compared to that of using chelating
agents because of acid is recyclable
(Bouchard et al. 1995). Another
environmentally friendly method of
handling metal content in bleaching
processes is by nanofiltration.
Nanofiltration with polyamide
membranes has been reported effectively
filters metal complexes from TCF
bleaching effluent (Lastra et al. 2004).
The present works were intended to
determine the content and distribution of
metal ions in every stage of an ECF
bleaching sequences of the 5 years old
mangium pulp. Prediction of pulp
strength quality was carried out through
the determination of pulp viscosity.
Materials and Methods
Metal content of chips, unbleached and
bleached kraft of the mangium pulp was
measured. Mangium wood of 5 years old
used in the present experiments was
donated by the state own company, PT.
Perhutani BKPH Parung Panjang–
Indonesia. The wood was divided into 3
divisions, i.e. bottom, middle, and upper
division. Each division was chipped and
screened. Chips of the accepted size
distribution were then cooked to a kappa
target of 14+0.5 by kraft pulping process.
Pulping was carried out with L/W of 6/1
with active alkali of 22% and sulphidity
of 30% at maximum temperature of 165 oC for 190 min. The resulting pulp was
washed and screen for 1 hour. Kappa
number, effective alkali and total solid
content were determined based on the
standard procedures of TAPPI 236 cm-
85, Western Lab 4.1.1996 and TAPPI
625 cm-85, respectively. The screened
pulp was then air dried, homogenized
and oxygen delignified. Oxygen
delignification (ODL) stage was carried
out in an alkaline media (pH + 11) at 100 oC for 60 min under 8 bars pressure and
consistency of 10%. The pulp was
bleached with ECF method consisting of
D0(EO)D1D2P sequences proceeding
oxygen delignification. Table 1 indicates
the bleaching conditions and parameters.
Metal content, brightness, and viscosity
of pulp resulted from each bleaching
stage were determined. Pulp brightness
and viscosity were determined following
the standard procedures of TAPPI T 525
om-92 and TAPPI T 230 om-89,
respectively. In metal content
determination, an ashing process of the
sample at 525 oC for 5 hrs was initially
carried out, and 3 drops of HNO3 was
then added and diluted into 250 ml of
volume. The solution was then injected
into Optical Emission Spectrometry
(OES) Optima 4300 DV Inductively
Coupled Plasma. The wave length of
each metal ion radiation was detected
and converted into concentration unit
(mg/l). The concentration in mg/L was
then converted into ppm following the
formulae of:
𝑝𝑝𝑚 =𝑡𝑜𝑡𝑎𝑙 𝑒𝑙𝑒𝑚𝑒𝑛𝑡 (
𝑚𝑔𝐿
) 𝑥250
1000𝑜𝑣𝑒𝑛 𝑑𝑟𝑖𝑒𝑑 𝑤𝑒𝑖𝑔ℎ𝑡 𝑜𝑓 𝑠𝑎𝑚𝑝𝑙𝑒 (𝐾𝑔)
73 Trace Elements Content of Mangium Pulp throughout ECF Bleaching
Stages as Measured by ICP
Nyoman Wistara, Devi Nurmala
Table 1 Parameters and condition of bleaching processes
Parameter Stage
D0 (EO) D1 D2 P
Temperature, oC 65 80 80 80 80
Time, min 60 90 180 180 180
pH 2.5 – 3.5 10.8 – 11 4 – 5 4 – 5 4 -5
Consistency, % 10 10 10 10 10
ClO2, ml 66-67 - 3-7 2-3 -
NaOH, ml - 26-33 - - -
H2O2, ml - - - - 0.12
Brightness, % 65 – 75 78 – 80 89 – 90 90 – 91 >91
Results and Discussion
Ash content
The ash content represents inorganic
substances in wood and pulp. Ash
content of wood is usually not more than
1 % of the oven dried weight of wood
(Chirat & Lanchenal 1997). Table 2
indicates the ash content of wood and
pulp resulted from every bleaching stage
and division of wood.
It can be seen in Table 2 that proceeding
the post oxygen delignification (Post-
ODL), the ash content tends to decrease
with the advancing of bleaching
sequences. It seemed that metal was
washed out in every bleaching stage. Ash
content tended to increase from the
bottom division to the upper division of
the stem. Upper division is dominated by
sapwood that consists of physiologically
active wood cells. These cells require
higher amount of metal ion to carry out
metabolic processes (Sundenet al. 2000).
Greater content of ash in sapwood of red
meranti has been reported (Sukowati
2013). Furthermore, silviculture
treatment on Leucaena leucocephala also
increased the ash content (Al-Mefarrej et
al. 2011) might be because of increasing
the proportion of sapwood. Pulp at the
stage of Pre- and Post-ODL contained
highest amount of metal possibly due to
the higher level of residual lignin content
as indicated by the kappa number of pulp
in Table 3. Metal ions in wood attached
to the functional groups of lignin and
acid of hemicelluloses (Bryant &
Edwards 1996).
Table 2 The ash content (%) of wood and pulp
Stage Division of Wood
Bottom Middle Upper
Wood 0.44 0.47 0.60
Pre - ODL 0.52 0.65 0.61
Post - ODL 0.69 0.70 0.92
D0 0.10 0.42 0.63
EO 0.31 0.33 0.38
D1 0.02 0.02 0.05
D2 0.02 0.02 0.02
P 0.02 0.02 0.02
74 J. Ilmu Teknol. Kayu Tropis Vol.13 No.1 Januari 2015
Table 3 The Kappa Number of Oxygen Delignified Pulp
Stem Division Oxygen Delignification Stage
Pre-ODL Post-ODL EO
Bottom 13.97 7.03 0.84
Middle 14.50 8.23 2.87
Upper 14.50 7.70 0.55
Metal content in wood and pulp
Metal in wood is classified into micro
and macro element dependent on its
content. Macro element content is more
than 100 ppm and that of micro element
is below 100 ppm. The distribution
pattern of macro and micro elements
content of mangium wood of the present
works is shown in Figure 1. The content
of most metal in mangium wood tended
to increase from the bottom to the upper
division of its stem. Upper division of
stem was thought to consist of more
sapwood with its physiologically active
cell. As the component of ash, metal ion
is required more by these physiologically
active cells for their metabolic process
purposes (Sundenet al. 2000). Ca, Na, K
and Mg are classified as macro element,
thus with higher content compared to
these of the micro elements. This finding
agreed to that stated by Sjostrom (1993).
Ca, Na, K, and Mg content (ppm) of the
presently investigated mangium wood
were in the range of 769.42-1015.93,
141.10-310.95, 233.14-720.16, and
104.87-203.32, respectively. Although
Ca is important for the growth of wood,
however at an excessive amount, it is
very corrosive to the digester, bleaching
and evaporator effect equipment (Bryant
& Edwards 1996). Fe was the dominant
micro element in the 5 years old
mangium wood with its content of 26.08-
36.31 ppm. Mn and Cu content were also
found substantial to bring about a
problem in the application of the future
TEF technology based pulp production.
It was not understood why Al noticed
just in the middle part of the wood.
Though Al and B are present in mangium
wood, they are not considered to
influence the bleaching properties of
wood pulp.
Figure 1 Macro and micro elements content of mangium wood based on stem division.
0
200
400
600
800
1000
1200
Ca Na K Mg
pp
m
Macro Elements bottom
middle
upper
0
5
10
15
20
25
30
35
40
Al B Cu Fe Mn Zn
pp
m
Micro Elements bottom
middle
upper
Elements Elements
75 Trace Elements Content of Mangium Pulp throughout ECF Bleaching
Stages as Measured by ICP
Nyoman Wistara, Devi Nurmala
The present results indicated that the
content of Ca and Mg reached 1000 ppm
and 200 ppm, respectively. This result
was on the contrary to those found by
Wistara and Yustiana (2014), in which
the content of Ca of the 5 years old wood
was the lowest and Mg was the highest.
As reported by Mayer and Koch (2007)
for American black cherry wood,
differences in growing site could be the
origin of this variation. Metal content is
influenced by factors such as wood
species, soil type, wood maturity,
cooking chemical and process water.
Figure 2 exhibits the content of Ca, Na,
K, and Mg in wood and an ECF bleached
pulp. The unbleached pulp (Pre-ODL)
contained the highest amount of Ca, and
its content tended to decrease with the
following bleaching stages. An
increasing amount of Ca in the Pre- and
Post-ODL compared to that of wood was
thought due to the used of mill white
liquor in the pulping processes and it was
not totally washed out in the Post-ODL
stage. Mill white liquor contains traces of
Ca from previously recovered cooking
liquor. Increasing amount of Na in the
post-ODL, EO and P bleached pulp was
assumed because of the use of NaOH
(Bryant & Edwards 1996). Oxygen
delignification was carried out in an
alkaline media, in which NaOH was used
to increase the pH of the pulp slurry
being delignified. Mg is a stabilizer of
hydrogen peroxide in oxygen based
bleaching (O, P and Z stages). The
present results indicated that its highest
content was in the pre-ODL and then
kept decreasing afterward.
Pulping decreased the content of Fe and
Mn; however it increased the content of
Cu and Zn as indicated by Figure 3.
Oxygen delignification and subsequent
bleaching stages tended to decrease the
micro elements of pulp. During the
bleaching stages (after Post- ODL), the
highest content of Fe (15.96 ppm), Cu
(5.03 ppm), and Mn (1.67 ppm) was
found in the D1, P and D0 bleached pulp,
respectively. These three metals ion can
decompose hydrogen peroxide through
Fenton reaction to form hydroxyl radical
(Lidén & Ohman 1997). Hydroxyl
radical is very reactive and brings about
the depolimerization of cellulose.
Figure 2 Macro elements content in mangium wood and its D0(EO)D1D2P bleached
pulp.
0
500
1000
1500
2000
2500
Wood Pre -
ODL
Post
ODL
D0 EO D1 D2 P
pp
m
Bleaching stage
Ca
Na
K
Mg
76 J. Ilmu Teknol. Kayu Tropis Vol.13 No.1 Januari 2015
Figure 3 Micro elements content of mangium wood and its D0(EO)D1D2P bleached
pulp.
Dahl (1999) reported that the detrimental
limit of Cu2+, Mn2+, and Fe2+ and Fe3+ to
P bleaching stage was 0.5 ppm, 1 ppm,
and 2 ppm, respectively. The content of
Fe and Cu found in the present works
were much higher than those of the
reported detrimental limit. Furthermore,
Fe, Cu and Mn do not just increase the
consumption of bleaching chemical, but
also reduce the reaction selectivity of
oxygen toward lignin (Niet al. 1996).
The brightness and viscosity of pulp
The efficiency and selectivity of oxygen
based bleaching is strongly influenced by
the presence of transition metals in the
system. Transition metals decrease the
stability of hydrogen peroxide and can
bring about cellulose degradation
(Yokohamaet al. 1999). Figure 4
indicates that a significant increment of
pulp brightness occurred from Post-ODL
treatment to the subsequent bleaching
stages. However, the brightness
increment among D0, EO, D1, D2 and P
stages were not significant. The content
of Fe and Cu sharply decreased after
oxygen delignification of pulp. Fe in
pulp negatively affects pulp brightness
more than that of Cu. Meanwhile the
influence of Mn and Al on brightness is
negligible (Gosh & Ni 1998).
Figure 4 Brightness of unbleached and bleached pulp.
0
5
10
15
20
25
30
35
40
45
Wood Pre -
ODL
Post
ODL
D0 EO D1 D2 P
pp
m
Bleaching stage
Cu
Fe
Mn
Zn
0102030405060708090
100
Pre -
ODL
Post
ODL
D0 EO D1 D2 P
% (
ISO
)
Bleaching stage
77 Trace Elements Content of Mangium Pulp throughout ECF Bleaching
Stages as Measured by ICP
Nyoman Wistara, Devi Nurmala
Figure 5 Pulp viscosity of unbleached and bleached pulp.
Transition metal has been reported also
to reduce strength properties of pulp
(Yokohama et al. 1999). However, in the
present works, pulp viscosity was
measured instead of directly measuring
pulp strength. Viscosity of pulp is
indicative of the depolimerization degree
of cellulose, thus can be related to the
strength of pulp. Strong pulp is generally
made up of pulp with high viscosity
value (Smook 1994). Figure 5 indicates
the viscosity of pulp at selected
bleaching stages of the present works. It
can be seen that pulp viscosity decreased
with the proceeding bleaching stages.
Cellulose degradation is unavoidable
when delignification proceeds in pulping
and bleaching processes.
In peroxide based bleaching, transition
metal can oxidize hydrogen peroxide and
results in radical formation that bring
about cellulose degradation and reduce
pulp strength (Sunden et al. 2000).
Figure 5 indicates that starting from
oxygen delignification, the viscosity of
pulp was sharply decreased. It could be
due to the degradation of lignin
carbohydrate complex and the presence
of high concentration transition metals. It
has been indicated early that the
concentration of harmful metal ion to
hydrogen peroxide bleaching were
beyond the stated detrimental limit.
Conclusions
Metal content of 5 years old Acacia
mangium wood tended to increase from
the bottom division to the upper division
of the stem. The increasing content of Ca
after Pre-ODl and Post-ODL stages was
thought due to the use of mill cooking
liquor during pulping stage. Na increased
in the EO and P stages because of the
used of NaOH to activate oxygen and
peroxide bleaching agents. Subsequent to
the EO bleaching stage, Mn content of
pulp decreased and was found lower than
its detrimental limit of 1 ppm in peroxide
stage. However, the content of Cu and Fe
was higher than its detrimental limit in
every bleaching stage. Metal content
decreased the brightness and viscosity of
pulp in the present ECF bleaching of
pulp.
References
Al-Mefarrej HA, Abdel-Aal MA, Nasser
RA, Shetta ND. 2011. Impact of
initial tree spacing and height level on
chemical compotition of Leucaena
leucocephala trees grown in Riyadh
0
5
10
15
20
25
30
35
40
45
Pre - ODL Post -
ODL
EO D2 PV
isco
sity
, m
Pa.
s
Bleaching Stage
78 J. Ilmu Teknol. Kayu Tropis Vol.13 No.1 Januari 2015
region. World Appl Sci J. 12(7):912-
918.
Bryant PS, Edwards LL. 1996. Cation
Exchange of Metals on Kraft Pulp. J
Pulp Pap Sci. 22(1):37-42.
Bouchard J, Nugent HM, Berry
RM.1995. A Comparison between
Acid Treatment and Chelation Prior to
Hydrogen Peroxide Bleaching of
Kraft Pulps. J Pulp Pap Sci. 21(6):
J203-J208.
Chirat C, Lachenal D. 1997. Systems
closure in the bleach plant. Effect of
the metal ions on the bleaching of
pulp. Proc. the Johan Gullichsen
Colloquium, Espoo, Finland, Pp81-
89.
Dahl O. 1999. Evaporation of Acidic
Effluent from Kraft Pulp Bleaching,
Reuse of the Condensate and Further
Processing of the Concentrate.
[Dissertation]. Oulu Yliopisto:
University of Oulu.
Fengel D, Wegener G. 1984. Wood:
Chemistry, Ultrastructure, Reaction.
Berlin: Walter de Gruyter & Co.
Gosh, A., Ni, Y. 1998. Metal Ion
Complexes and Their Relationship to
Pulp Brightness. J Pulp Pap Sci.
24(1):26-31.
Kujala M, Sillanpaa M, Ramo J. 2004. A
method to leach manganese and some
other metal cations from pulp matrix
to aqueous phase for the subsequent
ICP-AES analysis: a potential tool for
controlling the metal profile in a pulp
bleaching process. J Cleaner Prod.
12:707-712. Doi: 10.1016/S0959-
6526(03)00059-3.
Lastra A, Gómeza D, Romero J,
Francisco JL, Luque S, Álvarez JR.
2004. Removal of metal complexes by
nanofiltration in a TCF pulp mill:
technical and economic feasibility. J
Membr Sci. 242:97–105. Doi:10.1016/
j.memsci.2004.05.012
Lidén J, Öhman LO. 1997. Redox
Stabilization of Iron and Manganese
in the +II Oxidation State by
Magnesium Precipitate and Some
Anionic Polymers. Implication for the
Use of Oxygen-Based Bleaching
Chemical. J Pulp Pap Sci. 23(5):J193-
J199.
Mayer I, Koch G. 2007. Element content
and pH value in American black
cherry (Prunus serotina) with regard
to color changes during heartwood
formation and hot water treatment.
Wood Sci Technol. 41:537-547. Doi:
10.1007/s00226-007-0144-7.
Ni Y, Kang GJ, Van Heiningen ARP.
1996. Are Hydroxyl Radical
Resposible for Degradation of
Cardohydrates during Ozone
Bleaching of Chemical Pulp? J Pulp
Pap Sci. 22(2):J53-J57.
Nurmesniemi H, Poykio R, Peramaki P,
Kuokkanen T. 2005. The use of a
sequential leaching procedure for
heavy metal fractionation in green
liquor dregs from a causticizing
process at a pulp mill. Chemosphere
61: 1475–1484. Doi:10.1016/
j.chemosphere.2005.04.114
Sjostrom, E. 1993. Wood Chemistry:
Fundamentals and Applications.
Second edition. London: Academic
Press, Inc.
Smook GA. 1994. Handbook for Pulp
and Paper Technologists. Second
Edition. Canada: Angus Wilde
Publication, Inc.
Sukowati M. 2013. Pengaruh
Penjarangan dan Pelebaran Jarak
Naungan terhadap Sifat Dasar Kayu
79 Trace Elements Content of Mangium Pulp throughout ECF Bleaching
Stages as Measured by ICP
Nyoman Wistara, Devi Nurmala
Meranti Merah. [Skripsi]. Bogor:
Institut Pertanian Bogor.
Sunden A, Brelid H, Rindby A,
Engström P. 2000. Spatial
Distribution and Modes of Chemical
Attachment of Metal Ion in Spruce
Wood. J Pulp Pap Sci. 26(10):352-
357.
Wistara NJ, Yustiana E. 2014. Trace
Elements Measurement of Mangium
Wood (Acacia mangium) by AAS. J
Ilmu Teknol Kayu Tropis. 12(1):1-10.
Yokohama T, Matsumoto Y, Meshitsuka
G. 1999. The Role of Peroxide
Species in Carbohydrate Degradation
during Oxygen Bleaching. Part III:
Effect of Metal Ions on the Reaction
Selectivity between Lignin and
Carbohydrate Model Compounds. J
Pulp Pap Sci. 25(2):42-46.
Yoon BH, Wang LJ, Kim GS. 1999.
Formation of Lignin-Metal
Complexes by Photo-Irradiation and
Their Effect on Color Reversion of
TMP. J Pulp Pap Sci. 25(8):289-293.
Riwayat naskah:
Naskah masuk (received): 15 Oktober 2014
Diterima (accepted): 10 Desember 2014
80 J. Ilmu Teknol. Kayu Tropis Vol.13 No.1 Januari 2015
Pemanfaatan Kulit Buah Durian sebagai Stimulan Penyalaan Briket
Batubara
(The Application of Durian Rind as a Burning Stimulant of Coal
Briquettes)
Sanjaya
Program Studi Pendidikan Kimia Jurusan PMIPA FKIP Universitas Sriwijaya
Jl. Palembang-Prabumulih, Inderalaya, Ogan Ilir, Sumatera Selatan
Penulis korespondensi: [email protected]
Abstract
Durian (Durio zibethinus) originally was wild plants from forests of Malaysia, Sumatera, and
Borneo. Durian trees cultivated Indonesian society is primarily not for timber, but to produce
fruit. At the season of durian, durian rind becomes waste. A tropical plant product which is
unfortunate if the durian rind that contains a lot of fiber disposed of as trash, as long as this
happens. Has conducted research utilization fiber of durian rind in the field of coal energy.
Durian rind fibers can act as a stimulant ignition of coal. Durian rind fibers in various positions
with coal and other material added form a briquettes. The position of the fibers has been
investigated: briquettes with fiber outer position (1), lower (2), the side (3), the top-down (4),
and two quarters (5). Briquettes with durian serat kulit different positions have different speeds
and long flame.
Keywords: fibre, durian rind, coal ignition, flame speed, long burning
Abstrak
Tanaman durian (Durio zibethinus) semula berupa tanaman liar yang berasal dari hutan
Malaysia, Sumatera, dan Kalimantan. Pohon durian dibudidayakan masyarakat Indonesia pada
dasarnya bukan untuk diambil kayunya, melainkan untuk menghasilkan buah. Pada saat musim
buah durian, kulit durian menjadi limbah. Suatu produk tanaman tropis yang sangat disayangkan
jika kulit durian yang banyak mengandung serat dibuang sebagai limbah, seperti selama ini
terjadi. Telah dilakukan penelitian pemanfaatan serat kulit durian dalam bidang energi batubara.
Serat kulit durian dapat berperan sebagai stimulan penyalaan batubara. Serat kulit durian
bersama batubara dan bahan imbuh lain dicetak dalam bentuk briket pada berbagai posisi. Posisi
serat yang telah diteliti: briket dengan posisi serat sebelah luar (1), sebelah bawah (2), sebelah
samping (3), atas-bawah (4), dan dua perempat (5). Briket dengan posisi serat kulit durian yang
berbeda memiliki perbedaan kecepatan nyala dan lama menyala.
Kata kunci : kecepatan nyala, kulit durian, lama menyala, penyalaan batubara, serat.
Pendahuluan
Salah satu tanaman kayu tropis adalah
pohon durian (Durio zibethinus).
Tanaman durian semula berupa tanaman
liar yang berasal dari hutan Malaysia,
Sumatera, dan Kalimantan. Sekarang
durian banyak tumbuh di seluruh wilayah
Indonesia, dari provinsi Aceh hingga
Papua, sehingga durian memiliki banyak
nama, dan banyak spesies. Tiga
kabupaten yang memiliki jumlah pohon
durian terbanyak di provinsi Sumatera
Selatan pada tahun 2014 yaitu:
Kabupaten Lahat (57.117 pohon),
Kabupaten Empat Lawang (55.168
pohon), dan Kabupaten Muara Enim
(52.945 pohon) (Rohim 2014). Durian
81 Pemanfaatan Kulit Buah Durian sebagai Stimulan Penyalaan Briket Batubara
Sanjaya
tumbuh dengan baik di daerah bersuhu
antara 20-30 C (Prihatman 2000). Kayu
durian memiliki struktur batang yang
baik, karena pohon durian dapat tumbuh
dengan tinggi mencapai 25-50 m,
(Wikipedia 2014). Masyarakat Indonesia
banyak menggunakan kayu durian untuk
keperluan bahan bangunan, meskipun
kayu durian termasuk kelas awet empat
(kurang awet) (Duljapar 1996).
Pohon durian dibudidayakan masyarakat
Indonesia pada dasarnya bukan untuk
diambil kayunya, melainkan untuk
menghasilkan buah. Pohon durian
menghasilkan buah setiap tahun sekali.
Buah durian muncul dari ranting, dahan,
bahkan pokok pohon durian itu sendiri.
Pada saat berbuah, setiap pohon durian
menghasilkan buah yang sangat banyak,
bisa mencapai 300 butir. Apabila pohon
durian yang ada di Indonesia
diasumsikan terdapat 2 juta pohon, maka
akan terdapat 600 juta buah durian.
Dengan demikian pada saat musim buah
durian, juga akan dihasilkan kulit durian
sebagai limbah. Di tempat pembuangan
limbah kulit durian akan menjadi
dominan.
Kulit durian mengandung serat, suatu
bahan berlignoselulosa bukan kayu
dalam jumlah yang besar. Perbandingan
berat kulit durian basah dengan berat
buah durian basah adalah sebesar
57,4165% (Sanjaya 2012). Kulit durian
basah terdiri atas tepung, serat dan
sebagian besar air. Persentase berat serat
terhadap kulit durian basah adalah
sebesar 11,8524 %. Persentase berat
serat dibandingkan dengan berat durian
adalah 6, 8052%. Jika dalam setiap
musim durian dihasilkan 600 juta buah,
dengan rata-rata berat 2,5 kg, maka serat
yang dihasilkan sebanyak 6, 8052 /100 x
2,5 kg per buah x 600.000.000 buah =
102.078.000 kg atau 102.078 ton. Suatu
produk kayu tanaman tropis yang sangat
disayangkan jika dibuang sebagai
limbah, seperti selama ini terjadi.
Serat kulit durian dapat dimanfaatkan
untuk bermacam keperluan. Sanjaya
(2012) mencoba memanfaatkan serat
kulit durian sebagai bahan baku media
grafis. Selanjutnya, pemanfaatan serat
kulit durian menjadi stimulan penyalaan
pada briket batubara telah dilakukan oleh
Penulis sejak 2012 (Sanjaya 2014).
Pemanfaatan serat kulit durian di bidang
energi ini dilatarbelakangi oleh adanya
skim penelitian Unggulan Perguruan
Tinggi Universitas Sriwijaya yang
berupaya menggalakkan penggunaan
batubara sebagai bahan bakar rumah
tangga atau industri kecil.
Batubara adalah bahan bakar yang
murah, dengan kelimpahan yang sangat
tinggi di sumatera selatan. Cadangan
batubara di Sumatera Selatan
diperkirakan sebanyak 22,24 miliar ton
atau 48,48% cadangan nasional (Alam
2014). Cadangan batubara tersebar di
hampir seluruh daerah tingkat II dalam
provinsi Sumatera Selatan. Dengan
kelimpahan yang sangat banyak tersebut
akan sangat wajar masyarakat di provinsi
Sumatera Selatan menggunakan
Batubara sebagai bahan bakar di rumah
tangga atau industri kecil, bahkan
mungkin industri besarnya. Namun
masyarakat kurang berminat
menggunakan batubara, karena batubara
memiliki kekurangan dibanding bahan
bakar gas dan minyak bumi. Salah satu
kekurangan batubara adalah lambat
menyala. Sebelum dibakar, menurut
Peraturan Menteri ESDM No. 047 Tahun
2006, batubara harus direndam dalam
minyak tanah, spiritus, alkohol, atau
bahan lainnya. Dengan demikian, agar
minat masyarakat menggunakan batubara
meningkat, kekurangan batubara harus
dihilangkan, yaitu harus cepat menyala.
82 J. Ilmu Teknol. Kayu Tropis Vol.13 No.1 Januari 2015
Serat kulit durian dapat digunakan untuk
mempercepat penyalaan, karena serat
kulit durian lebih cepat menyala dari
batubara. Serat kulit durian dan batubara
dicetak membentuk briket. Ketika briket
tersebut dibakar, maka mula mula Serat
kulit durian terbakar. Serat kulit durian
yang telah terbakar tersebut memicu
batubara untuk ikut menyala. Meskipun
serat kulit durian dapat mempercepat
penyalaan batubara, serat kulit durian
memiliki nilai kalor yang lebih rendah
dari batubara.
Nilai kalor adalah ukuran besar energi
yang dihasilkan jika suatu bahan
terbakar. Dengan demikian jika briket
terdiri dari batubara dan serat kulit
durian dibandingkan dengan briket yang
hanya dibuat dari batubara saja, maka
kalor yang dihasilkan briket batubara-
serat kulit durian lebih rendah dari kalor
yang dihasilkan oleh briket batubara.
Bahan bakar yang baik adalah bahan
bakar yang memiliki nilai kalor yang
tinggi. Dengan komposisi tertentu antara
batubara dan serat kulit durian, akan
didapatkan briket yang cepat menyala
dengan nilai kalor yang masih cukup
tinggi.
Bahan dan Metode
Penelitian pemanfaatan kulit buah durian
sebagai stimulan penyalaan briket
batubara menggunakan bahan bahan
sebagai berikut: kulit buah durian,
batubara, kapur, tanah liat, tapioka.
Metode penelitian yang telah dilakukan
sebagai berikut: (1) isolasi serat kulit
durian dari kulit buah durian, (2)
menguraikan dan menghaluskan serat-
serat, (3) pencetakan briket dengan
variasi persen berat serat kulit durian dan
variasi posisi serat dalam briket, (4) uji
kecepatan nyala, dan (5) penentuan lama
briket menyala.
Isolasi serat kulit durian dari kulit buah
durian dilakukan dengan merendam kulit
buah durian dalam air selama beberapa
hari. Setelah lunak, kulit buah durian
diperas sampai terpisah serat dari tepung.
Untuk menguraikan dan menghaluskan
serat dilakukan menggunakan
pencampur. Pencetakan briket dilakukan
dengan menggunakan cetakan stainless
steel berbentuk silinder diameter 4 cm
dengan tekanan 2 ton. Variasi persen
berat serat kulit durian antara 16,5
hingga 18,5 g dalam 100 g batubara.
Variasi posisi serat meliputi posisi di
bagian bawah, tengah, atas bawah, dan
bagian luar dari briket. Uji kecepatan
nyala dan penentuan lama briket
dilakukan dengan cara menempatkan
briket yang diteliti di atas briket lain
yang tengah menyala, dihitung waktu
yang diperlukan briket yang diteliti untuk
mulai menyala, dan dilanjutkan dihitung
waktu yang diperlukan sehingga habis
menyala.
Hasil dan Pembahasan
Hasil isolasi serat kulit durian dari kulit
buah durian ditunjukkan pada Gambar 1.
Gambar 1 menunjukkan serat kulit
durian tersebar di seluruh bagian kulit.
Di bagian tengah paling sedikit, di
bagian kulit lebih rapat, dan yang paling
rapat serat pada bagian duri.
Kulit durian yang seratnya telah diisolasi
di masukkan ke dalam pencampur untuk
menguraikan dan menghaluskan serat-
serat. Serat kulit durian hasil penguraian
dan penghalusan ditunjukkan pada
Gambar 2. Serat kulit durian yang telah
dihaluskan selanjutnya dengan variasi
berat tertentu dicampur dengan batubara
untuk membuat briket. Variasi berat
yang telah diteliti ditunjukkan pada
Tabel 1.
83 Pemanfaatan Kulit Buah Durian sebagai Stimulan Penyalaan Briket Batubara
Sanjaya
Selain variasi berat serat kulit durian,
juga dilakukan variasi posisi serat kulit
durian di dalam briket, meliputi posisi
sebelah bawah, luar, samping, atas-
bawah, dan dua perempat. Variasi posisi
serat kulit durian tersebut ditunjukkan
dalam Gambar 3 sampai Gambar 7.
(a) (b)
Gambar 1 Kulit durian sebelum isolasi (a) dan kulit durian setelah isolasi (b).
Gambar 2 Serat kulit durian yang telah diuraikan dan dihaluskan menggunakan
pencampur.
Tabel 1 Variasi berat serat kulit durian, batubara, dan bahan imbuh lain
Varian Serat kulit
durian (g)
Batubara
(g)
Tapioka
(g)
Kapur
(g)
Tanah liat
(g)
1 16,5 100 7 1 1
2 17 100 7 1 1
3 17,5 100 7 1 1
4 18 100 7 1 1
5 18,5 100 7 1 1
84 J. Ilmu Teknol. Kayu Tropis Vol.13 No.1 Januari 2015
1 2 3 4 5
Gambar 3 Briket bio-batubara serat kulit durian sebelah bawah, varian 1 sampai varian
5.
1 2 3 4 5
Gambar 4 Briket bio-batubara serat kulit durian sebelah luar, varian 1 sampai varian 5.
1 2 3 4 5
Gambar 5 Briket bio-batubara serat kulit durian sebelah samping, varian 1 sampai 5.
1 2 3 4 5
Gambar 6 Briket bio-batubara serat kulit durian sebelah bawah dan atas, varian 1 sampai
5.
1 2 3 4 5
Gambar 7 Briket bio-batubara serat kulit durian duaperempat, varian 1 sampai 5.
Berdasarkan Gambar 3 sampai Gambar
7, membandingkan bentuk briket,
diurutkan dari bentuk paling silindrik ke
paling berubah dari bentuk silinder,
terlihat bahwa bentuk briket yang baik
adalah bentuk briket bio-batubara serat
kulit durian sebelah luar (Gambar 4),
briket bio-batubara serat kulit durian
85 Pemanfaatan Kulit Buah Durian sebagai Stimulan Penyalaan Briket Batubara
Sanjaya
duaperempat (Gambar 7), briket bio-
batubara serat kulit durian sebelah bawah
dan atas (Gambar 6), briket bio-batubara
serat kulit durian sebelah bawah
(Gambar 3), dan briket bio-batubara serat
kulit durian sebelah samping (Gambar
5). Briket bio-batubara serat kulit durian
sebelah luar memiliki bentuk paling
silindrik disebabkan bahwa serat kulit
durian tersebar merata di seluruh
permukaan briket dengan ketebalan yang
minimal dibanding dengan briket yang
lain. Hal ini disebabkan sifat serat kulit
durian yang mengembang kembali
setelah mengalami penekanan dalam
pencetakan briket. Ketebalan serat yang
minimal dan merata dalam briket
menyebabkan pengembangan yang
minimal dan merata pada briket. Briket
dengan serat kulit durian sebelah bawah
(Gambar 3) dan briket dengan serat kulit
durian sebelah samping (Gambar 5)
terlihat mengalami pengembangan yang
besar, briket yang dihasilkan mudah
belah/pecah, sehingga menyulitkan
dalam penyimpanan.
Uji kecepatan nyala briket dilakukan
dengan meletakkan briket yang diuji di
atas tiga buah briket yang sedang
menyala. Waktu yang diperlukan
sehingga briket bagian serat menyala
dinyatakan sebagai kecepatan nyala.
Kecepatan nyala briket ditunjukkan
dalam Tabel 2 berikut. Penentuan lama
briket menyala ditentukan dengan
menghitung waktu yang diperlukan satu
briket untuk habis terbakar, terhitung
briket tersebut di letakkan di atas tiga
briket yang sedang menyala. Lama briket
menyala juga ditunjukkan pada Tabel 2
berikut.
Berdasarkan data kecepatan nyala pada
Tabel 2, terbukti bahwa serat kulit durian
mempercepat penyalaan briket. Data di
atas menunjukkan bahwa paling lama
157 detik (kurang dari 3 menit) briket
telah mulai menyala. Mula-mula briket
menyala pada bagian serat kulit durian.
Hal ini sesuai dengan fakta bahwa serat
kulit durian memiliki titik nyala yang
lebih rendah dari batubara. Bagian serat
yang telah menyala selanjutnya memicu
bagian batubara untuk juga menyala.
Membandingkan kecepatan nyala briket
terhadap posisi serat dalam briket,
diketahui bahwa posisi serat sebelah
bawah dan sebelah luar menyebabkan
briket lebih cepat terbakar. Briket
berikutnya adalah briket dengan posisi
serat kulit durian dua perempat, dan atas
bawah; yang paling lambat adalah briket
posisi sebelah samping. Perbedaan
kecepatan nyala ini disebabkan kerapatan
serat kulit durian dalam briket. Pada saat
pencetakan briket, diterapkan tekanan
sebesar 2 ton. Setelah pencetakan,
selama pengeringan, briket mengalami
pengembangan. Pengembangan briket
pada bagian serat kulit durian lebih besar
daripada pengembangan pada bagian
batubara. Pengembangan ini mengurangi
kerapatan serat dan menghasilkan
rongga. Hal inilah yang menjadi
penyebab mengapa briket dengan posisi
serat kulit durian sebelah bawah, dan
briket sebelah luar lebih cepat menyala.
Tabel 2 Kecepatan nyala dan lama menyala briket bio batubara serat kulit durian
Uji nyala
Posisi serat kulit durian sebelah
bawah
(detik)
sebelah luar
(detik)
sebelah
samping
(detik)
atas-bawah
(detik)
dua
perempat
(detik)
Kecepatan nyala 122 124 157 141 138
Lama menyala 15048 14928 15122 16850 13993
86 J. Ilmu Teknol. Kayu Tropis Vol.13 No.1 Januari 2015
Berdasarkan Tabel 2 di atas ternyata
briket dengan posisi serat kulit durian
yang berbeda memiliki perbedaan lama
menyala. Briket yang paling lama
menyala adalah briket dengan posisi
serat kulit durian atas bawah, yaitu
16850 detik (4 jam 40 menit 50 detik),
diikuti briket dengan posisi serat kulit
durian sebelah samping, sebelah bawah
dan sebelah luar. Briket yang paling
cepat adalah briket dengan posisi serat
kulit durian dua perempat yaitu 13993
detik (3 jam 53 menit 13 detik).
Perbedaan lama menyala ini disebabkan
karena pengaruh tekanan terhadap
kerapatan batubara dan serat kulit durian
dalam briket. Seperti ditunjukkan dalam
Gambar 6, briket dengan posisi serat
kulit durian atas bawah, akibat tekanan
menghasilkan briket dengan kerapatan
batubara dan kepadatan serat yang lebih
tinggi dari briket posisi lain. Dengan
kepadatan yang lebih tinggi,
mengakibatkan proses pembakaran briket
menjadi lebih lama habisnya. Briket
dengan posisi serat sebelah samping,
pada saat pencetakan menghasilkan
kerapatan yang tinggi; namun setelah itu
pada saat pengeringan briket, serat kulit
durian mengalami pengembangan yang
maksimal. Akibatnya briket dengan
posisi serat kulit durian sebelah samping
bentuknya tidak silinder, mengembung di
bagian serat kulit durian.Pada saat
pembakaran mengakibatkan bagian serat
kulit durian lebih cepat habis
terbakar/menyala.Demikian pula dengan
briket posisi serat kulit durian sebelah
bawah dan luar.
Briket dengan posisi serat kulit durian
dua perempat paling cepat habis
menyala, yaitu 13993 detik (3 jam 53
menit 13 detik). Hal ini juga dapat
dijelaskan akibat proses pencetakan.
Pada saat pencetakan briket, serat kulit
durian masuk ke dalam batubara.
Akibatnya batubara memiliki kerapatan
yang lebih rendah dari pada jika hanya
terdiri batubara saja, seperti briket
lainnya. Dengan kerapatan yang lebih
rendah maka briket menjadi lebih cepat
habis menyala.
Kesimpulan
Telah berhasil dibuat briket bio-batubara
dengan serat kulit durian sebagai
stimulan penyalaan dengan ukuran briket
adalah berbentuk silinder diameter 4 cm,
komposisi 16,5 hingga 18,5 g serat kulit
durian yang telah dihaluskan setiap 100 g
batubara, dengan komposisi serat kulit
durian sebelah bawah, luar, samping,
atas-bawah, dan dua perempat. Posisi
serat kulit durian dalam briket memberi
variasi kecepatan nyala dan lama
menyala.
Ucapan Terima Kasih
Terima kasih disampaikan kepada Rektor
Universitas Sriwijaya, dan Dekan FKIP
Unsri, kepala Lembaga Penelitian
Universitas Sriwijaya, yang telah
memfasilitasi penelitian ini. Terima kasih
juga disampaikan kepada Pimpinan
Direktorat Jenderal Perguruan Tinggi
Kemendikbud yang telah menyetujui dan
mendukung dana penelitian ini.
Daftar Pustaka
Alam AT. 2014. Gubernur Sumsel -
Pelindo MOU pengangkutan
Batubara. http://ekbis.sindonews.com
read 876755/34 [23 Januari 2015].
Duljapar K. 1996. Pengawetan Kayu.
Jakarta: Penebar Swadaya.
Menteri ESDM. 2006. Peraturan Menteri
ESDM No 047 tahun 2006 tentang
Pedoman Keselamatan Pengoperasian
Kompor dengan Bahan Bakar Briket
87 Pemanfaatan Kulit Buah Durian sebagai Stimulan Penyalaan Briket Batubara
Sanjaya
Batubara dan Kompor dengan Bahan
Bakar Padat Berbasis Batubara.
http://prokum.esdm.go.id/ permen/
2006/permen-esdm-47-2006.pdf (26
Januari 2015)
Prihatman K. 2000. Tentang Budidaya
Pertanian Durian. Jakarta: Kantor
Deputi Menegristek Bidang
Pendayagunaan dan Pemasyarakatan
Ilmu Pengetahuan dan Teknologi.
Rohim AM. 2014. Analisis Jumlah
Pohon Durian dengan Analisis Spasial
dari 15 Kabupaten/kota di Provinsi
Sumatera Selatan. http://arcgiskita.
blogspot.com/2014/08/ analisis-
jumlah-pohon-durian-dengan.html
[26 Januari 2015]
Sanjaya. 2012. Pemanfaatan kulit durian
sebagai bahan baku pembuatan media
grafis dalam pembelajaran kimia di
SMA. Dalam : Sinaga B dkk, editor.
Prosiding SEMIRATA BKS PTN
MIPA 2012, Medan, 11-12 Mei 2012.
Medan: Fakultas MIPA UNIMED.
Hal 22-26.
Sanjaya. 2013. Pembuatan Briket Bio-
Batubara Sumatera Selatan dengan
serat Kulit Durian sebagai Stimulan
Penyalaan. [Laporan Penelitian].
Palembang: Lembaga Penelitian
Universitas Sriwijaya
Sanjaya. 2014. Development of teaching
materials of basic chemistry course in
subject thermochemical with topics
bio-coal briket from South Sumatera.
In: Hartono, Editor. Proceedings The
1st Sriwijaya University Learning and
Education International Conference
(SULE-IS) 2014; Palembang, 16 – 18
May 2014. Palembang: Faculty of
Training and Education Sriwijaya
University. Pp 607 – 614.
Wikipedia. 2014. Durian. http://id.
wikipedia.org. [14 januari 2015].
Riwayat naskah:
Naskah masuk (received): 25 Oktober 2014
Diterima (accepted): 15 Desember 2014
88 J. Ilmu Teknol. Kayu Tropis Vol. 13 No. 1 Januari 2015
Aktivitas Antioksidan dan Inhibitor Tirosinase Ekstrak Metanol
Mangium (Acacia mangium)
(Antioxidant and Tyrosinase Inhibitor Activities of Methanol
Extracts of Acacia mangium)
Rita K Sari1,2*, Rahmi Utami1, Irmanida Batubara2,3, Anne Carolina1, Salina Febriany2
1) Departemen Hasil Hutan Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor, Kampus
Dramaga, Bogor 16680 2)
Pusat Studi Biofarmaka IPB, Jl. Taman Kencana No 03, Bogor 16151 3)
Departemen Kimia, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian
Bogor, Kampus Dramaga, Bogor 16680
*Penulis korespondensi: [email protected]
Abstract
Active compounds utilization of its extractives for cosmetic products increase the value added of
mangium tree. The purpose of this study was to determine the antioxidant and an inhibitor
tirosinase activities of methanol extract of the various parts of mangium tree. Phytochemical
properties of the best extract were also anlayzed. Extraction was conducted by soxhletation in
methanol for 12 hours. The antioxidant and tyrosinase inhibitory activities of the extracts were
tested in vitro to radical of 1,1-diphenyl-2-picrylhydrazyl (DPPH) scavenging and inhibition to
tyrosinase enzyme. The results showed that leave resulted in the highest methanol ectract
followed succesively by bark, heartwood, and sapwood the value of 10.7; 4.4; 2.5; and 0.9%,
respectively. The highest antioxidant activity was bark extract and followed by leave,
heartwood, and sapwood extracts with EC50 values respectively of 8.3; 26.7; 66.9; and 137.9
ppm. Only bark extract which classified as an active tyrosinase inhibitor with IC50 value of 257.8
ppm in the difenolase reaction. The IC50 value of the positive control (kojic acid) was 116.7
ppm. The other extracts relatively inactive as a tyrosinase inhibitor because their IC50 values >
1000 ppm. The qualitative analysis detect the methanol extract of mangium bark as the best
extract containing phenolic compounds (phenol hirokinon, flavonoids, and tannins) and alkaloids
which were thought to contribute to the high antioxidant and tyrosinase inhibitor activities.
Keywords: Acacia mangium, antioxidant, extracts, tyrosinase inhibitor
Abstract
Peningkatan nilai tambah limbah mangium dapat dilakukan dengan memanfaatkan zat ekstraktif
berbagai bagian pohonnya sebagai senyawa aktif produk kosmetika. Tujuan penelitian ini
adalah menetapkan rendemen ekstrak metanol berbagai bagian pohon mangium, menguji
aktivitas antioksidan serta ainhibitor tirosinasenya, serta menganalisis fitokimia secara kualitatif
komponen kimia ekstrak teraktif. Ekstraksi dilakukan secara sokletasi dalam metanol selama 12
jam. Ekstrak yang dihasilkan diuji aktivitas antioksidan dan inhibitor tirosinase secara invitro
menggunakan metode peredaman radikal bebas 1,1-difenil-2-pikrilhidrazil (DPPH) dan
penghambatan enzim tirosinase dengan reaksi monofenolase dan difenolase. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa rendemen ekstrak tertinggi diperoleh dari bagian daun tertinggi diikuti
oleh kulit, kayu teras, dan gubal dengan nilai berturut-turut 10,7; 4,4; 2,5; dan 0,9%. Aktivitas
antioksidan tertinggi adalah ekstrak kulit dan diikuti daun, kayu teras, dan kayu gubal dengan
nilai EC50 berturut-turut 8,3; 26,7; 66,9; dan 137,9 ppm. Hanya ekstrak kulit yang tergolong
aktif sebagai inhibitor tirosinase dengan nilai IC50 257,8 ppm dengan nilai IC50 kontrol positif
89 Aktivitas Antioksidan dan Inhibitor Tirosinase Ekstrak Metanol
Mangium (Acacia mangium)
Rita K Sari, Rahmi Utami, Irmanida Batubara, Anne Carolina
(asam kojat) 116,7 ppm pada reaksi difenolase. Ekstrak lainnya tergolong tidak aktif sebagai
inhibitor tirosinase karena nilai IC50 > 1000 ppm. Estrak metanol kulit mangium sebagai
ekstrak teraktif positif kuat mengandung senyawa fenolik (fenol hirokinon, flavonoid, dan tanin)
serta alkaloid.
Kata kunci: antioksidan, ekstrak, inhibitor tirosinase, mangium
Pendahuluan
Mangium (Acacia mangium Willd.)
merupakan salah satu jenis pohon
primadona dalam pembangunan Hutan
Tanaman Industri (HTI) di Indonesia.
Dari 3,5 juta Ha HTI, terdapat sekitar
1,6 juta Ha tegakan mangium yang
ditujukan sebagai bahan baku industri
perkayuan di Indonesia yang
memproduksi 13 juta ton pulp dan kertas
serta 5 juta m3 panel kayu setiap
tahunnya (Mohammed et al. 2012).
Akan tetapi, pemanfaatan hasil hutan di
Indonesia masih tergolong rendah
karena sebagian besarnya merupakan
limbah. Limbah pemanenan berupa daun,
kulit, ranting, dan kayu kurang lebih
50% serta limbah industri berupa
potongan kayu sekitar 25% (Syafii
2008). Muhdi et al. (2010) melaporkan
bahwa limbah pemanenan berupa kayu di
hutan tanaman rata-rata mencapai
sebesar 37,29 m3/Ha. Peningkatan nilai
tambah hasil hutan melalui pemanfaatan
seluruh bagian pohon dan komponen
kimianya perlu dikembangkan. Salah
satunya adalah pemanfaatan zat
ekstraktifnya sebagai senyawa aktif
dalam produk kosmetik pemutih dan
antipenuaan kulit.
Pasar produk kosmetik antipenuaan dini
dan pemutih kulit di Indonesia sangat
potensial. Hal ini disebabkan oleh
kondisi Indonesia yang terletak di
daerah tropis yang menyebabkan kulit
masyarakatnya mudah mengalami
penuaan dini dan kecokelatan. Paparan
sinar UV dari matahari di daerah tropis
menjadi sumber radikal bebas penyebab
penuaan kulit (Ardhi 2011) dan
meningkatkan aktivitas enzim tirosinase
pensintesa pigmen melanin sehingga
warna kulit menjadi semakin kecoklatan
(Batubara dan Adfa 2013). Namun,
produk kosmetik tersebut sebagian besar
mengandung bahan kimia sintetik yang
berbahaya. Butil hidroksi anisol dan
butil hidroksi toluen sebagai antioksidan
sintetis pencegah penuaan kulit bersifat
karsinogenik (Ariyani et al. 2008).
Senyawa pemutih kulit seperti asam
kojat dan hidrokuinon bersifat
karsinogenik dan menyebabkan iritasi
kulit, kulit memerah, panas, dan gatal
(Miyazawa et al. 2006, Al-Ash’ary et al.
2010). Untuk itu, produk kosmetik
berbahan aktif alami yang efektif serta
aman digunakan perlu dikembangkan.
Beberapa penelitian membuktikan bahwa
zat ekstraktif tumbuhan berpotensi
sebagai senyawa aktif antioksidan dan
inhibitor enzim tirosinase. Senyawa
antioksidan alami dari golongan fenolik
tumbuhan mampu menghambat penuaan
dini kulit (Stallings & Lupo 2009).
Senyawa fenolik dalam bakau (Rhizho-
pora apiculata) dan nyiri (Xylocarpus
granatum) dan Artocarpanone dalam
nangka (Arthocarpus heterophyllus)
bersifat sebagai inhibitor enzim
tirosinase (Arung et al. 2006, Rahayu
2012, Darusman et al. 2011). Kulit
mangium asal Cina sangat tinggi
mengandung senyawa fenolik dan
terbukti bersifat antioksidan (Zhang et al.
2011). Kayu teras mangium asal
Australia juga mengandung senyawa
antioksidan (Mihara et al. 2005).
Penelusuran pustaka menunjukkan
penelitian potensi zat ekstraktif dalam
90 J. Ilmu Teknol. Kayu Tropis Vol. 13 No. 1 Januari 2015
mangium sebagai inhibitor tirosinase
belum ada. Penelitian potensi antioksidan
berbagai bagian pohon mangium asal
Indonesia juga belum banyak dilakukan.
Untuk itu, tujuan dari penelitian ini
adalah menetapkan rendemen ekstrak
metanol hasil ekstraksi daun, kulit, kayu
teras dan gubal mangium, menguji
aktivitas antioksidan serta inhibitor
tirosinase ekstraknya, serta menganalisis
fitokimia secara kualitatif komponen
kimia ekstrak teraktif.
Bahan dan Metode
Penyiapan bahan
Bahan baku yang digunakan adalah
bagian daun, kulit, kayu teras, dan kayu
gubal mangium yang diperoleh dari
hutan rakyat di Kabupaten Bogor, Jawa
Barat. Bahan-bahan tersebut
dikeringudarakan, digiling dengan willey
mill, dan disaring hingga diperoleh
serbuk yang berukuran 40-60 mesh.
Ekstraksi
Sebanyak 25-30 g sampel yang telah
diketahui kadar airnya masing-masing
diekstraksi dengan metode sokletasi
dalam 400 ml metanol selama ± 12 jam.
Setelah itu, filtrat yang diperoleh
dipekatkan dengan rotary vacuum
evaporator hingga volumenya menjadi
100 ml. Sebanyak 10 ml filtrat
dikeringkan dalam oven pada suhu
103±2 oC selama 24 jam hingga
bobotnya konstan untuk menetapkan
rendemen ekstraksi. Sisa filtrat sebanyak
90 ml dikeringkan dalam oven pada suhu
40 oC untuk pengujian aktivitas
antioksidan dan inhibitor tirosinase, serta
analisis kimianya.
Uji aktivitas antioksidan
Aktivitas antioksidan ekstrak diuji secara
in vitro untuk meredam radikal bebas 1,1-
difenil-2-pikrilhidrazil (DPPH). Metode
uji mengacu pada Sari et al. (2011).
Aktivitas antioksidan diketahui dari nilai
EC50, yaitu konsentrasi efektif senyawa
yang mampu meredam 50% radikal bebas.
Uji aktivitas inhibitor tirosinase
Aktivitas inhibitor tirosinase diuji secara
in vitro dengan mengacu pada Batubara
et al. (2010). Larutan ekstrak induk
dengan konsentrasi 20 mg ml-1 dibuat
dari 2 mg ekstrak padat yang dilarutkan
dalam 0,1 ml dimetil sulfoksida
(DMSO). Konsentrasi ekstrak yang
digunakan adalah 31,25-2000 µg ml-1
dengan pengenceran larutan induk dalam
buffer natrium fosfat (50 mM dan pH
6,5). Kontrol positif dalam penelitian ini
adalah asam kojat yang diuji pada
konsentrasi 7,82-500 µg ml-1.
Ekstrak dari berbagai konsentrasi
sebanyak 70 µl dimasukkan ke dalam
tiap lubang sumur dalam microplate dan
ditambahkan dengan 30 µl enzim
tirosinase yang berasal dari jamur
(Sigma, 333 µl ml-1). Pengujian
dilakukan dengan tiga kali ulangan.
Setelah itu, plate disimpan di dalam
ruangan inkubasi yang bertemperatur (37 oC) selama 5 menit. Selanjutnya, substrat
(2 mM L-tirosin dan 12 mM L-3,4-
dihydroxyphenylalanine (L-DOPA))
sebanyak 110 µl ditambahkan ke dalam
tiap-tiap lubang sumur. Plate tersebut
kemudian disimpan dalam ruang
inkubasi selama 30 menit.
Nilai absorbansi dari tiap sumur
kemudian ditentukan menggunakan
multi-well reader pada panjang
gelombang 492 nm. Selanjutnya,
konsentrasi dari masing-masing ekstrak
yang dapat menghambat setengah dari
aktivitas tirosinase tersebut ditentukan
dengan cara membandingkan absorbansi
sampel tanpa penambahan ekstrak
dengan penambahan ekstrak. Cara
perhitungan absorbans dengan rumus:
91 Aktivitas Antioksidan dan Inhibitor Tirosinase Ekstrak Metanol
Mangium (Acacia mangium)
Rita K Sari, Rahmi Utami, Irmanida Batubara, Anne Carolina
Absorbansi difenol-sampel= C – A
dengan C= difenolase, A=sampel+enzim
Persentase penghambatan dihitung
dengan rumus sebagai berikut:
% penghambatan difenolase =
%100A
AA
difenolblangko
difenoldifenolblangko
% penghambatan monofenolase =
%100A
AA
monofenolblangko
monofenolmonofenolblangko
Aktivitas inhibitor tirosinase ekstrak
ditentukan dari nilai IC50, yaitu
konsentrasi ekstrak uji yang mampu
menghambat 50% aktivitas enzim
tirosinase. Nilai tersebut diperoleh dari
persamaan regresi hasil interpolasi antara
konsentrasi ekstrak dengan persen
penghambatan difenolase dan
monofenolase.
Analisis fitokimia
Pengujian fitokimia dilakukan secara
kualitatif mengacu pada Harborne
(1996). Pengujian hanya dilakukan pada
ekstrak yang memiliki aktivitas
antioksidan serta inhibitor enzim
tirosinase tertinggi. Kelompok senyawa
yang dideteksi adalah keberadaan
alkaloid, flavanoid, fenol hidrokuinon,
tanin, saponin, triterpenoid, dan steroid.
Hasil dan Pembahasan
Rendemen ekstrak
Rendemen ekstraksi berbagai bagian
pohon mangium dalam metanol
beragam. Tabel 1 menunjukkan bahwa
rendemen tertinggi adalah hasil ekstraksi
daun, sedangkan rendemen terendah
adalah hasil ekstraksi kayu bagian gubal.
Hal ini menunjukkan bagian pohon yang
berbeda mengandung zat ektraktif
dengan kadar yang berbeda pula. Hal ini
dipertegas oleh Fengel & Wegener
(1995) dan Reyes et al. (2004) yang
menyatakan bahwa perbedaan rendemen
zat ekstraktif dipengaruhi oleh tempat
tumbuh, jenis pohon, umur pohon, dan
bagian dalam pohon. Fenomena yang
sama juga dilaporkan Sari et al. (2011)
bahwa ekstraksi berbagai bagian pohon
surian (Toona sinensis) menghasilkan
kadar ekstrak terlarut etanol yang
berbeda. Ekstrak surian bagian daun,
kulit kayu, kayu teras, dan kayu gubal
berturut-turut adalah 13, 7, 6, dan 4%.
Wujud fisik ekstrak berbagai bagian
mangium bervariasi (Tabel 1). Perbedaan
wujud fisik ekstrak tersebut
menunjukkan bahwa jenis dan komposisi
zat ekstraktif dalam berbagai bagian
pohon tersebut berbeda meskipun
diekstraksi menggunakan pelarut yang
sama. Ekstrak daun dan kayu teras
berwujud padatan kental karena
kemungkinan besar mengandung lemak,
lilin, atau minyak atsiri yang dapat larut
dalam metanol (Harborne 1996).
Ekstraksi daun mangium menghasilkan
rendemen tertinggi jika dibandingkan
dengan bagian pohon lainnya (Tabel 1).
Hal ini disebabkan oleh adanya senyawa
klorofil atau zat hijau daun yang ikut
terekstraksi oleh metanol. Wujud fisik
ekstrak daun yang berwarna hijau
kehitaman memastikan adanya senyawa
klorofil yang terekstraksi. Harborne
(1996) menyatakan bahwa sebagian
besar klorofil terdistribusi dalam daun
dan dapat larut dalam pelarut organik
seperti etanol, aseton, metanol, eter, dan
kloroform.
Ekstraksi bagian kulit menghasilkan
rendemen ekstrak lebih tinggi dari bagian
kayunya. Hal ini dapat disebabkan
karena kulit mangium diketahui
mengandung senyawa fenolik yang lebih
92 J. Ilmu Teknol. Kayu Tropis Vol. 13 No. 1 Januari 2015
tinggi (Zhang et al. 2011). Hasil
penelitian Gao (2007) pada berbagai
bagian pohon Chamaecyparis
lawsoniana juga menunjukkan bahwa
kadar ekstrak bagian kulit (7%) lebih
tinggi dibandingkan kayu teras (4%).
Rendemen ekstraksi bagian kayu teras
mangium ini (2,5%) berbeda dengan
rendemen ekstraksi kayu teras mangium
asal Cina yang dilakukan oleh Mihara et
al. (2005), yaitu 4,0%. Perbedaan
tersebut terjadi karena perbedaan metode
ekstraksi, kualifikasi pelarut, dan asal
kayunya. Mihara et al. (2005)
menggunakan metode maserasi dengan
cara merendam serbuk kayu teras
mangium dalam metanol kualifikasi pro
analisis pada suhu ruang selama 2x2 hari,
sedangkan ekstraksi dalam penelitian ini
menggunakan metode sokletasi yang
menggunakan metanol kualifikasi teknis
yang telah dimurnikan selama 12 jam.
Houghton dan Raman (1998)
menegaskan bahwa kualifikasi pelarut
dan metode ekstraksi mempengaruhi
rendemen ekstraksi. Selain itu, Penelitian
Reyes et al. (2004) membuktikan
bahwa rendemen zat ekstraktif sangat
dipengaruhi oleh tempat tumbuh.
Aktivitas antioksidan
Hasil pengujian menunjukkan bahwa
semua ekstrak metanol berbagai bagian
pohon mangium bersifat antioksidan. Hal
ini ditunjukkan oleh korelasi positif
antara konsentrasi ekstrak dengan
persentase penangkapan radikal bebas.
Namun, kurva yang menggambarkan
korelasi positif antara konsentrasi ekstrak
dengan persen penangkapan radikal
bebas antar ekstrak berbeda (Gambar 1).
Interpolasi antara konsentrasi ekstrak
dengan persen penangkapan radikal
bebas setiap ekstrak juga menghasilkan
jenis persamaan regresi yang berbeda.
Perbedaan tersebut menghasilkan nilai
EC50 ekstrak yang berbeda (Tabel 2).
Ekstrak metanol berbagai bagian pohon
mangium memiliki aktivitas antioksidan
yang beragam dengan nilai EC50 8,27-
137,88 ppm. Tabel 2 menunjukkan
bahwa ektrak kulit mangium memiliki
aktivitas antioksidan tertinggi dengan
nilai EC50 terendah, diikuti ekstrak daun,
kayu bagian teras, dan gubal. Perbedaan
aktivitas antioksidan tersebut disebabkan
oleh perbedaan jenis dan komposisi
senyawa antioksidan yang terkandung
dalam jaringan tumbuhan yang berbeda.
Hal ini dipertegas oleh hasil penelitian
Gao (2007) yang menunjukkan bahwa
aktivitas antioksidan ekstrak metanol
kulit Chamaecyparis lawsoniana berbeda
dengan bagian kayunya.
Tabel 1 Rendemen dan wujud fisik ekstrak berbagai bagian pohon mangium
Sampel Rendemen (%) Wujud fisik ekstrak
Daun 10,72 Padatan kental, beraroma, dan berwarna hijau
kehitaman.
Kulit 4,40 Padatan kering, tidak beraroma, dan berwarna
cokelat kehitaman.
Kayu gubal 0,89 Padatan kering, tidak beraroma, dan berwarna
cokelat muda.
Kayu teras 2,50 Padatan kental, beraroma, dan berwarna
cokelat kehitaman.
93 Aktivitas Antioksidan dan Inhibitor Tirosinase Ekstrak Metanol
Mangium (Acacia mangium)
Rita K Sari, Rahmi Utami, Irmanida Batubara, Anne Carolina
Tabel 2 Persamaan regresi dan aktivitas antioksidan (nilai EC50) ekstrak berbagai bagian
pohon mangium
Jenis ekstrak Persamaan regresi Nilai R2 EC50 (ppm)
Daun y = 15,25 ln(x) – 0,09 0,987 26,70
Kulit y = 18,08 ln(x) + 11,78 0,959 8,27
Kayu teras y = 13,65 ln(x) – 7,38 0,972 66,93
Kayu gubal y = 0,29 x + 9,24 0,988 137,88
Vitamin C y = 13,86 ln(x) + 34,39 0,930 3,08
Aktivitas antioksidan ekstrak metanol
kulit mangium yang dihasilkan dari
pelitian ini lebih tinggi dibandingkan
dengan ekstrak metanol kulit mangium
asal Cina hasil penelitian Zhang et al.
(2011). Nilai EC50 ekstrak metanol kayu
teras pada penelitian ini adalah 8,27
ppm, sedangkan nilai EC50 ekstrak
metanol kayu teras mangium asal Cina
adalah 20,99 ppm. Perbedaan tersebut
dipengaruhi oleh perbedaan komposisi
kandungan senyawa antioksidan yang
disebabkan oleh perbedaan metode
ekstraksi, kepolaran pelarut, dan kondisi
tempat tumbuhnya (Houghton & Raman
1998, Reyes et al. 2004). Ekstraksi yang
digunakan Zhang et al. (2011) adalah
ekstraksi dengan etanol 50%, sedangkan
dalam penelitian ini menggunakan
pelarut metanol.
Inhibitor tirosinase
Ekstrak mangium dari berbagai bagian
pohon memiliki aktivitas penghambatan
enzim tirosinase. Hal tersebut tercermin
dari Gambar 2 yang menunjukkan
peningkatan konsentrasi ekstrak telah
meningkatkan persentase penghambatan
kerja enzim tirosinase. Akan tetapi,
grafik hubungan antara konsentrasi
ekstrak dengan persentase penghambatan
dari setiap ekstrak berbeda. Interpolasi
konsentrasi ekstrak dengan persentase
penghambatan kerja enzim tirosinase
menghasilkan persamaan regresi dan
nilai IC50 yang berbeda pula (Tabel 3).
Berdasarkan nilai IC50, aktivitas ekstrak
berbagai bagian pohon mangium
berbeda. Ekstrak kulit memiliki
aktivitas sebagai inhibitor tirosinase
0
20
40
60
80
100
120
0 50 100 150 200
Pen
angkap
an
DP
PH
(%
)
Konsentrasi ekstrak etanol mangium (ppm)
94 J. Ilmu Teknol. Kayu Tropis Vol. 13 No. 1 Januari 2015
tertinggi, diikuti ekstrak bagian daun,
kayu teras, dan kayu gubal (Tabel 3).
Bila mengacu pada penggolongan
aktivitas menurut Miyazawa et al.
(2006), maka hanya ekstrak kulit
mangium yang tergolong aktif sebagai
inhibitor tirosinase, sedangkan ekstrak
lainnya tergolong tidak aktif karena nilai
IC50 < 1000 ppm.
Kandungan fitokimia
Hasil analisis fitokimia secara kualitatif
menunjukkan bahwa ekstrak metanol
kulit mangium terdeteksi kuat
mengandung beberapa kelompok
senyawa fenolik seperti fenol
hidrokuinon, flavonoid, dan tanin setra
alkaloid (Tabel 4). Golongan senyawa
yang diduga memiliki aktivitas sebagai
antioksidan serta inhibitor tirosinase
adalah flavonoid. Chang (2009)
menyatakan bahwa flavonoid sebagai
salah satu golongan senyawa yang aktif
sebagai penghambat tirosinase. Nangka
(Artocarpus sp.) memiliki potensi
sebagai inhibitor tirosinase karena
mengandung senyawa fenol dari
golongan flavonoid yang lebih besar
dibandingkan senyawa non fenol dari
golongan triterpenoid dan steroid (Al-
Ash’ary et al. 2010).
Flavonoid banyak tersebar pada bagian
bunga, daun, biji, dan kulit kayu suatu
tanaman. Senyawa-senyawa yang
termasuk dalam golongan flavonoid dan
berperan sebagai antioksidan serta
penghambat tirosinase diantaranya
adalah kuersetin (5,7,3',4'-tetrahidroksi-
flavonol), mirisetin (5,7,3', 4',5'-penta-
hidroksi-flavonol), kaemferol (5,7,4
trihidroksi flavonol), galangin (5,7-
dihidroksiflavonol), morin, buddlenoid
A, dan buddlenoid B (Chang 2009).
Ekstrak metanol daun singkong (Manihot
utilissima) juga memiliki aktivitas
sebagai inhibitor tirosinase karena
mengandung senyawa kuersetin
(Fatmawati et al. 2010).
(a)
(b)
0
25
50
75
100
0 500 1000 1500 2000
Pen
gh
amb
atan
(%
)
Kadar ekstrak (ppm)
0
25
50
75
100
0 500 1000 1500 2000
Pen
gh
ambat
an (
%)
Kadar ekstrak (ppm)
95 Aktivitas Antioksidan dan Inhibitor Tirosinase Ekstrak Metanol
Mangium (Acacia mangium)
Rita K Sari, Rahmi Utami, Irmanida Batubara, Anne Carolina
Tabel 3 Persamaan regresi dan aktivitas inhibitor tirosinase (nilai IC50) ekstrak berbagai
bagian pohon mangium pada reaksi monofenolase dan difenolase
Jenis ekstrak
Monofenolase Difenolase
Persamaan regresi IC50
(ppm)
Persamaan regresi IC50
(ppm)
Daun y=13,66ln(x)-28,86 321,52 y=12,13ln(x)-38.93 1536,80
Kulit y=20,29ln(x)-49,00 131,53 y=23,88ln(x)- 82,59 257,84
Kayu teras y= 0,04 x – 3,89 1458,93 y=0,019x+12,72 1962,11
Kayu gubal y=0.020x + 25,1 1245,00 y=0,017x+7.53 2498,24
Asam kojat y=17,22ln(x)+ 0.02 18,22 y=28,54ln(x)- 85,84 116,70
Senyawa kimia dari kelompok flavonoid
yang terdeteksi kuat terkandung dalam
ekstrak kulit mangiumberperan terhadap
aktivitas antioksidan dan inhibitor
tirosinase. Kalsom et al. (2001) telah
mengidentifikasi senyawa flavonol yang
bersifat antioksidan dalam daun
mangium seperti kuersetin-3-glukosida,
kuersetin-3-diglukosida, kaemferol-3,7-
dirhamnosida, dan kaemferol-7,4’-diga-
laktosida.
Tabel 4 Fitokimia ekstrak metanol kulit
mangium
Komponen fitokimia Deteksi
fitokimia
Alkaloid +++
Flavonoid +++
Fenol hidrokuinon +++
Steroid +
Triterpenoid +
Tanin +++
Saponin ++ Keterangan: +: hasil uji positif lemah, ++: hasil
uji positif sedang, +++: hasil uji positif kuat,
++++: hasil uji positif sangat kuat
Alkaloid sangat bermanfaat dalam
bidang kesehatan, salah satunya dapat
berfungsi sebagai antioksidan. Penelitian
Minarti et al. (2002) menunjukkan
bahwa senyawa siamine dari golongan
senyawa alkaloid yang terkandung dalam
pohon johar (Cassia siamea) berfungsi
sebagai antioksidan.
Kesimpulan
Ekstraksi berbagai bagian pohon
mangium dengan metanol yang
menggunakan metode sokletasi selama
12 jam menghasilkan ekstrak dengan
rendemen yang bervariasi. Rendemen
ekstrak tertinggi diperoleh dari ekstraksi
bagian daun, diikuti oleh kulit, kayu
teras, dan kayu gubal dengan nilai
berturut-turut 10,7; 4,4; 2,5; dan 0,9%.
Aktivitas antioksidan tertinggi adalah
ekstrak kulit mangium dan diikuti daun,
kayu teras, dan kayu gubal dengan nilai
EC50 berturut-turut 8,3; 26,7; 66,9; dan
137,9 ppm. Namun, hanya ekstrak kulit
mangium yang tergolong aktif sebagai
inhibitor tirosinase (nilai IC50 257,8 ppm
pada rekasi difenolase). Ekstrak lainnya
tergolong tidak aktif sebagai inhibitor
tirosinase karena nilai IC50 > 1000 ppm.
Estrak metanol kulit mangium sebagai
ekstrak teraktif positif kuat mengandung
senyawa fenolik (fenol hirokinon,
flavonoid, dan tanin) serta alkaloid.
Ekstrak juga terdeteksi sedang
mengandung saponin, tetapi terdeteksi
lemah mengandung triterpenoid dan
steroid.
Ucapan Terima Kasih
Penulis mengucapkan terimakasih
kepada Laboratorium Kimia Hasil Hutan
IPB tempat preparasi ekstrak, Pusat Studi
Biofarmaka IPB tempat menguji
96 J. Ilmu Teknol. Kayu Tropis Vol. 13 No. 1 Januari 2015
aktivitas antioksidan dan inhibitor
tirosinase, serta Laboratorium Kimia
Analitik FMIPA IPB tempat
menganalisis fitokimia kualitatif.
Penulis juga mengucapkan terimakasih
kepada para teknisi, yaitu Supriatin,
Junawan, dan Ibu Nunung yang telah
membantu terlaksananya penelitian ini.
Daftar Pustaka
Al-Ash’ary MN, Supriyanti FMT,
Zackiyah. 2010. Penetuan pelarut
terbaik dalam mengekstraksi senyawa
bioaktif dari kulit batang Artocarpus
heterophyllus. J Sains Tek Kim. 1(2):
150-158.
Ardhi AM. 2011. Radikal bebas dan
peran antioksidan dalam mencegah
penuaan. Medicinus 24(1):3-9.
Ariyani F, Amin I, Fardiaz D, Budiyanto
S. 2008. Aplikasi ekstrak daun sirih
(Piper betle Linn) dalam menghambat
oksidasi lemak jambal patin
(Pangasius hypophthalmus). JPBKP
3(2):157-169.
Arung ET, Shimizu K, Kondo R. 2006.
Inhibitory effect of artocarpanone
from Artcocarpus heterophyllus on
melanin biosynthesis. Biol Pharm
Bull. 29(9):1966-1969.
Batubara I, Darusman LK, Mitsunaga T,
Rahminiwati M, Djauhari E. 2010.
Potency of medicinal plants as
tyrosinase inhibitor and antioxidant
agent. J Biol Sci. 10(2):138-144.
Batubara I, Adfa M. 2013. Potensi daun
kayu bawang (Protium javanicum)
sebagai penghambat kerja enzim
tirosinase. J Sains Mat. 1(2):52-56.
Chang TS. 2009. An updated review of
tyrosinase inhibitor. Int J Mol Sci. 10:
2440-2475.
Darusman LK, Batubara I, Lopolisa C.
2011. Screening marker components
of tyrosinase inhibitor from
Xylocarpus granatum Stem. Valensi
2(3):409-413.
Fatmawati A, Aswad M, Kolobani MN,
Manggau MA, Alam G. 2010.
Efektivitas beberapa bahan alam
sebagai bahan pemutih kulit: studi in
vitro penghambatan aktivitas enzim
tirosinase. J Bahan Alam Indones.
7(4):219-223.
Fengel D, Wegener G. 1995. Kayu :
Kimia, Ultrastruktur, Reaksi-reaksi.
Sastrohamidjoju H, penerjemah,
Prawirohatmodjo S. editor. Yogja-
karta: Gajah Mada University Press.
Terjemahan dari: Wood, Chemistry,
Ultrastructure, Reactions.
Gao H. 2007. Chemical analysis of
extract from port-oford cedar wood
and bark [Tesis]. Louisiana:
Louisiana State University
Harborne JB. 1996. Metode Fitokimia:
Penuntun Cara Modern Menganalisis
Tumbuhan. Padmawinata K. Soedira
I, Penerjemah. Bandung: ITB.
Terjemahan dari: Phytochemical
Methods.
Houghton PJ, Raman A. 1998.
Laboratory Handbook for the
Fractionation of Natural Extracts.
London: Chapman & hall.
Kalsom YU, Khairuddin HI, Zakri MM.
2001. Flavonol glycosides from
leaves of Acacia mangium and related
species. Malaysian J Anal Sci.
7(1):109-112.
Mihara R, Barry KM, Caroline L,
Mohammed, Mitsunaga T. 2005.
Comparison of antifungal and anti-
oxidant activities of Acacia mangium
and A. auriculiformis heartwood
97 Aktivitas Antioksidan dan Inhibitor Tirosinase Ekstrak Metanol
Mangium (Acacia mangium)
Rita K Sari, Rahmi Utami, Irmanida Batubara, Anne Carolina
extracts. J Chem Ecol. 31(4):789-804.
Doi:10.1007/s10886-005-3544-x.
Minarti DP, Kardono LBS, Wahyudi B.
2002. Penapisan kimia senyawa
senyawa alkaloid dalam ekstrak daun
johar (Cassia siamea L.). Jakarta:
Lembaga Ilmu Pengetahuan
Indonesia.
Miyazawa, Mitsuo, Tamura N. 2006.
Inhibitory compound of tyrosinase
activity from the Sprout of
Polygonum hydropiper L. J Biol
Pharm Bull. 30(3):595-597.
Mohammed C et al. 2012. Management
of Fungal Root Rot in Plantation
Acacias in Indonesia. Canbera:
ACIAR’s.
Muhdi, Risnasari I, Putri LAP. 2010.
Kuantifikasi limbah kayu akibat
pemanenan kayu pada hutan tanaman
di Sumatera Utara. J Rekayasa Penel.
3:32-41.
Rahayu E. 2012. Aktivitas gabungan
ekstrak bakau (Rhizophora apiculata),
alamanda (Allamanda schottii), dan
binahong (Anredera cordifolia)
terhadap enzim tirosinase [Skripsi].
Bogor: Institut Pertanian Bogor.
Reyes LF, Miller JC, Zevallos LC. 2004.
Environmental conditions influen-
ce the content and yield of
anthocyanins and total phenolics in
purple and red-flesh potatoes
during tuber development. Amr J
Potato Res. 81(3):187-193.
Sari RK, Syafii WS, Achmadi SS,
Hanafi M. 2011. Aktivitas
antioksidan dan toksisitas ekstrak
etanol surian (Toona sinensis).
JITHH 4(2):45-51.
Stalling AF, Lupo MP. 2009. Practical
Uses of Botanicals in Skin Care. J.
Clin Aesth Derm. 2(1): 36-40.
Syafii W. 2008. Peningkatan efisiensi
pemanfaatan hasil hutan melalui
penerapan “the whole tree
utilization”. Di dalam: Pemikiran
Guru Besar Institut Pertanian Bogor,
Perspektif Ilmu-ilmu Pertanian dalam
Pembangunan Nasional. Bogor:
Penebar Swadaya dan IPB Pr. hlm
187-191.
Zhang L, Chen J, Wang Y, Wu D, Xu
M. 2011. Phenolic extracts from
Acacia mangium bark and their
antioxidant activities. Molecules 15:
3567-3577. Doi:10.3390/molecules
15053567.
Riwayat naskah:
Naskah masuk (received): 28 Oktober 2014
Diterima (accepted): 15 Desember 2014