Top Banner
Vol. 13• No. 1 • Januari 2015 ISSN 1693-3834 Jurnal Ilmu dan Teknologi Kayu Tropis (Journal of Tropical Wood Science and Technology) Diterbitkan oleh: Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (The Indonesian Wood Research Society)
101

Ilmu dan Teknologi Kayu Tropis - mapeki.orgmapeki.org/web/wp-content/uploads/2017/02/Full-Issue-Vol.13-No.1.pdf · Jurnal Ilmu dan Teknologi Kayu Tropis ... hingga homogen dengan

Feb 02, 2018

Download

Documents

vuongtuyen
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: Ilmu dan Teknologi Kayu Tropis - mapeki.orgmapeki.org/web/wp-content/uploads/2017/02/Full-Issue-Vol.13-No.1.pdf · Jurnal Ilmu dan Teknologi Kayu Tropis ... hingga homogen dengan

Vol. 13• No. 1 • Januari 2015 ISSN 1693-3834

Jurnal

Ilmu dan Teknologi Kayu Tropis (Journal of Tropical Wood Science and Technology)

Diterbitkan oleh:

Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia

(The Indonesian Wood Research Society)

Page 2: Ilmu dan Teknologi Kayu Tropis - mapeki.orgmapeki.org/web/wp-content/uploads/2017/02/Full-Issue-Vol.13-No.1.pdf · Jurnal Ilmu dan Teknologi Kayu Tropis ... hingga homogen dengan

Vol. 13• No. 1 • Januari 2015 ISSN 1693-3834

Jurnal

Ilmu dan Teknologi Kayu Tropis (Journal of Tropical Wood Science and Technology)

Penanggung Jawab: Ketua Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia

Ketua Dewan Penyunting (Chief editor): Fauzi Febrianto

Penyunting Ahli (Editorial Board Members):

Edi Suhaimi Bakar (UPM Malaysia)

Enos Tangke Arung (Fahutan UNMUL)

Imam Wahyudi (Fahutan IPB)

Nyoman Jaya Wistara (Fahutan IPB)

Lina Karlinasari (Fahutan IPB)

Musrizal Muin (Fahutan UNHAS)

Ragil Widyorini (Fahutan UGM)

Subyakto (UPT BPP Biomaterial LIPI)

Wahyu Dwianto (UPT BPP Biomaterial LIPI)

Penyunting Pelaksana (Managing Editors)

Anne Carolina

Deded Sarip Nawawi

Fengky Satria Yoresta

Rita Kartika Sari

Sukma Surya Kusumah

Alamat Redaksi Departemen Hasil Hutan Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor

Kampus IPB Darmaga Bogor 16680

Telp/Fax. +62-251-8621285, email : [email protected] http://www.mapeki.org

Jurnal Ilmu dan Teknologi Kayu Tropis adalah jurnal resmi Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia

(MAPEKI) yang terbit sejak tahun 2003. Jurnal ini mempublikasikan artikel asli baik penelitian

dasar maupun terapan di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi kayu, bahan berlignoselulosa

bukan kayu, hasil hutan lainnya dan industri hasil hutan. Selain itu, jurnal ini juga

mempublikasikan artikel ulas balik (review) dengan tema yang ditentukan oleh redaksi. Setiap

artikel yang diterbitkan dalam jurnal ini telah ditelaah oleh mitra bestari yang dicantumkan pada

nomor paling akhir dari setiap volume. Penerbitan jurnal 2 kali dalam setahun (Januari dan Juli).

Harga langganan jurnal (hardcopy) sebesar Rp 100.000/tahun. Jurnal juga dapat diakses secara

online di http://www.mapeki.org/jitkt. Jurnal ini telah terakreditasi B oleh DIKTI dengan Nomor

212/P/2014.

Page 3: Ilmu dan Teknologi Kayu Tropis - mapeki.orgmapeki.org/web/wp-content/uploads/2017/02/Full-Issue-Vol.13-No.1.pdf · Jurnal Ilmu dan Teknologi Kayu Tropis ... hingga homogen dengan

Vol. 13• No. 1 • Januari 2015 ISSN 1693-3834

Daftar Isi Artikel Asli: Aktivitas Antifungi Ekstrak Akar Mahoni terhadap Isolat

Botryodiplodia theobromae Pat. Penyebab Mati Pucuk pada Bibit

Jabon

(Antifungal Activity of Mahogany Root Extracts against Botryodiplodia

theobromae Pat. Isolate Causing Dieback on Jabon Seedling)

Syamsul Falah, Achmad, Aji Winara……………….….............................

1-10

Physical and Mechanical Properties of 10-Year Old Superior and

Conventional Teak Planted in Randublatung Central Java Indonesia

Fanny Hidayati, Joko Sulistyo, Ganis Lukmandaru, Tomy Listyanto, Harry

Praptoyo, Rini Pujiarti……………………………………..…………….....

11-21

Perilaku Elastik Beban-Defleksi Balok Kayu Laminasi pada

Pengujian Lentur

(Elastic Load-Deflection Behavior of Timber Laminated Beam on

Flexural Test)

Fengky S Yoresta……………………..……………..……….......................

22-27

Kadar Kinon dalam Kayu Teras Jati yang Diisolasi dengan Ekstraksi

Rendaman Dingin

(Quinone Contents in Teak Heartwood Isolated by Cold Extraction)

Ganis Lukmandaru………….………………………………………………

28-38

Properties of Wood Plastic Composite Using Primary Sludge as Filler

Iwan Risnasari, Fauzi Febrianto, Nyoman J Wistara, Sucahyo Sadiyo, Siti

Nikmatin........................................................................................................

39-50

Karakteristik Kecepatan Gelombang Suara dan Sifat Anatomi

Sadapan Pohon Pinus

(Characteristics Ultrasonic Waves Velocity and Anatomical Properties of

Tapping Pine)

Maryam Jamilah, Lina Karlinasari, Sucahyo Sadiyo, Gunawan Santosa….

51-60

Formulasi Umpan dari Campuran Kayu Terdegradasi dan Kertas

Limbah untuk Pengendalian Rayap

(Bait Formulations from the Mixture of Degraded Wood and

Wastepaper for Termite Control)

Musrizal Muin, Astuti Arif, Sitti Nuraeni, Wa Ode F Zohra………………

61-69

Trace Elements Content of Mangium Pulp throughout ECF Bleaching

Stages as Measured by ICP

Nyoman Wistara, Devi Nurmala...................................................................

70-79

Page 4: Ilmu dan Teknologi Kayu Tropis - mapeki.orgmapeki.org/web/wp-content/uploads/2017/02/Full-Issue-Vol.13-No.1.pdf · Jurnal Ilmu dan Teknologi Kayu Tropis ... hingga homogen dengan

Vol. 13• No. 1 • Januari 2015 ISSN 1693-3834

Pemanfaatan Kulit Buah Durian sebagai Stimulan Penyalaan Briket

Batubara

(The Application of Durian Rind as a Burning Stimulant of Coal

Briquettes)

Sanjaya……………..……………………………………………………….

80-87

Aktivitas Antioksidan dan Inhibitor Tirosinase Ekstrak Metanol

Mangium (Acacia mangium)

(Antioxidant and Tyrosinase Inhibitor Activities of Methanol Extracts

of Acacia mangium)

Rita K Sari, Rahmi Utami, Irmanida Batubara, Anne Carolina, Salina

Febriany………………………………………………………………….….

88-97

Page 5: Ilmu dan Teknologi Kayu Tropis - mapeki.orgmapeki.org/web/wp-content/uploads/2017/02/Full-Issue-Vol.13-No.1.pdf · Jurnal Ilmu dan Teknologi Kayu Tropis ... hingga homogen dengan

1 Aktivitas Antifungi Ekstrak Akar Mahoni terhadap Isolat Botryodiplodia theobromae Pat.

Penyebab Mati Pucuk pada Bibit Jabon

Syamsul Falah, Achmad, Aji Winara

Aktivitas Antifungi Ekstrak Akar Mahoni terhadap Isolat

Botryodiplodia theobromae Pat. Penyebab Mati Pucuk pada Bibit Jabon

(Antifungal Activity of Mahogany Root Extracts against Botryodiplodia

theobromae Pat. Isolate Causing Dieback on Jabon Seedling)

Syamsul Falah1*, Achmad2, Aji Winara3

1 Departemen Biokimia Fakultas MIPA Institut Pertanian Bogor, Kampus Dramaga,

Bogor 16680 2 Departemen Silvikultur Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor, Kampus

Dramaga, Bogor 16680 3 Peneliti Balai Penelitian Teknologi Agroforestry Kementerian Kehutanan,

Ciamis

*Penulis korespondensi: [email protected]

Abstract

Dieback on jabon (Anthocephalus cadamba (Roxb.) Miq.) seedling caused by fungi

Botryodiplodia theobromae Pat. decreased seedling’s quality and nurseries economic benefits. The

control of dieback pathogen on jabon seedling used biofungicide from plant extract have not been

studied intensively nowadays. Mahogany (Swietenia macrophylla King.) is one of the promising

medicinal plants in Indonesia but its utilization as a biofungicide specially for controlling the

dieback on jabon seedling has not been reported. This research aimed to examine the antifungal

activities of mahogany root extracts against B.theobromae isolate causing dieback on jabon seedling

in vitro. The poisoned food technique was used in assay of the antifungal activities of mahogany

root extract. The result showed that mahogany root extract has antifungal activities against

B.theobromae with the highest efective growth inhibition was the metanol solvent on 50%

concentration level. Microscopical examination showed the inhibition of mycelium growth was

caused by the changes on hyphae morphology and growth direction which were beads formation

and curling.

Keywords: antifungal, Botryodiplodia theobromae, jabon, mahogany root

Abstrak

Penyakit mati pucuk pada bibit jabon (Anthocephalus cadamba (Roxb.) Miq.) yang disebabkan

oleh fungi Botryodiplodia theobromae telah menurunkan kualitas bibit dan merugikan para

pegiat persemaian. Saat ini pengendalian penyakit mati pucuk pada bibit jabon menggunakan

fungisida dari ekstrak tanaman masih sangat minim. Mahoni (Swietenia macrophylla King.)

merupakan salah satu potensi tumbuhan obat Indonesia yang ketersediaannya melimpah namun

potensinya sebagai fungisida nabati khususnya dalam mengendalikan penyakit mati pucuk pada

bibit jabon belum diketahui. Penelitian ini bertujuan mengukur aktivitas antifungi ekstrak akar

mahoni secara in vitro terhadap isolat B. theobromae penyebab mati pucuk pada bibit jabon.

Pengukuran aktivitas antifungi ekstrak akar mahoni dilakukan melalui teknik peracunan

makanan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa secara in vitro ekstrak akar mahoni bersifat

antifungi B. theobromae dengan nilai penghambatan pertumbuhan isolat tertinggi efektif

dihasilkan oleh ekstrak metanol akar pada taraf konsentrasi 50%. Penghambatan pertumbuhan

isolat disebabkan oleh morfologi hifa yang abnormal berupa bentuk manik-manik dan

perubahan arah pertumbuhan hifa yang melingkar.

Kata kunci: akar mahoni, antifungi, Botryodiplodia theobromae, jabon.

Page 6: Ilmu dan Teknologi Kayu Tropis - mapeki.orgmapeki.org/web/wp-content/uploads/2017/02/Full-Issue-Vol.13-No.1.pdf · Jurnal Ilmu dan Teknologi Kayu Tropis ... hingga homogen dengan

2 J. Ilmu Teknol. Kayu Tropis Vol.13 No.1 Januari 2015

Pendahuluan

Penyakit mati pucuk pada bibit Jabon

(Anthocephalus cadamba (Roxb.) Miq.)

telah menurunkan kualitas bibit dan

merugikan para pegiat budidaya jabon.

Jabon saat ini menjadi komoditi hasil

hutan tanaman khususnya sebagai

penyedia bahan baku kayu lapis, papan

partikel, papan semen, papan blok, pulp

dan kertas, kayu kontruksi ringan, bahan

baku kerajinan, perahu, batang korek api,

batang sumpit dan pensil (Soerianegara

& Lemmens 1993). Selain itu jabon

banyak digunakan sebagai tanaman

penghijauan dan rehabilitasi lahan bekas

tambang. Hal ini disebabkan jabon

memiliki sifat yang relatif adaptif pada

berbagai kondisi tempat tumbuh

(Krisnawati et al. 2011).

Patogen primer penyakit mati pucuk

pada bibit jabon adalah fungi

Botryodiplodia theobromae Pat. dengan

tingkat kejadian penyakit mati pucuk

pada bibit jabon di Bogor mencapai 15%.

Gejala awal yang muncul pada bibit

berupa nekrotik pada batang yang

bergerak secara vertikal menuju daun

kemudian pucuk, mengakibatkan batang

membusuk, daun menguning dan pucuk

mati (Aisah 2014). Fungi B. theobromae

tergolong kelompok fungi anamorfik dan

menjadi patogen penyakit tanaman

berkayu khususnya di daerah tropis (Ellis

et al. 2007).

Menurut Anggraeni dan Lelana (2011),

fungi Botryodiplodia dilaporkan menjadi

patogen pada beberapa tanaman

kehutanan di Indonesia antara lain

menyebabkan bercak daun pada pulai

(Alstonia sp.), busuk akar pada meranti

(Shorea sp.), bercak daun pada merbau

(Intsia bijuga Kuntze.), bercak daun pada

bakau (Rhizophora mucronata Lamk.),

bledok pada nyamplung (Calophyllum

inophyllum Linn.), penyakit batang pada

gaharu (Aquilaria malaccensis Lamk.)

dan bercak daun pada skubung

(Macaranga gigantea Muell.). Selain itu,

di dunia fungi B. theobromae telah

menjadi patogen mati pucuk pada

beberapa tanaman budidaya antara lain

Albizia falcataria (Sharma & Shankaran

1988), Mangifera indica (Khanzada et al.

2004, Ismail et al. 2012), Pinus taeda

dan P. elliotii (Cillier et al. 1993),

Grevellia robusta (Njugana 2011),

Syzygium cordatum (Pavlic et al. 2007),

Pouteria sapota (Pedraza et al. 2013),

aprikot dan persik (Li et al. 1995),

Theobroma cacao (Semangun 2000,

Kannan et al. 2010), Citrus spp. (Alam

et al. 2001, Salamiah et al. 2008),

Annona squamosa dan A. cherimola

(Haggag & Nofal 2006), Prunus spp.

(Shah et al. 2010) dan Vitis vinifera

(Torres et al. 2008, Al-Saadon et al.

2012).

Pemanfaatan ekstrak tanaman sebagai

agen pengendali penyakit tanaman pada

tataran aplikasi masih sangat minim

termasuk pada kegiatan pengendalian

penyakit mati pucuk pada bibit jabon

yang hingga saat ini masih menggunakan

fungisida sintetik. Pemanfaatan fungisida

nabati dalam pengendalian penyakit mati

pucuk belum dilakukan disebabkan

kurangnya informasi tentang potensi

fungisida nabati, padahal potensi

tumbuhan obat di Indonesia sangat tinggi

yang kemungkinan berpotensi pula

sebagai bahan baku fungisida nabati,

salah satunya adalah mahoni (Swietenia

macrophylla King.). Beberapa bagian

mahoni diketahui secara ilmiah memiliki

sifat farmakologi sebagai obat seperti

antifungi, antidiabetes, antimutagenik,

antibakteri, antihepatitis C, antivirus,

antitumor, antikanker, antioksidan,

inflammatori (Eid et al. 2013). Adapun

bagian mahoni yang telah diketahui

bersifat antifungi khususnya terhadap

Page 7: Ilmu dan Teknologi Kayu Tropis - mapeki.orgmapeki.org/web/wp-content/uploads/2017/02/Full-Issue-Vol.13-No.1.pdf · Jurnal Ilmu dan Teknologi Kayu Tropis ... hingga homogen dengan

3 Aktivitas Antifungi Ekstrak Akar Mahoni terhadap Isolat Botryodiplodia theobromae Pat.

Penyebab Mati Pucuk pada Bibit Jabon

Syamsul Falah, Achmad, Aji Winara

fungi patogen penyakit pada manusia

antara lain daun (Tan et al. 2009), kulit

batang (Dewanjee et al. 2007) dan biji

(Maiti et al. 2007). Sementara itu

pemanfaatan bagian akar mahoni sebagai

fungisida nabati belum banyak diketahui

terutama potensinya dalam

mengendalikan penyakit mati pucuk

pada bibit jabon. Penelitian ini bertujuan

untuk menguji aktivitas antifungi ekstrak

akar mahoni terhadap pertumbuhan isolat

B. theobromae secara in vitro.

Bahan dan Metode

Penyiapan patogen dan uji virulensi

Isolat B. theobromae yang berasal dari

koleksi Laboratorium Patologi Hutan

IPB diremajakan pada media kultur agar

potatoes sucrose agar (PSA) dan 1000

ml aquades selektif yang mengandung

antibiotik kloramfenikol 250 mg l-1.

Pemilihan PSA sebagai media kultur

didasarkan pada hasil uji pendahuluan

dan merujuk pada Alam et al. (2001).

PSA dibuat dari 200 g kentang, 20 g

sukrosa, dan 20 g agar. Sebelum isolat

patogen digunakan pada uji bioaktivitas

ekstrak akar mahoni, uji virulensi

patogen dilakukan terlebih dahulu pada

bibit jabon berumur 4 bulan dengan

metode inokulasi blok agar tempel yang

mengacu pada Michailides (1991). Hasil

uji virulensi patogen menunjukkan

bahwa isolat B. theobromae

menyebabkan gejala mati pucuk hingga

kematian bibit setelah 10 hari sejak

inokulasi (HSI) yang menunjukkan

bahwa isolat patogen masih memiliki

virulensi yang tinggi.

Penyiapan ekstrak tanaman

Sampel akar mahoni dikeringudarakan

selama satu bulan, kemudian dijadikan

serbuk berukuran 40-60 mesh

menggunakan alat Willey Mill. Proses

ekstraksi dilakukan dengan teknik

maserasi menggunakan dua pelarut yaitu

metanol dan air panas yang mengacu

pada Maiti et al. (2007) dan Falah et al.

(2010). Proses ekstraksi metanol

dilakukan dengan cara merendam 500 g

serbuk akar mahoni dalam larutan

metanol dengan perbandingan 1:3 (v/v)

selama 3x24 jam sehingga diperoleh

ekstrak metanol. Selama proses

perendaman, pengadukan dilakukan

menggunakan pengaduk kaca.

Pemisahan cairan ekstrak dari residu

dilakukan dengan penyaringan

menggunakan kertas saring. Ekstrak

metanol dipekatkan dengan rotary

vacuum evaporator hingga diperoleh

ekstrak pekat, kemudian dikeringkan

dengan oven pada suhu 40 ºC. Proses

ekstraksi dengan pelarut air panas

dilakukan dengan cara sebanyak 500 g

serbuk akar mahoni dilarutkan dengan

aquades pada erlenmeyer 2000 ml

dengan perbandingan 1:3 (v/v),

kemudian dipanaskan dalam waterbath

pada suhu 100 ºC selama 4 jam. Cairan

ekstrak disaring dengan kain empat lapis,

kemudian cairan ekstrak yang diperoleh

dijadikan serbuk dengan alat vacuum pan

evaporator pada suhu 60 ºC.

Sediaan ekstrak akar mahoni (EM) yang

akan digunakan dalam setiap pengujian

dibuat dengan cara melarutkan sebanyak

5000 mg EM dalam 100 ml aquades

hingga homogen dengan steril panas

menggunakan stirrer selama 15 menit.

Khusus untuk EM dengan pelarut

metanol, pembuatan sediaan disterilisasi

dengan menambahkan sebanyak 5 ml

metanol terlebih dahulu sebelum

ditambahkan aquades, sedangkan

sterilisasi EM dari pelarut air panas

dilakukan pada autoclave dengan suhu

121 ºC tekanan 1 atm selama 15 menit

(Achmad & Suryana 2009).

Page 8: Ilmu dan Teknologi Kayu Tropis - mapeki.orgmapeki.org/web/wp-content/uploads/2017/02/Full-Issue-Vol.13-No.1.pdf · Jurnal Ilmu dan Teknologi Kayu Tropis ... hingga homogen dengan

4 J. Ilmu Teknol. Kayu Tropis Vol.13 No.1 Januari 2015

Uji aktivitas antifungi

Uji aktivitas antifungi EM terhadap

pertumbuhan isolat B. theobromae

dilakukan secara in vitro melalui teknik

peracunan makanan yang mengacu pada

Achmad dan Suryana (2009).

Rancangan penelitian yang digunakan

ialah rancangan acak lengkap dengan

sepuluh perlakuan EM dan tiga kali

ulangan. Perlakuan yang diberikan

berupa konsentrasi EM dengan pelarut

air panas (EAM) dan pelarut metanol

(EMM) pada taraf masing-masing 0, 5,

10, 25, dan 50% (Sangeetha et al. 2013).

Penyiapan konsentrasi ekstrak dilakukan

dengan cara mencampur EM dengan

media kultur PSA steril (v/v) sesuai

konsentrasi yaitu sebanyak 0,0; 0,5; 1,0;

2,5; dan 5,0 ml EM dicampurkan dengan

10,0; 9,5; 9,0; 7,5; dan 5,0 ml PSA untuk

menghasilkan media padat nutrisi

teracuni EM pada konsentrasi 0, 5, 10,

25, dan 50%.

Semua proses penyiapan media kultur uji

dilakukan secara steril pada laminar air

flow cabinet. Parameter uji yang diukur

adalah diameter koloni miselium setiap

periode 12 jam dan pengukuran

dihentikan pada saat koloni miselium

perlakuan kontrol memenuhi seluruh

permukaan cawan petri. Nilai efikasi EM

terhadap pertumbuhan isolat dihitung

dengan rumus penghambatan

pertumbuhan isolat yang mengacu pada

Dubey et al. (2009).

P (%) =C – T

C× 100%

dengan P = Penghambatan pertumbuhan

(%), C = Diamater radial koloni kontrol

(mm), T = Diameter radial koloni

perlakuan (mm).

Pangamatan mikroskopis

Pengamatan mikroskopis dilakukan

untuk mengetahui karakteristik

morfologi hifa B. theobromae pada

setiap perlakuan. Pengamatan dilakukan

dengan mikroskop cahaya pada gelas

preparat yang ditambahkan aquades.

Analisis data

Hasil uji in vitro dilakukan analisis

ragam dan jika pengaruhnya nyata maka

dilanjutkan dengan uji selang berganda

Duncan pada taraf uji 5%. Nilai

persentase penghambatan secara in vitro

diukur dengan kategorisasi efektivitas

mengacu pada Sangoyomi (2004) dalam

Okigbo dan Emeka (2010) yaitu

penghambatan ≤0% = tidak efektif;

penghambatan >0-20% = efektivitas

rendah; penghambatan >20-50% =

efektivitas sedang; penghambatan >50

%-<100% = efektif, penghambatan

100% = efektivitas sangat tinggi.

Hasil dan Pembahasan

Aktivitas antifungi

Hasil uji menunjukkan bahwa EM

memiliki sifat antifungi B. theobromae

baik ekstrak dengan pelarut metanol

maupun pelarut air yang ditunjukkan

dengan adanya penghambatan

pertumbuhan radial isolat B. theobromae

secara in vitro (Gambar 1). Hal ini

menunjukkan bahwa bagian metabolit

sekunder akar mahoni memiliki sifat

yang sama dengan bagian lainnya yang

bersifat antifungi seperti bagian daun,

biji, dan kulit batang meskipun diujikan

pada patogen fungi yang berbeda.

Gambar 2 menunjukkan nilai

penghambatan EM terhadap partum-

buhan isolat B. theobromae yang berbeda

antar kedua jenis pelarut dengan nilai

penghambatan tertinggi ditunjukkan oleh

EMM pada taraf perlakuan ekstrak 50%.

Page 9: Ilmu dan Teknologi Kayu Tropis - mapeki.orgmapeki.org/web/wp-content/uploads/2017/02/Full-Issue-Vol.13-No.1.pdf · Jurnal Ilmu dan Teknologi Kayu Tropis ... hingga homogen dengan

5 Aktivitas Antifungi Ekstrak Akar Mahoni terhadap Isolat Botryodiplodia theobromae Pat.

Penyebab Mati Pucuk pada Bibit Jabon

Syamsul Falah, Achmad, Aji Winara

Sementara itu pengaruh EAM

menunjukkan nilai penghambatan yang

lebih kecil dan berbeda nyata dengan

pengaruh EMM. Adanya perbedaan nilai

penghambatan pertumbuhan isolat akibat

EM dengan pelarut yang berbeda senada

dengan hasil penelitian Maiti et al.

(2007) bahwa ekstrak metanol biji

mahoni memberikan pengaruh

penghambatan yang lebih besar terhadap

pertumbuhan fungi secara in vitro

dibandingkan dengan ekstrak biji mahoni

dengan pelarut air. Demikian pula hasil

penelitian Kagale et al. (2004) bahwa

ekstrak Datura metel dengan pelarut

metanol lebih toksik 10-35% terhadap

pertumbuhan Rhizoctonia solani secara

in vitro dibandingkan ekstrak tanaman

yang sama dengan pelarut air.

Perbedaan pengaruh antar jenis pelarut

kemungkinan berkaitan dengan tingkat

kepolaran pelarut yang digunakan,

sehingga senyawa yang terekstrak akan

berbeda. Metanol mengandung pelarut

polar dan beberapa semipolar, sedangkan

air merupakan pelarut yang polar

menyebabkan senyawa kimia yang

terekstrak berbeda. Hal ini dibuktikan

oleh Tan et al. (2009), bahwa terdapat

perbedaan total senyawa fenol, tannin

dan flavonoid serta sifat antifungi yang

dihasilkan dari ekstrak daun mahoni

dengan pelarut yang berbeda tingkat

kepolarannya. Ayyappadhas et al. (2012)

juga melaporkan bahwa senyawa

metabolit sekunder dalam ekstrak daun

mahoni dengan pelarut yang berbeda

menghasilkan kandungan saponin,

flavonoid, tanin, alkaloid, antrakuinon,

dan terpenoid yang berbeda serta

aktivitas antibakteri dan antifungi yang

berbeda pula.

Berdasarkan kriteria efektivitas

fungisida, maka EMM efektif dalam

menghambat pertumbuhan isolat B.

theobromae, sedangkan EAM bersifat

kurang efektif. Efektivitas penghambatan

pertumbuhan fungi secara in vitro akibat

peracunan nutrisi oleh metabolit

sekunder tanaman dapat bersifat

fungisida atau fungistatik bergantung

pada nilai dan stabilitas penghambatan.

Gambar 1 Pertumbuhan koloni miselium B. theobromae pada berbagai taraf konsentrasi

ekstrak akar mahoni. Huruf a-e menunjukkan EMM dengan taraf a. konsentrasi 0%

(kontrol), b. 5%, c. 10%, d. 25% dan e. 50%. Huruf f sampai dengan j menunjukkan

EAM dengan taraf f. konsentrasi 0% (kontrol), g. 5%, h. 10%, i. 25% dan j. 50%.

a b c d

a

e

f g h i

d

j

Page 10: Ilmu dan Teknologi Kayu Tropis - mapeki.orgmapeki.org/web/wp-content/uploads/2017/02/Full-Issue-Vol.13-No.1.pdf · Jurnal Ilmu dan Teknologi Kayu Tropis ... hingga homogen dengan

6 J. Ilmu Teknol. Kayu Tropis Vol.13 No.1 Januari 2015

Gambar 2 Pengaruh taraf konsentrasi ekstrak akar mahoni terhadap penghambatan

pertumbuhan radial miselium isolat B.theobromae. EMM (■), EAM (□). Huruf-huruf di

atas balok data menunjukkan pembandingan nilai tengah antar perlakuan berdasarkan uji

selang berganda Duncan pada taraf nyata 0,05.

Stabilitas pengaruh ekstrak

Gambar 3 menunjukkan hasil

pengamatan pengaruh EMM pada taraf

konsentrasi 50% dalam menghambat

pertumbuhan radial isolat B. theobromae

secara berulang dalam periode 12 jam.

Pengaruh EMM bersifat stabil selama

periode pengamatan yang ditunjukkan

dengan pengaruh nilai penghambatan

seiring dengan waktu inkubasi bersifat

tidak berbeda nyata secara statistik. Nilai

penghambatan tertinggi EMM berada

pada periode waktu pengamatan jam ke-

36 yaitu sebesar 75,66%, kemudian

mengalami penurunan pada jam ke-48

menjadi 70,74% meskipun secara

statistik mengalami penurunan yang

tidak signifikan. Secara umum sejak

waktu inkubasi jam ke-12, pengaruh

EMM terhadap pertumbuhan isolat B.

theobromae masih di atas 50% hingga

akhir pengamatan. Hal ini menunjukkan

bahwa sejak awal periode pengamatan,

EMM efektif dalam menghambat

pertumbuhan isolat atau dalam arti lain

secara in vitro EMM potensial sebagai

bahan fungisida dalam mengendalikan

patogen B. theobromae penyebab mati

pucuk pada bibit jabon meskipun perlu

uji lanjut pada tingkatan in planta dan uji

fitotoksisitas.

Hasil pengamatan mikroskopis terhadap

isolat B. theobromae yang mendapatkan

perlakuan menunjukkan adanya

perubahan morfologi hifa menjadi tidak

normal yaitu berupa hifa yang berbentuk

manik-manik dan penyimpangan arah

pertumbuhan menjadi melingkar

(Gambar 4). Bentuk hifa isolat yang

tidak normal merupakan efek dari racun

yang dikeluarkan oleh EMM sehingga

pertumbuhan hifa menjadi terhambat.

Adanya morfologi hifa yang tidak

normal mengkonfirmasi penyebab

penghambatan pertumbuhan radial isolat

B. theobromae akibat EMM sebagaimana

menurut Hu et al. (2003) bahwa

perubahan morfologi hifa patogen yang

tidak normal akibat media kultur yang

mengalami peracunan oleh metabolit

sekunder tanaman dapat berupa

pembengkakan, berbentuk manik-manik,

pertumbuhan yang melingkar dan

berlebihan.

0.00d 2.78d

34.07b

70.74a

0.00d 1.48d 3.89d

20.74c

0

10

20

30

40

50

60

70

80

5% 10% 25% 50%

Pen

gham

bat

an (

%)

Taraf konsentrasi ekstrak

EMM EAM

Page 11: Ilmu dan Teknologi Kayu Tropis - mapeki.orgmapeki.org/web/wp-content/uploads/2017/02/Full-Issue-Vol.13-No.1.pdf · Jurnal Ilmu dan Teknologi Kayu Tropis ... hingga homogen dengan

7 Aktivitas Antifungi Ekstrak Akar Mahoni terhadap Isolat Botryodiplodia theobromae Pat.

Penyebab Mati Pucuk pada Bibit Jabon

Syamsul Falah, Achmad, Aji Winara

Gambar 3 Pengaruh taraf konsentrasi 50% ekstrak metanol akar mahoni terhadap

penghambatan pertumbuhan radial miselium isolat B. theobromae.

Gambar 4 Morfologi hifa B. theobromae secara mikroskopis : a. normal, b. berbentuk

manik-manik, c. perubahan arah pertumbuhan (melingkar). Tanda panah menunjukkan

letak morfologi hifa yang tidak normal.

Bentuk hifa tidak normal berupa bentuk

manik-manik akibat ekstrak tanaman

terjadi pula pada hifa Colletotrichum

lagenarium patogen antraknosa pada

kukumbar akibat ekstrak Cinnamomum

camphora (L.) sebagaimana dilaporkan

oleh Chan dan Dai (2012), sedangkan

bentuk hifa yang tidak normal berupa

perubahan arah pertumbuhan hifa yang

melingkar terjadi pula pada pertumbuhan

Ganoderma sp. akibat metabolit

sekunder dari ekstrak kulit Acacia

mangium sebagaimana dilaporkan oleh

Yuniarti (2010). Informasi mengenai

kandungan metabolit sekunder akar

mahoni belum diketahui, namun secara

umum kandungan utama mahoni adalah

limonoid yang merupakan turunan dari

terpenoid (Moghadamtousi et al. 2013).

Kesimpulan

Ekstrak akar mahoni memiliki aktivitas

antifungi B. theobromae secara in vitro

dan efektif dalam menghambat

pertumbuhan isolat patogen dengan nilai

penghambatan tertinggi dihasilkan oleh

55.86

74.25 75.66

70.74

0

10

20

30

40

50

60

70

80

12 24 36 48

Pen

gham

bat

an (

%)

Waktu inkubasi (Jam ke-)

a b c

Page 12: Ilmu dan Teknologi Kayu Tropis - mapeki.orgmapeki.org/web/wp-content/uploads/2017/02/Full-Issue-Vol.13-No.1.pdf · Jurnal Ilmu dan Teknologi Kayu Tropis ... hingga homogen dengan

8 J. Ilmu Teknol. Kayu Tropis Vol.13 No.1 Januari 2015

ekstrak dengan pelarut metanol pada

taraf konsentrasi ekstrak 50%.

Daftar Pustaka

Achmad, Suryana I. 2009. Pengujian

aktivitas ekstrak daun sirih (Piper

betle Linn.) terhadap Rhizoctonia sp.

secara in vitro. Bul Littro. 20(01):92-

98.

Aisah AR. 2014. Identifikasi dan

patogenisitas cendawan penyebab

primer penyakit mati pucuk pada bibit

jabon (Anthocephalus cadamba

(Roxb). Miq). [Tesis]. Bogor:

Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

Alam MS, Begum MF, Sarkar MA,

Islam MR. 2001. Effect of

temperature, light and media on

growth, sporulation, formation of

pigments and pycnidia of

Botryodiplodia theobromae Pat.

Pakistan J Biol Sci. 4(10):1224-1227.

Al-Saadon AH, Ameen MKM, Al-

Rubaie EMA. 2012. Histopathology

of grapevine inoculated with

Lasiodiplodia theobromae. Basrah J

Agric Sci. 25(1):1-12.

Anggraeni I, Lelana NI. 2011. Diagnosis

Penyakit Tanaman Hutan. Haneda

NF, Rahayu S, editor. Bogor: Pusat

Litbang Peningkatan Produktivitas

Hutan.

Ayyappadhas R, Jestin C, Kenneth N,

Dayana N, Dhanalekshmi UM. 2012.

Preliminary studies on antimicrobial

activity of Swietenia macrophylla leaf

extract. Int J Pharm Sci Rev Res.

16(2):1-4.

Chan Y, Dai G. 2012. Antifungal activity

of plant extracts against

Colletotrichum lagenarium, the causal

agent of anthracnose in cucumber. J

Sci Food Agric. 92:1937-1943. Doi:

10.1002/jsfa.5565.

Cillier AJ, Swart WJ, Wingfield MJ.

1993. A review of Lasiodiplodia

theobromae with particular reference

to each occurrence on coniferous

seeds. South African For J. 166:47-52.

Dewanjee S, Kundu M, Maiti A,

Majumdar R, Majumdar A, Mandal

SC. 2007. In vitro evaluation of

antimicrobial activity of crude extract

from plants Diospyros peregrina,

Coccinia grandis and Swietenia

macrophylla. Trop J Pharm Res.

6(3):773-778.

Dubey R, Kumar H, Pandey R. 2009.

Fungitoxic effect of neem extracts on

growth and sclerotial survival of

Macrophomina phaseolina in vitro. J

Am Sci. 5:17-24.

Eid AMM, El-Marzugi NA, El-Enshasy

HA. 2013. A review on the

phytopharmacological effect of

Swietenia macrophylla. Int J Pharm

Pharm Sci. 5(3):47-53.

Ellis D, Davis S, Alexiou H, Handke R,

Bartley R. 2007. Description of

Medical Fungi. Adelaide: School of

Molecular and Biomedical Science

University of Adelaide.

Falah S, Safithri M, Katayama T, Suzuki

T. 2010. Hypoglycemic effect of

mahogany (Swietenia macrophylla

King) bark extracts in alloxan-induced

diabetic Rats. Wood Res J. 1(2):89-94.

Haggag WM, Nofal MA. 2006.

Improving the biological control of

Botryodiplodia disease on some

Annona cultivar using single or multi-

bioagent in Egypt. Biol Control.

38:341-349. Doi:10.1016/j.

biocontrol.2006.02.010.

Hu K, Dong A, Kobayashi H, Iwasaki S,

Yao X. 2003. Antifungal agent from

tradisional Chinese medicines against

rice blast fungus Pyricularia oryzae

Page 13: Ilmu dan Teknologi Kayu Tropis - mapeki.orgmapeki.org/web/wp-content/uploads/2017/02/Full-Issue-Vol.13-No.1.pdf · Jurnal Ilmu dan Teknologi Kayu Tropis ... hingga homogen dengan

9 Aktivitas Antifungi Ekstrak Akar Mahoni terhadap Isolat Botryodiplodia theobromae Pat.

Penyebab Mati Pucuk pada Bibit Jabon

Syamsul Falah, Achmad, Aji Winara

Cavara Pp. 525-549. Dalam buku:

Plant-Derived Antimycotics :Current

Trend and Future Prospects. Rai M,

Mares D (Edt.). New York: Food

Product Press.

Ismail AM, Cirvilleri G, Polizzi G,

Crous W, Groenewald JZ, Lombard L.

2012. Lasiodiplodia species

associated with dieback disease of

Mango (Mangifera indica) in Egypt.

Aust Plant Pathol. 41:649–660.

Doi:10.1007/s13313-012-0163-1

Kagale S, Marimuthu T, Thayumanavan

B, Nandakumar R, Samiyappan R.

2004. Antimicrobial activity and

induction of systematic resistance in

rice by leaf extract of Datura metel

against Rhizoctonia solani and

Xanthomonas oryzae pv. oryzae. Phys

Mol Plant Pathol. 65:91-100. Doi:

10.1016/j.pmpp.2004.11.008.

Kannan C, Karthik M, Priya K. 2010.

Lasiodiplodia theobromae causes a

damaging dieback of Cocoa in India.

Plant Pathol. 59:410. Doi:

10.1111/j.1365-3059.2009.02192.x.

Khanzada MA, Lodhi AM, Shahzad S.

2004. Pathogencity of Lasiodiplodia

theobromae and Fusarium solani on

Mango. Pak J Bot. 36(1):181-189.

Krisnawati H, Kallio M, Kanninnen M.

2011. Anthocephalus cadamba Miq.,

Ecology, Silviculture dan

Productivity. Bogor: CIFOR.

Li HY, Cao RB, Mu YT. 1995. In vitro

inhibition of Botryosphaeria dothidea

and Lasiodiplodia theobromae, and

chemical control of Gummosis disease

of Japanese apricot and peach trees in

Zhejiang Province, China. Crop

Protect. 14(3):187-191.

Maiti A, Dewanjee S, Mandal SC,

Annadurai S. 2007. Exploration of

antimicrobial potential of methanol

and water extract of seed of Swietenia

macrophylla (famili: Meliaceae), to

substantiate folklore claim. Iranian J

Pharm Therapeutics. 6(1):99-102.

Mbenoun M, Zeutsa EHM, Samuels G,

Amougou, Nyasse S. 2008. Dieback

due to Lasiodiplodia theobromae, a

new constaint to cocoa production in

Cameroon. Plant Pathol. 57:381. Doi:

10.1111/j.1365-3059.2007. 017 555.x

Michailides TJ. 1991. Pathogenicity,

distribution, sources of inoculum and

infection courts of Botryosphaeria

dothidea on Pistachio. Phyto-

pathology. 81(5):566-571.

Moghadamtousi SZ, Goh BH, Chan CK,

Shabab T, Kadir HA. 2013.

Biological activities and phytoche-

micals of Swietenia macrophylla King.

Molecules.18:10465-10483. Doi:10.

3390/molecules180910465.

Njugana JW. 2011. Stem cancer and

dieback disease on Grivellea robusta

Cun. Ex. RBr. Distribution, causes,

and implications in agrofoestry system

in Kenya [Disertation]. Uppsala (SE):

Swedish University of Agricultural

Science.

Okigbo RN, Emeka AN. 2010.

Biological control of rot-inducing

fungi of Water Yam (Dioscorea alata)

with Trichoderma harzianum,

Pseudomonas syringae and

Pseudomonas chlororaphis. J Stored

Prod Postharvest Res. 1(2):18-23.

Pavlic D, Slipper B, Coutinho TA,

Wingfield MJ. 2007. Botryo-

sphaeriaceae occurring on native

Syzigium cordatum in South Africa

and their potential threat to

Eucalyptus. Plant Pathol. 56:624-636.

Doi: 10.1111/j.1365-3059. 2007.

01608.x

Page 14: Ilmu dan Teknologi Kayu Tropis - mapeki.orgmapeki.org/web/wp-content/uploads/2017/02/Full-Issue-Vol.13-No.1.pdf · Jurnal Ilmu dan Teknologi Kayu Tropis ... hingga homogen dengan

10 J. Ilmu Teknol. Kayu Tropis Vol.13 No.1 Januari 2015

Pedraza JMT, Aguilera JAM, Diaz CN,

Ortiz DT, Monter AV, Mir SGL.

2013. Control of Lasiodiplodia

theobromae, the causal agent of

dieback of sapote mamey (Pouteria

sapota Jacq.) H.E. Moore and Stern)

grafts in Mexico. Rev Fitotec Mex.

36(3):233-238.

Salamiah, Badruzsaufari, Arsyad M.

2008. Jenis tanaman inang dan masa

inkubasi patogen Botryodiplodia

theobromae Pat. penyebab penyakit

kulit diplodia pada jeruk. JHPT Trop.

8(2):123-131.

Sangeetha G, Thangavelu R, Rani SU,

Muthukumar A. 2013. Antimicrobial

activity of medicinal plants and

induction of defence related

compounds in banana fruits cv.

Robusta againts crown rot patogens.

Biol Control. 64:16-25.

Semangun H. 2000. Penyakit-Penyakit

Tanaman Perkebunan di Indonesia.

Yogyakarta: Gajah Mada University

Press.

Shah MD, Verma KS, Singh K, Kaur R.

2010. Morphological, pathological

and molecular variability in

Botryodiplodia theobromae

(Botryosphaeriaceae) isolated

associated with die-back and bark

cancer of pear trees in Punjab, India.

Gen Mol Res. 9(2):1217-1228.

Sharma JK, Sankaran KV. 1988.

Incidence and severity of

Botryodiplodia die-back in plantations

of Albizia falcataria in Kerala, India.

For Ecol Manag. 24:43-58.

Soerianegara I, Lemmens RHMJ. 1993.

Plant Resources of South-East Asia.

No. 5(1): Timber Trees: Major

Commercial Timbers. Wageningen:

Pudoc Scientific Publishers.

Tan SK, Osman H, Wong KC, Boey PL,

Ibrahim P. 2009. Antimicrobial and

antioxidant activities of Swietenia

macrophylla leaf extract. Reasearch

articles. As J Food Ag-Ind. 2(02):181-

188.

Torres JRU. 2008. Identification and

pathogenicity of Lasiodiplodia

theobromae and Diplodia seriata, the

causal agents of bot canker disease of

grapevines in Mexico. Plant Dis.

92:519-529. Doi: 0.1094/PDIS-92-4-

0519.

Yuniarti. 2010. Kajian pemanfaatan

ekstrak kulit Acacia mangium Wild.

sebagai antifungi dan pengujiannya

terhadap Fusarium sp. dan

Ganoderma sp. Sains Terapan Kim.

4(2):190-198.

Riwayat naskah:

Naskah masuk (received): 11 Agustus 2014

Diterima (accepted): 15 Oktober 2014

Page 15: Ilmu dan Teknologi Kayu Tropis - mapeki.orgmapeki.org/web/wp-content/uploads/2017/02/Full-Issue-Vol.13-No.1.pdf · Jurnal Ilmu dan Teknologi Kayu Tropis ... hingga homogen dengan

11 Physical and Mechanical Properties of 10-Year Old Superior and Conventional Teak Planted in

Randublatung Central Java Indonesia

Fanny Hidayati, Joko Sulistyo, Ganis Lukmandaru, Tomy Listyanto, Harry Praptoyo, Rini Pujiarti

Physical and Mechanical Properties of 10-Year Old Superior and

Conventional Teak Planted in Randublatung Central Java Indonesia

Fanny Hidayati*, Joko Sulistyo, Ganis Lukmandaru, Tomy Listyanto, Harry Praptoyo,

Rini Pujiarti

Faculty of Forestry, Gadjah Mada University, Jl. Agro No 1. Bulaksumur, Yogyakarta

*Corresponding author: [email protected]

Abstract

Tree breeding program has been conducted in Indonesia in order to produce more productive

teak trees. Recently, from this program, superior clones (clone source) of teak have been

selected for the establishment of the wider plantations. These clones show a good performance

on growth characteristics such as stem diameter and tree height. However, it is important to

evaluate wood quality of selected superior teak. Physical (heartwood percentage, wood color,

basic density, and shrinkage per 1% change in moisture content) and mechanical (static bending

strength and compressive strength) properties were investigated for 10-year old of two sources

type of teak (superior and conventional) planted in Randublatung, Central Java, Indonesia. There

was not significant different between superior and conventional teak was found in all physical

and mechanical properties of both teak wood, suggesting that wood properties of both teak are

similar at the same age. All trees are in juvenile phase as show by increasing of basic density

from pith to bark. Basic density has positively correlation with all mechanical properties

measured. It can be said that basic density can be used to estimate mechanical properties.

Keywords: conventional teak, mechanical properties, physical properties, superior teak

Abstrak

Program pemuliaan pohon telah dilakukan di Indonesia untuk meningkatkan produktivitas hutan

jati. Program ini telah menghasilkan bibit unggul dengan perbanyakan vegetative (klon) dan

telah digunakan sebagai materi pembangunan hutan tanaman jati di banyak lokasi. Karakteristik

pohon jati dari klon ini menunjukkan pertumbuhan diameter dan tinggi yang sangat baik. Akan

tetapi, sifat-sifat kayu dari pohon jati ini juga penting untuk diketahui. Oleh karena itu,

penelitian ini bertujuan untuk mengkaji sifat fisis (pesentase teras, warna kayu, kerapatan dasar,

dan perubahan dimensi per 1% perubahan kadar air) and mekanis (kekuatan lengkung statis dan

kekuatan tekan) pohon jati umur 10 tahun yang berasal dari 2 tipe sumber benih (superior dan

konvensional) yang ditanam di Randublatung, Jawa Tengah, Indonesia. Dari hasil penelitian

menunjukkan bahwa sifat fisis dan mekanis kayu jati superior (klon) dan jati konvensional (biji)

tidak berbeda secara nyata. Hal ini menunjukkan bahwa, pada umur yang sama jati superior dan

konvensional memiliki sifat yang sama. Variasi pada arah radial dari kerapatan dasar adalah naik

dari hati ke kulit. Dari hasil ini, diperkirakan bahwa kayu jati tersebut masih dalam fase juvenil.

Selanjutnya, kerapatan dasar berkorelasi positif terhadap semua sifat mekanis yang diukur. Hal

ini menunjukkan bahwa sifat mekanis dapat diduga melalui kerapatan dasar.

Kata kunci: jati unggul, jati konvensional, sifat fisis, sifat mekanis

Introduction

Teak (Tectona grandis L.f.) is an

important commercial plantation species,

and its demand is increasing in

Indonesia. In contrast, the total teak

wood production is decreasing because

of declining teak wood resources and the

plantation productivity (Hidayati et al.

Page 16: Ilmu dan Teknologi Kayu Tropis - mapeki.orgmapeki.org/web/wp-content/uploads/2017/02/Full-Issue-Vol.13-No.1.pdf · Jurnal Ilmu dan Teknologi Kayu Tropis ... hingga homogen dengan

12 J. Ilmu Teknol. Kayu Tropis Vol.13 No.1 Januari 2015

2014). Therefore, tree breeding program

has been conducted by Indonesian State

Forest Enterprise (Perhutani) since 1981

to produce more productive teak trees

(Suseno 2000). Recently, from this

program, superior clones (clone source)

of teak, which is called Jati Plus

Perhutani (JPP), have been selected for

the establishment of the wider

plantations. These clones show good

performance on growth characteristics

such as stem diameter and tree height.

It is important to evaluate wood quality

of selected superior teak. Wood quality is

determined by wood properties such as

anatomical, physical, and mechanical

properties which are very important for

the end use of the wood. Furthermore,

heartwood percentage is also important

factor due to its relationships with

natural durability of the wood.

The color of wood is one of the criteria

of wood to assess its suitability for

certain end-use, such as furniture and

decorative veneers (Thulasidas et al.

2006). Research about wood properties

of teak has been conducted by many

researchers in the world by destructive

and non-destructive evaluation

(Kedharnath et al. 1963, Indira & Bhat

1998, Bhat et al. 2001, Cordero &

Kanninen 2003, Bhat & Priya 2004,

Moya & Marin 2011, Hidayati et al.

2013a, 2013b, Hidayati et al. 2014).

Furthermore, many researchers also

conducted the research about heartwood

percentage and wood color of teak

(Cordero & Kanninen 2003; Kokutse et

al. 2006, Thulasidas et al. 2006,

Lukmandaru et al. 2009, Moya &

Berrocal 2010, Moya & Marin 2011).

However, researches about wood

properties of clone sources are limited in

Indonesia (Wahyudi & Arifien 2005,

Krisdianto & Sumarni 2006, Basri &

Wahyudi 2013, Wahyudi et al. 2014a,b).

The objectives of this study were to

clarify the heartwood percentage, wood

color, physical properties, and

mechanical properties of 10-year-old of

clone source and conventional teak (seed

source) planted in Randublatung, Central

Java. The differences between two

sources type, radial variation of basic

density, and relationship between basic

density and mechanical properties

measure were also investigated. The

information of these result are important

for the plantation management and

silvicultural practices.

Material and Methods

Sample preparation

Three trees of clone source and two trees

of seed source from Perum Perhutani

plantation located in Randublatung,

Central Java, Indonesia (7o05’S,

111o30’E) were used in this present

study. The environmental condition of

site was as follow; average temperature

of 27.5 oC; annual precipitation of 1650

mm/year; relative humidity of 72%,

altitude of 140 meter above sea level.,

soil of homous margalitic, loamy sand.

The mean diameter of clone and seed

source was 19.4 and 16.3 cm,

respectively. From these trees, only the

bottom part was used for determining

physical properties [heartwood

percentage, wood color, basic density,

and shrinkage per 1% change in moisture

content (radial, tangential, and

longitudinal)] and mechanical properties

(Modulus of Rupture, MOR and

Modulus of Elasticity, MOE) and

compressive strength (parallel and

perpendicular to grain).

Heartwood percentage and wood color

properties

Heartwood percentage was measured on

5-cm-thick disks cut from 30 cm above

Page 17: Ilmu dan Teknologi Kayu Tropis - mapeki.orgmapeki.org/web/wp-content/uploads/2017/02/Full-Issue-Vol.13-No.1.pdf · Jurnal Ilmu dan Teknologi Kayu Tropis ... hingga homogen dengan

13 Physical and Mechanical Properties of 10-Year Old Superior and Conventional Teak Planted in

Randublatung Central Java Indonesia

Fanny Hidayati, Joko Sulistyo, Ganis Lukmandaru, Tomy Listyanto, Harry Praptoyo, Rini Pujiarti

the ground. Total diameters of disks,

heartwood diameter, bark thickness,

height of disk were measured.

Heartwood percentage was calculated

using formula proposed by Wahyudi and

Arifien (2005).

For measuring wood color (heartwood

and sapwood), air-dried wood meal were

prepared. Color of wood meal was

measured using a colorimeter (NF333,

Nippon Denshoku). The CIELAB (L*,

a*, b*) system was employed to evaluate

heartwood and sapwood colors. The

value of L*, a*, and b* indicate

psychometric lightness, a color

parameter on the red/green axis, and a

color parameter on the yellow/blue axis,

respectively.

Physical properties

Basic density (BD) was measured on 10-

cm-thick disks cut from 30 cm above the

ground. Radial strips (2 cm in width, 2

cm in thickness, and length depend on

tree diameter) were prepare from each

disk. The radial variations of basic

density were determined at 2 cm

intervals from pith to bark. Small blocks

were obtained from two opposite sides

with respect to the pith of the disk. Basic

density was calculated as the ratio of

oven-dry weight to green volume as

determined by the water displacement

method.

A total of 25 specimens of clone and 12

specimens of conventional teak were

prepared from the disk cut from 30 cm

above the ground. The specimens were

placed in the laboratory until air-dried

condition. The radial, tangential, and

longitudinal dimensions of the specimens

under air- and oven-dried conditions

were measured by digital caliper.

Shrinkage in the radial, tangential, and

longitudinal directions per 1% change in

moisture content was calculated

according to Istikowati et al. (2012).

Mechanical properties

Air-dried specimens for MOR and MOE

tests (2 x 2 x 30) cm3, compressive tests

parallel and perpendicular to the grain (2

x 2 x 6) cm3 were obtained from air-

dried radial-sawn board cut from logs at

40 cm above the ground at 2-cm

intervals. The procedure of the testing

was according to British Standard (BS.

373:1957). The total specimens were 30

and 18 for clone and seed source

respectively. MOR, MOE tests and

compressive tests were conducted using

a Universal Testing Machine (Instron

3369) with load speed of 0.25 cm min-1

and 0.06 mm min-1, respectively. MOR,

MOE, compressive strength (parallel and

perpendicular to grain) were calculated

by using software (Bluehill 3, Instron).

Data analysis

T-test analysis was conducted to

determine the significant differences

between clone and seed source of all

physical and mechanical properties

measured. Simple correlation was also

conducted for determining correlation

between basic density and all mechanical

properties measured using Excel 2003.

Result and Discussion

Heartwood percentage and wood color

The statistical values of heartwood

percentage are listed in Table 1. The

mean value of heartwood percentage

from clone source and seed source teak

was 45.2 and 28.5%, respectively.

Krisdianto and Sumarni (2006) reported

that heartwood percentage was 39.6 and

20.3% of 7-year old clone and seed

source planted in East Kalimantan. On

the other hand, heartwood percentage of

Page 18: Ilmu dan Teknologi Kayu Tropis - mapeki.orgmapeki.org/web/wp-content/uploads/2017/02/Full-Issue-Vol.13-No.1.pdf · Jurnal Ilmu dan Teknologi Kayu Tropis ... hingga homogen dengan

14 J. Ilmu Teknol. Kayu Tropis Vol.13 No.1 Januari 2015

9-year old superior teak (JPP) planted in

Central Java was 25% (Basri & Wahyudi

2012). In addition, heartwood percentage

of 3-year old clone and seed source

planted in Semarang, Central Java were

29.81 and 25%, respectively (Wahyudi &

Arifien 2005). They also reported that

heartwood percentage of 8-year-old

conventional teak planted at the same

place was 58.23%.

This result of the heartwood percentage

is consistent with the result of previous

study by Krisdianto and Sumarni (2006).

Furthermore, heartwood percentage of

clone source was higher than seed source

but no significant difference was found

between clone and seed source. Wahyudi

and Arifien (2005) reported that

heartwood percentage was not significant

different between 3-year-old clone and

seed source. On the other hand,

heartwood percentage was significantly

different between clone and seed source,

which was clone source, has higher

heartwood percentage than seed source

(Krisdianto & Sumarni 2006). Our result

of the differences of heartwood

percentage of clone and seed source was

similar to this previous result (Wahyudi

& Arifien 2005). However, based on this

result, it is suggesting that clone source

has high possibility to have higher

heartwood percentage.

Table 1 also shows the statistical value of

the wood color of the two different

sources type. No significant difference

was found between L*, a*, and b* value

of heartwood and sapwood for clone and

seed sources. Moya and Berrocal (2010)

reported that the mean values of L*, a*,

and b* at the heartwood form 7- to 15-

year old teak trees planted in Costa Rica

were 58.2, 10.4, and 25.9, respectively.

At the sapwood, L*, a*, and b* were

73.8, 5.8, and 25.2, respectively. The

values of L*, a*, and b* at the inner

heartwood of 32-year old teak from

Randublatung were 54.2, 6.3, and 23.5,

respectively (Lukmandaru et al. 2009).

At the same age, previously report

showed that L*, a*, and b* of the

sapwood were 70.1, 3.8, and 26.4,

respectively. Our result of the wood

color (L*, a*, and b*) of heartwood and

sapwood were lower than these previous

reports (Lukmandaru et al. 2009, Moya

& Berrocal 2010).

Physical and mechanical properties

Table 2 shows physical and mechanical

properties of clone and seed sources. The

mean value of basic density was 0.47 and

0.48 g cm-3 for clone and seed sources,

respectively. Basri and Wahyudi (2012)

reported that specific gravity of superior

teak (JPP) from Central Java at 5-, 7-,

and 9-year old were 0.46, 0.49, and 0.51.

Specific gravity of 3-year old from clone

source planted in Semarang was 0.43-

0.64 (Wahyudi & Arifien 2005).

Wahyudi et al. (2014a) also reported that

specific gravity of 4- and 5-year old

superior teak planted in West Java was

0.35 and 0.45, respectively. Wenneng et

al. (2014) found that basic density of 10-,

15-, 20-, and 25-year old teak (source is

unknown) planted in Laos was 0.53,

0.52, 0.53, 0.50 g cm-3. Specific gravity

of 8-year old of seed source planted in

Semarang was 0.47 – 0.70 (Wahyudi &

Arifien 2005). Furthermore, basic

density of 10-year old teak planted in

Solomon island was 0.54 g cm-3

(Anonim, 2011).

In the present study, mean value of basic

density of clone and seed source is lower

than previous results at the same age and

around (Basri & Wahyudi 2012,

Wenneng et al. 2014, Wahyudi &

Arifien, 2005). However, the value is

higher than the result of the younger age

Page 19: Ilmu dan Teknologi Kayu Tropis - mapeki.orgmapeki.org/web/wp-content/uploads/2017/02/Full-Issue-Vol.13-No.1.pdf · Jurnal Ilmu dan Teknologi Kayu Tropis ... hingga homogen dengan

15 Physical and Mechanical Properties of 10-Year Old Superior and Conventional Teak Planted in

Randublatung Central Java Indonesia

Fanny Hidayati, Joko Sulistyo, Ganis Lukmandaru, Tomy Listyanto, Harry Praptoyo, Rini Pujiarti

of the previous results (Basri & Wahyudi

2012, Wahyudi & Arifien 2005,

Wahyudi et al. 2014a). Therefore, it can

be said that basic density of wood will

increase with the increasing of the three

age.

Table 1 Statistical values of heartwood percentage and wood color of teak from two

sources type

Properties

Source Significant between

two sources type Clone (n=3) Seed (n=2)

Mean SD Mean SD

Heartwood percentage 45.2 9.1 28.5 7.6 ns

Wood color Heartwood L* 46.7 6.3 45.3 5.3 ns

a* 10.5 0.7 10.3 0.9 ns

b* 19.1 1 18.9 2 ns

Sapwood L* 56.8 3 59.2 3.1 ns

a* 6.9 0.8 8.4 0.8 ns

b* 11.6 1.9 15.5 2.4 ns Note : n = number of sample tree, SD = standard deviation, ns = no significance.

Table 2 Mean values of physical properties and mechanical properties of teak from two

sources type

Properties

Source Significant

between two

source types

Clone (n=3) Seed (n=2)

Mean SD Mean SD

Physical properties

Basic density (g cm-3) 0.47 0.02 0.48 0.03 ns

RS per 1% change in MC (%) 0.13 0.03 0.10 0.01 ns

TS per 1% change in MC (%) 0.24 0.04 0.21 0.01 ns

LS per 1% change in MC (%) 0.04 0.02 0.04 0.01 ns

Mechanical properties

Static bending strength

MOR (kg cm-2) 805 66 889 23 ns

MOE (x 1000 kg cm-2) 92 8 109 14 ns

Compressive strength parallel to

grain (kg cm-2) 406 34 441 6 ns

Compressive strength

perpendicular to grain (kg cm-2) 202 11 239 31 ns Note : RS = radial shrinkage, TS = tangential shrinkage, LS = longitudinal shrinkage, MC = moisture

content, n = number of sample tree, SD = standard deviation, ns = no significance.

Page 20: Ilmu dan Teknologi Kayu Tropis - mapeki.orgmapeki.org/web/wp-content/uploads/2017/02/Full-Issue-Vol.13-No.1.pdf · Jurnal Ilmu dan Teknologi Kayu Tropis ... hingga homogen dengan

16 J. Ilmu Teknol. Kayu Tropis Vol.13 No.1 Januari 2015

The statistical analysis using t-test shows

that basic density was not significant

difference between two source types of

teak (Table 2). Wahyudi and Arifien

(2005) reported that at 3-year old, clone

and seed source has similar value of

density. Our result of differences of basic

density between clone and seed source

are consistent with the previous results

(Wahyudi & Arifien 2005). Furthermore,

Figure 1 shows the radial variation of

clone and seed source. The radial

variation of basic density of both sources

type were increase from pith to bark.

Hidayati et al. (2014) reported that basic

density of 12-year old teak clones were

gradually increased from pith to bark. On

the other hand, basic density varied

relatively little from pith to bark (Bhat et

al. 2001). Our result of radial variation of

basic density is consistent with the result

reported by Hidayati et al. (2014).

Based on this result, it is suggesting that

these woods are still in juvenile phase.

Hidayati et al. (2014) reported that

xylem maturation process in teak is

depending on age rather than diameter

growth. Furthermore, Bhat et al. (2001)

reported that the maturity of teak begins

at approximately 15-25 year.

The mean value of radial, tangential, and

longitudinal shrinkages per 1% change in

Moisture content are shown in Table 2.

The mean value of radial, tangential, and

longitudinal shrinkage were 0.13 and

0.10, 0.24 and 0.21, and 0.04 and 0.04

for clone and seed source, respectively.

On the other hardwood species in

Indonesia, the mean values of radial

shrinkage of Terap, Medang, and Balik

Angin were 0.15, 0.26, and 0.17,

respectively. The mean value of

tangential shrinkage was 0.24, 0.31, and

0.22 for Terap, Medang, and Balik Angin

(Istikowati et al. 2014). In addition, the

basic density of Terap and Balik Angin

was lower and Medang was higher than

our results in Table 2. Furthermore, no

significant difference was found between

clone and seed source for radial,

tangential, and longitudinal shrinkages

(Table 2). Based on this result, it is

suggesting that dimensional stability

between clone and seed source is similar

at the same age.

Figure 1 Radial variation of the basic density form two different sources type.

0.0

0.1

0.2

0.3

0.4

0.5

0.6

2 4 6 8

Bas

ic d

ensi

ty (

g c

m-3

)

Distance from pith (cm)

Clone Seed

Page 21: Ilmu dan Teknologi Kayu Tropis - mapeki.orgmapeki.org/web/wp-content/uploads/2017/02/Full-Issue-Vol.13-No.1.pdf · Jurnal Ilmu dan Teknologi Kayu Tropis ... hingga homogen dengan

17 Physical and Mechanical Properties of 10-Year Old Superior and Conventional Teak Planted in

Randublatung Central Java Indonesia

Fanny Hidayati, Joko Sulistyo, Ganis Lukmandaru, Tomy Listyanto, Harry Praptoyo, Rini Pujiarti

Table 2 also shows the result of

mechanical properties. The mean value

of static bending strength of MOR was

805 and 889 kg cm-2 for clone and seed

source, respectively. MOE was 92,000

and 109,000 kg cm-2 for clone and seed

source respectively. MOR and MOE of

10-year-old teak at base part planted in

Solomon Island were 1,080 and 118,000

kg cm-2, respectively (Anonim, 2011).

Wahyudi and Arifien (2005) reported

that MOR and MOE of 8-year-old of

conventional teak at the base part planted

in Semarang were about 970 and 73,000

kg cm-2. On the other hand, at 3-year-old

of clone and seed source planted in the

same place, MOR was about 780 and

720 kg cm-2, respectively, whereas for

MOE was 62,000 and 42,000 kg cm-2

(Wahyudi & Arifien 2005). Furthermore,

MOR was 654 and 782 kg cm-2 for 4-

and 5- year-old of teak planted in West

Java. At the same ages, MOE was 77.995

and 80,653 kg cm-2, respectively

(Wahyudi et al. 2014a).

Figure 2 Relationships between basic density and MOR and MOE of teak.

R² = 0.501

0

400

800

1200

1600

0.0 0.2 0.4 0.6 0.8

MO

R (

kg c

m-2

)

Basic density (g cm-3)

R² = 0.5593

0

40

80

120

160

0.0 0.2 0.4 0.6 0.8

MO

E (

x1

00

0 k

g c

m-2

)

Basic density (g cm-3)

Page 22: Ilmu dan Teknologi Kayu Tropis - mapeki.orgmapeki.org/web/wp-content/uploads/2017/02/Full-Issue-Vol.13-No.1.pdf · Jurnal Ilmu dan Teknologi Kayu Tropis ... hingga homogen dengan

18 J. Ilmu Teknol. Kayu Tropis Vol.13 No.1 Januari 2015

Figure 3 Relationships between basic density and compressive strength of teak.

In the present study, MOE and MOR

values especially for conventional teak

was slightly lower than previous results

at the same age (Anonim 2011).

However, the values were higher than

previous results at the younger age of

teak trees (Wahyudi & Arifien 2005,

Wahyudi et al. 2014a). Therefore,

similar to basic density, MOE and MOR

of static bending strength will increase

with the increasing of tree age.

Furthermore, compressive strength

parallel to grain and compressive

strength perpendicular to grain were also

determined in this present study (Table

2). The mean value of compressive

strength parallel to grain was 406 and

441 kg cm-2 for clone and seed source,

respectively. In addition, the mean value

of compressive strength perpendicular to

grain was 202 and 239 kg cm-2 for clone

and seed source. The information of

R² = 0.3043

0

200

400

600

0.0 0.2 0.4 0.6 0.8

Co

mp

ress

ive

stre

ngth

par

alle

l to

gra

in

(kg c

m-2

)

Basic density (g cm-3)

R² = 0.2301

0

100

200

300

400

0.0 0.2 0.4 0.6 0.8

Co

mp

ress

ive

stre

ngth

per

pen

dic

ula

r to

gra

in (

kg c

m-2

)

Basic density (g cm-3)

Page 23: Ilmu dan Teknologi Kayu Tropis - mapeki.orgmapeki.org/web/wp-content/uploads/2017/02/Full-Issue-Vol.13-No.1.pdf · Jurnal Ilmu dan Teknologi Kayu Tropis ... hingga homogen dengan

19 Physical and Mechanical Properties of 10-Year Old Superior and Conventional Teak Planted in

Randublatung Central Java Indonesia

Fanny Hidayati, Joko Sulistyo, Ganis Lukmandaru, Tomy Listyanto, Harry Praptoyo, Rini Pujiarti

compressive strength for the young teak

is very limited. No significant difference

was found between clone and seed

source for all mechanical properties

(Table 2). Wahyudi and Arifien (2005)

reported that MOE and MOR were not

different between clone and seed source

which was in agreement with this results.

Based on this result, it can be said that

mechanical properties is not differ

between clone and seed source at the

same age.

Relationship between basic density

and mechanical properties

Figure 2 and 3 show the relationships

between basic density and mechanical

properties. Basic density was positively

significant correlation with all

mechanical properties measured.

Thulasidas and Bhat (2012) reported that

MOR, MOE, and compressive strength

parallel to grain has significant positive

correlation with air-dried density in teak

planted in Kerala, India. Other

researchers reported that basic density

has positively significant correlation with

compressive strength parallel to grain in

teak clones planted in Indonesia

(Hidayati et al. 2014). Similar result was

also found in other hardwood species in

Indonesia (Makino et al. 2012, Istikowati

et al. 2014). In the present study, result

of the relationship between basic density

and mechanical properties was in

agreement with these previous studies

(Thulasidas & Bhat 2012, Hidayati et al.

2014, Makino et al. 2012, Istikowati et

al. 2014). Therefore, based on this result,

it can be concluded that mechanical

properties can be predicted by basic

density.

Conclusion

No significant difference between two

sources type of teak seed was found in

heartwood percentage, wood color, and

all physical and mechanical properties

measured. It is suggesting that wood

properties are similar between clone and

seed source at the same age. This result

shows the promising future of utilization

of clone as source of superior teak.

Plantation management and silvicultural

practices should be concerning to

produce more productive teak forest

without decreasing the quality of wood.

However, further research is required to

clarify this result. Furthermore, radial

variation of basic density was increase

from pith to bark, indicating that this

wood is still in juvenile phase. As basic

density was significantly correlation to

all mechanical properties. It can be said

that basic density can be used to estimate

mechanical properties.

Acknowledgment

The author expresses sincere thanks to

Perum Perhutani especially for ADM-

KKPH Randublatung for providing

sample trees. Sincere thanks also

addressed to Project of PUPT DIKTI for

the funding to conduct this research.

References

Anonim. 2011. Selected wood properties

and potential uses for plantation teak

and poumuli. ACIAR project report

FST/2007/020. States of Queensland:

Dept of Employment, Economic

Development and Inovation. pp: 1-35.

Basri E, Wahyudi I. 2012. Sifat dasar

kayu jati plus Perhutani dari berbagai

umur dan kaitannya dengan sifat dan

kualitas pengeringan. J Penelitian

Hasil Hutan. 31:93-102.

Bhat KM, Priya PB. 2004. Influence of

provenance variation on wood

properties of teak from the Western

Page 24: Ilmu dan Teknologi Kayu Tropis - mapeki.orgmapeki.org/web/wp-content/uploads/2017/02/Full-Issue-Vol.13-No.1.pdf · Jurnal Ilmu dan Teknologi Kayu Tropis ... hingga homogen dengan

20 J. Ilmu Teknol. Kayu Tropis Vol.13 No.1 Januari 2015

Ghat region in India. IAWA J. 25:273-

282.

Bhat KM, Priya PB, Rugmini P. 2001.

Characterization of juvenile wood in

teak. Wood Sci Technol. 34:517-532.

Cordero LDP, Kanninen M. 2003.

Heartwood, sapwood and bark

content, and wood dry density of

young and mature teak (Tectona

grandis) trees grown in Costa Rica.

Silva Fennica. 37:45-54.

Hidayati F, Ishiguri F, Iizuka K, Makino

K, Marsoem NS, Yokotas S. 2014.

Among-clone variations of anatomical

characteristics and wood properties in

Tectona grandis planted in Indonesia.

Wood Fiber Sci. 46:385-393.

Hidayati H, Ishiguri F, Iizuka K, Makino

K, Takashima Y, Danarto S, Winarni

WW, Irawati D, Na`iem M, Yokota S.

2013. Variation in tree growth

characteristics, stress-wave velocity,

and Pilodyn penetration of 24-year-

old teak (Tectona grandis) trees

originating in 21 seed provenances

planted in Indonesia. J Wood Sci. 59:

512-516.

Hidayati H, Ishiguri F, Iizuka K, Makino

K, Tanabe J, Marsoem SN, Na`iem

M, Yokota S, Yoshizawa N. 2013.

Growth characteristics, stress-wave

velocity, and Pilodyn penetration of

15 clones of 12-year-old Tectona

grandis trees planted at two different

sites in Indonesia. J Wood Sci. 59:

249-254.

Indira EP, Bhat KM. 1998. Effects of site

and place of origin on wood density

of teak (Tectona grandis) clones. J

Trop For Sci. 10:537-541.

Istikowati W, Ishiguri F, Aiso H,

Hidayati F, Tanabe J, Iizuka K, Sutiya

B, Wahyudi I, Yokota S. 2014.

Physical and mechanical properties of

woods from three native fast-growing

species in a secondary forest in South

Kalimantan, Indonesia. Forest Prod J.

64:48-54.

Kedharnath S, Chacko VJ, Gupta SK,

Mattews JD. 1963. Geographic and

individual tree variation in some

wood character of teak (Tectona

grandis L.f): I. Fiber length. Silvae

Genet. 12:181-187.

Kokutse AD, Stokes A, Bailleres H,

Kokou K, Baudasse C. 2006. Decay

resistance of Togolese teak (Tectona

grandis L.f) heartwood and

relationship with colour. Trees. 20:

219-223.

Krisdianto, Sumarni G. 2006.

Perbandingan persentase volume teras

kayu jati cepat tumbuh dan

konvensional umur 7 tahun asal

Penajam, Kalimantan Timur. J

Penelitian Hasil Hutan. 24:385-394.

Lukmandaru G, Ashitani T, Takahashi

K. 2009. Color and chemical

characterization of partially black-

streaked heartwood in teak (Tectona

grandis). J For Res. 20: 377-380.

Makino K, Ishiguri F, Wahyudi I,

Takashima Y, Iizuka K, Yokota S,

Yoshizawa N. 2012. Wood properties

of young Acacia mangium trees

planted in Indonesia. Forest Prod J.

62:102-106.

Moya R, Berrocal A. 2010. Wood colour

variation in sapwood and heartwood

of young trees of Tectona grandis and

its relationship with plantation

characteristics, site, and decay

resistance. Ann For Sci. 67:109. Doi

10.1051/forest/2009088.

Moya R, Marin JD. 2011. Grouping of

Tectona grandis (L.f) clones using

wood color and stiffness. New For.

42:329-345.

Page 25: Ilmu dan Teknologi Kayu Tropis - mapeki.orgmapeki.org/web/wp-content/uploads/2017/02/Full-Issue-Vol.13-No.1.pdf · Jurnal Ilmu dan Teknologi Kayu Tropis ... hingga homogen dengan

21 Physical and Mechanical Properties of 10-Year Old Superior and Conventional Teak Planted in

Randublatung Central Java Indonesia

Fanny Hidayati, Joko Sulistyo, Ganis Lukmandaru, Tomy Listyanto, Harry Praptoyo, Rini Pujiarti

Thulasidas PK, Bhat KM, Okuyama T.

2006. Heratwood color variation in

home garden teak (Tectona grandis)

from wet and dry localities of Kerala,

India. J Trop For Sci. 18:51-54.

Thulasidas PK, Bhat KM. 2012.

Mechanical properties and wood

structure characteristics of 35-year old

home-graden teak from wet and dry

localities of Kerala, India in

comparison with plantation teak. J

Indian Acad Wood Sci. 9:23-32.

Wahyudi I, Arifien AF. 2005.

Perbandingan struktur anatomis, sifat

fisis, dan sifat mekanis kayu jati

unggul dan kayu jati konvensional. J

Ilmu Teknol. Kayu Tropis. 3:9-15.

Wahyudi I, Priadi T, Rahayu IS. 2014a.

Karakteristik dan sifat-sifat dasar

kayu jati unggul umur 4 dan 5 tahun

asal Jawa Barat. J Ilmu Pertanian

Indonesia. 19:50-56.

Wahyudi I, Sinaga DKD, Muhran, Jasni

LB. 2014b. Pengaruh jarak tanam

terhadap pertumbuhan pohon dan

beberapa sifat fisis-mekanis kayu jati

cepat tumbuh. J Ilmu Pertanian

Indonesia. 19:204-010.

Wanneng PX, Ozarska B, Daian MS.

2014. Physical properties of Tectona

grandis grown in Laos. J Trop For

Sci. 26:389-396.

Riwayat naskah:

Naskah masuk (received): 4 September 2014

Diterima (accepted): 2 Nopember 2014

Page 26: Ilmu dan Teknologi Kayu Tropis - mapeki.orgmapeki.org/web/wp-content/uploads/2017/02/Full-Issue-Vol.13-No.1.pdf · Jurnal Ilmu dan Teknologi Kayu Tropis ... hingga homogen dengan

22 J. Ilmu Teknol. Kayu Tropis Vol.13 No.1 Januari 2015

Perilaku Elastik Beban-Defleksi Balok Kayu Laminasi pada Pengujian

Lentur

(Elastic Load-Deflection Behavior of Timber Laminated Beam on

Flexural Test)

Fengky S Yoresta

Departemen Hasil Hutan, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor

Kampus IPB Dramaga, Bogor 16680

Penulis korespondensi: [email protected]

Abstract

This research aims to understand the behavior of elastic bending curve on several types of timber

laminated beams using bolts and combination of bolt-adhesive as connector among the timber

layers. The beams are divided into types A, B, and C based on position of bolts and adhesive on

beam. Flexural testing is conducted with one-point loading method using 5 tons capacity of

Instron machine. The test results are then compared with theory of beam deflection by Euler-

Bernoulli and Timoshenko. The research concludes that Timoshenko beam equation is accurate

enough to predict the elastic behavior of beams. Deflection obtained from experiment is about

two times larger than Euler-Bernoulli beam and not more than 1% error to Timoshenko.

Keywords: adhesive, bolts, elastic behavior, flexural testing, laminated beam

Abstrak

Penelitian ini bertujuan memahami perilaku kurva elastik lentur beberapa tipe balok laminasi

kayu yang menggunakan baut dan kombinasi baut-perekat sebagai penghubung antar lapisan

kayu. Balok dibedakan menjadi tipe A, B, dan C berdasarkan posisi penempatan baut dan

perekat pada balok. Pengujian lentur dilakukan dengan metode one point loading menggunakan

mesin Instron berkapasitas 5 ton. Hasil pengujian kemudian dibandingkan dengan teori defleksi

balok Euler-Bernoulli dan Timoshenko. Hasil penelitian menyimpulkan bahwa persamaan balok

Timoshenko cukup akurat untuk memprediksi perilaku elastik balok. Defleksi yang diperoleh

dari eksperimen adalah sekitar dua kali lebih besar dari balok Euler-Bernoulli dan error tidak

lebih dari 1% dari balok Timoshenko.

Kata kunci: balok laminasi, baut, pengujian lentur, perekat, perilaku elastik

Pendahuluan

Balok laminasi baut adalah balok yang

terdiri lebih dari satu lapisan kayu yang

membentuk suatu sistem laminasi

dengan baut berfungsi sebagai transfer

geser antar lapisan (Pranata et al. 2010,

Pranata et al. 2011). Penggunaan baut

sebagai penghubung antar lapisan kayu

pada balok laminasi memungkinkan

balok ini menjadi lebih mudah dan cepat

dalam pembuatannya. Hal ini terutama

sangat berguna ketika menghadapi

kondisi darurat setelah terjadi bencana.

Kebanyakan insfrastruktur sipil seperti

jembatan mengalami rusak berat setelah

terjadi gempa kuat misalnya, sehingga

membutuhkan perbaikan dengan sangat

segera karena fungsi dan keberadaannya

sangat diperlukan untuk akses darurat

bencana.

Kekakuan balok laminasi dapat melebihi

kayu solid. Berbagai faktor seperti jenis

kayu dan cara menghubungkan antar

lapisan kayu akan mempengaruhi

Page 27: Ilmu dan Teknologi Kayu Tropis - mapeki.orgmapeki.org/web/wp-content/uploads/2017/02/Full-Issue-Vol.13-No.1.pdf · Jurnal Ilmu dan Teknologi Kayu Tropis ... hingga homogen dengan

23 Perilaku Elastik Beban-Defleksi Balok Kayu Laminasi pada Pengujian Lentur

Fengky S Yoresta

kekuatan dan kekakuan balok laminasi.

Penelitian terhadap berbagai jenis balok-

kotak laminasi baut untuk jembatan

(Gotou 2014) menyimpulkan bahwa,

dalam beberapa kasus, kekakuan lentur

balok dapat mencapai 50% lebih kecil

dari nilai kekakuan yang diperoleh

menggunakan teori Euler-Bernoulli. Hal

ini sekitar 10% disebabkan oleh

perlemahan titik hubung di area tarik

balok (bagian bawah balok) dan

selebihnya (sebagian besar) disebabkan

oleh deformasi geser yang terjadi. Hal ini

sesuai dengan teori Timoshenko yang

memperhitungkan adanya pengaruh

geser pada balok. Biasanya tegangan

geser bernilai tinggi disekitar daerah

sumbu netral balok sehingga

memungkinkan deformasi geser yang

besar di daerah ini. Dalam penelitian ini

hasil pengujian dibandingkan dengan

teori defleksi balok yang dikemukakan

oleh Euler-Bernoulli dan Timoshenko.

Penelitian ini bertujuan memahami

perilaku elastik lentur beberapa tipe

balok laminasi kayu yang menggunakan

baut dan paku.

Bahan dan Metode

Penelitian ini menggunakan kayu mahoni

berkadar air 13%. Perekat Epoxy demp-

X dengan perbandingan 1:1 serta baut

berdiameter 3 mm digunakan sebagai

penghubung geser.

Total semua balok berjumlah 18 sampel

uji. Balok dibagi menjadi 3 tipe, yaitu

tipe A, B, dan C. Pembagian tipe tersebut

dilakukan berdasarkan posisi

penempatan baut dan perekat pada balok.

Balok tipe A hanya menggunakan baut

sebagai penghubung antar laipsan kayu

penyusun balok. Baut ditempatkan di

setiap jarak 5 cm disepanjang bentang

balok. Sementara itu balok tipe B dan C

menggunakan gabungan antara perekat

dan baut. Baut pada balok tipe C

ditempatkan disepenjang 30 cm di tengah

bentang balok, dengan jarak yang sama

dengan jarak baut pada balok tipe A, dan

perekat digunakan di selain area tersebut,

sedangkan pada balok tipe B baut

ditempatkan di sepanjang area yang

menggunakan perekat pada balok tipe C

yaitu sepanjang 30 cm di kedua ujung

balok, dan perekat ditempatkan di area

yang menggunakan baut (sepanjang 30

cm di tengah bentang balok).

Balok terdiri atas 3 lapis lamina dengan

ketebalan masing-masing lamina adalah

1,67 cm. Tabel 1 memperlihatkan

pembagian sampel uji untuk masing-

masing tipe balok. Semua balok diuji

lentur menggunakan mesin Instron

berkapasitas 5 ton. Pengujian dilakukan

dengan metode pembebanan terpusat di

tengah bentang dengan panjang bentang

balok adalah 90 cm.

Tabel 1 Pembagian sampel uji balok kayu laminasi

No Tipe Penghubung Diameter baut Kode sampel Jumlah

1 A baut 3 cm Exp1, Exp2, Exp3 3

2 B baut, perekat 3 cm Exp1, Exp2, Exp3 3

3 C baut, perekat 3 cm Exp1, Exp2, Exp3 3

Total 9

Page 28: Ilmu dan Teknologi Kayu Tropis - mapeki.orgmapeki.org/web/wp-content/uploads/2017/02/Full-Issue-Vol.13-No.1.pdf · Jurnal Ilmu dan Teknologi Kayu Tropis ... hingga homogen dengan

24 J. Ilmu Teknol. Kayu Tropis Vol.13 No.1 Januari 2015

Hasil dan Pembahasan

Perbedaan mendasar antara teori balok

Euler-Bernoulli dan Timoshenko dapat

dijelaskan seperti pada Gambar 1. Teori

balok Euler-Bernoulli mengabaikan

adanya pengaruh deformasi geser pada

penampang balok, yaitu dengan cara

mengasumsikan bahwa bidang

penampang tetap tegak lurus (tidak

berubah) terhadap garis netral

penampang balok selama terjadi

lenturan. Hal ini menjadikan tegangan

dan regangan geser tidak diperhitungkan

dalam teorinya.

Namun berbeda dengan teori balok

Timoshenko bahwa deformasi balok

didasarkan pada deformasi geser.

Disekitar daerah netral terjadi tegangan

geser yang tinggi sehingga menyebabkan

deformasi geser. Tegangan geser yang

bekerja di satu sisi elemen selalu akan

disertai tegangan geser yang besarnya

sama dan bekerja tegak lurus muka

elemen tersebut. Dengan asumsi bahwa

tegangan geser yang bekerja disetiap

elemen kecil pada penampang balok

tersebut adalah vertikal, maka terjadi

tegangan horizontal yang bekerja antara

lapisan horizontal balok yang besarnya

sama dengan tegangan geser vertikal

tersebut. Tegangan geser maksimum

(τmaks) di balok dengan penampang

persegi panjang adalah 50% lebih besar

dari teganagn geser rata-rata V/A (Gere

et al. 1997).

Hasil pengujian lentur dan nilai yang

diperoleh secara teoritis balok laminasi

baut tipe A diperlihatkan pada Gambar 2.

Garis “EB” adalah grafik hubungan

beban-defleksi yang diperoleh

menggunakan teori deflesi balok yang

dikemukakan oleh Euler-Bernoulli

(persamaan 1) dan garis “Timo” adalah

grafik beban-defleksi berdasarkan teori

balok Timoshenko (persamaan 2),

sedangkan angka 1, 2, dan 3

menunjukkan nomor sampel balok.

Sementara itu, defleksi balok laminasi

yang diperoleh dari hasil pengujian

lentur diperlihatkan oleh garis Exp1,

Exp2, dan Exp3.

Gambar 1 Perbandingan deformasi balok

Euler-Bernoulli dan balok Timoshenko.

Kedua persamaan ini (Persamaan 1 dan

2) ditentukan dengan melibatkan

persamaan (3) untuk nilai koefisien geser

k yang dipengaruhi oleh nilai rasio

poisson υ material balok (Timoshenko

1972), persamaan (4), dan persamaan (5)

(Cahyono et al. 2014). Eapp adalah nilai

Modulus Elastisitas yang diperoleh

dengan hanya memperhitungkan defleksi

akibat lentur, sedangkan Etrue adalah

Modulus Elastisitas akibat lentur dan

geser. Kedua nilai ini memiliki

perbedaan mencapai 13,4% untuk balok

glulam kayu eukaliptus (Sulistyawati

2006). Substitusi persamaan (5) ke (4)

menghasilkan persamaan hubungan

antara modulus geser G dan Eapp.

Persamaan tersebut selanjutnya

disubstitusi kembali ke persamaan (2).

Nilai modulus geser G yang dihasilkan

kemudian digunakan untuk menentukan

Eapp dari hasil substitusi persamaan (5)

dan (4).

Page 29: Ilmu dan Teknologi Kayu Tropis - mapeki.orgmapeki.org/web/wp-content/uploads/2017/02/Full-Issue-Vol.13-No.1.pdf · Jurnal Ilmu dan Teknologi Kayu Tropis ... hingga homogen dengan

25 Perilaku Elastik Beban-Defleksi Balok Kayu Laminasi pada Pengujian Lentur

Fengky S Yoresta

𝛿 =𝑃𝐿3

48𝐸𝑎𝑝𝑝.𝐼 ...... (1)

𝛿 =𝑃𝐿3

48𝐸𝑎𝑝𝑝.𝐼+

𝑃𝐿

4𝑘𝐺𝐴 ...... (2)

𝑘 =10(1+𝑣)

12+11𝑣 ...... (3)

𝐸𝑡𝑟𝑢𝑒 =𝑃𝐿3

4𝑏ℎ3𝛿(1−3𝑃𝐿

10𝑏ℎ𝐺𝛿) ...... (4)

𝐸𝑡𝑟𝑢𝑒 = −829 + 1,04𝐸𝑎𝑝𝑝 ...... (5)

Dari Gambar 2 dapat dilihat bahwa kurva

hasil pengujian lentur balok tipe A untuk

semua ulangan berhimpit dengan kurva

balok Timoshenko. Kondisi ini juga

terjadi pada balok tipe B dan C (Gambar

3 dan 4). Perbedaan kedua kurva tersebut

bahkan tidak melebihi 0.6%. Hasil

pengujian terhadap 3 sample balok tipe

A diperoleh bahwa sampel 1, 2, dan 3

berturut-turut adalah 2,72; 5,07; dan 1,08

kali lebih besar dari balok Euler-

Bernoulli. Error balok tersebut terhadap

balok Timoshenko masing-masing

adalah 0,58; 1,11; dan 0,02%.

Dengan cara yang sama dengan balok

laminasi tipe A, hasil pengujian lentur

balok laminasi tipe B dan tipe C juga

dibandingkan dengan teori defleksi balok

Euler-Bernoulli dan Timoshenko.

Perbandingan kurva beban-defleksi yang

diperoleh kemudian diperlihatkan pada

Gambar 3 dan 4. Defleksi balok laminasi

dari pengujian lentur ditunjukkan oleh

garis Exp1, Exp2, dan Exp3, sedangkan

balok Euler-Bernoulli dan Timoshenko

masing-masing disimbolkan sebagai

“EB” dan “Timo”.

Gambar 2 Hubungan beban-defleksi

balok tipe A.

Gambar 3 Hubungan beban-defleksi

balok tipe B.

Gambar 4 Hubungan beban-defleksi

balok tipe C.

Page 30: Ilmu dan Teknologi Kayu Tropis - mapeki.orgmapeki.org/web/wp-content/uploads/2017/02/Full-Issue-Vol.13-No.1.pdf · Jurnal Ilmu dan Teknologi Kayu Tropis ... hingga homogen dengan

26 J. Ilmu Teknol. Kayu Tropis Vol.13 No.1 Januari 2015

Pengujian terhadap 3 sample balok tipe

B diperoleh bahwa sampel 1, 2, dan 3

berturut-turut adalah 2,09; 1,75; dan 2,50

kali lebih besar dari balok Euler-

Bernoulli, sedangkan untuk balok tipe C

masing-masing adalah 2,65; 2,50; dan

2,67 kali lebih besar dari balok Euler-

Bernoulli. Sementara itu, error tiga balok

tipe B dan C terhadap balok Timoshenko

berturut-turut adalah 0, 0,12, 0,02%, dan

0,03, 0,06, 0,0%.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa

rata-rata defleksi balok tipe A yang

diperoleh dari pengujian lentur adalah

2,96 kali lebih besar dari defleksi balok

Euler-Bernoulli, sedangkan balok tipe B

dan C berturut-turut memiliki rata-rata

defleksi 2,11 dan 2,61 kali lebih besar

dari defleksi balok Euler-Bernoulli.

Balok tipe A, B, dan C memiliki relatif

error terhadap balok Timoshenko

berturut-turut adalah sebesar 0,57, 0,05,

dan 0,04%.

Selain mengindikasikan keakuratan

persamaan (5) dalam mendefinisikan

hubungan antara Eapp dan Etrue (R2 =

0,99), nilai error yang sangat kecil ini

juga menegaskan bahwa defleksi balok

sangat mungkin didekati dengan

persamaan Timoshenko. Sebagai

perbandingan, nilai error terhadap balok

Timeshenko untuk balok kotak kayu

laminasi tegangan (timber stress-

laminated box-beam) adalah sekitar 1%

(Gotou 2014). Selain itu, Gambar 2, 3,

dan 4 memperlihatkan kekakuan balok

meningkat dari tipe A, B, dan C.

Kekakuan terbesar pada balok tipe C

mengindikasikan bahwa perekat berperan

cukup signifikan dibandingkan dengan

baut dalam menahan geser.

Kesimpulan

Penelitian ini membandingkan kekakuan

3 tipe (A,B, dan C) balok kayu laminasi

baut hasil pengujian lentur terhadap hasil

perhitungan menggunakan teori defleksi

balok Euler-Bernoulli dan Timoshenko.

Defleksi yang diperoleh dari pengujian

lentur adalah sekitar dua kali lebih besar

dibandingkan dengan teori balok Euler-

Bernoulli, sedangkan error tidak

melebihi 1% terhadap balok

Timoshenko. Hal ini mengindikasikan

bahwa geser berpengaruh besar terhadap

defleksi balok. Selain itu, persamaan

balok Timoshenko cukup akurat untuk

memprediksi perilaku elastik balok.

Daftar Pustaka

Cahyono TD, Wahyudi I, Priadi T,

Febrianto F, Ohorella S. 2014.

Analisis modulus geser dan

pengaruhnya terhadap kekakuan panel

laminasi kayu samama (Antocephallus

Macrophyllus). J Teknik Sipil. 21(2):

121-128.

Gere JM, Stephen PT,. 1997. Mechanics

of Material. New York: Publishing

Company.

Gotou H. 2014. Shear behavior of on-site

timber stress-laminated box-beam

bridges, Proceeding World

Conference on Timber Engineering

WCTE, 10-14 Agustus 2014. Quebec

City, Canada.

Pranata YA, Suryoatmono B, Tjondro

JA. 2010. Flexural behavior of bolt-

laminated beams:experimental and

numerical analyses. Proceeding 2nd

International Conference Indonesian

Wood Research Society, 12-13

November 2010. Bali: Indonesian

Wood Research Society.

Pranata YA, Suryoatmono B, Tjondro,

JA. 2011. The flexural rigidity ratio of

indonesian timber bolt-laminated

beam, Indonesia: Proceeding The 3rd

European Asian Civil Engineering

Page 31: Ilmu dan Teknologi Kayu Tropis - mapeki.orgmapeki.org/web/wp-content/uploads/2017/02/Full-Issue-Vol.13-No.1.pdf · Jurnal Ilmu dan Teknologi Kayu Tropis ... hingga homogen dengan

27 Perilaku Elastik Beban-Defleksi Balok Kayu Laminasi pada Pengujian Lentur

Fengky S Yoresta

Forum. 20-22 September 2011.

Yogyakarta: Universitas Atma Jaya.

Timoshenko S, Gere JM. 1972.

Mechanics of Materials. New York:

Van Nostrand Reinhold Co.

Sulistyawati I. 2006. ratio of shear to

bending deflection and its influence to

bending stiffness (EI) of timber beam,

J Trop Wood Sci Technol. 4(2):44-49.

Riwayat naskah:

Naskah masuk (received): 16 September 2014

Diterima (accepted): 12 Nopember 2014

Page 32: Ilmu dan Teknologi Kayu Tropis - mapeki.orgmapeki.org/web/wp-content/uploads/2017/02/Full-Issue-Vol.13-No.1.pdf · Jurnal Ilmu dan Teknologi Kayu Tropis ... hingga homogen dengan

28 J. Ilmu Teknol. Kayu Tropis Vol.13 No.1 Januari 2015

Kadar Kinon dalam Kayu Teras Jati yang Diisolasi dengan Ekstraksi

Rendaman Dingin

(Quinone Contents in Teak Heartwood Isolated by Cold Extraction)

Ganis Lukmandaru

Jurusan Teknologi Hasil Hutan, Fakultas Kehutanan, Universitas Gadjah Mada, Jl.

Bulaksumur, Yogyakarta

Penulis korespondensi: [email protected]

Abstract

Sampling by increment borer along with wood extraction by cold soaking would be useful for

large sample size and if the destructive sampling is undesirable. This work aimed to evaluate the

reliability of cold extraction by methanol and acetone to extract the quinone compounds of teak

heartwood compared to the conventional soxhlet extraction by ethanol-benzene. Another

purpose of this work was to find out the intra-tree variability of quinone compound around the

outer heartwood parts (8 angles, 16 points). On the basis of the yield of ethanol-benzene extracts

in 6 trees, cold extraction could remove the extracts of 37-66% by methanol and 23-61% by

acetone. By correlaton analysis, considerable degree of correlations (r>0.9) were calculated

between soxhlet and cold extraction in the contents of deoxylapachol, lapachol, tectoquinone.

With regard to intra-tree variation quinones, wide level ranges were observed in all compounds

by judging the coefficient of variation, except for tectol. Therefore, it is suggested that the

sampling in the tangential direction in a single tree should be taken at 3 points separated by at

least 90 degrees to avoid the bias in the individual components. The variation of quinone total

amounts, however, showed comparatively low (18%) of coefficient of variation.

Keywords: cold extraction, extractives, incrrement borer, quinone, Tectona grandis

Abstrak

Pengambilan sampel dengan bor riap serta ekstraksi kayu melalui rendaman dingin akan

bermanfaat apabila dalam situasi sampel dengan jumlah besar dan metode sampling yang

merusak tidak diinginkan. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi kehandalan ekstraksi

rendaman dingin pelarut metanol dan aseton dalam mengekstrak senyawa-senyawa kinon

(deoksilapakol dan isomernya, lapakol, tektokinon, tektol) dari kayu teras jati dibandingkan

dengan metode konvensional ekstraksi soxhlet pelarut etanol-benzena. Tujuan lain penelitian ini

adalah untuk mengetahui variasi senyawa kinon di dalam pohon bagian sekeliling kayu teras luar

(8 sudut, 16 titik). Analisis komponen dilakukan melalui GC dan GC-MS. Berdasarkan nilai

rendemen ekstraksi etanol-benzena dari 6 pohon, rendaman dingin mampu mengekstrak

sebanyak 37-66% bagian melalui metanol dan 23-61% bagian melalui aseton. Melalui analisis

korelasi, derajat korelasi yang tinggi (r>0,9) dihitung antara ekstraksi soxhlet dan rendaman

dingin dalam kadar deoksilapakol, lapakol, dan tektokinon. Dari variasi dalam pohon untuk

senyawa kinon, kisaran lebar diamati di semua komponen bila dilihat dari koefisien variasinya,

kecuali untuk tektol, sehingga disarankan dalam arah tangensial dalam satu pohon harus diambil

di 3 titik terpisah minimal 90 derajat untuk menghindari bias untuk komponen-komponen

tunggal. Meski demikian, variasi kadar kinon total mempunyai koefisien variasi yang relatif

rendah (18%).

Kata kunci : bor riap, ekstraktif, kinon, rendaman dingin, Tectona grandis

Page 33: Ilmu dan Teknologi Kayu Tropis - mapeki.orgmapeki.org/web/wp-content/uploads/2017/02/Full-Issue-Vol.13-No.1.pdf · Jurnal Ilmu dan Teknologi Kayu Tropis ... hingga homogen dengan

29 Kadar Kinon dalam Kayu Teras Jati yang Diisolasi dengan Ekstraksi Rendaman Dingin

Ganis Lukmandaru

Pendahuluan

Senyawa kinon merupakan komponen

ekstraktif yang terdapat pada beberapa

kayu teras seperti jati (Tectona grandis),

walnut (Juglans nigra), dan Tabebuia

avellanedae (Thomson 1971, Umezawa

2001). Pada jati, komponen kinon seperti

tektokinon, lapakol, dan deoksilapakol

berperan besar terhadap ketahanan

terhadap rayap dan jamur dengan derajat

yang berbeda (Lukmandaru 2013,

Sandermann & Simatupang 1966,

Sumthong et al. 2006, Sumthong et al.

2008). Penelitian sebelumnya telah

mengkuantifikasi keberadaan senyawa

kinon (Nawawi et al. 2011) dan

hubungannya dengan keawetan alaminya

(Lukmandaru & Takahashi 2009,

Niamke et al. 2011, Thulasidas & Bhat

2007), kecepatan tumbuh (Lukmandaru

2010) dan pengaruhnya terhadap warna

doreng kayu teras (Lukmandaru 2009).

Senyawa ekstraktif jumlahnya bervariasi

pada pohon dan antar pohon. Di

Indonesia, variasi senyawa kinon

berdasarkan tempat tumbuh, fenotip,

umur, dan biji untuk kayu jati datanya

masih terbatas. Penelitian mengenai

kemotaksonomi kayu jati (87 individu)

berdasarkan senyawa kinonnya pada

beberapa lokasi telah dilakukan

(Lukmandaru 2012). Kuantifikasi kinon

dalam beberapa penelitian disebutkan di

atas dilakukan dengan ekstraksi etanol-

benzena pada alat soxhlet dengan asumsi

senyawa-senyawa kinon sudah terekstrak

secara keseluruhan.

Untuk melakukan penelitian terhadap

senyawa ekstraktif pada variasi jati yang

ada, tentunya diperlukan metode yang

efisien dengan akurasi yang bisa

diandalkan. Dalam melakukan penelitian

kemotaksonomi pada kayu teras

misalnya, tentunya diperlukan jumlah

sampel yang besar sehingga pengambilan

sampel dengan metode bor riap menjadi

pilihan utama. Penelitian sebelumnya

pada beberapa spesies lainnya (Jactel et

al. 1996, Latta et al. 2003, Mosedale et

al. 1996, Mosedale & Savill 1996,

Ogiyama et al. 1983, DeBell et al. 1997,

Yanchuk et al. 1998) dilakukan untuk

untuk penentuan variasi kadar dan

komponen ekstraktifnya menggunakan

bor riap untuk sampel/individu dalam

jumlah besar. Metode ekstraksi dengan

alat soxhlet yang dirasa kurang praktis

untuk jumlah sampel yang besar. Untuk

itu, metode ekstraksi dengan cara

sederhana seperti perendaman dingin

dengan pelarut yang murah dan mudah

tersedia perlu dievaluasi keakuratannya.

Eksperimen ini diarahkan pada

penentuan metode sampling yang akurat

pada pengambilan sampel melalui bor

riap. Dari latar belakang di atas maka

tujuan penelitian ini adalah mengetahui

akurasi metode perendaman dingin

dengan pelarut metanol dan aseton

dengan membandingkan dengan metode

standar yaitu ekstraksi etanol-benzena

dengan soxhlet. Metanol dan aseton

adalah pelarut universal yang selain

efektif, tersedia banyak dan murah juga

lebih aman apabila dibandingkan

benzena yang relatif mahal dan bersifat

karsinogenik. Satu hal lainnya adalah

pada jati perlu terlebih dahulu ditentukan

variasi dalam satu pohon pada komponen

ekstraktifnya terlebih dahulu sehingga

titik pengambilan sampelnya melalui bor

riap menjadi lebih akurat untuk

merepresentasikan populasi. Oleh karena

itu, tujuan lain dari penelitian ini adalah

mengetahui variasi dalam 1 pohon pada

5 senyawa kinon (tektokinon, lapakol,

tektol, deoksilapakol dan isomernya)

yang merupakan senyawa utama atau

bersifat bioaktif pada jati (Sandermann &

Simatupang 1966, Thulasidas & Bhat

2007).

Page 34: Ilmu dan Teknologi Kayu Tropis - mapeki.orgmapeki.org/web/wp-content/uploads/2017/02/Full-Issue-Vol.13-No.1.pdf · Jurnal Ilmu dan Teknologi Kayu Tropis ... hingga homogen dengan

30 J. Ilmu Teknol. Kayu Tropis Vol.13 No.1 Januari 2015

Bahan dan Metode

Penyiapan bahan

Eksperimen untuk membandingkan

metode ekstraksi dilakukan

menggunakan sampel dari penebangan 6

pohon jati (no. 1-6) KU VII dari KPH

Purwakarta. Tiap pohon dalam kondisi

relatif sehat dan lurus (diameter 50-70

cm) diambil lempengan kayu (disk)

setebal 5 cm pada ketinggian kira-kira 1

m dari permukaan tanah. Serbuk pada

bagian teras luar secara acak diambil dan

dihaluskan pada ukuran 40-60 mesh

untuk analisis komponen kimia. Untuk

mengetahui variasi senyawa kinon dalam

satu pohon, dipilih pohon no. 1 yang

selanjutnya diambil sampel serbuk kayu

pada 16 titik dalam 8 sudut disk searah

lingkaran tahun atau tangensial (Gambar

1). Metode pengambilan sampel ini

mengacu pada DeBell et al. (1997)

dalam penentuan akurasi ekstraksi untuk

kadar tropolon total pada kayu Western

Redcedar. Bahan kimia yang dipakai

adalah etanol, metanol, benzena, dan

aseton dengan grade PA dari Merck.

Komponen standar yang dipakai adalah

tektokinon (Kanto Chemical), lapakol

(Sigma-Aldrich), dan naftakinon (Sigma).

Ekstraksi

Metode perendaman dingin 2 g serbuk

kayu setara kering tanur dengan pelarut

metanol dan aseton secara terpisah

dilakukan selama 72 jam. Ekstraksi

soxhlet dengan pelarut etanol-benzena

(1:2 v/v) mengacu pada ASTM D-1107

(1984) dilakukan sebagai pembanding.

Kadar ekstraktif dihitung setelah

menyaring filtrat, menguapkan pelarut

dan menimbang ekstrak keringnya.

Ekstraksi soxhlet dengan pelarut etanol-

benzena juga dilakukan untuk

mengetahui variasi kadar senyawa kinon

dalam pohon (Thulasidas & Bhat 2007).

Identifikasi dan kuantifikasi senyawa

kinon

Ekstrak dari perendaman dingin dan

ekstraksi soxhlet dicuplik dan dilarutkan

dalam pelarut yang bersesuaian sehinga

diperoleh konsentrasi 100 mg ml-1.

Selanjutnya dari supernatan tiap sampel

diinjeksikan secara manual ke

kromatografi gas (GC Hitachi G-3500,

kolom NB-1) dengan kondisi suhu

kolom 120~300 ºC, suhu deteksi dan

injeksi 250 ºC, waktu pada suhu

maksimal 15 menit, kecepatan 4 ºC per

menit sedangkan helium dipakai sebagai

gas pembawa. Identifikasi komponen

memakai kromatografi gas-

spektrofotometer massa (GC-MS

Shimadzu QP 5000, kolom DB-1)

dengan kondisi serupa analisis GC,

sedangkan kondisi MS adalah voltase

suhu ionisasi 70 eV, suhu transfer 250 ºC,

dan kisaran pindai 50-500 satuan massa

atom. Penentuan kadar komponen

berdasarkan persentase luasan puncaknya

terhadap total area puncak. Kadar kinon

total merupakan penjumlahan dari kadar

deoksilapakol dan isomernya, tektokinon,

lapakol dan tektol. Identifikasi

komponen secara detail dideskripsikan

pada penelitian sebelumnya

(Lukmandaru & Takahashi 2009,

Lukmandaru 2012). Kalibrasi pada alat

dilakukan sehingga koefisien variasi

tidak melebihi 20% pada sampel yang

sama dalam kuantifikasi komponennya.

Analisis data

Data yang diperoleh dianalisis secara

deskriptif dan secara statistic

menggunakan korelasi Pearson untuk

mengetahui keeratan hubungan antar

parameter bebas. Perhitungan statistik

dilakukan dengan menggunakan program

SPSS versi 10.0.

Page 35: Ilmu dan Teknologi Kayu Tropis - mapeki.orgmapeki.org/web/wp-content/uploads/2017/02/Full-Issue-Vol.13-No.1.pdf · Jurnal Ilmu dan Teknologi Kayu Tropis ... hingga homogen dengan

31 Kadar Kinon dalam Kayu Teras Jati yang Diisolasi dengan Ekstraksi Rendaman Dingin

Ganis Lukmandaru

Gambar 1 Skema pengambilan sampel

serbuk kayu di bagian teras luar pada

berbagai sudut piringan kayu jati.

Hasil dan Pembahasan

Evaluasi metode ekstraksi rendaman

dingin

Gambar 2 memperlihatkan kadar

ekstraktif terlarut aseton (KEA) dan

metanol (KEM) dari 6 pohon

menghasilkan kisaran 2,47-8,44% dan

5,11-9,87%, secara berurutan. Nilai

tersebut lebih rendah dari kelarutan

dalam etanol-benzena (KEB)

menghasilkan kisaran 10,69-14,74%

seperti yang diduga sebelumnya. Nilai

KEB yang relatif tinggi ini wajar karena

sampel pohon cukup tua dan diambil

pada bagian teras terluar. Secara

matematis, KEM mengekstrak sekitar

37-66% dari ekstraktif keseluruhan

(KEB) sedangkan KEA mengekstrak

sedikit di bawah KEM (23-61%).

Kecuali pada sampel no. 2, nilai KEM

pada setiap sampel lebih tinggi dari KEA.

Hal tersebut dapat dijelaskan dari

polaritasnya dimana metanol lebih polar

dari aseton sehingga lebih banyak

mengekstrak komponen yang lebih polar

dari ekstrak jati.

Untuk mengetahui efektivitias metode

rendamaan dingin dalam melarutkan

kinon, hasil ekstraksi tersebut disajikan

pada Gambar 3. Dari urutan puncaknya

adalah deoksilapakol (BM = 226),

disusul oleh lapakol (BM = 240),

isodeoksilapakol (BM = 226), tektokinon

(BM = 222) serta tektol (BM = 450).

Pada grafik juga terlihat puncak terbesar

adalah skualena (waktu retensi sekitar 37

menit). Terlihat bahwa untuk konsentrasi

dan komponen yang sama, pelarut aseton

menghasilkan puncak (peak) yang lebih

lebar sedangkan pelarut 31 etanol dan

etanol-benzena tidak banyak berbeda.

Gambar 2 Rerata kadar ekstraktif pada 6 sampel kayu teras jati dengan 3 pelarut berbeda

(error bar menunjukkan standar deviasi). Keterangan: KEA = kadar ekstraktif terlarut

aseton, KEA: kadar ekstraktif terlarut aseton, KEM = kadar ekstraktif terlarut metanol,

KEEB = kadar ekstraktif terlarut etanol-benzena.

0

2

4

6

8

10

12

14

16

KEA KEM KEEB

Kadar

ekstr

aktif

(%)

Page 36: Ilmu dan Teknologi Kayu Tropis - mapeki.orgmapeki.org/web/wp-content/uploads/2017/02/Full-Issue-Vol.13-No.1.pdf · Jurnal Ilmu dan Teknologi Kayu Tropis ... hingga homogen dengan

32 J. Ilmu Teknol. Kayu Tropis Vol.13 No.1 Januari 2015

Gambar 3 Gas kromatogram dari ekstrak kayu teras jati yang terlarut pada (a) metanol,

(b) aseton, dan (c) etanol-benzena. Beberapa komponen utama kinon yang teridentifikasi

(sesuai nomor puncak) : deoksilapakol (1), lapakol (2), isodeoksilapakol (3), tektokinon

(4), dan tektol (5).

Hasil ini menunjukkan bahwa aseton

efektif dalam melarutkan zat kinon

melalui perendaman dingin. Sjostrom

dan Allen (1999), menyatakan bahwa

aseton merupakan pelarut yang baik

untuk kebanyakan ekstraktif. Meskipun

rendemen tertinggi didapatkan pada

etanol-benzena, zat-zat ekstraktif selain

kinon juga banyak terlarut sehingga

puncak komponen kinon tidak terlalu

besar. Penjelasan yang sama juga

dikemukakan apabila membandingkan

antara hasil pelarut aseton dan 32 ethanol.

Tabel 1 memperlihatkan hasil

kuantifikasi 5 macam senyawa kinon dari

kayu jati. Jika dihitung berdasarkan

relatif terhadap persentase luasan puncak

totalnya maka ekstrak metanol

memberikan nilai tertinggi untuk tiap

komponennya.

Page 37: Ilmu dan Teknologi Kayu Tropis - mapeki.orgmapeki.org/web/wp-content/uploads/2017/02/Full-Issue-Vol.13-No.1.pdf · Jurnal Ilmu dan Teknologi Kayu Tropis ... hingga homogen dengan

33 Kadar Kinon dalam Kayu Teras Jati yang Diisolasi dengan Ekstraksi Rendaman Dingin

Ganis Lukmandaru

Tabel 1 Kadar komponen kinon pada ekstrak kayu teras jati (n=6) berdasarkan

persentase luas puncak total dalam 3 pelarut berbeda

Pelarut Kadar (%)

Deoksilapakol Lapakol Isodeoksilapakol Tektokinon Tektol

Metanol

- Nilai minimum 1,19 1,39 5,75 7,97 7,44

- Nilai maksimum 39,48 16,00 12,95 20,19 15,04

- Rerata 15,23 8,17 8,22 13,67 11,71

- Standar deviasi 16,47 6,63 2,76 5,04 3,06

Aseton

- Nilai minimum 3,43 0,99 2,85 4,54 4,63

- Nilai maksimum 32,14 11,14 11,54 17,44 10,76

- Rerata 11,73 5,33 6,06 10,33 6,21

- Standar deviasi 12,00 4,20 3,68 6,11 2,30

Etanol-benzena

- Nilai minimum 2,76 1,18 2,17 4,07 2,25

- Nilai maksimum 31,00 9,43 5,32 14,27 11,40

- Rerata 12,53 4,04 3,74 7,19 6,61

- Standar deviasi 11,04 3,60 1,13 4,81 4,10

Hal ini diduga disebabkan oleh

banyaknya senyawa berat molekul tinggi

yang tidak terdeteksi oleh kromatografi

gas pada ekstrak metanol tetapi tidak

terlarut dalam aseton. Standar deviasi

yang diperoleh cukup besar yang

menunjukkan variasi besar meski sampel

diambil dalam KU yang sama. Nilai

standar deviasi yang besar tersebut

diabaikan karena tujuan penelitian ini

adalah ingin mengetahui kecenderungan

pada pelarut yang berbeda pada kisaran

konsentrasi rendah sampai tinggi.

Terlihat bahwa dari nilai relatif reratanya

maka urutan konsentrasi terbesar ke

terkecil pada pelarut etanol-benzena

adalah deoksilapakol > tektokinon >

tektol > isodeoksilapakol > lapakol.

Penelitian sebelumnya (Lukmandaru

2012) menunjukkan adanya 3 kemotipe

berdasarkan komponen yang dominan

pada ekstraktif pada jati di Jawa yaitu

tipe skualena, tipe tektokinon dan tipe

naftakinon. Data di atas menunjukkan

sampel yang dipakai umumnya memiliki

tipe naftakinon karena relatif tingginya

nilai deoksilapakol. Kecenderungan

tersebut sedikit berbeda apabila

menggunakan pelarut aseton dan metanol

dimana urutan konsentrasi terbesar ke

terkecil pada pelarut etanol-benzena

adalah deoksilapakol > tektokinon >

tektol > lapakol > isodeoksilapakol.

Dari analisa korelasi (Tabel 2) terlihat

bahwa derajat korelasi yang tinggi

(r>0,9) antara ekstrak etanol-benzena

dengan ekstrak aseton atau ekstrak

metanol diukur pada komponen

deoksilapakol, lapakol dan tektokinon

sedangkan pada 2 komponen lainnya

derajat korelasinya cukup moderat (r =

0,40-0,78). Hal ini menunjukkan metode

rendaman dingin cukup akurat,

khususnya aseton, dalam memprediksi

kadar senyatanya komponen individual

di atas dalam ekstrak etanol-benzena.

Meski demikian, korelasi tidak nyata

diamati di parameter kadar kinon total.

Page 38: Ilmu dan Teknologi Kayu Tropis - mapeki.orgmapeki.org/web/wp-content/uploads/2017/02/Full-Issue-Vol.13-No.1.pdf · Jurnal Ilmu dan Teknologi Kayu Tropis ... hingga homogen dengan

34 J. Ilmu Teknol. Kayu Tropis Vol.13 No.1 Januari 2015

Tabel 2 Koefisien korelasi (r) antara komponen kinon pada ekstrak kayu teras jati pada

tiga pelarut berbeda

Komponen Pelarut

Metanol- etanol/benzena Aseton-etanol/benzena

Deoksilapakol 0,95** 0,99**

Lapakol 0,97** 0,98**

Isodeoksilapakol 0,40* 0,78**

Tektokinon 0,99** 0,93**

Tektol 0,60* 0,72**

Kinon total 0,27 0,56 Keterangan : *= nyata pada taraf uji 5%, ** = nyata pada taraf uji 1%

Jika kelarutan etanol-benzena melalui

soxhlet dianggap ideal, penggunaan

metode rendaman dingin di atas masih

perlu disempurnakan karena

kecenderungan rerata berbeda maupun

relatif rendahnya derajat korelasi antara

ekstrak etanol-benzena dan ekstrak

aseton/metanol pada komponen

isodeoksilapakol dan tektol, serta kadar

kinon total. Metode perendaman dingin

untuk penelitian kemotaksonomi atau

variasi antar pohon pada spesies lain

dengan sampel bor riap telah dilakukan

pada kayu Cryptomeria japonica

(Ogiyama et al. 1983) menggunakan

metanol untuk mengekstrak senyawa

golongan norlignan.

Selanjutnya, pelarut pentana untuk

melarutkan kelompok monoterpena pada

spesies Pinus ponderosa (Latta et al.

2000, 2003), maupun campuran etanol-

air untuk melarutkan senyawa-senyawa

tanin (Mosedale & Savill 1996) serta

campuran metanol, air, asam fosfat untuk

melarutkan senyawa-senyawa elagitanin

(Mosedale et al. 1996) pada spesies

Quercus sp. Pada jati, pencampuran

aseton atau metanol dengan senyawa

yang non-polar yang tidak bersifat

karsinogenik perlu dipertimbangkan

sehingga ekstraksi senyawa-senyawa

kinon menjadi lebih menyeluruh.

Sebelumnya, Nawawi et al. (2011) telah

mengevaluasi beberapa komposisi

pelarut melalui ekstraksi soxhlet untuk

melarutkan tektokinon dalam kayu jati

dan didapatkan pelarut toluena-etanol

(2:1, v/v) yang paling efektif jika

senyawa tersebut dideteksi dengan Pyr-

GC-MS.

Variasi kadar kinon dalam pohon

Penelitian ini tidak menggunakan bor

riap secara langsung tetapi pengambilan

sampel secara konvensional dengan

menebang. Pengambilan di kayu teras

terluar diasumsikan bor riap akan lebih

mudah mengakses bagian tersebut dari

keseluruhan kayu teras dan bagian

tersebut mempunyai kadar ekstraktif

tertinggi pada kayu jati (Sandermann &

Simatupang 1966, Lukmandaru &

Takahashi 2008). Hasil pengukuran

beberapa senyawa kinon yang terlarut

dalam ekstrak etanol-benzena bisa dilihat

pada diagram pencar (Gambar 4) dan

disarikan pada Tabel 3.

Secara keseluruhan didapatkan koefisien

variasi antara 11-69% yang

menunjukkan bahwa kadar kinon kayu

jati bervariasi cukup lebar meski dalam 1

disk. Kecuali pada tektol, nilai kadar

maksimal bisa melebihi dua kali dari

nilai minimalnya. Pada sudut yang sama

(3 ulangan) juga didapatkan variasi

cukup lebar (lapakol, isodeoksilapakol)

meski tidak sebesar variasi antar sudut.

Page 39: Ilmu dan Teknologi Kayu Tropis - mapeki.orgmapeki.org/web/wp-content/uploads/2017/02/Full-Issue-Vol.13-No.1.pdf · Jurnal Ilmu dan Teknologi Kayu Tropis ... hingga homogen dengan

35 Kadar Kinon dalam Kayu Teras Jati yang Diisolasi dengan Ekstraksi Rendaman Dingin

Ganis Lukmandaru

Gambar 4 Pengukuran kadar (%) beberapa senyawa kinon kayu teras jati berdasarkan

persentase luas puncak total dengan sampling di berbagai sudut pada sebuah disk.

Tabel 3 Data kadar komponen kinon pada ekstrak kayu teras jati

Kadar Komponen

Komponen

Deoksi-

lapakol

Lapakol Isodeoksi-

lapakol

Tektokinon Tektol Kinon

total

Nilai kadar minimal (%)

Nilai kadar maksimal (%)

Rerata nilai kadar (%)

Standar deviasi (%)

Koefisien variasi (%)

Sudut pada nilai minimal

Sudut pada nilai maksimal

0,55

9,08

4,46

2,37

53,27

225, 180

135, 270

1,34

8,31

3,36

2,32

69,20

0, 270

180, 90

4,38

12,17

7,52

2,14

28,43

180, 225

90, 270

4,41

12,21

6,64

2,65

39,88

90, 135

180, 315

5,50

8,97

7,75

0,91

11,75

45, 0

180, 225

21,69

41,90

29,41

5,30

18,02

225, 270

180, 315

Page 40: Ilmu dan Teknologi Kayu Tropis - mapeki.orgmapeki.org/web/wp-content/uploads/2017/02/Full-Issue-Vol.13-No.1.pdf · Jurnal Ilmu dan Teknologi Kayu Tropis ... hingga homogen dengan

36 J. Ilmu Teknol. Kayu Tropis Vol.13 No.1 Januari 2015

Cukup beralasan bila pengambilan

sampel harus dilakukan pada lebih dari

satu tempat untuk menghindari bias.

Kisaran nilai minimal, maksimal dan

rerata serta posisi dimana nilai-nilai

tersebut diambil yang disarikan di Tabel

3 menunjukkan bahwa nilai maksimal

dan minimal berjarak 90 derajat

(deoksilapakol, isodeoksilapakol, dan

tektokinon) dan 180 derajat (lapakol).

Hasil tersebut menyarankan bahwa

pengambilan sampel dalam satu pohon

sebaiknya dilakukan pada tiga titik yang

masing-masing berjarak 90 derajat untuk

menghindari bias pada komponen-

komponen tunggalnya apabila individu

pohon berjumlah relatif sedikit. Hal

tersebut tidak diperlukan apabila yang

dicari kadar kinon totalnya karena

koefisien variasi yang relatif rendah

(18%) dalam satu disk. Pada kayu Larix

sp (DeBell et al. 1997), disarankan untuk

mengambil pada dua posisi dengan

selisih 90 derajat dalam satu disk untuk

menghindari perbedaan yang tinggi pada

kadar tropolon total yang merupakan

gabungan dari empat senyawa dari

golongan tersebut. Di lain pihak, Latta et

al. (2000) mendapatkan variasi dalam

satu pohon (antara sudut 0 dan 180

derajat) yang relatif kecil pada enam

senyawa monoterpena di batang Pinus

ponderosa.

Kesimpulan

Metode rendaman dingin dengan pelarut

aseton dan metanol cukup akurat untuk

menggantikan metode ekstraksi soxhlet

dengan pelarut etanol-benzena

khususnya untuk komponen-komponen

deoksilapakol, lapakol dan tektokinon.

Penyempurnaan metode diperlukan

untuk mendapatkan derajat korelasi yang

lebih tinggi antara ekstrak yang terlarut

dalam etanol-benzena dengan terlarut

aseton maupun metanol pada komponen

isodeoksilapakol, tektol, dan kinon total.

Untuk variasi dalam satu pohon, kisaran

lebar (koefisien variasi 28-69%)

didapatkan pada semua komponen

kecuali tektol. Untuk itu, pengambilan

sampel serbuk kayu dengan bor riap

disarankan dilakukan pada 3 titik yang

berjarak 90 derajat dalam arah tangensial

disk. Meski demikian, koefisien variasi

yang relatif rendah (18%) dalam 1 disk

dihitung di parameter kadar kinon total.

Daftar Pustaka

[ASTM] American Society for Testing

and Materials. 1984. Standard Test

Method for Alcohol-benzene

Solubility of Wood. Designation of D

1107-84. Philadelphia: ASTM.

DeBell J, Morrell JJ, Gartner BL. 1997.

Tropolone contents of increment cores

as an indicator of decay resistance in

Western Redcedar. Wood Fiber

29:364-369.

Jactel H, Kleinhentz M, Marpeau-Bezard

JA, Marion-Poll F, Menassieu P,

Burban C. 1996. Terpene variations in

maritime pine constitutive oleoresin

related to host tree selection by

Dioryctria sylvestrella Ratz.

(Lepidoptera: Pyralidae). J Chem Ecol.

22:1037-1050.

Latta RG, Linhart YB, Lundquist L,

Snyder MA. 2000. Patterns of

monoterpene variation within

individual trees in ponderosa pine. J

Chem Ecol. 26:1341-1357.

Latta RG, Linhart YB, Snyder MA,

Lundquist L. 2003. Patterns of

variation and correlation in the

monoterpene composition of xylem

oleoresin within populations of

ponderosa pine. Biochem Systematics

Ecol. 31:451–465.

Page 41: Ilmu dan Teknologi Kayu Tropis - mapeki.orgmapeki.org/web/wp-content/uploads/2017/02/Full-Issue-Vol.13-No.1.pdf · Jurnal Ilmu dan Teknologi Kayu Tropis ... hingga homogen dengan

37 Kadar Kinon dalam Kayu Teras Jati yang Diisolasi dengan Ekstraksi Rendaman Dingin

Ganis Lukmandaru

Lukmandaru G. 2009. Perubahan warna

pada kayu teras jati (Tectona grandis)

doreng melalui ekstraksi berturutan. J

Ilmu Teknol Hasil Hutan. 2(1):15-20.

Lukmandaru G. 2010. Sifat kimia kayu

jati (Tectona grandis) pada laju

pertumbuhan berbeda. J Ilmu Teknol

Kayu Tropis. 8(2):188-196.

Lukmandaru G. 2012. Chemotaxonomic

study in the heartwood in the

heartwood of Javanese teak – analysis

of quinones and other related

components. Wood Res. 3(1):30-35.

Lukmandaru G. 2013. Antifungal

activities of certain components of

teak wood extractives. J Ilmu Teknol.

Kayu Tropis. 11(1):11-18.

Lukmandaru G, Takahashi K. 2008.

Variation in the natural termite

resistance of teak (Tectona grandis

Linn fil.) wood as a function of tree

age. Ann For Sci. 65:708 (p1-8)

Lukmandaru G, Takahashi K. 2009.

Radial distribution of quinones in

plantation teak (Tectona grandis

L.f.). Ann For Sci. 66:605 (p1-9).

Mosedale JR, Savill PS. 1996. Variation

of heartwood phenolics and oak

lactones between the species and

phenological types of Quercus

petraea and Q. robur. Forestry.

69:47-55.

Mosedale JR, Charrier B, Crouch N,

Janin G, Savill PS. 1996. Variation in

the composition and content of

ellagitannins in the heartwood of

European oaks (Quercus robur and Q.

petraea). A comparison of two French

forests and variation with heartwood

age. Ann For Sci. 53 : 1005-1018.

Nawawi DS, Suyono, Widyorini AA.

2011. Ekstrak kayu jati sebagai katalis

delignifikasi pulping soda. J Ilmu

Teknol. Kayu Tropis 9(2):101-110.

Niamké FB, Amusant N, Charpentier JP,

Chaix G, Baissac Y, Boutahar N,

Adima AA, Coulibaly SK, Allemand

CJ. 2011. Relationships between

biochemical attributes (non-structural

carbohydrates and phenolics) and

natural durability against fungi in dry

teak wood (Tectona grandis L. f.).

Ann For Sci. 68:201-211.

Ogiyama K, Yasue M, Takahashi K.

1983. Chemosystematic study on

heartwood extractives of Cryptomeria

japonica D. Don. Proceedings of

International Symposium on Wood

and Pulp Chemistry, Tsukuba, Japan

1:101–106.

Sandermann W, Simatupang MH. 1966.

On the chemistry and biochemistry of

teakwood (Tectona grandis L. fil).

Holz Roh Werkst. 24:190-204.

Sumthong P, Romero-González RR,

Verpoorte R. 2008. Identification of

anti-wood rot compounds in teak

(Tectona grandis L.f.) sawdust

extract. J Wood Chem Technol.

28:247- 260.

Sumthong P, Damveld RA, Choi YH,

Arentshorst M, Ram AFJ, Van den

Hondel CAMJJ, Verpoorte R. 2006.

Activity of quinones from teak

(Tectona grandis) on fungal cell wall

stress. Planta Medica. 72:943-944.

Thomson RH. 1971. Naturally

Occurring Quinones (2nd ed). New

York : Academic Press.

Thulasidas PK, Bhat KM. 2007.

Chemical extractive compounds

determining the brown-rot decay

resistance of teak wood. Holz Roh-

Werkst. 65:121–124.

Page 42: Ilmu dan Teknologi Kayu Tropis - mapeki.orgmapeki.org/web/wp-content/uploads/2017/02/Full-Issue-Vol.13-No.1.pdf · Jurnal Ilmu dan Teknologi Kayu Tropis ... hingga homogen dengan

38 J. Ilmu Teknol. Kayu Tropis Vol.13 No.1 Januari 2015

Umezawa T. 2001. Chemistry of

extractives. Dalam Hon DNS,

Shiraishi N (ed). Wood and Cellulosic

Chemistry. New York: Marcel Dekker.

Yanchuk AD, Spilda I, Micko MM.

1988. Genetic variation of

extractives in the wood of

trembling aspen. Wood Sci Technol.

22:67-71.

Riwayat naskah:

Naskah masuk (received): 20 September 2014

Diterima (accepted): 21 November 2014

Page 43: Ilmu dan Teknologi Kayu Tropis - mapeki.orgmapeki.org/web/wp-content/uploads/2017/02/Full-Issue-Vol.13-No.1.pdf · Jurnal Ilmu dan Teknologi Kayu Tropis ... hingga homogen dengan

39 Characteristics of Wood Plastic Composite Using Primary Sludge as Filler

Iwan Risnasari, Fauzi Febrianto, Nyoman J Wistara, Sucahyo Sadiyo, Siti Nikmatin

Properties of Wood Plastic Composite Using Primary Sludge as Filler

Iwan Risnasari1,2* , Fauzi Febrianto3, Nyoman J Wistara3, Sucahyo Sadiyo3, Siti

Nikmatin4

1Department of Forestry, Faculty of Agriculture, University of Sumatera Utara 2Student of Graduate School, Bogor Agricultural University (IPB)

3Department of Forest Products, Faculty of Forestry, Bogor Agricultural University

(IPB)

4Department of Physics, Faculty of Mathematics and Natural Science, Bogor

Agricultural University (IPB)

*Corresponding author: [email protected]

Abstract

Sludge is the largest waste produced from the pulp and paper mill, it consists of 50-60% fibers

and inorganic materials and have caused serious disposal problem. Recycling sludge into value-

added product can give environmental and economic benefits. The objective f this research was

to optimize utilization of sludge as filler in wood plastic composite using polypropylene as a

matrix resin. Sludge with and without purification treatment were used as filler. The

concentration of filler used was 40%, 50% and 60%. Maleic anhydride-modified- polypropylene

(MAPP) with concentration of 5% was used as a coupling agent. Filler, matrix with and without

coupling agent were compounded using Haake polydrive labopastomill at 175 °C, 60 rpm for 20

min. The results indicated that the morphology, physical, mechanical and thermal properties of

wood plastic composites was much influenced by purification treatment, filler loadings and

addition of coupling agent. Interaction of between fibers and matrix resin and thermal stability of

wood plastic composites were much improved by purification treatment on sludge and addition

of coupling agent.

Keywords: coupling agent, fillers, purification, sludge, wood plastic composite

Abstrak

Sludge adalah limbah terbesar yang dihasilkan dari pabrik pulp dan kertas, terdiri dari 50-60%

serat dan bahan anorganik. Penanganan sludge menyebabkan masalah terutama dalam hal

pembuangannya. Daur ulang sludge menjadi produk yang memiliki nilai tambah dapat

memberikan manfaat lingkungan dan ekonomi. Penelitian ini bertujuan untuk memanfaatkan

secara optimal sludge sebagai pengisi dalam pembuatan komposit kayu plastik dengan matrik

polipropilena. Sludge dengan dan tanpa perlakuan purifikasi digunakan sebagai pengisi.

Konsentrasi pengisi digunaka sebanyak 40%, 50% dan 60%. Maleic anhydride-modified-

polypropylene (MAPP) dengan konsentrasi 5% digunakan sebagai agen pengkopel. Pengisi,

matrik dengan dan tanpa agen pengkopel dicampur menggunakan Haake polydrive labopastomill

pada suhu 175 °C dengan laju putaran 60 rpm selama 20 menit. Hasil penelitian menunjukkan

sifat morfologi, sifat fisis, mekanis dan termal komposit kayu plastik dipengaruhi oleh perlakuan

purifikasi, kadar pengisi dan pemberian agen pengkopel. Perlakuan purifikasi dan penambahan

agen pengkopel terutama mempengaruhi interaksi antara serat dan matriks polypropylene serta

meningkatkan stabilitas termal dari komposit kayu plastik.

Kata kunci: agen pengkopel, komposit kayu plastik, pengisi, purifikasi, sludge

Page 44: Ilmu dan Teknologi Kayu Tropis - mapeki.orgmapeki.org/web/wp-content/uploads/2017/02/Full-Issue-Vol.13-No.1.pdf · Jurnal Ilmu dan Teknologi Kayu Tropis ... hingga homogen dengan

40 J. Ilmu Teknol. Kayu Tropis Vol.13 No.1 Januari 2015

Introduction

Natural fiber has been widely used as the

primary material in the manufacturing of

plastic composite for its advantages over

synthetic fiber. Other than plant’s waste,

the sludge from pulp and paper industry

also acts as a potential source of

cellulose. Sludge consists of fiber (50-

60%) and inorganic materials such as

mineral and ash (Mehmood et al. 2010),

thus it has the potential to be utilized as

an alternative source of cellulose.

However, as natural fiber, sludge has its

disadvantages, such as the existence of

hydroxyl groups and other polar groups

which are causing it to have hydrophilic

properties which can resulted in low

wettability and poor interface bonding

with matrix resin (Taramian et al. 2007,

Li et al. 2011, Lima et al. 2014). The

poor bonds between hydrophilic fiber

and hydrophobic matrix could affect the

physical and mechanical properties of the

composites product. Faruk et al. (2012)

explained that in order to increase the

interface adhesion between the fiber and

the matrix, there should be a

modification in the matrix or the fibers.

The modification of fiber can be

conducted through physical and chemical

methods, in which the physical methods

such as corona/plasma and mercerisation

aim to affect the mechanical bonding

with polymer matrix. Moreover, the

chemical modification of fiber aims to

form the hydroxyl group reaction in fiber

with correct reactive compound in order

to form covalent bonding. The newly

formed group will act as the interface

between the fiber and the matrix to

produce composite products with better

properties. The use of third component

besides the matrix and fiber is also

categorized as chemical method, known

as compatibilizer, or coupling agent. The

coupling agent’s function is modifying

one or both of the two component of the

composite in order to improve its

adhesion (Lu et al. 2000, Febrianto et

al.2005, 2006a, 2006b, 2006c, 2014).

Examples of coupling agents that have

been used in several researches are

maleic anhydride polypropylene

(MAPP), maleic anhydride polyethylene

(MAPE), isocyanate, silane, and other

anhydride such as acid and succinic

anhydride (Lu et al. 2000, Febrianto et

al. 2005, Febrianto et al. 2006a, 2006b).

MAPP and MAPE are obtained through

the reaction between the matrix and

MAH with additional initiator. The

coupling agent widely used in the

manufacturing of plastic composite with

PP matrix is MAPP. Maleic anhydride

has advantages such as its effectivity in

low concentration, low surface energy,

can be obtained commercially, and not

require pretreatment of the fiber or PP

before its manufacturing (Lu et al. 2000;

Lin et al. 2002; Kim et al. 2007). This

research aims to determine the effect of

MAPP towards the mechanial and

thermal properties of the manufactured

plastic composite.

Materials and Methods

Materials used in this research are

primary sludge obtained from PT. Indah

Kiat Pulp and Paper, Serang-Banten.

Polypropylene impact copolymer (block

copolymer) BI9.0GA was obtained from

PT. Chandra Asri Petrochemical,

Cilegon. The most important

characteristics of PP impact copolymer

(block copolymer) BI9.0GA is its

impact-resistance material (it’s hard to

break) and its resistance of low

temperature (reaching as low as -30 oC),

melt flow rate (MFR) of 9.0 g per 10

min., and its density of 0.9 g cm-3. The

coupling agent used is Licocene PPMA

6452 TP, produced by Clariant

Page 45: Ilmu dan Teknologi Kayu Tropis - mapeki.orgmapeki.org/web/wp-content/uploads/2017/02/Full-Issue-Vol.13-No.1.pdf · Jurnal Ilmu dan Teknologi Kayu Tropis ... hingga homogen dengan

41 Characteristics of Wood Plastic Composite Using Primary Sludge as Filler

Iwan Risnasari, Fauzi Febrianto, Nyoman J Wistara, Sucahyo Sadiyo, Siti Nikmatin

Chemical, Ltd., Germany. Several

characteristics of Licocene PPMA 6452

TP are its acidic number of 41 mg

KOH/g, its softening point of 143 oC, its

density of 0.93 g cm-3, and its grafting

level of maleic anhydride (7%). The

chemical materials used are ethanol,

benzene, sodium chloride (NaClO2),

acetic acid, sodium hydroxyde, destilated

water, and acid chloride.

Purification treatment

The purification treatment was

conducted in order to isolate the

cellulose component of the primary

sludge, and it was based on the methods

of Fahma et al. (2010). Firstly, sludge

was extracted using ethanol/benzene

solution (1:2 v/v) through soxhlet

extraction for 48 h to remove the

extractive components (resin, oil, fat, and

wax). Further, fiber was washed using

ethanol to remove the benzene, followed

by rinsing using destilated water.

Afterwards, bleaching was conducted

using sodium chloride solution 1.25% in

acidic condition (pH = 4-5). Bleaching

treatment was conducted at 70 °C for 4

h. Fiber was rinsing with destilated water

until pH 7. Furthermore, fiber was

extracted with sodium hydroxyde 17.5%

for 2 h at 20 °C, and rinsing several

times with destilated water to remove the

alkali. Finally, the fiber was extracted

with 1M acid chloride solution to remove

the inorganic materials. Fiber was rinsing

with destilated water until pH 7, and then

it was dried at 50 °C.

Plastic composite manufacture

The composite was manufactured

through the following steps: the mixing

of sludge, PP matrix, and MAPP using

Haake Polydrive labo plastomill at 175

°C and 60 rpm for 20 min. The

composition (percentage) of materials

used by sludge/PP/MAPP are 40/55/5,

50/45/5, and 60/35/5. Afterwards, the

resulting mixture was formed into

pellets, and then manufactured into

sheets/composites using hot press at 180

°C for 20 min. Further, it was cold-

pressed for 10 min. After, the

manufactured composite was conditioned

at room temperature and cutting into

specific sizes to be examined.

Plastic composite characterizations

The physical properties of composite

film consist of water absorption and

thickness swelling with the samples’ size

of (2×2) cm2. Before the testing, each

samples’ mass and thickness were

measured. After, samples were soaked in

aquades at room temperature for two

days. After two days, each samples were

swabbed using tissue paper to wipe off

the water and then their mass and

thickness were determined. The

examination of mechanical properties

(tensile strength, young modulus, and

break elongation) of composite film was

conducted based on ASTM D882-75b

(Standard Test Method for Tensile

Properties of Thin Plastic Sheeting) with

the crosshead speed of 50 mm/min. The

sludge-filled composite’s morphology

was analyzed using SEM (Scanning

Electron Microscope) JEOL-JSM

6510LV. In this morpology analysis,

samples were put down on the

carbontape fixed to the samples holder of

1 cm diameter. Samples were coated

with osmium in coating device, and then

they were put into SEM and scanned

with the voltage of 15 kV. The thermal

properties of composite were determined

using TGA (Thermo-Gravimetrix

Analysis) and DSC (Differential

Scanning Calorimetry). The TGA testing

was conducted by taking 10 mg of the

composite samples and then put into the

Page 46: Ilmu dan Teknologi Kayu Tropis - mapeki.orgmapeki.org/web/wp-content/uploads/2017/02/Full-Issue-Vol.13-No.1.pdf · Jurnal Ilmu dan Teknologi Kayu Tropis ... hingga homogen dengan

42 J. Ilmu Teknol. Kayu Tropis Vol.13 No.1 Januari 2015

crucible. This samples-contained

crucible was placed inside a testing

chamber with heating program at 50 °C

to 600 °C and rising temperature speed

of 10 °C min-1 and nitrogen gas flow

speed of 50 ml min-1. Afterwards, it was

put into hold (isothermic) for 5 minutes

at 600 °C before the heating was

continued again until it reached 900 °C

in the oxygen gas-environment and

oxygen gas flow speed of 50 mL/min.

The DSC testing was conducted using

DSC Mettler Toledo type-DSC 821. 16

mg of samples were then put into the 40

µL crucible. The analysis was conducted

with temperature program from -75 to

125 oC with heating speed of 5 oC min-1.

The purging gas used was nitrogen with

flow speed of 50 ml min-1.

Results and Discussion

Physical and mechanical properties of

plastic composite

Figure 1 shows the density of composite.

The increasing fiber content added into

the PP matrix tends to increase the

density. The addition of MAPP toward

all treatments also causing the increasing

of composite’s density, due to the

interaction between PP with sludge

becomes better and thus decrease the

amount of empty spaces/gaps between

the fibers and matrix.

Figure 2 shows the water absorption

properties and thickness swelling

tendency of the composite after two days

being submerged. The water absorption

in all treatments increases with the

increasing amount of fiber. The natural

properties of plastic matrix is

hydrophobic, which means the water was

absorbed by cellulose materials inside

the composite (Hamzeh et al. 2011). The

decrease of water absorbed was caused

by the addition of MAPP in all of the

treatments. The addition of MAPP was

probably causing the forming of better

linkages between matrix and fiber, for it

decreases the amount of gaps on the

composite’s interface. Moreover, the

fiber’s hydrophilic properties was

blocked by the existence of hydroxyl

group, due to the coupling agents

increase the amount of ester bonds

between hydroxyl group in the fiber with

the anhydride group in MAPP.

Our result was agreed with the previous

result reported by Febrianto et al.

(2006a) using woody filler in

manufacturing wood flour-poly lactic

acid composites.

Figure 1 The density of the plastic composite.

Page 47: Ilmu dan Teknologi Kayu Tropis - mapeki.orgmapeki.org/web/wp-content/uploads/2017/02/Full-Issue-Vol.13-No.1.pdf · Jurnal Ilmu dan Teknologi Kayu Tropis ... hingga homogen dengan

43 Characteristics of Wood Plastic Composite Using Primary Sludge as Filler

Iwan Risnasari, Fauzi Febrianto, Nyoman J Wistara, Sucahyo Sadiyo, Siti Nikmatin

Figure 2 Water absorption and thickness swelling of the composite.

The thickness swelling properties of the

composite show the same tendency with

the water absorption properties. The

hydrophilic properties of lignocellulosic

materials are mostly caused by the

existence of polar groups which pull the

water molecules by hydrogen bond. This

causes the water molecules trapped

within fiber cell’s wall (causing the cells

to swell) and also in the interfaces

between fiber and the matrix. This

affects the dimensional changes of

plastic composite, especially on its

thickness (Hamzeh et al. 2011). Figure 3

shows the results of tensile strength

testing of sludge-filled plastic composite.

The tensile strength decreases by the

increasing of amount of fiber of the

composite. These decreases are caused

by the heterogenity of sludge’s size, due

to the composites are not able to

withstand the stress transferred from the

matrix to the filler.

Similar result was reported by Febrianto

et al. (2005) increasing the filler loadings

resulted in decreasing the tensile strength

and breaking elongation and increasing

the Young’s modulus of wood

polypropylene composite.

The addition of MAPP towards all

composites increases their tensile

strength. This increase in strength

occurred because of the better bonding

between fiber and PP. The increase in

interaction between fiber and PP happens

through esterification between anhydride

groups of MAPP with hyrdroxyl groups

of fibers. Figure 4 shows the mechanism

of chemical reaction in the forming of

interface bonding between fiber’s surface

with matrix. The reaction begins through

Page 48: Ilmu dan Teknologi Kayu Tropis - mapeki.orgmapeki.org/web/wp-content/uploads/2017/02/Full-Issue-Vol.13-No.1.pdf · Jurnal Ilmu dan Teknologi Kayu Tropis ... hingga homogen dengan

44 J. Ilmu Teknol. Kayu Tropis Vol.13 No.1 Januari 2015

the peroxyde catalyst which starts the

forming of radical on PP chain through

hydrogen bonding and chain breaking.

The formed radical further reacts with

maleic anhydride to form MAPP (Park et

al. 2006, Febrianto et al. 2005).

Figure 5 shows that there is an increase

in young modulus of the plastic

composite along with the increase of

sludge content. Young modulus shows

the composite’s rigidity. The larger the

amount of fiber added into the matrix,

the composite structure becomes more

rigid. The addition of MAPP increases

the composite’s rigidity for there is a

compatibility between the fiber and the

matrix. Figure 6 shows the break

elongation graphic of the composite, in

which the addition of fiber causes the

composite to become more rigid and its

break elongation to decline.

Figure 3 Tensile strength of plastic composite.

Figure 4 The mechanism of chemical reaction between fiber with MAPP.

Page 49: Ilmu dan Teknologi Kayu Tropis - mapeki.orgmapeki.org/web/wp-content/uploads/2017/02/Full-Issue-Vol.13-No.1.pdf · Jurnal Ilmu dan Teknologi Kayu Tropis ... hingga homogen dengan

45 Characteristics of Wood Plastic Composite Using Primary Sludge as Filler

Iwan Risnasari, Fauzi Febrianto, Nyoman J Wistara, Sucahyo Sadiyo, Siti Nikmatin

Figure 5 Young modulus of plastic composite.

Figure 6 Break elongation of the plastic composite.

Figure 7 shows the SEM results of the

composite with PP matrix based on the

varied sludge treatment. There are

morphological differences of the

composite’s surface made with the

different fillers and sludge treatments.

The unpurified sludge-filled composite

shows the existence of gaps between

fibers and matrix which indicates that the

interaction between fiber and the matrix

does not occured. While the composite

added coupling agents already seen the

interaction between the fibers with the

matrix has shown by the matrix that

surrounds the fiber so it is not seen again

the gap between the fibers with the

matrix. The similar thing also occured on

the purified sludge-filled composite.

Thermal properties of plastic

composite

Figure 8 shows the TGA thermogram of

sludge, PP film composite, and PP film

composite with sludge filler. The steps of

sludge’s mass declination from the heat

was started with the change of mass

caused by water evaporation from the

fiber at 50-150 °C (Figure 8a). The next

step is the mass change caused by initial

damage of sludge at 200-350 °C.

Page 50: Ilmu dan Teknologi Kayu Tropis - mapeki.orgmapeki.org/web/wp-content/uploads/2017/02/Full-Issue-Vol.13-No.1.pdf · Jurnal Ilmu dan Teknologi Kayu Tropis ... hingga homogen dengan

46 J. Ilmu Teknol. Kayu Tropis Vol.13 No.1 Januari 2015

Figure 7 SEM image of plastic composite filled: a) unpurified sludge without MAPP, b)

unpurified sludge with MAPP, c) purified sludge without MAPP, and d) purified sludge

with MAPP.

According to Onggo et al. (2005), in this

step, the components inside the fiber

undergo carbon chain breaking, followed

by the secretion of volatile matters such

as carbon dioxide, hydrocarbon, and

hydrogen gas. Components with lower

molecular mass will undergo degradation

before the components with high

molecular mass. Therefore, on fiber, the

degradation is firstly experienced by

hemicellulosic component, lignin, and

lastly, cellulose which produces

charcoal. Further, the mass change was

happened because of the oxydation

reaction of residue such as charchoal,

followed by the process of carbon

burning into ashes which happened at

400-600 °C.

PP decomposition shows one

degradation step with the mass

diminution on the exothermic peak at

420 °C (Figure 8b). Moreover, on

composite with 50% PP-50% sludge, the

decomposition consists of two steps of

mass reduction. The first step is caused

by the sludge and PP: the amalgamation

of 50% sludge in PP matrix increases the

sludge component decomposition at 320

°C (sludge decomposition at 300 °C).

This shows that PP is the component

protecting the fibers, thus delaying the

degradation. The second step is the

consistent decomposition of PP at ≈420

°C, showing that the existence of sludge

doesn’t affect the thermal stabilization or

mass reduction of the matrix greatly

(Spoljaric et al. 2009).

For the composite film with 45% PP-5%

MAPP-50% sludge (Figure 8d), the

observed changes in decomposition

profile is the change in mass reduction

steps according to the matrix. The

decomposition temperature of the matrix

increases toward 440oC. The rate of mass

reduction slightly decreases compared to

the composite without coupling agent.

This change is caused by the existence of

coupling agent inside the composite. The

specific interaction between cellulose

and maleat anhydride could produce an

association through esterification

between anhydride group and hydroxyl

group of the cellulose (Spoljaric et al.

2009).

Unpurified sludge

Purified sludge

a b

c d

Page 51: Ilmu dan Teknologi Kayu Tropis - mapeki.orgmapeki.org/web/wp-content/uploads/2017/02/Full-Issue-Vol.13-No.1.pdf · Jurnal Ilmu dan Teknologi Kayu Tropis ... hingga homogen dengan

47 Characteristics of Wood Plastic Composite Using Primary Sludge as Filler

Iwan Risnasari, Fauzi Febrianto, Nyoman J Wistara, Sucahyo Sadiyo, Siti Nikmatin

Gambar 8 TGA thermogram on a) sludge; b) PP composite film; c) composite film with

50% sludge-50% PP and d) composite film with 50% sludge-45% PP-5% MAPP.

Figure 9 shows the DSC thermogram of

the composite to determine the glass

transition temperature and melting point

of the manufactured composite. The first

endothermic peak of PP film (115 °C) is

the process of the increasing of glass

transition at 125 °C in the PP composite

with sludge filling, whereas on the PP-

sludge composite with MAPP addition,

the glass transition temperature is the

same as the PP’s. The second

endothermic of the PP film (163.73 °C)

shows the process of polymer meltdown

from its solid state into liquid. The

addition of sludge toward matrix causes

the melting point to increase at 164.40

°C. However, the addition of MAPP on

the PP-sludge composite decreased the

melting point into 160.38°C. The ΔH

value is the change of calor which was

happening along the calor absorption or

desorption process, showing that the

addition of MAPP toward the composite

causes the change of calor becoming

smaller.

Page 52: Ilmu dan Teknologi Kayu Tropis - mapeki.orgmapeki.org/web/wp-content/uploads/2017/02/Full-Issue-Vol.13-No.1.pdf · Jurnal Ilmu dan Teknologi Kayu Tropis ... hingga homogen dengan

48 J. Ilmu Teknol. Kayu Tropis Vol.13 No.1 Januari 2015

Figure 9 DSC thermogram of a) sludge; b) PP composite film; c) composite film of

sludge 50%-PP 50% and d) composite film of sludge 50%-PP 45%-MAPP 5%.

Table 1 Thermal characteristics of composite

Sample Glass transition

(0C)

Melting point (0C) ΔH (J/g)

PP (pure) 115 163.73 79.7894

Sludge Composite

50%-PP 50%

125 164.40 39.1249

Sludge Composite

50%-PP 45%-MAPP 5%

115 160.38 35.7662

a

b

c

Page 53: Ilmu dan Teknologi Kayu Tropis - mapeki.orgmapeki.org/web/wp-content/uploads/2017/02/Full-Issue-Vol.13-No.1.pdf · Jurnal Ilmu dan Teknologi Kayu Tropis ... hingga homogen dengan

49 Characteristics of Wood Plastic Composite Using Primary Sludge as Filler

Iwan Risnasari, Fauzi Febrianto, Nyoman J Wistara, Sucahyo Sadiyo, Siti Nikmatin

Conclusion

Purification treatment of sludge prior to

be used as filler improved the physical,

mechanical and thermal properties of

wood plastic composites. The physical

and mechanical properties of wood

plastic composites were also influence by

filler loadings. The addition of coupling

agents improved the interaction between

the fiber and the matrix in the

manufacturing of wood plastic

composite. The SEM results of the

composite added with coupling agent

show good interaction between the fiber

and the matrix, as was shown by the

matrix which engulfs the fiber, leaving

no gaps between the fibers and the

matrix. The addition of coupling agent

also improved the thermal stability of the

manufactured composite, as is shown by

the increase of temperature of matrix

decomposition, mass loss rate, and the

decrease of the calor’s change.

References

Faruk O, Bledzki AK, Fink H-P, Sain

M. 2012. Biocomposites reinforced

with natural fibers: 2000–2010. Prog

Polym Sci. 37(11):1552-1596. Doi:

10.1016/j.progpolymsci.2012.04.003

Febrianto F, Lee SH, Jang JH, Hidayat

W, Kwon JH, Kondo T, Kim NH.

2014. Tensile properties and

dimensional stability of wood flour-

reinforced cis-1,4-isoprene rubber

composites. J Fac Agr Kyushu Univ.

59(2); 333-337. ISSN 0023-6152

Febrianto F, Yoshioka M, Nagai Y, Thair

MT, Syafii W, Shiraishi N. 2006a.

The morphological, mechanical and

physical properties of composites of

wood flour-polylactic acid under

various filler types. J Biol Sci.

6(3):555-563. Doi: 10.3923/jbs.

2006.555.563 URL: http://scialert.net/

abstract/?doi=jbs.2006.555.563

Febrianto F, Yoshioka M, Nagai Y,

Shiraishi N. 2006b. Characterization

and properties of composites of wood-

flour and poly lactic acid. J Korean

Wood Sci Technol. 34(5):67-78. Doi

prefix : 10.5658

Febrianto F, Sulaeman R, Karina M,

Ashaari Z, Hadi YS. 2006c.

Weathering and termite resistance of

composites of wood flour and

recycled polypropylene in tropical

region. J Korean Wood Sci Technol.

34(5):88-97. Doi: 10.5658/WOOD

Febrianto F, Setyawati D, Karina M,

Bakar ES, Hadi YS. 2005. Influence

of wood flour and modifier content on

the physical and mechanical

properties of wood flour-polypropylne

composites. J Biol Sci. 6(2):337-343.

Doi: http://dx.doi.org/10.3923/

jbs.2006.337.343

Hamzeh Y, Ashori A, Mirzaei B. 2011.

Effects of Waste Paper Sludge on the

Physico-Mechanical Properties of

High Density Polyethylene/Wood

Flour Composites. J Polym Environ.

19:120-124. Doi: 10.1007/s10924-

010-0255-3

Johar N, Ahmad I, Dufresne A. 2012.

Extraction, preparation and

characterization of cellulose fibres

and nanocrystals from rice husk. Ind

Crops Prod. 37:93-99. Doi: 10.1016/

j.indcrop.2011.12.016

Kim H-S, Lee B-H, Choi S-W, Kim S,

Kim H-J. 2007. The effect of types of

maleic anhydride-grafted

polypropylene (MAPP) on the

interfacial adhesion properties of bio-

flour-filled polypropylene composites.

Compos. Part A-Appl. S. 38(6):1473-

Page 54: Ilmu dan Teknologi Kayu Tropis - mapeki.orgmapeki.org/web/wp-content/uploads/2017/02/Full-Issue-Vol.13-No.1.pdf · Jurnal Ilmu dan Teknologi Kayu Tropis ... hingga homogen dengan

50 J. Ilmu Teknol. Kayu Tropis Vol.13 No.1 Januari 2015

1482. Doi: 10.1016/j.compositesa.

2007.01.004

Li Z, Zhou X, Pei C. 2011. Research

article effect of sisal fiber surface

treatment on properties of sisal fiber

reinforced polylactide composites. Int

J Polym Sci. 1-7. Doi: 10.1155/

2011/803428

Lima PRL, Santos RJ, Ferreira SR,

Filho RDT. 2014. Characterization

and treatment of sisal fiber residues

for cement-based composite

application. Eng Agríc Jaboticabal.

34(5):812-825.

Lin Q, Zhou X, Dai G, Bi Y. 2002.

Some studies on mechanical

properties of wood flour/continuous

glass mat/polypropylene composite. J

Appl Polym Sci. 85(3):536-544. Doi:

10.1002/app.10591

Lu JZ, Wu Q, Harold S, McNabb J.

2000. Chemical coupling in wood

fiber and polymer composites: a

review of coupling agents and

treatments. Wood Fiber Sci. 32(1):

88-104.

Onggo H, Subowo W, Sudirman. 2005.

Analisis Sifat Termal Komposit

Polipropilen-Kenaf. Prosiding

Simposium Nasional Polimer V:149-

153.

Park J-M, Quang ST, Hwang B-S,

DeVries KL. 2006. Interfacial

evaluation of modified Jute and Hemp

fibers/polypropylene (PP)-maleic

anhydride polypropylene copolymers

(PP-MAPP) composites using

micromechanical technique and

nondestructive acoustic emission.

Compos Sci Technol. 66(15):2686-

2699. Doi: 10.1016/j.compscitech.

2006.03.014

Spoljaric S, Genovese A, Shanks RA.

2009. Polypropylene–microcrystalline

cellulose composites with enhanced

compatibility and properties. Compos

Part A-Appl S. 40(6-7):791-799. Doi:

10.1016/j.compositesa.2009.03.011

Taramian A, Doosthoseini K,

Mirshokraii SA, Faezipour M. 2007.

Particleboard manufacturing: an

innovative way to recycle paper

sludge. Waste Manag. 27(12):1739-

1746. Doi: 10.1016/j.wasman. 2006.

09.009

Riwayat naskah:

Naskah masuk(received): 23September 2014

Diterima (accepted): 24 Nopember 2014

Page 55: Ilmu dan Teknologi Kayu Tropis - mapeki.orgmapeki.org/web/wp-content/uploads/2017/02/Full-Issue-Vol.13-No.1.pdf · Jurnal Ilmu dan Teknologi Kayu Tropis ... hingga homogen dengan

51 Karakteristik Kecepatan Gelombang Suara dan Sifat Anatomi Sadapan Pohon Pinus

Maryam Jamilah, Lina Karlinasari, Sucahyo Sadiyo, Gunawan Santosa

Karakteristik Kecepatan Gelombang Suara dan Sifat Anatomi

Sadapan Pohon Pinus

(Characteristics Ultrasonic Waves Velocity and Anatomical Properties of

Tapping Pine)

Maryam Jamilah1*, Lina Karlinasari2, Sucahyo Sadiyo2, Gunawan Santosa3

1Mahasiswa Pascasarjana Departemen Hasil Hutan Fakultas Kehutanan IPB, Kampus

IPB Dramaga Bogor, 16680 2Departemen Hasil Hutan Fakultas Kehutanan IPB, Kampus IPB Dramaga Bogor, 16680 3Departemen Manajemen Hutan Fakultas Kehutanan IPB, Kampus IPB Dramaga Bogor,

16680

*Penulis korespondensi: [email protected]

Abstract

Non-destructive testing based on sound wave propagation has been used widely to estimate

wood quality of standing trees. The aim of this study was to evaluate the characteristics of the

sound wave velocity in relation to pine resin productivity and resin intercellular frequency and

diameter. The samples were 72 trees consisted of 36 trees which were tapped by the quarre

method and 36 other trees were tapped with addition of stimulants. The speed of sound waves

propagation was measured by SylvatestDuo for radial direction and longitudinal. The tapping

position was determined refering to the wind direction. The resin productivity was twice for

tapping with stimulant comparing to the control. The highest resin productivity was 87.31 g per

harvest for tapping with stimulant and the lowest (39.86 g per harvest) for control. Statistically,

there was not significant difference in sound speed for tapped position as well as for

measurement before and after tapped of both radial and longitudinal testing, as well as for the

anatomical properties of both of treatments. A high positive correlation was found between resin

productivity and intercellular frequency for both treatments (r>0.80), however, there was not

significance correlation between resin productivity and other parameters.

Keywords: Pinus merkusii, resin tapping, sound wave propagation

Abstrak

Pengujian metode non-destruktif testing (NDT) berbasis gelombang suara biasa digunakan untuk

menduga kualitas pohon di lapangan. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi karakteristik

kecepatan rambat gelombang suara pada kayu pinus sadapan dan kaitannya dengan produksi

getah berdasarkan penyebaran jumlah dan diameter saluran resin. Sampel uji pohon pinus

sebanyak 72 pohon terdiri atas 36 pohon disadap dengan metode quarre, dan 36 pohon disadap

dengan penambahan stimulansia. Pengukuran kecepatan gelombang suara menggunakan

SylvatestDuo pada arah radial (horizontal) dan arah longitudinal (searah serat batang utama).

Posisi penyadapan dilakukan berdasarkan pada arah mata angin. Hasil penelitian menunjukkan

produksi getah meningkat sebanyak dua kali lipat dengan penambahan stimulansia. Produksi

tertinggi diperoleh dari penyadapan dengan penambahan stimulansia (87,31 g per panen) dan

terendah dari kontrol (39,86 g per panen). Hasil analisis statistik menunjukkan tidak terdapat

perbedaan signifikan antara kecepatan gelombang suara dengan posisi penyadapan, dan antara

pengujian sebelum dan setelah penyadapan pada arah radial dan longitudinal. Perbedaan sifat

anatomi berdasarkan jumlah dan diameter saluran resin pada kedua perlakuan juga menunjukkan

perbedaan tidak signifikan. Hubungan antara produksi getah dengan jumlah diameter saluran

Page 56: Ilmu dan Teknologi Kayu Tropis - mapeki.orgmapeki.org/web/wp-content/uploads/2017/02/Full-Issue-Vol.13-No.1.pdf · Jurnal Ilmu dan Teknologi Kayu Tropis ... hingga homogen dengan

52 J. Ilmu Teknol. Kayu Tropis Vol.13 No.1 Januari 2015

resin pada kedua perlakuan menunjukkan korelasi yang positif dan signifikan (r>0,80).

Sementara itu, hubungan produksi dengan beberapa parameter lainnya menunjukkan korelasi

tidak signifikan.

Kata kunci: kecepatan gelombang suara, penyadapan pinus, Pinus merkusii

Pendahuluan

Hutan pinus (Pinus merkusii) tidak hanya

memproduksi kayu tetapi juga

diandalkan sebagai penghasil produk

hasil hutan non kayu melalui produksi

getahnya (Indrajaya dan Handayani

2008). Salah satu produk hasil hutan

yang bernilai tinggi dan pada saat ini

sangat diminati pasar didalam dan diluar

negeri adalah gondorukem. Penelitian

Fachrodji et al. (2009) dan Surbakti et al.

(2014) mengemukakan bahwa produk

tersebut termasuk produk potensial dan

dikelompokkan sebagai pine chemical

products, dihasilkan dari proses

pemasakan getah pohon pinus yang

cukup memegang peranan penting

sebagai andalan hasil hutan non kayu di

Indonesia terutama dalam menghasilkan

devisa dan menyerap tenaga kerja.

Pemanfaatan gondorukem berkembang

pesat seiring dengan perkembangan

industri diberbagai bidang. Tercatat

beberapa kegunaan dan manfaat dari

gondorukem pada berbagai industri

antara lain sebagai proses pembuatan

sabun mandi, sabun cuci, pelapis kertas,

pengering cat, penyamak kulit, semir

pengkilat keramik, penggunaan didunia

farmasi dan masih banyak kegunaan

lainnya.

Untuk menghasilkan getah pinus menjadi

gondorukem maka perlu dilakukan

proses penyadapan. Penyadapan getah

pinus umumnya dilakukan dengan

menggunakan metode quarre atau

koakan. Kelebihan metode ini adalah

murah dan mudah diaplikasikan serta

menghasilkan produksi getah yang

meningkat dan stabil. Selain faktor

penyadapan, terdapat faktor lain yang

juga berpengaruh yaitu pemberian

stimulansia yang dapat meningkatkan

produksi getah pinus. Santosa (2011)

mengemukakan bahwa penggunaan

stimulansia dapat berfungsi sebagai

perangsang terbentuknya etilenapada

tanaman dan selanjutnya menaikkan

tekanan osmosis serta tekanan turgor

yang menyebabkan aliran getah

bertambah cepat dan lebih lama.

Stimulansia bertujuan untuk merangsang

keluarnya getah pada saat penyadapan

sehingga produksi getah menjadi

semakin meningkat. Teknik penyadapan

umumnya dapat mengakibatkan

kerusakan pada pohon. Pada penelitian

Teknologi Non Destruktive Testing

(NDT) berbasis gelombang suara biasa

digunakan untuk menemukan adanya

ketidakteraturan di dalam kayu akibat

faktor alami yang dipengaruhi oleh

lingkungan. Ross (1992) mengemukakan

pengujian non denstruktif digunakan

untuk menilai cacat yang muncul akibat

diskontinuitas, adanya rongga (voids)

serta kemungkinan adanya pembesaran

(inclusions) selama proses pembuatan

yang dapat berpengaruh terhadap sifat

fisis dan mekanis produknya. Saat ini

pemanfaatan teknologi NDT pada pohon

sadapan pinus belum banyak dilakukan.

Informasi pengukuran rambatan

gelombang suara terhadap jumlah dan

ukuran saluran resin pada pohon pinus

belum tersedia. Wu dan Hu (1997),

Pandit dan Kurniawan (2008)

mengemukakan bahwa saluran resin

pada kayu pinus terbentuk melalui proses

schizogenous, yaitu terpisahnya sel-sel

parenkim sehingga menciptakan ruang-

ruang kosong diantara sel-sel tersebut.

Page 57: Ilmu dan Teknologi Kayu Tropis - mapeki.orgmapeki.org/web/wp-content/uploads/2017/02/Full-Issue-Vol.13-No.1.pdf · Jurnal Ilmu dan Teknologi Kayu Tropis ... hingga homogen dengan

53 Karakteristik Kecepatan Gelombang Suara dan Sifat Anatomi Sadapan Pohon Pinus

Maryam Jamilah, Lina Karlinasari, Sucahyo Sadiyo, Gunawan Santosa

Penelitian ini bertujuan untuk

mengevaluasi karakteristik kecepatan

rambatan gelombang suara pada kayu

pinus sadapan kaitannya dengan

produksi getah berdasarkan penyebaran

jumlah dan diameter saluran resin. Hasil

penelitian diharapkan dapat memberikan

informasi ilmiah mengenai karakteristik

kecepatan gelombang suara pada kayu

pinus yang disadap serta kemungkinan

penggunaan gelombang suara untuk

menduga produksi getah pinus.

Bahan dan Metode

Penelitian ini dilakukan pada tegakan

pinus sebanyak 72 pohon di Hutan

Pendidikan Gunung Walat, Kabupaten

Sukabumi, Jawa Barat. Bahan berupa

stimulansia organik etilena asam sitrat

(etrat) yang berfungsi sebagai bahan

perangsang keluarnya getah pinus selama

penyadapan. Alat yang digunakan pada

penelitian ini adalah alat pengukur

kecepatan rambatan gelombang suara

merk SylvatestDuo (f = 22 kHz), alat bor

mekanis yang dapat melubangi pohon

untuk memasang transduser, label pohon,

pita ukur, bor riap untuk pengambilan

sampel anatomi, kadukul ukuran 6 cm,

plastik ukuran (12x25) cm2, timbangan

digital, talang sadap dan alat lainnya

yang dibutuhkan.

Penentuan pohon sasaran

Pemilihan pohon sasaran dilakukan

berdasarkan penelitian sebelumnya oleh

Febriani (2014) dan Purnawati (2014)

mengenai produksi getah pinus. Pada

penelitian tersebut dilakukan penyadapan

getah untuk mengetahui potensi awal

produksi getah pinus. Data tersebut

merupakan data awal dalam pemilihan

pohon sasaran dilapangan. Berdasarkan

data produksi getah 90 pohon maka

dilakukan seleksi terhadap pohon yang

memiliki produksi getah yang ekstrim

(terlalu tinggi atau terlalu rendah) untuk

dikeluarkan dari populasi sehingga

diperoleh sebanyak 72 pohon contoh.

Hal ini bertujuan dalam pengambilan

pohon sasaran menjadi seragam.

Selanjutnya pohon sasaran tersebut

dibagi menjadi 2 (dua) bagian yaitu

perlakuan koakan tanpa stimulansia dan

perlakuan koakan dengan menggunakan

stimulansia masing-masing 36 pohon.

Pohon sasaran tiap perlakuan dibagi lagi

menjadi 4 (empat) kelompok pohon yaitu

pohon yang disadap di sisi bagian utara,

selatan, barat dan timur yang masing-

masing sebanyak 9 pohon.

Penyadapan batang pohon pinus

Pada keseluruhan pohon sasaran

dilakukan penyadapan dengan

menggunakan metode koakan. Metode

koakan yang dilakukan mengacu pada

standar Perhutani yaitu pelukaan dimulai

sekitar 20 cm dari permukaan tanah.

Pembukaan luka sadapan awal berukuran

(10x6) cm2 dengan kedalaman 1,5 cm

(tidak termasuk tebal kulit) dan

selanjutnya diperbaharui setiap 3 hari

sekali. Pembaharuan luka dilakukan di

atas luka sadapan awal sekitar 5 mm

sehingga luka sadapan dalam satu bulan

adalah 5 cm. Pengambilan data

dilakukan sebanyak 10 kali dengan

periode pembaharuan luka sadapan,

pemanenan dan pemberian stimulansia

setiap 3 hari. Pada setiap kali pembaruan

luka diberikan stimulansia Etrat 1240

dengan cara disemprot pada bidang

sadapan pohon sebanyak satu kali atau

0,5 ml per koakan untuk merangsang

keluarnya getah pada pohon.

Pengukuran kecepatan gelombang

suara

Pengukuran kecepatan rambatan

gelombang suara dilakukan untuk

menduga kondisi bagian dalam pohon

Page 58: Ilmu dan Teknologi Kayu Tropis - mapeki.orgmapeki.org/web/wp-content/uploads/2017/02/Full-Issue-Vol.13-No.1.pdf · Jurnal Ilmu dan Teknologi Kayu Tropis ... hingga homogen dengan

54 J. Ilmu Teknol. Kayu Tropis Vol.13 No.1 Januari 2015

pinus. Pengukuran ini dilakukan dengan

menggunakan alat uji non destruktif

metode gelombang ultrasonik merk

SylvatestDuo. Pengukuran ini dilakukan

dengan cara memasang transduser pada

bagian batang pohon pinus yang sudah

dilubangi sedalam ±2 cm dengan diameter

5 mm secara berlawanan (pengukuran

radial) dan sejajar (pengukuran

longitudinal). Gelombang suara akan

dibangkitkan dan merambat dari transduser

pengirim dan diterima oleh transduser

penerima sehingga kecepatan gelombang

akan terbaca pada alat tersebut.

Pengukuran radial

Pengukuran radial dilakukan pada arah

horizontal batang kayu pinus dengan

posisi transduser saling berlawanan

melintang diameter pohon. Pengukuran

arah radial ini dilakukan sebelum

penyadapan, setiap 3 kali panen atau

setiap 9 hari kegiatan penyadapan

(pengukuran hari ke 9, 18, 27) dan

terakhir pada hari ke-30 atau setelah

penyadapan. Pengukuran radial ini

dilakukan pada ketinggian minimal ±20

cm dan maksimal ±100 cm dari

permukaan tanah.

Pengukuran longitudinal

Pengukuran longitudinal dilakukan

searah serat batang utama pohon (arah

aksial) pada salah satu sisi batang pohon

pinus yang disadap. Pengukuran

dilakukan sejajar arah serat dan aliran

getah. Pengukuran longitudinal

dilakukan dengan menempatkan

transduser pada posisi sudut ±45 dengan

jarak antara transduser ±100 cm mulai

dari permukaan bawah sekitar bidang

sadap (±20 cm dari permukaan tanah)

hingga ketinggian ±130 cm. Pengukuran

longitudinal ini dilakukan sebelum

penyadapan dan setelah penyadapan.

Pengambilan sampel anatomi

Pengambilan sampel dilakukan dengan

melubangi batang pohon secara

horizontal pada dua arah mata angin

dengan menggunakan bor riap

berdiameter 0,5 cm dan panjang 30 cm.

Contoh uji diambil dari bagian terluar

batang pohon hingga ke arah bagian

empulur. Pengambilan sampel sebelum

penyadapan dilakukan pada ketinggian

±50 cm dari permukaan tanah, dan

setelah penyadapan pengambilan sampel

dilakukan pada ketinggian ±30 cm dari

permukaan tanah. Sampel disimpan pada

wadah tertutup untuk dilakukan

pengamatan di laboratorium.

Sampel dipotong menjadi beberapa

segmen dengan panjang per segmen

yaitu ±3 cm untuk memudahkan proses

pengamatan, selanjutnya disayat pada

arah tegak lurus serat untuk pengamatan

dan pengukuran sampel anatomi. Sampel

difoto dengan mikroskop cahaya pada

luasan 12 mm dan perbesaran 30 kali,

lalu diamati menggunakan software

Motic Image Plus untuk menentukan

jumlah dan diameter saluran resin.

Hasil dan Pembahasan

Produksi getah pohon pinus

Gambar 1 menunjukkan produksi getah

pada pohon pinus tanpa stimulansia dan

dengan stimulansia. Hasil produksi getah

tiap pohon pada awal pemanenan koakan

seragam. Pada pembaharuan luka yang

kedua (hari ke-6) produksi getah yang

dihasilkan menurun. Hal ini diduga

karena deposit getah menjadi lebih

sedikit dari sebelumnya akibat proses

metabolisme sekunder menjadi

terganggu karena adanya “shock” atau

tekanan yang diberikan pada kegiatan

pelukaan bagian batang pohon

(Darmastuti 2014, Purnawati 2014).

Page 59: Ilmu dan Teknologi Kayu Tropis - mapeki.orgmapeki.org/web/wp-content/uploads/2017/02/Full-Issue-Vol.13-No.1.pdf · Jurnal Ilmu dan Teknologi Kayu Tropis ... hingga homogen dengan

55 Karakteristik Kecepatan Gelombang Suara dan Sifat Anatomi Sadapan Pohon Pinus

Maryam Jamilah, Lina Karlinasari, Sucahyo Sadiyo, Gunawan Santosa

Gambar 1 Produksi getah pinus dengan metode koakan dan koakan dengan stimulansia.

Produksi getah dengan stimulansia lebih

rendah dibandingkan dengan tanpa

stimulansia. Pada tahap awal,

penambahan stimulansia etilen asam

sitrat mengakibatkan kondisi luka tetap

terbuka dan getah tetap mengalir

(Sukadaryati & Dulsalam 2013). Hal

tersebut akan merangsang terbentuknya

etilen pada tanaman yang menyebabkan

naiknya tekanan osmosis serta tekanan

turgor sehingga aliran getah menjadi

cepat dan lebih lama (Santosa 2011).

Pada periode penyadapan berikutnya

produksi getah meningkat karena pohon

sudah beradaptasi dengan pelukaan pada

proses penyadapan. Hasil produksi getah

tanpa stimulansia terendah 6,29 g per

panen dan tertinggi 39,86 g per panen,

sedangkan dengan stimulansia diperoleh

produksi getah terendah 23,03 g per

panen dan tertinggi 87,31 g per panen.

Produksi getah pinus dengan stimulansia

2 kali lipat atau 48,3% tanpa stimulansia.

Berdasarkan hasil uji-t menunjukan

perbedaan yang signifikan antara

produksi getah dengan stimulansia dan

tanpa stimulansia, dan sama halnya

dengan hasil penelitian sebelumnya

(Purnawati 2014, Darmastusi 2014).

Karakteristik kecepatan gelombang

suara

Gambar 2 menjelaskan kecepatan

gelombang suara sebelum dan setelah

penyadapan setiap tiga kali panen.

Pengukuran arah radial dilakukan pada

keempat sisi batang pohon, yaitu pada

arah barat dan timur (B-T) dan arah utara

selatan (U-S). Pada perlakuan koakan

saja, rata-rata kecepatan rambatan

gelombang suara pada arah B-T 1416 m

det-1 dan arah U-S 1220 m det-1. Untuk

perlakuan koakan plus penambahan

stimulansia diperoleh 1397 m/detik pada

arah B-T dan 1319 m det-1 di arah U-S.

Kecepatan rambatan gelombang suara

pada hari ke-9 menurun daripada kondisi

awal pohon sebelum disadap. Kondisi ini

sama halnya dengan produksi getah yang

dihasilkan. Pelukaan pada pohon pinus

secara terus menerus menyebabkan stres

pada bagian internal batang. Pada

pengukuran hari ke-18 pohon sudah

dapat beradaptasi akibat adanya kegiatan

penyadapan. Pengukuran kecepatan

gelombang suara pada hari berikutnya

kembali meningkat dan mendekati pada

kondisi semula sebelum penyadapan.

0

10

20

30

40

50

60

70

80

90

100

3 6 9 12 15 18 21 24 27 30

Pro

duksi

get

ah (

g/p

anen

)

Hari ke-

Koakan

Koakan+stimulan

Page 60: Ilmu dan Teknologi Kayu Tropis - mapeki.orgmapeki.org/web/wp-content/uploads/2017/02/Full-Issue-Vol.13-No.1.pdf · Jurnal Ilmu dan Teknologi Kayu Tropis ... hingga homogen dengan

56 J. Ilmu Teknol. Kayu Tropis Vol.13 No.1 Januari 2015

(a) (b)

Gambar 2 Kecepatan gelombang suara radial pada perlakuan koakan (a), dan kecepatan

gelombang suara radial pada koakan dan stimulansia (b).

Dari kedua perlakuan yang diberikan

menunjukkan perubahan kecepatan

gelombang yang terjadi adalah sama, dan

adanya penambahan stimulansia tidak

mempengaruhi kondisi internal pohon.

Hal ini menjelaskan bahwa kondisi

bagian dalam pohon pinus yang diamati

adalah seragam.

Pengukuran secara longitudinal juga

dilakukan dengan tujuan untuk

mengetahui adanya perubahan yang

terjadipada arah aksial sejajar sumbu

batang. Pengujian dilakukan pada salah

satu sisi pohon yang mengalami

penyadapan dan pada arah yang

berlawanan sesuai dengan arah mata

angin yaitu barat, timur, utara dan

selatan. Gambar 3 menunjukkan nilai

rata-rata kecepatan gelombang ultrasonik

pada perlakuan awal adalah 4023 m det-1

untuk pohon yang hanya disadap dengan

koakan, dan 3806 m det-1 untuk pohon

yang disadap dengan penambahan

stimulansia. Pada akhir penyadapan,

rataan nilai kecepatan gelombang

ultrasonik 4204 m det-1 dan 4151 m det-1

masing-masing untuk perlakuan koakan

dan koakan dengan penambahan

stimulansia. Hasil uji perbandingan

statistik (uji-t) menunjukkan bahwa

kecepatan rambatan gelombang suara

pada perlakuan koakan dan koakan

dengan stimulansia tidak berbeda

signifikan. Hal yang sama ditunjukkan

untuk pengukuran pada sisi batang arah

barat-timut dan utara-selatan.

Evaluasi saluran resin pinus

Penyebaran jumlah saluran resin pada

keempat sisi tersebut hampir sama, yaitu

antara 15 sampai 20 saluran resin per

mm. Berdasarkan jumlah penyebaran

saluran resin pada keempat arah mata

angin dari sisi penyadapan diperoleh

sebelum penyadapan rata-rata jumlah

saluran resin yaitu 16 saluran per

millimeter dan setelah penyadapan 18

saluran per milimeter. Hasil pengamatan

menunjukkan bahwa kegiatan

penyadapan mengakibatkan terjadinya

penambahan jumlah saluran resin.

Namun, hasil uji perbandingan statistik

(uji-t) menjelaskan bahwa jumlah

penyebaran saluran resin sebelum dan

setelah penyadapan tidak terdapat

perbedaan yang signifikan. Dari kelima

0

200

400

600

800

1000

1200

1400

1600

1800

2000

0 9 18 27 30

V (

md

et-1

)

Hari Pengukuran

B-T U-S

0

200

400

600

800

1000

1200

1400

1600

1800

2000

0 9 18 27 30

V (

md

et-1

)

Hari Pengukuran

B-T U-S

Page 61: Ilmu dan Teknologi Kayu Tropis - mapeki.orgmapeki.org/web/wp-content/uploads/2017/02/Full-Issue-Vol.13-No.1.pdf · Jurnal Ilmu dan Teknologi Kayu Tropis ... hingga homogen dengan

57 Karakteristik Kecepatan Gelombang Suara dan Sifat Anatomi Sadapan Pohon Pinus

Maryam Jamilah, Lina Karlinasari, Sucahyo Sadiyo, Gunawan Santosa

segmen yang diamati, hasil perhitungan

jumlah saluran resin menunjukkan nilai

yang hampir sama, namun pada segmen

yang mendekati ke arah kulit luar kayu

jumlah penyebaran saluran resin lebih

banyak dibandingkan dengan dekat

dengan empulur.

Hasil pengukuran diameter saluran resin

yang dilakukan pada keempat sisi

penyadapan. Berdasarkan klasifikasi sisi

penyadapan, ukuran diameter saluran

resin sebelum penyadapan berkisar

121,5-133,30 μm, sedangkan ukuran

diameter saluran setelah penyadapan

yaitu 129,58-139,31 μm. Dari

keseluruhan sampel yang diuji diperoleh

rata-rata diameter saluran resin yaitu

129,92 μm dan setelah penyadapan

135,15 μm. Hasil tersebut menjelaskan

bahwa diameter saluran resin menjadi

besar akibat kegiatan penyadapan.

Namun, berdasarkan hasil uji

perbandingan statistik (uji-t)

menunjukkan bahwa pengukuran

diameter saluran sebelum dan setelah

penyadapan tidak menunjukkan

perubahan yang signifikan, begitu juga

pengukuran yang dilakukan berdasarkan

sisi penyadapan juga menunjukkan hasil

yang tidak signifikan.

Dari hasil penelitian Susilowati (2013)

tentang klasifikasi diameter saluran resin

pohon pinus, diperoleh kandidat bocor

getah tinggi antara 267,92-681,58 μm,

kandidat bocor getah rendah 172,75-

553,53 μm dan untuk kategori pohon

normal atau yang tidak termasuk ke

dalam bocor getah adalah 68,82-274,12

μm. Kategori tersebut menjelaskan

bahwa pohon pinus yang diamati ini

merupakan pohon pinus normal.

(a) (b)

Gambar 3 Kecepatan gelombang suara longitudinal pada perlakuan koakan (a), dan

kecepatan gelombang suara longitudinal pada koakan dan stimulansia (b).

0

1000

2000

3000

4000

5000

6000

U S B T

V (

md

et-1

)

Mata Angin

Sebelum Sesudah

0

1000

2000

3000

4000

5000

6000

U S B T

V (

md

et-1

)

Mata Angin

Sebelum Sesudah

Page 62: Ilmu dan Teknologi Kayu Tropis - mapeki.orgmapeki.org/web/wp-content/uploads/2017/02/Full-Issue-Vol.13-No.1.pdf · Jurnal Ilmu dan Teknologi Kayu Tropis ... hingga homogen dengan

58 J. Ilmu Teknol. Kayu Tropis Vol.13 No.1 Januari 2015

Korelasi produksi getah pinus dengan

karakteristik gelombang suara dan

sifat anatomi kayu

Beberapa variabel yang diamati untuk

pendugaan produksi getah, yaitu

kecepatan rambatan gelombang secara

longitudinal, kecepatan rambatan

gelombang secara radial, kerapatan kayu,

jumlah dan diameter saluran resin. Dari

kelima variabel yang dikorelasikan pada

perlakuan koakan dan koakan plus

stimulansia terdapat satu variabel yang

mempunyai nilai korelasi yang tinggi

yaitu jumlah saluran resin. Korelasi

Pearson disajikan pada Tabel 1 dan 2.

Tabel 1 Korelasi produksi getah pada perlakuan tanpa stimulansia Korelasi N Produksi

Getah

VLongitudinal VRadial Kerapatan Saluran

Resin

Saluran

Resin

Produksi Getah 6 - 0,55

(0,25)

-0,24

(0,64)

0,41

(0,41)

0,88

(0,01)*

-0,51

(0,29)

VLongitudinal 6 - - 0,58

(0,22)

-0,06

(0,89)

0,29

(0,56)

-0,05

(0,92)

VRadial 6 - - - -0,38

(0,45)

-0,48

(0,33)

0,63

(0,17)

Kerapatan 6 - - - - 0,40

(0,42)

0,11

(0,83)

Saluran Resin 6 - - - - - -0,73

(0,09)

Saluran Resin 6 - - - - - -

Keterangan: N = jumlah sampel, VLongitudinal = kecepatan gelombang suara longitudinal, VRadial =

kecepatan gelombang suara radial, = jumlah, = diameter, angka dalam kurung

menunjukkan nilai signifikansi, * = korelasi signifikan pada < 0.05

Tabel 2 Korelasi produksi getah pada perlakuan dengan stimulansia Korelasi N Produksi

Getah

VLongitudinal VRadial Kerapatan Saluran

Resin

Saluran

Resin

Produksi Getah 6 - 0,32

(0,53)

0,08

(0,87)

0,58

(0,22)

0,89

(0,01)*

0,17

(0,74)

VLongitudinal 6 - - -0,13

(0,80)

0,11

(0,82)

0,37

(0,46)

0,67

(0,13)

VRadial 6 - - - 0,73

(0,09)

-0,26

(0,61)

0,04

(0,93)

Kerapatan 6 - - - - 0,29

(0,57)

0,08

(0,86)

Saluran Resin 6 - - - - - 0,35

(0,49)

Saluran Resin 6 - - - - -

Keterangan: N = jumlah sampel, VLongitudinal = kecepatan gelombang suara longitudinal, VRadial =

kecepatan gelombang suara radial, = jumlah, = diameter, angka dalam kurung

menunjukkan nilai signifikansi, * = korelasi signifikan pada < 0.05

Page 63: Ilmu dan Teknologi Kayu Tropis - mapeki.orgmapeki.org/web/wp-content/uploads/2017/02/Full-Issue-Vol.13-No.1.pdf · Jurnal Ilmu dan Teknologi Kayu Tropis ... hingga homogen dengan

59 Karakteristik Kecepatan Gelombang Suara dan Sifat Anatomi Sadapan Pohon Pinus

Maryam Jamilah, Lina Karlinasari, Sucahyo Sadiyo, Gunawan Santosa

Korelasi antara produksi getah pinus

dengan jumlah saluran resin

menghasilkan persamaan y=1,55x-12,64

dengan nilai koefisien korelasi sebesar

0.88 untuk perlakuan koakan, dan pada

perlakuan koakan plus stimulansia

menghasilkan persamaan y=4,94x-67,09

dengan koefisien korelasi = 0,89. Hasil

menunjukkan bahwa terdapat korelasi

yang positif dengan keeratan hubungan

yang kuat pada produksi getah dengan

jumlah saluran resin.

Kesimpulan

Penambahan stimulansia dapat

meningkatkan produktivitas getah pinus

hingga mencapai dua kali lipat

dibandingkan kontrol. Hasil pengukuran

kecepatan gelombang suara batang

pohon belum dapat menjelaskan

fenomena produktivitas getah pinus.

Peningkatan produksi getah pinus

sadapan lebih berkorelasi kuat dengan

sifat anatomi pohon khususnya jumlah

dan diameter saluran resin.

Ucapan Terima Kasih

Penulis ucapkan terima kasih kepada

Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi

(DIKTI) yang telah memberikan

Beasiswa Unggulan selama masa studi,

dan ucapan terima kasih kepada pihak

pengelola Hutan Pendidikan Gunung

Walat (HPGW) yang telah memberikan

fasilitas selama proses penelitian.

Daftar Pustaka

Darmastusti IN. 2014. Penyempurnaan

metode quare dan stimulansia organik

pada penyadapan getah pinus. [Tesis].

Bogor: Pasca Sarjana, Institut

Pertanian Bogor.

Fachrodji A, Suwarman U, Suhendang E,

Harianto. 2009. Perbandingan daya

saing produk gondorukem di pasar

internasional. J Man Agribisnis.

6(2):7-11.

Indrajaya Y, Handayani W. 2008.

Potensi hutan Pinus merkusii Jungh

sebagai pengendali tanah longsor di

Jawa. Info Hutan. 5(3):231-240.

Pandit KN, Kurniawan D. 2008. Struktur

Kayu : Sifat kayu sebagai bahan baku

dan ciri diagnostik kayu perdagangan

Indonesia. Bogor: Institut Pertanian

Bogor.

Purnawati RR. 2014. Produktivitas

penyadapan getah pinus dengan

metode bor tanpa pipa. [Skripsi].

Bogor: Institut Pertanian Bogor.

Ross RJ. 1992. Nondestructive Testing of

Wood. Prosiding Nondestructive

evaluation of civil structures and

materials. Colorado: University of

Colorado Boulder.

Santosa G. 2011. Pengaruh pemberian

ETRAT terhadap peningkatan

produktivitas penyadapan getah pinus

(Studi kasus di KPH Sukabumi perum

perhutani unit III Jawa Barat dan

Banten). Bogor: LPPM, Institut

Pertanian Bogor.

Sukadaryati, Dulsalam. 2013. Teknik

penyadapan pinus untuk peningkatan

produksi melalui stimulan hayati. J

Hasil Hutan 31(3):221-227.

Sukadaryati. 2014. Pemanenan getah

pinus menggunakan tiga cara

penyadapan. J Hasil Hutan. 32(1):62-

70.

Surbakti ARE, Batubara R, Muhdi. 2014.

Penggunaan Asam Sulfat (H2SO4)

sebagai Stimulansia dalam

Meningkatkan Produktivitas Getah

Pinus dengan Metode Rill. Penomena

For Sci J. 3(1):33-37.

Susilowati A. 2013. Karakterisasi

genetik dan anatomi kayu Pinus

Page 64: Ilmu dan Teknologi Kayu Tropis - mapeki.orgmapeki.org/web/wp-content/uploads/2017/02/Full-Issue-Vol.13-No.1.pdf · Jurnal Ilmu dan Teknologi Kayu Tropis ... hingga homogen dengan

60 J. Ilmu Teknol. Kayu Tropis Vol.13 No.1 Januari 2015

merkusii kandidat bocor getah serta

strategi perbanyakannya. [Tesis].

Bogor: Pasca Sarjana, Institut

Pertanian Bogor.

Wu H, Hu ZH. 1997. Ultrastructure of the

resin duct initiation and formation in

Pinus tabulaeformis. Chin J Bot.

(6):123-126.

Riwayat naskah:

Naskah masuk (received): 2 Oktober 2014

Diterima (accepted): 8 Desember 2014

Page 65: Ilmu dan Teknologi Kayu Tropis - mapeki.orgmapeki.org/web/wp-content/uploads/2017/02/Full-Issue-Vol.13-No.1.pdf · Jurnal Ilmu dan Teknologi Kayu Tropis ... hingga homogen dengan

61 Formulasi Umpan dari Campuran Kayu Terdegradasi dan Kertas Limbah

untuk Pengendalian Rayap

Musrizal Muin, AstutiArif, Sitti Nuraeni, Wa Ode Fatima Zohra

Formulasi Umpan dari Campuran Kayu Terdegradasi dan Kertas

Limbah untuk Pengendalian Rayap

(Bait Formulations from the Mixture of Degraded Wood and Wastepaper

for Termite Control)

Musrizal Muin*, Astuti Arif, Sitti Nuraeni, Wa Ode F Zohra

Fakultas Kehutanan, Universitas Hasanuddin

Jl. Perintis Kemerdekaan KM 10, Makassar 90245

*Penulis korespondensi: [email protected]

Abstract

The bait formulation from the mixture of organic wastes for termite (Coptotermes sp) control

was evaluated in laboratory and field tests. Four formulations were prepared by equally mixing

based on dried weights, i.e. the mixture of degraded pine wood and HVS wastepaper, degraded

pine wood with HVS and newsprint wastepaper, degraded pine wood with HVS and cardboard

wastepaper, and the mixture of degraded pine wood with HVS, newsprint, and cardboard

wastepaper. Boiled soybean water was used as an additional substance of the formulation. The

termite survival rate and food transfer were evaluated using no-choice test. The food transfer

was studied using test samples dyed with 0.1% Nile Blue A. The food formulations were also

subjected to field test for six weeks to evaluate the termite attacks. The results showed that the

highest food transfer efficiency was found for degraded pine wood and HVS wastepaper

formulation, however, the survival rate was not significantly different among the formulations.

The field test proved that the mixture formulation of degraded pine wood with HVS and

cardboard wastepaper as well as that of degraded pine wood with HVS, newsprint, and

cardboard wastepaper were attacked by termites to the failure level.

Keywords: bait formulation, Coptotermes sp., food transfer efficiency, survival rate, termite

control

Abstrak

Pengembangan sistim pengendalian rayap (Coptotermes sp) dengan memanfaatkan umpan dari

campuran beberapa limbah organik telah dilakukan melalui uji di laboratorium dan lapangan.

Empat formulasi umpan dari beberapa jenis limbah bahan organic dibuat dengan proporsi

seimbang berdasarkan berat keringnya, yaitu campuran kayu pinus terdegradasi dan limbah

kertas HVS, kayu pinus terdegradas ditambah limbah kertas HVS dan koran, kayu pinus

terdegradasi ditambah limbah kertas HVS dan kardus, dan kayu pinus terdegradasi ditambah

limbah kertas HVS, koran, dan kardus. Air rebusan kedelai ditambahkan untuk menambah

nutrient dan pengaturan kadar air dari formulasi umpan. Pengukuran kelangsungan hidup rayap

dan transfer makanannya dilakukan dengan uji “no-choice”. Transfer makanan oleh rayap

dimonitor menggunakan sampel uji yang telah diwarnai Nile Blue A 0,1%. Uji lapangan juga

dlakukan selama enam minggu untuk mengevaluasi derajat serangan rayap. Hasil uji

laboratorium menunjukkan bahwa transfer makanan oleh rayap tertinggi dijumpai pada

formulasi umpan campuran kayu pinus terdegradasi dan limbah kertas HVS, akan tetapi, tingkat

kelangsungan hidup rayap pada semua formulasi umpan berbeda tidak nyata. Hasil uji lapangan

menunjukkan bahwa campuran kayu pinus terdegradasi dengan limbah kertas HVS dan kardus

serta campuran kayu pinus terdegradasi dengan limbah kertas HVS, koran, dan kardus diserang

rayap hingga hancur.

Page 66: Ilmu dan Teknologi Kayu Tropis - mapeki.orgmapeki.org/web/wp-content/uploads/2017/02/Full-Issue-Vol.13-No.1.pdf · Jurnal Ilmu dan Teknologi Kayu Tropis ... hingga homogen dengan

62 J. Ilmu Teknol. Kayu Tropis Vol.13 No.1 Januari 2015

Kata kunci: Coptotermes sp, efisiensi transfer makanan, formulasi umpan, keberlanjutan hidup,

pengendalian rayap

Pendahuluan

Rayap tanah telah dikenal sebagai

serangga yang tidak hanya mampu

merusak bangunan kayu, tetapi juga

melakukan aktivitas yang memiliki

pengaruh nyata terhadap perbaikan

tipologi tanah, baik secara fisik maupun

kimia. Tantangan yang muncul adalah

bagaimana keberadaan organisme

tersebut dapat dikontrol agar aktivitasnya

sesuai dengan tujuan yang diinginkan,

baik untuk perlindungan bangunan

maupun untuk perbaikan produktivitas

lahan. Salah satu teknologi yang

berkembang dan menguasai pasar

komersil dalam pengendalian rayap pada

bangunan adalah penggunaan “bait

system” (Rust & Su 2012). Sistem

tersebut menggunakan umpan makanan

dengan penambahan insektisida yang

memiliki sifat racun low action untuk

memungkinkan terjadinya distribusi

makanan dari sumber umpan tersebut ke

seluruh anggota koloni rayap. Sistem ini

dapat menyebabkan koloni rayap yang

menyerang struktur kayu bangunan

menjadi musnah. Pada dasarnya, sistem

ini dapat pula ditujukan untuk

pengendalian rayap bagi perbaikan sifat-

sifat lahan dengan menggunakan sumber

makanan sebagai umpan dengan daya

tarik tinggi tanpa penambahan bahan

beracun. Dengan demikian, rayap dapat

melakukan aktivitas yang di samping

memperbaiki aerasi tanah juga dapat

menghasilkan produk biogenic yang

memberikan kontribusi pada peningkatan

kadar hara tanah (Muin et al. 2013).

Usaha pengendalian rayap tanah

dengan sistem bait seperti dikemukakan

di atas menuntut pentingnya formulasi

umpan/ bait sebagai penarik

(attractants). Pentingnya formulasi atau

produk umpan untuk pengendalian rayap

telah menjadi perhatian banyak peneliti

(Rojas et al. 2003, Martin & Richardson

2007, Eger et al. 2012). Penelitian ini

ditujukan untuk mengembangkan dan

mengevaluasi penggunaan campuran

limbah organik berupa kayu terdegradasi

dan kertas limbah sebagai bahan

attractants melalui uji laboratorium dan

uji lapangan. Uji laboratorium dilakukan

untuk mengamati efisiensi transfer

formulasi umpan tersebut oleh rayap

Coptotermes sp. dan kelangsungan

hidupnya (termite survival rate).

Sedangkan uji lapangan dilakukan untuk

mengevaluasi derajat serangan rayap

terhadap formulasi umpan yang

diberikan.

Bahan dan Metode

Persiapan bahan

Bahan yang digunakan adalah berupa

kayu pinus terdegradasi, kertas HVS

limbah, kertas koran limbah, kertas

karton limbah, dan air rebusan kacang

kedelai. Semua limbah kertas berasal

dari kantor di Universitas Hasanuddin

yang dihancurkan dengan menggunakan

high-power blender. Bahan limbah

tersebut, dalam jumlah yang seimbang

berdasarkan berat kering ovennya,

dicampur sesuai dengan formulasi yang

telah ditentukan berdasarkan hasil

penelitian sebelumnya (Muin et al.

2013). Formulasi tersebut adalah

campuran kayu pinus terdegradasi

dengan kertas HVS, campuran kayu

pinus terdegradasi dengan kertas HVS

dan koran limbah, campuran kayu pinus

terdegradasi dengan kertas HVS dan

karton limbah, serta campuran kayu

pinus terdegradasi dengan kertas HVS,

koran, dan karton limbah. Air rebusan

Page 67: Ilmu dan Teknologi Kayu Tropis - mapeki.orgmapeki.org/web/wp-content/uploads/2017/02/Full-Issue-Vol.13-No.1.pdf · Jurnal Ilmu dan Teknologi Kayu Tropis ... hingga homogen dengan

63 Formulasi Umpan dari Campuran Kayu Terdegradasi dan Kertas Limbah

untuk Pengendalian Rayap

Musrizal Muin, AstutiArif, Sitti Nuraeni, Wa Ode Fatima Zohra

kacang kedelai yang dihasilkan dari

perebusan kacang kedelai seberat 400 g

dengan air sebanyak 6000 ml selama

sekitar satu jam disiapkan sebagai bahan

tambahan untuk memberikan kadar air

50-60% pada sampel uji.

Pembuatan contoh uji

Setiap formulasi umpan dibuat contoh uji

dengan dua ukuran yang berbeda untuk

masing-masing tujuan pengujian, di

laboratorium dan di lapangan, tetapi

dengan target kerapatan yang sama (0,5 g

cm-3). Untuk tujuan uji laboratorium,

contoh uji dibuat dengan ukuran (2x2x1)

cm3, sedangkan untuk tujuan uji

lapangan, contoh uji dibuat dengan

ukuran (2x2x2) cm3. Perbedaan ukuran

tersebut didasarkan pada kesesuaiannya

dengan kapasitas alat laboratorium dan

desain unit pengumpanan di lapangan.

Pengamatan laboratorium

Pengamatan laboratorium dilakukan

untuk mengetahui efisiensi transfer

makanan dan kelangsungan hidup rayap

pada setiap formulasi contoh uji yang

telah dibuat. Untuk tujuan tersebut, rayap

Coptotermes sp. dikoleksi dari lapangan

sekitar kampus Universitas Hasanuddin,

Makassar dengan cara pengumpanan

menggunakan potongan kayu dan kertas

karton. Koleksi rayap yang diperoleh

bersama dengan sumber makanan

umpannya kemudian dimasukkan dalam

kontainer plastik dan dibawa ke

laboratorium. Sebelum menggunakannya

sebagai bahan uji, koleksi rayap tersebut

dikondisikan pada suhu 26-28 ºC dan

kelembaban 70-80% selama seminggu.

Efisiensi transfer makanan dari setiap

formulasi umpan dan kelangsungan

hidup rayap diamati dan ditentukan

berdasarkan prosedur Wang and

Henderson (2012). Transfer makanan

tersebut diamati dengan menggunakan

pewarna berupa Nile Blue A (0,1%) yang

dicampurkan pada setiap formulasi

umpan. Sebanyak 25 pekerja dan 2

prajurit rayap Coptotermes sp.

dimasukkan ke dalam unit pengujian

berupa Petri dish yang berisi 20 g pasir

steril yang lembab (kadar air ±15%)

dengan sampel uji di atasnya. Unit

pengujian untuk setiap formulasi dibuat

sejumlah 15 unit untuk pengamatan

transfer makanan harian selama lima

hari. Jumlah rayap yang berubah warna

diamati setiap hari pada tiga unit

pengujian yang diambil secara acak.

Selama pengujian di laboratorium, semua

unit pengujian disimpan pada ruang

gelap dengan suhu 26-28 ºC dan

kelembaban 70-80%.

Pengamatan lapangan

Penelitian lapangan dirancang dengan

menempatkan sampel uji dari semua

formulasi umpan dalam jumlah yang

seimbang ke dalam unit pengujian

berupa kotak stryroform berukuran

(35x22x12) cm3. Keempat kelompok

sampel uji (formulasi umpan) dalam unit

pengujian dirancang untuk memiliki

akses yang sama untuk menerima

serangan rayap (four-choice test) dengan

memberikan lubang (diameter 1 cm)

pada bagian bawah dan samping kotak

stryroform. Lokasi pengujian ditentukan

berdasarkan survei awal yang

menunjukkan adanya aktivitas rayap

Coptotermes sp. Pengamatan dilakukan

dengan menentukan persentase serangan

rayap pada permukaan sampel uji dalam

unit pengujian setiap minggu selama

enam minggu uji kubur. Pada akhir

pengamatan, semua unit pengujian

dibongkar untuk menentukan derajat

serangan rayap dengan visual rating

berdasarkan American Wood Preservers’

Association (AWPA) standard E1-97.

Page 68: Ilmu dan Teknologi Kayu Tropis - mapeki.orgmapeki.org/web/wp-content/uploads/2017/02/Full-Issue-Vol.13-No.1.pdf · Jurnal Ilmu dan Teknologi Kayu Tropis ... hingga homogen dengan

64 J. Ilmu Teknol. Kayu Tropis Vol.13 No.1 Januari 2015

Penilaian tingkat kerusakan berdasarkan

pada klasifikasi sebagai berikut:

Nilai 10 untuk sampel utuh

Nilai 9 untuk sampel dengan

serangan ringan

Nilai 7 untuk sampel dengan

serangan sedang

Nilai 4 untuk sampel dengan

serangan ringan

Nilai 0 untuk sampel hancur.

Hasil dan Pembahasan

Transfer makanan dan kelangsungan

hidup rayap

Transfer makanan dari bahan umpan

(formulasi) ke rayap dapat dilihat dari

jumlah rayap yang berubah warna

menjadi biru setelah memakan umpan

yang sebelumnya telah diwarnai dengan

larutan 0,1% Nile Blue A. Hasil

penelitian menunjukkan bahwa transfer

makanan dari bahan umpan ke rayap

relatif sama dan berbeda tidak nyata pada

semua formulasi hingga hari ke-4 (Tabel

1). Transfer makanan tersebut tampak

menunjukkan perbedaan yang sangat

nyata pada hari ke-5. Hasil analisis

statistik menunjukkan bahwa transfer

makanan tertinggi dijumpai pada

formulasi umpan dari campuran kayu

pinus terdegradasi dan kertas HVS

limbah dengan penambahan air rebusan

kacang kedelai, meskipun formulasi

tersebut diketahui berbeda tidak nyata

dengan yang tanpa penambahan air

rebusan kacang kedelai.

Kelangsungan hidup rayap dalam proses

transfer makanan dari bahan umpan ke

rayap dinyatakan sebagai rata-rata

persentase jumlah rayap yang tetap hidup

(Tabel 2). Dari tabel tersebut dapat

dilihat bahwa kelangsungan hidup rayap

relatif sama pada semua formulasi

umpan dalam jangka waktu pengamatan.

Hasil uji laboratorium mengenai transfer

makanan dari umpan ke rayap dan

kelangsungan hidupnya memberikan

gambaran bahwa semua formulasi

umpan yang diteliti berpotensi untuk

dikembangkan sebagai bagian dari

sistem pengendalian rayap. Meskipun

demikian, transfer makanan dan

kelangsungan hidup rayap yang tidak

secara nyata konsisten dalam penelitian

ini perlu dilihat secara seksama sebagai

dua hal yang memerlukan pertimbangan

tertentu dalam pengembangan sistem

kontrol rayap.

Tabel 1 Transfer makanan dari bahan umpan ke rayap

Formulasi Umpan* Jumlah Rayap Biru**

Hari-1 Hari-2 Hari-3 Hari-4 Hari-5

K + H 16± 6 a 16 ± 4 a 19 ± 1 a 22 ± 2 a 23 ± 1 ab

K + H + ARK 9 ±4 a 12 ±2 a 18 ±4 a 19 ±2 a 25 ±1 b

K + H + Ko + ARK 7 ±4 a 9 ±3 a 14 ±2 a 21 ±4 a 23 ±3 ab K + H + Ka + ARK 8 ± 6 a 8 ±5 a 17 ±3 a 17 ±2 a 18 ±3 a K + H + Ko + Ka + ARK 10 ±2 a 15 ±1 a 19 ±3 a 19 ±1 a 19 ±2 a

* K: Kayu pinus terdegradasi; H: HVS limbah; Ko: Koran limbah; Ka: Karton limbah; ARK=Air rebusan

kacang kedelai

** Rata-rata dan standar deviasi dari tiga ulangan setiap hari. Nilai diikuti huruf berbeda dalam kolom

yang sama berbeda sangat nyata dengan uji Tukey’s (P< 0,01).

Page 69: Ilmu dan Teknologi Kayu Tropis - mapeki.orgmapeki.org/web/wp-content/uploads/2017/02/Full-Issue-Vol.13-No.1.pdf · Jurnal Ilmu dan Teknologi Kayu Tropis ... hingga homogen dengan

65 Formulasi Umpan dari Campuran Kayu Terdegradasi dan Kertas Limbah

untuk Pengendalian Rayap

Musrizal Muin, AstutiArif, Sitti Nuraeni, Wa Ode Fatima Zohra

Tabel 2 Kelangsungan hidup rayap pada transfer makanan dari bahan umpan

Formulasi Umpan* Persentase Rayap Hidup**

Hari-1 Hari-2 Hari-3 Hari-4 Hari-5

K + H 100±0 a 100±0 a 96±4 a 96±6,9 a 94,7±6,1 a

K + H + ARK 100±0 a 100±0 a 100±0 a 92±4 a 89,3±9,2 a

K + H + Ko + ARK 100±0 a 100±0 a 100±0 a 94,7± 9,2 a 97,3±4,6 a

K + H + Ka + ARK 100±0 a 100±0 a 100±0 a 100±0 a 94,7±2,3 a

K + H + Ko + Ka + ARK 100±0 a 100±0 a 100±0 a 100±0 a 97,3±2,3 a

*K: Kayu pinus terdegradasi; H: HVS limbah; Ko: Koran limbah; Ka: Karton limbah; ARK=Air rebusan

kacang kedelai

**Rata-rata dan standar deviasi dari tiga ulangan setiap hari. Nilai diikuti huruf berbeda dalam kolom

yang sama berbeda sangat nyata dengan uji Tukey’s (P< 0,01).

Menurut Chen and Henderson (1996)

dan Lenz and Evans (2002), transfer

makanan berhubungan dengan

ketertarikan rayap terhadap umpan.

Lebih lanjut dijelaskan bahwa umpan

dengan bahan-bahan yang kaya

karbohidrat dan asam amino dapat

meningkatkan daya tarik umpan terhadap

rayap. Hedlund and Henderson (1999)

juga mengemukakan bahwa luas

permukaan umpan dapat meningkatkan

konsumsi dari rayap. Faktor-faktor ini

diduga berkontribusi pada formulasi

umpan berupa campuran kayu pinus

terdegradasi dengan kertas HVS limbah

yang memiliki persentase bahan kayu

yang lebih besar dibanding formulasi

umpan lainnya. Pada aspek kelangsungan

hidup rayap, Gautam and Henderson

(2011) menjelaskan adanya pengaruh

lingkungan pengujian yang

memungkinkan adanya serangan

mikroorganisme lainnya seperti jamur

yang berkembang pada permukaan

umpan.

Serangan rayap di lapangan

Hasil penelitian menunjukkan adanya

serangan yang nyata pada sampel uji

yang ditempatkan di lapangan setelah

dua minggu. Jenis rayap yang menyerang

diidentifikasi sebagai Coptotermes sp.

sesuai dengan hasil penelitian Astuti

(2013). Nilai persentase serangan rayap

pada permukaan sampel dalam unit-unit

pengujian ditunjukkan pada Gambar 1.

Meskipun demikian, jangka waktu

mulainya terjadi serangan rayap terhadap

makanan umpan yang diberikan dapat

saja lebih pendek atau bahkan lebih

panjang dari waktu tersebut. Menurut

Esenther and Beal (1978), waktu

serangan rayap terhadap umpan yang

diberikan sangat tergantung pada ukuran

koloni rayap dan proporsi kasta

pembentuknya.

Gambar 1 menunjukkan bahwa serangan

rayap pada permukaan sampel uji terus

mengalami peningkatan dengan

berjalannya waktu, tetapi besarnya

peningkatan tersebut berbeda-beda

menurut formulasi umpan. Secara umum,

dari gambar tersebut dapat dilihat bahwa

perbedaan persentase serangan rayap

yang tidak nyata dijumpai pada

permukaan unit pengujian dengan

formulasi umpan berupa campuran kayu

pinus terdegradasi dengan kertas HVS

limbah dengan maupun tanpa

penambahan air rebusan kacang kedelai.

Namun demikian, kedua formulasi

umpan tersebut menunjukkan perbedaan

yang nyata dengan bahan umpan berupa

campuran kayu pinus terdegradasi +

Page 70: Ilmu dan Teknologi Kayu Tropis - mapeki.orgmapeki.org/web/wp-content/uploads/2017/02/Full-Issue-Vol.13-No.1.pdf · Jurnal Ilmu dan Teknologi Kayu Tropis ... hingga homogen dengan

66 J. Ilmu Teknol. Kayu Tropis Vol.13 No.1 Januari 2015

0

10

20

30

40

50

60

70

80

90

K+H K+H+ARK K+H+Ko+ARK K+H+Ka+ARK K+H+Ko+Ka+ARK

Per

senta

se s

eran

gan

per

mukaa

n (

%)

Formulasi umpan

Minggu-1 Minggu-2 Minggu-3 Minggu-4 Minggu-5 Minggu-6

HVS + kertas karton atau pun dengan

campuran kayu pinus terdegradasi +

HVS + kertas koran + kertas karton,

yang keduanya ditambah dengan air

rebusan kacang kedelai. Kedua formulasi

umpan yang disebutkan terakhir juga

menunjukkan perbedaan yang tidak

nyata. Selain itu, formulasi umpan

berupa campuran kayu pinus

terdegradasi dengan kertas HVS dan

kertas koran dengan penambahan air

rebusan kacang kedelai menunjukkan

persentase serangan rayap yang sangat

rendah dan memiliki perbedaan yang

sangat nyata dengan formulasi umpan

lainnya.

Serangan rayap ke dalam unit pengujian

pada umumnya masuk melalui lubang

akses pada bagian bawah kotak unit

pengujian. Derajat serangan rayap hasil

visual rating pada setiap formulasi

ditunjukkan pada Tabel 3. Data pada

tabel tersebut menunjukkan bahwa

derajat serangan rayap berbeda tidak

nyata antara formulasi campuran kayu

pinus terdegradasi dan kertas HVS

dengan atau tanpa penambahan air

rebusan kacang kedelai. Perbedaan

derajat serangan yang tidak nyata juga

dijumpai antara formulasi campuran

kayu pinus terdegradasi dengan kertas

HVS limbah dan kertas karton limbah

dengan formulasi campuran kayu pinus

terdegradasi dengan kertas HVS limbah,

kertas koran limbah dan kertas karton

limbah, yang pada kedua formulasi

tersebut ditambahkan air rebusan kacang

kedelai.

Gambar 1 Rata-rata persentase serangan rayap pada permukaan sampel dalam unit

pengujian setiap formulasi (K: Kayu pinus terdegradasi; H: HVS limbah; Ko: Koran

limbah; Ka: Karton limbah; ARK=Air rebusan kacang kedelai).

Page 71: Ilmu dan Teknologi Kayu Tropis - mapeki.orgmapeki.org/web/wp-content/uploads/2017/02/Full-Issue-Vol.13-No.1.pdf · Jurnal Ilmu dan Teknologi Kayu Tropis ... hingga homogen dengan

67 Formulasi Umpan dari Campuran Kayu Terdegradasi dan Kertas Limbah

untuk Pengendalian Rayap

Musrizal Muin, AstutiArif, Sitti Nuraeni, Wa Ode Fatima Zohra

Tabel 3 Derajat serangan rayap (visual rating) pada sampel uji setelah pemaparan enam

minggu di lapangan

Formulasi umpan* Visual Rating**

K + H 9,26 ± 0,34 b

K + H + ARK 9,06 ± 0,36 b

K + H + Ko + ARK 9,85 ± 0,17 c

K + H + Ka + ARK 0,08 ± 0,02 a

K + H + Ko + Ka + ARK 0,00 ± 0,00 a * K: Kayu pinus terdegradasi; H: HVS limbah; Ko: Koran limbah; Ka: Karton limbah; ARK=Air rebusan

kacang kedelai

** Rata-rata dan standar deviasi dari empat unit pengujianberdasarkan kriteria nilai 10 = utuh; 9 =

serangan ringan; 7 = serangan sedang; 4 = serangan hebat; 0 = hancur. Nilai diikuti huruf berbeda

dalam kolom berbeda nyata dengan uji Tukey’s (P< 0,01).

Hasil ini menunjukkan kesesuaian

dengan hasil sebelumnya berupa

persentase serangan rayap pada

permukaan sampel dalam unit pengujian.

Dilihat dari besarnya derajat serangan,

formulasi umpan berupa campuran kayu

pinus terdegradasi dengan kertas HVS

limbah dan kertas karton limbah serta

formulasi campuran kayu pinus

terdegradasi dengan kertas HVS limbah,

kertas koran limbah dan kertas karton

limbah, yang pada kedua formulasi

tersebut ditambahkan air rebusan kacang

kedelai, mengalami tingkat kerusakan

terbesar, yaitu hancur. Sedangkan

formulasi umpan lainnya hanya

mengalami derajat serangan ringan.

Secara umum, hasil ini memberikan

gambaran bahwa rayap yang menyerang

dalam penelitian ini (Coptotermes sp.)

cenderung tertarik pada kedua formulasi

umpan tersebut.

Hasil uji lapangan yang menunjukkan

derajat serangan rayap tingkat

menghancurkan terhadap formulasi

umpan berupa campuran kayu pinus

terdegradasi dengan kertas HVS limbah

dan kertas karton limbah serta berupa

campuran kayu pinus terdegradasi

dengan kertas HVS limbah, kertas koran

limbah dan kertas karton limbah, yang

pada kedua formulasi tersebut

ditambahkan air rebusan kacang kedelai,

memerlukan kajian lebih dalam. Hal ini

terutama perlu dilakukan secara

komprehensif untuk menentukan

perubahan karakteristik formulasi umpan

atas interaksinya dengan keadaan kotak

dan lingkungan aplikasinya. Hal ini

sangat penting mengingat adanya

pengaruh yang nyata dari metode

aplikasi umpan untuk evaluasi dan

pengendalian rayap, selain pengaruh dari

komposisi umpannya sendiri (Rojas et al.

2003).

Kesimpulan

Formulasi umpan berupa campuran

seimbang antara kayu pinus terdegradasi,

kertas HVS limbah, dan kertas karton

limbah dengan penambahan air rebusan

kacang kedelai hingga kadar air 50-60%

memiliki potensi besar untuk dijadikan

umpan dalam usaha pengendalian rayap

di lapangan. Hasil penelitian ini juga

mengindikasikan bahwa penambahan

kertas koran limbah secara berimbang

pada formulasi potensil tersebut tidak

berdampak negatif pada tingkat serangan

rayap Coptotermes sp. di lapangan.

Untuk tujuan aplikasi, formulasi umpan

tersebut harus disiapkan dalam suatu

tempat (kotak) yang didesain tertutup,

tetapi dengan memberikan akses

Page 72: Ilmu dan Teknologi Kayu Tropis - mapeki.orgmapeki.org/web/wp-content/uploads/2017/02/Full-Issue-Vol.13-No.1.pdf · Jurnal Ilmu dan Teknologi Kayu Tropis ... hingga homogen dengan

68 J. Ilmu Teknol. Kayu Tropis Vol.13 No.1 Januari 2015

terhadap rayap untuk dapat masuk ke

dalamnya. Serangan rayap terhadap

kedua formulasi umpan potensil tersebut

yang ditempatkan dalam kotak desain

tertutup menunjukkan tingkat

menghancurkan setelah enam minggu.

Meskipun demikian, penelitian lanjutan

sangat diperlukan untuk mengetahui

perubahan karakteristik formulasi umpan

atas interaksinya dengan keadaan dan

desain kotak serta lingkungan

aplikasinya.

Daftar Pustaka

Astuti. 2013. Identifikasi, Sebaran dan

Derajat Kerusakan Kayu oleh

Serangan Rayap Coptotermes

(Isoptera: Rhinotermitidae) di

Sulawesi Selatan. (Disertasi).

Makassar: Pasca Sarjana, Universitas

Hasanuddin.

Chen J, Henderson G. 1996.

Determination of feeding preference

of Formosan subterranean termite

(Coptotermes formosanus Shiraki) for

some amino acid additives. J Chem

Ecol. 22:2359-2369.

Esenther GR, Beal RH. 1978.

Insecticidal baits on field plot

perimeters suppress Reticulitermes. J

Econ Entomol. 71:604-607.

Eger JE, Lees MD, Neese PA, Atkinson

TH, Thoms EM, Messenger MT,

Demark JJ, Lee LC, Vargo EL, Tolley

MP. 2012. Elimination of

subterranean termite (Isoptera:

Rhinotermitidae) colonies using a

refined cellulose bait matrix

containing novifumuron when

monitored and replenished quarterly. J

Econ Entomol.105:533-539.

Gautam BK, Henderson G. 2011.

Relative humidity preference and

survival of starved Formosan

subterranean termites (Isoptera:

Rhinotermitidae) at various

temperature and relative humility

conditions. Environ Entomol.

40:1232-1238.

Hedlund JC, Henderson G. 1999. Effect

of available food size on search tunnel

formation by the Formosan

subterranean termite (Isoptera:

Rhinotermitidae). J Econ Entomol.

92:610-616.

Lenz M, Evans TA. 2002. Termite bait

technology perspectives from

Australia. In: Johns SC, Zhai J,

Robertson WH, editor. Proceedings of

the 4th International Conference in

Urban Pests; Charleston, SC. 7-10

July 2002. Pocahontas Press Inc.,

Blacksburg, VA. Pp. 27-36.

Lenz M, Lee CY, Lacey MJ, Yoshimura

T, Tsunoda K. 2011. The potential and

limits of termites (Isoptera) as

decomposers of waste paper products.

J Econ Entomol. 104:232-242.

Martin SRJA, Richardson RO. 2007.

Optimum Density Termite Bait

Composition. United States Patent No.

US 2007/0020229 A1. Jan. 25, 2007.

Muin M, Arif A, Nuraeni S. 2013.

Pengembangan Sistem Kontrol Rayap

Untuk Produksi Biogenik dan

Perbaikan Produktivitas Lahan Hutan

Pendidikan Universitas Hasanuddin.

Laporan Penelitian. Makassar:

Lembaga Penelitian dan Pengabdian

pada Masyarakat, Universitas

Hasanuddin.

Rust MK, Su NY. 2012. Managing social

insects of urban importance. Annu Rev

Entomol. 57:355-375.

Rojas GM, Juan AMR, Edgar GK. 2003.

Termite Bait Matrix. United States

Patent No. US 6, 585, 991 B1. Jul. 1,

2003.

Page 73: Ilmu dan Teknologi Kayu Tropis - mapeki.orgmapeki.org/web/wp-content/uploads/2017/02/Full-Issue-Vol.13-No.1.pdf · Jurnal Ilmu dan Teknologi Kayu Tropis ... hingga homogen dengan

69 Formulasi Umpan dari Campuran Kayu Terdegradasi dan Kertas Limbah

untuk Pengendalian Rayap

Musrizal Muin, AstutiArif, Sitti Nuraeni, Wa Ode Fatima Zohra

Wang C, Henderson G. 2012. Evaluation

of three bait materials and their food

transfer efficiency in Formosan

subterranean termites (Isoptera:

Rhinotermitidae). J Econ Entomol.

104:1758-1765.

Riwayat naskah:

Naskah masuk (received): 12 Oktober 2015

Diterima (accepted): 9 Desember 2015.

Page 74: Ilmu dan Teknologi Kayu Tropis - mapeki.orgmapeki.org/web/wp-content/uploads/2017/02/Full-Issue-Vol.13-No.1.pdf · Jurnal Ilmu dan Teknologi Kayu Tropis ... hingga homogen dengan

70 J. Ilmu Teknol. Kayu Tropis Vol.13 No.1 Januari 2015

Trace Elements Content of Mangium Pulp throughout ECF

Bleaching Stages as Measured by ICP

Nyoman Wistara*, Devi Nurmala

Department of Forest Products, Faculty of Forestry,

Bogor Agricultural University, Indonesia

*Corresponding author: [email protected]

Abstract

The fate of metals in pulp of the five years old mangium wood (Acacia mangium Wild) during

bleaching process was investigated. The wood was divided into tree division, i.e. bottom, middle

and upper divisions. The wood was chipped and kraft pulped to achieve a kappa number of 14 +

0.5. The resulting pulps were then bleached following an elementally chlorine free (ECF)

method of D0, EO, D1, D2 and P sequences. The measurement of metals content was carried out

with Inductively Coupled Plasma (ICP) type Optical Emission Spectrometry (OES) Optima

4300DV. Brightness and viscosity of bleached pulps were measured in accordance with TAPPI

T 525 om - 92 and TAPPI T 230 om-89 standard procedures, respectively. It was found that,

metals content of five years old Acacia mangium tended to increase from the bottom to the upper

divisions of the stem. Beyond the EO stage, the content of Mn reduced to below detrimental

limit required in peroxide bleaching, which is of 1 ppm. However, the content of Cu and Fe of

pulp from every stage of bleaching sequences were much higher than their detrimental limit, i.e.

0.5 ppm and 2 ppm, respectively. Metals content were also found to reduce brightness gain in

ECF bleaching.

Keywords: Acacia mangium, brightness, ECF bleaching, metals, viscosity

Abstrak

Dalam penelitian ini dilakukan pengukuran terhadap kadar logam pulp mangium (Acacia

mangium Wild) hasil setiap tahap pemutihan. Batang mangium berumur 5 tahun dibagi menjadi

tiga bagian, yaitu bagian pangkal, tengah dan ujung. Kayu dibuat serpih dan dimasak

menggunakan proses kraft untuk menghasilkan bilangan kappa 14 + 0.5. Pulp yang diperoleh

kemudian diputihkan dengan metode pemutihan elementary chlorine free (ECF) D0EOD1D2P.

Pengukuran kadar logam pulp dilakukan dengan Inductively Coupled Plasma (ICP) tipe Optical

Emission Spectrometry (EOS) Optima 4300DV. Derajat putih dan viskositas pulp masing-

masing ditentukan mengikuti prosedur standar TAPPI T 525 om-92 dam TAPPI T 230 om-89.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa kadar logam mangium berumur 5 tahun cenderung

meningkat dari bagian pangkal ke bagian ujung batang. Setelah tahap EO, kadar Mn menurun

dibawah batas yang diijinkan (1 ppm) untuk pemutihan tahap P. Tetapi, kadar Cu dan Fe pulp

dari setiap tahap pemutihan jauh melebihi batas yang diijinkan, yaitu masing-masing sebesar 0.5

ppm dan 2 ppm. Kandungan logam juga berdampak pada menurunnya peningkatan derajat putih

pulp.

Kata kunci: Acacia mangium, derajat putih, logam, viskositas, pemutihan ECF

Introduction

An environmentally friendly bleached

pulp production requires the application

of elemental chlorine free (ECF) and

totally chlorine free (TCF) bleaching

methods. The methods have been well

known capable of preventing the

formation of toxic organochlorine

Page 75: Ilmu dan Teknologi Kayu Tropis - mapeki.orgmapeki.org/web/wp-content/uploads/2017/02/Full-Issue-Vol.13-No.1.pdf · Jurnal Ilmu dan Teknologi Kayu Tropis ... hingga homogen dengan

71 Trace Elements Content of Mangium Pulp throughout ECF Bleaching

Stages as Measured by ICP

Nyoman Wistara, Devi Nurmala

compounds from elemental chlorine

based pulp bleaching. Although in ECF

bleaching Cl2 is replaced by a more

environmentally benign ClO2 (Smook

1994), the final objective of pulp

production technology is the application

of the totally effluent free (TEF)

technology. The main prerequisite of

TEF technology is the use of close loop

cycle where the application of TCF

bleaching and counter current washing

methods is unavoidable.

The presence of trace elements such as

metallic component in mill systems will

impede the practice of close loop cycle

system. The trace elements content is

dependent on its intake (from pulp wood,

process water and chemical used in pulp

production), process configuration, and

operating conditions (Nurmesniemi et al.

2005). Many metal ions reduce the

brightness and strength properties of

pulp, mainly when pulp is bleached with

oxygen, ozone and peroxide (Yokohama

et al. 1999). Dahl (1999) reported that

the detrimental limit of Cu2+, Mn2+, and

Fe2+ and Fe3+ in peroxide bleaching were

0.5 ppm, 1 ppm, and 2 ppm, respectively.

Furthermore, metal ions are corrosive

and may damage iron or steel based

equipment (Bryant & Edwards 1996).

Hydrogen peroxide decomposition by Fe,

Cu and Mn proceed through Fenton

reaction. In Fenton reaction, metal ions

continuously alter their oxidation degree

and decompose hydrogen peroxide to

produce hydroxyl radical and other

radicals (Lidén & Ohman (1997).

Hydroxyl radical reacts and

depolymerizes cellulose, thus reducing

the strength properties of pulp (Et al.

2000). In these ways, metal ions also

increase the consumption of bleaching

chemical and decrease the selectivity of

oxygen based bleaching (Ni et al. 1996).

At an excessive concentration, Ca, Mg

and Al are corrosive to bleaching

equipment. Nevertheless, Mg can act as a

stabilizer for hydrogen peroxide;

however, Ca possibly disturbs the

performance of the digester heating

elements and evaporator effects (Bryant

& Edward 1996). Numerous lignin

components such as veratryl alcohol, bis-

eugenol, vanillyl alcohol and catechol

formed complexes with metals (Yoon et

al. 1999). Iron and lignin form colored

complexes that reduce the brightness of

pulp (Sunden et al. 2000). The

appearance of color from lignin-metal

complexes was because of the d-d

interaction (between the d-electron of

metal ion and ligan) or charge transfer

between metal ion and ligan or both

(Gosh & Ni 1998). These authors also

found that the influence of Mn and Al on

pulp brightness is negligible.

Fast growing tree such as mangium

wood (Acacia mangium) is the preferred

pulp wood plantation in Indonesia. It can

be grown in both infertile and fertile

lands. As for other tropical woods

(Fengel & Wegener 1984), the ash

content of mangium is relatively high

and has been reported to reach 0.38-0.46

% with the lowest metal content was

retained by the 5 years old (Wistara &

Yustiana 2014). Ash content is indicative

to the metals content of wood.

From the standpoint of its trace elements

content, mangium wood will possibly be

a challenging raw material for TEF based

pulp production. Various methods have

been developed to eliminate the negative

effects of metallic component in the TEF

pulping process. Chelating agents

applied in acidic media reduced the

metallic component through the

formation of complexes with trace

elements. The most commonly used

chelating agents are ethylene diamine

tetra acetic acid (EDTA) and diethylene

Page 76: Ilmu dan Teknologi Kayu Tropis - mapeki.orgmapeki.org/web/wp-content/uploads/2017/02/Full-Issue-Vol.13-No.1.pdf · Jurnal Ilmu dan Teknologi Kayu Tropis ... hingga homogen dengan

72 J. Ilmu Teknol. Kayu Tropis Vol.13 No.1 Januari 2015

triamine penta acetic acid (DTPA).

DTPMP is another excellent chelating

agent proven capable of effectively

removing Mn, Ba, Mg and Zn (Kujala et

al. 2004). The transition (Fe and Mn) and

scale-inducing (Ba, Ca, Mg and Al)

metals content determine the application

of chelating stages (Bryant & Edwards

1996). Pulp washing at the pH of 1.5-3

capable of reducing metallic ions in a

more environmentally friendly approach

compared to that of using chelating

agents because of acid is recyclable

(Bouchard et al. 1995). Another

environmentally friendly method of

handling metal content in bleaching

processes is by nanofiltration.

Nanofiltration with polyamide

membranes has been reported effectively

filters metal complexes from TCF

bleaching effluent (Lastra et al. 2004).

The present works were intended to

determine the content and distribution of

metal ions in every stage of an ECF

bleaching sequences of the 5 years old

mangium pulp. Prediction of pulp

strength quality was carried out through

the determination of pulp viscosity.

Materials and Methods

Metal content of chips, unbleached and

bleached kraft of the mangium pulp was

measured. Mangium wood of 5 years old

used in the present experiments was

donated by the state own company, PT.

Perhutani BKPH Parung Panjang–

Indonesia. The wood was divided into 3

divisions, i.e. bottom, middle, and upper

division. Each division was chipped and

screened. Chips of the accepted size

distribution were then cooked to a kappa

target of 14+0.5 by kraft pulping process.

Pulping was carried out with L/W of 6/1

with active alkali of 22% and sulphidity

of 30% at maximum temperature of 165 oC for 190 min. The resulting pulp was

washed and screen for 1 hour. Kappa

number, effective alkali and total solid

content were determined based on the

standard procedures of TAPPI 236 cm-

85, Western Lab 4.1.1996 and TAPPI

625 cm-85, respectively. The screened

pulp was then air dried, homogenized

and oxygen delignified. Oxygen

delignification (ODL) stage was carried

out in an alkaline media (pH + 11) at 100 oC for 60 min under 8 bars pressure and

consistency of 10%. The pulp was

bleached with ECF method consisting of

D0(EO)D1D2P sequences proceeding

oxygen delignification. Table 1 indicates

the bleaching conditions and parameters.

Metal content, brightness, and viscosity

of pulp resulted from each bleaching

stage were determined. Pulp brightness

and viscosity were determined following

the standard procedures of TAPPI T 525

om-92 and TAPPI T 230 om-89,

respectively. In metal content

determination, an ashing process of the

sample at 525 oC for 5 hrs was initially

carried out, and 3 drops of HNO3 was

then added and diluted into 250 ml of

volume. The solution was then injected

into Optical Emission Spectrometry

(OES) Optima 4300 DV Inductively

Coupled Plasma. The wave length of

each metal ion radiation was detected

and converted into concentration unit

(mg/l). The concentration in mg/L was

then converted into ppm following the

formulae of:

𝑝𝑝𝑚 =𝑡𝑜𝑡𝑎𝑙 𝑒𝑙𝑒𝑚𝑒𝑛𝑡 (

𝑚𝑔𝐿

) 𝑥250

1000𝑜𝑣𝑒𝑛 𝑑𝑟𝑖𝑒𝑑 𝑤𝑒𝑖𝑔ℎ𝑡 𝑜𝑓 𝑠𝑎𝑚𝑝𝑙𝑒 (𝐾𝑔)

Page 77: Ilmu dan Teknologi Kayu Tropis - mapeki.orgmapeki.org/web/wp-content/uploads/2017/02/Full-Issue-Vol.13-No.1.pdf · Jurnal Ilmu dan Teknologi Kayu Tropis ... hingga homogen dengan

73 Trace Elements Content of Mangium Pulp throughout ECF Bleaching

Stages as Measured by ICP

Nyoman Wistara, Devi Nurmala

Table 1 Parameters and condition of bleaching processes

Parameter Stage

D0 (EO) D1 D2 P

Temperature, oC 65 80 80 80 80

Time, min 60 90 180 180 180

pH 2.5 – 3.5 10.8 – 11 4 – 5 4 – 5 4 -5

Consistency, % 10 10 10 10 10

ClO2, ml 66-67 - 3-7 2-3 -

NaOH, ml - 26-33 - - -

H2O2, ml - - - - 0.12

Brightness, % 65 – 75 78 – 80 89 – 90 90 – 91 >91

Results and Discussion

Ash content

The ash content represents inorganic

substances in wood and pulp. Ash

content of wood is usually not more than

1 % of the oven dried weight of wood

(Chirat & Lanchenal 1997). Table 2

indicates the ash content of wood and

pulp resulted from every bleaching stage

and division of wood.

It can be seen in Table 2 that proceeding

the post oxygen delignification (Post-

ODL), the ash content tends to decrease

with the advancing of bleaching

sequences. It seemed that metal was

washed out in every bleaching stage. Ash

content tended to increase from the

bottom division to the upper division of

the stem. Upper division is dominated by

sapwood that consists of physiologically

active wood cells. These cells require

higher amount of metal ion to carry out

metabolic processes (Sundenet al. 2000).

Greater content of ash in sapwood of red

meranti has been reported (Sukowati

2013). Furthermore, silviculture

treatment on Leucaena leucocephala also

increased the ash content (Al-Mefarrej et

al. 2011) might be because of increasing

the proportion of sapwood. Pulp at the

stage of Pre- and Post-ODL contained

highest amount of metal possibly due to

the higher level of residual lignin content

as indicated by the kappa number of pulp

in Table 3. Metal ions in wood attached

to the functional groups of lignin and

acid of hemicelluloses (Bryant &

Edwards 1996).

Table 2 The ash content (%) of wood and pulp

Stage Division of Wood

Bottom Middle Upper

Wood 0.44 0.47 0.60

Pre - ODL 0.52 0.65 0.61

Post - ODL 0.69 0.70 0.92

D0 0.10 0.42 0.63

EO 0.31 0.33 0.38

D1 0.02 0.02 0.05

D2 0.02 0.02 0.02

P 0.02 0.02 0.02

Page 78: Ilmu dan Teknologi Kayu Tropis - mapeki.orgmapeki.org/web/wp-content/uploads/2017/02/Full-Issue-Vol.13-No.1.pdf · Jurnal Ilmu dan Teknologi Kayu Tropis ... hingga homogen dengan

74 J. Ilmu Teknol. Kayu Tropis Vol.13 No.1 Januari 2015

Table 3 The Kappa Number of Oxygen Delignified Pulp

Stem Division Oxygen Delignification Stage

Pre-ODL Post-ODL EO

Bottom 13.97 7.03 0.84

Middle 14.50 8.23 2.87

Upper 14.50 7.70 0.55

Metal content in wood and pulp

Metal in wood is classified into micro

and macro element dependent on its

content. Macro element content is more

than 100 ppm and that of micro element

is below 100 ppm. The distribution

pattern of macro and micro elements

content of mangium wood of the present

works is shown in Figure 1. The content

of most metal in mangium wood tended

to increase from the bottom to the upper

division of its stem. Upper division of

stem was thought to consist of more

sapwood with its physiologically active

cell. As the component of ash, metal ion

is required more by these physiologically

active cells for their metabolic process

purposes (Sundenet al. 2000). Ca, Na, K

and Mg are classified as macro element,

thus with higher content compared to

these of the micro elements. This finding

agreed to that stated by Sjostrom (1993).

Ca, Na, K, and Mg content (ppm) of the

presently investigated mangium wood

were in the range of 769.42-1015.93,

141.10-310.95, 233.14-720.16, and

104.87-203.32, respectively. Although

Ca is important for the growth of wood,

however at an excessive amount, it is

very corrosive to the digester, bleaching

and evaporator effect equipment (Bryant

& Edwards 1996). Fe was the dominant

micro element in the 5 years old

mangium wood with its content of 26.08-

36.31 ppm. Mn and Cu content were also

found substantial to bring about a

problem in the application of the future

TEF technology based pulp production.

It was not understood why Al noticed

just in the middle part of the wood.

Though Al and B are present in mangium

wood, they are not considered to

influence the bleaching properties of

wood pulp.

Figure 1 Macro and micro elements content of mangium wood based on stem division.

0

200

400

600

800

1000

1200

Ca Na K Mg

pp

m

Macro Elements bottom

middle

upper

0

5

10

15

20

25

30

35

40

Al B Cu Fe Mn Zn

pp

m

Micro Elements bottom

middle

upper

Elements Elements

Page 79: Ilmu dan Teknologi Kayu Tropis - mapeki.orgmapeki.org/web/wp-content/uploads/2017/02/Full-Issue-Vol.13-No.1.pdf · Jurnal Ilmu dan Teknologi Kayu Tropis ... hingga homogen dengan

75 Trace Elements Content of Mangium Pulp throughout ECF Bleaching

Stages as Measured by ICP

Nyoman Wistara, Devi Nurmala

The present results indicated that the

content of Ca and Mg reached 1000 ppm

and 200 ppm, respectively. This result

was on the contrary to those found by

Wistara and Yustiana (2014), in which

the content of Ca of the 5 years old wood

was the lowest and Mg was the highest.

As reported by Mayer and Koch (2007)

for American black cherry wood,

differences in growing site could be the

origin of this variation. Metal content is

influenced by factors such as wood

species, soil type, wood maturity,

cooking chemical and process water.

Figure 2 exhibits the content of Ca, Na,

K, and Mg in wood and an ECF bleached

pulp. The unbleached pulp (Pre-ODL)

contained the highest amount of Ca, and

its content tended to decrease with the

following bleaching stages. An

increasing amount of Ca in the Pre- and

Post-ODL compared to that of wood was

thought due to the used of mill white

liquor in the pulping processes and it was

not totally washed out in the Post-ODL

stage. Mill white liquor contains traces of

Ca from previously recovered cooking

liquor. Increasing amount of Na in the

post-ODL, EO and P bleached pulp was

assumed because of the use of NaOH

(Bryant & Edwards 1996). Oxygen

delignification was carried out in an

alkaline media, in which NaOH was used

to increase the pH of the pulp slurry

being delignified. Mg is a stabilizer of

hydrogen peroxide in oxygen based

bleaching (O, P and Z stages). The

present results indicated that its highest

content was in the pre-ODL and then

kept decreasing afterward.

Pulping decreased the content of Fe and

Mn; however it increased the content of

Cu and Zn as indicated by Figure 3.

Oxygen delignification and subsequent

bleaching stages tended to decrease the

micro elements of pulp. During the

bleaching stages (after Post- ODL), the

highest content of Fe (15.96 ppm), Cu

(5.03 ppm), and Mn (1.67 ppm) was

found in the D1, P and D0 bleached pulp,

respectively. These three metals ion can

decompose hydrogen peroxide through

Fenton reaction to form hydroxyl radical

(Lidén & Ohman 1997). Hydroxyl

radical is very reactive and brings about

the depolimerization of cellulose.

Figure 2 Macro elements content in mangium wood and its D0(EO)D1D2P bleached

pulp.

0

500

1000

1500

2000

2500

Wood Pre -

ODL

Post

ODL

D0 EO D1 D2 P

pp

m

Bleaching stage

Ca

Na

K

Mg

Page 80: Ilmu dan Teknologi Kayu Tropis - mapeki.orgmapeki.org/web/wp-content/uploads/2017/02/Full-Issue-Vol.13-No.1.pdf · Jurnal Ilmu dan Teknologi Kayu Tropis ... hingga homogen dengan

76 J. Ilmu Teknol. Kayu Tropis Vol.13 No.1 Januari 2015

Figure 3 Micro elements content of mangium wood and its D0(EO)D1D2P bleached

pulp.

Dahl (1999) reported that the detrimental

limit of Cu2+, Mn2+, and Fe2+ and Fe3+ to

P bleaching stage was 0.5 ppm, 1 ppm,

and 2 ppm, respectively. The content of

Fe and Cu found in the present works

were much higher than those of the

reported detrimental limit. Furthermore,

Fe, Cu and Mn do not just increase the

consumption of bleaching chemical, but

also reduce the reaction selectivity of

oxygen toward lignin (Niet al. 1996).

The brightness and viscosity of pulp

The efficiency and selectivity of oxygen

based bleaching is strongly influenced by

the presence of transition metals in the

system. Transition metals decrease the

stability of hydrogen peroxide and can

bring about cellulose degradation

(Yokohamaet al. 1999). Figure 4

indicates that a significant increment of

pulp brightness occurred from Post-ODL

treatment to the subsequent bleaching

stages. However, the brightness

increment among D0, EO, D1, D2 and P

stages were not significant. The content

of Fe and Cu sharply decreased after

oxygen delignification of pulp. Fe in

pulp negatively affects pulp brightness

more than that of Cu. Meanwhile the

influence of Mn and Al on brightness is

negligible (Gosh & Ni 1998).

Figure 4 Brightness of unbleached and bleached pulp.

0

5

10

15

20

25

30

35

40

45

Wood Pre -

ODL

Post

ODL

D0 EO D1 D2 P

pp

m

Bleaching stage

Cu

Fe

Mn

Zn

0102030405060708090

100

Pre -

ODL

Post

ODL

D0 EO D1 D2 P

% (

ISO

)

Bleaching stage

Page 81: Ilmu dan Teknologi Kayu Tropis - mapeki.orgmapeki.org/web/wp-content/uploads/2017/02/Full-Issue-Vol.13-No.1.pdf · Jurnal Ilmu dan Teknologi Kayu Tropis ... hingga homogen dengan

77 Trace Elements Content of Mangium Pulp throughout ECF Bleaching

Stages as Measured by ICP

Nyoman Wistara, Devi Nurmala

Figure 5 Pulp viscosity of unbleached and bleached pulp.

Transition metal has been reported also

to reduce strength properties of pulp

(Yokohama et al. 1999). However, in the

present works, pulp viscosity was

measured instead of directly measuring

pulp strength. Viscosity of pulp is

indicative of the depolimerization degree

of cellulose, thus can be related to the

strength of pulp. Strong pulp is generally

made up of pulp with high viscosity

value (Smook 1994). Figure 5 indicates

the viscosity of pulp at selected

bleaching stages of the present works. It

can be seen that pulp viscosity decreased

with the proceeding bleaching stages.

Cellulose degradation is unavoidable

when delignification proceeds in pulping

and bleaching processes.

In peroxide based bleaching, transition

metal can oxidize hydrogen peroxide and

results in radical formation that bring

about cellulose degradation and reduce

pulp strength (Sunden et al. 2000).

Figure 5 indicates that starting from

oxygen delignification, the viscosity of

pulp was sharply decreased. It could be

due to the degradation of lignin

carbohydrate complex and the presence

of high concentration transition metals. It

has been indicated early that the

concentration of harmful metal ion to

hydrogen peroxide bleaching were

beyond the stated detrimental limit.

Conclusions

Metal content of 5 years old Acacia

mangium wood tended to increase from

the bottom division to the upper division

of the stem. The increasing content of Ca

after Pre-ODl and Post-ODL stages was

thought due to the use of mill cooking

liquor during pulping stage. Na increased

in the EO and P stages because of the

used of NaOH to activate oxygen and

peroxide bleaching agents. Subsequent to

the EO bleaching stage, Mn content of

pulp decreased and was found lower than

its detrimental limit of 1 ppm in peroxide

stage. However, the content of Cu and Fe

was higher than its detrimental limit in

every bleaching stage. Metal content

decreased the brightness and viscosity of

pulp in the present ECF bleaching of

pulp.

References

Al-Mefarrej HA, Abdel-Aal MA, Nasser

RA, Shetta ND. 2011. Impact of

initial tree spacing and height level on

chemical compotition of Leucaena

leucocephala trees grown in Riyadh

0

5

10

15

20

25

30

35

40

45

Pre - ODL Post -

ODL

EO D2 PV

isco

sity

, m

Pa.

s

Bleaching Stage

Page 82: Ilmu dan Teknologi Kayu Tropis - mapeki.orgmapeki.org/web/wp-content/uploads/2017/02/Full-Issue-Vol.13-No.1.pdf · Jurnal Ilmu dan Teknologi Kayu Tropis ... hingga homogen dengan

78 J. Ilmu Teknol. Kayu Tropis Vol.13 No.1 Januari 2015

region. World Appl Sci J. 12(7):912-

918.

Bryant PS, Edwards LL. 1996. Cation

Exchange of Metals on Kraft Pulp. J

Pulp Pap Sci. 22(1):37-42.

Bouchard J, Nugent HM, Berry

RM.1995. A Comparison between

Acid Treatment and Chelation Prior to

Hydrogen Peroxide Bleaching of

Kraft Pulps. J Pulp Pap Sci. 21(6):

J203-J208.

Chirat C, Lachenal D. 1997. Systems

closure in the bleach plant. Effect of

the metal ions on the bleaching of

pulp. Proc. the Johan Gullichsen

Colloquium, Espoo, Finland, Pp81-

89.

Dahl O. 1999. Evaporation of Acidic

Effluent from Kraft Pulp Bleaching,

Reuse of the Condensate and Further

Processing of the Concentrate.

[Dissertation]. Oulu Yliopisto:

University of Oulu.

Fengel D, Wegener G. 1984. Wood:

Chemistry, Ultrastructure, Reaction.

Berlin: Walter de Gruyter & Co.

Gosh, A., Ni, Y. 1998. Metal Ion

Complexes and Their Relationship to

Pulp Brightness. J Pulp Pap Sci.

24(1):26-31.

Kujala M, Sillanpaa M, Ramo J. 2004. A

method to leach manganese and some

other metal cations from pulp matrix

to aqueous phase for the subsequent

ICP-AES analysis: a potential tool for

controlling the metal profile in a pulp

bleaching process. J Cleaner Prod.

12:707-712. Doi: 10.1016/S0959-

6526(03)00059-3.

Lastra A, Gómeza D, Romero J,

Francisco JL, Luque S, Álvarez JR.

2004. Removal of metal complexes by

nanofiltration in a TCF pulp mill:

technical and economic feasibility. J

Membr Sci. 242:97–105. Doi:10.1016/

j.memsci.2004.05.012

Lidén J, Öhman LO. 1997. Redox

Stabilization of Iron and Manganese

in the +II Oxidation State by

Magnesium Precipitate and Some

Anionic Polymers. Implication for the

Use of Oxygen-Based Bleaching

Chemical. J Pulp Pap Sci. 23(5):J193-

J199.

Mayer I, Koch G. 2007. Element content

and pH value in American black

cherry (Prunus serotina) with regard

to color changes during heartwood

formation and hot water treatment.

Wood Sci Technol. 41:537-547. Doi:

10.1007/s00226-007-0144-7.

Ni Y, Kang GJ, Van Heiningen ARP.

1996. Are Hydroxyl Radical

Resposible for Degradation of

Cardohydrates during Ozone

Bleaching of Chemical Pulp? J Pulp

Pap Sci. 22(2):J53-J57.

Nurmesniemi H, Poykio R, Peramaki P,

Kuokkanen T. 2005. The use of a

sequential leaching procedure for

heavy metal fractionation in green

liquor dregs from a causticizing

process at a pulp mill. Chemosphere

61: 1475–1484. Doi:10.1016/

j.chemosphere.2005.04.114

Sjostrom, E. 1993. Wood Chemistry:

Fundamentals and Applications.

Second edition. London: Academic

Press, Inc.

Smook GA. 1994. Handbook for Pulp

and Paper Technologists. Second

Edition. Canada: Angus Wilde

Publication, Inc.

Sukowati M. 2013. Pengaruh

Penjarangan dan Pelebaran Jarak

Naungan terhadap Sifat Dasar Kayu

Page 83: Ilmu dan Teknologi Kayu Tropis - mapeki.orgmapeki.org/web/wp-content/uploads/2017/02/Full-Issue-Vol.13-No.1.pdf · Jurnal Ilmu dan Teknologi Kayu Tropis ... hingga homogen dengan

79 Trace Elements Content of Mangium Pulp throughout ECF Bleaching

Stages as Measured by ICP

Nyoman Wistara, Devi Nurmala

Meranti Merah. [Skripsi]. Bogor:

Institut Pertanian Bogor.

Sunden A, Brelid H, Rindby A,

Engström P. 2000. Spatial

Distribution and Modes of Chemical

Attachment of Metal Ion in Spruce

Wood. J Pulp Pap Sci. 26(10):352-

357.

Wistara NJ, Yustiana E. 2014. Trace

Elements Measurement of Mangium

Wood (Acacia mangium) by AAS. J

Ilmu Teknol Kayu Tropis. 12(1):1-10.

Yokohama T, Matsumoto Y, Meshitsuka

G. 1999. The Role of Peroxide

Species in Carbohydrate Degradation

during Oxygen Bleaching. Part III:

Effect of Metal Ions on the Reaction

Selectivity between Lignin and

Carbohydrate Model Compounds. J

Pulp Pap Sci. 25(2):42-46.

Yoon BH, Wang LJ, Kim GS. 1999.

Formation of Lignin-Metal

Complexes by Photo-Irradiation and

Their Effect on Color Reversion of

TMP. J Pulp Pap Sci. 25(8):289-293.

Riwayat naskah:

Naskah masuk (received): 15 Oktober 2014

Diterima (accepted): 10 Desember 2014

Page 84: Ilmu dan Teknologi Kayu Tropis - mapeki.orgmapeki.org/web/wp-content/uploads/2017/02/Full-Issue-Vol.13-No.1.pdf · Jurnal Ilmu dan Teknologi Kayu Tropis ... hingga homogen dengan

80 J. Ilmu Teknol. Kayu Tropis Vol.13 No.1 Januari 2015

Pemanfaatan Kulit Buah Durian sebagai Stimulan Penyalaan Briket

Batubara

(The Application of Durian Rind as a Burning Stimulant of Coal

Briquettes)

Sanjaya

Program Studi Pendidikan Kimia Jurusan PMIPA FKIP Universitas Sriwijaya

Jl. Palembang-Prabumulih, Inderalaya, Ogan Ilir, Sumatera Selatan

Penulis korespondensi: [email protected]

Abstract

Durian (Durio zibethinus) originally was wild plants from forests of Malaysia, Sumatera, and

Borneo. Durian trees cultivated Indonesian society is primarily not for timber, but to produce

fruit. At the season of durian, durian rind becomes waste. A tropical plant product which is

unfortunate if the durian rind that contains a lot of fiber disposed of as trash, as long as this

happens. Has conducted research utilization fiber of durian rind in the field of coal energy.

Durian rind fibers can act as a stimulant ignition of coal. Durian rind fibers in various positions

with coal and other material added form a briquettes. The position of the fibers has been

investigated: briquettes with fiber outer position (1), lower (2), the side (3), the top-down (4),

and two quarters (5). Briquettes with durian serat kulit different positions have different speeds

and long flame.

Keywords: fibre, durian rind, coal ignition, flame speed, long burning

Abstrak

Tanaman durian (Durio zibethinus) semula berupa tanaman liar yang berasal dari hutan

Malaysia, Sumatera, dan Kalimantan. Pohon durian dibudidayakan masyarakat Indonesia pada

dasarnya bukan untuk diambil kayunya, melainkan untuk menghasilkan buah. Pada saat musim

buah durian, kulit durian menjadi limbah. Suatu produk tanaman tropis yang sangat disayangkan

jika kulit durian yang banyak mengandung serat dibuang sebagai limbah, seperti selama ini

terjadi. Telah dilakukan penelitian pemanfaatan serat kulit durian dalam bidang energi batubara.

Serat kulit durian dapat berperan sebagai stimulan penyalaan batubara. Serat kulit durian

bersama batubara dan bahan imbuh lain dicetak dalam bentuk briket pada berbagai posisi. Posisi

serat yang telah diteliti: briket dengan posisi serat sebelah luar (1), sebelah bawah (2), sebelah

samping (3), atas-bawah (4), dan dua perempat (5). Briket dengan posisi serat kulit durian yang

berbeda memiliki perbedaan kecepatan nyala dan lama menyala.

Kata kunci : kecepatan nyala, kulit durian, lama menyala, penyalaan batubara, serat.

Pendahuluan

Salah satu tanaman kayu tropis adalah

pohon durian (Durio zibethinus).

Tanaman durian semula berupa tanaman

liar yang berasal dari hutan Malaysia,

Sumatera, dan Kalimantan. Sekarang

durian banyak tumbuh di seluruh wilayah

Indonesia, dari provinsi Aceh hingga

Papua, sehingga durian memiliki banyak

nama, dan banyak spesies. Tiga

kabupaten yang memiliki jumlah pohon

durian terbanyak di provinsi Sumatera

Selatan pada tahun 2014 yaitu:

Kabupaten Lahat (57.117 pohon),

Kabupaten Empat Lawang (55.168

pohon), dan Kabupaten Muara Enim

(52.945 pohon) (Rohim 2014). Durian

Page 85: Ilmu dan Teknologi Kayu Tropis - mapeki.orgmapeki.org/web/wp-content/uploads/2017/02/Full-Issue-Vol.13-No.1.pdf · Jurnal Ilmu dan Teknologi Kayu Tropis ... hingga homogen dengan

81 Pemanfaatan Kulit Buah Durian sebagai Stimulan Penyalaan Briket Batubara

Sanjaya

tumbuh dengan baik di daerah bersuhu

antara 20-30 C (Prihatman 2000). Kayu

durian memiliki struktur batang yang

baik, karena pohon durian dapat tumbuh

dengan tinggi mencapai 25-50 m,

(Wikipedia 2014). Masyarakat Indonesia

banyak menggunakan kayu durian untuk

keperluan bahan bangunan, meskipun

kayu durian termasuk kelas awet empat

(kurang awet) (Duljapar 1996).

Pohon durian dibudidayakan masyarakat

Indonesia pada dasarnya bukan untuk

diambil kayunya, melainkan untuk

menghasilkan buah. Pohon durian

menghasilkan buah setiap tahun sekali.

Buah durian muncul dari ranting, dahan,

bahkan pokok pohon durian itu sendiri.

Pada saat berbuah, setiap pohon durian

menghasilkan buah yang sangat banyak,

bisa mencapai 300 butir. Apabila pohon

durian yang ada di Indonesia

diasumsikan terdapat 2 juta pohon, maka

akan terdapat 600 juta buah durian.

Dengan demikian pada saat musim buah

durian, juga akan dihasilkan kulit durian

sebagai limbah. Di tempat pembuangan

limbah kulit durian akan menjadi

dominan.

Kulit durian mengandung serat, suatu

bahan berlignoselulosa bukan kayu

dalam jumlah yang besar. Perbandingan

berat kulit durian basah dengan berat

buah durian basah adalah sebesar

57,4165% (Sanjaya 2012). Kulit durian

basah terdiri atas tepung, serat dan

sebagian besar air. Persentase berat serat

terhadap kulit durian basah adalah

sebesar 11,8524 %. Persentase berat

serat dibandingkan dengan berat durian

adalah 6, 8052%. Jika dalam setiap

musim durian dihasilkan 600 juta buah,

dengan rata-rata berat 2,5 kg, maka serat

yang dihasilkan sebanyak 6, 8052 /100 x

2,5 kg per buah x 600.000.000 buah =

102.078.000 kg atau 102.078 ton. Suatu

produk kayu tanaman tropis yang sangat

disayangkan jika dibuang sebagai

limbah, seperti selama ini terjadi.

Serat kulit durian dapat dimanfaatkan

untuk bermacam keperluan. Sanjaya

(2012) mencoba memanfaatkan serat

kulit durian sebagai bahan baku media

grafis. Selanjutnya, pemanfaatan serat

kulit durian menjadi stimulan penyalaan

pada briket batubara telah dilakukan oleh

Penulis sejak 2012 (Sanjaya 2014).

Pemanfaatan serat kulit durian di bidang

energi ini dilatarbelakangi oleh adanya

skim penelitian Unggulan Perguruan

Tinggi Universitas Sriwijaya yang

berupaya menggalakkan penggunaan

batubara sebagai bahan bakar rumah

tangga atau industri kecil.

Batubara adalah bahan bakar yang

murah, dengan kelimpahan yang sangat

tinggi di sumatera selatan. Cadangan

batubara di Sumatera Selatan

diperkirakan sebanyak 22,24 miliar ton

atau 48,48% cadangan nasional (Alam

2014). Cadangan batubara tersebar di

hampir seluruh daerah tingkat II dalam

provinsi Sumatera Selatan. Dengan

kelimpahan yang sangat banyak tersebut

akan sangat wajar masyarakat di provinsi

Sumatera Selatan menggunakan

Batubara sebagai bahan bakar di rumah

tangga atau industri kecil, bahkan

mungkin industri besarnya. Namun

masyarakat kurang berminat

menggunakan batubara, karena batubara

memiliki kekurangan dibanding bahan

bakar gas dan minyak bumi. Salah satu

kekurangan batubara adalah lambat

menyala. Sebelum dibakar, menurut

Peraturan Menteri ESDM No. 047 Tahun

2006, batubara harus direndam dalam

minyak tanah, spiritus, alkohol, atau

bahan lainnya. Dengan demikian, agar

minat masyarakat menggunakan batubara

meningkat, kekurangan batubara harus

dihilangkan, yaitu harus cepat menyala.

Page 86: Ilmu dan Teknologi Kayu Tropis - mapeki.orgmapeki.org/web/wp-content/uploads/2017/02/Full-Issue-Vol.13-No.1.pdf · Jurnal Ilmu dan Teknologi Kayu Tropis ... hingga homogen dengan

82 J. Ilmu Teknol. Kayu Tropis Vol.13 No.1 Januari 2015

Serat kulit durian dapat digunakan untuk

mempercepat penyalaan, karena serat

kulit durian lebih cepat menyala dari

batubara. Serat kulit durian dan batubara

dicetak membentuk briket. Ketika briket

tersebut dibakar, maka mula mula Serat

kulit durian terbakar. Serat kulit durian

yang telah terbakar tersebut memicu

batubara untuk ikut menyala. Meskipun

serat kulit durian dapat mempercepat

penyalaan batubara, serat kulit durian

memiliki nilai kalor yang lebih rendah

dari batubara.

Nilai kalor adalah ukuran besar energi

yang dihasilkan jika suatu bahan

terbakar. Dengan demikian jika briket

terdiri dari batubara dan serat kulit

durian dibandingkan dengan briket yang

hanya dibuat dari batubara saja, maka

kalor yang dihasilkan briket batubara-

serat kulit durian lebih rendah dari kalor

yang dihasilkan oleh briket batubara.

Bahan bakar yang baik adalah bahan

bakar yang memiliki nilai kalor yang

tinggi. Dengan komposisi tertentu antara

batubara dan serat kulit durian, akan

didapatkan briket yang cepat menyala

dengan nilai kalor yang masih cukup

tinggi.

Bahan dan Metode

Penelitian pemanfaatan kulit buah durian

sebagai stimulan penyalaan briket

batubara menggunakan bahan bahan

sebagai berikut: kulit buah durian,

batubara, kapur, tanah liat, tapioka.

Metode penelitian yang telah dilakukan

sebagai berikut: (1) isolasi serat kulit

durian dari kulit buah durian, (2)

menguraikan dan menghaluskan serat-

serat, (3) pencetakan briket dengan

variasi persen berat serat kulit durian dan

variasi posisi serat dalam briket, (4) uji

kecepatan nyala, dan (5) penentuan lama

briket menyala.

Isolasi serat kulit durian dari kulit buah

durian dilakukan dengan merendam kulit

buah durian dalam air selama beberapa

hari. Setelah lunak, kulit buah durian

diperas sampai terpisah serat dari tepung.

Untuk menguraikan dan menghaluskan

serat dilakukan menggunakan

pencampur. Pencetakan briket dilakukan

dengan menggunakan cetakan stainless

steel berbentuk silinder diameter 4 cm

dengan tekanan 2 ton. Variasi persen

berat serat kulit durian antara 16,5

hingga 18,5 g dalam 100 g batubara.

Variasi posisi serat meliputi posisi di

bagian bawah, tengah, atas bawah, dan

bagian luar dari briket. Uji kecepatan

nyala dan penentuan lama briket

dilakukan dengan cara menempatkan

briket yang diteliti di atas briket lain

yang tengah menyala, dihitung waktu

yang diperlukan briket yang diteliti untuk

mulai menyala, dan dilanjutkan dihitung

waktu yang diperlukan sehingga habis

menyala.

Hasil dan Pembahasan

Hasil isolasi serat kulit durian dari kulit

buah durian ditunjukkan pada Gambar 1.

Gambar 1 menunjukkan serat kulit

durian tersebar di seluruh bagian kulit.

Di bagian tengah paling sedikit, di

bagian kulit lebih rapat, dan yang paling

rapat serat pada bagian duri.

Kulit durian yang seratnya telah diisolasi

di masukkan ke dalam pencampur untuk

menguraikan dan menghaluskan serat-

serat. Serat kulit durian hasil penguraian

dan penghalusan ditunjukkan pada

Gambar 2. Serat kulit durian yang telah

dihaluskan selanjutnya dengan variasi

berat tertentu dicampur dengan batubara

untuk membuat briket. Variasi berat

yang telah diteliti ditunjukkan pada

Tabel 1.

Page 87: Ilmu dan Teknologi Kayu Tropis - mapeki.orgmapeki.org/web/wp-content/uploads/2017/02/Full-Issue-Vol.13-No.1.pdf · Jurnal Ilmu dan Teknologi Kayu Tropis ... hingga homogen dengan

83 Pemanfaatan Kulit Buah Durian sebagai Stimulan Penyalaan Briket Batubara

Sanjaya

Selain variasi berat serat kulit durian,

juga dilakukan variasi posisi serat kulit

durian di dalam briket, meliputi posisi

sebelah bawah, luar, samping, atas-

bawah, dan dua perempat. Variasi posisi

serat kulit durian tersebut ditunjukkan

dalam Gambar 3 sampai Gambar 7.

(a) (b)

Gambar 1 Kulit durian sebelum isolasi (a) dan kulit durian setelah isolasi (b).

Gambar 2 Serat kulit durian yang telah diuraikan dan dihaluskan menggunakan

pencampur.

Tabel 1 Variasi berat serat kulit durian, batubara, dan bahan imbuh lain

Varian Serat kulit

durian (g)

Batubara

(g)

Tapioka

(g)

Kapur

(g)

Tanah liat

(g)

1 16,5 100 7 1 1

2 17 100 7 1 1

3 17,5 100 7 1 1

4 18 100 7 1 1

5 18,5 100 7 1 1

Page 88: Ilmu dan Teknologi Kayu Tropis - mapeki.orgmapeki.org/web/wp-content/uploads/2017/02/Full-Issue-Vol.13-No.1.pdf · Jurnal Ilmu dan Teknologi Kayu Tropis ... hingga homogen dengan

84 J. Ilmu Teknol. Kayu Tropis Vol.13 No.1 Januari 2015

1 2 3 4 5

Gambar 3 Briket bio-batubara serat kulit durian sebelah bawah, varian 1 sampai varian

5.

1 2 3 4 5

Gambar 4 Briket bio-batubara serat kulit durian sebelah luar, varian 1 sampai varian 5.

1 2 3 4 5

Gambar 5 Briket bio-batubara serat kulit durian sebelah samping, varian 1 sampai 5.

1 2 3 4 5

Gambar 6 Briket bio-batubara serat kulit durian sebelah bawah dan atas, varian 1 sampai

5.

1 2 3 4 5

Gambar 7 Briket bio-batubara serat kulit durian duaperempat, varian 1 sampai 5.

Berdasarkan Gambar 3 sampai Gambar

7, membandingkan bentuk briket,

diurutkan dari bentuk paling silindrik ke

paling berubah dari bentuk silinder,

terlihat bahwa bentuk briket yang baik

adalah bentuk briket bio-batubara serat

kulit durian sebelah luar (Gambar 4),

briket bio-batubara serat kulit durian

Page 89: Ilmu dan Teknologi Kayu Tropis - mapeki.orgmapeki.org/web/wp-content/uploads/2017/02/Full-Issue-Vol.13-No.1.pdf · Jurnal Ilmu dan Teknologi Kayu Tropis ... hingga homogen dengan

85 Pemanfaatan Kulit Buah Durian sebagai Stimulan Penyalaan Briket Batubara

Sanjaya

duaperempat (Gambar 7), briket bio-

batubara serat kulit durian sebelah bawah

dan atas (Gambar 6), briket bio-batubara

serat kulit durian sebelah bawah

(Gambar 3), dan briket bio-batubara serat

kulit durian sebelah samping (Gambar

5). Briket bio-batubara serat kulit durian

sebelah luar memiliki bentuk paling

silindrik disebabkan bahwa serat kulit

durian tersebar merata di seluruh

permukaan briket dengan ketebalan yang

minimal dibanding dengan briket yang

lain. Hal ini disebabkan sifat serat kulit

durian yang mengembang kembali

setelah mengalami penekanan dalam

pencetakan briket. Ketebalan serat yang

minimal dan merata dalam briket

menyebabkan pengembangan yang

minimal dan merata pada briket. Briket

dengan serat kulit durian sebelah bawah

(Gambar 3) dan briket dengan serat kulit

durian sebelah samping (Gambar 5)

terlihat mengalami pengembangan yang

besar, briket yang dihasilkan mudah

belah/pecah, sehingga menyulitkan

dalam penyimpanan.

Uji kecepatan nyala briket dilakukan

dengan meletakkan briket yang diuji di

atas tiga buah briket yang sedang

menyala. Waktu yang diperlukan

sehingga briket bagian serat menyala

dinyatakan sebagai kecepatan nyala.

Kecepatan nyala briket ditunjukkan

dalam Tabel 2 berikut. Penentuan lama

briket menyala ditentukan dengan

menghitung waktu yang diperlukan satu

briket untuk habis terbakar, terhitung

briket tersebut di letakkan di atas tiga

briket yang sedang menyala. Lama briket

menyala juga ditunjukkan pada Tabel 2

berikut.

Berdasarkan data kecepatan nyala pada

Tabel 2, terbukti bahwa serat kulit durian

mempercepat penyalaan briket. Data di

atas menunjukkan bahwa paling lama

157 detik (kurang dari 3 menit) briket

telah mulai menyala. Mula-mula briket

menyala pada bagian serat kulit durian.

Hal ini sesuai dengan fakta bahwa serat

kulit durian memiliki titik nyala yang

lebih rendah dari batubara. Bagian serat

yang telah menyala selanjutnya memicu

bagian batubara untuk juga menyala.

Membandingkan kecepatan nyala briket

terhadap posisi serat dalam briket,

diketahui bahwa posisi serat sebelah

bawah dan sebelah luar menyebabkan

briket lebih cepat terbakar. Briket

berikutnya adalah briket dengan posisi

serat kulit durian dua perempat, dan atas

bawah; yang paling lambat adalah briket

posisi sebelah samping. Perbedaan

kecepatan nyala ini disebabkan kerapatan

serat kulit durian dalam briket. Pada saat

pencetakan briket, diterapkan tekanan

sebesar 2 ton. Setelah pencetakan,

selama pengeringan, briket mengalami

pengembangan. Pengembangan briket

pada bagian serat kulit durian lebih besar

daripada pengembangan pada bagian

batubara. Pengembangan ini mengurangi

kerapatan serat dan menghasilkan

rongga. Hal inilah yang menjadi

penyebab mengapa briket dengan posisi

serat kulit durian sebelah bawah, dan

briket sebelah luar lebih cepat menyala.

Tabel 2 Kecepatan nyala dan lama menyala briket bio batubara serat kulit durian

Uji nyala

Posisi serat kulit durian sebelah

bawah

(detik)

sebelah luar

(detik)

sebelah

samping

(detik)

atas-bawah

(detik)

dua

perempat

(detik)

Kecepatan nyala 122 124 157 141 138

Lama menyala 15048 14928 15122 16850 13993

Page 90: Ilmu dan Teknologi Kayu Tropis - mapeki.orgmapeki.org/web/wp-content/uploads/2017/02/Full-Issue-Vol.13-No.1.pdf · Jurnal Ilmu dan Teknologi Kayu Tropis ... hingga homogen dengan

86 J. Ilmu Teknol. Kayu Tropis Vol.13 No.1 Januari 2015

Berdasarkan Tabel 2 di atas ternyata

briket dengan posisi serat kulit durian

yang berbeda memiliki perbedaan lama

menyala. Briket yang paling lama

menyala adalah briket dengan posisi

serat kulit durian atas bawah, yaitu

16850 detik (4 jam 40 menit 50 detik),

diikuti briket dengan posisi serat kulit

durian sebelah samping, sebelah bawah

dan sebelah luar. Briket yang paling

cepat adalah briket dengan posisi serat

kulit durian dua perempat yaitu 13993

detik (3 jam 53 menit 13 detik).

Perbedaan lama menyala ini disebabkan

karena pengaruh tekanan terhadap

kerapatan batubara dan serat kulit durian

dalam briket. Seperti ditunjukkan dalam

Gambar 6, briket dengan posisi serat

kulit durian atas bawah, akibat tekanan

menghasilkan briket dengan kerapatan

batubara dan kepadatan serat yang lebih

tinggi dari briket posisi lain. Dengan

kepadatan yang lebih tinggi,

mengakibatkan proses pembakaran briket

menjadi lebih lama habisnya. Briket

dengan posisi serat sebelah samping,

pada saat pencetakan menghasilkan

kerapatan yang tinggi; namun setelah itu

pada saat pengeringan briket, serat kulit

durian mengalami pengembangan yang

maksimal. Akibatnya briket dengan

posisi serat kulit durian sebelah samping

bentuknya tidak silinder, mengembung di

bagian serat kulit durian.Pada saat

pembakaran mengakibatkan bagian serat

kulit durian lebih cepat habis

terbakar/menyala.Demikian pula dengan

briket posisi serat kulit durian sebelah

bawah dan luar.

Briket dengan posisi serat kulit durian

dua perempat paling cepat habis

menyala, yaitu 13993 detik (3 jam 53

menit 13 detik). Hal ini juga dapat

dijelaskan akibat proses pencetakan.

Pada saat pencetakan briket, serat kulit

durian masuk ke dalam batubara.

Akibatnya batubara memiliki kerapatan

yang lebih rendah dari pada jika hanya

terdiri batubara saja, seperti briket

lainnya. Dengan kerapatan yang lebih

rendah maka briket menjadi lebih cepat

habis menyala.

Kesimpulan

Telah berhasil dibuat briket bio-batubara

dengan serat kulit durian sebagai

stimulan penyalaan dengan ukuran briket

adalah berbentuk silinder diameter 4 cm,

komposisi 16,5 hingga 18,5 g serat kulit

durian yang telah dihaluskan setiap 100 g

batubara, dengan komposisi serat kulit

durian sebelah bawah, luar, samping,

atas-bawah, dan dua perempat. Posisi

serat kulit durian dalam briket memberi

variasi kecepatan nyala dan lama

menyala.

Ucapan Terima Kasih

Terima kasih disampaikan kepada Rektor

Universitas Sriwijaya, dan Dekan FKIP

Unsri, kepala Lembaga Penelitian

Universitas Sriwijaya, yang telah

memfasilitasi penelitian ini. Terima kasih

juga disampaikan kepada Pimpinan

Direktorat Jenderal Perguruan Tinggi

Kemendikbud yang telah menyetujui dan

mendukung dana penelitian ini.

Daftar Pustaka

Alam AT. 2014. Gubernur Sumsel -

Pelindo MOU pengangkutan

Batubara. http://ekbis.sindonews.com

read 876755/34 [23 Januari 2015].

Duljapar K. 1996. Pengawetan Kayu.

Jakarta: Penebar Swadaya.

Menteri ESDM. 2006. Peraturan Menteri

ESDM No 047 tahun 2006 tentang

Pedoman Keselamatan Pengoperasian

Kompor dengan Bahan Bakar Briket

Page 91: Ilmu dan Teknologi Kayu Tropis - mapeki.orgmapeki.org/web/wp-content/uploads/2017/02/Full-Issue-Vol.13-No.1.pdf · Jurnal Ilmu dan Teknologi Kayu Tropis ... hingga homogen dengan

87 Pemanfaatan Kulit Buah Durian sebagai Stimulan Penyalaan Briket Batubara

Sanjaya

Batubara dan Kompor dengan Bahan

Bakar Padat Berbasis Batubara.

http://prokum.esdm.go.id/ permen/

2006/permen-esdm-47-2006.pdf (26

Januari 2015)

Prihatman K. 2000. Tentang Budidaya

Pertanian Durian. Jakarta: Kantor

Deputi Menegristek Bidang

Pendayagunaan dan Pemasyarakatan

Ilmu Pengetahuan dan Teknologi.

Rohim AM. 2014. Analisis Jumlah

Pohon Durian dengan Analisis Spasial

dari 15 Kabupaten/kota di Provinsi

Sumatera Selatan. http://arcgiskita.

blogspot.com/2014/08/ analisis-

jumlah-pohon-durian-dengan.html

[26 Januari 2015]

Sanjaya. 2012. Pemanfaatan kulit durian

sebagai bahan baku pembuatan media

grafis dalam pembelajaran kimia di

SMA. Dalam : Sinaga B dkk, editor.

Prosiding SEMIRATA BKS PTN

MIPA 2012, Medan, 11-12 Mei 2012.

Medan: Fakultas MIPA UNIMED.

Hal 22-26.

Sanjaya. 2013. Pembuatan Briket Bio-

Batubara Sumatera Selatan dengan

serat Kulit Durian sebagai Stimulan

Penyalaan. [Laporan Penelitian].

Palembang: Lembaga Penelitian

Universitas Sriwijaya

Sanjaya. 2014. Development of teaching

materials of basic chemistry course in

subject thermochemical with topics

bio-coal briket from South Sumatera.

In: Hartono, Editor. Proceedings The

1st Sriwijaya University Learning and

Education International Conference

(SULE-IS) 2014; Palembang, 16 – 18

May 2014. Palembang: Faculty of

Training and Education Sriwijaya

University. Pp 607 – 614.

Wikipedia. 2014. Durian. http://id.

wikipedia.org. [14 januari 2015].

Riwayat naskah:

Naskah masuk (received): 25 Oktober 2014

Diterima (accepted): 15 Desember 2014

Page 92: Ilmu dan Teknologi Kayu Tropis - mapeki.orgmapeki.org/web/wp-content/uploads/2017/02/Full-Issue-Vol.13-No.1.pdf · Jurnal Ilmu dan Teknologi Kayu Tropis ... hingga homogen dengan

88 J. Ilmu Teknol. Kayu Tropis Vol. 13 No. 1 Januari 2015

Aktivitas Antioksidan dan Inhibitor Tirosinase Ekstrak Metanol

Mangium (Acacia mangium)

(Antioxidant and Tyrosinase Inhibitor Activities of Methanol

Extracts of Acacia mangium)

Rita K Sari1,2*, Rahmi Utami1, Irmanida Batubara2,3, Anne Carolina1, Salina Febriany2

1) Departemen Hasil Hutan Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor, Kampus

Dramaga, Bogor 16680 2)

Pusat Studi Biofarmaka IPB, Jl. Taman Kencana No 03, Bogor 16151 3)

Departemen Kimia, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian

Bogor, Kampus Dramaga, Bogor 16680

*Penulis korespondensi: [email protected]

Abstract

Active compounds utilization of its extractives for cosmetic products increase the value added of

mangium tree. The purpose of this study was to determine the antioxidant and an inhibitor

tirosinase activities of methanol extract of the various parts of mangium tree. Phytochemical

properties of the best extract were also anlayzed. Extraction was conducted by soxhletation in

methanol for 12 hours. The antioxidant and tyrosinase inhibitory activities of the extracts were

tested in vitro to radical of 1,1-diphenyl-2-picrylhydrazyl (DPPH) scavenging and inhibition to

tyrosinase enzyme. The results showed that leave resulted in the highest methanol ectract

followed succesively by bark, heartwood, and sapwood the value of 10.7; 4.4; 2.5; and 0.9%,

respectively. The highest antioxidant activity was bark extract and followed by leave,

heartwood, and sapwood extracts with EC50 values respectively of 8.3; 26.7; 66.9; and 137.9

ppm. Only bark extract which classified as an active tyrosinase inhibitor with IC50 value of 257.8

ppm in the difenolase reaction. The IC50 value of the positive control (kojic acid) was 116.7

ppm. The other extracts relatively inactive as a tyrosinase inhibitor because their IC50 values >

1000 ppm. The qualitative analysis detect the methanol extract of mangium bark as the best

extract containing phenolic compounds (phenol hirokinon, flavonoids, and tannins) and alkaloids

which were thought to contribute to the high antioxidant and tyrosinase inhibitor activities.

Keywords: Acacia mangium, antioxidant, extracts, tyrosinase inhibitor

Abstract

Peningkatan nilai tambah limbah mangium dapat dilakukan dengan memanfaatkan zat ekstraktif

berbagai bagian pohonnya sebagai senyawa aktif produk kosmetika. Tujuan penelitian ini

adalah menetapkan rendemen ekstrak metanol berbagai bagian pohon mangium, menguji

aktivitas antioksidan serta ainhibitor tirosinasenya, serta menganalisis fitokimia secara kualitatif

komponen kimia ekstrak teraktif. Ekstraksi dilakukan secara sokletasi dalam metanol selama 12

jam. Ekstrak yang dihasilkan diuji aktivitas antioksidan dan inhibitor tirosinase secara invitro

menggunakan metode peredaman radikal bebas 1,1-difenil-2-pikrilhidrazil (DPPH) dan

penghambatan enzim tirosinase dengan reaksi monofenolase dan difenolase. Hasil penelitian

menunjukkan bahwa rendemen ekstrak tertinggi diperoleh dari bagian daun tertinggi diikuti

oleh kulit, kayu teras, dan gubal dengan nilai berturut-turut 10,7; 4,4; 2,5; dan 0,9%. Aktivitas

antioksidan tertinggi adalah ekstrak kulit dan diikuti daun, kayu teras, dan kayu gubal dengan

nilai EC50 berturut-turut 8,3; 26,7; 66,9; dan 137,9 ppm. Hanya ekstrak kulit yang tergolong

aktif sebagai inhibitor tirosinase dengan nilai IC50 257,8 ppm dengan nilai IC50 kontrol positif

Page 93: Ilmu dan Teknologi Kayu Tropis - mapeki.orgmapeki.org/web/wp-content/uploads/2017/02/Full-Issue-Vol.13-No.1.pdf · Jurnal Ilmu dan Teknologi Kayu Tropis ... hingga homogen dengan

89 Aktivitas Antioksidan dan Inhibitor Tirosinase Ekstrak Metanol

Mangium (Acacia mangium)

Rita K Sari, Rahmi Utami, Irmanida Batubara, Anne Carolina

(asam kojat) 116,7 ppm pada reaksi difenolase. Ekstrak lainnya tergolong tidak aktif sebagai

inhibitor tirosinase karena nilai IC50 > 1000 ppm. Estrak metanol kulit mangium sebagai

ekstrak teraktif positif kuat mengandung senyawa fenolik (fenol hirokinon, flavonoid, dan tanin)

serta alkaloid.

Kata kunci: antioksidan, ekstrak, inhibitor tirosinase, mangium

Pendahuluan

Mangium (Acacia mangium Willd.)

merupakan salah satu jenis pohon

primadona dalam pembangunan Hutan

Tanaman Industri (HTI) di Indonesia.

Dari 3,5 juta Ha HTI, terdapat sekitar

1,6 juta Ha tegakan mangium yang

ditujukan sebagai bahan baku industri

perkayuan di Indonesia yang

memproduksi 13 juta ton pulp dan kertas

serta 5 juta m3 panel kayu setiap

tahunnya (Mohammed et al. 2012).

Akan tetapi, pemanfaatan hasil hutan di

Indonesia masih tergolong rendah

karena sebagian besarnya merupakan

limbah. Limbah pemanenan berupa daun,

kulit, ranting, dan kayu kurang lebih

50% serta limbah industri berupa

potongan kayu sekitar 25% (Syafii

2008). Muhdi et al. (2010) melaporkan

bahwa limbah pemanenan berupa kayu di

hutan tanaman rata-rata mencapai

sebesar 37,29 m3/Ha. Peningkatan nilai

tambah hasil hutan melalui pemanfaatan

seluruh bagian pohon dan komponen

kimianya perlu dikembangkan. Salah

satunya adalah pemanfaatan zat

ekstraktifnya sebagai senyawa aktif

dalam produk kosmetik pemutih dan

antipenuaan kulit.

Pasar produk kosmetik antipenuaan dini

dan pemutih kulit di Indonesia sangat

potensial. Hal ini disebabkan oleh

kondisi Indonesia yang terletak di

daerah tropis yang menyebabkan kulit

masyarakatnya mudah mengalami

penuaan dini dan kecokelatan. Paparan

sinar UV dari matahari di daerah tropis

menjadi sumber radikal bebas penyebab

penuaan kulit (Ardhi 2011) dan

meningkatkan aktivitas enzim tirosinase

pensintesa pigmen melanin sehingga

warna kulit menjadi semakin kecoklatan

(Batubara dan Adfa 2013). Namun,

produk kosmetik tersebut sebagian besar

mengandung bahan kimia sintetik yang

berbahaya. Butil hidroksi anisol dan

butil hidroksi toluen sebagai antioksidan

sintetis pencegah penuaan kulit bersifat

karsinogenik (Ariyani et al. 2008).

Senyawa pemutih kulit seperti asam

kojat dan hidrokuinon bersifat

karsinogenik dan menyebabkan iritasi

kulit, kulit memerah, panas, dan gatal

(Miyazawa et al. 2006, Al-Ash’ary et al.

2010). Untuk itu, produk kosmetik

berbahan aktif alami yang efektif serta

aman digunakan perlu dikembangkan.

Beberapa penelitian membuktikan bahwa

zat ekstraktif tumbuhan berpotensi

sebagai senyawa aktif antioksidan dan

inhibitor enzim tirosinase. Senyawa

antioksidan alami dari golongan fenolik

tumbuhan mampu menghambat penuaan

dini kulit (Stallings & Lupo 2009).

Senyawa fenolik dalam bakau (Rhizho-

pora apiculata) dan nyiri (Xylocarpus

granatum) dan Artocarpanone dalam

nangka (Arthocarpus heterophyllus)

bersifat sebagai inhibitor enzim

tirosinase (Arung et al. 2006, Rahayu

2012, Darusman et al. 2011). Kulit

mangium asal Cina sangat tinggi

mengandung senyawa fenolik dan

terbukti bersifat antioksidan (Zhang et al.

2011). Kayu teras mangium asal

Australia juga mengandung senyawa

antioksidan (Mihara et al. 2005).

Penelusuran pustaka menunjukkan

penelitian potensi zat ekstraktif dalam

Page 94: Ilmu dan Teknologi Kayu Tropis - mapeki.orgmapeki.org/web/wp-content/uploads/2017/02/Full-Issue-Vol.13-No.1.pdf · Jurnal Ilmu dan Teknologi Kayu Tropis ... hingga homogen dengan

90 J. Ilmu Teknol. Kayu Tropis Vol. 13 No. 1 Januari 2015

mangium sebagai inhibitor tirosinase

belum ada. Penelitian potensi antioksidan

berbagai bagian pohon mangium asal

Indonesia juga belum banyak dilakukan.

Untuk itu, tujuan dari penelitian ini

adalah menetapkan rendemen ekstrak

metanol hasil ekstraksi daun, kulit, kayu

teras dan gubal mangium, menguji

aktivitas antioksidan serta inhibitor

tirosinase ekstraknya, serta menganalisis

fitokimia secara kualitatif komponen

kimia ekstrak teraktif.

Bahan dan Metode

Penyiapan bahan

Bahan baku yang digunakan adalah

bagian daun, kulit, kayu teras, dan kayu

gubal mangium yang diperoleh dari

hutan rakyat di Kabupaten Bogor, Jawa

Barat. Bahan-bahan tersebut

dikeringudarakan, digiling dengan willey

mill, dan disaring hingga diperoleh

serbuk yang berukuran 40-60 mesh.

Ekstraksi

Sebanyak 25-30 g sampel yang telah

diketahui kadar airnya masing-masing

diekstraksi dengan metode sokletasi

dalam 400 ml metanol selama ± 12 jam.

Setelah itu, filtrat yang diperoleh

dipekatkan dengan rotary vacuum

evaporator hingga volumenya menjadi

100 ml. Sebanyak 10 ml filtrat

dikeringkan dalam oven pada suhu

103±2 oC selama 24 jam hingga

bobotnya konstan untuk menetapkan

rendemen ekstraksi. Sisa filtrat sebanyak

90 ml dikeringkan dalam oven pada suhu

40 oC untuk pengujian aktivitas

antioksidan dan inhibitor tirosinase, serta

analisis kimianya.

Uji aktivitas antioksidan

Aktivitas antioksidan ekstrak diuji secara

in vitro untuk meredam radikal bebas 1,1-

difenil-2-pikrilhidrazil (DPPH). Metode

uji mengacu pada Sari et al. (2011).

Aktivitas antioksidan diketahui dari nilai

EC50, yaitu konsentrasi efektif senyawa

yang mampu meredam 50% radikal bebas.

Uji aktivitas inhibitor tirosinase

Aktivitas inhibitor tirosinase diuji secara

in vitro dengan mengacu pada Batubara

et al. (2010). Larutan ekstrak induk

dengan konsentrasi 20 mg ml-1 dibuat

dari 2 mg ekstrak padat yang dilarutkan

dalam 0,1 ml dimetil sulfoksida

(DMSO). Konsentrasi ekstrak yang

digunakan adalah 31,25-2000 µg ml-1

dengan pengenceran larutan induk dalam

buffer natrium fosfat (50 mM dan pH

6,5). Kontrol positif dalam penelitian ini

adalah asam kojat yang diuji pada

konsentrasi 7,82-500 µg ml-1.

Ekstrak dari berbagai konsentrasi

sebanyak 70 µl dimasukkan ke dalam

tiap lubang sumur dalam microplate dan

ditambahkan dengan 30 µl enzim

tirosinase yang berasal dari jamur

(Sigma, 333 µl ml-1). Pengujian

dilakukan dengan tiga kali ulangan.

Setelah itu, plate disimpan di dalam

ruangan inkubasi yang bertemperatur (37 oC) selama 5 menit. Selanjutnya, substrat

(2 mM L-tirosin dan 12 mM L-3,4-

dihydroxyphenylalanine (L-DOPA))

sebanyak 110 µl ditambahkan ke dalam

tiap-tiap lubang sumur. Plate tersebut

kemudian disimpan dalam ruang

inkubasi selama 30 menit.

Nilai absorbansi dari tiap sumur

kemudian ditentukan menggunakan

multi-well reader pada panjang

gelombang 492 nm. Selanjutnya,

konsentrasi dari masing-masing ekstrak

yang dapat menghambat setengah dari

aktivitas tirosinase tersebut ditentukan

dengan cara membandingkan absorbansi

sampel tanpa penambahan ekstrak

dengan penambahan ekstrak. Cara

perhitungan absorbans dengan rumus:

Page 95: Ilmu dan Teknologi Kayu Tropis - mapeki.orgmapeki.org/web/wp-content/uploads/2017/02/Full-Issue-Vol.13-No.1.pdf · Jurnal Ilmu dan Teknologi Kayu Tropis ... hingga homogen dengan

91 Aktivitas Antioksidan dan Inhibitor Tirosinase Ekstrak Metanol

Mangium (Acacia mangium)

Rita K Sari, Rahmi Utami, Irmanida Batubara, Anne Carolina

Absorbansi difenol-sampel= C – A

dengan C= difenolase, A=sampel+enzim

Persentase penghambatan dihitung

dengan rumus sebagai berikut:

% penghambatan difenolase =

%100A

AA

difenolblangko

difenoldifenolblangko

% penghambatan monofenolase =

%100A

AA

monofenolblangko

monofenolmonofenolblangko

Aktivitas inhibitor tirosinase ekstrak

ditentukan dari nilai IC50, yaitu

konsentrasi ekstrak uji yang mampu

menghambat 50% aktivitas enzim

tirosinase. Nilai tersebut diperoleh dari

persamaan regresi hasil interpolasi antara

konsentrasi ekstrak dengan persen

penghambatan difenolase dan

monofenolase.

Analisis fitokimia

Pengujian fitokimia dilakukan secara

kualitatif mengacu pada Harborne

(1996). Pengujian hanya dilakukan pada

ekstrak yang memiliki aktivitas

antioksidan serta inhibitor enzim

tirosinase tertinggi. Kelompok senyawa

yang dideteksi adalah keberadaan

alkaloid, flavanoid, fenol hidrokuinon,

tanin, saponin, triterpenoid, dan steroid.

Hasil dan Pembahasan

Rendemen ekstrak

Rendemen ekstraksi berbagai bagian

pohon mangium dalam metanol

beragam. Tabel 1 menunjukkan bahwa

rendemen tertinggi adalah hasil ekstraksi

daun, sedangkan rendemen terendah

adalah hasil ekstraksi kayu bagian gubal.

Hal ini menunjukkan bagian pohon yang

berbeda mengandung zat ektraktif

dengan kadar yang berbeda pula. Hal ini

dipertegas oleh Fengel & Wegener

(1995) dan Reyes et al. (2004) yang

menyatakan bahwa perbedaan rendemen

zat ekstraktif dipengaruhi oleh tempat

tumbuh, jenis pohon, umur pohon, dan

bagian dalam pohon. Fenomena yang

sama juga dilaporkan Sari et al. (2011)

bahwa ekstraksi berbagai bagian pohon

surian (Toona sinensis) menghasilkan

kadar ekstrak terlarut etanol yang

berbeda. Ekstrak surian bagian daun,

kulit kayu, kayu teras, dan kayu gubal

berturut-turut adalah 13, 7, 6, dan 4%.

Wujud fisik ekstrak berbagai bagian

mangium bervariasi (Tabel 1). Perbedaan

wujud fisik ekstrak tersebut

menunjukkan bahwa jenis dan komposisi

zat ekstraktif dalam berbagai bagian

pohon tersebut berbeda meskipun

diekstraksi menggunakan pelarut yang

sama. Ekstrak daun dan kayu teras

berwujud padatan kental karena

kemungkinan besar mengandung lemak,

lilin, atau minyak atsiri yang dapat larut

dalam metanol (Harborne 1996).

Ekstraksi daun mangium menghasilkan

rendemen tertinggi jika dibandingkan

dengan bagian pohon lainnya (Tabel 1).

Hal ini disebabkan oleh adanya senyawa

klorofil atau zat hijau daun yang ikut

terekstraksi oleh metanol. Wujud fisik

ekstrak daun yang berwarna hijau

kehitaman memastikan adanya senyawa

klorofil yang terekstraksi. Harborne

(1996) menyatakan bahwa sebagian

besar klorofil terdistribusi dalam daun

dan dapat larut dalam pelarut organik

seperti etanol, aseton, metanol, eter, dan

kloroform.

Ekstraksi bagian kulit menghasilkan

rendemen ekstrak lebih tinggi dari bagian

kayunya. Hal ini dapat disebabkan

karena kulit mangium diketahui

mengandung senyawa fenolik yang lebih

Page 96: Ilmu dan Teknologi Kayu Tropis - mapeki.orgmapeki.org/web/wp-content/uploads/2017/02/Full-Issue-Vol.13-No.1.pdf · Jurnal Ilmu dan Teknologi Kayu Tropis ... hingga homogen dengan

92 J. Ilmu Teknol. Kayu Tropis Vol. 13 No. 1 Januari 2015

tinggi (Zhang et al. 2011). Hasil

penelitian Gao (2007) pada berbagai

bagian pohon Chamaecyparis

lawsoniana juga menunjukkan bahwa

kadar ekstrak bagian kulit (7%) lebih

tinggi dibandingkan kayu teras (4%).

Rendemen ekstraksi bagian kayu teras

mangium ini (2,5%) berbeda dengan

rendemen ekstraksi kayu teras mangium

asal Cina yang dilakukan oleh Mihara et

al. (2005), yaitu 4,0%. Perbedaan

tersebut terjadi karena perbedaan metode

ekstraksi, kualifikasi pelarut, dan asal

kayunya. Mihara et al. (2005)

menggunakan metode maserasi dengan

cara merendam serbuk kayu teras

mangium dalam metanol kualifikasi pro

analisis pada suhu ruang selama 2x2 hari,

sedangkan ekstraksi dalam penelitian ini

menggunakan metode sokletasi yang

menggunakan metanol kualifikasi teknis

yang telah dimurnikan selama 12 jam.

Houghton dan Raman (1998)

menegaskan bahwa kualifikasi pelarut

dan metode ekstraksi mempengaruhi

rendemen ekstraksi. Selain itu, Penelitian

Reyes et al. (2004) membuktikan

bahwa rendemen zat ekstraktif sangat

dipengaruhi oleh tempat tumbuh.

Aktivitas antioksidan

Hasil pengujian menunjukkan bahwa

semua ekstrak metanol berbagai bagian

pohon mangium bersifat antioksidan. Hal

ini ditunjukkan oleh korelasi positif

antara konsentrasi ekstrak dengan

persentase penangkapan radikal bebas.

Namun, kurva yang menggambarkan

korelasi positif antara konsentrasi ekstrak

dengan persen penangkapan radikal

bebas antar ekstrak berbeda (Gambar 1).

Interpolasi antara konsentrasi ekstrak

dengan persen penangkapan radikal

bebas setiap ekstrak juga menghasilkan

jenis persamaan regresi yang berbeda.

Perbedaan tersebut menghasilkan nilai

EC50 ekstrak yang berbeda (Tabel 2).

Ekstrak metanol berbagai bagian pohon

mangium memiliki aktivitas antioksidan

yang beragam dengan nilai EC50 8,27-

137,88 ppm. Tabel 2 menunjukkan

bahwa ektrak kulit mangium memiliki

aktivitas antioksidan tertinggi dengan

nilai EC50 terendah, diikuti ekstrak daun,

kayu bagian teras, dan gubal. Perbedaan

aktivitas antioksidan tersebut disebabkan

oleh perbedaan jenis dan komposisi

senyawa antioksidan yang terkandung

dalam jaringan tumbuhan yang berbeda.

Hal ini dipertegas oleh hasil penelitian

Gao (2007) yang menunjukkan bahwa

aktivitas antioksidan ekstrak metanol

kulit Chamaecyparis lawsoniana berbeda

dengan bagian kayunya.

Tabel 1 Rendemen dan wujud fisik ekstrak berbagai bagian pohon mangium

Sampel Rendemen (%) Wujud fisik ekstrak

Daun 10,72 Padatan kental, beraroma, dan berwarna hijau

kehitaman.

Kulit 4,40 Padatan kering, tidak beraroma, dan berwarna

cokelat kehitaman.

Kayu gubal 0,89 Padatan kering, tidak beraroma, dan berwarna

cokelat muda.

Kayu teras 2,50 Padatan kental, beraroma, dan berwarna

cokelat kehitaman.

Page 97: Ilmu dan Teknologi Kayu Tropis - mapeki.orgmapeki.org/web/wp-content/uploads/2017/02/Full-Issue-Vol.13-No.1.pdf · Jurnal Ilmu dan Teknologi Kayu Tropis ... hingga homogen dengan

93 Aktivitas Antioksidan dan Inhibitor Tirosinase Ekstrak Metanol

Mangium (Acacia mangium)

Rita K Sari, Rahmi Utami, Irmanida Batubara, Anne Carolina

Tabel 2 Persamaan regresi dan aktivitas antioksidan (nilai EC50) ekstrak berbagai bagian

pohon mangium

Jenis ekstrak Persamaan regresi Nilai R2 EC50 (ppm)

Daun y = 15,25 ln(x) – 0,09 0,987 26,70

Kulit y = 18,08 ln(x) + 11,78 0,959 8,27

Kayu teras y = 13,65 ln(x) – 7,38 0,972 66,93

Kayu gubal y = 0,29 x + 9,24 0,988 137,88

Vitamin C y = 13,86 ln(x) + 34,39 0,930 3,08

Aktivitas antioksidan ekstrak metanol

kulit mangium yang dihasilkan dari

pelitian ini lebih tinggi dibandingkan

dengan ekstrak metanol kulit mangium

asal Cina hasil penelitian Zhang et al.

(2011). Nilai EC50 ekstrak metanol kayu

teras pada penelitian ini adalah 8,27

ppm, sedangkan nilai EC50 ekstrak

metanol kayu teras mangium asal Cina

adalah 20,99 ppm. Perbedaan tersebut

dipengaruhi oleh perbedaan komposisi

kandungan senyawa antioksidan yang

disebabkan oleh perbedaan metode

ekstraksi, kepolaran pelarut, dan kondisi

tempat tumbuhnya (Houghton & Raman

1998, Reyes et al. 2004). Ekstraksi yang

digunakan Zhang et al. (2011) adalah

ekstraksi dengan etanol 50%, sedangkan

dalam penelitian ini menggunakan

pelarut metanol.

Inhibitor tirosinase

Ekstrak mangium dari berbagai bagian

pohon memiliki aktivitas penghambatan

enzim tirosinase. Hal tersebut tercermin

dari Gambar 2 yang menunjukkan

peningkatan konsentrasi ekstrak telah

meningkatkan persentase penghambatan

kerja enzim tirosinase. Akan tetapi,

grafik hubungan antara konsentrasi

ekstrak dengan persentase penghambatan

dari setiap ekstrak berbeda. Interpolasi

konsentrasi ekstrak dengan persentase

penghambatan kerja enzim tirosinase

menghasilkan persamaan regresi dan

nilai IC50 yang berbeda pula (Tabel 3).

Berdasarkan nilai IC50, aktivitas ekstrak

berbagai bagian pohon mangium

berbeda. Ekstrak kulit memiliki

aktivitas sebagai inhibitor tirosinase

0

20

40

60

80

100

120

0 50 100 150 200

Pen

angkap

an

DP

PH

(%

)

Konsentrasi ekstrak etanol mangium (ppm)

Page 98: Ilmu dan Teknologi Kayu Tropis - mapeki.orgmapeki.org/web/wp-content/uploads/2017/02/Full-Issue-Vol.13-No.1.pdf · Jurnal Ilmu dan Teknologi Kayu Tropis ... hingga homogen dengan

94 J. Ilmu Teknol. Kayu Tropis Vol. 13 No. 1 Januari 2015

tertinggi, diikuti ekstrak bagian daun,

kayu teras, dan kayu gubal (Tabel 3).

Bila mengacu pada penggolongan

aktivitas menurut Miyazawa et al.

(2006), maka hanya ekstrak kulit

mangium yang tergolong aktif sebagai

inhibitor tirosinase, sedangkan ekstrak

lainnya tergolong tidak aktif karena nilai

IC50 < 1000 ppm.

Kandungan fitokimia

Hasil analisis fitokimia secara kualitatif

menunjukkan bahwa ekstrak metanol

kulit mangium terdeteksi kuat

mengandung beberapa kelompok

senyawa fenolik seperti fenol

hidrokuinon, flavonoid, dan tanin setra

alkaloid (Tabel 4). Golongan senyawa

yang diduga memiliki aktivitas sebagai

antioksidan serta inhibitor tirosinase

adalah flavonoid. Chang (2009)

menyatakan bahwa flavonoid sebagai

salah satu golongan senyawa yang aktif

sebagai penghambat tirosinase. Nangka

(Artocarpus sp.) memiliki potensi

sebagai inhibitor tirosinase karena

mengandung senyawa fenol dari

golongan flavonoid yang lebih besar

dibandingkan senyawa non fenol dari

golongan triterpenoid dan steroid (Al-

Ash’ary et al. 2010).

Flavonoid banyak tersebar pada bagian

bunga, daun, biji, dan kulit kayu suatu

tanaman. Senyawa-senyawa yang

termasuk dalam golongan flavonoid dan

berperan sebagai antioksidan serta

penghambat tirosinase diantaranya

adalah kuersetin (5,7,3',4'-tetrahidroksi-

flavonol), mirisetin (5,7,3', 4',5'-penta-

hidroksi-flavonol), kaemferol (5,7,4

trihidroksi flavonol), galangin (5,7-

dihidroksiflavonol), morin, buddlenoid

A, dan buddlenoid B (Chang 2009).

Ekstrak metanol daun singkong (Manihot

utilissima) juga memiliki aktivitas

sebagai inhibitor tirosinase karena

mengandung senyawa kuersetin

(Fatmawati et al. 2010).

(a)

(b)

0

25

50

75

100

0 500 1000 1500 2000

Pen

gh

amb

atan

(%

)

Kadar ekstrak (ppm)

0

25

50

75

100

0 500 1000 1500 2000

Pen

gh

ambat

an (

%)

Kadar ekstrak (ppm)

Page 99: Ilmu dan Teknologi Kayu Tropis - mapeki.orgmapeki.org/web/wp-content/uploads/2017/02/Full-Issue-Vol.13-No.1.pdf · Jurnal Ilmu dan Teknologi Kayu Tropis ... hingga homogen dengan

95 Aktivitas Antioksidan dan Inhibitor Tirosinase Ekstrak Metanol

Mangium (Acacia mangium)

Rita K Sari, Rahmi Utami, Irmanida Batubara, Anne Carolina

Tabel 3 Persamaan regresi dan aktivitas inhibitor tirosinase (nilai IC50) ekstrak berbagai

bagian pohon mangium pada reaksi monofenolase dan difenolase

Jenis ekstrak

Monofenolase Difenolase

Persamaan regresi IC50

(ppm)

Persamaan regresi IC50

(ppm)

Daun y=13,66ln(x)-28,86 321,52 y=12,13ln(x)-38.93 1536,80

Kulit y=20,29ln(x)-49,00 131,53 y=23,88ln(x)- 82,59 257,84

Kayu teras y= 0,04 x – 3,89 1458,93 y=0,019x+12,72 1962,11

Kayu gubal y=0.020x + 25,1 1245,00 y=0,017x+7.53 2498,24

Asam kojat y=17,22ln(x)+ 0.02 18,22 y=28,54ln(x)- 85,84 116,70

Senyawa kimia dari kelompok flavonoid

yang terdeteksi kuat terkandung dalam

ekstrak kulit mangiumberperan terhadap

aktivitas antioksidan dan inhibitor

tirosinase. Kalsom et al. (2001) telah

mengidentifikasi senyawa flavonol yang

bersifat antioksidan dalam daun

mangium seperti kuersetin-3-glukosida,

kuersetin-3-diglukosida, kaemferol-3,7-

dirhamnosida, dan kaemferol-7,4’-diga-

laktosida.

Tabel 4 Fitokimia ekstrak metanol kulit

mangium

Komponen fitokimia Deteksi

fitokimia

Alkaloid +++

Flavonoid +++

Fenol hidrokuinon +++

Steroid +

Triterpenoid +

Tanin +++

Saponin ++ Keterangan: +: hasil uji positif lemah, ++: hasil

uji positif sedang, +++: hasil uji positif kuat,

++++: hasil uji positif sangat kuat

Alkaloid sangat bermanfaat dalam

bidang kesehatan, salah satunya dapat

berfungsi sebagai antioksidan. Penelitian

Minarti et al. (2002) menunjukkan

bahwa senyawa siamine dari golongan

senyawa alkaloid yang terkandung dalam

pohon johar (Cassia siamea) berfungsi

sebagai antioksidan.

Kesimpulan

Ekstraksi berbagai bagian pohon

mangium dengan metanol yang

menggunakan metode sokletasi selama

12 jam menghasilkan ekstrak dengan

rendemen yang bervariasi. Rendemen

ekstrak tertinggi diperoleh dari ekstraksi

bagian daun, diikuti oleh kulit, kayu

teras, dan kayu gubal dengan nilai

berturut-turut 10,7; 4,4; 2,5; dan 0,9%.

Aktivitas antioksidan tertinggi adalah

ekstrak kulit mangium dan diikuti daun,

kayu teras, dan kayu gubal dengan nilai

EC50 berturut-turut 8,3; 26,7; 66,9; dan

137,9 ppm. Namun, hanya ekstrak kulit

mangium yang tergolong aktif sebagai

inhibitor tirosinase (nilai IC50 257,8 ppm

pada rekasi difenolase). Ekstrak lainnya

tergolong tidak aktif sebagai inhibitor

tirosinase karena nilai IC50 > 1000 ppm.

Estrak metanol kulit mangium sebagai

ekstrak teraktif positif kuat mengandung

senyawa fenolik (fenol hirokinon,

flavonoid, dan tanin) serta alkaloid.

Ekstrak juga terdeteksi sedang

mengandung saponin, tetapi terdeteksi

lemah mengandung triterpenoid dan

steroid.

Ucapan Terima Kasih

Penulis mengucapkan terimakasih

kepada Laboratorium Kimia Hasil Hutan

IPB tempat preparasi ekstrak, Pusat Studi

Biofarmaka IPB tempat menguji

Page 100: Ilmu dan Teknologi Kayu Tropis - mapeki.orgmapeki.org/web/wp-content/uploads/2017/02/Full-Issue-Vol.13-No.1.pdf · Jurnal Ilmu dan Teknologi Kayu Tropis ... hingga homogen dengan

96 J. Ilmu Teknol. Kayu Tropis Vol. 13 No. 1 Januari 2015

aktivitas antioksidan dan inhibitor

tirosinase, serta Laboratorium Kimia

Analitik FMIPA IPB tempat

menganalisis fitokimia kualitatif.

Penulis juga mengucapkan terimakasih

kepada para teknisi, yaitu Supriatin,

Junawan, dan Ibu Nunung yang telah

membantu terlaksananya penelitian ini.

Daftar Pustaka

Al-Ash’ary MN, Supriyanti FMT,

Zackiyah. 2010. Penetuan pelarut

terbaik dalam mengekstraksi senyawa

bioaktif dari kulit batang Artocarpus

heterophyllus. J Sains Tek Kim. 1(2):

150-158.

Ardhi AM. 2011. Radikal bebas dan

peran antioksidan dalam mencegah

penuaan. Medicinus 24(1):3-9.

Ariyani F, Amin I, Fardiaz D, Budiyanto

S. 2008. Aplikasi ekstrak daun sirih

(Piper betle Linn) dalam menghambat

oksidasi lemak jambal patin

(Pangasius hypophthalmus). JPBKP

3(2):157-169.

Arung ET, Shimizu K, Kondo R. 2006.

Inhibitory effect of artocarpanone

from Artcocarpus heterophyllus on

melanin biosynthesis. Biol Pharm

Bull. 29(9):1966-1969.

Batubara I, Darusman LK, Mitsunaga T,

Rahminiwati M, Djauhari E. 2010.

Potency of medicinal plants as

tyrosinase inhibitor and antioxidant

agent. J Biol Sci. 10(2):138-144.

Batubara I, Adfa M. 2013. Potensi daun

kayu bawang (Protium javanicum)

sebagai penghambat kerja enzim

tirosinase. J Sains Mat. 1(2):52-56.

Chang TS. 2009. An updated review of

tyrosinase inhibitor. Int J Mol Sci. 10:

2440-2475.

Darusman LK, Batubara I, Lopolisa C.

2011. Screening marker components

of tyrosinase inhibitor from

Xylocarpus granatum Stem. Valensi

2(3):409-413.

Fatmawati A, Aswad M, Kolobani MN,

Manggau MA, Alam G. 2010.

Efektivitas beberapa bahan alam

sebagai bahan pemutih kulit: studi in

vitro penghambatan aktivitas enzim

tirosinase. J Bahan Alam Indones.

7(4):219-223.

Fengel D, Wegener G. 1995. Kayu :

Kimia, Ultrastruktur, Reaksi-reaksi.

Sastrohamidjoju H, penerjemah,

Prawirohatmodjo S. editor. Yogja-

karta: Gajah Mada University Press.

Terjemahan dari: Wood, Chemistry,

Ultrastructure, Reactions.

Gao H. 2007. Chemical analysis of

extract from port-oford cedar wood

and bark [Tesis]. Louisiana:

Louisiana State University

Harborne JB. 1996. Metode Fitokimia:

Penuntun Cara Modern Menganalisis

Tumbuhan. Padmawinata K. Soedira

I, Penerjemah. Bandung: ITB.

Terjemahan dari: Phytochemical

Methods.

Houghton PJ, Raman A. 1998.

Laboratory Handbook for the

Fractionation of Natural Extracts.

London: Chapman & hall.

Kalsom YU, Khairuddin HI, Zakri MM.

2001. Flavonol glycosides from

leaves of Acacia mangium and related

species. Malaysian J Anal Sci.

7(1):109-112.

Mihara R, Barry KM, Caroline L,

Mohammed, Mitsunaga T. 2005.

Comparison of antifungal and anti-

oxidant activities of Acacia mangium

and A. auriculiformis heartwood

Page 101: Ilmu dan Teknologi Kayu Tropis - mapeki.orgmapeki.org/web/wp-content/uploads/2017/02/Full-Issue-Vol.13-No.1.pdf · Jurnal Ilmu dan Teknologi Kayu Tropis ... hingga homogen dengan

97 Aktivitas Antioksidan dan Inhibitor Tirosinase Ekstrak Metanol

Mangium (Acacia mangium)

Rita K Sari, Rahmi Utami, Irmanida Batubara, Anne Carolina

extracts. J Chem Ecol. 31(4):789-804.

Doi:10.1007/s10886-005-3544-x.

Minarti DP, Kardono LBS, Wahyudi B.

2002. Penapisan kimia senyawa

senyawa alkaloid dalam ekstrak daun

johar (Cassia siamea L.). Jakarta:

Lembaga Ilmu Pengetahuan

Indonesia.

Miyazawa, Mitsuo, Tamura N. 2006.

Inhibitory compound of tyrosinase

activity from the Sprout of

Polygonum hydropiper L. J Biol

Pharm Bull. 30(3):595-597.

Mohammed C et al. 2012. Management

of Fungal Root Rot in Plantation

Acacias in Indonesia. Canbera:

ACIAR’s.

Muhdi, Risnasari I, Putri LAP. 2010.

Kuantifikasi limbah kayu akibat

pemanenan kayu pada hutan tanaman

di Sumatera Utara. J Rekayasa Penel.

3:32-41.

Rahayu E. 2012. Aktivitas gabungan

ekstrak bakau (Rhizophora apiculata),

alamanda (Allamanda schottii), dan

binahong (Anredera cordifolia)

terhadap enzim tirosinase [Skripsi].

Bogor: Institut Pertanian Bogor.

Reyes LF, Miller JC, Zevallos LC. 2004.

Environmental conditions influen-

ce the content and yield of

anthocyanins and total phenolics in

purple and red-flesh potatoes

during tuber development. Amr J

Potato Res. 81(3):187-193.

Sari RK, Syafii WS, Achmadi SS,

Hanafi M. 2011. Aktivitas

antioksidan dan toksisitas ekstrak

etanol surian (Toona sinensis).

JITHH 4(2):45-51.

Stalling AF, Lupo MP. 2009. Practical

Uses of Botanicals in Skin Care. J.

Clin Aesth Derm. 2(1): 36-40.

Syafii W. 2008. Peningkatan efisiensi

pemanfaatan hasil hutan melalui

penerapan “the whole tree

utilization”. Di dalam: Pemikiran

Guru Besar Institut Pertanian Bogor,

Perspektif Ilmu-ilmu Pertanian dalam

Pembangunan Nasional. Bogor:

Penebar Swadaya dan IPB Pr. hlm

187-191.

Zhang L, Chen J, Wang Y, Wu D, Xu

M. 2011. Phenolic extracts from

Acacia mangium bark and their

antioxidant activities. Molecules 15:

3567-3577. Doi:10.3390/molecules

15053567.

Riwayat naskah:

Naskah masuk (received): 28 Oktober 2014

Diterima (accepted): 15 Desember 2014