HALAMAN PENGESAHAN I'ENELITIAN DOSEN MUDA a. b. c. d. a. b. d. e. f. Judul Penclitian Bidang IImu Ketua Peneliti e. Pengalamanpenelitian f. Program Studi/Jurusan g. Fakultas h. Alamat Rumah / HP i. E-mail Jumlah Tim Peneliti Pembimbing g, Fakultas Lokasi Penelitian Kerjapama fiika ada) a. Nama Instansi b. Alamat Jangka waktu penelitian Biaya Penelitian Mengetahui, Nama lengkap dengan gelar NTPNIDN PangkaVGol Jabatan Fun gs ional/Stuktural Nama lengkap dengan gelar NIPAIIDN Pangkat/Gol Jabatan Fungsional Pengalaman penelitian Program Studi/Jurusan Right To Nalurol Resources Sebagai Bentuk Pcrlindungan Hukum Bagi Masyarakat Adat Di Indonesia: Belajar Dari Pemberian Right To Naturol Resources Bagi Suku Navajo Indion di Amerika Serikat Ilmu ltrukunr Made Suksrna PrijandhiniDevi Salain, SH., MH., LLM r 982040320 050 12A021 A00304ri20 r lll/b / Penata Muda Tk.l Asisten Ahli ( It' r I um pir du I t tm (' V\ Ilrrtu I Iukurn Hukum Jl. WR. Supratman No. 179 Denpasar/081353661722 su ksrnadcv i (r) gm a i l. conr 2 (Dua) orang Prof.Dr, Ida [3agus Wyasa Putra, SI{., M.}{um 19620131r98803r003 Pcnrbina'f ingkat I/lVb (luru Bcser (terlumpir dalutn Cl) llmu ['{Lrkurn I Iuku rn I'ror irrsi Illli 6 lenanrl bulan Ifp. 9.000.000,- (Sembilan Juta Rupiah ) l)enpasar, 13 Oktober 201 5 Ketua Peneliti, Made Suksma PrijandhiniDS, SH., MH., LLM NrP. 19820403 200501 2 002 Universitas Udayana Wairocana, SH., ry 'dJ g Ketua Bagian Hukum Internasional lda Bagus EIfuin Ranawijaya, SH., MfJ NIP. 19730220200312 1 001 I 98003 I 004 MI_I
33
Embed
Illli - repositori.unud.ac.id Bagi Masyarakat Adat Di Indonesia: Belajar Dari ... Jenis Penelitian dan Metode Pendekatan.. . . 4.2. Jenis dan Sumber Bahan Hukum. 4.3. Teknik Pengumpulan
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
HALAMAN PENGESAHANI'ENELITIAN DOSEN MUDA
a.
b.
c.d.
a.
b.
d.e.
f.
Judul Penclitian
Bidang IImuKetua Peneliti
e. Pengalamanpenelitianf. Program Studi/Jurusang. Fakultash. Alamat Rumah / HPi. E-mailJumlah Tim PenelitiPembimbing
g, FakultasLokasi PenelitianKerjapama fiika ada)a. Nama Instansib. AlamatJangka waktu penelitianBiaya Penelitian
Mengetahui,
Nama lengkap dengan gelarNTPNIDNPangkaVGolJabatan Fun gs ional/Stuktural
Nama lengkap dengan gelarNIPAIIDNPangkat/GolJabatan FungsionalPengalaman penelitianProgram Studi/Jurusan
Right To Nalurol Resources Sebagai Bentuk PcrlindunganHukum Bagi Masyarakat Adat Di Indonesia: Belajar DariPemberian Right To Naturol Resources Bagi Suku NavajoIndion di Amerika SerikatIlmu ltrukunr
Made Suksrna PrijandhiniDevi Salain, SH., MH., LLMr 982040320 050 12A021 A00304ri20 r
lll/b / Penata Muda Tk.lAsisten Ahli( It' r I um pir du I t tm (' V\
Ilrrtu I IukurnHukumJl. WR. Supratman No. 179 Denpasar/081353661722su ksrnadcv i (r) gm a i l. conr2 (Dua) orang
2.1. Right to Natural Resources bagi Masyarakat Adat dalam Konvensi Internasional.....
2.2.Kerangka Teori.
2.2.1. Teoi Justice as Fairness dalam Menganalisis Tujuan Pemberian Right to Natural Resources
bagi Masyarakat Hukum Adat.
2.2.2. Teori Perlindungan Hukum dalam Menganalisis Urgensi Pemberian Right to Natural Resources
bagi Masyarakat Adat.
BAB III TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN.
3. 1. Tujuan Penelitian.
3 .2. Mar:f,aat Penelitian.
BAB IV METODE PENELITIAN...
4.1. Jenis Penelitian dan Metode Pendekatan.. . .
4.2. Jenis dan Sumber Bahan Hukum.
4.3. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum.
4.4. Metode Analisis Bahan Hukum.
BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN.
5.1. Pengaturan Right to Natural Resources Bagi Masyarakat Hukum Adat di Indonesia.
5.2. Pengaturan Right to Natural Resources Bagi Suku Navojo Indian di Amerika Serikat.
5.2.1. Eksistensi Suku NavaTo Indian di Amerika Serikat. .. . .:... ....
Hal
i
iii
I
I
I
4
5
5
7
7
9
t2
t2
t2
t3
13
l5
t6
t7
18
18
20
20
5.2.2.1. Peraturan Masyarakat AdatNavajo Indian. 22
5.2.2.2. Right to Equitable Benefit Sharing dan Accountabilityfor Breach. 24
5.3. Model Pemberian Right to Natural Resources Bagi Komunitas Masyarakat Adat di Indonesia...... 25
5.3.1. Model Kewenangan dalam Mengeluarkan Peraturan. .. . 25
5.3.2. Model Pembagian Keuntungan yang Adil atas Sumber Daya Alam. 26
BAB VI KESIMPULAN. 29
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN-LAMPIRAN
Bidang Ilmu: Hukum
LAPORAN AKHIR
HIBAH PEN-ELITIAN DOSEN MUDA
RIGHT TO NATURAL RESOURCES SEBAGAI BENTUK PERLINDUNGAN HUKUMBAGI MASYARAKAT ADAT DI INDONESIA: BELAJAR DARI PEMBERIAJI RIGHTTO NATARAL RESOARCE,S BAGI SUKU NAVAJO INDIANDI AMERIKA SERIKAT
TIM PENGUST'L
1. MADE SUKSMA PRIJAITDHIMEYI SALAIN.,SH.,MIT.,LLM (Ketua)
h[IP. 198204032005012002
2.I GUSTI NGURAH PARIIGSIT WIDIATEDJA,SH.,II{.Hum.,LLM.
N[IP. 1 981 03 21200812fiA2
PROGRAM STUDI ILMU HUKTIM
FAKULTAS IIT'KUM
I]NIVERSITAS UDAYANA
OKTOBER 2015
1
JUDUL PENELITIAN
RIGHT TO NATURAL RESOURCES SEBAGAI BENTUK PERLINDUNGAN HUKUM
BAGI MASYARAKAT ADAT DI INDONESIA: BELAJAR DARI PEMBERIAN RIGHT
TO NATURAL RESOURCES BAGI SUKU NAVAJO INDIAN DI AMERIKA SERIKAT
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pada hakekatnya, masyarakat adat mempunyai hak untuk memiliki, mengelola, dan
mengontrol sumber daya alam yang berada di wilayah territorialnya.1 Meskipun pengakuan ini
telah secara eksplisit tertuang dalam beberapa perjanjian internasional, pengakuan tersebut
membutuhkan pengaturan yang lebih jelas dan tegas di sebagian besar negara. Dalam era
globalisasi, timbul suatu paradoks dengan munculnya eksploitasi ekonomi dan ekstraksi agresif
dari sumber daya alam di tanah masyarakat adat dengan mengabaikan prinsip partisipatif dan
pembagian keuntungan yang adil dan merata.2 Salah satu kelemahan mendasar yang
mengakibatkan ketidakadilan ini terjadi adalah kurangnya kemampuan masyarakat adat untuk
mengatur atau mengelola sendiri (self-govern) urusan mereka di dalam wilayahnya.3
Di Indonesia sejak era kolonial hingga kini, proses diskursif mengenai masyarakat adat
menimbulkan pola hubungan yang tidak seimbang dimana satu pihak berada di posisi yang
superior (Negara dan masyarakat modern) sementara kelompok lainnya berada di posisi inferior
(Masyarakat adat), khususnya dalam pemanfaatan sumber daya alam.4 Realitas kesenjangan ini
terjadi tatkala Negara atau pemerintah tidak mengakui hak-hak masyarakat adat atas tanah,
1 S. James Anaya, International Human Rights and Indigenous Peoples, Elective Series, (New York:Aspen
Publisher, 2009), p.1 2 Jide James-Eluyod, Collective Rights to Lands and Resources: Exploring the Comparative Natural Resource
Revenue Allocation Model of Native American Tribes and Indigenous African Tribes, The Arizona Journal of International Law and Comparative Law, Vol. 29 (2012), p.177.
3 Eric Lemont, Developing Effective Process of American Indian Constitutional and Governmental Reform: Lessons
from the Cherokee Nation of Oklahoma, Hualapai Nation,Navajo Nation, and Northern Cheyenne Tribe, The American Indian Law Review, Vol. 26.(2002), p.155.
4Steny, Bernadinus, Politik Pengakuan Masyarakat Adat atas Tanah dan Sumber Daya Alam: Dari Hindia Be
landa hingga Indonesia Merdeka
dalam Sulistyowati Irianto, Hukum yang Bergerak: Tinjauan Antropologi Hukum. (Jakarta: Yayasan Ob
or Indonesia,2009),hlm.34.
2
wilayah, dan sumber daya alam.5 Tidak kalah pentingnya, proses
pendefinisian dan pemaknaan terhadap masyarakat adat yang dilakukan pemerintah melalui
serangkaian aturan hukum justru membatasi ruang gerak mereka. Di sisi lain, pemerintah justru
membuka peluang bagi timbunya sejumlah kekerasan dan perampasan hak-
hak masyarakat adat yang justru mengancam eksistensi masyarakat adat itu sendiri.6
Konflik diantara pemerintah dan pemilik modal dengan masyarakat adat dalam
pemanfaatan sumber daya alam menjadi realitas yang tidak dapat dihindarkan dari pola relasi
yang tidak seimbang bagi masyarakat adat. Bahkan beberapa konflik belum terselesaikan secara
tuntas hingga saat ini. Sebagai contoh, kasus yang melibatkan PT Freeport McMoran Indonesia
dengan Suku Amungme dan Komoro, dimana konsesi pertambangan diberikan di atas wilayah
adat yang justru berakhir pada pelanggaran terhadap hak-hak masyarakat adat. Sejumlah
pelanggaran tersebut terkualifikasi sebagai pelanggaran hak asasi manusia seperti; pelanggaran
hak atas kepemilikan, hak atas makanan dan gizi yang mencukupi, hak terhadap standar hidup
yang layak.7
Tak hanya kasus yang terjadi di Papua diatas, di daerah lain juga terdapat konflik yang
berakar pada ketidakseimbangan pola relasi antara pemerintah, pemilik modal dengan
masyarakat adat. Sebagai contoh, konflik Masyarakat Adat Moronene, Sulawesi Tenggara
dengan Pengelola Taman Nasional Opa Watumohai pada Kawasan Konservasi,8 Konflik
Masyarakat Adat Peminggir, Lampung atas pengelolaan Hutan Lindung,9 dan Konflik
Masyarakat Adat Bunaken, Sulawesi Utara atas pengelolaan Taman Laut Bunaken.10
Di Provinsi
Bali, pertumbuhan industri pariwisata yang tak terkendali telah menimbulkan alih fungsi lahan
5 Rafael Edy Bosko, Hak-Hak Masyarakat Adat Dalam Konteks Pengelolaan Sumber Daya Alam,
(Jakarta:Elsam, 2006), hlm.78-82 6 Sebagai contoh, sejak pihak swasta asing, dalam negeri dan BUMN memperoleh kesempatan dalam
pemanfaatan hutan dalam bentuk HPH, HPHH, HTI, masyarakat di sekitar dan di dalam hutan, khususnya masyarakat hukum adat dirugikan dalam pemanfaatan hutan karena hutan adat dianggap “milik” nasional sehingga terjadilah ekploitasi hutan berlebihan, penebangan ilegal, serta konflik dengan masyarakat hukum adat yang berkepanjangan atas pemilikan dan penasionalan manfaat hutan adat didalam wilayah adat.
7 Rafael Edy Bosko, op.cit., h. 99.
8 Bediona Philipus, dkk. Penduduk Asli dan Pengelolaan Taman Nasional: Kasus Orang Moronene Buton
Sulawesi Selatan, Menuju Pengelolaan Kawasan Lindung yang Lebih Manusiawi, (Jakarta:P3AE-UI &
ELSAM, 1999), hlm.27 9 Kusworo A, Pengusiran Penduduk Dari Kawasan Hutan di Lampung, (Watala:ICRAF-ORSTOM Pustaka Latin,
2000),hlm112. 10
Ruwiastuti R. Maria”Pengakuan Hak Ulayat: Antara Harapan dan Kenyatan, Makalah disampaikan pada Roundtable Discussion yang diselengarakan bersama-sama antara Elsam-PKPM Unika Atma Jaya dan KPA, Jakarta, 13 Juli 1999, hlm.32.
3
pertanian menjadi lahan kawasan industri pariwisata. Kondisi ini tentu menimbulkan kerugian
yang cukup signifikan bagi masyarakat adat yang umumnya memanfaatkan tanah pertanian yang
berada diwilayahnya untuk menopang kehidupan perekonomiannya.11
Sebagai perbandingan, di Amerika Serikat, suku asli Amerika, termasuk Navajo Indian,
memiliki ruang partisipasi yang luas dalam menangani isu-isu tentang eksploitasi, manajemen,
dan distribusi sumber daya alam yang ditemukan di wilayah mereka.12
Mereka diberikan
kewenangan untuk menetapkan beberapa kebijakan dalam mempertahankan kontrol atas sumber
daya alam mereka.13
Selain itu, mereka diberikan keleluasaan dalam menentukan mekanisme
atau prosedur yang bertujuan untuk menjaga dan menjamin standar kualitas lingkungan di
wilayah mereka.14
Di sisi lain, pemerintah federal bertindak sebagai wali dari masyarakat adat
tersebut.15
Oleh karenanya, peran ini mengharuskan pemerintah federal untuk menjamin
pengelolaan yang adil dalam pemanfaatan sumber daya alam yang terletak di wilayah
masyarakat adat. 16
Dengan ketiadaan pemberian hak atas pemanfaatan alam bagi masyarakat adat akan
berpotensi mengancam eksistensi masyarakat adat tersebut. Hal ini dapat terlihat ketika terjadi
sejumlah pelanggaran-pelanggaran yang menghilangkan hak masyarakat adat untuk hidup secara
layak, menentukan nasibnya sendiri, dan menjalankan aktivitas-aktivitas kebudayaan yang
menjadi salah satu ciri pembeda dari masyarakat adat tersebut. Oleh karena itu, pemerintah patut
mempertegas pengaturan pengelolaan sumber daya alam dengan memberikan right to Natural
Resources bagi masyarakat adat. Perumusan pengaturan ini sudah barang tentu mengacu kepada
11
Jan Hendrik Peters dan Wisnu Wardhana, Discovering the Spirit of Bali dalam Michael Gerbert Faure (ed). Sustainable Tourism and Law, (The Hague: Eleven International Publishing, 2014), hlm. 31.
Lihat juga R. Butler dan T.Hinch, Tourism and Indigenous Peoples: Issues and Implications, (Elsevier, Qxford, 2007), hlm. 2.
12 Eluyod,op.cit., p. 181
13 Mark Allen, Native American Control of Tribal Natural Resource Development in the Context of the Federal Trust and Tribal Self-Determination, The British Columbia Environmental Law Review, Vol. 16 (1989), hlm. 857.
14 S. James Anaya & Robert A. Williams, Jr., The Protection of Indigenous Peoples’ Rights over Lands and Natural Resources Under the Inter-American Human Rights System, The Harvard Human Rights Journal, Vol. 14 (2001), hlm. 33.
15 Janice Aitken, The Trust Doctrine in Federal Indian Law: A Look at Its Development and at How Its Analysis Under Social Contract Theory Might Expand Its Scope, The Northern Illinois University Law Review, Vol. 18 (1997), hlm. 115.
16 Kevin Gover, An Indian Trust for the Twenty-First Century, The Natural Resources Journal, Vol. 46 (2006), hlm. 317-340.
International Covenant on Civil and Political Rights, G.A. Res. 2200 (XXI) A, U.N.Doc.A/RES/220(XXI) (Dec. 16, 1966); International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights, G.A. Res. 2200 (XXI) A, U.N.Doc.A/RES/220(XXI) (Dec. 16, 1966)
21 ILO Convention op.cit, pasal. 15(1)
22 Ibid.
6
3. States shall give legal recognition and protection to these lands, territories and
resources. Such recognition shall be conducted with due respect to the customs,
traditions and land tenure systems of the indigenous peoples concerned.23
Selain kedua konvensi internasional diatas, beberapa konvensi dan komitmen
internasional juga memberikan perhatian khusus bagi keberadaan masyarakat adat khususnya
dalam pemberian right to natural resources. Pasal 22 Deklarasi Rio 1992 memberikan perhatian
yang lebih serius terkait pengakuan dan pemberdayaan masyarakat hukum adat dengan
memberikan perlakuan yang lebih adil bagi mereka.24
Selanjutnya Resolution of World
Conservation Strategy, Caring for the Earth pada 1991, menyetujui peran khusus masyarakat
adat dalam menjaga sumber daya alam.25
Sementara itu, Resolution of General assembly of World Conservation Union (IUCN),
secara aklamasi mendukung hak-hak masyarakat adat yang meliputi hak untuk memanfaatkan
sumber aya alam secara bijaksana berdasarkan kebiasaan yang telah berlangsung turun
temurun.26
Selanjutnya dalam IUCN Working Group on Community Involvement in Forest
Management pada tahun 1996, telah merekomendasikan agar regenerasi hutan secara natural
yang terintegrasi dalam sistem pengelolaan hutan oleh masyarakat adat harus diakui sebagai
alternatif cara pemulihan hutan.27
Dalam International Tropical Timber Agreement pada 1994, dinyatakan bahwa aktivitas
pengelolan hutan harus memperhatikan kepentingan masyarakat adat yang hidupnya bergantung
pada pemanfaatan hutan.28
Tidak kalah pentingnya, Convention on Biological Diversity tahun
1992 telah mengakui pentingnya perlindungan terhadap hak hak atas kekayaan intelektual dari
masyarakat adat.29
Perserikatan Bangsa-bangsa juga memberikan perhatiannya. Melalui United
Nations Declaration and Programme of Action to Combat Racism and Racial Discrimination di
1978, dinyatakan bahwa masyarakat adat memiliki hak untuk memelihara struktur ekonomi
23
UNDRIP, op.cit, h. 26. 24
Rio Declaration on Environment and Development 1992, Pasal 21 25
Resolution of World Conservation Strategy, Caring for the Earth 1991. 26
Resolution of 18th General assembly of World Conservation Union, IUCN,Perth, Australia,1990. 27
IUCN Working Group on Community Involvement in Forest Management 1996. 28
International Tropical Timber Agreement 1994. 29
Convention on Biological Diversity 1992
7
tradisional dan budaya mereka, serta hubungan khusus dengan tanah dan sumber daya alam yang
tidak boleh dipisahkan dari mereka.30
Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia (FAO) dalam National Forestry Action Plan
menyatakan bahwa proses perencanaan pemanfaatan hutan harus melibatkan partisipasi
masyarakat adat. Selain itu, masyarakat adat yang tinggal di dalam hutan harus dilihat sebagai
bagian integral dari ekosistem.31
Sebagai pamungkas, hasil deklarasi International Alliance of
Indigenous-Tribal Peoples of the Tropical Forest pada tahun 1996 menyatakan bahwa program
konservasi lingkungan harus dilakukan secara berkelanjutan sebagai sarana dalam
mempertahankan eksitensi masyarakat adat. Selain itu, konservasi lingkungan dapat membantu
meningkatkan pengembangan swadaya dan mendapatkan hubungan yang saling menguntungkan
berdasar atas keterbukaan dan akuntabilitas.32
2.2 Kerangka Teori
2.2.1 Teori Justice as Fairness dalam Menganalisis Tujuan Pemberian Right to Natural
Resources bagi Masyarakat Adat
Teori Justice as Fairness ini akan digunakan sebagai pisau analisis dalam menganalisis
tujuan dari pemberian right to natural resources bagi masyarakat adat di Indonesia. John Rawls
dengan tegas menyatakan suatu konsep keadilan yang baik haruslah bersifat kontraktual,
konsekuensinya setiap konsep keadilan yang tidak berbasis kontraktual harus dikesampingkan
demi kepentingan keadilan itu sendiri.33
Pada konteks ini, Rawls menyebut “Justice as fairness”
yang ditandai dengan adanya prinsip rasionalitas, kebebasan dan kesamaan.34
Berangkat dari pemahaman di atas, diperlukan prinsip-prinsip keadilan yang lebih
mengutamakan asas hak daripada asas manfaat. Lebih lanjut Rawls35
merumuskan dua prinsip
keadilan distributif, sebagai berikut:
30
United Nations Declaration and Programme of Action to Combat Racism and Racial Discrimination 1978. 31
Food and Agriculture Organization (FAO),National Forestry Action Programmes as tools for sustainable forest development, 1999.
32 International Alliance of Indigenous-Tribal Peoples of the Tropical Forest 1996.
33 John Rawls. A Theory Of Justice. (Massachusetts: The Belknap Press of Harvard University Press of Cambride,
1999), hlm .10. 34
Andre Ata Ujan. Keadilan dan Demokrasi (Telaah Filsafat Politik John Rawls). (Yogyakarta: Kanisius, 1999), hlm.71
35 John Rawls. Op.Cit. h. 107
8
1. The Greatest Equal Principle, bahwa setiap orang harus memiliki hak yang sama atas
kebebasan dasar yang paling luas, seluas kebebasan yang sama bagi semua orang. Ini
merupakan hal yang paling mendasar (hak asasi) yang harus dimiliki semua orang. Hanya
dengan adanya jaminan kebebasan yang sama bagi semua orang maka keadilan akan
terwujud (prinsip kesamaan dasar).
2. Ketidaksamaan sosial dan ekonomi harus diatur sedemikian rupa sehingga perlu
diperhatikan asas atau prinsip berikut:
a. The different principle
b. The principle of fair equality of opportunity
Keadilan harus dipahami sebagai fairness, dalam arti bahwa tidak hanya mereka yang
memiliki bakat dan kemampuan yang lebih baik saja yang berhak menikmati pelbagai manfaat
sosial lebih banyak, tetapi keuntungan tersebut juga harus membuka peluang bagi mereka yang
kurang beruntung untuk meningkatkan prospek hidupnya..
Menarik untuk diperhatikan adalah bahwa konsep kesamaan menurut Rawls harus
dipahami sebagai “kesetaraan kedudukan dan hak” bukan dalam arti “kesamaan hasil” yang
dapat diperoleh semua orang. Bagi Rawls, kesamaan hasil bukanlah suatu alasan untuk
membenarkan sebuah prosedur. Keadilan sebagai fairness atau sebagai pure procedure justice
tidak menuntut setiap orang yang terlibat dan menempuh prosedur yang sama juga harus
mendapatkan hasil yang sama. Sebaliknya, hasil prosedur yang fair itu harus diterima sebagai
adil, juga apabila setiap orang tidak mendapat hasil yang sama. Terkait dengan hal demikian,
konsep keadilan yang lahir dari suatu prosedur yang diterima oleh semua pihak juga harus
diterima sebagai konsep yang pantas berlaku untuk umum.36
Keadilan ini akan selalu bergandengan dengan kepatutan. Di mana kepatutan ini sangat
diperlukan untuk melengkapi berlakunya keadilan. Menurut Aristoteles37
“epieikeia” (equity;
billijkheid; kepatutan) merupakan penjaga dari pelaksanaan undang-undang, karena equity
terletak diluar undang-undang (hukum) yang menuntut keadilan dalam keadaan dan situasi
tertentu. Equity merupakan gagasan fairness dalam pelaksanaan hukum, dengan demikian
memberi peluang untuk penilaian yang melengkapi sifat umum dari undang-undang. G.W. Paton
menegaskan bahwa equity dalam pelaksanaannya tidak berlawanan dengan hukum, bahkan
36
Andre Ata Ujan. Op.Cit. hlm. 45 37
Ibid. hlm. 9
9
pengaruhnya semakin kuat dalam penyelesaian sengketa ketika aspek hukum tidak
mengaturnya.38
Equity tidak bermaksud untuk mengubah atau mengurangi keadilan, melainkan sebatas
memberikan koreksi dan atau melengkapi dalam keadaan individu tertentu, kondisi serta kasus
tertentu. Eksistensi equity sebagai pelengkap keadilan, dalam praktik telah banyak
dikembangkan, terutama melalui keputusan-keputusan pengadilan. Hal ini disebabkan equity
sangat mempertimbangkan aspek-aspek penting yang melingkupi suatu kasus, yaitu: Itikad baik,
maksud para mitra, dan situasi atau keadaan-keadaan. 39
Pada konteks pemberian right to natural resources bagi masyarakat adat, hak untuk
mengelola sumber daya alam sesungguhnya merefleksikan adanya kesempatan yang sama untuk
menikmati haknya itu dan menghindari ketidakadilan. Keadilan menuntut agar ketidakadilan
ditiadakan, agar setiap orang diperlakukan menurut hak-haknya, dan agar tidak ada perbedaan
yang sewenang-wenang dalam memperlakukan anggota-anggota masyarakat.40
Menurut Rawls,
keadilan harus mampu memberikan kesempatan yang fair serta hak yang sama bagi semua
anggota masyarakat untuk berpartisipasi dalam setiap proses pengambilan keputusan politik dan
ekonomi.41
Teori Rawls ini sesungguhnya sejalan dengan sila kelima Pancasila yang menyatakan
“Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia”. Spirit inilah yang harus menjiwai pengakuan
dan pemenuhan hak masyarakat adat dalam pengelolaan sumber daya alam, termasuk untuk
melindungi dari hal-hal yang mengancam kebebasan untuk melaksanakan hak tersebut.
2.2.2 Teori Perlindungan Hukum Dalam Menganalisis Urgensi Pemberian Right to Natural
Resources bagi Masyarakat Adat.
Perlindungan hukum menurut Hadjon meliputi dua macam perlindungan hukum bagi
rakyat meliputi:42
1. Perlindungan Hukum Preventif : dimana kepada rakyat diberi kesempatan untuk
mengajukan keberatan atau pendapatnya sebelum suatu keputusan pemerintah
mendapat bentuk yang definitif
2. Perlindungan Hukum Represif; dimana lebih ditujukan dalam penyelesian sengketa.
38
George White Paton. A Text Book Of Jurisprudence. (Oxford:Oxford University Press, 1969), hlm. 57 39
O.Notoamidjojo. Op.Cit. h. 27 40
Munir Fuady, Dinamika Teori Hukum, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2010), hlm. 90. 41
John Rawls, A Theory of Justice, op.cit., hlm. 228 42
M. Philippus Hadjon, Perlindungan Hukum bagi Rakyat Indonesia, (Surabaya:Bina Ilmu, Surabaya, 1988) hlm.1
10
Perlindungan hukum bagi rakyat Indonesia adalah prinsip pengakuan dan perlindungan
terhadap harkat dan martabat manusia yang bersumber pada Pancasila dan prinsip Negara
Hukum yang berdasarkan Pancasila. Adapun elemen dan ciri-ciri Negara Hukum Pancasila
ialah:43
1. Keserasian hubungan antara pemerintah dengan rakyat berdasarkan asas kerukunan.
2. Hubungan fungsional yang proporsional antara kekuasaan-kekuasaan negara
3. Prinsip penyelesian sengketa secara musyawarah dan peradilan merupakan sarana
terakhir.
4. Keseimbangan antara hak dan kewajiban.
Berdasarkan elemen-elemen tersebut, perlindungan hukum bagi rakyat terhadap
pemerintah diarahkan kepada:44
1. Usaha-usaha untuk mencegah terjadinya sengketa atau sedapat mungkin mengurangi
terjadinya sengketa, dalam hubungan ini sarana perlindungan hukum preventif patut
diutamakan daripada sarana perlindungan represif.
2. Usaha-usaha untuk menyelesaikan sengketa antara pemerintah dan rakyat dengan
cara musyawarah.
3. Penyelesaian sengketa melalui peradilan merupakan jalan terakhir, peradilan
hendaklah merupakan ultimum remedium dan peradilan bukan forum konfrontasi
sehingga peradilan harus mencerminkan suasana damai dan tentram terutama melalui
hubungan acaranya.
Terkait dengan adanya pemberian right to natural resources bagi masyarakat adat, secara
preventif, Negara memiliki kewajiban untuk mengantisipasi dan mencegah tindakan-tindakan
yang akan merugikan hak masyarakat adat dalam pengelolaan sumber daya alam. Sebagai
contoh, pengusiran paksa masyarakat adat dari wilayah yang telah ditempati secara turun
temurun hanya karena wilayah tersebut akan diberikan ijin HPH. Disamping itu, setiap tahapan
pengelolaan sumber daya alam, mulai dari perencanaan, pelaksanaan, pengawasan dan evaluasi,
harus mengikutsertakan pendapat atau aspirasi dari masyarakat adat. Sementara itu secara
represif, pemerintah wajib menyediakan pola penyelesaian sengketa yang independen dan tidak
43
Ibid, hlm.90 44
Ibid
11
memihak apabila hak-hak masyarakat adat dalam pengelolaan sumber daya alam telah dilanggar
oleh suatu pihak tertentu.
12
BAB III
TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN
3.1 Tujuan
Pada langkah pertama, penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi dan menganalisis
sejumlah peraturan nasional dan daerah yang mengatur tentang pemanfaatan sumber daya alam
dan kontribusinya bagi masyarakat adat sekitar. Kedua, penelitian ini bertujuan menjelaskan
praktek pemerintah federal Amerika Serikat dalam pemberian right to natural resources untuk
Suku Navajo Indian sebagai bentuk perlindungan hukum bagi masyarakat adat. Ketiga,
penelitian ini bertujuan merumuskan pola pemberian right to natural resources bagi masyarakat
adat di Indonesia setelah terlebih dahulu mempelajari pola pemberian right to natural resources
bagi masyarakat adat yang dilakukan oleh Pemerintah Federal Amerika Serikat.
3.2 Manfaat
Terdapat beberapa manfaat yang dapat diberikan dalam penelitian ini. Bagi masyarakat
adat, penelitian ini akan memberikan pengetahuan dan informasi yang berharga terkait
pengaturan Right to Natural Resources bagi masyarakat adat di Indonesia. Selain itu, mereka pun
akan dapat membandingkan bagaimanakah Right to Natural Resources diberikan oleh
Pemerintah Federal Amerika Serikat kepada suku Navajo Indian. Bagi pemerintah, penelitian ini
akan bermanfaat dalam membantu pemerintah dalam merumuskan model model pemberian
Right to Natural Resources yang tepat kepada komunitas masyarakat adat di Indonesia, dengan
merujuk pada Right to Natural Resources bagi Suku Navajo Indian di Amerika Serikat.
13
BAB IV
METODE PENELITIAN
4.1. Jenis Penelitian dan Metode Pendekatan
Secara umum penelitian yang diambil disini adalah penelitian hukum normatif
(normative legal research), yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara mengkaji peraturan-
perundang-undangan yang berlaku atau diterapkan terhadap suatu permasalahan hukum tertentu.
Soerjono Soekanto mengidentikkan penelitian hukum normatif tersebut sebagai penelitian
hukum kepustakaan, yang mencakup penelitian terhadap asas- asas hukum, sistematik hukum,
penelitian terhadap taraf sinkronisasi vertikal dan horizontal, perbandingan hukum, serta sejarah
hukum.45 Sementara itu, Peter Mahmud Marzuki merumuskan penelitian hukum sebagai suatu
proses untuk menemukan aturan hukum, prinsip-prinsip hukum, maupun doktrin-doktrin hukum
guna menjawab isu hukum yang dihadapi.46
Penelitian ini akan mengidentifikasi dan menganalisis tata hukum positif untuk
memahami ius constitutum yang dalam konteks ini adalah konstruksi pengaturan right to natural
resources bagi masyarakat adat dalam pengelolaan sumber daya alam secara internasional
maupun nasional. Tidak hanya itu, penelitian ini juga merupakan penelitian dalam asas-asas
hukum untuk menemukan ius constituendum yang dalam penelitian ini akan merekomendasikan
adanya suatu pengaturan yang tegas terkait pengakuan right to natural resources bagi
masyarakat adat dalam pengelolaan sumber daya alam setelah mempelajari beberapa konvensi
internasional dan studi komparatif dengan praktek pemberian right to natural resources oleh
Pemerintah Federal Amerika Serikat kepada suku Navajo Indian.
Terkait dengan metode pendekatan, Peter Mahmud Marzuki menguraikan pendekatan-
pendekatan yang digunakan di dalam penelitian hukum meliputi:47
a. Pendekatan undang-undang (statute approach) dilakukan dengan menelaah semua
undang-undang dan regulasi yang bersangkut paut dengan isu hukum yang sedang
ditangani.
45
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, Suatu Tinjauan Singkat, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2007), hlm.12.
46 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Cet.2, (Jakarta : Kencana, 2008). hlm. 29
47 Ibid, hlm.93.
14
b. Pendekatan kasus dilakukan dengan cara melakukan telaah terhadap kasus-kasus yang
berkaitan dengan isu yang dihadapi yang telah menjadi putusan pengadilan yang telah
mempunyai kekuatan yang tetap.
c. Pendekatan historis dilakukan dengan menelaah latar belakang apa yang dipelajari dan
perkembangan pengaturan mengenai isu yang dihadapi.
d. Pendekatan komparatif pendekatan ini dilakukan dengan membandingkan undang-
undang suatu negara dengan undang-undang dari satu atau lebih negara lain mengenai
hal yang sama.
e. Pendekatan konseptual beranjak dari pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin yang
berkembang di dalam ilmu hukum.
Penelitian ini akan menggunakan beberapa metode pendekatan. Pertama pendekatan
undang-undang dimana penelitian ini akan mengidentifikasi dan menganalisis pengaturan right
to natural resources bagi masyarakat adat dalam pengelolaan sumber daya alam. Proses ini
melibatkan pengaturan yang berdimensi internasional yang tertuang dalam beberapa konvensi
internasional dan pengaturan yang berdimensi nasional yang tertuang dalam undang-undang di
Indonesia dan Amerika Serikat.
Selanjutnya, penelitian ini juga menggunakan pendekatan kasus mengingat penelitian ini
akan menggunakan beberapa yurisprudensi dari Mahkamah Agung Amerika Serikat yang telah
memiliki kekuatan hukum mengikat, khususnya dalam memaparkan posisi, kewenangan, dan
hubungan hirarki dari suku Navajo Indian di Amerika Serikat.
Kemudian, penelitian ini menggunakan pendekatan komparatif karena dalam
memformulasikan pengaturan right to natural resurces bagi masyarakat adat di Indonesia,
mengacu kepada pengaturan right to natural resources bagi suku Navajo Indian di Amerika
Serikat. Amerika Serikat dipilih sebagai obyek perbandingan mengingat praktek pemberian right
to natural resources telah dijalankan sejak akhir tahun 1800-an dan suku Navajo Indian
merupakan salah satu komunitas adat terbesar di dunia yang masih eksis hingga saat ini. Selain
itu, pemberian right to natural resources telah dikuatkan oleh keputusan pengadilan (mahkamah
agung) sehingga memiliki kekuatan hukum yang mengikat sejalan dengan prinsip binding force
of precedent dalam konstruksi adversarial legalism di Amerika Serikat.
Pada akhirnya, penelitian ini juga menggunakan pendekatan konseptual karena
menganalisis konsep-konsep dan doktrin-doktrin tentang keadilan sebagai dasar tujuan
15
pemberian right to natural resources bagi masyarakat adat dan diskursus perlindungan hukum
baik secara preventif dan represif dalam menjelaskan urgensi pemberian right to natural
resources bagi masyarakat adat.
4.2. Jenis dan Sumber Bahan Hukum
Data yang diperoleh dan diolah dalam penelitian hukum normatif adalah jenis data
sekunder yang dalam penelitian ini dijadikan bahan utama.48
Data ini diperoleh dari sumber
kepustakaan. Macam data hukum dalam penelitian ini antara lain:
a. Bahan Hukum Primer: yaitu bahan hukum yang mengikat dan terdiri dari norma
atau kaedah dasar, peraturan dasar, peraturan-peraturan perundang-undangan yang
mengatur tentang right to natural resources bagi masyarakat adat dalam pengelolaan
sumber daya alam, baik yang berdimensi internasional dan nasional meliputi:
1. International Labour Organisation, Indigenous and Tribal Peoples Convention,
1989.
2. Declaration on the Rights of Indigenous Peoples 2007.
3. International Covenant on Civil and Political Rights, 1966.
4. International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights,1966.
5. Rio Declaration on Environment and Development 1992.
6. Resolution of World Conservation Strategy, Caring for the Earth 1991.
7. Resolution of 18th General assembly of World Conservation Union, 1990.
8. International Tropical Timber Agreement 1994.
9. Convention on Biological Diversity 1992
10. Navajo Nation Air Pollution Prevention and Control Act
11. Navajo Nation Water Code
12. Navajo Nation Solid Waste Act
13. Undang-undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok
Agraria.
14. Undang-undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
15. Undang-undang No.41 Tahun 1999 tentang Kehutanan
16. Undnag-undang No.32 Tahun 2004 tentang Otonomi Daerah
17. Undang-undang No.7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air
48
Soejono dan H. Abdurahman, op.cit., h.57
16
18. Undang-undang No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara
19. Undang-undang No. 6 Tahun 2014 tentang Desa
b. Bahan hukum sekunder: yaitu bahan-bahan hukum yang memberikan
penjelasan mengenai bahan hukum primer yang ada sehingga dapat dilakukan analisis
dan pemahaman yang lebih mendalam, yang terdiri atas: 49
1. Penjelasan dari konvensi internasional dan peraturan perundang-undangan yang
digunakan sebagai bahan hukum primer;
2. Buku-buku literatur atau bacaan yang menjelaskan right to natural resources bagi
masyarakat adat dalam pengelolaan sumber daya alam;
3. Hasil-hasil penelitian khususnya tentang konflik-konflik pemerintah, pemilik
modal dan masyarakat adat yang sebelumnya pernah terjadi;
4. Pendapat ahli yang berkompeten dengan penelitian penulis;
5. Artikel atau tulisan dari para ahli;
6. Sarana elektronika (westlaw, bloomberg law dan lexisnexis) yang sangat
membantu proses pencarian bahan hukum primer dan sekunder.
c. Bahan hukum tersier: bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan
tambahan terhadap bahan hukum primer dan sekunder yang terdapat dalam penelitian
yaitu: 50
1. Kamus Bahasa Indonesia
2. Kamus Hukum
3. Kamus Ilmiah Populer
4.3. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum
Teknik pengumpulan bahan hukum yang dilakukan adalah dengan cara menggali
kerangka normatif menggunakan buku-buku yang membahas tentang right to natural resources
bagi masyarakat adat dalam pengelolaan sumber daya alam di Indonesia.
a. Bahan Hukum Primer didapat dengan cara:
Mempelajari ketentuan-ketentuan hukum terkait pengaturan pemberian right to natural
resources bagi masyarakat adat berdasarkan pada sejumlah konvensi internasional
49
S. Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, Suatu Tinjauan Singkat, (Jakarta :Raja Grafindo Persada,2003) hlm.23
50 Ibid, hlm.56
17
dan praktek Pemerintah Federal Amerika Serikat yang telah memberikan right to
natural resources bagi suku Navajo Indian.
b. Bahan Hukum Sekunder didapat dengan cara:
1. Mengutip penjelasan dari peraturan perundang-undangan yang berkaitan
2. Menelusuri pendapat para ahli hukum dan para ahli yang berkompeten dalam
penelitian penulis yang ada di buku-buku pustaka.
3. Melakukan akses di internet atau tulisan artikel yang berkaitan.
4.4. Metode Analisis Bahan Hukum
Berbagai informasi dan bahan yang diperoleh kemudian akan dianalisis dengan
menggunakan metode analisis isi (content analysis).51
Metode ini menguraikan materi peristiwa
hukum atau produk hukum secara rinci guna memudahkan interpretasi dalam pembahasan.
Terdapat dua content analysis method, yaitu:52
1. Tinjauan Yuridis, yaitu suatu bentuk analisis dari berbagai aspek dan mengungkapkan
segi positif dan negatif suatu produk hukum dengan menitiberatkan pada penggunaan
data sekunder yakni produk hukum.
2. Analisis Yuridis, yaitu suatu bentuk analisis dari berbagai aspek dan mengungkapkan
segi positif dan negatif suatu produk hukum dengan menitiberatkan pada penggunaan
data primer yang bersumber dari para intelektual dan lapisan masyarakat bawah serta
data sekunder.
Penelitian ini lebih menitikberatkan pada tinjauan yuridis dengan mengungkapkan sisi
negatif dalam suatu peraturan seperti potensi kekaburan norma dan konflik norma dalam
pemberian right to natural resources bagi masyarakat adat di Indonesia. Selanjutnya untuk
mempertajam analisis, penelitian ini juga menggunakan teori-teori tentang keadilan dalam
melihat tujuan pemberian right to natural resources bagi masyarakat adat dan teori-teori
perlindungan hukum dalam menjelaskan urgensi pengaturan right to natural resources bagi
masyarakat adat di Indonesia.
51
Valerina JL Kriekhoff, Analisis Kontent Dalam Penelitian Hukum : Suatu Telaah Awal, Era Hukum No.6 Tahun
2002.hlm. 27 52
Abdulkadir Muhammad, Hukum dan Penelitian Hukum, Cet.1 (Bandung : PT. Citra Aditya Bakti, 2004), hlm. 52
18
BAB V
HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1. Pengaturan Right to Natural Resources bagi Masyarakat Adat di Indonesia
Dalam Undang-undang nasional, eksistensi masyarakat adat telah mendapatkan
pengaturan tersendiri sebagai refleksi pemberlakukan pluralism hukum di Indonesia. Dalam
Undang-Undang Dasar 1945, pengakuan dan penghormatan terhadap masyarakat adat tercantum
dalam pasal 18B ayat (2), yaitu; “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan
masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan
perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam
undang-undang.” Tidak hanya itu, pasal 28 I ayat (3) menyebutkan “Identitas budaya dan hak
masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban.”
Dalam level undang-undang, Pasal 5 Undang-undang No.5 Tahun 1960 menyatakan
bahwa “Hukum agraria yang berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa ialah hukum adat,
sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan negara yang didasarkan atas
persatuan bangsa.”53
Disamping itu, Pasal 6 Undang-undang No. 39 tahun 1999 menyatakan
bahwa terkait penegakkan hak asasi manusia, perbedaan dan kebutuhan dalam masyarakat
hukum adat harus diperhatikan dan dilindungi oleh hukum, masyarakat, dan pemerintah.
Selanjutnya, indentitas budaya masyarakat hukum adat, termasuk hak atas tanah ulayat
dilindungi, selaras dengan perkembangan jaman. 54
Dalam penjelasan pasal 6 diatas, disebutkan bahwa “hak adat” yang secara nyata masih
berlaku dan dijunjung tinggi di dalam lingkungan masyarakat hukum adat harus dihormati dan
dilindungi dalam rangka perlindungan dan penegakn Hak Asasi Manusia dalam masyarakat yang
bersangkutan dengan memperhatikan hukum dan perundangan-undangan. Selanjutnya, bahwa
dalam rangka penegakan hak asasi manusia, identitas budaya nasional masyarakat hukum adat,
hak-hak adat yang masih secara nyata dipegang teguh oleh masyarakat hukum adat setempat
tetap dihormati dan dilindungi sepanjang tidak bertentangan dengan asas-asas hukum negara
yang berintikan keadilan dan kesejahteraan rakyat.55
53
Undang-undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, Pasal 5 54
Undang-undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, Pasal 6. 55
Ibid, penjelasan Pasal 6
19
Undang-Undang No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan bahkan mengakui adanya wilayah
masyarakat hukum adat, seperti dinyatakan dalam pasal 1 angka 6: “Hutan adat adalah hutan
negara yang berada dalam wilayah masyarakat hukum adat”. Kendatipun demikian, pasal ini
masih belum menunjukkan pengakuan hak masyarakat adat atas sumber daya alam dalam
wilayahnya, karena hutan adat dapat dikategorikan sebagai hutan negara, seperti tercantum
dalam pasal 5 ayat (2), bahwa: “Hutan negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a,
dapat berupa hutan adat”; dan bahwa “Hutan negara adalah hutan yang berada pada tanah yang
tidak dibebani hak atas tanah (pasal 1 angka 4).56
Selanjutnya Undang-undang otonomi daerah No. 32 Tahun 2004 memberikan pengakuan
hak-hak masyarakat hukum adat untuk mengelola sistem politik dan pemerintahannya sesuai
dengan ketentuan-ketentuan hukum adat setempat. Sebagai contoh, Pasal 203 ayat (3),
menyebutkan: “Pemilihan Kepala Desa dalam kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak
tradisionalnya sepanjang masih hidup dan yang diakui keberadaannya berlaku ketentuan hukum
adat setempat yang ditetapkan dalam perda dengan berpedoman pada Peraturan Pemerintah.”57
Dalam Undang-undang No.7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air, Pasal 6
menyebutkan bahwa penguasaan sumber daya air diselenggarakan oleh Pemerintah dengan tetap
mengakui hak ulayat masyarakat hukum adat setempat dan hak yang serupa dengan itu,
sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan peraturan perundang-undangan.
Tidak hanya itu, hak ulayat masyarakat hukum adat atas sumber daya air tetap diakui sepanjang
kenyataannya masih ada dan telah dikukuhkan dengan peraturan daerah setempat.58
Dalam Undang-undang No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara,
pasal 3 menyebutkan dalam rangka mendukung pembangunan nasional yang berkesinambungan,
tujuan pengeiolaan mineral dan batubara adalah: meningkatkan pendapatan masyarakat lokal,
daerah, dan negara, serta menciptakan lapangan kerja uiituk sebesar-besar kesejahteraan rakyat.59
Undang-undang ini memberikan peluang bagi masyarakat untuk mendapatkan ijin pertambangan
rakyat dimana disebutkan Bupati/walikota dapat memberikan Ijin Pertambangan Rakyat (IPR)
56
Undang-undang No.41 Tahun 1999 tentang Kehutanan 57
Undang-undang No.32 Tahun 2004 tentang Otonomi Daerah 58
Undang-undang No.7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air, Pasal 6. 59
Undang-undang No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, pasal 3.
20
terutama melalui penduduk setempat, baik perseorangan maupun kelompok masyarakat dan/atau
koperasi.60
Dalam Pasal 67 Undang-undang No. 6 Tahun 2014 tentang Desa disebutkan bahwa desa
berhak:mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat berdasarkan hak asal usul, adat istiadat,
dan nilai sosial budaya masyarakat Desa.61
Dalam Pasal 103, disebutkan bahwa kewenangan
desa adat meliputi: a. pengaturan dan pelaksanaan pemerintahan berdasarkan susunan asli; b.
pengaturan dan pengurusan ulayat atau wilayah adat; c. pelestarian nilai sosial budaya Desa
Adat; dan d. penyelesaian sengketa adat berdasarkan hukum adat yang berlaku di Desa Adat
dalam wilayah yang selaras dengan prinsip hak asasi manusia dengan mengutamakan
penyelesaian secara musyawarah.62
Pada hakekatnya, konstruksi undang-undang nasional telah mengakui eksistensi
masyarakat adat sebagai kesatuan mandiri yang memiliki ciri, karakteristik, dan sistem
pengelolaan yang otonom. Kendatipun demikian, undang-undang nasional belum mencantumkan
secara eksplisit dan tegas right to natural resources bagi masyarakat adat dalam pengelolaan
sumber daya alam yang berada di wilayah masyarakat adat. Bahkan terdapat aturan hukum yang
menempatkan wilayah territorial masyarakat adat sebagai aset negara. Sebagai contoh, Pasal 5
Undang-undang 41 Tahun 1999 yang menempatkan hutan adat sebagai hutan negara.63
5.2 Pengaturan Right to Natural Resources Bagi Suku Navajo Indian di Amerika Serikat
5.2.1 Eksistensi Suku Navajo Indian di Amerika Serikat
Dalam skema konstitusi di Amerika Serikat, masyarakat adat memiliki kedaulatan yang
mandiri selain kedaulatan yang dimiliki pemerintah negara bagian dan federal.64
Saat ini,
setidaknya terdapat 500 masyarakat adat yang secara bertahap melaksanakan kekuasaan mereka
di bidang eksekutif, legislatif, dan yudikatif..65
Lebih penting lagi, masyarakat adat tidak
diwajibkan untuk mematuhi Konstitusi Amerika Serikat dalam membangun model pemerintahan
60
Ibid, pasal 67. 61
Undang-undang No. 6 Tahun 2014 tentang Desa, pasal 67. 62
Ibid, pasal 109. 63
Undang-undang No.41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, pasal 5. 64
Gloria Valencia Weber, Tribal Courts: Custom and Innovative Law, The New Mexico Law Review Vol. 24 (1994), hlm.225 N.M. L. Rev. 225
65 Ibid, hlm. 227
21
dan menentukan hukum yang berlaku bagi mereka karena mereka merupakan pihak extra-
constitutional.66
Sebagai contoh, sesuai dengan Perjanjian pada tahun 1866 antara Pemerintah Federal
Amerika Serikat dan Cherokee Nation, Mahkamah Agung Amerika Serikat dalam kasus
Cherokee Nation v. Journeycake, menyatakan bahwa tanah dan wilayah yang tunduk pada
perjanjian adalah milik bersama semua masyarakat adat Cherokee dan mereka memegang hak
penuh atas segala properti yang berada di wilayah mereka.67
Dengan demikian, kedudukan
mereka terpisah dari pemerintah federal dan pemerintah negara bagian. Skema ini menunjukkan
bahwa pemerintah adat merupakan pemerintahan tersendiri dan menciptakan hubungan antara
pemerintahan adat dan pemerintah federal sebagai hubungan government to government."68
Dalam menjalankan kekuasaannya, sebagian besar masyarakat adat di Amerika Serikat telah
memiliki konstitusi formal dan peraturan-peraturan lain yang memberikan kewenangan untuk
melaksanakan yurisdiksi atas berbagai kegiatan di dalam wilayah mereka, termasuk tindak
pidana, hubungan hukum privat, dan perpajakan.69
Salah satu masyarakat adat paling berpengaruh di Amerika Serikat adalah Navajo.
Mereka merupakan masyarakat adat terbesar dari semua suku asli di Amerika Serikat.70
Mereka
tersebar di 27.000 mil persegi, meliputi wilayah tenggara Utah, wilayah timur laut Arizona, dan
wilayah barat laut New Mexico.71
Dalam sejarahnya, Navajo didirikan sebagai wilayah berdaulat
melalui Perjanjian antara masyarakat Navajo dan Pemerintah Federal Amerika Serikat di tahun
1868.72
Pada dasarnya, masyarakat Navajo telah lama memiliki struktur pemerintahan tersendiri,
namun penemuan minyak dan sumber daya alam lainnya di wilayah Navajo di awal abad ke-20
mengharuskan mereka untuk membentuk pemerintahan Navajo yang lebih terstruktur dan
berkelanjutan.73
Pada tahun 1923, struktur pemerintahan formal masyarakat Navajo telah diakui
oleh Amerika Serikat. Pengakuan ini dilakukan untuk memberikan ha katas pengelolaan atas
66
Yurisprudensi dalam Kasus di Mahkamah Agung Amerika Serikat pada kasus Santa Clara Pueblo v. Martinez, (1978), hlm. 62-63
67 Lihat Yurisprudensi dalam Kasus di Mahkamah Agung Amerika Serikat pada kasus Cherokee Nation v.
Journeycake, (1894), hlm 196. 68
Ibid 69
Eluyod, op.cit, p 164. 70
Navajo People, The Dine,http://navajopeople.org/ diakses pada 2 Januari 2015. 71
Ibid. 72
Raymond Darrel Austin, Navajo Courts and Navajo Common Law: a Tradition of Tribal Self-Governance (Minesota: University of Minesota Press, 2009), hlm.6
sumber daya alam mengingat di wilayah Navajo terdapat perusahan-perusahaan minyak dan
pertambangan.74
Selain itu, batu bara yang terdapat di wilayah Navajo telah menghasilkan
pendapatan yang besar bagi masyarakat Navajo.75
5.2.2 Pengaturan Right to Natural Resources bagi Suku Navajo Indian di Amerika Serikat
Bagian ini akan menjelaskan bagaimana masyarakat adat Navajo memiliki kewenangan
untuk mengatur urusannya sendiri di dalam wilayahnya, khususnya terkait dengan hak atas
sumberdaya alam. Terdapat dua parameter bagaimana mereka dapat menggunakan hak sumber
daya alamnya. Pertama, bagaimana kewenangan mereka dalam mengeluarkan peraturan dalam
mengontrol sumber daya alam mereka; kedua, bagaimana mereka memiliki hak untuk
mendapatkan pembagian keuntungan yang adil atas sumber daya alam dan akuntabilitas untuk
setiap pelanggaran yang terjadi di wilayah mereka
5.2.2.1 Peraturan Masyarakat Adat Navajo Indian
Dalam pengeluaran peraturan, masyarakat adat Navajo telah mengeluarkan beberapa
peraturan diantaranya the Air Pollution Prevention and Control Act, the Clean Water Act, dan
the Solid Waste Act.76
a. Navajo Nation Air Pollution Prevention and Control Act77
Mengingat potensi polusi udara yang ditimbulkan dalam kegiatan pemanfaatan sumber
daya alam, masyarakat adat Navajo telah mengeluarkan The Navajo Nation’s Air Pollution
Prevention and Control Act ("NN APPCA"). Tujuan dari tindakan ini adalah untuk mengontrol
tingkat polusi udara di wilayah adat Navajo. Hal ini dilakukan untuk menjamin kesehatan,
keselamatan dan kesejahteraan umum dari semua masyarakat Navajo, dan segala asset yang
menyertainya termasuk kehidupan tumbuhan dan hewan di wilayah Navajo.78
Selain itu, NN APPCA mengharuskan pemerintah Navajo untuk membuat laporan
berkala dari kualitas udara sehingga akan dapat mengetahui wilayah yang memiliki tingkat
74
Navajo Tourism Departement, The History of Cowboys and Indians, DISCOVER NAVAJO, http:// discovernavajo.com/Cowboys%20&%20Indians-1.pdf. diakses pada 31 Desember 2014.
75 Ibid.
76S. Solomon et al. eds. Intergovernmental Panel on Climate Change, Summary for Policymakers, in Climate Change 2007 available at http://www.ipcc.ch/pdf/assessment-report/ar4/wg1/ar4-wg1-spm.pdf diakses pada 29 Desember 2014.
77Navajo Nation Air Pollution Prevention and Control Act, Navajo Nation Code Ann. tit. 4, Pasal 1101-1162 (2010); St. Regis Mohawk Tribe, Tribal Implementation Plan (2004), available at http://www.srmtenv.org/pdf_files/airtip.pdf
78 Navajo Nation Air Pollution Prevention and Control Act
polusi udara tertinggi di wilayah Navajo. Setiap proyek-proyek baik pemerintah atau swasta
yang dapat memiliki dampak besar pada kualitas udara79
harus melengkapi persyaratan tingkat
polusi udara yang diperkenankan oleh NN APPCA.80
Mekanisme penegakan hokum juga terdapat dalam NN APPCA. Hal ini terjadi ketika
Direktur Eksekutif Navajo Nation of the Environmental Protection Agency Navajo Nation
("Direktur") menyimpulkan bahwa NN APPCA telah dilanggar, Direktur dapat mengeluarkan
beragam tindakan meliputi: 1) mengeluarkan perintah untuk mematuhi NN APPCA;81
2)
mengeluarkan sanksi administratif;82
3) mengajukan gugatan perdata,83
dan 4) pengajuan tindak
pidana.84
b. Navajo Nation Clean Water Act85
Mengingat hubungan yang erat antara pembangunan sumber daya alam, terutama untuk
keperluan energi, dan penggunaan air, masyarakat Navajo telah mengeluarkan Clean Water Act
("NN CWA").86
Peraturan ini menyatakan bahwa pelepasan bahan-bahan polutan ke perairan
Navajo oleh perusahaan industri, dan ketidaktepatan manajemen pengelolaan limbah,
berpotensi membahayakan kesehatan, kesejahteraan, dan lingkungan masyarakat Navajo.87
Hal yang menarik, di dalam Pasal 1311 disebutkan bahwa standar kualitas air harus
dirancang untuk melindungi "nilai budaya" yang dimiliki oleh masyarakat Navajo dalam
pengelolaan air.88
Hal ini disebabkan karena air memiliki nilai khsusu bagi masyarakat Navajo
yang mencakup dimensi budaya dan spiritual.89
79
Ibid 80
Ibid 81
Ibid, Pasal 1152(C) 82
Ibid, Pasal 1155(A) 83
Ibid, Pasal 1154(A) 84
Ibid, Pasal 1154(B). 85
Navajo Nation Water Code, 1984 Pasal 1101-1405 86
Ibid, pasal 1303(A)(1) 87
Ibid 88
Ibid, pasal 1311(A) 89
Judith V. Royster, Climate Change and Tribal Water Rights: Removing Barriers to Adaptation Strategies, in Randall S. Abate & Elizabeth Ann Kronk eds.,Climate Change and Indigenous Peoples: The Search for Legal Remedies (Cheltenham: Edward Elgar Publishing Limited, 2013), hlm 57.
24
Sama dengan NN APPCA, NN CWA juga menyiapkan mekanisme penegakan hokum
yang meliputi: 1) perintah kepatuhan;90
2) sanksi administrasi; 91
3) gugatan perdata.92
dan 4)
tuntutan pidana.93
c. Navajo Nation Solid Waste Act94
Suku Navajo Indian telah memberlakukan Navajo Nation Solid Waste Act (NN SWA)
yang mendefinisikan waste” as “any garbage, refuse or sludge from a wastewater treatment
plant, water supply treatment plant or air pollution control facility and other discarded material,
including solid, liquid, semi-solid, or contained gaseous material resulting from residential,
industrial, commercial, mining, and agricultural operations and from community activities.”95
NNSWA menyatakan bahwa pembuangan sampah di atas dan di dalam tanah tanpa
perencanaan dan pengelolaan yang cermat dapat menghadirkan bahaya bagi kesehatan
masyarakat dan lingkungan hidup.96
NN SWA juga menyediakan berbagai metode penegakan
hukum melalui perintah kepatuhan, sanksi administrasi, gugatan perdata, dan penegakan hukum
pidana. 97
5.2.2.2 Right to Equitable Benefit Sharing dan Accountability for Breach
Masyarakat adat Navajo memiliki peran penting dalam perencanaan, pengelolaan dan
pengawasan sumber daya alam yang ditemukan di wilayah mereka, termasuk melaksanakan
kekuasaan untuk mengeluarkan sewa atau izin, dan menetapkan tarif untuk sewa dan royalti,
serta berbagai manfaat lain yang diperoleh dari eksploitasi sumber daya alam.98
Selain itu,
mereka memiliki legal standing untuk melakukan proses penuntutan ataupun gugatan terhadap
pemerintah Amerika Serikat apabila terdapat pelanggaran komitmen khususnya apabila mereka
90
Navajo Nation Water Code,op. cit, pasal 1382 91
Ibid. Pasal 1384. 92
Ibid. Pasal 1383(A). 93
Ibid. Pasal 1383(B) 94
Comprehensive Environmental Response, Compensation and Liability Act, Navajo Nation Code Ann. tit. 4, Pasal 2101-2805 (2010)
95 Ibid. Pasal 102(16)
96 Ibid. Pasal 121(A)(1)
97 Ibid. Pasal 155.
98 Leasing of Tribal Lands for Mineral Development, 25 C.F.R. pt. 211, subpt. C (Rents, Royalties, Cancellations and Appeals) Pasal 211.40-211.58.
25
menganggap pemerintah federal Amerika Serikat tidak memberikan porsi keuntungan yang adil
dan merata atas pemanfaatan sumber daya alam di wilayah masyarakat adat Navajo.99
Dalam kasus United States v. Navajo Nation100
yang dibawa di hadapan Mahkamah
Agung Amerika Serikat, , Sekretaris Dalam Negeri menyetujui sewa pertambangan yang
dilakukan pada tahun 1964 antara Masyarakat adat Navajo dan perusahaan swasta "Peabody
Coal." Sewa tersebut memungkinkan perusahaan untuk terlibat dalam pertambangan batu bara di
Navajo.101
Tingkat royalti maksimum yang disepakati adalah 37,5 sen per ton batubara, dengan
adanya proses penyesuaian harga yang wajar setelah dua puluh tahun.102
Selanjutnya, pada tahun 1984, ketika periode dua puluh tahun pertama berlalu, suku
meminta agar Sekretaris kekuasaannya untuk meningkatkan tingkat royalti, karena 37,5 sen per
tingkat ton menjadi lebih rendah dari tarif royalti minimal 12,5% dari gross hasil penjualannya
ditetapkan oleh Kongres AS.103
Biro Urusan India (BIA) direkomendasikan menyesuaikan tarif
royalti sewa sampai 20% dari hasil kotor. Namun, Sekretaris Dalam Negeri menyetujui tarif
royalti ditetapkan sebesar 12,5% dari hasil kotor bulanan.104
Untuk merespon situasi ini, Navajo
Suku membawa tindakan melawan Amerika Serikat mencari sekitar $ 600 juta kerusakan atas
dasar bahwa persetujuan Sekretaris dari amandemen sewa royalti kurang menguntungkan
merupakan pelanggaran kepercayaan oleh pemerintah AS.he U.S. government.105
Hal yang dapat disimpulkan adalah Masyarakat adat Navajo Indian di Amerika Serikat
telah memiliki kemampuan untuk mengatur sendiri (self-govern) sumber daya alam yang terletak
di dalam wilayahnya. Dalam hal law making proses, mereka telah mengeluarkan sejumlah
peraturan dalam mengontrol pengelolaan sumber daya alam di wilayah mereka meliputi: the Air
Pollution Prevention and Control Act, the Clean Water Act, and the Solid Waste Act. Dalam hal
penegakan hukum, masyarakat adat Navajo memiliki hak atas pembagian keuntungan yang adil
dan mendapatkan akuntabilitas dalam setiap pelanggaran yang terjadi. Penerapan hak untuk
sumber daya alam ini dapat melahirkan sistem pemerintahan yang adil dimana pengelolaan
sumber daya alam harus sesuai dengan kepentingan dan tujuan masyarakat adat Navajo.
99
Eluyod, op.cit p. 181 100
Yurisprudensi Mahkamah AGung Amerika Serikat pada kasus Navajo Nation v. United States (Navajo I), (2000) dan Kasus Navajo Nation v. United States (Navajo II), (Fed. Cir. 2001).
5.3. Model pemberian Right to Natural Resources Bagi Komunitas Masyarakat Adat di
Indonesia
5.3.1 Model Kewenangan dalam mengeluarkan Peraturan
Dengan merujuk pada praktek masyarakat adat Navajo dalam mengeluarkan suatu
peraturan mereka memiliki kekuatan mengikat yang sangat kuat. Hal ini tidak dapat dilepaskan
dari posisi masyarakat adat itu sendiri dalam skema konstitusi di Amerika Serikat dimana
masyarakat adat memiliki kedaulatan yang mandiri selain kedaulatan yang dimiliki pemerintah
negara bagian dan federal. Menariknya, masyarakat adat tidak diwajibkan untuk mematuhi
Konstitusi Amerika Serikat dalam membangun model pemerintahan dan menentukan hukum
yang berlaku bagi mereka karena mereka merupakan pihak extra-constitutional.
Dengan posisi yang sedemikian kuat, masyarakat adat di Amerika Serikat bahkan telah
memiliki konsitusi tersendiri yang diikuti dengan peraturan-peraturan tertulis lainnya.Bahkan
beberapa peraturan telah memberikan kewenangan untuk melaksanakan yurisdiksi atas berbagai
kegiatan di dalam wilayah mereka, termasuk tindak pidana, hubungan hukum privat, dan
perpajakan.106
Dalam masyarakat adat Navajo, hal ini terbukti dengan diterbitkannya beberapa
peraturan diantaranya the Air Pollution Prevention and Control Act, the Clean Water Act, dan
the Solid Waste Act.
Dalam praktek di Indonesia, walaupun tidak dimungkinkan mengadopsi pola extra-
constitutional yang diterapkan oleh Pemerintah Federal Amerika Serikat, masyarakat adat di
Indonesia membutuhkan kewenangan yang lebih luas dalam menetapkan peraturan khususnya
yang terkait pola pencegahan terhadap eksploitasi sumber daya alam yang berada di wilayah
mereka.Tidak hanya itu, kewenangan dalam menetapkan suatu peraturan juga selayaknya
menjangkau pola pengaturan dalam memitigasi dampak dari kegiatan eksplorasi dan eksploitasi
sumber daya alam yang telah terlanjur terjadi.
Aturan hukum nasional, baik dalam konstitusi, undang-undang hingga peraturan-
peraturan dibawahnya, relatif hanya mengakui dan menghormati keberadaan masyarakat hukum
adat dan belum menjangkau pola perlindungan yang diinginkan. Dalam perspektif hak asasi
manusia, pola yang diberikan masih bersifat right to respect dan belum menjangkau right to
protect hingga right to fulfill.
106
Eluyod, op.cit, p 164.
27
5.3.2 Model pembagian keuntungan yang adil atas sumber daya alam
Walaupun beberapa konvensi internasional dan hukum nasional telah mengakui dan
menghormati keberadaan masyarakat adat, timbul suatu ketimpangan dengan munculnya
eksploitasi ekonomi dari sumber daya alam di tanah masyarakat adat dengan mengabaikan
prinsip partisipatif dan pembagian keuntungan yang adil dan merata. Hal ini utamanya
disebabkan oleh ketiadaan mekanisme yang adil dalam pembagian keuntungan atas hasil
eksplorasi atas sumber daya alam yang berada di wilayah masyarakat hukum adat.
Absennya pola pembagian keuntungan yang adil telah menjadi pemicu utama konflik
masyarakat hukum adat dengan pemerintah dan/atau pemilik modal. Sebagai contoh, kasus yang
melibatkan PT Freeport McMoran Indonesia dengan Suku Amungme dan Komoro, dimana
konsesi pertambangan diberikan di atas wilayah adat yang justru berakhir pada pelanggaran
terhadap hak-hak masyarakat adat.107
Tak hanya kasus yang terjadi di Papua diatas, di daerah
lain juga terdapat konflik yang berakar pada ketidakseimbangan pola relasi antara pemerintah,
pemilik modal dengan masyarakat adat. Sebagai contoh, konflik Masyarakat Adat Moronene,
Sulawesi Tenggara dengan Pengelola Taman Nasional Opa Watumohai pada Kawasan
Konservasi,108
Konflik Masyarakat Adat Peminggir, Lampung atas pengelolaan Hutan
Lindung,109
dan Konflik Masyarakat Adat Bunaken, Sulawesi Utara atas pengelolaan Taman
Laut Bunaken.110
Merujuk pada masyarakat adat Navajo, mereka memiliki peran penting dalam
perencanaan, pengelolaan dan pengawasan sumber daya alam yang ditemukan di wilayah
mereka, termasuk melaksanakan kekuasaan untuk mengeluarkan sewa atau izin, dan menetapkan
tarif untuk sewa dan royalti, serta berbagai manfaat lain yang diperoleh dari eksploitasi sumber
daya alam.Selain itu, mereka memiliki legal standing untuk melakukan proses penuntutan
ataupun gugatan terhadap pemerintah Amerika Serikat apabila terdapat pelanggaran komitmen
khususnya apabila mereka menganggap pemerintah federal Amerika Serikat tidak memberikan
107
Rafael Edy Bosko, op.cit., h. 99. 108 Bediona Philipus, dkk. Penduduk Asli dan Pengelolaan Taman Nasional: Kasus Orang Moronene Buton
Sulawesi Selatan, Menuju Pengelolaan Kawasan Lindung yang Lebih Manusiawi, (Jakarta:P3AE-UI &
ELSAM, 1999), hlm.27 109
Kusworo A, Pengusiran Penduduk Dari Kawasan Hutan di Lampung, (Watala:ICRAF-ORSTOM Pustaka Latin, 2000),hlm112.
110 Ruwiastuti R. Maria”Pengakuan Hak Ulayat: Antara Harapan dan Kenyatan, Makalah disampaikan pada Roundtable Discussion yang diselengarakan bersama-sama antara Elsam-PKPM Unika Atma Jaya dan KPA, Jakarta, 13 Juli 1999, hlm.32.
28
porsi keuntungan yang adil dan merata atas pemanfaatan sumber daya alam di wilayah
masyarakat adat Navajo.
Dengan merujuk realitas eksploitasi ekonomi yang terjadi di Indonesia dan melihat pola
pembagian yang diberikan pemerintah Federal Amerika Serikat kepada masyarakat adat Navajo,
masyarakat hukum adat di Indonesia perlu mendapatkan pola pembagian keuntungan yang lebih
adil. Mereka selayaknya mendapatkan hak keuntungan yang lebih besar baik terkait tarif sewa
ataupun pembagian royalty yang diterima. Selain karena sumber daya alam yang berada di
wilayahnya, pola pembagian keuntungan yang lebih adil dapat menjadi sarana kompensasi atas
terambilnya hak-hak masyarakat adat sebagai dampak adanya ekplorasi sumber daya alam. Hak-
hak ini antara lain seperti: hak atas udara yang bersih atau hak atas lingkungan yang sehat. Tidak
kalah pentingnya, masyarakat hukum adat seharusnya memiliki legal standing untuk melakukan
proses penuntutan ataupun gugatan terhadap pemerintah Indonesia apabila terdapat pelanggaran
komitmen khususnya apabila mereka menganggap pemerintah Indonesia tidak memberikan porsi
keuntungan yang adil dan merata atas pemanfaatan sumber daya alam di wilayah mereka.
29
BAB VI
KESIMPULAN
Dalam Undang-undang nasional, eksistensi masyarakat adat telah mendapatkan
pengaturan tersendiri sebagai refleksi pemberlakukan pluralism hukum di Indonesia. Dalam
Undang-Undang Dasar 1945, pengakuan dan penghormatan terhadap masyarakat adat tercantum
dalam pasal 18B ayat (2), pasal 28 I ayat (3). Dalam tingkatan undang-undang, eksistensi
masyarakat hukum adat diatur dalamUndang-undang No.5 Tahun 1960, Pasal 6 Undang-undang
No. 39 tahun 1999, Undang-Undang No. 41 tahun 1999, Undang-undang otonomi daerah No. 32
Tahun 2004, Undang-undang No.7 Tahun 2004, Undang-undang No. 4 Tahun 2009 dan
Undang-undang No. 6 Tahun 2014. Sementara itu di Amerika Serikat, masyarakat adat Navajo
telah memiliki kewenangan untuk mengatur urusannya sendiri di dalam wilayahnya, khususnya
terkait dengan hak atas sumberdaya alam. Terdapat dua kewenangan yang mereka miliki;
Pertama, bagaimana mereka berwenang dalam mengeluarkan peraturan dalam mengontrol
sumber daya alam mereka; dan kedua, bagaimana mereka memiliki hak untuk mendapatkan
pembagian keuntungan yang adil atas sumber daya alam dan akuntabilitas untuk setiap
pelanggaran yang terjadi di wilayah mereka
Dalam praktek di Indonesia, model pengaturan yang dilakukan sebaiknya memberikan
kewenangan yang lebih luas dalam menetapkan peraturan khususnya yang terkait pola
pencegahan terhadap eksploitasi sumber daya alam yang berada di wilayah mereka dan untuk
memitigasi dampak dari kegiatan eksplorasi dan eksploitasi sumber daya alam. Selanjutnya,
masyarakat hukum adat di Indonesia perlu mendapatkan pola pembagian keuntungan yang lebih
adil. Mereka selayaknya mendapatkan hak keuntungan yang lebih besar baik terkait tarif sewa
ataupun pembagian royalty yang diterima. Selain karena sumber daya alam yang berada di
wilayahnya, pola pembagian keuntungan yang lebih adil dapat menjadi sarana kompensasi atas
terambilnya hak-hak masyarakat adat sebagai dampak adanya ekplorasi sumber daya alam. Tidak
kalah pentingnya, masyarakat hukum adat seharusnya memiliki legal standing untuk melakukan
proses penuntutan ataupun gugatan terhadap pemerintah Indonesia apabila terdapat pelanggaran
komitmen khususnya apabila mereka menganggap pemerintah Indonesia tidak memberikan porsi
keuntungan yang adil dan merata atas pemanfaatan sumber daya alam di wilayah mereka.