EVIDENCE-BASED NURSINGThe Importance of Oral Hygiene in
Prevention of Ventilator-Associated Pneumonia (VAP): A Literature
Review
OLEH SGD VI :PUTU CITRA ANJASMARA DEWI (1302105002)NI KOMANG
ATIKA ADI WULANDARI (1302105005)NI PUTU GIRI KARMANY (1302105010)NI
MADE KARISMA WIJAYANTI (1302105032)NI PUTU JULIADEWI EKA GUNAWATI
(1302105033)GUSTI AYU PUTU DIAH ANDINI (1302105045)DEVI DWI YANTHI
(1302105057)PUTU ARI SINTYA DEWI (1302105070)I PUTU ERI ADITYA
(1302105073)NI LUH GEDE CITRIANI DEWI (1302105088)
PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATANFAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS
UDAYANA2015BAB IPENDAHULUAN1.1 Latar BelakangVentilator mekanik
merupakan alat yang digunakan untuk membantu fungsi pernapasan.
Penggunaannya diindikasikan untuk pasien dengan hipoksemia,
hiperkapnia berat dan gagal napas. Ventilator mekanik merupakan
salah satu aspek yang penting dan banyak digunakan bagi perawatan
pasien yang kritis di Intensive Care Unit (ICU), dengan penggunaan
di Amerika Serikat mencapai 1,5 juta per tahun. Delapan puluh tujuh
persen kejadian pneumonia di ICU terkait dengan penggunaan dan
asuhan keperawatan ventilator mekanik yang tidak tepat sehingga
menimbulkan kolonisasi kuman di orofaring yang berisiko terjadinya
pneumonia terkait ventilator/Ventilator Associated Pneumonia (VAP).
(Yolanda, 2013)Berdasarkan penelitian Yin-Yin Chen, dkk., pada
tahun 2000-2008 di Taiwan, VAP menempati urutan kedua terbanyak
kejadian Device Associted Infection (DAI) di ICU. Dari penelitian
tersebut diperoleh angka kejadian VAP sebanyak 3,18 kejadian per
1000 ventilator per hari. Angka ini berada dibawah Infeksi Saluran
Kemih (ISK) akibat penggunaan kateter dengan angka kejadian 3,76
per 1000 kateter urin per hari.Ventilator associated pneumonia
adalah pneumonia yang didapat di rumah sakit yang terjadi setelah
48 jam pasien mendapat bantuan ventilasi mekanik, baik melalui pipa
endotrakea maupun pipa trakeostomi. (Chastre dan Fargon, 2002)
Sedangkan American College of Chest Physicians mendefinisikan VAP
adalah keadaan gambaran infiltrate baru dan menetap pada foto
toraks disertai salah satu tanda yaitu, hasil biakan darah atau
pleura sama dengan mikroorganisme yang ditemukan di sputum maupun
aspirasi trakea, kavitasi pada foto torak, gejala pneumonia atau
terdapat dua dari tiga gejala berikut yaitu demam, leukositosis dan
sekret purulen.Beberapa faktor risiko dicurigai dapat memicu
terjadinya VAP, antara lain: usia lebih dari 60 tahun, derajat
keparahan penyakit, penyakit paru akut atau kronik, sedasi yang
berlebihan, nutrisi enteral, luka bakar yang berat, posisi tubuh
yang supine, Glasgow Coma Scale (GCS) kurang dari 9, penggunaan
obat pelumpuh otot, perokok dan lama pemakaian ventilator.
Pemakaian ventilator mekanik dengan pipa yang diintubasikan ke
tubuh pasien akan mempermudah masuknya kuman dan menyebabkan
kontaminasi ujung pipa endotrakeal pada penderita dengan posisi
terlentang. Lama penggunaan ventilator mekanik diduga merupakan
salah satu faktor risiko penting yang terkait dengan kejadian VAP.
(Yolanda, 2013)Berdasarkan Cindy (2004) diperoleh data bahwa
kejadian VAP cukup tinggi yaitu dari penelitian beberapa kasus di
Amerika dilaporkan kejadian VAP mencapai 9%-28% pada pasien dengan
ventilator mekanik, dan angka kematian akibat VAP sebanyak 24%-50%.
Angka kematian dapat meningkat mencapai 76% pada infeksi yang
disebabkan pseudomonas atau acinobacter. Disamping itu, kejadian
VAP dapat memperpanjang waktu perawatan di ICU dan meningkatkan
biaya perawatan (Wiryana, 2007). Meskipun belum ada penelitian
mengenai jumlah kejadian VAP di Indonesia, insiden pneumonia
meningkat 3 sampai 10 kali pada pasien dengan ventilasi mekanik
(Retno Widyaningsih dkk, 2012). Angka VAP di RSUP Sanglah Denpasar
tahun 2012 adalah sebesar 15,48 per 1000 hari pemakaian masih
melebihi standar nasional 10 per 1000 hari pemakaian. (RSUP
Sanglah, 2012)Berdasarkan tingginya angka kejadian Ventilator
associated pneumonia (VAP) kami tertarik untuk menganalisis jurnal
The Importance of Oral Hygiene in Prevention of
Ventilator-Associated Pneumonia (VAP): a Literature Review yang
menjelaskan salah satu intervensi penting pencegahan VAP yaitu oral
hygiene.
1.2 Rumusan MasalahAdapun rumusan masalah yang diangkat dalam
penulisan ini adalah sebagai berikut:1.2.1 Bagaimanan isi ringkasan
jurnal The Importance of Oral Hygiene in Prevention of
Ventilator-Associated Pneumonia (VAP): A Literature Review?1.2.2
Bagaimana teknik penatalaksanaan dan manfaat oral hygiene pada
jurnal The Importance of Oral Hygiene in Prevention of
Ventilator-Associated Pneumonia (VAP): A Literature Review pada
pasien?1.2.3 Bagaimana penerapan intervensi pada jurnal The
Importance of Oral Hygiene in Prevention of Ventilator-Associated
Pneumonia (VAP): A Literature Review pada pasien di Indonesia?
1.3 Tujuan Penulisan1.3.1 Mengetahui isi ringkasan jurnal The
Importance of Oral Hygiene in Prevention of Ventilator-Associated
Pneumonia (VAP): A Literature Review1.3.2 Mengetahui teknik
penatalaksanaan dan manfaat oral hygiene pada jurnal The Importance
of Oral Hygiene in Prevention of Ventilator-Associated Pneumonia
(VAP): A Literature Review1.3.3 Mengetahui penerapan penerapan
intervensi pada jurnal The Importance of Oral Hygiene in Prevention
of Ventilator-Associated Pneumonia (VAP): A Literature Review pada
pasien di Indonesia
1.4 Manfaat PenulisanHasil analisis ini diharapkan dapat
memberikan manfaat bagi beberapa pihak, antara lain:1.4.1 Pelayanan
KesehatanMemberikan informasi mengenai intervensi oral hygien untuk
mencegah Ventilator-Associated Pnemonia (VAP).1.4.2 Ilmu
PengetahuanMenambah perbendaharaan referensi mengenai mengenai oral
hygien untuk mencegah Ventilator-Associated Pnemonia (VAP).1.4.3
Peneliti LainSebagai bahan kajian pustaka bagi peneliti lain,
terutama sebagai bahan pertimbangan dalam melakukan penelitian
lanjutan atau melakukan penelitian yang sejenis.
BAB IITINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pneumonia 2.1.1 Definisi Pneumonia adalah proses inflamatori
parenkim paru yang umumnya disebabkan oleh agens infeksius
(Smeltzer, 2002; 571). Pneumonia adalah peradangan akut parenkim
paru yang biasanya berasal dari suatu infeksi (Price, 2006; 804).
Pneumonia adalah infeksi saluran pernafasan akut bagian bawah yang
mengenai parenkim paru (Mansjoer, 2000; 465). Pneumonia adalah
infeksi saluran napas bagian bawah. Penyakit ini adalah infeksi
akut jaringan paru oleh mikroorganisme ( Corwin, 2000 ). Pneumonia
adalah proses inflamasi parenkim paru yang terdapat konsolidasi dan
terjadi pengisian rongga alveoli oleh eksudat yang dapat disebabkan
oleh, bakteri, virus, jamur, dan benda-benda asing ( Muttaqin,
2009).2.1.2 Klasifikasi pneumonia1. Berdasarkan klinis dan
epideologis :a. Pneumonia komuniti (community-acquired pneumonia)b.
Pneumonia nosokomial (hospital-acqiured pneumonia / nosocomial
pneumonia/VAP ( Ventilator-Associated Pneumonia)c. Pneumonia
aspirasid. Pneumonia pada penderita Immunocompromisedpembagian ini
penting untuk memudahkan penatalaksanaan.2. Berdasarkan bakteri
penyebaba. Pneumonia bakterial / tipikal. Dapat terjadi pada semua
usia. Beberapa bakteri mempunyai tendensi menyerang sesorang yang
peka, misalnya Klebsiella pada penderita alkoholik, Staphyllococcus
pada penderita pasca infeksi influenza.b. Pneumonia atipikal,
disebabkan Mycoplasma, Legionella dan Chlamydiac. Pneumonia virusd.
Pneumonia jamur sering merupakan infeksi sekunder. Predileksi
terutama pada penderita dengan daya tahan lemah
(immunocompromised)3. Berdasarkan predileksi infeksia. Pneumonia
lobaris. Sering pada pneumania bakterial, jarang pada bayi dan
orang tua. Pneumonia yang terjadi pada satu lobus atau segmen
kemungkinan sekunder disebabkan oleh obstruksi bronkus misalnya :
pada aspirasi benda asing atau proses keganasanb. Bronkopneumonia.
Ditandai dengan bercak-bercak infiltrat pada lapangan paru. Dapat
disebabkan oleh bakteria maupun virus. Sering pada bayi dan orang
tua. Jarang dihubungkan dengan obstruksi bronkusc. Pneumonia
interstisialPneumonia yang umum ditemukan (Smeltzer, 2002;
568-571).1. Pneumonia Bakterialisa. Pneumonia streptokokus
disebabkan oleh Streptococcus pneumonia b. Pneumonia stafilokokus
disebabkan oleh Staphylococcus aureusc. Pneumonia klebsiella
disebabkan oleh Klebsiella pneumonia (basilus aerobic gram negative
basilus Friedlander berkapsul)d. Pneumonia pseudomonas disebabkan
oleh Pseudomonas aeruginosae. Haemophilus influenza disebabkan oleh
Haemophilus influenza2. Pneumonia Atipikala. Penyakit Legionnaires
disebabkan oleh Legionella pneumophilab. Pneumonia mikoplasma
disebabkan oleh Mycoplasma penumoniaec. Pneumonia virus disebabkan
oleh Virus influenza tipe A, B, Cd. Pneumonia pneumosistis carinii
(PCP) disebabkan oleh Penumocyctis cariniie. Pneumonia fungi
disebabkan oleh Aspergillus fumigatesf. Pneumonia klamidia
(pneumonia TWAR) disebabkan oleh Cipittacig. Tuberkulosis
disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis2.1.3 Gambaran Klinis
Gambaran klinis biasanya didahului oleh infeksi saluran napas akut
bagian atas selama beberapa hari, kemudian diikuti dengan demam,
menggigil, suhu tubuh kadang-kadang melebihi 40 0C, sakit
tenggorok, nyeri otot, dan sendi. Juga disertai batuk, dengan
sputum purulen, kadang-kadang berdarah (Supandi, 1992). Pada pasien
muda atau tua dan pneumonia atipikal (misalnya Mycoplasma),
gambaran nonrespirasi (misalnya konfusi, ruam, diare) dapat
menonjol (Jeremy, 2007).
2.2 Ventilator-Associated Pneumonia (VAP)2.2.1Definisi VAP
didefinisikan sebagai nosokomial pneumonia yang terjadi setelah 48
jam pada pasien dengan bantuan ventilasi mekanik baik itu melalui
pipa endotrakea maupun pipa trakeostomi. Sedangkan American College
of Chest Physicians mendefinisikan VAP sebagai suatu keadaan dimana
terdapat gambaran infiltrate baru dan menetap pada foto toraks
disertai salah satu tanda yaitu, hasil biakan darah atau pleura
sama dengan mikroorganisme yang ditemukan pada sputum maupun
aspirasi trakea, kavitasi pada foto torak, gejala pneumonia atau
terdapat dua dari tiga gejala berikut yaitu demam, leukositosis dan
sekret purulen. (Wiryana, 2007)2.2.2EpidemiologiInsiden pneumonia
meningkat 3 sampai 10 kali pada pasien dengan ventilasi mekanik.
Meskipun belum ada penelitian mengenai jumlah kejadian VAP di
Indonesia, namun berdasarkan kepustakaan luar negeri diperoleh data
bahwa kejadian VAP cukup tinggi, bervariasi antara 9%27% dan angka
kematian melebihi 50%. Insidensnya 28% pada pasien dengan ventilasi
mekanis invasive dan insidensnya meningkat seiring bertambahnya
lama pemakaian ventilasi mekanis. Laju penambahan insidens VAP
diperkirakan 3% perhari pada lima hari pertama, 2% perhari pada
hari ke-6 sampai 10 dan 1% perhari setelah hari ke-10. (Anna,
2010)2.2.3EtiologiSebagian besar VAP berawal dari aspirasi
organisme orofaring ke bronkus distal kemudian terjadi pembentukan
biofilm oleh bakteri diikuti dengan proliferasi dan invasi bakteri
pada parenkim paru.2 Pada keadaan normal, organisme di dalam rongga
mulut dan orofaring didominasi oleh Streptococcus viridans,
Haemophilus species dan organisme anaerob. Air liur yang mengandung
immunoglobulin dan fibronectin menjaga keseimbangan organisme
rongga mulut, sehingga jarang didapatkan basil gram negatif
aerobik. Namun pada pasien sakit kritis keseimbangan tersebut
berubah, organisme yang dominan di dalam rongga mulut adalah basil
gram negatif aerobik dan Staphylococcus aureus. Mikroorganisme yang
berperan terhadap VAP adalah Staphylococcus aureus, Pseudomonas
aeruginosa dan Enterobacteriacea, dimana hal ini dipengaruhi oleh
populasi penderita, lama perawatan dan pemberian antibiotika.
(Wiryana, 2007)2.2.4Faktor RisikoInsidens pneumonia lebih sering
terjadi di ICU dibanding tempat rawat biasa dan risiko mendapat
pneumonia meningkat 3-10 kali pada pasien dengan ventilasi mekanis.
Faktor risiko yang berhubungan adalah usia, jenis kelamin, trauma,
PPOK dan lama pemakaian ventilator telah banyak diteliti. Sebagian
besar faktor risiko tersebut merupakan akibat predisposisi
kolonisasi mikroorganisme patogen saluran cerna maupun aspirasi.
Kolonisasi mikroorganisme pada saluran napas bagian atas penting
dalam prediksi patogen penyebab VAP. Faktor risiko memberikan
informasi kemungkinan infeksi paru yang berkembang pada seseorang
maupun populasi, yang ternyata berperan dalam pengambilan strategi
pencegahan efektif terhadap VAP. (Anna, 2010)Tabel 1. Faktor risiko
yang berkaitan dengan VAP pada beberapa penelitian
2.2.5 PencegahanPencegahan VAP merupakan upaya penting yang
harus dilakukan secara optimal. Pencegahan terhadap VAP dibagi
menjadi 2 kategori yakni strategi farmakologi yang bertujuan untuk
menurunkan kolonisasi saluran cerna terhadap kuman patogen serta
strategi non farmakologi yang bertujuan untuk menurunkan kejadian
aspirasi. a. Intervensi dengan tujuan mencegah kolonisasi saluran
cerna Mencegah penggunaan antibiotik yang tidak perlu Membatasi
propilaksis tukak lambung pada penderita risiko tinggi Menggunakan
sukralfat sebagai propilaksis tukak lambung Menggunakan antibiotik
untuk dekontaminasi saluran cerna secara selektif. Dekontaminasi
dan menjaga kebersihan mulut Menggunakan antibiotik yang sesuai
pada penderita risiko tinggi. Selalu mencuci tangan sebelum kontak
dengan penderita. Mengisolasi penderita risiko tinggi dengan kasus
MDRb. Intervensi dengan tujuan utama mencegah aspirasi Menghentikan
penggunaan pipa nasogastrik atau pipa endotrakeal segera mungkin
Posisi penderita semirecumbent atau duduk Menghindari distensi
lambung berlebihan Intubasi oral atau non-nasal Penyaliran
subglotik Penyaliran sirkuit ventilator Menghindari reintubasi dan
pemindahan penderita jika tidak diperlukan Ventilasi masker
noninvasif untuk mencegah intubasi trakea Menghindari penggunaan
sedasi jika tidak diperlukanPencegahan non farmakologi lebih mudah
dan lebih murah untuk dilaksanakan bila dibandingkan pencegahan VAP
secara farmakologi, yang meliputi menghindari intubasi trakea,
penggunaan ventilasi mekanik sesingkat mungkin, pembagian kerja
penyelia kesehatan, subglottic suctioning, intubasi non nasal,
menghindari manipulasi yang tidak perlu pada sirkuit ventilator,
pemakaian heat and moisture exchangers, posisi setengah duduk,
menghindari lambung penuh, pencegahan terbentuknya biofilm, dan
mencuci tangan dan pemakaian desinfektan sebelum dan sesudah kontak
dengan pasien serta menjaga oral hygiene pasien merupakan hal yang
cukup penting untuk dilakukan. Sedangkan pencegahan VAP secara
farmakologi meliputi dekolonisasi traktus aerodigestif, pencegahan
pembentukan biofilm kuman, dan menghindari penggunaan profilaksis
stress ulcer yang berlebihan. Meskipun pencegahan VAP secara non
farmakologi sudah menjadi prosedur baku di UPI (Unit Perawatan
Intensif) namun angka kejadian VAP masih cukup tinggi, sehingga
masih perlu ditambahkan pencegahan VAP secara farmakologi.
Pencegahan VAP secara farmakologi terbukti mampu menurunkan
kejadian VAP bila dibandingkan dengan pencegahan non farmakologi
saja. Beberapa penelitian menyatakan bahwa dekolonisasi traktus
aerodigestif bisa menurunkan kejadian VAP secara bermakna.
Dekolonisasi dapat dilakukan dengan cara selective decontamination
of the digestive (SDD) atau oropharyngeal decontamination (OD).
Semula dekolonisasi dilakukan dengan menggunakan antibiotika, baik
topikal dan/atau antibiotika sistemik. Namun ternyata pemakaian
antibiotika menimbulkan suatu keadaan resistensi bakteri terhadap
antibiotika, sehingga saat ini pemakaian rutin tidak lagi
dianjurkan. Dekolonisasi juga dapat dilakukan dengan OD menggunakan
antiseptik. Berdasarkan penelitian Fourrier dkk. didapatkan data
bahwa terdapat pengurangan jumlah kolonisasi bakteri gigi sebesar
37% pada pasien yang mendapatkan OD memakai gel chlorhexidine
0,12%. Pengurangan jumlah kolonisasi ini potensial mengurangi
insiden infeksi nosokomial di UPI.19 Center for Disease Control and
Prevention (CDC) mempublikasikan bahwa pemakaian chlorhexidine
0,12% pada perioperatif bedah jantung terbukti dapat menurunkan
risiko terjadinya VAP. Pada penelitian meta analisis yang dilakukan
oleh Chan dan kawan-kawan, dari 11 penelitian diperoleh data bahwa
chlorhexidine mampu mengurangi insiden VAP bukan hanya pada pasien
pasca bedah jantung tapi juga pada pasien yang dirawat di UPI.
Chlorhexidine merupakan antimikroba dengan spektrum luas yang
sangat efektif untuk menghambat bateri Gram (-), Gram (+), ragi,
jamur, protozoa, algae dan virus. Chlorhexidine berbahan dasar
gelatin terhidrolisa, mempunyai muatan positif, setelah
berinteraksi dengan permukaan sel akan menghancurkan membran sel
untuk masuk ke dalam sel. Kemudian chlorhexidine akan
mempresipitasi sitoplasma sehingga terjadi kematian sel.
Chlorhexidine akan diserap oleh lapisan hidroksiapatit permukaan
gigi kemudian akan dilepaskan perlahan-lahan dalam bentuk aktif
sampai dengan 7-10 hari berikutnya. Pada penelitiannya, Greenfeld
dkk. menyatakan bahwa chlorhexidine mempunyai kemampuan untuk
menghambat pembentukan biofilm, suatu mekanisme kuman untuk
menginvasi tubuh host. Hal ini didukung oleh McGee DC dan Gould MK
yang menyatakan bahwa chlorhexidine lebih efektif mencegah
pembentukan biofilm bila dibandingkan dengan povidone iodine.
Chlorhexidine kurang bersifat toksik terhadap jaringan bila
dibandingkan dengan povidone iodine dan cukup aman digunakan pada
ulserasi aptosa, hal yang sering dijumpai pada pasien sakit kritis.
(Wiryana, 2007)2.2.6PenatalaksanaanPrinsip penatalaksanaan VAP
berdasarkan panduan ATS / IDSA tahun 2004 adalah: tidak menunda
terapi yang adekuat tetapi mengoptimalkannya. Awalnya
penatalaksanaan VAP dilakukan berdasarkan prinsip terapi eskalasi
(escalation therapy) yaitu memulai terapi dengan satu jenis
antibiotik misalnya sefalosporin generasi ketiga selanjutnya
meningkatkan terapi dengan pemberian antibiotik lain yang memiliki
spectrum lebih luas misalnya golongan fluorokuinolon atau
karbapenem bila pemeriksaan mikrobiologi menunjukkan resistensi
kuman terhadap antibiotik sebelumnya atau bila kondisi klinis
pasien memburuk. Saat ini dikenal prinsip terapi de-eskalasi yaitu
strategi pemberian antibiotik adekuat (poten) sejak awal terapi
kepada pasien yang memiliki faktor risiko tinggi, dengan
menghindari penggunaan antibiotik kurang tepat yang dapat memicu
timbulnya resistensi. Strategi tersebut dilakukan dengan memberikan
terapi inisial tidak lebih dari empat jam sejak pasien dirawat di
ICU dengan antibiotik berspektrum luas. dan dosis tinggi untuk
menurunkan mortalitas, mencegah disfungsi organ dan mempersingkat
lama perawatan di rumah sakit serta mengoptimalkan terapi
deeskalasi untuk meminimalkan resistensi dan meningkatkan
cost-effectiveness. Penilaian respons terapi harus dilakukan dengan
hati-hati. Respons klinis dipengaruhi oleh berbagai faktor
diantaranya faktor pasien (usia, penyakit komorbid), faktor bakteri
(pola virulensi dan resistensi kuman terhadap antimikroba) dan
faktor lain yang mungkin terjadi selama episode VAP. Perbaikan
klinis biasanya baru terjadi setelah 48-72 jam terapi sehingga
antibiotik yang diberikan tidak boleh diganti dalam waktu tersebut
kecuali bila terdapat perburukan progresif atau hasil pemeriksaan
mikrobiologi menunjukkan hasil yang tidak sesuai. Penilaian respons
terapi juga dapat dilakukan dengan melihat parameter lain misalnya
pemeriksaan hasil laboratorium darah serial (hitung sel darah
putih, oksigenasi, dll), foto toraks serial, pemeriksaan
mikrobiologi specimen saluran napas serial, CPIS serial, dll.
Terapi antibiotik empirik dapat dimodifikasi berdasarkan penilaian
berbagai parameter tersebut. Modifikasi perlu dilakukan bila
ditemukan kuman resisten/tidak diharapkan pada pasien yang
menunjukkan respons terapi kurang baik. Terapi de-eskalasi dapat
dilakukan pada pasien yang menunjukkan respons baik dan lebih
difokuskan pada antibiotik tertentu bila mikroorganisme yang
dikhawatirkan (P. aeruginosa atau Acinetobacter spp.) tidak
ditemukan pada pemeriksaan mikrobiologi atau mikroorganisme masih
sensitif terhadap antibiotik golongan lebih rendah. Pasien yang
tidak menunjukkan respons baik perlu dievaluasi untuk menyingkirkan
kemungkinan infeksi lain yang menyerupai pneumonia (atelektasis,
gagal jantung kongestif, emboli paru, kontusio/trauma paru),
mikroorganisme yang resisten terhadap obat, infeksi organ
lain/ekstraparu serta komplikasi pneumonia dan terapinya (empiema
torasis, abses paru, kolitis, dll). (Anna, 2010)
2.3 Manajemen Kebersihan Mulut Klien dengan
Pneumonia2.3.1Retensi kelembabanLangkah awal adalah mempertahankan
kelembaban di dalam rongga mulut. Ada 3 jenis bahan pelembab: gel,
krim, dan cairan. Caranya dapat menggunakan sepotong kain kasa atau
kapas melilit jari sebagai alat pembersih, tetapi lebih baik untuk
menggunakan sikat spons biasa atau sikat yang dirancang khusus
untuk selaput lendir agar lebih teliti dan menyeluruh dalam
meningkatkan efek retensi kelembaban dan membersihkan. Olesi krim
pelembab pada bibir atas dan bawah, kiri dan kanan membran mukosa
bukal, palatum, dan lidah, untuk merawat selaput lendir.Pelembab
dalam bentuk gel termasuk polimer (polygliseril metakrilat), yang
mampu mengurangi pembengkakan dengan menyerap kelembaban dan
melembutkan selaput lendir. Krim pelembab termasuk zat yang mampu
menyembuhkan secara alami untuk peradangan mulut dengan kombinasi
ekstrak susu protein yang mengandung bahan-bahan antimikroba dan
immunoglobulin. Secara khusus, menggunakan sikat gigi untuk
menghilangkan residu epitel atau kerak dapat berisiko mengalami
perdarahan. Namun, menggunakan krim pelembab pada lapisan kering
dapat melembutkan epitel dalam beberapa menit.Beberapa pelembab
cair mengandung asam hyal-uronic. Setelah selesai membersihkan
mulut, semprot pelembab cair dan kemudian gunakan gel pelembab
dapat memperpanjang efek pelembab untuk jangka waktu lama. Area
yang harus dibersihkan, rongga dalam mulut seorang pasien dengan
tabung makan, mikroorganisme yang paling sering terjebak untuk 2
area yaitu lidah dan langit-langit. Ini berarti bahwa hanya mekanis
membersihkan lidah dan langit-langit dapat membantu mencegah
aspirasi pada pneumonia. (Koichiro, 2011)
BAB IIIPEMBAHASAN3.1 Ringkasan Jurnal Mikroflora mulut patogenik
memainkan peran penting dalam beberapa penyakit sistemik termasuk
penyakit kardiovaskular, endokarditis, masalah pernapasan,
bakteremia, dan ventilator-associated pneumonia (VAP) (Seymour
& Whitworth 2002, Munro & Grap2004). Dalam kelompok ini
penyakit, pneumonia nosokomial telah semakin dipelajari dan
hubungan antara VAP dan mikroorganisme dari rongga mulut telah
diakui secara progresif (Taraghi et al., 2011). VAP adalah bentuk
pneumonia nosokomial yang terjadi pada pasien yang menerima
ventilasi mekanis selama lebih dari 48 jam (Augustyn, 2007). Angka
kematian yang diperkirakan antara 20% dan 70%. Mengingat pentingnya
asuhan keperawatan dalam pencegahan VAP dan kurangnya perawat yang
berpengalaman di unit perawatan intensif (ICU), pentingnya
pendidikan tentang pencegahan VAP (Zack et al., 2002 Labeau et al.,
2007, Ross & Crumpler 2007, Labeau et al., 2008). Perawat perlu
memahami patofisiologi VAP, faktor risiko untuk jenis pneumonia,
dan tindakan yang dapat mencegah penyakit. Insiden VAP yang
dilaporkan dalam literatur berkisar dari 10 sampai 20% (Safdar et
al., 2005 Coppadoro et al., 2012). ICU bedah memiliki tingkat lebih
tinggi VAP dibandingkan ICU medis (Craven, 2000). VAP dapat dibagi
menjadi 2 jenis yaitu VAP onset awal dan VAP onset akhir. VAP onset
awal terjadi 48 sampai 96 jam setelah intubasi dan berhubungan
dengan organisme yang sensitif antibiotik sedangkan VAP onset akhir
terjadi lebih dari 96 jam setelah intubasi dan berhubungan dengan
organisme resisten antibiotik seperti Pseudomonas aeruginosa,
Methicillin-resistant Staphylococcus aureus (MRSA), spesies
Acinetobacter, dan spesies Enterobacter. Patofisiologi VAP
melibatkan 2 rute utama yaitu kolonisasi saluran pernapasan dan
saluran pencernaan dan mikroaspirasi pembuangan dari bagian atas
dan bawah dari jalan nafas (Taraghi et al, 2011.). Migrasi bakteri
dari paru-paru dapat disebabkan oleh penyebaran organisme dari
berbagai sumber termasuk orofaring, rongga sinus, nares, plak gigi,
saluran pencernaan, pasien kontak dengan pasien, dan sirkuit
ventilator (Kunis & Puntillo 2003). Faktor risiko untuk VAP
dapat dibagi menjadi 3 klasifikasi, yaitu orang yang sakit,
perangkat yang digunakan, dan keterlibatan dengan orang lain
(Langer et al., 1989, Masak et al., 1998, Drakulovic et al. 1999,
akca et al., 2000, Arozullah et al., 2001 Pawar et al. 2003,
Apostolopoulou et al., 2003 Kobashi & Matsushima tahun 2003,
Bullock et al., 2004 Alp et al., 2004 Grap et al., 2012, Tsai et
al., 2012). Adanya tabung endotrakeal (ETT) menghambat batuk
normal, menelan normal, dan perlindungan kontak trakea oleh
penutupan epiglotis. Dengan berkembangnya patogen pernapasan dalam
struktur plak pelindung mereka, mereka membuat jalan mereka ke
dalam kolam subglottic dan menempatkan diri di sekitar ETT untuk
migrasi. ETT menyebabkan gangguan yang abnormal antara saluran
napas atas dan trakea. Pembersihan mukosiliar dapat terganggu
karena kerusakan mukosa selama intubasi (De Rosa & Craven
2003). Pemeliharaan teknik aseptik saat melakukan pengisapan
endotrakeal sangat penting untuk mencegah kontaminasi dari saluran
udara (Augustyn, 2007).Lavage garam dari ETT sebelum penyedotan
bakteri terhalau dari ETT ke dalam saluran udara yang lebih rendah
dan dengan demikian lonjakan risiko VAP (Moore, 2003). Saline
lavage telah lama dianggap sebagai sarana untuk mencairkan sekresi
dan mencegah terbentuknya lendir di ETTs. Mempertahankan hidrasi
yang memadai, memastikan humidifikasi sesuai dengan sirkuit
ventilator, dan menggunakan nebulizer atau agen mukolitik dapat
membantu mengurangi viskositas sekresi dan menghapus kebutuhan
untuk saline lavage (Akgul & Akyolcu 2002). Meskipun peneliti
telah membandingkan efek dari panas dan kelembaban penukar (HME
filter) dan humidifier dipanaskan pada kejadian VAP, kesimpulan
akhir tidak diperoleh tentang bentuk kelembaban yang berkolaborasi
dengan insiden yang lebih tinggi dari VAP (Augustyn,
2007).Diagnosis VAP dapat ditentukan pada dasar temuan radiografi
dan klinis, hasil tes mikrobiologi sputum, atau pengujian agresif
seperti bronkoskopi (Porzecanski & Bowton 2006). VAP memiliki
tanda-tanda klinis seperti demam, leukositosis, dan sputum purulen
serta temuan abnormal pada radiografi dada (Grossman & Fein
2000). Banyak strategi telah dimasukkan ke dalam rencana perawatan
terhadap VAP. Bundel VAP adalah seperangkat perawatan yang
dilaksanakan secara bersamaan untuk mengurangi insiden VAP.
Penelitian terbaru telah mengungkapkan bahwa penggunaan paket
perawatan VAP tersebut dapat mengakibatkan penurunan yang cukup
besar dalam tingkat VAP (Coppadoro et al. 2012, Westwell 2008,
Morris et al., 2011, Brierley et al.2012). Terdapat empat unsur
pencegahan dalam rencana pencegahan VAP meliputi elevasi kepala
dari tempat tidur, chlorhexidine lisan, sedasi memegang, dan
penyapihan (Morris et al., 2011). Hutchins et al. disebutkan bahwa
penggunaan protokol perawatan mulut bersama dengan paket rencana
pencegahan VAP menyebabkan pengurangan 89,7% dalam tingkat VAP pada
pasien ventilasi mekanik 2004-2007 (Hutchins et al., 2009).
Meskipun VAP memiliki faktor risiko yang kompleks, banyak
intervensi keperawatan dapat mengurangi kejadian VAP (Coppadoro et
al., 2012, Morris et al., 2011, Bingham et al., 2010, Nseir et al.,
2011, Rello et al., 2012). Rencana untuk menghilangkan VAP, seperti
menggunakan ventilasi non-invasif dan perawatan mulut, menggunakan
sucralfate daripada H2 antagonis untuk stres ulkus profilaksis, dan
tindakan untuk mencegah aspirasi, misalnya posisi semi-telentang
atau elevasi kepala tempat tidur dan penyedotan subglottic konstan,
dan terapi tidur kinetik semuanya telah mengungkapkan untuk
mengurangi risiko VAP (Heyland et al., 2002, Safdar et al., 2004).
Trakeostomi awal sebagai salah satu tindakan pencegahan potensi
VAP. Meskipun trakeostomi mengurangi durasi ventilasi dan lamanya
dirawat di ICU (Griffiths et al. 2007), uji coba terkontrol secara
acak baru-baru ini gagal membuktikan pengurangan VAP trakeostomi
awal (6-8 hari setelah intubasi)(Terragni et al., 2010). Beberapa
studi telah mengevaluasi efektivitas pencegahan VAP menggunakan
ETTs berlapis perak. Dalam sebuah penelitian, penggunaan ETT perak
berlapis terkait untuk menurunkan tingkat VAP dan VAP onset akhir
(Kollef et al., 2008). Oleh karena itu, penggunaan anti-bakteri ETT
tampaknya tepat untuk mengobati pasien, diharapkan akan ventilasi
selama lebih dari 48 jam. Girou et al. menemukan bahwa tingkat
pneumonia nosokomial dan semua infeksi nosokomial yang jauh lebih
sedikit pada pasien didukung dengan ventilasi noninvasif
dibandingkan intubasi dan ventilasi mekanik (8% vs 22% dan 18% vs
60%; p = 0,04 dan p