34 34 III. KONDISI EKSISTING WADUK JATIGEDE 3.1. Gambaran Umum Sungai Cimanuk merupakan sungai terbesar kedua di Propinsi Jawa Barat. Sungai ini bermula dari lereng-lereng Gunung Papandayan (2.622 m), Gunung Cikuray (2.821 m), dan Gunung Mandalagiri (1.813 m). Rencana pembangunan Bendungan Jatigede berada pada DAS Cimanuk, dimana DAS Cimanuk dengan luas DAS 3.600 km 2 mencakup wilayah Kabupaten Garut (1.209 km 2 ), Sumedang (1.074 km 2 ) , Majalengka (1.209 km 2 ) dan Indramayu (271 km 2 ), hal ini disajikan dalam Gambar 10. Mulai dari Balubur Limbangan ke atas merupakan sub DAS Hulu yang merupakan DAS Waduk Jatigede (luas DAS 1.460 km 2 ) terletak di dataran tinggi dengan elevasi ± 700 m, dikelilingi 12 gunung api dan beberapa diantaranya masih aktif, dengan tinggi puncak berkisar antara 2.000 m sampai 3.000 m. DAS bagian tengah berupa dataran yang lebih rendah, mencakup penggal Sungai Cimanuk bagian tengah bersama dengan daerah tangkapan air dari dua anak sungai utama, Cilutung dan Cipeles. DAS bagian hilir terdiri dari dataran pantai dengan ketinggian di bawah 50 meter. Permasalahan utama yang dihadapi di bagian hilir adalah masalah genangan banjir. Banjir yang datang dari DAS bagian hulu adalah akibat intensitas curah hujan yang tinggi di lereng-lereng gunung. Curah hujan rata-rata di DAS Cimanuk sebesar 2.400 mm, debit tahunan rata-rata di Eretan di hilir bendungan Jatigede (luas DAS 1.460 km 2 ) sebesar 62,9 m 3 /detik sedangkan di lokasi Bendung Rentang (=luas DAS 3.003 km 2 ) adalah 137,3 m 3 /detik. Luas DAS Cimanuk secara keseluruhan adalah 3.600 km 2 , panjang sungai utama 230 km, dengan batuan dasar utama alluvium, hasil gunung api, miosen fasies sedimen, plistosen, pliosen fasies gunung api dan eosen. DAS Waduk Jatigede seluas 1.460 km 2 dengan panjang sungai 101,45 km. Anak sungai utamanya Cipeles dengan luas sub DAS 440 km 2 serta panjang sungai 60 km, lalu sungai Cilutung dengan sub DAS 640 km 2 dengan panjang sungai 75 km, pertemuan sungai Cipeles dan sungai Cilutung dengan sungai Cimanuk berada di hilir lokasi Bendungan Jatigede. Populasi penduduk yang tinggal dalam DAS Cimanuk sebanyak 2.780.680 orang (Kantor Statistik Propinsi Jawa Barat 2001) dengan kota-kota utama di Kabupaten Garut, Sumedang, Majalengka dan Indramayu. Tata guna lahan atau tutupan lahan pada tahun 1991 (Bappeda Propinsi Jawa Barat 1991) adalah
31
Embed
III. KONDISI EKSISTING WADUK JATIGEDE - IPB …repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/54222/BAB III... · 34 34 III. KONDISI EKSISTING WADUK JATIGEDE 3.1. Gambaran Umum Sungai
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
34
34
III. KONDISI EKSISTING WADUK JATIGEDE
3.1. Gambaran Umum Sungai Cimanuk merupakan sungai terbesar kedua di Propinsi Jawa Barat.
Sungai ini bermula dari lereng-lereng Gunung Papandayan (2.622 m), Gunung
Cikuray (2.821 m), dan Gunung Mandalagiri (1.813 m). Rencana pembangunan
Bendungan Jatigede berada pada DAS Cimanuk, dimana DAS Cimanuk dengan
luas DAS 3.600 km2 mencakup wilayah Kabupaten Garut (1.209 km2),
Sumedang (1.074 km2) , Majalengka (1.209 km2) dan Indramayu (271 km2), hal
ini disajikan dalam Gambar 10. Mulai dari Balubur Limbangan ke atas merupakan
sub DAS Hulu yang merupakan DAS Waduk Jatigede (luas DAS 1.460 km2)
terletak di dataran tinggi dengan elevasi ± 700 m, dikelilingi 12 gunung api dan
beberapa diantaranya masih aktif, dengan tinggi puncak berkisar antara 2.000 m
sampai 3.000 m. DAS bagian tengah berupa dataran yang lebih rendah,
mencakup penggal Sungai Cimanuk bagian tengah bersama dengan daerah
tangkapan air dari dua anak sungai utama, Cilutung dan Cipeles. DAS bagian
hilir terdiri dari dataran pantai dengan ketinggian di bawah 50 meter.
Permasalahan utama yang dihadapi di bagian hilir adalah masalah genangan
banjir. Banjir yang datang dari DAS bagian hulu adalah akibat intensitas curah
hujan yang tinggi di lereng-lereng gunung. Curah hujan rata-rata di DAS Cimanuk
sebesar 2.400 mm, debit tahunan rata-rata di Eretan di hilir bendungan Jatigede
(luas DAS 1.460 km2) sebesar 62,9 m3/detik sedangkan di lokasi Bendung
Rentang (=luas DAS 3.003 km2) adalah 137,3 m3/detik.
Luas DAS Cimanuk secara keseluruhan adalah 3.600 km2, panjang sungai
utama 230 km, dengan batuan dasar utama alluvium, hasil gunung api, miosen
fasies sedimen, plistosen, pliosen fasies gunung api dan eosen. DAS Waduk
Jatigede seluas 1.460 km2 dengan panjang sungai 101,45 km. Anak sungai
utamanya Cipeles dengan luas sub DAS 440 km2 serta panjang sungai 60 km,
lalu sungai Cilutung dengan sub DAS 640 km2 dengan panjang sungai 75 km,
pertemuan sungai Cipeles dan sungai Cilutung dengan sungai Cimanuk berada
di hilir lokasi Bendungan Jatigede.
Populasi penduduk yang tinggal dalam DAS Cimanuk sebanyak 2.780.680
orang (Kantor Statistik Propinsi Jawa Barat 2001) dengan kota-kota utama di
Kabupaten Garut, Sumedang, Majalengka dan Indramayu. Tata guna lahan atau
tutupan lahan pada tahun 1991 (Bappeda Propinsi Jawa Barat 1991) adalah
35
hutan (22,76%), sawah (35,99%), lahan pertanian (29,76%), permukiman
(6,55%), permukaan air (0,01%), lain-lain (4,93%), hal ini disajikan dalam
Gambar 11. Debit di sungai Cimanuk memiliki karakteristik yang bervariasi
berdasarkan musim yaitu debit rata-rata bulanan di bagian hilir sungai berkisar
dari 20 m3/detik di musim kemarau sampai 260 m3/detik di musim hujan. Lahan
persawahan beririgasi yang dapat ditanami di musim hujan diperkirakan seluas
118.000 ha, meskipun banjir yang merupakan banjir rutin dapat menghancurkan
hasil panenan. Karena masalah kekurangan air, lahan persawahan di basin
bagian hilir yang dapat diairi di musim kemarau secara penuh kurang dari 50.000
ha. Kondisi sungai sepanjang sungai Cimanuk dan potongan memanjang sungai
Cimanuk dari hulu hingga ke lokasi Bendungan Jatigede ditampilkan dalam
Gambar 12 dan 13. Data tutupan lahan tahun 2009 disampaikan pada Bab V.
Gambar 10. DAS Cimanuk. (4 = Kab. Garut, 3=Kab. Sumedang, 2 = Kab. Majalengka, 1 = Kab. Indramayu). Sumber : Bappeda Jabar 2001.
Batas DAS
36
Gambar 11. Peta Tutupan Lahan tahun 1991 (Bappeda Jabar 1991)
Batas DAS
37
Bendungan Jatigede
Sungai Cinambo
Sungai CicacabanSungai Cialing
Bendung Bayongbong
Sungai CibodasSungai Cikamiri
Bendung Ciojar
Sungai Cipancar
Jembatan Wado
CONTROL POINT
CMK-1
CMK-2CMK-3
CMK-4CMK-5
CMK-6
CMK-7
CMK-8
CMK-9
CMK-10CMK-11
CMK-12
CMK-13
JALAN
CMK-14
SUNGAI CINAMBO
SUNGAI CICACABAN
SUNGAI CIALING
JEMB. WADO
SUNGAI CIPANCAR
SUNGAI CIOJARSUNGAI CIKAMIRISUNGAI CIBODASSUNGAI CIMANUK HULU
Gambar 12. Kondisi sepanjang sungai Cimanuk (Indra Karya 2006)
38
Gambar 13. Potongan memanjang topograpi sungai Cimanuk ke Bendungan Jatigede (Indra Karya 2006)
Keberlanjutan suatu Daerah Aliran Sungai dapat ditinjau dari laju
sedimentasi yang terjadi dan perbandingan antara debit maksimum dan debit
minimum yang terjadi. Laju sedimentasi yang lebih dari 5,0 mm/tahun
menunjukkan bahwa DAS dalam keadaan kritis (Mulyanto 2000). Demikian
halnya dengan rasio Qmax/Qmin, jika lebih besar dari 50 kali, menunjukkan situasi
DAS yang kritis (Icold 2005). Di lokasi Bendungan Jatigede laju sedimentasi rata-
rata yang terukur dari tahun 1985 hingga 2006 berkisar 5,32 mm/tahun dan rasio
Qmax/Qmin yang terukur di Bendung Rentang adalah 1004 / 4 m3/detik sama
dengan 251. Jadi dari dua nilai indikator keberlanjutan DAS, DAS Waduk
Jatigede tidak memenuhi kriteria berkelanjutan.
3.1.1. Data Teknis dan Fungsi Bendungan Jatigede Bendungan Jatigede dengan luas daerah aliran sungai 1.460 km2 , memiliki
volume aliran permukaan sebesar 2,5 milyar m3 per tahun (BBWS 2009).
Gambar 14 memperlihatkan potongan tubuh bendungan di dasar sungai dan
Gambar 15 memperlihatkan tata letak bendungan. Data-data teknis mengenai
Gambar 21. Hubungan tampungan, luas muka air dan elevasi Waduk Jatigede
(Indra Karya 2006)
3.4.2. Kebutuhan Air Simulasi tampungan waduk dilakukan guna mencukupi kebutuhan air baku
sebesar 3,5 m3/dt, kebutuhan air irigasi sebesar 90.000 ha dengan pola tanam
padi-padi-palawaja dan kebutuhan air untuk PLTA dimana volume air dialirkan
ke pembangkit sebelum dialokasikan untuk irigasi dan air baku untuk
membangkitkan daya dengan kapasitas sebesar 110 MW. Kebutuhan air di
Daerah Irigasi Rentang seluas 90.000 ha diperoleh sebesar 1.965.000.000 m3
selama setahun dan kebutuhan air baku sebesar 110.376.000 m3 selama
setahun dan total kebutuhan 2.075.419.000 m3 selama setahun. Kebutuhan air
irigasi pada tiga musim tanam ditampilkan dalam Tabel 10.
Ada tiga musim tanam yang direncanakan selama setahun, yaitu musim
tanam I dengan luas target areal layanan irigasi seluas 90.000 ha, jatuh pada
bulan Desember hingga bulan Maret dan musim tanam II dengan luas layanan
yang sama, tetapi jatuh pada bulan April hingga Juli. Musim tanam III, luas areal
layanan irigasi seluas 76.500 ha di bulan Agustus hingga November (Tabel 10).
Kebutuhan air irigasi memperhitungkan evapotranspirasi, perkolasi dan
kebutuhan air tanaman. Kebutuhan air tersebut diperuntukkan bagi transplantasi
(pembibitan), persiapan lahan dan kebutuhan air di sawah. Dengan
54
memperhitungkan curah hujan efektif yang turun di sawah maka kebutuhan
bersih (net requirement) disajikan pada Tabel 10. Pada bulan surplus air dengan
curah hujan tinggi, kebutuhan air irigasi relatif rendah, sedangkan pada bulan
defisit air dengan curah hujan rendah, kebutuhan air irigasi meningkat.
Tabel 10. Kebutuhan air untuk irigasi (Indra Karya 2006)
Kelompok APADI I - PADI II - PALAWIJA
Kelompok A 0.689Mulai Tanam MT-1 16 NopemberMulai Tanam MT-2 1 AprilMulai Tanam MT-3 16 Juli
BulanNo. Uraian Satuan
I II I II I II I II I II I II I II I II I II I II I II I II I IIDecade 2 15 15 15 16 15 15 15 14 15 16 15 15 15 16 15 15 15 16 15 16 15 15 15 16 15 15Pola Tata TanamMT-1 16 NopemberMT-2 1 April P A D I P A D I PALAWIJAMT-3 16 Juli
Nop Des Jan Feb Mar Apr Mei Jun NovJul Ags Sep Okt
55
3.5. Pengadaan Tanah untuk Pembangunan Bendungan Jatigede Pengadaan tanah untuk pembangunan waduk Jatigede dilaksanakan
dengan menggunakan beberapa Peraturan Dasar sejak pengadaan tanah awal
yang dilakukan pada tahun 1982-an. Beberapa peraturan dasar tersebut adalah :
(i) Peraturan Menteri Dalam Negeri no. 15 Tahun 1975, (ii) Keputusan Presiden
no. 55 Tahun 1993, (iii) Keputusan Presiden no. 36 Tahun 2005 dan (iv)
Keputusan Presiden no. 65 Tahun 2006.
Peraturan-peraturan diatas menjadi dasar proses pengadaan tanah
sesuai masanya dan disamping itu ada peraturan-peraturan pelaksanaan lainnya
seperti Keputusan Kepala Badan Pertanahan Nasional atau Peraturan Menteri
Kehutanan untuk pengadaan tanah yang merupakan kawasan hutan. Pengadaan
tanah milik masyarakat dapat secara penuh mendasarkan pada Peraturan Dasar
yang didukung oleh Keputusan Kepala BPN, namun untuk tanah yang
merupakan kawasan hutan, selain peraturan dasar, juga harus mengikuti
Peraturan Menteri Kehutanan.
Ada dua proses pengadaan tanah yang diperbolehkan untuk penggunaan
kawasan hutan (hutan produksi dan hutan lindung), yaitu :
1. Tukar Menukar Kawasan Hutan (TMKH). Diperuntukkan bagi penggunaan
kawasan hutan yang akan mengubah fungsi kawasan hutan, diharuskan
menyediakan lahan pengganti dengan rasio tertentu terhadap luasan
kawasan hutan yang digunakan.
2. Pinjam Pakai Kawasan Hutan. Diperuntukkan bagi penggunaan kawasan
hutan tanpa mengubah fungsi kawasan hutan, diharuskan menyediakan
lahan kompensasi dengan rasio tertentu terhadap luasan kawasan hutan
yang dipakai.
Pengadaan tanah untuk Pembangunan waduk Jatigede membutuhkan
lahan seluas 4.941 ha (Gambar 22) yang terdiri dari kawasan hutan seluas 1.361
ha dan lahan yang dimiliki oleh penduduk seluas 3.580 ha. Sampai dengan akhir
tahun 2010 sudah 77,9 % lahan yang sudah dibebaskan dengan total 3.849,57
ha yang terdiri dari lahan masyarakat 3.531,57 ha (98,65% dari 3.580 ha) dan
lahan pengganti/ kompensasi kawasan Hutan seluas 318 ha (23,36 % dari
1.361 ha) di Kabupaten Sumedang seluas 289 ha dan di Kabupaten Ciamis 29
ha. Luas lahan yang belum dibebaskan 1.091,43 ha (22,1%) terdiri dari lahan
masyarakat seluas 48,43 ha (1,35% dari 3580 ha) dan lahan
pengganti/kompenasi kawasan Hutan seluas 1.043 ha (76,64 % dari 1.361 ha).
56
Gambar 22. Peta genangan dan areal pembebasan lahan (P2T 2010)
Dari 1.091,43 ha luas lahan yang belum dibebaskan direncanakan
pembebasan lahan untuk tahun berikutnya yaitu dari tahun 2011 hingga 2012.
Untuk kawasan Hutan, dari kekurangan luas 1.043 ha, pengadaan lahan
pengganti/kompensasi direncanakan pada tahun 2011 seluas 543 ha dan tahun
2012 seluas 500 ha. Untuk lahan milik masyarakat seluas 48,43 ha rencana
pengadaan tanahnya di tahun 2011.
Dari Total luas 1.361 ha kawasan hutan yang dipakai dalam pembangunan
Waduk Jatigede dan oleh karena proses yang panjang dan ketat, dengan campur
tangan Wakil Presiden, setelah kontrak pembangunan waduk Jatigede
ditandatangani pada 30 April 2007, dan Surat Perintah Mulai Kerja pada
Kontraktor pada tanggal 15 November 2007. Di bulan Juni 2008, Menteri
Kehutanan memberikan dispensasi bagi Menteri Pekerjaan Umum c.q. Satuan
57
Kerja Non Vertikal Tertentu Pembangunan Waduk untuk dapat menggunakan
lahan kawasan hutan di lokasi tapak Bendungan Jatigede seluas 184,17 ha,
namun harus segera dicarikan lahan penggantinya dan membayar Nilai Harapan
dari pohon-pohon yang ada di kawasan hutan (Ganti Rugi Tegakan).
Secara sekilas kawasan hutan milik Perhutani – Kementerian Kehutanan
yang merupakan unsur Pemerintah, maka akan lebih mudah bagi Kementerian
Pekerjaan Umum yang juga Pemerintah dalam melakukan koordinasi dalam
penyelesaian tahapan dalam proses TMKH dan Pinjam Pakai kawasan hutan.
Kenyataannya, prosedur ketat dengan tahapan dan waktu yang lama harus
dilewati yang melibatkan berbagai institusi.
3.5.1. Pengadaan Tanah Pengganti dan Tanah Kompensasi Kawasan Hutan Tahapan proses pengadaan tanah untuk calon lahan penganti dalam
proses Tukar Menukar Kawasan Hutan dan calon lahan kompensasi dalam
proses Pinjam Pakai di Waduk Jatigede adalah sebagai berikut :
1. Pengurusan Rekomendasi Bupati terhadap calon lahan pengganti.
2. Pengurusan Rekomendasi Gubernur terhadap calon lahan pengganti.
3. Penelaahan oleh Ditjen Planologi Kehutanan.
4. Pembentukan dan penelaahan oleh Tim Terpadu.
5. Persetujuan prinsip dari Menteri Kehutanan.
6. Pengadaan tanah yang clear dan clean.
7. Pembuatan Berita Acara Tukar Menukar (BATM).
8. Penunjukkan lahan pengganti sebagai kawasan hutan.
9. Tata Batas Kawasan Hutan dan Ganti Rugi Tegakan.
10. Tata Batas Lahan Pengganti.
11. Reboisasi di lahan pengganti dan pemeliharaannya.
12. Penetapan kawasan hutan dari lahan pengganti dan pelepasan kawasan
hutan yang dimohon.
Dalam proses penggunaan kawasan hutan ditemui kendala-kendala dalam
pengadaan lahan pengganti/kompensasi dan persetujuan penggunaan kawasan
hutan. Pengadaan tanah dilakukan di tahapan ke-enam, jika tahapan ini diikuti
maka membutuhkan waktu lebih dari satu tahun sehingga melewati Tahun
Anggaran APBN. Dalam pelaksanaan di lapangan bahkan sebelum keluarnya
Rekomendasi Gubernur, pengadaan tanah dilakukan dengan pertimbangan
dapat menyerap APBN, dengan berbekal rekomendasi teknis dari instansi teknis
58
kabupaten dan propinsi, penetapan lokasi dari Bupati serta sudah melakukan
koordinasi dengan Perhutani Provinsi. Hal ini dapat diterima,namun dapat
menimbulkan masalah perbedaan luasan yang dibebaskan dalam pengadaan
tanah dengan pengukuran total batas oleh Kementrian Kehutanan. Disamping itu
proses Ganti Rugi Tegakan (ganti rugi pohon) baru dapat dilakukan jika ijin
penggunaan kawasan hutan dan penunjukan lahan pengganti telah dikeluarkan
oleh Menteri Kehutanan (proses ke-9) yang dalam rencana pembangunan
Waduk Jatigede harus diselesaikan pada akhir 2012 sehingga penebangan
hutan dapat dilakukan pada tahun 2013. Namun jika melihat kondisi di lapangan,
dengan persyaratan bahwa proses Ganti Rugi Tegakan baru dapat dilakukan
setelah pengadaan tanah pengganti/kompensasi, pembuatan Berita Acara Tukar
Menukar Kawasan Hutan dan penunjukkan lahan pengganti serta Tata Batas
Kawasan Hutan (proses ke-10). Setelah itu penebangan pohon di lahan kawasan
hutan seluas 1.167 ha baru dapat dilakukan. Memperhatikan hal itu maka proses
penggunaan kawasan hutan dapat menjadi masalah besar untuk rencana
penggenangan Waduk Jatigede pada 1 Oktober 2013.
3.5.2. Pembebasan Lahan Milik Penduduk Pembebasan Lahan Milik Penduduk di daerah genangan waduk Jatigede,
daerah penambangan batu untuk timbunan bendungan (quarry) dan
penambangan tanah lempung (borrow area) untuk timbunan kedap air
bendungan, telah memiliki sejarah panjang dari tahun 1982 hingga saat ini dan
diperkirakan tuntas akhir tahun 2012, telah berlangsung hampir 30 tahun.
Rentang waktu yang panjang telah memanfaatkan empat Peraturan
Pembebasan Tanah yaitu :
a. Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 15/75, yang mengatur bahwa
pembebasan lahan harus disertai dengan relokasi pemukiman bagi lahan
pemukiman dan rumah yang dibebaskan.
b. Keputusan Presiden No. 55/93, pembebasan lahan tidak ada kewajiban untuk
relokasi. Panitia Pembebasan Tanah diketuai oleh Institusi Pertanahan
Nasional di tingkat Kabupaten/Kotamadya.
c. Peraturan Presiden No. 36/2005, pembebasan lahan tidak ada kewajiban
untuk relokasi. Badan Pertanahan Nasional tidak masuk dalam Panitia
Pembebasan Tanah (PPT). PPT diketuai oleh Pemerintah Daerah.
d. Keputusan Presiden No. 65/2006, pembebasan lahan tidak ada kewajiban
untuk relokasi. PPT diketuai oleh Pemerintah Daerah, namun BPN masuk ke
59
dalam anggota.
Pembebasan lahan milik penduduk sangat sarat dengan masalah sosial,
apalagi dengan rentang waktu pembebasan lahan yang sangat panjang,
sehingga timbul berbagai masalah berikut:
1. Membutuhkan pengelolaan data yang baik dan menimbulkan kesulitan
mengkonfirmasi data-data pembebasan yang lama.
2. Menimbulkan peluang memanfaatkan kelemahan data base untuk
kepentingan pribadi dengan mengklaim tanahnya terlewat dalam
pembebasan lahan di tahun sebelumnya.
3. Menimbulkan peluang memanfaatkan kelemahan peraturan, karena tiadanya
peraturan yang melarang pengubahan status lahan sebelum adanya ijin
penetapan lokasi dari Bupati. Hal ini mengakibatkan timbulnya
pembangunan rumah secara liar bukan untuk ditempati (disebut rumah
tumbuh), tetapi hanya menambah nilai pembebasan lahan dengan nilai
bangunan yang besar.
4. Memanfaatkan dampak lingkungan dalam masa pelaksanaan konstruksi
untuk mendapatkan pembebasan lahan, yang jika tidak dipenuhi dapat
menghambat pelaksanaan pekerjaan.
5. Kecemburuan sosial masyarakat yang lahannya dibebaskan pada masa
orde baru terhadap kondisi sesudah reformasi politik, menimbulkan tuntutan
tambahan pembayaran ganti rugi karena klaim bahwa pembebasan dahulu
dilakukan dengan tekanan pemerintah.
6. Kewajiban relokasi pemukiman, secara hukum seharusnya hanya untuk
pembebasan yang berdasarkan Permendagri Nomor 15 tahun 1975. Data
jumlah KK pada pembebasan tanah bagi lahan pemukiman tahun 1982 –
1986 yang mendasarkan pada Permendagri tersebut adalah 4.065 KK.
Namun nyatanya, penduduk pemilik lahan yang dibebaskan pada tahun
berikutnya dengan dasar peraturan yang berbeda yang seharusnya tidak
berhak mendapatkan relokasi pemukiman, dengan pertimbangan mereka
penduduk miskin dianggap perlu mendapatkan relokasi walaupun dasar
kebijakannya belum ada. Jumlah penduduk miskin, menurut Data
Pemerintah Propinsi dan Kabupaten berbeda. Data Pemerintah Propinsi
mempertimbangkan 1.826 KK dari jumlah KK yang miskin dan pra-KS dari
pembebasan tanah tahun 1994 – 1997 dan pembebasan tahun 2001 – 2007,
sehingga total KK yang harus direlokasi ada 5.891 KK, sedangkan data
60
Pemerintah Kabupaten 8.935 KK. Data Pemerintah Kabupaten Sumedang
tidak saja memasukkan KK yang miskin, tetapi juga memasukkan
pengembangan KK di lahan yang sudah dibebaskan. Pengembangan KK
terutama terjadi karena pemilik lahan memiliki anak keturunan dan masih
bertempat tinggal di tanah yang sudah dibebaskan. Terdapat 3.044 KK yang
berasal dari pengembangan KK, sehingga total jumlah KK yang harus
direlokasi menjadi 8.935 KK. Hal ini menimbulkan masalah dalam
penyediaan anggaran untuk penyediaan lahan, perumahan dan infrastruktur
serta waktu tersisa yang semakin pendek karena melibatkan banyak Instansi
di Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Diperlukan koordinasi yang
intensif serta integrasi program dan anggaran dari semua Instansi yang
terlibat.
Pembebasan lahan milik penduduk di daerah genangan dan untuk fasilitas
pendukung bendungan tidak dapat dijamin selesai sesuai waktu yang
direncanakan karena belum ada jalan keluar untuk penyelesaian ‘rumah tumbuh’
yang tidak menimbulkan masalah hukum serta kemungkinan timbulnya klaim
tanah terlewat dengan pembebasan di tahun silam. Masalah relokasi pemukiman
akan menjadi ‘bom waktu’ jika tidak segera dituntaskan dan dapat menghambat
pelaksanaan penggenangan waduk yang direncanakan pada tanggal 1 Oktober
2013. Gambar 23 menjelaskan dasar hukum, jumlah KK yang dibebaskan, lokasi
dan kewajiban relokasi yang harus dilaksanakan.
61
PEMBEBASAN LAHAN & BANGUNAN THN 1982 S/D 1986
DASAR HUKUM :PERMENDAGRI NO. 15 TH 1975
JUMLAH PENDUDUK 4.065 KK
HARUS DIMUKIMKAN KEMBALI
KECAMATAN DARMARAJA :1. DESA CIPAKU ………........ (534 KK)2. DESA PAKUALAM …......... (486 KK)3. DESA KARANGPAKUAN .. (475 KK)4. DESA JATIBUNGUR ......... (316 KK)KECAMATAN WADO :1. DESA PADAJAYA …........ (720 KK)2. DESA CISURAT ..…......... (400 KK)KECAMATAN JATIGEDE :1. DESA JEMAH ………........ (235 KK)2. DESA CIRANGGEM ......... (218 KK)3. DESA MEKARASIH .......... (223 KK)4. DESA SUKAKERSA......... (458 KK)KECAMATAN CISITU :1. DESA PAJAGAN …........ ( - KK)2. DESA CIGINTUNG ........ ( - KK)
(Tidak ada penduduknya)
PEMBEBASAN LAHAN & BANGUNAN THN 1994-1997
DASAR HUKUM :KEPPRES NO 55 TH 1993
PEMBEBASAN LAHAN DAN BANGUNAN TH 2001 - 2007
DASAR HUKUM :PERPRES NO 36 TH 2005
KECAMATAN DARMARAJA :1. DESA SUKAMENAK ........ (440 KK)2. DESA LEUWIHIDEUNG ... (518 KK)
KECAMATAN JATINUNGGAL :DESA SIRNASARI …........ (268 KK)
KECAMATAN DARMARAJA :1. DESA CIBOGO ……........ (837 KK)2. DESA SUKARATU .......... (149 KK)
KECAMATAN WADO :DESA WADO ............…........ (889 KK)
KECAMATAN JATINUNGGAL :DESA PAWENANG …....... (43 KK)
HARUS PINDAH SECARA SWAKARSA MANDIRI, TETAPI SUDAH TIDAK MEMPUNYAI
BIAYA UNTUK PINDAH
HARUS PINDAH SECARA SWAKARSA MANDIRI, TETAPI APABILA PINDAH SECARA
BERKELOMPOK MINIMAL 50 KK, PEMBANGUNAN FASOS FASUMNYA
DIBANTU OLEH PEMERINTAH
JML PENDUDUK 1.226 KK JUMLAH PENDUDUK 1.918 KK (600 KK PRA KS)
Gambar 23. Dasar Pembebasan Lahan dan Bangunan (P2T 2010)
Data jumlah penduduk yang direlokasi, berbeda antara pemerintah Provinsi
dan pemerintah Kabupaten menjadi masalah yang perlu dikonfirmasi di lapangan
dan dapat menimbulkan masalah ke depan. Pembagian kewajiban Pemerintah
Pusat, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten dibagi berdasarkan
pembagian kerja sesuai Tugas Pokok dan Fungsi masing- masing (Gambar 24).
DASAR PEMBEBASAN LAHAN DAN BANGUNAN
62
SATKER JATIGEDE(PEMERINTAH PUSAT)
JML PENDUDUK 4.065 KK
SATGAS JATIGEDE(PEMPROV JABAR)
JML PENDUDUK 5.891 KK
DINAS KEPENDUDUKAN(PEMKAB SUMEDANG)
JML PENDUDUK 8.935 KK
JUMLAH PENDUDUK 4.065 KK JML PENDUDUK 1.226 KK JML PENDUDUK 1.918 KK (600 KK PRA KS)
KEWAJIBAN PEMERINTAH KEWAJIBAN PEMERINTAH
1. PEMERINTAH PUSAT• MEMBANGUN RUMAH• MEMINDAHKAN PENDUDUK BAIK MELALUI TRANSMIGRASI, RELOKASI MAUPUN
SISIPAN PERDESAAN• MEMBANGUN FASOS DAN FASUM• MEMBANGUN SARANA DAN PRASARANA DI PERMUKIMAN BARU• MENYELESAIKAN PEMBEBASAN SISA LAHAN MILIK MASYARAKAT YANG TERLEWAT
2. PEMERINTAH DAERAH• MENYEDIAKAN LAHAN SIAP BANGUN SELUAS 302,34 HA• MENYIAPKAN DATA LAHAN DAN BAGUNAN MILIK MASYARAKAT YANG TERLEWAT• MEMBANTU PEMINDAHAN PENDUDUK• MEMFASILITASI PENERBITAN PERIJINAN YG BERKAITAN DENGAN PELAKSANAAN
KEGIATAN PENANGANAN ASPEK SOSIAL
:PEMERINTAH KABUPATEN MAJALENGKA, CIREBON DAN INDRAMAYU SEBAGAI PEMANFAAT WADUK, MEMPUNYAI KEWAJIBAN
1. MENAMPUNG PENDUDUK ASAL JATIGEDE YANG TERGOLONG PRA KS MASING-MASING 200 KK
2. MENYIAPKAN LAHAN SIAP BANGUN MASING-MASING SELUAS 18 HA
3. MEMBANGUN RUMAH MASING-MASING SEBANYAK 200 UNIT
4. MEMBANGUN FASOS DAN FASUM5. MEMBANGUN SARANA DAN PRASARANA DI
PERMUKIMAN BARU
Gambar 24. Penduduk yang harus direlokasi dan Pembagian Kerja Pemerintah (P2T 2010)
3.5.3. Realisasi Luas dan Biaya Pembebasan Lahan Realisasi luas lahan yang dibebaskan di Waduk Jatigede tidak jauh
berbeda dengan rencana yang ada, namun ada pertambahan biaya yang
dibutuhkan untuk tambahan luas yang dibutuhkan (Tabel 11). Luas lahan yang
dibutuhkan berkisar 4.900 ha sampai 5.000 ha. Namun ke depan masih ada
masalah-masalah terkait pembebasan lahan yang perlu memerlukan biaya yang
cukup besar seperti penanganan masalah ‘ rumah tumbuh ‘ (Gambar 25),
penyelesaian masalah tanah terlewat, pembebasan lahan relokasi jalan,
pembangunan jalan dan jembatan relokasi jalan dan penyediaan lahan
pemukiman, perumahan dan infrastrukturnya.
63
Gambar 25. Lokasi quarry dan rumah tumbuh (P2T 2010)
Tabel 11. Realisasi Pembebasan Tahun 1982 hingga 2009 (BBWS 2010)