II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Banteng 2.1.1 Taksonomi dan Morfologi Banteng Menurut Lekagul dan McNeely (1977) banteng diklasifikasikan ke dalam dunia Animalia, filum Chordata, kelas Mammalia, ordo Artiodactyla, Famili Bovidae, genus Bos, spesies Bos Javanicus, subspesies Bos javanicus javanicus terdapat di Jawa, Madura, dan Bali, Indonesia, Bos javanicus lowi terdapat di Kalimantan dan Bos javanicus birmanicus terdapat di Indocina. Banteng memiliki morfologi tubuh yang tegap, besar dan kuat dengan bahu bagian depannya lebih tinggi dari pada bagian belakang tubuhnya dan memiliki tinggi pundak mencapai 120-170 cm. Bagian dada banteng memiliki gelambir yang dimulai dari pangkal kaki depan sampai bagian leher, tetapi tidak mencapai daerah kerongkongan (Lekagul dan McNeely 1977). Maryanto et al. (2008) menyatakan bahwa bentuk tubuh betina banteng lebih kecil dibandingkan dengan jantan, tinggi jantan mencapai 1.9 m dengan bobot badan 825 kg, sedangkan tinggi betinanya 1.6 m dengan bobot badan 635 kg. Lekagul dan McNeely (1977) menyatakan bahwa banteng jantan berwarna hitam, semakin tua umurnya semakin hitam warna tubuhnya, sedangkan banteng betina berwarna coklat kemerah-merahan, semakin tua umurnya, maka warnanya akan semakin gelap menjadi coklat tua. Alikodra (1983) dan Maryanto et al. (2008) juga menambahkan bahwa banteng memiliki sepasang tanduk yang dapat membedakan jenis kelamin dan umur banteng, tanduk pada banteng jantan berwarna hitam mengilap, runcing dan melengkung simetris ke dalam, sedangkan pada banteng betina memiliki ukuran tanduk yang lebih kecil. 2.1.2 Populasi dan Penyebaran Tarumingkeng (1994) menyatakan bahwa populasi adalah kelompok individu suatu jenis makhluk hidup yang tergolong dalam satu spesies (atau kelompok lain yang dapat melangsungkan interaksi genetik dengan jenis yang bersangkutan), dan pada suatu waktu tertentu menghuni suatu wilayah atau tata ruang tertentu. Begon et al. (2006) menyatakan bahwa populasi adalah organisme
18
Embed
II. TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.id · terdapat di Jawa, Madura, dan Bali, Indonesia, Bos ... Larang-Jayanti, Cikamurang, Kediri, Pantai Blitar, Pantai Malang, Perkebunan
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Banteng
2.1.1 Taksonomi dan Morfologi Banteng
Menurut Lekagul dan McNeely (1977) banteng diklasifikasikan ke dalam
dunia Animalia, filum Chordata, kelas Mammalia, ordo Artiodactyla, Famili
Bovidae, genus Bos, spesies Bos Javanicus, subspesies Bos javanicus javanicus
terdapat di Jawa, Madura, dan Bali, Indonesia, Bos javanicus lowi terdapat di
Kalimantan dan Bos javanicus birmanicus terdapat di Indocina. Banteng memiliki
morfologi tubuh yang tegap, besar dan kuat dengan bahu bagian depannya lebih
tinggi dari pada bagian belakang tubuhnya dan memiliki tinggi pundak mencapai
120-170 cm. Bagian dada banteng memiliki gelambir yang dimulai dari pangkal
kaki depan sampai bagian leher, tetapi tidak mencapai daerah kerongkongan
(Lekagul dan McNeely 1977). Maryanto et al. (2008) menyatakan bahwa bentuk
tubuh betina banteng lebih kecil dibandingkan dengan jantan, tinggi jantan
mencapai 1.9 m dengan bobot badan 825 kg, sedangkan tinggi betinanya 1.6 m
dengan bobot badan 635 kg.
Lekagul dan McNeely (1977) menyatakan bahwa banteng jantan berwarna
hitam, semakin tua umurnya semakin hitam warna tubuhnya, sedangkan banteng
betina berwarna coklat kemerah-merahan, semakin tua umurnya, maka warnanya
akan semakin gelap menjadi coklat tua. Alikodra (1983) dan Maryanto et al.
(2008) juga menambahkan bahwa banteng memiliki sepasang tanduk yang dapat
membedakan jenis kelamin dan umur banteng, tanduk pada banteng jantan
berwarna hitam mengilap, runcing dan melengkung simetris ke dalam, sedangkan
pada banteng betina memiliki ukuran tanduk yang lebih kecil.
2.1.2 Populasi dan Penyebaran
Tarumingkeng (1994) menyatakan bahwa populasi adalah kelompok
individu suatu jenis makhluk hidup yang tergolong dalam satu spesies (atau
kelompok lain yang dapat melangsungkan interaksi genetik dengan jenis yang
bersangkutan), dan pada suatu waktu tertentu menghuni suatu wilayah atau tata
ruang tertentu. Begon et al. (2006) menyatakan bahwa populasi adalah organisme
8
yang terdiri dari satu spesies, saling berinteraksi dan melakukan
perkembangbiakkan pada waktu dan tempat yang sama dan menghasilkan
keturunan yang sama dengan tetuanya. Populasi banteng di Indonesia mengalami
penurunan yang disebabkan oleh beberapa faktor, seperti perburuan dan aktivitas
manusia sekitar habitat banteng sehingga mempengaruhi keberadaan populasi
banteng.
Imron et al. (2007) mengukur populasi banteng di Taman Nasional Alas
Purwo berdasarkan jumlah jejak yang ditemukan, ternyata jumlah jejak banteng
lebih banyak ditemukan di lokasi yang aktivitas manusianya lebih rendah. Suhadi
(2009) dan Pudyatmoko et al. (2007) menyatakan bahwa populasi banteng di
Taman Nasional Baluran dari tahun ke tahun mulai tahun 2003 sampai 2006
mengalami penurunan disebabkan tingginya aktivitas manusia, kurang stabilnya
ketersediaan rumput di padang penggembalan Bekol dan adanya predator.
Mardi (1995) dan Subroto (1996) menyatakan bahwa penurunan populasi
banteng di Cagar Alam Leuweung Sancang diperkirakan terjadi karena rusaknya
padang penggembalaan. Jenuyanti (2002) menambahkan bahwa penurunan
tersebut diakibatkan telah berubah fungsinya padang penggembalaan menjadi
ladang garapan petani yang menyebabkan berkurangnya ketersediaan pakan
banteng, sehingga membuat kondisi populasi dan penyebarannya mengalami
perubahan dan berakibat adanya perburuan liar. Penurunan populasi banteng di
Cagar Alam Leuweung Sancang dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1 Penurunan populasi banteng di Cagar Alam Leuweung Sancang
Tahun Jumlah Sumber
1988 200 Ashby dan Santiapillai 1988
2000 10 Kompas 28 Nov 2003
2003 Punah Kompas 28 Nov 2003
Sumber: Permenhut No. 58 tahun 2011 tentang Strategi dan Rencana Aksi Konservasi Banteng
2011-2020
Hoogerwerf (1970) mengemukakan bahwa wilayah penyebaran banteng
meliputi Burma, Thai, Indocina, Semenanjung Malaya dan Indonesia (Kalimantan
dan jawa) dan memperkirakan bahwa populasi banteng sekitar pada tahun 1940
sekitar 2000 ekor, sebagian besar terdapat dalam kawasan perlindungan dan di
dataran rendah sebelah selatan Jawa. Populasi tersebut dari tahun ke tahun terus
9
mengalami penurunan hingga tahun 1978 populasi banteng yang ada di Pulau
Jawa diperkirakan tidak lebih dari 1500 ekor.
Lekagul & McNeely (1977) berpendapat bahwa sebelum tahun 1940,
banteng dapat ditemukan pada semua dataran rendah di Pulau Jawa, walaupun
beberapa waktu kemudian hanya ditemukan di suaka dan cagar alam yang ada di
Pulau Jawa. Hal ini dikuatkan oleh hasil penelitian Alikodra (1983) bahwa
banteng di Pulau Jawa hanya dapat ditemukan di kawasan pelestarian alam seperti
Taman Nasional Ujung Kulon, Suaka Margasatawa Cikamurang, Suaka
Margasatwa Cikepuh, Cagar Alam Pananjung Pangandaran, Cagar Alam
Leuweung Sancang, Taman Nasional Alas Purwo dan Taman Nasional Meru
Betiri. Beberapa referensi dalam Peraturan Menteri Kehutanan Nomor 58 Tahun
2011 tentang Strategi dan Rencana Aksi Konservasi Nasional Banteng Tahun
2010-2020 dikatakan bahwa banteng selain di kawasan konservasi pernah dan
diduga masih ada sampai saat ini ditemukan di beberapa lokasi, seperti Bojong
Larang-Jayanti, Cikamurang, Kediri, Pantai Blitar, Pantai Malang, Perkebunan
Treblasara-Jatim, Kawasan Hutan Lindung Londo Lampesan, Kabupaten
Nunukan, Malinau dan Berau.
Beberapa tempat penyebaran banteng yang dikemukakan oleh beberapa
peneliti di atas, saat ini telah mengalami pengurangan yang cukup tinggi ditandai
dengan hilangnya populasi di beberapa kawasan tersebut. Saat ini status sebaran
dibagi dalam empat kategori yaitu kawasan yang dapat dipastikan sebagai habitat
banteng (confirmed range), kawasan yang mungkin menjadi habitat banteng
(possible range), kawasan yang diragukan menjadi habitat banteng (doubtful
range) dan kawasan yang pernah menjadi habitat banteng (former range atau
extirpated). Hal ini dapat dilihat pada Gambar 2.
Banteng di Cagar Alam Leuweung Sancang berdasarkan beberapa penelitian
mengenai jejak tanda-tanda keberadaannya, terdapat di enam padang
penggembalaan yang berada di dalam kawasan, sedangkan penyebaran di luar
kawasan, yaitu areal Perusahaan Terbatas Perkebunan Nusantara (PTPN) VIII
Mira Mare yang berbatasan langsung dengan kawasan Cagar Alam Leuweung
Sancang. Kawasan perbatasan tersebut, antara lain Cibunigeulis, blok 23, blok
Bekanta, blok Meranti dan blok 20 (Mardi 1995; Subroto 1996).
10
Sumber: Peraturan Menteri Kehutanan Nomor 58 Tahun 2011 tentang Strategi dan Rencana
Aksi Konservasi Banteng 2011-2020
Gambar 2. Peta status sebaran banteng di Indonesia
2.1.3 Habitat
Alikodra (2002) menyatakan bahwa habitat merupakan suatu kawasan yang
terdiri dari beberapa kawasan, baik fisik (iklim, suhu, kelembaban, tanah dan
sebagainya) maupun biotik (organisme yang hidup) yang merupakan satu
kesatuan dan dipergunakan sebagai tempat hidup serta berkembangbiaknya satwa
liar. Alikodra (2002) juga menambahkan bahwa ukuran dari kelengkapan suatu
habitat adalah mampu menyediakan berbagai keperluan bagi suatu spesies
termasuk sumber makanan, air dan perlindungan (cover) yang diperlukan oleh
spesies hidupan liar untuk bertahan hidup dan melangsungkan reproduksinya
secara normal.
Subroto (1996) dan Kusnandar (1997) menyatakan bahwa kebutuhan pakan
banteng di Cagar Alam Leuweung Sancang diperoleh dari enam padang
penggembalaan yang tersebar di seluruh kawasan Cagar Alam Leuweung Sancang
dengan luas total 130 ha dan SBKSDA Jabar II (1993a) menjelaskan bahwa luas
masing-masing enam padang penggembalaan tersebut, yaitu blok Cipalawah 30
ha, Cijeruk 10 ha, Cibako 20 ha, Ciporeang 20 ha, Cipadaruum 20 ha dan Cidahon
11
30 ha. Subroto (1996) menyatakan bahwa kegiatan pemeliharaan terhadap padang
penggembalaan Cibako, Cipadaruum, Ciporeang dan Cidahon sudah sejak lama
tidak dilakukan, sedangkan pemeliharaan secara intensif hanya dilakukan pada
blok Cijeruk dan Cipalawah sampai pada tahun 1992. Kebutuhan banteng akan air
di dipenuhi dari sungai-sungai yang mengalir di sekitar kawasan Cagar Alam
Leuweung Sancang, seperti Sungai Cipadaruum, anak Sungai Cipangikisan dan
Sungai Cikolomberan (Subroto 1996).
2.1.4 Perilaku
Alikodra (2002) menyatakan bahwa perilaku adalah semua gerakan atau
kegiatan satwa untuk melestarikan atau mempertahankan hidupnya dan dapat
diartikan sebagai ekspresi suatu binatang yang disebabkan atau ditimbulkan oleh
semua faktor yang mempengaruhinya. Alikodra (1983) menyatakan bahwa
banteng merupakan satwa liar yang kurang selektif terhadap jenis tumbuhan yang
dimakannya dan lebih bersifat sebagai satwa pemakan rumput (grazer)
dibandingkan dengan pemakan daun dan atau semak (browser). Beberapa jenis
rumput yang merupakan pakan banteng adalah domdoman (Chrysopogon