II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Perkotaan dan Ruang Terbuka Berdasarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 2 tahun 1987, kota adalah pusat pemukiman dan kegiatan penduduk yang mempunyai batas wilayah administrasi yang diatur dalam peraturan perundang-undangan serta permukiman yang telah memperlihatkan watak dan ciri kehidupan perkotaan. Menurut Simonds (1983), kawasan perkotaan adalah suatu bentuk lanskap buatan manusia yang yang terbentuk akibat aktivitas manusia dalam mengelola kepentingan hidupnya, sedang kota adalah sebuah pusat populasi yang besar dan padat dengan aktivitas ekonomi, sosial, politik dan kebudayaan. Pertambahan penduduk, perkembangan kawasan permukiman dan industri serta pembangunan sarana dan prasarana transportasi menyebabkan terjadinya penurunan luas lahan pertanian dan vegetasi lain sebagai suatu konsekuensi yang logis, karena tuntutan kebutuhan masyarakat. Walaupun demikian, keputusan mengenai perubahan penggunaan lahan atau konversi lahan areal bervegetasi menjadi lahan terbangun memerlukan perencanaan yang logis pula, agar tidak terjadi dampak negatif, misalnya berkurangnya lahan pertanian produktif, erosi, kenaikan suhu permukaan dan udara, penurunan kualitas lingkungan dan degradrasi lahan, ketidaknyamanan hunian dan polusi akibat kegiatan industri. Berdasarkan masalah-masalah tersebut maka berkembang kepedulian masyarakat di daerah perkotaan untuk menciptakan lingkungan yang lebih nyaman, terutama dalam hal keleluasaan berinteraksi, baik sesama individu, kelompok maupun antar keduanya. Kemudian disusun perencanaan-perencanaan mengenai tata guna ruang dan pemanfaatannya yang disesuaikan dengan kebutuhan dan kelangsungan lingkungan di sekitarnya. Melalui pengembangan ruang-ruang binaan di lingkungan perkotaan tersebut, maka muncul konsep- konsep perencanaan ruang terbuka dan/ruang terbuka hijau yang ditujukan untuk mengakomodasi kebutuhan masyarakat perkotaan dalam hal interaksi dan sebagai penunjang kenyamanan di dalam ruang perkotaan. Berdasarkan Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 14 tahun 1988, ruang terbuka adalah ruang dalam kota atau wilayah yang lebih luas, baik dalam bentuk
22
Embed
II. TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.id · satu tempat dengan tempat yang lain, pembatas jarak antara massa bangunan dan pelembut arsitektur bangunan. Lebih lanjut Simonds (1983)
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Perkotaan dan Ruang Terbuka
Berdasarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 2 tahun 1987, kota
adalah pusat pemukiman dan kegiatan penduduk yang mempunyai batas wilayah
administrasi yang diatur dalam peraturan perundang-undangan serta permukiman
yang telah memperlihatkan watak dan ciri kehidupan perkotaan. Menurut
Simonds (1983), kawasan perkotaan adalah suatu bentuk lanskap buatan manusia
yang yang terbentuk akibat aktivitas manusia dalam mengelola kepentingan
hidupnya, sedang kota adalah sebuah pusat populasi yang besar dan padat dengan
aktivitas ekonomi, sosial, politik dan kebudayaan.
Pertambahan penduduk, perkembangan kawasan permukiman dan industri
serta pembangunan sarana dan prasarana transportasi menyebabkan terjadinya
penurunan luas lahan pertanian dan vegetasi lain sebagai suatu konsekuensi yang
logis, karena tuntutan kebutuhan masyarakat. Walaupun demikian, keputusan
mengenai perubahan penggunaan lahan atau konversi lahan areal bervegetasi
menjadi lahan terbangun memerlukan perencanaan yang logis pula, agar tidak
terjadi dampak negatif, misalnya berkurangnya lahan pertanian produktif, erosi,
kenaikan suhu permukaan dan udara, penurunan kualitas lingkungan dan
degradrasi lahan, ketidaknyamanan hunian dan polusi akibat kegiatan industri.
Berdasarkan masalah-masalah tersebut maka berkembang kepedulian
masyarakat di daerah perkotaan untuk menciptakan lingkungan yang lebih
nyaman, terutama dalam hal keleluasaan berinteraksi, baik sesama individu,
kelompok maupun antar keduanya. Kemudian disusun perencanaan-perencanaan
mengenai tata guna ruang dan pemanfaatannya yang disesuaikan dengan
kebutuhan dan kelangsungan lingkungan di sekitarnya. Melalui pengembangan
ruang-ruang binaan di lingkungan perkotaan tersebut, maka muncul konsep-
konsep perencanaan ruang terbuka dan/ruang terbuka hijau yang ditujukan untuk
mengakomodasi kebutuhan masyarakat perkotaan dalam hal interaksi dan sebagai
penunjang kenyamanan di dalam ruang perkotaan.
Berdasarkan Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 14 tahun 1988, ruang
terbuka adalah ruang dalam kota atau wilayah yang lebih luas, baik dalam bentuk
8
area atau kawasan maupun dalam bentuk area memanjang/jalur tanpa bangunan
diatasnya. Menurut Rob Rimer dalam Hakim dan Utomo (2003), bentuk ruang
terbuka secara garis besar ada dua jenis, yaitu memanjang (koridor) dan
membulat. Bentuk memanjang pada umumnya hanya mempunyai batas pada sisi-
sisinya, seperti pada jalan dan sungai, sedangkan bentuk membulat pada
umumnya mempunyai batas di sekelilingnya, seperti pada lapangan upacara, area
rekreasi dan lapangan olah raga.
Menurut Simonds (1983), ruang terbuka berhubungan langsung dengan
penggunaan struktur sehingga dapat mendukung fungsi struktur tersebut.
Sebagian besar masalah perkotaan merupakan masalah sosial. Penguasaan ruang
kota oleh manusia merupakan salah satu bentuk perilaku utama manusia modern.
Fungsi ruang terbuka menurut Hakim (1991) adalah sarana penghubung antara
satu tempat dengan tempat yang lain, pembatas jarak antara massa bangunan dan
pelembut arsitektur bangunan. Lebih lanjut Simonds (1983) menjelaskan bahwa,
karakteristik dan kelangsungan hidup suatu kota sebagian besar ditentukan oleh
pengaturan Ruang Terbuka Hijau (RTH).
Dalam Rencana Umum Tata Ruang DKI Jakarta 1985-2005, disebutkan
bahwa RTH mempunyai fungsi sebagai berikut :
1. Proteksi lingkungan
Fungsi pengamanan ruang terbuka hijau adalah (i) mencegah pengikisan air
laut dan kemungkinan meluasnya abrasi pantai (ii) mencegah meluapnya air
sungai, waduk dan kanal.
2. Pemanfaatan
Aspek pemanfaatan ruang terbuka hijau sangat luas, diantaranya ruang terbuka
hijau diperuntukkan sebagai sarana penelitian, sarana olahraga dan rekreasi,
kawasan untuk resapan air, sarana pengungsian pada saat bencana alam, sarana
penampung luapan air di sepanjang sungai dan kesegaran kota serta halaman
yang dinikmati setiap penghuninya.
3. Produksi
Fungsi produksi ini berkaitan dengan penggunaan ruang terbuka hijau oleh
pengelolanya, diantaranya sebagai daerah pertanian, perikanan, peternakan
9
atau kehutanan dan kegiatan jasa yang berkaitan dengan aktivitas rekreasi dan
wisata.
4. Kelestarian
Fungsi kelestarian ruang terbuka hijau mencakup dua aspek, yaitu (i) nilai-nilai
alam dan sosial-budaya seperti lingkungan bersejarah, cagar budaya dan
sumberdaya langka, dan (ii) lingkungan yang dilestarikan dan dipertahankan
sebagai areal terbuka dengan kehidupan asli. 2.2. Lanskap Pedestrian
2.2.1. Pengertian
Lanskap merupakan ruang di sekeliling manusia, mencakup segala hal yang
dapat dilihat dan dirasakan (Eckbo, 1964). Simonds (1983) menyatakan bahwa
lanskap apabila dipandang dari setiap tempat ternyata mempunyai karakter-
karakter lanskap tertentu yang terbentuk secara alami. Karakter ini terbentuk
karena adanya kesan harmoni dan kesatuan dari elemen yang ada di alam, seperti
bentuk suatu lahan, formasi batuan, vegetasi dan binatang. Derajat harmoni atau
kesatuan dari elemen-elemen lanskap tidak hanya diukur dari kesan yang
menyenangkan yang ditimbulkan, tetapi juga dari segi keindahan.
Menurut Simonds (1983), pedestrian adalah yang diibaratkan sebagai anak
sungai, mengalir mengikuti alur dengan mempunyai sedikit hambatan. Dalam
kaitannya dengan pedestrian, yang perlu diperhatikan adalah jalur pedestrian.
Menurut Nurisjah dan Qodarian (1995), pada umumnya jalur pedestrian
direncanakan hanya sebagai jalur pejalan kaki, dan jalur ini dapat dikembangkan
menjadi suatu sistem sirkulasi pedestrian yang indah, menyenangkan, nyaman dan
tak terasa panjangnya bila berjalan diatasnya. Caranya yaitu dengan meman-
faatkan topografi dan pemandangan alami serta pemandangan yang menarik
lainnya sehingga membentuk suatu visualisasi bentuk perjalanan yang menarik.
2.2.2. Kriteria Teknis Ruang Pedestrian
Terkait dengan ruang pedestrian, Harris dan Dines (1988) menjelaskan
tentang kriteria fisik dalam pembuatan sirkulasi pedestrian, diantaranya adalah :
1. Kriteria dimensional
Kriteria dimensional ruang pedestrian dapat dilihat pada Gambar 2.
10
1,8 m A (Tempat umum)
2,8 – 3,6 m B (Tempat belanja) 4,6 – 5,5 m C (Berjalan Normal) > 10,6 m D (Jalan santai)
Gambar 2 Jarak ruang yang dibutuhkan antar pejalan kaki di depannya sesuai lokasi (Harris dan Dines, 1988).
2. Kriteria pergerakan
Faktor kecepatan pergerakan akan menurun bila jumlah pejalan kaki
meningkat, ada persimpangan dan naik atau turun tangga.
3. Kriteria visual
Kriteria atau persyaratan visual (pemandangan) disesuaikan dengan tinggi mata
dan sudut pandang pejalan kaki dan nyaman untuk melihat pada pandangan
normal setinggi mata (misalnya untuk penempatan rambu-rambu lalu-lintas).
Harris dan Dines (1988) juga menjelaskan tentang standar ruang untuk
pedestrian, yaitu :
1. Lebar
a. Lebar jalur pedestrian tergantung pada tujuan dan intensitas pemakaian
b. 1 orang = 24 inchi (60 cm) dengan lebar minimum jalan setapak = 4 ft (120
cm).
c. Memperhatikan kelengkapan dan perlengkapan jalan (street furniture).
2. Kemiringan
a. Longitudinal, dengan dasar pertimbangan kebiasaan atau kemudahan
bergerak dan tujuan desain.
1) Ideal : 0-3%
2) Maksimum : 5%
3) Tergantung iklim : 5-10%
11
4) Untuk ramp : 1,5-8%
b. Transversal
1) Minimum tergantung material : 1%
2) Ideal rata-rata : 3%
3) Maksimum untuk drainase baik : 3%
3. Perhitungan dimensi untuk lebar pedestrian
Lebar jalan (W) = S
VxM
Keterangan : V = Volume (orang/menit)
M = Modul ruang (ft2/orang)
S = Kecepatan berjalan (ft/menit) 2.2.3. Vegetasi pada Jalur Pedestrian
Carpenter et. al. (1975), mengemukakan bahwa kehadiran tanaman di
lingkungan perkotaan memberikan suasana alami. Tanaman mempengaruhi
penampakan visual yang kita lihat. Secara umum di dalam lanskap, pohon
merupakan sebuah elemen utama. Secara individual maupun berkelompok,
pohon-pohon dapat memberikan kesan yang berbeda-beda jika dilihat dari jarak
yang berbeda-beda pula. Pada jarak dekat, daun, batang pohon dan cabang-cabang
dapat dilihat secara jelas. Jika dilihat dari jarak menengah puncak-puncak pohon
terlihat membentuk seperti garis. Jarak ini merupakan bagian yang penting dalam
lanskap karena memberkan kesan kedalaman yang kuat, perubahan secara halus
dalam pencahayaan dan perspektif. Bila dilihat dari jarak jauh, perbedaan
ketinggian dari puncak-puncak pohon tidak dapat dinikmati, biasanya dari jarak
ini pohon digunakan sebagai latar belakang.
Tujuan dari penanaman vegetasi tepi jalan adalah untuk memisahkan
pejalan kaki dari jalan raya dengan alasan keselamatan dan kenyamanan (Lynch,
1981). Dalam usaha mencapai kesatuan atau unity didalam pengaturan
penanamannya perlu diperhatikan pemilihan jenis tanamannya terutama untuk
jalur pedestrian. Menurut Department of Transport of British (1986), vegetasi
tidak seharusnya menghalangi jalan dan harus dipangkas secara teratur.
Ditegaskan menurut Chaniago (1980) dalam Widjayanti (1993) pemilihan pohon
harus memperhatikan karakteristiknya seperti :
12
1. Akar, harus cukup kuat untuk menahan vibrasi yang disebabkan oleh
kendaraan yang lewat. Jenis yang digunakan sebaiknya tidak mempunyai akar
yang menembus aspal dan beton sehingga kerusakan utilitas dapat dihindari.
2. Batang dan cabang, cukup elastis dan kuat untuk mencegah roboh dan
rusaknya pohon akibat tiupan yang kencang.
3. Naungan, yang sangat berhubungan dengan penetrasi radiasi matahari
sehingga temperatur udara di sekitar jalur pedestrian menurun.
Dalam pemilihan jenis pohon menurut Arnold (1980), tinggi dan diameter
tajuk merupakan hal yang paling penting diperhatikan oleh arsitek lanskap. Pada
beberapa tempat, ketinggian percabangan pohon yang nyaman berjalan di
bawahnya berkisar dari 2,4 – 4,5 meter. Pergerakan kendaraan membutuhkan
kejelasan pandangan sehingga diperlukan pohon peneduh jalan dengan ketinggian
percabangan minimum 4,5 meter. Pohon berukuran kecil (5,5 – 10,5 meter) dapat
digunakan sebagai tirai (screening) dan seringkali tepat digunakan sebagai pohon
tingkat bawah untuk menambah tekstur dan warna.
2.2.4. Kelengkapan dan Perlengkapan Jalan (Street Furniture)
Harris dan Dines (1988) mengartikan kelengkapan dan perlengkapan jalan
(street furniture) secara kolektif sebagai elemen-elemen yang ditempatkan dalam
suatu lanskap jalan atau streetscape untuk kenyamanan, kesenangan, informasi,
kontrol sirkulasi dan perlindungan bagi pengguna jalan. Elemen-elemen ini harus
merefleksikan karakter dari lingkungan setempat dan menyatu dengan sekitarnya.
2.2.4.1. Rambu-rambu lalu lintas
Ketinggian penempatan rambu lalu lintas pada sisi jalan minimum 1,75
meter dan maksimum 2,65 meter, sedangkan untuk lokasi fasilitas pedestrian
minimum 2 meter dan maksimum 2,65 meter (Keputusan Menteri Perhubungan
No. 63 tahun 1993).
2.2.4.2. Lampu jalan
Menurut Harris dan Dinnes (1988), penerangan jalan bertujuan untuk
mengakomodasikan pergerakan yang aman bagi pejalan kaki dan kendaraan.
Dalam pergerakan, pemakai jalan dapat dibantu orientasinya untuk mengenal zona
yang berbeda dari penggunaan suatu tapak melalui hirarki efek penerangan yang
13
tepat. Hirarki penerangan terlihat dari perbedaan jarak, ketinggian dan warna
cahaya lampu yang digunakan. Penerangan juga harus cocok secara fungsional
dan dalam skala yang sesuai baik bagi pejalan kaki maupun jalur kendaraan.
Untuk penerangan jalur pejalan kaki dapat digunakan lampu dengan ketinggian
relatif agar memberikan skala manusia dan menerangi kanopi bawah dari pohon
tepi jalan. Sifat penerangan untuk jalur pedestrian sebaiknya tidak seragam
sepanjang jalan dan distribusi pencahayaan harus mencapai 2 meter agar
penglihatan ke arah pejalan kaki lain tetap jelas.
2.2.4.3. Halte
Harris dan Dinnes (1988) mengemukakan bahwa persyaratan untuk halte
bus adalah memiliki kebebasan pandangan ke arah kedatangan kendaraan baik
dalam posisi berdiri maupun duduk di halte dan zona perhentian bus harus
merupakan bagian dari jaringan akses pejalan kaki. Didalam Keputusan Menteri
Perhubungan No. 65 tahun 1993 juga disebutkan bahwa fasilitas halte harus
dibangun sedekat mungkin dengan fasilitas penyeberangan pejalan kaki. Halte
dapat ditempatkan di atas trotoar atau bahu jalan dengan jarak bagian paling
depan dari halte sekurang-kurangnya 1 meter dari tepi jalur lalu lintas.
Persyaratan struktur bangunan memiliki lebar minimal 2 meter, panjang 4 meter
dan tinggi bagian atap paling bawah minimal 2,5 meter dari lantai.
2.2.4.4. Utilitas
Elemen yang termasuk dalam utilitas meliputi hidran, boks kabel telepon,
listrik, penutup saluran bawah gril penutup pohon dan lain-lain. Secara ideal,
tempat pejalan kaki seharusnya relatif bebas dari penutupan utilitas. Jika tidak
memungkinkan, penutup utilitas dapat dimasukkan sebagai bagian dari pola lantai
keseluruhan (Harris dan Dinnes, 1988).
2.2.4.5. Papan reklame
Papan reklame merupakan elemen informasi, dalam peletakannya
memerlukan pengaturan yang sesuai. Menurut Simonds (1978), pengontrolan
peletakan papan reklame diperlukan untuk melindungi pemandangan menarik
(vista) dan pemandangan yang ada serta mempertahankan kualitas jalan dan
lingkungan sekitarnya. Salah satu cara untuk mengontrol adalah dengan
14
mengelompokkan berbagai informasi dan ditempatkan pada titik lain yang mudah
terlihat. Standar jarak dalam Harris dan Dinnes (1988) untuk letak papan
informasi ini dimasukkan sebagai zona penglihatan yang dibedakan untuk jarak
tangkap setinggi mata. Dalam kondisi berdiri, jarak pandangan setinggi mata
berkisar 1,4 – 1,8 meter dan dalam kondisi duduk dalam kendaraan berkisar 1 –
1,2 meter.
2.2.4.6. Tempat duduk
Prinsip disain tempat duduk harus menekankan kenyamanan, bentuk dan
detail yang sederhana, mudah dipelihara, tahan lama dan mencegah kemungkinan
perusakan (vandalisme). Peletakan tempat duduk sebaiknya terlindung dari
gangguan angin kencang, menempati lokasi yang memiliki pemandangan (view)
yang bagus, terletak di luar jalan sirkulasi serta memberikan pilihan kepada
pengguna jalan seperti terbuka di bawah cahaya matahari, teduh, tempat yang
tenang, tempat beraktivitas, formal dan informal. Pemilihan dan peletakan elemen
tempat yang tenang, tempat yang tenang, tempat beraktivas, formal dan informal.
Pemilihan dan peletakan elemen tempat duduk harus disesuaikan dengan elemen
lainnya agar menyatu dengan lingkungan sekitarnya (Harris dan Dinnes, 1988).
2.2.4.7. Telepon, kotak pos dan tempat sampah
Elemen-elemen ini harus ditempatkan pada lokasi yang mudah terlihat dan
mudah dicapai. Telepon dapat ditempatkan pada halte bus atau tempat tertentu
untuk memudahkan pemakaian, demikan juga dengan kotak pos dapat diletakkan
pada lokasi yang memudahkan pengangkutan. Tempat sampah untuk menjaga
kebersihan setiap jalan atau ruang terbuka umum dan dapat diletakkan pada
tempat yang ramai dilalui orang (Harris dan Dinnes, 1988).
2.2.5. Sistem Sirkulasi dan Sistem Pedestrian
Harris dan Dines (1988) memberikan pembagian secara umum sistem
sirkulasi menjadi dua kategori, yaitu sistem yang telah memiliki struktur dasar dan
yang tidak ada sirkulasi sebelumnya. Pada sistem yang telah ada, proyek terutama
berhubungan dengan peningkatan estetik dari sistem sirkulasi yang telah
diperlengkapi berbagai kenyamanan (amenity). Untuk sistem yang baru, pertama
kali harus direncanakan sesuai dengan usulan titik awal dan titik tujuan jalan serta
15
memiliki lebar yang cukup untuk diakomodasikan bagi beban lalu lintas pejalan
kaki (pedestrian) terutama pada periode puncak penggunaan.
Sebagai bagian dari proses perencanaan, aspek estetik dari sistem yang
diusulkan harus dipelajari dan diintegrasikan dengan aspek fungsionalnya. Aspek
fungsional yang penting dalam sistem pedestrian adalah kenyamanan yang
diberikan kepada pejalan kaki. Dalam Kodariyah (2004) dijelaskan bahwa sistem
pedestrian mempunyai ciri-ciri sebagai berikut :
1. Kelongggaran, sistem ini memberikan kebebasan perancangan yang tinggi
karena sistem ini memanfaatkan kemampuan manusia/pejalan dalam
membelok pada sudut-sudut tajam, berubah arah dan berhenti.
2. Fleksibilitas, perancang harus dapat memberikan arah aliran/pergerakan
menuju lokasi-lokasi yang diinginkan.
3. Berkecepatan rendah, terdapat hierarki intensitas penggunaan, misalnya
melebar pada lokasi yang padat dan menyempit pada lokasi lalu lintas yang
ringan.
4. Skala kecil, luas ukuran dari sirkulasi berskala manusia.
Semua pengguna jalan menggunakan kegiatan berjalan untuk satu atau lebih
tahap dari setiap perjalanannya, untuk jarak yang relatif dekat lebih disesuaikan
untuk menggunakan kakinya dan lebih dari 60% perjalanan dengan jarak kurang
dari 1,5 km menggunakan kaki. Tetapi jarang sekali pejalan kaki di daerah urban
yang melakukan kegiatan berjalan kaki lebih dari 3 km (Departemen of Transport
of British, 1986). Selanjutnya aktivitas pejalan kaki dapat dibedakan antara
pejalan kaki yang hanya mempunyai kepentingan mencapai dari satu titik ke titik
lain dan pejalan kaki yang mempunyai kepentingan lain atau mempunyai karakter
rekreasi. Pada beberapa tempat footway juga digunakan sebagai tempat bermain,
berkumpul ataupun bercakap-cakap. Semua aspek ini harus dipertimbangkan
dalam mendesain fasilitas pedestrian. Pada beberapa tempat, panjang jalan yang
khusus, aktivitas pejalan kaki yang memberikan tingkat pengalaman yang tinggi
merupakan hal yang diutamakan dalam skema membuat pedestrian. Skema ini
biasanya digunakan pada daerah perbelanjaan, dapat pula menguntungkan pada
daerah perkantoran dan daerah konservasi atau daerah lain yang keadaan
lingkungannya sangat berharga.
16
Menurut Brooks (1988), fungsi sistem pedestrian paling sedikit mempunyai
dua aturan yang umum, yaitu ruang untuk berjalan kaki dan tempat untuk duduk.
Sebagai tempat untuk berjalan, kondisinya beragam sesuai dengan penggunaan
lahan yang disediakan dan kualitas lingkungannya. Tujuan perencanaan sistem
pedestrian sebaiknya menfokuskan pada :
1. Pengembangan dari sistem pedestrian yang fungsinya sebagai penghubung
dan memberikan pengalaman yang menyenangkan.
2. Desain dari sistem pedestrian yang disesuaikan dengan konteks lingkungan
sekitarnya yang telah ada.
3. Desain dari sistem pedestrian yang ada sesuai secara skala.
4. Desain dari jalur yang dapat meningkatkan sense of place dari tapak tersebut.
Persyaratan ukuran lebar trotoar atau jalur pejalan kaki berdasarkan lokasi
dan jumlah pejalan kaki (Departemen Perhubungan, 1993), dapat dilihat dalam
Tabel 1 di bawah ini. Tabel 1 Lebar trotoar berdasarkan lokasi dan jumlah pejalan kaki
No Lokasi Trotoar Lebar Trotoar Minimum (m)
1. 2. 3.
4.
Jalan di daerah perkantoran atau kaki lima Daerah perkantoran utama Daerah industri :
a. Jalan primer b. Jalan akses
Di wilayah pemukiman a. Jalan primer b. Jalan akses
4 3 3 4
2,75 2
Jumlah Pejalan Kaki/Detik/Meter 1. 2. 3. 4.
6 orang 3 orang 2 orang 1 orang
2,3 – 5,0 1,5 – 2,3 0,9 – 1,5 0,6 – 0,9
Sumber : Departemen Perhubungan (1993)
Hal-hal yang harus dipertimbangkan di dalam rancangan atau modifikasi
sistem pedestrian adalah (Kodariyah, 2004) :
1. Permukaan, permukaan pedestrian harus stabil dan kuat dan tekstur relatif rata
tetapi tidak licin dan sambungan harus dibuat sekecil mungkin.
17
2. Tempat istirahat, terdapat pada tempat-tempat tertentu sangat menyenangkan
dan membantu para pejalan kaki, terutama bagi para cacat fisik sehingga
membuat perjalanan kaki yang jauh menjadi terasa lebih ringan.
3. Kemiringan, untuk pedestrian kemiringan maksimal 5% sedangkan ukuran
idealnya dalah 0-3%.
4. Penerangan, sangat dibutuhkan untuk keamanan, kenyamanan dan estetika.
5. Pemeliharaan.
6. Ramp, perubahan permukaan pedestrian dari suatu ketinggian menuju
ketinggian yang berbeda dapat menimbulkan persoalan bagi orang cacat fisik.
Untuk memudahkan pergerakan dibuat suatu ramp dengan permukaan yang
tidak boleh licin. Kemiringan ramp ini maksimal adalah 17%.
7. Struktur drainase, faktor drainase air perlu diperhatikan agar pedestrian tidak
tergenang air pada saat hujan.
8. Ukuran, lebar trotoar berbeda menurut jumlah dan jenis lalu lintas yang
melaluinya. Lebar minimum adalah 4 kaki (1,2 meter). 2.2.6. Jenis Pedestrian
Harris dan Dines (1988) membedakan pedestrian menjadi 3 jenis, yaitu :
1. Pedestrianisasi penuh (Full pedestrianitation)
Dengan menghilangkan/melarang semua kendaraan bermotor untuk sepanjang
waktu, terkecuali untuk pemeliharaan tapak, full pedestrianitation biasanya
menghilangkan badan jalan untuk kendaraan dan menjadikan jalan secara
kontinyu ditutupi oleh paving dengan tekstur permukaan yang konsisten.
Pedestrian ini membutuhkan jalan terdekat sebagai akses lokal jalur
bus/angkutan umum. Dengan ditiadakannya kendaraan bermotor maka
dibutuhkan sekali suatu desain yang sangat baik, untuk mencapai daerah
pedestrian ini harus menberikan kesan yang jelas bahwa kendaraan akan
memberikan gangguan terhadap lingkungan pejalan kaki. Contohnya adalah
pedestrian street dan pedestrian mall yang biasanya terdapat di daerah
komersial dan ditujukan untuk kenyamanan berbelanja.
2. Pedestrianisasi sebagian (Partial pedestrianitation)
Dengan mengurangi jenis kendaraan bermotor, terutama kendaraan pribadi,
daerah ini diprioritaskan untuk kepentingan pejalan kaki. Jalur pejalan kaki
18
diperbesar dan jalur kendaraan bermotor diperkecil maksimum dua jalur.
Kendaraan pribadi biasanya dilarang masuk terkecuali angkutan umum, taksi
dan bus. Laju kendaraan dibatasi pada kecepatan tertentu.
3. Pedestrian distrik
Dibuat dengan menghilangkan lalu lintas kendaraan dari sebagian daerah
perkotaan, dengan mempertimbangkan alasan adanya unit arsitektural,
komersial maupun sejarah. Kota-kota di Eropa seringkali menggunakan jenis
ini karena sesuai dengan kondisi daerah pusat kota yang bersejarah. 2.2.7. Bahan Permukaan Pedestrian
Bahan permukaan pedestrian yang biasa digunakan menurut McDowel
(1975) dalam Kodariyah (2004) adalah batu, bata, cetakan beton dan batu kerikil.
Setiap bahan-bahan ini mempunyai karakter yang membuatnya sesuai untuk suatu
situasi.
Hampir semua batu dengan bagian atas datar, dapat digunakan untuk
perkerasan pedestrian. Batu merupakan bahan alami yang paling disukai, karena
salah satu sifatnya yang mempunyai daya tahan lama. Beberapa jenis yang biasa
digunakan adalah sebagai berikut (Kodariyah, 2004):
1. Jenis sedimen seperti batu pasir, batu coklat, batu biru dan batu kapur. Jenis
tersebut merupakan jenis yang lunak, sehingga mudah dipotong dan dibentuk,
tetapi mudah berubah warnanya dan terpengaruh oleh perubahan cuaca karena
karakternya yang berpori.
2. Bentuk metamorfik dari batu kapur adalah keramik, yang lebih keras, kuat,
mudah dipahat dan diasah, dan sangat sering digunakan karena pola dan
keindahannya.
3. Bentuk metamorfik dari batu tulis (shale) adalah tipis, keras, dan merupakan
batu yang kuat serta bervariasi mulai dari warna abu-abu hingga hitam,
disamping beberapa jenis yang berwarna merah.
4. Bentuk batu karang api adalah granit, yang keras dan jelas sangat kuat.
Warnanya berkisar mulai dari keputihan sampai abu-abu tua, dengan beberapa
jenis yang memiliki warna agak merah muda. Batu jenis ini dapat dipahat dan
dipotong dalam banyak bentuk dan ukuran. Jenis ini tahan terhadap goresan
dan cuaca.
19
5. Batu vulkanik memiliki karakter warna gelap dan terbatas dalam penggunaan
dengan ukuran terpecah-pecah. Hal ini menjadikannya tidak praktis untuk
dipahat. Batu ini digunakan seperti jenis batuan yang sudah dijelaskan
sebelumnya. Jenis batu ini tidak berbentuk, tajam dan berbahaya untuk kulit.
6. Batuan jenis kecil, jenis batu keras seperti trap rock. Batuan ini mudah
dibentuk dan sangat berguna sebagai bahan dasar beton, lapisan dasar
perkerasan, alas untuk kandang, dan sebagainya.
Bata dapat memberikan kontribusi yang menarik antara barat dan timur.
Bata ini bersifat hangat, bernuansa tanah, cenderung berwarna coklat,
permukaannya kasar dan bentuknya tidak rata. Bata dengan warna tua, yang
berbunyi apabila saling berbenturan, biasanya lebih kuat, merupakan unit yang
terbakar dengan baik, dan dapat dipastikan lebih tahan pecah. Bata dapat
digunakan untuk semua tipe untuk membentuk perkerasan yang baik atau bisa
dikombinasikan dengan batu alami. Batas standar yang dirancang untuk
sambungan 3/8 inci adalah bata dengan tebal 2-1/4 inci, lebar 3-5/8 inci dan
panjang 7-5/8 inci.
Cetakan beton tidak mempunyai penampilan yang alami dari batu, tetapi
bisa dikombinasikan dengan bata untuk membentuk pedestrian yang bagus,
sebagai perkerasan. Batu kerikil memiliki beberapa keuntungan di luar bahan-
bahan permukaan untuk pedestrian. Batu kerikil untuk pedestrian relatif murah,
sederhana untuk dipasang, dan mudah untuk dipelihara. Batu kerikil mengering
dengan cepat. Baik pada waktu hujan atau ada siraman air akan menggenang,
dengan kata lain, batu kerikil mempunyai permukaan yang tidak nyaman dan
lambat.
Terdapat tiga kriteria yang mempengaruhi pemilihan perkerasan, yaitu
(Steven, 1991 dalam Kodariyah, 2004) :
1. Kegunaan
Hal yang pertama dipikirkan adalah kegunaan dari dibuatnya perkerasan baik
untuk jalan kendaraan, pedestrian ataupun patio. Ketiga hal ini dapat
diakomodasi sesuai dengan kondisinya, dapat dilihat sebagai tiga hal yang
terpisah dari teknik konstruksi dan bahan permukaan yang berbeda.
Permukaan dari bahan perkerasan juga berpengaruh pada tujuan penggunaan
20
area, tekstur perkerasan penting untuk pejalan kaki, juga mempunyai dampak
pada kecepatan pergerakan. Perkerasan dengan tekstur yang tidak licin, lebih
digemari karena dapat menjamin keamanan pejalan kaki, biasanya dipakai di
area sekitar display elemen air, atau tempat berbahaya. Perkerasan dengan
tekstur yang lebih kasar dipakai di tepian sungai atau pada jalur dengan
kemiringan cukup tajam.
2. Estetika
Pedestrian yang dibuat dengan mengikuti tema yang sangat sederhana atau
sebaliknya dapat dibuat dengan sangat rumit dengan tujuan untuk menarik
perhatian. Kombinasi yang dirancang secara cermat terutama menyangkut
perubahan warna dan tekstur sangat membantu dalam menciptakan kesan
kontras, variasi dan juga skala yang diinginkan. Mengenali keragaman jenis
material berikut variasi tekstur dan warnanya sangat perlu mengingat untuk
area yang luas, agar tidak terkesan monoton, dapat pula dipilih tema yang
berbeda untuk masing-masing bagian tapak.
3. Biaya
Pemilihan material juga tergantung pada biaya yang akan dikeluarkan, jumlah
tenaga manusia yang tinggi dibutuhkan dalam pemasangan bata, batu dan
perkerasan pracetak, mengakibatkan biaya untuk jenis perkerasan ini menjadi
tinggi. Penggunaan pola yang sulit dan keterbatasan tenaga kerja terlatih bisa
menambah rumit masalah pembiayaan selanjutnya.
Menurut Reisig (1995) dalam Kodariyah (2004), area perkerasan dapat
mempunyai dampak lingkungan yang berarti, karena perkerasan dapat
mengganggu keseimbangan dari sistem air. Untuk tapak-tapak dimana banyak
menggunakan tanaman, maka pemilihan perkerasan dianjurkan agar memper-
timbangkan tingkat porositasnya, agar air dapat merembes masuk mencapai ke
akar tanaman. Apabila dipilih perkerasan yang tidak poros, maka dianjurkan agar
di sekeliling tanaman diberi ruang 1 m2 untuk menjamin perolehan air dari tapak
sekitarnya.
21
2.3. Persepsi dan Preferensi
Persepsi adalah suatu gambaran, pengertian serta interpretasi seseorang
mengenai suatu objek, terutama bagaimana orang tersebut menghubungkan
informasi ini dengan dirinya dan lingkungan dimana ia berada (Porteous, 1977).
Menurut Allport (1962), persepsi seseorang terhadap lingkungan tergantung
kepada seberapa jauh suatu objek membuat arti terhadap dirinya. Persepsi juga
melibatkan derajat pengertian kesadaran, suatu arti, atau suatu penghargaan
terhadap objek tersebut. Menurut Lime dan Stanley (1971) persepsi berhubungan
dengan suatu proses dimana individu menerima informasi dari lingkungan sosial
ataupun fisik, kemudian menafsirkan dalam pengalaman dan sikapnya. Persepsi
bukanlah proses yang pasif tetapi proses yang aktif dari suatu interaksi antara
seseorang dengan lingkungannya, dan merupakan suatu pencapaian (Hilgard,
1978).
Persepsi masyarakat menurut Porteous (1977) dipengaruhi oleh faktor
internal dan eksternal. Faktor internal adalah nilai-nilai dari dalam diri dipadukan
dengan hal-hal yang ditangkap panca indera pada proses melihat, merasakan,
mencium aroma, mendengar, dan meraba. Faktor-faktor tersebut kemudian
dikombinasikan dengan faktor eksternal, yaitu keadaan lingkungan fisik dan
sosial, yang kemudian menjadi suatu respon dalam bentuk tindakan. Menurut
Brockman dan Merriem (1973), faktor-faktor yang mempengaruhi persepsi adalah
jenis kelamin dan umur, latar belakang kebudayaan, pendidikan, pekerjaan,
asal/tempat tinggal, status ekonomi, waktu luang, dan kemampuan fisik dan
intelektual. Menurut Grilick dalam Porteous (1977), semakin tinggi pendidikan
seseorang, maka persepsinya akan semakin baik. Sedang menurut Tood (1987),
persepsi seseorang akan ruang tergantung pada ukuran usia dan latar belakang
budaya, suasana pikiran, pengalaman-pengalaman masa lalu dan pengharapan-
pengharapannya.
Proses yang melandasi persepsi menurut Boedojo, et al. (1986) berawal dari
adanya informasi dari lingkungan. Tidak semua informasi diterima dan disadari
oleh individu, melainkan diseleksi berdasarkan orientasi nilai yang dimilikinya
dan juga pengalaman pribadi (Gambar 3). Kekurangan yang melekat pada
informasi, begitupun bagian-bagian yang kabur, dilengkapi sendiri oleh individu,