II. TINJAUAN PUSTAKA A. Teori Ekonomi Fertilitas Menurut Mundiharno (2009), pandangan bahwa faktor-faktor ekonomi mempunyai pengaruh yang kuat terhadap fertilitas bukanlah suatu hal yang baru. Dasar pemikiran utama dari teori ‘transisi demografis’ yang sudah terkenal luas adalah bahwa sejalan dengan diadakannya pembangunan sosial-ekonomi, maka fertilitas lebih merupakan suatu proses ekonomis dari pada proses biologis. Leibenstein dapat dikatakan sebagai peletak dasar dari apa yang dikenal dengan “teori ekonomi tentang fertilitas”. Teori ini beranggapan bahwa orang tua merupakan produsen dan konsumen dalam membuat perhitungan tentang jumlah anak yang diinginkan, orang tua mempertimbangkan antara manfaat yang diperoleh dan beban biaya yang akan dikeluarkan karena mempunyai anak lagi akan timbul bila biayanya lebih kecil dengan manfaat yang diperoleh karena mempunyai anak. Menurut Leibenstein (Mundiharno, 2009), anak dilihat dari dua aspek yaitu aspek kegunaannya (utility) dan aspek biaya (cost). Kegunaannya adalah memberikan kepuasaan, dapat memberikan balas jasa ekonomi atau membantu dalam kegiatan berproduksi serta merupakan sumber yang dapat menghidupi orang tua di masa depan. Sedangkan pengeluaran untuk membesarkan anak adalah biaya dari mempunyai anak tersebut. Biaya memiliki tambahan seoarang anak
23
Embed
II. TINJAUAN PUSTAKA A. Teori Ekonomi Fertilitasdigilib.unila.ac.id/12653/16/BAB II.pdf · Sejalan dengan apa yang telah ... CPR merupakan sebuah indikator kesehatan, kependudukan,
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
17
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Teori Ekonomi Fertilitas
Menurut Mundiharno (2009), pandangan bahwa faktor-faktor ekonomi
mempunyai pengaruh yang kuat terhadap fertilitas bukanlah suatu hal yang baru.
Dasar pemikiran utama dari teori ‘transisi demografis’ yang sudah terkenal luas
adalah bahwa sejalan dengan diadakannya pembangunan sosial-ekonomi, maka
fertilitas lebih merupakan suatu proses ekonomis dari pada proses biologis.
Leibenstein dapat dikatakan sebagai peletak dasar dari apa yang dikenal
dengan “teori ekonomi tentang fertilitas”. Teori ini beranggapan bahwa orang tua
merupakan produsen dan konsumen dalam membuat perhitungan tentang jumlah
anak yang diinginkan, orang tua mempertimbangkan antara manfaat yang
diperoleh dan beban biaya yang akan dikeluarkan karena mempunyai anak lagi
akan timbul bila biayanya lebih kecil dengan manfaat yang diperoleh karena
mempunyai anak.
Menurut Leibenstein (Mundiharno, 2009), anak dilihat dari dua aspek yaitu
aspek kegunaannya (utility) dan aspek biaya (cost). Kegunaannya adalah
memberikan kepuasaan, dapat memberikan balas jasa ekonomi atau membantu
dalam kegiatan berproduksi serta merupakan sumber yang dapat menghidupi
orang tua di masa depan. Sedangkan pengeluaran untuk membesarkan anak adalah
biaya dari mempunyai anak tersebut. Biaya memiliki tambahan seoarang anak
18
dapat dibedakan atas biaya langsung dan biaya tidak langsung. Yang dimaksud
biaya langsung adalah biaya yang dikeluarkan dalam memelihara anak seperti
memenuhi kebutuhan sandang dan pangan anak sampai ia dapat berdiri sendiri.
Yang dimaksud biaya tidak langsung adalah kesempatan yang hilang karena
adanya tambahan seoarang anak. Misalnya, seoarang ibu tidak dapat bekerja lagi
karena harus merawat anak, kehilangan penghasilan selama masa hamil, atau
berkurangnya mobilitas orang tua yang mempunyai tanggungan keluarga besar.
Menurut Leibenstein, apabila ada kenaikan pendapatan maka aspirasi orang tua
akan berubah. Orang tua menginginkan anak dengan kualitas yang baik. Ini berarti
biayanya naik.
Menurut Mundiharno (2009), pengembangan lebih lanjut tentang ekonomi
fertilitas dilakukan oleh Gary S. Becker yang menyatakan bahwa anak dari sisi
ekonomi pada dasarnya dapat dianggap sebagai barang konsumsi (consumption
good, consumer’s durable) yang memberikan suatu kepuasan (utility) tertentu
bagi orang tua. Bagi banyak orang tua, anak merupakan sumber pendapatan dan
kepuasan (satisfaction). Secara ekonomi fertilitas dipengaruhi oleh pendapatan
keluarga, biaya memiliki anak dan selera. Meningkatnya pendapatan (income)
dapat meningkatkan permintaan terhadap anak.
Dalam analisis ekonomi fertilitas, permintaan akan anak berkurang bila
pendapatan meningkat, karena (a) orang tua mulai lebih menyukai anak-anak yang
berkualitas lebih tinggi dalam jumlah yang hanya sedikit sehingga “harga beli”
meningkat; (b) bila pendapatan dan pendidikan meningkat maka semakin banyak
waktu (khususnya waktu ibu) yang digunakan untuk merawat anak. Jadi anak
menjadi lebih mahal.
19
Di dalam setiap kasus, semua pendekatan ekonomi melihat fertilitas sebagai
hasil dari suatu keputusan rasional yang didasarkan atas usaha untuk
memaksimalkan fungsi utility ekonomis yang cukup rumit yang tergantung pada
biaya langsung dan tidak langsung, keterbatasan sumberdaya, selera. Robinson
dan Harbinson menggambarkan analisis ekonomi dalam menentukan fertilitas
(jumlah dan kualitas anak). Pertimbangan ekonomi dalam menentukan fertilitas
terkait dengan income, biaya (langsung maupun tidak langsung), selera,
modernisasi dan sebagainya. Sejalan dengan apa yang telah dikemukakan Becker,
Bulatao menulis tentang konsep demand for children and supply of children.
Bulatao mengartikan konsep demand for children sebagai jumlah anak yang
dinginkan. Termasuk dalam pengertian jumlah adalah jenis kelamin anak,
kualitas, waktu memliki anak dan sebagainya. Konsep demand for children diukur
melalui pertanyaan survey tentang “jumlah keluarga yang ideal atau diharapkan
atau diinginkan”. Menurut Bulatao, jika pasangan tidak dapat memformulasikan
jumlah anak yang dinginkan secara tegas maka digunakan konsep latent demand
dimana jumlah anak yang dinginkan akan disebut oleh pasangan ketika mereka
ditanya. Menurut Bulatao, modernisasi berpengaruh terhadap demand for children
dalam kaitan membuat latent demand menjadi efektif.
Menurut Bulatao, demand for children dipengaruhi (determined) oleh
berbagai faktor seperti biaya anak, pendapatan keluarga dan selera. Dalam artikel
tersebut Bulato membahas masing-masing faktor tersebut (biaya anak,
pendapatan, selera) secara lebih detail. Termasuk didalamnya dibahas apakah
anak bagi keluarga di negara berkembang merupakan “net supplier “ atau tidak.
Sedang supply of children diartikan sebagai banyaknya anak yang bertahan hidup
20
dari suatu pasangan jika mereka tidak berpisah/cerai pada suatu batas tertentu.
Supply tergantung pada banyaknya kelahiran dan kesempatan untuk bertahan
hidup. Supply of children berkaitan dengan konsep kelahiran alami (natural
fertility). Menurut Bongart, fertilitas alami dapat diidentifikasi melalui lima hal
utama, yaitu:
a. Ketidak-suburan setelah melahirkan (postpartum infecundibality)
b. Waktu menunggu untuk konsepsi (waiting time to conception)
c. Kematian dalam kandungan (intraurine mortality)
d. Sterilisasi permanen (permanent sterility)
e. Memasuki masa reproduksi (entry into reproductive span)
Analisis ekonomi tentang fertilitas juga dikemukakan oleh Richard A.
Easterlin. Menurut Easterlin permintaan akan anak sebagian ditentukan oleh
karakteristik latar belakang individu seperti agama, pendidikan, tempat tinggal,
jenis/tipe keluarga dan sebagainya. Setiap keluarga mempunyai norma-norma dan
sikap fertilitas yang dilatarbelakangi oleh karakteristik diatas (Mundiharno, 2009).
Easterlin juga mengemukakan perlunya menambah seperangkat determinan ketiga
(disamping dua determinan lainnya: permintaan anak dan biaya regulasi fertilitas)
yaitu mengenai pembentukan kemampuan potensial dari anak. Hal ini pada
gilirannya tergantung pada fertilitas alami (natural fertility) dan kemungkinan
seorang bayi dapat tetap hidup hingga dewasa. Fertilitas alami sebagian
tergantung pada faktor-faktor fisiologis atau biologis, dan sebagian lainnya
tergantung pada praktek-praktek budaya. Apabila pendapatan meningkat maka
terjadilah perubahan “suplai” anak karena perbaikan gizi, kesehatan dan faktor-
faktor biologis lainnya. Demikian pula perubahan permintaan disebabkan oleh
21
perubahan pendapatan, harga dan “selera”. Pada suatu saat tertentu, kemampuan
suplai dalam suatu masyarakat bisa melebihi permintaan atau sebaliknya.
Easterlin berpendapat bahwa bagi negara-negara berpendapatan rendah
permintaan mungkin bisa sangat tinggi tetapi suplainya rendah, karena terdapat
pengekangan biologis terhadap kesuburan. Hal ini menimbulkan suatu
permintaan “berlebihan” (excess demand) dan juga menimbulkan sejumlah besar
orang yang benar-benar tidak menjalankan praktek-praktek pembatasan keluarga.
Dipihak lain, pada tingkat pendapatan yang tinggi, permintaan adalah rendah
sedangkan kemampuan suplainya tinggi, maka akan menimbulkan suplai
“berlebihan” (over supply) dan meluasnya praktek keluarga berencana.
John C. Caldwell (Mundiharno, 2009), juga melakukan analisis fertilitas
dengan pendekatan ekonomi sosiologis. Tesis fundamentalnya adalah bahwa
tingkah laku fertilitas dalam masyarakat pra-tradisional dan pasca-transisional itu
dilihat dari segi ekonomi bersifat rasional dalam kaitannya dengan tujuan
ekonomi yang telah ditetapkan dalam masyarakat, dan dalam arti luas dipengaruhi
juga oleh faktor-faktor biologis dan psikologis.
Teori Rumah Tangga dari Caldwell. Teori ini menyatakan bahwa laju
fertilitas yang tinggi atau rendah masing-masing merupakan keputusan yang
memberikan “keuntungan” bagi tiap-tiap individu, pasangan suami-istri atau
masing-masing keluarga. Jadi pendekatannya lebih menekankan pada
dikenakannya tingkah laku fertilitas terhadap individu (atau keluarga inti) oleh
suatu kelompok keluarga yang lebih besar (bahkan yang tidak sedaerah) dari pada
oleh “norma-norma” yang sudah diterima masyarakat. Seperti diamati oleh
Caldwell, didalam keluarga selalu terdapat tingkat eksploitasi yang besar oleh
22
suatu kelompok (atau generasi) terhadap kelompok atau generasi lainnya,
sehingga jarang dilakukan usaha pemaksimalan manfaat individu.
Teori Nelson tentang Pembangunan dan Perangkap Penduduk. Nelson
berpendapat bahwa sebagai akibat dari perkembangan penduduk yang tinggi
dalam jangka panjang tingkat pendapatan perkapita akan kembali mencapai
tingkat pendapatan subsisten atau sekedar cukup hidup. (Mundiharno, 2009).
Analisis Nelson menunjukkan :
1) Sifat hubungan antara pertumbuhan penduduk dengan pendapatan Nasional
pada berbagai tingkat pendapatan perkapita;
2) Akibat hubungan tersebut terhadap tingkat perkembangan perkapita.
Teori konvensional dari Davis dan Mamadni mengajukan langkah-langkah
dalam menurunkan fertilitas:
1. Negara berkewajiban memperbaiki struktur sosial ekonomi secara makro dan
mikro, kesempatan kerja dan kesempatan memperoleh pendidikan tinggi bagi
kaum wanita diperluas.
2. Dengan membaiknya sosial ekonomi wanita, mereka akan lebih mudah
menerima pengetahuan tentang cara membatasi kelahiran.
3. Meningkatkan prevalensi pemakaian kontrasepsi.
4. Terjadinya penurunan fertilitas.
Persepsi nilai terhadap anak akan mempengaruhi keputusan orang tua untuk
menentukan jumlah anak yang diinginkan. Banyak manfaat yang bisa diperoleh orang
tua dengan adanya kehadiran anak dalam keluarga, diantaranya adalah manfaat secara
ekonomi, bio-fisiologis, emosional dan spiritual. Persepsi tentang nilai anak dari segi
bio-fisiologis adalah kehadiran anak merupakan sebagai penerus keturunan keluarga
23
dan dapat membuktikan bahwa seseorang itu subur. Untuk persepsi tentang nilai
anak dari segi emosional yaitu kehadiran anak dapat mendatangkan suatu
kebahagiaan dan kebanggaan tersendiri bagi orang tuanya serta dapat menghilangkan
rasa sepi yang selama ini telah dialami. Persepsi tentang nilai anak jika dilihat dari
segi spiritual adalah anak diharapkan bisa mendoakan orang tua dan menjadi anak
yang taat pada agama.
Menurut Robinson (2000), ada tiga macam kegunaan anak, yaitu: 1) sebagai
suatu barang konsumsi, misalnya sebagai sumber hiburan, 2) sebagai suatu sarana
produksi, yakni anak diharapkan untuk melakukan suatu pekerjaan tertentu yang
menambah pendapatan keluarga, 3) sebagai sumber ketenteraman, baik pada hari tua
maupun sebaliknya. Di negara berkembang anak dianggap sebagai barang investasi
atau aktiva ekonomi, yaitu orang tua berharap kelak menerima manfaat ekonomi dari
anak. Manfaat ini akan nampak jika anak bekerja tanpa upah di sawah atau usaha
milik keluarga atau memberikan sebagian penghasilannya kepada orang tua ataupun
membantu keuangan keluarga.
Fertilitas dan Tingkat Pemakaian Kontrasepsi
Secara demografis, fertilitas diartikan sebagai hasil reproduksi yang
ditunjukkan dengan banyaknya bayi lahir hidup (Mundihrno, 2009). Fertilitas ini
merupakan salah satu penyumbang tingginya angka kelahiran selain mortalitas
dan migrasi. Salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk mengendalikan angka
kelahiran adalah melalui Program Keluarga Berencana (KB).
Menurut Sumini (2009), mendifinisikan bahwa TFR adalah jumlah rata-rata
kelahiran anak dari wanita usia subur selama masa reproduksinya. Atas dasar
pengertian tersebut maka dimaksudkan dengan tingkat kelahiran total adalah
24
kemampuan rata-rata kelahiran dari seorang wanita umur 15–49 tahun menurut
masa reproduksinya. TFR adalah salah satu indikator utama untuk mengetahui
keberhasilan program KB dalam menurunkan tingkat kelahiran.
Dari berbagai studi yang pernah dilakukan menunjukkan bahwa pemakaian
alat kontrasepsi terbukti mampu menurunkan angka kelahiran. penelitian
Boongaarts, menyebutkan pemakaian alat kontrasepsi pada perempuan
berpendidikan lebih tinggi dibandingkan yang tidak berpendidikan. Tingkat
fertilitas perempuan yang memiliki pendidikan dasar cenderung lebih tinggi
dibandingkan mereka yang berpendidikan menengah ke atas. Selain itu,
perempuan yang tidak memiliki pendidikan juga cenderung memiliki tingkat
fertilitas yang lebih tinggi dibandingkan mereka yang berpendidikan dasar.
Dengan demikian, tampak bahwa tingkat pendidikan berkorelasi secara negatif
terhadap pemakaian alat kontrasepsi.
Contraceptive Prevalence Rate (CPR) atau Tingkat Pemakaian Kontrasepsi.
Menurut Nuraini, (2012). CPR merupakan sebuah indikator kesehatan,
kependudukan, pembangunan dan pemberdayaan perempuan yang digunakan juga
untuk mengukur akses dari pelayanan kesehatan repoduksi sebagai bagian untuk
mencapai MDG,s. WHO mendifinisikan bahwa CPR adalah prosentase wanita
usia subur (15–49) tahun yang menggunakan metode kontrasepsi. Berdasarkan
pengertian tersebut, maka yang dimaksudkan dengan tingkat pemakaian
kontrasepsi atau Contraceptive Prevalence Rate (CPR)) adalah perbandingan
antara jumlah pemakai kontrasepsi terhadap wanita PUS (15–49 tahun). Secara
ilmu kependudukan hubungan antara CPR dengan TFR adalah mempunyai
hubungan yang negative artinya semakin tinggi CPR semakin rendah TFR.
25
Fertilitas dan Pendidikan
Pendidikan merupakan proses pengembangan pengetahuan, keterampilan,
maupun sikap seseorang yang dilaksanakan secara terencana sehingga diperoleh
perubahan-perubahan dalam meningkatkan taraf hidup. Dalam pembangunan
berkelanjutan, wawasan dan pandangan seseorang diartikan sebagai cara
seseorang merespon suatu inovasi dan membangun gagasan dalam perencanaan.
Dengan demikian, pengukuran tingkat pendidikan sangat bermanfaat dalam
memprediksi kondisi wawasan pengetahuan dalam asas pemikiran individu
terhadap inovasi dan proses adopsi yang menyertai inovasi tersebut. Oleh karena
itu, tingkat pendidikan yang relatif baik (tinggi), mereka lebih memilih memiliki
jumlah anak lebih sedikit karena keuntungan lain dapat mempertinggi status ia
sandang dan tingginya opportunity cost pengasuhan. Hal ini mengindikasikan
bahwa faktor pendidikan wanita mempunyai kontribusi cukup besar terhadap
kesejahteraan keluarga terutama mengenai jumlah keluarga yang ideal (2 orang
anak cukup, laki-laki atau perempuan sama), dan kontribusinya terhadap kualitas
atau nilai anak yang diinginkan. Disamping itu, meningkatnya pendidikan seorang
individu secara ekonomi berkorelasi positif dengan selera (taste). Artinya,
semakin tinggi tingkat pendidikan maka selera atau keinginannya meningkat baik
kuantitas maupun kualitas.
Melalui pendekatan fungsi utilitas (indifference curve), selera tentang nilai
anak suatu unit keluarga mengarahkan pilihannya kepada kualitas bukan jumlah
anak yang dilahirkan (kuantitas). Studi yang lain menemukan tingkat pendidikan
akan meningkatkan control terhadap alat kontrasepsi dan pengendalian fertilitas
(Nurdivya A.E, 1995). Pendidikan memfasilitasi perolehan informasi tentang
26
keluarga berencana, meningkatkan komunikasi suami-istri, dan akan
meningkatkan pendapatan yang memudahkan pasangan untuk menjangkau alat
kontrasepsi.
Faktor lain yang berasosiasi dengan pemakaian alat kontrasepsi adalah
kondisi sosial ekonomi. Kondisi perekonomian rumah tangga yang kurang baik
ditandai oleh rendahnya pendapatan atau daya beli masyarakat termasuk
kemampuan mereka untuk membeli alat kontrasepsi. Hal ini kemudian berdampak
pada peningkatan angka kelahiran.
Idealnya, terkait dengan upaya penundaan kehamilan atau kelahiran anak
berikutnya setelah anak pertama lahir, hal yang penting dilakukan adalah
mengatur jarak kehamilan. Upaya untuk mengatur jarak kehamilan atau kelahiran
ini dapat dilakukan dengan menggunakan kontrasepsi. Keberhasilan pemakaian
kontrasepsi untuk mengatur jarak kehamilan tergantung pada kondisi fisik, pola
hidup, kebiasaan, dan kedisipilinan pemakainya masing-masing.
Fertilitas dan Rata-rata usia kawin pertama
Umur kawin pertama dapat menjadi indikator dimulainya seorang perempuan
berpeluang untuk hamil dan melahirkan. Perempuan yang kawin usia muda
mempunyai rentang waktu untuk hamil dan melahirkan lebih panjang
dibandingkan dengan mereka yang kawin pada umur lebih tua dan mempunyai
lebih banyak anak . Berdasarkan SDKI Tahun 2007 rata-rata usia kawin pertama
adalah 18,1 dan SDKI Tahun 2012 naik menjadi 19,8 sedangkan idealnya adalah
21 tahun bagi wanita dan 25 tahun bagi pria (Demografi 94). Dalam UU
Perkawinan tahun 1974 dinyatakan bahwa usia perkawinan untuk perempuan 16
tahun dan pria 19 tahun.
27
Berdasarkan uraian tersebut di atas terlihat bahwa fertilitas dipengaruhi oleh
berbagai variabel, antara lain tingkat pendidikan, tingkat pendapatan, tingkat
pemakaian kontrasepsi, dan usia kawin pertama.
Fertilitas dan Kemiskinan
Fertilitas juga berdampak pada laju pertumbuhan penduduk. Robert Solow
telah menjelaskan hubungan pertumbuhan penduduk dengan tingkat ekonomi
suatu negara dalam model pertumbuhan ekonomi yang disebut exogenous growth
model atau model pertumbuhan eksogen. Model ini menjelaskan bahwa
pertumbuhan ekonomi suatu negara dipengaruhi oleh beberapa hal, seperti
akumulasi modal, pertumbuhan penduduk, serta kemajuan teknologi. Temuan
penting dari model Solow ini adalah adanya hubungan negatif antara pertumbuhan
penduduk dengan pertumbuhan ekonomi dalam jangka panjang. Oleh karena itu,
diperlukan langkah pengendalian pertumbuhan penduduk dalam suatu negara
sehingga negara tersebut dapat memaksimalkan potensi faktor produksi lainnya
untuk memacu pertumbuhan ekonomi yang diinginkan.
Menurut Baldwin & Meier (Saleh, A. 2012), pembangunan ekonomi adalah
sebagai kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh suatu negara untuk
mengembangkan kegiatan ekonomi dan taraf kehidupan masyarakat. Selain itu
pembangunan ekonomi adalah suatu proses yang menyebabkan pendapatan
perkapita penduduk suatu masyarakat meningkat dalam jangka panjang. Jika
tingkat pembangunan itu lebih besar dari pada tingkat pertambahan penduduk,
maka pendapatan riil perkapita akan bertambah.
Beberapa alasan mengapa muncul pembangunan ekonomi, adanya kenyataan
bahwa suatu negara pendapatan nasionalnya hanya mampu mengimbangi
28
pertambahan penduduk. Dari sisi lain ada negara yang mempunyai sisa
pendapatan untuk investasi guna menaikkan standar kehidupan masyarakatnya.
Adanya perbedaan tingkat hidup antara negara yang satu dengan negara lain,
perbedaan ini semakin besar. Adanya kehendak dari negara untuk berkembang
yang selama ini disadari tingkat kehidupan yang rendah. Mereka menghendaki
tingkat hidup yang lebih tinggi melalui peningkatan kemakmuran ekonomi atau
kesejahteraan.
Chaniago, J. (2007) dengan Model Overlapping Generation (OLG) dalam
kaitannya dengan konsumsi dan tabungan. Dalam teori tersebut dinyatakan bahwa
dua generasi yang hidup pada setiap titik waktu, muda dan tua. Rumah tangga
hanya bekerja pada periode pertama kehidupan mereka dan mendapatkan
pendapatan. Mereka memperoleh pendapatan tidak dalam periode kedua
kehidupan mereka. Sehingga mereka mengkonsumsi bagian dari pendapatan
periode pertama mereka dan menyimpan sisanya untuk membiayai konsumsi
mereka ketika tua atau digunakan untuk saving. Pada akhir periode kelebihan sisa
konsumsi digunakan untuk disaving dan akan diberikan kepada periode
setelahnya. Dengan demikian jumlah anak yang dimiliki sebagai generasi
selanjutnya akan mempengaruhi jumlah konsusmi dan tabungan. Semakin sedikit
jumlah anak yang dimiliki maka konsumi akan lebih sedikit dan tabungan akan
lebih besar.
B. Teknik Estimasi Fertilitas
1. Estimasi Langsung
Estimasi demografi terdiri dari upaya mengukur nilai dasar parameter
demografi seperti tingkat kelahiran dan tingkat kematian dalam kondisi data yang
29
kurang sempurna. Parameter dasar ini mengindikasikan cara sebuah penduduk
akan berkembang sepanjang waktu baik dari segi jumlah maupun struktur umur.
Estimasi langsung dapat dilakukan jika sistem registrasi vital dapat berjalan
dengan baik; tidak saja secara administratif tetapi juga secara stattistik. Jika
system registrasi berjalan dengan baik maka angka kelahiran dan juga kematian
dapat langsung dihitung dari data yang ada. Kita bisa menghitung berapa jumlah
kelahiran selama kurun waktu tertentu dan membaginya dengan jumlah penduduk
atau jumlah wanita pada kurun waktu yang sama (pertengahan tahun).
Estimasi langsung sebenarnya juga dapat dihitung dari data sensus atau
survei. Estimasi langsung melalui sensus atau survei dapat dilakukan dengan:
a. Menanyakan jumlah kelahiran selama jangka waktu tertentu
b. Mencatat riwayat kehamilan/kelahiran
c. Survei Multi Putaran (multiround survey)
Masalah utama dalam penyelenggaraan survei seperti ini adalah besarnya
biaya. Keterangan lengkap mengenai lokasi survei dan rumah tangga sampel harus
dipertahankan dan dipenuhi selama jangka waktu survei dan petugas harus tetap,
sebab petugas baru perlu dilatih terlebih dahulu. Selain itu responden bisa bosan
dikunjungi berkali-kali dan ditanya hal yang sama.
2. Estimasi Tidak Langsung
Beberapa Teknik Estimasi Tidak Langsung (Indirect Method)
Ada beberapa teknik estimasi fertilitas secara tidak langsung, berikut akan
diuraikan secara sekilas tentang beberapa metode tersebut.
30
a. Metode Rele
Metode Rele sebenarnya merupakan pengembangan dari teori penduduk stabil.
Dikatakan bahwa pada hampir semua populasi, dapat dijumpai hubungan linear
antara rasio ibu anak (child women ratio) dengan tingkat kelahiran kasar (gross
reproduction rate) yang kemudian dapat diubah menjadi tingkat kelahiran total
(TFR, total fertility rate).
Keuntungan utama dari metode ini adalah kesederhanaannya, karena hanya
memerlukan sebaran umur penduduk dan perkiraan kematian. Berdasarkan
komposisi penduduk menurut umur dan jenis kelamin dapat dihasilkan rasio ibu-
anak. Dengan mengetahui perkiraan kasar atas harapan hidup saat lahir, jumlah ini
dapat diubah menjadi perkiraan TFR. Dengan demikian, metode ini menghasilkan
suatu cara yang cepat dan mudah dalam memperkirakan kelahiran, utamanya
untuk daerah-daerah kecil.
Kelemahannya, metode ini sensitif terhadap perbedaan tingkat lewat cacah
antara ibu dan anak. Selain itu, dalam perhitungannya diperlukan informasi
tentang tingkat kematian. Rele mendasarkan diri pada konsep penduduk stabil
(stable population). Prinsip yang menjadi dasar konsep penduduk stabil adalah
jika pengaruh migrasi internasional terhadap suatu penduduk suatu negara dapat
diabaikan, maka komposisi umur penduduk merupakan akibat dari kecenderungan
fertilitas dan mortalitas di masa lalu.
Keuntungan metode Rele adalah kesederhanaanya. Kebutuhan data terbatas
pada persebaran penduduk menurut umur dan jenis kelamin, serta indikasi tentang
tingkat mortalitas dalam bentuk angka harapan hidup saat lahir. Tabulasi umur
dan jenis kelamin boleh dikatakan selalu tersedia pada survei yang dilakukan oleh
31
BPS seperti SP, Supas, Susenas. Dengan demikian CWR selalu dapat dihitung di
setiap propinsi.
b. Metode Palmore
Metode ini diperkenalkan oleh Bogue dan Palmore pada tahun 1964, yang
mendasarkan asumsi adanya hubungan linear antara rasio anak dan wanita (child
women ratio atau CWR), ukuran kematian dan TFR. Dalam perhitungannya
diperlukan beberapa indikator lain seperti perbedaan pola perkawinan. Bila
dibandingkan dengan metode Rele, metode ini memerlukan lebih banyak data
yang biasanya tersedia dalam sensus maupun survei terutama untuk melengkapi
perkiraan kelahiran pada tingkat administrasi di bawah propinsi. Metode ini
menggunakan tingkat kematian bayi sebagai pengganti harapan hidup waktu lahir.
Palmore memperbaiki persamaan yang digunakan dengan menggunakan data
yang lebih akhir, dan persamaannya adalah sebagai berikut: