II. TINJAUAN PUSTAKA A. Ayam Petelur Afkir 1. Definisi Ayam Ras Petelur Afkir Ayam ras petelur adalah ayam yang dipelihara dengan tujuan untuk menghasilkan telur dan merupakan produk akhir ayam ras (Sudaryani dan Santosa, 2000). Berdasarkan fase pemeliharaannya, ayam petelur dibagi menjadi tiga fase, yaitu fase starter (umur 1 hari-6 minggu), fase grower (umur 6-18 minggu), dan fase layer/petelur (umur 18 minggu-afkir) (Sudarmono, 2003). Gambar 1. Ayam Ras Petelur Sumber : Anonim, 2017 Menurut Gellespie dan Flanders (2010), Ayam petelur afkir adalah ayam betina petelur dengan produksi telur rendah sekitar 20 sampai 25% dari produksi, berumur sekitar 96 minggu dan siap untuk dikeluarkan dari kandang. 2. Karakteristik Daging Ayam Ras Petelur Afkir Ayam petelur afkir memiliki potensi untuk menjadi produk olahan daging karena mempunyai kandungan gizi yang cukup baik. Kandungan gizi dalam daging ayam petelur afkir adalah sebagai berikut:
30
Embed
II. TINJAUAN PUSTAKA A. Ayam Petelur Afkir 1. Definisi ...eprints.mercubuana-yogya.ac.id/5274/3/BAB II.pdf · menghasilkan telur dan merupakan produk akhir ayam ras (Sudaryani dan
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
��
���
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Ayam Petelur Afkir
1. Definisi Ayam Ras Petelur Afkir
Ayam ras petelur adalah ayam yang dipelihara dengan tujuan untuk
menghasilkan telur dan merupakan produk akhir ayam ras (Sudaryani dan
Santosa, 2000). Berdasarkan fase pemeliharaannya, ayam petelur dibagi menjadi
tiga fase, yaitu fase starter (umur 1 hari-6 minggu), fase grower (umur 6-18
minggu), dan fase layer/petelur (umur 18 minggu-afkir) (Sudarmono, 2003).
Gambar 1. Ayam Ras Petelur Sumber : Anonim, 2017
Menurut Gellespie dan Flanders (2010), Ayam petelur afkir adalah ayam
betina petelur dengan produksi telur rendah sekitar 20 sampai 25% dari produksi,
berumur sekitar 96 minggu dan siap untuk dikeluarkan dari kandang.
2. Karakteristik Daging Ayam Ras Petelur Afkir
Ayam petelur afkir memiliki potensi untuk menjadi produk olahan daging
karena mempunyai kandungan gizi yang cukup baik. Kandungan gizi dalam
daging ayam petelur afkir adalah sebagai berikut:
���
��
Tabel 1. Kandungan Gizi Pada Daging Ayam Petelur Afkir
Kandungan Gizi Jumlah (%)
Air 56
Protein 25,4
Lemak 1,3-7,3
Sumber : Mountney dan Parkhurst, 1995
Kandungan gizi daging ayam petelur afkir tidak jauh berbeda dengan daging
ayam broiler, namun demikian ayam petelur afkir memiliki kelemahan yaitu
dagingnya keras dan liat dikarenakan umur yang tua (Mountney dan Parkhurst,
1995). Kebanyakan masyarakat yang mayoritas peternak ayam petelur menjual
ayam petelur afkir tersebut dengan harga murah, dikarenakan kualitas dari
dagingnya tersebut sudah menurun. Menurut Rasyaf (2010), Ayam petelur afkir
kurang dimanfaatkan sebagai ayam konsumsi karena mempunyai bau spesifik
(bau anyir/amis/langu) dan teksturnya alot, tetapi merupakan sumber penghasilan
tambahan bagi peternak jika harga jual tinggi. Menurut Purnamasari (2012),
daging ayam petelur afkir mempunyai kualitas yang rendah karena pemotongan
dilakukan pada umur yang relatif tua sehingga teksturnya lebih alot/keras dan juga
kurang disukai oleh masyarakat. Daging ayam petelur afkir terdiri atas otot merah
dan otot putih dengan persentasi 51,51% dan 48,39% (Kala dkk., 2007). Daging
ayam afkir yang termasuk dalam otot merah pada daging ayam adalah daging
paha, sedangkan otot putih adalah daging dada (Rose Anggraeni, 2005). Tingkat
kealotan daging dipengaruhi oleh kolagen yang merupakan protein struktural
pokok dalam jaringan ikat. Jumlah dan kekuatan kolagen dapat meningkat sesuai
���
��
dengan umur, oleh karena itu ternak yang lebih tua akan menghasilkan daging
yang cenderung lebih alot daripada ternak yang lebih muda pada bagian karkas
ayam yang sama (Soeparno, 2005). Ayam boiler dipotong pada usia yang relatif
muda 5-6 minggu (Rose Anggraeni, 2005), sedangkan ayam petelur afkir
memiliki usia sekitar 70 hingga 96 minggu.
B. Bakso
Bakso adalah produk olahan daging yang dibuat dari daging hewan ternak
yang dicampur dengan pati dan bumbu-bumbu, dengan atau tanpa penambahan
bahan pangan lainnya, dan atau bahan tambahan pangan yang diizinkan, yang
berbentuk bulat atau bentuk lainnya dan dimatangkan (SNI 3818:2014). Menurut
Soekarto (1990), bakso diperkirakan berasal dari Cina yang dibawa oleh perantau
Cina ke Indonesia. Menurut Astawan (2004), kualitas bakso sangat ditentukan
oleh kualitas daging, jenis tepung yang digunakan, perbandingan banyaknya
daging dan tepung yang digunakan untuk membuat adonan, dan pemakaian jenis
bahan tambahan yang digunakan, misalnya garam dan bumbu-bumbu juga
berpengaruh terhadap kualitas bakso segar. Penggunaan daging yang berkualitas
tinggi dan tepung yang baik disertai dengan perbandingan tepung yang benar dan
penggunaan bahan tambahan makanan yang aman serta cara pengolahan yang
benar akan dihasilkan produk bakso yang berkualitas baik. Bakso yang berkualitas
baik dapat dilihat dari tekstur, warna dan rasa. Teksturnya yang halus, kompak,
kenyal dan empuk. Halus yaitu permukaan irisannya rata, seragam dan serat
dagingnya tidak tampak.
���
��
Tabel 2. Syarat Mutu Bakso Daging Berdasarkan SNI 01-3818-2014
No. Kriteria Uji Satuan Persyaratan
Bakso Daging Bakso Daging
Kombinasi 1 Keadaan
1.1 Bau - Normal, khas
daging Normal, khas
daging
1.2 Rasa - Normal, khas bakso
Normal, khas bakso
1.3 Warna - Normal Normal
1.4 Tekstur - Kenyal Kenyal
2 Kadar Air (% b/b) maks. 70,0 maks. 70,0
3 Kadar Abu (% b/b) maks. 3,0 maks. 3,0
4 Kadar Protein (Nx6,25) (% b/b) min. 11,0 min. 8,0
5 Kadar Lemak (% b/b) maks.10 maks. 10
6 Cemaran Logam
6.1 Cadmium (Cd) mg/kg maks. 0,3 maks. 0,3
6.2 Timbal (Pb) mg/kg maks. 1,0 maks. 1,0
6.3 Timah (Sn) mg/kg maks. 40,0 maks. 40,0
6.4 Merkuri (Hg) mg/kg maks. 0,03 maks. 0,03
7 Cemaran Arsen (As) mg/kg maks. 0,5 maks. 0,5
8 Cemaran Mikrobia
8.1 Angka Lempeng Total koloni/g maks. 1x105 maks. 1x105
Pada penelitian ini dilakukan percobaan pembuatan bakso menggunakan
daging ayam ras petelur afkir. Adapun bahan-bahan lain yang digunakan untuk
pembuatan bakso antara lain :
1. Tepung Tapioka
Tapioka sering digunakan pada pengolahan produk daging seperti halnya
pada pengolahan bakso, untuk proses pembentukan gel (Oakenfull, 1987 dalam
Yuliasari, 1994). Jumlah tapioka yang digunakan sebaiknya paling banyak 15%
dari berat daging. Idealnya, tapioka yang ditambahkan sebaiknya 10% dari
berat daging (Singgih, 2000). Protein yang terdapat dalam daging dapat
membentuk kompleks dengan pati terutama dengan fraksi amilopektin pati,
sedangkan amilosa tidak dapat membentuk kompleks dengan protein. Protein
fibrous lebih efektif membentuk kompleks dengan protein daripada protein
globular (Whistler, 1984 dalam Widiastuti, 1990). Penambahan tapioka
bertujuan meningkatkan kekenyalan pada produk olahan daging. Tapioka dapat
dipandang sebagai bahan pengisi (filler) ataupun sebagai bahan pengikat gel
protein yang sederhana, tapioka tidak berinteraksi langsung dengan matriks
protein maupun mempengaruhi formasi protein tersebut (Fitrial, 1999).
Sebagai bahan pengikat, pati mampu menyerap atau mengikat kelebihan air
(Schut, 1976 dalam Widiastuti, 1990). Dengan terikatnya molekul air oleh pati
maka ketika suspensi pati-air dipanaskan terjadi gelatinisasi. Proses gelatinisasi
tersebut terjadi karena air yang sebelumnya berada di luar granula pati dan
bebas bergerak sebelum suspensi dipanaskan, setelah dipanaskan sebagian air
berada dalam butir-butir pati dan tidak dapat bergerak bebas karena terikat oleh
���
��
gugus hidroksil dalam molekul pati, sehingga menyebabkan rongga-rongga pati
merapat. Selanjutnya granula-granula pati tersebut dapat membengkak secara
berlebihan dan bersifat irreversibel. Proses gelatinisasi ini yang menyebabkan
tekstur pada bakso menjadi kenyal (Haryanto dkk., 1994).
2. Bumbu-bumbu
Bumbu yang ditambahkan pada pembuatan bakso terdiri dari bawang putih,
garam dapur, dan merica. Bawang putih mengandung senyawa allicin
penyebab timbulnya bau yang sangat tajam (Wirakusumah, 2000). Bawang
putih yang digunakan sebagai bumbu merupakan salah satu rempah yang biasa
digunakan sebagai pemberi rasa dan aroma makanan, bawang putih terutama
ditujukan untuk menambah flavor sehingga produk akhir mempunyai flavor
yang menarik. Bahan aktif dalam bawang putih adalah minyak atsiri dan bahan
yang mengandung belerang. Menurut Meyer (1979) dalam Tonny (2000),
aroma yang khas dari bawang putih adalah disebabkan karena senyawa-
senyawa yang mudah menguap, senyawa-senyawa tersebut allyl disulfida dan
allyl polisulfida. Di samping itu, bawang putih juga dapat berfungsi sebagai
antioksidan alami dalam bahan pangan.
Garam dapur pada umumnya dipakai untuk memberikan rasa asin pada
pengolahan makanan. Garam juga berfungsi untuk menambah citarasa (flavor)
dan sebagai pengawet. Menurut Tamino (1988) penambahan garam pada
pembuatan bakso daging instant sebesar 2,5% menghasilkan produk yang
disukai panelis. Sementara itu merica digunakan untuk menambah citarasa
bakso. Lada / merica adalah tumbuhan penghasil rempah-rempah yang berasal
��
��
dari bijinya, digunakan untuk memberikan rasa pedas dan segar pada masakan.
Rempah adalah bahan aromatik yang digunakan untuk memasak dan berasal
dari tumbuhan dan pada umumnya dalam keadaan kering (Nurani, 2015).
3. Sodium Tripolifosfat (STPP)
Menurut Soeparno (1992), Sodium Tripolifosfat (STPP) berfungsi untuk
meningkatkan daya mengikat air oleh protein daging, mereduksi pengerutan
daging, menghambat ketengikan oksidatif bersama-sama asam askorbat dan
dapat memperbaiki tekstur produk. Elviera (1988) menyatakan, bahwa STPP
berfungsi juga sebagai pengembang dan dapat meningkatkan rendemen,
kekerasan, kekompakan dan kekenyalan bakso yang dibuat.
Penambahan STTP merupakan salah satu cara untuk mencegah pewarnaan
daging, memperbaiki tekstur, membantu dalam proses dan penanganan dan
mencegah meningkatnya off-flavor (Sofos, 1986 dalam Yuliasari, 1994).
Senyawa polifosfat merupakan salah satu bahan tambahan makanan yang
umumnya digunakan pada produk daging, minyak, serta roti. Polifosfat
merupakan komponen kimia yang dapat berfungsi sebagai penyangga, pengikat
ion logam, dan dapat meningkatkan kadar fosfat 0,5% yang dikombinasi
dengan 0,1 M garam dapat meningkatkan pH dan kemampuan mengikat air.
Telah dipelajari oleh Trout dan Schmidt (1984) dalam Widiastuti (1990), yang
dikutip oleh Sofos (1986) yang menunjukkan bahwa tetrasodium pirofosfat dan
sodium tripolifosfat paling efektif dalam meningkatkan Water Holding
Capacity (WHC) pada produk olahan daging. Pembentukan gel juga
dipengaruhi oleh penambahan bahan pengenyal, seperti sodium tripolifosfat
��
��
(STPP). Adanya STPP yang ditambahkan dalam bakso akan bereaksi dengan
pati membentuk struktur yang kompak membentuk matriks pati-STPP yang
kokoh sehingga tekstur bakso yang terbentuk menjadi kenyal (Whistler, 1964
dalam Widiastuti, 1990).
4. Es Batu (Air Es)
Bahan tambahan lain dalam pembuatan bakso adalah es atau air es. Bahan
ini berfungsi membantu pembentukan adonan dan membantu pembentukan
tekstur bakso (Singgih, 2000). Air merupakan salah satu komponen yang
berperan besar pada pembuatan bakso, dan juga merupakan salah satu faktor
yang menentukan tekstur bakso, bila air yang digunakan terlalu bnyak maka
keempukannya juga meningkat. Air yang ditambahkan pada pembuatan bakso
berfungsi untuk memudahkan pencampuran dan menurunkan viskositas adonan
(Naruki dan Kanoni, 1992). Penambahan air mengakibatkan adonan bakso
menjadi lebih encer sehingga lebih mudah dicampur dengan komponen-
komponen yang lain dan memudahkan dalam penghalusan (Aurand dan
Woods, 1973). Air yang ditambahkan adalah air es karena dengan
menggunakan air es kenaikan suhu adonan berjalan lambat, sehingga proses
gelatinisasi awal dapat dihindari, selain itu penambahan dalam bentuk air es
juga dimaksudkan untuk mempertahankan suhu adonan kurang dari 22�C
supaya tidak terjadi denaturasi protein pada daging yang akan menyebabkan
rusaknya tekstur protein sehingga berakibat pada tekstur bakso (Gillespie, 1990
dalam Tonny, 2000).
���
��
Pembuatan bakso pada prinsipnya terdiri atas empat tahap, yaitu (1)
penghancuran daging, (2) pembuatan adonan, (3) pencetakan dan (4) pemasakan.
pPEEDED
Gambar 2. Diagram Alir Proses Pembuatan Bakso Sumber : Astawan, 2008
1. Penggilingan
Penghancuran daging dilakukan dengan cara mencacah (mincing), menggiling
(grinding), atau mencincang sampai halus/lumat (chopping). Penggilingan daging
biasanya dilakukan dengan mesin penggiling, namun dapat juga menggunakan
alat lain seperti food processor dan blender. Pada proses penggilingan, daging
perlu ditambah es, tujuannya adalah untuk mempertahankan suhu akibat gesekan
mesin giling serta untuk menghasilkan emulsi yang baik (Astawan, 2008).
Daging
Air
Tepung Tapioka, Bumbu-bumbu,
STTP, Air es
Penggilingan
Pencampuran dan Penggilingan
Pencetakan
Perebusan 80�C, 15 menit
Bakso
���
��
2. Pencampuran
Menurut Astawan (2008), Proses pembentukan adonan dilakukan dengan
mencampur seluruh bahan kemudian menghancurkannya (mixing and chopping).
Dapat juga dengan cara menghancurkan daging, kemudian mencampurkannya
dengan seluruh bahan lainnya (mincing, grinding and mixing). Bintoro (2008)
menambahkan bahwa pembuatan adonan dilakukan dengan cara mencampurkan
semua bahan yang terdiri dari daging giling, tepung tapioka serta bumbu-bumbu
sambil diaduk sampai tercampur rata sehingga bahan tersebut menjadi adonan
yang kental.
3. Pencetakan
Pencetakan bakso dilakukan dengan menggunakan alat pencetak bakso atau
dengan tangan (Astawan, 2008). Cara pencetakan bakso dengan tangan adalah
sebagai berikut: adonan diambil dengan menggunakan tangan kiri, kemudian
tangan kiri tersebut menggenggam dengan jari telunjuk dan ibu jari membentuk
lingkaran sebesar bakso yang diinginkan, lalu tiga jari yang lain mengeratkan
genggaman sehingga adonan keluar melalui lubang yang terbentuk antara jari
telunjuk dan ibu jari tersebut. Kemudian tangan kanan dengan menggunakan
sendok memotong adonan yang keluar tersebut (Bintoro, 2008).
4. Perebusan
Astawan (2008) menyatakan bahwa perebusan bakso dilakukan pada suhu 70-
80�C selama 15 menit. Bakso yang matang akan mengapung ke permukaan.
Bintoro (2008) menambahkan perebusan dihentikan bila bakso yang tadinya
tenggelam itu muncul di atas permukaan.
���
��
C. Oksidasi Lemak
Kerusakan lemak yang utama ada 2 tipe, yaitu ketengikan dan hidrolisa.
Ketengikan terjadi bila komponen cita-rasa atau bau tengik yang mudah menguap
terbentuk sebagai akibat kerusakan oksidatif dari lemak tidak jenuh. Sedangkan
hidrolisa lemak menghasilkan asam-asam lemak bebas yang juga dapat
mempengaruhi cita-rasa dan bau daripada bahan itu. Hidrolisa dapat disebabkan
oleh adanya air dalam lemak atau karena kegiatan enzim (Buckle dkk., 1987).
Secara umum diketahui bahwa lemak dan minyak dapat memburuk selama
penyimpanan dalam suasana oksidasi, yang dikenal sebagai oksidasi lemak.
Oksidasi lemak adalah faktor yang paling penting yang mempengaruhi umur
simpan bahan. Hidroperoksida dihasilkan oleh oksidasi lemak dapat terurai
menjadi berbagai molekul yang lebih kecil seperti aldehida, keton, alkohol, dan
asam karboksilat. Oksidasi lemak tidak hanya menghasilkan rasa tengik, tapi bisa
juga menurunkan nilai gizi makanan dengan formasi produk oksidasi, yang
mungkin memainkan peran dalam perkembangan penyakit dan dapat berbahaya
bagi kesehatan manusia (Rohman dkk., 2011).
Penerimaan produk pangan tergantung pada sejauh mana kerusakan yang telah
terjadi. Ketengikan oksidatif adalah penyebab utama dari kerusakan makanan.
Ketengikan merupakan penyebab utama penurunan kualitas gizi serta
mengkhawatirkan untuk keamanan pangan. Lemak yang teroksidasi dalam dosis
yang sangat tinggi telah terbukti memiliki efek toksik. Parameter sensorik seperti
warna, rasa, tekstur, dan penerimaan keseluruhan dari setiap produk makanan juga
���
��
tergantung pada tingkat oksidasi lemak dalam makanan karena pembentukan
peroksida, aldehid dan keton (Gulla dkk., 2012).
1. Mekanisme Oksidasi Lemak
Proses oksidasi lipida terjadi melalui mekanisme radikal bebas, reaksi ini
diawali dengan pelepasan sebuah atom H yang labil pada lemak dan menghasilkan
radikal-radikal bebas lainnya. Reaksi ini dapat disebut sebagai reaksi autooksidasi.
Menurut Kochhar (1996), mekanisme autooksidasi lemak terdiri dari tiga tahap
yaitu inisiasi, propagasi dan terminasi. Tahap inisiasi terjadi pada atom C yang
berdekatan dengan ikatan rangkap. Pada tahapan ini akan terbentuk radikal bebas
(R*) apabila lipid atau asam lemak tidak jenuh (RH) terkena panas, cahaya atau
logam dan terjadi pelepasan atom H. Tahapan selanjutnya yaitu tahap propagasi,
radikal bebas (R*) yang terbentuk pada tahap inisiasi bereaksi dengan oksigen
membentuk radikal peroksi (ROO*) dengan sangat cepat. Radikal peroksi
menarik ion H dari asam lemak tidak jenuh yang lain membentuk hidroperoksida
(ROOH) dengan sangat lambat dan radikal alkoksi (RO*) akan bereaksi dengan
asam lemak tidak jenuh membentuk aldehid. Hidroperoksida yang terbentuk akan
bereaksi lagi dengan inisiator secara terus menerus membentuk radikal-radikal
bebas. Tahapan terakhir yaitu tahap terminasi. Pada tahap ini terjadi reaksi antara
radikal-radikal membentuk senyawa tidak radikal. Tahapan terminasi ini terjadi
ketika konsentrasi oksigen pada permukaan lipid rendah. Adapun tahap-tahap
reaksi oksidasi adalah sebagai berikut :
Inisiasi : RH R* + H
Propagasi : R* + O2 ROO*
���
��
ROO* + RH ROOH + R*
RO* + RH ROH + R*
Terminasi : R* + R* 2R
R* + ROO* ROOR
ROO* + ROO* ROOR + O2
Gambar 3. Mekanisme Oksidasi Lemak Sumber : Jadhave dkk., 1996
Oksidasi komponen bahan pangan akan menyebabkan kerusakan vitamin,
pigmen, flavor, dan aroma, serta protein menjadi tidak larut (Kochhar, 1993).
Menurut Hustiany (2001), faktor yang dapat mempercepat oksidasi lemak yaitu
jumlah asam lemak tidak jenuh, logam, dan panas. Pada suhu kamar sampai
dengan suhu 100�C, setiap ikatan tidak jenuh dapat mengabsorbsi 2 atom oksigen,
sehingga terbentuk persenyawaan peroksida yang bersifat labil. Auto-oksidasi
dimulai dengan pembentukan radikal-radikal bebas yang disebabkan oleh faktor-
faktor yang dapat mempercepat reaksi (prooksidan) seperti panas, cahaya,
peroksida lemak atau hidroperoksida, logam-logam berat seperti Cu, Fe, Co, Mn,
logam porifin seperti hematin, hemoglobin, mioklobin, klorofil, dan enzim-enzim
lipoksidase (Wintirani dkk., 2013). Faktor yang dapat menghambat oksidasi lipid
antara lain adalah antioksidan. Ada empat kemungkinan mekanisme
penghambatan tersebut yaitu (a) pemberian hidrogen, (b) pemberian elektron, (c)
penambahan lipida pada cincin aromatik antioksidan, dan (d) pembentukan
kompleks antara lipida dan cincin aromatik antioksidan.
���
��
Asam Lemak atau Lipid pada Bahan Pangan
Oksigen Cahaya, panas, pro - oksidan Enzim (seperti lipoksigenase)
Hidroperoksida Pemecahan
Polimerisasi (warna gelap) yang menghasilkan senyawa toksik
Gambar 4. Oksidasi Lemak pada Bahan Pangan Sumber : Kochhar, 1996
2. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Oksidasi Lemak
Dalam penelitian ini bahan baku yang digunakan untuk pembuatan produk
bakso adalah daging unggas yaitu daging ayam ras petelur afkir. Adapun faktor-
faktor yang dapat mempengaruhi oksidasi lemak dalam daging unggas antara lain:
a. Komposisi asam lemak dalam daging
Asam lemak dalam daging terdiri atas asam lemak jenuh dan asam lemak tidak
jenuh. Asam lemak tidak jenuh lebih reaktif dibandingkan asam lemak jenuh dan
akan bertambah reaktif dengan bertambah banyaknya ikatan rangkap pada asam
lemak. Sebagai contoh, kecepatan relatif oksidasi asam arakhidonat 40 kali lebih
cepat dibandingkan asam oleat dan 4 kali lebih cepat dibandingkan asam linoleat
serta 2 kali lebih cepat dibandingkan dengan asam linolenat (Kochhar, 1996).
Produk sekunder dan tersier seperti aldehid, keton, lakton, furan, asam, alkohol, dan hidrokarbon yang dapat menyebakan off-flavor dan off odor, kerusakan asam lemak esensial, pencoklatan
Oksidasi komponen bahan pangan yang akan membawa kepada kerusakan vitamin, pigmen, flavor dan aroma serta protein menjadi tidak larut
���
��
Pada daging unggas ternyata kandungan PUFA lebih besar dibandingkan pada
daging babi, sapi dan domba, sehingga lebih mudah terjadi oksidasi lemak
dibandingkan jenis daging lainnya (Lillard, 1987). Pada berbagai daging unggas
sepeti daging broiler, kalkun, itik, angsa ditemukan kandungan PUFA yang
berbeda. Misalnya, pada daging putih ayam broiler mentah dengan kulit,
konsentrasi PUFA adalah 24% (3,96 g/100 g daging), daging tanpa kulit sebesar
30,8% (0,37 g/100 g daging). Pada daging putih kalkun mentah dengan kulit,
kandungan PUFA sebesar 26,5% (1,73 g/100 g daging), sedangkan pada daging
tanpa kulit sebesar 35,3% (0,42 g/100 g daging) . Komposisi asam lemak tersebut
berbeda pula pada daging gelap ayam broiler yaitu daging dengan kulit sebesar
23,4% (2,34 g/100 g daging) dan tanpa kulit sebesar 30,5% (1,07 g/100 g daging).
Pada daging kalkun gelap dengan kulit, kandungan PUFA sebesar 29,0% (2,28
g/100 g daging) dan daging kalkun gelap tanpa kulit sebesar 34,7% (1,31 g/100 g
daging) (Decker dan Cantor, 1992). Sebagai tambahan, Rabot dkk. (1996)
menemukan bahwa kandungan lipid akan menurun dengan meningkatnya umur
ayam. Dilihat dari data kandungan PUFA di atas yang berbeda pada setiap spesies
unggas, bisa dimungkinkan reaksi oksidasi lemak yang terjadi akan berbeda pula.
Selain itu, kandungan asam lemak pada berbagai unggas tersebut dapat
dipengaruhi oleh pakan hewan dan temperatur lingkungan (Lawrie, 1991).
Laporan yang lain (Lillard, 1987) menyebutkan bahwa kandungan PUFA pada
bagian tubuh unggas juga berbeda, misalnya pada bagian dada ayam mengandung
41,45% dari total asam lemak yang ada dan bagian kaki ayam sebesar 43,5% dari
total asam lemak. Perbedaan ini memungkinkan bahwa potongan daging dari
���
��
bagian karkas yang berbeda mempunyai komposisi asam lemak yang berbeda
sehingga dapat menyebabkan variasi oksidasi lemak yang tejadi. Sebagai
tambahan, Salih (1987) melaporkan bahwa daging paha kalkun lebih cepat
teroksidasi daripada daging bagian dada.
b. Prooksidan
Jaringan otot juga mengandung katalis yang dapat mempercepat proses oksidsi
lemak yaitu berupa senyawa-senyawa hematin seperti senyawa haem (Fez+) dan
hemmin (Fe3+) yang ada dalam hemoglobin, myoglobin dan sitokrom yang
merupakan prooksidan yang sangat kuat. Senyawa haematin mengkatalisa
dekomposisi hidroperoksida dengan membentuk kompleks dengan
hidroperoksida. Kompleks ini kemudian terpecah menjadi dua radikal bebas, salah
satunya dapat menginisiasi reaksi berantai radikal bebas. Radikal haematin dan
radikal alkil yang akan masuk ke proses reaksi berantai (Kochhar, 1996). Radikal-
radikal tersebut berkontribusi terhadap pembentukan senyawa-senyawa off-
flavor/off-odor pada daging. Prooksidan logam yang lain yaitu logam yang
umumnya mempunyai valensi 2 atau lebih dengan potensial redoks yang sesuai
dapat meningkatkan laju oksidasi lemak (Kochhar, 1996). Salih (1987) meneliti
pengaruh pemberian garam dan logam (Fe, Cu, Mg) dan antioksidan terhadap
oksidasi lemak dan off-flavor daging dada dan paha kalkun mentah dan masak
selama pendinginan dan penyimpanan beku. Ditemukan bahwa nilai TBA pada
perlakuan Fe3+ lebih besar daripada Cuz+ sedangkan perlakuan garam
menghasilkan nilai TBA yang lebih rendah. Lillard (1987) menyebutkan bahwa di
dalam daging ternyata senyawa hemoprotein merupakan sumber non-heme iron
���
��
dan selama proses pemanasan non-heme iron dilepas dan merupakan katalis
utama oksidasi lemak dalam daging masak.
c. Antioksidan
Kandungan tokoferol dalam daging selama penyimpanan dapat mempengaruhi
laju oksidasi lemak yang terjadi. Konsentrasi tokoferol dalam daging unggas ini
lebih tergantung pada pakan unggas tersebut (Lillard, 1987). Sheldon (1983)
melaporkan pengaruh kensentrasi d,l-α-tokoferol asetat terhadap stabilitas
oksidasi lemak karkas kalkun. Di sini disimpulkan bahwa peningkatan tokoferol
dalan pakan akan menghasilkan peningkatan deposit tokoferol pada dada dan paha
kalkun tetapi tidak pada kulit dan lemak. Daging paha ternyata mempunyai
deposit tokoferol lebih tinggi dibandingkan daging dada, kulit dan lemak.
Disamping itu, Lillard (1987) melaporkan bahwa pada daging yang mengandung
tokoferol lebih tinggi dan disimpan beku selama 3 bulan, laju oksidasi lemak yang
terjadi lebih lambat. Pada unggas daging putih yaitu kalkun dan ayam ternyata
ditemukan bahwa pada daging kalkun, oksidasi lemak berkembang lebih cepat
dibandingkan daging ayam (Lillard, 1987). Disebutkan juga bahwa pakan kalkun
yang sudah diberi α-tokoferol (200 mg/kg) atau injeksi tokoferol 1-2 hari sebelum
penyembelihan ternyata dapat mengurangi intensitas flavor fishy pada daging
kalkun.
d. Panas (Suhu tinggi)
Secara umum, laju autooksidasi akan meningkat dengan meningkatnya suhu,
walaupun oksigen terlarut dalam lemak akan menurun dengan meningkatnya suhu
(Kochhar, 1996). Selain itu, Lillard (1987) juga menjelaskan bahwa oksidasi
���
��
lemak lebih lanjut dalam daging unggas yang dimasak akan berhubungan dengan
perlakuan panas. Dilaporkan juga bahwa daging yang mengalami pemasakan yang
lama mempunyai peningkatan nilai TBA yang terbesar, sehingga terjadi korelasi
antara lama pemasakan dan nilai TBA. Lillard (1987) melaporkan bahwa
pengukuran oksidasi pada daging yang dimasak dengan berbagai tingkat
temperatur menunjukkan oksidasi lemak terjadi sangat cepat pada daging yang
dimasak pada suhu 70�C selama 1 jam. Nilai TBA akan menurun saat temperatur
pemanasan di atas 80�C. Sehingga, dapat disimpulkan bahwa yang dipanaskan
dengan suhu 70�C selama 1 jam mempunyai laju oksidasi yang tercepat.
Penelitian lain yang dilakukan oleh Derlean (2009) menyatakan bahwa semakin
tinggi suhu pengolahan (pemanasan) membuat angka peroksida produk juga
semakin tinggi. Peningkatan oksidasi lemak selama pemanasan berhubungan
dengan denaturasi protein haem dan membentuk katalis yang lebih aktif yang
dapat mengawai terjadinya oksidasi lemak.
3. Pembentukan Off-Flavor
Oksidasi lemak dalam daging menyebabkan perubahan kimia yang bisa
menyebabkan off-flavor pada daging. Off-flavor yang disebabkan karena
terjadinya perubahan kimia dalam bahan pangan antara lain disebabkan 4 jenis
reaksi yaitu reaksi oksidasi lipid, reaksi kecoklatan non-enzimatik, reaksi
enzimatik dan reaksi yang diinduksi oleh cahaya. Reaksi oksidasi lipid merupakan
reaksi paling umum penyebab penyimpangan flavor dalam bahan pangan. Reaksi
ini terutama terjadi pada bahan-bahan kering yang diakibatkan adanya asam
����
��
lemak tidak jenuh dalam bahan pangan yang bereaksi dengan oksigen. Reaksi ini
sangat tergantung pada suhu dan adanya antioksidan yang tersedia.
Lemak daging terdiri dari asam lemak jenuh dan asam lemak tidak jenuh
tunggal (mono) maupun banyak (poli), seperti asam palmitat (C16:0), asam stearat
(C18:0), asam oleat (C18;1), asam linoleat (C18:2) dan asam-asam lemak lainnya.
Dalam daging banyak asam lemak yang mengandung dua atau lebih ikatan
rangkap yang disebut dengan polyunsaturated fatty acid (PUFA), seperti asam
linoleat, asam linolenat, asam arakhidonat, asam eikosapentanoat, adalah asam
lemak esensial yang harus ada dalam makanan. Akan tetapi jenis asam ini sangat
mudah mengalami oksidasi dengan adanya oksigen. Proses autooksidasi tersebut
menyebabkan berkembangnya bau dan flavor yang tidak enak, yang biasa disebut
tengik (Konchhar, 1996).
Kandungan myoglobin dan hemoglobin dalam daging juga dapat mempercepat
laju oksidasi lemak yang dapat menyebabkan ketengikan dan off-flavor selama
penyimpanan daging. Banyaknya myoglobin ini bervariasi menurut spesies
ternak, umur,jenis kelamin dan aktivitas fisik ternak (Lawrie, 1991). Kandungan
asam lemak yang berbeda pada setiap spesies unggas akan menghasilkan flavor
yang berbeda pula. Sebagai contoh, daging ayam broiler yang mempunyai
kandungan asam lemak lebih banyak dibandingkan ayam kampung akan
mempunyai flavor dan off-flavor yang berbeda pula (Apriyantono dan Indrawaty,
1998). Daging ayam broiler mempunyai kecenderungan untuk menghasilkan off-
flavor yang lebih besar, seperti bau tengik, karena daging tersebut mengandung
asam lemak tidak jenuh yang lebih besar yang mudah teroksidasi.
����
��
4. Pencegahan Off-Flavor Pada Daging Unggas
Off-flavor yang terjadi pada daging unggas jelas berakibat pada menurunnya
tingkat penerimaan konsumen terhadap daging dan produk daging unggas.
Disamping itu, akibat yang bersamaan dari off-flavor juga dikhawatirkan
pengaruhnya yang buruk terhadap kesehatan manusia. Sehingga, diperlukan cara-
cara untuk melakukan pencegahan timbulnya off-flavor pada daging tersebut.
Cara-cara yang dilakukan ini tergantung pada penyebab timbulnya off-flavor pada
daging unggas tersebut. Off-flavor daging unggas yang disebabkan karena umur
bisa sangat mudah dikendalikan. Kita hanya memotong unggas pada umur tertentu
dimana secara sensori daging tersebut masih bisa diterima konsumen. Sebagai
contoh, Prabhakara (1990) yang mendapatkan bahwa pemotongan itik umur 3
bulan adalah tepat karena daging yang dihasilkan mempunyai nilai skor yang
tinggi dalam hal tendernes, juiciness, dan flavour. Kim dkk. (1999) juga
melaporkan bahwa ayam jenis Arbor Acre dan ayam jenis ash Korea hanya dapat
diterima secara sensori (aroma, flavour, juicyness dan tenderness) pada umur 8,
10, 12, 14, dan 16 minggu. Demikian juga dengan off-flavor akibat perbedaaan
jenis kelamin, seperti pada itik muscovy betina ternyata mempunyai intensitas
yang lebih tinggi daripada itik jantan (Baeza dkk., 1998).
Pada kejadian off-flavor daging unggas yang disebabkan pakan, sudah banyak
dilakukan penelitian untuk memperbaiki mutu pakan unggas khususnya terhadap
off-flavor yang mungkin ditimbulkan. Peterson dkk. (1975) menambahkan
vitamin E dengan dosis 200 mg/kg pakan sebelum penyembelihan kalkun ternyata
juga dapat mengurangi intensitas off-flavor daging kalkun. Untuk mengurangi bau
����
��
fishy pada daging ayam, bisa dilakukan penambahan minyak jagung dengan
metionin atau kolin (Wessels dkk., 1979). Penelitian Huang dkk. (1999)
menunjukan bahwa pemberian α-tokoferol pada pakan broiler selama 6 minggu
ternyata menghasilkan daging paha ayam dengan nilai TBA lebih rendah dari
pada kontrol. Jumlah α-tokoferol pada paha ayam tersebut akan menurun pada
penyimpanan beku selama 40 hari.
Pencegahan off-flavor daging unggas yang disebabkan oksidasi lemak bisa
dilakukan dengan penambahan antioksidan alami maupun sintetik. Hayse (1974)
menemukan bahwa penambahan 100 IU DL-α-tokoferol asetat selama 8 minggu
dapat mengurangi nilai TBA pada daging kalkun mentah dan matang. Pikul dkk.
(1983) melaporkan bahwa penambahaan antioksidan (BHA, BHT, Santoquin)
pada daging ungas tanpa tulang yang disimpan beku selama 23 minggu pada suhu
-18�C dapat menghambat oksidasi lemak yang terjadi. Mielnik (1997) melakukan
penelitian mengenai penambahan antioksida alami dari bawang putih segar dan
kering pada daging ayam tanpa tulang yang disimpan beku pada suhu -20�C
selama 2 bulan. Nilai TBA yang dihasilkan lebih rendah dari pada kontrol,
sehingga bawang putih juga akhirnya dapat menurunkan ketengikan daging ayam
selama penyimpanan beku. Bawang putih segar ternyata lebih bisa menekan nilai
TBA daripada bawang putih kering selama penyimpanan beku, dan hanya sedikit
perbedaan sifat sensori yang ditimbulkan. Pada penelitian ini dilakukan
pencegahan off-flavor dengan cara penghambatan oksidasi lemak dalam produk
bakso ayam petelur afkir selama pengolahan dengan cara penambahan antioksidan
alami ekstrak kunyit.
����
��
D. Kunyit (Curcuma domestica Val.)
1. Kunyit (Curcuma domestica Val.)
Kunyit adalah salah satu jenis rempah-rempah yang banyak digunakan sebagai
bumbu dalam berbagai jenis masakan. Kunyit memiliki nama latin Curcuma
domestica yang menggantikan nama sebelumnya yaitu Curcuma longa. Nama
latin Curcuma domestica untuk kunyit diperkenalkan oleh Valeton pada tahun
1918. Menurut Winarto (2003), dalam taksonomi tanaman kunyit dikelompokkan
sebagai berikut :
Kingdom : Plantae
Divisio : Spermatophyta
Sub divisio : Angiospermae
Class : Monocotyledonae
Ordo : Zingiberales
Family : Zingiberaceae
Genus : Curcuma
Species : Curcuma domestica Val
Tanaman kunyit termasuk jenis tanaman herba yaitu tanaman tahunan.
Tanaman kunyit tumbuh bercabang dengan tinggi 40-100 cm. Batang merupakan
batang semu, tegak, bulat, membentuk rimpang dengan warna kekuningan dan
tersusun dari pelepah daun (agak lunak). Daun tunggal, bentuk bulat telur (lanset)
memanjang hingga 10-40 cm, lebar 8-12,5 cm dan pertulangan menyirip dengan
warna hijau pucat. Gambar 4 menunjukkan penampakan tanaman kunyit.
����
��
Gambar 5. Tanaman kunyit (Curcuma domestica) Sumber : Anonim, 2006
Tanaman kunyit dapat tumbuh dimana saja, baik dataran rendah maupun
dataran tinggi. Menurut Sinaga (2006), pada dataran tinggi tanaman kunyit dapat
tumbuh di ketinggian 2000 meter di atas permukaan laut. Pertumbuhannya
didukung oleh tanah yang tata pengairannya baik, curah hujan 2.000-4.000 mm
per tahun, dan di tempat yang sedikit terlindung (Sumiati dan Adnyana, 2004). Di
Indonesia tanaman kunyit mudah tumbuh hampir di seluruh wilayah, di pulau
Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, lrian, dan lain-lain. Selain di
Indonesia, kunyit juga banyak ditanam di Malaysia, Thailand, Cina, India, dan
Vietnam.
Kunyit biasanya dipanen pada umur berkisar 7-9 bulan setelah penanaman,
yang ditandai dengan batang tumbuhan mulai layu atau mengering. Kunyit yang
baru dipanen biasanya memiliki kadar air sekitar 90% (Sumangat dkk., 1994) atau
81.4-81.5% (Jusuf, 1980). Kunyit memiliki umbi utama yang terletak di dasar
batang, berbentuk elipsoidal, dan berukuran 5x2.5 cm. Umbi utama membentuk
rimpang yang sangat banyak jumlahnya pada sisi-sisinya. Rimpang-rimpang
����
��
tersebut berbentuk pendek, tebal, dan lurus atau melengkung (Sastrapraja, 1977).
Bagian luar rimpang berwarna jingga kecoklatan, sedangkan di bagian dalamnya
berwarna jingga terang atau kuning. Rimpang memiliki rasa yang agak getir dan
berbau khas (Sinaga, 2006). Gambar 5 menunjukkan penampakan rimpang kunyit.
Gambar 6. Rimpang kunyit (Curcuma domestica) Sumber : Anonim, 2006
2. Kunyit Sebagai Antioksidan Alami
Berdasarkan asalnya, antioksidan dibedakan menjadi 2 kelompok, yaitu
kelompok antioksidan sintetik dan antioksidan alami. Antioksidan sintetik dibuat
dan disintesa oleh manusia. Antioksidan ini banyak sekali jenisnya. Namun tidak
semua antioksidan sintetik dianjurkan untuk makanan. Ada lima antioksidan yang
penggunaannya meluas dan menyebar ke seluruh dunia, yaitu Butil Hidroksi