II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Perubahan Iklim dan Dampaknya Pada Sektor Pertanian
Perubahan iklim didefinisikan sebagai perubahan pada iklim
yang
dipengaruhi aktivitas manusia baik secara langsung maupun tidak
langsung yang
mengubah komposisi atmosfer dan yang akan memperbesar keragaman
iklim
teramati pada periode yang cukup panjang (Trenberth, Hougton dan
Meira Filho,
1995 diacu dalam Handoko et al. 2008). Perubahan iklim alamiah
terjadi secara
gradual dalam rentang waktu yang cukup panjang, namun sejak
revolusi industri,
telah terjadi peningkatan konsentrasi gas rumah kaca yang cukup
signifikan yang
pada akhirnya menyebabkan pemanasan global. Selain meningkatkan
suhu udara,
pemanasan global juga menyebabkan : (a) peningkatan frekuensi
kejadian iklim
ekstrim atau anomali iklim seperti El-Nino dan La-Nina, serta
penurunan atau
peningkatan suhu secara ekstrim; (b) perubahan dan
ketidakmenentuan
(uncertainty) curah hujan dan musim; (c) peningkatan permukaan
air laut dan
robb (gelombang pasang laut).
Banyak bukti menunjukkan bahwa secara global kejadian iklim
esktrim
semakin sering terjadi. Meningkatnya kejadian iklim ekstrim
salah satunya
ditandai oleh makin seringnya muncul berbagai bencana. Bencana
(hazard)
merupakan kejadian yang berpotensi menimbulkan kerusakan yang
serius,
misalnya badai tropis, kemarau panjang, banjir, atau kondisi
yang dapat
menimbulkan peledakan penyakit tertentu (Boer 2008a).
Bencana angin kencang yang selama ini jarang melanda wilayah
pertanian
di Jawa, sekarang jenis bencana ini sudah mulai sering terjadi.
Berdasarkan data
OFDA/CRED International Disaster Database, selama periode
1907-2006
bencana alam yang masuk ke dalam kategori bencana global
mencapai 345
kejadian. Sekitar 60% dari bencana ini merupakan bencana terkait
iklim. Dalam
periode ini, bentuk becana alam terkait iklim yang pertama kali
terjadi baru pada
awal tahun 1950an. Kemudian setelah tahun 1980an, jumlah bencana
alam terkait
iklim yang masuk ke dalam kategori bencana global meningkat
tajam (Gambar 3).
Bentuk bencana iklim yang paling sering terjadi ialah bencana
banjir kemudian
diikuti oleh tanah longsor, penyakit yang dibawa oleh air dan
vektor, angin
15
kencang, kebakaran dan kekeringan. Pada tingkat global frekuensi
dan intensitas
kejadian bencana iklim juga meningkat secara konsisten dari
waktu ke waktu
(Sivakumar 2005).
Gambar 3. Jumlah bencana terkait iklim menurut jenis (kanan) dan
menurut
tahun (kiri). Sumber: Diolah dari basis data OFDA/CRED
International Disaster Database (Sumber : Boer dan Perdinan
2008c)
Indikator perubahan iklim berupa kenaikan suhu udara akan
berdampak
terhadap peningkatan transpirasi, peningkatan konsumsi air,
percepatan
pematangan buah/biji sehingga mempengaruhi mutu hasil,
perkembangan
organisme pengganggu tanaman (OPT), serta pergeseran pola dan
jenis tanaman.
Kenaikan muka air laut akan berdampak pada penciutan lahan
pertanian di
sepanjang pantai akibat genangan air laut dan peningkatan
salinitas tanah disekitar
pantai. Perubahan pola hujan berdampak terhadap pergeseran masa
tanam atau
awal musim. Kejadian iklim ekstrim berupa peningkatan curah
hujan pada musim
hujan (MH) (banjir) dan penurunan curah hujan pada musim kering
(MK)
(kekeringan) berdampak pada penciutan luas area tanam/panen
akibat banjir dan
kekeringan.
Kejadian iklim esktrim di Indonesia seringkali berasosiasi
dengan
fenomena ENSO (El-Nino and Southern Oscillation) yang pada
umumnya
membawa dampak yang merugikan. Dampak kejadian El-Nino
terhadap
keragaman hujan di Indonesia beragam menurut lokasi. Pengaruh
El-Nino kuat
pada wilayah yang pengaruh sistem monsoon kuat, lemah pada
wilayah yang
pengaruh sistem equatorial kuat, dan tidak jelas pada wilayah
yang pengaruh lokal
108
38
27
10 9 82
0
20
40
60
80
100
120
Floo
ds
Land
slid
es
Wat
er o
r Vec
tor B
orne
d Disea
ses
Wind
stor
m/C
yclone
Fore
st F
ire
Dro
ught
Hig
h Ti
de/S
urge
Fre
qu
en
cy
0
2
4
6
8
10
12
14
19
50
19
55
19
60
19
65
19
70
19
75
19
80
19
85
19
90
19
95
20
00
20
05
Nu
mb
er
of
Clim
ate
-Re
late
d.
Ha
za
rds
16
kuat. Pengaruh El-Nino lebih kuat pada musim kemarau dari pada
musim hujan.
Pengaruh El-Nino pada keragaman hujan memiliki beberapa pola:
(1) akhir
musim kemarau mundur dari normal, (2) awal masuk musim hujan
mundur dari
normal, (3) curah hujan musim kemarau turun tajam dibanding
normal, dan (4)
deret hari kering semakin panjang, khususnya di daerah Indonesia
bagian timur.
Hasil penelitian Boer dan Las (2003) menunjukkan bahwa wilayah
yang
terkena bencana iklim (banjir, kemarau panjang, angin besar)
sudah semakin luas
dengan tingkat kehilangan produksi yang semakin tinggi.
Meningkatnya suhu juga
diperkirakan akan menurunkan tingkat produktivitas komoditas
pangan seperti
padi. Penelitian KP3I (Boer 2008b) menggambarkan bahwa
peningkatan suhu
akibat naiknya konsentrasi CO2 akan menurunkan hasil tanaman.
Jika
diasumsikan tidak ada konversi sawah dan indeks penanaman tidak
mengalami
peningkatan, maka pada tahun 2025 produksi padi di tingkat
kabupaten
diperkirakan akan mengalami penurunan antara 12,500 hingga
72,500 ton.
Menurut Cline (2007) diacu dalam Boer (2010b), penurunan
produktivitas
komoditas pertanian di Indonesia pada tahun 2080 akibat
pemanasan global
berkisar antara 15-25%. Tschirley (2007) menunjukkan bahwa
pemanasan global
akan menurunkan produktivitas tanaman pangan secara signifikan
khususnya di
daerah tropis. Penurunan dapat mencapai lebih dari 20% apabila
suhu naik
melebihi 4oC. Namun demikian peningkatan suhu sebesar 2
oC tetap akan
berdampak negatif berupa penurunan hasil tanaman pangan, yaitu
sekitar 10%
untuk jagung dan 5% untuk padi (Gambar 4).
Hasil penelitian Handoko et al. (2008) memperlihatkan bahwa
kenaikan
suhu 2oC akan menyebabkan penurunan produksi gabah hingga 36.9%.
Apabila
curah hujan turun sebesar 246 mm/tahun maka diperkirakan
produksi gabah turun
4.6%. Jika kedua faktor tersebut digabungkan, maka diperkirakan
akan terjadi
penurunan produksi padi sekitar 38% (Tabel 1).
17
Gambar 4. Perkiraan penurunan hasil tanaman padi dan jagung di
daerah tropis
akibat pemanasan global dan perubahan iklim (Sumber :
Tschirley
2007).
Tabel 1. Dampak perubahan iklim terhadap produksi komoditas
strategis (%)
dalam kondisi BAU (Sumber : Handoko et al. 2008).
Komoditas Suhu naik 2oC CH turun 246
mm/th
Kombinasi
keduanya
Padi -36,9 -4,6 -38,0
Jagung -440,0 -20,0 -450,0
Kedelai -285,7 -65,2 -952,0
Tebu/gula -300,0 -17,1 -328,0
Kelapa sawit -314,2 -21,4 -343,0
Menurut Handoko et al. (2008) dampak kenaikan suhu udara
terhadap
tanaman padi sawah melalui tiga faktor, yaitu : 1) penurunan
luas areal panen
akibat kekurangan air irigasi karena meningkatnya
evapotranspirasi, 2) penurunan
produktivitas karena umur tanaman menjadi lebih pendek (cepat
matang) dan 3)
meningkatnya laju respirasi tanaman. Penurunan luas areal panen
padi sawah
akibat peningkatan suhu udara pada tahun 2050 diperkirakan
mencapai 3.3% di
Jawa dan 4.1% di luar Jawa dari luas panen padi saat ini.
Dampak yang paling besar dirasakan oleh sektor pertanian
khususnya
tanaman pangan akibat variabilitas dan perubahan iklim adalah
perubahan curah
hujan dan pergeseran musim. Hasil analisis iklim 30 tahun
terakhir menunjukkan
bahwa awal musim kemarau lebih cepat 1-6 dasarian, awal musim
hujan mundur
Jagung Padi P
eru
bh
an H
asil
(%
)
Perubahan Suhu (oC) Perubahan Suhu (
oC)
18
1-3 dasarian, penurunan curah hujan pada musim kemarau dan
peningkatan
variabilitas curah hujan pada musim hujan (Las 2007). Sementara
luas areal
tanaman padi yang mengalami gagal penen akibat kekeringan tahun
2000, 2004
dan 2008, berturut-turut: 97.221 ha, 190.307 ha dan 423.284 ha.
Jumlah
kehilangan hasil akibat kekeringan pada tiga tahun yang sama
tercatat 201.148
ton, 410.034 ton dan 984.188 ton (GKG) (Pasaribu 2009b).
Besarnya dampak
yang ditimbulkan oleh fenomena El-Nino pada wilayah pertanaman
padi sangat
erat kaitannya dengan pola tanam dan perilaku petani (Boer
2002c).
Berdasarkan berbagai dampak tersebut, Boer et al. (2011a) secara
garis
besar mensarikan bahwa berdasarkan prosesnya, dampak perubahan
iklim dapat
dibedakan menjadi langsung, tidak langsung dan konteks yang
lebih luas (broader
context). Dampak perubahan iklim secara langsung terjadi pada
sumberdaya
pertanian, yaitu terjadinya degradasi dan penciutan sumberdaya
lahan, dinamika
dan anomali ketersediaan air dan kerusakan sumberdaya
genetik/biodiversity.
Sistem produksi pangan juga terkena dampak langsung perubahan
iklim.
Penurunan produktivitas akan berpengaruh terhadap produksi yang
pada akhirnya
akan menyebabkan terganggunya sistim ketahanan pangan dan
menyebabkan
kemiskinan. Dampak tidak langsung sebagian besar disebabkan
adanya dampak
komitmen atau kewajiban melaksanakan mitigasi, seperti yang
tertuang dalam
RAN-GRK, perpres 61 tahun 2011 yang berpengaruh terhadap
produktivitas/produksi, ketahanan pangan, pengembangan bioenergi
dan sosial
ekonomi. Dampak INPRES NO. 10 tahun 2011 berupa penundaan ijin
pembukaan
hutan produksi dan lahan gambut akan berdampak terhadap program
perluasan
areal baru serta dampak lainnya. Dalam konteks yang lebih luas,
perubahan iklim
terkait dengan kebijakan baik nasional maupun internasional,
harga pangan dan
sebagainya (Tim Road Map 2011). Berdasarkan sifatnya, dampak
perubahan iklim
global terhadap sektor pertanian dibedakan menjadi tiga yaitu:
1) dampak yang
bersifat kontinu berupa kenaikan suhu udara, perubahan hujan dan
kenaikan
salinitas air tanah untuk wilayah pertanian dekat pantai akan
menurunkan
produktivitas tanaman dan perubahan panjang musim yang merubah
pola tanam
dan indeks penanaman. 2) dampak yang bersifat diskontinu seperti
meningkatnya
gagal panen akibat meningkatnya frekuensi dan intensitas
kejadian iklim ekstrim
19
(banjir, kekeringan, angin kencang dll) dan meningkatnya gagal
panen akibat
munculnya serangan atau ledakan hama penyakit baru tanaman. 3)
dampak yang
bersifat permanen berupa berkurangnya luas kawasan pertanian di
kawasan pantai
akibat kenaikan muka air laut.
2.2. Kekeringan dan Dampaknya Terhadap Produksi Padi
Kekeringan adalah keadaan kekurangan pasokan air pada suatu
daerah
dalam masa yang berkepanjangan (beberapa bulan hingga
bertahun-tahun).
Biasanya kejadian ini muncul bila suatu wilayah secara
terus-menerus mengalami
curah hujan di bawah rata-rata. Definisi lain menyebutkan bahwa
kekeringan
adalah hubungan antara ketersediaan air yang jauh di bawah
kebutuhan air baik
untuk kebutuhan hidup, pertanian, kegiatan ekonomi dan
lingkungan. US Weather
Bureau diacu dalam Chow (1964) mendefinisikan kekeringan sebagai
kondisi
kekurangan curah hujan yang begitu banyak dan lama sehingga
mengakibatkan
adanya pengaruh terhadap tempat hidup tanaman dan hewan dan
mengakibatkan
berkurangnya suplai air baik untuk kebutuhan domestik maupun
untuk
pertumbuhan tanaman, terutama pada daerah yang secara normal
cukup untuk
kebutuhan-kebutuhan tersebut.
Kekeringan dapat menjadi bencana alam apabila mulai
menyebabkan
suatu wilayah kehilangan sumber pendapatan akibat gangguan pada
pertanian dan
ekosistem yang ditimbulkannya. Dampak ekonomi dan ekologi
kekeringan
merupakan suatu proses sehingga batasan kekeringan dalam setiap
bidang dapat
berbeda-beda. Kekeringan juga berkonotasi beragam di berbagai
belahan dunia.
Di Bali, suatu periode dikatakan kering apabila tidak hujan
selama 6 hari berturut-
turut. Di Libya, suatu wilayah dianggap kering hanya jika tidak
terjadi hujan
selama 2 tahun. Di Mesir, Sungai Nil dianggap kering jika tidak
terjadi banjir
sepanjang tahun. Dengan demikian penggambaran kekeringan
merupakan suatu
hal yang spesifik lokasi dan spesifik waktu. Namun demikian,
suatu kekeringan
yang singkat tetapi intensif dapat pula menyebabkan kerusakan
yang signifikan.
Menurut Irianto (2005) secara faktual kekeringan lebih
menakutkan dibandingkan
banjir dalam hal besaran: luas wilayah, durasi kejadian, biaya
dan waktu
pemulihannya. Namun seringkali penanggulangannya belum terencana
dengan
http://id.wikipedia.org/wiki/Airhttp://id.wikipedia.org/wiki/Curah_hujanhttp://id.wikipedia.org/wiki/Bencana_alamhttp://id.wikipedia.org/wiki/Pendapatanhttp://id.wikipedia.org/wiki/Pertanianhttp://id.wikipedia.org/wiki/Ekosistemhttp://id.wikipedia.org/wiki/Ekonomihttp://id.wikipedia.org/wiki/Ekologi
20
baik akibat kurangnya data dan informasi secara spasial dan
temporal tentang
wilayah-wilayah endemik kekeringan.
Berdasarkan penyebab kejadiannya, kekeringan dibedakan menjadi
dua,
yaitu (i) secara alamiah dan (ii) karena ulah manusia
(antropogenik). Secara
alamiah, kekeringan diklasifikasikan menjadi 4 jenis, yaitu : 1)
kekeringan
meteorologis, 2) kekeringan hidrologis, kekeringan agronomis,
dan 4) kekeringan
sosial ekonomi. Kekeringan meteorologis berkaitan dengan tingkat
curah hujan di
bawah normal dalam satu musim. Pengukuran kekeringan
meteorologis
merupakan indikasi pertama adanya kekeringan. Kekeringan
Hidrologis berkaitan
dengan kekurangan pasokan air permukaan dan air tanah.
Kekeringan ini diukur
berdasarkan elevasi muka air sungai, waduk, danau dan elevasi
muka air tanah.
Ada tenggang waktu mulai berkurangnya hujan sampai menurunnya
elevasi muka
air sungai, waduk, danau dan elevasi muka air tanah. Kekeringan
hidrologis bukan
merupakan indikasi awal adanya kekeringan. Kekeringan agronomis
berhubungan
dengan kekurangan lengas tanah (kandungan air dalam tanah)
sehingga tidak
mampu memenuhi kebutuhan tanaman tertentu pada periode waktu
tertentu pada
wilayah yang luas. Kekeringan pertanian ini terjadi setelah
gejala kekeringan
meteorologi.Kekeringan Sosial Ekonomi berkaitan dengan kondisi
dimana
pasokan komoditi ekonomi kurang dari kebutuhan normal akibat
terjadinya
kekeringan meteorologi, hidrologi, dan agronomis. Kekeringan
Antropogenik
adalah kekeringan yang disebabkan karena ketidak-taatan pada
aturan terjadi.
Kekeringan antropogenik ini disebabkan karena: 1) kebutuhan air
lebih besar dari
pasokan yang direncanakan akibat ketidaktaatan pengguna terhadap
pola
tanam/penggunaan air, serta 2) kerusakan kawasan tangkapan air,
sumber-sumber
air akibat perbuatan manusia (www.bakornaspb.go.id).
Kekeringan berkaitan dengan menurunnya tingkat curah hujan di
bawah
normal dalam satu musim. Pengukuran kekeringan meteorologis
merupakan
indikasi pertama adanya kekeringan. Tahap kekeringan selanjutnya
adalah
terjadinya kekurangan pasokan air permukaan dan air tanah.
Kekeringan ini
diukur berdasarkan elevasi muka air sungai, waduk, danau dan
elevasi muka air
tanah. Ada tenggang waktu mulai berkurangnya hujan sampai
menurunnya elevasi
muka air sungai, waduk, danau dan elevasi muka air tanah.
Kekeringan hidrologis
http://www.bakornaspb.go.id/
21
bukan merupakan indikasi awal adanya kekeringan. Kekeringan pada
lahan
pertanian ditandai dengan kekurangan lengas tanah (kandungan air
dalam tanah)
sehingga tidak mampu memenuhi kebutuhan tanaman tertentu pada
phase tertentu
pada wilayah yang luas yang menyebabkan tanaman menjadi
rusak/mengering.
Dampak dari bahaya kekeringan ini seringkali secara
gradual/lambat, sehingga
jika tidak dimonitor secara terus menerus akan mengakibatkan
bencana berupa
hilangnya bahan pangan akibat tanaman pangan dan ternak mati,
petani
kehilangan mata pencaharian, banyak orang kelaparan dan mati,
sehingga
berdampak urbanisasi (www.bakornaspb.go.id).
Chow (1964) mengatakan bahwa kekeringan merupakan bentuk
kejadian
alam yang salah satunya dapat disebabkan oleh anomali iklim
El-Nino. Dari data
historis, kekeringan di Indonesia sangat berkaitan erat dengan
fenomena ENSO
(El-Nino Southern Oscillation). Pengamatan dari tahun 1844, dari
43 kejadian
kekeringan di Indonesia, hanya enam kejadian yang tidak
berkaitan dengan
kejadian ElNino (www.bakornaspb.go.id). Data curah hujan di
Pulau Sumatera,
Jawa, Kalimantan, Sulawesi dan Bali, memberikan gambaran bahwa
di Indonesia
pernah terjadi kemarau panjang pada tahun 1903, 1914, 1925,
1929, 1935, 1948,
1961, 1963, 1965, 1967, 1972, 1977, 1982, 1987, 1991, 1994 dan
1997.
Sementara itu penyimpangan iklim El-Nino terjadi pada tahun
1951, 1953, 1957,
1958, 1963, 1965, 1969, 1972, 1977, 1982, 1983, 1987, 1991,
1992, 1993,
1994, 1997. Selama kurun waktu tersebut, dari 17 kali kejadian
kemarau panjang,
11 kali diantaranya bersamaan dengan kejadian El-Nino. Hal ini
menunjukkan
bahwa kekeringan dapat terjadi ketika terjadi penyimpangan iklim
El-Nino atau
ketika tidak terjadi penyimpangan iklim El-Nino. Namun, kejadian
penyimpangan
iklim El-Nino dapat memperparah tingkat kekeringan di Indonesia.
Banyak
tanaman pangan yang mengalami cekaman air (water stress)
sehingga
menyebabkan gagal panen. Pada wilayah yang secara faktual lebih
basah seperti
Jawa Barat dan Jawa Tengah mengalami kekeringan dan fuso relatif
tinggi.
Musim kemarau yang panjang akan menyebabkan kekeringan
karena
cadangan air tanah akan habis akibat penguapan (evaporasi),
transpirasi, ataupun
penggunaan lain oleh manusia. Penyebab kekeringan yang utama
adalah curah
hujan yang berkaitan dengan jumlah uap air di atmosfer. Jika
salah satu dari
http://www.bakornaspb.go.id/http://id.wikipedia.org/wiki/Musim_kemarauhttp://id.wikipedia.org/wiki/Air_tanahhttp://id.wikipedia.org/wiki/Penguapanhttp://id.wikipedia.org/wiki/Transpirasi
22
komponen tersebut berkurang, maka hasilnya adalah kekeringan.
Aktivitas
manusia secara langsung dapat memperburuk dan menjadi faktor
pemicu seperti
pada pertanian, irigasi berlebihan, deforestasi. Erosi berdampak
negatif dalam hal
kemampuan tanah untuk menangkap dan menahan air.
Dalam bidang pertanian, dari berbagai bencana yang terkait
iklim, bencana
kekeringan merupakan salah satu bencana yang paling dominan dan
menimbulkan
kerugian cukup besar. Kekeringan terjadi karena air yang
tersedia tidak cukup
untuk memenuhi kebutuhan atau jumlah yang diharapkan. Ditinjau
dari aspek
klimatologi pertanian, kekeringan merupakan gangguan terhadap
keseimbangan
hubungan antara tanaman dan air tanah yang mengakibatkan
persediaan air dalam
tanah tidak mampu mencukupi kebutuhan air tanaman.
Di Indonesia, bencana kekeringan yang melanda kawasan
pertanian
semakin sering terjadi dan cakupan wilayah yang terkena
cenderung semakin luas
(Badan Litbang Pertanian 1996, Sumaryanto dan Friyatno 1999).
Berdasarkan
peta rawan kekeringan menurut kabupaten (Gambar 5) sebagian
besar pulau Jawa,
sebagian Sulawesi Selatan dan sebagian Kalimantan Selatan
merupakan daerah-
daerah yang rawan dan sangat rawan terhadap kekeringan. Menurut
Boer (2010b)
jumlah kepala keluarga miskin di kabupaten yang rawan bencana
pada umumnya
lebih dari 45%. UNDP (2007) melaporkan bahwa antara tahun 1844
hingga 1960,
masalah kekeringan rata-rata empat tahun sekali, tetapi antara
1961 hingga 2006
rata-rata kejadiannya menjadi setiap tiga tahun. Kejadian El Nio
yang terjadi
pada 1997-1998 merupakan yang terburuk selama 50 tahun terakhir,
dan tahun
1998 tercatat sebagai tahun terpanas pada abad 20.
Gambar 5. Distribusi wilayah rawan kekeringan menurut kabupaten
(Sumber:
Boer 2010b)
23
Untuk wilayah pertanaman padi di Indonesia, dampak kekeringan
pada
tahun El-Nino meningkat secara signifikan, khususnya di daerah
Jawa Barat,
Lampung, Sumatera Selatan dan Sulawesi Selatan. Wilayah-wilayah
ini
merupakan sentra padi di Indonesia. Rata-rata luas wilayah
pertanaman padi yang
terkena dampak kekeringan pada tahun El Nino di setiap Kabupaten
(1989-2006)
dengan luasan lebih dari 2000 Ha cukup besar (Boer 2008b)
(Gambar 6).
Gambar 6. Rata-rata wilayah pertanaman padi yang terkena dampak
kekeringan
pada tahun El Nino di setiap Kabupaten (1989-2006) (Sumber :
Boer
2008b).
Tingkat kerawanan lahan pertanian terhadap kekeringan bervariasi
antar-
wilayah (Tabel 2). Dari 5.14 juta ha lahan sawah yang
dievaluasi, 74 ribu ha di
antaranya sangat rentan dan sekitar satu juta ha rentan terhadap
kekeringan
(Wahyunto 2005).
Tabel 2. Luas lahan sawah yang rentan terhadap kekeringan
(Ha)
Wilayah/
provinsi
Sangat rentan Rentan Luas baku
Sawah
Jawa Barat - 30,863 971,474
Banten - 26,588 192,904
Jawa Tengah 2,322 142,575 1,053,882
DI Yogyakarta - 3,652 69,063
Jawa Timur 1,580 70,802 1,313,726
Bali - 14,758 85,525
Nusa Tenggara 38,546 105,687 214,576
Lampung 29,378 168,887 278,135
Sumatera
Selatan - 184,993 439,668
Sumatera Utara 2,055 342,159 524,649
Jumlah 73,881 1,090,964 5,143,602
(Sumber : Wahyunto 2005)
24
Pramudia (2008) melakukan penelitian tentang delineasi wilayah
rawan
kekeringan di DAS Cimanuk, Propinsi Jawa Barat dengan
mengkombinasikan
aspek klimatologis, hidrologis dan agronomis. Wilayah pertanian
yang sangat
rawan kekeringan umumnya terjadi di lahan kering yang merupakan
DAS kritis
dan memiliki tingkat sensitivitas yang tinggi terhadap anomali
iklim global.
Sementara wilayah pertanian yang agak rawan kekeringan umumnya
terjadi di
lahan sawah irigasi yang jauh dari sumber irigasi utama, atau
lahan tadah hujan
yang memiliki irigasi non-teknis, dan memiliki tingkat
sensitivitas yang rendah
terhadap anomali iklim global. Berdasarkan analisis ini,
kabupaten Indramayu,
khususnya bagian selatan termasuk dalam wilayah pertanian yang
sangat rawan
hingga agak rawan terhadap kekeringan.
Berdasarkan data Ditlin 1989-2010, pada tahun El Nio luas
tanaman padi
yang terkena kekeringan mencapai 300-850 ribu ha (Gambar 7).
Kerusakan
tanaman padi akibat kekeringan lebih parah dibandingkan banjir
karena
berlangsung pada daerah yang lebih luas dan waktu yang lebih
lama. Banjir
mempunyai karakterisik kejadian yang lebih lokal dengan waktu
kejadian yang
lebih pendek.
Gambar 7. Luas areal pertanaman padi yang dilanda kekeringan
di
Indonesia dalam periode 1989-2010 (Sumber : Road Map
2011).
Menurut Dinas Pertanian Tanaman Pangan Propinsi Jawa Barat
(2006),
wilayah Jawa Barat pada MT 2003 yang sangat rawan terhadap
kekeringan pada
umumnya adalah : 1) daerah irigasi yang tidak ada fasilitas
waduknya (misalnya
bendung Rentang yang mengairi wilayah Cirebon dan Indramayu), 2)
areal sawah
25
yang tidak direkomendasikan untuk tanaman gadu atau areal sawah
irigasi yang
ada di wilayah tail end ujung ekor, 3) areal sawah tadah hujan
dan 4) areal
sawah yang infra struktur irigasinya mengalami kerusakan.
Menurut Drektorat Perlindungan Tanaman (Ditlin 2009), dampak
kekeringan antara lain dapat berupa : menurunnya persediaan air
permukaan dan
air tanah, terganggunya pola tanam, pertanaman yang mengalami
puso berpotensi
meningkat, musim hujan pertama pasca kekeringan berdasarkan
pengalaman
dapat meningkatkan serangan OPT utama (tikus, wereng, penggerek
batang, dan
belalang kembara) dan kebakaran lahan pertanian dan hutan
berpotensi
meningkat.
Di Indonesia, frekuensi kejadian kemarau panjang atau kekeringan
dalam
periode 1844 dan 1960 hanya 1 kali dalam 4 tahun, kemudian dalam
periode
1961-2006 frekuensinya meningkat menjadi 1 kali dalam 2-3 tahun
(Boer et al.
2007). Kejadian iklim ekstrim berupa kekeringan seringkali
menjadi penyebab
utama turunnya produksi pangan. di Indonesia. Pada musim kemarau
1994,
wilayah Jawa yang masih merupakan penyumbang padi terbesar
(59%),
merupakan wilayah yang paling terkena dampak kekeringan. Luas
wilayah di
pulau Jawa yang terkena kekeringan mencapai 290.457 ha (79% dari
luas total
seluruh Indonesia). Diurut dari yang terbesar, propinsi Jawa
Barat berada pada
urutan yang pertama kemudian diikuti oleh propinsi Jawa Tengah
dan Jawa Timur
(Kahar 1995). Propinsi Jawa Timur yang secara historis jauh
lebih kering dari
Jawa Barat, luas wilayah yang terkena kekeringan hanya 1/4 nya
Jawa Barat
(Kahar 1995). Menurut Boer (2008b) hal ini diduga karena tingkat
kewaspadaan
petani pada daerah ini terhadap bahaya kekeringan lebih tinggi
dibanding dengan
petani di Jawa Barat terutama terhadap risiko menanam padi pada
musim gadu.
Padahal, sebagian besar areal sawah di Jawa Barat berada di
jalur pantura yang
curah hujannya relatif rendah dengan bulan kering lebih dari 6
bulan. Hal tersebut
disebabkan karena sebagian besar sawah di jalur pantura diairi
oleh irigasi teknis,
sehingga kurang memperhatikan pola dan tingkah curah hujan. Oleh
karena itu,
kajian yang mendalam tentang tingkat kerawanan dan endemik suatu
wilayah
terhadap kekeringan perlu dilakukan.
26
Permasalahan yang terjadi pada bencana kekeringan menurut
Dinas
Pertanian Tanaman Pangan Propinsi Jawa Barat (2006) pada umumnya
adalah
karena : 1) ketidakdisiplinan pola tanam, 2) kerusakan
infrastruktur,
sarana/prasarana saluran irigasi, 3) sulitnya memprediksi
iklim/cuaca pada musim
kemarau dan 4) masih kurangnya kesadaran petani terhadap gerakan
hemat air.
Terkait dengan pola tanam, menurut Boer (2010a) pola tanam yang
umum diikuti
oleh petani di Jawa dan hampir seluruh wilayah Indonesia adalah
padi-padi-bera
dan pada beberapa wilayah dengan sistem irigasi yang baik bisa
tiga kali tanam
padi. Padi pertama ditanam pada musim hujan yaitu
November-Januari (MT1),
padi kedua pada awal masuk musim kemarau yaitu Maret-Mei (MT2).
Padi yang
biasanya terkena kekeringan adalah padi yang ditanam pada musim
kemarau.
2.3. Karakteristik Usahatani Serta Dampak Anomali Iklim
Terhadap
Produksi Padi di Kabupaten Indramayu
Karakteristik Usaha Tani
Usaha Tani padi merupakan sistim usahatani yang paling dominan
di
Kabupaten Indramayu. Lebih dari 50% wilayahnya (118,513 ha dari
200,014 ha)
merupakan lawan persawahan. Letak wilayah persawahan menyebar
dari utara-
selatan. Di bagian Utara luas lahan persawahan sekitar 19%,
wilayah tengah 59%
dan Selatan 22%. Lahan pertanian di Indramayu mengandalkan dua
sumber
pengairan utama, yaitu air irigasi dan air hujan. Sekitar 87%
dari lahan
persawahan merupakan lahan beririgasi yang hampir semuanya
terletak di wilayah
bagian utara dan tengah. Untuk wilayah selatan sebagian besar
merupakan
wilayah tadah hujan. Pola tanam antara wilayah utara, tengah dan
selatan relatif
berbeda. Pada wilayah utara pola tanam adalah (i)
padi-padi-bera, (ii) padi-
palawija/sayuran-bera dan (iii) sayuran-padi-bera. Pola tanam ke
tiga didahului
oleh sayuran dimana penanaman dilakukan awal musim hujan yaitu
sebelum
hujan tinggi. Setelah masuk musim hujan baru dilakukan penanaman
padi. Pada
wilayah tengah bentuk pola tanam umum (i) padi-padi-padi, (ii)
padi-padi-
palawija/sayuran, (iii) padi-sayuran-padi dan (iv)
padi-padi-bera. Untuk wilayah
selatan, pola tanam umum ialah (i) padi
gogo-palawija/sayuran-bera, ii) padi-padi-
bera, (iii) padi-palawija/sayuran-bera dan (iv) padi
gogo/sayuran-padi-bera.
27
I
II
III
IV
V
7 8 91 2 3 4 5 6
Penggo-
longan air
Musim Hujan Musim Kemarau 1 (MK1) MK2
Bulan Bulan Bulan
10 11 12
Berdasarkan penggolongan air, wilayah bagian utara termasuk
wilayah golongan
air III, IV dan V, sedangkan untuk wilayah tengah golongan I dan
II. Pada
wilayah golongan air I dan II penanaman padi memungkinkan sampai
3 kali
dalam setahun (Gambar 8).
Catatan: merupakan tanggal penanaman padi pertama (MH) dan kedua
(MK)
paling terakhir. = Padi I, = Padi II, dan = tanaman III.
Gambar 8. Sistem penggolongan air dan pola tanam di Indramayu
(Sumber: Boer
et al. 2002c)
Pada tahun ekstrim kering jadwal penggolongan bisa bergeser
sehingga
mempengaruhi penggolongan lainnya. Petani yang ada di wilayah
utara relatif
responsif dan umumnya mengikuti jadwal penanaman rekomendasi
yang
disampaikan oleh penyuluh, sedangkan di wilayah tengah kurang
disiplin karena
lahannya berada dekat saluran utama dan secara umum jarang
mengalami
kekurangan air. Rata-rata hasil padi pada wilayah Utara, Tengah
dan Selatan
masing-masing sekitar 5.3, 6.0 dan 5.6 t/ha (Boer et al.
2011).
Berdasarkan letaknya menurut ketinggian atau posisinya di
DAS,
Kabupaten Indramayu dapat dikelompokkan menjadi kecamatan yang
berada di
bagian atas dan di bagian bawah. Permasalahan yang dihadapi oleh
petani di
kedua wilayah ini terkait dengan permasalahan sarana irigasi
relatif sama, yaitu
permasalahan infrastruktur irigasi yang banyak terdapat
kerusakan, pendangkalan
saluran karena erosi dan terdapatnya sejumlah pintu air yang
rusak. Perbedaannya
adalah letak kedua kawasan dimana kawasan pertama terletak lebih
dekat ke hulu
DAS dibanding kawasan kedua sehingga air mengalir terlebih
dahulu melalui
kawasan pertama sebelum mencapai kawasan kedua. Kondisi ini
memberikan
pengaruh utamanya dalam jumlah debit air, ketika musim penghujan
dimana debit
air melimpah maka kawasan pertama dapat menampung air menurut
kebutuhan
mereka dan membiarkan sisa aliran air mengalir mengikuti DAS,
sedangkan
28
kawasan kedua karena letaknya yang berada di hilir sungai
menyebabkan daerah
mereka menjadi lokasi genangan air yang mengakibatkan banjir.
Sementara, pada
musim kemarau, aliran air yang melewati kawasan pertama belum
banyak melalui
daerah dangkalan, penyempitan dan pintu air yang rusak sehingga
ketersediaan air
masih mencukupi untuk kebutuhan pengairan lahan pertanian.
Berbeda dengan
kawasan kedua yang karena letaknya lebih dekat ke hilir
menyebabkan tidak
banyak air tersisa yang mengalir ke daerah mereka sehingga
mengakibatkan
kondisi kekeringan. Secara garis besar, keseluruhan
karakteristik alam
lingkungan, infrastruktur irigasi dan interaksi keduanya
menyebabkan kawasan
pertama menjadi kawasan yang relatif aman dari banjir dan
kekeringan.
Sebaliknya, kawasan kedua, sangat rentan terhadap banjir dan
kekeringan.
Kondisi ini menyebabkan banyaknya lahan persawahan yang rusak di
kedua
wilayah pun berbeda (Boer et al. 2011b).
Khusus untuk lahan tadah hujan, faktor sosial ekonomi yang
paling
menentukan adalah tekanan jumlah penduduk yang berpengaruh
terhadap luas
garapan dan tingkat pendapatan petani atau akses ke pasar (Pane
et al. 2008).
Berdasarkan hubungan kedua faktor tersebut Piggin et al (1998)
diacu dalam Pane
et al. (2008) membuat klasifikasi tipologi sistim produksi
pertanian pada lahan
sawah tadah hujan (Gambar 9). Diantara keempat tipe sistem
produksi pertanian,
Tipe I dan Tipe II perlu kehati-hatian atau analisis yang
mendalam dalam
menentukan prioritas penelitian dan anjuran teknologi.
TIPE II
Pemilikan lahan sempit orientasi
pertanian subsistem, intensif tenaga
kerja
TIPE III
Pemilikan lahan sempit diversifikasi
usaha tani, komersial dan mekanisasi
TIPE I
Pemilikan lahan luas, orientasi
pertanian subsisten
TIPE IV
Pemilikan lahan luas, spesialisasi
tanaman palawija, komersial,
mekanisasi
Rendah Tinggi
Tingkat pendapatan atau akses ke pasar
Gambar 9. Tipologi sistim produksi pertanian pada lahan sawah
tadah hujan
(modifikasi dari Piggin et al. 1998 diacu dalam Pane et al.
2008).
Tin
gg
i R
end
ah
Tek
an
an
jum
lah
pen
du
du
k
29
Pola hujan bulanan di Kabupaten Indramayu adalah monsunal
yaitu
mengalami satu kali musim kemarau (April-September) dan satu
kali musim
hujan (Oktober-Maret). Berdasarkan pola hujan bulanan tersebut
maka waktu
tanam padi di Indramayu adalah sama dengan waktu terjadinya
musim hujan,
sedangkan waktu tanam palawija terjadi pada akhir musim hujan
hingga awal
musim kemarau (Gambar 10).
Gambar 10. Kombinasi curah hujan bulanan dengan pola tanam padi
dan palawija
pada lahan irigasi teknis, setengah teknis dan tadah hujan
di
Kabupaten Indramayu (Boer et al. 2011c).
Menurut Hidayati et al. (2010), musim hujan di Kabupaten
Indramayu
umumnya dimulai pada akhir bulan November dan berakhir pada
akhir Maret.
Pada tahun El Nino, awal musim hujan dapat mundur sampai awal
Januari
sedangkan pada tahun La-Nina awal musim hujan umumnya terjadi
lebih awal
(bisa terjadi pada pertengahan Oktober). Lama musim hujan pada
umumnya
berkisar antara 4 sampai 5 bulan.
Pengaruh Anomali Iklim Terhadap Usahatani Padi di Kabupaten
Indramayu
Berdasarkan data produksi padi seluruh Indonesia (Departemen
Pertanian,
2010), Propinsi Jawa Barat menyumbang 17.6% dari seluruh
produksi padi
nasional. Persentase sebesar 17.6% tersebut, 11.7% nya
diantaranya berasal dari
Kabupaten Indramayu. Jadi Kabupaten Indramayu berkontribusi
paling besar
terhadap produksi padi di seluruh Propinsi Jawa Barat. Hal ini
juga disampaikan
oleh Boer et al. (2011b) bahwa pada tahun 2010 lalu, tercatat
produksi padi
30
Indramayu mencapai 1,321,315.07 ton dengan produktivitasnya
mencapai 6.450
ton/ha. Komoditi beras di Kabupaten Indramayu memiliki stok
cukup potensial,
bahkan selama ini menjadi sentra pangan terbesar di Jawa Barat
sekaligus
penopang pangan DKI Jakarta. Namun di sisi lain, Kabupaten
Indramayu sangat
rentan terhadap kejadian iklim ekstrim, terutama kekeringan.
Kekeringan menjadi
penyebab utama gagal panen (Boer et al. 2011a).
Di Kabupaten Indramayu, apabila waktu sudah memasuki
bulan-bulan
musim hujan dan kemudian terjadi hujan 1-2 hari berturut-turut
biasanya petani
sudah menganggap musim hujan sudah mulai dan kegiatan penanaman
mulai
dilakukan. Namun, pada kondisi tertentu, hujan yang terjadi
tersebut seakan-akan
bersifat tipuan (false rain), karena kemudian ternyata diikuti
oleh hari-hari tanpa
hujan yang berlangsung dalam kurun waktu yang cukup panjang
yaitu lebih dari
dua dasarian dan diluar batas toleransi tanaman, atau yang
disebut dengan long
dry spell. Akibat dari kondisi ini, petani yang sudah terlanjur
tanam seringkali
akan terkena kekeringan. Bibit disiapkan terlalu cepat akibat
adanya hujan tipuan
yang sebenarnya belum merupakan indikasi masuknya awal musim
hujan. Pada
waktu musim hujan sudah masuk, bibit sudah terlalu tua sehingga
tidak bisa
digunakan lagi.
Kejadian kekeringan umumnya terjadi awal bulan Juni setelah
penanaman
padi MT2. Kondisi ini biasanya terjadi pada saat fenomena
El-Nino dan
kekeringan yang terjadi sebagai akibat curah hujan bersifat di
bawah normal
(BN), sehingga ketersediaan air tidak mencukupi untuk mendukung
pertumbuhan
tanaman selanjutnya. Kejadian kekeringan semacam ini tidak hanya
terjadi di
sawah tadah hujan tetapi juga di sawah beririgasi, khususnya
yang berada di
wilayah irigasi bagian ujung (Golongan III dan IV). Sebagai
contoh MT
1997/1998 dan 2002/2003. Penurunan hujan bulan Juni-September
jauh di bawah
normal akibat dari berlangsungnya fenomena El-Nino telah
menimbulkan luas
tanaman padi terkena kekeringan yang sangat tinggi (Gambar
11).
Kajian yang dilakukan di Indramayu (Boer 2003a) menunjukkan
bahwa
El-Nino berpengaruh besar terhadap produksi padi karena beberapa
hal. Pertama,
El-Nino berpengaruh terhadap masuknya awal musim hujan sehingga
penanaman
padi pada musim hujan yang biasanya dilakukan bulan November
menjadi
31
mundur sampai Januari atau Februari. Akibatnya tanaman padi
kedua juga
mengalami keterlambatan sehingga risiko terkena kekeringan
menjadi tinggi
karena hujan pada akhir pertumbuhan tanaman sudah mengalami
penurunan yang
besar (sudah masuk musim kemarau). Kedua, El-Nino menyebabkan
hujan pada
musim kemarau turun jauh dari normal sehingga air yang tersedia
tidak cukup
untuk mendukung pertumbuhan tanaman. Ketiga, El-Nino menyebabkan
awal
musim kemarau terjadi lebih awal dari biasanya sehingga tanaman
padi kedua
mengalami cekaman kekeringan.
Gambar 11. Hubungan antara kejadian hujan bawah normal (BN) pada
musim
tanam gadu dengan kejadian kekeringan Tahun 1997 dan 2003 di
Indramayu (Boer et al. 2008a)
Mundurnya awal musim hujan akibat berlangsungnya fenomena El
Nino,
menyebabkan awal musim penanaman padi pertama mundur dari
biasanya.
Akibatnya musim penanaman padi kedua juga akan mundur, masuk ke
musim
kemarau (Gambar 12). Berdasarkan data historis, mundurnya awal
musim hujan
akibat berlangsungnya fenomena El-Nino menyebabkan kumulatif
luas tanam
selama musim hujan (MH) menurun. Penurunan ini biasanya
dikompensasi
dengan meningkatkan luas tanam pada musim kemarau (MK) yang
berisiko tinggi
untuk terkena kekeringan. Kondisi sebaliknya pada fenomena
La-Nina (Boer
2010b).
1996 1997 2002 2003
0
100
200
300
400
500
10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Cu
rah
Hu
jan
(m
m)
0
100
200
300
400
500
Cu
rah
Hu
jan
(mm
)
1996/97
Normal
0
100
200
300
400
500
10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Cu
rah
Hu
jan
(m
m)
0
100
200
300
400
500
Cu
rah
Hu
jan
(mm
)
2002/03
Normal
Terkena
Kekeringan:
47,995 ha
Terkena
Kekeringan:
7,896 ha
32
Gambar 12. Pola tanam padi petani dan risiko terkena kekeringan
(Sumber : Boer
2010b)
2.4. Adaptasi Terhadap Kejadian Iklim Ekstrim
Adaptasi adalah berbagai tindakan penyesuaian diri terhadap
kejadian
yang diakibatkan oleh fenomena perubahan iklim/pemanasan global
(Las 2007).
Besar kecilnya kerugian atau kerusakan yang dirasakan akibat
perubahan iklim
sangat dipengaruhi oleh kemampuan dalam melakukan adaptasi
terhadap
perubahan iklim tersebut. Menurut Boer (2008a) kemampuan
adaptasi (Adaptive
Capacity) merupakan kemampuan untuk mendesain atau melaksanakan
strategi
adaptasi atau bereaksi terhadap bencana atau kondisi yang kurang
menguntungkan
sehingga dapat mengurangi kemungkinan terjadinya bencana
tersebut atau
mengurangi besarnya kerusakan yang ditimbulkan oleh kondisi
iklim yang tidak
menguntungkan tersebut. Oleh karena itu, kemampuan adaptasi
sangat terkait erat
dengan tingkat kerentanan (vulnerability) dan sensitivitas
(sensitivity). Sensitivitas
(sensitivity) merujuk kepada tingkat yang menggambarkan sejauh
mana atau
sebesar apa suatu sistem dapat dipengaruhi oleh berbagai sifat
iklim. Kerentanan
(vulnerability) merupakan resultan dari sensitifitas dan
kemampuan adaptif atau
menunjukkan kemampuan sistem mengatasi dampak merusak dari
perubahan
iklim (Boer 2008a). Berdasarkan kajian IPCC (2007) pemanasan
global dan
perubahan iklim pada wilayah tropis diperkirakan akan menurunkan
produktivitas
tanaman pangan secara signifikan apabila tidak dilakukan
langkah-langkah
adaptasi.
33
Menurut Las (2007) adaptasi di sektor pertanian melibatkan
infrastruktur/sarana, tata ruang, sistem produksi, sosial
ekonomi dan sebagainya.
Untuk mengurangi dampak perubahan iklim terhadap infrastruktur
atau sarana
usaha tani, sistem produksi, dan sosial-ekonomi, maka strategi
pendekatan
adaptasi yang dilakukan antara lain : teknologi prediksi iklim,
pengembangan
sistem jaringan iklim, pengembangan sistem peringatan dini,
pengembangan
sekolah lapang pertanian, penyesuaian pola tanam/kalender tanam
(waktu, rotasi,
jenis tanam), pengembangan varietas adaptif (VUB rendah emisi
gas rumah kaca,
VUB toleran kegaraman, VUB tahan kering (dan umur genjah), VUB
tahan
genangan), serta pengembangan teknologi pengelolaan lahan/
tanah, air dan Iklim.
Contoh varietas padi tahan kekeringan adalah Silugonggo dan
Dodokan.
Secara teoritis sikap petani adalah ingin menghindari risiko
(risk-averse
behavior). Sifat ini muncul apabila suatu kejadian mempunyai
dampak ekonomi
sangat buruk sehingga mengganggu posisi finansial petani. Untuk
itu petani telah
menerapkan berbagai strategi. Menurut Hadi (2000), ada lima
strategi yang dapat
dilakukan petani, yaitu :
1) Strategi finansial, sebagai contoh menyimpan dana cadangan
(tabungan)
dalam jumlah cukup besar, melakukan investasi pada kegiatan
berdaya hasil
tinggi atau membuat proyeksi arus tunai berdasarkan estimasi
yang realistis
tentang harga, produksi dan biaya produksi.
2) Strategi pemasaran, misalnya penetapan dan penguncian harga
oleh penjual
dan pembeli untuk waktu mendatang, kontrak penjualan atau
menyebar
pemasaran menurut waktu. Strategi pemasaran ini disebut juga
sebagai
penyimpanan hasil pertanian (crop storage). Petani padi di
Indonesia juga
banyak yang menerapkan strategi ini.
3) Strategi produksi, sebagai contoh diversifikasi dengan
melakukan lebih dari
satu jenis usahatani atau kegiatan non-usahatani. Memilih jenis
kegiatan yang
cukup fleksibel dari segi waktu, biaya dan produk, atau
menerapkan
management yang baik dengan membuat prediksi pendapatan yang
stabil.
Hasil berbagai penelitian Pusat Sosial Ekonomi Pertanian
menunjukkan
bahwa petani Indonesia umumnya melakukan diversifikasi berupa
usahatani
lain atau kegiatan non-usahatani.
34
4) Kredit informal, sebagai contoh meminjam uang atau barang
kebutuhan pokok
dari pedagang atau pemilik modal perseorangan. Hasil berbagai
penelitian
Pusat Sosial Ekonomi Pertanian juga menunjukkan bahwa petani
Indonesia
pada umumnya menerapkan strategi ini.
5) Membeli asuransi pertanian formal berupa polis dari lembaga
asuransi untuk
menutup semua atau sebagian kerugian yang diperkirakan akan
terjadi.
Strategi ini pada umumnya diterapkan di negara-negara maju
seperti AS,
Perancis dan Jepang, serta beberapa negara sedang berkembang
seperti
Filipina, Thailand, India dan Sri Langka.
Empat strategi pertama dapat digolongkan sebagai asuransi
sendiri (self
insurance) atau asuransi informal (informal insurance),
sedangkan strategi kelima
disebut sebagai asuransi formal (formal insurance).
Pasaribu (2008) melakukan penelitian di Propinsi Jawa Tengah
dan
Propinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) untuk mengetahui bentuk dan
pola adaptasi
petani terhadap perubahan iklim. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa untuk
petani di Propinsi Jawa Tengah, bentuk dan pola adaptasinya,
antara lain : (a)
membangun long storage sebagai penampung air, (b) peningkatan
kerjasama
kelompok tani (gotong royong) melalui kelembagaan P3A yang
dibantu oleh
Pemerintah Daerah setempat, (c) mengubah pola tanam termasuk
penanaman
serentak disertai dengan pola tanam pada lahan irigasi teknis
dengan pola
budidaya hemat air (pola SRI) dan pada lahan non irigasi teknis
dengan budidaya
gogo rancah (pemanfaatan air dangkal). Untuk petani di Propinsi
NTT, adaptasi
dilakukan antara lain dengan 3 strategi, yaitu : (a) bertahan
(menanam tanaman
secara berulang dengan pertimbangan aspek ekonomi dan pasrah
kepada keadaan,
(b) agresif (mengganti jenis tanaman, mengubah pola tanam,
menerapkan inovasi
pemanenan air dengan embung dan sumur, serta menunggu informasi
curah
hujan) dan (c) antisipatif ( menyiapkan input yang cukup,
mengalihkan usaha dari
on-farm ke off-farm, serta memanfaatkan pengetahuan spesifik
lokal).
Berdasarkan penelitian tersebut, Pasaribu (2008) menyimpulkan
secara
garis besar ada dua faktor utama yang mempengaruhi kapasitas
adaptasi petani
terhadap perubahan iklim. Pertama adalah faktor di luar kegiatan
usaha tani,
seperti : kondisi topografi, dukungan kebijakan pemerintah yang
masih kurang,
35
rendahnya akses terhadap informasi iklim, kurangnya tenaga
penyuluh atau
pendamping yang membantu menginterpretasikan informasi iklim
yang ada,
faktor sosial budaya serta kelembagaan. Kedua adalah faktor yang
terkait dengan
pelaksanaan usaha tani, seperti : belum memadainya sarana dan
prasarana usaha
tani, keterbatasan modal usaha tani yang menyulitkan petani
menerapkan
teknologi tertentu terkait dengan antisipasi perubahan
iklim.
Di Kabupaten Indramayu, petani telah memiliki beberapa cara
untuk
mengurangi risiko iklim. Hasil penelitian Boer (2008b) di
Indramayu
menunjukkan bahwa pada musim hujan, petani pada umumnya
melakukan teknik
gogo rancah, ngipuk dan rendengan. Gogo rancah (penyebaran benih
secara
langsung/direct seeded) yaitu penanaman bibit padi secara
langsung tanpa
dilakukan penyemaian. Cara ini dilakukan ketika curah hujan
rendah tetapi sering.
Cara lain yang dilakukan adalah ngipuk (dry seeded). Cara ini
dilakukan ketika
curah hujan tinggi namun jarang. Sebelum melakukan penanaman
bibit disemai
terlebih dahulu pada sebagian petak sawah dalam keadaan kering
sebelum musim
hujan tiba. Setelah musim hujan tiba, bibit yang telah disemai
dipindahkan ke
seluruh petak sawah. Rendengan (transplanting system) dilakukan
ketika curah
hujan tinggi dan sering. Sebelum melakukan penanaman, bibit
disemai terlebih
dahulu pada sebagian petak sawah dalam keadaan basah beberapa
waktu sebelum
musim hujan tiba. Setelah musim hujan tiba, bibit yang telah
disemai dipindahkan
ke seluruh petak sawah. Pada musim kering, teknik yang dilakukan
antara lain :
padi gadu, sistim culik, tanam selain padi dan bera. Padi gadu
dilakukan ketika
curah hujan cukup tinggi dan berlangsung lama lebih dari 3
bulan. Sistim culik
adalah melakukan persiapan pembibitan. Cara ini dilakukan jika
curah hujan
cukup tinggi tetapi tidak berlangsung sampai 3 bulan. Ketika
petani akan panen
untuk masa tanam pertama, terlebih dahulu dilakukan panen muda
pada sebagian
kecil petak sawah untuk ditanami bibit yang akan ditanam pada
masa tanam
kedua. Sehingga setelah panen, bibit yang telah disemai terlebih
dahulu dapat
langsung ditanam.
Khusus untuk kejadian El-Nino, bentuk respon petani padi di
Indramayu
terhadap prakiraan El-Nino terdiri dari beberapa cara yaitu: (i)
tetap tidak merubah
pola tanamnya, yaitu tetap tanam padi, (ii) tidak melakukan
penanaman padi sama
36
sekali (diberakan), (iii) merubah tanaman dari padi menjadi
non-padi yang butuh
air lebih sedikit, dan (iv) merubah bentuk kegiatan dari
usahatani padi ke usaha
lainnya misalnya menambang garam. Sampai saat ini bentuk respon
yang masih
umum ialah mengabaikan hasil hasil ramalan sehingga setiap
El-Nino terjadi,
wilayah ini selalu mengalami kekeringan yang meluas (Boer
2003b). Hal ini
seiring dengan hasil penelitian Zubaida (2004) yang menyebutkan
bahwa petani di
Kabupaten Indramayu secara umum belum melakukan adaptasi sebelum
tanam
agar terhindar dari gagal panen akibat iklim ekstrim, padahal
mereka telah
mengetahui ada teknologi-teknologi yang dapat dimanfaatkan
dalam
mengadaptasi kejadian iklim ekstrim seperti mengganti varietas,
mengatur pola
tanam dan waktu tanam.
Perkiraan kerugian petani akibat kejadian iklim ekstrim
berdasarkan
tanaman yang gagal panen adalah Rp. 1890000 (untuk tanaman usia
10 HST), Rp.
2890000 (untuk tanaman usia lebih dari 20 HST) dan Rp. 3350000
(untuk
tanaman usia lebih dari 30 HST) (Zubaida 2004). Secara umum,
mekanisme
adaptasi yang dilakukan petani dalam menghadapi gagal panen
akibat kejadian
iklim ekstrim adalah menghemat pengeluaran, meningkatkan
pendapatan dari
usaha lain, dan mencari pinjaman jika dalam keadaan darurat.
Pinjaman biasanya
dilakukan antar kerabat dekat seperti keluarga, teman atau
tetangga, sedangkan
untuk pinjaman modal untuk usaha tani biasanya berasal dari
bank. Kendala yang
dihadapi dalam beradaptasi pada umumnya adalah masalah ekonomi,
seperti
kurangnya kepastian pendapatan dari usaha lain atau terbatasnya
dana bantuan.
Membangun kemampuan adaptasi merupakan proses untuk
memperkuat
kemampuan sistem untuk menyesuaikan diri terhadap keragaman
iklim saat ini
dan mendatang serta goncangan iklim. Pembangunan kemampuan
adaptasi
bertujuan untuk memperlebar selang toleransi dari suatu sistem
yang
diprioritaskan terhadap bencana iklim, dan kemudian membangun
kemampuan
sistem tersebut untuk beradaptasi terhadap perubahan iklim dan
keragamannya.
Apabila kemampuan adaptasi tidak dibangun maka risiko sistem
tersebut untuk
terkena dampak perubahan iklim akan semakin besar. Proses untuk
meningkatkan
kemampuan adaptasi akan memerlukan kemampuan untuk belajar
dari
pengalaman masa lalu dalam menghadapi keragaman iklim dan
menggunakan
37
pengalaman tersebut untuk membangun kemampuan beradaptasi
terhadap
keragaman iklim masa datang, termasuk terhadap goncangan
iklim.
2.5. Hubungan Curah Hujan dan Produksi Padi
Tanah, iklim dan air merupakan lingkungan tumbuh tanaman
padi.
Penguasaan tentang lingkungan tumbuh padi ini sangat penting
untuk menentukan
cara budidaya yang paling tepat dan menguntungkan (Fagi dan Las
1988). Salah
satu unsur iklim yang sangat berperan terhadap ketersediaan air
bagi tanaman
adalah curah hujan. Tinggi rendahnya produksi padi tidak bisa
dipisahkan dengan
ketersediaan air bagi tanaman. Hal ini juga diungkapkan Taslim
(1988) yang
menyatakan bahwa potensi hasil tanaman padi erat hubungannya
dengan jaminan
ketersediaan air selama musim tanam. Di Indonesia, faktor
penentu musim tanam
adalah ketersediaan air yang dipengaruhi oleh curah hujan.
Meskipun penerimaan
hujan tahunan tinggi, bahkan di beberapa wilayah telah tersedia
fasilitas jaringan
irigasi, namun demikian periode tanam pada sebagian besar
wilayah produksi
tanaman pangan tetap tergantung pada kondisi penerimaan hujan
musiman
(Hidayati et al. 2010). Artinya, curah hujan merupakan indikator
yang cukup kuat
untuk mengetahui fluktuasi produksi padi.
Tanaman padi membutuhkan 600 1200 mm air selama 90 120 hari
dari
tanam hingga panen (De Datta 1981). Jagung memerlukan 300 hingga
400 mm
air selama 90 hingga 125 hari pada periode tanam (Mink, Dorosh
& Perry 1987).
Oleh karena kebutuhan air yang lebih sedikit, maka palawija
menjadi alternatif
komoditas yang ditanam petani pada saat akhir musim hujan, di
mana
ketersediaan air sudah tidak mencukupi untuk kebutuhan tanaman
padi.
Fase tanaman yang paling rentan terhadap kekurangan air adalah
awal fase
vegetatif, fase pembungaan dan fase pengisian bulir/polong
(Biswas & Choudhuri
1984; Mapegau 2006). Pada tanaman padi, kekurangan air pada fase
reproduktif
memberikan dampak penurunan produksi yang lebih besar
dibandingkan
kekurangan air pada masa vegetatif (Biswas & Choudhuri
1984).
Vergara (1976) menyatakan bahwa peranan ketersediaan air sangat
penting
(kritis) pada awal pertumbuhan dan pada fase pembungaan (Gambar
13).
Kekurangan air pada fase ini akan berdampak besar terhadap
pertumbuhan
38
tanaman, sebaliknya bila terjadi pada akhir fase vegetatif dan
pada fase akhir
pemasakan. Peranan ketersediaan air juga penting pada saat
pembentukan anakan
dan pada awal fase pemasakan (pengisian biji).
Gambar 13. Peranan ketersediaan air pada setiap stadia tumbuh
tanaman
(Sumber : Vergara 1976)
Penelitian Rushayati et al. (1989) menunjukkan bahwa tanaman
yang diberi
cekaman air (kadar air 50% kapasitas lapang) selama sepuluh hari
pada awal fase
pertumbuhan vegetatif memberikan hasil yang sangat rendah,
demikian juga
halnya apabila perlakuan ini diberikan pada fase primordia.
Penurunan hasil yang
terjadi akibat cekaman kekeringan pada awal fase pertumbuhan
vegetatif terutama
melalui pengurangan jumlah anakan dan luas daun sedangkan pada
fase primordia
melalui penurunan jumlah gabah, peningkatan jumlah gabah hampa
dan
penurunan bobot 100 biji. Selanjutnya Castillo et al. (1992)
menemukan bahwa
tidak terjadinya hujan selama lebih dari 15 hari berturut-turut
pada fase tepat
sebelum atau segera setelah pembentukan malai dapat menurunkan
hasil antara
18% sampai 38%. Lebih jauh Dikshit et al. (1987) menemukan bahwa
penurunan
hasil akibat kejadian deret hari kering selama 16 hari selama
masa pertumbuhan
bisa mencapai 91%, tergantung waktu terjadinya. Berdasarkan
perhitungan neraca
air harian di Jawa Barat, tidak terjadinya hujan lebih dari 15
hari berturut-turut
menurunkan kandungan air tanah dari kapasitas lapang sampai di
bawah 50%
kapasitas lapang (Hasan 1997). Menurut McCaskill dan Kariada
(1992) dan
Niewolt (1989), terjadinya deret hari kering selama 7 hari atau
lebih mempunyai
dampak yang serius terhadap hasil tanaman di daerah tropis.
Vegetatif Reproduktif
39
Pengaruh mundurnya awal musim hujan akibat dari
berlangsungnya
fenomena El-Nino dan dampaknya terhadap penurunan produksi padi
musim
hujan (MH) sudah dianalisis oleh Naylor et al. (2007). Anomali
produksi padi
Januari-April (APJ-A) dapat diduga dari awal musim hujan (AMH)
dalam bentuk
persamaan :
1. Jw. Barat/Jw. Tengah: APJ-A = -349 + 31 AMH 0.3 AWM2; R2 =
56%
2. Jw. Timur/Bali: APJ-A = -3029 + 67 AMH 0.3 AWM2; R2 = 71%
Dengan menggunakan persamaan (2), penurunan produksi padi
Januari-
April dengan mundurnya awal musim hujan satu bulan dari normal
setara dengan
penurunan produksi sekitar 6.5% untuk Jawa Barat dan Jawa Tengah
dan 11%
untuk Jawa Timur dan Bali. Awal MH dihitung dari jumlah hari
setelah tanggal 1
Agustus. Awal musim hujan sudah masuk apabila kumulatif tinggi
hujan sejak
tanggal 1 Agustus sudah mencapai 200 mm. Tahun 1982 dan 1997
merupakan
tahun El-Nino kuat yang menyebabkan awal musim hujan mundur
sampai 2-3
bulan (Gambar 14).
Gambar 14. Hubungan anomali produksi padi Januari-April dengan
awal MH
(Sumber : Naylor et al. 2007)
2.6. Model Simulasi Tanaman DSSAT
Model dapat diartikan sebagai penyederhanaan suatu sistim,
sedangkan
sistim adalah gambaran suatu proses atau beberapa proses
(beberapa subsistim)
yang teratur. Menurut Handoko (1994), meskipun terlihat rumit,
namun sistim
tersebut tetap merupakan suatu keteraturan.
Model simulasi tanaman merupakan model yang dapat
menggambarkan
proses-proses pertumbuhan dan perkembangan tanaman yang
dipengaruhi oleh
faktor iklim, tanah dan tanaman. Dalam aplikasinya, model
simulasi tanaman
mengintegrasikan beberapa disiplin ilmu, seperti
agrometeorologi, sifat fisik dan
40
kimia tanah, pemuliaan tanaman dan agronomi dalam bentuk
persamaan
matematika untuk memprediksi pertumbuhan, perkembangan dan hasil
tanaman
(Hoogenboom 2000). Menurut Boer (1997), model-model simulasi
tanaman yang
berdasarkan pada faktor-faktor tanaman, tanah dan cuaca
merupakan alat yang
efektif dalam pertanian. Model-model ini dapat digunakan untuk
merencanakan
alternatif strategi untuk penanaman, penggunaan tanah dan
pengelolaan air, untuk
mengevaluasi tanaman, varietas dan teknologi budidaya, untuk
menganilisis
tingkat risiko iklim terhadap pertumbuhan tanaman sehingga dapat
digunakan
perluasan wilayah penanaman dan pemilihan sistim usaha tani yang
sesuai dengan
lokasi, untuk memformulasikan hipotesis dan rancangan percobaan
untuk
penelitian, untuk menduga hasil tanaman dan sebagainya.
Studi tentang pemanfaatan model simulasi untuk tujuan analisis
dampak
dan perubahan iklim lebih banyak menggunakan model
deterministik. Salah satu
model deterministik yang digunakan di banyak negara adalah DSSAT
(Decision
Support System for Agrotechnology Transfer). DSSAT adalah suatu
perangkat
lunak untuk melakukan simulasi tanaman yang dikembangkan oleh
IBSNAT
(International Benchmark Site Network for Agrotechnology
Transfer) di Hawaii
University. DSSAT merupakan aplikasi perangkat lunak program
yang terdiri dari
model simulasi tanaman. Didukung oleh program manajemen basis
data untuk
tanah, cuaca, pengelolaan tanaman dan data eksperimental. Model
simulasi
tanaman di DSSAT mensimulasikan pertumbuhan, perkembangan dan
hasil
sebagai fungsi dari tanah-tanaman-atmosfer.
Data minimum yang dibutuhkan model DSSAT (Jones et al. 1998)
adalah
: 1) posisi lintang dan bujur, data iklim harian : radiasi
matahari, suhu udara
minimum dan maksimum serta curah hujan, 2) tanah : kedalaman
lapisan tanah
atas dan bawah, tekstur, bobot isi (bulk density), carbon
organik, pH dan
kejenuhan aluminium, 3) manajemen : tanggal tanam, jarak tanam,
kedalaman
tanam, varietas, irigasi (untuk lahan irigasi) dan pupuk.
Diagram database
selengkapnya disajikan dalam Gambar 15.
41
Gambar 15. Diagram database, aplikasi, dan komponen perangkat
lunak
pendukung dan penggunaan model tanaman untuk aplikasi
dalamDSSAT v3.5 (Sumber : Jones et al. 2003).
Tsuji et al (1994) menjelaskan kegunaan DSSAT antara lain : 1)
dapat
menganalisis sensitivitas model yang digunakan dengan mengganti
input
parameter tanah, iklim dan tanaman tanpa merubah susunan file
percobaan yang
divalidasi, 2) dapat mengevaluasi variabilitas dan dampak
perubahan strategi
skenario iklim, 3) dapat menggambarkan dinamika pertumbuhan
tanaman,
keseimbangan penggunaan pupuk, dan proses konservasi tanah yang
erat
kaitannya dengan proses pergerakan air baik melalui run off,
infiltrasi dan
perkolasi. Selain itu, model DSSAT juga mampu mensimulasi
proses
pertumbuhan dan perkembangan tanaman secara kontinu antar musim.
Di sisi
lain, ada beberapa kelemahan model DSSAT, yaitu : 1) tidak
merumuskan
pengaruh pupuk P (Phospor) dan K (Kalium), serta hama dan
penyakit tanaman,
2) subyektivitas dalam merancang percobaan. Ulangan tidak dapat
didiskripsikan
dengan jelas, serta 3) keragaman output sangat rendah karena
ulangan yang
diberikan dengan input perlakuan yang sama pada periode
penanaman yang sama
akan memberikan hasil yang sama.
Di Indonesia, model simulasi tanaman juga telah dikembangkan
oleh para
peneliti. Model yang banyak berkembang adalah model pertumbuhan
tanaman
padi. Prinsip model pertumbuhan tanaman padi adalah merupakan
fungsi konversi
dari CO2 menjadi karbohidrat yang didistribusikan untuk
pertumbuhan
42
komponen-komponen tanaman. Besarnya CO2 yang dikonversi
menjadi
karbohidrat ditentukan oleh konsentrasi CO2 dan intensitas
radiasi serta tingkat
cekaman hara (N, P dan K). Banyaknya karbohidrat yang berubah
menjadi bahan
kering ditentukan oleh laju respirasi.
Validasi model DSSAT untuk tanaman padi IR 64 telah dilakukan
oleh
Surmaini (2006) dengan membandingkan data hasil penelitian Balai
Penelitian
Tanaman Padi mengenai pengaruh berbagai tingkat pemupukan N
terhadap
produksi padi di beberapa lokasi yaitu Geritan-Pati,
Binangun-Cilacap, Muara-
Bogor dan Sukamandi, dan diperoleh nilai koefisien korelasi yang
cukup tinggi
yaitu sebesar 0.9267.
2.7. Asuransi Pertanian di Indonesia
Saat ini dampak dari kejadian cuaca/iklim terhadap pelayanan
finansial
sebagian besar disebabkan oleh kejadian ekstrim. Sebagaimana
diungkapkan oleh
Wellington (2005) bahwa perubahan iklim membawa keuntungan
sekaligus risiko
bagi industri dan perusahaan. Perbedaan kerentanan ada yang
disebabkan oleh
lokasi geografis, distribusi penduduk, dan kekayaan nasional. Di
negara-negara
berkembang, jumlah kematian sangat tinggi akibat cuaca/iklim
ekstrim, namun
biaya untuk sektor keuangan relatif kecil karena penetrasi
asuransi rendah.
Sebaliknya di negara-negara maju, yang kehilangan kehidupan
mungkin jauh
lebih sedikit tetapi cukup banyak tersedia biaya untuk asuransi
industri. Swiss Re
(2000b) diacu dalam IPCC (2001) mengkompilasi data 40 kejadian
bencana
terburuk antara 1970 dan 1999 yang menunjukkan bahwa dari 40
kejadian
bencana terburuk tersebut, 16 diantaranya terkait dengan iklim
dan 13 diantaranya
terjadi di Asia.
Laporan ketiga kajian IPCC menggarisbawahi tentang pentingnya
asuransi
dan komponen jasa keuangan lainnya karena mewakili mekanisme
penyebaran
risiko melalui biaya yang didistribusikan yang berhubungan
dengan kejadian
cuaca, antar sektor dan melalui masyarakat. Sektor jasa keuangan
juga berperan
sentral dalam kegiatan adaptasi dan mitigasi dan merupakan
sumber utama data
global dan regional terkait dengan kejadian iklim (IPCC 2001).
Mills (2006)
menyajikan dalam laporannya beberapa bentuk solusi asuransi
iklim, termasuk
43
diantaranya adalah program efisiensi energi, desain bangunan
hijau (green
building design) dan perdagangan emisi karbon.
Hasil penelitian Osgood et al. (2007b) menunjukkan bahwa
asuransi formal
ini juga telah dikembangkan di negara-negara berkembang/miskin
seperti India,
Ethiophia, Tanzania, Malawi dan Kenya. Menurut Hadi (2000),
asuransi formal
bisa merupakan alternatif strategi yang diperlukan bagi
petani.
Asuransi ditawarkan sebagai salah satu dari skim pendanaan
untuk
membagi risiko seperti kegagalan panen. Asuransi pertanian
penting sebagai
bentuk proteksi atas kemungkinan kerugian akibat bencana alam
(banjir,
kekeringan, angin puting beliung) atau kerugian lainnya akibat
anomali cuaca dan
perubahan iklim (Sanim 2009). Di negara-negara maju, asuransi
formal pertanian
telah digunakan secara luas untuk mengantisipasi dampak buruk
dari kegagalan
panen. Hasil penelitian Ramaswami (1993) dalam Hadi (2000)
menunjukkan
bahwa asuransi formal pertanian dapat memperkecil risiko
turunnya pendapatan
petani sehingga kebutuhan konsumsi keluarga tetap terpenuhi
secara normal
sepanjang waktu. Selain itu dapat meningkatkan kapasitas petani
untuk
mendapatkan kredit karena dapat digunakan sebagai kolateral
kepada pihak
pemberi pinjaman (Lee et al. 1980).
Asuransi pertanian sudah muncul sejak jaman dahulu, baik yang
dilakukan
oleh pihak swasta maupun pemerintah. Asuransi pertanian untuk
bencana musim
hujan ditemukan tahun 1979 di Jerman. Di Amerika Serikat
penerapan asuransi
pertanian pertama kali tahun 1880 dan produk yang diasuransikan
adalah
tembakau. Asuransi pertanian ini berkembang dengan baik di AS,
Jepang, Uni
Eropa dan Taiwan. Di India, Bangladesh dan Filipina agak lambat
berkembang
(Sanim 2009).
Di Indonesia, Departemen Pertanian pernah mencoba membangun
sistem
asuransi formal pertanian dengan terlebih dahulu membentuk
Kelompok Kerja
(POKJA) Persiapan dan Pengembangan Asuransi Panen dengan
Surat
Keputusan Menteri Pertanian (SK Mentan) nomor
369/Kpts/01/5/1982. Tugas
POKJA tersebut antara lain : (1) mempelajari kemungkinan
penerapan sistem
asuransi panen (crop insurance) di Indonesia, (2) menjajagi,
mengusahakan dan
memanfaatkan bantuan dari negara lain, (3) menyiapkan
rancangan/kerangka
44
bentuk sistim asuransi panen khususnya untuk tanaman padi, (4)
melakukan uji
coba mengenai sistem asuransi panen, dan (5) memberikan
rekomendasi dan
mengajukan rencana pembangunan sistim asuransi panen kepada
pemerintah.
POKJA tersebut belum berjalan dengan baik sehingga pada tahun
1984 dibentuk
lagi POKJA berdasarkan SK Mentan nomor BM 110/98/Kpts/2/1984
tanggal 2
Februari 1984 yang tugasnya sama dengan POKJA tahun 1982. POKJA
ini juga
belum berjalan dengan baik sehingga pada tahun 1985 dibentuk
lagi POKJA
dengan tugas yang masih sama dengan sebelumnya. POKJA ini juga
belum
berhasil melaksanakan tugasnya. Anggota POKJA 1982, 1984 dan
1985 terdiri
dari berbagai instansi pemerintah terkait kecuali badan litbang
pertanian. Baru
pada tahun 1999, Badan Litbang Pertanian (dalam hal ini diwakili
oleh Pusat
Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian) dilibatkan dalam TIM
Pengembangan
Asuransi Pertanian berdasarkan Surat Penunjukkan Menteri
Pertanian nomor
KP.440/178/Mentan/VI/99 tanggal 10 Juni 1999. Tugas-tugas tim
tersebut masih
sama dengan tugas tim POKJA sebelumnya, namun telah melibatkan
pihak
asuransi (PT Pasaraya Life Insurance dan Koperasi Asuransi
Indonesia) (Hadi,
2000). Tim ini berhasil menyusun proposal sistem asuransi
pertanian, dimana
asuransi panen (crop insurance) untuk padi dan asuransi jiwa
(life insurance)
menjadi satu paket asuransi. Pihak yang direncanakan menyediakan
asuransi
adalah sebuah konsorsium antara perusahaan swasta bidang
asuransi dan
pemerintah. Program asuransi ini telah berjalan pada tahun 2000
dalam bentuk
Pilot Project di bawah koordinasi Direktorat Jenderal Sarana dan
Prasarana
Departemen Pertanian.
Berdasarkan kajian Pasaribu (2009a) asuransi pertanian telah
diperkenalkan untuk jangkauan yang terbatas sejak tahun 2000
(oleh lembaga
kredit asuransi Bumida, sebuah perusahaan asuransi umum nasional
bekerjasama
dengan BPD Sumut, sebuah bank lokal di Propinsi Sumatera Utara
dan difasilitasi
oleh Departemen Pertanian). Pada tahun 2004- 2005 peternak
diarahkan untuk
program penggemukan domba/sapi yang dilakukan di Kabupaten
Jembrana
Provinsi Bali tetapi bangkrut karena keuangan. Tahun 2006,
Departemen
Pertanian secara resmi kembali mencoba memperkenalkan asuransi
pertanian,
tetapi sayangnya sektor swasta belum tertarik. Pada tahun 2008,
Departemen
45
Pertanian berinisiatif untuk menanggung risiko (kerugian sapi)
dalam program
skema asuransi pertanian. Program ini diperkenalkan untuk
menanggung semua
risiko untuk ternak dan tanaman padi dengan tingkat premi
masing-masing 3.5%
dari nilai pembelian/tahun dan 3.5% dari biaya produksi/ha/musim
tanam.
Program ini berlangsung di Jawa dan hanya untuk aplikasi
asuransi pertanian.
Penelitian tentang asuransi pertanian ini terus dikembangkan
oleh Pasaribu
(2009b) dengan melaksanakan pilot project di desa Pamatang
Panombeian dan
desa Marjandi Pisang, Kecamatan Panombeian, Kabupaten
Simalungun, Provinsi
Sumatera Utara dan desa Riang Gede, Kecamatan Panebel, Kabupaten
Tabanan,
Povinsi Bali. Data tentang kesediaan para petani mengikuti pilot
project asuransi
di dua lokasi desa penelitian di Kabupaten Simalungan
menunjukkan bahwa 90
persen responden menyatakan kesediaannya dan 10 persen sisanya
menyatakan
tidak bersedia dan masih ragu-ragu. Dalam kaitan dengan premi
asuransi, 35.71
persen petani menyatakan bersedia menanggung seluruh premi,
sementara 64.29
persen lainnya hanya sanggup menanggung sebagian. Dasar
penetapan klaim yang
diharapkan para petani adalah 27.50 persen menginginkan atas
dasar modal yang
dikeluarkan dan 72.50 persen berdasarkan nilai produksi. Cara
penyampaian
klaim yang diusulkan, sebagian besar (79.41%) memilih dengan
cara
berkelompok dan 20.59 persen responden lainnya menginginkan
secara individu.
Harapan para petani di dua desa lokasi ini menginginkan
pelaksanaan pilot project
dapat dilakukan sejak MH 2010 (60%); MK-I 2010 (7%) dan MK-II
2010 (33%).
Sementara respon petani di lokasi penelitian Kabupaten Tabanan
menurut
Pasaribu (2009b) menunjukkan bahwa 72.5 persen menyatakan
kesediaan untuk
mengikuti pilot project asuransi, 10 persen responden lainnya
menyatakan tidak
bersedia dan sebagian lagi (17.5%) masih ragu-ragu. Di lokasi
desa Kabupaten
Tabanan, 35.3 persen petani bersedia membayar seluruh premi dan
64.7 persen
menyatakan hanya bersedia menanggung 50 persen. Penetapan klaim
yang
diinginkan agar didasarkan pada besaran modal yang dikeluarkan
(55.9%) dan
sisanya (44.1%) berdasarkan perkiraan nilai produksi. Cara
penyampaian klaim
yang diusulkan sebagian besar menyatakan melalui kelompok 61.8
persen dan
sisanya secara individu. Sebagian besar petani responden
menginginkan
penerapan pilot project asuransi usahatani padi pada MH
2009/2010. Dari studi
46
yang telah dilakukan, menurut Pasaribu (2009a) hal yang perlu
mendapat
perhatian adalah bahwa aspek hukum yang tersedia masih sangat
minim. Oleh
karena itu, hal ini merupakan peluang yang baik untuk
mengembangkan penelitian
tentang asuransi yang memperhitungkan parameter iklim yang
diharapkan dapat
memberikan wacana baru bagi sistim asuransi di Indonesia.
Perkembangan terakhir menunjukkan bahwa Kementerian
Pertanian
(2012) melalui Surat Keputusan Menteri Pertanian Nomor
1136/Kpts/OT.160/4/2012 telah membentuk Tim Pokja Asuransi
Komoditas
Pertanian yang mempunyai tugas melakukan :
1. Identifikasi permasalahan dan upaya pemecahannya dalam
asuransi
komoditas pertanian.
2. Perumusan model asuransi komoditas pertanian.
3. Pemantauan dan evaluasi atas pelaksanaan perlindungan usaha
komoditas
pertanian.
Kementerian Pertanian bekerjasama dengan BUMN pertanian dan
BUMN
asuransi serta kelompok tani pada Bulan Oktober 2012
melaksanakan skim
asuransi usahatani padi sebagai pilot studi pada 3000 ha sawah
beririgasi di tiga
lokasi (Sumatera Selatan, Jawa Barat, dan Jawa Timur,
masing-masing 1000 ha).
Namun, model yang dipakai masih model tradisional untuk menjamin
usahatani
padi dari risiko gagal panen karena banjir, kekeringan dan atau
serangan OPT.
Nilai premi Rp. 180000/ha/MT dengan nilai pertanggungan jika
gagal panen
(puso dengan kriteria tertentu) Rp. 6 juta/ha. Sebesar 80% premi
dibayar
pemerintah dalam bentuk subsidi yang diambil dari dana program
Gerakan
Peningkatan Produksi Pangan Berbasis Korporasi (GP3K) yakni Rp.
144 ribu,
sementara petani membayar sisanya (20%, sebesar Rp. 36 ribu)
(Pasaribu 2012).
2.8. Asuransi Indeks Iklim (Climate Index Insurance)
Bencana-bencana yang terkait iklim, seperti banjir, kekeringan
dan
sebagainya merupakan faktor dominan penyebab kerugian pada usaha
tani padi di
Indonesia. Untuk mengatasi atau meminimalkan berbagai risiko
akibat bencana
terkait iklim tersebut, petani pada umumnya telah memiliki
berbagai cara antara
lain : mengganti tanaman dengan yang lebih tahan, meminjam uang
melalui Bank,
47
koperasi atau kelompok tani, dll. Namun cara tersebut masih
sangat terbatas dan
tidak ada jaminan, sehingga petani akan tetap mengalami
kerugian. Di negara
seperti India dan Afrika, petani sudah memiliki cara untuk
menstabilkan
pendapatannya yaitu dengan asuransi informal, namun menurut Hadi
(2000),
asuransi informal ini memiliki kelemahan, yaitu : (1) bersifat
individu dan tidak
mengasuransikan secara penuh keluarga petani dalam suatu wilayah
berisiko yang
luas, dan (2) strategi petani dalam melakukan manajemen risiko
tidak efektif
(terlalu mahal) dan tidak dinikmati oleh semua petani. Oleh
karena itu, perlu
dikembangkan asuransi formal yang dapat digunakan sebagai
alternatif strategi
yang diperlukan oleh petani dan sangat berpeluang dikembangkan
di Indonesia.
Saat ini telah berkembang produk asuransi pertanian berbasis
index iklim
yang dikenal dengan Asuransi Indeks Iklim (Climate Index
Insurance). Menurut
Biro Perasuransian, Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga
Keuangan
(BAPEPAM-LK) Departemen Keuangan (2010), Asuransi Indeks Iklim
adalah
asuransi yang memberikan penggantian atas kerugian akibat
penurunan tingkat
panen atau kegagalan panen yang dikaitkan dengan cuaca. Contoh:
curah hujan
yang berlebihan, atau curah hujan yang kurang (kekeringan).
Menurut Boer
(2010b), sistem ini memberikan pembayaran pada pemegang polis
manakala
terpenuhi kondisi cuaca/iklim yang tidak diharapkan (Indeks
Iklim) tanpa harus
ada bukti kegagalan panen. Asuransi ini dapat mempercepat
penerimaan petani
terhadap teknologi adaptasi atau integrasi informasi prakiraan
musim/iklim dalam
membuat keputusan. Dalam sistem asuransi iklim yang
diasuransikan ialah indeks
Iklimnya bukan tanaman. Pembayaran dilakukan berdasarkan apakah
indeks iklim
yang ditetapkan dicapai pada periode pertumbuhan tanaman yang
diasuransikan.
Manuamorn (2010) mensarikan beberapa pernyataan tentang
asuransi
indeks iklim, diantaranya adalah : (1) kebijakan pembayaran
indeks asuransi
berbasis pada obyektif bukan pada pengukuran dari kehilangan
riil, (2) indeks
memerlukan korelasi yang kuat dengan kehilangan hasil riil yang
akan diproteksi,
(3) Pembayaran dibuat berdasarkan realisasi dari nilai indeks
mengikuti skala
pembayaran yang telah disetujui.
Dalam penelitian ini, indeks yang akan dikaji adalah yang
terkait dengan
iklim/cuaca, yaitu indeks iklim. Indeks iklim paling banyak
digunakan dalam
48
bidang pertanian. Hal ini disebabkan adanya korelasi yang tinggi
antara kejadian
iklim dan kehilangan produksi tanaman. Beberapa parameter yang
umum
digunakan untuk indeks iklim adalah : curah hujan, temperatur,
kecepatan angin,
biomas vegetasi, kelembaban tanah, serta growing degree days.
Sebagai contoh
dalam bidang pertanian, menurut Manuamorn (2010), index curah
hujan ditujukan
untuk melindungi petani dari kekeringan.
Beberapa keuntungan asuransi indeks iklim, adalah : 1) tidak ada
moral
hazard, tidak tergantung pada perilaku individu, 2) tidak ada
anti seleksi (Adverse
Selection) dalam konteks subsidi silang karena didasarkan pada
banyaknya
ketersediaan informasi (seperti data iklim runut waktu). Hal ini
membantu
menghindari situasi dimana hanya orang-orang dengan risiko
tinggi saja (yang
memiliki pengetahuan lebih tentang risiko mereka yang
mengasuransikan), 3)
biaya adminitrasi rendah, 4) struktur transparan dan 5)
fleksibel, dapat
digabungkan dengan fasilitas lain (IFC 2009, Manuamorn 2010, dan
IRI 2011).
Sementara tantangannya adalah masih terbatasnya sumberdaya
manusia sebagai
pengguna untuk menilai apakah indeks asuransi akan memberikan
manajemen
risiko yang efektif, pasar masih dalam masa pertumbuhan di
negara negara
berkembang dan biaya awal (start-up) dapat menjadi signifikan
(IFC, 2009),
masih terbatasnya alat-alat pengamatan iklim/curah hujan
otomatis dan handal
untuk mendapatkan data yang berkualitas, serta undang-undang
(regulasi) yang
mendukung.
Sisi lain dari kelebihan adalah kelemahannya. Kelemahan mendasar
dari
indeks asuransi adalah ketidaksesuaian antara pembayaran kontrak
dan kehilangan
riil. Konsekuensinya petani dapat mengalami kerugian dan tidak
akan menerima
pembayaran, atau petani jadi dibayar tanpa harus menderita
kerugian (Manuamorn
2010). Kelemahan lain dari indeks asuransi adalah membutuhkan
input teknologi
yang tinggi selama fase perkembangan, serta memerlukan adaptasi
lokal.
Sebagai contoh, dalam kasus kekeringan sebagaimana tercantum
dalam
polis asuransi, petani yang diasuransikan akan menerima
pembayaran tepat waktu.
Kompensasi dapat digunakan untuk membiayai kembali atau melunasi
pinjaman
penyemaian produksi dan lain-lain. Sebaliknya, jika tidak ada
kekeringan, para
49
petani yang mengikuti asuransi akan menerima pendapatan dari
penjualan
tanaman sepadan dengan biaya investasi dan tenaga kerja.
Negara-negara yang sudah mengembangkan indeks asuransi
iklim/cuaca
antara lain : Malawi, India, Mongolia, Philipina, Thailand, dan
Kenya. Di Malawi
digunakan parameter presipitasi untuk mengaplikasikan asuransi
bagi petani
kacang. Di India dikembangkan asuransi berdasarkan indeks yang
berbasis curah
hujan sejak tahun 2003 dan telah berhasil menjual polis cukup
besar. Thailand
lebih memfokuskan pada risiko kekeringan terhadap tanaman
jagung, sedangkan
Malawi mengaplikasikan indeks asuransi untuk risiko kekeringan
pada tanaman
tembakau. Kenya menggunakan curah hujan sebagai parameter untuk
menyusun
indeks asuransi untuk tanaman jagung dan gandum. Selain itu,
Kenya juga telah
mengaplikasikan satelit sebagai dasar menentukan indeks vegetasi
yang
digunakan untuk memantau kekeringan pada ternak, khususnya di
wilayah bagian
utara.
Berbagai metode telah digunakan untuk menentukan indeks
iklim.
International Research Institute for Climate and Society (IRI)
telah
mengembangkan suatu model untuk asuransi indeks iklim yang
disebut dengan
Weather Index Insurance Education Tool (WIIET). WIIET
menggunakan konsep
indeks cuaca untuk pengembangan asuransi indeks iklim.
Penggunaan indeks
cuaca ini sering digunakan untuk pertanian karena adanya
korelasi yang tinggi
antara peristiwa cuaca dan kerugian tanaman. Kehilangan hasil
dihitung
berdasarkan pendekatan kecukupan air (water satisfaction)
(Gambar 16).
50
Diagram alir 1 WIIET-Pemodelan
Tanaman
Analisis Kecukupan
Air : perlu data curah
hujan dan
evapotranspirasi, dll.
Pembangkitan data
WSI
Konversi kehilangan.
Membutuhkan set
data WSI.
Pembangkitan data
kehilangan secara
runut waktu.
Kontrak. Perlu data
pembayaran secara
runut waktu, set
data curah hujan
dan data kehilangan
hasil.
Pembuatan Kontrak.
Membutuhkan data curah
hujan, data pembayaran. Ini
merupakan bagian utama dari
WIIET sebagai petunjuk bagi
pengguna untuk
memperkirakan parameter
dalam pengembangan kontrak.
Alat (tools) digunakan untuk membantu
membuat kontrak triggers dan untuk
memahami potensi keuntungan dari tanam pada
periode yang berbeda dari setiap musim.
Diagram alir 2 WIIET.
Desain Kontrak
Harga.
Membutuhan
data pembayaran
runut waktu.
Evaluasi Kontrak.
Membutuhkan data
pembayaran runut
waktu dan data
kehilangan hasil.
Diagram alir 1 WIIET-Pemodelan
Tanaman
Konversi kehilangan.
Membutuhkan set
data WSI.
Pembangkitan data
kehilangan secara
runut waktu.
Gambar 16. Diagram alir konsep model WIIET (Sumber : IRI
2009)
Pendekatan lain yang bisa dilakukan untuk menghitung indeks
iklim
adalah dengan analisis Historical Burn (Historical Burn
Analysis, HBA) yang
dikembangkan oleh IRI (IRI 2012). Pendekatan ini digunakan
apabila di lokasi
penelitian hanya tersedia data curah hujan. Pada prinsipnya,
analisis Historical
Burn bergantung pada data masa lalu untuk memberikan kunci apa
yang
mungkin terjadi di masa depan. Dengan menggunakan pendekatan
ini,
diasumsikan bahwa tahun mendatang akan terlihat seperti salah
satu dari tahun
yang sudah terjadi. Oleh karena itu, data runut waktu yang
panjang digunakan
untuk menentukan trigger dan exit untuk indeks musim yang akan
datang.
Meskipun ini merupakan pendekatan yang sederhana, namun menjadi
titik awal
dimana indeks dapat dikembangkan lebih lanjut dan disempurnakan.
Total curah
hujan yang digunakan dalam penentuan indeks hujan adalah total
curah hujan
yang telah disesuaikan (adjusted rainfall total).
51
Dalam menggunakan analisis Historical Burn ada beberapa
batasan
yang digunakan, yaitu :
1. Index window (jendela indeks). Index window adalah periode
selama musim
tanam dimana kontrak asuransi indeks diaplikasikan. Biasanya,
kontrak
asuransi indeks dibuat mulai tanggal awal dan akhir dimana nilai
indeks
diukur. Indeks kekeringan, hanya akan mengindikasikan pembayaran
jika
curah hujan yang terukur di bawah nilai indexs trigger selama
periode yang
ditentukan oleh index window. Jika curah hujan rendah di luar
tanggal yang
ditentukan oleh Index Window, tidak akan ada pembayaran.
2. Menentukan Pembayaran Menggunakan Trigger dan Exit : Selama
Index
window, perhitungan curah hujan oleh satelit atau alat ukur
curah hujan dapat
digunakan untuk menentukan apakah harus ada pembayaran untuk
asuransi
indeks kekeringan. Setiap index window memiliki apa yang
disebut
trigger/pemicu, jika jumlah total curah hujan selama index
window lebih
dari trigger, tidak ada pembayaran. Setiap curah hujan total di
bawah trigger
akan menghasilkan pembayaran. Pembayaran akan meningkat untuk
setiap
milimeter (mm) dari defisit curah hujan dibawah trigger, sampai
pembayaran
maksimum tercapai. Titik pembayaran maksimum disebut indeks
'exit'.
Ringkasnya, jika curah hujan total untuk jendela indeks lebih
besar dari
trigger, maka tidak ada pembayaran. Jika curah hujan antara
trigger dan exits,
maka akan ada pembayaran secara parsial. Jika curah hujan di
bawah exits,
maka akan dibayar penuh. Gambar di bawah ini mengilustrasikan
bagaimana
pembayaran ditentukan oleh nilai trigger dan exits (Gambar
17).
3. Mengukur Curah Hujan - Menggunakan Cap: total curah hujan
yang
digunakan untuk mengetahui apakah indeks harus dibayarkan adalah
total
curah hujan yang disesuaikan (adjusted rainfall total). Untuk
menghitung
jumlah curah hujan yang disesuaikan, masukkan jumlah curah hujan
untuk
setiap periode sepuluh hari (disebut dekad) di jendela indeks.
Selanjutnya jika
jumlah curah hujan untuk periode sepuluh hari kurang dari 'cap'
(misalnya 25
mm), maka digunakan curah hujan total untuk periode tersebut.
Namun, jika
sepuluh hari total curah hujan lebih dari cap, maka cap yang
digunakan. Cap
52
merepresentasikan jumlah maksimum curah hujan yang dihitung
untuk setiap
periode sepuluh hari. Setelah penyesuaian dibuat, total dari
per-sepuluh-hari
curah hujan kemudian ditambahkan bersama-sama untuk menghitung
total
curah hujan yang disesuaikan untuk seluruh index window.
4. Cap diterapkan agar dapat lebih merepresentasikan masa
kering. Misalnya
apabila terjadi sebuah badai besar, dalam waktu yang singkat
akan
mungkin dihasilkan nilai curah hujan yang melebihi indeks
trigger;
sedangkan pada hari-hari yang lain mungkin masih mengalami curah
hujan
yang sangat sedikit dan tanaman kering. Dalam kasus ini, tanaman
tidak
akan mampu mengambil air yang banyak dari badai besar
tersebut
sebelum air mengalir ke tempat lain. Ketika cap yang digunakan
untuk
mengatur total curah hujan yang terukur melalui jendela indeks,
maka
semua kondisi tersebut diharapkan dapat terwakili.
Gambar 17. Konsep pembayaran asuransi indeks iklim (IRI
2012)
Tahapan analisis Hitorical Burn adalah sebagai berikut :
1. Pilih tahun dan periode yang diasuransikan (indeks window)
dan hitung
curah hujan dasarian pada periode tersebut.
2. Tentukan besarnya cap dan hitung curah hujan yang
disesuaikan
(adjusted rainfall total). Jika jumlah curah hujan untuk periode
sepuluh
hari kurang dari 'cap' , maka digunakan curah hujan total untuk
periode
tersebut. Namun, jika dalam sepuluh hari total curah hujan lebih
dari
cap, maka cap yang digunakan.
53
3. Hitung jumlah curah hujan dasarian yang sudah disesuaikan
untuk setiap
tahunnya. Susun data curah hujan ini dari atas ke bawah mulai
dari curah
hujan tertinggi hingga terendah.
4. Tentukan nilai exit atau titik terendah dimana pembayaran
sepenuhnya
diberikan. Dalam indeks ini, Exit dirancang sehingga ada
pembayaran
penuh untuk tahun terburuk selama periode data. Di sini, Exit
akan diatur
sama dengan jumlah curah hujan pada tahun terburuk dan
dibulatkan ke
bilangan bulat terdekat.
5. Tentukan trigger berdasarkan periode ulang yang dipilih.
Misal untuk
kasus Cikedung periode ulang yang ditawarkan untuk asuransi
adalah 4
tahun sekali. Artinya selama 42 tahun periode datanya
(1966-2007) ada
sekitar 10 kali pembayaran. Tentukan sepuluh nilai terbawah dari
data
yang telah diurutkan.
6. Pembayaran akan dilakukan secara penuh apabila selama periode
yang
diasuransikan dipenuhi curah hujan lebih rendah dari exit.
Apabila curah
hujan berada antara exit dan trigger, maka pembayaran akan
dilakukan
secara parsial. Apabila curah hujan lebih besar dari trigger,
maka tidak ada
pembayaran.
Berdasarkan studi di beberapa negara, indeks asuransi
iklim/cuaca telah
dikembangkan pada skala komersial dimana terdapat pemeran lokal
serta
penelitian dan pengembangan. Hasil penelitian Osgood di Malawi
(Osgood 2007a
dan 2007b) menunjukkan bahwa penggunaan indeks iklim dalam
asuransi adalah
mudah dan murah untuk diimplementasikan dan memberikan insentif
yang baik.
Bank Dunia (2005) diacu dalam IFC (2009) mensarikan beberapa
hal
penting terkait dengan kontrak indeks