6 II. KAJIAN PUSTAKA A. Sumber Pustaka 1. Rujukan Konsepsi Penanganan masalah kekerasan terhadap anak merupakan pekerjaan rumah bagi seluruh masyarakat luas yang tiap harinya terus bertambah jumlahnya. Sejauh ini banyak pihak yang telah melakukan berbagai langkah untuk mengatasi masalah ini. Untuk itu, ide mengenai kasus kekerasan anak ini diimplementasikan ke dalam karya seni. Melalui karya seni, diharapkan pesan dari seniman dapat tersampaikan kepada masyarakat luas yaitu untuk lebih peduli pada anak korban tindak kekerasan. Oleh karena itu, dalam proses implementasi tersebut memerlukan peninjauan terkait isu kekerasan anak, yaitu tidak terlepas dari kajian serupa yang pernah diteliti sebelumnya. Salah satu kajian terdahulu yang membahas masalah kekerasan anak dibuat oleh Sigit Tri Purnomo dalam proyek tugas akhirnya. Ia mengkampanyekan iklan “Stop Kekerasan Terhadap Anak-Anak” melalui media komunikasi audio visual. Fokus utama dalam karya iklan ini adalah tema kekerasan anak yang traumanya terbawa sampai masa tua, di mana tindakan kekerasan yang dialami seorang anak akan mempengaruhi kondisi psikisnya hingga dewasa. Melalui karya iklan ini, diharapkan dapat menyadarkan masyarakat luas untuk berpartisipasi dalam melindungi anak-anak, khususnya menyadarkan orang tua untuk tidak melakukan tindak kekerasan terhadap anak.
23
Embed
II. KAJIAN PUSTAKA A. Sumber Pustaka · dengan rujukan skripsi di atas, konsep kekerasan anak yang disajikan jelas ... tekanan kultur maupun struktur yang menyebabkan mereka belum
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
6
II. KAJIAN PUSTAKA
A. Sumber Pustaka
1. Rujukan Konsepsi
Penanganan masalah kekerasan terhadap anak merupakan pekerjaan
rumah bagi seluruh masyarakat luas yang tiap harinya terus bertambah
jumlahnya. Sejauh ini banyak pihak yang telah melakukan berbagai langkah
untuk mengatasi masalah ini. Untuk itu, ide mengenai kasus kekerasan anak ini
diimplementasikan ke dalam karya seni. Melalui karya seni, diharapkan pesan
dari seniman dapat tersampaikan kepada masyarakat luas yaitu untuk lebih
peduli pada anak korban tindak kekerasan. Oleh karena itu, dalam proses
implementasi tersebut memerlukan peninjauan terkait isu kekerasan anak, yaitu
tidak terlepas dari kajian serupa yang pernah diteliti sebelumnya.
Salah satu kajian terdahulu yang membahas masalah kekerasan anak
dibuat oleh Sigit Tri Purnomo dalam proyek tugas akhirnya. Ia
mengkampanyekan iklan “Stop Kekerasan Terhadap Anak-Anak” melalui
media komunikasi audio visual. Fokus utama dalam karya iklan ini adalah tema
kekerasan anak yang traumanya terbawa sampai masa tua, di mana tindakan
kekerasan yang dialami seorang anak akan mempengaruhi kondisi psikisnya
hingga dewasa. Melalui karya iklan ini, diharapkan dapat menyadarkan
masyarakat luas untuk berpartisipasi dalam melindungi anak-anak, khususnya
menyadarkan orang tua untuk tidak melakukan tindak kekerasan terhadap anak.
7
Gambar 1. Karya iklan layanan masyarakat “Stop Kekerasan Terhadap Anak-Anak”
oleh Sigit Tri Purnomo yang dibuat dalam media poster, dimensi 31x42 cm
(Sumber: Screenshot Pengantar TA Sigit Tri Purnomo, 2016)
Konsep serupa mengenai sisi lain kehidupan anak-anak juga diangkat
oleh Findri Ary Hartanto pada tahun 2009. Ia mengangkat isu tentang
kehidupan anak-anak marginal di perkotaan. Perasaannya yang sedih dan
prihatin melihat kerasnya kehidupan yang dialami anak-anak tersebut,
mendorongnya untuk memvisualisasikannya ke dalam suatu karya seni.
Melalui karya yang dibuat, ia mengajak orang lain untuk lebih peduli pada
keadaan anak-anak marginal di perkotaan. Karya yang dibuatnya adalah dalam
bentuk digital print di atas kertas. Di dalam karyanya menampilkan suasana
kehidupan anak yang suram, figur-figur anak dengan simbol-simbol
pendukungnya.
8
Gambar 2. Karya Findri Ary Hartanto berjudul “Terpenjara”, ukuran 80x50 cm, digital
print di atas kertas, 2008
(Sumber: Screenshot Pengantar TA Findri Ary Hartanto, 2016)
Selain konsep kekerasan yang diangkat sebagai karya seni, terdapat juga
penelitian mengenai kekerasan anak lainnya. Salah satunya adalah karya
skripsi oleh Yustina Saptarini berjudul “Kekerasan dalam Lembaga Pendidikan
Formal (Studi Mengenai Kekerasan oleh Guru Terhadap Siswa Sekolah Dasar
di Surakarta). Ia mengangkat topik kekerasan anak yang ada di lingkungan
sekolah. Subjek utama dalam tindak kekerasan di sekolah adalah oknum guru
(pelaku) dan siswa (korban). Berdasarkan hasil penelitiannya, latar belakang
oknum guru melakukan tindak kekerasan dipengaruhi oleh kondisi eksternal
dari sistem pendidikan yang ada. Kekerasan jenis ini adalah kekerasan
personal, di mana masalah pribadi merupakan pemicu tindak kekerasan yang
pada akhirnya dilampiaskan terhadap siswa.
Konsep serupa mengenai potret buram kehidupan anak-anak juga
diangkat ke dalam suatu karya seni lukis. Banyak perbedaan dari tiga konsep di
9
atas jika dikomparasikan dengan konsep penulis. Jika dibandingkan
berdasarkan perwujudan ke dalam karya seni, penggunaan medianya jelas
berbeda. Jika penulis mewujudkannya ke dalam karya seni lukis, kedua
rujukan tugas akhir tersebut masing-masing menggunakan audio visual dan
digital print sebagai medianya. Walaupun mempunyai tujuan yang sama, yaitu
menampilkan kehidupan suram anak-anak, masing-masing mempunyai cara
sendiri dalam memvisualisasikan tema tersebut. Sedangkan bila dibandingkan
dengan rujukan skripsi di atas, konsep kekerasan anak yang disajikan jelas
berbeda. Sumber rujukan memfokuskan jenis kekerasan anak yang berada di
lingkungan sekolah, latar belakang tindak kekerasan yang dilakukan, dan
contoh praktik tindak kekerasan yang terjadi di sekolah. Sementara itu, konsep
penulis adalah kekerasan anak secara luas, baik itu subjek tindak kekerasan,
faktor-faktor yang mempengaruhi, jenis-jenis tindak kekerasan, serta
implementasinya ke dalam suatu karya seni.
Perwujudan konsep kekerasan terhadap anak ke dalam karya seni ini
merupakan hal yang baru baik secara visual maupun tulisan sebagai konsep
pengantarnya. Selain itu, hasil yang disajikan bersifat baru dan berbeda dari
konsep visual dan penelitian-penelitian sebelumnya. Dapat dikatakan baru dan
berbeda dikarenakan hasil dari penelitian dan perwujudan karya merupakan ide
asli dari penulis. Sementara itu, penelitian dan konsep karya serupa hanyalah
bersifat sebagai sumber referensi. Sumber yang telah dipaparkan di atas hanya
bersifat rujukan dan sebagai pembanding, sehingga dapat diketahui unsur
novelti di dalam karya yang dibuat.
10
2. Referensi Teoritik
a. Dunia Anak
Anak-anak adalah bagian kecil dari suatu keluarga. Keberadaan anak
sebagai seseorang yang baru hadir dan paling kecil, masih dianggap sebagai
manusia kecil yang lugu dan polos. Oleh karena kepolosan anak itu,
tentunya orang tua dan orang-orang di sekitar harus turut menjaga dan
mengajarinya agar ia tumbuh dan berkembang dengan baik. Masa kanak-
kanak adalah masa yang berharga bagi anak untuk tumbuh. Masa ini juga
turut menentukan sikap dan perilaku anak kelak ketika dewasa. Oleh karena
itu, agar anak mempunyai karakter yang baik kelak, maka sejak dini harus
didukung dengan lingkungan yang baik pula.
Menurut Hurlock, masa kanak-kanak dimulai setelah melewati masa
bayi yang penuh dengan ketergantungan, yakni kira-kira usia dua tahun
sampai saat matang secara seksual, kira-kira 13 tahun untuk wanita dan 14
tahun untuk pria. Para pendidik menyebut tahun-tahun awal masa kanak-
kanak sebagai usia prasekolah untuk membedakannya dari saat di mana
dianggap cukup tua, baik secara fisik dan mental, untuk menghadapi tugas-
tugas pada saat mereka mengikuti pendidikan formal (Hurlock, 1999: 108-
109).
Di dalam psikologi perkembangan banyak dibicarakan bahwa dasar
kepribadian seseorang terbentuk pada masa anak-anak. Proses-proses
perkembangan yang terjadi dalam diri seorang anak ditambah dengan apa
yang dialami dan diterima selama masa anak-anaknya secara sedikit demi
sedikit memungkinkan ia tumbuh dan berkembang menjadi manusia
11
dewasa. Pada akhir abad ke 17, seorang filsuf Inggris bernama John Locke
(1632-1704) mengemukakan, bahwa pengalaman dan pendidikan
merupakan faktor yang paling menentukan dalam perkembangan
kepribadian anak (Gunarsa, 2008: 3-17).
b. Anak Rawan Tindak Kekerasan
Anak bermasalah sosial biasa disebut anak rawan, tingkat kerawanan
anak bisa dapat dipahami sebagai suatu situasi, kondisi, dan tekanan-
tekanan kultur maupun struktur yang menyebabkan mereka belum atau tidak
terpenuhi hak-haknya dan sering kali dilanggar hak-haknya. Hal itu
menyebabkan menjadikan mereka tersisih dari kehidupan normal dan
terganggu proses tumbuh kembangnya secara wajar. Kehidupan mereka
sering menjadi korban situasi sosial, tereksploitasi, dan mengalami
diskriminasi, serta perlakuan salah dari lingkungannya.
Gambaran mengenai persoalan sosial anak antara lain kekerasan
terhadap anak, anak jalanan, anak berhadapan dengan hukum, dan masalah
sosial lainnya. Anak-anak yang kategori rawan ini biasanya memang tidak
kelihatan dan suaranya pun nyaris tidak terdengar. Mereka tersembunyi di
kolong jembatan, hidup di rumah petak yang dihimpit gedung bertingkat,
ditampung di camp-camp pengungsian, dan berserakan di wilayah pedesaan
yang terisolir. Sehingga bila dibandingkan hiruk pikuk persoalan politik,
sepertinya persoalan anak rawan sama sekali tidak penting. Padahal di saat
yang sama, ketika eneergi dan perhatian elit politik telah terkuras habis
untuk berebut kekuasaan, maka tanpa dapat dicegah lagi setiap hari, atau
12
bahkan setiap jam, jumlah anak-anak yang membutuhkan perlindungan
khusus terus bertambah (Suyanto, 2013: 2).
Sebagai sebuah permasalahan sosial, disadari bahwa dalam menyikapi
persoalan anak rawan pemerintah bukan hanya dituntut untuk meningkatkan
perlindungan sosial dan santunan sosial seperti beasiswa bagi siswa miskin,
pelatihan program kejar paket A dan B bagi buruh anak yang terlanjur DO
(drop-out), atau upaya lain yang sifatnya karitatif semata. Lebih dari itu,
yang dibutuhkan anak-anak rawan itu sesungguhnya adalah sebuah
komitmen yang benar-benar serius, tidak hanya menjadi slogan politik
ketika Pemilu berlangsung, yang kemudian dioperasionalkan dalam bentuk
program aksi bersama yang konkret dan kontekstual, sesuai dengan prinsip-
prinsip dasar yang tercantum dalam KHA (konvensi hak anak) (Suyanto,
2013: 6).
Pemahaman mengenai anak rawan tindak kekerasan tidak terbatas
pada kekerasan yang terjadi dalam keluarga. Bisa saja faktor dari luar
keluarga menjadi penyebab terjadinya tindak kekerasan. Faktanya, tindak
kekerasan yang terjadi pada anak, kebanyakan dilakukan oleh pelaku yang
merupakan orang lain selain keluarga. Untuk itu, orang tua harus lebih
berhati-hati pada kemungkinan tindak kekerasan yang terjadi, serta
menghindari lingkungan yang rawan kekerasan pula.
c. Kekerasan Terhadap Anak
Menurut WHO, kekerasan adalah penggunaan kekuatan fisik dan
kekuasaan, ancaman atau tindakan terhadap diri sendiri, perorangan, atau
sekelompok orang atau masyarakat yang mengakibatkan atau kemungkinan
13
besar mengakibatkan memar atau trauma, kematian, kerugian psikologis,
kelainan perkembangan atau perampasan hak. Sedangkan menurut Thomas
Santoso dalam bukunya, Teori-Teori Kekerasan, kekerasan sendiri adalah
istilah untuk menggambarkan perilaku, baik terbuka maupun tertutup, dan
baik yang bersifat menyerang atau bertahan, yang disertai penggunaan
kekuatan kepada orang lain (Santoso: 2002).
Pada awal mulanya istilah tindak kekerasan pada anak (child abuse)
berasal dan mulai dikenal dunia kedokteran. Sekitar 1946, Caffey, seorang
radiologist, melaporkan kasus cedera yang berupa gejala klinik seperti patah
tulang panjang yang majemuk pada anak atau bayi tanpa diketahui
sebabnya. Kasus yang ditemukan Caffey ini makin menarik perhatian publik
ketika Henry Kempe menulis masalah ini di Journal of the American
Medical Association, dan melaporkan bahwa dari 71 rumah sakit yang ia
teliti, terjadi 302 kasus tindak kekerasan terhadap anak-anak, di mana 33
anak dilaporkan meninggal akibat penganiayaan yang dialaminya, serta 85
anak mengalami kerusakan otak yang permanen. Kemudian oleh Henry
Kempe, kasus penelantaran dan penganiayaan terhadap anak ini disebut
Battered Child Syndrome. Di sini yang diartikan sebagai tindak kekerasan
terhadap anak tidak hanya luka berat saja, termasuk luka memar atau
pembengkakan sekalipun dan diikuti kegagalan anak untuk berkembang
baik secara fisik maupun intelektual.
Menurut para ahli, tindak kekerasan atau pelanggaran hak-hak anak
diklasifikasikan setidaknya dalam empat bentuk:
14
1. Kekerasan fisik
Bentuk kekerasan ini adalah yang paling mudah dikenali. Tindakan
yang dikategorikan kekerasan fisik yaitu menampar, menendang,