i
i
ii
iii
iv
v
vi
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan yang Maha Kuasa atas kasih
dan kebaikan-Nya karena selalu menyertai dan selalu memberi pertolongan tepat pada waktu-
Nya. Penulis bersyukur Tuhan selalu memberikan hikmat dan kemampuan selama empat
tahun lebih dalam masa pendidikan di Fakultas Teologi Universitas Kristen Satya Wacana
Salatiga.
Tugas akhir ini adalah bukti dari penyertaan Tuhan dan merupakan akhir dari
sebagian perjuangan dalam menyelesaikan tugas dan kewajiban di Fakultas Teologi. Penulis
sangat bersyukur untuk pencapaian yang diperoleh. Selain tugas akhir ini dibuat untuk
persyaratan mencapai gelar sarjana sains dalam bidang Teologi (S.si-Teol), penulis pun
berharap agar karya tulis ini dapat bermanfaat dan menjadi berkat bagi pembaca. Karena
nilai-nilai kebudayaan begitu penting dan sangat berkaitan dengan kehidupan masyarakat.
Sehingga persoalan-persoalan sosial yang terjadi pun bisa di dekati dalam budaya-budaya
setempat. Untuk itu nilai-nilai yang terkandung dalam setiap kebudayaan haruslah diterapkan
dalam kehidupan sosial bermasyarakat.
Penulis
vii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL.............................................................................................. i
LEMBAR PENGESAHAN.................................................................................. ii
PERNYATAAN TIDAK PLAGIAT.................................................................. iii
PERNYATAAN PERSETUJUAN AKSES....................................................... iv
PERNYATAAN BEBAS ROYALTI DAN PUBLIKASI................................. v
KATA PENGANTAR......................................................................................... vi
DAFTAR ISI....................................................................................................... vii
UCAPAN TERIMA KASIH............................................................................... ix
MOTTO............................................................................................................... xii
ABSTRAK.......................................................................................................... xiii
1. Pendahuluan................................................................................................ 1
1.1 Latar Belakang..................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat.......................................... 3
1.3 Metode Penelitian................................................................................. 4
1.4 Sistematika Penulisan.......................................................................... 4
2. Landasan Teori........................................................................................... 5
2.1 Tarian.................................................................................................... 5
2.2 Tubuh..................................................................................................... 6
2.3 Gender dalam Kehidupan Masyarakat Alor...................................... 7
3. Hasil Penelitian............................................................................................ 9
3.1 Gambaran Tempat Penelitian............................................................ 9
viii
3.2 Pandangan Tokoh Adat Mengenai Makna Tarian Lego-Lego .................. 10
3.3 Kedudukan Laki-Laki dan Perempuan di Suku Abui ................................ 12
3.4 Pandangan Perempuan-Perempuan di Suku Abui mengenai Kedudukan
Mereka ............................................................................................................. 14
3.5 Faktor Penyebab Ketidakmunculan Kesetaraan Laki-Laki dan
Perempuan dalam Kehidupan Bermasyarakat ........................................... 15
4. Analisis Makna Tarian Lego-Lego dan Realita Kehidupan ............................. 16
5. Penutup…................................................................................................. 22
5.1 Kesimpulan......................................................................................... 22
5.2 Saran................................................................................................... 22
1. Bagi masyarakat suku Abui dan Alor….......................................... 22
2. Fakultas Teologi................................................................................. 23
Daftar Pustaka............................................................................................... 24
ix
UCAPAN TERIMA KASIH
Penulis mengucapkan terima kasih kepada :
1. Tuhan Yesus Kristus atas kasih dan kebaikan-Nya telah memberikan pertolongan,
penyertaan dan hikmat kepada saya dalam menjalani pendidikan dari September
2012-Juni 2017. Sehingga saya dapat menyelesaikan studi S1 di fakultas Teologi
dengan memperoleh gelar Sarjana Sains Teologi (S.Si-Teol).
2. Untuk Kedua orang tua, Papa Menas dan mama Nia tercinta serta opa, oma dan om-
om, tanta-tanta,(tanta no), bapa besar, mama besar, bapa ani jack, mama ani welly,
sepupu-sepupu, keluarga besar yang ada adi di Alor, Kupang (keluarga Lifu dan
basudara semua), Jakarta (bai minggus, nenek saudara-saudara dan kaka Ali serta
kaka Tia) dan keluarga besar di Surabaya terima kasih untuk semua yang selalu hadir
dengan penuh cinta kasih sayang dan telah memberikan dukungan, semangat,
motivasi, nasehat dan juga doa dalam menjalani pendidikan dan juga dalam proses
mengerjakan tugas akhir ini. Terkhusus juga untuk kaka Jeni dan kaka Anton, Kaka
Frid dan kaka Windy, Jean, dan Alfa yang selalu hadir mendukung, memberikan
semangat dan doa.
3. Dr. David Samiyono dan Ibu Astrid Bonik Lusi (wali studi) serta Ibu Ira mangililo
(wali studi) dan juga selaku dosen pembimbing yang selalu membimbing saya dalam
mengerjakan skripsi dengan tuntas. Terima kasih untuk masukan, saran, nasehat dan
juga pengalaman dan pembelajaran ketika saya menjalani proses dalam pendidikan
dan juga dalam mengerjakan penulisan tugas akhir ini.
4. Pdt. Ebenheizer I Nuban Timo yang telah memberikan arahan untuk saya menuliskan
tugas akhir dengan judul tersebut. Terima kasih juga kepada beliau dan juga ibu
Merry Rungkat yang telah mengevaluasi tugas akhir ini untuk menjadi lebih baik.
5. Seluruh dosen, ibu Budi, selaku TU dan juga staff yang selalu membantu dan
melayani kami mahasiswa/i dengan ketulusan hati.
6. Pdt. Elfrend Sitompul bersama keluarga yang telah menjadi orang tua bagi saya di
Salatiga yang juga menjadi supervisor selama saya menjalani pelayanan PPL I-IV di
x
GKMI Siloam Salatiga. Terima kasih untuk para satuan mejelis dan seluruh jemaat
yang selalu memberikan kesempatan yang seluasnya untuk sayan berpelayanan.
Terima kasih telah memberikan dukungan, semangat dan doa dalam proses
pendidikan sampai dengan menyelesaikan tugas akhir ini.
7. Terima kasih kepada ibu pendeta Helda, Ibu pendeta Ratu Pay, Ibu pendeta Loniwati
Kartunggu dan bapak pendeta Efa Singamou bersama satuan majelis jemaat GMIT
Betlehem Kalabahi yang mendukung saya serta mendoakan atas keberhasilan yang
saya peroleh.
8. Terima kasih kepada Bapak pendeta Mikael Karbeka bersama Istri dan anak-anak.
Serta para satuan majelis dan seluruh jemaat GMIT Galed Otvai, yang merupakan
jemaat di mana saya melayani selama 4 bulan dalam masa pendidikan praktek
pelayanan PPL X. Terima kasih untuk dukungan, motivasi dan doa yang diberikan
kepada saya dalam menjalani pendidikan.
9. Sinode GMIT yang menjadi wadah untuk mendukung saya dalam melakukan
pelayanan PPL X di wilayah GMIT.
10. Orang-orang tua dan masyarakat Abui yang telah berpartisipasi dan mendukung saya
dalam melakukan penelitian sampai selesai. Terima kasih untuk narasumber-
narasumber (Bapak, Martinus Alopada, Bapak Iskandar Lakamau, Bapak Abner
Yetimau, Bapak Ayub dan narasumber-narasumber lainnya) yang telah mengambil
bagian bersedia memberikan waktu untuk di wawancarai. Terima kasih kepada ibu
Eunike Malese-Molebila, Tika, Dheby, kaka Yulia Fantang dan om jhon yang telah
membantu dan mengantarkan dalam melakukan penelitian.
11. Kaka dan saudara serta adik-adik “Kelompok Tumbuh Bersama” (KTB), Kaka
Kezia, Fero, Putri, Egi dan Vina yang selalu hadir dalam susah mau pun senang untuk
memberikan motivasi, nasehat dan dukungan serta doa selama ini dalam melakukan
pendidikan terkhususnya pada waktu mengerjakan tugas akhir.
12. Teman-teman dan kaka-kaka di perkantas, terima kasih untuk waktu, kesediaan dan
telah memberikan kesempatan untuk saya melibatkan diri mengmbil bagian dalam
berpelayanan di perkantas dan menjadi angota dari perkantas di Kota Salatiga.
xi
13. Saudara-saudara dan sahabat-sahabat yang telah mendukung, memberikan semangat
dan doa serta selalu hadir melibatkan diri, mendukung saya dalam menyelesaikan
tugas akhir ini. Giovana, Inya Chaterina, Dewi, Widya, Dina, Ayu Rizki, Mita, Ayu
benu, Tri, Elen, Jean, Sasha, Majesti, Angel, Hesti, Kurnia, kaka Tia, Sri, Dian, Ira,
Kaka Nuke, Mia, Tera, Sarah, Tari, Hani, Rini, Srian. Tika, Fero Taenglote, Maya,
Mila dan Nining, kaka Kris.
14. Teman-teman teologi 2012 untuk kebersamaan, canda tawa, pengalaman hidup
bersama dalam menyelesaikan perkuliahan di fakultas Teologi ini. Terima kasih telah
menjadi keluarga, saudara yang selalu hadir untuk sama-sama saling medukung untuk
menyelesaikan tugas dan tanggung jawab dalam masa perkuliahan.
15. Terima kasih untuk orang-orang terdekat yang pernah hadir memberikan dukungan,
motivasi dan doa dalam menyelesaikan tugas-tugas kuliah dan juga telah memberikan
semangat dalam menyelesaikan tugas akhir ini.
xii
MOTTO
“Serahkanlah perbuatanmu kepada Tuhan, maka
terlaksanalah segala rencanamu”
Amsal 16:3
“Jangan setiap hari menghitung tuaian yang anda dapat,
tetapi hitunglah berapa benih yang anda tanam”
Papa
xiii
Abstrak
Tujuan yang ingin dicapai dari penulisan dan penelitian ini adalah mendeskripsikan
makna tarian lego-lego di suku Abui dan menganalisis faktor ketidakmunculan kesetaraan
perempuan dan laki-laki dari tarian lego-lego dalam kehidupan bermasyarakat suku Abui.
Tarian lego-lego adalah dasar dari budaya. Tarian lego-lego ditarikan pada saat ritual,
membangun rumah dan penjemputan tamu. Makna dari tarian lego-lego sebagai simbol
kemitraan yang sejajar dilihat dari formasi gerakan dan koreografi dari penari. Metode
penelitian yang digunakan yaitu metode kualitatif dengan jenis penelitian deskriptif. Teknik
pengumpulan data yang dipakai dalam penelitian kualitatif adalah wawancara. Hasil
penelitian menunjukan tarian lego-lego di suku Abui memiliki makna kesetaraan antara laki-
laki dan perempuan yang dilihat dari format dan gerakan penari. Tetapi dalam realitanya
makna dan nilai kesetaraan antara laki-laki dan perempuan yang terkandung dalam tarian
tersebut belum sepenuhnya diterapkan dalam kehidupan bermasyarakat. Untuk itu
masyarakat perlu untuk belajar dari tarian lego-lego yang memiliki nilai dan makna
kesetaraan antara laki-laki dan perempuan.
Kata kunci: Tarian lego-lego, Kesetaraan, Gender
1
1. Pendahuluan
1.1 Latar Belakang
Alor adalah wilayah kepulauan yang merupakan salah satu Kabupaten dari 16
Kabupaten/Kota di Provinsi Nusa Tenggara Timur. Kabupaten Alor memiliki 15 pulau yaitu,
9 pulau yang berpenghuni dan 6 pulau lainnya yang belum atau tidak berpenghuni sama
sekali.1 Alor memiliki beragam kebudayaan yang melekat, salah satunya ialah tarian lego-
lego.
Tarian lego-lego merupakan salah satu wujud identitas yang mengakar dalam
kehidupan masyarakat di Alor.2 Lego-lego dikatakan penting dan menjadi identitas bagi
masyarakat Alor karena, lego-lego biasa ditarikan saat upacara adat, upacara perayaan,
pernikahan, dan lain-lain. Lego-lego memiliki simbol kebersamaan artinya lego-lego
ditarikan secara bersama-sama tanpa membedakan ras, suku, maupun agama yang dianut.
Tarian lego-lego sering ditarikan secara jamak atau banyak oleh berbagai suku yang
ada di Alor. Tarian tersebut diiringi oleh alat musik yaitu gong. Tarian ini juga menggunakan
kafate (kain sarung) yang dijahit dengan benang buatan sendiri dari daun kapas ditenun dan
diberi motif sesuai keinginan. Beberapa suku yang ada di Alor memiliki format dalam
menarikan tarian lego-lego dengan cara jari kelingking digandeng dengan sesama jari
kelingking para penari. Uniknya tarian lego-lego dari suku Abui memiliki format yang
berbeda dengan lego-lego dari suku lain. Lego-lego dari suku Abui memiliki format silang-
seling antara laki-laki dan perempuan. Dalam tarian ini ada rangkulan antara anggota penari
dan kedua kaki penari digerakkan berirama sesuai dengan musik yang dimainkan.3
Rangkulan dan kebersamaan itu menggambarkan adanya rasa saling menghargai antara laki-
laki dan perempuan.
Tarian lego-lego tanpa seorang perempuan tidak berarti apa-apa. Hal ini
mencerminkan adanya peran antara laki-laki dan perempuan untuk saling melengkapi yaitu
bahwa laki-laki dan perempuan tidak bisa dipisahkan. Jika tarian lego-lego ditarikan secara
bersama-sama oleh laki-laki dan perempuan maka ada seni yang terlihat, sehingga membawa
1 http://www.bappenas.go.id/files/3113/5228/3135/9.pdf. Diakses 26 Oktober 2015
2http://kebudayaan.kemdikbud.go.id/bpnbbali/2015/04/15/lego-lego-tarian-tradisional-masyarakat-alor/.
Diakses 14 Oktober 2015
3https://pulaualorntt.wordpress.com/2014/03/15/58/. Diakses 14 Oktober 2015.
http://www.bappenas.go.id/files/3113/5228/3135/9.pdfhttp://kebudayaan.kemdikbud.go.id/bpnbbali/2015/04/15/lego-lego-tarian-tradisional-masyarakat-alor/https://pulaualorntt.wordpress.com/2014/03/15/58/
2
penonton pada penghayatan yang lebih mendalam. Perempuan dan laki-laki ada secara
bersama-sama dalam tarian lego-lego menunjukan adanya rasa nyaman, membutuhkan dan
menghargai satu dengan yang lain. Berdasarkan pra-penelitian di kota Kalabahi narasumber
yang merupakan tokoh masyarakat atau tokoh adat menjelaskan bahwa simbol kesetaraan
dalam tarian lego-lego ternyata tidak diperlihatkan dalam realita. Di dalam realita peran laki-
laki lebih mendominasi. Contohnya ketika dilakukannya acara adat dalam arti menentukan
hak bicara seringkali laki-laki yang lebih mendominasi dari pada perempuan.4 Ini adalah
persoalan gender karena tidak ada kesetaraan antara laki-laki dan perempuan dalam realita.
Menurut Robert Stoller, gender sebagai konstruksi sosial yang dibangun dan
dikenakan oleh dan pada kebudayaan manusia.5 Akibatnya gender berkaitan dengan
pembedaan peran laki-laki dan perempuan dalam bertindak sesuai dengan tata nilai yang
terstruktur, ketentuan sosial dan budaya dimana mereka berada.6 Menurut Indrayoga bahwa
masalah yang seringkali dialami oleh perempuan ialah bagaimana mengangkat peran
perempuan di dalam masyarakat. Ia melihat adanya ketimpangan antara peran perempuan dan
laki-laki yang terletak pada masalah pola pikir. Kaum laki-laki sering berpikir bahwa
perempuan berada pada satu tingkat di bawah mereka. Oleh sebab itu perempuan pun merasa
bahwa diri mereka adalah manusia yang lebih rendah.7 Ketidakadilan gender, terdapat dalam
adat istiadat masyarakat di bawah kelompok etnik, dalam budaya suku-suku dan dalam
keagamaan. Ketidakadilan terjadi ketika interaksi dan pengambilan keputusan dalam
masyarakat serta pembagian kerja dalam keluarga menggunakan asumsi bias gender.
Pemahaman ketidakadilan gender telah mengakar dan tidak dapat diubah bahkan sudah
menjadi ideologi bagi perempuan dan laki-laki.8 Situasi tersebut dapat dilihat dalam
masyarakat patriarki, yang sering beranggapan bahwa laki-laki berada pada posisi superior,
dan berkuasa dalam ruang publik. Sedangkan peran perempuan harus berada pada ranah
domestik yang memiliki pengabdian sebagai ibu rumah tangga.9 Secara langsung perempuan
4Hasil Wawancara dengan Tokoh Masyarakat M.A. 17 Desember 2015
5 Riant Nugroho, Gender dan Strategi Pengarus Utamaannya Di Indonesia (Yogyakarta:Pustaka
Pelajar,2011),2-3 6 Nugroho. Gender...6
7 Eka Martiningsih, Jurnal Studi Pembangunan Interdisiplin (Salatiga:Program Pascasarjana UKSW, 2008-2009),
177 8Mansour Fakih, Analisis Gender dan Transformasi Sosial (Yogyakarta:Pustaka Pelajar,2012), 23
9 Muhadjir Darwin dan Tukiran, Menggugat Budaya Patriarkhi (Yogyakarta:Universitas Gajah Mada, 2001), 4
3
dipenjarakan untuk terus menerus melayani keluarga tanpa mendapat imbalan kecuali
makanan dan pakaian. 10
Berdasarkan penjelasan diatas maka penulis melihat adanya ketidaksesuaian antara
peran laki-laki dan perempuan yang terlihat dalam tarian lego-lego dalam masyarakat suku
Abui. Ketidaksesuaian peran tersebut bisa jadi berkaitan dengan persoalan gender. Sehingga
dalam tugas akhir ini, penulis ingin melihat, meneliti dan menganalisis mengenai makna
tarian lego-lego sebagai simbol kemitraan yang sejajar berdasarkan pada pendekatan studi
gender atas tarian lego-lego di suku Abui.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan penjelasan latar belakang diatas maka yang menjadi pertanyaan rumusan
masalah dalam penelitian adalah :
Apa makna tarian lego-lego di suku Abui?
Mengapa kesetaraan perempuan dan laki-laki dalam tarian lego-lego tidak muncul
dalam kehidupan bermasyarakat Suku Abui?
1.3 Tujuan Penelitian
Berdasarkan pertanyaan rumusan masalah tersebut maka tujuan dari penelitian ini
adalah :
Mendeskripsikan makna tarian lego-lego di suku Abui
Menganalisis faktor ketidakmunculan kesetaraan perempuan dan laki-laki dari tarian
lego-lego dalam kehidupan bermasyarakat suku Abui
1.4 Manfaat Penelitian
Penelitian ini dilakukan guna memahami makna tarian lego-lego ditinjau dari
perspektif gender sehingga dapat melengkapi penelitian-penelitian yang telah dilakukan
terutama membahas tentang permasalahan gender dalam budaya-budaya lokal. Sebagai
sumbangan pemikiran dari penulis kepada masyarakat di Alor terkhususnya masyarakat di
suku Abui. Sehingga masyarakat tersebut dapat memahami dan menerapkan kemitraan yang
sejajar antara laki-laki dan perempuan dengan belajar dari tarian lego-lego yang menjadi
10
Nawal EL Saadawi, Perempuan Dalam Budaya Patriarki (Yogyakarta:Pustaka Pelajar,2001), 372
4
identitas dari masyarakat di suku Abui. Penelitian ini juga memberi sumbangsi kepada
masyarakat di Alor terkhususnya masyarakat di suku Abui.
1.5 Metode Penelitian
Penulis menggunakan metode penelitian deskriptif yang bertujuan untuk memahami
pandangan-pandangan mengenai makna dari tari-tarian yang dilakukan yang berhubungan
dengan perspektif gender. Pendekatan yang digunakan ialah kualitatif, karena penulis ingin
berusaha menggali apa makna dari tarian lego-lego yang menjadi ciri khas dari masyarakat
Alor terutama di suku Abui.
Cara penulis mengumpulkan data adalah melalui dokumentasi, observasi dan
wawancara mendalam dengan informan kunci (terutama tokoh adat dan masyarakat suku
Abui, Alor Tengah Utara).11
Pendekatan kualitatif sangat bermanfaat karena mempunyai
kekuatan dan mampu memiliki beragam sumber data. Sumber data dalam penelitian ini
diperoleh melalui wawancara mendalam dengan tokoh adat dan masyarakat suku Abui.
Pengamatan terhadap tarian lego-lego untuk memahami makna dan pandangan tarian lego-
lego dalam perspektif gender yang implikasinya bagi masyarakat suku Abui, serta melalui
dekomentasi, berupa gambar, literatur dan video.12
1.6 Sistematika Penulisan
Penelitian ini ditulis berdasarkan jurnal-jurnal ilmiah yang berlaku secara umum.
Bagian pertama menjelaskan tentang latar belakang, rumusan masalah, tujuan, manfaat
penelitian, metode penelitian, dan sistematika penulisan
Bagian kedua, menjelaskan tentang teori yang berkaitan dengan tarian dan pandangan
mengenai gender. Bagian ketiga berisi hasil penelitian dari lapangan.
Bagian keempat berisi Analisis, pembahasan terkait teori yang digunakan dan hasil
penelitian.Bagian kelima kesimpulan dan saran
11
John W. Creswell, Research Design Pendekatan Kualitatif Kuantitatif dan Mixed (Yogyakarta:Pustaka Pelajar, 2013),261 12
Creswell. Research Design Pendekatan Kualitatif Kuantitatif...261
5
2. Landasan Teori
Pada bagian ini terdiri dari pengertian tarian yang membahas tentang gerakan dan
koreografi sebagai sebuah refleksi dari kehidupan. Pandangan tentang tubuh yang berkaitan
dengan gender dan penjelasan gender dalam kehidupan masyarakat Alor.
2.1 Tarian
Tarian lebih dari bentuk seni yang paling dasar dalam sebuah kinerja, yaitu tarian
dapat melibatkan semua indra. Tarian adalah dasar dari keberadaan manusia di dunia. Tidak
ada budaya tanpa tarian. Tarian di pakai secara bersama-sama sebagai sebuah pertunjukan
irama untuk menyampaikan dasar perasaan tentang seks dan kekerasan.Tarian adalah “bahasa
alami,” karena melalui tarian setiap manusia dapat menyampaikan makna pada sebuah
pertunjukan, yang diiringi dengan musik dan kostum. Tarian memiliki beragam bentuk dan
beragam fungsi.13
Tarian adalah simbol dari setiap kebudayaan. Pemaknaan terhadap tarian dalam
kebudayaan tidak bisa diakses secara langsung oleh para penonton. Namun setiap gerakan
dalam tarian menghasilkan nilai keindahan sebagai simbol dari cara hidup.14
Johnstone
Mengemukakan gerakan dari tarian adalah sumber penghayatan dan pengetahuan yang
penting dan mendalam.15
Tarian sangat penting dalam setiap kebudayaan, karena tarian memiliki fungsi dan
makna tersendiri. Maka untuk menciptakan gerakan yang indah guna menyampaikan sebuah
makna perlu adanya sebuah koreografi.
Koreografi bukan saja untuk menampilkan sebuah pertunjukan dalam sebuah tarian,
tetapi ada makna dalam setiap koreografi dari tarian. Dalam Perwujudan fenomena manusia
pada saat adanya pengurangan kultural teks. Tarian tidak hanya di sampaikan melalui teks
tetapi bisa disampaikan melalui koreografi.16
Tarian juga memiliki tiga komponen terkait
yaitu, gerakan,musik dan representasi. Tarian selalu melibatkan tubuh manusia, khususnya
pada performa tubuh. Dalam perspektif antoropologi, tujuan tarian melibatkan irama yang
13
Bryan S. Turner, The Body & Society (London: SAGE Publications,2002),214 14
Theresa Jill Buckland, Dancing From Past To Present (United States of America:Library of Congress Cataloging-in-Publication Data,2006),14-15 15
Karen Nicole Barbour,Dancing Across The Page Narrative and Embodied Ways Of Knowing (USA: Intellect,
The University of Chicago Press,2011), 89 16
Turner. The Body... 215
6
sudah diatur dan memiliki urutan yang bermotif pada gerakan tubuh non-verbal sehingga
dari gerakan tersebut menghasilkan nilai estetika.17
2.2 Tubuh
Gerakan dalam tarian selalu melibatkan tubuh. Karena tubuh mempunyai peranan
dalam menyampaikan makna dan nilai-nilai sosial sebagai cerminan dari kehidupan
masyarakat. Tubuh begitu penting, untuk itu tubuh selalu dikaitkan dalam berbagai aspek
kehidupan.
Dalam tata cara tradisional, tarian adalah pemberi aura atau anugerah sebagai dasar
dari karisma. Aura dari tarian dapat disalurkan bersama tiga dimensi yaitu, agama,
seksual dan politik. Tubuh manusia, adalah instrumen yang paling tersedia untuk
digunakan dalam menyampaikan makna dan emosi. Tubuh memainkan peran
penting sebagai ekspresi masyarakat secara keseluruhan. Hal ini memiliki kapasitas
langsung untuk mengekspresikan nilai-nilai sakral, seksualitas dan kekuasaan.18
Dalam hal ini tubuh telah dimanfaatkan untuk proyek modern
kedaulatan karena tubuh merupakan sarana yang ampuh untuk mengekspresikan
nilai-nilai sosial. 19
Rosi Braidottin mengungkapkan tubuh adalah perpaduan fisik, simbolis dan
sosiologis.20
Tubuh adalah bagian yang terpenting dari manusia. Tubuh pun memiliki arti atau
makna dari setiap aspek kehidupan manusia. Ada berbagai macam pandangan tentang tubuh,
yaitu tubuh yang berkaitan dengan tarian dan tubuh yang berkaitan dengan gender. Untuk itu
tubuh pun sebagai sarana yang penting dalam mengekspresikan nilai-nilai sosial, dan makna
dalam aspek tarian dan gender.
Dalam masyarakat, tubuh dari penari juga di pandang sebagai situs yang menjelaskan
hubungan kekuasaan dan praktek dari makna bernegosiasi.21
Elizabeth Grosz
mengungkapkan tubuh selalu tidak teruraikan secara khusus pada seksual, tetapi seharusnya
tubuh saling mengikat dengan ras, budaya dan ciri khas kelas.22
Feminis sekuler menolak pandangan tentang teologi tubuh, karena mereka
beranggapan bahwa tubuh sebagai situs penindasan bagi perempuan. Hal tersebut sama
17
Turner. The Body...214 18
Turner. The Body...216-217 19
Turner. The Body... 220 20
Barbour. Dancing Across The Page Narrative...8 21
Susan Leigh Foster, Dancing Knowledge Culture And Power (USA and Canada: Routledge,1996),180 22
Carolyn Pedwell, Feminism, Culture and Embodied Practice (New York: Routledge, 2010),53
7
halnya dengan pandangan dari Feminis Kristen, mereka pun menyadari bahwa tubuh
perempuan diharapkan untuk membawa beban berat di bawa teologi patriarki.23
Seperti abad
kedua, dari ajaran sebagian orang-orang Kristen Gnostik, tubuh tidak ada kaitannya dengan
Tuhan, melainkan tubuh berasal dari pembrontakan terhadap dirinya sendiri. Tetapi Kristus
datang untuk membebaskan manusia dari belenggu persoalaan,
termasuk diferensiasi gender.24
Teori Friedrich Nietzsche, Michel Foucault dan Judith Butler mereka
mempertahankan pandangannya bahwa identitas tubuh dapat terbentuk melalui pengulangan,
yaitu dari sebuah tindakan, melalui formasi adat dan kebiasaan. Untuk itu tubuh dilatih
mengulang perbuatan baik, dalam melakukan norma-norma budaya melalui pengulangan
pertunjukan yang naturalisasi dan mulus dari pada transparan.25
Secara rasional, Burt menyoroti sifat representasi gender dalam tarian Barat. Burt pun
berpendapat representasi gender di bentuk oleh simbol diskursif dan afektif ideologis yang
dihasilkan secara historis dan sosial serta direpresentasi ke dalam tarian, yang bergantung
pada keyakinan tentang tubuh dan gender.26
Burt berpendapat bahwa “representasi gender dalam bentuk budaya,
termasuk tari teater tidak hanya mencerminkan perubahan sosial definisi
feminitas dan maskunilitas, tetapi secara aktif terlibat melalui proses gender
itu dibangun.”27
2.3 Gender dalam Kehidupan Masyarakat Alor
Ketika berbicara tentang gender, ada banyak hal yang menggambarkan tentang
gender dalam kehidupan masyarakat yaitu, ketimpangan, ketidakadilan dan ketidaksetaraan
antara laki-laki dan perempuan. Permasalahan ketidakadilan ini pun seringkali dialami oleh
kaum perempuan dalam kehidupan sosial.
Pudjiwati Sajogyo, menjelaskan beberapa masalah yang dihadapi oleh wanita jawa
khususnya di pedesaan, salah satunya ialah wanita memiliki dua posisi atau status selain
sebagai istri, ibu rumah tangga, atau sebagai anak gadis wanita pedesaan juga dapat
23
Lisa Isherwood and Elizabeth Stuart,Introducing body Theology (England: Sheffield Academic,1998),15 24
Isherwood and Stuart. Introducing body Theology...65 25
Elisabeth Schwaiger, Ageing, Gender, Embodiment and Dance (England:Palgrave Macmillan, 2012),6 26
Elisabeth Schwaiger. Ageing, Gender... 28 27
Elisabeth Schwaiger. Ageing, Gender...29
8
melakukan pekerjaan mencari nafkah. Dalam menjalankan pekerjaan rangkap dua tersebut,
waktu yang digunakan oleh wanita terbilang lebih banyak dibandingkan oleh kaum lelaki.
Peranan wanita sebagai pencari nafkah terbukti, contohnya di Afrika, Vietnam dan India
Utara, semua pekerjaan kebun yaitu membersihkan, membakar, menanam, mengambil dan
menyimpan dilakukan oleh wanita. Tetapi khusus laki-laki dewasa hanya menebang pohon
saja.28
Menurut Pdt. Frederik Pulinggomang, dalam kepercayaan agama suku, perempuan
sama seperti seorang pembantu. Seorang perempuan juga memiliki posisi nomor dua yang
sama dengan anak yang dilahirkannya. Kepercayaan ini ada dan bertahan sampai dengan
sekarang ini. Keadaan seperti ini, membuat tokoh masyarakat yaitu Pdt Dina Takalapeta-
Meler memiliki perhatian khusus untuk menggambarkan kisah dan keadaan perempuan-
perempuan Alor. Menurutnya perempuan Alor adalah seorang pekerja keras, bukan saja
bekerja di rumah tetapi, di pasar, kebun, menenun dan lain-lain. Dalam bekerja perempuan
Alor memiliki jam kerja yang lebih panjang dari pada laki-laki. Semua kegiatan produksi
dikerjakan oleh kaum perempuan, dan kaum pria memiliki hak untuk mengambil ahli semua
akses ke pasar. Dalam arti hasil harga pasar menjadi hak dari kaum pria bukan menjadi hak
dari kaum perempuan yang memiliki usaha yang lebih besar.29
Ketidakadilan berikut yang dialami perempuan menurut Dina Takalapeta Meler ialah
perempuan tidak memiliki hak suara ketika dalam proses pengambilan keputusan. Perempuan
hanya berperan pada urusan domestik membuat dan menyediakan makanan serta minuman.
Perempuan di nilai sopan apabila melayani tamu dalam pertemuan yang diadakan. Padahal
menurutnya perempuan Alor juga memiliki potensi yang luar biasa ketika ada kesempatan
yang diberikan kepada mereka.30
Menurut Simeon Awang dan Yohana Sir yang pernah menjadi tenaga pelatihan
Gender di Alor. Kendala yang besar dalam menerapkan keadilan gender di Alor adalah
sistem sosial budaya masyarakat Alor yang memposisikan perempuan pada kalangan nomor
dua. Hal ini yang membuat perempuan seringkali mendapat perlakuan ketidakadilan gender.
Dalam pelatihan yang dilaksanakan, mereka memakai empat kajian untuk melihat
ketidakadilan gender yaitu; program kerja antara laki-laki dan perempuan, lembaga desa, 28
Pudjiwati Sajogyo, Peranan Wanita dalam Perkembangan Masyarakat Desa (Jakarta:CV Rajawali,1983), 22-23,28 29
Josep Lagadoni Herin, Perempuan Alor di Tapak-Tapak Perjalanan Pemberdayaan (Jakarta:Yayasan Nuba Raja Lagadoni,2015), 67-68 30
Herin. Perempuan Alor...70-71
9
pengambilan keputusan dan pembebanan kerja. Hal ini dikarenakan ketidakadilan gender
adalah dominasi kaum laki-laki dan ketidakseimbangan jam kerja antara laki-laki dan
perempuan. Beban kerja yang tidak seimbang, tidak ada kesempatan bagi kaum perempuan
di lembaga-lembaga desa seperti (LKMD, BPD dan lain-lain), serta dalam pengambilan
keputusan perempuan tidak punya hak apa-apa.31
3. Hasil Penelitian
Pada bagian ini, akan membahas tentang letak lokasi tempat penelitian dan pandangan
tokoh-tokoh adat mengenai makna tarian lego-lego dan kedudukan laki-laki dan perempuan
di suku Abui. Pandangan perempuan-perempuan di suku Abui mengenai kedudukan mereka
dan faktor penyebab ketidakmunculan kesetaraan antara laki-laki dan perempuan dalam
kehidupan bermasyarakat.
3. 1 Gambaran Tempat Penelitian
Kampung Tradisional Takpala, desa Lembur Barat kecamatan Alor Tengah Utara.
Dengan batas-batas wilayah, yaitu;
Sebelah Timur adalah Alor Timur Laut
Sebelah Utara adalah Laut Flores
Sebelah Barat adalah Kecamatan Teluk Mutiara
Sebelah Selatan adalah Kecamatan Alor Selatan dan Kecamatan Mataru.32
Masyarakat yang tinggal di kampung Takpala berjumlah 13 KK dengan jumlah
sebanyak 33 Jiwa.33
Selain masyarakat yang tinggal di kampung Takpala, ada pun
masyarakat asli suku Abui yang tinggal tidak jauh dari kampung tradisional tersebut.
Kampung Takpala memiliki suasana yang tenang dan jauh dari kebisingan.
Kehidupan kerja sehari-hari masyarakat di suku Abui adalah petani dan nelayan.34
Kampung
Takpala di sebut kampung tradisional karena budaya Alor khususnya suku Abui masih sangat
kental dan nilai-nilai budaya masih sangat nampak. Sehingga dalam sehari selalu ada turis
lokal atau turis dari mancanegara yang berkunjung ke kampung tradisional Takpala untuk
melihat budaya-budaya lokal yang ada.
31
Herin. Perempuan Alor...74-75 32
Hasil Wawancara dengan Tokoh Masyarakat I.L. 14 Mei 2017 33
Hasil Wawancara dengan Tokoh Adat A.A. 19 April 2016 34
Hasil Wawancara dengan Tokoh Adat A.Y . 18 April 2016
10
3.2 Pandangan Tokoh-Tokoh Adat Mengenai Makna Tarian Lego-Lego
Narasumber pertama, menjelaskan terlebih dahulu arti dari tarian lego-lego yaitu,
lego-lego dalam bahasa Abui Luk dan Yai, “Luk” artinya “tunduk” “Yai” artinya
“menyanyi.” Untuk itu ketika menarikan tarian lego-lego harus dalam keadaan tunduk dan
bernyanyi. Gambaran dari tunduk ialah ketika memohon segala sesuatu harus “tunduk atau
menudukkan kepala” dengan penuh kerendahan hati.
Tarian lego-lego dinyanyikan pada acara ritual, membangun rumah dan penjemputan
tamu. Ada nyanyian yang mengiringi dalam tarian lego-lego. Tergantung pada acara saat
tarian lego-lego ditarikan. Dalam wawancara dengan narasumber bapak A.Y beliau hanya
menjelaskan bahwa ketika tarian lego-lego ditarikan pada saat ritual memohon berkat pada
“lahatala.” Ritual tersebut dilakukan sejak dahulu kala. Ada dua nyanyian yang mengiringi
tarian lego-lego dalam ritual tersebut. Nyanyian pertama,
Se...le lo..’o..ho e he...aa o heea
Nyanyian yang kedua,
Wilnang..wilmayole.. Mbo’kae.. pekal mitiee..
Iyala ngaboarnaliang piyeti fol natiee
Bumayang kalokloopi.. Bilulang kohookalolre
Welasaku ho anghare Koraniee Mayee ayokolieei
Koisoritaadeng lamiaba an’dri lulanglaka nak’daeeri
Lasaku totileyeii.. loko dudang ngae putnateabae
Ngriilukdaee yukotohamaieree.. riwanghayiu torafaibaiko..
Solindei peaa’nahai mbul riliyang peana’ba.
Meskipun lirik tersebut sering dinyanyikan tetapi terkadang artinya pun tidak
dipahami oleh penari. Tetapi beliau mengatakan ia hanya memahami arti dari lirik dalam
nyanyian kedua. Yaitu,
“semua anak laki-laki dan perempuan dari jauh dekat, dari timur dan barat kita
berkumpul bersama. Kita memohon berkat. Besok atau lusa musim usaha ladang kita
11
masing-masing menuju ladang, kita masuk di hutan tidak ada malapetaka dan mohon sang
pencipta untuk memberikan hasil untuk anak-anak.”
Tarian lego-lego adalah dasar dari budaya. Tarian lego-lego ditarikan pada saat ritual,
membangun rumah dan penjemputan tamu. Suku Abui juga memiliki salah satu ritual yaitu
“tifoltol” artinya” tanam bambu di mezbah.” Setelah acara lego-lego selesai bambu di tebang
atau di potong menjadi tiga bagian, yang dilambangkan dari tiga suku yaitu suku Marang,
Aweni dan Kapitang. Kepercayaan tersebut dipercayai bahwa ketika bambu tersebut di
pasang semua berkat datang melalui bambu tersebut.
Pada saat membangun rumah, semua anggota keluarga berkumpul. Dalam
pembuatan rumah suku, semua anggota keluarga ke hutan untuk mencari bahan. Kapak dan
parang yang digunakan diletakkan diatas mezbah dan semua keluarga bersama-sama
menarikan tarian lego-lego untuk memohon berkat agar tidak ada halangan dan malapetaka.
Ketika tarian lego-lego ditarikan dalam acara penjemputan tamu, tujuannya hanya sekedar
menunjukan tentang nilai budaya dari suku Abui.
Makna tarian lego-lego yaitu menunjukan pada sebuah perdamaian. Dari formasi
tarian lego-lego, laki-laki dan perempuan diibaratkan sepaket yaitu tidak bisa dipisahkan
antara satu dengan yang lain. Bumi adalah perempuan dan langit adalah laki-laki, dalam arti
laki-laki dan perempuan itu sama dan setara. Diibaratkan seperti bumi dan langit karena
adanya satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan. Ketika tarian lego-lego ditarikan,
perempuan diunggulkan yaitu perempuan memiliki posisi paling ujung atau sebagai
pembuka jalan. Namun, laki-laki tetap memiliki kedudukan dan memegang kekuasaan yang
paling tertinggi dalam menarikan tarian tersebut. Tetapi menurut narasumber laki-laki dan
perempuan selalu dianggap sama.35
Narasumber kedua mengatakan tarian lego-lego di suku Abui terlihat unik karena ada
percampuran antara laki-laki dan perempuan. Format dari tarian lego-lego adalah 1 laki-laki
dan 2 perempuan begitu seterusnya menjadi satu lingkaran. Dikarenakan menurut orang-
orang tua, ketika melakukan suatu acara adat yaitu membuat rumah dan berkebun tidak saja
dilakukan oleh laki-laki tetapi perempuan juga harus ikut serta dalam melakukan acara adat
tersebut. Kebersamaan ini dilambangkan dalam formasi tarian lego-lego. Yaitu, adanya
rangkulan antara satu penari dengan penari yang lain. Formasi rangkulan tersebut
35
Hasil Wawancara dengan Tokoh Adat A.Y. 18 April 2016
12
melambangkan kesatuan, persatuan dan keeratan yang tidak bisa dilepaskan. Untuk itu laki-
laki dan perempuan tidak bisa dipisahkan dalam tarian lego-lego. Dalam formasi pun,
perempuan harus terlebih dahulu membuka jalan dalam menarikan tarian lego-lego dan
untuk menutup formasi lingkaran adalah seorang laki-laki. Narasumber mengatakan laki-laki
dan perempuan harus saling menghargai satu dengan yang lain, mereka adalah teman hidup.
Persatuan kesatuan dan kebersamaan lebih diutamakan dalam tarian lego-lego. Untuk itu
seorang ibu tidak dianggap rendah oleh seorang bapak.36
Narasumber ketiga, selaku narasumber dalam pra penelitian mengakui makna dalam
tarian lego-lego menggambarkan pada sebuah kesetaraaan. Ketika ada rangkulan antara laki-
laki dan perempuan maka memperlihatkan adanya rasa saling membutuhkan antara kedua
belapihak. Keunikan dari tarian lego-lego ialah ketika dalam menarikan tarian tersebut akan
memperlihatkan bahasa tubuh (cara berangkulan) yang menggambarkan kesetaraan untuk
saling menghargai antara, laki-laki dan perempuan, agama, suku dan lain-lain. Berbeda ketika
rangkulan itu terjadi diluar lingkaran tarian lego-lego yang dilakukan oleh laki-laki dan
perempuan, karena itu akan menimbulkan persoalan sosial dan keluarga. Oleh karena itu
tarian lego-lego sangat memiliki makna yang mendalam bagi hubungan kekeluargaan, agama,
suku dan hubungan kesetaraan antara laki-laki dan perempuan.37
3.3 Kedudukan Laki-Laki dan Perempuan di Suku Abui.
Dalam dunia kerja yang memiliki beban kerja terbanyak adalah kaum perempuan atau
seorang ibu. Contohnya pada saat bertani, pada pagi hari seorang laki-laki atau seorang bapak
harus terlebih dahulu pergi bekerja. Sedangkan perempuan atau seorang ibu, harus
menyelesaikan perkerjaan rumah tangga sebelum menyusul sang suami pada siang hari untuk
membawakan makanan.
Secara umum gambaran tentang pendidikan. Masyarakat suku Abui menyadari
bahwa, pendidikan sangat penting bagi kehidupan laki-laki dan perempuan. Untuk itu dalam
dunia pendidikan ketiga suku yang ada didalam suku Abui yaitu, suku Marang, Aweni dan
Kapitang sudah mengakui bahwa, perempuan harus mendapatkan pendidikan yang layak.
Namun, kekerasan secara verbal masih dirasakan oleh kaum perempuan. Narasumber
pun menjelaskan bahwa jika dalam sebuah keluarga secara turun-temurun kehidupannya di
36
Hasil Wawancara dengan Tokoh Adat A.A. 19 April 2016 37
Hasil Wawancara dengan Tokoh Masyarakat M.A. 17 Desember 2015
13
liputi dengan kekerasan, maka pada generasi berikutnya kekerasan itu akan tetap ada
meskipun sedikit yang nampak. Ketika kekerasan itu terjadi, cara menangani permasalahan
tersebut ialah, keluarga korban harus melaporkan terlebih dahulu kepada tua-tua adat,
kemudian laki-laki tersebut harus didenda. Tujuan dari denda tersebut ialah untuk membuat
suatu perdamaian antara kedua bela pihak.
Suku Abui juga memiliki rumah adat. Rumah tersebut layaknya seperti rumah
panggung dengan memiliki 4 tingkatan. Pada tingkat kedua di pakai untuk tidur. Pembagian
tempat tidur pun berbeda-beda. Perempuan akan tidur didalam dan laki-laki akan tidur diluar
rumah. Tempat tidur dari laki-laki di sebut “ lik habang” dan tempat tidur perempuan di
sebut “lik homi.” Dalam arti, perempuan selamanya dirumah, semua urusan rumah tangga
yang melakukannya adalah perempuan. Meskipun suami istri tetapi seorang perempuan
harus tidur di sebelah bawah dekat “tungku” atau tempat untuk memasak. Tidak pernah
terlintas di pikiran seorang laki-laki untuk menggantikan posisi perempuan yang tidur di
dekat “tungku.” Dalam pemahamannya laki-laki tidak diidentik dengan memasak.
Hal berikutnya adalah pengambilan keputusan. Pada saat pertemuan adat perempuan
di berikan kesempatan untuk berbicara, tetapi untuk pengambilan keputusan laki-lakilah yang
memiliki hak dalam pengambilan keputusan tersebut. Karena laki-laki di gambarkan sebagai
lidah mezbah. Contohnya, pada saat pengambilan keputusan untuk membangun rumah, laki-
laki yang memiliki hak.38
Menurut narasumber, kaum laki-laki dan perempuan di suku Abui tidak selalu
dibedakan. Namun, sepanjang sejarah yang menjadi tua-tua adat dari suku Abui adalah
seroang laki-laki, belum ada perempuan yang menjadi tua-tua adat dari suku Abui.
Hal berikutnya ialah ketika membuat gudang adat, laki-laki dan perempuan memiliki
tugas yang berbeda-beda. Laki-laki ke hutan untuk mencari bahan dan perempuan tugasnya
adalah memasak. Dalam arti perempuan memberi makan laki-laki sebelum mereka pergi
bekerja. Menurutnya, ini menggambarkan adanya rasa saling membutuhkan antara kedua
belapihak. Sedangkan pada saat pertemuan adat, perempuan juga memiliki kesempatan
untuk menyampaikan keperluan-keperluan dalam acara membuat gudang tersebut.
Contoh berikutnya, belis atau moko. Moko adalah mas kawin orang Alor. Ketika
seorang laki-laki mencari moko, seorang ibu harus terlebih dahulu mengurusi seorang laki-
38
Hasil Wawancara dengan Tokoh Adat A.Y. 18 April 2016
14
laki dengan memberi makan terlebih dahulu. Untuk itu seorang perempuan harus bekerja,
menumbuk jagung dan padi. Menurut narasumber, ketika menyiapkan semuanya perempuan
merasa kelelahan.39
Menurut narasumber, ketika ada masalah yang dihadapi oleh perempuan dan laki-laki.
Maka mereka harus di perhadapkan pada tua-tua adat. Contohnya, jika didalam rumah ada
pertengkaran yang terjadi, maka harus seorang bapak atau seorang paman tertua yang
menangani dan mendamaikan mereka. Hal berikut, pada saat memberikan pendapat,
perempuan dan laki-laki diwajibkan memberikan pendapat dan pendapat tersebut harus di
terima. Mengenai pendidikan menurut narasumber, pada saat ini pendidikan yang terpenting.
Perempuan dan laki-laki harus disekolahkan. Sesuai kemampuan ekonomi dan kemampuan
inisiatif serta pemahaman dari orang tua.40
3.4 Pandangan Perempuan-Perempuan di Suku Abui mengenai Kedudukan
Mereka.
Narasumber mengatakan, pada saat pertemuan adat berlangsung, perempuan juga di
berikan kesempatan untuk menyampaikan pendapat. Tetapi yang lebih dominan untuk
berbicara, menyampaikan pendapat dan mengambil keputusan adalah laki-laki. Karena dari
dahulu kaum perempuan tidak di berikan hak untuk mengambil sebuah keputusan. Menurut
Narasumber untuk pendidikan, baik anak laki-laki atau perempuan dua-duanya sangat
penting. Tetapi jika dalam keluarga memiliki pendapatan ekonomi yang rendah, maka yang
layak untuk mendapatkan pendidikan adalah anak-laki-laki. Karena seorang laki-laki akan
tinggal bersama-sama dengan orang tua dan perempuan akan meningalkan orang tuanya dan
tinggal bersama suaminya. Untuk itu yang lebih pantas mendapatkan pendidikan adalah
seorang laki-laki.
Menurut narasumber, ketika bekerja di kebun laki-laki dan perempuan memiliki kerja
sama yang baik dalam berkebun. Tetapi menurutnya beban kerja yang paling berat sering
dialami oleh perempuan. Contohnya, memasak, pergi ke kebun dan menjual hasil dipasar,
ketiga hal ini sering dilakukan oleh kaum perempuan. Hal berikutnya, ketika ada
permasalahan yang dialami dalam keluarga. Contohnya, pertengkaran antara suami dan istri.
39
Hasil Wawancara dengan Tokoh Adat A.A. 20 April 2016 40
Hasil Wawancara dengan Tokoh Adat S.H. 20 April 2016
15
Meskipun seorang istri memiliki sikap yang benar ia harus mengalah dan tetap diam.
Sehingga pertengkaran tersebut tidak berlanjutan menjadi pertengkaran yang besar.41
Menurut ibu P.M waktu kerja dan beban kerja paling berat sering dialami oleh kaum
perempuan. Contohnya, pagi-pagi benar sekitar pukul 04:00 WITA bangun tidur dan
membereskan pekerjaan rumah. Ia akan pergi berkebun sekitar pukul 08:00 WITA sampai
pukul 16:00 WITA. Ia merasakan bahwa hal tersebut berat, tetapi ini sudah menjadi sebuah
kebiasaan dari dahulu sampai sekarang. Sehingga meskipun berat tetapi tetap saja ia lakukan
untuk memenuhi kebutuhan hidup.
Ibu T.F Mengatakan kaum perempuan memiliki pekerjaan dan beban kerja yang
lebih besar. Pekerjaan yang dilakukan dalam sehari ialah mengurus pekerjaan rumah, pergi ke
kebun dan pekerjaan “titik batu.” Batu yang dititik akan di jual dan hasil dari penjualan
tersebut di pakai untuk memenuhi kebutuhan hidup. Ibu tersebut mengakui bahwa suaminya
yang berprofesi sebagai tukang ojek terkadang membantunya dalam menyelesaikan pekerjaan
titik batu, kadangkala tidak membantunya sama sekali. Perasaan yang ia rasakan ialah, sedih,
dan sakit hati. Tetapi ia harus terpaksa bekerja untuk memenuhi kebutuhan kehidupan
keluarga mereka.42
3.5 Faktor Penyebab Ketidakmunculan Kesetaraan antara Laki-Laki dan
Perempuan dalam Kehidupan Bermasyarakat.
Dari kesimpulan wawancara, narasumber mengatakan bahwa tarian lego-lego
menggambarkan kesetaraan antara laki-laki dan perempuan tetapi pada realitanya kesetaraan
itu tidak terlihat. Karena pemahamannya laki-laki di gambarkan sebagai lidah mezbah,
perempuan di gambarkan sebagai api atau kayu api. Maksudnya ialah kayu api bisa di
pinjamkan kepada orang lain tetapi lidah api atau tungku tidak bisa di pinjamkan kepada
orang lain. Mengapa lidah api? karena lidah api atau tungku di gambarkan seperti mezbah.
Ketika seseorang masuk ke rumah yang terlihat adalah tungku. Tiga tungku merupakan lidah
mezbah di dalam rumah. Dari tungku segala barang yang mentah akan di matangkan. Dalam
arti tungku adalah hal yang terpenting. Menurut narasumber, pada realitanya perempuan tetap
pada posisi nomor dua dan laki-laki tetap pada posisi nomor satu. Tidak akan bisa adanya
41
Hasil Wawancara dengan warga J.P. 18 April 2016 42
Hasil Wawancara dengan Warga P.M dan T.F. 8 Januari 2017
16
perubahan kedudukan. Karena ini adalah budaya yang sudah terjadi sejak dahulu kala dan
akan tetap melekat.43
4. Analisis Makna Tarian Lego-Lego dan Realita Kehidupan Masyarakat di
Suku Abui
Berdasarkan teori yang dikaitkan dengan hasil penelitian maka tarian adalah dasar
terpenting dari kebudayaan. Karena tarian adalah simbol dari kehidupan manusia. Dalam
hasil penelitiaan, tarian lego-lego juga diakui sebagai dasar dari kebudayaan. Karena tarian
lego-lego merupakan simbol dan bagian terpenting dari kehidupan masyarakat di suku Abui.
Tarian lego-lego dianggap penting karena sering ditarikan pada saat ritual, membangun
rumah dan penjemputan tamu. Sesuai arti dari kata lego-lego yaitu “Luk” dan “Yai” tunduk
dan bernyanyi kata tersebut menggambarkan adanya sebuah kerendahan hati dalam
melakukan tarian. Gambaran ini adalah salah satu dari nilai kehidupan yang terpancar dalam
tarian lego-lego.
Setiap manusia dapat menyampaikan makna melalui tarian dalam sebuah
pertunjukan. Tetapi makna dalam tarian tidak bisa diakses secara langsung melalui teks
ataupun penyampaian melalui kata-kata. Penonton dapat memahami makna dari tarian
melalui setiap gerakan atau formasi. Untuk itu Johnstone mengemukakan gerakan dari tarian
adalah sumber penghayatan dan pengetahuan yang penting dan mendalam. Karena gerakan
dari setiap koreografi dalam tarian mencerminkan nilai keindahan yang membawa pada
penghayatan akan realita kehidupan yang terjadi. Sehingga tarian dapat dikatakan sebagai
refleksi dari kehidupan manusia untuk menyampaikan makna dan nilai-nilai dalam
kehidupan.
Jika tarian dikatakan sebagai pertunjukan irama dalam menyampaikan tentang seks
dan kekerasan. Maka hal tersebut berbeda dengan tarian lego-lego di suku Abui. Tarian lego-
lego di suku Abui melambangkan persatuan, perdamaian antara agama, suku dan ras serta
kesetaraan antara laki-laki dan perempuan. Sesuai hasil penelitian maka makna dari tarian
lego-lego bisa dilihat melalui formasi dan koreografi. Format tarian lego-lego di suku Abui
memiliki percampuran antara laki-laki dan perempuan yaitu satu laki-laki dan dua
perempuan. Perempuan harus terlebih dahulu membuka jalan dalam menarikan tarian lego-
lego dan untuk menutup formasi lingkaran adalah seorang laki-laki. Maka jelas terlihat
43
Hasil Wawancara dengan Tokoh Adat A.Y. 18 April 2016
17
adanya makna kebersamaan dan unsur saling membutuhkan antara laki-laki dan perempuan.
Bahwa dalam menjalani kehidupan ini, perempuan dan laki-laki harus hidup saling
melengkapi. Laki-laki tidak bisa hidup tanpa perempuan, begitu pun sebaliknya perempuan
tidak bisa hidup tanpa laki-laki. Terkhususnya dalam pekerjaan, laki-laki dan perempuan di
katakan setara apabila setiap hal yang dikerjakan harus sama. Seperti halnya tarian lego-lego
digerakkan dan ditarikan searah secara bersama-sama.
Contohnya, ketika melakukan suatu acara adat yaitu membuat rumah dan berkebun
tidak saja dilakukan oleh laki-laki tetapi perempuan juga harus ikut serta dalam melakukan
acara adat tersebut. Sesuai isi dari hasil penelitian, kebersamaan laki-laki dan perempuan pun
tercermin dalam nyanyian. Yaitu, “semua anak laki-laki dan perempuan dari jauh dekat, dari
timur dan barat kita berkumpul bersama. Kita memohon berkat. Besok atau lusa musim
usaha ladang kita masing-masing menuju ladang, kita masuk di hutan tidak ada malapetaka
dan mohon sang pencipta untuk memberikan hasil untuk anak-anak.”
Formasi dari tarian lego-lego melambangkan arti kebersamaan dan saling
membutuhkan antara laki-laki dan perempuan. Arti tersebut telihat pada rangkulan antara satu
penari dengan penari yang lain. Formasi rangkulan tersebut melambangkan kesatuan dan
keeratan, sehingga laki-laki dan perempuan diibaratkan “sepaket” yang tidak bisa dipisahkan.
Oleh sebab itu laki-laki dan perempuan adalah teman hidup untuk saling menghargai antara
satu dengan yang lain.
Formasi rangkulan dan silang seling antara laki-laki dan perempuan dalam tarian
lego-lego memiliki unsur kesetaraan yang terlihat dalam kehidupan masyarakat Abui. Contoh
berikutnya ialah, mengenai pendidikan. Laki-laki dan perempuan layak untuk mendapatkan
pendidikan yang sama dan setara.
Keunikan dari tarian lego-lego ialah ketika dalam menarikan tarian tersebut akan
memperlihatkan bahasa tubuh (cara berangkulan) yang menggambarkan kesetaraan untuk
saling menghargai antara, laki-laki dan perempuan, agama, suku dan lain-lain. Berbeda ketika
rangkulan antara laki-laki dan perempuan itu terjadi diluar lingkaran tarian lego-lego. Karena
dapat menimbulkan persoalan sosial dan keluarga. Dari penjelasan penelitian ini,
sesungguhnya koreografi dan gerakan dalam tarian memiliki nilai-nilai yang penting dan
bermakna. Nilai-nilai kehidupan dari tarian akan terlihat memiliki arti, apabila gerakan
tersebut dilakukan dalam tarian. Sehingga gerakan dan formasi pun dapat menciptakan
kedamaian, persatuan dan kesetaraan antara laki-laki dan perempuan.
18
Rosi Braidottin mengungkapkan tubuh adalah perpaduan fisik, simbolis dan
sosiologis. Dalam arti tubuh bukan saja hanya dikaitkan dengan seks dan secara fisik. Tetapi
tubuh yang merupakan fisik dari simbol memiliki peran dalam kehidupan sosiologis. Dalam
arti tubuh berkaitan dengan simbolis dan kehidupan sosiologis. Melalui tubuh nilai dan
pemaknaan simbol dari kehidupan masyarakat bisa dapat tersampaikan. Tubuh tidak saja
identik dengan fisik dan seks tetapi lebih dari itu, tubuh berkaitan erat dengan ras, simbol dan
sosiologis. Hal ini menggambarkan tubuh begitu penting, tubuh dapat menyampaikan makna
yang terpenting dalam kehidupan manusia.
Sesuai teori tarian selalu melibatkan tubuh manusia. Tarian sangat berkaitan
dengan tubuh. Karena tubuh pun sebagai sarana untuk menyampaikan nilai-nilai dan makna
dalam tarian. Yaitu, menunjukan tentang perdamaian, persatuan, kesetaraan dan perasaan
emosi, kekuasaan serta gender sebagai wujud dari cara hidup bermasyarakat. Untuk itu tanpa
di pungkiri, tubuh pun berkaitan dengan budaya karena ada satu kesatuan. Burt berpendapat
bahwa gender di bentuk oleh simbol yang dihasilkan secara historis dan sosial serta
direpresentasi ke dalam tarian, yang bergantung pada keyakinan tentang tubuh dan gender.
Menurut Burt representasi gender dalam bentuk budaya pun dapat terlibat melalui proses
gender itu dibangun. Gender tidak terlepas dari tubuh dan tarian. Karena tarian dan gender
adalah bagian dari kebudayaan. Sesuai pengertian, gender menggambarkan tentang
maskulinitas dan femininitas yang ada dan telah ditanamkan dalam kultural.44
Sehingga
adanya pembedaan antara laki-laki dan perempuan dalam bertindak sesuai tantanan nilai
sosial yang dibuat dalam masyarakat. Hal ini juga berkaitan dengan makna tarian lego-lego
dalam realita kehidupan bermasyarakat.
Tarian lego-lego sebagai simbol kemitraan yang sejajar. Kata kemitraan dan sejajar di
pakai dalam menarikan tarian lego-lego, karena laki-laki dan perempuan secara bersama-
sama bekerja sama menarikan tarian tersebut untuk menyampaikan makna-makna yang
terkandung dalam tarian lego-lego. Mengapa sebagai simbol kemitraan yang sejajar? Karena,
simbol kemitraan yang sejajar terlihat dari formasi gerakan rangkulan dan silang seling dari
penari. Formasi tersebut menggambarkan bahwa laki-laki dan perempuan saling
membutuhkan ada bersama-sama untuk saling melengkapi. Kemitraan atau kerja sama yang
sejajar dapat dilihat dari alunan langkah kaki dan rangkulan serta format silang seling dari
penari dalam menarikan tarian lego-lego tersebut. Sehingga ketika tarian di pertontonkan
44
Peter Beilharz, Teori-Teori Sosial Observasi Kritis Terhadap Para Filosof Terkemuka (Yogyakarta:Pustaka Pelajar,2005),23
19
secara langsung dapat menjelaskan bahwa, laki-laki dan perempuan adalah sama
kedudukannya,”sepaket” tidak bisa dipisahkan dan sama-sama saling membutuhkan.
Berdasarkan hasil penelitian dan teori yang telah dikemukakan maka tarian lego-lego
merupakan lambang dari sebuah refleksi kehidupan dalam menyampaikan nilai-nilai sosial
dan nilai kehidupan. Lebih khususnya formasi tarian lego-lego di suku Abui, dapat
digambarkan sebagai simbol kemitraan yang sejajar antara laki-laki dan perempuan untuk
saling menghargai dan membutuhkan dalam kehidupan bermasyarakat. Makna tarian sebagai
simbol dari cara hidup terlihat ketika adanya kebersamaan dalam membuat rumah dan
berkebun. Kegiatan tersebut tidak saja dilakukan oleh laki-laki tetapi perempuan juga turut
mengambil bagian. Dalam dunia pendidikan tidak ada perbedaan antara laki-laki dan
perempuan semua layak mendapatkan hak yang sama. Namun, sesuai dengan hasil penelitian
mengenai kedudukan laki-laki dan perempuan dari berbagai pandangan. Makna tarian lego-
lego sebagai simbol kemitraan yang sejajar antara laki-laki dan perempuan belum nampak
seutuhnya dalam realita bermasyarakat di suku Abui.
Collins menjelaskan semakin besar kekuatan dan kekuasaan politik seseorang laki-
laki dalam rumah tangga atau keluarga maka semakin besar juga kekuasaaan laki-laki atas
perempuan. Hal tersebut dapat terjadi dalam pekerjaan yang berat atau keras, upacara
keagamaan dan standar-standar moralitas.45
Berdasarkan teori tersebut jika dilihat dari pandangan tokoh-tokoh adat yaitu dari
pihak laki-laki atau pun pandangan dari pihak perempuan. Mereka mengatakan, kedudukan
laki-laki dan perempuan masih di bedakan dalam kehidupan bermasyarakat. Contohnya,
perempuan memiliki beban kerja dan waktu dalam bekerja paling banyak dibandingkan laki-
laki. Sebelum ke kebun, perempuan harus terlebih dahulu memasak dan menyiapkan
makanan untuk memberikan kepada suami atau laki-laki yang bekerja. Perempuan pun harus
bangun lebih pagi untuk menyiapkan segala sesuatu sebelum bekerja. Realita tersebut, juga
dijelaskan oleh Pudjiwati Sajogyo. Ia menjelaskan bahwa ini adalah masalah yang sering
dihadapi oleh setiap perempuan yang ada di indonesia bahkan di dunia. Perempuan selalu
diidentikan dengan pekerjaan rangkap dua. Menurut Pdt. Dina Takalapeta-Meler dalam
bekerja perempuan Alor memang memiliki jam kerja lebih panjang dari pada laki-laki.
Perempuan juga diidentikan memiliki pekerjaan dalam rana domestik. Pekerjaan rana
domestik terlihat pada pembagian tempat tidur yang dijelaskan dalam hasil penelitian. Bahwa
45
Jane C.Ollenburger dan Helen A. Moore, Sosiologi Wanita (Jakarta:Rineka Cipta, 2002), 16
20
perempuan hanya bekerja sepenuhnya di dalam rumah yaitu memasak dan lain-lain. Sehingga
pembagian tempat tidur antara laki-laki dan perempuan menggambarkan adanya perbedaan
kehidupan dalam realita yang terjadi.
Menurut Pdt. Frederik Pulinggomang, dalam kepercayaan agama suku, perempuan
sama seperti seorang pembantu. Seorang perempuan juga memiliki posisi nomor dua yang
sama dengan anak yang dilahirkannya. Kepercayaan ini ada dan bertahan sampai dengan
sekarang ini dalam masyarakat Alor secara keseluruhan. Sesuai hasil penelitian ternyata
permasalahan ketidakadilan ini masih sering dirasakan kaum perempuan. Ketidakadilan
berikut yang dialami perempuan di Alor menurut Pdt. Dina Takalapeta-Meler ialah
perempuan tidak memiliki hak suara ketika dalam proses pengambilan keputusan. Hal
tersebut sama halnya dengan kehidupan perempuan di suku Abui. Pada saat pertemuan adat
atau acara adat, perempuan diberikan kesempatan untuk berbicara dan menyampaikan
pendapat serta keperluan mereka. Namun tetap yang memegang kendali dalam acara atau
pertemuan tersebut adalah seorang laki-laki. Laki-laki yang bisa mengambil keputusan atau
menyimpulkan setiap wacana yang disampaikan dalam pertemuan tersebut. Contoh berikut
pada saat menyelesaikan masalah menurut narasumber ia mengatakan jika terjadi sebuah
pertengkaran seorang bapak atau paman tertua yang bisa menangani dan mendamaikan
pertengkaran yang terjadi antara kedua belah pihak. Maka dapat dilihat bahwa kata “sepaket”
dan setara dalam makna tarian lego-lego belum sepenuhnya terlihat dalam realita kehidupan
bermasyarakat.
Permasalahan berikutnya menurut narasumber dalam keterbukaannya,bahwa masih
ada kekerasan verbal yang dialami oleh kaum perempuan. Penyebab kekerasan gender karena
ketidaksetaraan dalam kehidupan masyarakat. Ada berbagai macam kekerasan gender salah
satunya, pelecehan seksual atau kekerasan emosional. Kategori yang masuk dalam pelecehan
seksual adalah “menyakiti atau membuat malu seseorang dengan perkataan kotor.”46
Dalam
penjelasan tersebut, berdasarkan teori dan hasil penelitian maka kekerasan yang dilakukan
dengan makian dan perkataan kotor secara tidak langsung telah menghina, mempermalukan
dan menganggap rendah kedudukan kaum perempuan. Dalam arti ada perbedaan tingkatan
perempuan satu tingkat dibawah laki-laki. Sebaliknya jika hal tersebut dialami oleh laki-laki
maka laki-laki ada dibawah satu tingkat dari perempuan. Jika demikian hal itu terjadi, maka
keadaan seperti itu tidak di kategori dalam kesetaraan. Karena masih ada pembedaan yang
46
Fakih.Analisis Gender...19-20
21
terjadi antara laki-laki dan perempuan yang dilihat dari tidak adanya sikap untuk saling
menghargai.
Ketika melihat dalam hasil penelitian. Hanya satu narasumber yang menjelaskan
tentang faktor ketidakmunculan kesetaraan perempuan dan laki-laki dari tarian lego-lego
dalam kehidupan bermasyarakat di suku Abui. Alasannya, karena beberapa narasumber sudah
paham tentang arti gender. Tetapi hal tersebut tidak menutup kemungkinan dari setiap data
yang diperoleh. Tidak dapat dipungkiri memang sebagian besar kedudukan laki-laki dan
perempuan dalam hal kesetaraan sudah mulai nampak dalam realita. Tetapi dari hasil
penelitian masih ada beberapa hal yang melekat dalam kehidupan masyarakat suku Abui.
Yaitu, masalah pengambilan keputusan, beban dan waktu kerja, kekerasan verbal dan
pembagian tempat tidur. Untuk itu faktor dari permasalahan gender tersebut menurut
narasumber Bapak A.Y dalam hasil penelitian. Perempuan tetap pada posisi nomor dua dan
laki-laki tetap pada posisi nomor satu. Tidak akan bisa adanya perubahan kedudukan. Karena
ini adalah budaya yang sudah terjadi sejak dahulu kala dan akan tetap melekat dalam
kehidupan bermasyarakat.47
Pernyataan tersebut menggambarkan tentang masalah
ketidakadilan gender sesuai dengan tatanan nilai yang diatur dalam adat istiadat dan
kebiasaan masyarakat. Menurut Simeon Awang dan Yohana Sir kendala yang besar dalam
menerapkan keadilan gender di Alor adalah sistem sosial budaya masyarakat Alor yang
memposisikan perempuan pada kalangan nomor dua. Hal ini yang membuat perempuan
seringkali mendapat perlakuan ketidakadilan gender.
Narasumber mangatakan bahwa tidak akan bisa adanya sebuah perubahan karena
pandangan tersebut sudah ada sejak dahulu kala. Bisa jadi ini kaitannya dengan masalah pola
pikir. Menurut Indrayoga ketimpangan antara peran perempuan dan laki-laki terletak pada
masalah pola pikir.48
Jika ada pemahaman bahwa kehidupan patriarki tidak bisa dirubah.
Maka persoalan pola pikirlah yang perlu untuk dirubah dengan belajar dari tarian lego-lego.
Agar keadilan dan kesetaraan antara laki-laki dan perempuan dapat tercipta dalam kehidupan
bermasyarakat khususnya dalam masyarakat suku Abui.
47
Hasil Wawancara dengan Tokoh Adat A.Y 18 April 2016 pukul 11:00 WITA. 48
Eka Martiningsih, Jurnal Studi Pembangunan Interdisiplin (Salatiga:Program Pascasarjana UKSW, 2008-2009), 177
22
5. Penutup
Pada bagian ini berisi tentang kesimpulan dan saran. Yaitu, sumbangan pemikiran
kepada masyarakat suku Abui, Alor dan fakultas Teologi. Sumbangan pemikiran ini
diharapkan agar masyarakat dapat belajar dari nilai-nilai yang terkandung dalam tarian lego-
lego.
5. 1 Kesimpulan
Pernyataan tersebut selaras dengan gambaran tentang tarian lego-lego di suku Abui,
karena tarian lego-lego adalah simbol mengekspresikan kehidupan dari masyarakat di suku
Abui. Tarian lego-lego mengandung unsur nilai perdamaian, kesatuan, dan kesetaraan. Lebih
khusus pada kesetaraan antara laki-laki dan perempuan yang dilihat dalam formasi silang
seling dan cara berangkulan dari setiap penari dalam tarian lego-lego. Untuk itu tarian lego-
lego adalah simbol kemitraan yang sejajar antara laki-laki dan perempuan.
Nilai-nilai dari tarian lego-lego belum sepenuhnya terlihat dalam realita. Meskipun
sebagian masyarakat sudah mengakui bahwa kesetaraan antara laki-laki dan perempuan
sudah terjalin dengan baik dilihat dari formasi dan pemaknaan dalam tarian lego-lego.
Namun, ketika melakukan penelitian ini penulis masih mendapati adanya ketidakadilan
gender dalam realita yang terjadi. Untuk itu, melihat dari tarian lego-lego yang memiliki
nilai-nilai sosial yang baik dalam kehidupan bermasyarakat sebagai simbol kemitraan yang
sejajar antara laki-laki dan perempuan. Maka masyarakat Alor terkhususnya masyarakat Abui
perlu untuk belajar lebih dalam dari tarian lego-lego. Sehingga kesetaraan dari kehidupan
masyarakat semakin nampak dalam realita.
5.2 Saran
1. Bagi masyarakat suku Abui dan Alor :
Nilai-nilai dari Tarian lego-lego bisa menjadi model sekaligus sumber pembelajaran.
Dalam praktiknya tarian lego-lego bukan hanya ditarikan dan diperlihatkan. Tetapi dalam
setiap acara ketika tarian lego-lego ditarikan para penari harus menjelaskan nilai-nilai yang
terkandung dari tarian tersebut kepada orang lain. Sehingga tarian tidak saja di ketahui oleh
orang-orang tertentu. Melalui pengetahuan tersebut, masyarakat suku Abui dan Alor dapat
memiliki perubahan paradigma tentang relasi antara laki-laki dan perempuan. Perubahan
paradigma adalah cara mendasar untuk mengatasi ketidakadilan gender.
23
2. Fakultas Teologi :
Menghimbau kepada fakultas teologi untuk melihat budaya yang ada dalam suatu
masyarakat. Sebagai cara untuk menghadapi persoalan sosial yang terjadi. Persoalan sosial
pun bisa di dekati dalam budaya setempat.
24
Daftar Pustaka
Barbour Nicole Karen. Dancing Across The Page Narrative and Embodied Ways Of
Knowing USA: Intellect, The University of Chicago Press, 2011.
Beilharz Peter. Teori-Teori Sosial Observasi Kritis Terhadap Para Filosof Terkemuka
Yogyakarta:Pustaka Pelajar,2005.
Buckland Jill Theresa. Dancing From Past To Present United States of America:Library of
Congress Cataloging-in-Publication Data, 2006.
Creswell, W. J. Research Design Pendekatan Kualitatif Kuantitatif dan Mixed Yogyakarta:
Pustaka pelajar, 2013.
Darwin Muhadjir dan Tukiran. Menggugat Budaya Patriarkhi Yogyakarta: Universitas Gajah
Mada, 2001.
Fakih Mansour. Analisis Gender dan Transformasi sosil Yogyakarta:Pustaka Pelajar, 2012.
Foster Leigh Susan. Dancing Knowledge Culture And Power USA and Canada:
Routledge,1996.
Herin Lagadoni Joseph. Perempuan-Perempuan di Tapak-Tapak Perjalanan Pemberdayaan
Jakarta:Yayasan Nuba Raja Lagadoni,2005.
Isherwood Lisa and Elizabeth Stuart. Introducing body Theology England: Sheffield
Academic,1998.
Martiningsih Eka. Jurnal Studi Pembangunan Interdisiplin Salatiga:Program Pascasarjana
UKSW, 2008-2009.
Nugroho Riant. Gender dan Strategi Pengarus Utamaannya Di Indonesia Yogyakarta:
Pustaka Pelajar,2011.
Ollenburger C. Jane dan Helen A. Moore. Sosiologi Wanit Jakarta:Rineka Cipta, 2002.
Pedwell Carolyn. Feminism, Culture and Embodied Practice New York: Routledge, 2010.
Saadawi EL Nawal. Perempuan Dalam Budaya Patriarki Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001.
Sajogyo Pudjiwati. Peranan Wanita dalam Perkembangan Masyarakat Desa Jakarta:CV
Rajawali,1983.
Schwaiger Elisabeth. Ageing, Gender, Embodiment and Dance England:Palgrave
Macmillan, 2012.
25
Turner S Bryan. The Body & Society London: SAGE Publications,2002.
Website
http://kebudayaan.kemdikbud.go.id/bpnbbali/2015/04/15/lego-lego-tarian-tradisional-
masyarakat-alor/. Diakses 14 Oktober 2015
https://pulaualorntt.wordpress.com/2014/03/15/58/. Diakses 14 Oktober 2015
http://www.bappenas.go.id/files/3113/5228/3135/9.pdf. Diakses 26 Oktober 2015
http://kebudayaan.kemdikbud.go.id/bpnbbali/2015/04/15/lego-lego-tarian-tradisional-masyarakat-alor/http://kebudayaan.kemdikbud.go.id/bpnbbali/2015/04/15/lego-lego-tarian-tradisional-masyarakat-alor/https://pulaualorntt.wordpress.com/2014/03/15/58/http://www.bappenas.go.id/files/3113/5228/3135/9.pdf