IDENTIFIKASI LAKTOFERIN PADA KOLOSTRUM DAN SUSU DOMBA GARUT DENGAN METODE SINGLE RADIAL IMMUNODIFUSI DAN SDS-PAGE SKRIPSI JONI SETIAWAN PROGRAM STUDI TEKNOLOGI HASIL TERNAK FAKULTAS PETERNAKAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006
IDENTIFIKASI LAKTOFERIN PADA KOLOSTRUM DAN SUSU DOMBA GARUT DENGAN METODE SINGLE RADIAL
IMMUNODIFUSI DAN SDS-PAGE
SKRIPSI JONI SETIAWAN
PROGRAM STUDI TEKNOLOGI HASIL TERNAK FAKULTAS PETERNAKAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006
RINGKASAN
JONI SETIAWAN. D14202010. 2006. Identifikasi Laktoferin pada Kolostrum dan Susu Domba Garut dengan Metode Single Radial Immunodifusi dan SDS-PAGE. Skripsi. Program Studi Teknologi Hasil Ternak, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor.
Pembimbing Utama : Dr. Ir. Rarah R. A. Maheswari, DEA. Pembimbing Anggota : Irmanida Batubara, S.Si., M.Si.
Domba garut merupakan salah satu domba lokal yang belum tereksplorasi secara optimal. Domba garut lebih dikenal sebagai domba pedaging dan domba aduan. Domba garut memiliki potensi sebagai penghasil susu yang dapat memberikan nilai tambah bagi perekonomian masyarakat. Susu domba garut merupakan salah satu sumber laktoferin yang memiliki berbagai manfaat, diantaranya sebagai zat antimikroba. Pemanfaatan susu domba garut sebagai sumber laktoferin diharapkan dapat mengatasi kasus infeksi pencernaan yang tinggi dimasyarakat. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui keberadaan laktoferin pada kolostrum dan susu domba garut dan memperoleh metode yang sesuai untuk mengidentifikasinya. Laktoferin kolostrum dan susu domba garut diidentifikasi dengan metode single radial immunodifusi (SRID) dan SDS-PAGE. Metode SRID dilakukan dengan mendifusikan whey kolostrum dan susu domba garut ke dalam gel yang mengandung anti-laktoferin (Sigma-Aldrich Co.). Metode SDS-PAGE menggunakan konsentrasi gel akrilamida 7,5%.
Identifikasi laktoferin dapat dilakukan dengan metode single radial immunodifusi (SRID) maupun SDS-PAGE. Metode SRID tidak mampu mengidentifikasi laktoferin dengan konsentrasi rendah di dalam kolostrum dan susu domba garut. Bobot molekul laktoferin kolostrum dan susu domba garut berdasarkan hasil SDS-PAGE adalah 73.144 Da. Kandungan laktoferin pada kolostrum dan susu domba garut berdasarkan diameter zona presipitin meningkat sampai 48 jam setelah melahirkan dan turun kembali setelah 48 jam setelah melahirkan.
Kata-kata kunci : kolostrum, susu, domba garut, laktoferin, SRID, SDS-PAGE
i
ABSTRACT
Identification of Lactoferrin from Colostrum and Milk of Garut Sheep by Single Radial Immunodiffusion and SDS-PAGE Methods
Setiawan, J., R. R. A. Maheswari, and I. Batubara
Garut sheep is one of Indonesian local sheep which has not been optimized in exploration. Garut sheep has potency as a dairy sheep. Milk and colostrum from garut sheep is one of lactoferrin sources which has various benefit, like antimicrobial activity. Milk of garut sheep as lactoferrin source, is expected to be used to treat gastrointestinal infection cases which is a major problem in Indonesia. This research described the identification of lactoferrin from milk and colostrum garut sheep by single radial immunodiffusion (SRID) and SDS-PAGE methods. SRID method is based on the diffusion of whey protein from a circular well into a homogeneous gel containing anti-lactoferrin. SDS-PAGE was performed in 7,5 % polyacrylamide gel. Both of methods can identified lactoferrin in colostrum and milk from garut sheep, but SRID was not effective to identified lactoferrin in low concentration. Estimation of lactoferrin bands molecular weight of colostrum and milk of garut sheep is approximately 73,144 Dalton (Da). Based on diameter precipitation ring, lactoferin level in colostrum and milk of garut sheep increases up to 48 hours postpartum and then decreases.
Keywords : colostrum, milk, garut sheep, lactoferrin, SRID, SDS-PAGE
ii
IDENTIFIKASI LAKTOFERIN PADA KOLOSTRUM DAN SUSU DOMBA GARUT DENGAN METODE SINGLE RADIAL
IMMUNODIFUSI DAN SDS-PAGE
JONI SETIAWAN
D14202010
Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Peternakan pada
Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor
PROGRAM STUDI TEKNOLOGI HASIL TERNAK FAKULTAS PETERNAKAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006
iii
IDENTIFIKASI LAKTOFERIN PADA KOLOSTRUM DAN SUSU DOMBA GARUT DENGAN METODE SINGLE RADIAL
IMMUNODIFUSI DAN SDS-PAGE
Oleh
JONI SETIAWAN
D14202010
Skripsi ini telah disetujui dan disidangkan di hadapan Komisi Ujian Lisan pada tanggal 29 September 2006
Pembimbing Utama Pembimbing Anggota Dr. Ir. Rarah R. A. Maheswari, DEA. Irmanida Batubara, S.Si., M.Si. NIP. 131 671 595 NIP. 132 312 528
Dekan Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor
Dr. Ir. Ronny R. Noor, M.Rur.Sc. NIP. 131 624 188
iv
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan pada tanggal 29 Juli 1984 di Selat Panjang Bengkalis Riau.
Penulis adalah anak bungsu dari empat bersaudara dari pasangan Bapak Djohan
Arifin (Alm.) dan Ibu Ernawati.
Pendidikan dasar diselesaikan pada tahun 1996 di SDN 026 Pasar Benai,
pendidikan lanjutan menengah pertama diselesaikan tahun 1999 di SLTPN 1 Benai
dan pendidikan lanjutan menengah atas diselesaikan tahun 2002 di SMU N 1 Benai
Kabupaten Kuantan Singingi, Riau. Penulis diterima sebagai mahasiswa Teknologi
Hasil Ternak, Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas
Peternakan, Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB
pada tahun 2002.
Selama menimba ilmu di IPB, penulis pernah menjadi Ketua Departemen
Penelitian dan Pengembangan Himpunan Mahasiswa Ilmu Produksi Ternak periode
2004-2005, Wakil Sekjen. periode 2003-2004 dan Badan Pengawas Organisasi
Periode 2005-2006 Ikatan Keluarga Pelajar Mahasiswa Riau–Bogor. Penulis juga
pernah menjabat sebagai Ketua Umum Ikatan Mahasiswa Kuantan Singingi–Bogor
periode 2004-2006.
Penulis pernah menjadi asisten praktikum mata kuliah Dasar-Dasar
Mikrobiologi Hasil Ternak, Mikrobiologi Hasil Ternak, Dasar-Dasar Teknologi
Hasil Ternak program sarjana dan mata kuliah Probiotik Pascasarjana Fapet IPB.
Penulis juga aktif sebagai asisten pada pelatihan-pelatihan yang diadakan di Bagian
Ilmu Produksi Ternak Perah Fapet IPB dan asisten praktikum Milk Processing
Technology, Retooling Batch IV Subfield Animal Product Processing Technology.
Penulis juga pernah mengikuti pelatihan HACCP dari Direktorat Jenderal Bina
Produksi Peternakan Departemen Pertanian.
v
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur Penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT atas karunia dan
rahmat-Nya sehingga dapat menyelesaikan penelitian dan penulisan skripsi ini.
Penulisan skripsi ini merupakan tugas akhir yang menjadi syarat untuk mendapatkan
gelar sarjana pada Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Skripsi ini berjudul
”Identifikasi Laktoferin Kolostrum dan Susu Domba Garut dengan Metode Single
Radial Immunodifusi dan SDS-PAGE”.
Skripsi ini bertujuan untuk dapat memberikan informasi mengenai
keberadaan laktoferin di dalam kolostrum dan susu domba garut, serta penggunaan
metode yang sesuai untuk mengidentifikasinya. Penelitian ini menarik untuk
dilaksanakan karena domba garut merupakan salah satu plasma nuftah Indonesia
yang belum tereksplorasi secara optimal. Produksi susu domba garut sangat terbatas,
namun beberapa komponen susu saat ini dapat ditambahkan ke dalam bahan pangan
lainnya untuk meningkatkan fungsi dari pangan tesebut. Laktoferin merupakan salah
satu komponen susu yang dapat ditambahkan. Pemanfaatan susu domba sebagai
sumber laktoferin diharapkan mampu mengurangi kasus infeksi saluran pencernaan
yang disebabkan oleh bakteri E. coli yang masih sering terjadi di masyarakat.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini jauh dari sempurna, sehingga Penulis
tetap membuka diri untuk segala masukan yang menunjang hasil penelitian ini.
Penulis berharap skripsi ini dapat memberi manfaat kepada Penulis sendiri dan bagi
pihak yang memerlukan.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak, khususnya
pembimbing skripsi yang telah banyak menyumbangkan ide-idenya dalam
penyusunan skripsi ini.
Bogor, September 2006
Penulis
vi
DAFTAR ISI
Halaman
RINGKASAN .............................................................................................. i
ABSTRACT ................................................................................................. ii
RIWAYAT HIDUP ...................................................................................... v
KATA PENGANTAR .................................................................................. vi
DAFTAR ISI ................................................................................................. vii
DAFTAR TABEL ......................................................................................... ix
DAFTAR GAMBAR .................................................................................... x
DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................. xi
PENDAHULUAN ....................................................................................... 1
Latar Belakang ................................................................................. 1 Tujuan .............................................................................................. 2
TINJAUAN PUSTAKA .............................................................................. 3
Domba Garut ................................................................................... 3 Susu Domba ...................................................................................... 4 Kolostrum ........................................................................................ 4 Laktoferin ......................................................................................... 7
Laktoferin sebagai Antimikroba ............................................ 8 Kandungan Laktoferin dalam Kolostrum dan Susu............... 8
Single Radial Immunodiffusi (SRID) ................................................ 9 Sodium Dodecyl Sulphate Polyacrylamide Gel Electrophoresis (SDS-PAGE) ..................................................................................... 10
METODE ..................................................................................................... 12
Lokasi dan Waktu ............................................................................ 12 Materi ............................................................................................... 12 Rancangan ......................................................................................... 13 Prosedur ............................................................................................ 13
Pengumpulan Sampel Kolostrum dan Susu Domba Garut.... 13 Pengukuran Nilai pH (BSN, 1992) ....................................... 13 Pengukuran Berat Jenis ......................................................... 14 Pengukuran Kadar Air (BSN, 1998a) ................................... 14 Pengukuran Abu (AOAC, 2000) .......................................... 14 Pengukuran Kadar Lemak Kolostrum dan Susu Metode Soxhlet (AOAC, 2000) ......................................................... 15 Pengukuran Kadar Protein Kolostrum dan Susu Metode Kjeldahl (BSN, 1998a) ........................................................ 15 Penghitungan Total Plate Count (TPC) (BSN, 1998a) ......... 16 Pemisahan Whey Kolostrum dan Susu Domba Garut (Yoshida dan Xiuyun, 1991; Yoshida et al., 2000)...................... 16
vii
Uji Single Radial Immunodiffusi (SRID) (Mancini et al., 1965; Tsuji et al., 1990) ......................................................... 17 Metode Sodium Dodecyl Sulphate Polyacrylamide Gel Electrophoresis (SDS-PAGE) .............................................. 18
HASIL DAN PEMBAHASAN ................................................................... 20
Kualitas Kolostrum dan Susu Domba Garut .................................... 20 Komposisi Kolostrum dan Susu Domba Garut...................... 20
Pemisahan Krim dan Skim Kolostrum dan Susu Domba Garut ..... 22 Pemisahan Kasein dan Whey Kolostrum dan Susu Domba Garut ... 22 Identifikasi Laktoferin Kolostrum Susu Domba Garut dengan Metode Single Radial Immunodifusi (SRID) ................................... 24
Kandungan Laktoferin Kolostrum dan Susu Domba Garut... 24 Identifikasi Laktoferin Kolostrum Susu Domba Garut dengan Metode SDS-PAGE .......................................................................... 28
KESIMPULAN DAN SARAN ................................................................... 31
Kesimpulan ........................................................................................ 31 Saran ................................................................................................. 31
UCAPAN TERIMA KASIH ......................................................................... 32
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................. 33
LAMPIRAN .................................................................................................. 39
viii
DAFTAR TABEL
Nomor Halaman
1. Parameter Reproduksi Ternak Kambing dan Domba ............................... 3
2. Komposisi Susu pada Berbagai Ternak dan Manusia .............................. 5
3. Komposisi Kolostrum Domba Massese.................................................... 6
4. Komposisi Kolostrum dan Susu Domba pada Minggu Pertama Setelah Melahirkan ............................................................................................... 20
5. Hasil Uji Single Radial Immunodifusi ...................................................... 25
ix
DAFTAR GAMBAR
Nomor Halaman
1. Laktoferin dengan Ikatan Ion Besi .......................................................... 7
2. Struktur Skematis Molekul IgG .............................................................. 10
3. Bentuk Skematis Unit Elektroforesis ...................................................... 10
4. Reaksi Polimerisasi Polyacrylamide ....................................................... 11
5. Diagram Alir Pemisahan Whey Kolostrum dan Susu .................................... 17
6. Pola Sumur Uji Single Radial Imunodifusi ............................................. 18
7. Penentuan Konsentrasi Laktoferin dengan Metode Single Radial Immunodifusi .......................................................................................... 18
8. Penentuan Bobot Molekul Protein dengan Metode SDS-PAGE. (A) Separasi Standar Marker dan Protein yang Ingin Diketahui. (B) Kurva Standar untuk Penentuan Bobot Molekul Protein ................. 19
9. Hasil Pemisahan Krim dan Skim Kolostrum dan Susu Domba Garut dengan Sentrifugasi.................................................................................. 23
10. Hasil Pemisahan Kasein dan Whey Kolostrum dan Susu Domba Garut dengan Sentrifugasi.................................................................................. 23
11. Hasil Uji Radial Immunodifusi pada Susu Domba 1. A) Pemerahan 24 Jam Setelah Melahirkan, B) Pemerahan 48 Jam Setelah Melahirkan dan C) Pemerahan 72 Jam Setelah Melahirkan.................... 24
12. Pola Diameter Cincin Presipitin Kolostrum dan Susu Domba Garut pada Waktu Pemerahan Berbeda ............................................................. 27
13. Hasil SDS PAGE (7,5% Gel) Whey Susu Domba (1-3 : Domba 1 pemerahan 24, 48 dan 72 jam setelah melahirkan; 4 : marker; 5 : standar laktoferin; 6-8 : Domba 2 pemerahan 24 jam, 48 jam dan 7 hari setelah melahirkan; 9-12 : Domba 3 pemerahan 24 jam, 48 jam, 5 hari dan 7 hari setelah melahirkan) ...................................................... 29
x
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor Halaman
1. Bahan-bahan Analisis Laktoferin dengan SDS PAGE .......................... 39
2. Nilai pH Pemisahan Whey........................................................................ 41
3. Kurva Normalitas Bobot Molekul Protein Standar.................................. 41
4. Berat Molekul Protein Standar ................................................................ 42
5. Gambar Unit Elektroforesis dan Power Supply ...................................... 42
6. Sampel yang Ditambahkan Dissociation Buffer ..................................... 43
7. Proses Staining dan Destaining Gel SDS-PAGE .................................... 43
8. Hasil Single Radial Immunodifusi pada Kolostrum dan Susu Domba Garut dan Kolostrum Sapi ....................................................................... 44
xi
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Susu merupakan bahan pangan hasil ternak yang sangat bermanfaat bagi
kesehatan manusia. Kandungan nutrisinya yang tinggi memberikan manfaat yang
besar bagi kesehatan manusia. Zat-zat nutrisi yang dijumpai pada susu dalam jumlah
besar antara lain protein, lemak, karbohidrat dan kalsium. Susu juga mengandung
zat-zat nutrisi lainnya seperti vitamin, mineral dan zat-zat antimikroba seperti
laktoferin, immunoglobulin dan laktoperoksidase.
Pemenuhan kebutuhan susu masih sangat rendah dan kualitas susu yang
masih rendah saat ini merupakan permasalahan yang harus diatasi. Diperlukan
inovasi dan terobosan baru dalam bidang peternakan untuk mendapatkan kondisi
peternakan yang dapat memenuhi kebutuhan susu dengan kualitas yang baik. Salah
satunya adalah pemanfaatan domba sebagai penghasil susu. Di Indonesia susu domba
tidak populer dibandingkan susu sapi atau susu kambing, akan tetapi di luar negeri
susu domba telah dimanfaatkan sebagai bahan baku berbagai produk olahan susu.
Pemanfaatan domba sebagai penghasil daging sekaligus penghasil susu sebagai
sumber bahan pangan juga diharapkan mampu memberikan nilai tambah bagi
perekonomian masyarakat.
Salah satu domba lokal Indonesia yang bisa dikembangkan dan dimanfaatkan
susunya adalah domba garut. Domba ini merupakan domba lokal Indonesia yang
belum tereksplorasi secara optimal. Walaupun domba garut memiliki produksi susu
yang rendah, tetapi peningkatan nilai guna susu domba garut dapat dilakukan dengan
memanfaatkan komponen-komponen pada susu domba yang bernilai tinggi.
Komponen tersebut salah satunya adalah laktoferin. Laktoferin dapat dimanfaatkan
untuk enrichment maupun fortifikasi susu. Kadar laktoferin yang tinggi pada susu
akan meningkatkan kualitas susu, terutama kualitas mikrobiologi dan nilai guna susu
sebagai pangan fungsional. Laktoferin pada susu mampu mengikat ion besi dari
mikroba sehingga menghambat pertumbuhan mikroba. Pemanfaatan susu domba
sebagai sumber laktoferin diharapkan mampu mengurangi kasus infeksi saluran
pencernaan yang disebabkan oleh bakteri E. coli yang masih sering terjadi di
masyarakat.
1
Kandungan laktoferin pada susu manusia dan sapi telah banyak diteliti
dengan menggunakan berbagai metode, diantaranya SDS-PAGE dan single radial
immunodifusi. Tetapi belum ada penelitian tentang kandungan laktoferin susu domba
dengan metode yang tepat. Identifikasi laktoferin susu domba juga memungkinkan
dengan menggunakan metode tersebut.
Tujuan
Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan informasi tentang kandungan
laktoferin pada kolostrum dan susu domba garut dengan menggunakan metode single
radial immunodifusi dan SDS-PAGE. Selain itu penelitian ini diharapkan dapat
mengetahui kualitas kolostrum dan susu domba garut yang meliputi kualitas
fisikokimia dan mikrobiologi.
2
TINJAUAN PUSTAKA
Domba Garut
Banyak kalangan mengira kambing dan domba adalah sama. Kedua jenis
ternak ini merupakan ternak yang berbeda dan termasuk bangsa yang berbeda.
Domba mengalami dewasa kelamin pada umur 6-9 bulan, sedangkan kambing sudah
mengalami dewasa kelamin pada umur 5-7 bulan. Domba dan kambing memiliki
masa kebuntingan yang sama, yaitu selama 149 hari. Perbedaan kambing dan domba
secara reproduksi dapat dilihat lebih lengkap pada Tabel 1. Domba tergolong ke
dalam famili Bovidae, sub famili Caprinae, ordo Artiodactyla, genus Ovis (Mulyono,
1999). Domba yang dikenal sekarang merupakan hasil domestikasi manusia dari tiga
jenis domba liar, yaitu Mouflon (Ovis musimon) yang berasal dari Eropa Selatan dan
Asia Kecil, Argali (Ovis amon) berasal dari Asia Tenggara dan Urial (Ovis vignei)
yang berasal dari Asia (Pangestu, 1999).
Domba asli pulau Jawa terbagi menjadi tiga kelompok, yaitu domba ekor
tipis (local thin-tailed), domba ekor gemuk (javanese fat-tailed) dan domba priangan
(priangan of west java) (Mulliadi, 1989). Domba garut atau domba priangan berasal
dari persilangan antara tiga bangsa yaitu domba lokal, domba merino dan domba
kaapstad yang berasal dari Afrika (Merkens dan Soemirat, 1926). Domba garut
termasuk domba tipe besar, berat domba jantan dapat mencapai 60-80 kg dan berat
betina sekitar 30-40 kg. Domba garut memiliki daun telinga relatif kecil dan kokoh,
bulu cukup banyak serta domba betina tidak bertanduk sedangkan domba jantan
mempunyai tanduk besar, kokoh, kuat dan melingkar (Mulyono, 1999).
Tabel 1. Parameter Reproduksi Ternak Kambing dan Domba
Parameter Kambing Domba
Jumlah kromosom Umur pubertas (bulan) Panjang siklus estrus (hari) Lama estrus (jam) Terjadinya ovulasi (jam) Jumlah ovum per siklus Lama hidup ova (ova) Lama kebuntingan (hari)
60 5-7
20-21 24-48 24-36 2-3 -
149
54 6-9
16-17 24-36 24-27 1-3
10-25 149
Sumber : Mulyono, 1999
3
Susu Domba
Menurut Edelsten (1988), secara umum susu adalah sekresi kelenjar ambing
dari hewan yang menyusui anaknya. Istilah susu lebih sering diartikan sebagai susu
sapi. Jika susu berasal dari spesies lain, nama spesies tersebut ditambahkan di
belakang kata susu, misalnya susu kambing, susu kuda dan lain-lain. Rahman et al.
(1992) menambahkan, secara kimia susu didefinisikan sebagai emulsi lemak dalam
air yang mengandung gula, garam-garam, mineral dan protein dalam bentuk suspensi
koloidal.
Menurut SNI No 01-3141-1998 susu murni adalah cairan yang berasal dari
ambing sapi yang sehat dan bersih, yang diperoleh dengan cara yang benar, yang
kandungan alaminya tidak dikurangi atau ditambah sesuatu apapun dan belum
mendapat perlakuan apapun. Susu segar adalah susu murni yang disebutkan di atas
dan tidak mendapat perlakuan apapun kecuali proses pendinginan tanpa
mempengaruhi kemurniannya. Spreer (1998) menyebutkan pula bahwa susu mentah
adalah susu asli yang belum mengalami pemanasan lebih dari 40ºC (temperatur asli
susu) dan belum mengalami jenis perlakuan apapun.
Susu domba dibandingkan dengan susu sapi dan susu kambing memiliki
kandungan protein dan lemak yang lebih tinggi, memiliki kemampuan memantulkan
cahaya yang lebih baik, warnanya lebih putih dan lebih tahan terhadap
perkembangan mikroorganisme pada jam pertama setelah menghasilkan susu.
Kandungan protein dan lemak yang tinggi membuat susu domba sangat cocok untuk
pembuatan keju. Susu domba memiliki kandungan karoten yang lebih rendah
dibandingkan susu sapi dan susu kambing. Susu domba memiliki kandungan mineral
terutama kalsium yang tinggi, sehingga meningkatkan daya buffer (Pulina dan
Nudda, 2004). Perbandingan komposisi susu domba dengan berbagai ternak dan
manusia secara lengkap dapat dilihat pada Tabel 2.
Kolostrum
Kolostrum kadang disebut juga “susu ibu” adalah larutan kuning muda yang
diproduksi kelenjar ambing selama jam pertama setelah melahirkan, biasanya mulai
diproduksi sebelum melahirkan dan terkumpul selama beberapa minggu terakhir
kebuntingan (Brandano et al., 2004). Kolostrum disimpan oleh kelenjar ambing
sekitar 2-3 hari terakhir masa kebuntingan dan disekresikan sekitar 2-3 hari pertama
4
setelah melahirkan. Kolostrum tidak diproduksi lagi setelah 4-5 hari setelah
melahirkan, selanjutnya akan terjadi perubahan kolostrum menjadi susu sepenuhnya
(Brandano et al., 2004). Kolostrum memiliki kandungan protein serum yang sangat
tinggi dan seringkali masih terdapat darah (Walstra dan Jenness, 1984).
Tabel 2. Komposisi Susu pada Berbagai Ternak dan Manusia
Komposisi Domba Kambing Sapi Kerbau Manusia
Air (%)
Total padatan (%)
Lemak (%)
Diameter globula lemak (μm)
Total Nitrogen (%)
Kasein (%)
Serum protein (%)
Laktosa (%)
Mineral (%)
Ca (mg/l)
Energi (kkal/l)
Berat Jenis
Derajat keasaman (⁰SH)
pH
Titik beku
82,5
17,5
6,5
4,0
5,5
4,5
1,0
4,8
0,92
193
1050
1,037
8,5
6,65
-0,580
87,0
13,0
3,5
3,9
3,5
2,8
0,7
4,8
0,80
134
650
1,032
8,0
6,60
-0,570
87,5
12,5
3,5
4,4
3,2
2,6
0,6
4,7
0,72
119
700
1,032
7,1
6,50
-0,524
80,7
19,2
8,8
-
4,4
3,8
1,1
4,4
0,8
190
1100
1,030
10,0
6,67
-0,580
87,5
12,5
4,4
-
1,1
0,4
0,7
6,9
0,30
32
690
1,015
-
6,85
-
Sumber : Pulina dan Nudda, 2004
Kolostrum tidak hanya mempunyai kandungan nutrien yang tinggi, tetapi
juga mepunyai bahan biologis aktif yang sangat dibutuhkan untuk kesehatan dan
nutrisi anak. Kolostrum merupakan sumber mineral utama bagi anak yang baru lahir.
Konsentrasi mineral seperti Ca, P, Mg, Fe, Zn, Cu dan Mn sangat tinggi setelah
melahirkan dan menurun seiring waktu postpartum (Kume dan Tanabe, 1993;
Morgante, 2004; Brandano et al., 2004). Kolostrum juga mengandung protein, asam
amino essensial dan non essensial, asam lemak, laktosa, komponen bukan nutrien
5
seperti immunoglobulin, peptida, hormon peptida, faktor pertumbuhan, citokin,
hormon steroid, tiroksin dan enzim (Lona dan Romero, 2001). Kandungan bahan
kering kolostrum lebih tinggi dibandingkan susu. Hal ini berkaitan dengan total
padatan yang lebih tinggi pada kolostrum. Kolostrum juga memiliki konsentrasi
protein yang tinggi, berkaitan dengan kandungan immunoglobulin G yang tinggi.
Selain itu juga diketahui konsentrasi fraksi protein lainnya lebih tinggi pada
kolostrum dibandingkan susu. Fraksi protein tersebut diantaranya laktoglobulin dan
laktoferin (Ontsouka et al., 2003).
Komposisi kimia dan karakteristik fisik kolostrum segar bervariasi dan
dipengaruhi oleh banyak faktor diantaranya karakteristik individu, ras atau bangsa
ternak, pakan yang dikonsumsi sebelum melahirkan, jarak periode kering kandang,
dan waktu pengambilan kolostrum setelah melahirkan (Pritchett et al., 1991; Kume
dan Tanabe, 1993; Brandano et al., 2004). Kadar protein, kadar lemak, kadar bahan
kering dan kadar abu kolostrum paling tinggi pada kolostrum hasil pemerahan satu
jam setelah melahirkan dan semakin menurun seiring bertambahnya waktu
pemerahan setelah melahirkan, tetapi kadar laktosa semakin meningkat seiring
bertambahnya waktu pemerahan setelah melahirkan (Brandano et al., 2004).
Komposisi kolostrum domba pada waktu pemerahan yang berbeda lebih lengkap
dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3. Komposisi Kolostrum Domba Massese
Waktu Setelah Melahirkan (jam) Komposisi 1 12 24
Bahan kering (%)
Lemak (%)
Total Nitrogen (%)
Kasein (%)
Seroprotein (%)
Laktosa (%)
Abu (%)
pH
Berat jenis
29,6
10,5
15,9
6,0
9,5
2,8
1,4
6,37
1,056
25,3
9,2
12,3
5,4
6,4
3,7
0,9
6,42
1,046
22,6
8,8
9,4
5,2
3,7
4,3
0,9
6,50
1,042
Sumber : Brandano et al., 2004
6
Laktoferin
Transpor zat besi dan antimikrobial nonspesifik saat ini sangat penting bagi
kesehatan kelenjar ambing serta nutrisi dan kesehatan anak. Hal ini menyebabkan
banyak perhatian terhadap protein pengikat besi pada susu. Laktoferin dan transferin
merupakan protein pengikat besi yang dominan pada susu atau sekresi kelenjar
ambing (Schanbacher et al., 1993).
Laktoferin merupakan anggota keluarga transferrin, protein pengikat besi.
Laktoferin tergolong dalam glikoprotein pengikat besi yang terdiri atas rantai
polipeptida rantai tunggal (Connely, 2001). Laktoferin terdiri atas dua lobus, yaitu
lobus N dan lobus C. Setiap lobus mengikat ion Fe3+ dan terdiri atas satu rantai
glikan per molekul (Mitoma et al., 2001; Kanyshkova et al., 2003). Laktoferin dan
anggota keluarga transferin lainnya dapat dibedakan dengan protein pengikat besi
lainnya oleh kebutuhan anion unik untuk mengikat besi (Connely, 2001). Bentuk
molekul laktoferin dapat dilihat pada Gambar 1.
Hasil penelitian Sanchez et al. (1992) menunjukkan, laktoferin ditemukan
pada kolostrum dan sitoplasma dengan pendistribusian yang lebih merata
dibandingkan transferin. Laktoferin disintesis oleh kelenjar ambing dan kapasitas
kelenjar ambing untuk mensintesis laktoferin menurun dengan nyata pada 24 jam
pertama laktasi.
Gambar 1. Laktoferin dengan Ikatan Ion Besi
Sumber : Department of Chemistry University of Maine (2005)
7
Laktoferin Sebagai Antimikroba
Laktoferin adalah ikatan besi glikoprotein yang terdapat di dalam susu, air
liur dan sekresi eksokrin lainnya. Protein ini memiliki fungsi biologis termasuk
antimikroba (Conner, 1993; Naidu, 2003; Takakura et al., 2003). Laktoferin
merupakan protein multi fungsi, diantaranya membantu penyerapan besi di usus,
pertumbuhan sel usus, melindungi dari serangan mikroba penyebab infeksi dan
sebagai sistem kekebalan tubuh (Connely, 2001). Laktoferin adalah protein susu
yang memiliki kemampuan antimikroba berspektrum luas. Laktoferin sebagai
pelengkap dapat mereduksi keberadaan E. coli di dalam usus anak sapi dan
mengurangi serangan diare (Robblee et al., 2003). Aktivitas bakteriostatik pada
susu dihubungkan dengan keberadaan laktoferin pada susu (Wang dan Hurley,
1998).
Sifat bakteriostatik laktoferin berhubungan dengan afinitas pengikat besi
yang tinggi, yang mampu mengikat besi dari lingkungan mikroorganisme. Besi
merupakan nutrien penting untuk pertumbuhan dan perkembangbiakan bakteri
(Connely, 2001; Kanyshkova et al., 2003). Sifat bakterisidal laktoferin diduga
dihasilkan oleh daerah kation pada lobus N dari laktoferin yang menyebabkan
kerusakan pada membran luar bakteri (Connely, 2001). Hasil penelitian Wang dan
Hurley (1998) menunjukkan, aktivitas antibakteri laktoferin dipengaruhi oleh
kompleksitas laktoferin dengan protein lainnya. Bukti telah diperoleh bahwa
laktoferin komplek seperti laktoferin-immunoglobulin dapat meningkatkan aktivitas
antibakteri pada sekresi kelenjar ambing.
Kandungan Laktoferin dalam Kolostrum dan Susu
Hasil penelitian Yoshida et al. (2000) menunjukkan kandungan laktoferin
pada kolostrum berbeda antar individu sapi dan juga selama periode laktasi. Menurut
Tsuji et al. (1990), kandungan laktoferin pada kolostrum atau susu beragam antar
spesies dan individu di dalam spesies. Schanbacher et al. (1993) menambahkan, susu
manusia pada awal menyusui memiliki kandungan laktoferin yang tinggi. Hasil
penelitian Ferrer et al. (2000) menunjukkan, kandungan laktoferin pada kolostrum
dan susu manusia bervariasi antara 459,46±190,7 g/dL sampai 575,06±218,2 mg/dL
pada sampel preterm dan dari 292.06±167,4 mg/dL sampai 970,66±288,6 mg/dL
8
pada sampel term. Kandungan laktoferin yang tinggi terdapat di dalam kolostrum,
dan meningkat pada susu jika terjadi mastitis (Tsuji et al., 1990; Conner, 1993).
Kandungan laktoferin pada susu normal meningkat nyata selama infeksi koliform.
Hal ini bisa mencerminkan status infeksi pada ambing (Ferrer et al., 2000).
Single Radial Immunodifusi (SRID)
Single Radial Immunodifusi (SRID) telah dikembangkan oleh Fahey dan
Mckelvey (1965) dan Mancini et al. (1965). SRID spesifik untuk berbagai protein di
dalam serum atau larutan lain dan tergantung pada reaksi dari tiap protein dengan
antibodinya. Teknik radial immunodifusi telah digunakan untuk mengukur kuantitas
laktoferin dan plasma protein lain seperti immunoglobulin (Kent Laboratories, 2006).
Radial immunodifusi didasarkan pada difusi antigen dari suatu sumur ke
dalam suatu gel homogen yang mengandung antiserum spesifik untuk masing-
masing antigen tertentu (Kent Laboratories, 2006). Difusi sampel dan standar ke
dalam agar yang berisi antiserum akan menyebabkan pembentukan suatu zona atau
cincin. Setelah beberapa waktu, diameter cincin akan sebanding dengan konsentrasi
antigen di dalam sumur (Dixon, 1998).
Cincin presipitin terbentuk jika terjadi reaksi antara antibodi pada agar
dengan antigen pada sampel. Menurut Landry (2000), berdasarkan hubungannya
dengan pengikatan antigen, antibodi merupakan divalent dan kebanyakan antigen
merupakan multivalent, ini yang menyebabkan reaksi spesifik antigen-antibodi
menghasilkan kisi-kisi ikatan silang yang membentuk presipitat. Fleksibilitas di
daerah engsel antibodi memiliki kemampuan lebih besar untuk membuat hubungan
multivalent dengan material antigen berbeda. Jeremy et al. (2002) menambahkan,
antibodi IgG terdiri atas empat rantai, dua rantai berat (biru) dan dua rantai ringan
(merah) (Gambar 2) yang diikat oleh ikatan disulfida. Rantai berat dan rantai ringan
bersama-sama membentuk suatu daerah yang memiliki bagian pengikat antigen di
ujungnya.
9
Gambar 2 . Struktur Skematis Molekul IgG
Sodium Dodecyl Sulphate Polyacrylamide Gel Electrophoresis (SDS-PAGE)
Elektroforesis didefinisikan sebagai migrasi muatan molekul di dalam suatu
larutan melalui suatu bidang elektrik. Jenis elektroforesis yang paling umum
dilakukan untuk protein adalah zona elektroforesis yang akan memisahkan protein
dari suatu campuran kompleks menjadi pita oleh migrasi di dalam larutan penyangga
melalui suatu matriks polimer padat yang disebut gel. Gel polyacrylamide adalah
matriks yang yang paling umum untuk zona elekroforesis protein (Smith, 1998).
Power supply dan peralatan elektroforesis terdiri atas matriks gel
polyacrylamide dan dua reservoir buffer yang dibutuhkan untuk melakukan separasi.
Bentuk unit elektroforesis secara umum dapat dilihat pada Gambar 3. Power supply
digunakan untuk membuat medan elektrik dengan memberikan sumber arus, voltase
dan tenaga yang konstan. Elektroda penyangga mengendalikan pH untuk
mempertahankan muatan yang sesuai pada protein dan aliran arus pada gel
polyacrylamide (Smith, 1998).
Gambar 3. Bentuk Skematis Unit Elektroforesis
10
Matriks gel polyacrylamide dibentuk dari polimerisasi akrilamida dan
sejumlah kecil (biasanya 5% atau kurang) reagen ikatan silang,
N,N’-metilenabisakrlamida, seperti pada Gambar 4. Matriks gel terdiri atas stacking
gel dengan ukuran pori besar dan resolving atau running gel dengan ukuran pori
kecil. Ukuran pori resolving gel dipilih berdasarkan bobot molekul protein yang
ingin ditentukan dan tergantung pada konsentrasi akrilamida di dalam larutan (Smith,
1998).
Akrilamida N,N’-metilena- Polimer
bisakrlamida
Gambar 4. Reaksi Polimerisasi Polyacrylamide
11
METODE
Lokasi dan Waktu
Penelitian dilakukan di Bagian Ilmu Produksi Ternak Perah, Departemen
Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan Fakultas Peternakan, Laboratorium
Pascasarjana Departemen Biokimia Fakultas MIPA, Laboratorium Mikrobiologi dan
Biokimia Pusat Penelitian Sumberdaya Hayati dan Bioteknologi, Institut Pertanian
Bogor dan peternakan Ternak Domba Sehat (TDS), Cinagara, Bogor. Penelitian
dilaksanakan dari bulan April sampai Agustus 2006.
Materi
Bahan yang digunakan pada penelitian meliputi bahan kimia untuk uji
kualitas susu, identifikasi laktoferin dengan metode single radial immunodifusi dan
SDS-PAGE. Bahan-bahan tersebut yaitu agarose type II (Sigma-Aldrich Co.), NaN3,
bufer fosfat 0,05 M pH 7,5; air bebas ion, akrilamida, N,N,-Bis-metilen-akrilamida,
tris base, glisina, sodium dodesil sulfat (SDS), ammonium persulfat, asam
trikloroasetit, Coomassie Blue R-250, metanol, asam asetat, merkaptoetanol, gliserin,
biru bromfenol, TEMED, kertas saring, kapas, heksana, K2SO4, CuSO4, selenium,
H2SO4, NaOH, H3BO3, hijau bromokresol-merah metil, HCl, akuades, alkohol 70%,
larutan buffer pH 4 dan 7. Media Plate Count Agar (PCA) dan larutan pengencer
Buffer Peptone Water (BPW) digunakan untuk menghitung total mikroba.
Kolostrum dan susu yang digunakan diperoleh dari domba garut. Domba
tersebut dipelihara pada kondisi manajemen pemeliharaan yang sama pada
peternakan Ternak Domba Sehat (TDS), Cinagara. Laktoferin kolostrum standar,
laktoferin susu standar dan anti laktoferin diperoleh dari Sigma-Aldrich Co.
Peralatan yang digunakan adalah refrigerate centrifuge, refrigerator, freezer,
magnetic stirer, tabung eppendorf, vortex mixer, pH meter, mikropipet, cawan petri,
unit elektroforesis Hoefer SE 400, power supply, shaker water bath, timbangan
analitik, gelas ukur, labu erlenmeyer, spoit, pipet volumetrik, oven, tanur, labu
soxhlet, labu Kjeldahl, alat destruksi, destilator, buret, autoclave, tabung reaksi,
jangka sorong, inkubator, toples plastik.
12
Rancangan
Penelitian ini disusun menggunakan rancangan acak kelompok, dengan susu
hasil pemerahan yang berbeda sebagai perlakuan dan individu domba yang berbeda
sebagai kelompok (Steel dan Torie, 1995). Peubah diamati secara kualitatif, yaitu
hasil uji single radial immunodifusi, uji SDS-PAGE dan kualitas kolostrum dan susu
domba garut. Data yang diperoleh kemudian diolah dan dianalisis secara deskriptif
Prosedur
Penelitian ini terdiri atas penelitian pendahuluan dan penelitian utama.
Penelitian pendahuluan meliputi pengumpulan sampel kolostrum dan susu domba
garut, pengukuran nilai pH, berat jenis, kadar air, kadar abu, kadar lemak, kadar
protein dan penghitungan Total Plate Count (TPC). Penelitian utama meliputi
pemisahan krim, skim, kasein dan whey kolostrum dan susu, uji single radial
immunodifusi dan uji SDS-PAGE.
Pengumpulan Sampel Kolostrum dan Susu Domba garut
Sampel kolostrum dan susu domba garut masing-masing di ambil dari
peternakan Ternak Domba Sehat. Kolostrum dan susu dikumpulkan selama minggu
pertama setelah melahirkan. Sampel kolostrum diperah pada 24, 48 dan 72 jam
setelah melahirkan. Sampel susu diperah pada 4, 5, 6 dan 7 setelah melahirkan.
Pemerahan dilakukan secara manual dengan menggunakan tangan, kolostrum dan
susu yang diperah dimasukkan ke dalam botol steril dan diangkut dengan
menggunakan cool box ke laboratorium. Sampel untuk uji kualitas fisik, kimia dan
mikrobiologi disimpan pada kondisi dingin, sedangkan sampel untuk identifikasi
laktoferin dibekukan.
Pengukuran Nilai pH (BSN, 1992)
Sampel kolostrum atau susu domba garut yang diperlukan untuk setiap
pengukuran adalah 60 ml yang diletakkan dalam gelas ukur. Sebelum pengukuran,
pH meter dikalibrasi terlebih dahulu dengan menggunakan larutan buffer
pH 4 dan 7.
Pengukuran dilakukan dengan mencelupkan ujung elektroda pH meter ke
dalam kolostrum atau susu kambing selama beberapa menit hingga nilai pH pada
13
layar stabil. Ujung elektroda pH meter dibilas dengan akuades sesudah pengukuran
dan dikalibrasi kembali untuk pengukuran sampel berikutnya.
Pengukuran Berat Jenis
Pengukuran berat jenis kolostrum dan susu domba garut tidak bisa dilakukan
sesuai dengan BSN (1998a), karena jumlah kolostrum atau susu hasil sekali
pemerahan tidak mencukupi untuk dilakukan pengukuran sesuai standar. Berat jenis
kolostrum dan susu domba garut dilakukan dengan menimbang 1 ml kolostrum atau
susu domba garut dengan timbangan analitik. Temperatur kolostrum atau susu yang
ditimbang adalah 20-30ºC. Penentuan berat jenis dihitung dengan rumus :
Berat Sampel Berat Jenis = Volume sampel
Pengukuran Kadar Air (BSN, 1998a)
Sampel kolostrum atau susu domba garut sebanyak 1 g dimasukkan ke dalam
cawan dan dimasukkan ke dalam oven pada temperatur 105 ºC selama 4 jam, lalu
ditimbang bobot akhir sampel setelah dikeringkan. Kadar air sampel dihitung dengan
rumus :
Bobot sampel (segar-kering) Kadar Air = x 100% Bobot sampel segar
Pengukuran Kadar Abu (AOAC, 2000)
Sampel kolostrum atau susu domba garut ditimbang sebanyak 2 g,
ditempatkan di dalam wadah porselin dan dibakar sampai tidak berasap. Kemudian
dibakar di dalam tanur dengan temperatur 600 ºC selama 1 jam, lalu ditimbang.
Kadar abu sampel dihitung dengan rumus :
Bobot abu Kadar Abu = x 100% Bobot sampel
14
Pengukuran Kadar Lemak Kolostrum dan Susu Metode Soxhlet (AOAC, 2000)
Sampel kolostrum atau susu domba garut dikeringkan di dalam oven pada
temperatur 100 ºC selama 5 jam untuk mendapatkan berat konstan. Susu domba
garut kering diambil sebanyak 2 g dan disebar di atas kapas yang beralas kertas
saring dan digulung membentuk timble, lalu dimasukkan ke dalam labu sokslet.
Dilakukan ekstraksi selama 6 jam dengan menggunakan pelarut lemak berupa
heksana sebanyak 150 ml. Sampel yang terekstraksi kemudian dikeringkan di dalam
oven pada temperatur 100 ºC selama 1 jam. Bobot sampel kering yang telah
diekstraksi ditimbang. Kadar lemak kasar dihitung dengan rumus :
Bobot lemak terekstraksi Kadar Lemak = x 100% Bobot sampel kering
Pengukuran Kadar Protein Kolostrum dan Susu Metode Kjeldahl (BSN, 1998a)
Sampel sebanyak 1 g, 0,25 g campuran bahan (5 g K2SO4, 0,25 g CuSO4,
0,1g selenium) dimasukkan ke dalam labu Kjeldahl, kemudian ditambahkan 3 ml
H2SO4 dan dicampur dengan baik. Campuran dipanaskan hingga tidak ada uap, lalu
pemanasan diteruskan sampai mendidih selama 1 jam sampai larutan menjadi jernih.
Setelah larutan campuran didinginkan hingga mencapai suhu kamar, campuran
ditambahkan 50 ml akuades 20 ml NaOH 40%, lalu didestilasi. Hasil destilasi
ditampung di dalam labu erlenmeyer yang berisi campuran 10 ml H3BO3 4% dan 2
tetes indikator campuran biru bromkresol-merah metil berwarna merah muda.
Setelah volume hasil tampungan (destilat) menjadi 40 ml dan berwarna hijau
kebiruan, destilasi dihentikan dan destilat dititrasi dengan HCl 0,02 N sampai
berwarna merah muda. Perlakuan yang sama juga dilakukan terhadap blanko. Kadar
Kandungan protein sampel dihitung dengan rumus :
1,4 x N x (A-B) x 6,38 Kandungan Protein (%) = x 100% C
Keterangan :
N = Normal HCl A = Jumlah HCl yang digunakan untuk titrasi sampel (ml) B = Jumlah HCl yang digunakan untuk titrasi blanko (ml) 1,4 = Berat dari N (secara analitik) ekuivalen untuk 1 ml HCl 0,1 N
C = Berat sampel yang digunakan (g)
15
Penghitungan Total Plate Count (TPC) (BSN, 1998a)
Metode yang digunakan dalam penghitungan jumlah total mikroorganisme
yang terdapat dalam susu domba garut adalah metode agar tuang. Sebanyak 1 ml
sampel dimasukkan ke dalam tabung reaksi berisi 9 ml larutan pengencer Buffer
Peptone Water (BPW) steril yang selanjutnya merupakan faktor pengencer 10-1.
Campuran dihomogenkan, kemudian diambil 1 ml larutan dan dimasukkan ke dalam
tabung reaksi berisi 9 ml larutan pengencer NaCl BPW steril sebagai pengenceran
10-2, pengenceran 10-3, 10-4 dan seterusnya diperoleh dengan cara yang sama. Setiap
pengenceran yang diinginkan diambil sebanyak 1 ml menggunakan pipet secara
aseptik, dimasukkan ke dalam cawan petri, dituangi 15-20 ml media steril dan
dihomogenkan. Penghitungan jumlah mikroorganisme dilakukan berdasarkan koloni
yang tumbuh di dalam media Plate Count Agar (PCA).
Pemisahan Whey Kolostrum dan Susu Domba Garut (Yoshida dan Xiuyun, 1991; Yoshida et al., 2000) Krim pada kolostrum dan susu dipisahkan dengan sentrifugasi (12.000 rpm
selama 30 menit pada temperatur 4 ºC), susu skim yang diperoleh ini ditambahkan
HCl 2 N hingga pH 4,6. Endapan kasein yang terbentuk dipisahkan dari whey
dengan menggunakan sentrifugasi (12.000 rpm selama 30 menit pada temperatur
4ºC). Whey asam ini dinetralisasi ke pH 6,8 dengan NaOH 2N dan disentrifugasi
kembali (12.000 rpm selama 30 menit pada temperatur 4 ºC). Supernatan diambil dan
disimpan di dalam freezer untuk digunakan pada analisis selanjutnya. Diagram alir
pemisahan whey lebih lengkap ditampilkan pada Gambar 5.
16
Gambar 5. Diagram Alir Pemisahan Whey Kolostrum dan Susu
Uji Single Radial Immunodifusi (SRID) (Mancini et al., 1965; Tsuji et al., 1990) Kadar laktoferin di dalam air kolostrum dan susu diukur dengan metode
single radial immunodifusi. Antigen laktoferin didifusikan ke dalam agar yang telah
dicampur antibodi, kemudian zona bening yang terbentuk dihitung dan
diproposionalkan dengan logaritma dari konsentrasi antigen. Selanjutnya sampel
antigen yang belum diketahui konsentrasinya dibandingkan dengan kurva yang telah
dibuat dari antigen yang telah diketahui konsentrasinya.
Disiapkan 1 % agarose di dalam 0,05 M bufer fosfat pH 7,5 mengandung
0,1% (b/v) NaN3 dan 2% anti-laktoferin (Sigma-Aldrich Co). Larutan agarose
dimasukkan ke dalam cawan petri dengan ketebalan 1,5 mm. Sumur pada gel dibuat
dengan diameter 5 mm dengan jarak antar sumur 12 mm (Gambar 6). Sebanyak 20 μl
sampel whey yang akan diukur kandungan laktoferinnya dimasukkan ke dalam
sumur. Sebagai standar, laktoferin dari susu sapi dan laktoferin dari kolostrum sapi
(Sigma-Aldrich Co) masing-masing dengan konsentrasi 1,17 mg/ml dan 11,7 mg/ml
dimasukkan ke dalam sumur. Diameter cincin presipitin sampel yang diuji diplot
pada kurva standar laktoferin untuk mendapatkan konsentrasi laktoferin sampel
(Gambar 7).
17
Gambar 6. Pola Sumur Uji Single Radial Imunodifusi
Gambar 7. Penentuan Konsentrasi Laktoferin dengan Metode Single Radial
Immunodifusi
Metode Sodium Dodecyl Sulphate Polyacrylamide Gel Electrophoresis (SDS-PAGE) Justifikasi hasil Single Radial Immunodifusi dan pengukuran berat molekul
laktoferin dilakukan dengan menggunakan metode SDS-PAGE (Laemmli, 1970)
dengan gel pemisah (running gel) 7,5% dan gel penahan (stacking gel) 3%. Sebelum
dimasukkan ke dalam sumur whey susu domba garut ditambahkan bufer dissosiasi
dengan perbandingan 2:1, kemudian dipanaskan dalam penangas air selama 3 menit.
Sampel whey susu domba yang telah disiapkan sebanyak 20 µl dimasukkan ke dalam
sumur di gel penahan dan dirunning dalam 600 ml resevoir buffer pada 30 mA
selama 2 jam. Gel difiksasi di dalam larutan TCA 12% selama 4 jam sambil terus
18
digoyang, pewarnaan dilakukan selama semalam di dalam larutan staining. Gel yang
telah diwarnai dibilas dengan larutan destaining sambil terus digoyang sampai
terbentuk gel dengan latar belakang pita protein-protein dalam keadaan bersih.
Komposisi bahan-bahan yang digunakan lebih lengkap dapat dilihat pada
Lampiran 1.
Bobot molekul ditentukan dengan membuat kurva protein standar (marker)
dari bobot molekul yang diketahui diplot pada relative mobility (Rm = Mobilitas
Relatif) yang diperoleh dan mobiltas relatif protein yang ingin diketahui bobot
molekulnya diplot pada kurva tersebut (Gambar 8). Mobilitas relatif dihitung dengan
rumus :
Jarak migrasi protein dari awal resolving gel Mobilitas relatif =
Jarak antara awal resolving gel dengan tracking dye
A B Gambar 8. Penentuan Bobot Molekul Protein dengan Metode SDS-PAGE.
(A) Separasi Standar Marker dan Protein yang Ingin Diketahui. (B) Kurva Standar untuk Penentuan Bobot Molekul Protein
19
HASIL DAN PEMBAHASAN
Kualitas Kolostrum dan Susu Domba Garut
Komposisi Kolostrum dan Susu Domba Garut
Kadar protein, kadar lemak, kadar bahan kering, berat jenis dan nilai pH
kolostrum dan susu domba garut yang diperoleh (Tabel 4) masih sesuai dengan
pernyataan Johnson (1974), Bonczar dan Regula (2003) dan Pulina dan Nudda
(2004), yaitu kadar protein berkisar antara 5,20 %-5,5 %; kadar lemak berkisar antara
4,66 %-7,9 %; kadar bahan kering berkisar antara 16,18 %-19,29 %; berat jenis
1,035-1,037 g/ml dan nilai pH antara 6,63-6,65. Komposisi kolostrum dan susu
domba garut pada penelitian ini juga masih memenuhi syarat mutu susu segar
menurut SNI No. 01-3141-1998, yaitu kadar lemak minimum 3,0%, kadar
protein minimum 2,7% dan berat jenis minimum 1,028 g/ml.
Tabel 4. Komposisi Kolostrum dan Susu Domba pada Minggu Pertama Setelah Melahirkan
Waktu Pemerahan Setelah Melahirkan)* Kolostrum Susu
Komposisi 48 Jam 72 Jam 96 Jam
Standar Minimum Susu Segar
(BSN, 1998b)
Bahan kering (%)
Lemak (%)
Protein (%)
Abu (%)
pH
Berat jenis (g/ml)
Total Plate Count (cfu/ml)
17,44
7,16
4,62
0,61
6,53
1,047
3,1 x 102
18,69
7,51
5,01
1,00
6,63
1,038
6,0 x 103
13,38
4,83
4,94
1,03
6,68
-
-
8,0**
3,0
2,7
-
-
1,028
1,0 x 106
Keterangan : *) Hasil Penelitian **) Bahan Kering Tanpa Lemak
Komposisi lemak dan bahan kering susu domba garut mulai menurun pada
pemerahan 96 jam setelah melahirkan. Hal ini bisa disebabkan oleh terjadinya
perubahan kolostrum menjadi susu normal. Susu hasil pemerahan 2-3 hari pertama
setelah melahirkan masih berupa kolostrum. Sesuai dengan pernyataan
Brandano et al, (2004), bahwa kolostrum tidak diproduksi lagi setelah 4-5 hari
20
setelah melahirkan, selanjutnya akan terjadi perubahan kolostrum menjadi susu
sepenuhnya. Menurut Johnson (1974) kolostrum memiliki kandungan bahan kering,
kadar lemak dan kadar protein yang tinggi, hasil yang sama diperoleh pada penelitian
ini. Susu hasil pemerahan 48 dan 72 jam memiliki kandungan bahan kering dan
lemak yang hampir sama, karena masih berupa kolostrum. Kandungan bahan kering
dan lemak kolostrum domba garut lebih tinggi dibandingkan susu hasil pemerahan
96 jam setelah melahirkan. Walaupun memiliki kadar lemak dan bahan kering yang
lebih tinggi dibandingkan susu domba garut hasil pemerahan 96 jam, nilai kadar
lemak dan bahan kering tersebut masih di bawah nilai kadar lemak dan bahan kering
kolostrum yang diperoleh Brandano et al. (2004) pada pemerahan 24 jam pertama
setelah melahirkan. Menurut Brandano et al. (2004) kolostrum pada pemerahan 24
jam pertama setelah melahirkan memiliki kadar lemak 8,8% dan kadar bahan kering
22,6%. Komposisi kolostrum domba berbeda signifikan pada pemerahan 24 jam
pertama setelah melahirkan, sedangkan kolostrum hasil pemerahan 24-72 jam setelah
melahirkan tidak berbeda terlalu besar dibanding komposisi susu normal.
Kadar protein susu domba garut hasil pemerahan pada waktu yang berbeda
memiliki nilai yang hampir sama, tidak sesuai dengan pernyataan Johnson (1974)
yang menyatakan kadar protein kolostrum lebih tinggi dibanding susu normal.
Globulin sangat menentukan kadar protein pada kolostrum (Schmidt, 1971).
Rendahnya kadar protein kolostrum domba garut dapat disebabkan oleh rendahnya
kadar globulin, karena globulin dihasilkan maksimal pada 24 jam pertama setelah
melahirkan Ontsouka et al. (2003) menambahkan, kandungan total protein pada
kolostrum yang tinggi dipengaruhi oleh immunoglobulin G (IgG) yang tinggi pada
kolostrum dibanding susu normal. Selain immunoglobulin G (IgG), konsentrasi
fraksi protein yang lain seperti laktoglobulin, laktoferin dan transferin juga lebih
tinggi dibanding susu normal. Immunoglobulin merupakan antibodi yang
disekresikan cukup banyak di dalam susu pada 24 jam pertama setelah melahirkan.
Susu merupakan media pertumbuhan yang baik bagi mikroorganisme.
Pemerahan pada mamalia yang laktasi minimal dilakukan dua kali sehari. Susu
sebagai makanan yang bersifat perisabel sangat mudah terkontaminasi oleh mikroba.
Terdapat tiga sumber dasar kontaminasi mikroba pada susu, yaitu dari dalam ambing
21
sendiri, dari bagian luar ambing dan puting dan dari penangan susu dan peralatan
penyimpanan (Chambers, 2002).
Jumlah total mikroba pada kolostrum dan susu domba garut pada waktu
pemerahan 48 dan 72 jam setelah melahirkan secara berturut-turut adalah
3,1x102 cfu/ml dan 6,0x103 cfu/ml. Jumlah total mikroba pada kolostrum dan susu
domba garut masih sesuai dengan SNI (2000), yaitu batas maksimum total mikroba
pada susu segar sebesar 1,0x106 cfu/ml. Hal ini menunjukkan susu domba garut
masih layak untuk diolah lebih lanjut untuk dikonsumsi.
Pemisahan Krim dan Skim Kolostrum dan Susu Domba Garut
Pemisahan lemak dan kasein bertujuan untuk mengkonsentrasikan laktoferin
pada whey, sehingga pada analisis selanjutnya laktoferin lebih mudah untuk
dideteksi. Sesuai dengan pernyataan Bos et al. (2000), bahwa laktoferin merupakan
komponen utama pada whey manusia, walaupun hanya sedikit pada whey sapi. Hasil
penelitian Kunz dan Lonnerdall (1989) menunjukkan pemisahan protein-protein
whey susu secara elektroforesis, yang dominan adalah laktoferin dan serum albumin
dengan pita yang lebih tebal dan gelap.
Sentrifugasi kolostrum dan susu dengan kecepatan 12.000 rpm selama 30
menit dapat memisahkan lemak dengan skim susu. Lemak susu akan membentuk
lapisan tipis pada bagian atas. Lemak susu memiliki berat jenis yang lebih rendah
dibandingkan susu skim, sehingga setelpah disentrifugasi membentuk lapisan di
bagian atas. Hasil sentrifugasi kolostrum dan susu domba garut dapat dilihat pada
Gambar 9. Lemak kolostrum dan susu domba garut memiliki warna putih, berbeda
dengan lemak susu sapi yang berwarna kekuning-kuningan. Warna lemak kolostrum
dan susu domba garut lebih putih disebabkan oleh kandungan karoten yang lebih
rendah di dalam lemak susu domba garut dibandingkan di dalam lemak susu sapi
maupun di dalam lemak susu dari ternak lainnya.
Pemisahan Kasein dan Whey Kolostrum dan Susu Domba Garut
Pengasaman susu sapi pada pH 4,6 secara umum dapat menyebabkan
penggumpalan kasein dan terbentuknya whey. Menurut Singh dan Bennet (2002),
susu sapi dapat digumpalkan pada pH 4,6 yang merupakan pH isoelektrik susu sapi.
22
Hasil penelitian Kunz dan Lonnerdall (1989) menyatakan bahwa penurunan pH susu
dapat menghasilkan whey yang lebih bersih dan fraksi kasein pada whey menjadi
lebih sedikit.
Gambar 9. Hasil Pemisahan Krim dan Skim Kolostrum dan Susu Domba Garut dengan Sentrifugasi
Susu atau kolostrum skim yang diperoleh dari hasil sentrifugasi ditambah
dengan HCl 2N hingga pH 4,6. Skim dari kolostrum dan susu domba garut belum
menghasilkan pemisahan antara kasein dan whey yang nyata. Hal ini disebabkan
muatan pada protein susu belum sepenuhnya dinetralkan oleh ion H+ dari HCl. Hasil
pemisahan antara kasein dan whey kolostrum dan susu domba garut lebih baik
setelah dilakukan sentrifugasi dengan kecepatan 12.000 rpm selama 30 menit
sentrifugasi dilakukan pada suhu rendah (4ºC) untuk menghindari terjadinya
kerusakan pada laktoferin yang akan diidentifikasi selanjutnya. Hasil pemisahan
antara kasein dan whey dengan sentrifugasi dapat dilihat pada Gambar 10.
A B C
Gambar 10. Hasil Pemisahan Kasein dan Whey Susu Domba Garut dengan Sentrifugasi (A: Domba 1; B: Domba 2; C: Domba 3)
23
Identifikasi Laktoferin Kolostrum dan Susu Domba Garut dengan Metode Single Radial Immunodifusi (SRID)
Teknik radial immunodiffusi telah digunakan untuk mengukur kuantitas
laktoferin dan plasma protein lain seperti immunoglobulin. Difusi sampel dan standar
ke dalam agar yang berisi antiserum akan menyebabkan pembentukan suatu zona
atau cincin. Setelah beberapa waktu, diameter cincin akan sebanding dengan
konsentrasi antigen di dalam sumur (Dixon, 1998).
Hasil penelitian menunjukkan adanya pembentukan cincin presipitin berupa
zona keruh di sekeliling sumur, kecuali pada sampel susu Domba 1 yang diperah
pada 72 jam setelah melahirkan (Gambar 11). Terbentuknya cincin presipitin
menunjukkan adanya laktoferin di dalam sampel yang bereaksi dengan antibodi yang
digunakan. Antibodi yang digunakan adalah anti-human laktoferin (Sigma-Aldrich).
Antibodi ini bereaksi dengan laktoferin pada susu terutama susu manusia.
A B C
Gambar 11. Hasil Uji Radial Immunodifusi pada Susu Domba 1. A) Pemerahan 24 Jam Setelah Melahirkan, B) Pemerahan 48 Jam Setelah Melahirkan dan C) Pemerahan 72 Jam Setelah Melahirkan
Kandungan Laktoferin Kolostrum dan Susu Domba Garut
Diameter cincin presipitin yang terbentuk bervariasi antar domba dan waktu
pemerahan (Tabel 5). Diameter cincin presipitin yang terbentuk ekuivalen dengan
konsentrasi laktoferin pada sampel. Hal ini berarti semakin besar diameter cincin
presipitin yang terbentuk, maka semakin tinggi kadar laktoferin pada sampel
tersebut. Diameter cincin presipitin yang tertinggi adalah 6,55 mm pada susu domba
3 hasil pemerahan 48 jam, sedangkan susu domba 1 hasil pemerahan 72 jam setelah
melahirkan tidak terbentuk cincin presipitin. Berdasarkan diameter cincin presipitin,
kandungan laktoferin pada susu domba bervariasi antar individu domba dan waktu
24
pemerahan. Hal ini sesuai dengan pernyataan Tsuji et al. (1990), bahwa kandungan
laktoferin pada kolostrum atau susu beragam antar spesies dan antar individu di
dalam spesies.
Tabel 5. Hasil Uji Single Radial Immunodifusi
Ternak Umur Laktasi Rata-rata Diameter Cincin Presipitin (mm)
Domba 1 24 jam 48 jam 72 jam
6,15 ± 0,02 6,21 ± 0,31 5,00 ± 0,00
Domba 2 24 jam 48 jam 7 hari
6,26 ± 0,15 6,32 ± 0,39 6,30 ± 0,23
Domba 3 24 jam 48 jam 5 hari 7 hari
6,27 ± 0,46 6,55 ± 0,53 6,37 ± 0,21 6,22 ± 0,10
Keterangan : Diameter sumur 5,00 mm
Konsentrasi laktoferin pada kolostrum dan susu domba garut dalam penelitian
ini belum dapat ditentukan secara kuantitatif. Hal ini disebabkan standar laktoferin
yang digunakan tidak menghasilkan cincin presipitin. Konsentrasi laktoferin dengan
demikian hanya bisa diduga secara kualitatif berdasarkan besarnya diameter cincin
presipitin yang terbentuk. Kadar laktoferin pada kolostrum dan susu domba garut
diduga lebih tinggi dari 11,7 mg/ml. Anti-laktoferin yang digunakan belum mampu
bereaksi dengan standar laktoferin dengan konsentrasi 11,7 mg/ml untuk
menghasilkan cincin presipitin. Hal ini tidak sejalan dengan Tsuji et al. (1990) yang
mendapatkan konsentrasi laktoferin kolostrum sapi tertinggi sebesar 11,77 mg/ml
dan konsentrasi terendah tidak terdeteksi dengan metode RID. Konsentrasi standar
laktoferin pada penelitian juga lebih tinggi dibandingkan konsentrasi standar
lipoprotein densitas rendah (low density lipoprotein/LDL) yang digunakan
Bosa et al. (1985), yaitu sebesar 40-240 mg/dl (0,4-2,4 mg/ml). Hal ini bisa
disebabkan oleh anti-laktoferin hanya mampu bereaksi dengan laktoferin yang
memiliki konsentrasi tinggi di dalam kolostrum dan susu domba garut. Antibodi
yang digunakan lebih spesifik dan lebih optimum bereaksi dengan laktoferin susu
atau kolostrum manusia. Didukung oleh Kent Laboratories (2006) yang menyatakan
bahwa single radial immunodifusi spesifik pada berbagai protein dan tergantung
25
pada reaksi setiap protein dengan antibodi yang spesifik. Anti-laktoferin yang
digunakan adalah anti-human laktoferin dari serum kelinci (Sigma-Aldrich Co.).
Diameter sumur dan jumlah sampel yang digunakan pada metode SRID juga
bisa berpengaruh terhadap zona presipitin yang dihasilkan. Penelitian ini
menggunakan diameter sumur 5 mm dan jumlah sampel yang didifusikan di sumur
sebesar 20 μl, berbeda dengan penelitian Bosa et al. (1985) dengan menggunakan
diameter sumur 1,8 mm dan jumlah sampel yang didifusikan sebesar 4 μl. Volume
sampel yang lebih besar diharapkan menghasilkan cincin presipitin yang lebih jelas
dan besar, karena kandungan laktoferin yang bereaksi dengan antibodi juga lebih
banyak. Bosa et al. (1985) menyatakan, apabila konsentrasi antigen besar pada
sampel, maka waktu inkubasi sebelum 5 hari menyebabkan cincin presipitin yang
terbentuk belum optimal. Sebaliknya konsentrasi antigen kecil akan menghasilkan
cincin presipitin yang kecil dan waktu optimum terbentuknya cincin presipitin lebih
cepat. Kekurangan penggunaan sampel dengan volume besar adalah kemungkinan
terjadinya penguapan pada whey, sehingga laktoferin di dalam whey tidak berdifusi
secara sempurna di dalam gel. Laktoferin akan tertinggal di sekitar sumur, sehingga
konsentrasi laktoferin tidak dapat ditentukan secara tepat.
Metode SRID pada penelitian menggunakan 1% agarose dan waktu inkubasi
selama 5 hari. Penggunaan konsentrasi agarose lebih dari 1% lebih sulit ditangani,
karena gel lebih cepat mengeras. Penelitian Bosa et al. (1985) uji RID menggunakan
standar lipoprotein densitas rendah (LDL) menunjukkan diameter cincin presipitin
yang maksimal dipengaruhi oleh waktu inkubasi dan konsentrasi agarose yang
digunakan. LDL konsentrasi rendah disarankan waktu inkubasi lebih cepat (24 jam),
sedangkan konsentrasi LDL di atas 200 mg/dl disarankan diinkubasi 5-6 hari untuk
mendapatkan diameter cincin presipitin yang linier.
Diameter zona presipitin memiliki pola yang hampir sama pada ketiga
domba. Diameter cincin presipitin meningkat sampai pemerahan 48 jam dan
menurun setelah 48 jam melahirkan (Gambar 12). Hal ini bisa disebabkan oleh susu
setelah pemerahan 48 jam telah terjadi perubahan menjadi susu seutuhnya atau susu
normal, sedangkan hasil pemerahan sebelum 48 jam masih berupa kolostrum. Hal ini
sesuai dengan pernyataan Playford et al. (2000) yang menyatakan kolostrum
merupakan susu yang diproduksi pada 48 jam pertama setelah melahirkan dan
26
keberadaan laktoferin yang signifikan hanya pada kolostrum (Renner ,1989; Tsuji et
al., 1990; Conner, 1993; Schanbacher et al., 1993).
4,50
5,00
5,50
6,00
6,50
7,00
0 50 100 150 200
Waktu Pemerahan Setelah Melahirkan (Jam)
Dia
met
er C
inci
n Pr
esip
itin
(mm
)
Domba 1Domba 2Domba 3
Gambar 12. Pola Diameter Cincin Presipitin Laktoferin Kolostrum dan Susu Domba Garut pada Waktu Pemerahan Berbeda
Menurut Renner et al. (1989), pada susu sapi keberadaan laktoferin yang
signifikan hanya pada kolostrum dan menurun sampai enam bulan laktasi dengan
peningkatan kembali setelah itu. Kolostrum manusia juga memiliki kandungan
laktoferin yang tinggi dan menurun secara cepat pada minggu pertama laktasi. Hal
ini juga berlaku pada domba garut. Berdasarkan diameter cincin presipitin yang
terbentuk, kandungan laktoferin pada susu domba menurun setelah 48 jam laktasi.
Diameter zona presipitin pada domba 1 pemerahan 72 jam setelah melahirkan
menurun secara drastis dan tidak terdeteksi adanya zona presipitin. Berbeda dengan
kedua domba lainnya, penurunan juga terjadi namun tidak secara drastis. Terjadinya
kasus infeksi pada ambing merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi
kandungan laktoferin pada susu. Menurut Renner et al. (1989) peningkatan
konsentrasi laktoferin pada susu yang berasal dari ambing yang diinfeksi oleh bakteri
patogen, sedangkan jika infeksi oleh bakteri patogen dalam jumlah sedikit tidak
berpengaruh signifikan terhadap peningkatan konsentrasi laktoferin. Tsuji et al.
(1990) menambahkan konsentrasi laktoferin pada susu normal akan meningkat
selama infeksi koliform. Hal di atas tidak begitu berpengaruh terhadap konsentrasi
laktoferin pada susu domba garut yang diuji, karena jumlah total mikroba pada susu
domba garut masih sesuai standar. Jumlah rata-rata total mikroba pada susu yang
27
diuji, hasil pemerahan 24, 48 dan 72 jam setelah pemerahan secara berturut-turut
adalah 8,0x102 cfu/ml, 3,1x102 cfu/ml dan 6,0x103 cfu/ml masih sesuai dengan SNI
(2000), yaitu batas maksimum total mikroba pada susu segar sebesar 1,0x106 cfu/ml.
Identifikasi Laktoferin Kolostrum dan Susu Domba garut dengan Metode SDS-PAGE
Sampel yang digunakan untuk uji radial immunodifusi diuji kembali dengan
SDS-PAGE untuk mengetahui keberadaan laktoferin pada masing-masing sampel.
Metode SDS-PAGE digunakan untuk menguji keberadaan laktoferin pada sampel
yang kemungkinan tidak dapat dideteksi dengan metode immunodifusi.
Menurut Smith (1998) protein biasanya dipisahkan dengan menggunakan
konsentrasi gel 4-15 %. Konsentrasi gel 15% digunakan untuk memisahkan protein
dengan bobot molekul dibawah 50 kDa, sedangkan untuk protein dengan bobot
molekul lebih dari 500 kDa mengunakan konsentrasi gel dibawah 7%. Hal ini berarti
untuk memisahkan laktferin yang memiliki bobot molekul sekitar 70-90 kDa dapat
mengunakan konsentrasi gel antara 7-15%. Kunz dan Lonnerdal (1989) memisahkan
protein pada whey susu manusia dengan menggunakan Polyacrylamide gradient gel
electrophoresis (PAGGE) dengan konsentrasi gel 3-27% pada 35 mA selama 6 jam
atau 10-20% selama 4 jam.
Penggunaan konsentrasi gel pada penelitian sebesar 7,5% berbeda dengan
penelitian Yoshida dan Xiuyun (1991) yang menggunakan konsentrasi gel 12,5%
pada 6,5 mA selama 15 jam, mampu mendapatkan pita laktoferin yang lebih jelas.
Penelitian ini sesuai dengan Yosihida et al. (2000) melakukan pemisahan laktoferin-a
dan laktoferin-b dari kolostrum sapi dengan menggunakan konsentrasi gel 7,5%.
Hasil SDS PAGE dengan menggunakan konsentrasi 7,5% dapat dilihat pada
Gambar 13.
28
Gambar 13. Hasil SDS-PAGE (7,5% Gel) Whey Susu Domba (1-3 : Domba 1
pemerahan 24, 48 dan 72 jam setelah melahirkan; 4 : marker; 5 : standar laktoferin; 6-8 : Domba 2 pemerahan 24 jam, 48 jam dan 7 hari setelah melahirkan; 9-12 : Domba 3 pemerahan 24 jam, 48 jam, 5 hari dan 7 hari setelah melahirkan)
Sodium dodesil sulfat (SDS) dan reducing agent yang terdapat di dalam
dissociation buffer berfungsi untuk memisahkan protein menjadi subunit-subunit.
Reducing agent yang digunakan adalah mercaptoethanol yang dapat mengurangi
ikatan disulfida pada protein subunit atau antar subunit. Protein mengikat SDS,
sehingga menjadi bermuatan negatif. Hal ini menyebabkan protein terpisah
berdasarkan ukuran dengan sendirinya (Smith, 1998).
Sampel yang dielektroforesis adalah sampel whey yang telah ditambahkan
dengan dissociation buffer, sehingga semakin besar jumlah dissociation buffer yang
ditambahkan maka konsentrasi laktoferin pada larutan tersebut akan semakin rendah.
Konsentrasi laktoferin yang rendah pada larutan akan menyebabkan pita laktoferin
yang terbentuk setelah dielektroforesis tidak terlalu tebal. Hal ini dapat dilihat pada
hasil penelitian (Gambar 13).
SDS-PAGE mempertegas hasil identifikasi laktoferin dengan metode
imunodifusi. Hasil SDS-PAGE menunjukkan terdapat pita yang diduga merupakan
laktoferin pada semua domba dan waktu pemerahan. Hal ini berbeda dengan hasil uji
immunodifusi, pada sampel Domba 1 hasil pemerahan 72 jam setelah melahirkan
tidak terdapat zona presipitin. Hal ini bisa disebabkan oleh kandungan laktoferin
pada sampel 72 jam setelah melahirkan terdapat dalam jumlah sangat kecil sehingga
tidak dapat dideteksi dengan metode immunodifusi.
29
Tidak ada perbedaan bobot molekul laktoferin dari kolostrum dan susu susu
domba garut antar individu dan antar waktu pemerahan. Perkiraan bobot molekul
laktoferin kolostrum dan susu domba garut hasil SDS-PAGE dengan menggunakan
konsentrasi gel 7,5% adalah 73.144 Dalton (Da). Ini berbeda dengan hasil penelitian
Hurley et al. (1993), perkiraan bobot molekul laktoferin dari sekresi kelenjar ambing
sapi mendekati 83 dan 87 kDa. Yoshida et al. (2000) menambahkan bobot molekul
laktoferin a diperkirakan pada 84.000 Da dan 80.000 Da untuk laktoferin b.
Nibbering et al.(2001) menggunakan laktoferin dari susu manusia dengan bobot
molekul 77.000 Da hasil pemurnian dengan menggunakan kromatografi penukar
kation.
30
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Identifikasi laktoferin dapat dilakukan dengan metode single radial
immunodifusi (SRID) maupun SDS-PAGE. Metode SRID tidak mampu
mengidentifikasi laktoferin dengan konsentrasi rendah di dalam kolostrum dan susu
domba garut. Bobot molekul laktoferin kolostrum dan susu domba garut berdasarkan
hasil SDS-PAGE adalah 73.144 Da. Kandungan laktoferin pada kolostrum dan susu
domba garut berdasarkan diameter zona presipitin meningkat sampai 48 jam setelah
melahirkan dan turun kembali 48 jam setelah melahirkan.
Saran
Perlu penelitian lebih lanjut tentang kandungan laktoferin pada kolostrum dan
susu domba garut selama masa laktasi dengan metode lain seperti menggunakan
kromatografi penukar kation untuk mendapatkan laktoferin murni dan perlu
diketahui aktivitas antimikroba laktoferin tersebut. Selain itu perlu diketahui
pengaruh diameter sumur yang berbeda terhadap zona presipitin yang dihasilkan
pada metode SRID.
31
UCAPAN TERIMAKASIH
Puji dan Syukur Alhamdulliah penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT atas
limpahan nikmat yang tak terhingga, karunia, rahmat, dan pertolongan-Nya sehingga
skripsi ini dapat diselesaikan.
Skripsi ini Penulis persembahkan kepada Ibu, untuk setiap tetes keringat dan
pengorbanan hingga kami semua bisa mengenyam pendidikan tinggi. Penulis
mengucapkan banyak terima kasih kepada Benni Djohan, ST., Dewi Rahayu, SE.Ak.
dan Fitria Santi, kakak dan abang yang banyak membantu baik materi, doa, motivasi,
kasih sayang, serta semangat yang tiada henti diberikan, Henni, SE., Masnurizen,
ST., serta seluruh keluarga besar R. Asia (Alm.), R.Urai, dan Salhan Karim (Alm.)
yang turut mendukung dan banyak memberikan bantuan baik moril maupun materil.
Ucapan terima kasih Penulis sampaikan khusus kepada Dr. Ir. Rarah R. A.
Maheswari, DEA dan Irmanida Batubara, S.Si., M.Si yang telah membimbing,
mengarahkan, dan membantu penyusunan usulan proposal hingga tahap akhir
penulisan skripsi. Ucapan terima kasih juga Penulis ucapkan kepada Dr. Ir. Cece
Sumantri, M.Agr.Sc dan Dr. Ir. Toto Toharmat, M.Agr.Sc. yang telah menguji, dan
memberikan sumbangan pemikiran serta masukan dalam penulisan skripsi ini.
Ucapan terima kasih Penulis sampaikan juga kepada Dr. Ir. Bagus P.
Purwanto, M.Agr.Sc. atas bimbingan akademik kepada penulis sampai akhirnya
penulis dapat menyelesaikan pendidikan di Fakultas Peternakan. Peternakan Ternak
Domba Sehat (TDS) atas kerjasamanya dalam pengambilan sampel susu, teknisi lab.
biokimia atas bimbingan dan bantuannya selama penelitian.
Tak lupa kepada teman-teman di IMAKUSI-Bogor, Yefri yang banyak
membantu selama penelitian, Karyadinata, S.Pt., Ferry C.K, S.Pt., Sriduresta, S.Pt.,
M.Sc., THT 39 khususnya Slamet Mulyanto, Ari Retnowati, S.Pt. dan tim emulsi,
tim antimikroba susu fermentasi, tim protein, tim buih, THT 40 (tim yogurt
sinbiotik), dan teman-teman di IKPMR Bogor.
Terakhir Penulis ucapkan terima kasih banyak kepada civitas akademika
Fakultas Peternakan IPB. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi yang membacanya.
Bogor, September 2006
Penulis
32
DAFTAR PUSTAKA
AOAC International. 2000. Official Methods of Analysis, 17th ed. AOAC International, Gaithersburg.
Badan Standardisasi Nasional. 1992. SNI 01-2891-1992 : Cara Uji Makanan dan Minuman. Dewan Standardisasi Nasional, Jakarta.
Badan Standardisasi Nasional. 1998a. SNI 01-2782-1998/Rev. 1992 : Metoda Pengujian Susu Segar. Dewan Standardisasi Nasional, Jakarta.
Badan Standardisasi Nasional. 1998b. SNI 01-3141-1998 : Susu Segar. Dewan Standardisasi Nasional, Jakarta.
Badan Standardisasi Nasional. 2000. SNI 01-6366-1998 : Batas Maksimum Cemaran Mikroba dan Batas Maksimum Residu dalam Bahan Makanan Asal Hewan. Dewan Standardisasi Nasional, Jakarta.
Bonczar, G dan A. Reguła. 2003. The influence of different amount of starter culture on the properties of yogurts obtained from ewe’s milk. Electronic Journal of Polish Agricultural Universities, Food Science and Technology, Volume 6, Issue 2. http://www.ejpau.media.pl/series/volume6/issue2/food/art-04.html. [6 Juli 2006].
Bos, C., C. Gaudichon dan D. Tome. 2000. Nutritional and physiological criteria in
the assessment of milk protein quality for humans. The American Journal of Clinical Nutrition. 19 (2):191S-205S.
Brandano, P., S. P. G. Rassu dan A. Lanzu. 2004. Feeding dairy lambs. Dalam : G.
Pulina dan R. Bencini (Editors). Dairy Sheep Nutrition. CABI Publishing, Wallingford.
Connely, O. M. 2001. Review : Antiinflammatory activities of lactoferrin. Journal of
the American College of Nutrition. 20 (2):389S-395S. Conner, D. E. 1993. Naturally occuring compounds. Dalam : P. M. Davidson,
A. L. Branen (Editors). Antimicrobial in Food. 2nd Edition. Marcel Dekker, inc., New York.
Department of Chemistry University of Maine. 2005. Conformational Changes in Proteins–III.http://chemistry.umeche.maine.edu/HY431/conformation3.html. [27 Juni 2006].
Dixon, D. E. 1998. Immunoassays. Dalam : S. S. Nielsen (Editor). Food Analysis
Second Edition. Aspen Publishers, inc., New York.
Edelsten, D. 1988. Composition of milk. Dalam: H. R. Cross (Editor). Meat Science, Milk Science and Technology. Elsevier Science Publisher B. V., New York.
33
Fahey, J. L. dan E. M. McKelvey. 1965. Quantitative determination of serum immunoglobulins in antibody-agar plates. Journal of Immunology. 94:84.
Ferrer, P. A. R., A. Baroni, M. E. Sambucetti, N. E. Lo´pez, dan J. M. C. Cernadas,
MD. 2000. Lactoferrin levels in term and preterm milk. Journal of the American College of Nutrition. 19 (3): 370–373.
Jeremy, M. B., J. L. Tymoczko dan L. Stryer. 2002. Biochemistry Fifth Edition.
http://hcs.whfreeman/biochem5/.[14 Juli 2006] Johnson, A. H. 1972. The Composition of milk. Dalam : B. H. Webb, A. H. Johnson
dan J. A. Alford (Editors). Fundamentals of Dairy Chemistry Second Edition. The Avi Publishing Company, inc., Connecticut.
Kanyshkova, T. G., S. E. Rabina, D. V. Semenov, N. Isaeva, A. V. Vlassov, K. N.
Neustroev, A. A. Kulminskaya, V. N. Buneva dan G. A. Wevinsky. 2003. Multiple enzymatic activities of human milk lactoferrin. European Journal of Biochemistry. 270: 3353-3361.
Kent Laboratories. 2006. Radial Immunodiffusion Plate Insert.
http:// www.kentlabs.com/rid_insert.html. [14 Juli 2006]. Kume, S dan S. Tanabe. 1993. Comparison of lactoferrin content in colostrum
between different cattle breeds. . Journal of Dairy Science. 73:125-128. Kunz, C dan B. Lonnerdal. 1989. Human milk proteins : separation of whey proteins
and their analysis by polyacrylamide gel electrophoresis, fast protein liquid chromatography (FPLC) gel filtration, and anion-exchange chromatography. The American Journal of Clinical Nutrition. 49 : 464-470.
Laemmli, U. K. 1970. Cleavage of structural proteins during the assembly of the
head bacteriophage T4. Nature (Lond.) 227:680-685. Landry. 2000. Immunoglobulin Structure. http//:www.tulane.edu/~biochem/med/. [8
Juli 2006]. Lona, V.D dan C. R. Romero. 2001. Short Communication: Low levels of colostral
immunoglobulins in some dairy cows with placental retention. Journal of Dairy Science. 84:389–391.
Mancini, G., A. O. Carbonara dan J. F. Heremans. 1965. Immunochemical
quantitations of antigen by sibgle radial immunodiffusion. Immunochemistry. 2:235.
Merkens, J dan R. Soemirat. 1926. Sumbangan pengetahuan tentang ternak domba di
Indonesia. Dalam : Domba dan Kambing. Terjemahan : R. P. Utojo. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Jakarta.
34
Mitoma, M., T. Oho, Y. Shimazaki, dan T. Koga. 2001. Inhibitory effect of bovine milk lactoferrin on the interaction between a streptococcal surface protein antigen and human salivary agglutinin. Journal of Biology Chemistry. 276 (21):18.060-18.065.
Morgante, M. 2004. Digestive disturbances and metabolic-nutritional disorders.
Dalam : G. Pulina dan R. Bencini (Editors). Dairy Sheep Nutrition. CABI Publishing, Wallingford.
Mulliadi, D. 1989. Sifat fenotipik domba priangan di Kabupaten Pandeglang dan
Garut. Disertasi. Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, Bogor. Mulyono, S. 1999. Teknik Pembibitan Kambing dan Domba. PT Penebar Swadaya,
Jakarta.
Naidu, A. S. 2003. Antimicrobials from animals. Dalam : S. Roller (Editor). Natural Antimicrobials for the Minimal Processing of Food. Woodhead Publishing Limited, Cambridge.
Nakai, S dan H. W. Modler. 2000. Food Proteins. Wiley-VCH, New York.
Nibbering,P. H., E. Ravensbergen, M. M. Welling, L. A. van Berkel, P. H. C. van Berkel, E. K. J. Pauwels, dan J. H. Nuijens. 2001. Human lactoferrin and peptides derived from its n terminus are highly effective against infections with antibiotic-resistant bacteria. Infection and Immunity. 69 (3): 1469-1476.
Ontsouka, C. E., R. M. Bruckmaler dan J. W. Blum. 2003. Fractionized milk
composition during removal of colostrums and mature milk. Journal of Dairy Science. 86:2005-2011.
Pangestu, N. 1999. Domba (Bovidae). http://www.kpel.or.id/TTPG/komoditi/.
[21 April 2006]. Playford , R. J., C. E. Macdonald dan W. S. Johnson. 2000. Colostrum and milk-
derived peptide growth factors for the treatment of gastrointestinal disorder. The American Journal of Clinical Nutrition. 72:5-14.
Pritchett, L. C., C. C. Gay, T. E. Besser dan D. D. Hancock. 1991. Management and
production factors influencing immunoglobulin G1 concentration in colostrum from holstein cows. Journal of Dairy Science. 74:2336-2341.
Pulina, G. dan A. Nudda. 2004. Milk production. Dalam : G. Pulina dan R. Bencini
(Editors). Dairy Sheep Nutrition. CABI Publishing, Wallingford.
Rahman, A., S. Fardiaz, W. P. Rahaju, Suliantari dan C. C. Nurwitri. 1992. Bahan Pengajaran : Teknologi Fermentasi Susu. Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi Institut Pertanian Bogor, Bogor.
35
Renner, E., G. Schaafsma dan K. J. Scott. 1989. Micronutrients in milk. Dalam : E. Renner (Editor). Micronutrients in Milk and Milk-Based Food Products. Elsevier Science Publishers Ltd., New York.
Robblee, E. D., P. S. Erickson, N. L. Whitehouse, A. M. McLaughlin, C. G. Schwab, J. J. Rejman, dan R. E. Rompala. 2003. Supplemental laktoferrin improves health and growth of holstein calves during the preweaning phase1,2 . Journal of Dairy Science. 86:1458–1464.
Sanchez, L., L. Lujan, R. Oria, H. Catillo, D. Perez, J. M. Ena dan M. Calvo. 1992. Synthesis of lactoferrin and transport of transferrin in the lactating mammary gland of sheep. Journal Dairy of Science. 75:1257-1262.
Schanbacher, F. L., R. E. Goodman dan R. S Talhouk. 1993. Bovine mammary
lactoferrin : implications from messenger ribonucleic acid (mRNA) sequence and regulation contrary to other milk proteins. Journal of Dairy Science. 76:3812-3831.
Schmidt, G. H. 1971. Biology of lactation. W. H. Freeman and Company, San
Francisco. Singh, H dan R. J. Bennet. 2002. Milk and milk processing. Dalam : R. K. Robinson
(Editor). Dairy Microbiology Handbook Third Edition. John Wiley and Sons inc., New York.
Smith, D. M. 1998. Protein separation and characterization procedures. Dalam :
S. S. Nielsen (Editor). Food Analysis Second Edition. Aspen Publishers, inc., New York.
Spreer, E. 1998. Milk and Dairy Product Technology. Translated: A. Mixa. Marcel Dekker, inc., New York.
Steel, R. G. D. dan J. H. Torrie. 1995. Prinsip dan Prosedur Statistik : Suatu Pendekatan Biometrik. Terjemahan: B. Sumantri. PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Takakura, N., H. Wakabayashi, H. Ishibashi, S. Teraguchi, Y. Tamura, H. Yamaguchi, dan S. Abe .2003. Oral laktoferrin treatment of experimental oral candidiasis in mice. Antimicrobial Agents and Chemotherapy. 47(8):2619–2623.
Tsuji, S., Y. Hirata dan F Mukai. 1990. Comparison of lactoferrin content in colostrum between differenct cattle breeds. Journal of Dairy Science. 73:125-128.
Wang, H dan W. L. Hurley. 1998. Identification of lactoferrin complexes in bovine
mammary secretions during mammary gland involution. Journal od Dairy Science. 81:1896-1903.
36
Walstra, P dan R. Jenness. 1984. Dairy Chemistry and Phisics. John Wiley and Sons,
inc., Canada. Yoshida, S dan Y. Xiuyun. 1991. Isolation of lactoperoxidase and lactoferrin from
bovine milk acid whey by carboxymethyl cation exchange chromatografi. Journal of Dairy Science. 74:1439-1444.
Yoshida, S., Z. Wei, Y. Shinmura dan N. Fukunaga. 2000. Separation of lactoferrin-a
and -b from bovine colostrum. Journal of Dairy Science. 83:2211–2215.
37
LAMPIRAN
38
Lampiran 1. Bahan-bahan Analisis Laktoferin dengan SDS PAGE
1. Akrilamida/Bis 30%
Akrilamida sebanyak 30 g dan N,N,-Bis-metilena-akrilamida sebanyak 0,8 g
dilarutkan dalam 100 ml akuades, saring dan simpan pada suhu 4⁰C.
2. Tris-HCl 0,5 M pH 8,8.
Tris Base sebanyak 6,06 g dilarutkan dalam 40 ml akuades. Diatur pH hingga
8,8 dengan HCl 1 N. Tepatkan hingga 100 ml dengan akuades dan simpan pada suhu
4⁰C.
3. Tris-Glisina pH 8,3.
Tris Base sebanyak 12 g dan 57,6 g glisina dilarutkan dalam 1.900 ml
akuades. Diatur pH hingga 8,3 dengan HCl 1 N. Tepatkan hingga 2.000 ml dengan
akuades dan simpan pada suhu 4⁰C.
4. Sodium dodesil sulfat (SDS) 10 %.
SDS sebanyak 10 g dilarutkan ke dalam 75 ml akuades, diaduk perlahan
hingga homogen. Tepatkan hingga 100 ml dengan akuades.
5. Ammonium persulfat.
Ammonium persulfat sebanyak 0,5 g dilarutkan ke dalam 4,5 ml akuades.
Selalu dibuat baru setiap pengujian.
6. Larutan fiksasi.
12% Asam Trikloroasetat (Trichloroacetic acid /TCA)
7. Larutan Pewarna (Staining).
Coomassie Blue R-250 sebanyak o,125 g ditambahkan ke dalam 1000 ml
larutan metanol:akuades:asam asetat (5:4:1).
8. Larutan Destaining metanol.
Metanol:akuades:asam asetat (5:4:1)
9. Komposisi Resevoir Buffer pH 8,3
Nama Bahan Jumlah
Akuades
Tris-Glisina stock
Sodium dodesil sulfat (SDS) 10 %
8.900 ml
1000 ml
100 ml
39
10. Komposisi Bufer Dissosiasi
Nama Bahan Jumlah
Akuades
Tris-HCl 0,5 M pH 8,8
Gliserin
Sodium dodesil sulfat (SDS) 10 %
Merkapto etanol
Biru Bromofenol 5 % (b/v)
10,0 ml
5,0 ml
5,0 ml
10,0 ml
0,5 ml
0,5 ml
11. Komposisi Running Gel
Nama Bahan Gel 7,5% Gel 10%
Akuades
Tris-HCl 3,0 M pH 8,9
Sodium dodesil sulfat (SDS) 10%
Akrilamida/Bis 30%
Ammonium persulfat 10%
N’N’N’N Tetramethylethylene diamine
(TEMED)
24,4 ml
5,0 ml
0,4 ml
10 ml
0,4 ml
0,02 ml
20,4 ml
5,0 ml
0,4 ml
14 ml
0,4 ml
0,02 ml
12. Stacking Gel 3%
Nama Bahan Jumlah
Akuades
Tris-HCl 0,5 M pH 7,0
Sodium dodesil sulfat (SDS) 10%
Akrilamida/Bis 30%
Ammonium persulfat 10%
N’N’N’N Tetramethylethylene diamine
(TEMED)
7,54 ml
1,25 ml
0,1 ml
1,0 ml
0,1 ml
0,005 ml
40
Lampiran 2. Nilai pH Pemisahan Whey
Kode Sampel pH Awal pH
Pengasaman
pH Netralisasi
169-H2 6,18 4,65 6,88
169-H3 6,65 4,08 6,71
169-H4 6,63 4,69 6,82
169-H5 6,68 4,67 6,89
249-H2 6,13 4,54 6,88
249-H3 6,35 4,68 6,88
249-H7 6,32 4,45 6,92
458-H2 6,37 4,65 6,82
458-H3 6,53 4,62 6,76
458-H5 6,72 4,43 6,75
458-H7 6,16 4,56 6,98
Lampiran 3. Kurva Normalitas Bobot Molekul Protein Standar
y = -0,3836x + 2,223R2 = 0,8958
0
0,1
0,2
0,3
0,4
0,5
0,6
0,7
4 4,2 4,4 4,6 4,8 5
log bobot molekul
Mob
ilita
s R
elat
if
Series1Linear (Series1)
41
Lampiran 4. Berat Molekul Protein Standar Jenis Protein Bobot Molekul Relative Mobility
(Rf)
Lactoferrin, bovine milk
Bovine Albumin
Egg Albumin
Glyceraldehydes-3-phosphate, rabbit muscle
Carbonic anhydrase, Bovine erytrocytes
Trypsinogen, Bovine pancreas
Trypsin inhibitor, soybean
α-Lactalbumin, bovine milk
90.000
66.000
45.000
36.000
29.000
24.000
20.100
14.200
0,2587
0,4285
0,4714
0,4857
0,5000
0,5357
0,5642
0,6214
Lampiran 5. Gambar Unit Elektroforesis dan Power Supply
Unit Elektroforesis
Power Supply
42
Lampiran 6. Sampel yang Ditambahkan Dissociation Buffer
Lampiran 7. Proses Staining dan Destaining Gel SDS-PAGE.
Proses Staining Proses Destaining
43
Lampiran 8. Hasil Single Radial Immunodifusi pada Kolostrum dan Susu
Domba Garut.
44