- 1 - IDENTIFIKASI INSTRUMEN PELAKSANAAN AKUNTABILITAS NASIONAL DI LEMBAGA-LEMBAGA NEGARA * Pusat Kajian Sistem dan Hukum Administrasi Negara Deputi Bidang Kajian Administrasi Negara Lembaga Administrasi Negara Jl. Veteran 10, Jakarta 10110, Indonesia Abstrak Akuntabilitas merupakan salah satu prinsip utama tata kelola pemerintahan yang baik (good governance) yang mengisyaratkan adanya perwujudan kewajiban seseorang atau unit organisasi untuk mempertanggungjawabkan pengelolaan dan pengendalian sumber daya dan pelaksanaan kebijakan yang dipercayakan kepadanya dalam rangka pencapaian tujuan yang telah ditetapkan melalui media pertanggungjawaban secara periodik. Disamping sebagai sebuah prinsip, akuntabilitas juga telah dijadikan oleh Pemerintah sebagai suatu kebijakan nasional yang mengatur mengenai penyelenggaraan pemerintahan dari tingkat pusat maupun daerah. Diharapkan Pedoman Akuntabilitas Nasional ini dapat memberikan kejelasan bagi para pengambil kebijakan dalam upaya meningkatkan akuntabilitas para penyelenggara negara dalam rangka kesadaran hukum dan penegakan hukum di Indonesia. Kata Kunci : Akuntabilitas Nasional, Pemerintahan Yang baik, Penyelenggaraan Negara/Pemerintahan. * Disarikan dari hasil kajian Pengembangan Instrumen Akuntabilitas Nasional, Pusat Kajian Hukum Administrasi Negara, Tahun 2011.
32
Embed
Identifikasi instrumen pelaksanaan akuntabilitas nasional (pusat han 2011)
Akuntabilitas merupakan salah satu prinsip utama tata kelola pemerintahan yang baik (good governance) yang mengisyaratkan adanya perwujudan kewajiban seseorang atau unit organisasi untuk mempertanggungjawabkan pengelolaan dan pengendalian sumber daya dan pelaksanaan kebijakan yang dipercayakan kepadanya dalam rangka pencapaian tujuan yang telah ditetapkan melalui media pertanggungjawaban secara periodik. Disamping sebagai sebuah prinsip, akuntabilitas juga telah dijadikan oleh Pemerintah sebagai suatu kebijakan nasional yang mengatur mengenai penyelenggaraan pemerintahan dari tingkat pusat maupun daerah. Diharapkan Pedoman Akuntabilitas Nasional ini dapat memberikan kejelasan bagi para pengambil kebijakan dalam upaya meningkatkan akuntabilitas para penyelenggara negara dalam rangka kesadaran hukum dan penegakan hukum di Indonesia.
Kata Kunci : Akuntabilitas Nasional, Pemerintahan Yang baik, Penyelenggaraan Negara/Pemerintahan
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
- 1 -
IDENTIFIKASI INSTRUMEN PELAKSANAAN AKUNTABILITAS NASIONAL DI LEMBAGA-LEMBAGA NEGARA*
Pusat Kajian Sistem dan Hukum Administrasi Negara
Deputi Bidang Kajian Administrasi Negara Lembaga Administrasi Negara
Jl. Veteran 10, Jakarta 10110, Indonesia
Abstrak Akuntabilitas merupakan salah satu prinsip utama tata kelola pemerintahan yang
baik (good governance) yang mengisyaratkan adanya perwujudan kewajiban seseorang atau unit organisasi untuk mempertanggungjawabkan pengelolaan dan pengendalian sumber daya dan pelaksanaan kebijakan yang dipercayakan kepadanya dalam rangka pencapaian tujuan yang telah ditetapkan melalui media pertanggungjawaban secara periodik. Disamping sebagai sebuah prinsip, akuntabilitas juga telah dijadikan oleh Pemerintah sebagai suatu kebijakan nasional yang mengatur mengenai penyelenggaraan pemerintahan dari tingkat pusat maupun daerah. Diharapkan Pedoman Akuntabilitas Nasional ini dapat memberikan kejelasan bagi para pengambil kebijakan dalam upaya meningkatkan akuntabilitas para penyelenggara negara dalam rangka kesadaran hukum dan penegakan hukum di Indonesia. Kata Kunci : Akuntabilitas Nasional, Pemerintahan Yang baik, Penyelenggaraan Negara/Pemerintahan.
* Disarikan dari hasil kajian Pengembangan Instrumen Akuntabilitas Nasional, Pusat Kajian Hukum Administrasi
Negara, Tahun 2011.
PENDAHULUAN
Reformasi di Indonesia telah
berjalan satu dekade lebih, namun hasil
yang ditorehkan melalui semboyan
reformasi tersebut belum menunjukkan
adanya perubahan yang berarti
khususnya dalam tubuh birokrasi di
negara ini. Semangat reformasi yang
menginginkan tercapainya
penyelenggaraan pemerintahan yang
terbebas dari unsur-unsur Korupsi, Kolusi
dan Nepotisme (KKN) sama sekali belum
dapat terwujudkan karena lemahnya
pengawasan dan minimnya peraturan
yang mengatur tentang akuntabilitas
lembaga negara. Fenomena seputar
pemerintahan yang mencerminkan betapa
buruknya negeri ini tentunya menjadi
agenda besar dan fokus dari reformasi
selanjutnya.
Penyelenggaraan negara yang
bebas dari praktek-praktek KKN belum
dapat terlaksana dengan baik yang dapat
kita saksikan setiap hari di televisi
maupun di koran yang memberitakan
kasus korupsi pejabat di negara ini
setidaknya dapat membuka mata hati kita
bahwa ternyata negara kita ini belum
sepenuhnya bebas dari jeratan KKN.
Permasalahan ini sebenarnya sudah ada
sejak lama dan sudah mendarah daging
ditubuh birokrasi negeri ini. Banyak
pejabat di instansi pemerintah maupun
BUMN yang dengan bangga dan dengan
santainya melakukan KKN. Hal ini salah
satunya disebabkan karena belum adanya
aturan/pedoman pertanggungjawaban
yang mendorong setiap pejabat instansi
pemerintah maupun lembaganya dalam
melaporkan setiap kegiatan maupun
dalam penggunaan anggaran negara.
Kondisi ini merupakan salah satu faktor
yang utama dari buruknya birokrasi di
Indonesia. Oleh karena itu, fokus
mengenai akuntabilitas penyelenggaraan
negara atau yang nantinya disebut sebagai
akuntabilitas nasional menjadi kajian yang
wajib diperdalam sehingga akan tercipta
penyelenggaran negara yang bebas dari
unsur-unsur KKN.
Di Indonesia, prinsip akuntabilitas
nasional ini secara eksplisit sudah
dinyatakan dalam Undang-Undang Nomor
28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan
Negara yang Bersih dan Bebas KKN.
Bahkan dalam Undang-Undang tersebut
juga dinyatakan bahwa sebagai asas
umum penyelenggaraan negara,
akuntabilitas nasional adalah merupakan
asas yang menentukan bahwa setiap
kegiatan dan hasil akhir dari kegiatan
penyelenggara negara harus dapat
dipertanggungjawabkan kepada
masyarakat atau rakyat sebagai pemegang
kedaulatan tinggi negara.
Penyelenggara negara yang
dimaksud di atas, meliputi pejabat negara
yang menjalankan fungsi eksekutif,
legislatif, yudisial, serta Direksi dan
Komisaris pada BUMN dan BUMD, Bank
Indonesia, Perguruan Tinggi Negeri, TNI
dan POLRI, lembaga auditif, lembaga
moneter, serta lembaga negara non
struktural.
Dari uraian tersebut di atas,
terdapat 2 (dua) hal yang positif dan
penting untuk dipahami, yakni:
(1) akuntabilitas nasional dapat
ditetapkan secara formal, sebagai asas
penyelenggara negara dan dimaknai
sebagai upaya mempertanggung
jawabkan hasil pelaksanaan dari
program dan kegiatan yang telah
ditetapkan oleh setiap
instansi/lembaga pemerintah kepada
masyarakat/rakyat sebagai pemegang
kedaulatan tertinggi, dan
(2) akuntabilitas nasional sedikitnya
harus menyebutkan pelaku atau siapa
dari setiap lnstansi/lembaga yang
harus ber-
akuntabel/mempertanggungjawabkan
atau menjalankan fungsi
pemerintahan, baik eksekutif, legislatif,
dan yudisial, serta Direksi, dan
komisaris pada BUMN dan BUMD,
Bank Indonesia, Perguruan Tinggi
Negeri, TNI dan POLRI, dan pimpinan
dari instansi/lembaga: auditif,
moneter, lembaga negara non
struktural.
Dengan demikian akuntabilitas
nasional ini nantinya dapat dijadikan
sebagai instrumen untuk mewujudkan
good governance. Undang-undang Nomor
28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan
Negara yang Bersih dan Bebas KKN.
Undang-undang ini, ditunjang dengan
peraturan yang mengatur tentang
akuntabilitas nasional, dapat dijadikan
sebagai instrumen yang mengatur lebih
detail tentang bentuk akuntabilitas
penyelenggara lembaga/instasi negara
yang lain baik secara eksplisit dalam
konteks yang lebih luas (tidak hanya
dalam konteks penyelenggaraan
pemerintahan negara yang bersih dan
bebas dari KKN) dan mengatur tentang
mekanisme akuntabilitas publik oleh
semua lembaga/instansi tersebut.
Selama ini, implementasi
akuntabilitas di Indonesia diatur dalam
Inpres Nomor 7 Tahun 1999 tentang
Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah
(AKIP) yang secara detail dalam
opersionalnya diatur dalam keputusan
kepala LAN Nomor 589/IX/6/Y/1999
tentang Pedoman Penyusunan Pelaporan
AKIP sebagaimana telah dicabut dengan
Keputusan Kepala LAN Nomor
239/IX/6/Y/ 2003 tentang Pedoman
Penyusunan Pelaporan AKIP.
Ditinjau dari aspek kelembagaan
sistem akuntabilitas ini, memang sudah
ditetapkan dalam Inpres Nomor 7 Tahun
1999, yang selanjutnya didukung oleh
Lembaga Administrasi Negara (LAN) yang
memiliki tugas dalam pengembangan
sistem AKIP, sedangkan Badan Pengawas
Keuangan Pengembangan (BPKP)
memiliki tugas untuk mengevaluasi
Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi
Pemerintah (LAKIP) tersebut.
Dalam perkembangannya, Inpres
Nomor 7 Tahun 1999 tersebut pada tahun
2004 ditindaklanjuti oleh Menteri Negara
Pendayagunaan Aparatur Negara
(MenPAN) dengan membentuk Deputi
Bidang Akuntabilitas sehingga LAKIP ini
selanjutnya disampaikan dan
dievaluasikan oleh Menteri Negara
Pendayagunaan Aparatur Negara
(MenPAN) tersebut.
Dari uraian tersebut di atas,
tampak bahwa adanya perbedaan yang
mencolok dengan apa yang diatur oleh PP
Nomor 8 Tahun 2006 tentang Laporan
Keuangan Kinerja Instansi Pemerintah,
yang lebih menekankan pada kinerja
pada kerangka keuangan† dengan unit
† Kinerja dalam kerangka penggunaan dan
pertanggungjawaban anggaran sebagaimana diamanahkan dalam UU No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara Pasal 55. Tinjauan lebih detail
analisis pada kegiatan dan atau program,
akuntabilitas kinerja yang diatur dalam
Keputusan Kepala LAN Nomor
239/IX/6/8/2003 tentang pedoman
penyusunan pelaporan AKIP merupakan
pedoman yang diarahkan kedalam
perspektif pada kerangka/ perspektif
manajemen dan dengan menggunakan
unit analisis yang pada tingkat organisasi
secara utuh atau menyeluruh.
Sedangkan ditinjau dari sudut
pandang yang lain, sistem AKIP
sebagaimana diatur dalam Keputusan
Kepala LAN Nomor 239/IX/6/8/2003
masih relatif belum menekankan pada
akuntabilitas publik, melainkan lebih lebih
merupakan akuntabilitas administratif
atau vertikal. Sehingga aturan yang telah
ada tersebut hanya mengatur tentang
akuntabilitas administrative atau vertical
saja, hal ini dapat diketahui melalui aturan
yang diatur dalam inpres Nomor 7 Tahun
1999. Namun sayangnya terkait dengan
akuntabilitas publik mengenai pada
aspek: siapa yang harus menyajikan
akuntabilitas tersebut, meliputi instansi
pemerintah mencakup Kementrian, LPDN,
Propinsi, Kabupaten/ Kota, Markas Besar
TNI, POLRI, dan sekretariat lembaga
tertinggi negara (DPR/MPR, MA, BPK, dan
mengenai hal ini disajikan pada Bab II khususnya dalam Tinjauan Kebijakan.
lain-lain), masih belum disampaikan
secara jelas.
Sehubungan dengan adanya
komitmen terhadap akuntabilitas publik
yang diberikan oleh instansi pemerintah,
dalam perkembangan kebijakan yang
ditetapkan oleh pemerintah ada salah satu
kebijakan yang cukup mengembirakan,
yakni dengan berlakunya PP Nomor 3
Tahun 2007 tentang Laporan
Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah
(LPPD) kepada DPRD, dan Informasi
Laporan Penyelenggaraan Pemerintahan
Daerah (LPPD) Kepada Masyarakat,
sebagai pengganti PP Nomor 56 Tahun
2001 tentang Pelaporan Penyelenggaraan
Pemerintahan Daerah.
Walaupun demikian kebijakan
tersebut, merupakan kebijakan yang
hanya mengatur tentang
pertanggungjawaban dalam konteks
pemerintahan daerah, namun jika dilihat
dari aspek substansinya, maka
penyampaian informasi kepada
masyarakat masih jauh dari harapan
terkait dengan laporan penyelenggaraan
pemerintahan daerah tersebut. Oleh
karena itu, Laporan Penyelenggaraan
Pemerintahan Daerah (LPPD) secara
implisit harus menekankan pada
keharusan melaporkan kinerjanya
tersebut, walaupun demikian dalam
konteks Laporan Penyelenggaraan
Pemerintahan Daerah (LPPD) kinerja yang
dimaksud disini adalah hanya lebih
ditekankan pada tingkat pencapaian
Standar Pelayanan Minimal (SPM), bukan
tingkat kinerja yang sesungguhnya.
Dewasa ini, adanya tuntutan dan
harapan dari semua pihak terus
berkembang menginginkan agar
akuntabilitas nasional dapat segera
diwujudkan, supaya semua instansi
pemerintah yang meliputi: Kementrian,
LPDN, Propinsi, Kabupaten /Kota, Markas
Besar TNI, POLRI, dan sekretariat lembaga
tertinggi negara (DPR/MPR, MA, BPK, dan
lain-lain), dan Kementrian, LPDN,
Propinsi, Kabupaten /Kota, Markas Besar
TNI, POLRI, dan sekretariat lembaga
tertinggi negara (DPR/MPR, MA, BPK, dan
lain-lain), dapat memberikan
kewajibannya untuk
mempertanggungjawabkan keuangan dan
kinerjanya, selain kepada atasan (yang
memiliki hak untuk meminta
pertanggungjawaban), juga kepada rakyat
(yang memiliki manadat). Dengan
demikian akuntabilitas nasional ini
nantinya dapat memberikan kewajiban
mempertanggung-jawabkan keuangannya
dan kinerjanya, pada semua instansi
pemerintah yang lainnya seperti: -
eksekutif, (- legislatif (DPR dan DPD); -
yudisial (MK dan MA); - auditif (BPK); -
moneter (BI); - lembaga negara non
struktural (KY, KPK, KPPU, Komnas Ham,
Ombusdman, KPI), dan Kementrian, LPDN,
Propinsi, Kabupaten /Kota, Markas Besar
TNI, POLRI, dan sekretariat lembaga
tertinggi negara (DPR/MPR, MA, BPK, dan
lain-lain) serta kewajiban
mempertanggung-jawabkan kepada
publik terkait dengan program kegiatan
yang sudah ditetapkan sebelumnya.
Dari berbagai uraian di atas, yang
menjelaskan mengenai konsep, kebijakan,
dan implementasi praktek yang
menyangkut akuntabilitas di Indonesia
mulai dari tingkat pusat, sampai daerah
serta lembaga/ instansi pemerintah yang
lainnya, ditinjau dari aspek pihak pelaku
(individu), kelompok/organisasi,
instansi/lembaga pemerintah yang
bertindak sebagai penerima akuntabilitas
tersebut, baik dari substansi, mekanisme,
maupun kelembagaan maka perlu
dikembangkan suatu sistem akuntabilitas
yang lebih komprehensif, yang berupa
akuntabilitas nasional.
Hasil kajian yang disusun ini
dimaksudkan untuk memberikan
gambaran mengenai apa, mengapa,
bagaimana, dan kepada siapa
akuntabilitas itu dilaksanakan baik oleh
setiap lembaga negara, individu (pejabat
negara), lembaga Non Departemen,
Komisi, maupun BUMN yang memiliki
mandat untuk melaksanakan tugas dan
fungsi penyelenggaraan negara.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Secara umum akuntabilitas sangat
erat kaitannya dengan instansi/lembaga
pemerintah, dan kaintannya dengan
mempertanggungjawabkan kinerjanya.
Namun demikian belum ada satu definisi
tentang akuntabilitas yang bisa diterima
oleh semua pakar/ahli.
Di Indonesia, klarifikasi konseptual
mengenai definisi makna akuntabilitas
adalah penting dan mendesak karena
penyelenggaraan pemerintahan
khususnya di masa lalu yang sangat
membatasi berkembangnya akuntabilitas
publik. Pandangan lama tentang makna
akuntabilitas dan penerapannya yang
telah mengakar tentunya tidak begitu
mudah untuk dihilangkan. Oleh karena itu
definisi baru tentang akuntabilitas perlu
ditetapkan, disebarluaskan serta
dilakukan berbagai upaya untuk
penerapannya.
Selain itu, mendesaknya klarifikasi
konseptual untuk dilakukan adalah fakta
adanya berbagai pendapat mengenai
definisi akuntabilitas dalam sistem
pemerintahan demokratis. Masalah
klarifikasi konseptual harus dipandang
sebagai suatu masalah akademik dan
merupakan dasar dari langkah-langkah
penyusunan dan implementasi
mekanisme akuntabilitas (Turner, 2000).
Akuntabilitas (accountability)
merupakan istilah yang diterapkan untuk
mengukur apakah dana publik telah
digunakan secara tepat untuk tujuan di
mana dana publik tadi ditetapkan dan
tidak digunakan secara ilegal (Hatry,
1980). Selanjutnya dalam
perkembangannya, akuntabilitas
digunakan oleh pemerintah untuk melihat
akuntabilitas efisisensi ekonomi program
melalui usaha untuk mencari dan
menemukan apakah ada penyimpangan
staf atau inefisiensi penggunaan atau ada
prosedur yang tidak diperlukan.
Akuntabilitas dan responsibilitas
hakekatnya merupakan standar
profesional yang harus dilaksanakan oleh
aparat pemerintah dalam memberikan
pelayananan kepada masyarakat.
Akuntabilitas dan responsibilitas publik
dapat juga dipergunakan sebagai
alat/sarana untuk menilai kualitas kinerja
aparat pemerintah sehingga mereka dapat
mengenali dengan benar kekuatan dan
kelemahannya (Islamy, 1998). Dengan
demikian, Akuntabilitas publik
merupakan landasan bagi proses
penyelenggaraan pemerintahan dan
keberadaannya diperlukan karena
aparatur pemerintah harus
mempertanggungjawabkan tindakannya.
Selanjutnya, Finner dalam Darwin
(1993) menjelaskan akuntabilitas
merupakan konsep yang berkenaan
dengan standar eksternal yang
menentukan kebenaran suatu tindakan
oleh administrasi negara (birokrasi
publik). Akuntabilitas ini yang menilai
adalah orang atau institusi yang berada di
luar birokrasi publik.
Akuntabilitas sering disebut
sebagai tanggungjawab yang bersifat
obyektif (objective responsibility).
Responsibilitas obyektif bersumber
kepada adanya pengendalian dari luar
(external control) yang mendorong atau
memotivasi aparat pemerintah untuk
bekerja keras sehingga tujuan three E’s
(economy, efficiency and effectiveness) dari
organisasi dapat tercapai (Denhardt,
1991).
Membahas konsep tanggungjawab
birokrasi pemerintah terhadap publik,
tidak dapat dilepaskan dari konsep
responsibilitas (responsibility),
sebagaimana dikemukakan oleh Carl J.
Friedrich (dalam darwin, 1993). Konsep
tersebut berkenaan dengan standar
profesional dan kompetensi teknis yang
harus dimiliki oleh aparat birokrasi
pemerintah dalam menjalankan tugas-
tugasnya. Aparat birokrasi pemerintah
dikatakan responsibel jika pelakunya
memiliki standar profesional atau
kompetensi teknis yang tinggi, dan
karenanya diperlukan standar penilaian
tersendiri yang sifatnya administratif atau
teknis, bukan politis.
Konsep pertanggungjawaban
aparat birokrasi pemerintah tersebut,
karena tuntutan ini disebut juga
administrative responsibility atau menurut
istilah Denhardt (1991) disebut subjective
responsibility yaitu pertanggungjawaban
yang bersumber pada sifat subyektif
individu aparat (internal control), yang
lebih mengedepankan nilai-nilai etis dan
kemanusiaan yang terangkum dalam EEF
(equity, equality and fairness) dalam
memberikan pelayanan kepada
masyarakat dan tugas-tugas administratif
lainnya.
Selanjutnya, Etzioni (1975)
menyatakan perlunya melihat
administrative accountability sebagai
sarana untuk menarik perhatian terhadap
adanya real politics of administrative life
dan ia menekankan perlunya dua macam
pendekatan terhadap akuntabilitas, yakni
pertama: pendekatan moral yang melihat
akuntabilitas sebagai seruan dan
pendidikan bagi orang-orang yang
memiliki kesadaran akan tanggungjawab
moralnya; dan kedua: pendekatan hukum
yang lebih memfokuskan perhatiannya
pada mekanisme checks and balances dan
persyaratan-persyaratan pelaporan
formal, baik di dalam maupun di luar
organisasi administrasi.
Sementara itu, J.B Ghartey dalam
Salleh dan Iqbal (1995) menyebutkan
bahwa akuntabilitas ditujukan untuk
mencari jawaban atas pertanyaan yang
berhubungan dengan pelayanan apa, oleh
siapa, kepada siapa, milik siapa, yang
mana dan bagaimana. Pertanyaan
tersebut membutuhkan jawaban meliputi
apa yang harus dipertanggungjawabkan,
mengapa pertanggungjawaban tersebut
harus diberikan, siapa yang harus
bertanggungjawab atas berbagai kegiatan
tersebut, apakah pertanggungjawaban
tersebut berjalan sesuai dengan
kewenangan yang dimiliki. Sehingga
akuntabilitas dapat dipergunakan sebagai
instrumen untuk mengontrol berbagai
kegiatan dalam mencapai hasil yang
ditentukan dalam bidang pelayanan
publik.
Dari berbagai uraian di atas yang
menyebutkan definisi akuntabilitas
publik, maka dapat ditarik kesimpulan
bahwa rakyat sebagai pemegang
kedaulatan tertinggi sekaligus sebagai
pemilik dari seluruh sumber-sumber
kekayaan, kewenangan, dan kekuasaan.
Oleh karena itu, sangat wajar apabila
pemegang kekuasaan yang telah
menggunakan sumber-sumber kekayaan
yang berasal dari rakyat tersebut harus
mempertanggung-jawabkan kepada
rakyat.
Dengan perkataan lain, setiap
aparatur pemerintah harus dapat
mempertanggungjawabkan segala sikap,
perilaku, dan kebijakan yang telah diambil
kepada publik selama mereka
menjalankan tugas, wewenang, dan
tanggungjawab, yang telah diberikan
kepadannya. Konsep pertanggungjawaban
demikian, dalam studi administrasi negara
disebut dengan akuntabilitas publik.
Hal ini senada, dengan yang
disampaikan oleh Hughes (1992) bahwa:
“government organization are created by the public, for the public and need to be accountable to it”. (Organisasi pemerintah dibuat oleh publik dan untuk publik, karenannya perlu mempertanggungjawabkannya kepada publik.)
Berdasarkan uraian tersebut di
atas, tentang berbagai definisi atau
pengertian akuntabilitas publik maka
dapat ditarik suatu kesimpulan, ada empat
dimensi dari akuntabilitas, yaitu: (1) siapa
yang harus melaksanakan akuntabilitas
(ada pihak yang melaksanakan
akuntabilitas); (2) kepada siapa mereka
harus berakuntabilitas (akuntabilitas
dilaksanakan kepada siapa); (3) apa
standar atau ukuran yang harus
digunakan untuk penilaian akuntabilitas
(ada mekanisme akuntabilitas) ini; dan
(4) ada nilai yang terkandung dalam
akuntabilitas itu sendiri.
Dalam perkembangannya,
pengertian akuntabilitas ini sering
dikaitkan dengan good governance, dalam
kaitannya dengan mencapai efisiensi,
dalam penyelenggaraan
pemerintahan/negara oleh stakeholder
yang terlibat. Ide dasar dari akuntabilitas
ini, adalah kemampuan seseorang atau
organisasi atau penerima amanat untuk
memberikan jawaban kepada pihak yang
memberikan amanat atau mandat
tersebut. Semua unit organisasi, apakah
dipilih atau ditunjuk, dapat dikatakan
akuntabel ketika organisasi atau penerima
amanat untuk memberikan jawaban
kepada pihak yang memberikan amanat
atau mandat tersebut mampu
menjelaskan dan mempertanggung-
jawabkannya atas semua
tindakan/kegiatan yang telah mereka
lakukan, dan sanggup menerima sanksi
atas tindakan yang tidak layak atau
dianggap tidak dapat
dipertanggungjawabkannya.
Terkait dengan konsep dan aplikasi
akuntabilitas ini, sebenarnya sudah ada
selama ini, namun seiring dengan adanya
perubahan dari lingkungan terkait dengan
tuntutan akuntabilitas nasional ini
semakin hari semakin menjadi
besar/kuat. Tuntutan akuntabilitas
nasional ini, juga semakin besar seiring
dengan semakin sedikitnya/lemahnya
fungsi kontrol yang dilakukan oleh local
democratic control (kelompok-kelompok
yang dipilih oleh masyarakat) baik yang
berupa Lembaga Sosial Masyarakat (LSM)
atau lembaga swadaya masyarakat yang
lainnya.
Tujuan yang mendasari munculnya
local democratic control yakni untuk
mengarahkan instansi/lembaga
penyelenggaraan pemerintahan/Negara
menggunakan bentuk akuntabilitas
langsung kepada publik. Namun
sayangnya, organisasi baru ini belum
memiliki publik, organisasi baru ini juga
masih belum memiliki bentuk
akuntabilitas yang sesuai dengan
keberadaannya.
Dengan demikian organisasi baru
yang masuk dalam kelompok local
democratic control ini direkrut biasanya
berdasarkan profesionalisme oleh
eksekutif yang memberikan dana dalam
operasionalnya. Jelas bahwa organisasi
baru ini membutuhkan mekanisme
akuntabilitas yang berbeda mengingat
perbedaan rekrutmen antara keduanya.
Secara tradisional, konsep
akuntabilitas ini diberlakukan sebagai
subordinate dari sebuah konsep
pertanggungjawaban. Kata accountability
dalam konsep ini pada dasarnya
mengandung arti, penerima tanggung
jawab yang harus selalu siap untuk ‘calling
to account’ atau menjelaskan
pertanggung-jawaban (explanation of
responsibility).
…dalam suatu sistem organisasi, pegawai bertanggung jawab pada organisasi atau pada orang lain (kelompok orang, atasan) untuk melaksanakan tanggung jawab yang diserahkan padanya. Hal ini berarti orang ini harus bertindak dalam konteks hubungan dengan organisasi/orang lain/kelompok/ atasan yang dapat memaksa mereka untuk meminta penjelasan dari pegawai ini tentang apa yang sudah dilakukan dan mana yang belum dilakukan. Sehingga dalam kontek pertanggungjawaban orang ini harus bertanggung jawab akan kinerjanya, dan juga merupakan subyek atau penilaian, pengarahan, permintaan, informasi atas tindakan mereka (Thynne and Goldring, 1987, 8)
Akuntabilitas dapat juga diartikan
sebagai “suatu cara melalui mana individu
dan organisasi melaporkan kepada pihak
yang dianggap memiliki wewenang dan
dituntut bertanggung jawab atas segala
tindakannya (Edward and Hulme 1996,8).
Pada dasarnya, definisi
akuntabilitas ini selalu dikaitkan dengan
tuntutan agar seseorang atau
lembaga/instansi akuntabel. Seperti yang
dikatakan oleh Leat sebagaimana dikutip
oleh McDonald (1997, 53).
“Accountabilityis defined as ’the right to require an account’ and also ‘the right to impose sanctions if the account or the actions accounted for are inadequate”.
Pengertian akuntabilitas ini akan
cenderung memiliki arti yang lebih
kompleks dalam suatu organisasi sektor
publik daripada dalam organisasi sektor
swasta. Perbedaan ini nampak bahwa,
dalam sektor swasta, manajer dan pekerja
dituntut untuk akuntabel terhadap
stakeholder yang mudah diidentifikasi,
misalnya pelanggan atau pemilik saham,
terkait dengan: keuntungan, kerugian dan
perhatian terhadap pengurangan biaya
produksi mendominasi, dan secara rutin
dapat disampaikan dalam setiap laporan
yang dibuatnya. Sementara seorang
pimpinan yang mempunyai kewenangan
penuh dalam menentukan nasib
karyawannya merupakan sumber utama
terhadap mekanisme penguatan
akuntabilitas tersebut.
Sebagai gambaran awal tentang
karakteristik proses akuntabilitas di
sektor swasta yang dapat dikatakan
lebih/sangat sederhana ini, dapat
dandingkan dengan keadaan disektor
publik. Pada sektor publik, akuntabilitas
harus berhadapan dengan stakeholder
yang beragam dengan kepentingan yang
berbeda, dan masing-masing sangat sulit
di identifikasi, dan bisa-jadi terdapat
beberapa kepentingan, bahkan
bertentangan satu sama lain.
Akuntabilitas dalam sektor publik
dapat digambarkan sebagai sistem
elektoral, yang jarang sekali memberikan
mandat yang jelas untuk isu-isu yang
spesifik. Selain itu, seringkali sistem check
and balances diantara cabang-cabang
kekuasaan negara yang berperan
memperkuat mekanisme akuntabilitas
justru malah menciptakan konflik
kewenangan, dengan adanya kebijakan
yang justru melemahkan akuntabilitas
pemerintah itu sendiri.
Permasalahan lain yang timbul
terkait dengan akuntabilitas ini adalah
kenyataan bahwa organisasi publik yang
ada saat ini ada, justru banyak yang
mengadopsi konsep dari organisasi
swasta. Sehingga berbagai konsep swasta
yang diadopsi tersebut, pada dasarnya
malah mementingkan hasil sebagai
indikator utama dari keberhasilan
organisasi, Dengan demikian dapat
menyebabkan munculnya isu
akuntabilitas pada sektor publik yang
mengedepankan hasil (improved
performance matters) dari pada proses
yang harus dijalani. Keadaan yang
demikian ini akan menimbulkan
tantangan baru bagi sektor untuk
melakukan akuntabilitas terhadap hasil
(performance) yang dicapai oleh suatu
organisasi.
Dari berbagai uraian tersebut di
atas, nampak bahwa organisasi publik
yang memiliki mandat ini sangat berbeda
dengan sektor swasta kaitannya dengan
persoalan akuntabilitas tersebut. Dari sisi
pendanaan, berbagai tugas yang
dilaksanakan oleh suatu organisasi yang
masuk dalam kategori organisasi publik
ini, sebagian besar dibiayai dari sektor
pajak, dimana penentuan biayanya sering
kali lebih banyak meng-cover aspek sosial,
serta melaksanakan fungsi memberikan
pelayanan pada masyarakat yang tidak
mampu, untuk mendapatkan akses
terhadap barang dan jasa. Dari
pertanggungjawaban mandat yang
diberikan ini akan memberikan kontribusi
terhadap kompleksitas dari cakupan
akuntabilitas dalam sektor publik
tersebut, contohnya: mempertimbangkan
kriteria efisiensi, efektivitas dan keadilan.
Beberapa uraian di atas,
mengambarkan kompleksitas masalah
yang terjadi, dan dapat dipergunakan
untuk melakukan pengkajian lebih
mendalam mengenai karakteristik,
sekaligus cara kerja dari akuntabilitas
yang ada di sektor publik. Dengan
demikian akuntabilitas sebagai konsep
dalam administrasi publik tersebut
dianggap sebagai sarana yang mutlak
diperlukan untuk mencegah praktek KKN,
dan pada gilirannya dapat dipergunakan
untuk menegakkan pemerintahan yang
demokratis di Indonesia.
Selain pengertian akuntabilitas di
atas, menurut The Public Administration
Dictionary: ”accountability” diartikan
sebagai kondisi dimana suatu individu
yang menjalankan kewenangan dibatasi
oleh sarana eksternal dan norma internal
(“a condition in which individuals who
exercise power are constrained by
eksternal mean and by internal norms”)
(Chandler and Plano 1988). Namun dari
definisi akuntabilitas tersebut juga
memberikan pengertian secara eksternal,
yang dapt diartikan sebagai masyarakat
warganegara, anggota Parlemen, pejabat
politik dan pejabat pemerintah, peradilan
dan sebagainya. Hukum, peraturan dan
prinsip moral yang diatur dalam
masyarakat bisa menjadi rambu
pembatas. Sedangkan pengertian ”public”
dalam public accountability mengandung
makna, yaitu berkaitan dengan
keterbukaan (openness) dan dalam
konteks publik domain.
Penjelasan yang lebih detail
mengenai kedua makna antara
akuntabilitas (accountability) dan publik
(public), tersebut dapat diketahui sebagai
berikut (Bovens, 2005):
In the first place, used in this context, ‘public’ should be understood to mean ‘openness’. Account is not rendered discretely, behind closed doors, but is in principle open to the general public. The information provided about the actor’s conduct is widely accessible, hearings and debates are open to the public and forum broadcasts its judgement to the general public. In the second place, ‘public’ refers to the object of the account to be rendered. Public accountability mainly regards matters in public domain, such as the spending of public funds, the exercise of public authorities, or the conduct of public institutions. It is not necessarily limited to public organisations, but can extend to private bodies that exercise public privileges or receive public funding.
Secara umum terkait dengan jenis
akuntabilitas ini, ada beberapa pakar/ahli
yang memberikan pemisahan/
pengelompokan secara tegas tentang jenis
akuntabilitas tersebut, yang salah
satunnya disampaikan oleh Day Klien
(dalam Ferlie et als, 1996) yang
membedakan akuntabilitas dalam 2 (dua)
kategori yaitu political accountability dan
Managerial accountability.
Pertama, political accountability
ini diartikan sebagai proses dimana
delegated authority atau sebagai
penerima/pemegang mandat dari publik,
harus bertanggungjawab atau menjawab
pertanyaan atas tindakan yang mereka
lakukan kepada publik, secara langsung
dalam kelompok masyarakat yang lebih
kecil atau sederhana, maupun dalam
kelompok masyarakat yang lebih luas atau
kompleks.
Salah satu bentuk akuntabilitas
yang dianggap sangat ideal untuk
menggambarkan political accountability
ini, adalah ministerial accountability,
dimana pucuk pimpinan organisasi publik
memberikan akuntabilitas kepada
lembaga perwakilan. Namun seiring
dengan kompleksitas pekerjaan dan
besarnya jumlah departemen atau
organisasi pemerintah
pemerintahan/negara, proses ini menjadi
semakin tidak efektif walaupun
mekanisme akuntabilitas ini dilakukan
melalui komisi. Apalagi konsep ini juga
sering sekali mendapatkan banyak
pertanyaan tentang makna direct public
accountability atau lebih dikenal dengan
akuntabilitas langsung kepada publik atau
rakyat.
Kedua, managerial accountability
sebagai salah satu dari kategori
akuntabilitas publik yang diartikan
sebagai proses dimana delegated authority
atau penerima/ pemegang mandat dari
publik tersebut, harus mempertanggung
jawabkan atau dengan menjawab
pertanyaan atas pelaksanaan dari tugas
yang sudah disepakati sebelumnya sesuai
dengan/ berdasarkan kriteria dan standar
yang sudah disepakati atau ditetapkan
dari awal. Sebagai contoh cara untuk
melakukan akuntabilitas manajerial ini
adalah: (-) fiscal audit; (-) managemen by
objectives techniques, dan (-) individual
appraisal system.
Dalam konteks Managerial
Accountability ini, pengembangan format
akuntabilitas sangat memungkinkan
untuk dilakukan, hal ini disebabkan oleh
karena pada dasarnya dalam akuntabilitas
ini hanya terdapat 3 (tiga) komponen
penting yakni: (a) adanya
indikator/standar yang disepakati; (b)
prinsip bukti yang akurat, relevan dan
cukup; serta (c) proses penilaian yang
akurat dan baik. Dari beberapa penjelasan
diatas, nampak bahwa managerial
accountability memiliki batasan atau
cakupan yang lebih sempit dan secara
alamiah memang sudah ada, dan dibangun
dalam organisasi (bounded in nature)
tersebut.
Dari proses sampai dengan
mekanisme dari akuntabilitas ini memang
relatif lebih sederhana untuk dibangun
serta kontrol, namun akuntabilitas itu
sendiri, ada kecendeungan lebih bersifat
manajerial atau administratif jika
dikaitkan dalam struktur organisasi yang
riil, dan penerapan kontrol sosial ini
dirasakan masih rendah. Hal ini sangat
berbeda dengan political accountability
yang hampir sama memiliki kesamaan
standar untuk menilai akuntabilitasnya
dengan memiliki kontrol manajerial atau
administratif yang rendah, namun juga
memiliki kontrol sosial yang lebih tinggi
dibandingkan dengan Managerial
Accountability.
Dengan melihat perbedaan dari
derajat kontrol sosial dan manajerial ini,
yang selanjutnya digunakan oleh Moiz
(dalam Ferlie et als, 1996) untuk
pengembangan suatu model akuntabilitas
yang disesuaikan dengan pembagian
kekuasaan dan keberadaan suatu
organisasi tertentu. Penggunaan suatu
model ini sangat penting untuk dilakukan,
dengan tujuan untuk menjelaskan
pertanyaan-pertanyaan mengenai: siapa
yang harus melakukan akuntabilitas dan
kepada siapa akuntabilitas tersebut harus
diberikan.
Cakupan atau batasan mengenai
siapa saja yang harus melakukan
akuntabilitas ini, menjadi sangat penting
untuk dipergunakan dalam
mengidentifikasikan aktor (pihak) yang
harus berakuntabilitas atau memberikan
akuntabilitas tersebut. Apabila aktor yang
harus memberikan akuntabilitas ini
dikaitkan dengan publik, maka aktor
(pihak) yang wajib berakuntabilitas atau
memberikan akuntabilitas tersebut yaitu
organisasi publik dan atau mereka yang
menerima anggaran dari negara yang
bersumber pada APBN maupun APBD.
Konsekuensi yang melekat dari
pembiayaan atau anggaran dari negara
yang bersumber pada APBN maupun
APBD yang diberikan kepada organisasi
penerima untuk menyelenggarakan
pemerintahan/Negara tersebut, harus
memberikan pertanggung jawaban dan
transparansi terkait dengan penggunaan
anggaran tersebut.
Sebagai ilustrasi yang sederhana
untuk memberikan gambaran tentang
bentuk
pertanggungjawaban/akuntabilitas ini
adalah ketika seseorang atau organisasi
(instansi/lembaga) menerima anggaran
yang bersumber dari APBN/APBD, maka
seseorang atau organisasi (instansi/
lembaga) tersebut memiliki tanggung
jawab untuk melaksanakan fungsi-fungsi
publik sesuai dengan tugas pokok, dan
fungsinya secara efisien, ekonomis, efektif,
beretika, dan adil. Kondisi yang demikian
ini dapat diartikan sebagai upaya untuk
mencapai tujuan atau sasaran dari
program kegiatan yang telah
direncanakan atau ditetapkan
sebelumnya. Gambaran tersebut
merupakan gambaran awal tentang
konsep utama dari akuntabilitas untuk
menjawab siapa yang harus akuntabel
atau siapa yang harus memberikan
pertanggungjawaban tersebut.
Dalam proses penyelenggaraan
pemerintahan di negara kesatuan
Indonesia, pihak yang menerima anggaran
dari negara baik berupa APBN/APBD ini
adalah Penyelenggara Negara baik
berupa:
- eksekutif (pemerintah pusat dan
pemerintah daerah);
- legislatif (DPR dan DPD);
- yudisial (MK dan MA);
- auditif (BPK, BPKP);
- moneter (BI);
- lembaga negara non struktural (KY,
KPK, KPPU, Komnas Ham,
Ombusdman, KPI dan seluruh
Komisi yang ada);
- Kementrian, LPDN, Propinsi,
Kabupaten /Kota;
- Markas Besar TNI;
- POLRI; dan
- Sekretariat lembaga tertinggi
negara (DPR/MPR, MA, BPK, dll).
Pihak-pihak tersebut selama ini,
menerima anggaran dari APBN dan APBD,
serta direkrut secara berbeda-beda untuk
melaksanakan tugas pokok dan fungsinya
dalam penyelenggaraan pemerintahan/
negara.
Adanya perbedaan dalam tatacara
rekrutmen/penerimaan ini, menyebabkan
pola hubungan yang berbeda antara
instansi/lembaga pemerintah yang satu
dengan yang lainnya. Apabila rekrutmen/
penerimaan ini, dikaitkan dengan sisi atau
aspek manajerial dan politik, akan
nampak adanya perbedaan yang
menonjol. Contohnya: bagi penyelenggara
negara yang dipilih langsung oleh publik,
maka jelas akan memiliki hubungan
politik yang tinggi dengan konstituennya,
dan sebaliknya dari aspek manajerial
menjadi lebih rendah dalam memberikan
akuntabilitasnya, sedangkan untuk
institusi/lembaga yang di pilih oleh
pimpinan eksekutif, maka akan memiliki
hubungan manajerial yang tinggi dengan
yang memilih, dan sebaliknya dari aspek
politik kepada publik akan lebih rendah
dalam memberikan akuntabilitasnya.
Dari uraian tersebut, nampak
bahwa ada perbedaan yang sangat penting
untuk menentukan kepada siapa mereka
berakuntabilitas dan seberapa luas
cakupan dari akuntabilitasnya tersebut.
Selain adanya pembagian yang jelas
antara 2 (dua) kategori yakni:
akuntabilitas dalam managerial and
political accountability tersebut,
selanjutnya kita harus juga mengenal
model akuntabilitas yang dikembangkan
mulai dari classical public administration
doctrine dan perkembangan dari model
itu sendiri.
Ditinjau dari awal mula
pengembangan dari model akuntabilitas
yang berupa, clasissical public
accountability doctrine ini, akuntabilitas
yang dikembangkan cenderung lebih
bersifat political accountability dengan
berbentuk upward accountability atau
ministerial accountability. Adapun minister
atau eksekutif ini, bertanggung jawab
pada lembaga perwakilan atau parlemen,
terkait dengan tugas-tugas publik, dan
harus mengundurkan diri jika terjadi
kesalahan. Dengan diketahuinya
gambaran dan perkembangan classical
public accountability tersebut, maka
selanjutnya dapat diketahui tahapan
perkembangan dari model tersebut,
sebagai berikut:
a. Model tradisional Westminster/
accountability upward
Dalam model ini disebutkan,
bahwa adanya garis
pertanggungjawaban/ akuntabilitas
dari bawah ke atas atau hierakhi,
dan garis kewenagan atau komando
yang menunjukkan otoritas dari atas
kebawah, atau lebih dikenal dengan
model akuntabilitas
ministerial/simply upward. Pada
model akuntabilitas ini, sangat
sesuai dengan konsep birokrasi yang
digagas oleh Weber, sehingga
lazimnya disebut dengan
administrative accountability. Dalam
model ini setiap individu wajib
memberikan pertanggungjawaban
terhadap suatu tugas spesifik yang
diberikan kepadanya/kepada
atasannya secara hierakhis. Kondisi
yang demikian ini dilakukan sebagai
bentuk kontrol atasan terhadap
kinerja yang dilakukan oleh
bawahannya.
b. Model tradisional yang
dikembangkan upward, inward dan
outward
Selanjutnya dalam model ini,
kelihatan jelas merupakan
pengembangan dari Model
Tradisional Westminster yang juga
dianggap memiliki banyak
kelemahan meliputi:
1) Ide pertanggungjawaban yang
menekankan pada penjelasan
dan pembenaran atas suatu
tindakan dianggap tidak cukup
digunakan untuk melihat kinerja
suatu tindakan.
2) Hubungan dalam pertanggung
jawaban yang bersifat
interpersonal.
3) Kontrol yang bersifat Top-Down.
Selanjutnya dari beberapa
kelemahan tersebut, dan ditambah
dengan adanya tuntutan global yang
menuntut adanya trasparasi dan
kejujuran dari suatu organisasi
pemerintah, maka model tersebut
dikembangkan menjadi konsep
pertanggungjawaban/akuntabilitas
yang tidak hanya dari bawah ke atas
(akuntabilitas internal), yang juga
ditambahkan dengan memberikan
pertanggungjawaban/ akuntabilitas
yang bersifat lebih kedalam lagi, yakni
ditujukan pada perorangan.
Sedangkan untuk akuntabilitas yang
bersifat keluar ini, ditujukan pada
memberikan pertanggungjawaban/
akuntabilitas kepada masyarakat
(akuntabilitas eksternal). Adapun
untuk mendukung akuntabilitas
internal dan eksternal tersebut,
pendukung konsep/teori akuntabilitas
ini menyarankan diciptakannya
beberapa mekanisme dan sistem
akuntabilitas misalnya: (-) adanya
pengembangan jaminan kebebasan
mendapat infornmasi dan
pembentukan berbagai lembaga
independen yang bertujuan untuk
mengontrol kinerja dari sektor publik,
sebagai contoh: ombudsman dan
peradilan yang kuat.
c. Model Stone
Dalam model stone ini,
pertanggungjawban/ akuntabilitas
dibagi dalam 5 (lima) kategori,
yakni:
1) Kontrol dari Parlemen (DPR);
2) Managerialism;
3) Peradilan/Lembaga semi
peradilan;
4) Perwakilan Masyarakat;
5) Pasar (konsumen-pengusaha).
Untuk memudahkan dalam
memahami hubungan dalam sistem
akuntabilitas model ini dapat ditampilkan
dalam bentuk tabel 1, sebagai berikut:
Tabel 1 Hubungan dalam Sistem Akuntabilitas
Model Stone
Kategori Dasar
hubungan Bentuk
Hubungan
Parlemen (DPR)
Supervisi/ komando
Atasan-bawahan
Managerial Kontrak Principal-
agent
Pengadilan/ Lembaga Semi Peradilan
Hak individu/ kewajiban secara procedural
Komplain dari responden
Perwakilan Masyarakat
Perwakilan/responsif
Pemilih – perwakilan
Pasar
Kompetisi/pemenuhan kebutuhan konsumen
Konsumen – sektor swasta
Sumber: Romzek and Dupnik dalam Stone, 1995.
d. Model jaringan kerja /jaringan yang
kompleks,
Perlu adanya jaringan yang
dibentuk oleh para pihak, yakni
kesepakan antara pihak yang satu
dengan yang lain untuk membentuk
suatu jaringan kerja yang komplek
dan saling memberikan kontribusi
dan informasi. Dengan demikian
model ini, nantinya akan dapat
menekankan pada pola hubungan
yang terjalin secara baik pada suatu
kerjasama yang terstruktur.
Selanjutnya dalam suatu system
tersebut terbina suatu kerjasama,
oleh semua pihak yang terkait untuk
saling berkomunikasi, dalam
kaitanya dengan saling memberikan
inforrmasi serta menjalin hubungan
kerja yang saling melengkapi untuk
mencapai tujuan yang ditetapkan
oleh para pihak dalam jaringan kerja
tersebut.
Secara singkat jenis-jenis akuntabilitas
dapat dikemukakan dalam matriks
berikut:
Tabel 2 Matriks Tipe Akuntabilitas
No Sumber Tipe-Tipe
Akuntabilitas
No Sumber Tipe-Tipe
Akuntabilitas 1. Jabra dan
Dwivedi (1989)
(1) Administrative / Organization Accountability;
(2) Legal Accountability;
(3) Political Accountability;
(4) Professional Accountability; dan
(5) Moral Accountability.
2. Paul (1991)
dalam Salleh dan Iqbal (1995)
(1) Democratic accountability;
(2) Professional accountability; dan
(3) Legal accountability.
3. Yango (1991) dalam Salleh dan Iqbal (1995)
(1) Traditional or regularity accountability; (2).Managerial accountability;
(3) Program accountability dan
(4) Process accountability.
4. Greenwood dan Wilson (1989) dalam Fernanda (2002)
(1) Akuntabilitas hukum dan Perundang-undangan; (2) Akuntabilitas politik dan kelembagaan.
5. J.D Stewart
(1984) dalam Fernanda (2002)
(1) Akuntabilitas kebijakan;
(2) Akuntabilitas program;
(3) Akuntabilitas kinerja;
(4) Akuntabilitas proses;
(5) Akuntabilitas hukum dan
No Sumber Tipe-Tipe
Akuntabilitas Perundang-undangan.
6. Mc Kenney dan Howard (1979) dalam Fernanda (2002)
Governance Melalui Pelayanan Publik, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.
Barker, R.S. 2000.”Government
Accountability and Its Limits”, Electronic Journals of Departement of State, Volume 5 Number 2.
Carino, L.V. 1991. “Accountability,
Corruption and Democracy :A Clarification of Concept” The Asian Review Of Public Administration, Volume 3 Number 2.
------, 1993. Administrative Accountability :
A Review Of The Evolution, Meaning and Operationalization Of Key Concept In Public Administration, dalam Brautista (editor), Introduction To Public Administration In The Philippines : Reader, University Of The Philipines Press and The College Of Public Administration University Of The Philipines, Quezon City.
Denhardt, R.B. 1991. Public
Administration, Pasific Grove : Brooks/Cole Publishing Company.
De Vrye, C. 1998. Good Service is Good Business : 7 Simple Strategies for Success, Prentice Hall, New York.
Dror. Y. 1971. Strategies for Administrative
Reform, Development and Change, The Hauge, Netherlands.
Esman, J.M. 1995. Management of
Development : Perspective and Strategies, Kumairan Press, Inc.
Etzioni, S. 1975. “Administrative
Accountability” dalam Public Administration Review (PAR), Number 35, May/June.
Fernada, D. 2002. “Sistem Perencanaan
dan Akuntabilitas Kinerja Pemerintah Daerah” Journal Desentralisasi Volume 1 Nomor 1, Pusat Kajian Kinerja Otonomi Daerah, LAN, Jakarta.
Heady, F. 1995. Public Administration : A
Comparative Perspective, 5 th, ed. New York : Marcel Decker Inc.
Jabbra, J. G. dan Dwidevi, O. P. 1989. Public
Service Accountability, Connecticut : Kumairan Press, Inc.
Lembaga Administrasi Negara RI. 2000.
Akuntabilitas dan Good Governance, Modul Sosialisasi Sistem AKIP, Jakarta.
------------------------------------------, 2003.
Prinsip-Prinsip Penyelenggaraan Negara, Perum Percetakan Negara RI, Jakarta.
------------------------------------------, 2003.
Penyusunan Standar Pelayanan Publik, Deputi Kajian Manajemen Kebijakan dan Pelayanan LAN, Jakarta.
Mardiasmo, 2002. Otonomi dan
Manajemen Keuangan Daerah, Andi, Yogyakarta.
Mertins, Jr., H. (ed.). 1979. Professional
Standars and Ethics. Washington, D.C. : ASPA Publisher.
Mustopadidjaja, A.R. 2003. Sistem
Administrasi Negara Kesatuan Republik Indonesia, LAN RI, Jakarta.
Nico Andrianto, 2007. Good e-Government:
Transparansi dan Akuntabilitas Publik Melalui e-Government, Bayumedia Publishing, Malang.
Rose, W. dan Menfield, C.E. 1997,
“Governmental Reform : What Are The Alternatives”, Policy Studies Journal, Volume 25, number 4.
Saleh, S.H. dan Iqbal, A. 1995.
Accountability : The Endless Prophecy, The Asian and Pacific Development Centre, Kuala Lumpur, Malaysia.
Salusu, J. 1996. Pengambilan Keputusan
Stratejik Untuk Organisasi Publik dan Organisasi Non Profit, PT. Gasindo, Jakarta.
Suwandi, M. 2001. LPJ Kepala Daerah
Dalam Perspektif Administrasi dan Akuntabilitas Publik, Depdagri, Jakarta.
--------------, 2001. Akuntabilitas dan
Transparansi Pelayanan Pemerintah Daerah, Makalah Seminar Akuntabilitas Publik, Depdagri, Jakarta.
Suhadak dan Trilaksono Nugroho, 2007.
Paradigma Baru Pengelolaan Keuangan Daerah Dalam Penyusunan APBD di Era Otonomi Daerah, Bayumedia Publishing, Malang.
Taylor, L.K. 1993. Quality : Total Costumer
Service, Century Business, London. Thoha, M.1999. Menyoal Birokrasi Publik,
Balai Pustaka, Jakarta. -------------, 2002. Reformasi Birokrasi
Pemerintah, Makalah Dalam Seminar Good Governance di Bappenas, Jakarta.
-------------, 2003. Birokrasi dan Politik di
indonesia. PT Raja Grafindo Persada, Jakarta.
Turner, M. 2000. Menerapkan
Akuntabilitas di Daerah Otonom, Makalah Diskusi Nomor 18, CB-SDAS.
UNDP. 1997. Reconceptualising
Governance, Discussion Paper 2, New York.
Whittaker, J.B. 1995.The Government
Performance and Result Act of 1993, : A Mandate For Strategic Planning And Performance Measurement, Educational service institute, Arlington, Virginia.
Peraturan Perundang-Undangan Undang-Undang Dasar 1945. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2003,
Tentang Susunan dan Kedudukan Majelis Permusyaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
-----------------, Nomor 10 Tahun 2009,
Tentang Majelis Permusyaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
------------------, Nomor 4 Tahun 2004 jo
Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009, Tentang Kekuasaan Kehakiman.
------------------, Nomor 5 Tahun 2004 jo
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009, Tentang Mahkamah Agung.
------------------, Nomor 24 Tahun 2003:
Mengatur Secara Khusus Mengenai Kelembagaan Mahkamah Konstitusi.
------------------, Nomor 23 Tahun 2004
Tentang Perubahan atas UU No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia.
------------------, Nomor 19 Tahun 2003
Tentang Badan Usaha Milik Negara. ------------------, Nomor 8 Tahun 1999
Tentang Penyelenggara Negara yang bersih dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN).
------------------, Nomor 22 Tahun 1999,
Tentang Pemerintahan Daerah ------------------, Nomor 32 Tahun 2004,
Tentang Pemerintahan Daerah. ------------------, Nomor 12 Tahun 2008,
Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
------------------, Nomor 1 Tahun 2004
Tentang Perbendaraan Negara. ------------------, Nomor 15 Tahun 2004
Tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Perrtanggungjawaban Keuangan Negara.
------------------, Nomor 17 Tahun 2003
Tentang Keuangan Negara. ------------------, Nomor 15 Tahun 2006
Tentang Badan Pemeriksa Keuangan Negara.
------------------, Nomor 15 Tahun 2004
Tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggungjawab Keuangan Negara.
------------------, Nomor 28 Tahun 1999
Tentang Sistem Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah.
Peraturan Pemerintah Nomor 105 Tahun
2000, Tentang Tata Cara Pertanggungjawaban dan Pengelolaan Keuangan Daerah.
-----------------------------, Nomor 108 Tahun
2000, Tentang Tata Cara Pertanggungjawaban Kepala Daerah.
-----------------------------, Nomor 3 Tahun
2007, Tentang Laporan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah (LPPD) kepada Pemerintah, Laporan Keterangan Pertanggungjawaban (LKPJ) Kepala Daerah kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, dan Informasi LPPD kepada Masyarakat.
-----------------------------, Nomor 8 Tahun
2004, Tentang Laporan Keuangan dan Kinerja Instansi Pemerintah.
-----------------------------, Nomor 56 Tahun
2005, Tentang Sistem Informasi Keuangan Daerah.
-----------------------------, Nomor 58 Tahun
2005, Tentang Pengelolaan Keuangan Daerah.
-----------------------------, Nomor 73 Tahun
2005, Tentang Kelurahan. -----------------------------, Nomor 52 Tahun
2001 Tentang Penyelenggaraan Tugas Pembantuan.
-----------------------------, Nomor 30 Tahun
2002 Tentang Komisi Pemberantasan Korupsi.
-----------------------------, Nomor 34 Tahun
2004 Tentang Tentara Nasional Indonesia.
Instruksi Presiden Nomor 7 Tahun 1999
Tentang Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (AKIP).
-----------------------------, Nomor 5 Tahun
2004 Tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi.
Keputusan Menteri Pendayagunaan
Aparatur Negara Nomor 26 Tahun 2004 Tentang Petunjuk Teknis Transparansi dan akuntabilitas dalam Penyelenggaraan Pelayanan Publik.
Keputusan Kepala LAN No.
239/IX/6/Y/2003 Tentang Pedoman Penyusunan Pelaporan AKIP.
Ketetapan Majelis Permusyaratan Rakyat
Nomor XI/MPR/1998 Tentang Penyelenggara Negara Yang Bebas Dari Korupsi.
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor
19 Tahun 2008 Tentang Pedoman Organisasi dan Tata Kerja Komisi Penyiaran Indonesia.