ICASEPS WORKING PAPER No. 94 ANALISIS KETERBATASAN PEMILIKAN ASSET, POLA PENGELUARAN DAN PENDAPATAN RUMAHTANGGA PETANI MISKIN DI WILAYAH PFI3P KABUPATEN TEMANGGUNG, JAWA TENGAH : Suatu Upaya Peningkatan Kondisi Sosial Ekonomi Jangka Panjang Iwan Setiajie Anugrah Agustus 2008 Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian (Indonesian Center for Agricultural Socio Economic and Policy Studies) Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian
25
Embed
ICASEPS WORKING PAPER No. 94 - pse.litbang.pertanian.go.idpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/WP_94_2008.pdf · Berbagai macam persoalan dan latar belakang terjadinya proses
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
ICASEPS WORKING PAPER No. 94
ANALISIS KETERBATASAN PEMILIKAN ASSET, POLA PENGELUARAN DAN PENDAPATAN RUMAHTANGGA PETANI MISKIN DI WILAYAH PFI3P KABUPATEN TEMANGGUNG, JAWA TENGAH :Suatu Upaya Peningkatan Kondisi Sosial Ekonomi Jangka Panjang
Iwan Setiajie Anugrah
Agustus 2008
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian(Indonesian Center for Agricultural Socio Economic and Policy Studies)Badan Penelitian dan Pengembangan PertanianDepartemen Pertanian
1
ANALISIS KETERBATASAN PEMILIKAN ASSET, POLA PENGELUARAN DAN PENDAPATAN RUMAHTANGGA PETANI MISKIN DI WILAYAH PFI3P
KABUPATEN TEMANGGUNG, JAWA TENGAH :Suatu Upaya Peningkatan Kondisi Sosial Ekonomi Jangka Panjang
Iwan Setiajie Anugrah
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan PertanianJalan Ahmad Yani No, 70, Bogor 16161
ABSTRAK
Pada dasarnya kemiskinan adalah ketidaksanggupan seseorang atau sekelompok orang untuk dapat memenuhi dan memuaskan kebutuhan materialnya, karena itu ukuran apapun yang dipakai untuk mengatur tingkat kemiskinan dan dimanapun ukuran itu diterapkan, meski menunjuk pada indikasi bahwa tingkat pendapatan, pemilikan dan penguasaan sumberdaya ekonomi seseorang serba terbatas untuk bisa memenuhi kebutuhan dasarnya. Ketidak sepakatan yang cukup menonjol dalam menjelaskan konsep kemiskinan sebenarnya bukan terletak pada penetapan ukuran kemiskinan ataupun indikator kuantitatif kemiskinan, melainkan pada penyebab seseorang atau sekelompok orang masuk dalam kategori miskin serta faktor-faktor penyebabnya. Hal ini yang meneyebabkan rekomendasi yang diajukan untuk memecahkan persoalan kemiskinan pun akan berbeda pula. Tulisan ini mencoba menggambarkan satu kegiatan sinergis antara keterbatasan rumahtangga petani miskin dengan upaya yang dilakukan oleh PFI3P dalam rangka peningkatan kondisi sosial ekonomi melalui tiga dasar pendekatan ( system approach, decision making model dan structural approach) yang menjadi latar belakang terjadinya kemiskinan sebelumnya. Sinergisitas dari upaya jangka panjang ini, secara bertahap diharapkan dapat mendorong percepatan proses kearah tujuan penanggulangan kemiskinan wilayah maupun nasional yang direncanakan.
Kata kunci : kemiskinan, keterbatasan asset, pendapatan dan rumahtangga petani
PENDAHULUAN
Pembangunan pertanian sebagai salah satu indikator penting dalam upaya
menjadikan dasar bagi pembangunan nasional, nampaknya tidak hanya cukup puas
menjadi sektor yang berperan tangguh pada persoalan-persoalan pembangunan
perekonomian semata. Walau dalam masa krisis ekonomi dan moneter menunjukkan
angka pertumbuhan yang positif diantara sektor-sektor lainnya yang menurun, namun
demikian peran dan fungsi sektor pertanian sebagai leading sector perekonomian saat
ini, pada kenyataannya masih banyak dipertanyakan berkaitan dengan realitas peta
kemiskinan yang ada saat ini.
Secara nasional data BPS (2003) menunjukkan bahwa berdasarkan lapangan
pekerjaan utama baik yang dilakukan oleh kepala rumah tangga maupun secara
individu, persentase penduduk miskin sebagian besar berada pada sektor pertanian,
2
yaitu mencapai diatas 50 persen dibandingkan dengan jumlah penduduk miskin di
lapangan pekerjaan lainnya. Begitu pula dengan data BPS (2003) lainnya menunjukkan
bahwa penyebaran penduduk miskin berdasarkan lapangan pekerjaan pada 30 propinsi
yang ada menunjukkan bahwa penduduk yang bekerja di sektor pertanian lah yang
menempati persentase cukup besar dibandingkan dengan sektor pekerjaan lainnya
(Tabel Lampiran 1,2 dan 3).
Berbagai macam persoalan dan latar belakang terjadinya proses kemiskinan
telah banyak dikemukakan oleh para ahli dan pemerhati sosial lainnya, namun secara
umum terdapat tiga pendekatan yang mencoba untuk menjelaskan penyebab terjadinya
kemiskinan itu sendiri. Tiga pendekatan yang menjadi latar belakang terjadinya
kemiskinan, yaitu : system approach, decision making model dan structural approach.
Pendekatan pertama lebih menekankan adanya keterbatasan pada aspek-aspek
geografi, ekologi, teknologi dan demografi. Kondisi kemiskinan yang disebabkan oleh
faktor-faktor tersebut dianggap lebih banyak menekan warga masyarakat yang tinggal di
wilayah pedesaan atau pedalaman.
Dalam konteks anggapan penyebab kemiskinan tersebut, maka pendekatan ini
menyarankan dilakukannya intervensi tertentu untuk meningkatkan kemampuan daya
dukung lingkungan alam melalui introduksi teknologi baru yang memiliki kemampuan
dan kapasitas lebih besar dalam mengeksplorasi dan mengeksploitasi sumberdaya
ekonomi sehingga dapat tercapai surplus produksi serta dapat meningkatkan nilai
tambah hasil produksi. Kemudian juga harus diupayakan untuk membangun dan
memperbaiki prasarana dan sarana transportasi serta komunikasi publik yang
memungkinkan daerah tersebut menjadi terbuka sehingga memudahkan arus
pertukaran barang dan jasa serta diterapkannya program untuk mengerem laju
pertumbuhan penduduk.
Pendekatan kedua menekankan pada kurangnya pengetahuan, keterampilan
dan keahlian sebagian warga masyarakat dalam merespon sumberdaya ekonomi, baik
yang berasal dari dalam maupun dari luar. Dengan kata lain pendekatan ini melihat
bahwa sebagian warga masyarakat kurang memiliki kemampuan inovasi atau tidak
memiliki empati dan jenis kewirausahaan untuk mengelola dengan baik, efisien dan
efektif unit-unit usaha yang dimiliki/dikuasai, kurang mempunyai kemampuan untuk
memperbaharui teknologi serta menciptakan dan memperluas pasar komoditi.
Berdasarkan kondisi di atas, maka pendekatan ini menghendaki ditingkatkannya
kemampuan, yaitu keahlian dan keterampilan sumberdaya manusia seperti
3
pembentukan dan pengembangan motivasi, mendorong mobilitas serta peningkatan
pendidikan supaya memiliki jiwa-jiwa yang inovatif, kreatif, responsif dan proaktif dalam
persaingan.
Pendekatan ketiga, melihat bahwa kemiskinan terjadi karena adanya
ketimpangan dalam penguasaan dan pemilikan faktor-faktor produksi seperti tanah,
teknologi dan bentuk kapital lainnya. Di sini wajah kemiskinan memiliki dimensi
struktural yang merupakan akibat dari adanya ketimpangan dalam pemilikan dan
penguasaan asset ekonomi atau kapital lainnya. Dalam kondisi tersebut, menginginkan
dilakukannya suatu transformasi pada struktur dan politik yang tidak lagi didominasi
kelompok elite tetapi diarahkan pada pemilikan orang-orang miskin, dengan cara
memberikan akses dan terutama kontrol atas sumber-sumber kapital bagi tumbuhnya
peluang berusaha dan kesempatan bekerja yang layak bagi orang-orang miskin yang
bersangkutan.
Berdasarkan pada pendekatan dan langkah-langkah yang harus dilakukan dalam
kaitannya dengan alur kemiskinan di atas, Badan Litbang Pertanian melalui Proyek
Peningkatan Pendapatan Petani Miskin Melalui Inovasi (PFI3P) telah mencoba
mendorong pembangunan sistem agribisnis di lahan marjinal melalui pemberdayaan
petani, pengembangan kelembagaan desa dan perbaikan sarana/prasarana pendukung
di desa secara partisipatif, disertai inovasi teknologi dan peningkatan akses pada
jaringan informasi. Selama lima tahun ke depan akan diarahkan pada empat komponen
kegiatan yang meliputi : (1) pemberdayaan petani; (2) pengembangan sumber informasi;
(3) dukungan pengembangan inovasi pertanian dan desiminasi; dan (4) manajemen
proyek.
Melalui kegiatan ini diharapkan salah satu atau ketiga akar kemiskinan di atas,
seyogyanya dapat dijadikan suatu perencanaan yang konkrit sebagai upaya ikut serta
dalam program-program pengentasan kemiskinan di sektor pertanian secara nasional ke
depan. Untuk mengetahui lebih jelas kondisi kemiskinan yang ada di lokasi kegiatan
PFI3P Kabupaten Temanggung maka secara komprehensif akan dikemukakan dalam
tulisan ini dan secara tidak langsung memberikan gambaran faktual kondisi lokasi dan
karakteristik petani miskin dalam pengelolaan sumberdaya serta program investasi yang
diperlukan untuk mendukung pola pemberdayaan petani/wilayah dari kemiskinan yang
ada saat ini dan ke depan.
4
KARAKTERISTIK KEMISKINAN
Kemiskinan berdasarkan makna dari Oscar Lewis dalam Radjab (2005), adalah
ketidaksanggupan seseorang atau sekelompok orang untuk dapat memenuhi dan
memuaskan keperluan dasar materialnya. Dalam konteks pengertian Lewis itu,
kemiskinan adalah ketidak cukupan seseorang untuk bisa memenuhi kebutuhan-
kebutuhan primernya, seperti pangan, sandang dan papan untuk kelangsungan hidup
dan meningkatkan posisi sosial ekonominya. Karena itu, ukuran apapun yang dipakai
untuk mengatur tingkat kemiskinan dan dimanapun ukuran itu diterapkan menurut
Lewis, meski menunjuk pada indikasi bahwa tingkat pendapatan serta pemilikan dan
penguasaan sumberdaya ekonomi seseorang sangat serba terbatas untuk bisa
memenuhi kebutuhan dasarnya apalagi kebutuhan sekunder dan tersier.
Batasan tentang kemiskinan juga sebenarnya telah banyak dikemukakan oleh
para ahli seperti; Sumodiningrat (1999); Kartasasmita (1999); Prasetyawan (1998);
Pakpahan, Hermanto, Sawit dan Taryoto (1995); Kasryno dan A. Suryana (1992);
Otsuko (1991) World Bank (1990) serta berbagai institusi, seperti BPS, BKKBN,
DEPSOS dan lainnya. Berbagai batasan dan pendapat para ahli yang berkaitan dengan
masalah kemiskinan seperti diatas, hingga saat ini juga telah banyak dikemukakan dan
banyak menumbuhkan silang pendapat diantara batasan-batasan yang ada. Ketidak
sepakatan yang paling menonjol dalam menjelaskan konsep kemiskinan sebenarnya
bukan terletak pada penetapan ukuran kemiskinan itu, serta bukan pada indikator
kuantitatif kemiskinan, melainkan pada penyebab seseorang atau sekelompok orang
masuk dalam kategori miskin serta faktor-faktor penyebabnya.
Perbedaan tentang penjelasan hal itu menyebabkan rekomendasi yang diajukan
untuk memecahkan persoalan kemiskinan pun berbeda. Dengan demikian tentunya
implikasi yang muncul dari implementasi program penanggulangan kemiskinan pun
akan berbeda pula. Untuk keperluan tulisan ini, maka batasan tingkat kemiskinan
didasarkan pada besarnya pendapatan perkapita sebagaimana telah diuraikan dalam
Project Administration Memorandum (PAM) dimana batasan petani miskin ditetapkan
dengan pendapatan perkapita kurang dari Rp. 1 juta setahun. Namun dengan adanya
penyesuaian harga yang berbeda untuk setiap lokasi (kemampuan daya beli dan tingkat
harga barang dan jasa), maka BPS (2003) menetapkan batas garis kemiskinan nasional
untuk setiap kabupaten termasuk beberapa kabupaten PFI3P, yaitu untuk Kabupaten
Temanggung adalah Rp. 1.113.624/kapita/tahun atau Rp. 92.802/kapita/bulan, sehingga
5
diperoleh sejumlah 45 orang responden dari 5 lokasi kajian PFI3P secara proporsional
dari 152 responden masyarakat secara keseluruhan wilayah kajian PFI3P tahun 2003.
KERAGAAN SOSIAL EKONOMI PETANI
Kondisi sosial ekonomi petani dan masyarakat secara umum berdasarkan
batasan BPS adalah ketidakmampuan untuk memenuhi standar tertentu dari kebutuhan
dasar baik makanan dan bukan makanan perhari ditambah nilai pengeluaran untuk
kebutuhan dasar bukan makanan yang paling pokok (Nugroho, 1995 dalam Nurmanaf,
2002). Sementara data mikro ukuran kemiskinan BKKBN pada indikator-indikator
penentuan keluarga Pra Sejahtera dan keluarga Sejahtera I, diantaranya meliputi lantai
masih dari tanah, dinding kayu dan kondisi kelengkapan sosial lainnya masih menjadi
salahsatu acuan yang dipergunakan untuk mengukur tingkat sosial di masyarakat
pedesaan khususnya.
Karakteristik Rumah Tangga
Struktur Rumah Tangga Berdasarkan Umur dan Jenis Kelamin
Struktur rumah tangga berdasarkan umur menunjukkan bahwa hampir di semua
desa contoh, kepala keluarga sebagai responden berada pada tingkat usia produktif
bekerja baik dimana secara rata-rata usia kepala keluarga berada pada rataan 37,93
tahun hingga mencapai usia 49,93 tahun dengan kisaran umur antara 21 tahun hingga
76 tahun. Kemudian berdasarkan jumlah angota keluarga dari masing-masing
rumahtangga contoh, terlihat berada pada kondisi jumlah keluarga yang masih terbatas
antara 2 orang hingga 5 orang atau dengan rata-rata jumlah anggota keluarga 3 hingga
5 orang. Dari gambaran jumlah keluarga contoh tersebut, berdasarkan jenis kelamin
relatif bervariasi. Jumlah anggota keluarga yang berjenis kelamin perempuan, secara
umum relatif lebih besar diantara anggota rumah tangga dengan jenis kelamin laki-laki,
kecuali pada desa contoh Sukomarto dan Pagersari, jumlah anggota rumah tangga per
KK perempuan relatif lebih kecil dari jumlah jiwa per KK laki-laki.
Perbedaan struktur umur maupun jumlah anggota keluarga serta jenis kelamin
dalam satu kesatuan rumah tangga, pada dasarnya untuk beberapa desa contoh tidak
6
menunjukkan perbedaan yang nyata dalam beberapa hal. Namun demikian dalam
kegiatan rumah tangga terutama yang berkaitan dengan perolehan pendapatan maupun
pengeluaran rumah tangga dengan unit analisa rumah tangga akan banyak
menggambarkan kondisi sosial ekonomi keluarga itu sendiri. Secara umum jumlah
anggota rumah tangga miskin relatif lebih besar sehingga secara tidak langsung akan
berpengaruh pada kondisi sosial ekonomi rumah tangga tersebut.
Lebih lanjut, distribusi anggota rumah tangga berdasarkan usia masing-masing
anggota rumah tangga terlihat bahwa proporsi anggota rumah tangga di desa Gilingsari
sebagian besar berada pada kelompok umur 25-54 tahun mencapai 52 persen, sisanya
tersebar pada kelompok usia 0-14 tahun (26,09%); kelompok 14-24 (17,39%) serta pada
kelompok di atas 55 tahun (4,35%). Secara umum distribusi anggota rumah tangga
berdasarkan struktur usia masing-masing rumah tangga contoh berada pada usia
produktif 25-54 tahun, dengan persentase lebih besar dari kelompok usia lainnya,
seperti pada Tabel 1.
Struktur Rumah Tangga Berdasarkan Pendidikan dan Jenis Pekerjaan
Berdasarkan tingkat pendidikan kepala keluarga di lima desa contoh, terlihat
bahwa pendidikan yang pernah dicapai berkisar antara 0 sampai dengan 17 tahun.
Secara rinci rata-rata pendidikan kepala keluarga di lima desa contoh antara 6 sampai
dengan 8,5 tahun atau setingkat dengan pendidikan SD hingga SMP. Tingkat
pendidikan rata-rata berdasarkan, menunjukkan bahwa secara umum tingkat pendidikan
kepala keluarga relatif rendah. Sebagai gambaran riil tingkat pendidikan kepala keluarga
di desa Gilingsari, Donorejo, Kranjan, Pagersari dan Sukomerto, masing-masing
menunjukkan 6,6 tahun; 4,87 tahun; 5,73 tahun; 6,38 dan 7,5 tahun. Dengan gambaran
mikro ini memberi indikasi bahwa tingkat pendidikan pada beberapa desa contoh
menunjukkan angka relatif rendah, sehingga diperkirakan bahwa pendidikan merupakan
salah satu indikator terhadap kondisi sosial ekonomi rumah tangga yang bersangkutan,
selain jumlah anggota keluarga yang besar (Tabel 1).
7
Tabel 1. Karakteristik Rumah Tangga Contoh di Kabupaten Temanggung, 2004
PANGAN- Beras- Kopi/gula/teh/susu- Lauk-pauk/sayuran- Rokok/tembakau- Lainnya
NON PANGAN- Sabun cuci/mandi/pasta gigi- Kosmetika- Pendidikan- Pakaian- Kesehatan- Rekreasi- Sosial- Perbaikan rumah- Listrik- BBM- Lainnya
15,176,1419,790,940,71
7,730,9817,717,830,880,2011,820,985,242,141,76
13,3412,0720,887,220,15
7,960,544,8913,222,300,0011,161,624,500,150,00
18,537,8517,095,520,43
4,871,0010,7311,671,700,0010,713,493,972,440,00
16,2812,0617,263,790,00
9,940,757,518,280,240,009,610,635,595,402,66
15,097,3812,472,690,59
5,811,7811,8410,646,670,0018,350,176,144,490,87
Jumlah 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00Sumber: Data Primer diolah,. 2004.
21
UPAYA PEMBERDAYAAN
Permasalahan yang cukup penting dari gambaran keterbatasan asset yang
merupakan kondisi kemiskinan struktural yang dimiliki oleh rumahtangga miskin
tersebut, adalah bahwa pada dasarnya adanya keterbatasan dalam memperoleh
sumber pendapatan bagi rumahtangga. Keterbatasan pemilikan dan pengusahaan lahan
pertanian sebagai sumber mata pencaharian utama rumahtangga, kemudian
diversifikasi sumber mata pencaharian yang relatif terbatas telah membatasi upaya
untuk meningkatkan produktivitas yang bisa memperoleh pendapatan bagi pemenuhan
kebutuhan hidup keluarga, disisi lain kegiatan di sektor pertanian bagi sebagian
masyarakat telah dilakukan selama bertahun-tahun secara turun temurun, sekaligus
merupakan modal kuat untuk ditingkatkan selama menjadi sumber mata pencaharian
utama yang bisa memberikan hasil yang cukup bagi individu petani, juga secara
kewilayahan da-pat mendorong suatu pemikiran ke arah pemberdayaan secara
berasama-sama memperbaiki kekurangan yang berhubungan dengan aksessibilitas
yang menunjang peningkatan pendapatan individu di wilayah bisa tercapai.
Dengan kata lain pemberdayaan yang harus dilakukan dalam keterbatasan ini,
tidak hanya ditingkat individu petani/rumahtangga miskin, tetapi secara bersama-sama
pada skala wilayah yang lebih luas dimana komunitas kelompok rumahtangga miskin
tersebut berada. Dengan demikian secara bersamaan, proses dan upaya
pengentasannya dilakukan. Proses tersebut tidak akan berhasil apabila hanya
didasarkan oleh upaya individu rumahtangga miskin sendiri tetapi harus ada upaya dari
luar baik dari lembaga pemerintah, swasta dan partisipan lain untuk ikut serta terlibat
dalam tujuan diatas secara sistematis berjalan pada peran dan fungsi masing-masing.
Dari sisi individu masyarakat, melalui upaya partisipatif berupaya untuk dapat
meningkatkan kegiatan usahatani maupun diversifikasi usaha di kegiatan off-farm
maupun non-farm, sementara ditingkat institusi luar berperan untuk memperbaiki dan
sekaligus memfasilitasi kebutuhan masyarakat berdasarkan skala prioritas kebutuhan
yang berkaitan langsung dengan kegiatan yang dilakukan masyarakat di wilayahnya.
Pemberdayaan melalui kegiatan PFI3P telah mendorong wilayah di tingkat
institusi, dengan membangun sarana prasarana yang dibutuhkan masyarakat/wilayah
miskin dengan catatan agar mengurangi keterbatasan dan permasalahan yang selama
ini menjadi kendala dalam upaya peningkatan usaha dan pencapaian pendapatan
rumahtangga miskin yang dilatarbelakangi dengan potensi sumberdaya alam yang
cukup untuk untuk ditingkatkan.
22
Secara fisik kegiatan PFI3P telah melakukan pembangunan sarana jalan
usahatani, jembatan, membangun dan memperbaiki saluran irigasi, pasar serta akses
komunikasi lainnya dengan tujuan untuk mempercepat peningkatan aksessibilitas
wilayah dan sekaligus mendorong pergerakan perekonomian wilayah potensial serta
membuka wilayah miskin kearah tatanan sosial yang lebih luas sebagai upaya mencari
umpan balik bagi perkembangan sosial ekonomi ke dalam wilayah miskin tersebut.
Diharapkan secara bertahap upaya yang dilakukan oleh PFI3P menjadi pembuka
bagi perbaikan kondisi sosial ekonomi rumahtangga petani miskin, sekaligus terjadi
peningkatan informasi teknologi yang bisa mendorong upaya-upaya perbaikan sistem
usahatani yang dilakukan oleh individu petani masing-masing selama ini. Sehingga
melalui proses ini juga secara tidak langsung dapat memperbaiki peningkatan struktur
asset petani yang dimiliki serta terjadi peningkatan pendapatan rumahtangga petani
secara keseluruhan.
PENUTUP
Secara individu, keterbatasan sumber pendapatan dan pemilikan asset
nampaknya masih merupakan cermin tingkat kemiskinan rumahtangga petani selama
ini. Dilihat secara kewilayahan keterbatasan sarana prasarana yang mendukung
aksessibilitas wilayah miskin juga menjadi kendala dalam upaya mencari alternatif
pemecahan atas ketidakmampuan secara finansial wilayah untuk mengupayakan
perbaikan kondisi sosial ekonomi komunitasnya dengan dunia luar yang selama ini
menjadi beban langsung masyarakat atas keterbatasan yang dimiliki wilayah. Terjadinya
kegiatan ekonomi biaya tinggi dan tidak adanya interaksi sosial dengan dunia luar akan
semakin mendorong wilayah/rumahtangga miskin ”terbenam” pada persoalan-persoalan
kemiskinan secara turun temurun, dengan segala keterbatasan komunitas.
Kebutuhan perbaikan sosial ekonomi yang tumbuh secara partisipatif melalui
pengalaman usahatani yang selama ini telah dilakukan secara turun temurun menjadi
modal kuat untuk perbaikan kedepan. Sementara introduksi teknologi melalui sarana
prasarana wilayah yang dibangun diharapkan menjadi media untuk mendorong kearah
percepatan pemberdayaan rumahtangga/wilayah miskin dengan dunia luar. Bila kedua
upaya ini secara sinergis berjalan pada satu tujuan yang sama, maka secara bertahap
proses peningkatan kondisi sosial ekonomi akan tercapai sehingga tujuan
penaggulangan kemiskinan yang diupayakan secara nasional melalui pendekatan
system approach, decission making model dan structural approach dalam jangka
panjang, secara bertahap akan bisa terwujud.
23
DAFTAR PUSTAKA
Anonimous. 2000. Lampiran Undang-undang Republik Indonesia No.25 Tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional (PROPENAS) tahun 2000-2004.
Anonimous. 2002. Pedoman Umum Bantuan Langsung Masyarakat Tahun 2002. Jakarta. Departemen Pertanian.
Badan Pusat Statistik (BPS). 2003. Data dan Informasi Kemiskinan Tahun 2003 (Buku I Provinsi dan Buku II Kabupaten). CV. Nasional. Jakarta.
BPS dan Bappeda Kabupaten Temanggung. 2003. Temanggung Dalam Angka Tahun 2003. BPS dan Bappeda Kabupaten Temanggung.
Kasryno, F. And A.Suryana, 1992. Long Term Planning for Agricultural Development Related to Poverty Alleviation in Rural Areas dalam Pasandaran , E. et al., (Eds.). Poverty Alleviation with Sustainable Agricultural and Rural Development in Indonesia. Proceedings of National Seminar and Workshop, Bogor. Indonesia.
Nurmanaf, A.R., S. Wahyuni, H. Maryowani, V. Darwis, C. Muslim dan Sugiarto. 2002. Laporan Hasil Penelitian : Strategi Penanggulangan Kemiskinan Dalam Perspektif Pembangunan Partisipatif di Wilayah Agroekosistem Marjinal. Puslitbang Sosial Ekonomi Pertanian. Badan Litbang Departemen Pertanian. Bogor.
PFI3P. 2003. Konsep Awal Inovasi Teknologi Mendukung Pengembangan Agribisnis Pertanian Lahan Marginal. Jakarta.
Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian. 1993. Rangkuman Hasil Penelitian Identifikasi Wilayah Miskin di Indonesia dan Alternatif Upaya Penanggulangan-nya 1992/1993. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian. Bogor.
Rachman, A. Abdurachman dan S. Sukmana. 1990. Pengaruh Berbagai Teknik Konservasi Tanah terhadap Erosi, Aliran Permukaan dan Hasil Tanaman Pangan pada Tanah Typic Eutropept di Ungaran. Makalah disampaikan pada pembahasan hasil penelitian pertanian lahan kering dan konservasi tanah, Tugu-Bogor.
Semodiningrat, G. 1999. Pemberdayaan Masyarakat dan Jaring Pengaman Sosial. Penerbit PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
Zakaria, A.K., B. Irawan dan D.K. Swastika. 2003. Laporan Akhir Sosio-Economic Baseline Survey for Poor Farmers’ Income Improvement Through Innovation Project (PFI3P) in Temanggung, Central Java. Kerjasama Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian dengan Proyek Peningkatan Pendapatan Petani Miskin melalui Inovasi (Poor Farmers’ Income Improvement Through Innovation Project/PFI3P).
24
Lampiran 1. Kerangka Berpikir Kegiatan PFI3P
1. Membentuk kelompok tani
2. Meningkatkan peran serta perempuan dan petani miskin dalam kelompok tani
3. Menyediakan fasilitator4. Menumbuhkan proses
partisipatif dalam pengambilan keputusan
1. Membentuk VPIC yang berfungsi sebagai badan di tingkat desa
2. Membentuk PIVF di tingkat kecamatan
3. Membentuk DCC sebagai forum untuk dukungan teknis investasi desa
4. memformalkan ketiga kelembagaan diatas dalam struktur administratif kabupaten
1. Memanfaatkan kelompok tani dalam proses partisipatif untuk investasi desa mendukung inovasi
2. Membangun kemitraan antara kelompok tani dengan swasta untuk investasi dan adopsi inovasi
3. Mengusulkan biaya investasi desa
1. Meningkatkan ruang lingkup sistem informasi harga pasar untuk memenuhi kebutuhan di 4 propinsi PFI3P pada tahun ke empat
2. Menyediakan informasi harga pasar secara umum di tingkat produsen dan pasar
3. Mengembangan sistem informasi secara nasional setelah proyek berakhir
4. Memutakhirkan informasi pertanian secara reguler dan dapat dioperasikan pada tahun ke 4.
5. Membangun website informasi pertanian dan agribisnis
6. Memanfaatkan website pertanian untuk kegiatan bisnis pada tahunkedua setelah websiteoperasional.
7. Membangun pusat-pusat informasi di tingkat kabupaten dan dapat operasional pada tahun ketiga
1. Melaksanakan outreachprogram untuk penyebaran teknologi tepat guna
2. Melaksanakan program penelitian spesifik untuk lahan marginal
3. Mengembangkan metode produksi dan pemasaran pertanian
4. Menyelenggarakan kegiatan diseminasi hasil litkaji
MobilisasiKelompok
PengembanganKelembagaan
InvestasiDesa
Pengembangan Website Pertanian Nasional dan Pengembangan Pusat
Informasi Lokal
Pengembangan dan Diseminasi Inovasi
Pertanian
PERBAIKAN SARANA DAN PRASARANAMENINGKATNYA AKSES
INFORMASI
REORIENTASI PENELITIAN PERTANIAN
LAHAN MARGINAL
MENINGKATNYA INOVASI DALAM PRODUKSI DAN PEMASARAN HASIL PERTANIAN