4 I. TINJAUAN PUSTAKA 1.1 Klasifikasi Buah Apel Manalagi Menurut Sistim Informasi Manajemen Pembangunan di Perdesaan, BAPPENAS (2000) sistematika tanaman apel termasuk dalam: Divisio : Spermatophyta Subdivisio : Angiospermae Kelas : Dicotyledonae Ordo : Rosales Famili : Rosaceae Genus : Malus Spesies : Malus sylvestris Mill. Gambar 1. Apel Manalagi Sumber : (Rahmawati,2010)
14
Embed
I. TINJAUAN PUSTAKA 1.1 Klasifikasi Buah Apel Manalagieprints.umm.ac.id/46917/3/BAB II.pdfProses metabolisme yang terjadi pada buah dan sayuran yang dipanen atau hasil pertanian yang
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
4
I. TINJAUAN PUSTAKA
1.1 Klasifikasi Buah Apel Manalagi
Menurut Sistim Informasi Manajemen Pembangunan di Perdesaan,
BAPPENAS (2000) sistematika tanaman apel termasuk dalam:
Divisio : Spermatophyta
Subdivisio : Angiospermae
Kelas : Dicotyledonae
Ordo : Rosales
Famili : Rosaceae
Genus : Malus
Spesies : Malus sylvestris Mill.
Gambar 1. Apel Manalagi
Sumber : (Rahmawati,2010)
5
Tabel 1. Kandungan Gizi Buah Apel (Gizi Nilai per 100g )
Kandungan Nilai
Energi (kkal) 52,00
Air (%) 85,56
Karbohidrat (g) 13,81
Protein (g) 0,26
Lemak (g) 0,17
Gula (g) 10,39
Serat pangan (g) 2,40
Vitamin A (µg) 3,00
Vitamin C (mg) 4,60
Vitamin B1 (Thiamine) (mg) 0,017
Vitamin B2 ( Riboflavin ) (mg) 0,026
Vitamin B3 ( Niacin ) (mg) 0,091
Vitamin B5 (mg) 0,061
Vitamin B6 (mg) 0,50
Asam folat (µg) 3,00
Vitamin E (mg) 0,50
Kalsium (mg) 6,00
Iron (mg) 0,12
Magnesium (mg) 5,00
Phosphorus (mg) 11,00
Pottasium (mg) 107,00
Zinc (mg) 0,04
Sumber : (Rahmawati,2010) 2.1.1 Respirasi Buah Apel Manalagi
Susanty (2009) berpendapat bahwa produk-produk hortikultura seperti buah-
buahan dan sayuran masih melakukan proses kehidupan setelah pemanenan dengan
menggunakan oksigen untuk merombak karbohidrat menjadi air dan karbon dioksida
atau yang biasa kita sebut dengan respirasi. Masalah utama dalam pengemasan adalah
suhu dan RH yang tinggi di mana kedua faktor ini akan mempercepat laju reaksi
kimia dan pertumbuhan mikroorganisme dan insekta. Saat respirasi, produk
6
hortikultura akan menghasilkan panas yang akan mempercepat pematangan atau
bahkan pembusukan sehingga diperlukan pengendalian suhu yang baik agar tidak
terjadi kerusakan yang terlalu cepat. Jenis pengemasan yang digunakan juga akan
sangat berpengaruh terhadap kerusakan produk yang dikemasnya karena dipengaruhi
oleh daya permeabilitas tiap kemasan yang berbeda.
Dalam penanganan atau pengolahan hasil pertanian menghendaki agar dapat
memenuhi keinginan konsumen, seperti bentuk, warna, rasa, maupun kualitasnya.
Tanaman akan mengalami proses biologis setelah dipanen. Proses biologis ini
meliputi proses fisiologis, enzimatis, dan kimiawi. Respirasi dan penuaan hasil
pertanian sangat mempengaruhi sifat produk tersebut dan berbagai zat yang
terkandungnya, di mana pengaruh tersebut akan menyebabkan perubahan warna,
tekstur, rasa dan bau dari hasil pertanian. Sifat fisik dan komposisi kimia bahan hasil
pertanian memiliki hubungan erat dengan indeks kualitas dan stabilitasnya. Hasil
pertanian tersusun dari senyawa kimia yang komposisinya sangat bervariasi. Setiap
buah-buahan dan sayuran tersusun dari jaringan yang hidup dan aktif melakukan
metabolisme sehingga mengalami perubahan tergantung pada pertumbuhan sebelum
panen, tingkat kemasukan saat panen, faktor genetik dan keadaan lingkungan.
Proses metabolisme yang terjadi pada buah dan sayuran yang dipanen atau
hasil pertanian yang hidup adalah respirasi. Respirasi merupakan pemecahan
oksidatif terhadap bahan kompleks yang biasa ada dalam sel, seperti karbohidrat
diubah menjadi molekul sederhana seperti CO2 dan air. Laju respirasi buah dan
sayuran tersebut, jika laju respirasi bahan diukur (O2 yang dikonsumsi dan CO2 yang
7
dikeluarkan) selama perkembangan, pematangan, pemasakan, maka pola respirasi
tertentu akan diperoleh (Lakitan, 1995).
2.2 Pascapanen Buah Apel Manalagi
2.2.1 Penyimpanan Buah Apel Manalagi
Proses penyimpanan adalah suatu kegiatan yang dilakukan untuk menahan atau
menunda suatu barang sebelum barang tersebut dipakai tanpa merubahnya. Kondisi
penyimpanan yang sesuai akan mencegah penurunan mutu dan kerusakan pakan
untuk waktu yang lebih lama (Krisnan, 2008). Pada umumnya penyimpanan apel agar
tetap memiliki tingkat kesegaran yang tahan lama adalah dengan cara
memasukkannya ke dalam freezer dengan suhu antara (-1,1 – 1,7°C). Beberapa faktor
luar yang dapat dikendalikan unuk menjaga keawetan produk adalah menjaga
kelembaban, suhu penyimpanan dan kandungan gas terentu dalam ruang
penyimpanan sehingga kesegarannya dapat tahan lama (Fitri, 2007).
2.2.2 Pengemasan Buah Apel Manalagi
Menurut Cahya, dkk., (2014) berpendapat bahwa penyimpanan dalam
kemasan merupakan salah satu penanganan pascapanen untuk mempertahankan umur
simpan komoditi pertanian agar tahan lama hal ini karena jumlah gas yang tersedia
dalam kemasan akan berbeda jumlahnya apabila volume ruang saat penyimpanan
berbeda antara satu kemasan dengan kemasan lainnya.
Film kemasan yang baik untuk pengemasan produk segar buah dan sayuran
(fresh-cut) adalah dengan menggunakan film kemasan yang mempunyai
permeabilitas terhadap CO² lebih tinggi dibandingkan permeabilitas terhadap O²
8
sehingga akumulasi CO² akibat respirasi lebih sedikit dari pada penyusutan O²
(Suhelmi, 2007).
2.3 Kerusakan pada Buah Apel
Kerusakan buah dapat terjadi sejak buah dipanen hingga proses penyimpanan.
Beberapa proses kerusakan yang terjadi pada buah antara lain:
1. Browning (Pencoklatan)
Proses pencoklatan atau browning sering terjadi pada buah-buahan, seperti
pisang, pir, salak, apal, dan apel. Buah apel yang memar juga akan mengalami proses
pencoklatan. Pada umumnya, proses pencoklatan dapat dibagi menjadi dua, yaitu
proses pencoklatan enzimatik dan non enzimatik. Perubahan warna yang utama pada
apel disebabkan oleh reaksi browning (pencoklatan). Pencoklatan enzimatis
disebabkan oleh aktivitas enzim phenolase dan oliphenolase. Pada buah apel utuh,
sel-selnya masih utuh, dimana substrat yang terdiri atas senyawa-senyawa fenol
terpisah dari enzim phenolase sehingga tidak terjadi reaksi browning. Apabila sel
pecah akibat terjatuh/memar atau terpotong (pengupasan, pengirisan) substrat dan
enzim akan bertemu pada keadaan aerob (terdapat oksigen) sehingga terjadi reaksi
browning enzimatis (Harianingsih, 2010).
2. Penyusutan Massa (Susut Bobot)
Susut (losses) kualitas dan kuantitas dapat terjadi sejak pemanenan hingga
saat dikonsumsi. Besarnya susut sangat bergantung pada jenis komoditi dan cara
penanganannya selepas panen, untuk mengurai susut ini petani atau pedagang harus :
(1) mengetahui faktor biologis dan lingkungan yang berpengaruh terhadap terjadinya
9
kerusakan, (2) menguasai teknik penanganan pasca panen yang dapat menunda
kelayuan atau kebusukan dan menjaga kualitas pada tingkat tertentu yang mungkin
dicapai. Pada prinsipnya, untuk mengurai susut yang terjadi setelah pemanenan dapat
dilakukan dengan cara memanipulasi faktor biologis atau lingkungan dimana produk
pertanian tersebut disimpan. Perbedaan faktor biologis komoditi nabati dengan
komoditi hewani menyebabkan cara penanganan keduanya juga berbeda. Secara
umum faktor lingkungan yang berpengaruh terhadap kedua komoditi pertanian adalah
sama, yaitu suhu, kelembaban udara, komposisi udara (CO, CO2, O2), polutan dan
cahaya. Susut bobot buah akan cenderung meningkat seiring dengan semakin
lamanya waktu penyimpanan. Peningkatan susut bobot pada buah disebabkna oleh
adanya penguapan dan perubahan-perubahan yang terjadi di dalam buah yang dipacu
oleh adanya proses respirasi yang terjadi selama penyimpanan (Jayaputra dan
Nurrachman, 2005).
3. Laju Respirasi
Respirasi adalah proses pemecahan komponen organic (zat hidrat arang,
lemak dan protein) menjadi produk yang lebih sederhana dan energy. Aktivitas ini
ditujukan untuk memenuhi kebutuhan energy sel agar tetap hidup. Berdasarkan
polanya, proses respirasi selama pendewasaan dan pematangan produk nabati dapat
dibedakan menjadi dua, yaitu klimaterik dan non klimaterik. Komoditi dengan laju
respirasin tinggi akan menunjukkan kecenderungan lebih cepat rusak. Menurunkan
laju respirasi sampai batas minimal pemenuhan kebutuhan energy sel tanpa
menimbulkan fermentasi akan dapat memperpanjang umur ekonomis produk nabati.
10
Manipulasi faktor ini dapat dilakukan dengan teknik pelapisan (coating),
penyimpanan pada suhu rendah, atau memodifikasi atmosfir ruang penyimpanan.
4. Sensitivitas terhadap Suhu
Pemaparan komoditi pada suhu yang tidak sesuai akan menyebabkan
kerusakan fisiologis pada buah apel yang bias berupa : (1) freezing injuries, karena
produk disimpan di bawah suhu bekunya, (2) chilling injuries, umumnya pada produk
tropis disimpan di atas suhu beku dan diantara 5-15oC, tergantung sensitivitas
komoditi, (3) heat injuries, terjadi karena paparan sinar matahari atau panas yang
berlebihan. Berdasarkan sensitivitasnya terhadap suhu, dikenal dua golongan produk
yaitu yang bersifat sensitif dan tidak sensitif terhadap pendinginan (Harianingsih,
2010).
5. Etilen
Buah apel merupakan buah klimaterik iyang menghasilkan etilen dalam
jumlah besar selama pematangan. Etilen adalah hormone tanaman yang mengatur
banyak aspek didalam pertumbuhan, pengembangan dan kematangan buah. Buah apel
tidak menunjukan kenaikan konsentrasi etilen tajam sebelum kemantangan, namun
bila pematangan dimulai maka buah memproduksi etilen dalam jumlah besar. Dalam
proses pematangan buah apel akan terjadi penurunan tingkat kekerasan buah atau
menjadi lunak. Hal ini erat hubungannya dengan perubahan komposisi dinding sel
selama proses pematanga. Dinding sel maupun lamella tengah mengandung pectin,
yang selama proses pematangan zat pectin yang tidak larut dalam air diubah oleh
enzim menjadi zat pectin yang larut dalam air. Perubahan kekerasan ini tidak hanya
11
behubungan dengan perubahan komposisi dinding sel saja, tetapi juga dengan ukuran
sel maupun penurunan tekanan turgor (Pujimulyani, 2009).
2.4 Pengolahan Minimal (Minimal Processing)
Pengolahan minimal (minimal processing) atau dikenal pula dengan istilah
potong segar (fresh-cut) merupakan pengolahan buah atau sayuran yang melibatkan
pencucian, pengupasan, dan pengirisan sebelum dikemas dan menggunakan suhu
rendah untuk penyimpanan sehingga mudah dikonsumsi tanpa menghilangkan
kesegaran dan nilai gizi yang dikandungnya (Perera, 2007). Akan tetapi, proses
pemotongan produk-produk tersebut dapat mengakibatkan kerusakan sel dan
mempercepat kerusakan mutu (Baldwin dan Nisperros, 1993).
Kelebihan dari buah-buahan dan sayuran yang terolah minimal, selain
kemudahan dalam penyajian adalah kemungkinan konsumen melihat secara langsung
kondisi bagian dalam produk sehingga menawarkan mutu yang lebih terjamin
dibandingkan buah utuh. Apalagi buah-buahan umumnya tidak terlepas dari serangan
hama lalat buah (fruit fly), sehingga meskipun nampak mulus di bagian luar, akan
tetapi di dalamnya bisa saja terinfestasi telur atau ulat dari lalat buah. Konsumen
tidak harus mengeluarkan uang lebih hanya untuk membeli satu buah dalam satuan
kilogran khususnya pada buah yang berukuran besar. Bahkan konsumen dapat
membeli beberapa jenis buah dalam satu kemasan dalam ukuran berat yang relatif
kecil, sehingga bisa memenuhi selera sekaligus menghemat pengeluaran (Hasbullah,
2006).
12
Perlakuan-perlakuan pada buah potong segar seperti pengupasan dan
pemotongan merupakan masalah dari pengemasan dan penyimpanan pada produk
fresh cut dapat menyebabkan perubahan kimia dan biokimia yang selanjutnya
menyebabkan kerusakan mutu. Perubahan tersebut meliputi peningkatan respirasi,
produksi etilen, perubahan warna, flavor, pembentukan metabolit sekunder, dan
peningkatan pertumbuhan mikroba (Baldwin, 2007).
Perlakuan tambahan dapat diberikan untuk mengatasi masalah yang timbul
akibat pengolahan minimal yang bertujuan mempertahankan kualitas dan
memperpanjang masa simpan, di antaranya penggunaan bahan tambahan pangan
(BTP) dan penggunaan pelapisan edibel. Penggunaan BTP seperti asam asam
askorbat untuk buah mangga dan rambutan, tri sodium phospate atau Na-alginat
untuk melon terbukti dapat memperpanjang masa simpan. Pelapisan edibel dapat
digunakan sebagai pengemasan primer yang dapat dimakan dan berfungsi untuk
mengawetkan dan mempertahankan kesegaran serta kualitas produk (Hasbullah,
2006).
2.5 Klasifikasi Lidah Buaya
Lidah buaya (Aloe vera L) khususnya dari varietas barbadensis dan sinensis
adalah tanaman di daerah tropis dan sub-tropis yang sejak zaman dahulu dikenal
sebagai tanaman obat atau master healing plant. Lidah buaya (Aloe vera) merupakan
tanaman asli Afrika terutama Mediterania. Lidah buaya sering dijuluki dengan “The
Miracle Plant”. Tanaman tersebut dapat tumbuh di daerah panas maupun dingin,
dataran tinggi maupun rendah. Daya adaptasinya yang tinggi dan kegunaan tanaman
13
ini menyebabkan banyak orang membawanya ke seluruh pelosok dunia termasuk
Indonesia (Astawan, 2008).
Menurut Astawan (2008), Secara sistematis lidah buaya dapat diklasifikasikan
sebagai berikut :
Divisi : Magnoliophyta
Kelas : Lilliopsida
Ordo : Asparagales
Famili : Asphodelaceae
Genus : Aloe
Spesies : Aloe Vera
Gel lidah buaya memiliki aktivitas sebagai antibakteri, antijamur,
meningkatkan aliran darah ke daerah yang terluka, dan menstimulasi fibroblast, yaitu
sel-sel kulit yang bertanggung jawab untuk penyembuhan luka. Publikasi pada
American Podiatric Medical Association menunjukkan bahwa pemberian gel lidah
buaya pada hewan percobaan, baik dengan cara diminum maupun dioleskan pada
permukaan kulit, dapat mempercepat penyembuhan luka. Dalam lendir lidah buaya
terkandung zat lignin yang mampu menembus dan meresap ke dalam kulit. Lendir ini
akan menahan hilangnya cairan tubuh dari permukaan kulit (Astawan,2008).
Komposisi kimia daun lidah buaya dapat dilihat pada Tabel 2.
14
Tabel 2. Komposisi kimia daun lidah buaya per 100 gram
Sumber : Djubaedah dkk (2002)
2.6 Edible Coating
Edible coating merupakan suatu lapisan tipis yang dibuat dari bahan yang
dapat dimakan, dibentuk untuk melapisi buah atau diletakkan diantara komponen
makanan yang berfungsi sebagai penghalang terhadap perpindahan massa
(kelembaban, oksigen, cahaya, lipid, zat terlarut), sebagai pembawa aditif, untuk
meningaktkan penanganan suatu makanan dan merupakan barrier terhadap uap air
dan pertukanan gas O2 dan CO2 (Bourtoom, 2008). Menurut Rahardyani (2011),
bahwa edible coating dapat melindungi produk segar dan dapat juga memberikan
efek yang sama dengan modified atmosphere storage dengan menyesuaikan
komposisi gas internal. Kebersihan edible coating untuk buah tergantung pada
pemilihan film atau coating yang memberikan komposisi gas internal yang
dikehendaki sesuai untuk prosuk tertentu. Komponen edible coating terdiri dari tiga
kategori yaitu hidrokoloid, lipid, dan kombinasinya. Hidrokoloid terdiri atas protein,
turunan selulosa, alginate, pectin, tepung (starch) dan plosakarida lainnya, sedangkan
lipid terdiri dari lilin (waxs), asligliserol dan asam lemak.