1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Gunungapi Merapi, berdasar sumber informasi dari Balai Penyelidikan dan Pengembangan Teknologi Kegunungapian (BPPTK) Yogyakarta, merupakan gunungapi aktif yang dipadati penduduk dengan berbagai macam aktivitasnya. Lereng gunungapi Merapi yang memiliki suhu udara sejuk, air bersih melimpah, serta didukung oleh berbagai macam vegetasi yang tumbuh, banyak dimanfaatkan oleh penduduk sekitar untuk budidaya pertanian dan peternakan. Salah satu usaha yang berlangsung secara turun temurun, serta merupakan mata pencaharian pokok bagi sebagian masyarakat lereng gunungapi Merapi adalah usaha ternak sapi perah. Sapi perah di wilayah ini diproduksi untuk menghasilkan susu dan ”pedet” atau bibit (Dinas Pertanian, 2006). Hasil samping usaha ternak sapi perah di lereng gunungapi Merapi adalah feses yang dapat dipergunakan sebagai pupuk untuk tanaman, sangat cocok bagi vegetasi kawasan hutan. Sebagian peternak ada yang memanfaatkan feses sebagai biogas. Usaha ternak sapi perah tersebut mendukung sistem usaha pertanian yang berkelanjutan. Kawasan lereng selatan gunungapi Merapi yang termasuk dalam wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) meliputi 14 desa di Kecamatan Turi, Pakem dan Cangkringan. Populasi sapi perah di Sleman 7.971 ekor, sekitar 88% (7.062) tersebar di Kecamatan Turi, Pakem dan Cangkringan (Kompas, 2008). Sepanjang tahun 2002-2003 peternakan sapi perah di Sleman rata-rata menghasilkan 1,7 juta
15
Embed
I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/82517/potongan/S3-2015...dan Cangkringan. Populasi sapi perah di Sleman 7.971 ekor, sekitar 88% (7.062) tersebar
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
1
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Gunungapi Merapi, berdasar sumber informasi dari Balai Penyelidikan
dan Pengembangan Teknologi Kegunungapian (BPPTK) Yogyakarta, merupakan
gunungapi aktif yang dipadati penduduk dengan berbagai macam aktivitasnya.
Lereng gunungapi Merapi yang memiliki suhu udara sejuk, air bersih melimpah,
serta didukung oleh berbagai macam vegetasi yang tumbuh, banyak
dimanfaatkan oleh penduduk sekitar untuk budidaya pertanian dan peternakan.
Salah satu usaha yang berlangsung secara turun temurun, serta merupakan mata
pencaharian pokok bagi sebagian masyarakat lereng gunungapi Merapi adalah
usaha ternak sapi perah. Sapi perah di wilayah ini diproduksi untuk menghasilkan
susu dan ”pedet” atau bibit (Dinas Pertanian, 2006). Hasil samping usaha ternak
sapi perah di lereng gunungapi Merapi adalah feses yang dapat dipergunakan
sebagai pupuk untuk tanaman, sangat cocok bagi vegetasi kawasan hutan.
Sebagian peternak ada yang memanfaatkan feses sebagai biogas. Usaha ternak
sapi perah tersebut mendukung sistem usaha pertanian yang berkelanjutan.
Kawasan lereng selatan gunungapi Merapi yang termasuk dalam wilayah
Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) meliputi 14 desa di Kecamatan Turi, Pakem
dan Cangkringan. Populasi sapi perah di Sleman 7.971 ekor, sekitar 88% (7.062)
tersebar di Kecamatan Turi, Pakem dan Cangkringan (Kompas, 2008). Sepanjang
tahun 2002-2003 peternakan sapi perah di Sleman rata-rata menghasilkan 1,7 juta
2
liter susu dari total produksi susu rakyat di DIY, yaitu sebanyak 1,82 juta liter
pertahun.
Populasi sapi perah di lereng selatan gunungapi Merapi yang terancam
terkena awan panas yaitu 2.242 ekor (Tabel 1.1), dengan populasi terbesar
terdapat di Dusun Kaliadem, Kelurahan Kepuharjo.
Tabel 1.1. Populasi sapi perah di daerah rawan bencana gunungapi Merapi
tahun 2006 (ekor)
No Dusun Sapi perah
(Ekor)
1 Tunggularum, Wonokerto 60
2 Ngandong dan Tritis, Girikerto 254
3 Turgo I & II, Purwobinangun 300
4 Pangukrejo, Umbulharjo 154
5 Pelemsari/Kinahrejo, Umbulharjo 169
6 Ngrangkah, Umbulharjo 305
7 Kalitengah Lor & Kalitengah kidul, Glagahharjo 400
8 Kaliadem, Kepuharjo 600
Jumlah 2.242
Sumber: Dinas Pertanian Propinsi DIY, 2006
Fenomena gunungapi Merapi yang merupakan gunungapi tipe Strato
paling aktif di Indonesia dengan periode erupsi 2-7 tahun menarik untuk
dipelajari, yaitu tidak hanya pada aspek banyaknya korban dan luasnya wilayah
yang terkena dampak erupsi, tetapi juga menyangkut aspek lingkungan dan
kehidupan peternak yang ada di lereng gunungapi Merapi. Korban letusan akibat
awan panas dan lahar sejak tahun 1672 menurut Simkin & Siebert (1994) (dalam
Dinas Pertanian Propinsi DIY, 2006) mencapai 3000-5000 orang. Letusan pada
tahun 2006, mengakibatkan ribuan orang mengungsi untuk menghindari bencana
awan panas. Data Bakornas Penanggulangan Bencana gunungapi Merapi per
tanggal 16 Mei 2006 dalam harian Kedaulatan Rakyat (2010), tercatat 5.621 orang
3
pengungsi yang berasal dari Daerah Istimewa Yogyakarta pada waktu itu.
Pengungsi tersebut berasal dari tiga kecamatan yaitu Kecamatan Turi (1.017
orang), Pakem (2.679 orang) dan Cangkringan (1.925 orang).
Data terakhir menurut Kasubbid Operasi Penanggulangan Bencana Dinas
Kesbanglinmas Kabupaten Sleman, sesuai dengan skenario pasca erupsi 2006,
jika gunungapi Merapi mengalami erupsi menuju Kabupaten Sleman akan
mengancam 12.660 orang yang berada di 23 dusun dari 7 desa. Dengan rincian
4.144 orang kelompok rentan dan 8.516 orang kelompok produktif (Kedaulatan
Rakyat, 2010).
Letusan gunungapi Merapi terakhir terjadi pada bulan Oktober-November
tahun 2010 dengan letusan pertama pada tanggal 26 Oktober 2010 dan diikuti
letusan secara terus menerus dengan letusan terbesar pada tanggal 5 November
2010. Aktivitas dari letusan gunungapi Merapi tahun 2010 sangat jauh berbeda
dengan yang terjadi dalam 100 tahun terakhir. Letusan ditandai dengan letusan
eksplosif. Menurut Subandrio, Kepala Balai Penyelidikan dan Pengembangan
Teknologi Kegunungapian (BPPTK), letusan yang terjadi pada tahun 2010
melebihi letusan pada tahun 1872, dengan material vulkanik lebih dari 140 juta
meter kubik dengan suara gemuruh melebihi 60 km (Detiknews, 2010).
Aktivitas letusan gunungapi Merapi menyebabkan adanya gelombang
pengungsi yang berasal dari 3 kabupaten. Perkembangan jumlah pengungsi
sampai dengan tanggal 9 November 2010 menurut data Badan Nasional
Penanggulangan Bencana (BNPB) di DIY 59.232 orang yang tersebar di 11 titik
(posko pengungsi), sedang di Jawa Tengah tersebar di 578 titik posko pengungsi
4
mencapai 320.090 orang meliputi pengungsi dari Kabupaten Klaten, Magelang
dan Boyolali. Jumlah korban tewas akibat letusan gunungapi Merapi tercatat
sebanyak 151 orang, masing-masing 135 orang di DIY dan 16 orang di wilayah
Jawa Tengah.
Informasi yang dikutip harian Republika tanggal 15 Desember 2010, data
terakhir pada 1 Desember 2010 menurut Direktur Jenderal Peternakan dan
Kesehatan Hewan, Kementerian Pertanian; Jumlah ternak mati akibat letusan
gunungapi Merapi (perhatikan Gambar 1.1) sebanyak 2.907 ekor, yang masih
hidup dari lokasi bencana 3.881 ekor dan yang sudah dijual dalam kondisi ternak
hidup sebanyak 414 ekor (Republika, 2010).
Gambar 1.1. Sapi perah korban letusan gunungapi Merapi di Dusun Kaliadem 28
Oktober 2010 (http://female.kompas.com)
Menghadapi situasi dan kondisi tersebut maka Pemerintah (Daerah dan
Pusat) berkewajiban mencegah, mengendalikan situasi yang tidak pasti dan
meminimalkan jatuhnya korban (manusia dan ternak) dan kerugian harta benda.
Selama ini belum ada rencana program yang bersifat bottom-up dan berlaku untuk
5
jangka menengah dan jangka panjang untuk penanganan atau evakuasi ternak.
Rencana penanggulangan bencana gunungapi Merapi yang sudah ada yang terkait
dengan sektor peternakan hanya bersifat insidental dan top down. Proses evakuasi
mengalami beberapa kendala di lapangan, antara lain yaitu sulitnya mengevakuasi
warga di daerah bencana. Salah satu penyebabnya dimungkinkan karena tidak
adanya penanganan yang baik untuk evakuasi ternak. Barak pengungsian
permanen hanya tersedia bagi manusia, sedangkan untuk ternak belum disediakan.
Kandang penampungan sementara untuk ternak sapi perah tidak sesuai, baik
dilihat dari struktur bangunan maupun fasilitas yang ada (perhatikan Gambar 1.2).
Pada Gambar 1.2 dapat diamati mengenai struktur bangunan kandang yang
terlihat seadanya, tanpa bangunan penutup samping dan alas/lantai beton.
Gambar 1.2. Kandang penampungan/relokasi sapi perah di Tlogoadi, Mlati,
Sleman (Dinas Pertanian DIY, 2011)
Sebagian peternak memilih tidak mengevakuasi ternak mereka karena
kandang penampungan sementara dianggap tidak memadai dan peternak kesulitan
dalam penyediaan hijauan pakan ternak (HPT). Hal ini dapat dipahami karena
biasanya sapi perah dikandangkan dalam kandang yang memadai dan permanen
6
(perhatikan Gambar 1.3), serta peternak memperoleh hijauan pakan berasal dari
lahan sendiri dan lahan sekitar lokasi pemukiman secara gratis, artinya peternak
tidak perlu membeli atau mengeluarkan uang untuk biaya pakan.
Gambar 1.3. Kondisi peternakan sapi perah milik peternak di Dusun Gondang
Wetan 25 September 2012 (koleksi pribadi)
Dalam mempelajari perilaku manusia, termasuk peternak sapi perah di
lereng Merapi mengacu pada teori Gestalt. Menurut teori Gestalt tahun 1923,
proses persepsi dan kognisi manusia lebih penting daripada mempelajari perilaku
tampaknya (overt behavior). Perilaku manusia lebih disebabkan oleh proses-
proses persepsi (Vcitch & Arkkelin, 1995 dalam Helmi, 1999). Perilaku seseorang
dalam menghadapi risiko sangat dipengaruhi oleh persepsi mereka terhadap risiko
tersebut (Lachman & Bonk, 1960 dalam Gaillard & Dibben, 2008). Dalam
beberapa kasus, terdapat hubungan nyata antara persepsi risiko dengan perilaku
seseorang terhadap risiko bencana alam gunungapi. Apabila tidak terdapat
7
hubungan langsung antara persepsi dan perilaku seseorang terhadap risiko
bencana gunungapi, maka pengalaman individu sebelumnya dalam menghadapi
bahaya letusan gunungapi mungkin merupakan faktor penting dalam membentuk