I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Cookies adalah makanan kering yang dibuat dari adonan lunak yang mengandung bahan dasar terigu, pengembang, kadar lemak tinggi, renyah dan bila dipatahkan penampang potongnya bertekstur kurang padat. Bahan-bahan pembuatan cookies dibagi menjadi dua menurut fungsinya yaitu bahan pembentuk struktur dan bahan pendukung kerenyahan. Bahan pembentuk struktur meliputi gula, shortening, bahan pengembang, dan kuning telur. Telur yang ditambahkan berperan menghasilkan produk yang lebih baik, dapat memperbaiki proses creaming, pemberi flavor yang khas serta kenaikan nilai gizi (Matz, 1972). Tepung terigu merupakan bahan utama dalam pembuatan cookies. Produksi tepung terigu dalam negeri masih belum bisa mencukupi kebutuhan konsumsi penduduk indonesia akibat tingginya permintaan masyarakat. Konsumsi tepung terigu rata-rata per kapita mengalami peningkatan pada tahun 2012-2013 yaitu dari 0,023-0,024 kg (Hakiki, 2013). Impor gandum pada bulan April 2012 sebesar 468 juta ton, sedangkan bulan April 2013 impor gandum sebesar 708 juta ton (Pusdatin, 2012). Tidak terpenuhinya kebutuhan tepung terigu dapat ditanggulangi dengan mencari alternatif pengganti tepung terigu dari komoditas lokal. Ubi jalar merupakan salah satu komoditas lokal yang banyak tumbuh di Indonesia. Dari total produksi ubi jalar dunia, Indonesia merupakan negara penghasil kedua terbesar setelah Cina (Koswara, 2009). Menurut Badan Pusat Statistik (2015), produksi ubi jalar di Indonesia pada tahun 2014 mencapai 2.382.025 ton. Sentra produksi ubi jalar yang paling banyak memberikan kontribusi terbesar di Indonesia adalah Jawa Barat, Papua, dan Jawa Timur. Dari ketiga
31
Embed
I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - media.unpad.ac.idmedia.unpad.ac.id/thesis/240210/2013/240210130052_1_9980.pdf · 1.1 Latar Belakang ... kalium, fosfor, kalsium, natrium, ... Berdasarkan
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Cookies adalah makanan kering yang dibuat dari adonan lunak yang
mengandung bahan dasar terigu, pengembang, kadar lemak tinggi, renyah dan bila
dipatahkan penampang potongnya bertekstur kurang padat. Bahan-bahan
pembuatan cookies dibagi menjadi dua menurut fungsinya yaitu bahan pembentuk
struktur dan bahan pendukung kerenyahan. Bahan pembentuk struktur meliputi
gula, shortening, bahan pengembang, dan kuning telur. Telur yang ditambahkan
berperan menghasilkan produk yang lebih baik, dapat memperbaiki proses
creaming, pemberi flavor yang khas serta kenaikan nilai gizi (Matz, 1972).
Tepung terigu merupakan bahan utama dalam pembuatan cookies. Produksi
tepung terigu dalam negeri masih belum bisa mencukupi kebutuhan konsumsi
penduduk indonesia akibat tingginya permintaan masyarakat. Konsumsi tepung
terigu rata-rata per kapita mengalami peningkatan pada tahun 2012-2013 yaitu dari
0,023-0,024 kg (Hakiki, 2013). Impor gandum pada bulan April 2012 sebesar 468
juta ton, sedangkan bulan April 2013 impor gandum sebesar 708 juta ton (Pusdatin,
2012). Tidak terpenuhinya kebutuhan tepung terigu dapat ditanggulangi dengan
mencari alternatif pengganti tepung terigu dari komoditas lokal.
Ubi jalar merupakan salah satu komoditas lokal yang banyak tumbuh di
Indonesia. Dari total produksi ubi jalar dunia, Indonesia merupakan negara
penghasil kedua terbesar setelah Cina (Koswara, 2009). Menurut Badan Pusat
Statistik (2015), produksi ubi jalar di Indonesia pada tahun 2014 mencapai
2.382.025 ton. Sentra produksi ubi jalar yang paling banyak memberikan kontribusi
terbesar di Indonesia adalah Jawa Barat, Papua, dan Jawa Timur. Dari ketiga
provinsi tersebut, Jawa Barat merupakan provinsi yang memberikan kontribusi
produksi terbesar yaitu 471.737 ton, kemudian Papua sebesar 412.878 ton dan Jawa
Timur 312.449 ton (Badan Pusat Statistik, 2015).
Secara umum ubi jalar mengandung pati 8-29%, karbohidrat bukan pati 0,5
– 7,5%, gula reduksi 0,5 – 2,5%, ekstrak eter 1,8 – 6,4%, karoten 1-12% dan mineral
lainnya 0,9-1,4% dalam setiap 100 gr bahan segar (Onwuene, 1978). Menurut
Juanda dan Cahyono (2000), umbi tanaman ubi jalar memiliki bentuk, ukuran,
warna kulit, dan warna daging yang bermacam-macam, tergantung pada
varietasnya. Bentuk umbi ada yang bulat, bulat lonjong (oval) dan bulat panjang.
Ukuran umbi bervariasi, ada yang besar dan ada pula yang kecil. Kulit umbi ada
yang bewarna putih, kuning, ungu, jingga, dan merah. Warna daging umbi pun ada
yang bewarna putih, kuning, jingga, dan ungu muda. Perbedaan warna ubi ini juga
menyebabkan perbedaan terhadap kandungan gizi dan sifat kimia dari masing-
masing ubi jalar tersebut (Lase, 2013).
Ubi jalar sebagai bahan pangan, memiliki mutu yang baik ditinjau dari
kandungan gizinya, terutama karbohidrat, mineral, dan vitamin. Kandungan
vitamin A pada ubi jalar dalam bentuk provitamin A mencapai 9.000 SI/100 g,
terutama ubi jalar yang daging umbinya berwarna orange atau jingga. Vitamin B1,
B6, niasin dan vitamin C, cukup memadai jumlahnya pada ubi jalar. Kandung
kalium, fosfor, kalsium, natrium, dan magnesium pada ubi jalar juga tinggi
(Bradbury dan Halloway 1988). Namun kadar protein dan lemak ubi jalar rendah,
sehingga konsumsinya perlu didampingi oleh bahan pangan lain yang berprotein
tinggi.
Perhatian masyarakat terhadap ubi jalar meningkat terutama berkaitan
dengan potensinya sebagai pangan fungsional yang memberi dampak positif
terhadap kesehatan. Pangan fungsional adalah makanan yang memberi manfaat
bagi kesehatan, selain fungsinya sebagai zat gizi dasar (Silalahi 2006). Pada ubi
jalar, pangan fungsional diperoleh dari betakaroten dan antosianin, senyawa fenol,
serat pangan, dan nilai indeks glikemiknya.
Ubi jalar putih varietas shiroyutaka dan kumerot merupakan 2 dari 50
varietas ubi jalar yang sedang dipengembangankan oleh Fakultas Pertanian
Universitas Padjadjaran dari hasil persilangan varietas (F1) dan turunan yang
bermacam – macam (Marsetio, dkk., 2016). Kedua varietas tersebut memiliki
karakteristik fisika dan kimia yang berbeda, oleh sebab itu perlu dilakukan
pengkajian lebih lanjut apabila akan dijadikan sebagai bahan untuk pembuatan
suatu produk pangan.
Pemanfaatan ubi jalar di indonesia masih terbatas, meskipun sebenarnya ubi
jalar dapat dipengembangankan menjadi berbagai macam produk antara lain: 1)
pengembangan produk ubi jalar segar seperti ubi rebus, ubi goreng, ubi bakar, dan
lain-lain, 2) produk ubi jalar siap santap seperti timus, nagasari, petolo, kelepon,
cenil, kue lumping, dan lain-lain, dan 3) produk ubi jalar setengah jadi seperti
tepung ubi, pati ubi, dan pasta ubi (Juanda dan Cahyono, 2000). Dengan diolah
menjadi produk antara seperti tepung dan pati memiliki beberapa keuntungan
seperti, tahan lama, dapat meningkatkan nilai jual dan praktis dalam penggunaan
pembuatan produk (Murtiningsih & Suyanti, 2011). Pengembangan produk cookies
dari bahan tepung dan pati ubi jalar diharapkan dapat menambah ragam produk
berbasis komoditas lokal sehingga mengurangi konsumsi terigu masyarakat
Indonesia.
1.2 Identifikasi Masalah
Berdasarkan uraian pada latar belakang maka dapat diangkat masalah, jenis
klon yang mana yang dapat menghasilkan produk cookies dengan karakteristik
fisika, kimia, dan organoleptik yang menyerupai cookies yang terbuat dari terigu.
1.3 Maksud dan Tujuan Penelitian
Maksud dari penelitian ini adalah untuk membandingkan karakteristik fisik,
kimia, fisikokimia, dan organoleptik produk cookies yang dibuat dari bahan tepung
dan pati ubi jalar putih varietas shiroyutaka dan kumerot.
Tujuan dari penelitian ini adalah menentukan varietas ubi jalar yang tepat
baik dalam bentuk tepung maupun pati untuk menghasilkan produk cookies dengan
karakteristik yang menyerupai cookies yang terbuat dari tepung terigu.
1.4 Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan wawasan kepada
konsumen dan produsen ubi jalar mengenai karakteristik fisik, kimia dan
organoleptik cookies ubi jalar sehingga nantinya dapat meningkatkan nilai tambah
dari komoditas ubi jalar.
Cookies ubi jalar dapat secara luas dimanfaatkan pada industri pangan.
Produk cookies ubi jalar ini nantinya diharapkan dapat dikonsumsi oleh masyarakat
dari mulai balita, anak-anak, orang dewasa hingga orang tua sebagai produk
pengganti cookies yang terbuat dari tepung terigu.
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Ubi Jalar Putih
Tanaman ubi jalar (Ipomoea batatas L) diduga berasal dari benua Amerika,
tetapi para ahli botani dan pertanian memperkirakan daerah asal tanaman ubi jalar
adalah Selandia Baru, Polinesia dan Amerika bagian tengah. Ubi jalar mulai
menyebar ke seluruh dunia, terutama ke negara-negara beriklim tropis pada abad
ke-16. Orang-orang Spanyol menyebarkan ubi jalar ke kawasan Asia, terutama
Filipina, Jepang dan Indonesia. Cina merupakan penghasil ubi jalar terbesar
mencapai 90% (rata-rata 114,7 juta ton) dari yang dihasilkan dunia (FAO, 2004).
Menurut Rukmana, (1997) ubi jalar termasuk kedalam kingdom Plantae, divisi
Spermatophyta, subdivisi Angiospermae, kelas Dicotyledoneae, ordo
Convolvulales, famili Convolvulaceae dan genus Ipomoea, spesies Ipomoea
batatas. L. sin. Batatas edulis Choisy.
Umbi tanaman ubi jalar terjadi karena adanya proses diferensiasi akar
sebagai akibat terjadinya penimbunan asimilat dari daun yang membentuk umbi.
Umbi tanaman ubi jalar memiliki ukuran, bentuk, warna kulit, dan warna daging
bermacam-macam, tergantung pada varietasnya. Ukuran umbi tanaman ubi jalar
bervariasi, ada yang besar dan ada pula yang kecil. Bentuk umbi tanaman ubi jalar
ada yang bulat, bulat lonjong (oval), dan bulat panjang. Kulit umbi ada yang
berwarna putih, kuning, ungu, jingga, dan merah (Samsyir, 2009).
Ubi jalar (Ipomoea batatas L.) merupakan salah satu hasil pertanian yang
mengandung karbohidrat dan sumber kalori yang cukup tinggi, sumber vitamin (A,
C, B1, dan B2), mineral (Fe, P, dan Ca), protein, lemak, dan serat kasar. Kandungan
ubi jalar tersebut terdiri atas air (71,1%), pati (22,4%), protein (1,4%), lemak
(0,2%), vitamin A (0,01-0,69/100g), dan sumber mineral yang cukup memadai
(Bradbury, 1988). Kandungan gizi ubi jalar dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Kandungan gizi pada ubi jalar per 100 gr
Kandungan Gizi Nilai Satuan
Energi 136 Kal
Protein 1,1 g
Lemak 0,4 g
Karbohidrat 32,3 g
Kalsium 57,0 g
Vitamin A 900 SI
Vitamin B1 0,10 Mg
Vitamin C 35,0 Mg
Air 68,5 g
Serat Kasar 1,4 g
Abu 0,3 g
Kadar Gula 0,3 g
Sumber: Direktorat Gizi Depkes RI (1993)
Ubi jalar memiliki kandungan air yang tinggi sehingga bahan kering yang
terkandung relatif rendah. Kandungan rata-rata bahan kering ubi jalar sebesar 30%
dan sangat bervariasi tergantung pada beberapa faktor yaitu kultivar, lokasi, iklim,
tipe tanah, serangan hama dan penyakit, dan cara menanamnya (Lingga et al.,
1986). Ubi jalar dikonsumsi sebagai bahan makanan tambahan atau sampingan
kecuali Irian Jaya dan Maluku digunakan sebagai makanan pokok.
Menurut Andrianto dan Indarto (2004), berdasarkan tekstur, ukuran, warna
kulit, dan warna umbi yang sangat bervariasi tergantung varietasnya. Warna ubi
jalar terdiri dari ubi jalar kuning, ubi jalar oranye, ubi jalar putih, ubi jalar jingga
dan ubi jalar ungu. Ubi jalar berwarna jingga atau oranye mengandung betakaroten
tinggi dari pada ubi lainnya. Sementara varietas ubi jalar yang digunakan untuk
pangan berdasarkan tekstur daging ubi jalar dapat dibedakan dalam dua golongan,
yaitu umbi berdaging lunak karena banyak mengandung air tidak berserat (agak
berair, berdaging manis) dan umbi berdaging keras karena banyak mengandung pati
dan serat (banyak mengandung tepung) (Sarwono, 2005).
Ubi jalar yang berwarna putih lebih diarahkan untuk pengembangan tepung
dan pati karena umbi yang berwarna cerah cenderung lebih baik kadar patinya dan
warna tepung lebih menyerupai terigu. Bentuk olahan ubi jalar yang cukup
potensial dalam kegiatan agroindustri sebagai upaya peningkatan nilai tambah
adalah tepung dan pati yang merupakan produk antara untuk industri pangan seperti
roti, cake, biskuit, dan mie terutama sebagai substitusi dalam penggunaan terigu.
Sebagai contoh, kue kering (cookies) dapat diolah dari 100% tepung ubi jalar,
sedangkan cake dibuat dari campuran 25-50% tepung ubi jalar dengan 50-75%
terigu (Antarlina, 1999).
Selain itu penggunaan tepung ubi jalar pada pembuatan cake dan kue dapat
menghemat penggunaan gula sebesar 20% dibandingkan dengan cake dan kue yang
dibuat dari 100% terigu, karena kandungan gula pada ubi jalar yang cukup tinggi.
Biskuit dapat dibuat dari campuran 20% tepung ubi jalar dan 80% terigu (Antarlina,
1999).
2.1.1 Karakteristik Fisik Ubi Jalar Putih
Seiring dengan berpengembangannya teknologi, varietas ubi jalar di
Indonesia, telah dihasilkan klon - klon baru unggulan dan sudah dikarakterisasi
berdasarkan morfologi dan kandungan kimianya. Berdasarkan analisis kluster dari
200 varietas baru di kawasan Citatah, Kab. Bandung Barat diperoleh lima kelompok
klon yang mempunyai penampilan hampir mirip (Kurniawan, dkk., 2013) salah
satunya adalah klon ubi jalar putih shiroyutaka dan kumerot.
Secara fisik, kulit ubi jalar Putih lebih tipis dibandingkan kulit ubi kayu dan
merupakan umbi dari bagian batang tanaman. Warna kulit ubi jalar bervariasi dan
tidak selalu sama dengan warna umbi. Warna daging umbinya bermacam-macam,
dapat berwarna putih, kuning, jingga kemerahan, atau keabuan. Demikian pula
bentuk umbinya seringkali tidak seragam (Antarlina dan Utomo, 1999). Berikut
tanaman ubi jalar dapat dilihat pada Gambar 1.
Gambar 1. Ubi jalar Putih
(Sumber : Dokumentasi Pribadi, 2016)
Daging umbi tanaman ubi jalar sangat bervariasi, ada yang berwarna putih,
kuning, jingga, dan ungu muda. Struktur kulit umbi tanaman ubi jalar juga
bervariasi antara tipis sampai tebal dan bergetah. Bentuk dan ukuran umbi
merupakan salah satu kriteria unutk menentukan harga jual di pasaran. Bentuk umbi
yang rata (bulat dan bulat lonjong) dan tidak banyak lekukan termasuk umbi yang
berkualitas baik (Samsyir, 2009). Karakteristik fisik ubi jalar putih dapat dilihat dari
Tabel 2.
Tabel 2. Karakteristik Fisik Ubi Jalar Putih varietas Rata-
rata
bobot
per
umbi
(g)
Rata-rata
panjang
umbi
(cm)
Rata-rata
diameter
Umbi
(cm)
Bentuk
umbi
Tipe
permukaan
umbi
Warna
utama
kulit
umbi
Warna
utama
daging
umbi
Warna
sekunder
daging
umbi
Kumerot 402,9 19,3 10,6 Lonjong Rata Merah
keunguan
Jingga tua Krem
Shiroyutaka 328,3 17,8 11,4 Bulat Rata Krem Putih Tidak ada
Sumber: (Kurniawan, 2013)
Ubi jalar putih varietas kumerot memiliki rata – rata bobot 402,9 g, panjang
19,3 cm, diameter 10,6 cm, bentuk lonjong, warna umbi jingga tua hingga krem dan
warna kulit merah keunguan. Sedangkan ubi jalar putih varietas siroyutaka
memiliki rata – rata bobot 328,3 g, panjang 17,8 cm, diameter 11,4 cm, bentuk
bulat, warna umbi putih, dan warna kulit krem (Kurniawan, 2013). Berikut ubi jalar
varietas shiroyutaka dan kumerot dapat dilihat pada Gambar 2.
Gambar 2. Ubi Jalar Varietas Shiroyutaka dan Kumerot
(Sumber : Dokumentasi pribadi, 2016)
2.1.2 Karakteristik Kimia Ubi Jalar Putih
Ubi jalar (Ipomea batatas) merupakan komoditas sumber karbohidrat utama
setelah padi, jagung, dan ubi kayu. Ubi jalar mempunyai peranan penting dalam
penyediaan bahan pangan, bahan baku industri maupun pakan ternak (Zuraida dan
Suprapti, 2001). Karakteristik bahan pangan yang dihasilkan dari ubi jalar sangat
dipengaruhi kandungan kimia dari ubi jalar yang digunakan (Alwie, 2007). Berikut
komposisi kimia ubi jalar putih dapat dilihat dari Tabel 3.
Tabel 3. Kandungan kimia ubi jalar putih varietas Gula
reduksi
(%)
Abu
(%)
Kadar air
(%)
Kandungan
pati (%)
Derajat
kemanisan
mentah
(obrix)
Derajat
kemanisan
kukus
(obrix)
Derajat
kemanisan
oven (obrix)
Kumerot 0,99 0,84 74,77 28,35 3,5 10,8 12,3
Shiroyutaka 1,72 1,03 60,83 25,05 3,8 9,7 13,1
Sumber : (Kurniawan, 2013)
Ubi jalar putih varietas kumerot memiliki kadar pati sebesar 28,35%, gula
pereduksi 0,99%, kadar abu 0,84%, Kadar air 74,77%, dan derajat kemanisan
mentah 3,5 obrix. Sedangkan varietas shiroyutaka memiliki kadar pati sebesar
Shiroyutaka
Kumerot
25,05%, gula pereduksi 1,72%, kadar abu 1,03%, Kadar air 15,05%, dan derajat
kemanisan mentah 3,8 obrix (Kurniawan, 2013).
2.2.3 Tepung Ubi Jalar Putih
Tepung merupakan salah satu bentuk alternatif produk setengah jadi yang
dianjurkan, karena lebih tahan disimpan, mudah dicampur (dibuat komposit),
ditambah zat gizi (difortifikasi), dibentuk, dan lebih cepat dimasak sesuai tuntutan
kehidupan modern yang serba praktis (Winarno, 2000). Tepung terigu sudah sangat
melekat di kalangan industri pengolahan pangan di Indonesia. Budaya yang telah
terbangun ini perlu diantisipasi dengan pengembangan aneka tepung lokal untuk
mengurangi ketergantungan bangsa Indonesia terhadap bahan pangan impor
(Sulistiyo, 2006).
Tepung adalah partikel padat yang berbentuk butiran halus atau sangat halus
tergantung proses penggilingannya. Biasanya digunakan untuk keperluan
penelitian, rumah tangga, dan bahan baku industri. Tepung bisa berasal dari bahan
nabati misalnya tepung terigu dari gandum, tapioka dari singkong, maizena dari
jagung, atau hewani misalnya tepung tulang dan tepung ikan (Alwie, 2007).
Menurut Heriyanto dan Winarto (1998), pada dasarnya pembuatan tepung
ubi jalar dibuat dengan proses pengecilan ukuran sampai dengan ukuran diatas 80
mesh. Untuk membuat tepung ubi jalar, pertama – tama ubi jalar di kupas dan
dipotong dengan ukuran kecil, kemudian potongan – potongan tersebut direndam
dengan air kapur untuk menghindari pencoklatan, lalu dikeringkan menjadi gaplek
ubi jalar, setelah itu dilakukan penggilingan dan pengayakan dengan mesh yang
telah ditentukan. Berdasarkan penelitian yang dilakukan Karida, et al. (2007),
tingkat rendemen rata – rata pada proses produksi tepung ubi jalar mencapai
26,50%.
Pembuatan tepung ubi jalar dilakukan dengan proses persiapan bahan,
perendaman, blansing, pengirisan, pengeringan, penggilingan, dan pengayakan.
Tahap persiapan bahan meliputi pemilihan ubi jalar dan pembersihan. Tahapan
perendaman dilakukan dengan larutan kapur atau metabisulfit untuk mencegah
terjadinya pencoklatan pada ubi jalar, lalu pengirisan bertujuan untuk memperluas
permukaan agar mudah dalam proses selanjutnya. Pengeringan dilakukan untuk
mengeluarkan atau menghilangkan sebagian air dari bahan, penggilingan bertujuan
untuk proses pengecilan ukuran menjadi tepung dan pengayakan bertujuan untuk
memisahkan partikel-partikel yang tidak dikehendaki dan untuk mendapatkan
keseragaman ukuran (Heriyanto dan Winarno, 1998).
2.2.4 Pati Ubi Jalar Putih
Pati adalah karbohidrat yang merupakan polimer glukosa yang terdiri dari
amilosa dan amilopektin. Amilosa merupakan bagian polimer dengan ikatan α-
(1,4) dari unit glukosa, yang membentuk rantai lurus, yang umumnya dikatakan
sebagai linier dari pati. Meskipun sebenarnya amilase dihidrolisa dengan β-amilase
pada beberapa jenis pati tidak diperoleh hasil hidrolisis yang sempurna, β-amilase
menghidrolisis amilosa menjadi unit-unit residu glukosa dengan memutus ikatan α-
(1,4) dari ujung non pereduksi rantai amilosa menghasilkan maltosa (Hee-Joung
An, 2005).
Menurut Kusnandar, (2010) pati memiliki beberapa sifat alami yang dapat
menyulitkan dalam pengolahan pangan, diantaranya:
a. pati menghasilkan suspensi dengan viskositas dan kemampuan membentuk
gel yang tidak seragam
b. pati tidak tahan pada pemanasan suhu tinggi, dalam proses gelatinisasi pati
dapat terjadi penurunan viskositas suspensi pati dengan meningkatnya suhu
pemanasan
c. pati tidak tahan kondisi asam, karena mudah terhidrolisis pada kondisi asam
yang dapat mengurangi kemampuan gelatinisasinya
d. pati tidak tahan proses mekanis, viskositas pati akan menurun dengan
adanya proses pengadukan atau pemompaan
e. kelarutan pati terbatas di dalam air. Kemampuan pati untuk membentuk
tekstur yang kental dan gel dapat menjadi masalah dalam proses pengolahan
pangan.
Sifat fungsional pati yang penting adalah kemampuan mengentalkan dan
membentuk gel. Sifat pengental pati ditunjukkan dengan kemampuan pati mencapai
viskositas yang tinggi. Thickening power dilihat dari viskositas maksimum yang
mampu dibentuk oleh pati tersebut selama pemanasan (Swinkels, 1985).
Pemanasan pada granula pati dapat mengakibatkan gelatinisasi pada pati.
Gelatinisasi adalah kerusakan pada urutan molekul dalam butiran pati yang
bergantung pada suhu dan kandungan air, bersifat tidak dapat berubah, berawal dari
pembesaran ukuran granula pati, menyebabkan kenaikan kekentalan larutan atau
suspensi, bervariasai bergantung pada kondisi pemasakan dan tipe granula pati pada
bahan (Thomas, 2007). Proses gelatinisasi pati ini perlu dipahami mengingat sangat
menentukan kualitas produk berbasis tepung atau pati. Mekanisme gelatinisasi pati
dapat dilihat pada Gambar 3.
Menurut Thomas, (2007) gelatinisasi granula pati mencangkup hal – hal
berikut, diantaranya 1) hidrasi dan mengembangnya beberapa kali dari ukuran
semula, 2) hilangnya sifat birefigence, 3) peningkatan kejernihan pasta, 4)
penigkatan konsistensi dan pencapaian puncak secara cepat dan jelas, 5)
ketidaklarutan molekul – molekul linear dan pendifusian dari granula yang pecah
dan 6) retrogradasi dari campuran sampai membentuk gel. Menurut Firdaus, (2000)
menyatakan bahwa pengembangan granula yang optimal menyebabkan rongga
yang terbentuk makin sedikit (ruang antar sel makin rapat) dan menghasilkan
tekstur yang tegar.
Gambar 3. Mekanisme Gelatinisasi Pati
(Sumber: Kusnandar, 2010)
Granula pati tersusun dari
amilosa (berpilin) dan
amilopektin (bercabang).
Masuknya air merusak
kristalisasi amilosa dan helix.
Granula membengkak.
Adanya panas dan air
menyebabkan pembengkakan
tinggi. Amilosa berdifusi keluar.
Granula mengandung
amilopektin, rusak dan
terperangkap dalam matriks
amilosa membentuk gel.
Panas menyebabkan pati tergelatinisasi. Setelah gelatinisasi, bila suhu terus
naik maka akan terus terjadi pengembangan granula dan penyerapan air.
Selanjutnya terjadi degradasi molekul pati menjadi molekul yang lebih sederhana.
Ikatan glikosidik pada pati dapat diputus dengan melakukan hidrolisis sehingga
menghasilkan monosakarida (Mutmainah, Dimas dan Bambang, 2013). Suhu
gelatinisasi pada pati ubi jalar yaitu berkisar antara 61,5 – 88,5oC selama 20 – 30
menit (Ginting, dkk., 2005).
Pengolahan ubi jalar menjadi pati dilakukan dengan cara menyawut ubi jalar
segar yang telah dikupas kulitnya dan dicuci dengan air. Selanjutnya, hasil sawutan
ditambahkan air bersih dengan perbandingan 1:4, diperas dengan menggunakan
kain saring. Hasil perasan berupa cairan yang mengandung pati, kemudian
diendapkan. Setelah mengendap, bagian air dipisahkan dari bagian padatan yang
mengendap. Endapan yang diperoleh dikeringkan sampai kadar air kurang dari 10%
(Marsetio, dkk., 2015). Pati hasil ekstraksi dinamakan pati alami. Pati dalam bentuk
alami (native starch) adalah pati yang dihasilkan dari sumber umbi-umbian dan
belum mengalami perubahan sifat fisik dan kimia atau diolah secara kimia-fisika
(Yusuf, 2008).
3.1 Karakteristik Tepung dan Pati Ubi Jalar Varietas Shiroyutaka dan
Kumerot
3.1.1 Sifat Amilografi Tepung dan Pati Ubi Jalar Putih
Karakteristik amilografi tepung dan pati ubi jalar sangat menentukan
pemanfaatannya pada industri pangan maupun non-pangan. Faktor-faktor yang
menentukan karakteristik amilografi tepung adalah varietas, cara bercocok tanam,
serta penanganan pascapanen (Wissalini, 2011). Karakteristik amilografi dari
tepung ini antara lain suhu awal gelatinisasi, viskositas puncak, viskositas panas
pasta, viskositas breakdown, viskositas setback, daya pengembangan, dan
pembentukan gel (Julita, 2012).
Tabel 4. Sifat Amilografi Tepung dan Pati Ubi Jalar Putih
Sumber: Marsetio dkk, 2015
Pati alami mempunyai kelemahan pada karakteristiknya yaitu tidak larut
dalam air dingin, membutuhkan waktu yang lama dalam pemasakan, pasta yang
dihasilkan cukup keras, dan mempunyai kestabilan yang rendah. Pati dimodifikasi
dengan tujuan untuk mempermudah penggunaan dalam industri pangan, lebih stabil
dalam proses dan lebih baik teksturnya. Selain itu juga agar suhu gelatinisasinya
lebih tinggi dan tahan panas serta agar viskositasnya lebih baik dari pati
sebelumnya. Pati termodifikasi bersifat tidak larut dalam air dingin dan persamaan
sifat birefringence-nya (Dyah Ayu dan Widya Dwi, 2014). Suhu awal gelatinisasi
tepung dan pati ubi jalar putih dapat dilihat pada Tabel 4.
Tepung Ubi Jalar Putih varietas shiroyutaka memiliki suhu awal gelatinisasi
sebesar 77,45oC sedangkan varietas kumerot memiliki suhu awal gelatinisasi lebih
rendah yaitu sebesar 76,65oC. Dalam bentuk pati, ubi jalar putih varietas
shiroyutaka memiliki suhu awal gelatinisasi 75,86oC sedangkan varietas kumerot
memiliki suhu awal gelatinisasi sebesar 76,3oC.
Kode Varietas
Suhu Awal
Gelatinisasi
(°C)
Viskositas
Puncak
(cP)
Viskositas
Pasta
Panas
(cP)
Viskositas
Breakdown
(cP)
Viskositas
Pasta
Dingin
(cP)
Viskositas
Setback
(cP)
Tepung ubi jalar
Shiroyutaka 77,45 1209 996 213 1488 492
Tepung Ubi
Jalar Kumerot 76,65 1976 1329 647 2397 1068
Pati Ubi Jalar
Shiroyutaka 75,86 7832 3584 4248 4578 994
Pati Ubi Jalar
Kumerot 76,3 8000 3650 4350 4734 1084
Suhu awal gelatinisasi merupakan suhu dimana granula pati mulai
menyerap air atau dapat terlihat dengan meningkatnya nilai viskositas. Menurut
Julita (2012), suhu gelatinisasi tepung ubi jalar berkisar pada suhu 75,28 – 82oC.
Suhu gelatinisasi dapat turun akibat dari kadar amilopektin yang tinggi (Gonzalez
dan Perez 1996). Selain itu amilopektin juga dapat meningkatkan volume
pengembangan karena lebih lebih reaktif mengikat air sehingga lebih mudah
mengembang (Li dan Yeh 2001).
Tepung Ubi Jalar Putih varietas shiroyutaka memiliki viskositas puncak
sebesar 1209cP sedangkan varietas kumerot memiliki viskositas puncak lebih tinggi
yaitu sebesar 1976cP. Dalam bentuk pati ubi jalar putih varietas shiroyutaka
memiliki viskositas puncak sebesar 7832cP sedangkan varietas kumerot memiliki
nilai viskositas puncak sebesar 8000cP. Viskositas puncak tepung dan pati ubi jalar
putih dapat dilihat pada Tabel 4.
Viskositas puncak menunjukkan pati tergelatinisasi yang mana pati
mengalami pengembangan maksimum yang selanjutnya pecah. Suhu puncak
gelatinisasi dipengaruhi oleh kadar amilosa. Menurut Colado and Corke (1997)
peningkatan kadar amilosa akan meningkatkan suhu puncak. Amilosa mampu
mengadakan ikatan dengan sesama amilosa maupun dengan amilopektin
membentuk konfigurasi yang sulit dirusak karena terdapat banyak ikatan didalam
granula sehingga dibutuhkan energi yang lebih besar (Jane et al., 1999 dikutip
Baah, 2009).
Tepung Ubi Jalar Putih varietas shiroyutaka memiliki viskositas breakdown
sebesar 213cP sedangkan varietas kumerot memiliki viskositas breakdown lebih
tinggi yaitu sebesar 647cP. Dalam bentuk pati ubi jalar putih varietas shiroyutaka
memiliki viskositas breakdown sebesar 4248cP sedangkan varietas kumerot
memiliki nilai viskositas breakdown sebesar 4350cP. Viskositas breakdown tepung
dan pati ubi jalar putih dapat dilihat pada Tabel 4.
Viskositas breakdown atau Breakdown Viscosity (BV) menunjukkan
kestabilan tepung selama pemanasan. Semakin tinggi BV, semakin rendah
kestabilan tepung terhadap pemanasan, karena itu berarti pasta semakin kehilangan
sifat kekentalannya. Hilangnya kekentalan pasta disebabkan oleh pecahnya granula
pati setelah melewati ukuran maksimum granula pati karena pemanasan yang
kontinyu. Hal ini menyebabkan granula pati melepas amilosa dan amilopektin dari
granula, dan kerusakan ini besifat irreversibel (Mason 2009 dikutip Ariefianto,
2015).
Tepung Ubi Jalar Putih varietas shiroyutaka memiliki viskositas pasta panas
sebesar 996cP sedangkan varietas kumerot memiliki viskositas pasta panas lebih
tinggi yaitu sebesar 1329cP. Dalam bentuk pati ubi jalar putih varietas shiroyutaka
memiliki viskositas pasta panas sebesar 3584cP sedangkan varietas kumerot
memiliki nilai viskositas pasta panas sebesar 3650cP. viskositas pasta panas tepung
dan pati ubi jalar putih dapat dilihat pada Tabel 4.
Viskositas pasta panas atau trough viscosity (TV) yaitu viskositas pada saat
suhu dipertahankan 95oC. Perubahan viskositas selama pemanasan atau breakdown,
yaitu selisih antara Viskositas puncak dengan TV atau menunjukkan kestabilan
viskositas terhadap panas. Viskositas pasta dingin atau final viscosity (FV) yaitu
viskositas pada saat suhu dipertahankan 50oC. Perubahan viskositas selama
pendinginan atau setback, yaitu selisih antara FV dengan TV atau menunjukkan
kemampuan untuk meretrogradasi (Oktaviani, 2013).
Tepung Ubi Jalar Putih varietas shiroyutaka memiliki viskositas setback
sebesar 492cP sedangkan varietas kumerot memiliki viskositas setback lebih tinggi
yaitu sebesar 1068cP. Dalam bentuk pati ubi jalar putih varietas shiroyutaka
memiliki viskositas setback sebesar 994cP sedangkan varietas kumerot memiliki
nilai viskositas setback sebesar 1084cP. viskositas setback tepung dan pati ubi jalar
putih dapat dilihat pada Tabel 4.
Viskositas setback merupakan re-asosiasi molekul pati ketika mengalami
pendinginan (Charles et al. 2004). Menurut Winarno (2008), semakin tinggi nilai
viskositas balik maka menunjukkan semakin tinggi pula kecenderungan untuk
membentuk gel (meningkatkan viskositas) selama pendinginan. Tingginya nilai
viskositas balik menandakan tingginya kecenderungan untuk terjadinya
retrogradasi.
3.1.2 Karakteristik Kimia Tepung dan Pati Ubi Jalar Putih
Bahan pangan dapat diidentifikasi melalui analisis proksimat, kandungan
gizi seperti protein, karbohidrat, lemak, air, abu, dan serat. Protein bermanfaat
untuk pertumbuhan dan memperbaiki jaringan tubuh yang rusak. Adanya lemak
dalam bahan pangan dapat mempengaruhi cita rasa dan mutunya. Garam-garam
mineral merupakan zat yang penting untuk mengatur reaksi-reaksi yang terjadi
dalam tubuh. Air merupakan komponen penting dalam bahan pangan karena dapat
mempengaruhi acceptability, kenampakan, kesegaran, tekstur, serta cita rasa
pangan. Perlu diketahui pula bahwa setiap bahan pangan memiliki nilai standar
kadar air sebagai batas aman terjadinya kerusakan karena mikroba. Karbohidrat
memiliki peranan penting dalam menentukan karakteristik suatu bahan makanan,
baik rasa, warna, tekstur, dan lain sebagainya (Ottolen, 2012).
Karakteristik kimia tepung ubi jalar akan sangat berpengaruh terhadap
karakteristik produk yang dihasilkan, sehingga perlu dilakukan karakterisasi
terhadap komposisi kimia tepung yang akan dibuat sebagai bahan dalam pembuatan
suatu produk pangan (Alwie, 2007). Kadar pati merupakan salah satu parameter
mutu terpenting produk tepung sebagai bahan pangan. Kadar pati produk tepung
ubi berkisar antara 63,35 hingga 64,02 (Marsetio dkk, 2015).
Tabel 5. Karakteristik Kimia Tepung dan Pati Ubi Jalar Putih
Varietas
Kadar
Pati
(%)
Kadar
Air
(%bb)
Kadar
Amilosa
(%)
Kadar Gula
Pereduksi
(%)
Tepung ubi jalar Shiroyutaka 63,35 8,31 18,01 3,68
Tepung Ubi Jalar Kumerot 64,02 7,53 17,89 3,12
Pati ubi jalar Shiroyutaka 88,53 3,86 19,98 0,17
Pati Ubi Jalar Kumerot 88,55 4,27 21,4 0,4
Sumber: Marsetio dkk, 2015
Tepung Ubi jalar varietas shiroyutaka memiliki kadar pati sebesar 63,35%
sedangkan varietas kumerot memiliki kadar pati yang lebih kecil yaitu sebesar
62,02%. Dalam bentuk pati, ubi jalar varietas shiroyutaka memiliki kadar pati yang
lebih besar yaitu sebesar 88,53%, sedangkan varietas kumerot memliki kadar pati
sebesar 88,55%. Kadar pati tepung dan pati ubi jalar putih dapat dilihat pada Tabel
5.
Kadar pati tepung dan pati dipengaruhi oleh umur panen umbi segarnya.
Jika kadar pati pada umbi telah mencapai optimum, maka selanjutnya pati pada
umbi akan terus turun secara perlahan dan mulai terjadi perubahan pati menjadi
serat (Wahid et al. 1992). Balai Penelitian Aneka Kacang dan Umbi (2012)
menyebutkan bahwa kadar pati pada ubi jalar di Indonesia berkisar di antara 16-
33%.
Tepung Ubi jalar varietas shiroyutaka memiliki kadar amilosa sebesar
18,01% sedangkan varietas kumerot memiliki kadar amilosa yang lebih kecil yaitu
sebesar 17,89%. Dalam bentuk pati, ubi jalar varietas shiroyutaka memiliki kadar
amilosa yang lebih besar yaitu sebesar 19,98 %, sedangkan varietas kumerot
memliki kadar amilosa sebesar 21,4 %. Kadar amilosa tepung dan pati ubi jalar
putih dapat dilihat pada Tabel 5.
Amilosa memiliki rantai lurus yang panjang sehingga lebih sulit didegradasi
oleh enzim atau dihidrolisis oleh asam dibandingkan amilopektin yang memiliki
lebih banyak cabang. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan Parker (2003) dikutip
Ariefianto (2015) bahwa amilosa yang memiliki ikatan α-1,4 glikosida yang tidak
bercabang menyebabkan ikatan amilosa lebih kuat sehingga sulit tergelatinisasi dan
sulit dicerna.
Menurut Aliawati (2003) dikutip Ilmi (2014), kandungan amilosa dalam
bahan pangan berpati digolongkan menjadi empat kelompok yaitu kadar amilosa
sangat rendah dengan kadar < 10 %, kadar amilosa rendah 10 - 20 %, dan kadar
amilosa sedang 20 – 24 %, dan kadar amilosa tinggi > 25 %. Dengan demikian,
amilosa pada tepung ubi jalar keenam klon ini termasuk pada kadar amilosa rendah.
Rasio antara amilosa dan amilopektin berbeda dan bervariasi terhadap
berbagai sumber pati. Penggunaan pati dengan komposisi tertentu sangat
diperlukan dalam industri. Tepung dengan kadar amilosa tinggi banyak digunakan
untuk produk seperti pada biodegradable film yang berfungsi sebagai substrat
enzim maupun sebagai pengikat pada pembuatan tablet. Amilosa juga berfungsi
sebagai pelindung terhadap dehidrasi maupun mengurangi penyerapan minyak
yang terlalu banyak saat proses penggorengan seperti pada proses produksi keripik
kentang. Sebaliknya, tepung dengan kadar amilopektin tinggi sangat sesuai untuk
bahan roti dan kue karena sifat amilopektin yang sangat berpengaruh terhadap
swelling properties (sifat mengembang pada pati) (Julita, 2012). Pembuatan soun,
mie, dan bihun pun membutuhkan tepung dengan kandungan amilosa yang cukup
tinggi karena akan berpengaruhi pada kekuatan tekstur gel dari untaian mie yang
dihasilkan (Kusnandar, 2010).
Gula pereduksi merupakan golongan karbohidrat yang dapat mereduksi
senyawa-senyawa penerima elektron, contohnya adalah glukosa dan fruktosa.
Ujung dari suatu gula pereduksi adalah ujung yang mengandung gugus aldehida
atau keto bebas. Semua monosakarida (glukosa, fruktosa, galaktosa) dan disakarida
(laktosa,maltosa), kecuali sukrosa dan pati (polisakarida), termasuk sebagai gula
pereduksi (Darwin, 2013). Kadar gula pereduksi tepung dan pati ubi jalar putih
dapat dilihat pada Tabel 5.
Tepung Ubi jalar varietas shiroyutaka memiliki kadar gula pereduksi
sebesar 3,68% sedangkan varietas kumerot memiliki kadar gula pereduksi yang
lebih kecil yaitu sebesar 3,12%. Dalam bentuk pati, ubi jalar varietas shiroyutaka
memiliki kadar gula pereduksi yang lebih kecil yaitu sebesar 0,17 %, sedangkan
varietas kumerot memliki kadar gula pereduksi sebesar 0,4 %.
Sama seperti pati, kandungan gula pereduksi bervariasi karena adanya
perbedaan varietas, faktor genetik, dan tingkat usia tanaman (Ginting, 2005). Ubi
jalar yang dipakai pada penelitian ini dipanen di usia lima bulan yang diperkirakan
pati pada ubi jalar sudah terhidrolisis menjadi gula pereduksi. Hidrolisis sendiri
adalah konversi pati menjadi gula-gula sederhana. Prinsip hidrolisis pati adalah
pemutusan rantai polimer pati menjadi unit-unit dekstrosa (C6H12O6) (BeMiller dan
Whistler, 2009 dikutip Marto, 2013).
Tepung Ubi jalar varietas shiroyutaka memiliki kadar air sebesar 8,31%
sedangkan varietas kumerot memiliki kadar air yang lebih kecil yaitu sebesar
7,53%. Dalam bentuk pati, ubi jalar varietas shiroyutaka memiliki kadar air yang
lebih besar yaitu sebesar 3,83 %, sedangkan varietas kumerot memliki kadar air
sebesar 4,27 %. Histogr yang berisi kadar air tepung dan pati ubi jalar putih dari
kesua varietas tersebut dapat dilihat pada Tabel 5.
Kadar air suatu produk menunjukkan persentasi kandungan air dalam suatu
produk. Nilai kadar air produk menjadi penting dalam produk kering seperti produk
tepung, karena kadar air yang rendah adalah faktor utama yang membuat produk
pati awet. Proses pengeringan pada produk tepung dapat mengurangi kadar air
hingga menghambat terjadinya pertumbuhan mikroba. Syarat kadar air yang aman
untuk produk sejenis tepung yaitu kurang dari 12% sehingga dapat mencegah
pertumbuhan kapang (Winarno 1981).
2.2 Cookies Ubi Jalar Putih
Cookies merupakan jenis biskuit yang mempunyai tekstur yang kurang
padat. Biasanya tekstur merupakan hal yang paling penting pada makanan lunak
dan renyah (Rosalin, 2006). Bahan pembuat cookies dibagi menjadi dua menurut
fungsinya yaitu bahan pembentuk struktur meliputi tepung, susu skim, dan putih
telur sedangkan bahan pendukung kerenyahan meliputi gula, shortening, bahan
pengembang, dan kuning telur. Telur yang ditambahkan berperan menghasilkan
produk yang lebih baik, dapat memperbaiki proses creaming, pemberian flavor
yang khas, serta kenaikan nilai gizi (Matz, 1972).
Pembuatan cookies ubi jalar dilakukan dengan melakukan pencampuran
terlebih dahulu pada margarin, mentega, telur, gula, dan vanili dengan
menggunakan mixer. Metode yang digunakan dalam pembuatan cookies ini adalah
creaming method. Menurut SLCSS (2016), creaming method adalah suatu metode
pembuatan cookies dengan cara mencampurkan gula dan lemak terlebih dahulu
dengan menggunakan mixer dan dicampur hingga membentuk adonan yang ringan
dan halus. Alasan pengocokan terlebih dahulu gula dengan lemak adalah untuk
mendapatkan pencampuran adonan yang merata dan pemasukan udara.
Penambahan gula bermaksud untuk meningkatkan kelembaban pada adonan dan
juga membantu reaksi baking powder.
Adonan ditambahkan dengan tepung ubi jalar, leavening agent, dan susu
skim. Selama penambahan, sebaiknya bersamaan dengan pengayakan tepung ubi
agar tidak terjadi penggumpalan selama proses pengadonan. Selanjutnya cookies
dicetak dan dipanggang selama 10 menit dalam suhu 160oC. Waktu dan suhu
pemanggangan cookies berkorelasi dengan kandungan lemak dan juga gula dalam
adonan. Menurut Sultan (1983) dalam Mayasari (2015), semakin sedikit kandungan
gula dan lemak, maka cookies dapat dipanggang pada suhu yang lebih tinggi (177-
204oC).
Menurut Zuraida (2001), diantara bahan pangan sumber karbohidrat, ubi
jalar memiliki keunggulan dan keuntungan yang sangat tinggi bagi masyarakat
Indonesia, berkaitan dengan hal-hal sebagai berikut:
1) Ubi jalar mudah diproduksi pada berbagai lahan dengan produktivitas antara
20-40 t/ha umbi segar.
2) Kandungan kalori per 100 g cukup tinggi, yaitu 123 kal dan dapat memberikan
rasa kenyang dalam jumlah yang relatif sdikit.
3) Cara penyajian hidangan ubi jalar mudah, praktis dan sangat beragam, serta
serasi dengan makanan lain yang dihidangkan.
4) Harga per unit-hidang murah dan bahan mudah diperoleh di pasar lokal.
5) Dapat berfungsi dengan baik sebagai substitusi dan suplementasi makanan
sumber karbohidrat tradisional nasi beras.
6) Bukan jenis makanan baru dan telah dikenal oleh masyarakat Indonesia.
7) Rasa dan teksturnya sangat beragam, sehingga dapat dipilih yang paling sesuai
dengan selera konsumen
8) Mengandung vitamin dan mineral yang cukup tinggi sehingga layak dinilai
sebagai golongan bahan pangan sehat.
Menurut penelitian Antarlina (1994), tepung ubi jalar memiliki kadar
protein yang rendah yaitu 3,11% tetapi kadar karbohidratnya yang cukup tinggi.
Kandungan gizi tepung ubi jalar dibandungkan dengan tepung terigu menunjukkan
bahwa kadar protein dan lemak tepung ubi jalar lebih rendah dibandingkan tepung
terigu, tetapi mempunyai kadar abu dan serat lebih tinggi serta kandungan
karbohidrat yang hampir setara. Kadar serat yang dimiliki tepung ubi jalar lebih
tinggi yang menyebabkan warna tepung tidak putih.
Menurut Zuraida (2001), campuran 50% tepung ubi jalar dan 50% tepung
terigu dianjurkan untuk pembuatan cookies karena lebih disukai, rasa enak, warna
menarik dan mempunyai tingkat kemanisan yang sedang. Penggunaan tepung ubi
jalar dalam pembuatan cookies dapat menurunkan impor tepung terigu,
menurunkan penggunaan gula dan meningkatkan nilai jual ubi jalar.
2.2.1 Syarat Mutu Cookies
Syarat mutu cookies di Indonesia mengacu pada syarat mutu biskuit. Syarat
mutu biskuit adalah berdasarkan Standar Nasional Indonesia (SNI 01-2973-1992),
seperti yang tercantum dalam Tabel 6. Ciri khas cookies adalah memiliki
kandungan gula dan lemak yang tinggi serta kadar air rendah (kurang dari 5%)
sehingga bertekstur renyah, apabila dikemas akan terlindung dari kelembaban dan
memiliki umur simpan yang lama (Brown, 2000).
Tabel 6. Syarat Mutu Cookies
Kriteria Uji Syarat
Energi (kkal/100gr) Minimun 400
Air (b/b) (%) Maksimum 4
Protein (%) Maksimum 6
Lemak (b/b) (%) Minimum 18
Karbohidrat (%) Minimum 70
Abu (b/b) (%) Maksimum 2
Serat Kasar (%) Maksimum 0,5
Logam Berbahaya Negatif
Bau dan Rasa Normal dan tidak tengik
Warna Normal
Sumber: Badan Standardisasi Nasional, 1992
2.2.2 Karakteristik Organoleptik Cookies
2.2.2.1 Tekstur
Karakteristik tekstur yang dihasilkan oleh cookies dipengaruhi oleh
beberapa hal yaitu penambahan lemak dan juga proporsi pati. Menurut Winarno
(1991), penambahan lemak dapat mempengaruhi sifat keplastisan dari adonan kue.
Di dalam adonan, lemak memberikan fungsi shortening dan fungsi tekstur sehingga
cookies (kue kering)/biskuit menjadi lebih lembut. Selain itu, lemak juga berfungsi
sebagai pemberi flavor (Reski, 2012). Margarin dalam pembuatan kue kering
memberikan tekstur yang lebih renyah dan kering.
Selain penambahan lemak pada cookies, proporsi pati pada formulasi
adonan juga dapat berpengaruh nyata terhadap karakteristik tekstur. Dalam
penelitian Hazizah, et al. (2013), diketahui bahwa semakin banyak proporsi pati
dan penambahan margarin, tekstur cookies yang dihasilkan lebih disukai oleh
panelis.
Wisti (2011) menyatakan, hasil cookies yang dibentuk dari 100% tepung
ubi jalar memiliki kecenderungan untuk lebih rapuh dan mudah patah dikarenakan
tidak adanya penambahan gluten yang bersifat meningkatkan plastisitas dan daya
ikat adonan. Hal ini dapat diatasi dengan memberikan proporsi lemak dan pati yang
tepat. Menurut Hazizah, et al. (2013), sifat plastis pada margarin menyebabkan
adonan memiliki daya gabung dengan udara lebih besar. Margarin bersifat plastis
sehingga adonan yang dihasilkan mudah dibentuk sehingga produk yang dihasilkan
renyah. Lemak tidak terlarut tetapi teradsorpsi pada permukaan partikel pati. Lemak
membentuk lapisan tipis yang membungkus dan memisahkan partikel-partikel
tersebut sehingga partikel tidak berikatan terlalu kompak yang menyebabkan udara
mudah menerobos dan keluar pada proses pemanasan.
2.2.2.2 Warna
Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi warna cookies antara lain
warna pada bahan bahan pembuat cookies serta reaksi yang terjadi selama
pemanggangan seperti reaksi maillard dan karamelisasi. Derajat keputihan tepung
dan pigmen yang masih terkandung dalam tepung maupun pati juga berperan dalam
penentu karakteristik warna cookies. Semakin tinggi derajat putihnya, warnanya
akan semakin cerah (Hazizah, et al. 2013). Dalam produk pangan, warna
mempunyai arti dan peranan penting pada komoditas pangan. Peranan itu sangat
nyata pada tiga hal, yaitu daya tarik, tanda pengenal, dan parameter mutu. Selain
itu, warna dapat memberi petunjuk mengenai perubahan kimia dalam makanan
seperti pencoklatan dan karamelisasi (de Man, 1997).
Penelitian Mayasari (2015) menyatakan, warna cookies dipengaruhi oleh
proses pemanggangan. Pemanggangan dalam oven akan menghasilkan warna
coklat pada permukaan cookies akibat dari reaksi Maillard. Pemanggangan dalam
suhu tinggi dan waktu terlalu lama akan menyebabkan kelembaban cookies rendah
dan warnanya semakin gelap. Reaksi Maillard yaitu reaksi antara karbohidrat,
khususnya gula pereduksi dengan gugus amina primer. Hasil reaksi tersebut akan
menyebabkan bahan menjadi berwarna coklat. Suhu pemanggangan dan lama
waktu pemanggangan juga berkaitan dengan reaksi karamelisasi. Reaksi
karamelisasi adalah reaksi yang melibatkan gula sederhana yang dapat
menghasilkan pembentukan warna coklat karamel dan komponen flavor. Menurut
Winarno (1991), titik lebur sukrosa adalah 160oC. Bila melampaui titik lebur
sukrosa, maka karamelisasi sukrosa dimulai. Kelebihan alkali atau dalam hal ini
adalah Natrium Bikarbonat juga berakibat pada warna cookies yang kekuningan
(Manley, 1998).
2.2.2.3 Rasa
Rasa dinilai dengan tanggapan rangsangan kimiawi oleh indra pencicip
(lidah), dimana akhirnya keseluruhan interaksi antara sifat-sifat aroma, rasa, dan
tekstur merupakan keseluruhan rasa makanan yang dinilai (Nasution, 1980). Tak
hanya mempengaruhi warna dan tekstur, penambahan lemak pada cookies juga
turut berpengaruh pada karakteristik rasa yang dihasilkan. Menurut Reski (2012),
lemak yang biasa digunakan pada pembuatan cookies adalah mentega (butter) dan
margarin. Gunakan lemak sebanyak 65-75% dari jumlah tepung. Presentase ini
akan menghasilkan kue yang rapuh, kering, gurih, dan warna kue kuning mengkilat.
Untuk mendapatkan rasa dan aroma dalam pembuatan cookies dan biskuit, mentega
dan margarin dapat dicampur, pergunakan mentega 80% dan margarin 20%,
perbandingan ini akan menghasilkan rasa kue yang gurih dan lezat. Penelitian yang
dilakukan oleh Mayasari (2015), menyatakan lama pemanggangan dan suhu yang
digunakan juga turut berpengaruh nyata pada karakteristik rasa yang dihasilkan.
Penerimaan panelis semakin menurun terhadap rasa biskuit akibat adanya
proses karamelisasi yang merupakan proses pencoklatan non enzimatis yang
disebabkan oleh pemanasan gula yang melampaui titik leburnya. Misalnya pada
suhu di atas 170oC. Winarno (1991) menambahkan, rasa turut dipengaruhi oleh
beberapa faktor yaitu senyawa kimia, konsentrasi, dan interaksi dengan komponen
rasa yang lain.
2.2.2.4 Aroma
Berdasarkan hasil penelitian Prameswari (2013) aroma pada cookies
dipengaruhi oleh beberapa bahan baku yang digunakan dalam pembuatan cookies
antara lain lemak, susu, dan telur. Aroma khas cookies tercium setelah cookies
selesai dipanggang. Penurunan kadar air tepung dan pati dengan melakukan
penyangraian terlebih dahulu juga dapat memberikan aroma yang khas pada
cookies.
Penggunaan suhu tinggi pada pembuatan cookies menyebabkan senyawa
volatile hilang karena menguap. Soekarto (1985) menyatakan, komponen penyusun
aroma terdiri dari senyawa volatil yang mudah menguap pada suhu tinggi.
Peningkatan suhu menyebabkan perpindahan uap air dari adonan ke luar proses
kapiler dan difusi. Bersamaan dengan menguapnya air terjadi pengerasan di
permukaan cookies dan juga pembentukan aroma yang khas.
2.2.3 Karakteristik Kimia
2.2.3.1 Kadar Air
Air merupakan kompoenen utama dalam bahan pangan yang mempengaruhi
tekstur, rupa, maupun citarasa. Daya tahan bahan hasil olahan juga sangat berkaitan
dengan kandungan air karena hal tersebut sangat mempengaruhi
perpengembanganan mikroorganisme dalam produk olahan (Winarno, 1991).
Berdasarkan SNI 01-2973-1992, kadar air maksimum cookies adalah 5%. Proses
yang berperan penting pada penentuan kadar air pada cookies adalah
pemanggangan. Proses pemanggangan terjadi akibat dari pindah panas dan pindah
massa secara simultan. Perpindahan panas terjadi dari sumber panas ke bahan,
sedangkan perpindahan massa terjadi akibat pergerakan air dari bahan ke udara
dalam bentuk uap (Muchtadi, 2013).
Manley (1998) menyatakan, kadar air yang terlalu rendah akan
menyebabkan cookies menjadi gosong dan warnanya terlalu gelap, sedangkan jika
terlalu tinggi maka tidak akan renyah, mudah patah, dan perubahan flavor selama
penyimpanan berlangsung lebih cepat.
2.2.3.2 Kadar Pati
Jumlah kadar pati cookies berkorelasi langsung dengan kandungan pati yang
terdapat dalam tepung atau pati ubi jalar. Semakin tinggi proporsi pati yang
ditambahkan, maka kadar pati cookies juga akan mengalami peningkatan (Hazizah,
et al, 2013).
2.3.3.3 Kadar Lemak
Kadar lemak yang dihasilkan oleh produk cookies, berkaitan erat dengan
penambahan lemak yang ditambahkan. Semakin banyak penambahan lemak maka
semakin tinggi pula kadar lemaknya. Beberapa contoh lemak yang digunakan
dalam pembuatan cookies adalah mentega, margarin, lemak hewani, lemak nabati,
dank rim susu (Manley, 1998). Lemak juga berfungsi untuk melembutkan dan
membuat renyah sehingga rasanya lebih lezat.
2.2.3.4 Kadar Protein
Menurut Supriati (2001), tepung ubi jalar memiliki kandungan protein yang
rendah, umumnya untuk meningkatkan kadar proteinnya dilakukan dengan
subsitusi tepung lainnya yang berkadar protein tinggi. Salah satunya dengan
subtitusi dengan tepung yang berasal dari kacang-kacangan.
2.2.3.5 Kadar Abu
Kadar abu yang terdapat pada suatu bahan pangan menunjukkan jumlah
kandungan mineralnya. Untuk produk cookies batas maksimum kadar abu yang
ditetapkan SNI adalah 2%. Menurut Djuanda dan Cahyono (2000), komposisi kimia
setiap ubi jalar bervariasi, tergantung pada jenis, usia tumbuh, keadaan tumbuh,
serta tingkat kematangan ubi jalar. Kadar abu ini juga dipengaruhi oleh komposisi
kimia yang terdapat dalam tepung ubi jalar itu sendiri. Kadar abu cookies berkisar