1 Hunian bagi Lanjut Usia Irza Nisrina Afifah dan Dalhar Susanto 1. Departemen Arsitektur, Fakultas Teknik, Universitas Indonesia, Depok 16424, Indonesia 2. Departemen Arsitektur, Fakultas Teknik, Universitas Indonesia, Depok 16424, Indonesia E-mail: [email protected]Abstrak Seiring dengan bertambahnya usia, terjadi perubahan pada lansia yang menyebabkan kebutuhan mereka lebih spesifik, sehingga berimplikasi kepada huniannya. Sementara itu, peningkatan jumlah lansia di Indonesia pada saat ini mendorong berkembangnya hunian khusus lansia, baik berupa institusi (panti werdha) yang bersifat pelayanan sosial, maupun hunian yang bersifat komersil. Tulisan ini membahas bagaimana usia tua mempengaruhi kebutuhan lansia serta melihat bagaimana kebutuhan tersebut dipenuhi di dalam huniannya. Disamping melalui studi literatur, dalam tulisan ini juga dilakukan studi kasus pada dua jenis hunian khusus lansia, yaitu PSTW Budhi Dharma dan Senior Living D’Khayangan serta wawancara dengan tiga orang lansia yang menghuni kedua hunian tersebut. Hasil menunjukkan bahwa kedua jenis hunian tersebut memiliki kelebihan dan kekurangannya masing-masing dalam memenuhi kebutuhan penghuninya. Walaupun begitu, ketiga responden tetap merasakan ketenangan dan kebahagian seperti yang diinginkan selama menghuni hunian tersebut. Housing for the Elderly Abstract As we get older, some changes occur in the elderly that cause to their needs become more specific, also related to their house. Meanwhile, the increasing number of elderly people in Indonesia nowadays affecting the development of specialized housing for elderly, whether it be institutional (panti werdha) that are social services based, as well as specialized housing for elderly that are commercial based. This study discusses how old age affects the needs of elderly and to observes how those needs met in their house. This study is not only based on study of literature, but also case studies on two types of specialized housing for elderly, PSTW Budhi Dharma and Senior Living D’Khayangan, and also interviewed with three elderly people who inhabited those housing for elderly. Result showed that each types of those housing have strength and weakness in meeting the needs of its inhabitants. However, the three respondents still feel serenity and happiness as they desired during inhabited their house. Keywords: elderly; housing; needs Pendahuluan Seiring dengan berjalannya waktu, manusia mengalami siklus kehidupan yang dilewati dari masa ke masa hingga memasuki usia lanjut dan menjadi seorang lansia. Menurut Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1998 tentang kesejahteraan lanjut usia, seseorang diketegorikan sebagai lansia ketika berusia 60 tahun keatas. Berdasarkan data yang diperoleh dari Kantor Kementerian Koordinator Kesejahteraan Rakyat (KESRA), usia harapan hidup (UHH) dan jumlah penduduk lanjut usia (lansia) di Indonesia kian bertambah dari tahun ke Hunian bagi..., Irza Nisrina Afifah, FT UI, 2015
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
1
Hunian bagi Lanjut Usia
Irza Nisrina Afifah dan Dalhar Susanto
1. Departemen Arsitektur, Fakultas Teknik, Universitas Indonesia, Depok 16424, Indonesia 2. Departemen Arsitektur, Fakultas Teknik, Universitas Indonesia, Depok 16424, Indonesia
Seiring dengan bertambahnya usia, terjadi perubahan pada lansia yang menyebabkan kebutuhan mereka lebih spesifik, sehingga berimplikasi kepada huniannya. Sementara itu, peningkatan jumlah lansia di Indonesia pada saat ini mendorong berkembangnya hunian khusus lansia, baik berupa institusi (panti werdha) yang bersifat pelayanan sosial, maupun hunian yang bersifat komersil. Tulisan ini membahas bagaimana usia tua mempengaruhi kebutuhan lansia serta melihat bagaimana kebutuhan tersebut dipenuhi di dalam huniannya. Disamping melalui studi literatur, dalam tulisan ini juga dilakukan studi kasus pada dua jenis hunian khusus lansia, yaitu PSTW Budhi Dharma dan Senior Living D’Khayangan serta wawancara dengan tiga orang lansia yang menghuni kedua hunian tersebut. Hasil menunjukkan bahwa kedua jenis hunian tersebut memiliki kelebihan dan kekurangannya masing-masing dalam memenuhi kebutuhan penghuninya. Walaupun begitu, ketiga responden tetap merasakan ketenangan dan kebahagian seperti yang diinginkan selama menghuni hunian tersebut.
Housing for the Elderly
Abstract
As we get older, some changes occur in the elderly that cause to their needs become more specific, also related to their house. Meanwhile, the increasing number of elderly people in Indonesia nowadays affecting the development of specialized housing for elderly, whether it be institutional (panti werdha) that are social services based, as well as specialized housing for elderly that are commercial based. This study discusses how old age affects the needs of elderly and to observes how those needs met in their house. This study is not only based on study of literature, but also case studies on two types of specialized housing for elderly, PSTW Budhi Dharma and Senior Living D’Khayangan, and also interviewed with three elderly people who inhabited those housing for elderly. Result showed that each types of those housing have strength and weakness in meeting the needs of its inhabitants. However, the three respondents still feel serenity and happiness as they desired during inhabited their house. Keywords: elderly; housing; needs Pendahuluan
Seiring dengan berjalannya waktu, manusia mengalami siklus kehidupan yang
dilewati dari masa ke masa hingga memasuki usia lanjut dan menjadi seorang lansia. Menurut
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1998 tentang kesejahteraan lanjut usia, seseorang
diketegorikan sebagai lansia ketika berusia 60 tahun keatas. Berdasarkan data yang diperoleh
dari Kantor Kementerian Koordinator Kesejahteraan Rakyat (KESRA), usia harapan hidup
(UHH) dan jumlah penduduk lanjut usia (lansia) di Indonesia kian bertambah dari tahun ke
Hunian bagi..., Irza Nisrina Afifah, FT UI, 2015
2
tahun, terbukti pada tahun 1980, jumlah penduduk berusia lanjut berjumlah 7,9 juta dengan
UHH 52 tahun, pada tahun 2010 meningkat hingga 23 juta dengan UHH 67 tahun, dan pada
tahun 2020 diperkirakan akan mencapai 28 juta dengan UHH 71 tahun (Hamid, 2007).
Peningkatan jumlah lansia di Indonesia turut membawa dampak terhadap tanggung jawab
pemerintah dan masyarakat untuk lebih memberikan perhatian terhadap kesejahteraan hidup
lansia (Sumarno et al., 2011). Salah satunya yaitu berkaitan dengan huniannya.
Hunian bagi lansia merupakan hunian yang khas karena kebutuhan lansia berbeda dari
kelompok usia yang lain. Dalam kasus lansia, pengaruh pertambahan usia menyebabkan
terjadinya perubahan-perubahan baik dari segi fisik maupun nonfisik. Sejumlah perubahan
tersebut pada akhirnya akan melatarbelakangi munculnya kebutuhan-kebutuhan yang lebih
spesifik terkait dengan huniannya. Hal ini lantas menimbulkan pertanyaan, apa sajakah
perubahan-perubahan yang terjadi pada diri lansia jika ditinjau dari aspek fisiologi, psikologi,
sosiologi dan ekonomi? Bagaimana pengaruh perubahan tersebut terhadap kebutuhan lansia
di dalam huniannya?
Tulisan ini bertujuan untuk lebih memahami bagaimana usia tua mempengaruhi
kebutuhan lansia pada huniannya. Disamping itu, tulisan ini juga akan melihat pemenuhan
kebutuhan lansia di dalam huniannya. Tulisan ini bersifat deskriptif melalui studi literatur
yang didapat melalui buku, artikel, jurnal, dan sumber dari internet serta dilengkapi dengan
studi kasus untuk lebih memahami topik yang sedang dibahas. Studi kasus dilakukan pada
dua hunian khusus lansia, yaitu PSTW Budhi Dharma dan Senior Living D’Khayangan
dengan metode wawancara terhadap tiga orang responden yang menghuni dua hunian
tersebut serta observasi secara langsung pada kondisi fisik hunian dan kegiatan penghuni di
dalam hunian. Adapun alasan pemilihan kedua jenis hunian tersebut disebabkan karena
masing-masing memiliki latar belakang penghuni yang berbeda. PSTW Budhi Dharma lebih
ditujukan bagi penghuni dengan latar belakang ekonomi menengah ke bawah, sedangkan
Senior Living D’Khayangan lebih ditujukan bagi penghuni dengan latar belakang ekonomi
menengah ke atas.
Tinjauan Teoritis
Seiring dengan berjalannya waktu dan pertambahan usia, manusia mengalami
perubahan-perubahan yang terjadi pada diri mereka. Dari aspek fisiologi, terjadi penurunan
kemampuan organ-organ tubuh, termasuk diantaranya anggota indera. Penurunan
kemampuan organ tubuh ini seringkali menyebabkan lansia mengalami keterbatasan, salah
Hunian bagi..., Irza Nisrina Afifah, FT UI, 2015
3
satunya dalam hal mobilitas, diantaranya yaitu berjalan, duduk, berdiri, dan berputar (The
AIA, 1985, p.6). Sedangkan penurunan kemampuan pada anggota indera diantaranya yaitu
sensitif terhadap perubahan intensitas cahaya, membutuhkan intensitas cahaya yang lebih
tinggi saat melakukan kegiatan tertentu, terjadi penurunan kemampuan mendengar,
penurunan kepekaan dalam mencium aroma yang berbeda, serta peningkatan sensitifitas
terhadap perubahan suhu (Goodman & Smith, 1992).
Dari aspek psikologi, keterbatasan pada kemampuan tubuh menyebabkan aktivitas
semakin berkurang sehingga terjadi perubahan pada pola kehidupan yang akan dijalaninya di
masa tua (Pikunas, 1961). Minat yang sebelumnya telah ada pada diri seseorang di masa
muda juga seringkali terhambat karena keterbatasan kemampuan tubuh dalam melakukan
aktivitas. Hal ini menyebabkan lansia cenderung mencari minat atau aktivitas lain untuk
mengisi waktu luang dan untuk memenuhi kepuasan diri mereka (Pikunas, 1961). Di samping
itu, lansia juga rentan mengalami depresi dan putus asa ketika ia merasa tidak puas dengan
kehidupan di tahap sebelumnya, sementara hidup yang ia jalani saat ini pendek, sehingga
tidak mungkin lagi baginya untuk mengubah atau memulai hidup baru yang lebih baik
(Erikson, 1997, p.113). Terlebih lagi, lansia terutama diumur 80-90 tahun, juga mengalami
banyak kehilangan, baik pasangan, teman, bahkan anak. Hal inilah yang semakin
mempengaruhi rasa depresi tersebut (Erikson, 1997, p.113).
Dari aspek sosial, terjadi penyusutan pada lingkungan sosial lansia, baik di dalam
keluarga, maupun masyarakat. Ketika anak mulai beranjak dewasa dan pergi meninggalkan
rumah, intensitas interaksi sosial dengan anak semakin berkurang. Begitu pula dengan
kontribusi mereka di dalam masyarakat. Seiring dengan bertambahnya usia dan terjadi proses
penuaan yang semakin membatasi aktivitas, maka secara perlahan-lahan seseorang akan
mulai menarik diri dari masyarakat dan lebih individualistis (Pikunas, 1961). Walaupun
begitu, lansia juga perlu untuk tetap aktif sebab teori aktivitas (activity theory) menyatakan
bahwa semakin lansia aktif, maka mereka akan semakin puas dengan kehidupannya dan
semakin kecil pula kemungkinan mereka menjadi renta (Santrock, 2002). Untuk itu,
dukungan dari masyarakat dan orang-orang disekitar cukup penting, yaitu dengan
memberikan dukungan sehingga lansia merasa bahwa dirinya kompeten (Santrock, 2002).
Dari aspek ekonomi, kesempatan untuk bekerja yang semakin berkurang
menyebabkan pendapatan mereka pun ikut berkurang. Walaupun mereka sudah memasuki
masa pensiun, tetapi bukan berarti mereka tidak produktif. Menurut Peraturan Pemerintah
Republik Indonesia nomor 43 tahun 2004, berdasarkan tingkat produktifitasnya, lansia
dibedakan menjadi dua golongan, yaitu lansia potensial dan lansia tidak potensial. Bagi lansia
Hunian bagi..., Irza Nisrina Afifah, FT UI, 2015
4
potensial, karena masih mampu untuk bekerja, maka mereka masih menerima pendapatan
dari hasil pekerjaannya masing-masing. Namun bagi lansia yang tidak potensial, karena
kondisi yang tidak memungkinkan mereka untuk bekerja, akibatnya mereka hanya dapat
mengandalkan bantuan dana dari keluarga, pemerintah, masyarakat atau mengandalkan dana
pensiun untuk dapat bertahan hidup. Dalam hal ini, kemampuan ekonomi dari pendukung
(keluarga, pemerintah, masyarakat) juga mempengaruhi kesejahteraan hidup lansia.
Perubahan yang terjadi pada diri lansia pada akhirnya memberikan dampak terhadap
kebutuhan yang lebih spesifik yang terkait dengan huniannya. Hunian, sebagai lingkungan
fisik dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasar lansia (Lawton, 1975). Oleh karena itu,
dalam penyediaan hunian bagi lansia, maka sejumlah kebutuhan perlu diketahui agar tercipta
kesesuaian antara lansia dengan huniannya tersebut.
Terkait dengan hal tersebut, Lawton (1975) menyebutkan sejumlah kebutuhan yang
dapat dipertimbangkan dalam mendesain hunian bagi lansia. Adapun kebutuhan-kebutuhan
tersebut yaitu kebutuhan akan kemananan (Security needs), kebutuhan mengurus diri (Self-
maintaining needs), kebutuhan mengetahui dunia luar (Knowing the world), kebutuhan
memperkaya kehidupan (Life enrichment), kebutuhan sosial (Social interaction), dan
kebutuhan privasi, teritori, dan barang pribadi (Privacy, territoriality, personal property).
Sementara itu, Setiti (2006) menyebutkan kebutuhan lansia di Indonesia terbagi
menjadi 5 kelompok, yaitu kebutuhan fisik, kebutuhan psikis, kebutuhan sosial, kebutuhan
ekonomi dan kebutuhan spiritual. Di antara kebutuhan tersebut, kebutuhan spiritual tidak
termasuk ke dalam kebutuhan yang dijabarkan oleh Lawton di atas, tetapi kebutuhan spiritual
ini dibutuhkan pula oleh lansia di Indonesia untuk mendapatkan ketenangan batin dan
kedamaian dalam menjalani masa tua. Oleh karena itu, kebutuhan spiritual ini juga sebaiknya
dipenuhi di dalam hunian mereka.
Dengan demikian, dapat diketahui bahwa ketika seseorang mencapai usia lanjut,
terjadi perubahan pada diri yang menyebabkan timbulnya kebutuhan yang lebih spesifik di
dalam huniannya. Seperti yang dijelaskan oleh Lawton (1975), kebutuhan tersebut dapat
diaplikasikan melalui arsitektur di dalam hunian. Hal ini dapat terlihat melalui tabel berikut
ini.
Hunian bagi..., Irza Nisrina Afifah, FT UI, 2015
5
Tabel 1. Hubungan antara perubahan pada diri lansia dengan kebutuhan di dalam hunian
Aspek Perubahan yang
terjadi / kondisi
Kebutuhan di dalam
hunian Aplikasi di dalam hunian
Fisiologi
• Penurunan
kemampuan
organ tubuh &
anggota indera
• Kebutuhan akan
keamanan
• Organisasi ruang dan orientasi yang
memudahkan dalam pengawasan
• Fitur arsitektural yang memberikan rasa
aman
• Pos penjaga/kehadiran orang lain yang
memberikan suasana/perasaan aman
Psikologi
• Pencarian minat
& aktivitas
dalam mengisi
waktu luang
• Rentan
mengalami
depresi & putus
asa
• Kebutuhan untuk
memperkaya hidup
• Kebutuhan untuk
mengurus diri
• Kebutuhan untuk
mengetahui dunia
luar
• Kebutuhan spiritual
• Fasilitas yang dapat memberikan
kebebasan dalam melakukan kegiatan
yang diinginkan
• Orientasi dan lokasi lingkungan yang
memberikan peluang bagi penghuni
untuk menikmati suasana di luar hunian
sehingga tidak merasa terisolasi serta
organisasi ruang yang mudah diingat
Sosial
• Interaksi sosial
yang berkurang
• Rentan merasa
kesepian
• Kebutuhan sosial
• Kebutuhan privasi
& teritorial
• Ruang yang dapat digunakan secara
bersama untuk memicu interaksi sosial
• Organisasi ruang/bangunan
• Ruang privasi bagi tiap individu
Ekonomi • Penurunan
Penghasilan
• Kebutuhan untuk
memperkaya hidup
• Fasilitas yang dapat memberikan
kesempatan bagi lansia untuk
melakukan kegiatan agar dapat
berkarya dan memberikan penghasilan
(bagi lansia yang potensial)
Sementara itu, untuk mendukung kebutuhan-kebutuhan lansia, maka pada saat ini
hunian khusus bagi lansia semakin banyak dan beragam jenisnya. Seperti yang dikutip dari
Parker (1984), alternatif hunian bagi lansia diantaranya yaitu aging in place (rumahnya
sendiri), home sharing (beberapa lansia tinggal dalam satu atap), granny flat (hunian lansia
berdekatan dengan hunian keluarga), modular home (rumah modular yang dapat berpindah),
retirement residence (hunian dalam bentuk apartemen), retirement community perkampungan
kecil bagi lansia), group home (hunian berbasis komunitas yang mendukung lansia yang
cacat atau mengalami keterbatasan untuk merasakan kemandirian), dan congregate housing
Sumber: Olahan pribadi, rangkuman dari berbagai sumber, 2015
Hunian bagi..., Irza Nisrina Afifah, FT UI, 2015
6
(hunian yang mendorong lansia untuk tetap aktif melalui penyediaan aktivitas yang
terorganisir). Jenis-jenis hunian tersebut cenderung ditujukan bagi lansia yang mandiri,
sementara bagi yang membutuhkan perawatan secara intensif dapat menghuni nursing care.
Di Indonesia sendiri, hunian bagi lansia di Indonesia semakin beragam dan bertambah
jumlahnya. Hunian tersebut dapat berupa rumahnya sendiri, rumah keluarga/kerabat, institusi
(panti werdha), atau hunian khusus lansia yang akhir-akhir ini sedang dikembangkan oleh
sektor swasta. Namun, seperti apapun jenis huniannya, yang terpenting adalah bagaimana
kebutuhan lansia dapat dipenuhi di dalam hunian tersebut.
Studi Kasus
Untuk mengetahui pemenuhan kebutuhan lansia di dalam huniannya, maka dilakukan
studi kasus terhadap dua hunian khusus lansia, yaitu PSTW Budhi Dharma dan Senior Living
D’Khayangan. PSTW Budhi Dharma merupakan institusi yang dimiliki dan dikelola oleh
Kementrian Sosial Republik Indonesia, sedangkan Senior Living D’Khayangan merupakan
hunian khusus lansia yang dikelola oleh sektor swasta. Studi Kasus I: Hunian lansia Panti Sosial Tresna Werdha (PSTW) Budhi Dharma
PSTW Budhi Dharma merupakan hunian khusus lansia yang dikelola oleh
Kementrian Sosial Republik Indonesia yang terletak di Bekasi. Di panti ini terdapat tiga jenis
hunian yang diperuntukkan bagi lamsia yang tergolong mandiri, yaitu wisma, paviliun, dan
wisma mandiri. Wisma dan paviliun diperuntukkan bagi lansia yang kurang mampu secara
ekonomi, sedangkan wisma mandiri diperuntukkan bagi lansia yang mampu secara ekonomi,
sehingga mereka dibebankan biaya selama menghuni di panti tersebut.
Responden 1: Nenek A, penghuni wisma D1 PSTW Budhi Dharma
Nenek A berusia 75 tahun dan sudah menghuni wisma selama 11 tahun. Alasan beliau
menghuni panti ini karena beliau ingin fokus dalam beribadah dan ingin berkumpul dengan
lansia lainnya sebab beliau merasa lebih nyaman saat tinggal bersama dengan para lansia
dibandingkan dengan orang-orang yang lebih muda. Secara fisik, Nenek A masih terlihat
bugar dan mandiri. Namun, masalah pada tulang yang dialaminya menyebabkannya sulit
untuk membungkuk dan cara berjalan beliau menjadi tertatih-tatih dan lambat.
Hunian bagi..., Irza Nisrina Afifah, FT UI, 2015
7
Pemenuhan Kebutuhan Responden 1
a) Kebutuhan akan keamanan
Jarak yang cukup jauh antara kamar Nenek A dengan kamar mandi yang sering
digunakan oleh beliau dapat meningkatkan resiko terjadinya kecelakaan seperti terjatuh atau
terpeleset ketika beliau berpindah dari kamar menuju kamar mandi dan sebaliknya. Di
samping itu, dengan cara berjalan Nenek A yang cukup lambat, maka untuk mencapai kamar
mandi diperlukan waktu yang lebih lama, sehingga cukup menyulitkan beliau.
Fitur keamanan dan aksesibilitas seperti ramp dan pegangan atau handrail telah
tersedia di wisma, tetapi belum memenuhi standar keamanan yang baik sebab banyak
handrail yang rusak dan tidak dapat digunakan, terutama yang berada di dalam kamar mandi.
Sementara itu, tekstur permukaan ramp yang licin, tidak disertai dengan pegangan di salah
satu sisinya serta sudut kemiringan yang cukup curam menyebabkan ramp ini kurang aman
untuk digunakan.
Akses pintu masuk menuju area panti yang cukup banyak menyebabkan lingkungan
panti menjadi kurang aman, sebab orang asing dapat dengan mudah memasuki area panti
tersebut. Namun, keberadaan ruang pengasuh yang terletak diantara wisma D1 dan D2 dapat
membantu dalam hal pengawasan, sehingga keamanan penghuni wisma lebih terjaga.
b) Kebutuhan mengurus diri
Kondisi fisik yang masih sehat dan kuat serta ketersediaan sejumlah alat dan barang
untuk melakukan pekerjaan rumah (mesin cuci, jemuran, sapu, alat pel dan alat setrika),
menyebabkan beliau dapat melakukan kegiatan sehari-hari secara mandiri. Namun,
penggunaan bak di dalam kamar mandi menyebabkan beliau mengalami kesulitan dalam hal
perawatan sebab bak mandi harus selalu dibersihkan. Di samping itu, karena Nenek A
terbiasa untuk makan di dalam kamar, maka ketika jam makan tiba, beliau harus mengambil
rantang makanan ke dapur, lalu membawa rantang tersebut ke wisma, kemudian makan di
kamarnya. Setelah selesai, beliau mencuci kembali rantang tersebut di kamar mandi
kemudian mengembalikan rantang tersebut ke dapur. Dari proses kegiatan tersebut dapat
terlihat bahwa Nenek A harus berpindah dari wisma-dapur-wisma-dapur-wisma. Di satu sisi,
kegiatan tersebut sekilas cukup memberatkan penghuni, tetapi jika di lihat dari sisi positifnya,
Nenek A dan penghuni lainnya menjadi lebih mandiri dan aktif bergerak.
Hunian bagi..., Irza Nisrina Afifah, FT UI, 2015
8
c) Kebutuhan untuk mengetahui dunia luar
Orientasi bangunan yang menghadap ke arah luar panti memungkinkan penghuni
untuk melihat keadaan atau suasana di luar panti sehingga mereka tidak merasa jenuh dan
terisolasi. Lokasi panti yang berada di dalam sebuah komplek perumahan juga memberikan
kesempatan bagi Nenek A untuk melihat dunia di luar panti dan menghilangkan kejenuhan
akan tetapi masih berada di lingkungan yang aman dan kondusif
Walaupun area panti cukup luas dan di dalamnya terdiri dari banyak bangunan, akan
tetapi sangat perbedaan warna cat di setiap cluster dapat memudahkan para penghuni dalam
mengenali tempat tinggal mereka. Selain itu, posisi bangunan-bangunan yang ditata dengan
bentuk melingkar menyebabkan seluruh bangunan yang ada di dalam area panti mudah
terlihat. Untuk memudahkan penghuni jika sewaktu-waktu mereka lupa dengan letak wisma
atau kamar, maka di setiap bangunan juga terdapat sign/penanda yang ditempel di pintu,
termasuk juga papan nama penghuni kamar.
d) Kebutuhan untuk memperkaya kehidupan
Kebutuhan ini berkaitan dengan kegiatan lansia untuk memperkaya kehidupan mereka
melalui kegiatan yang lebih bermakna dan dapat menyenangkan hati, misalnya hobi. Untuk
menyalurkan hobi penghuni, maka pada hari rabu diselenggarakan bimbingan seni bagi para
penghuni yang bertempat di ruang aula panti. Di aula juga tersedia sebuah keyboard untuk
memfasilitasi kegiatan karaoke bagi penghuni. Namun, karena faktor keamanan, ruang aula
ini dikunci, sehingga penghuni hanya dapat memanfaatkan fasilitas tersebut pada hari Rabu
saja. Oleh karena itu, karena keterbatasan ruang untuk berkegiatan, maka sebagian besar
penghuni lebih banyak melakukan hobi mereka di dalam kamar atau wisma atau paviliun
mereka, termasuk Nenek A, yang mengisi waktu luangnya di kamar dengan membuat
kerajinan tangan dari manik-manik.
e) Kebutuhan sosial
Pada dasarnya, Nenek A merupakan tipe orang yang jarang bersosialisasi. Karena
sebagian besar kegiatan sehari-hari yang dilakukan oleh beliau bertempat di dalam wisma,
maka interaksi sosial pun lebih dominan dengan para penghuni wisma D1 & D2. Nenek A
tinggal sekamar dengan seorang lansia lainnya, yaitu Nenek Y, tetapi beliau tidak terlalu
dekat dengan Nenek Y karena merasa kurang cocok dalam hal berkomunikasi. Di samping itu,
keberadaan dinding yang membatasi ruang tidur mereka menyebabkan interaksi menjadi
lebih sulit sehingga intensitas komunikasi diantara mereka menjadi berkurang.
Hunian bagi..., Irza Nisrina Afifah, FT UI, 2015
9
Berdasarkan hasil observasi, Interaksi sosial umumnya terjadi ketika mereka
berpapasan dari kamar ke ruang lainnya, seperti misalnya ke kamar mandi atau ke luar wisma.
Letak kamar mandi yang berada di luar kamar serta keberadaan ruang tamu sebagai ruang
publik di dalam wisma dapat menghidupkan interaksi sosial antar penghuni di dalam wisma
tersebut, sebab di ruang ini terdapat TV dan alat setrika, sehingga ketika salah satu penghuni
sedang menonton TV atau menyetrika, mereka dapat bertegur sapa atau mengobrol sejenak
dengan penghuni lain yang hendak ke luar dari kamar untuk menuju ruang lainnya.
Sementara itu, fungsi ruang makan sebagai ruang sosial terlihat kurang optimal sebab para
penghuni wisma D1, termasuk Nenek A, memiliki jam makan yang berbeda sehingga mereka
lebih senang makan di dalam kamarnya dibandingkan dengan makan di ruang makan.
f) Kebutuhan privasi, teritori, dan barang pribadi
Untuk membagi teritori penghuni, setiap kamar diberi sekat berupa dinding yang
menjadi batas fisik kedua area di dalam kamar. Tirai atau gordyn digunakan sebagai
penghalang di ruang tidurnya agar mendapatkan privasi dan kenyamanan. Di dalam wisma
terdapat 4 kamar mandi, tetapi 2 kamar mandi yang berada di pojok adalah kamar mandi
yang paling sering dibersihkan olehnya. Oleh karena itu, kedua kamar mandi tersebut lebih
sering digunakan dan menjadi teritorinya, sementara para penghuni lain biasanya
menggunakan kamar mandi yang lain.
g) Kebutuhan spiritual
Kamar Nenek A memiliki tata letak yang paling nyaman untuk shalat di bandingkan
kamar lainnya, sebab tidak menghalangi ataupun terhalangi oleh sirkulasi penghuni lain yang
ingin keluar atau masuk ke dalam kamar. Hal inilah yang menjadi alasan mengapa Nenek A
memilih kamar tersebut. Dengan tata letak yang nyaman tersebut, beliau merasa lebih
khusyuk dan tenang saat beribadah karena tidak terganggu oleh orang lain.