Top Banner

of 58

humkes

Oct 31, 2015

Download

Documents

Filiks Hulu

hukum kesehatan
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript

http://www.ilunifk83.com/t315-hukum-kesehatan

Home Portal Gallery Calendar FAQ Search Memberlist Usergroups Register Log in

KESEHATAN dan ILMU KEDOKTERANIluni-FK'83

HYPERLINK "http://www.ilunifk83.com/t315-hukum-kesehatan"

::::PERATURAN dan PERIJINANShare|Actions !

Hukum Kesehatan

Goto page : 1, 2, 3

Author

Message

gitahafasModerator

Number of posts: 9883Age: 52Location: JakartaRegistration date: 2008-09-30

Subject: Hukum Kesehatan Thu Jun 24, 2010 5:32 am

HUKUM KESEHATAN. I. PendahuluanDalam era reformasi saat ini, hukum memegang peran penting dalam berbagai segi kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Untuk mewujudkan derajat kesehatan yang optimal bagi setiap orang, yang merupakan bagian integral dari kesejahteraan, diperlukan dukungan hukum bagi penyelenggaraan berbagai kegiatan di bidang kesehatan. Perubahan konsep pemikiran penyelenggaraan pembangunan kesehatan tidak dapat dielakkan. Pada awalnya pembangunan kesehatan bertumpu pada upaya pengobatan penyakit dan pemulihan kesehatan, bergeser pada penyelenggaraan upaya kesehatan yang menyeluruh dengan penekanan pada upaya pencegahan penyakit dan peningkatan kesehatan. Paradigma ini dikenal dalam kalangan kesehatan sebagai paradigma sehat.

Sebagai konsekuensi logis dari diterimanya paradigma sehat maka segala kegiatan apapun harus berorientasi pada wawasan kesehatan, tetap dilakukannya pemeliharaan dan peningkatan kualitas individu, keluarga dan masyarakat serta lingkungan dan secara terus menerus memelihara dan meningkatkan pelayanan kesehatan yang bermutu, merata, dan terjangkau serta mendorong kemandirian masyarakat untuk hidup sehat.Secara ringkas untuk mewujudkan derajat kesehatan yang optimal bagi setiap orang maka harus secara terus menerus dilakukan perhatian yang sungguh-sungguh bagi penyelenggaraan pembangunan nasional yang berwawasan kesehatan, adanya jaminan atas pemeliharaan kesehatan, ditingkatkannya profesionalisme dan dilakukannya desentralisasi bidang kesehatan. Kegiatan-kegiatan tersebut sudah barang tentu memerlukan perangkat hukum kesehatan yang memadai. Perangkat hukum kesehatan yang memadai dimaksudkan agar adanya kepastian hukum dan perlindungan yang menyeluruh baik bagi penyelenggara upaya kesehatan maupun masyarakat penerima pelayanan kesehatan.

Pertanyaan yang muncul kemudian adalah apakah yang dimaksud dengan hukum kesehatan, apa yang menjadi landasan hukum kesehatan, materi muatan peraturan perundang-undangan bidang kesehatan, dan hukum kesehatan di masa mendatang. Diharapkan jawaban atas pertanyaan tersebut dapat memberikan sumbangan pemikiran, baik secara teoritikal maupun praktikal terhadap keberadaan hukum kesehatan. Untuk itu dilakukan kajian normatif, kajian yang mengacu pada hukum sebagai norma dengan pembatasan pada masalah kesehatan secara umum melalui tradisi keilmuan hukum. Dalam hubungan ini hukum kesehatan yang dikaji dibagi dalam 3 (tiga) kelompok sesuai dengan tiga lapisan ilmu hukum yaitu dogmatik hukum, teori hukum, dan filsafat hukum. Selanjutnya untuk memecahkan isu hukum, pertanyaan hukum yang timbul maka digunakan pendekatan konseptual, statuta, historis, dogmatik, dan komparatif. Namun adanya keterbatasan waktu maka kajian ini dibatasi hanya melihat peraturan perundang-undangan bidang kesehatan.

II. Batasan dan Lingkup Hukum KesehatanVan der Mijn di dalam makalahnya menyatakan bahwa, health law as the body of rules that relates directly to the care of health as well as the applications of general civil, criminal, and administrative law.(1) Lebih luas apa yang dikatakan Van der Mijn adalah pengertian yang diberikan Leenen bahwa hukum kesehatan adalah . het geheel van rechtsregels, dat rechtstreeks bettrekking heft op de zorg voor de gezondheid en de toepassing van overig burgelijk, administratief en strafrecht in dat verband. Dit geheel van rechtsregels omvat niet alleen wettelijk recht en internationale regelingen, maar ook internationale richtlijnen gewoonterecht en jurisprudenterecht, terwijl ook wetenschap en literatuur bronnen van recht kunnen zijn.(2) Dari apa yang dirumuskan Leenen tersebut memberikan kejelasan tentang apa yang dimaksudkan dengan cabang baru dalam ilmu hukum, yaitu hal-hal yang berkaitan dengan pemeliharaan kesehatan (zorg voor de gezondheid). Rumusan tersebut dapat berlaku secara universal di semua negara. Dikatakan demikian karena tidak hanya bertumpu pada peraturan perundang-undangan saja tetapi mencakup kesepakatan/peraturan internasional, asas-asas yang berlaku secara internasional, kebiasaan, yurisprudensi, dan doktrin.

Di sini dapat dilukiskan bahwa sumber hukum dalam hukum kesehatan meliputi hukum tertulis, yurisprudensi, dan doktrin. Dilihat dari objeknya, maka hukum kesehatan mencakup segala aspek yang berkaitan dengan pemeliharaan kesehatan (zorg voor de gezondheid). Dengan demikian dapat dibayangkan bahwa hukum kesehatan cukup luas dan kompleks. Jayasuriya mengidentifikasikan ada 30 (tiga puluh) jenis peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan kesehatan.(3) Secara umum dari lingkup hukum kesehatan tersebut, materi muatan yang dikandung didalamnya pada asasnya adalah memberikan perlindungan kepada individu, masyarakat, dan memfasilitasi penyelenggaraan upaya kesehatan agar tujuan kesehatan dapat tercapai. Jayasuriya bertolak dari materi muatan yang mengatur masalah kesehatan menyatakan ada 5 (lima) fungsi yang mendasar, yaitu pemberian hak, penyediaan perlindungan, peningkatan kesehatan, pembiayaan kesehatan, dan penilaian terhadap kuantitas dan kualitas dalam pemeliharaan kesehatan.(4) Dalam perjalanannya diingatkan oleh Pinet bahwa untuk mewujudkan kesehatan untuk semua, diidentifikasikan faktor determinan yang mempengaruhi sekurang-kurangnya mencakup, ... biological, behavioral, environmental, health system, socio economic, socio cultural, aging the population, science and technology, information and communication, gender, equity and social justice and human rights.(5)

III. Landasan Hukum KesehatanHermien Hadiati Koeswadji menyatakan pada asasnya hukum kesehatan bertumpu pada hak atas pemeliharaan kesehatan sebagai hak dasar social (the right to health care) yang ditopang oleh 2 (dua) hak dasar individual yang terdiri dari hak atas informasi (the right to information) dan hak untuk menentukan nasib sendiri (the right of self determination).(6) Sejalan dengan hal tersebut Roscam Abing mentautkan hukum kesehatan dengan hak untuk sehat dengan menyatakan bahwa hak atas pemeliharaan kesehatan mencakup berbagai aspek yang merefleksikan pemberian perlindungan dan pemberian fasilitas dalam pelaksanaannya. Untuk merealisasikan hak atas pemeliharaan bisa juga mengandung pelaksanaan hak untuk hidup, hak atas privasi, dan hak untuk memperoleh informasi.(7) Demikian juga Leenen secara khusus, menguraikan secara rinci tentang segala hak dasar manusia yang merupakan dasar bagi hukum kesehatan.(

IV. Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan Bidang KesehatanSebenarnya dalam kajian ini akan disajikan menyangkut seluruh lingkup hukum kesehatan, namun keterbatasan waktu, maka penyajian dibatasi pada materi muatan peraturan perundang-undangan bidang kesehatan. Segala sesuatu yang berkaitan dengan kesehatan seringkali dikatakan sebagian masyarakat kesehatan dengan ucapan saratnya peraturan. Peraturan dimaksud dapat berupa peraturan perundang-undangan yang berlaku umum dan berbagai ketentuan internal bagi profesi dan asosiasi kesehatan.

Agar diperoleh gambaran yang lebih menyeluruh maka digunakan susunan 3 (tiga) komponen dalam suatu sistem hukum seperti yang dikemukakan Schuyt.(9) Ketiga komponen dimaksud adalah keseluruhan peraturan, norma dan ketetapan yang dilukiskan sebagai sistem pengertian, betekenissysteem, keseluruhan organisasi dan lembaga yang mengemban fungsi dalam melakukan tugasnya, organisaties instellingen dan keseluruhan ketetapan dan penanganan secara konkret telah diambil dan dilakukan oleh subjek dalam komponen kedua, beslisingen en handelingen.

Dalam komponen pertama yang dimaksudkan adalah seluruh peraturan, norma dan prinsip yang ada dalam penyelenggaraan kegiatan di bidang kesehatan. Bertolak dari hal tersebut dapat diklasifikasikan ada 2 (dua) bentuk, yaitu ketentuan-ketentuan yang dibuat oleh penguasa dan ketentuan yang dibuat oleh organisasi profesi dan asosiasi kesehatan. Hubungan antara keduanya adalah ketentuan yang dibuat oleh organisasi profesi dan asosiasi kesehatan serta sarana kesehatan hanya mengikat ke dalam dan tidak boleh bertentangan dengan ketentuan yang dibuat oleh penguasa. Menurut inventarisasi yang dilakukan terhadap ketentuan yang dikeluarkan penguasa dalam bentuk peraturan perundang-undangan terdapat 2 (dua) kategori, yaitu yang bersifat menetapkan dan yang bersifat mengatur.

Dari sudut pandang materi muatan yang ada dapat dikatakan mengandung 4 (empat) obyek, yaitu:1. Pengaturan yang berkaitan dengan upaya kesehatan;2. Pengaturan yang berkaitan dengan tenaga kesehatan;3. Pengaturan yang berkaitan dengan sarana kesehatan;4. Pengaturan yang berkaitan dengan komoditi kesehatan.

Apabila diperhatikan dari ketentuan tersebut terkandung prinsip perikemanusiaan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, manfaat, usaha bersama dan kekeluargaan, adil dan merata, perikehidupan dalam keseimbangan dan kepercayaan pada kemampuan dan kekuatan sendiri.(10) Selanjutnya dari ketentuan yang ada dalam keputusan dan peraturan yang dibuat oleh organisasi profesi dan asosiasi bidang kesehatan serta sarana kesehatan adalah mencakup kode etik profesi, kode etik usaha dan berbagai standar yang harus dilakukan dalam penyelenggaraan upaya kesehatan. Apabila diperhatikan prinsip-prinsip yang dikandung dalam ketentuan ini mencakup 4 (empat) prinsip dasar, yaitu autonomy, beneficence, non maleficence dan justice.(11)

Sebelum memasuki komponen kedua, perlu dibahas terlebih dahulu komponen ketiga mengenai intervensi yang berupa penanganan yang dilakukan berdasarkan ketentuan yang diatur. Komponen ini merupakan aktualisasi terhadap komponen ideal yang ada dalam komponen pertama. Bila diperhatikan isi ketentuan yang ada dimana diperlukan penanganan terdapat 4 (empat) sifat, yaitu:1. Perintah (gebod) yang merupakan kewajiban umum untuk melakukan sesuatu;2. Larangan (verbod) yang merupakan kewajiban umum untuk tidak melakukan sesuatu;3. Pembebasan (vrijstelling, dispensatie) berupa pembolehan khusus untuk tidak melakukan sesuatu yang secara umum diharuskan.4. Izin (toesteming, permissie) berupa pembolehan khusus untuk melakukan sesuatu yang secara umum dilarang.(12)

Tindakan penanganan yang dilakukan apakah sudah benar atau tidak, kiranya dapat diukur dengan tatanan hukum seperti yang dikemukakan oleh Nonet dan Selznick, yaitu apakah masih bersifat represif, otonomous atau responsive.(13) Selanjutnya dengan komponen kedua tentang organisasi yang ada dalam penyelenggaraan upaya kesehatan dapat dibagi dalam 2 (dua) bagian besar yaitu organisasi pemerintah dan organisasi / badan swasta.Pada organisasi pemerintah mencakup aparatur pusat dan daerah serta departemen dan lembaga pemerintah non departemen. Pada sektor swasta terdapat berbagai organisasi profesi, asosiasi dan sarana kesehatan yang mempunyai tugas dan fungsi di bidang kesehatan.

Dari susunan dalam 3 (tiga) komponen tersebut secara global menurut Schuyt bahwa tujuan yang ingin dicapat adalah (14):1. Penyelenggaraan ketertiban sosial;2. Pencegahan dari konflik yang tidak menyenangkan;3. Jaminan pertumbuhan dan kemandirian penduduk secara individual;4. Penyelenggaraan pembagian tugas dari berbagai peristiwa yang baik dalam masyarakat;5. Kanalisasi perubahan sosial.

V. Hukum Kesehatan di Masa MendatangHermien Hadiati Koeswadji mencatat bahwa dari apa yang telah digariskan dalam peraturan perundang-undangan yang ada perlu terus ditingkatkan untuk (15):1. Membudayakan perilaku hidup sehat dan penggunaan pelayanan kesehatan secara wajar untuk seluruh masyarakat;2. Mengutamakan upaya peningkatan kesehatan dan pencegahan penyakit;3. Mendorong kemandirian masyarakat dalam memilih dan membiayai pelayanan kesehatan yang diperlukan;4. Memberikan jaminan kepada setiap penduduk untuk mendapatkan pemeliharaan kesehatan;5. Mengendalikan biaya kesehatan;6. Memelihara adanya hubungan yang baik antara masyarakat dengan penyedia pelayanan kesehatan;7. Meningkatkan kerjasama antara upaya kesehatan yang dilakukan pemerintah dan masyarakat melalui suatu bentuk pemeliharaan kesehatan bagi masyarakat yang secara efisien, efektif dan bermutu serta terjangkau oleh masyarakat. Untuk itu dukungan hukum tetap dan terus diperlukan melalui berbagai kegiatan untuk menciptakan perangkat hukum baru, memperkuat terhadap tatanan hukum yang telah ada dan memperjelas lingkup terhadap tatanan hukum yang telah ada.

Beberapa hal yang perlu dicatat disini adalah yang berkaitan dengan:1. Eksistensi Badan Pertimbangan Kesehatan Nasional yang telah ada harus diperkuat dan harus merupakan organisasi yang independen sehingga dapat memberikan pertimbangan lebih akurat;2. Perlu dibangun keberadaan Konsil untuk tenaga kesehatan dimana lembaga tersebut merupakan lembaga yang berwenang untuk melakukan pengaturan berbagai standar yang harus dipenuhi oleh tenaga kesehatan dalam penyelenggaraan upaya kesehatan. Dalam dunia kedokteran dan kedokteran gigi telah dibentuk Konsil Kedokteran Indonesia sebagaimana dituangkan dalam Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran;3. Perlu dibangun lembaga registrasi tenaga kesehatan dalam upaya untuk menilai kemampuan profesional yang dimiliki tenaga kesehatan untuk menyelenggarakan upaya kesehatan. Bagi tenaga dokter dan dokter gigi peranan Konsil Kedokteran Indonesia dan organisasi profesi serta Departemen Kesehatan menjadi penting;4. Perlu dikaji adanya lembaga Peradilan Disiplin Profesi Tenaga Kesehatan. Dimana untuk tenaga medis telah dibentuk Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia sesuai dengan Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004;5. Perlu dibangun lembaga untuk akreditasi berbagai sarana kesehatan.

VI. KesimpulanDari apa yang telah diuraikan diatas, hukum kesehatan merupakan cabang ilmu hukum yang baru. Untuk itu masih terbuka kesempatan yang luas bagi para ahli hukum melakukan berbagai pengembangan dengan tujuan tersedianya perlindungan yang menyeluruh baik untuk masyarakat penerima pelayanan kesehatan maupun tenaga dan sarana kesehatan pemberi pelayanan kesehatan. Kajian dapat dilakukan baik secara sektoral maupun dimensional melalui inter dan multidisiplin.

CATATAN KAKI(1) Van der Mijn, 1984, The Development of Health Law in the Nederlands, Makalah yang disampaikan dalam Seminar Sehari Issues of Health Law, Tim Pengkajian Hukum Kedokteran, Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman RI bekerja sama dengan PERHUKI dan PB IDI, Jakarta, hal 2.(2) H.J.J. Leenen, 1981, Gezondheidszorg en recht, een gezondheidsrechtelijke studie, Samson uitgeverij, alphen aan den rijn/Brussel, hal 22.(3) D.C.Jayasuriya, 1997, Health Law, International and Regional Perspectives, Har-Anand Publication PUT Ltd, New Delhi India, hal 16-28.(4) Ibid, hal 33.(5) Genevieve Pinet, 1998, Health Challenges of The 21st Century a Legislative Approach to Health Determinants, Artikel dalam International Digest of Health Legislations, Vol 49 No. 1, 1998, Geneve, hal 134.(6) Hermien Hadiati Koeswadji, 1998, Hukum Kedokteran, Studi Tentang Hubungan Hukum Dalam Mana Dokter Sebagai Salah Satu Pihak, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, hal 22.(7) Roscam Abing, 1998, Health, Human Rights and Health Law The Move Towards Internationalization With Special Emphasis on Europe dalam journal International Digest of Health Legislations, Vol 49 No. 1, 1998, Geneve, hal 103 dan 107.( HJJ. Leenen, 1981, Recht en Plicht in de Gezondheidszorg, Samson Uitgeverij, Alphen aan den Rijn/Brussel.(9) Schuyt, 1983, Recht en Samenleving, van Gorcum, Assen, hal 11-12.(10) Lihat Pasal 2 Undang-Undang Nomor 23 tahun 1992 tentang Kesehatan.(11) Lihat Tom L. Beauchamp dan James F. Childress, Principles of Biomedical Ethics, 1994, Oxford University Press, New York, hal 38.(12) Bruggink, 1993, Rechtsrefleeties, Grondbegrippen uit de Rechtstheorie, Kluwer, Deventer, hal 72.(13) Philipie Nonet dan Philip Selznick, 1978, Law and Society in Transition, Toward, Responsive Law, Hasper Torch Books, New York.(14) Schuyt, op.cit, hal 19.(15) Hermin Hadiati Koeswadji, 2002, Hukum Untuk Perumahsakitan, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, hal 17-18.

Oleh : Faiq BahfenBiro Hukum & Organisasi Departemen Kesehatan R.I.Jalan H.R. Rasuna Blok X5 Kav No. 4-9 Kuningan, Jakarta Selatan 12950

_________________Don't ask what Iluni-FK'83 can do for you.Ask what you can do for Iluni-FK'83 !

gitahafasModerator

Number of posts: 9883Age: 52Location: JakartaRegistration date: 2008-09-30

Subject: Re: Hukum Kesehatan Sat Jun 26, 2010 5:25 am

link_forensik_ku.webs.com/hukumkesehatan.htm -Budi SampurnaDepartemen Ilmu Kedokteran Forensik dan MedikoelgalFakultas Kedokteran Universitas IndonesiaJl. Salemba Raya No 6 Jakarta PusatTelp: 3106976. Fax : 3154626

PRAKTIK KEDOKTERANPraktik kedokteran, sebagaimana juga praktik advokat, bukanlah suatu pekerjaan yang dapat dilakukan oleh siapa saja, melainkan hanya boleh dilakukan oleh kelompok profesional tertentu yang memiliki kompetensi yang memenuhi standar tertentu, diberi kewenangan oleh institusi yang berwenang di bidang itu dan bekerja sesuai dengan standar dan profesionalisme yang ditetapkan oleh organisasi profesinya.

Secara teoritis-konseptual, antara kelompok profesi dengan masyarakat umum terjadi suatu kontrak sosial (mengacu kepada doktrin social-contract), yang memberi hak kepada kelompok profesi untuk melakukan self-regulating (otonomi profesi) dengan kewajiban memberikan jaminan bahwa profesional yang berpraktik hanyalah profesional yang kompeten dan yang melaksanakan praktik profesinya sesuai dengan standar. [1]

Dengan demikian, profesi harus dapat memastikan bahwa para anggotanya yang akan berpraktik adalah benar telah memiliki kompetensi dan kewenangan medis yang sesuai dan melakukan praktiknya sesuai dengan standar dan etika profesinya. Oleh karena itulah diundangkan UU Praktik Kedokteran yang mengatur hal-hal yang harus diatur dengan disiplin dan hukum karena sifatnya yang harus executable dan akuntabel.

Sikap dan perilaku yang akuntabel kepada masyarakat, baik masyarakat profesi maupun masyarakat luas termasuk klien, dicerminkan dalam sikap profesionalisme. Beberapa ciri profesionalisme merupakan ciri profesi itu sendiri, seperti kompetensi dan kewenangan yang selalu sesuai dengan tempat dan waktu, sikap yang etis sesuai dengan etika profesinya, sikap altruisme (mendahulukan kepentingan pasien), bekerja sesuai dengan standar yang ditetapkan oleh profesinya, dan sikap care. [2] [3]

LAYANAN KEDOKTERANLayanan kedokteran didasarkan atas ilmu kedokteran yang empiris, sehingga ketidakpastian merupakan salah satu ciri khasnya. Ilmu pengetahuan dan teknologi kedokteran masih menyisakan kemungkinan adanya bias dan ketidaktahuan, meskipun perkembangannya telah sangat cepat sehingga sukar diikuti oleh standar prosedur yang baku dan kaku. Kedokteran tidak menjanjikan hasil layanannya, melainkan hanya menjanjikan upayanya (inspanningsverbintennis).

Selain itu, layanan kedokteran di rumah sakit dikenal sebagai suatu sistem yang kompleks dengan sifat hubungan antar komponen yang ketat (complex and tightly coupled)[4], khususnya di ruang gawat darurat, ruang bedah dan ruang rawat intensif. Sistem yang kompleks umumnya ditandai dengan spesialisasi, teknologi dan interdependensi. Dalam suatu sistem yang kompleks, satu komponen dapat berinteraksi dengan banyak komponen lain, kadang dengan cara yang tak terduga atau tak terlihat. Semakin kompleks dan ketat suatu sistem akan semakin mudah terjadi kecelakaan (prone to accident), oleh karena itu praktik kedokteran haruslah dilakukan dengan tingkat kehati-hatian yang tinggi.

Setiap tindakan medis mengandung risiko buruk, sehingga harus dilakukan tindakan pencegahan ataupun tindakan mereduksi risiko. Namun demikian sebagian besar diantaranya tetap dapat dilakukan oleh karena risiko tersebut dapat diterima (acceptable) sesuai dengan state-of-the-art ilmu dan teknologi kedokteran. Risiko-risiko tersebut apabila terjadi bukan menjadi tanggung-jawab dokter sepanjang telah diinformasikan kepada pasien dan telah disetujui (doktrin informed consent). Namun informed consent tidak menghilangkan tanggung-jawab dokter dari hasil buruk pada pasien yang diakibatkan oleh kelalaiannya.

Suatu risiko / peristiwa buruk yang tidak dapat diduga atau diperhitungkan sebelumnya (unforeseeable, unpredictable) yang terjadi saat dilakukan tindakan medis yang sesuai standar tidak dapat dipertanggungjawabkan kepada dokter atau pemberi layanan medis (misalnya reaksi hipersensitivitas, emboli air ketuban). World Medical Association menyatakan: An injury occurring in the course of medical treatment which could not be foreseen and was not the result of the lack of skill or knowledge on the part of the treating physician is untoward result, for which the physician should not bear any liability. [5]

Suatu penelitian di New York dengan menggunakan data tahun 1984 menemukan bahwa pasien yang mengalami adverse events (hasil buruk yang tidak diharapkan) adalah sebesar 3.7% dari seluruh pasien rawat inap (n = 30.195), dan penelitian lain di Utah dan Colorado tahun 1992 menemukan angka adverse events sebesar 2.9% (n = 14.565). Penelitian serupa menunjukkan variasi angka adverse events yang besar, 16.6% di Australia (1992), 9.0% di Denmark (1998), 12.9% di New Zealand (1998), 11.7% di U.K., dan 7.5% di Kanada (2001).3 Sebagian dari adverse event ternyata disebabkan oleh error sehingga dianggap sebagai preventable adverse events. Error sendiri diartikan sebagai kegagalan melaksanakan suatu rencana tindakan (error of execution; lapses dan slips) atau penggunaan rencana tindakan yang salah dalam mencapai tujuan tertentu (error of planning; mistakes).

Guna menilai bagaimana kontribusi manusia dalam suatu error dan dampaknya, perlu dipahami perbedaan antara active errors dan latent errors. Active errors terjadi pada tingkat operator garis depan dan dampaknya segera dirasakan, sedangkan latent errors cenderung berada di luar kendali operator garis depan, seperti desain buruk, instalasi yang tidak tepat, pemeliharaan yang buruk, kesalahan keputusan manajemen, dan struktur organisasi yang buruk.

Latent error merupakan ancaman besar bagi keselamatan (safety) dalam suatu sistem yang kompleks, oleh karena sering tidak terdeteksi dan dapat mengakibatkan berbagai jenis active errors. Sebagai contoh adalah sistem pendidikan dokter spesialis yang mahal, pembolehan dokter bekerja pada banyak rumah sakit, tidak adanya sistem yang menjaga akuntabilitas profesi adalah latent errors yang tidak terasa sebagai error, namun sebenarnya merupakan akar dari kesalahan manajemen yang telah banyak menimbulkan unsafe conditions dalam praktek kedokteran di lapangan. Bila satu saat unsafe conditions ini bertemu dengan suatu unsafe act (active error), maka terjadilah accident. Dalam hal ini perlu kita pahami bahwa penyebab suatu accident bukanlah single factor melainkan multiple factors.

Umumnya kita merespons suatu error dengan berfokus pada active error-nya dengan memberikan hukuman kepada individu pelakunya, retraining dan lain-lain yang bertujuan untuk mencegah berulangnya active errors. Meskipun hukuman seringkali bermanfaat pada kasus tertentu (pada mistakes yang timbul karena kesengajaan) dengan memberikan efek penjeraan, namun sebenarnya tidak cukup efektif untuk mengurangi errors dan meningkatkan safety. Memfokuskan perhatian kepada active errors akan membiarkan latent errors tetap ada di dalam sistem, atau bahkan mungkin akan terakumulasi, sehingga sistem tersebut semakin mungkin mengalami kegagalan di kemudian hari.

Namun demikian bukan berarti bahwa tindakan terhadap para pelaku active errors tidak ada manfaatnya. Pembinaan sikap etis akhir-akhir ini dikumandangkan kembali melalui sebuah Charter of Medical Professionalism, yang mengingatkan kembali kepada nilai-nilai principle of primary of patient welfare (mengutamakan kesejahteraan pasien), principle of patient autonomy (menghargai otonomi pasien) and principle of social justice (keadilan sosial). [6] Inggris bahkan menerbitkan pedoman berpraktik yang baik, yang disebut Good Medical Practice. Langkah negara tersebut banyak diikuti oleh negara-negara lainnya, termasuk Indonesia.

Selain meninjau kembali sikap perilaku para pelaku pemberi layanan kedokteran, masyarakat kedokteran memperbaiki kembali akuntabilitas profesinya dan layanannya, yaitu melalui pemberlakuan UU No 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran yang pada pokoknya menjamin bahwa dokter yang berpraktik adalah mereka yang kompeten dan berwenang, menjamin bahwa mereka menjaga etika dan standar profesinya, serta mengancamnya dengan pendisiplinan bagi mereka yang melanggarnya. Dari sisi sistem layanan kedokteran juga diupayakan penyempurnaan melalui good clinical governance dan risk management, serta upaya-upaya lain yang bertujuan meningkatkan mutu layanan.

[1] Cruess SR et al: MJA 2002 177 (4): 208-211[2] Untuk menjamin tanggung jawab dan akuntabilitas profesionalisme, organisasi profesi wajib menentukan standar, persyaratan, dan sertifikasi keahlian, serta kode etik profesi (Ps 12 ayat 1 UU No 18 tahun 2002 tentang IPTEK).[3] True professionalism means the pursuit of excellence, not just competence. Professionalism is predominantly an attitude, not a set of competencies (Maister DH: True Professionalism, The Free Press, 1997)[4] Kohn LT, Corrigan JM and Donaldson MS. To err is human, building a safer health system. Washington DC: National Academy Press, 2000, p58-60[5] WMA. Statement on Medical Malpractice, adopted by the 4th World Medical Assembly, Marbella, Spain, Sept 1992[6] Annals of Internal Medicine, Vol 136 Issue 3, 5 Feb 2002, http://www.annals.org/cgi/content/full/136/3/243

MALPRAKTIK KEDOKTERANTidak ada satupun peraturan perundang-undangan di Indonesia yang menyebut kata malpraktik dalam pelayanan kedokteran. Namun beberapa pasal Undang-Undang mengisyaratkan sebagian perbuatan / praktik yang dianggap tidak baik. Pasal 55 ayat (1) UU No 23 tahun 1992 tentang Kesehatan menyatakan bahwa setiap orang berhak atas ganti rugi akibat kesalahan atau kelalaian yang dilakukan tenaga kesehatan.

Sedangkan UU Praktik Kedokteran menguraikannya dengan cara lain. Pasal 50 UU No 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran menyatakan bahwa dokter dan dokter gigi berhak memperoleh perlindungan hukum sepanjang melaksanakan tugas sesuai dengan standar profesi dan standar prosedur operasional.

Blacks Law Dictionary mendefinisikan malpraktik sebagai professional misconduct or unreasonable lack of skill atau failure of one rendering professional services to exercise that degree of skill and learning commonly applied under all the circumstances in the community by the average prudent reputable member of the profession with the result of injury, loss or damage to the recipient of those services or to those entitled to rely upon them.

Dari definisi di atas dapat ditarik pemahaman bahwa malpraktik dapat terjadi karena tindakan yang disengaja (intentional) seperti pada professional misconduct tertentu, tindakan kelalaian (negligence), ataupun suatu kekurang-mahiran / ketidak-kompetenan yang tidak beralasan.

Malpraktik bukanlah monopoli bagi profesi medis, melainkan juga berlaku bagi profesi hukum (mafia peradilan), akuntan (berbagai bentuk korupsi), perbankan (misalnya kasus BLBI), dan lain-lain. Sedangkan pengertian malpraktik medis menurut World Medical Association (1992) adalah: medical malpractice involves the physicians failure to conform to the standard of care for treatment of the patients condition, or lack of skill, or negligence in providing care to the patient, which is the direct cause of an injury to the patient. [1]

Kelalaian medik adalah salah satu bentuk dari malpraktik medis, sekaligus merupakan bentuk malpraktik medis yang paling sering dituduhkan. Pada dasarnya kelalaian terjadi apabila seseorang dengan tidak sengaja, melakukan sesuatu (komisi) yang seharusnya tidak dilakukan atau tidak melakukan sesuatu (omisi) yang seharusnya dilakukan oleh orang lain yang memiliki kualifikasi yang sama pada suatu keadaan dan situasi yang sama. Kelalaian memiliki empat unsur yang harus dipenuhi, yaitu (1) adanya kewajiban untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu, (2) adanya pelanggaran atau kegagalan memenuhi kewajiban tersebut, (3) adanya kerugian atau cedera pada pasien dan (4) adanya hubungan kausalitas antara pelanggaran atau kegagalan memenuhi kewajiban tersebut dengan cedera atau kerugian.

Dengan melihat pengertian-pengertian di atas maka dapat disimpulkan bahwa ada atau tidaknya malpraktik bukanlah ditentukan atas dasar hasil akhirnya, melainkan atas dasar prosesnya. Suatu hasil buruk yang tidak diharapkan di bidang medik sebenarnya dapat disebabkan oleh beberapa kemungkinan, yaitu :

1. Hasil dari suatu perjalanan penyakitnya sendiri, tidak berhubungan dengan tindakan medis yang dilakukan dokter.

2. Hasil dari suatu risiko yang tak dapat dihindari, yaitu risiko yang tak dapat diketahui sebelumnya (unforeseeable); atau risiko yang meskipun telah diketahui sebelumnya (foreseeable) tetapi dianggap acceptable, sebagaimana telah diuraikan di atas.

3. Hasil dari suatu kelalaian medik.

4. Hasil dari suatu kesengajaan.Dengan demikian, suatu dugaan adanya malpraktik kedokteran harus ditelusuri dan dianalisis terlebih dahulu untuk dapat dipastikan ada atau tidaknya malpraktik, kecuali apabila faktanya sudah membuktikan bahwa telah terdapat kelalaian yaitu pada res ipsa loquitur (the thing speaks for itself).

[1] WMA. Statement on Medical Malpractice, adopted by the 4th World Medical Assembly, Marbella, Spain, September 1992

PENANGANAN KASUS DUGAAN MALPRAKTEKPada dasarnya penanganan kasus malpraktik dilakukan dengan mendasarkan kepada konsep malpraktik medis dan adverse events yang diuraikan di atas. Dalam makalah ini tidak akan diuraikan pelaksanaan pada kasus per-kasus, namun lebih ke arah hasil pembelajaran (lesson learned) dari pengalaman penanganan berbagai kasus dugaan malpraktik, baik dari sisi profesi (etik dan disiplin) maupun dari sisi hukum. Suatu tuntutan hukum perdata, dalam hal ini sengketa antara pihak dokter dan rumah sakit berhadapan dengan pasien dan keluarga atau kuasanya, dapat diselesaikan melalui dua cara, yaitu cara litigasi (melalui proses peradilan) dan cara non litigasi (di luar proses peradilan).

Apabila dipilih penyelesaian melalui proses pengadilan, maka penggugat akan mengajukan gugatannya ke pengadilan negeri di wilayah kejadian, dapat dengan menggunakan kuasa hukum (pengacara) ataupun tidak. Dalam proses pengadilan umumnya ingin dicapai suatu putusan tentang kebenaran suatu gugatan berdasarkan bukti-bukti yang sah (right-based) dan kemudian putusan tentang jumlah uang ganti rugi yang layak dibayar oleh tergugat kepada penggugat. Dalam menentukan putusan benar-salahnya suatu perbuatan hakim akan membandingkan perbuatan yang dilakukan dengan suatu norma, standar, ataupun suatu kebiasaan/kepatutan tertentu, sedangkan dalam memutus besarnya ganti rugi hakim akan mempertimbangkan kedudukan sosial-ekonomi kedua pihak (pasal 1370-1371 KUH Perdata).

Apabila dipilih proses di luar pengadilan (alternative dispute resolution), maka kedua pihak berupaya untuk mencari kesepakatan tentang penyelesaian sengketa (mufakat). Permufakatan tersebut dapat dicapai dengan pembicaraan kedua belah pihak secara langsung (konsiliasi atau negosiasi), ataupun melalui fasilitasi, mediasi, dan arbitrasi, atau cara-cara kombinasi. Fasilitator dan mediator tidak membuat putusan, sedangkan arbitrator dapat membuat putusan yang harus dipatuhi kedua pihak. Dalam proses mufakat ini diupayakan mencari cara penyelesaian yang cenderung berdasarkan pemahaman kepentingan kedua pihak (interest-based, win-win solution), dan bukan right-based. Hakim pengadilan perdata umumnya menawarkan perdamaian sebelum dimulainya persidangan, bahkan akhir-akhir ini hakim memfasilitasi dilakukannya mediasi oleh mediator tertentu.

Dalam hal tuntutan hukum tersebut diajukan melalui proses hukum pidana, maka pasien cukup melaporkannya kepada penyidik dengan menunjukkan bukti-bukti permulaan atau alasan-alasannya. Selanjutnya penyidiklah yang akan melakukan penyidikan dengan melakukan tindakan-tindakan kepolisian, seperti pemeriksaan para saksi dan tersangka, pemeriksaan dokumen (rekam medis di satu sisi dan bylaws, standar dan petunjuk di sisi lainnya), serta pemeriksaan saksi ahli. Visum et repertum mungkin saja dibutuhkan penyidik. Berkas hasil pemeriksaan penyidik disampaikan kepada jaksa penuntut umum untuk dapat disusun tuntutannya. Dalam hal penyidik tidak menemukan bukti yang cukup maka akan dipikirkan untuk diterbitkannya SP3 atau penghentian penyidikan.

Selain itu, kasus medikolegal dan kasus potensial menjadi kasus medikolegal, juga harus diselesaikan dari sisi profesi (etik dan disiplin) dengan tujuan untuk dijadikan pelajaran guna mencegah terjadinya pengulangan di masa mendatang, baik oleh pelaku yang sama ataupun oleh pelaku lain. Dalam proses tersebut dapat dilakukan pemberian sanksi (disiplin profesi atau administratif) untuk tujuan penjeraan, dapat pula tanpa pemberian sanksi tetapi memberlakukan koreksi atas faktor-faktor yang berkontribusi sebagai penyebab terjadinya kasus tersebut. Penyelesaian secara profesi umumnya lebih bersifat audit klinis, dan dapat dilakukan di tingkat institusi kesehatan setempat (misalnya berupa Rapat Komite Medis, konferensi kematian, presentasi kasus, audit klinis terstruktur, proses lanjutan dalam incident report system, dll), atau di tingkat yang lebih tinggi (misalnya dalam sidang Dewan Etik Perhimpunan Spesialis, MKEK, Makersi, MDTK, atau MKDKI).Pemberitaan kasus dugaan malpraktik

Pada dasarnya pemberitaan tentang kasus dugaan malpraktik harus mengikuti tata cara atau etika pemberitaan pada umumnya. Pemberitaan harus tetap menjaga azas praduga tak bersalah, dengan cara memberitakan kasus secara seimbang dari kedua pihak yang bersengketa. Lebih baik lagi apabila juga memuat pendapat dari narasumber yang kompeten di bidangnya. Pemberitaan harus menjauhi penghakiman seseorang oleh media massa, sehingga salah satu pihak dapat tercemar nama baiknya tanpa terlebih dahulu terbukti kesalahannya.

Pemberitaan kasus tentang layanan kedokteran juga harus memperhatikan privasi dan kerahasiaan pasien. Ijin dari pasien untuk diberitakan perihalnya di media massa sebaiknya diperoleh terlebih dahulu. Pemberi layanan kedokteran seringkali mengalami kesulitan untuk dapat memberikan informasi tentang peristiwa dugaan malpraktik, oleh karena penjelasan tentang kasus seringkali harus membuka rahasia kedokteran sehingga menghalanginya untuk berbicara terbuka.

Berita tentang kasus malpraktik yang berlebihan dapat mengakibatkan keresahan di kalangan pemberi layanan kedokteran, yang dampak lanjutannya dapat sangat negatif yaitu layanan kedokteran yang defensif (excessive defensive medicine). Dokter menjadi terlalu berhati-hati sehingga menggunakan berbagai pemeriksaan untuk mendiagnosis dan hanya berani melakukan terapi apabila diagnosis telah pasti dan tindakan terapinya mendekati kepastian keberhasilan. Layanan kedokteran menjadi terlalu mahal.

Dengan pemahaman tentang layanan kedokteran dan pengertian tentang malpraktik medis sebagai latar belakang keilmuan para wartawan, maka pemberitaan tentang kasus dugaan malpraktik dapat lebih mendalam, seimbang dan tidak menghakimi sebagaimana layaknya berita yang baik. Namun, berita tersebut harus masih dapat memenuhi keingintahuan masyarakat akan berita yang bermutu.Kesimpulan

Layanan kedokteran adalah suatu sistem yang kompleks dan rentan akan terjadinya kecelakaan, sehingga harus dilakukan dengan penuh hati-hati oleh orang-orang yang kompeten dan memiliki kewenangan khusus untuk itu, serta bersikap dan perilaku yang sesuai etika profesi dan standar profesi. Pemberitaan tentang kasus dugaan malpraktik medis diperlukan untuk pembelajaran bagi masyarakat, namun harus dilakukan sesuai dengan etika pemberitaan agar tidak menimbulkan dampak negatif yang berlebihan.

Kepustakaan LanjutanAHRQs Patient Safety Initiatives. http://www.ahrg.govCarroll R (ed). Risk Management Handbook for health care organizations. San Fransisco: Jossey-Bass, 2001Jones MA. Medical Negligence. London: Sweet & Maxwell, 1996.General Medical Council. Good Medical Practice. May 2001.Kitab Undang-Undang Hukum PerdataKitab Undang-Undang Hukum PidanaKohn LT, Corrigan JM, Donaldson MS (eds). To Err is Human, building a safer health system. Washington: National Academy Press, 2000Lens P and vander Wal G. Problem Doctors, a conspiracy of silence. Amsterdam:Jos Press, 1997Mann A. Medical Negligence Litigation, Medical Assessment of Claims. Redfern: International Business Communications Pty Ltd, 1989.McNair T. Medical Negligence. BBC Health, 28 January 2002.Peraturan Konsil Kedokteran Indonesia No 1 / 205 tentang Registrasi dokter dan dokter gigi.Peraturan Menteri Kesehatan No 1419/Menkes/Per/X/2005 tentang Penyelenggaraan praktik dokter dan dokter gigi.Pozgar GD. Legal Aspects of Health Care Administration. 8th ed, Gaithersburg: An Aspen Publ, 2002Schutte JE. Preventing Medical Malpractice Suits. Seattle: Hogrefe & Huber Publ, 1995Tan SY. The Medical Malpractice Epidemic in Singapore: Thoughts From Across the Sea. Singapore: Medico-legal Annual Seminar, 27-28 October 2001.Undang-Undang No 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran.Vincent C, Ennis M and Audley RJ. Medical Accident. Oxford: Oxford University Press, 1993.

_________________Don't ask what Iluni-FK'83 can do for you.Ask what you can do for Iluni-FK'83 !

Last edited by gitahafas on Sat Jun 26, 2010 8:49 pm; edited 1 time in total

gitahafasModerator

Number of posts: 9883Age: 52Location: JakartaRegistration date: 2008-09-30

Subject: Re: Hukum Kesehatan Sat Jun 26, 2010 5:37 am

link_forensik_ku.webs.com/hukumkesehatan.htm -Budi SampurnaDepartemen Ilmu Kedokteran Forensik dan MedikolegalFakultas Kedokteran Universitas IndonesiaJl Salemba Raya No 6 Jakarta Pusat

KELALAIAN MEDIKKelalaian medik adalah salah satu bentuk dari malpraktek medis, sekaligus merupakan bentuk malpraktek medis yang paling sering terjadi. Pada dasarnya kelalaian terjadi apabila seseorang melakukan sesuatu yang seharusnya tidak dilakukan atau tidak melakukan sesuatu yang seharusnya dilakukan oleh orang lain yang memiliki kualifikasi yang sama pada suatu keadaan dan situasi yang sama. Perlu diingat bahwa pada umumnya kelalaian yang dilakukan orang-per-orang bukanlah merupakan perbuatan yang dapat dihukum, kecuali apabila dilakukan oleh orang yang seharusnya (berdasarkan sifat profesinya) bertindak hati-hati, dan telah mengakibatkan kerugian atau cedera bagi orang lain.

Pengertian istilah kelalaian medik tersirat dari pengertian malpraktek medis menurut World Medical Association (1992), yaitu: medical malpractice involves the physicians failure to conform to the standard of care for treatment of the patients condition, or lack of skill, or negligence in providing care to the patient, which is the direct cause of an injury to the patient.

WMA mengingatkan pula bahwa tidak semua kegagalan medis adalah akibat malpraktek medis. Suatu peristiwa buruk yang tidak dapat diduga sebelumnya (unforeseeable) yang terjadi saat dilakukan tindakan medis yang sesuai standar tetapi mengakibatkan cedera pada pasien tidak termasuk ke dalam pengertian malpraktek. An injury occurring in the course of medical treatment which could not be foreseen and was not the result of the lack of skill or knowledge on the part of the treating physician is untoward result, for which the physician should not bear any liability.

UNSUR-UNSUR KELALAIANSebagaimana diuraikan di atas, di dalam suatu layanan medik dikenal gugatan ganti kerugian yang diakibatkan oleh kelalaian medik. Suatu perbuatan atau tindakan medis disebut sebagai kelalaian apabila memenuhi empat unsur di bawah ini.

1. Duty atau kewajiban tenaga medis untuk melakukan sesuatu tindakan medis atau untuk tidak melakukan sesuatu tindakan tertentu terhadap pasien tertentu pada situasi dan kondisi yang tertentu. Dasar dari adanya kewajiban ini adalah adanya hubungan kontraktual-profesional antara tenaga medis dengan pasiennya, yang menimbulkan kewajiban umum sebagai akibat dari hubungan tersebut dan kewajiban profesional bagi tenaga medis tersebut. Kewajiban profesional diuraikan di dalam sumpah profesi, etik profesi, berbagai standar pelayanan, dan berbagai prosedur operasional. Kewajiban-kewajiban tersebut dilihat dari segi hukum merupakan rambu-rambu yang harus diikuti untuk mencapai perlindungan, baik bagi pemberi layanan maupun bagi penerima layanan; atau dengan demikian untuk mencapai safety yang optimum.

2. Dereliction of the duty atau penyimpangan kewajiban tersebut. Dengan melihat uraian tentang kewajiban di atas, maka mudah buat kita untuk memahami apakah arti penyimpangan kewajiban. Dalam menilai kewajiban dalam bentuk suatu standar pelayanan tertentu, haruslah kita tentukan terlebih dahulu tentang kualifikasi si pemberi layanan (orang dan institusi), pada situasi seperti apa dan pada kondisi bagaimana. Suatu standar pelayanan umumnya dibuat berdasarkan syarat minimal yang harus diberikan atau disediakan (das sein), namun kadang-kadang suatu standar juga melukiskan apa yang sebaiknya dilakukan atau disediakan (das sollen). Kedua uraian standar tersebut harus hati-hati diinterpretasikan. Demikian pula suatu standar umumnya berbicara tentang suatu situasi dan keadaan yang normal sehingga harus dikoreksi terlebih dahulu untuk dapat diterapkan pada situasi dan kondisi yang tertentu. Dalam hal ini harus diperhatikan adanya Golden Rule yang menyatakan What is right (or wrong) for one person in a given situation is similarly right (or wrong) for any other in an identical situation.

3. Damage atau kerugian. Yang dimaksud dengan kerugian adalah segala sesuatu yang dirasakan oleh pasien sebagai kerugian akibat dari layanan kesehatan / kedokteran yang diberikan oleh pemberi layanan. Jadi, unsur kerugian ini sangat berhubungan erat dengan unsur hubungan sebab-akibatnya. Kerugian dapat berupa kerugian materiel dan kerugian immateriel. Kerugian yang materiel sifatnya dapat berupa kerugian yang nyata dan kerugian sebagai akibat kehilangan kesempatan. Kerugian yang nyata adalah real cost atau biaya yang dikeluarkan untuk perawatan / pengobatan penyakit atau cedera yang diakibatkan, baik yang telah dikeluarkan sampai saat gugatan diajukan maupun biaya yang masih akan dikeluarkan untuk perawatan / pemulihan. Kerugian juga dapat berupa kerugian akibat hilangnya kesempatan untuk memperoleh penghasilan (loss of opportunity). Kerugian lain yang lebih sulit dihitung adalah kerugian immateriel sebagai akibat dari sakit atau cacat atau kematian seseorang.

4. Direct causal relationship atau hubungan sebab akibat yang nyata. Dalam hal ini harus terdapat hubungan sebab-akibat antara penyimpangan kewajiban dengan kerugian yang setidaknya merupakan proximate cause.

5. Gugatan ganti rugi akibat suatu kelalaian medik harus membuktikan adanya ke-empat unsur di atas, dan apabila salah satu saja diantaranya tidak dapat dibuktikan maka gugatan tersebut dapat dinilai tidak cukup bukti.

DASAR HUKUMPasal 1365 KUH Perdata : tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian kepada seorang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut.

Pasal 1366 KUH Perdata : setiap orang bertanggung-jawa tidak saja untuk kerugian yang disebabkan perbuatannya, tetapi juga untuk kerugian yang disebabkan kelalaian atau kurang hati-hatiannya

Pasal 1367 KUH Perdata : seorang tidak saja bertanggungjawab untuk kerugian yang disebabkan perbuatannya sendiri, tetapi juga untuk kerugian yang disebabkan perbuatan orang-orang yang menjadi tanggungannya atau disebabkan oleh barang-barang yang berada di bawah pengawasannya.

Pasal 55 Undang-Undang No 23 tahun 1992 tentang Kesehatan : (1) setiap orang berhak atas ganti rugi akibat kesalahan atau kelalaian yang dilakukan tenaga kesehatan.

Pasal 1370 KUH Perdata : Dalam halnya suatu kematian dengan sengaja atau karena kurang hati-hatinya seorang, maka suami atau isteri yang ditinggalkan, anak atau orang tua si korban yang lazimnya mendapat nafkah dari pekerjaan si korban mempunyai hak menuntut suatu ganti rugi, yang harus dinilai menurut kedudukan dan kekayaan kedua belah pihak, serta menurut keadaan.

Pasal 1371 KUH Perdata : Penyebab luka atau cacatnya sesuatu anggota badan dengan sengaja atau karena kurang hati-hati memberikan hak kepada si korban untuk selain penggantian biaya-biaya penyembuhan, menuntut penggantian kerugian yang disebabkan oleh luka atau cacat tersebut. Juga penggantian kerugian ini dinilai menurut kedudukan dan kemampuan kedua belah pihak, dan menurut keadaan.

Pasal 1372 KUH Perdata : Tuntutan perdata tentang hal penghinaan adalah bertujuan mendapat penggantian kerugian serta pemulihan kehormatan dan nama baik.

Di bidang pidana juga ditemukan pasal-pasal yang menyangkut kelalaian, yaitu :Pasal 359 KUHP : Barangsiapa karena kesalahannya (kelalaiannya) menyebabkan orang lainmati, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana kurungan paling lama satu tahun.

Pasal 360 KUHP : (1) Barangsiapa karena kesalahannya (kelalaiannya) menyebabkan orang lain mendapat luka-luka berat, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana kurungan paling lama satu tahun. (2) Barangsiapa karena kesalahannya (kelalaiannya) menyebabkan orang lain luka-luka sedemikian rupa sehingga timbul penyakit atau halangan menjalankan pekerjaan jabatan atau pencarian selama waktu tertentu, diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau pidana kurungan paling lama enam bulan atau pidana denda paling tinggi empat ribu lima ratus rupiah.

Pasal 361 KUHP : Jika kejahatan yang diterangkan dalam bab ini dilakukan dalam menjalankan suatu jabatan atau pencarian, maka pidana ditambah dengan sepertiga dan yang bersalah dapat dicabut haknya untuk menjalankan pencarian dalam mana dilakukan kejahatan, dan hakim dapat memerintahkan supaya putusannya diumumkan.

Pembuktian adanya kewajiban dan adanya pelanggaran kewajibanDasar adanya kewajiban dokter adalah adanya hubungan kontraktual-profesional antara tenaga medis dengan pasiennya, yang menimbulkan kewajiban umum sebagai akibat dari hubungan tersebut dan kewajiban profesional bagi tenaga medis tersebut. Kewajiban profesional diuraikan di dalam sumpah profesi, etik profesi, berbagai standar pelayanan, dan berbagai prosedur operasional. Kewajiban-kewajiban tersebut dilihat dari segi hukum merupakan rambu-rambu yang harus diikuti untuk memperoleh perlindungan, baik bagi pemberi layanan maupun bagi penerima layanan; atau dengan demikian untuk mencapai safety yang optimum. UU no 29/2004 tentang Praktik Kedokteran menyatakan bahwa kewajiban utama dokter adalah memberikan pelayanan medis sesuai dengan standar profesi dan standar prosedur operasional serta kebutuhan medis pasien (pasal 51).

Dalam kaitannya dengan kelalaian medik, kewajiban tersebut berkaitan dengan kewajiban tenaga medis untuk melakukan sesuatu tindakan medis tertentu, atau untuk tidak melakukan sesuatu tindakan tertentu terhadap pasien tertentu pada situasi dan kondisi yang tertentu (due care).

Untuk dapat memperoleh kualifikasi sebagai dokter, setiap orang harus memiliki suatu kompetensi tertentu di bidang medik dengan tingkat yang tertentu pula, sesuai dengan kompetensi yang harus dicapainya selama menjalani pendidikan kedokterannya. Tingkat kompetensi tersebut bukanlah tingkat terrendah dan bukan pula tingkat tertinggi dalam kualifikasi tenaga medis yang sama, melainkan kompetensi yang rata-rata (reasonable competence) dalam populasi dokter.

Selanjutnya untuk dapat melakukan praktek medis, dokter tersebut harus memiliki kewenangan medis yang diperoleh dari penguasa di bidang kesehatan dalam bentuk ijin praktek. Kewenangan formil diperoleh dengan menerima surat penugasan (atau nantinya disebut sebagai Surat Tanda Registrasi), sedangkan kewenangan materiel diperoleh dengan memperoleh ijin praktek.

Seseorang yang memiliki kewenangan formil dapat melakukan tindakan medis di suatu sarana kesehatan yang sesuai dengan surat penugasannya di bawah supervisi pimpinan sarana kesehatan tersebut, atau bekerja sambil belajar di institusi pendidikan spesialisasi di bawah supervisi pendidiknya. Sedangkan seseorang yang memiliki kewenangan materiel memiliki kewenangan penuh untuk melakukan praktik medis di tempat praktiknya, karena SIP dokter menurut UU 29/2004 tentang Praktik Kedokteran hanya berlaku untuk satu tempat praktik. Namun demikian tidak berarti dokter tidak diperkenankan melakukan pertolongan atau tindakan medis di tempat lain di seluruh Indonesia.

Sikap dan tindakan yang wajib dilaksanakan oleh dokter diatur dalam berbagai standar. Setidaknya profesi memiliki 3 macam standar, yaitu standar kompetensi, standar perilaku dan standar pelayanan [1]. Standar kompetensi adalah yang biasa disebut sebagai standar profesi [2]. Standar berperilaku diuraikan dalam sumpah dokter, etik kedokteran dan standar perilaku IDI. Dalam bertindak di suatu sarana kesehatan tertentu, dokter diberi rambu-rambu sebagaimana diatur dalam standar prosedur operasi sarana kesehatan tersebut [3].

Menilai ada atau tidaknya penyimpangan berbagai kewajiban di atas dilakukan dengan membandingkan apa yang telah dikerjakan oleh tenaga medis tersebut (das sein) dengan apa yang seharusnya dilakukan (das sollen). Apa yang telah dikerjakan dapat diketahui dari rekam medis, sedangkan apa yang seharusnya dikerjakan terdapat di dalam berbagai standar. Tentu saja hal ini bisa dilaksanakan apabila di satu sisi rekam medis dibuat dengan akurat dan cukup lengkap sedangkan di sisi lainnya standar pelayanan juga tertulis cukup rinci. Dalam hal tidak ditemukan standar yang tertulis maka diminta peer-group untuk memberikan keterangan tentang apa yang seharusnya dilakukan pada situasi dan kondisi yang identik. Perlu diingat bahwa sesuatu standar seringkali berkaitan dengan kualifikasi si pemberi layanan (orang dan institusi), pada situasi seperti apa dan pada kondisi bagaimana kasus itu terjadi.

Demikian pula suatu standar umumnya berbicara tentang suatu situasi dan keadaan yang normal (pada clean case) sehingga harus dikoreksi terlebih dahulu untuk dapat diterapkan pada situasi dan kondisi yang tertentu. Banyak hal harus diperhitungkan disini, seperti bagaimana keadaan umum pasien dan faktor-faktor lain yang memberatkannya; adakah situasi kedaruratan tertentu, adakah keterbatasan sarana dan/atau kompetensi institusi, adakah keterbatasan waktu, dan lain-lain.

Dengan melihat uraian tentang kewajiban di atas, maka mudah buat kita untuk memahami apakah arti penyimpangan kewajiban. Dalam hal ini harus diperhatikan adanya Golden Rule yang menyatakan What is right (or wrong) for one person in a given situation is similarly right (or wrong) for any other in an identical situation.

Pembelaan dengan mengatakan bahwa tidak ada kewajiban pada pihak dokter hampir tidak mungkin dilakukan, oleh karena pada umumnya hubungan profesional antara dokter dengan pasien telah terbentuk. Sangat jarang kelalaian medis terjadi tanpa adanya hubungan dokter-pasien, seperti pada upaya pertolongan yang dilakukan dokter pada gawat darurat medik yang tidak pada sarana kesehatan. Dengan demikian pembelaan harus ditujukan kepada upaya pembuktian tidak adanya pelanggaran kewajiban yang dilakukan dokter.

Pada awalnya tentu saja dibuktikan terlebih dahulu adanya kompetensi dan kewenangan medik pada dokter pada peristiwa tersebut, demikian pula kompetensi dan kewenangan institusi kesehatan tempat terjadinya peristiwa.

Berikutnya dinilai apakah terdapat pelanggaran dokter terhadap kewajiban dokter mengikuti pasal-pasal dalam KUHP, UU Kesehatan dan peraturan perundang-undangan lain yang berkaitan dengan pelayanan kesehatan. Demikian pula pasal-pasal dalam sumpah dokter, etik kedokteran dan standar perilaku IDI, kecuali yang berkaitan dengan standar prosedur / standar pelayanan minimal.

Selanjutnya diidentifikasi semua data tentang peristiwa, sehingga peer group dapat menyusun standar prosedur operasional dan standar pelayanan medis yang dapat diberlakukan pada situasi dan kondisi yang identik dengan kasus yang dipertanyakan. Dalam hal ini, berbagai keterbatasan yang bersifat lokal dan common practice dapat menyimpangi standar profesi yang bersifat nasional, sepanjang penyimpangan tersebut masih dapat diterima ditinjau dari falsafah dan prinsip pelayanan medik serta state-of-the-art kedokteran.

[1] Yaitu pedoman yang harus diikuti oleh dokter dalam menyelenggarakan praktik kedokteran (Penjelasan ps 44 UU no 29/2004 tentang Praktik Kedokteran)

[2] yaitu batasan kemampuan (knowledge, skill dan professional attitude) minimal yang harus dikuasai oleh seorang individu untuk dapat melakukan kegiatan profesionalnya pada masyarakat secara mandiri, yang dibuat oleh organisasi profesi (Penjelasan ps 50 UU no 29/2004 tentang Praktik Kedokteran)

[3] yaitu perangkat instruksi / langkah-langkah yang dibakukan untuk menyelesaikan suatu proses kerja rutin tertentu, yang memberikan langkah yang benar dan terbaik berdasarkan konsensus bersama untuk melaksanakan berbagai kegiatan dan fungsi pelayanan yang dibuat oleh sarana pelayanan kesehatan berdasarkan standar profesi.

Pembuktian adanya kerugian dan kausalitasPada prinsipnya terdapat dua jenis kerugian yang menjadi landasan gugatan ganti rugi tersering kepada pemberi layanan jasa, yaitu yang pertama merupakan kerugian sebagai akibat langsung (atau setidaknya proximate cause) dari suatu kelalaian; dan jenis yang kedua adalah kerugian sebagai akibat dari pemberian jasa yang tidak sesuai dengan perjanjian (wanprestasi). Dalam kaitannya dengan layanan jasa kedokteran juga dikenal kerugian akibat peristiwa lain, yaitu misalnya kerugian akibat tindakan tanpa persetujuan, kerugian akibat penelantaran, kerugian akibat pembukaan rahasia kedokteran, kerugian akibat penggunaan alat kesehatan atau obat yang defek, dan kerugian akibat tiadanya peringatan pada pemberian jasa yang berbahaya.

Di dalam pelayanan kesehatan dan kedokteran umumnya tidak dikenal adanya perjanjian tentang hasil atas pemberian jasa kedokteran (perikatan pelayanan kedokteran bukan bersifat resultaatsverbintennis), sehingga kerugian akibat hasil layanan jasa yang tidak sesuai dengan perjanjian (wanprestasi) pun jarang ditemukan di dalam gugatan sengketa hukum di bidang medik. Demikian pula gugatan ganti rugi akibat peristiwa-peristiwa lain di atas jarang ditemukan dalam praktek sehari-hari. Oleh karena itu dalam makalah ini hanya akan dibicarakan tentang kerugian akibat kelalaian medik.

Sementara itu, kerugian akibat pemberian suatu barang (produk medik atau obat-obatan dan gizi medik) masih merupakan kerugian yang dapat dimintakan penggantiannya, terutama kepada institusi penyelenggara pelayanan.

Pada prinsipnya suatu kerugian adalah sejumlah uang tertentu yang harus diterima oleh pasien sebagai kompensasi agar ia dapat kembali ke keadaan semula seperti sebelum terjadinya sengketa medik. Tetapi hal itu sukar dicapai pada kerugian yang berbentuk kecederaan atau kematian seseorang. Oleh karena itu kerugian tersebut harus dihitung sedemikian rupa sehingga tercapai jumlah yang layak (reasonable atau fair). Suatu kecederaan sukar dihitung dalam bentuk finansial, berapa sebenarnya kerugian yang telah terjadi, apalagi apabila diperhitungkan pula tentang fungsi yang hilang atau terhambat dan ada atau tidaknya cedera psikologis.

Sebagaimana telah diuraikan di atas, kerugian atau damages dapat diklasifi-kasikan sebagai berikut :1. Kerugian immateriel (general damages, non pecuniary losses)2. Kerugian materiel (special damages, pecuniary losses) :1. Kerugian akibat kehilangan kesempatan2. Kerugian nyata :i. Biaya yang telah dikeluarkan hingga saat penggugatanii. Biaya yang akan dikeluarkan sesudah saat penggugatan

Ditinjau dari segi kompensasinya, kerugian dapat diklasifikasikan sebagai berikut :1. Kompensasi untuk kecederaan yang terjadi (compensation for injuries, yaitu kerugian yang bersifat immateriel)a. Sakit dan penderitaanb. Kehilangan kesenangan/kenikmatan (amenities)c. Kecederaan fisik dan / atau psikiatris

2. Kompensasi untuk pengeluaran tambahan (compensation for additional expenses, real cost)a. Pengeluaran untuk perawatan rumah sakitb. Pengeluaran untuk biaya medis lainc. Pengeluaran untuk perawatan

3. Kompensasi untuk kerugian lain yang foreseeable (compensation for other foreseeable loss, yaitu kerugian akibat kehilangan kesempatan)a. Kehilangan penghasilanb. Kehilangan kapasitas mencari nafkah

Kerugian-kerugian di atas umumnya ditagihkan satu kali, yaitu pada saat diajukannya gugatan. Kerugian, meskipun dapat terjadi berkepanjangan, tidak dapat digugatkan berkali-kali. Oleh karena itu penggugat harus menghitung secara cermat berapa kerugiannya, kini dan yang akan datang. Cara pembayarannya dapat saja berupa pembayaran tunai sekaligus, tetapi dapat pula diangsur hingga satuan waktu tertentu yang disepakati kedua pihak (structured settlement). Pembayaran berjangka tersebut dapat dibebani dengan bunga. Bunga tidak dapat dibebankan kepada kerugian yang akan datang, sedangkan kerugian yang sudah terjadi termasuk kerugian yang non pecuniary dapat diberi bunga yang besarnya reasonable.

Misalnya pada kasus diamputasinya tungkai kanan seseorang yang diduga sebagai akibat dari kelalaian dokter dalam menangani patah tulang paha kanannya akibat kecelakaan lalu-lintas, maka kerugian berupa biaya yang digugatkan kepadanya dapat dirinci sebagai berikut : biaya perawatan medis sejak masuk rumah sakit hingga selesainya terapi pasca-operasi termasuk biaya non medis yang terjadi sebagai akibat dari perawatan rumah sakit (transport, peralatan khusus, perawat pada home care, dll); biaya pemulihan fungsi tungkai kanan tersebut yang masih akan dibutuhkan (fisioterapi, kaki palsu, dll); kerugian akibat kehilangan penghasilan selama ia tidak bisa bekerja; kerugian sebagai akibat dari kehilangan kapasitas bekerja apabila pekerjaan semula atau profesinya secara umum membutuhkan adanya tungkai kanan, serta kerugian immateriel sebagai akibat dari sakit dan penderitaannya.

Semua biaya nyata (real cost) mudah dihitung, baik yang telah dikeluarkan maupun yang akan dikeluarkan. Kerugian akibat kehilangan kesempatan agak lebih sulit dihitungnya, karena kerugian tersebut sebenarnya bersifat prediktif dengan tidak pasti atau dengan tingkat ketepatan yang tidak dapat ditentukan. Selain itu juga tidak dapat diperkirakan sampai berapa lama kehilangan kesempatan tersebut dapat diperhitungkan (berkaitan dengan panjang usia yang akan dicapai dan kemampuan bekerjanya secara umum). Lebih sulit lagi dihitungnya adalah kerugian immateriel.Undang-undang hanya memberi rambu-rambu sebagaimana diuraikan dalam pasal 1370 dan 1371 KUH Perdata, yaitu harus mempertimbangkan kedudukan, kemampuan dan keadaan kedua belah pihak. Penggugat tentu saja akan memperhitungkan kerugian tersebut berdasarkan kedudukan, kemampuan dan keadaan sosial-ekonomi penggugat; yang tentu saja belum tentu sesuai dengan pihak tergugat (dokter). Dalam hal ini tentu akan terjadi semacam tawar-menawar tentang besarnya ganti rugi. Apabila perkara ini diajukan ke pengadilan perdata, maka hakim pada akhirnya akan mengambil keputusan jumlah ganti rugi tersebut, dengan mempertimbangkan kemampuan dan keadaan kedua pihak.

Peranan Rekam MedisSeorang dokter mungkin saja telah bersikap dan berkomunikasi dengan baik, membuat keputusan medik dengan cemerlang dan/atau telah melakukan tindakan diagnostik dan terapi yang sesuai standar; namun kesemuanya tidak akan memiliki arti dalam pembelaannya apabila tidak ada rekam medis yang baik. Rekam medis yang baik adalah rekam medis yang memuat semua informasi yang dibutuhkan, baik yang diperoleh dari pasien, pemikiran dokter, pemeriksaan dan tindakan dokter, komunikasi antar tenaga medis / kesehatan, informed consent, dll informasi lain yang dapat menjadi bukti di kemudian hari yang disusun secara berurutan kronologis. Sebuah adagium mengatakan good record good defence, bad record bad defence, and no record no defence

Biasanya kata kunci yang sering digunakan oleh para hakim adalah (1) bahwa kewajiban profesi dokter adalah memberikan layanan dengan tingkat pengetahuan dan ketrampilan yang normalnya diharapkan akan dimiliki oleh rata-rata dokter pada situasi-kondisi yang sama, (2) bahwa tindakan dokter adalah masih reasonable, dan didukung oleh alasan penalaran yang benar, (3) bahwa dokter harus memperoleh informed consent untuk tindakan diagnostik / terapi yang ia lakukan, dan (4) bahwa dokter harus membuat rekam medis yang baik.

Rekam medis dapat digunakan sebagai alat pembuktian adanya kelalaian medis, namun juga dapat digunakan untuk membuktikan bahwa seluruh proses penanganan dan tindakan medis yang dilakukan dokter dan tenaga kesehatan lainnya sesuai dengan standar profesi dan standar prosedur operasional atau berarti bahwa kelalaian medis tersebut tidak terjadi.

Rekam medis adalah suatu dokumen yang berisikan informasi tentang apa yang telah terjadi pada pasien selama ia dalam perawatan. Rekam medis yang baik tentu saja harus akurat, benar dan tepat waktu, sehingga dapat digunakan sebagai bukti di depan hukum.

Rekam medis juga memperlihatkan apa yang telah dilakukan para pemberi layanan kesehatan (das sein) yang dapat dibandingkan dengan apa yang seharusnya dilakukan sebagaimana tertera dalam standar profesi dan standar prosedur operasional (das sollen) yang merupakan pembuktian ada atau tidaknya pelanggaran kewajiban dan ada atau tidaknya kerugian yang diakibatkannya.

KEPUSTAKAAN1. Buckley WR. Torts and Personal Injury Law. New York : Delmar Publishers, 19932. Elliot C and Quinn F. Tort Law. Second edition. Essex: Pearson Education Limited, 1999.3. Hart HLA and Honore AM. Causation in the Law. London: Oxford University Press, 19624. Jackson JP (ed). A Practical Guide to Medicine and the Law. London: Springer-Verlag, 19915. Jones MA. Medical Negligence. London: Sweet & Maxwell, 1996.6. Mann A. Medical Negligence Litigation, Medical Assessment of Claims. Redfern: International Business Communications Pty Ltd, 1989.7. Subekti dan Tjitrosudibio. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Edisi revisi, Jakarta : Pradnya Paramita, 1995.8. Soenarto Soerodibroto. KUHP dan KUHAP, Dilengkapi Yurisprudensi Mahkamah Agung dan Hoge Raad. Edisi keempat. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1994.9. Tan SY. The Medical Malpractice Epidemic in Singapore: Thoughts from Across the sea. In Medicolegal Annual Seminar 2001, Singapore: 27-28 October 2001.10. Undang-Undang No 23 tahun 1992 tentang Kesehatan11. Undang-Undang No 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran

_________________Don't ask what Iluni-FK'83 can do for you.Ask what you can do for Iluni-FK'83 !

Last edited by gitahafas on Sat Jun 26, 2010 8:49 pm; edited 1 time in total

gitahafasModerator

Number of posts: 9883Age: 52Location: JakartaRegistration date: 2008-09-30

Subject: Re: Hukum Kesehatan Sat Jun 26, 2010 5:39 am

link_forensik_ku.webs.com/hukumkesehatan.htm -Budi SampurnaDepartemen Ilmu Kedokteran Forensik dan MedikolegalFaultas Kedokteran Universitas IndonesiaJl. Salemba Raya No 6 Jakarta PusatTelp: 3106976. Fax: 3154626Malpraktek Kedokteran

MALPRAKTIK KEDOKTERANAkhir-akhir ini tuntutan hukum yang diajukan oleh pasien atau keluarganya kepada pihak rumah sakit dan atau dokternya semakin meningkat kekerapannya. Tuntutan hukum tersebut dapat berupa tuntutan pidana maupun perdata, dengan hampir selalu mendasarkan kepada teori hukum kelalaian. Dalam bahasa sehari-hari, perilaku yang dituntut adalah malpraktek medis, yang merupakan sebutan genus dari kelompok perilaku profesional medis yang menyimpang dan mengakibatkan cedera, kematian atau kerugian bagi pasiennya.

Blacks Law Dictionary mendefinisikan malpraktek sebagai professional misconduct or unreasonable lack of skill atau failure of one rendering professional services to exercise that degree of skill and learning commonly applied under all the circumstances in the community by the average prudent reputable member of the profession with the result of injury, loss or damage to the recipient of those services or to those entitled to rely upon them(bahasa mudahnya: lalai).

Dari segi hukum, di dalam definisi di atas dapat ditarik pemahaman bahwa malpraktek dapat terjadi karena tindakan yang disengaja (intentional) seperti pada misconduct tertentu, tindakan kelalaian (negligence), ataupun suatu kekurang-mahiran / ketidak-kompetenan yang tidak beralasan. Malpraktek dapat dilakukan oleh profesi apa saja, tidak hanya oleh dokter. Profesional di bidang hukum, perbankan dan akuntansi adalah beberapa profesional lain di luar kedokteran yang dapat ditunjuk sebagai pelaku malpraktek dalam pekerjaannya masing-masing.

Professional misconduct yang merupakan kesengajaan dapat dilakukan dalam bentuk pelanggaran ketentuan etik, ketentuan disiplin profesi, hukum administratif, serta hukum pidana dan perdata, seperti melakukan kesengajaan yang merugikan pasien, fraud, penahanan pasien, pelanggaran wajib simpan rahasia kedokteran, aborsi ilegal, euthanasia, penyerangan seksual, misrepresentasi atau fraud, keterangan palsu, menggunakan iptekdok yang belum teruji / diterima, berpraktek tanpa SIP, berpraktek di luar kompetensinya, dll.

Kelalaian dapat terjadi dalam 3 bentuk, yaitu malfeasance, misfeasance dan nonfeasance. Malfeasance berarti melakukan tindakan yang melanggar hukum atau tidak tepat/layak (unlawful atau improper), misalnya melakukan tindakan medis tanpa indikasi yang memadai (pilihan tindakan medis tersebut sudah improper). Misfeasance berarti melakukan pilihan tindakan medis yang tepat tetapi dilaksanakan dengan tidak tepat (improper performance), yaitu misalnya melakukan tindakan medis dengan menyalahi prosedur. Nonfeasance adalah tidak melakukan tindakan medis yang merupakan kewajiban baginya. Bentuk-bentuk kelalaian di atas sejalan dengan bentuk-bentuk error (mistakes, slips and lapses) yang telah diuraikan sebelumnya, namun pada kelalaian harus memenuhi ke-empat unsur kelalaian dalam hukum khususnya adanya kerugian, sedangkan error tidak selalu mengakibatkan kerugian. Demikian pula adanya latent error yang tidak secara langsung menimbulkan dampak buruk (lihat pula bagan 1).

Kelalaian medik adalah salah satu bentuk dari malpraktek medis, sekaligus merupakan bentuk malpraktek medis yang paling sering terjadi. Pada dasarnya kelalaian terjadi apabila seseorang dengan tidak sengaja, melakukan sesuatu (komisi) yang seharusnya tidak dilakukan atau tidak melakukan sesuatu (omisi) yang seharusnya dilakukan oleh orang lain yang memiliki kualifikasi yang sama pada suatu keadaan dan situasi yang sama. Perlu diingat bahwa pada umumnya kelalaian yang dilakukan orang-per-orang bukanlah merupakan perbuatan yang dapat dihukum, kecuali apabila dilakukan oleh orang yang seharusnya (berdasarkan sifat profesinya) bertindak hati-hati, dan telah mengakibatkan kerugian atau cedera bagi orang lain.

Pengertian istilah kelalaian medik tersirat dari pengertian malpraktek medis menurut World Medical Association (1992), yaitu: medical malpractice involves the physicians failure to conform to the standard of care for treatment of the patients condition, or lack of skill, or negligence in providing care to the patient, which is the direct cause of an injury to the patient.

WMA mengingatkan pula bahwa tidak semua kegagalan medis adalah akibat malpraktek medis. Suatu peristiwa buruk yang tidak dapat diduga sebelumnya (unforeseeable) yang terjadi saat dilakukan tindakan medis yang sesuai standar tetapi mengakibatkan cedera pada pasien tidak termasuk ke dalam pengertian malpraktek atau kelalaian medik. An injury occurring in the course of medical treatment which could not be foreseen and was not the result of the lack of skill or knowledge on the part of the treating physician is untoward result, for which the physician should not bear any liability. Dengan demikian suatu akibat buruk yang unforeseeable dipandang dari iptekdok saat itu dalam situasi dan fasilitas yang tersedia tidak dapat dipertanggung-jawabkan kepada dokter.

Tinjauan tentang adverse eventsLayanan kedokteran adalah suatu sistem yang kompleks dengan sifat hubungan antar komponen yang ketat (complex and tightly coupled)[1], khususnya di ruang gawat darurat, ruang bedah dan ruang rawat intensif. Sistem yang kompleks umumnya ditandai dengan spesialisasi dan interdependensi. Dalam suatu sistem yang kompleks, satu komponen dapat berinteraksi dengan banyak komponen lain, kadang dengan cara yang tak terduga atau tak terlihat. Semakin kompleks dan ketat suatu sistem akan semakin mudah terjadi kecelakaan (prone to accident), oleh karena itu praktik kedokteran haruslah dilakukan dengan tingkat kehati-hatian yang tinggi.

Setiap tindakan medis mengandung risiko buruk, sehingga harus dilakukan tindakan pencegahan ataupun tindakan mereduksi risiko. Namun demikian sebagian besar diantaranya tetap dapat dilakukan oleh karena risiko tersebut dapat diterima (acceptable) sesuai dengan state-of-the-art ilmu dan teknologi kedokteran. Risiko yang dapat diterima adalah risiko-risiko sebagai berikut:

1. Risiko yang derajat probabilitas dan keparahannya cukup kecil, dapat diantisipasi, diperhitungkan atau dapat dikendalikan, misalnya efek samping obat, perdarahan dan infeksi pada pembedahan, dll.

2. Risiko yang derajat probabilitas dan keparahannya besar pada keadaan tertentu, yaitu apabila tindakan medis yang berrisiko tersebut harus dilakukan karena merupakan satu-satunya cara yang harus ditempuh (the only way), terutama dalam keadaan gawat darurat.

Kedua jenis risiko di atas apabila terjadi bukan menjadi tanggung-jawab dokter sepanjang telah diinformasikan kepada pasien dan telah disetujui (volenti non fit injuria). Pada situasi seperti inilah manfaat pelaksanaan informed consent.

Dengan adverse events diartikan sebagai setiap cedera yang lebih disebabkan karena manajemen kedokteran daripada akibat penyakitnya, sedangkan adverse event yang disebabkan suatu error adalah bagian dari preventable adverse events. Error sendiri diartikan sebagai kegagalan melaksanakan suatu rencana tindakan (error of execution; lapses dan slips) atau penggunaan rencana tindakan yang salah dalam mencapai tujuan tertentu (error of planning; mistakes). Di dalam kedokteran, semua error dianggap serius karena dapat membahayakan pasien.

Suatu hasil yang tidak diharapkan di bidang medik sebenarnya dapat diakibatkan oleh beberapa kemungkinan, yaitu (lihat bagan 1):

a. Hasil dari suatu perjalanan penyakitnya sendiri, tidak berhubungan dengan tindakan medis yang dilakukan dokter.

b. Hasil dari suatu risiko yang tak dapat dihindari, yaitu risiko yang tak dapat diketahui sebelumnya (unforeseeable); atau risiko yang meskipun telah diketahui sebelumnya (foreseeable) tetapi dianggap acceptable, sebagaimana telah diuraikan di atas.

c. Hasil dari suatu kelalaian medik.

d. Hasil dari suatu kesengajaan.

Guna menilai bagaimana kontribusi manusia dalam suatu error dan dampaknya, perlu dipahami perbedaan antara active errors dan latent errors. Active errors terjadi pada tingkat operator garis depan dan dampaknya segera dirasakan, sedangkan latent errors cenderung berada di luar kendali operator garis depan, seperti desain buruk, instalasi yang tidak tepat, pemeliharaan yang buruk, kesalahan keputusan manajemen, dan struktur organisasi yang buruk (lihat bagan 2).

Latent error merupakan ancaman besar bagi keselamatan (safety) dalam suatu sistem yang kompleks, oleh karena sering tidak terdeteksi dan dapat mengakibatkan berbagai jenis active errors. Sebagai contoh adalah sistem pendidikan dokter spesialis yang mahal, pembolehan dokter bekerja pada banyak rumah sakit, tidak adanya sistem yang menjaga akuntabilitas profesi (lihat pula bagan di bawah) adalah latent errors yang tidak terasa sebagai error, namun sebenarnya merupakan akar dari kesalahan manajemen yang telah banyak menimbulkan unsafe conditions dalam praktek kedokteran di lapangan. Bila satu saat unsafe conditions ini bertemu dengan suatu unsafe act (active error), maka terjadilah accident. Dalam hal ini perlu kita pahami bahwa penyebab suatu accident bukanlah single factor melainkan multiple factors.

Umumnya kita merespons suatu error dengan berfokus pada active error-nya dengan memberikan hukuman kepada individu pelakunya, retraining dan lain-lain yang bertujuan untuk mencegah berulangnya active errors. Meskipun hukuman seringkali bermanfaat pada kasus tertentu (pada mistakes yang timbul karena kesengajaan), namun sebenarnya tidak cukup efektif. Memfokuskan perhatian kepada active errors akan membiarkan latent errors tetap ada di dalam sistem, atau bahkan mungkin akan terakumulasi, sehingga sistem tersebut semakin mungkin mengalami kegagalan di kemudian hari.

Pendapat yang mengatakan bahwa kecelakaan dapat dicegah dengan desain organisasi dan manajemen yang baik akhir-akhir ini sangat dipercaya kebenarannya. Konsep safety (dalam hal ini patient safety), yang pada mulanya diberlakukan di dalam dunia penerbangan, akhir-akhir ini diterapkan oleh Institute of Medicine di Amerika (dan institusi serupa di negara-negara lain). Keselamatan pasien diartikan sebagai penghindaran, pencegahan dan perbaikan terjadinya adverse events atau freedom from accidental injury. Keselamatan tidak terdapat pada diri individu, peralatan ataupun bagian (departemen, unit), melainkan muncul dari interaksi komponen-komponen dalam sistem. Berasal dari pemahaman ini muncullah konsep human factors yang mempelajari hubungan antar manusia, peralatan yang mereka gunakan dan lingkungan dimana mereka hidup dan bekerja.

Implikasi HukumTuntutan pidana yang ditujukan kepada dokter dan atau rumah sakit dapat merupakan akibat tindak pidana yang diatur dalam KUHP maupun di dalam ketentuan pidana UU lainnya. Sebagian diantaranya dimasukkan ke dalam tindak pidana malpraktek medis dalam bahasan ini, yaitu pidana-pidana yang dicakup di dalam pengertian malpraktek medis di atas, baik berupa tindak kesengajaan (professional misconducts) ataupun akibat kelalaian.

Jenis pidana yang paling sering dituntutkan kepada dokter adalah pidana kelalaian yang mengakibatkan luka (pasal 360 KUHP), atau luka berat atau mati (pasal 359 KUHP), yang dikualifikasikan dengan pemberatan ancaman pidananya bila dilakukan dalam rangka melakukan pekerjaannya (pasal 361 KUHP). Sedangkan pidana lain yang bukan kelalaian yang mungkin dituntutkan adalah pembuatan keterangan palsu (pasal 267-268 KUHP), aborsi ilegal (pasal 349 KUHP jo pasal 347 dan 348 KUHP), penipuan dan misrepresentasi (pasal 382 bis), pidana perpajakan (pasal 209 atau 372 KUHP), pencemaran lingkungan hidup (pasal 42 dan 43 UU Pengelolaan Lingkungan Hidup), euthanasia (pasal 344 KUHP), penyerangan seksual (pasal 284-294 KUHP), dan lain-lain.

Gugatan perdata dalam bentuk ganti rugi dapat diajukan dengan mendasarkan kepada salah satu dari 3 teori di bawah ini, yaitu :

1. Kelalaian sebagaimana pengertian di atas dan akan diuraikan kemudian

2. Perbuatan melanggar hukum, yaitu misalnya melakukan tindakan medis tanpa memperoleh persetujuan, membuka rahasia kedokteran tentang orang tertentu, penyerangan privacy seseorang, dan lain-lain.

3. Wanprestasi, yaitu pelanggaran atas janji atau jaminan. Gugatan ini sukar dilakukan karena umumnya dokter tidak menjanjikan hasil dan perjanjian tersebut, seandainya ada, umumnya sukar dibuktikan karena tidak tertulis.

Suatu perbuatan atau sikap tenaga medis dianggap lalai apabila memenuhi empat unsur di bawah ini, yaitu :

1. Duty atau kewajiban tenaga medis untuk melakukan sesuatu tindakan atau untuk tidak melakukan sesuatu tindakan tertentu terhadap pasien tertentu pada situasi dan kondisi yang tertentu.

2. Dereliction of the duty atau penyimpangan kewajiban tersebut.

3. Damage atau kerugian, yaitu segala sesuatu yang dirasakan oleh pasien sebagai kerugian akibat dari layanan kesehatan / kedokteran yang diberikan oleh pemberi layanan.

4. Direct causal relationship atau hubungan sebab akibat yang nyata. Dalam hal ini harus terdapat hubungan sebab-akibat antara penyimpangan kewajiban dengan kerugian yang setidaknya merupakan proximate cause.

Selanjutnya, oleh karena teori kelalaian adalah dasar penuntutan yang tersering digunakan, baik pada tuntutan pidana maupun pada gugatan perdata, maka upaya meminimalisasi tuntutan di rumah sakit harus ditujukan kepada upaya menurunkan kemungkinan terjadinya kelalaian medis, atau bahkan mengurangi kemungkinan terjadinya preventable adverse events yang disebabkan oleh medical errors.

Tanggung-jawab profesi dan tanggung-jawab rumah sakitDokter yang bekerja di suatu rumahsakit dapat memiliki hubungan administratif yang bervariasi dengan rumahsakit tersebut. Di rumahsakit, seorang dokter dapat berstatus sebagai (a) pegawai negeri yang dipekerjakan atau ditempatkan di rumahsakit pemerintah, atau berstatus (b) pegawai swasta dari perusahaan pemilik rumahsakit swasta tersebut, atau sebagai (c) pegawai tetap rumahsakit, atau sebagai (d) tenaga kerja (purnawaktu) berdasar kontrak untuk waktu tertentu, atau sebagai (e) tenaga kerja berdasar kontrak untuk melakukan pelayanan kedokteran tertentu secara paruh waktu, atau sebagai (f) dokter tamu. Jenis hubungan tersebut sangat mempengaruhi hak dan kewajiban diantara kedua pihak dan tanggung-jawabnya kepada pihak ketiga.

Bentuk hubungan (a), (b) dan (c) umumnya dianggap serupa, dengan menyebutnya sebagai dokter tetap atau pegawai tetap. Status pegawai negeri sebenarnya tidak sama benar dengan pegawai tetap yang lain karena pegawai negeri diatur dengan hukum publik (UU Kepegawaian) sedangkan pegawai tetap lain diatur dengan hukum sipil / perdata (hukum perburuhan / ketenagakerjaan).

Bentuk hubungan (d) memiliki hubungan kerja yang tegas sebagai pegawai purna waktu untuk waktu tertentu dan dilindungi oleh hukum perjanjian dan hukum perburuhan. Hak dan kewajiban kedua pihak ditentukan oleh kedua pihak dalam perjanjian, namun tetap dilindungi oleh rambu-rambu yang dibuat oleh Permenaker No: Per-02/Men/1993.

Hubungan kerja berdasarkan kontrak paruh waktu tidak diatur oleh hukum perburuhan, melainkan oleh hukum perjanjian (perdata). Oleh karena itu hak dan kewajibannya bebas ditentukan oleh kedua pihak sepanjang tidak melanggar hukum, ketertiban umum dan kesusilaan (ps 1337 KUH Per). Hingga saat ini banyak dokter yang bekerja di rumahsakit tanpa didasari oleh suatu perjanjian (kontrak), meskipun ketentuan tentang rumah sakit mengharuskan dibuatnya kontrak antara rumahsakit dengan dokter. Kontrak diperlukan untuk menghindari terjadinya perlakuan sewenang-wenang oleh pihak yang sedang berada di atas angin.

Seluruh dokter tersebut di atas mempunyai hubungan kerja dengan rumahsakit, sehingga dengan sendirinya dalam melakukan pekerjaannya di rumahsakit berkewajiban mengikuti standar prosedur dan hospital bylaws. Ikatan kerja dengan rumah sakit tidak mengakibatkan hilangnya kebebasan profesi para dokter, dalam arti bahwa sebenarnya para dokter jua-lah yang membentuk standar prosedur yang diberlakukan di rumahsakit dan mereka juga tetap berwenang mengembangkan professional judgment mereka dalam menangani kasus-kasus tertentu.

Berbeda dengan status dokter-dokter yang diuraikan di atas, dokter tamu (f) tidak memiliki hubungan kerja dengan rumahsakit; melainkan hanya hubungan perjanjian peminjaman fasilitas rumahsakit untuk dapat dipergunakan oleh dokter tamu dalam rangka merawat pasiennya di rumahsakit tersebut. Oleh karena itu dokter tamu dianggap sebagai dokter yang independen.

Dalam hal tanggung-jawab hukum perdata, rumahsakit sebagai badan hukum bertanggung-jawab sebagai satu entity (korporasi) dan juga bertanggung-jawab atas tindakan orang-orang yang bekerja di dalamnya (respondeat superior) sebagaimana diatur dalam ps 1365 - 1367 KUH Perdata. Tanggung-jawab ini tidak hanya untuk medical / professional liability, melainkan juga untuk public liability-nya.

Di Amerika Serikat, rumah sakit bertanggung-jawab perdata secara penuh bagi para dokter yang bekerja sebagai employee. Bagi dokter yang bekerja sebagai independent-contractor, rumah sakit berbagi tanggung-jawab dengan dokter tersebut, sesuai dengan perjanjian diantara keduanya.

Dahulu berlaku pendapat bahwa rumahsakit tidak bertanggung-jawab atas perbuatan dokter paruh waktu, namun berdasarkan teori apparent or ostensible agency (pasien menganggap semua orang yang bekerja di rumahsakit adalah agen dari rumahsakit), teori reliance (pasien mengacu lebih ke arah rumahsakit sebagai pemberi pelayanan ketimbang dokternya), dan teori non delegable duty (bahwa kewajiban menyelenggarakan berbagai pelayanan kedokteran adalah kewajiban rumahsakit yang tak dapat didelegasikan), maka rumahsakit juga bertanggung-jawab atas perbuatan dokter paruh waktu (vicarious liability).

Rumahsakit tidak bertanggung-jawab atas perbuatan dokter tamu oleh karena dokter tamu adalah profesional yang independen. Pasien yang ditangani juga bukan pasien rumahsakit melainkan pasien dokter tamu tersebut. Perbuatan para karyawan rumahsakit yang bekerja untuk dokter tamu tersebut ditanggung oleh dokter tamu berdasarkan doktrin borrowed servants.

Selain bertanggungjawab sebagai akibat dari respondeat superior atau vicarious liability di atas, rumah sakit juga bertanggungjawab sendiri atas kerugian yang diakibatkan oleh kebijakan, peraturan dan fasilitas rumah sakit. Tanggungjawab ini tidak hanya terbatas kepada tanggungjawab di bidang medikolegal, melainkan juga di bidang public liability.

Pencegahan ErrorsAgency for Healthcare Research and Quality (AHRQ), dalam rangka memaksimalkan patient safety, menyatakan bahwa terdapat beberapa elemen yang harus dilakukan oleh rumah sakit untuk mencegah medical errors, yaitu: [1]

1. Mengubah budaya organisasi ke arah budaya yang berorientasi kepada keselamatan pasien. Perubahan ini terutama ditujukan kepada seluruh sistem sumber daya manusia dari sejak perekrutan (kredensial), supervisi dan disiplin. Rasa malu dalam melaporkan suatu kesalahan dan kebiasaan menghukum pelakunya harus dikikis habis agar staf rumah sakit dengan sukarela melaporkan kesalahan kepada manajemen dan atau komite medis, sehingga pada akhirnya dapat diambil langkah-langkah pencegahan kejadian serupa di kemudian hari.

2. Melibatkan pimpinan kunci di dalam program keselamatan pasien, dalam hal ini manajemen dan komite medik. Komitmen pimpinan dibutuhkan dalam menjalankan program-program manajemen risiko, termasuk ronde rutin bersama ke unit-unit klinik.

3. Mendidik para profesional di rumah sakit di bidang pemahamannya tentang keselamatan pasien dan bagaimana mengidentifikasi errors, serta upaya-upaya meningkatkan keselamatan pasien.

4. Mendirikan Komisi Keselamatan Pasien di rumah sakit yang beranggotakan staf interdisiplin dan bertugas mengevaluasi laporan-laporan yang masuk, mengidentifikasi petunjuk adanya kesalahan, mengidentifikasi dan mengembangkan langkah koreksinya.

5. Mengembangkan dan mengadopsi Protokol dan Prosedur yang aman.

6. Memantau dengan hati-hati penggunaan alat-alat medis agar tidak menimbulkan kesalahan baru.

Elemen-elemen di atas diterapkan bersama-sama dengan menerapkan manajemen risiko yang bertujuan mengurangi atau menyingkirkan risiko.

Pemahaman manajemen risiko sangat bergantung kepada sudut pandangnya. Dari segi bisnis dan industri asuransi, manajemen risiko cenderung untuk diartikan sepihak, yaitu untuk tujuan meningkatkan keuntungan bisnis dan pemegang sahamnya. Dalam bidang kesehatan dan keselamatan lebih diartikan sebagai pengendalian risiko salah satu pihak (pasien atau masyarakat) oleh pihak yang lain (pemberi layanan). Sementara di dalam suatu komunitas pemberi layanan kesehatan itu sendiri, yaitu pengelola rumah sakit dan para dokternya, harus diartikan sebagai suatu upaya kerjasama berbagai pihak untuk mengendalikan risiko bersama.[2]

The Joint Commission on Accreditation of Healthcare Organizations (JCAHO) memberikan pengertian manajemen risiko sebagai aktivitas klinik dan administratif yang dilakukan oleh rumah sakit (HO) untuk melakukan identifikasi, evaluasi dan pengurangan risiko terjadinya cedera atau kerugian pada pasien, personil, pengunjung dan rumah sakit itu sendiri.[3] Kegiatan tersebut meliputi identifikasi risiko hukum (legal risk), memprioritaskan risiko yang teridentifikasi, menentukan respons rumah sakit terhadap risiko, mengelola suatu kasus risiko dengan tujuan meminimalkan kerugian (risk control), membangun upaya pencegahan risiko yang efektif, dan mengelola pembiayaan risiko yang adekuat (risk financing).

Manajemen risiko yang komprehensif meliputi seluruh aktivitas rumah sakit, baik operasional maupun klinikal, oleh karena risiko dapat muncul dari kedua bidang tersebut. Bahkan akhir-akhir ini meliputi pula risiko yang berkaitan dengan managed care dan risiko kapitasi, merger dan akuisisi, risiko kompensasi ketenagakerjaan, corporate compliance dan etik organisasi. [4]

Manajemen risiko klinik merupakan upaya yang cenderung proaktif, meskipun sebagian besarnya merupakan hasil belajar dari pengalaman dan menerapkannya kembali untuk mengurangi atau mencegah masalah yang serupa di kemudian hari. Pada dasarnya manajemen risiko merupakan suatu proses siklik yang terus menerus, yang terdiri dari empat tahap, yaitu: 1 2 [5]

1. Risk Awareness. Pada tahap ini diharapkan seluruh pihak yang terlibat dalam sistem bedah sentral memahami situasi yang berisiko tinggi di bidangnya masing-masing dan aktivitas yang harus dilakukan dalam upaya mengidentifikasi risiko. Risiko tersebut tidak hanya yang bersifat medis, melainkan juga yang non medis, sehingga upaya ini melibatkan manajemen, komite medis, dokter, perawat bedah, perawat anestesi, pengendali gas sentral, pelaksana pemeliharaan ruang bedah dan instrument, dan lain-lain. Self-assessment, sistem pelaporan kejadian yang berpotensi menimbulkan risiko (incidence report) dan audit klinis dalam budaya non-blaming merupakan sebagian metode yang dapat digunakan untuk mengenali risiko.

2. Risk control (and or Risk Prevention). Manajemen merencanakan langkah-langkah praktis dalam menghindari dan atau meminimalkan risiko dan melaksanakannya dengan tepat. Dalam bidang medis, manajemen harus bekerjasama erat dan saling mendukung dengan komite medis. Langkah-langkah tersebut ditujukan kepada seluruh komponen sistem, baik perangkat keras, perangkat lunak maupun sumber daya manusianya. Langkah dimulai dengan penilaian risiko (risk assessment) tentang derajat dan probabilitas kejadiannya, dilanjutkan dengan upaya mencari jalan untuk menghilangkan risiko (engineering solution), atau bila tidak mungkin maka dicari upaya menguranginya (control solution) baik terhadap probabilitasnya maupun terhadap derajat keparahannya, atau apabila hal itu juga tidak mungkin maka dicari jalan untuk mengurangi dampaknya. Tindakan dapat berupa pengadaan, perbaikan dan pemeliharaan bangunan dan instrumen yang sesuai dengan persyaratan; pengadaan bahan habis pakai sesuai dengan prosedur dan persyaratan; pembuatan dan pembaruan prosedur, standar dan check-list; pelatihan penyegaran bagi personil, seminar, pembahasan kasus, poster, stiker, dan lain-lain. 3. Risk containment. Dalam hal telah terjadi suatu insiden, baik akibat suatu tindakan atau kelalaian ataupun akibat dari suatu kecelakaan yang tidak terprediksikan sebelumnya, maka sikap yang terpenting adalah mengurangi besarnya risiko dengan melakukan langkah-langkah yang tepat dalam mengelola pasien dan insidennya. Unsur utamanya biasanya adalah respons yang cepat dan tepat terhadap setiap kepentingan pasien, dengan didasari oleh komunikasi yang efektif.

4. Risk transfer. Akhirnya apabila risiko itu akhirnya terjadi juga dan menimbulkan kerugian, maka diperlukan pengalihan penanganan risiko tersebut kepada pihak yang sesuai, misalnya menyerahkannya kepada sistem asuransi.Dari sisi sumber daya manusia, manajemen risiko dimulai dari pembuatan standar (set standards), patuhi standar tersebut (comply with them), kenali bahaya (identify hazards), dan cari pemecahannya (resolve them).

[1] AHRQs patient safety initiative: Building Foundation, Reducing Risk (2004), chapter 2[2] Dental Protection: Essentials of risk management. Manual, tanpa tahun.[3] Balsamo RR and Brown MD. Risk Management. In: Sanbar SS, Gibofsky A, Firestone MH, LeBlang TR. (eds) Legal Medicine. Fourth ed, St Louis (Mosby), 1998.[4] Sedwick J and Porto GG. The Health Care Risk Management Professional. In Carroll R: Risk Management Handbook for Health Care Organiza