HUKUM WANITA HAIDH MEMBACA AL-QURANOleh : Burhan IsroiDitulis
sebagai jawaban dari berbagai pertanyanan di berbagai ceramah dan
kajian IslamA. MuqoddimahAl Quran diturunkan sebagai petunjuk bagi
manusia dan membancanya merupakan bernilai ibadah, banyak hadits
shohih yang menerangankan anjuran memperbanyak membaca Al Quran dan
fadhilah fadhilah didalamnya, namun dalam lingkungan sekolah
banyaknya anak didik marah (perempuan) yang tidak membawa Al Quran
ketika pelajaran Al Quran Hadits dengan alasan lagi berhalangan
(Haidh), atau disaat murobbi (pendidik/guru) menyuruh marah untuk
membaca, mereka mengatakan lagi berhalangan, hal seperti ini perlu
untuk diberi pemahaman yang benar dan ilmiyah.Juga dari berbagai
tempat penulis menyampaikan ceramah maupun kajian Islam, sering
banyak jamaah yang menanyakan hukum wanita Haidh membaca
Al-Quran,dengan banyaknya pemandangan seperti ini penulis perlu
mengadakan analisis suatu dalil yang digunakan mereka, hal ini
dikarenakan selama ini sebagian ummat Islam masih terkungkung
dengan taklid kepada guru fiqih yang lebih besar mendoktrin dengan
fahamnya dan tidak memberikan pemahaman ilmiyah tentang sumber
dasarnya.Penulis melihat ada dua dasar dalil yang dijadikan
pegangan oleh para marah yang sedang haidh, yaitu :a. Al Quran
Surat Al Waqiah ayat , yang menerangkan Tidak menyentuhnya, kecuali
orang-orang yang suci Tidak menyentuhnya kecuali orang-orang yang
disucikan (QS. Al Waqiah: 79)b. Hadits yang diriwayatkan imam
tirmidzi yang mengatakan bahwa orang (wanita) yang sedang haid dan
orang junub tidak boleh membaca al-Quran. : : : " " . : .Artinya:
dari Ibnu Umar dari nabi Muhammad saw bersabda : Tidak boleh
seorang yang haid dan junub membaca sedikitpun dari al-Quran. ((HR.
At-Tirmizi: 1/236 dan Ibnu Majah: 1/195) Dengan adanya hadits di
atas seolah membatasi gerak dan ruang lingkup dalam membaca
al-Quran, artinya hanya orang (wanita) yang tidak haid dan orang
yang tidak junub yang boleh membaca al-Quran, sedangkan orang yang
haid dan sedang junub tidak boleh membaca al-Quran. Kondisi junub
tentunya tak munkin akan menunda nunda untuk bersuci (mandi
janabat), sehingga untuk masalah junub ini, penulis tidak akan
membahasnya secara luas. Namun berbeda sekali dengan wanita yang
sedang haid, ia memiliki siklus yang cukup lama dibandingkan dengan
sekedar orang junub, ada yang satu minggu, ada yang dua minggu,
bahkan lebih. Artinya ia baru bisa bersuci manakala telah usai masa
haidnya. seperti permasalahan yang sering terjadi ketika perempuan
dalam proses menghafal al-Quran jika mereka haid berarti mereka
tidak dapat mengulang hafalannya, padahal kebiasaan wanita haid
adalah tujuh hari dan tidak sedikit pula wanita yang haid sampai
sembilan hari, duabelas hari bahkan ada juga yang sampai setengah
bulan. Maka jika pada masa-masa haid seorang wanita sama sekali
tidak mengulang hafalanya ditakutkan lupa dan bisa lupa dengan
hafalan yang telah mereka hafal padahal semangat untuk tetap
menghafal dan mengingat juga layak dimiliki seorang wanita yang
dalam keadaan haid.Misalkan juga ketika murid perempuan ujian
materi al-Quran dan dia dalam keadaan haid, kemudian masa haidnya
lama sehingga tidak mungkin mengikuti ujian tersebut kecuali jika
haidnya berhenti maka hal ini akan sangat merugikan bagi murid
perempuan. Permasalahan lain ketika murid-murid perempuan (
terutama para ibu guru mereka ) telah menginjak usia baligh. Maka,
jika mereka enggan membaca al-Quran pada masa-masa haid, berarti
seperempat tahun dalam setiap tahunnya mereka terjauh dari
al-Quran. Itu pun dengan catatan seorang murid perempuan tidak
pernah absen dari pelajaran dan sang guru tidak pernah absen dari
tugas mengajar. Akibatnya, pelajaran al-Quran di sekolah jadi
terabaikan.Penulis sengaja mengambil hadits tentang membaca
al-Quran ini, karena menurut penulis membaca itu lebih luas
maknanya daripada sekedar menyentuh, membaca memuat arti menghafal,
mengkaji, menyimak, apalagi mengingat zaman yang modrn ini,
teks-teks al-Quran tidak hanya terdapat di mushaf tertulis dalam
kertas saja, tetapi juga terdapat diberbagai media elektronik, pada
Ipad/ Tablet, di HP, di Laptop dan lain sebagainya. Inilah yang
mendasari penulis untuk membuat tulisan sederhana ini, yakni
melacak validitas keshahihan hadits at-Tirmidz, karena mengingat
bahwa dilihat dari periwayatannya, hadits berbeda dengan al-Quran.
Semua periwayatan ayat-ayat dalam al-Quran berlangsung secara
mutawtir, sedangkan hadits Nabi SAW sebagian lainnya diriwayatkan
secara ahad. Oleh sebab itu, al-Quran karena periwayatannya yang
mutawtir menjadi qati al-wurd dan tidak membutuhkan penelitian
tentang otentitasnya, sementara hadits Nabi karena periwayatannya
sebagian secara ahad yang bersifat anni al-wurd, maka diperlukan
penelitian lebih lanjut untuk mengetahui keasliannya apakah benar
berasal dari Nabi atau bukan.B. Penegasan Judul1. Pengertian Haidh
Akar kata haid dari kalimat ( ),menurut bahasa artinya mengalir,
sedang menurut istilah adalah darah yang keluar dari rahim wanita
yang sudah mencapai usia 9 tahun hijriyah kurang sedikit (tidak
genap 16 hari 16 malam/ penggabugan minimal masa haid dan minimal
masa suci) tidak dikarenakan penyakit atau sebab melahirkan.Dan
definisi haid secara klinis adalah pendarahan secara periodic
(berkala) dari rahim wanita dan disertai pelepasan endometrium.
Dengan istilah lain menstruasi adalah suatu proses pembersihan
rahim terhadap pembuluh darah, kelenjar-kelenjar dan sel-sel yang
tidak terpakai karena tidak adanya pembuahan atau kehamilan.Selain
dari ketentuan di atas, ada dua syarat lagi, yaitu:Keluarnya darah
harus ada 24 jam, baik secara terus menerus atau terputus-putus
selama tidak lebih dari 15 hari 15 mala.Darah yang keluar tidak
lebih dari 15 hari 15 malam.Jika tidak memenuhi syarat tersebut,
maka darah tersebut dinamakan darah fasad atau istihadlah.Adapun
dalil yang mengatakan bahwa haid itu mewajibkan mandi, berasal dari
al-Quran dan as-Sunnah: Al-Quran, surat al-Baqoroh ayat 222 yang
artinya: Dan mereka bertanya kepadamu tentang haidh. Katakanlah:
"Haidh itu adalah suatu kotoran". oleh sebab itu hendaklah kamu
menjauhkan diri dari wanita di waktu haidh; dan janganlah kamu
mendekati mereka, sebelum mereka suci. apabila mereka telah Suci,
Maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Alloh
kepadamu. (Q.S. al-Baqarah: 222). As-Sunnah sabda Nabi SAW kepada
Fatimah binti Abi Hubaisy RA: ( 226 333 Apabila haid itu datang
maka tinggalkanlah shalat, dana apabila ia telah pergi, maka
cucilah darah dari tubuhmu (mandilah) dan shalatlah (H.R.
al-Bukhari: 226, dan Muslim (333). Pengertian Istihadhoh Istihadhoh
ialah darah penyakit yang keluar dari sebuah otot pada bagian rahim
yang terdekat, yang disebut al-Adzil. Darah ini membatalkan wudhu
dan tidak mewajibkan mandi, dan tidak pula mengakibatkan
harusditinggalkannya shalat dan puasa. Jadi, wanita yang mengalami
istihadhoh diharuskan mencuci darahnya dan membalut tempat
keluarnya, lalu melakukan shalat dengan berwudhu untuk tiap-tiap
shalat fardhu. Abu Daud (186) dan lainnya telah meriwayatkan dari
Fatimah binti Abu Hubaisy: Bahwasanya Fatimah mengalami istihadhoh
. Maka berkatalah Nabi SAW kepadanya: Kalau darah itu darah haid,
maka warnanya hitam dan bisa dikenali, kalau demikian halnya, maka
tinggalkanlah shalat. Dan kalau tidak demikian, maka tetaplah
engkau berwudhu dan shalat. Karena darah itu sesungguhnya (berasal
dari) sebuah otot. Yurafu : bisa dikenali oleh para wanita pada
umumnya. Irq : sebuah otot yang mengeluarkan darah. Al-Akhar :
darah lain yang berbeda sifatnya. Al-Bukhari (236) dan Muslim (333)
telah meriwayatkan dari Aisyah RA, dia berkata: : Fatimah binti Abi
Hubaisy telah datang kepada nabi SAW lalu berkata: Ya Rasulullah,
sesungguhnya aku adalah seorang wania yang mengalami istihadhoh ,
sehingga aku tidak bisa suci. Haruskah aku meninggalkan shalat?
Maka jawab Rasulullah SAW: Tidak, sesungguhnya itu (berasal dari)
sebuah otot, dan bukan haid. Jadi, apabila haid itu datang, maka
tinggalkanlah shalat. Lalu apabila ukuran waktunya telah habis,
maka cucilah darah dari tubuhmu lalu shalatlah. 2. Pengertian
Mushhof Al Quran Istilah mushhaf dibentuk dari kata shahfah; bentuk
jamaknya shah'if. Pengertian shuhuf menurut Ibn Duraid dalam
Jumhurah al-Lughah, shahfah adalah kulit yang berwarna keputihan
atau lembaran/lempengan tipis, untuk tempat menulis tulisan. Adapun
menurut al-Jauhari dalam Ash-Shihah f al-Lughah, shahfah adalah
al-kitab. Jadi, secara bahasa shahfahjamaknya shuhufbisa diartikan
lembaran-lembaran tulisan.Di dalam al-Quran kata shuhuf dinyatakan
delapan kali di delapan ayat (QS Thaha [20]: 133; an-Najm [53]: 36;
al-Muddatstsir [74]: 52; 'Abasa [80]: 13; at-Takwir [81]: 10;
al-A'la [87]: 18, 19; al-Bayyinah [98]: 2). Maknanya adalah
lembaran-lembaran, kitab-kitab terdahulu sebelum al-Quran dan
catatan amal.Sehingga pengertian Mushhaf Al Quran adalah kumpulan
lembaran lembaran kertas yang berisi tulisan firman Alloh yang
telah diturunkan Alloh SWT kepada Nabi Muhammad saw. Kumpulan
tulisan diatas kertas ini ditulis pada era modern menggunakan
percetakan Printing yang kemudian menjali satu kesatuan kitab yang
disebut Kitab Al Quran.Tempat penulisan Al Quran pada era modern
sekarang bukan lagi dalam mushhaf lembaran kertas saja tetapi sudah
tertulis dalam program Sofeware (perangkat lunak) di computer,
Laptop, Ipad/ Tablet, HP dan lain-lain. C. Beberapa Larangan Bagi
Marah Haidh dalam Al Quran atau dalam Hadits Yang Shohih1. Larangan
Masuk / duduk di MasjidHadits ini adalah hadits yang berkualitas
dhoif (lemah) Aku tidak menghalalkan masjid untuk wanita yang haidh
dan orang yang junub. (Diriwayatkan oleh Abu Daud no.232, al
Baihaqi II/442-443, dan lain-lain)Hadits di atas merupakan hadits
dhoif (lemah) meski memiliki beberapa syawahid(penguat) namun
sanad-sanadnya lemah sehingga tidak bisa menguatkannya dan tidak
dapat dijadikan hujjah. Syaikh Albani -rahimahullaah- telah
menjelaskan hal tersebut dalam Dhoif Sunan Abi Daud no. 32 serta
membantah ulama yang menshahihkan hadits tersebut seperti Ibnu
Khuzaimah, Ibnu al Qohthon, dan Asy Syaukani. Beliau juga
menyebutkan ke-dhoif-an hadits ini dalam Irwaul Gholil I/201-212
no. 193.2. Larangan Sholat dan BerpuasaBukhari (298) dan Muslim
(80), dari Abi Said RA: : Bahwa Rasulullah SAW bersabda mengenai
wanita ketika ditanya tentang arti kekurangan agamanya: Bukankah
apabila wanita itu haid, maka dia tidak melakukan shalat maupun
puasa? 3. Larangan Thowaf dalam rangkaian HajiDalam Hadits Imam
Bukhari (290) dan Muslim (1211), dari Aisyah RA, dia berkata: : : :
Pernah kami keluar, sedang kami tidak berpikir selain haji. Tatkala
kami sampai di Saraf, maka aku mengalami haid. Lalu Rasulullah SAW
menemui aku, sedang aku menangis. Beliau bertanya: Kenapa engkau?
Apakah engkau mengalami haid? Aku menjawab: Ya. Beliau berkata:
Sesungguhnya ini adalah perkara yang telah ditetapkan Alloh atas
anak-anak perempuan Adam. Maka, laksanakanlah apa-apa yang
dilakukan oleh orang-orang yang berhaji, selain berthawaf
sekeliling Kabah. Dari Aisyah bahawa Nabi -shallAlloh u alaihi
wasallam- bersabda kepada dirinya tatkala dia haid saat perjalanan
ibadah haji: Lakukan apa saja yang dilakukan oleh orang yang
berhaji, kecuali tawaf di Kabah sampai kamu suci. (HR. Al-Bukhari:
1/77 dan Muslim: 2/873)Dengan kata lain, hadits tersebut
memperbolehkan seseorang yang haidh membaca al-Quran. 4. Larangan
JimaAl-Bukhari (215) dan Muslim ( 335) -dan lafazh hadits ini
menurut Muslim- telah meriwayatkan dari Muadzah, dia berkata: : :
Pernah aku bertanya kepada Aisyah RA, aku katakan: Kenapakah wanita
yang berhaid itu wajib mengqadha puasanya, sedang shalatnya tidak?
Maka jawab dia: Hal itu pernah kami alami semasa hidup Rasulullah
SAW. tetapi, kami hanya disuruh mengqadha puasa, dan tidak disuruh
mengqadha shalat. Sebagai mumin yang berpegang pada kitabulloh dan
Sunnah Rosululloh saw, hendaklah menjauhkan diri dari istri di
waktu haidh; dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka
suci. apabila mereka telah Suci, Maka campurilah mereka itu di
tempat yang diperintahkan Alloh kepadamu. Sesungguhnya Alloh
menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang
mensucikan diri. (Q.S. al-Baqarah: 222). Ungkapan menjauhkan diri
dari wanita, ialah tidak menyetubuhi mereka. Dan Abu Daud (212)
telah meriwayatkan pula dari Abdullah bin Saad RA: : : "Bahwa
Abdullah pernah bertanya kepada Rasulullah SAW: Apakah yang boleh
aku lakukan terhadap istriku di kala dia sedang haid? Jawab Nabi:
Kamu boleh melakukan apa saja yang di atas kain. D. Telaah Lafadz
dan arti Al-Muthohharun Pada Surat Al-Waqiah :791. Pengertian
Etimologi Ayat (78) (79)Pada Kitab yang terpelihara. Tidak
menyentuhnya kecuali orang orang yang suci Al Waqiah : 78-79 Pada
Kitab yang terpelihara (Q.S al-Waqiah: 78)adalah Lauhul Mahfuzh .
Penulis sampaikan bahwa huruf Jar dan isim Majrur dalam ayat yang
terdapat di antara dua ayat (sebelumnya dan sesudahnya) menunjukkan
bahwa kata ganti dalam firman Alloh Subhaanahu wa Taala kembali
kepada kata yang terdekat (sebelum ayat ini),yaitu kata . Dan
sekiranya kata ganti tersebut kembali kepada kata amatlah jauh
bahkan tidak bisa dibenarkan. Karena berdasarkan tata bahasa dalam
bahasa Arab dinyatakan bahwa kata gantikedudukannya kembali kepada
kata yang lebih dekat dalam penyebutannya. Dan kata yang lebih
dekat dalam dalam penyebutan dalam ayat tersebut adalah kata yang
bersifat yang berarti terpelihara , manakala penafsiran ayat ini
sesuai dengan tata bahasa Arab (Nahwu), maka jelaslah bagi kita
kesalahan perkataan orang yang mengatakan bahwa dilarangnya
menyentuh dalam ayat tersebut kembali kepada kata sebagaimana hal
ini telah umum di kalangan orang awam maupun selain mereka. Ini
dikarenakan penafsiran seperti ini tidak sesuai dengan ketentuan
tata bahasa Arab. Kemudian kalimat bermakna para Malaikat,
sebagaimana disebutkan oleh Ibnu Katsir. Dengan demikian jelaslah
bagi kita sesungguhnya yang dimaksudkan Alloh Subhaanahu wa Taala
bukanlah mushhaf (al-Quran), namun kitab yang lain, yaitu yang
Alloh Subhaanahu wa Taala sifati dalam firmannya: yang maksudnya
Lauhul Mahfuzh. Kemudian firman Alloh Subhaanahu wa Taala di atas
bukanlah mengandung perintah, akan tetapi mengandung khabar
(berita), maka tidak dibenarkan mengalihkan asal makna khabar
(berita)kepada makna perintah kecuali berdasarkan dalil yang jelas
atau ijma. Sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnu Hazm ( al-Muhalla:
1/77). Sekiranya Alloh Subhaanahu wa Taala menghendaki sebagaimana
yang Dia khabarkan, bahwa akan menjaga al-Quran agar orang selain
Islam dan orang mukmin yang tidak berwudhu (berhadast kecil atau
tidak) tidak boleh menyenyuhnya, maka dalam hal ini Alloh
Subhaanahu wa Taala menjadikan yang demikian atas dasar sebab yang
tersembunyi dan atas dasar apa hal ini bisa terjadi...? Dan
penjagaan seperti ini merupakan penjagaan dari sisi kesempurnaan
dan keotentikan al-Quran sebagaimana firmanNya: Dan sesungguhnya
Kami benar-benar memeliharanya. (Q.S al-Hjr: 9). Maka pada dasarnya
secara eksplisit Alloh Subhaanahu wa Taala telah menjadikan
diantara sebab-sebab penjagaan terhadap al-Quran adalah dengan
membolehkan selain orang mukmin atau orang yang tidak memiliki
wudhu menyentuhnya sebagaimana penjagaan-Nya terhadap al-Quran dari
kekurangan dan tambahan.Sementara pengertian orang yang najis dalam
al Quran disebutkan : "Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya
orang-orang yang musyrik itu najis" (Qs 9 At Taubah :
28)Jadi......khabar (berita) yang demikian tidaklah berbicara
mengenai al-Quran yang ada di bumi, melainkan al-Quran yang ada di
langit sebelum turunnya pada periode kedua ke langit dunia, yaitu
kitab yang terjaga di dalamnya al-Quran ketika turun pada periode
pertama di Lauhul Makhfudz.2. PenafsiranAhli tafsir berbeda
pendapat dalam menafsirkan dua ayat ini. Berikut penafasiran mereka
pada surat Al-Waqiah (56) : 79, yaitu :Maksud adalah para malaikat
(ini adalah pendapat Ibnu Abbas, Ibnu Katsir, Imam Malik, Anas bin
Malik, Mujahid, Ikrimah, Said bin Jubair, AbdurRohman bin Zaid bin
Aslam, as Syaukani dan selain mereka).Maksud adalah orang-orang
yang suci dari hadats dan najis (ini pendapat Al-Qurthubie, Atha,
Thowus, Salim, Qosim dan mayoritas ahli Ilmu, Imam Malik, Imam
Syafiie dan mayoritas ahli Fiqih)..Ibnu Katsir dalam tafsirnya
mengungkapkan pendapat Ibnu Abbas yang menafsirkan bahwa adalah
kitab yang ada di langit dan yang dimaksud adalah para malaikaat.
Penafsiran Ibnu Abbas tersebut sebagaimana penafsiran yang dipilih
oleh Imam malik. Imam Malik menyatakan : ( ) ( * * * * ) Sebaik
apa-apa yang aku dengar tentang ayat bahwa ayat ini sesuai dengan
ayat yang disebut dalam surat Abasa wa tawalla yaitu firmanNya
(maka barang siapa yang menghendaki (hendaklah) dia
memperhatikannya (al-quran itu) di dalam lembaran-lembaran yang
dimuliakan, ditinggikan, dan disucikan (lembaran-lembaran itu)
berada pada tangan-tangan para penulis yang mulia yang berbakti).
Ulama yang sependapat dengan penafsiran Ibnu Abbas dan Imam Malik
antara lain: Anas bin Malik, Mujahid, Ikrimah, Said bin Jubair,
Abdurrohman bin Zaid bin Aslam, dan selain mereka. Imam Syaukani
menyebutkan makna ayat surat al-Waqi'ah ayat 79 Tidak menyentuhnya
kecuali Malaikat Ayat ini bercerita tentang Lauh Mahfudz yang
disentuh oleh Malaikat dan bukan menyebutkan hukum memegang mushaf.
Ini adalah tafsir yang lebih kuat menurut beliau. Lih Nailul Awthor
1/260 Dar al-Hadits MesirUlama lain mendifinisikan Maksud adalah
mushhaf dan maksud adalah orang-orang yang suci dari hadats dan
najis Al Qurthubie menjelaskan bahwa maksud adalah mushhaf yang ada
ditangan kita dan maksud adalah orang-orang yang suci dari hadats
dan najis. Beliau berdalil dengan hadits yang diriwayatkan oleh
imam Malik dan selainnya (imam Malik). Dan di dalam kitabnya (surat
tersebut tertulis) bahwasannya tidak boleh menyentuh Al-Quran
kecuali dalam keadaan suci. Al-Baghowie menjelaskan bahwa mereka
yang menafsirkan dengan orang-orang yang suci dari hadats dan najis
mengatakan bahwa orang yang junub atau sedang haid dan orang yang
berhadats itu tidak boleh membawa ataupun menyentuh mushhaf.
Penulis paparkan juga termasuk bila dikiaskan pada penulisan
al-Quran sekarang, berarti untuk orang yang sedang haidh tidak bisa
memegang HP/ Laptop/ Tablet/ Ipad atau computer yang didalamnya
terdapat program sofeware al-Quran baik itu murotal amupun
tulisan.Diantara mereka yang menafsirkan dengan orang-orang yang
suci dari hadats dan najis adalah Atha, Thowus, Salim, Qosim Dan
Mayoritas Ahli Ilmu, Imam Malik, Imam Syafiie dan mayoritas ahli
Fiqih. E. Telaah Hadits Larangan Membaca Al Quran bagi Marah
Haidh1. Lafadz Haditsa. Lafadz Imam TirmidziSunan At-Tirmidz, dalam
kitab Abwbu al-Thahrati bab M Ja f al-Junubi wa al-Haidi Annahuma
La Yaqra al-Qurn, no 131. - - ( )Telah menceritakan kepada kami Ali
bin Hujr dan Hasan bin Arafah, keduanya berkata, telah menceritakan
kepada kami Ismil bin Ayysy dari Msa bin Uqbah dari Nfi dari Ibnu
Umar dari nabi Muhammad saw bersabda : Tidak boleh seorang yang
haid dan junub membaca sedikitpun dari al-Quran. (HR. At-Tirmidz
dalam kitab sunannya) b. Lafadz Sunan Baihaqi : - - : ( ) Telah
mengkhabarkan kepada kami Ab Ali al-Rdzabri dan Ab Muhammad,
Abdullah bin Yahya bin Abdi al-Jabbr al-Sukkr keduanya berkata,
telah mengkhabarkan kepada kami Ismil bin Muhammad al-shafar, telah
menceritakan kepada kami al-Hasan bin Arafah telah menceritakan
kepada kami Ismil bin Ayysy dari Msa bin Uqbah dari Nfi dari Ibnu
Umar Rasulullah SAW bersabda: Tidak boleh seorang yang haid dan
junub membaca sedikitpun dari al-Quran. (HR. Baihaq dalam kitab
sunannya) c. Lafadz Sunan Ibnu Majah : : ( ) Telah menceritakan
kepada kami Hisym bin Ammr, telah menceritakan kepada kami Ismil
bin Ayysy, telah menceritakan kepada kami Msa bin Uqbah dari Nfi
dari Ibnu Umar berkata, Rasulullah SAW bersabda: Tidak boleh
seorang yang junub dan haid membaca al-Quran. (HR. Ibnu Mjah dalam
sunannya) d. Lafadz Sunan DaruqutniPertama, Riwayat dari Ibnu Umar
: ( )Telah menceritakan kepada kami Abdullah bin Muhammad bin Abdul
Azz, telah menceritakan kepada kami Dawud bin Rusyaid, telah
menceritakan kepada kami Ismil bin Ayysy dari Msa bin Uqbah dari
Nfi dari Ibnu Umar berkata, Rasulullah SAW bersabda: Tidak boleh
orang yang junub dan haid membaca al-Quran sedikitpun dari
al-Quran. (HR. Ad-Druqutn dalam kitab sunannya) Kedua, Riwayat dari
Jabir: : . ( )Artinya: Telah menceritakan kepada kami Ahmad bin
Muhammad bin Ziyd, telah menceritakan kepada kami Ahmad bin Ali
al-Abbr, telah menceritakan kepada kami Ab al-Syatsi Ali bin
al-asan al-Wsithi, telah menceritakan kepada kami Sulaiman Ab Khlid
dari Yahya dari Ab al-Zubair dari Jbir berkata, Rasulullah SAW
bersabda: Tidak boleh seorang yang haid, junub, dan nifas membaca
al-Quran. (HR. Ad-Druqutn dalam kitab sunannya) e. Lafadz Al Bazzar
: ( )Telah menceritakan kepada kami Al-Hasan bin Arafah, telah
menceritakan kepada kami Ismil bin Ayysy dari Musa bin Uqbah dari
Nfi dari Ibnu Umar dari Nabi SAW bersabda: Tidak boleh seorang yang
junub dan haid membaca sedikitpun dari al-Quran. (HR. Al-Bazzr
dalam musnadnya) f. Lafadz Mujam Al Muqri : : ( )Telah menceritakan
kepadaku Ab bakar Muhammad bin Jafar bin Yahya bin Rujaini al-Ithr
al-Hamsh mengenai al-Quran yang aku baca kepadanya, maka
tetapkanlah hukum kepadaku, telah menceritakan kepada kami Ab Ishq
Ibrhim bin al-Adi al-Zubaid Zabriq, telah menceritakan kepada kami
Ismil bin Ayysy, telah menceritakan kepada kami Msa bin Uqbah dan
Ubaidillah bin Umar dari Nfi dari Ibnu Umar berkata, Rasulullah
bersabda: Tidak boleh seorang yang junub dan haid membaca
sedikitpun dari al-Quran (HR. Ibnu al-Muqri dalam mujamnya). F.
Takhrij HaditsMenurut bahasa takhrj dari asal kata , yang artinya
mengeluarkan. Kata takhrj sering dimutlakkan pada beberapa macam
pengertian, dan pengertian yang popular dan mudah dipahami untuk
kata takhrj adalah al-istimbat yang artinya hal yang mengeluarkan.
Sedangkan menurut istilah yang biasa dipakai oleh ulama hadits ,
kata takhrij mempunyai beberapa arti, yakni:a. Mengemukakan hadits
kepada orang banyak dengan menyebutkan para periwayatnya dalam
sanad yang telah menyampaikan hadits itu dengan metode periwayatan
yang mereka tempuh.b. Menunjukkan asal-usul yang hadits dan
mengemukakan sumber pengambilannya dari berbagai kitab hadits yang
disusun oleh para mukharrij-nya langsung (yakni para periwayat yang
juga sebagai penghimpun bagi hadits yang mereka riwayatkan).c.
Mengemukakan hadits berdasarkan sumbernya atau berbagai sumbernya,
yakni kitab-kitab hadits yang didalamnya disertakan metode
periwayatannya dan sanadnya masing-masing.d. Menunjukkan atau
mengemukakan letak asal hadits pada sumbernya yang asli, yakni
berbagai kitab yang didalamnya dikemukakan hadits itu secara
lengkap dengan sanadnya masing-masing, kemudian untuk kepentingan
penelitian, dijelaskan kualitas hadits yang bersangkutan.Adapun
perlunya kegiatan takhrij dalam penelitian suatu hadits diantaranya
adalah:a. Untuk mengetahui asal-usul riwayat hadits yang akan
diteliti. Tanpa diketahui asal-usulnya, maka sanad dan matan hadits
sulit diketahui susunannya menurut sumber pengambilannya, oleh
karena itu takhrj sangat diperlukan.b. Untuk mengetahui seluruh
riwayat bagi hadits yang akan diteliti. Hadits yang akan diteliti
mungkin mempunyai lebih dari satu sanad. Maka setelah dikumpulkan
diketahuilah seluruh periwayat hadits , mungkin saja salah satu
riwayat itu berkwalitas dhoif atau sahih maka kegiatan takhrj
sangat diperlukan.c. Untuk mengetahui ada tidaknya syahid dan
muttabi pada sanad yang diteliti. Dalam hal ini untuk mengetahui
apakah ada pendukungnya atau tidak. G. ITibarSetelah dilakukan
kegiatan takhrj sebagai langkah awal penelitian untuk hadits yang
diteliti, maka seluruh sanad hadits dicatat dan di himpun untuk
kemudian dilakukan kegiatan al-itibr.Kata al-Itibr () merupakan
masdar dari kata "" . menurut bahasa al-Itibr adalah peninjauan
terhadap berbagai hal dengan maksud untuk dapat diketahui
sesuatunya yang sejenis.Menurut istilah ilmu hadits , al-Itibr
berarti menyertakan sanad-sanad yang lain untuk hadits tertentu,
yang hadits itu pada bagian sanadnya tampak hanya terdapat seorang
periwayat saja, dan dengan menyertakan sanad-sanad yang lain
tersebut akan dapat diketahui apakah ada periwayat yang lain
ataukah tidak ada untuk bagian sanad dari hadits yang
dimaksud.Dengan dilakukannya itibr, maka akan terlihat dengan jelas
seluruh jalur sanad hadits yang diteliti, demikian juga nama-nama
periwayatnya, serta metode periwayatan yang digunakan oleh
masing-masing periwayat yang bersangkutan. Jadi, kegunaan itibr
adalah untuk mengetahui keadaan sanad hadits seluruhnya dilihat
dari ada atau tidaknya pendukung berupa periwayat yang berstatus
sebagai muttabi atau syahid. Yang dimaksud muttabi (biasa disebut
tbi dengan jamak tawbi) ialah periwayat yang berstatus pendukung
pada periwayat yang bukan sahabat nabi. Sedangkan pengertian syahid
(dalam istilah ilmu hadits biasa disebut dengan kata jamak yakni
syawhid) ialah periwayat yang berstatus pendukung yang berkedudukan
sebagai sahabat nabi. Melalui itibr akan dapat diketahui apakah
sanad hadits yang diteliti memiliki muttabi dan syahid. Dilihat
dari skema hadits dengan masing-masing mukharrij yang telah
dipaparkan diatas bahwa sahabat nabi yang meriwayatkan hadits
mengenai larangan membaca al-Quran bagi wanita haid dan orang junub
adalah sahabat Ibnu Umar dan Jbir. Dengan demikian periwayat yang
berstatus sebagai syahid bagi hadits at-Tirmidz adalah Jbir (hadits
riwayat Ad-Druqutn). Sedangkan periwayat yang berstatus sebagai
muttabi adalah:a. Hadits at-Tirmidz yang bersanadkan Ali bin Hujri
dan Hasan bin Arafah, Ismil bin Ayysy, Msa bin Uqbah, Nfi.b. Hadits
riwayat al-Baihaq yaitu Ab Ali al-Rabri dan Ab Muhammad, Abdullah
bin Yahya bin Abdi al-Jabbr al-Sukkr, Ismil bin Muhammad a-afari.c.
Hadits riwayat Ad-Druqutn yaitu Abdullah bin Muhammad bin Abdul
Azz, Dwd bin Rusyaid. Dan hadits Ad-Druqutn yang bersanadkan Ahmad
bin Muhammad bin Ziyd, Ahmad bin Ali al-Abbr, Ab asy-Syatsai Ali
bin al-Hasan al-Wsithi, Sulaiman Ab Khlid, Yahya, Ab az-Zubai.d.
Hadits riwayat Ibnu Mjah yaitu Hisym bin Ammr.e. Hadits riwayat
al-Bazzr semua perawinya sama dengan perawi hadits at-Tirmidz, oleh
karena itu tidak ada muttabi dalam riwayat al-Bazzr.f. Hadits
riwayat al-Muqri yaitu Ab bakar Muhammad bin Jafar bin Yahya bin
Rujaini al-Ithr al-Hamsh, Ab Ishq Ibrhim bin al-Adi al-Zubaidi
Zabriq.H. Biografi Para PerawiPenulis memfokuskan pada para perawi
hadits nya at-Tirmidz, Susunan para perawi hadits at-Tirmidz
tentang larangan membaca al-Quran bagi wanita haid dan orang junub
adalah Ibnu Umar, Nfi, Ms bin Uqbah, Ismil bin Ayysy, Ali bin Hujr,
dan Hasan bin Arafah, At-Tirmidz. - - ( )1) Ibnu UmarNama aslinya
adalah Abdullah bin Umar bin al-Khattb bin Nufail al-Qurasy
al-Adaw. Sering disebut Abdullah bin Umar atau Ibnu Umar (lahir
pada tahun 612 M) adalah seorang sahabat Nabi dan merupakan
periwayat hadits yang terkenal. Ia adalah anak dari Umar bin
Khattb, salah seorang sahabat utama Nabi Muhammad dan Khulafaur
Rasyidin yang kedua, dan ayah dari Abdurrahman al-Mak (nama Ab
Abdurrahman sekaligus menjadi kuniyahnya).Kesalehan Ibnu Umar
sering mendapatkan pujian dari kalangan sahabat Nabi dan kaum
muslimin lainnya. Jbir bin Abdullah berkata: " Tidak ada di antara
kami disenangi oleh dunia dan dunia senang kepadanya, kecuali Umar
dan putranya Abdullah." Ab Salamah bin Abdurrahman mengatakan:
"Ibnu Umar meninggal dan keutamaannya sama seperti Umar. Umar hidup
pada masa banyak orang yang sebanding dengan dia, sementara Ibnu
Umar hidup pada masa yang tidak ada seorang pun yang sebanding
dengan dia".Ibnu Umar adalah seorang pedagang sukses dan kaya raya,
tetapi juga banyak berderma. Ia hidup sampai 60 tahun setelah
wafatnya Rasulullah. Ia kehilangan pengelihatannya pada masa
tuanya. Ia wafat dalam usia lebih dari 80 tahun, dan merupakan
salah satu sahabat yang paling akhir yang meninggal di kota
Makkah.Dalam ilmu hadits semua ulama bahwa semua sahabat adalah
adil, baik mereka yang terlibat fitnah atau tidak ( ) sehingga
kualitas ke- tsiqahanya tidak perlu diragukan lagi.2) NafiNama
aslinya adalah Nfi bin Hurmz (Hurmuz dinisbatkan pada nama ayahnya,
ada juga yang mengatakan bin Kawus), beliau lebih dikenal dengan
nama Nfi Maula Abdullah bin Umar bin al-Khattb al-Qurasy al-Adaw.
Nama julukannya adalah Ab Abdullah al-Madan. Beliau berasal dari
Naisaburi, ada yang mengatakan dari Kabul, namun setelah itu ia
menetap dan berdomisili di Madinah.Komentar ulama terhadap
Nfi:Muhammad bin Saad menyebutkan: beliau termasuk kalangan sahabat
yang berdomisili di Madinah, tsiqah, banyak meriwayatkan hadits
.Basysyar bin Umar al-Zihrn berkata: Aku percaya informasi dari
umar yang disampaikan oleh Nfi.Uman bin Sad al-Drim berkata:
TsiqahAl-Ijliyyu berkata: termasuk kalangan sahabat madinah, ia
tsiqah.Ibnu Khirasy berkata: TsiqahAn-Nasi berkata: TsiqahYahya bin
Man berkata: Tsiqah 3) Musa bin UqbahNama lengkapnya adalah Ms bin
Uqbah bin Ab Ayysy al-Qurasy al-Asad al-Miraf, nama julukan beliau
adalah Ab Muhammad al-Madan. Beliau adalah pelayan keluarga Zubair
bin Awwm, beliau sehari-harinya berdomisili di Madinah. Beliau
wafat pada tahun 141 H.Komentar para Ulama terhadap Ms bin
Uqbah:Ibnu Mundir mengatakan: TsiqahMuhammad bin Sad berkata di
dalam kitab shaghirnya: beliau termasuk kalangan tbiin yang tsiqah
dan banyak meriwayatkan hadits Ab Khtim: beliau orang yang
salihAhmad bin Hambl: TsiqahAn-Nasi: TsiqahIbnu Hjar al-Asqaln:
Tsiqah lagi faqhYahya bin Main: TsiqahAl-Dzahabi: Tsiqah, mufti. 4)
Ismail bin AyyasyNama lengkap beliau adalah Ismil bin Ayysy bin
Sulaim al-Ans, Ab Khtim Utbah al-Khamsh. Beliau sering dijuluki
dengan nama Ab Utbah. Al-Mufaddil mengatakan bahwa al-Ans adalah
nisbah kepada tuannya, karena Ismil bin Ayysy adalah pembantu dari
Ansi. Para ulama hadits berbeda pendapat mengenai tanggal kelahiran
beliau, ada yang mengatakan pada tahun 102 H, ada yang mengatakan
yang mengatakan 105 H, ada yang mengatakan 110 H, ada yang
mengatakan 106 H, ada yang mengatakan 108 H. Para ulama hadits juga
berbeda pendapat mengenai tanggal wafat beliau, ada yang mengatakan
pada tahun 181 H, ada pula yang mengatakan 182 H. Keseharin beliau
atau semasa hidupnya berdomisili di Negara Syam.Komentar ulama
terhadap Ismil bin Ayysy:Bukhri berkata: jika ia meriwayatkan
hadits di kalangan penduduk negerinya sendiri yakni Syam maka
hadits nya sahih, tetapi bila ia meriwayatkan hadits selain dari
Syam maka hadits nya dipertanyakan ( banyak pendapat
disana).Ad-Drim berkata: Ismil bin Ayysy dipercaya dikalangan
orang-orang Syam, namun dicela/kacau dikalangan orang-orang
Madinah.Yaqub berkata: komentar satu kaum mengenai Ismil bin Ayysy,
kebanyakan orang lebih mengenal beliau meriwayatkan hadits di Syam,
tsiqah lagi adil, tidak ada orang yang membantahnya, dan kebanyakan
orang tidak percaya jika ia meriwayatkan hadits di kalangan
orang-orang madinah maupuan makkah karena biasanya ia
meriwayatkannya sendiri.Yahya bin Man berkata: Ismil bin Ayysy
tsiqah riwayatnya di kalangan orang-orang Syam, sedangkan
riwayatnya dikalangan orang-orang Hijaj dan Iraq dinilai kacau
hafalannya, bahkan orang-orang Iraq tidak suka hadits yang
diriwayatkan darinya. Ibnu Ab Syaibah berkata: riwayat hadits nya
dipercaya jika dari kalangan sahabat di Syam, sedangkan hadits nya
dianggap dhoif selain dari kalangan sahabat di Syam.Ahmad bin hambl
berkata: Husnu riwayatihi 'an al-Syamiyyin.Ali bin al-Madani
berkata: Tsiqah bila meriwayatkan hadits dikalangan penduduk Syam,
dan dhoif selain di Syam.Ibnu Hjar al-Asqaln berkata: ia jujur bila
meriwayatkan dari negrinya sendiri yakni SyamAmru bin Al Fallas:
Tsiqah bila meriwayatkan hadits dikalangan penduduk Syam, dan dhoif
selain di Syam.Dahim: Tsiqah bila meriwayatkan hadits dikalangan
penduduk Syam, dan dhoif selain di Syam. 5) Hasan bin ArafahNama
lengkapnya adalah Al-hasan bin Arafah bin Yzid al-Abd, nama
kunyahnya adalah Ab Ali al-Bagdadi al-Muaddib. Beliau termasuk
kalangan Tbiul Atb kalangan tua. Semasa hidup beliau lebih banyak
berdomisili di Bagdad. Dikatakan bahwa beliau wafat pada tahun 257
H. Komentar ulama terhadap beliau:Ahmad bin Hambl berkata: beliau
tsiqah dalam meriwayatkan hadits Ibnu Ab Khtim berkata: beliau
orang yang terkenal dengan kejujurannyaAn-Nasi berkata: La basa
bihIbnu Hjar al-Asqaln berkata: ShudqYahya bin Man berkata: beliau
tsiqah dalam meriwayatkan hadits Ad-Druqutn berkata: La basa bih.
6) Ali bin HujrNama lengkap beliau adalah Ali bin Hujr bin Iys bin
Muqtil bin Mukhadits y bin Musyamrij bin Khlid al-Sad. Nama kunyah
beliau adalah Ab Hasan al-Marwaz Mengenai tempat tinggal beliau,
mula-mula beliau tinggal di Bagdad, kemudian pindah ke Marwa dan
menetap disana. Beliau termasuk orang yang sangat hati-hati dalam
menjaga hafalannya lagi tsiqah. Beliau termasuk dari kalangan Tbi'u
al-Tbi'in biasa. Disebutkan bahwa tanggal kelahirannya adalah pada
tahun 154 H, sedangkan wafatnya pada tahun 254 Jumadil Ula.Komentar
ulama terhadap Ali bin Hujr:Al-Mawarz berkata: beliau awalnya
tinggal di Bagdad lalu pindah ke Marwa kemudian menetap di desa
Zarzam, beliau termasuk orang yang terpandang, beliau juga seorang
hfid.An-Nasi berkata: Tsiqah, hfid, terpercaya.Ab Bakar al-Khattb
berkata: Shudq, hfidIbnu Hajar al-Asqaln berkata: Tsiqah,
hfidAl-dzahabi berkata: HfidAl-Hkim berkata: beliau termasuk dari
kalangan Syaikh. 7) At TirmidziImam At-Tirmidz nama lengkapnya
adalah Ab Ms Muhammad Ibn s Ibn Saurah Ibn Ms Ibn Al-Dhahak
As-Sulami Al-Bughi Al-Tirmidz Al-Imam Al-lim Al-Bari. Ahmad
Muhammad Syakir menambahnya dengan sebutan Al-Zhahir karena ia
mengalami kebutaan di masa tuanya Imam Al-Tirmidz terkenal dengan
sebutan Ab s. Beliau dilahirkan di tepi selatan sungai Jaihun,
Usbekistan, di kota Tirmidz.Komentar ulama terhadap At-TirmidzIbnu
Hibbn menuturkan: Abu 's adalah sosok ulama yang mengumpulkan
hadits , membukukan, menghafal dan mengadakan diskusi dalam hal
hadits .Ab Ya'la al-Khalili menuturkan: Muhammad bin 's at-Tirmidz
adalah seorang yang tsiqah menurut kesepakatan para ulama, terkenal
dengan amanah dan keilmuannya. I. Penetapan HukumSetelah melihat
biografi para perawi diatas, bahwa hadits at-Tirmidz yang
bersanadkan Ibnu Umar, Nfi, Ms bin Uqbah, Ismil bin Ayysy, Hasan
bin Arafah, dan Ali bin Hujr, kemudian at-Tirmidz adalah bersambung
secara sanadnya, karena satu dengan yang lainnya diantara mereka
menjadi guru dan murid, dan memungkinkan untuk bertemu.Namun
apabila dilihat nilai kualitas dari masing-masing perawi
berdasarkan komentar para ulama diatas, terdapat perawi yang
dinilai dhoif , yakni Ismil bin Ayysy. para ulama menilai bahwa
riwayat Ismil bin Ayysy dinilai dhoif jika meriwayatkan hadits
selain negerinya sendiri yakni di kalangan orang-orang syam. Dan
ternyata dalam hadits ini beliau meriwayatkannya dari Ms bin Uqbah
yang ternyata berasal dari Madinah. Sehingga, berdasarkan hasil
kritik terhadap sanad yang telah penulis paparkan diatas, maka
hadits at-Tirmidz tentang larangan membaca al-Quran bagi wanita
haid dan orang junub nilainya berstatus DHOIF . Dengan demikian
hadits riwayat at-Tirmidz ini tidak dapat dijadikan hujjah terhadap
larangan membaca al-Quran bagi wanita haid dan orang junub.Imam
al-Bazzr dalam kitab Illal al-Rzi mengatakan bahwa yang benar
hadits ini adalah mauquf yakni terhenti pada sahabat Ibnu Umar,
artinya ini bukanlah sabda Rasullah akan tetapi hanya perkataan
Ibnu Umar saja. Al-Hfizh Ibnu Hjar al-Asqaln mengatakan bahwa
didalam kitab Bukhri tak ada satupun hadits yang menyangkut soal
ini, yakni melarang orang junub dan perempuan haid membaca
al-Quran, dan ini diakui kebenarannya. Dan sejauh penelusuran
penulis, memang tidak ditemukan satu hadits pun yang melarang
perempuan haid maupun orang junub membaca al-Quran didalam sahih
Bukhri dan sahih Muslim. Sebagai implikasi dari penelitian diatas
maka dapat direkomendasikan bahwa hadits riwayat at-Tirmidz ini
tidak dapat dijadikan hujjah terhadap larangan membaca al-Quran
bagi wanita haid dan orang junub. Oleh karenanya bagi orang junub
terlebih bagi para wanita khususnya yang sudah aqil baligh tetaplah
boleh membaca alquran meskipun mereka dalam keadaan haid,
lebih-lebih bagi para ibu guru dan murid perempuan tetaplah bisa
membaca, mempelajari, menghafal, dan mengkaji al- Quran disekolah
tanpa rasa takut lagi akan larangannya.J. Analisis Terhadap Yang
Mengharamkan Membaca Al QuranPara ulama berpendapat harom hukumnya
membaca al-Quran, berdasarkan hadits:1. Hadits Ibnu Umar : (Tidak
boleh) bagi seorang yang junub dan wanita haid, membaca Al-Quran
sedikitpunAnalisis Hadits.Hadits tersebut sebagaimana yang telah
dibahas diatas dikeluarkan oleh At-Tirmidzi no 131 dan selainnya,
yaitu dari jalan periwayatan Ismail bin Iyyas dari Musa bin Uqbah
dari Nafi dari Ibnu Umar secara marfu. Tetapi jika Ismail bin Iyyas
meriwayatkan dari selain ulama dari Syam, haditsnya dhoif. Sedang
Musa bukan termasuk ulama dari Syam tetapi dari Hijaz. Oleh karena
itulah Al-Baihaqi dalam kitab Al-Marifah berkomentar : Ini adalah
hadits yang hanya Ismail bin Iyyas saja yang meriwayatkan, sedang
hadits yang diriwayatkan dari ulama negeri Hijaz adalah dhoif. Maka
hadits tersebut tidak bisa dipakai hujjah/ dalil.Senada dengan
perkataan Al-Baihaqi ini adalah pendapat Al-Bukhori dan Imam Ahmad,
sebagaimana dalam kitab Tuhfadzul Ahwadzi. Ini adalah illah (cacat)
yang pertama, sedangkan illah (cacat) yang kedua adalah : Berkata
Abu Hatim dalam kitab Illalnya : Aku mendengar bapakku dan dan ia
menyebut Ismail bin Iyyas ini, lalu berkata : Ismail bin Iyyas
telah salah, karena hal itu tidak lain melainkan hanya perkataan
Umar saja2. Hadits Ali yang diriwayatkan oleh semua pemilik kitab
sunan, yaitu : Sungguh tidak ada sesuatu apapun yang menghalangi
Rosululloh shollallohu alaihi wa sallam untuk membaca Al-Quran
selain junubHadits ini juga dhoif, karena di jalan periwayatannya
ada perowi yang bernama Abdulloh bin Salamah yang bersendirian
dalam periwayatannya, sedangkan di akhir umurnya ia berubah (kacau
hafalannya).Asy-Syubah berkata : Kami mengetahui Abdulloh bin
Salamah dan kami mengingkari dia. Yaitu Abdulloh bin Salamah yang
telah tua umurnya ketika berjumpa dengan Amr bin Murroh , sedangkan
ia meriwayatkan hadits darinya (Amr bin Murroh).Al-Bukhori
menceritakan bahwa Amr bin Murroh berkata : Abdulloh bin Salamah
meriwayatkan hadits dari kami, kami mengetahuinya dan kami
mengingkarinya, lagi pula ia telah tua dan tidak ada yang mengikuti
haditsnya.3. Hadits Ali : Aku melihat Rosululloh shollallohu alaihi
wa sallam berwudhu kemudian membaca Al-Quran, lalu berkata :
beginilah bagi orang yang tidak junub. Adapun kalau junub maka
tidak boleh membaca Al-Quran walaupun satu ayatpun HR Ahmad dan Abu
YalaHadits tersebut dhoif, karena mempunyai dua cacat.Pertama dalam
jalan periwayatannya ada Amir bin As-Simthi, yaitu dia majhul
(tidak dikenal).Kedua : hadits tersebut mauquf.Ad-Daruquthni dan
yang lainnya mengeluarkan hadits tersebut dari jalan periwayatan
Abdul Ghorif dari Ali secara marfu. Tetapi Abdul Ghorif orangnya
majhul (tidak dikenal).4. Hadits Ali : Rosululloh shollallohu
alaihi wa sallam membaca Al-Quran dalam setiap keadaan kecuali
junub. HR TirmidziKesimpulannya hadits yang dipakai pendapat
pertama semuanya dhoif (lemah). Sehingga gugurlah berdalil dengan
hadits-hadits tersebut bahwa harom hukumnya membaca Al-Quran bagi
orang yang junub dan haid. Oleh karena itu, wajib merujuk kembali
pada hukum asal yaitu boleh membaca Al-Quran.4. Hadits yang point
(4)Maka daripada itu Ibnu taimiyyah berkata : Tidak ada satu
haditspun yang shohih yang menjelaskan haromnya membaca Al-Quran
bagi orang yang junub atau haid, karena hadits Tidak boleh bagi
seorang yang junub dan wanita haid membaca Al-Quran sedikitpun ,
merupakan hadits dhoif (lemah) berdasarkan kesepakatan ulama-ulama
yang mengetahui tentang hadits. Sungguh para wanita pada zaman Nabi
shollallohu alaihi wa sallam juga mengalami haid, jadi seandainya
membaca Al-Quran itu diharomkan kepada yang sedang haid sebagaimana
sholat, tentu hal itu akan dijelaskan oleh Nabi shollallohu alaihi
wa sallam kepada umatnya dan istri-istri beliaupun tentu akan
mengetahuinya, serta yang demikian itu akan dinukil oleh para
sahabat. Maka tatkala tidak ada seorangpun yang menukilkan dari
Nabi shollallohu alaihi wa sallam tentang larangan tersebut, tidak
boleh menghukumi harom karena beliau shollallohu alaihi wa sallam
tidak melarangnya. Apabila beliau tidak melarangnya sedang pada
saat itu banyak wanita haid, maka kita ketahui bahwa hal itu tidak
harom.Namun yang demikian itu tidak terlepas dari afdol (utama)
atau tidak. Dan yang paling utama adalah tidak membaca Al-Quran
dalam keadaan junub atau haid, berdasarkan hadits : Artinya :
Sungguh aku tidak suka berdzikir kepada Alloh dalam keadaan tidak
suci (dari hadats kecil maupun besar).Walaupun hadits ini
kejadiannya dilatar belakangi dalam hal menjawab salam, tetapi
Al-Quran lebih ditekankan lagi. Adanya hukum makruh tidak
meniadakan hukum boleh, karena makruh adalah meninggalkan perkara
yang afdol (utama) sebagaimana perkataan An-Nawawi.Malik, Abu
Hanifah dan Ahmad dalam satu riwayat, Dawud Dhohiri dan para
pendukungnya, Said bin Jubair, Ikrimah, Al-Bukhori, Ibnu Jarir
At-Thobari, Ibnul Mundzir dan An-Nakhoi berpendapat bolehnya
membaca Al-Quran, berdasarkan dalil :1. Hukum asal tidak ada
larangan untuk membaca Al-Quran, maka barang siapa yang melarang
membaca, ia harus mendatangkan dalil (bukti).2. Hadits Aisyah :
Artinya : Rosululloh shollallohu alaihi wa sallam berdzikir kepada
Alloh tiap saat (HR. Muslim)Dalam hadits ini secara dhohir
menunjukkan bahwa beliau shollallohu alaihi wa sallam juga membaca
Al-Quran ketika dalam keadaan junub, karena lafadz ( = tiap saat)
mencakup juga pada waktu keadaan junub dan lafadz ( = berdzikir
kepada Alloh) mencakup juga membaca Al-Quran.3. Hadits Aisyah :
Artinya : Kami keluar bersama Rosululloh shollallohu alaihi wa
sallam untuk menunaikan ibadah haji, maka ketika kami sampai di
desa Sarof, aku (Aisyah) mengalami haid lalu beliau shollallohu
alaihi wa sallam bersabda : Kerjakanlah sebagaimana yang dikerjakan
oleh orang haji kecuali thowaf di Kabah sampai engkau suci.
HR.BukhoriK. Organisasi Besar di Indonesia1. Pandangan NU
(Nahdhotul ulama)2. Pandangan MuhammadiyahL. Telaah Kualitas
Khadits tentang larangan Marah Haidh Membaca Al QuranM.
IkhtitamMaroji : Al-Muhalla I/no.116; Al-Ausath II/96; Nailul
Author I/335-336; Irwaul Gholil I/160; Al-Majmu II/358; Tuhfadzul
Ahwadzi I/342; Majmu Fatawa 21/36; Tamamul Minnah 117-119.DAFTAR
PUSTAKA1. Mushhaf Al-Quran1. Ibnu Katsir, Al Imam Al-Hafidz
Imaduddin Abil fida Ismail bin Katsir Ad-Dimasyqie, 1424 H / 2006
M. Beirut, lebanon: Darul Kutubil Ilmiyyah.2. Al-Qurthubie, Abu
Abdillah Muhammad bin Ahmad Al Anshorie, 1414 H / 1994 M,
Al-jamuulil Ahkamil Quran, Beirut, lebanon, Darul Fikr.3.
Al-Khazim, Alaudin Ali bin Muhammad bin Ibrahim Al-Baghdadi 1415 H
/ 1995 M, lubabut tawiel fil Maawiet Tanziel, Beirut, lebanon,
Darul Kutubil Ilmiyyah.4. Al-Baghowie, Abu Muhammad Al-Husain bin
Masud Al-Farra AlBaghowie Asy-Syafiie Al-imam maalimut Tanzil, 1415
H / 1995 M, Beirut, lebanon, Darul kutubil ilmiyyah.