Hukum Teknologi Reproduksi BuatanPERKEMBANGAN HUKUM TEKNOLOGI
REPRODUKSI BUATAN DI INDONESIA
dr.Yendi
by-tbng
PENDAHULUAN
Manusia sebagai makhluk hidup memiliki naluri untuk menjaga
kelangsungan hidupnya di dunia. Salah satu sifat insaniah manusia
adalah melanjutkan keturunannya sebagai pewaris peradabannya.
Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi ikut berpengaruh
terhadap cara manusia mengembangkan keturunannya, sehingga saat ini
terdapat dua cara manusia melangsungkan dan memperoleh
keturunannya, yaitu secara alamiah yang dilakukan melalui hubungan
langsung antara lawan jenis dan melalui pemanfaatan teknologi yang
dikenal juga dengan teknologi reproduksi buatan atau Assisted
Reproductive Technology/ART.
Teknik bayi tabung (InVitro Fertilization) dan teknik ibu
pengganti (surrogate mother) adalah metode teknologi reproduksi
buatan yang dilakukan saat ini. Assisted Reproductive
Technology/ART mengalami kemajuan yang pesat di berbagai negara
terutama di Eropa. Kelahiran bayi melalui teknologi reproduksi
buatan di 28 negara di Eropa dilaporkan mencapai 70.000 jiwa pada
tahun 2007. Di Indonesia teknologi reproduksi buatan ini juga mulai
lebih dikenal dan sering dilakukan akhir-akhir ini, seperti In
Vitro Fertilization (IVF) atau dikenal dengan teknik bayi tabung.
Tehnik ini memang menjadi pilihan bagi pasangan suami istri
terutama yang belum dikaruniai anak.
PERMASALAHAN
Penerapan teknologi reproduksi buatan berhubungan dengan
sekumpulan permasalahan yang komplek sehingga diperlukan suatu
pengaturan hukum agar terdapat jaminan kepastian hukum dalam
pelaksanaan teknologi reproduksi buatan. Perhatian semakin
meningkat terhadap masalah hukum yang berkaitan dengan penerapan
teknologi reproduksi buatan di negara-negara yang menerapkan
teknologi tersebut. Hal ini juga diikuti oleh peningkatan jumlah
kasus serta keberagaman keputusan pengadilan di seluruh dunia
mengenai penerapan teknologi ini.
Peraturan dan legalitas yang jelas sangat diperlukan untuk
memberikan jaminan perlindungan hukum bagi semua pihak yang
terlibat dalam pelaksanaan program teknologi reproduksi buatan.
Masing-masing negara mempunyai kebijakan tersendiri mengenai
legalitas, pembatasan, serta ketentuan teknis pelaksanaan teknologi
reproduksi buatan, tapi tetap mengacu pada penghormatan terhadap
hak asasi manusia yang disesuaikan dengan kultur dan budaya negara
tertentu.
Dengan demikian ruang lingkup permasalahan pada tulisan ini
adalah :
1. Bagaimana gambaran mengenai teknologi reproduksi buatan?
2. Bagaimana tinjauan hukum dalam penerapan teknologi reproduksi
buatan?
PEMBAHASAN
3.1. Teknologi Reproduksi Buatan
Pada dasarnya proses pembuahan yang alami terjadi dalam rahim
manusia melalui cara yang alami pula (hubungan seksual). Akan
tetapi pada kondisi tertentu pembuahan alami ini terkadang sulit
terwujud. Kondisi ini menyebabkan infertilitas yang menyebabkan
manusia tidak dapat memiliki keturunan.
Teknologi reproduksi buatan merupakan bagian dari pengobatan
infertilitas. Infertilitas dikatakan sebagai kelainan atau kondisi
sakit dalam masalah reproduksi. Manusia pada dasarnya mempunyai hak
untuk bebas dari sakit. Apabila infertilitas merupakan manifestasi
dari sakit maka semua manusia mempunyai hak untuk bebas dari
kondisi infertil atau dengan kata lain berhak untuk bereproduksi.
Teknologi reproduksi buatan digunakan untuk mengatasi infertilitas
ini, dimana apabila reproduksi secara alami tidak memungkinkan
dilakukan maka teknik reproduksi buatan dapat diterapkan.
Teknologi ini memberi kesempatan kepada pasangan suami istri
yang memiliki masalah dengan proses reproduksi untuk memiliki
keturunan yang tetap berasal dari benih mereka. Hak reproduksi
tidak hanya berarti hak untuk memperoleh keturunan, tetapi lebih
luas lagi berarti hak untuk hamil atau tidak hamil, hak untuk
menentukan jumlah anak, hak untuk mengatur jarak kelahiran.
Teknologi reproduksi buatan mencakup setiap fertilisasi yang
melibatkan manipulasi gamet (sperma, ovum) atau embrio diluar tubuh
serta pemindahan gamet atau embrio ke dalam tubuh manusia. Teknik
bayi tabung (InVitro Fertilization) dan teknik ibu pengganti
(Surrogate Mother) termasuk dalam teknologi reproduksi buatan
ini.
Pada perkembangannya teknologi reproduksi buatan semakin
berkembang menjadi beberapa teknik sebagai berikut:
1. In Vitro Fertilization & Embryo Transfer (IVF &
ET)
2. Gamete Intrafallopian Transfer (GIFT)
3. Zygote Intrafallopian Transfer (ZIPT)
4. Cryopreservation
5. Intra Cytoplasmic Sperm Injection
6. Pre-Implantation Genetic Diagnosis
7. Sex Selection.
Dalam perkembanganya selanjutnya muncul istilah-istilah lain
yang berhubungan dengan teknik reproduksi buatan seperti : Stem
cell, Human cloning, Assisted hatching, Follicular maturation,
serta penelitian lain, misalnya transplantasi uterus, transplantasi
ovarium, dan transplantasi endometrium.
3.1.1 Teknik Bayi Tabung (InVitro Fertilization)
Teknik bayi tabung atau pembuahan in vitro (in vitro
fertilisation) adalah sebuah teknik pembuahan dimana sel telur
(ovum) dibuahi di luar tubuh wanita. Prosesnya terdiri dari
mengendalikan proses ovulasi secara hormonal, pemindahan sel telur
dari ovarium dan pembuahan oleh sel sperma dalam sebuah medium
cair. Teknik bayi tabung pada manusia sebagai suatu teknologi
reproduksi berupa teknik menempatkan sperma di dalam vagina wanita,
pertama kali berhasil dipraktekkan pada tahun 1970. Awal
berkembangnya teknik bayi tabung bermula dari ditemukannya teknik
pengawetan sperma. Sperma bisa bertahan hidup lama bila dibungkus
dalam gliserol yang dibenamkan dalam cairan nitrogen pada
temperatur -321 derajat Fahrenheit.
Pada mulanya program pelayanan ini bertujuan untuk menolong
pasangan suami istri yang tidak mungkin memiliki keturunan secara
alamiah disebabkan tuba falopii istrinya mengalami kerusakan yang
permanen. Namun kemudian mulai ada perkembangan dimana kemudian
program ini diterapkan pula pada pasutri yang memiliki penyakit
atau kelainan lainnya yang menyebabkan tidak dimungkinkan untuk
memperoleh keturunan.
Dalam melakukan fertilisasi-in-virto transfer embrio dilakukan
dalam tujuh tingkatan dasar yang dilakukan oleh petugas medis,
yaitu :
1. Wanita diberi obat pemicu ovulasi yang berfungsi untuk
merangsang indung telur mengeluarkan sel telur yang diberikan
setiap hari sejak permulaan haid dan baru dihentikan setelah
sel-sel telurnya matang.
2. Pematangan sel-sel telur dipantau setiap hari melalui
pemeriksaan darah dan pemeriksaan ultrasonografi.
3. Pengambilan sel telur dilakukan dengan penusukan jarum
(pungsi) melalui vagina dengan tuntunan ultrasonografi.
4. Setelah dikeluarkan beberapa sel telur, kemudian sel telur
tersebut dibuahi dengan sel sperma suami yang telah diproses
sebelumnya dan dipilih yang terbaik.
5. Sel telur dan sperma yang sudah dipertemukan di dalam tabung
petri kemudian dibiakkan di dalam lemari pengeram. Pemantauan
dilakukan 18-20 jam kemudian dan keesokan harinya diharapkan sudah
terjadi pembuahan sel
6. Embrio yang berada dalam tingkat pembelahan sel ini kemudian
diimplantasikan ke dalam rahim wanita. Pada periode ini tinggal
menunggu terjadinya kehamilan.
7. Jika dalam waktu 14 hari setelah embrio diimplantasikan tidak
terjadi menstruasi dilakukan pemeriksaan air kemih untuk kehamilan,
dan seminggu kemudian dipastikan dengan pemeriksaan
ultrasonografi.
Berdasarkan asal sumber sperma pada proses bayi tabung maka
secara teknis teknik bayi tabung terdiri dari empat jenis,
yaitu:
1. Teknik bayi tabung dari sperma dan ovum suami isteri yang
dimasukkan kedalam rahim isterinya sendiri.
2. Teknik bayi tabung dari sperma dan ovum suami isteri yang
dimasukkan ke dalam rahim selain isterinya. Atau disebut juga sewa
rahim (Surrogate Mother).
3. Teknik bayi tabung dengan sperma dan ovum yang diambil dari
bukan suami/isteri.
4. Teknik bayi tabung dengan sperma yang dibekukan dari suaminya
yang sudah meninggal.
3.1.2. Teknik Ibu Pengganti (Surrogate Mother)
Teknik ibu pengganti dapat diartikan sebagai penggunaan rahim
wanita lain untuk mengandungkan benih wanita (ovum) yang telah
dibuahi oleh benih lelaki (sperma), dan janin itu dikandung oleh
wanita tersebut sehingga dilahirkan. Menurut Black\s Law Dictionary
yang dimaksud Surrogate mother adalah: 1. A woman who carries a
child to term on behalf of another woman and then assigns her
parental rights to that woman and the father. 2. A person who
carries out the role of a mother. Definisi tersebut dapat diartikan
sebagai wanita yang menggunakan rahimnya untuk hamil dimana janin
yang dikandungnya tersebut milik wanita lain dan setelah bayi lahir
hak kepemilikan atau hak asuh bayi tersebut diserahkan kepada
wanita lain tersebut dan ayah dari bayi tersebut.Praktek surrogate
mother atau lazim diterjemahkan dalam Bahasa Indonesia dengan ibu
pengganti tergolong metode atau upaya kehamilan di luar cara yang
alamiah.
Kaedah ini dikenal juga dengan sewa rahim karena lazimnya
pasangan suami isteri yang ingin memiliki anak ini akan memberikan
imbalan kepada ibu pengganti yang sanggup mengandung benih mereka,
dengan syarat ibu pengganti tersebut akan menyerahkan anak setelah
dilahirkan atau pada waktu yang telah ditetapkan sesuai perjanjian.
Teknik ibu pengganti biasanya dilakukan bila istri tidak mampu atau
tidak boleh hamil atau melahirkan. Embrio dibesarkan dan dilahirkan
dari rahim wanita lain bukan istri walaupun bayi itu menjadi milik
pasangan suami istri yang ingin mempunyai anak tersebut.
Beberapa alasan yang menyebabkan dilakukan teknik sewa rahim,
adalah:
1. Seorang wanita tidak mempunyai harapan untuk hamil secara
normal karena suatu penyakit atau kecacatan yang menghalanginya
untuk hamil dan melahirkan anak.
2. Rahim wanita tersebut dibuang karena pembedahan.
3. Wanita ingin memiliki anak tetapi tidak mau menjalani proses
kehamilan, melahirkan dan menyusui anak serta keinginan untuk
memelihara bentuk tubuh dengan menghindari akibat dari proses
kehamilan dan kondisi tubuh setelah melahirkan.
4. Wanita yang ingin memiliki anak tetapi telah mengalami
menopause.
5. Wanita yang ingin mencari pendapatan dengan menyewakan
rahimnya kepada orang lain.
Secara umum terdapat 5 bentuk tipe teknik sewa rahim, yaitu:
1. Sel telur isteri dipertemukan dengan sperma suami, kemudian
dimasukkan ke dalam rahim wanita lain. Kaedah ini digunakan dalam
keadaan isteri memiliki sel telur yang baik, tetapi rahimnya
dibuang karena pembedahan, kecacatan, akibat penyakit yang kronik
atau sebab-sebab yang lain.
2. Sama dengan tipe yang pertama, kecuali sel telur dan sperma
yang telah dipertemukan tersebut dibekukan dan dimasukkan ke dalam
rahim ibu pengganti setelah kematian pasangan suami isteri itu.
3. Sel telur isteri dipertemukan dengan sperma lelaki lain
(bukan suaminya) dan dimasukkan ke dalam rahim wanita lain. Keadaan
ini apabila suami mandul dan isteri ada halangan atau kecacatan
pada rahimnya tetapi sel telur isteri dalam keadaan baik.
4. Sperma suami dipertemukan dengan sel telur wanita lain,
kemudian dimasukkan ke dalam rahim wanita lain. Keadaan ini berlaku
apabila isteri mengalami penyakit pada kandung telur dan rahimnya
sehingga tidak mampu menjalani kehamilan, atau isteri telah
mencapai tahap menopause.
5. Sperma suami dan sel telur isteri dipertemukan, kemudian
dimasukkan ke dalam rahim isteri yang lain dari suami yang sama.
Dalam keadaan ini isteri yang lain sanggup mengandungkan anak
suaminya dari isteri yang tidak boleh hamil.
3.2. Tinjauan Hukum Teknologi Reproduksi Buatan
3.2.1 Tinjauan Hukum Dan Etik Dari Berbagai Negara Dan
Organisasi
Inggris
Inggris merupakan negara pertama yang mempunyai peraturan
tentang teknik reproduksi buatan. Tahun 1982 dibentuk Committee of
Enquiry into Human Fertillisation and Embryology yang dipimpin oleh
Dame Mary Warnock. Komite ini bertujuan untuk memberi masukan,
pandangan dan pertimbangan pada pemerintah menyangkut aspek-aspek
sosial, hukum, etika dan moral di masyarakat yang berkaitan dengan
perkembangan fertilisasi manusia dan embriologi. Komite ini
terkenal dengan Warnock Report-nya pada tahun 1984 yang menekankan
pentingnya pengaturan tentang teknik reproduksi buatan.
Tahun 1990 dibentuk suatu badan independen yang dinamakan Human
Fertillsation and Embriology Authority (HFEA) yang berfungsi
sebagai penasehat dalam pelaksanaan kegiatan penelitian reproduksi
buatan dan pemberian ijin legalnya, serta melakukan pengawasan
terhadapnya.
Beberapa kebijakan HFEA melarang :
1. Penelitian dan penyimpanan terhadap embrio manusia yang
berusia lebih dari 14 hari
2. Menyimpan gamet atau embrio manusia pada binatang atau
sebaliknya
3. Menyimpan atau menggunakan embrio manusia untuk tujuan lain,
selain untuk tujuan memperoleh keturunan bagi pasangan yang diatur
peraturan lain
4. Melakukan cloning untuk tujuan reproduksi manusia
The International Islamic Center for Population Studies and
Research
Dalam lokakarya yang diselenggarakan oleh The International
Islamic Center For Population Studies and Research bertempat di
Universitas Al-Azhar, Kairo, Mesir, dihasilkan pernyataan antara
lain:
1. Fertilisasi in vitro diperbolehkan, kecuali menggunakan
sperma, ovum atau embrio didapat dari donor.
2. Pre-Implantation Genetic Diagnosis (PGD) diperbolehkan untuk
menghindari adanya penyakit genetis, tetapi sex selection tidak
diperbolehkan.
3. Penelitian untuk pematangan folikel (follikel maturation),
pematangan oosit in-vitro atau pertumbuhan oosit in-vitro
diperbolehkan.
4. Implantasi embrio pada suami yang telah meninggal, belum
mempunyai keputusan yang tetap.
5. IVF pada ibu pasca menopause dilarang, karena beresiko tinggi
pada ibu dan bayinya
6. Transplantasi uterus masih dalam pertimbangan, penelitian
pada binatang diperbolehkan.
7. Penggunaan stem cells untuk pengobatan masih dalam
perdebatan, diharapkan dapat disetujui.
8. Reproductive cloning atau kloning pada manusia, dilarang.
International Federation of Gynecology and Obstetrics (FIGO)
Beberapa ketentuan etik yang dikeluarkan FIGO antara lain:
1. Preconceptional sex selection untuk maksud diskriminasi seks
dilarang, tetapi untuk menghindari penyakit tertentu, misalnya
sex-linked genetic disorders, penelitiannya dapat dilanjutkan.
2. Reproductive cloning atau kloning pada manusia, dilarang
3. Theraupetic cloning (stem cell) dapat disetujui
4. Penelitian pada embiro manusia, sampai 14 hari pasca
fertilisasi (pre-embrio), tidak termasuk periode simpan beku:
Diperbolehkan apabila tujuannya bermanfaat untuk kesehatan
manusia.
Harus mendapat ijin dari pemilik pe-embrio.
Harus disyahkan oleh komisi atau badan khusus yang mengatur hal
tersebut.
Tidak boleh ditransfer ke dalam uterus, kecuali untuk
mendapatkan outcome kehamilan yang lebih baik.
Tidak untuk tujuan komersial.
5. Tidak etis melakukan hal-hal berikut:
Melakukan penelitian, seperti kloning setelah masa pre-embrio
(14 hari setelah fertilisasi).Mendapatkan hybrid dengan fertilisasi
inter-spesies.Implantasi pre-embrio ke dalam uterus spesies
lain.Manipulasi genome pre-embrio, kecuali untuk tujuan pengobatan
suatu penyakit.
3.2.2. Hukum Dan Etika Reproduksi Buatan Di Indonesia
Di Indonesia, hukum dan perundangan mengenai teknik reproduksi
buatan diatur dalam:
1. UU Kesehatan no. 36 tahun 2009, pasal 127 menyebutkan bahwa
upaya kehamilan di luar cara alamiah hanya dapat dilakukan oleh
pasangan suami istri yang sah dengan ketentuan:
a) Hasil pembuahan sperma dan ovum dari suami istri yang
bersangkutan ditanamkan dalam rahim istri dari mana ovum
berasal;
b) dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan
kewenangan untuk itu;
c) pada fasilitas pelayanan kesehatan tertentu.
2. Keputusan Menteri Kesehatan No. 72/Menkes/Per/II/1999 tentang
Penyelenggaraan Teknologi Reproduksi Buatan, yang berisikan:
ketentuan umum, perizinan, pembinaan, dan pengawasan, Ketentuan
Peralihan dan Ketentuan Penutup.
Selanjutnya Keputusan MenKes RI tersebut dibuat Pedoman
Pelayanan Bayi Tabung di Rumah Sakit, oleh Direktorat Rumah Sakit
Khusus dan Swasta, DepKes RI, yang menyatakan bahwa:
1. Pelayanan teknik reprodukasi buatan hanya dapat dilakukan
dengan sel sperma dan sel telur pasangan suami-istri yang
bersangkutan.
2. Pelayanan reproduksi buatan merupakan bagian dari pelayanan
infertilitas, sehingga sehinggan kerangka pelayannya merupakan
bagian dari pengelolaan pelayanan infertilitas secara
keseluruhan.
3. Embrio yang dipindahkan ke rahim istri dalam satu waktu tidak
lebih dari 3, boleh dipindahkan 4 embrio dalam keadaan:
Rumah sakit memiliki 3 tingkat perawatan intensif bayi baru
lahir.
Pasangan suami istri sebelumnya sudah mengalami
sekurang-kurangnya dua kali prosedur teknologi reproduksi yang
gagal.
Istri berumur lebih dari 35 tahun.
4. Dilarang melakukan surogasi dalam bentuk apapun
5. Dilarang melakukan jual beli spermatozoa, ova atau embrio
6. Dilarang menghasilkan embrio manusia semata-mata untuk
penelitian, Penelitian atau sejenisnya terhadap embrio manusia
hanya dapat dilakukan apabila tujuannya telah dirumuskan dengan
sangat jelas
7. Dilarang melakukan penelitian dengan atau pada embrio manusia
dengan usia lebih dari 14 hari setelah fertilisasi
8. Sel telur yang telah dibuahi oleh spermatozoa manusia tidak
boleh dibiakkan in-vitro lebih dari 14 hari (tidak termasuk waktu
impan beku)
9. Dilarang melakukan penelitian atau eksperimen terhadap atau
menggunakan sel ova, spermatozoa atau embrio tanpa seijin dari
siapa sel ova atau spermatozoa itu berasal.
10. Dilarang melakukan fertilisasi trans-spesies, kecuali
fertilisasi tran-spesies tersebut diakui sebagai cara untuk
mengatasi atau mendiagnosis infertilitas pada manusia. Setiap
hybrid yang terjadi akibat fretilisasi trans-spesies harus diakhiri
pertumbuhannya pada tahap 2 sel.
Etika Teknologi Reproduksi Buatan belum tercantum secara
eksplisit dalam Buku Kode Etik Kedokteran Indonesia. Tetapi dalam
addendum 1, dalam buku tersebut di atas terdapat penjelasan khusus
dari beberapa pasal revisi Kodeki Hasil Mukernas Etik Kedokteran
III, April 2002. Pada Kloning dijelaskan bahwa pada hakekatnya:
menolak kloning pada manusia, karena menurunkan harkat, derajat dan
serta martabat manusia sampai setingkat bakteri, menghimbau ilmuwan
khususnya kedokteran, untuk tidak mempromosikan kloning pada
manusia, dan mendorong agar ilmuwan tetap menggunakan teknologi
kloning pada :
1. sel atau jaringan dalam upaya meningkatkan derajat kesehatan
misalnya untuk pembuatan zat antigen monoclonal.
2. sel atau jaringan hewan untuk penelitian klonasi organ, ini
untuk melihat kemungkinan klonasi organ pada diri sendiri.
Aspek Hukum Bayi Tabung (InVitro Fertilization)
Teknologi bayi tabung dan inseminasi buatan merupakan hasil
terapan sains modern yang pada prinsipnya bersifat netral sebagai
bentuk kemajuan ilmu kedokteran dan biologi. Sehingga meskipun
memiliki daya guna tinggi teknologi ini juga rentan terhadap
penyalahgunaan dan kesalahan etika.
Teknologi bayi tabung merupakan upaya kehamilan di luar cara
alamiah. Dalam hukum Indonesia, upaya kehamilan di luar cara
alamiah diatur dalam pasal 127 UU No. 36 Tahun 2009 tentang
Kesehatan. Dalam pasal ini dinyatakan bahwa upaya kehamilan di luar
cara alamiah hanya dapat dilakukan oleh pasangan suami istri yang
sah dengan ketentuan:
a) Hasil pembuahan sperma dan ovum dari suami istri yang
bersangkutan ditanamkan dalam rahim istri dari mana ovum
berasal;
b) dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan
kewenangan untuk itu;
c) pada fasilitas pelayanan kesehatan tertentu.
Jadi, yang diperbolehkan oleh hukum Indonesia adalah metode
pembuahan sperma dan ovum dari suami istri yang sah yang ditanamkan
dalam rahim istri dari mana ovum berasal. Metode ini dikenal dengan
metode bayi tabung. Adapun metode atau upaya kehamilan di luar cara
alamiah selain yang diatur dalam pasal 127 UU Kesehatan, termasuk
ibu pengganti atau sewa menyewa/penitipan rahim, secara hukum tidak
dapat dilakukan di Indonesia.
Permasalahan perdata yang timbul berkaitan dengan teknologi bayi
tabung antara lain adalah:
1. Bagaimanakah status keperdataan dari bayi yang dilahirkan
melalui proses bayi tabung?
2. Bagaimanakah hubungan perdata bayi tersebut dengan orang tua
biologisnya? Apakah ia mempunyai hak mewaris?
3. Bagaimanakah hubungan perdata bayi tersebut dengan surogate
mother-nya (dalam kasus terjadi penyewaan rahim) dan orang tua
biologisnya? Darimanakah ia memiliki hak mewaris?
Tinjauan dari Segi Hukum Perdata Terhadap teknologi bayi
tabung:
1. Jika benihnya berasal dari Suami Istri.
a. Jika benihnya berasal dari Suami Istri, dilakukan proses
fertilisasi-in-vitro transfer embrio dan diimplantasikan ke dalam
rahim Istri maka anak tersebut baik secara biologis ataupun yuridis
mempunyai satus sebagai anak sah (keturunan genetik) dari pasangan
tersebut. Akibatnya memiliki hubungan mewaris dan hubungan
keperdataan lainnya.
b. Jika ketika embrio diimplantasikan ke dalam rahim ibunya di
saat ibunya telah bercerai dari suaminya maka jika anak itu lahir
sebelum 300 hari perceraian mempunyai status sebagai anak sah dari
pasangan tersebut. Namun jika dilahirkan setelah masa 300 hari,
maka anak itu bukan anak sah bekas suami ibunya dan tidak memiliki
hubungan keperdataan apapun dengan bekas suami ibunya. Dasar hukum
pasal 255 KUH Perdata.
c. Jika embrio diimplantasikan ke dalam rahim wanita lain yang
bersuami, maka secara yuridis status anak itu adalah anak sah dari
pasangan penghamil, bukan pasangan yang mempunyai benih. Dasar
hukum pasal 42 UU No. 1/1974 dan pasal 250 KUH Perdata. Dalam hal
ini Suami dari Istri penghamil dapat menyangkal anak tersebut
sebagai anak sah-nya melalui tes golongan darah atau dengan jalan
tes DNA. (Biasanya dilakukan perjanjian antara kedua pasangan
tersebut dan perjanjian semacam itu dinilai sah secara perdata
barat, sesuai dengan pasal 1320 dan 1338 KUH Perdata.)
d. Jika salah satu benihnya berasal dari donor
1. Jika Suami mandul dan Istrinya subur, maka dapat dilakukan
fertilisasi-in-vitro transfer embrio dengan persetujuan pasangan
tersebut. Sel telur Istri akan dibuahi dengan Sperma dari donor di
dalam tabung petri dan setelah terjadi pembuahan diimplantasikan ke
dalam rahim Istri. Anak yang dilahirkan memiliki status anak sah
dan memiliki hubungan mewaris dan hubungan keperdataan lainnya
sepanjang si Suami tidak menyangkalnya dengan melakukan tes
golongan darah atau tes DNA. Dasar hukum pasal 250 KUH Perdata.
2. Jika embrio diimplantasikan ke dalam rahim wanita lain yang
bersuami maka anak yang dilahirkan merupakan anak sah dari pasangan
penghamil tersebut. Dasar hukum pasal 42 UU No. 1/1974 dan pasal
250 KUH Perdata.
3. Jika semua benihnya dari donor
1. Jika sel sperma maupun sel telurnya berasal dari orang yang
tidak terikat pada perkawinan, tapi embrio diimplantasikan ke dalam
rahim seorang wanita yang terikat dalam perkawinan maka anak yang
lahir mempunyai status anak sah dari pasangan Suami Istri tersebut
karena dilahirkan oleh seorang perempuan yang terikat dalam
perkawinan yang sah.
2. Jika diimplantasikan ke dalam rahim seorang gadis maka anak
tersebut memiliki status sebagai anak luar kawin karena gadis
tersebut tidak terikat perkawinan secara sah dan pada hakekatnya
anak tersebut bukan pula anaknya secara biologis kecuali sel telur
berasal darinya. Jika sel telur berasal darinya maka anak tersebut
sah secara yuridis dan biologis sebagai anaknya.
Dari tinjauan yuridis menurut hukum perdata barat di Indonesia
terhadap kemungkinan yang terjadi dalam program
fertilisasi-in-vitro transfer embrio ditemukan beberapa kaidah
hukum yang sudah tidak relevan dan tidak dapat menutup kebutuhan
yang ada serta sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan yang ada
khususnya mengenai status sahnya anak yang lahir dan pemusnahan
kelebihan embrio yang diimplantasikan ke dalam rahim ibunya.
Berdasarkan asas leg spesialis retrograde leg generale dalam
ketentuan hukum maka berdasarkan hukum yang berlaku di Indonesia
teknologi bayi tabung yang diperbolehkan adalah yang sesuai dengan
ketentuan pasal 127 UU Kesehatan No. 36 tahun 2009, dimana sperma
dan sel telur berasal dari pasangan suami istri dan ditanamkan
dalam rahim istrinya tersebut. Dengan demikian, walaupun terdapat
ketentuan lain yang mengatur mengenai hubungan perdata dalam proses
inseminasi buatan dan teknologi bayi tabung selain yang diatur UU
Kesehatan No. 36 tahun 2009, ketentuan tersebut akan batal dengan
sendirinya demi hukum karena bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan lain yang lebih spesifik mengatur masalah
tersebut, dalam hal ini UU Kesehatan No. 36 tahun 2009.
Aspek Hukum Ibu Pengganti (Surrogate Mother)
Dalam hukum Indonesia, praktek ibu pengganti secara implisit
tidak diperbolehkan. Dalam pasal 127 UU No. 36 Tahun 2009 tentang
Kesehatan diatur bahwa upaya kehamilan di luar cara alamiah hanya
dapat dilakukan oleh pasangan suami istri yang sah dengan
ketentuan:
a) Hasil pembuahan sperma dan ovum dari suami istri yang
bersangkutan ditanamkan dalam rahim istri dari mana ovum
berasal;
b) dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan
kewenangan untuk itu;
c) pada fasilitas pelayanan kesehatan tertentu.
Jadi, yang diperbolehkan oleh hukum Indonesia adalah metode
pembuahan sperma dan ovum dari suami istri yang sah yang ditanamkan
dalam rahim istri dari mana ovum berasal. Metode ini dikenal dengan
metode bayi tabung. Adapun metode atau upaya kehamilan di luar cara
alamiah selain yang diatur dalam pasal 127 UU Kesehatan, termasuk
ibu pengganti atau sewa menyewa/penitipan rahim, secara hukum tidak
dapat dilakukan di Indonesia. Sebagai informasi tambahan, praktek
transfer embrio ke rahim titipan (bukan rahim istri yang memiliki
sel telur tersebut) telah difatwakan haram oleh Majelis Ulama
Indonesia (MUI) pada 26 Mei 2006.
Praktek ibu pengganti atau sewa menyewa rahim belum diatur di
Indonesia. Oleh karena itu, tidak ada perlindungan hukum bagi para
pelaku perjanjian ibu pengganti ataupun sewa menyewa rahim.
Dalam pasal 1338 KUHPer memang diatur mengenai kebebasan
berkontrak, di mana para pihak dalam berkontrak bebas untuk membuat
perjanjian, apapun isi dan bagaimanapun bentuknya:
Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku bagi
undang-undang bagi mereka yang membuatnya.
Akan tetapi, asas kebebasan berkontrak tersebut tetap tidak
boleh melanggar syarat-syarat sahnya perjanjian dalam pasal 1320
KUHPer yaitu:
1. Kesepakatan para pihak;
2. Kecakapan para pihak;
3. Mengenai suatu hal tertentu; dan
4. Sebab yang halal.
Jadi, salah satu syarat sahnya perjanjian adalah harus memiliki
sebab yang halal, yaitu tidak bertentangan dengan undang-undang,
kesusilaan, maupun dengan ketertiban umum (pasal 1320 jo pasal 1337
KUHPer). Sedangkan praktek ibu pengganti bukan merupakan upaya
kehamilan yang dapat dilakukan menurut UU Kesehatan. Dengan
demikian syarat sebab yang halal ini tidak terpenuhi.
Dalam konteks tidak dipenuhinya persyaratan yang menyangkut
syarat yang melekat pada objek perjanjian (sebab yang halal) bisa
berakibat antara lain:
1. menjadi dasar atau alasan bagi salah satu pihak untuk
menuntut kebatalan demi hukum perjanjian tersebut karena perjanjian
tidak memenuhi syarat sebab atau kausa yang halal, dan
2. tidak ada landasan hukum bagi wanita pemilik sel telur atau
suaminya untuk menuntut si ibu pengganti dalam hal ia tidak mau
menyerahkan bayi yang dititipkan dalam rahimnya tersebut.
Hal lain yang penting diperhatikan dalam ibu pengganti adalah
hak-hak anak yang terlahir dari ibu pengganti tidak boleh
terabaikan, khususnya hak identitas diri yang dituangkan dalam akta
kelahiran (lihat pasal 27 UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan
Anak). Apabila terjadi perselisihan antara Ibu dengan si ibu
pengganti, maka penyelesaiannya harus mengedepankan prinsip
kepentingan terbaik bagi si anak.
3.2.3 Dilema Etik Dan Hukum Dalam Teknik Reproduksi Buatan
Semakin berkembangnya teknologi Reproduksi Buatan dan dan
semakin berkembangnya dinamika pemikiran masyarakat mengenai etika,
norma, nilai dan keyakinan yang dianut. Dalam satu sisi
perkembangan teknologi tidak dapat dibendung sedangkan perangkat
yang mengatur etika dan hukum belum dapat mengikuti. Sebagai
hasilnya, penilaian benar atau tidak hanya didasarkan pada sisi
kepentingan saja.
Gap yang terjadi ini memerlukan diskusi dan pemikiran dari para
ahli dari lintas disiplin sehingga hal-hal yang dapat menurunkan
derajat dan martabat manusia yang mungkin terjadi dalam
penyelenggaraan teknik reproduksi buatan dapat dihindari.
KESIMPULAN DAN SARAN
4.1. Kesimpulan
1. Teknologi reproduksi buatan merupakan hasil kemajuan ilmu
pengetahuan dan teknologi yang pada prinsipnya bersifat netral dan
dikembangkan untuk meningkatkan derajat hidup dan kesejahteraan
umat manusia. Dalam pelaksanaannya akan berbenturan dengan berbagai
permasalahan moral, etika, dan hukum yang komplek sehingga
memerlukan pertimbangan dan pengaturan yang bijaksana dalam rangka
memberikan jaminan perlindungan hukum terhadap semua pihak yang
terlibat dalam penerapan teknologi reproduksi buatan dengan tetap
mengacu kepada penghormatan harkat dan martabat manusia serta
menjunjung tinggi hak asasi manusia.
2. Pandangan internasional terhadap teknologi reproduksi buatan
memiliki kesamaan terhadap tujuan pelaksanaan dan pengembangan
teknologi reproduksi buatan yaitu dalam rangka memajukan dan
mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam batas-batas
penghargaan terhadap hak asasi manusia serta harkat dan derajat
manusia untuk meningkatkan kesejahteraan umat manusia.
3. Hukum Indonesia mengatur mengenai teknologi reproduksi
manusia sebatas upaya kehamilan diluar cara alamiah, dengan sperma
dan sel telur yang berasal pasangan suami isteri dan ditanamkan
dalam rahim isteri. Dengan demikian teknologi bayi tabung yang
sperma dan sel telurnya berasal dari suami isteri dan ditanamkan
dalam rahim isteri diperbolehkan di Indonesia, sedangkan teknik ibu
pengganti (surrogate mother) tidak diizinkan dilakukan.
4.2 Saran
1. Agar pemerintah dan organisasi profesi memperkuat pengawasan
dan meningkatkan kesadaran terhadap pentingnya kontrol etika dan
moral dalam penerapan teknologi reproduksi buatan serta membuat dan
menerapkan peraturan yang jelas dalam rangka memberikan rambu-rambu
dalam pelaksanaan teknologi tersebut sehingga mampu memberikan
perlindungan hukum bagi semua pihak yang terlibat dalam penerapan
teknologi reproduksi buatan.
2. Agar semua praktisi yang terlibat dalam teknologi reproduksi
buatan memperhatikan aspek moralitas, etika, dan ketentuan hukum
yang berlaku sehingga segala tindakan yang dilakukan tetap berada
dalam koridor yang benar dan terhindar dari permasalahan hukum.
DAFTAR PUSTAKA
1. Benagiano G, Carrara S, Filippi V. Sex and reproduction: an
evolving relationship. Hum Reprod Update. 2009; 16 (1): 96-107.
2. Garner BA, Schultz DW, Cooper LA, Powell EC, editor. Blacks
law dictionary. Edisi ke-7. Minnesotta: West Group; 1999.
3. Hanafiah MJ. Reproduksi manusia. Dalam: Hanafiah MJ, Amir A,
editor. Etika kedokteran dan hukum kesehatan. Edisi ke-3. Jakarta:
Penerbit Buku Kedokteran EGC; 1999. h. 94-115.
4. Kharb D. Assisted reproductive techniques ethical and legal
concern. The Internet Journal of Law, Healthcare and Ethics. 2007:
4 (2).
5. Dirjen Pelayanan Medik. Pedoman pelayanan bayi tabung di
rumah sakit. Jakarta: Departemen Kesehatan RI; 2000.
6. Semiawan C, Setiawan TI, Yufiarti. Reproduksi dan
bioteknologi. Dalam: Semiawan C, Setiawan TI, Yufiarti, editor.
Panorama filsafat ilmu. Jakarta: Penerbit Teraju; 2007. h.
41-55.
Dasar hukum peraturan perundang-undangan:
1. Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan
2. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek Voor
Indonesie atau BW, Staatsblad 1847 No. 23)
3. Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
4. Keputusan Menteri Kesehatan No. 72/Menkes/Per/II/1999 tentang
Penyelenggaraan Teknologi Reproduksi Buatan.
5. Keputusan Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia No.
221/PB/A.4/2002 tentang Penerapan Kode Etik Kedokteran
Indonesia.
Jadilah orang pertama yang menyukai tulisan iniApakah anda
menyukai tulisan ini ?Suka tulisan iniTags: reproduksi buatan, bayi
tabung, surrogate mother, Add new tag, hukum teknologi
reproduksi
This entry was posted on Kamis, Februari 17th, 2011 at 02:09and
is filed unde