Top Banner
PANCASILA SEBAGAI FILSAFAT BANGSA INDONESIA Oleh : B. Arief Sidharta 1. Kelompok generasi pertama sarjana hukum orang Indonesia, yakni orang-orang Indonesia yang memiliki keahlian di bidang hukum yang terdidik secara akademik, mempelajari hukum di Rechtshogeschool (Sekolah Tinggi Hukum) di Jakarta yang dibentuk pada tahun 1924 oleh Pemerintah Hindia-Belanda dan atau Universitas Leiden di Belanda. Para gurubesar yang mengajar pun adalah orang-orang Belanda. Kurikulum dan sistem pengajarannya dan obyek yang diajarkannya (hukum dan Ilmu Hukum) adalah juga sama dengan yang dijalankan di Belanda. Jadi, hukum, Ilmu Hukum dan cara berpikir yuridik yang diajarkan dan yang dipelajari, baik yang di Jakarta maupun yang di Belanda (Leiden), adalah hukum dan Ilmu Hukum serta cara berpikir yuridik Belanda (civil law). Dan, Ilmu Hukum, hukum dan cara berpikir hukum itulah juga yang kemudian diajarkan kepada generasi-generasi berikutnya. Pada masa kini, juga cara berpikir yuridik Amerika (common law), varian lain dari cara berpikir Barat, mulai mempengaruhi cara berpikir para ahli hukum orang Indonesia. Jadi, para ahli hukum Indonesia itu terbentuk melalui sistem pendidikan Barat, dan dengan demikian cara berpikir yang tertanam ke dalam para ahli hukum itu adalah cara berpikir Barat. Secara lebih umum, dapat dikatakan bahwa kelompok orang-orang terdidik Indonesia terbentuk melalui sistem pendidikan Barat dan ilmu yang diajarkan pun berasal dari Barat. Dengan demikian, untuk membangun masa depan bangsa Indonesia pada masa kini kita harus melakukannya dengan menggunakan ilmu yang memang kita terima dari Barat dan sudah diteruskan dari generasi pertama orang Indonesia terdidik sampai ke generasi sekarang. 2. Namun, upaya membangun hari esok bangsa kita itu harus dilakukan ketika kita sedang mengalami krisis yang sangat dahsyat, krisis moral yang berintikan krisis identitas atau krisis harga diri (orang sudah tidak 1 1
42

Hukum Pancasila

Aug 09, 2015

Download

Documents

hasanbasrie
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: Hukum Pancasila

PANCASILASEBAGAI FILSAFAT BANGSA INDONESIA

Oleh : B. Arief Sidharta

1. Kelompok generasi pertama sarjana hukum orang Indonesia, yakni orang-orang Indonesia yang memiliki keahlian di bidang hukum yang terdidik secara akademik, mempelajari hukum di Rechtshogeschool (Sekolah Tinggi Hukum) di Jakarta yang dibentuk pada tahun 1924 oleh Pemerintah Hindia-Belanda dan atau Universitas Leiden di Belanda. Para gurubesar yang mengajar pun adalah orang-orang Belanda. Kurikulum dan sistem pengajarannya dan obyek yang diajarkannya (hukum dan Ilmu Hukum) adalah juga sama dengan yang dijalankan di Belanda. Jadi, hukum, Ilmu Hukum dan cara berpikir yuridik yang diajarkan dan yang dipelajari, baik yang di Jakarta maupun yang di Belanda (Leiden), adalah hukum dan Ilmu Hukum serta cara berpikir yuridik Belanda (civil law). Dan, Ilmu Hukum, hukum dan cara berpikir hukum itulah juga yang kemudian diajarkan kepada generasi-generasi berikutnya. Pada masa kini, juga cara berpikir yuridik Amerika (common law), varian lain dari cara berpikir Barat, mulai mempengaruhi cara berpikir para ahli hukum orang Indonesia. Jadi, para ahli hukum Indonesia itu terbentuk melalui sistem pendidikan Barat, dan dengan demikian cara berpikir yang tertanam ke dalam para ahli hukum itu adalah cara berpikir Barat. Secara lebih umum, dapat dikatakan bahwa kelompok orang-orang terdidik Indonesia terbentuk melalui sistem pendidikan Barat dan ilmu yang diajarkan pun berasal dari Barat. Dengan demikian, untuk membangun masa depan bangsa Indonesia pada masa kini kita harus melakukannya dengan menggunakan ilmu yang memang kita terima dari Barat dan sudah diteruskan dari generasi pertama orang Indonesia terdidik sampai ke generasi sekarang.

2. Namun, upaya membangun hari esok bangsa kita itu harus dilakukan ketika kita sedang mengalami krisis yang sangat dahsyat, krisis moral yang berintikan krisis identitas atau krisis harga diri (orang sudah tidak mampu menghormati dirinya sendiri sesuai dengan statusnya). Ini berarti, bahwa upaya untuk merancang masa depan itu harus dilakukan dengan menemukan terlebih dahulu apa landasan pikiran yang akan dijadikan titik tolaknya. Kita perlu menentukan terlebih dahulu apa pandangan hidup dan cara berpikir yang mau kita gunakan untuk merumuskan rancangan pembangunan masa depan kita. Berkenaan dengan hal ini, sepenuhnya tepat apa yang disarankan oleh Sunaryati-Hartono dalam Oratio Dies Fakultas Hukum Universitas Katolik Parahyangan Tahun 2008, untuk ”tetap setia pada nilai-nilai Pancasila yang ... harus kita jiwai dan terapkan sebagai volksgeist Indonesia.” (2008: 10)

3. Soediman Kartohadiprodjo bersama-sama dengan Notonagoro termasuk ke dalam sedikit orang di antara sarjana-sarjana hukum Indonesia generasi pertama yang memberikan perhatian khusus terhadap Pancasila sebagai filsafat hidup bangsa Indonesia. Dari para gurubesarnya yang orang Belanda, beliau memperoleh pelajaran bahwa hukum yang berkaitan dengan kehidupan manusia bermasyarakat bertujuan untuk mewujudkan keadilan. Namun beliau melihat keanehan dalam sistem hukum dari bangsa Belanda yang diajarkan kepada beliau, yaitu bahwa sistem hukum Belanda memberikan tempat pada kolonialisme, padahal jelas

1

1

Page 2: Hukum Pancasila

bahwa kolonialisme itu secara diametral bertentangan dengan rasa keadilan. Sebagai warga dari suatu bangsa yang selama ratusan tahun dijajah, beliau sangat merasakan ketidak-adilan itu.

4. Upaya untuk memperoleh pemahaman terhadap hal yang dirasakannya ganjil itu dikemukakan oleh Soediman Kartohadiprodjo dalam Oratio Dies Natalis Universitas Katolik Parahyangan pada tanggal 17 Januari 1962 yang berjudul ”PENGLIHATAN MANUSIA TENTANG TEMPAT INDIVIDU DALAM PERGAULAN HIDUP (Suatu Masalah).” Setelah itu beliau mengembangkan lebih lanjut pemikirannya tentang hubungan antara Pancasila dan hukum dalam berbagai artikel dan makalah, yang pada tahun 1965 dipublikasi dalam buku berjudul ”KUMPULAN KARANGAN”, diterbitkan oleh P.T. Pembangunan, Jakarta.. Dalam oratio dies itu, Soediman Kartohadiprodjo mengemukakan bahwa dalam setiap ketentuan dalam bidang hukum terdapat unsur keadilan. Bagi beliau, hukum itu bertujuan untuk mewujudkan masyarakat manusia yang tertib berkeadilan. Unsur keadilan yang menjadi unsur esensial dalam hukum itu adalah suatu penilaian yang dilakukan oleh manusia tentang perilaku manusia dalam hubungan dengan sesama manusia dalam suatu pergaulan hidup. Jadi, yang melakukan penilaian itu adalah manusia. Yang dinilai adalah perilaku manusia. Perilaku manusia yang dinilai itu adalah perilaku yang berlangsung atau yang terjadi dalam pergaulan hidup manusia, yang terjadi di dalam hubungan-hubungan kemasyarakatan antar-manusia. Karena itu, Soediman Kartohadiprodjo sampai pada keyakinan bahwa penilaian tentang perilaku manusia itu dalam intinya akan tergantung pada pandangan atau filsafat hidup manusia yang memunculkan penilaian itu, yakni pada penglihatan manusia yang melakukan penilaian dan manusia yang perilakunya dinilai tentang tempat manusia individual di dalam pergaulan hidup. Dengan keyakinan itu, Soediman Kartohadiprodjo mulai memfokuskan penelusurannya pada substansi pandangan hidup yang dianut yang tercermin ke dalam sistem hukum yang ditumbuhkan di dalam masyarakat yang bersangkutan. Jadi, sistem hukum Belanda atau sistem hukum Barat pada umumnya, pasti mencerminkan pandangan hidup dan cara berpikir yuridik yang dianut oleh bangsa Belanda sebagai suatu bagian dari bangsa-bangsa barat. Cara berpikir yuridik itulah yang juga meresap ke dalam alam pikiran para sarjana hukum Indonesia sampai sekarang.

5. Dalam upaya untuk menelusuri sebab musababnya agar dapat menjelaskan mengapa sistem hukum yang sudah maju memberikan tempat pada penjajahan yang menindas keadilan dan kemanusiaan, Soediman Kartohadiprodjo menemukan jawabannya dalam karya Jacob Burckhardt yang berjudul “Civilization of the Renaissance in Italy” (aslinya berjudul “Die Kultur der Renaissance in Italien”). Dalam buku tersebut, Jacob Burckhardt mengatakan bahwa hingga akhir Abad Pertengahan “Man was conscious of himself only as a member of a race, people, party, family, or corporation – only through some special category.” Jadi, manusia individual hanya mempunyai makna sebagai anggota dari suatu pengelompokan tertentu. Di luar keanggotaannya itu, manusia invidual itu tidak mempunyai makna sama sekali. Tetapi keadaan itu berubah. Pada suatu waktu yang oleh para ahli sejarah disebut Zaman Renaissance, manusia mulai menyadari bahwa keberadaannya mempunyai makna penuh

2

2

Page 3: Hukum Pancasila

terlepas dari keanggotaannya pada suatu kelompok apapun. Burckhardt mengatakan “man became a spiritual individual and recognized himself as such.” Jadi, dengan mengacu pada karya-karya para pemikir di bidang sejarah, Soediman Kartohadiprodjo melihat bahwa pandangan hidup barat bertolak dari keyakinan bahwa manusia diciptakan sebagai mahluk otonom yang bebas dan terpisah dari manusia-manusia invidual lainnya, dan sama yang menyebabkan masing-masing manusia individual itu mempunyai kekuasaan penuh untuk menentukan sendiri jalan hidupnya masing-masing. John Locke mengatakan “ … man are naturally … in … a state of perfect freedom to order their actions.” (secara alamiah, manusia itu ada dalam keadaan kebebasan sempurna untuk menentukan tindakan mereka). Dengan demikian,, apa yang terjadi dalam zaman Renaissance itu adalah bahwa manusia menemukan kembali kepribadiannya, menemukan kembali individualitasnya. Soediman Kartohadiprodjo merumuskan titik tolak yang diyakini dalam pandangan hidup barat dengan ungkapan bahwa “man are created free and equal”, dan pandangan hidup yang demikian itu disebut individualisme yang lahir pada zaman Renaissance. Demikianlah para filsuf pada zaman itu dan sesudahnya pada umumnya mempunyai dan bertolak dari keyakinan yang sama (bahwa manusia diciptakan bebas dan sama), termasuk Karl Marx.

6. Tentu saja, para filsuf itu melihat bahwa dalam kenyataan sesungguhnya, manusia-manusia individual itu menjalani kehidupannya secara berkumpul dan mendiami satu wilayah yang sama. Para filsuf itu berupaya untuk menunjukkan sekurang-kurangnya ada dua sebab yang dapat menjelaskan gejala tersebut. Pertama, dalam diri setiap manusia individual terdapat naluri untuk bergaul dengan manusia-manusia lain yang mendorong mereka saling mencari sesamanya. Kedua, dalam diri setiap manusia individual terdapat keyakinan bahwa kepentingannya akan terpenuhi (akan terpenuhi dengan lebih baik) jika bekerja sama dengan manusia-manusia lain. Karena bekerjanya dua faktor itu yang berinteraksi dengan faktor-faktor lain, tiap manusia invidual terdorong untuk saling mencari sesamanya dan membentuk masyarakat. Agar hidup bermasyarakat itu dapat berlangsung dengan baik maka diperlukan adanya pengaturan dan pihak yang melakukan pengaturan itu. Untuk itu, maka tiap manusia individual harus melepaskan kekuasaan yang sudah dimilikinya secara alamiah dan menyerahkannya kepada orang (satu orang atau sekelompok orang) yang akan melakukan tindakan-tindakan pengaturan itu. Demikianlah, melalui apa yang disebut kontrak sosial terbentuklah organisasi kemasyarakatan, yang sekarang disebut negara. Itu sebabnya, dalam pandangan barat, negara itu adalah organisasi kekuasaan. Kemudian, yang menjadi masalah adalah pertanyaan seberapa banyak kekuasaan dari tiap individu yang harus dilepaskan dan diserahkan kepada orang atau sekelompok orang untuk dipergunakan melakukan tindakan pengaturannya itu? Thomas Hobbes menjawab, agar efektif harus semuanya, sehingga dengan demikian terbentuklah kekuasaan mutlak. Penguasa memegang kekuasaan mutlaknya itu selama ia mampu menggunakan dan memaksakan kekuasaannya. John Locke menjawab hanya sebagian saja, karena ada sebagian kekuasaan yang melekat pada keberadaan tiap manusia individual yang bersangkutan, sehingga jika dilepaskan maka kemanusiannya akan hilang. Bagian yang tidak dapat dilepaskannya itu adalah apa yang sekarang disebut

3

3

Page 4: Hukum Pancasila

human rights atau hak-hak asasi manusia (HAM). Negara dibentuk justru untuk melindungi hak asasi manusia itu.

7. Filsafat individualisme yang bertolak dari keyakinan “men are created free and equal” yang lahir pada zaman Renaissance (dipelopori oleh Rene Descartes dengan titik tolak berpikirnya: cogito ergo sum), kemudian dimantapkan oleh para filsuf penganut aliran naturalisme rasional (Hugo Grotius, Thomas Hobbes, John Locke, Jean-Jaques Rousseau, Montesquieu, dsb.), diterapkan dan dikembangkan ke dalam berbagai bidang kehidupan: politik, hukum, ekonomi, dan berbagai bidang lain termasuk ilmu-ilmu yang mempelajarinya. Pemikiran yang dikembangkan oleh para filsuf tersebut tadi disebut teori kontrak sosial. Pemikiran dalam berbagai bidang kehidupan yang dijiwai oleh individualisme itu selama 200 sampai 300 tahun terakhir mengalami pengolahan, pengembangan dan pematangan sehingga menghasilkan pemikiran-pemikiran dalam berbagai bidang kehidupan itu yang mengagumkan semua orang terutama kalangan yang terpelajarnya (para intelektual dan elite masyarakat). Juga mengagumkan para intelektual dan elite masyarakat dari kalangan bangsa-bangsa yang pernah mengalami penjajahan oleh bangsa-bangsa barat. Mereka, yang semuanya juga memperoleh pendidikan dan pengajaran melalui sistem pendidikan barat yang membentuk pola dan cara berpikir mereka, pada umumnya menghendaki agar apa yang dihasilkan oleh pemikiran barat itu (yang mencakup berbagai institusi dan organisasi pada semua aspek/bidang kehidupan, termasuk cara bekerjanya) juga diwujudkan di lingkungan bangsanya masing-masing. Demikian juga kaum terpelajar dan elite Indonesia menganut pandangan dan keinginan yang pada dasarnya sama.

8. Pada permulaan tahun 1945 para pemimpin pergerakan nasional dan tokok elite Indonesia memperoleh kesempatan untuk membahas persiapan memperoleh kemerdekaan dengan terbentuknya Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK) oleh Penguasa Perang Jepang. Pada masa persidangan yang pertama (29 Mei sampai dengan 1 Juni 1945), para anggota BPUPK diminta untuk mengemukakan pendapat masing-masing tentang dasar-dasar falsafah bagi penyusunan organisasi Negara Indonesia Merdeka. Sebagai pembicara terakhir, Ir Sukarno mengusulkan lima dasar untuk dijadikan dasar falsafah bagi negara yang akan dibentuk. Lima dasar yang diusulkannya itu adalah: Kebangsaan Indonesia, Internasionalisme atau Kemanusiaan, Mufakat atau Demokrasi, Kesejahteraan Sosial, dan Ketuhanan. Lima dasar itu dinamakan Pancasila, yang dapat dijadikan Trisila yang terdiri atas Sosio-nasionalisme, Sosio-demokrasi dan Ketuhanan, dan dapat dijadikan satu, yakni paham gotong-royong atau kekeluargaan. Pokok-pokok pikiran yang diajukan oleh Ir. Sukarno itu secara aklamasi diterima oleh semua anggota BPUPK pada tanggal 1 Juni 1945 itu.

9. Pada tanggal 18 Agustus 1945, Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia menetapkan berlakunya Undang-Undang Dasar yang sekarang dikenal dengan sebutan Undang-Undang Dasar 1945. Pada alinea keempat dari Pembukaan Undang-Undang Dasar itu termuat rumusan berikut : “…, maka disusunlah Kemerdekaan Kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada: Ketuhanan Yang

4

4

Page 5: Hukum Pancasila

Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia, dan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/ perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh Rakyat Indonesia”. Kata-kata ” … dengan berdasarkan kepada … ” dalam alinea keempat dari Pembukaan itu menunjukkan, bahwa keseluruhan pasal-pasal dari Undang-undang Dasar itu disusun berdasarkan Pancasila. Dengan kata lain, Undang-undang Dasar (1945) itu dijiwai oleh, dan karena itu pemahamannyapun harus didasarkan pada Pancasila. Dengan demikian, maka Pancasila itu adalah asas atau “guiding principle” dalam menegara di Indonesia. Sebagai asas menegara, Pancasila dapat dikatakan adalah dasar-dasar Filsafat Negara atau dasar-dasar Ideologi Negara. Secara yuridis, Pancasila itu adalah pokok kaidah negara yang fundamental (Notonegoro). Dengan demikian, sebagai guiding principle, Pancasila itu adalah norma kritis untuk menguji dan mengkaji berbagai tindakan dan putusan di bidang-bidang politik, kenegaraan, hukum dan ekonomi.

10. Dari apa yang telah dikemukakan di atas, dapat disimpulkan, bahwa proses perumusan Pancasila adalah hasil usaha para pemimpin pergerakan nasional untuk menetapkan dasar-dasar atau asas-asas untuk mewujudkan kemerdekaan dan menyusun serta menyelenggarakan kemerdekaan itu dalam suatu negara nasional. Dilihat dari sudut politik praktis, maka Pancasila itu adalah perumusan dari konsensus nasional yang secara moral mengikat setiap insan politik indonesia dalam menjalankan kegiatan politik sebagai ”guiding principle’’. Penempatan dalam pembukaan dan kedudukannya dalam Undang-Undang Dasar, menyebabkan Pancasila juga mempunyai kekuatan hukum. Karena itu pula, perilaku dalam menjalankan kegiatan politik yang secara konstitusional konsisten dengan Undang-Undang Dasar 1945 adalah pola perilaku (politik) yang dijiwai oleh Pacasila.

11. Pada berbagai kesempatan, Ir. Sukarno menyatakan bahwa beliau bukan pencipta Pancasila, melainkan hanya pengutara atau perumusnya saja. Beliau menyatakan bahwa Pancasila itu diciptakan oleh bangsa Indonesia. Beliau hanya mengakui bahwa ia menggali Pancasila dari buminya bangsa Indonesia. Pancasila itu yang tadinya cemerlang kemudian terbenam kembali di dalam buminya bangsa Indonesia selama 350 tahun oleh penjajahan Belanda. Menurut Sukarno, Pancasila itu adalah ”Isi Jiwa Bangsa Indonesia”, intisari peradaban bangsa Indonesia, Filsafat Bangsa Indonesia, kepribadian bangsa Indonesia, landasan kefilsafatan, Weltanschauung bangsa Indonesia.

12. Dari apa yang telah dikemukakan tadi, tampak bahwa Undang-undang Dasar 1945 tidak dibuat berdasarkan ajaran dan pemahaman tentang hukum, negara dan politik sebagaimana yang dikembangkan di barat, jadi tidak berdasarkan dan tidak dijiwai individualisme yang dikembangkan oleh John Locke, Rousseau, Montesquieu, Kant, Hegel dan pemikir-pemikir barat lain yang lebih kemudian. Undang-undang Dasar 1945 oleh para pembentuknya (Prof. Sunaryati: founding parents) secara sadar disusun berdasarkan suatu falsafah yang berbeda dengan falsafah yang melandasi dan menjiwai undang-undang dasar yang ditemukan di dunia barat (Amerika, Eropa, Australia, dll.) dan di negara-negara lain yang dipengaruhi oleh dunia pemikiran barat. Karena itu, sekali lagi, seyogyanya Undang-undang Dasar 1945 dibaca, dipahami dan diimplimentasikan berdasarkan

5

5

Page 6: Hukum Pancasila

dan dalam semangat Pancasila. Namun, betulkah harus demikian. Bukankah filsafat barat dan cara berpikir bara itu telah menyebabkan negara-negara barat dan negara-negara lain yang ikut menggunakannya telah berjaya, sudah memperlihatkan hasil yang gilang gemilang. Mungkin saja.

13. Namun, ketika kemudian Prof. Soediman Kartohadiprodjo berupaya untuk menelusuri lebih dalam lagi untuk menemukan akar-akar terdalam yang telah menyebabkan dalam sistem hukum yang lahir dalam kebudayaan barat itu memberikan tempat untuk sistem kolonialisme yang tidak adil itu, beliau bertemu dengan buku-buku karya penulis-penulis besar dari Barat yang terbit pada permulaan abad 20 yang cukup menggemparkan. Dimulai dengan karya Ostwald Spengler berjudul ”Der Untergang des Abendlandes” (1918) yang versi bahasa Inggerisnya pada tahun 2006 diterbitkan kembali dengan judul ”The decline of the west”, kemudian Pitirim Sorokin berjudul ”The Crisis of our age” (1941), Johan Huizinga berjudul ”In de schaduwen van morgen. Een diagnose van het geestelijk lijden van onze tijd” (1935) dan ”Geschonden Wereld. Een beschouwing over den kansen op herstel van onze beschaving” (1943), Jan Romein berjudul ”De Crisis van onze beschaving in historisch perspectief” (1944), Jose Ortega y Gasset berjudul ”La Rebelion de las Massas” (1926). Buku-buku tersebut semuanya memaparkan bahwa kebudayaan barat sedang mengalami krisis berat, krisis yang sangat mendasar. Jan Romein mengatakan bahwa kebudayaan barat dalam hakikatnya sudah mencapai titik jenuhnya pada pertengahan abad 20 yang ditandai dengan terjadinya Perang Dunia I dan II hanya dalam jangka waktu 50 tahun. Ortega y Gasset dalam ”Mission of the University” (1944) mengatakan bahwa manusia modern itu terdiri atas orang-orang yang ”uncultured” (tidak berbudaya) yang disebutnya juga ”the new barbarian”. Beliau mengatakan ”This new barbarian is above all the professional man, more learned than ever before, but at the same time more uncultered – the engineer, the physician, the lawyer, the scientist.”

14. Krisis yang tengah melanda dunia dan bangsa kita itu adalah krisis yang sangat fundamental yang dampaknya akan dapat sangat dahsyat pula, dan berbahaya. Berkaitan dengan krisis yang hebat yang melanda kita semua itu, tidak keterlaluan jika kita diingatkan lagi dengan apa yang dikatakan oleh George Meredith (1828–1909) seorang pujangga Inggeris:

“In tragic life, God wot No villain need be.Passion spin the plot.

We are betrayed by what was false within.”(Dalam tragedi kehidupan manusia, tidak dibutuhkan seorang penjahat, tetapi hawa nafsu manusia sendiri sudah menjadi jebakan baginya, dan manusia dikhianati oleh apa yang palsu di dalam dirinya.)

15. Jadi, jika kita begitu saja “menjiplak” filsafat dan cara berpikir barat dengan segala produk turunannya, bukankah itu berarti kita menceburkan diri ke dalam suatu arus yang sedang dilanda krisis yang mendasar. Ke mana perkembangan krisis tersebut akan membawa kita, masih belum dapat dibayangkan. Namun, P.J. Bouman, dalam bukunya Van Renaissance tot Wereldoorlog (Dari Renaissance ke Perang Dunia) jelas mengatakan bahwa Renaissance Abad 15/16 di Eropa yang telah melahirkan filsafat individualisme dan telah berhasil mendominasi

6

6

Page 7: Hukum Pancasila

seluruh dunia itu pada akhirnya “voorbeschikt om ten gronde te gaan aan de middelen, waaraan het zijn historische invloed te danken had” (ditakdirkan untuk hancur atau kandas justru disebabkan oleh sarana atau unsur-unsur – yakni cara berpikir atau filsafat individualisme – yang pada permulaannya telah membuat Eropa menjadi sangat berpengaruh dalam lintasan sejarah). Dalam menentukan pilihan tentang jalan yang akan kita tempuh, maka pernyataan (peringatan) yang dikemukakan oleh Ortega y Gasset dan P.J. Bouman perlu dipertimbangkan dengan penuh kesungguhan. Namun saya sendiri lebih setuju pada upaya untuk menempuh jalan baru seperti yang dicita-citakan oleh Para Pendiri Negara Republik Indonesia lewat Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945-nya.

16. Karena kelompok orang terpelajar Indonesia memperoleh pendidikannya dari barat (Belanda) melalui sistem dan pola pendidikan barat, maka cara berpikir yang terbentuk pun dalam hakikatnya adalah cara berpikir barat. Karena itu juga cara orang Indonesia dalam membaca, memahami dan kemudian menerapkan Undang-undang Dasar 1945 pun juga dilakukan dengan cara berpikir dan konsep-konsep barat tentang hukum, kenegaraan, politik dan ekonomi. Jika filsafat barat atau individualisme itu bertolak dari keyakinan bahwa “men are created free and equal”, maka filsafat Pancasila justru bertolak dari keyakinan bahwa manusia itu diciptakan dalam kebersamaan dengan sesamanya. Padahal sudah jelas bahwa Undang-undang Dasar 1945 itu disusun berdasarkan filsafat yang berbeda, bahkan berlawanan dengan filsafat dan cara berpikir barat, yakni berdasarkan filsafat Pancasila. Karena itu tidak mengherankan, jika terjadi interpretasi, pemahaman dan cara menerapkan Undang-undang Dasar 1945 yang keliru. Bahkan ada (banyak) yang berpendapat bahwa ketentuan-ketentuan yang tercantum dalam undang-undang itu memberi peluang atau menjadi landasan bagi pemerintahan yang otoriter. Semuanya ini adalah akibat dari cara membaca Undang-undang Dasar 1945 dengan menggunakan kacamata barat, lebih-lebih jika disertai dengan mengaitkan pada kepentingan pribadi dan keluarga dari para pengemban kewenangan berdasarkan undang-undang dasar itu (seperti yang terjadi pasa masa Orde Baru). Untuk dapat melaksanakan Undang-undang Dasar 1945 secara benar, maka undang-undang dasar itu harus dipahami dan diterapkan berdasarkan filsafat yang melandasinya, yakni filsafat Pancasila. Karena itu, jika kita benar-benar ingin mewujudkan tujuan bangsa Indonesia memperjuangkan kemerdekan dan mendirikan Negara Republik Indonesia seperti yang dirumuskan dalam alinea ke-empat Pembukaan Undang-undang Dasar 1945, maka seperti dikatakan oleh Prof. Sunaryati-Hartono dalam pidato dies FH UNPAR ke 50, kita “harus tetap setia pada nilai-nilai Pancasila …” yang harus kita “ … terapkan sebagai volksgeist Indonesia”. Untuk itu, maka upaya untuk membina “suatu budaya hukum nasional” kita, perlu disertai dengan upaya mempelajari kembali dan memahami Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa Indonesia. Karena itulah, pada kesempatan ini saya ingin mengajak untuk merevisitasi dan mempelajari kembali tulisan-tulisan Prof. Soediman Kartohadiprodjo tentang Pancasila yang sudah dipublikasi melalui buku KUMPULAN KARANGAN pada tahun 1965, dan selain itu juga mempelajari kembali karya-karya teman-teman seangkatan beliau tentang materi yang kurang lebih sama, misalnya karya-karya Dr Ir Sukarno, Dr Mohammad Hatta, Prof. Notonagoro, Dr Ki Hadjar Dewantara, Prof.

7

7

Page 8: Hukum Pancasila

Koentjaraningrat, dan juga Prof. Van Vollenhoven, dan sebagainya. Upaya untuk mempelajari kembali pemikiran-pemikiran tentang Pancasila dan hal-hal yang berkaitan dengan kultur dan cara berpikir bangsa Indonesia melalui tulisan orang-orang yang disebut tadi, pada masa kini sangat relevan sehubungan dengan kemungkinan akan dilakukan lagi amandemen terhadap Undang-undang Dasar 1945. Masalahnya adalah apa kita mau menjadi kita sendiri, atau menjadi orang barat berkulit sawo mateng (berkulit tidak bulé)? Selain itu, perkembangan pada tataran global juga memperlihatkan gejala-gejala yang mendekati cara melaksanakan gagasan-gagasan atau pikiran yang sesungguhnya tercantum dalam Pancasila. Misalnya terbentuknya Uni Eropa, cara pengambilan putusan dengan musyawarah.

PANCASILA: FILSAFAT BANGSA INDONESIA17. Dalam tulisan ini akan dipaparkan secara singkat Pancasila sebagai pandangan

hidup atau filsafat bangsa Indonesia, yang disimpulkan dari tulisan-tulisan Prof. Soediman Kartohadiprodjo yang tercantum dalam buku KUMPULAN KARANGAN (1965).

18. Pandangan Hidup Bangsa Indonesia telah dirumuskan secara padat dalam bentuk kesatuan rangkaian lima sila yang dinamakan Pancasila. Dengan sadar dan sengaja Pancasila itu ditempatkan dalam pembukaan Undang Undang Dasar 1945 sebagai landasan kefilsafatan yang mendasari dan menjiwai penyusunan ketentuan-ketentuan yang tercantum dalam undang-undang dasar itu. Dengan demikian, maka Pancasila melandasi dan (seharusnya) menjiwai kehidupan kenegaraan di Indonesia, termasuk kegiatan menentukan dan melaksanakan politik hukumnya. Karena itu, penyusunan dan penerapan Tata Hukum di Indonesia sejak berlakunya undang-undang dasar itu tadi harus dilandasi dan dijiwai oleh Pancasila.

19. Pandangan Hidup Pancasila berpangkal pada keyakinan bahwa alam semesta dengan segala hal yang ada di dalamnya sebagai suatu keseluruhan yang terjalin secara harmonis diciptakan oleh Tuhan Yang Maha Esa. Juga manusia diciptakan oleh Tuhan Yang Maha Esa. Manusia berasal dari Tuhan dan tujuan akhir dari kehidupannya adalah untuk kembali kepada sumber asalnya. Karena itu, bertaqwa dan mengabdi Tuhan menjadi kewajiban manusia yang wajar, yang sudah dengan sendirinya harus begitu. Manusia diciptakan Tuhan dengan kodrat sebagai mahluk bermasyarakat. Artinya, kehadiran manusia di dunia dikodratkan dalam kebersa-maan dengan sesamanya. Dalam kebersamaannya itu, tiap manusia memiliki kepribadian yang unik yang membedakan yang satu dari yang lain. Keseluruhan pribadi-pribadi dengan keunikannya masing-masing mewujudkan satu kesatuan, yakni kemanusiaan. Dalam masing-masing pribadi yang unik itu terdapat atau terjelma kemanusiaan. Karena itu, kehadiran manusia dalam kebersamaannya memperlihatkan kodrat adanya kesatuan atau kesamaan, yakni kemanusiaan dalam pribadi-pribadi yang unik, yang berbeda. Jadi, kesatuan dalam perbedaan. Sebaliknya, kebersamaan itu memperlihatkan kodrat kepribadian tiap manusia individual yang unik, yakni perbedaan-perbedaan, di dalam kesatuan kemanu-siaan. Jadi, perbedaan dalam kesatuan. Dalam Lambang Negara Republik

8

8

Page 9: Hukum Pancasila

Indonesia1, kodrat itu dirumuskan dalam seloka: "Bhinneka Tunggal Ika". Dilihat dari jalan pikiran tadi, Bhinneka Tunggal Ika itu merumuskan asas pertama atau titik tolak (postulat) dalam menetapkan pendirian tentang kedudukan tiap manusia di dalam masyarakat. Manusia adalah subyek yang memiliki kepribadian yang unik sebagai kodratnya. Kodrat berkepribadian ini tidak dapat disangkal tanpa meniadakan juga kodrat kemanusiaannya. Karena itu, setiap manusia untuk dapat menjadi manusia harus mengakui dan menerima adanya kepribadian itu, termasuk kepribadian manusia-manusia lain. Hal ini berlaku juga bagi masyarakat. Artinya, untuk tetap mempertahankan eksistensinya sebagai masyarakat manusia yang berkemanusiaan, maka masyarakat harus mengakui dan memelihara serta melin-dungi kepribadian masing-masing anggotanya, yakni manusia-manusia, melalui siapa kemanusiaan diwujudkan. Maksudnya, di dalam diri tiap manusia, masyarakat mewujudkan kemanusiaan. Sebaliknya, hal itu tidak berarti bahwa masing-masing individu manusialah yang terpenting, dan karena itu kepentingan tiap manusia masing-masing secara bersendiri harus didahulukan dari masyarakat. Sebab, terbawa oleh kodrat kehadiran manusia dalam kebersamaan dengan sesamanya, manusia hanya dapat mewujudkan kemanusiaannya dalam masyarakat yang di dalamnya tiap manusia menjadi anggotanya.

20. Terbawa oleh struktur kehadiran manusia dalam kebersamaan dengan sesamanya itu, maka sifat hubungan antar-manusia dan antara tiap manusia dengan masyarakat dilandasi dan dijiwai oleh cinta-kasih. Sifat cinta-kasih yang menjiwai hubungan manusiawi itu yang terbawa oleh kodrat kebersamaannya itu, juga pada akhirnya bersumber pada Sang Maha Pencipta, yakni Tuhan Yang Maha Esa. Sifat hubungan manusiawi yang demikian itu dinamakan juga kekeluargaan. Karena itu, Pandangan Hidup Pancasila dapat juga disebut Pandangan Hidup Kekeluargaan. Asas Kekeluargaan adalah rumusan asas hidup yang didasarkan atas pemikiran yang konkret. Dasar pemikiran yang konkret ini adalah kenyataan bahwa tiada manusia yang kehadiran dan kehidupannya terlepas dari kaitan kebersamaan dengan manusia-manusia lain dalam kesatuan masyarakat. Dalam asas itu tercakup juga kesadaran dan pengakuan bahwa hidup manusia tergantung pada lingkungannya seperti alam, sesama manusia dan pola perilaku tertentu yang sudah diinstitusionalisasikan (adat istiadat), juga tergantung pada sesuatu yang ada di atas segala-galanya (Tuhan Yang Maha Esa, Dunia Supranatural, Dunia Transenden). Karena itu, kebahagiaan pribadi dan upaya untuk mewujudkannya tidak dapat diisolasi dari kebahagiaan manusia-manusia lain yang bersama-sama mewujudkan kebahagiaan bersama; serta upaya pribadi dan bersama itu tidak

1 Lambang negara kita terdiri dari tiga bagian: Candrasengkala yang dilukiskan dengan Burung Sakti Rajawali yang melukiskan, bahwa negara kita muncul pada tanggal 17 Agustus 1945 dan dengan revolusi;Perisai yang memuat lambang kelima sila dari Pancasila yang dikalungkan di leher Burung Sakti itu tadi. Ini semua berarti, bahwa baik revolusi, maupun negara yang diproklamasikan itu dan karenanya bangsa yang bernegara di dalamnya dijiwai Pancasila.Seloka yang berbunyi Bhinneka Tunggal Ika terdapat di bawah, ibarat akar dari tumbuh-tumbuhan. Dan karena akar itu adalah sumber dan jalan utama dari penghidupan tumbuh-tumbuhan, maka pikiran yang tertulis dalam seloka Bhinneka Tunggal Ika itu adalah sumber dan jalan utama kehidupan Revolusi, Negara dan Bangsa di dalamnya, yang dijiwai oleh Pancasila.(Dikutip dari Soediman Kartohadiprodjo, KUMPULAN KARANGAN, 1965: 64-65.)

9

9

Page 10: Hukum Pancasila

diisolasi dari ketergantungan kepada Tuhan Yang Maha Esa; kebahagiaan pribadi dan kebahagiaan masyarakat sebagai satu keseluruhan adalah berintegrasi.

D. PANCASILA DAN UUD 1945 a. MAKNA KONSTITUSI

21. Negara adalah masyarakat manusia yang secara menetap mendiami serta menempati, dan karena itu secara batiniah merasa terikat pada, suatu wilayah tertentu dari muka bumi, yang mengorganisasi diri secara politikal dalam bentuk sebuah badan hukum publik sebagai wahana untuk secara demokratis dalam semangat kebersamaan berikhtiar mewujudkan kesejahteraan berkeadilan bagi seluruh warga masyarakat; organisasi berbadan hukum publik itulah yang disebut negara. Pemerintah adalah organisasi pusat-pusat koordinasi pengambilan putusan rasional untuk mewujudkan tujuan negara. Jadi, negara adalah suatu penataan yuridikal, yang di dalamnya kekuasan yang terlegitimasi dijalankan untuk secara rasional mewujudkan cita-cita politik dan untuk memenuhi atau memuaskan kebutuhan-kebutuhan kolektif.

22. Konstitusi itu adalah seperangkat kaidah hukum yang menetapkan asas-asas pokok organisasi negara dan asas-asas pokok kebijaksanaan negara yang mewujudkan struktur dan organisasi negara; jadi, konstitusi itu adalah sokoguru yang mewujudkan bangunan ketatanegaraan suatu negara. Dalam pengertian itu sudah termuat gagasan pembatasan kekuasaan/kewenangan pemerintah, baik dalam waktu maupun dalam isi dan ruang lingkup wilayah berkiprahnya kekuasaan/kewenangan pemerintah dan dengan itu pembagian fungsi dan kewenangan pemerintah atau otoritas publik. Selain itu, pada umumnya dalam konstitusi itu harus termuat juga jaminan perlindungan hak asasi manusia. Berdasarkan pengertian dasar ini, dapat dikatakan bahwa konstitusi itu dimaksudkan atau berfungsi untuk menstabilisasi dan memberikan bentuk yuridik pada penyelenggaraan kehidupan bermasyarakat dan bernegara yang demokratis.

23. Dalam negara demokratis, maka semua penggunaan kekuasaan secara institusional atau otoritas publik harus memperoleh legitimasinya pada persetujuan (konsensus) dari rakyat sebagai keseluruhan. Ini mengimplikasikan bahwa penggunaan kekuasaan dan otoritas publik harus selalu dipertanggung-jawabkan kepada rakyat, dan bahwa tiap warganegara setiap saat, secara langsung lewat berbagai cara seperti lewat media massa atau unjuk rasa, atau lewat badan perwakilan rakyat, dapat meminta pertanggung-jawaban tersebut kepada pengemban otoritas publik (pemerintah, eksekutif). Karena itu, untuk menjamin terwujudnya penyelenggaraan pemerintahan demokratis yang layak (good democratic governance), maka dalam konstitusi tertulis harus dimuat pengaturan tentang pertanggung-jawaban, pengawasan dan kontrol yang efektif terhadap penggunaan kekuasaan dan otoritas publik. Ini berarti bahwa konstitusi tertulis (UUD) harus memuat pasal-pasal yang merumuskan sistem akuntabilitas publik yang jelas, yang memungkinkan pengkajian rasional oleh semua pihak terhadap semua kegiatan pemerintahan.

10

10

Page 11: Hukum Pancasila

b. UNDANG UNDANG DASAR 194524. Sebagai konstitusi tertulis, seyogianya Undang Undang Dasar itu hanya memuat

ketentuan-ketentuan pokok tentang kebijakan dan pengorganisasian negara. Jika dirumuskan terlalu cermat-terinci, maka Undang Undang Dasar itu di satu pihak akan menjadi terlalu kaku dan akan lekas menjadi usang (tertinggal oleh perkembangan zaman), dan di lain pihak justru (ini adalah paradoksal) akan membuka peluang bagi penyalah-gunaan kekuasaan publik yang secara yuridis akan sulit untuk dimintai pertanggung-jawaban. Karena hanya memuat ketentuan-ketentuan pokok tentang struktur organisasi dan asas-asas pokok kebijaksanaan negara, maka untuk dapat mengimplimentasikan dan menghidupkannya ke dalam kenyataan kemasyarakatan, demi tercapainya tujuan pengadaan konstitusi itu dalam dinamika kehidupan bermasyarakat dan bernegara, maka ketentuan-ketentuan konstitusional itu memerlukan elaborasi ke dalam berbagai perangkat perundang-undangan yang lebih konkret dan cermat-terinci, namun, karena berada pada tataran di bawah konstitusi, akan lebih mudah untuk menyesuaikannya pada perkembangan zaman. Keseluruhan perundang-undangan tersebut mewujudkan hukum tata negara dan hukum administrasi.

25. Dalam kerangka UUD 1945 (sebelum diamandemen), sistem pemerintahan yang dianut adalah suatu varian dari sistem pemerintahan presidensial, atau mungkin lebih tepat dikatakan sistem pemerintahan kuasi-presidensial. Dalam sistem ini, khususnya sebelum dilakukan amandemen, presiden mengemban fungsi sebagai kepala negara dan sebagai kepala pemerintahan (kepala eksekutif). Presiden diangkat dan diberhentikan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) eks pasal 6 UUD 1945, dan dengan demikian presiden itu tidak “nebengeordnet” (sejajar) melainkan “untergeordnet” (dibawahkan) kepada MPR, sehingga dengan demikian presiden itu bertanggung-jawab kepada MPR. Jadi, dalam menjalankan tugasnya, presiden itu secara umum diawasi oleh MPR, dan pada hakikatnya setiap saat dapat dimintai pertanggung-jawaban oleh MPR, lewat Sidang Umum atau Sidang Istimewa MPR. Dalam hal ini perlu ada pengaturan yang jelas tentang akibat apa yang dapat ditetapkan oleh MPR jika pertanggung-jawaban presiden itu tidak dapat diterima oleh MPR.

26. Pengawasan dan kontrol sehari-hari (rutin) terhadap presiden secara langsung dan tidak langsung pada dasarnya dapat dilakukan oleh lembaga-lembaga negara yang kedudukannya “nebengeordnet” (sejajar, setingkat) dengan presiden, yakni Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Pertimbangan Agung (DPA), Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan Mahkamah Agung (MA) lewat kegiatan menjalankan fungsi masing-masing lembaga negara itu. Karena itu, undang-undang yang mengatur kinerja lembaga-lembaga tinggi negara itu harus memuat ketentuan-ketentuan yang dapat menjamin kemungkinan pelaksanaan pengawasan dan kontrol sehari-hari terhadap presiden itu dapat diwujudkan secara efektif dan efisien. Ketentuan-ketentuan tersebut mencakup baik yang berkaitan dengan cara kerja dan prosedur pengambilan putusan, maupun yang berkaitan dengan prosedur pengangkatan dan syarat-syarat keanggotaan lembaga-lembaga tinggi negara terkait. Misalnya, DPA seyogianya ditegaskan mengemban fungsi sebagai institusionalisasi kebijakan (wisdom) dan kenegarawanan (statemanships), dan karena itu yang dapat diangkat menjadi anggota DPA seyogianya orang-orang

11

11

Page 12: Hukum Pancasila

yang memiliki kebijakan dan kenegarawanan tersebut serta mampu melepaskan diri dari kepentingan-kepentingan partikularistik golongan dan kedaerahan yang sempit; untuk menjamin hal itu maka pengangkatannya perlu melibatkan DPR. Contoh lain: untuk mengaktualkan peranan MA dalam menjalankan fungsi kontrol terhadap pemerintahan agar tetap berlangsung secara konstitusional, maka perlu dieksplisitkan hak uji materiil terhadap undang-undang yang secara sistemik, dalam kerangka UUD 1945, dimiliki oleh MA secara implisit.

27. Pengawasan dan kontrol sehari-hari secara langsung terhadap presiden dilakukan oleh DPR, yang mengemban fungsi pengawasan dan kontrol terhadap penggunaan otoritas publik dan penyaluran serta artikulasi aspirasi rakyat, lewat proses pembentukan undang-undang dan penetapan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, serta penggunaan hak-hak DPR lainnya seperti hak angket, hak bertanya, hak peninjauan, hak dengar pendapat, hak amandemen terhadap undang-undang dan rancangan undang-undang, dsb. Dalam melaksanakan fungsi pengawasan tersebut (dan dalam menyalurkan aspirasi rakyat), DPR dapat memanfaatkan produk dari BPK dan MA. Sedangkan produk DPA, khususnya yang dihasilkan atas inisiatif DPA sendiri, secara politis dapat dipandang sebagai teguran halus terhadap presiden, dan akan dapat berguna pada saat dilaksanakannya penilaian pertanggung-jawaban presiden oleh MPR (baik dalam Sidang Umum maupun dalam Sidang Istimewa).

28. Dalam kerangka UUD 1945, presiden dan DPR berada pada tataran yang setara atau “nebengeordnet”. Jadi, berdasarkan kewenangannya, dalam kerangka UUD 1945, DPR tidak dapat “menjatuhkan” atau memberhentikan presiden di tengah masa jabatannya. Sebaliknya, presiden juga tidak memiliki kewenangan untuk membubarkan DPR. Karena itu, jika terjadi konflik antara presiden dan DPR yang berkepanjangan yang dapat membahayakan keutuhan negara dan bangsa, sedangkan upaya untuk mencapai kompromi sudah jelas-jelas gagal, maka secara konstitusional satu-satunya jalan untuk mencapai penyelesaian, dalam kerangka UUD 1945, adalah menyerahkan penyelesaian konflik tersebut kepada MPR sebagai lembaga negara tertinggi. Ini berarti bahwa dengan menyelenggarakan Sidang Istimewa MPR, yang putusannya mengikat semua pihak, maka konflik berkepanjangan antara presiden dan DPR dapat diselesaikan secara konstitusional. Agar penyelesaian konflik ini dapat berlangsung dengan baik, maka pengaturan pengisian keanggotaan MPR perlu diamandemen sehingga dapat menjamin komposisi keanggotaan MPR yang dapat diharapkan akan menghasilkan penyelesaian yang baik, artinya yang bijak dan berkenegarawanan. Dari komposisi keanggotaan MPR dewasa ini, yang secara relatif mencerminkan perimbangan suara yang sama dengan yang ada di DPR, sulit diharapkan putusan yang memberikan penyelesaian konflik antara presiden dan DPR yang berkualitas kenegarawanan. Dengan kata lain, amandemen pasal-pasal tentang MPR perlu memuat juga pengaturan mengenai cara dan prosedur pengisian anggota MPR utusan Daerah dan utusan Golongan (termasuk batasan pengertian utusan Golongan) yang dapat menjamin berperannya kebijaksanaan dan kenegarawanan, serta prosedur penggelaran Sidang MPR, termasuk Sidang Istimewa MPR. Penggelaran Sidang Istimewa tersebut seyogianya harus dapat diminta oleh DPR atau oleh presiden, atau oleh anggota-anggota MPR non-anggota DPR, dengan

12

12

Page 13: Hukum Pancasila

memenuhi ketentuan-ketentuan prosedural yang berlaku untuk itu. Dalam hal presiden yang meminta diselenggarakannya Sidang Istimewa MPR itu, maka seyogianya hal itu dilakukan setelah meminta pertimbangan dari DPA dan MA.

E. SISTEM PEMERINTAHAN PANCASILA (STRUKTUR FORMAL). (Pra-amandemen)

29. Sistem Pemerintahan Pancasila yang berlaku sebelum amandemen adalah sistem yang pokok-pokoknya tercantum dalam Undang-Undang Dasar 1945 yang mulai berlaku lagi sejak tanggal 5 Juli 1959 (per Dekrit Presiden). Dalam UUD 1945 itu ditetapkan adanya enam Lembaga Tinggi Negara yakni: MPR, Presiden, DPR, DPA, BPK, dan MA, dengan MPR sebagai lembaga tertingginya.

30. MPR sebagai penjelmaan seluruh rakyat Indonesia adalah pemegang dan pelaksana kedaulatan rakyat. Ia berwenang untuk melakukan segala upaya yang dianggap perlu untuk mewujudkan tujuan negara seperti yang dicantumkan dalam Pembukaan UUD 1945, yakni: melindungi segenap bangsa dan tanah air Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia. Secara singkat : mewujudkan kondisi kemasyarakatan yang memungkinkan terselenggaranya kehidupan kemanusiaan yang berbahagia bagi setiap manusia.

31. Karena MPR itu terdiri dari manusia-manusia yang jumlahnya besar (lihat penjelasan pasal 2 ayat 2 UUD 1945), maka tidaklah mungkin atau sukarlah, jika lembaga itu sendiri yang menjalankan tindakan-tindakan praktis yang langsung untuk mewujudkan tanggung jawabnya. Untuk mengatasi kesulitan itu, diadakan lembaga Presiden yang diangkat oleh MPR dan bertanggung jawab kepada MPR. Dalam penjelasan disebutkan dengan tegas, bahwa Presiden adalah “Mandataris” dari MPR yang wajib melaksanakan semua keputusan MPR. Dalam pasal 4 ayat 1 UUD 1945 disebutkan bahwa Presiden harus menjalankan pemerintahan (kewenangan eksekutif) sesuai dengan ketentuan-ketentuan Undang-Undang Dasar. Berdasarkan pasal 5 ayat 1 UUD 1945, Presiden memegang dan melaksanakan kewenangan membentuk undang-undang (kewenangan legislatif) dengan persetujuan DPR.

32. Sebagai mandataris atau “kuasa” dari MPR, maka di satu pihak pada dasarnya Presiden dapt menjalankan segala tindakan yang dapat dijalankan oleh “pemberi kuasa” (MPR), kecuali:a. Kewenangan-kewenagan yang secara eksplisit dinyatakan akan dijalankan

oleh “pemberi kuasa” sendiri, misalnya pembentukan (perubahan) Undang-Undang Dasar dan penetapan Garis-garis Besar Haluan Negara; (Ps. 3 UUD ’45).

b. Kewenangan-kewenangan yang pelaksanaannya secara eksplisit diserahkan kepada lembaga (tinggi) negara atau petugas negara yang lain, misalnya kewenangan kehakiman (yudikatif) yang diserahkan kepada Mahkamah Agung (Ps.24).

Dilain pihak, Presiden wajib melaksanakan apa yang secara eksplisit disebutkan dalam Undang-Undang Dasar (dan ketetapan MPR lainnya) harus dijalankannya. Demikianlah, dalam UUD 1945 disebutkan, bahwa:

13

13

Page 14: Hukum Pancasila

a. Presiden diberi wewenang pembentukan Undang-Undang, namun dengan tegas pula ditentukan, bahwa wewenang itu harus selalu dijalankan dengan bantuan, yakni persetujuan DPR (Ps. 5 ayat 1 UUD 1945) ;

b. Anggaran belanja dan pendapatan negara harus ditetapkan tiap tahun dengan Undang-Undang (Ps. 23 ayat 1)

c. Pajak harus ditetapkan dengan Undang-Undang (Ps. 23 ayat 2 UUD 1945).Jadi, dapatlah dikatakan, bahwa Undang-Undang Dasar dan Garis Besar Haluan Negara itu adalah semacam “surat kuasa”, yakni berturut-turut “surat kuasa umum” dan “surat kuasa khusus” yang diberikan oleh seluruh rakyat Indonesia melalui MPR (penjelmaan seluruh rakyat indonesia) kepada orang atau lembaga-lembaga/badan-badan yang di “kuasa”-kannya.

29. Tugas dan kedudukan DPR pada dasarnya adalah untuk membantu dan menjalankan kontrol yang efektif terhadap Presiden dalam menjalankan tugasnya. Di samping itu, DPR juga berfungsi sebagai sarana untuk menampung, mengolah, dan menyalurkan aspirasi rakyat ke pusat-pusat pengambilan keputusan. Fungsi pembantuan dan pengawasan terhadap Presiden, yang dilimpahkan MPR kepada DPR, dilaksanakan DPR melalui dan dengan jalan:a. Memberikan atau tidak memberikan persetujuan atas tiap rancangan Undang-

Undang yang diajukan oleh Presiden (Ps. 5 jo.ps.21). b. Menggunakan hak inisiatif, yakni mengajukan rancangan Undang-Undang

(Ps.21)c. Menggunakan hak-hak DPR lain (interpelasi, bertanya, amandemen, dengar

pendapat, peninjauan, dll.)d. Meminta MPR agar menyelenggarakan sidang istimewa untuk meminta

pertanggung jawaban kepada Presiden.33. DPA bertugas untuk membantu dan mengawasi Presiden dengan jalan

memberikan nasihat-nasihat dan petunjuk kepada Presiden, baik untuk memenuhi permintaan Presiden maupun atau inisiatif sendiri, serta memberikan peringatan-peringatan kepada Presiden (ps.16 UUD 1945). DPA mengemban fungsi sebagai institusionalisasi kebijakan (wisdom) dan kenegarawanan (statemanships), dan karena itu yang dapat diangkat menjadi anggota DPA seyogianya orang-orang yang memiliki kebijakan dan kenegarawanan tersebut serta mampu melepaskan diri dari kepentingan-kepentingan partikularistik golongan dan kedaerahan yang sempit; untuk menjamin hal itu maka pengangkatannya perlu melibatkan DPR

34. BPK adalah lembaga negara yang fungsinya memeriksa pertanggung jawaban tentang penggunaan keuangan negara; jadi melakukan pengawasan terhadap pemerintah (Presiden) khusus di bidang keuangan (ps.23 ayat 5 UUD 1945). Hasil pekerjaannya harus diberikan kepada DPR untuk digunakan dalam menilai dan mengawasi Presiden. Karena semua anggota DPR adalah juga anggota MPR, maka hasil pemeriksaan BPK tersebut akan sangat berguna untuk menilai pertanggung jawaban Presiden kepada MPR.

35. Mahkamah Agung adalah lembaga negara yang tugas pokoknya adalah melaksanakan kewenangan kehakiman (yudikatif), yakni kewenangan menilai perilaku manusia berdasarkan hukum yang berlaku dan menetapkan akibat hukum berdasarkan penilaiannya kepada manusia pelaku yang bersangkutan.

14

14

Page 15: Hukum Pancasila

Kewenangan kehakiman adalah kewenangan yang bebas dari campur tangan pihak manapun dalam pelaksanaannya (ps.24 UUD 1945).

36. Demikianlah, diatas secara singkat telah dipaparkan struktur formal sistem pemerintahan menurut Undang-Undang Dasar 1945. Inti dan dasar pemikirannya adalah sebagai berikut:a. Sistem pemerintahan itu berlandaskan atau dijiwai oleh Pandangan Hidup

Pancasila. Dalam pandangan hidup ini, tiap manusia adalah ciptaan Tuhan. Manusia itu ciptakan-Nya sebagai mahluk yang selalu ada dalam kebersamaan dengan sesamanya. Sebagai warga pergaulan hidup, kepribadian tiap manusia perseorangan diakui dan dilindungi oleh kesatuan masyarakatnya, dan sebaliknya tiap manusia perseorangan harus mengakui dan wajib melindungi kepribadian manusia-manusia lain. Tiap manusia warga pergaulan hidup itu, tanpa kecuali, menghendaki hidup bahagia. Usaha untuk mewujudkan hidup bahagia itu ditempuh dengan jalan tidak saling menutup kemungkinan bagi manusia lain untuk hidup bahagia atau saling menghancurkan. Karena itu, usaha itu ditempuh dengan jalan bekerja sama melalui musyawarah untuk bermufakat tentang cara yang akan ditempuh bersama untuk mewujudkan hidup bahagia bagi semua.

b. Karena pergaulan hidup manusia yang disebut Bangsa Indonesia tidak mungkin bermusyawarah dalam arti kata sebenarnya, mengingat tempat dan jumlah peserta, maka bangsa Indonesia menjelmakan diri dalam bentuk MPR, yang harus bermusyawarah untuk menentukan cara dan daya upaya yang harus ditempuh. Berhubung besarnya jumlah anggota MPR, maka penjelmaan rakyat itu mengangkat seorang mandataris (Presiden) yang diberi “kuasa” atau “mandat” untuk menjalankan segala daya-upaya yang akan memungkinkan bangsa Indonesia hidup bahagia. Karena mandataris itu adalah manusia dengan segala kekurangan dan kelemahannya, maka terhadapnya dikenakan pembatasan-pembatasan tertentu serta ditunjuk lembaga tertentu yang diberi kuasa (kewenangan) untuk mengawasi dan membantu mandataris dalam melaksanakan tugasnya.

Struktur formal sistem ketatanegaraan yang tercantum dalam UUD-1945 itu (pra-amandemen), dapat digambarkan dalam skema berikut ini:

15

15

Page 16: Hukum Pancasila

Struktur ketatanegaraan menurut UUD-1945(pra-amandemen)

NEGARA REPUBLIK INDONESIA:

Pemerintah:

MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT: Anggota DEWAN Utusan Utusan PERWAKILAN RAKYAT DAERAH GOLONGAN

aspek politik aspek kenegarawanan

BPK DPR PRESIDEN DPA MA

aspek Keuangan Negara aspek yuridik

memberikan pelayanan dan pertanggung-jawaban kepada

R A K Y A T

Legenda: pengangkatan, penugasan dan pengawasan (kontrol), pemberhentian pertanggung-jawaban pengawasan (kontrol) masukan dan kerjasama pelayanan dan pertanggung-jawaban kepada

Negara

Pemerintah

16

16

Page 17: Hukum Pancasila

Lampiran:

Filsafat Hukum Pancasila(B. Arief Sidharta)

1. Pengertian Hukum Pancasila. Pandangan hidup bangsa Indonesia sejak dari dahulu hingga kini adalah Pancasila. Dalam dinamika proses-proses kemasyarakatan, Pancasila diwujudkan dalam berbagai bidang kehidupan, juga pada bidang kehidupan hukum. Penerapan atau realisasi Pancasila pada bidang kehidupan hukum itu menumbuhkan ketentuan-ketentuan hukum yang dijiwai atau diwarnai oleh Pancasila. Keseluruhan Tata Hukum sebagai suatu sistem aturan hukum positif yang merupakan penjabaran atau penerapan Pancasila pada bidang hukum, dapat disebut Hukum Pancasila. Hukum Pancasila sebagai hukum positif tumbuh dari dalam dan/atau dibuat oleh masyarakat Indonesia untuk mengatur dan mewujudkan ketertiban yang adil dalam kehidupan kemasyarakatan di Indonesia. Karena itu, Hukum Pancasila dapat juga disebut Hukum (Nasional) Indonesia. Proses terbentuknya peraturan-peratuan hukum positif itu dapat melalui tindakan nyata para warga masyarakat dalam menjalani kehidupan sehari-hari. Dalam hal ini, maka terbentuklah hukum tidak tertulis. Proses terbentuknya peraturan hukum itu dapat juga terjadi secara disengaja melalui keputusan-keputusan para pejabat, yurisprudensi dan perundang-undangan. Produk dari keseluruhan proses pembentukan peraturan hukum positif itu mewujudkan Tata Hukum. Hukum Adat yang tumbuh dari dan di dalam lingkungan-lingkungan masyarakat Adat Indonesia, juga merupakan penjelmaan Pancasila pada bidang hukum pada tahap perkembangan tertentu. Karena itu, Hukum Adat adalah bagian dari Hukum (Nasional) Indonesia. Tentu saja, dalam proses dinamika perkembangan masyarakat dapat terjadi adanya peraturan-peraturan hukum (adat) positif dan institusi-institusi hukum (adat) yang sudah tidak sesuai dan tidak memenuhi lagi kebutuhan konkret masyarakat dan para anggotanya. Hal ini dapat juga terjadi pada produk perundang-undangan dan keputusan-keputusan pejabat lainnya. Dalam keadaan demikian, maka dipaksakannya penerapan peraturan-peraturan dan institusi-institusi hukum itu akan tidak lagi merupakan penjelmaan Pancasila dalam situasi konkret. Adalah bijaksana jika peraturan-peraturan dan institusi-institusi itu diubah dan disesuaikan pada kenyataan yang riil. Sebab arti dan makna konkret suatu asas (nilai, kaidah) selalu ditentukan oleh kenyataan yang riil yang di dalamnya asas itu hendak di realisasikan (kontekstual dan karena itu historisch bepaald). Yang penting adalah bahwa segala sesuatu dilaksanakan melalui prosedur-prosedur berdasarkan hukum serta dijiwai oleh Pancasila, sebagai landasan kefilsafatan dan norma kritik bagi Tata Hukum Indonesia.

2. Hakikat Hukum Pancasila Pada bagian ini akan dibicarakan gagasan atau cita-hukum (the idea of law, rechtsidee) dalam alam pikiran berdasarkan Pancasila. Hukum timbul dari rasa wajib yang tertanam dalam jiwa manusia, yakni dalam akalbudi dan budi-nurani manusia, yang mengharuskan manusia bersikap dan berperilaku dengan cara tertentu terhadap dan berkenaan dengan adanya manusia (manusia-manusia) lain, untuk mewujudkan ketertiban dan keteraturan dalam masyarakat, sedemikian rupa

17

17

Page 18: Hukum Pancasila

sehingga martabat dan kodrat manusia tidak tertindas. Keharusan itu menimbulkan hak untuk menuntut agar apa yang diharuskan dilaksanakan; jadi, adanya kewajiban itu sekaligus menimbulkan hak. Kewajiban bersikap dan berperilaku tertentu terhadap orang lain itu dirasakan sebagai apa yang sudah sepantasnya dan seadilnya menjadi hak orang lain itu. Manusia merasa berwajib dan dituntut untuk memberikan kepada orang lain apa yang menjadi bagiannya atau haknya. Kewajiban dan hak itu timbul karena dan di dalam hubungan antar-manusia; jadi, adanya hak dan kewajiban itu mengatur hubungan antar-manusia. Hak dan kewajiban itu selalu berarti dan hanya dapat dipahami sebagai hak dan kewajiban terhadap manusia atau manusia-manusia lain. Jadi, hak dan kewajiban itu menunjuk atau mengungkapkan hubungan antar-manusia. Karena itu, hukum pada hakikatnya adalah hubungan antar-manusia dalam dinamika kehidupan bermasyarakat. Hukum mewujudkan diri sebagai proses-proses sosial pengaturan atau pengkaidahan cara berperilaku. Proses sosial itu menghasilkan kaidah-kaidah hukum. Hukum adalah pengaturan perilaku manusia dalam menyelenggarakan hubungan antar-sesamanya di dalam masyarakat. Sebagai pengaturan perilaku, selain untuk mewujudkan ketertiban dan keteraturan dalam masyarakat, hukum juga dimaksudkan untuk mewujudkan asas keadilan. Karena itu, hukum diarahkan untuk memberikan kepada setiap orang apa yang menjadi bagiannya sesuai dengan jasa atau apa yang telah diberikannya; memberikan perlakuan yang sama menurut proporsinya, memberikan imbalan sesuai dengan kecakapan dan jasanya terhadap masyarakat, dan memberikan hukuman sesuai dengan kesalahannya. Kesemuanya ini adalah akibat yang timbul dari kenyataan bahwa keberadaan manusia dikodratkan berstruktur ada-bersama-dengan-sesamanya (ada dalam kebersamaan dengan sesamanya). Karena manusia dikodratkan ada bersama dengan sesamanya dalam masyarakat, maka manusia tidak dapat mengelakkan diri dari kebera-daan dalam pergaulan dengan sesamanya. Justru karena itu, maka ketertiban dan keteraturan dalam masyarakat yang dikehendaki (yang manusiawi) adalah yang tidak kaku, yang semata-mata hanya berdasarkan perhitungan untung-rugi saja, yang (dapat) mewujudkan ketertiban yang menekan perkembangan kemanusiaan. Yang dikehendaki adalah ketertiban dan keteraturan yang bersuasana ketenteraman batin, kesenangan bergaul di antara sesamanya, keramahan dan kesejahteraan yang memungkinkan terselenggaranya interaksi antar-manusia yang sejati. Karena itu, hukum yang dijiwai oleh Pancasila adalah hukum yang berasaskan semangat kerukunan. Karena itu juga hukum secara langsung diarahkan untuk mewujudkan keadilan sosial yang memberikan kepada masyarakat sebagai kesatuan dan masing-masing warga masyarakat kesejahteraan (material dan spiritual) yang merata dalam keseimbangan yang proporsional. Terpaut pada asas kerukunan adalah asas kepatutan. Asas ini juga adalah asas tentang cara menyelenggarakan hubungan antar-warga masyarakat yang di dalamnya para warga masyarakat diharapkan untuk berperilaku dalam kepantasan yang sesuai dengan kenyataan-kenyataan sosial. Juga dalam melaksanakan hak dan kewajiban yang sah menurut hukum, para warga masyarakat diharapkan untuk memperhatikan kepantasan, yakni dari para warga masyarakat diharapkan berperilaku sedemikian rupa hingga tidak merendahkan martabatnya sendiri dan atau orang lain. Sifat lain yang memberikan ciri pada Hukum Pancasila adalah asas keselarasan. Asas ini menghendaki terselenggaranya harmoni dalam kehidupan bermasyarakat. Berdasarkan asas ini, maka penyelesaian masalah-masalah konkret, selain harus

18

18

Page 19: Hukum Pancasila

didasarkan pada pertimbangan kebenaran dan kaidah-kaidah hukum yang berlaku, juga harus dapat diakomodasikan pada proses-proses kemasyarakatan sebagai keseluruhan yang utuh dengan mempertimbangkan perasaan-perasaan yang sungguh-sungguh hidup dalam masyarakat. Karena itu dari para warga masyarakat dan pelaksana hukum diharapkan kepatutan dalam melaksanakan hak dan kewajibannya, sedemikian sehingga kerukunan dan kesejahteraan bermasyarakat dapat dipertahankan dan dikembangkan. Asas kerukunan, asas kepatutan dan asas keselarasan sebagai ciri -ciri khas dari Hukum Pancasila dapat dicakup denagn satu istilah, yakni sifat kekeluargaan. Karena itu, dapat dikatakan bahwa Hukum Pancasila adalah hukum bersemangat kekeluargaan. Semangat kekeluargaan menunjuk pada sikap yang berdasarkannya kepribadian setiap warga masyarakat diakui dan dilindungi oleh masyarakat.

3. Cita-hukum Pancasila Tatanan hukum yang beroperasi dalam suatu masyarakat pada dasarnya merupakan pengejawantahan cita-hukum yang dianut dalam masyarakat yang bersangkutan ke dalam berbagai perangkat aturan hukum positif, lembaga hukum dan proses (perilaku birokrasi pemerintahan dan warga masyarakat). Yang dimaksud dengan cita-hukum adalah gagasan, karsa, cipta dan pikiran berkenaan dengan hukum atau persepsi tentang makna hukum, yang dalam intinya terdiri atas unsure-unsur keadilan, kehasil-gunaan dan kepastian hukum, yang keseluruhannya mewujudkan persepsi, pemahamanan dan penghayatan tentang apa hukum itu. Cita-hukum itu terbentuk dalam pikiran dan sanubari manusia, dal;am kesadaran para warga masyarakat, sebagai produk berpadunya pandangan hidup, keyakinan keagamaan dan kenyataan kemasyarakatan yang diproyeksikan pada proses pengkaidahan perilaku warga masyarakat yang mewujudkan tiga unsur cita-hukum tersebut tadi. Dalam dinamika kehidupan kemasyarakatan, cita-hukum itu akan mempengaruhi dan berfungsi sebagai asas umum yang mempedomani, norma kritik (kaidah evaluasi) dan faktor yang memotivasi dalam penyelenggaraan hukum (pembentukan, penemuan dan penerapan hukum) dan perilaku hukum. Dirumuskan dan dipahaminya cita-hukum akan memudahkan penjabarannya ke dalam berbagai perangkat aturan kewenangan dan aturan perilaku, dan memudahkan terjaganya konsistensi dalam penyelenggaraan hukum. Dengan demikian, seyogianya tata hukum itu merupakan sebuah eksemplar ramifikasi cita-hukum ke dalam berbagai asas dan kaidah hukum yang tertata (tersusun) dalam sebuah sistem. Sejalan dengan itu, Ilmu Hukum yang mempelajari tatanan hukum sebagai sarana intelektual untuk memahami dan menyelenggarakan tatanan hukum tersebut, dalam pengembanannya seyogianya pula bertumpu dan mengacu pada cita-hukum itu.

Cita-hukum bangsa Indonesia berakar dalam Pancasila yang oleh para Bapak Pendiri Negara Republik Indonesia ditetapkan sebagai landasan kefilsafatan dalam menata kerangka dan struktur dasar organisasi negara sebagaimana dirumuskan dalam Undang Undang Dasar 1945. Pancasila adalah pandangan hidup bangsa Indonesia yang mengungkapkan pandangan bangsa Indonesia tentang hubungan antara manusia dan Tuhan, manusia dan sesama manusia, serta manusia dan alam semesta, yang berintikan keyakinan tentang tempat manusia individual di dalam masyarakat dan alam semesta. Dalam dinamika kehidupan, pandangan hidup yang dianut akan memberikan koherensi dan direksi (arah) pada pikiran dan tindakan. Cita-hukum Pancasila yang berakar dalam

19

19

Page 20: Hukum Pancasila

pandangan hidup Pancasila dengan sendirinya akan mencerminkan tujuan menegara dan nilai-nilai dasar yang tercantum dalam Pembukaan, Batang Tubuh serta Penjelasan Undang Undang Dasar 1945.

Pandangan hidup Pancasila bertolak dari keyakinan bahwa alam semesta dengan segala isinya, termasuk manusia, yang sebagai suatu keseluruhan terjalin secara harmonis, diciptakan oleh Tuhan. Kehadiran manusia di dunia dikodratkan dalam kebersamaan dengan sesamanya, namun tiap manusia memiliki kepribadian yang unik yang membedakan yang satu dari yang lain. Keseluruhan pribadi manusia dengan keunikannya masing-masing mewujudkan satu kesatuan, yakni kemanusiaan. Jadi, "Kesatuan dalam Perbedaan". sebaliknya, dalam kebersamaan (kesatuan) itu tiap manusia individual warga kesatuan itu memperlihatkan kodrat kepribadian yang unik, yang berarti terdapatnya perbedaan di dalam kesatuan kemanusiaan. Jadi, "Perbedaan dalam Kesatuan" 2. Kodrat kepribadian ini tidak dapat disangkal tanpa meniadakan kodrat kemanusiaannya. Tiap manusia dan masyarakat harus mengakui, menerima, memelihara dan melindungi kepribadian tiap manusia warga masyarakat. Namun hal itu tidak berarti bahwa kepentingan tiap manusia individual secara bersendiri harus didahulukan dari masyarakat. Sebab, terbawa oleh kodrat kebersamaan dengan sesamanya itu, tiap manusia individual hanya dapat mewujudkan kemanusiaannya di dalam masyarakat, dalam kebersamaan dengan sesama manusia. Jadi, dalam kehadiran dan kehidupannya, manusia itu tidak terlepas dari ketergantungan pada kebersamaan dengan sesamanya dalam masyarakat. Kebahagiaan dan upaya untuk mewujudkannya tidak terisolasi dari kebahagiaan masyarakat sebagai keseluruhan. Selain itu, manusia juga tidak terlepas dari ketergantungan pada lingkungan alam dan Tuhan. Kebersamaan dengan sesamanya serta ketergantungan pada alam dan Tuhan adalah struktur dasar yang hakiki dari keberadaan manusia. Struktur dasar kebersamaan dengan sesamanya dan keterikatan pada alam dan Tuhan ini dirumuskan dalam bentuk sila-sila dari Pancasila. Pandangan hidup Pancasila dirumuskan dalam kesatuan lima sila yang masing-masing mengungkapkan nilai fundamental dan sekaligus menjadi lima asas operasional dalam menjalani kehidupan, termasuk dalam penyelenggaraan kegiatan menegara dan pengembanan hukum praktis. Kesatuan lima nilai fundamental itu bersama-sama dengan berbagai nilai yang dijabarkan atau diderivasi berdasarkannya, mewujudkan sebuah sistem-nilai, dan dielaborasi (diejawantahkan) ke dalam berbagai asas hukum dan kaidah hukum yang keseluruhannya mewujudkan sebuah sistem hukum (tata-hukum). Tiap kaidah hukum mencerminkan atau dijiwai sebuah nilai, dan tata-hukum mencerminkan atau bermuatan sistem-nilai. Berkaitan dengan sistem-nilai ini, Mochtar Kusumaatmadja mengemukakan, bahwa dalam esensinya, sistem-nilai itu dapat dibedakan ke dalam nilai-dasar (base-values) sebagai landasan dan acuan untuk mencapai atau memperjuangkan sesuatu, dan nilai-tujuan (goal-values) sebagai sesuatu yang harus dan layak untuk diperjuangkan atau diwujudkan. Sebagai sistem-nilai, Pancasila merupakan "base-values" dan sekaligus juga merupakan "goal-values". Keseluruhan nilai-nilai dalam sistem-nilai Pancasila itu dipersatukan oleh asas "Kesatuan dalam Perbedaan" dan "Perbedaan dalam Kesatuan" yang menjiwai struktur dasar keberadaan manusia dalam kebersamaan itu. Asas yang mempersatukan itu dalam lambang negara Republik Indonesia dirumuskan dalam ungkapan "Bhinneka Tunggal Ika". Jadi, "Bhinneka Tunggal Ika" mengungkapkan titik tolak cara pandang bangsa Indonesia tentang tempat manusia individual di dalam

2 Soediman Kartohadiprodjo, KUMPULAN KARANGAN, 1965: 86-96.

20

20

Page 21: Hukum Pancasila

masyarakat dan dalam alam semesta (Soediman Kartohadiprodjo). Dalam ungkapan tersebut terkandung pengakuan serta penghormatan terhadap martabat manusia individual, kekhasan kelompok-kelompok etnis-kedaerahan yang ada dan keyakinan keagamaan dalam kesatuan berbangsa dan bernegara.

Dalam kerangka pandangan tentang cara keberadaan manusia yang dikemukakan tadi, maka Cita-hukum Pancasila berintikan:

(a) Ketuhanan Yang Maha Esa;(b) Penghormatan atas martabat manusia;(c) Wawasan Kebangsaan dan Wawasan Nusantara;(d) Persamaan dan kelayakan;(e) Keadilan sosial;(f) Moral dan budi pekerti yang luhur;(g) Partisipasi dan transparansi dalam proses pengambilan putusan publik.

4. Tujuan Hukum Pancasila: Pengayoman. Tujuan hidup manusia adalah mewujudkan kebahagiaan. Dalam bahasa filsafat dikatakan, bahwa tujuan hidup manusia itu adalah mewujudkan kehidupan yang sempurna, atau setidak-tidaknya menjalani kehidupan yang sesempurna mungkin sebagai manusia, yakni dengan mengembangkan semua potensi-potensi manusiawi yang ada dalam dirinya secara utuh. Tiap manusia akan berupaya untuk mewujudkan tujuan hidupnya masing-masing. Upaya itu dilaksanakan dengan menjalankan perilaku. Hanya dengan perilaku, manusia dapat mewujudkan tujuan hidupnya. Tetapi, perilaku saja tidak cukup; untuk dapat mewujudkan tujuan hidupnya itu, manusia juga perlu mempergunakan berbagai hal lain yang ada di luar dirinya, misalnya benda mati dan binatang. Karena kodrat kebersamaan dengan sesamanya, maka segala upaya yang dilakukan manusia itu berlangsung dalam hubungan-hubungan kemasyarakatan. Di lain pihak, terbawa oleh kodratnya, manusia tidak dapat dijadikan obyek dan alat oleh sesamanya tanpa meniadakan kemanusiaannya. Karena setiap manusia memerlukan benda-benda dan binatang-binatang itu untuk memenuhi tujuan hidupnya masing-masing, dan tidak ada seorang pun yang mau dijadikan obyek atau alat oleh orang lain, maka di dalam hubungan kemasyarakatan itu dengan sendirinya timbul pengertian hak bahwa setiap manusia sama-sama mempunyai hak untuk menggunakan benda-benda dan binatang-binatang itu serta untuk tidak dijadikan obyek atau alat oleh orang lain; dan bersamaan dengan itu timbul pengertian hukum Dapat kita pahami, pelaksanaan hak untuk hidup dan mencapai tujuan hidup masing-masing tidak mungkin terjadi secara wajar bila di dalam masyarakat terdapat kekacauan. Dengan kata lain, manusia memerlukan terselenggaranya ketertiban dan keteraturan di dalam masyarakat. Karena ketertiban dan keteraturan itu diwujudkan dalam perilaku manusia, maka diperlukan sejumlah peraturan perilaku yang kepatuhannya tidak dapat diserahkan sepenuhnya kepada kemauan bebas setiap manusia. Peraturan-peraturan perilaku yang demikian itu disebut hukum, yang pelaksanaannya harus dapat dipaksakan oleh otoritas publik. Jadi, dapatlah disimpulkan, bahwa salah satu tujuan dari hukum adalah mengatur perilaku manusia di dalam hubungan-hubungan kemasyarakatan, jika perlu dengan paksaan, sehingga terwujud ketertiban dan keteraturan, secara singkat: mewujudkan ketertiban dan keteraturan dalam masyarakat.

21

21

Page 22: Hukum Pancasila

Tetapi, ketertiban dan ketenteraman itu bukanlah tujuan akhir dari hukum, melainkan tujuan antara. Sebab, di dalam masyarakat dapat saja, dengan menggunakan kekuatan, dipaksakan suatu ketertiban yang bersifat tiranik, yang menindas nilai-nilai manusiawi. Tujuan lebih jauh dari hukum adalah mewujudkan kedamaian sejati di dalam masyarakat. Kedamaian sejati akan terwujud, bilamana setiap warga masyarakat merasakan ketenteraman dalam batinnya. Para warga masyarakat akan merasa tenteram, bilamana:

a. ia yakin bahwa kelangsungan hidup dan pelaksanaan, termasuk hal mempertahankan, haknya tidak tergantung pada kekuatan. Selain dari itu, perasaan tenteram akan ada;

b. bilamana para warga masyarakat merasa yakin, bahwa sepanjang tidak melanggar hak dan tidak merugikan orang lain, tanpa perasaan khawatir, secara bebas dapat menjalankan apa yang diyakininya sebagai benar;

c. secara bebas ia dapat mengembangkan bakat-bakat dan kesenangannya;d. ia akan selalu mendapat perlakuan secara wajar dan berperikemanusiaan, adil

dan beradab, juga ketika ia telah melakukan suatu kesalahan. Dalam tujuan hukum yang digambarkan tadi, secara implisit, sudah mencakup tujuan

lain dari hukum, yakni mewujudkan keadilan. Kelangsungan ketertiban dan kedamaian sangat tergantung pada terlaksananya keadilan. Karena itu, terselenggaranya keadilan adalah sangat esensial dalam mewujudkan hukum. Pengertian keadilan meliputi beberapa aspek. Secara umum dikatakan, bahwa keadilan berarti dengan sukarela secara tetap dan mantap terus menerus memberikan kepada tiap orang apa yang memang sudah menjadi bagiannya atau haknya (Iustitia est constans et perpetua voluntas ius suum cuique tribuere). Berdasarkan rumusan tadi, pengertian keadilan dapat dibedakan dalam beberapa aspek berikut ini. Keadilan Distributif (iustitia distributiva) adalah keadilan yang berupa kewajiban pimpinan masyarakat untuk memberikan kepada para warga masyarakat beban sosial, fungsi-fungsi, balas jasa dan kehormatan secara proporsional (seimbang) dengan kecakapan dan jasa masing-masing. Keadilan Komutatif (iustitia commutativa) adalah kadilan yang berupa kesenilaian antara prestasi dan kontra-prestasi, antara jasa dan balas jasa dalam hubungan-hubungan antar-warga, atau, dilihat dari sudut pemerintah memberikan kepada setiap warga secara sama tanpa menghiraukan perbedaan-perbedaan keadaan pribadi ataupun jasanya. Keadilan Vindikatif (iustitia vindicativa) adalah keadilan yang berupa memberikan ganjaran (hukuman) sesuai dengan kesalahan yang bersangkutan. Keadilan Protektif (iustitia protectiva) adalah keadilan berupa perlindungan yang diberikan kepada setiap manusia, sehingga tak seorangpun akan mendapat perlakuan sewenang-wenang. Rumusan-rumusan tentang keadilan tadi adalah rumusan yang abstrak. Isi dari rumusan-rumusan tadi akan ditentukan oleh kondisi yang di dalamnya keadilan hendak diwujudkan. Yang pasti adalah, bahwa keadilan menuntut bahwa setiap orang tanpa kecuali berkewajiban untuk bertindak sesuai dengan apa yang diwajibkan kepadanya oleh hukum; pengertian hukum di sini tidak selalu berarti hukum positif. Tujuan hukum untuk mewujudkan ketertiban dan keteraturan, kedamaian, serta keadilan dapat dirumuskan dengan satu istilah, yakni Pengayoman (Perlindungan). Jadi, secara singkat padat, tujuan hukum adalah untuk mengayomi manusia. Tetapi, mengayomi manusia itu tidaklah hanya melindungi manusia dalam arti pasif, yakni hanya mencegah tindakan sewenang-wenang dan pelanggaran hak saja. Melainkan, juga

22

22

Page 23: Hukum Pancasila

meliputi pengertian melindungi secara aktif, artinya meliputi upaya untuk menciptakan kondisi dan mendorong manusia untuk selalu memanusiakan diri terus menerus. Jadi, dalam alam pikiran Pancasila, tujuan hukum adalah untuk menciptakan kondisi sosial yang manusiawi sedemikian sehingga memungkinkan proses sosial berlangsung secara wajar, di dalamnya secara adil setiap manusia mendapat kesempatan yang seluas-luasnya untuk mengembangkan seluruh potensi kemanusiaannya secara utuh. Termasuk dalam rumusan tadi adalah tujuan hukum untuk memelihara dan mengembangkan budi pekerti kemanusiaan serta cita-cita moral rakyat yang luhur berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Selain dari itu, hukum juga secara langsung melalui peraturan-peraturannya mendorong setiap manusia untuk memanusiakan diri.

5. Tugas/fungsi Hukum. Secara umum, dapat dikatakan, bahwa tugas/fungsi hukum adalah mengatur

hubungan-hubungan kemasyarakan antar-para warga masyarakat satu sama lain dan antara para warga masyarakat dan masyarakat sebagai keseluruhan (negara), sedemikian rupa sehingga terselenggara ketertiban dan keadilan dalam masyarakat. Jadi, tugas/fungsi hukum pertama-tama adalah untuk mengabdi kepada ketertiban dan keadilan. Untuk mewujudkan ketertiban dan keadilan, maka tugas hukum adalah menciptakan keteraturan dan kepastian hukum, yakni kepastian yang diciptakan oleh hukum dan kepastian di dalam hukum itu sendiri. Dalam mewujudkan fungsi ini, maka tugas dari hukum adalah untuk menciptakan, menegakkan, memelihara dan mempertahankan keamanan dan ketertiban yang adil. Ini berarti, bahwa hukum juga berfungsi sebagai sistem mekanisme pengendalian sosial untuk memelihara stabilitas sosial poitik .

Untuk melaksanakan fungsi-fungsi yang dikemukakan tadi, maka tugas hukum adalah melalui peraturan-peraturannya mencoba menyelaraskan (mengakomodasikan) kepentingan-kepentingan para warga masyarakat dalam hubungan antara yang satu dengan yang lainnya, serta antara kepentingan warga masyarakat dan masyarakat. Tercakup dalam pengertian tugas hukum itu tadi adalah tugas untuk mengatur kehidupan ekonomi masyarakat sedemikian rupa sehingga setiap warga masyarakat akan mampu secara wajar memenuhi segala kebutuhannya. Jadi, hukum juga pada dasarnya bertugas untuk secara adil mendistribusi kekayaan (pendapatan) masyarakat. Dengan perkataan lain, di samping menjaga keamanan, hukum juga harus mencegah terjadinya kepincangan dan ketidak adilan di dalam masyarakat. Secara positif, hukum juga bertugas untuk mewujudkan keadilan sosial. Terwujudnya keadilan sosial akan menimbulkan perasaan tenteram dalam batin para warga masyarakat. Dengan terpeliharanya perasaan tenteram itu, maka ketertiban akan mempunyai akar yang kuat. Telah dikemukakan, bahwa tujuan hukum adalah untuk mewujudkan keadilan. Tetapi, keadilan mensyaratkan terselenggaranya ketertiban; tanpa ketertiban, praktis tidak mungkin atau sulit sekali mewujudkan keadilan. Sebaliknya, ketertiban hanya mungkin bertahan lama jika ketertiban berakar pada ketenteraman masyarakat. Karena itu, maka hukum juga bertugas untuk menciptakan peraturan-peraturan tentang prosedur proses-proses pengaturan (pengkaidahan, penormaan) perilaku dan cara-cara melaksanakan serta mempertahankan peraturan-peraturan hukum, yang selain efektif juga harus memenuhi rasa keadilan. Dalam kondisi masyarakat yang sedang berada dalam keadaan stabil, maka tugas/fungsi hukum adalah hanya memelihara dan mempertahankan keamanan, ketertiban dan keteraturan. Tetapi, dalam masyarakat yang sedang mengalami perubahan-

23

23

Page 24: Hukum Pancasila

perubahan dan sedang melaksanakan pembangunan, maka tugas/fungsi hukum memelihara keamanan dan ketertiban saja tidak cukup, apalagi dalam masa perubahan-perubahan kemasyarakatan dan pembangunan pada masa kini. Perubahan kemasyarakatan adalah proses-proses perubahan dalam tata nilai yang menjiwai masyarakat. Perubahan tata nilai itu meliputi juga perubahan-perubahan dalam sikap dan pola perilaku. Sebelum perubahan itu mengendap dan menjadi mantap, maka terjadi situasi yang di dalamnya di samping tata nilai yang baru, masih tetap berlaku tata nilai yang lama yang jalin menjalin secara kabur. Tata nilai itu sendiri adalah hasil dari pengalaman interaksi antar-warga masyarakat dalam proses kehidupan bermasyarakat. Tetapi, sekali tata nilai terbentuk dan memperoleh kemantapan, maka ia akan mempengaruhi dan membentuk sikap serta pola perilaku para warga masyarakat. Sedangkan tata hukum mencerminkan tata nilai yang berlaku. Dengan demikian terlihat bahwa antara tata nilai, hukum dan perubahan kemasyarakatan terdapat hubungan yang erat. Bilamana dalam masyarakat terjadi perubahan dalam tata nilai dan sikap serta pola perilaku para warganya, maka hukum bertugas untuk memberikan bentuk hukum melalui perubahan dan/atau penciptaan peraturan-peraturan hukum baru pada perubahan-perubahan yang sudah terjadi. Hal ini perlu untuk dapat tetap memelihara dan mempertahankan ketertiban dan kepastian (hukum) dalam masyarakat. Tetapi perubahan kemasyarakatan yang kini tengah berlangsung, menciptakan masalah-maslah yang sangat majemuk yang hanya dapat ditanggulangi dengan pembangunan berencana. Perubahan hukum tidak dapat lagi menunggu mengendapnya hasil proses perubahan kemasyarakatan itu. Sebab, perencanaan dan pelaksanaan pembangunan secara langsung dihadapkan pada masalah-masalah yang majemuk sehubungan dengan berlakunya dua tata-nilai (lama dan baru) pada waktu bersamaan. Sikap dan pola perilaku para warga masyarakat, termasuk sebagian dari pimpinan masyarakat masih belum menguntungkan bagi berhasilnya upaya melaksanakan pembangunan berencana yang diinginkan. Padahal penyelesaian masalah-masalah yang dihadapi masyarakat dan para warganya sudah sangat mendesak, namun penyelesaian itu harus tetap berlangsung dengan cara yang tidak menindas martabat manusia. Ini berarti, bahwa pelaksanaan pembangunan berencana itu harus tetap berdasarkan hukum. Karena itu, maka hukum selain harus tetap mengatur ketertiban dan memelihara keamanan, juga bertugas untuk membuka jalan dan saluran baru dalam sistem kehidupan bermasyarakat agar segala upaya pembangunan berlangsung dengan lancar tanpa menimbulkan kepincangan dan menimbulkan ketidak adilan dalam masyarakat (jurang yang semakin lebar antara yang miskin dan yang kaya). Jadi, hukum juga berfungsi sebagai prasarana pembangunan. Sebagai prasarana pembangunan, tugas hukum adalah membentuk peraturan-peraturan hukum yang dapat menyalurkan kegiatan masyarakat secara tertib teratur dan membagi pendapatan masyarakat secara merata dan adil. Sehubungan dengan sikap serta pola perilaku yang masih terpaku pada tata nilai lama, maka hukum bertugas untuk mempercepat proses pendidikan masyarakat kearah sikap serta pola perilaku yang paling sesuai dengan masyarakat yang dicita-citakan. Ini adalah fungsi hukum sebagai prasarana pendidikan. Tujuannya adalah untuk memungkinkan terjadinya pembangunan dengan cara yang teratur tanpa menindas martabat kemanusiaan para warga masyarakat.

Wilayah Indonesia merupakan sebuah kepulauan yang terdiri dari ribuan pulau besar dan kecil. Bangsa Indonesia terdiri dari berbagai suku yang masing-masing memiliki dan

24

24

Page 25: Hukum Pancasila

hidup dalam atau dengan adat-istiadat, hukum adat dan bahasa sendiri-sendiri. Kondisi ini, selain dapat menghambat proses pembangunan, juga tidak menguntungkan bagi upaya mewujudkan dan mengembangkan cita-cita persatuan dan kesatuan sebagai satu bangsa yang utuh. Kesadaran nasional adalah juga salah satu dari manifestasi tata nilai. Karena itu, menumbuhkan kesadaran nasional secara nyata berarti mengembangkan nilai-nilai sosial-budaya di dalam masyarakat.

Berhubung segala hal yang menyangkut hidup manusia harus selalu dapat dipertanggung-jawabkan secara rasional, maka usaha pengembangan nilai-nilai sosial-budaya pun harus dilaksanakan berdasarkan hukum. Dengan demikian, maka hukum juga bertugas untuk meningkatkan kesadaran hukum nasional sehingga kesadaran nasional itu semakin tebal dan semakin nyata dirasakan dan dihayati oleh seluruh warganegara Republik Indonesia. Jadi hukum juga berfungsi untuk secara aktif mempengaruhi perkembangan tata nilai dan tumbuhnya nilai-nilai sosial budaya yang baru. Ini adalah fungsi sosial budaya dari hukum.

Fungsi hukum sebagai prasarana pendidikan dan fungsi sosial-budaya dari hukum bersama-sama mewujudkan atau berakar dalam fungsi hukum sebagai prasarana pengadaban masyarakat (yakni sarana untuk mengadabkan dan meningkatkan keadaban para warga masyarakat). Fungsi sebagai prasarana pembangunan, prasarana pendidikan sosial dan prasarana pengembangan sosial budaya itu, sudah barang tentu, harus dilaksanakan dengan melakukan penciptaan peraturan-peraturan hukum yang baru melalui prosedur yang sah dengan tetap berpijak pada hukum dan tata nilai yang berlaku, namun diorientasikan ke masa depan, segala sesuatu dengan memperhitungkan kenyataan-kenyataan sosial lainnya yang ada.

Kepustakaan:1. Herlien Budiono : ASAS KESEIMBANGAN bagi HUKUM PERJANJIAN

INDONESIA, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2006.2. N. Driyarkara : KUMPULAN KARANGAN, 1965.3. Notonagoro : PEMBOEKAAN OENDANG-OENDANG DASAR 1945, Pidato

Dies Universitas Airlangga, 1955.4. Romein, Jan : AERA EROPA, Peradaban Eropa sebagai PENJIMPANGAN dari

pola UMUM, Ganaco NV, 1956.5. Soediman Kartohadiprodjo : KUMPULAN KARANGAN, PT. Pembangunan,

Djakarta, 1965.6. Soediman Kartohadiprodjo : PANTJA-SILA DAN/DALAM UNDANG

UNDANG DASAR 1945, Bina Tjipta, Bandung, 1969.7. Soekarno : LAHIRNYA PANCASILA, 1945.8. Soekarno : TO BUILD THE WORLD ANEW, pidato di PBB, 1960.9. Soepomo : HUBUNGAN INDIVIDU DAN MASYARAKAT DALAM HUKUM

ADAT, Gita Karya, Djakarta, 1963.10. Soerjanto Poespowardojo : FILSAFAT PANCASILA. Sebuah pendekatan Sosio-

Budaya, Gramedia, Jakarta, 1994.

25

25