Top Banner
Hukum Murtad dan Penodaan Agama: Membungkam kebebasan? Oleh R u m a d i 1 Judul Buku : Silenced: How Apostasy and Blasphemy Codes are Choking Freedom Worldwide Penulis : Paul Marshall dan Nina Shea Penerbit : Oxford University Press, Oktober 2011 Tebal : 448 halaman PENULIS utama buku ini, Paul Marshall, Senior Fellow di Hudson Institute’s Center for Religious Freedom, dikenal sebagai ilmuwan yang sangat tekun mengulas persoalan-persoalan kebebasan beragama di sejumlah Negara, terutama negeri muslim. Dia menulis lebih dari 20 buku yang beberapa diantaranya tentang kebebasan beragama. Sebelum menulis buku yang akan kita diskusikan ini, Paul Marshall menulis buku berjudul Religious Freedom in the World (2008). Dalam buku ini dia melakukan survey tentang indeks kebebasan beragama dengan menggunakan standar hukum internasional di lebih dari seratus Negara di dunia dari berbagai benua. Dengan menggunakan kategori yang disebut “The Range of Religious Freedom”, dia mengelompokkan Negara-negara di dunia dalam tiga kategoti, yaitu Negara bebas (free country), setengah bebas (partly free) dan Negara tidak bebas (unfree). Buku yang akan diulas ini dapat dilihat sebagai kelanjutan dari buku di atas, dengan isu yang lebih spesifik, yaitu persoalan murtad (pindah agama) dan penodaan agama. Dari pilihan anak judul buku ini: How Apostasy and Blasphemy Codes are Choking Freedom Worldwide, akan dengan mudah ditangkap bahwa persoalan hukum murtad dan penodaan agama (terutama dalam Islam) menjadi persoalan serius yang dianggap bisa mengganggu kebebasan. Tentu saja harus ditegaskan, penulis buku ini menggunakan perspektif tertentu tepatnya cara pandang Barat- dalam melakukan problematisasi. Peristiwa yang menghentak Paul Marshall dan menjadi titik tolak pembahasan buku ini adalah fatwa mati pemimpin spiritual Iran ayatollah Khumeini pada 1989 terhadap Salman Rusdhie, penulis buku The Satanic Verses yang tinggal di Inggris. Melalui novelnya itu, Rusdhie yang lahir sebagai muslim keturunan India dituduh telah melakukan penodaan terhadap Islam, dia juga sudah tidak pantas disebut Islam. Rusdie dianggap telah murtad, dan halal darahnya. Peristiwa Salman Rusdhie membawa implikasi yang tidak sederhana, terutama terkait dengan ketegangan antara Islam dan Barat. Ketegangan ini semakin meningkat pasca peristiwa “11 September” dimana banyak orang yang memberi kritik bernada sinis pada Islam. Islam bukan saja mulai dihubungkan dengan terorisme, bahkan ada yang mengidentikkan keduanya. Hubungan Islam [tepatnya fundamnetalis Islam] dan Barat semakin tegang dengan munculnya ekspresi sinisme pada Islam seperti peristiwa seperti film Submission karya Theo van Gogh dan 1 Dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Jakarta; Peneliti Senior the Wahid Institute
11

Hukum Murtad dan Penodaan Agama: Membungkam kebebasan?

Apr 22, 2023

Download

Documents

Siti Rohimah
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: Hukum Murtad dan Penodaan Agama: Membungkam kebebasan?

Hukum Murtad dan Penodaan Agama: Membungkam

kebebasan?

Oleh R u m a d i1

Judul Buku : Silenced: How Apostasy and Blasphemy Codes are Choking Freedom

Worldwide

Penulis : Paul Marshall dan Nina Shea

Penerbit : Oxford University Press, Oktober 2011

Tebal : 448 halaman

PENULIS utama buku ini, Paul Marshall, Senior Fellow di Hudson Institute’s Center for

Religious Freedom, dikenal sebagai ilmuwan yang sangat tekun mengulas persoalan-persoalan

kebebasan beragama di sejumlah Negara, terutama negeri muslim. Dia menulis lebih dari 20

buku yang beberapa diantaranya tentang kebebasan beragama. Sebelum menulis buku yang akan

kita diskusikan ini, Paul Marshall menulis buku berjudul Religious Freedom in the World (2008).

Dalam buku ini dia melakukan survey tentang indeks kebebasan beragama dengan menggunakan

standar hukum internasional di lebih dari seratus Negara di dunia dari berbagai benua. Dengan

menggunakan kategori yang disebut “The Range of Religious Freedom”, dia mengelompokkan

Negara-negara di dunia dalam tiga kategoti, yaitu Negara bebas (free country), setengah bebas

(partly free) dan Negara tidak bebas (unfree).

Buku yang akan diulas ini dapat dilihat sebagai kelanjutan dari buku di atas, dengan isu yang

lebih spesifik, yaitu persoalan murtad (pindah agama) dan penodaan agama. Dari pilihan anak

judul buku ini: How Apostasy and Blasphemy Codes are Choking Freedom Worldwide, akan

dengan mudah ditangkap bahwa persoalan hukum murtad dan penodaan agama (terutama dalam

Islam) menjadi persoalan serius yang dianggap bisa mengganggu kebebasan. Tentu saja harus

ditegaskan, penulis buku ini menggunakan perspektif tertentu –tepatnya cara pandang Barat-

dalam melakukan problematisasi. Peristiwa yang menghentak Paul Marshall dan menjadi titik

tolak pembahasan buku ini adalah fatwa mati pemimpin spiritual Iran ayatollah Khumeini pada

1989 terhadap Salman Rusdhie, penulis buku The Satanic Verses yang tinggal di Inggris. Melalui

novelnya itu, Rusdhie yang lahir sebagai muslim keturunan India dituduh telah melakukan

penodaan terhadap Islam, dia juga sudah tidak pantas disebut Islam. Rusdie dianggap telah

murtad, dan halal darahnya.

Peristiwa Salman Rusdhie membawa implikasi yang tidak sederhana, terutama terkait dengan

ketegangan antara Islam dan Barat. Ketegangan ini semakin meningkat pasca peristiwa “11

September” dimana banyak orang yang memberi kritik bernada sinis pada Islam. Islam bukan

saja mulai dihubungkan dengan terorisme, bahkan ada yang mengidentikkan keduanya.

Hubungan Islam [tepatnya fundamnetalis Islam] dan Barat semakin tegang dengan munculnya

ekspresi sinisme pada Islam seperti peristiwa seperti film Submission karya Theo van Gogh dan

1 Dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Jakarta; Peneliti Senior the Wahid Institute

Page 2: Hukum Murtad dan Penodaan Agama: Membungkam kebebasan?

Hirsi Ali di Belanda (2004), kartun Nabi Muhammad di Koran Denmark Jyllands Posten (2006),

Fitna (2008) karya Geert Wilders, film Innocence of Muslims karya Sam Bacile (2012).

Serentetan peristiwa tersebut membangkitkan semangat baru di dunia Islam. Munculnya

terorisme dan aksi kekerasan di sejumlah Negara yang ditengarai dilakukan kelompok Islam

merupakan bagian lingkaran setan aksi-reaksi ketegangan Islam dan Barat. Situasi ini

menjadikan umat Islam semakin defensif secara teologis dan ofensif dalam aksi. Diskursus

mengenai tentang “murtad”, “menghina Islam”, “menyakiti perasaan orang Islam” menjadi

retorika di berbagai belahan dunia Islam, bahkan sering menjadi alat pemerintahan otoriter atas

nama agama untuk mengkonsolidasikan kekuasaannya.

Dalam pandangan Paul Marshall, sejumlah persoalan tersebut menciptakan kegoncangan yang

memunculkan ketakutan serta mengganggu prinsip fundamental masyarakat barat yang bebas (h.

3). Bukan hanya itu, fatwa mati yang dikeluarkan Pemimpin Iran, Ayatullah Homeini, pada

Salman Rusdhie menandakan munculnya dunia baru yang menakutkan karena dianggap bisa

merusak kebebasan berkeyakinan dan berpendapat. Seluruh isi buku ini dapat diletakkan dalam

konteks tersebut, yaitu bentuk reaksi kebangkitan Islam yang didukung otoritas politik dan

spiritual, baik di lingkungan Syiah Iran maupun Sunni Saudi Arabia. Kedua otoritas tersebut,

Sunni-Syiah, merasa terancam dengan kritik sejumlah kalangan di Barat yang membangkitkan

semangat keberagamaan mereka. Respon beberapa Negara mayoritas muslim, termasuk yang

menyebut dirinya “sekuler”, minta kepada pemerintahan sejumlah Negara Barat untuk

menghukum orang-orang yang dianggap menghina Islam. Sebagaimana Khomeini, pendapat

demikian berangkat dari tradisi yang panjang yang didasarkan pada para ahli hukum Islam.

Dalam buku ini, Paul Marshall hendak menguji sejauhmana Negara-negara Barat membuat

keseimbangan antara tuntutan sejumlah kalangan muslim yang ingin menerapkan hukuman bagi

orang-orang yang dianggap menghina Islam di satu sisi, dan perlindungan hak fundamental

masyarakat berupa kebebasan, di sisi yang lain. Paul Marshall dalam buku ini hendak

membangun argumentasi bahwa melakukan pengekangan melalui berbagai dalih seperti

blasphemy, defamation of Islam, insulting Islam, atau anti-Islamic hate speech adalah tindakan

yang tidak sesuai dengan prinsip kebebasan yang dijamin dalam demokrasi dan hak asasi

manusia.

Dalam pandangan Paul Marsall, titik persoalannya terletak pada upaya sejumlah Negara

berpendudukan muslim yang tergabung dalam OKI (Organisasi Kerjasama Islam) 2

dalam upaya

membatasi nilai-nilai yang berkembang di Barat, termasuk soal kebebasan berekspresi. Pada titik

itu, tidak ada definisi yang jelas apa yang dimaksud dengan blasphemy, religious defamation

atau religious hate speech. Beberapa Negara muslim juga mempunyai standar yang berbeda-beda

dalam menerapkan hal tersebut. Negara-negara muslim yang dipegang penguasa otoriter

biasanya cenderung memberlakukan blasphemy, religious defamation atau religious hate speech

secara longgar dan bisa dikenakan pada siapa saja yang dianggap membahayakan. Tapi Negara-

negara muslim yang moderat dan demokratis akan menerapkan hukum blasphemy, religious

defamation atau religious hate speech dengan hati-hati. Di Negara-negara muslim yang

menerapkan pembatasan, definisi blasphemy, religious defamation atau religious hate speech

2 Sebebelum ada Pertemuan Tingkat Menteri di Astana, Kazakkstan, Juni 2011, OKI merupakan singkatan

“Organisasi Konferensi Islam”/OIC= Organization of the Islamic Conference. Namun sejak pertemuan itu, kata “Konferensi/Conference”, diganti menjadi “Kerjasama/Cooperation”.

Page 3: Hukum Murtad dan Penodaan Agama: Membungkam kebebasan?

umumnya didasarkan pada hukum yang tidak tertulis, dan seringkali didasarkan pada definisi

subyektif yang kabur.

Demikian juga di sejumlah negara barat yang terjadi diskriminasi dan hasutan melakukan

kekerasan terhadap muslim tetap dipahami sebagai kejahatan. Dalam survey buku ini

ditunjukkan, kebebasan berekspresi, mengkritisi ide-ide keagamaan, beribadah menurut agama

dan keyakinan adalah esensi dari kebebasan beragama. Pembungkaman atas ide-ide tersebut, di

sejumlah Negara muslim, dilakukan atau didukung dua kekuatan sekaligus, kekuatan agama dan

politik. Jika ini terjadi maka tidak ada lagi kebebasan berpendapat dan kebebasan beragama.

Dalam kaitan ini, negara-negara anggota OKI biasanya menerapkan standar pembatasan sendiri

yang didasarkan pada penafsiran atas ajaran Islam, dengan mengontol tidak saja bahasa, tapi juga

termasuk cara-cara berekspresi, analisis, berargumentasi dengan memperhitungkan realitas

keagamaan.

Tiga Persoalan Utama

Dengan pembahasan yang panjang dan kekayaan data yang luar biasa, ada tiga persoalan utama

yang disuguhkan Paul Marshall dalam buku ini. Pertama, overview terhadap praktik dan

konsekuensi penerapan hukum penodaan agama dan murtad di Negara-negara muslim. Kedua,

Paul Marshall membahas upaya Negara-negara OKI lebih dari dua dekade di PBB untuk

memasukkan hukum penodaan agama dan murtad ke dalam standar hukum hak asasi

internasional. Ketiga, overview terhadap berkembangnya tuntutan anti-penodaan agama di Barat,

baik melalui hukum, ancaman ekstra-legal, ancaman kekerasan terhadap orang atau kelompok

yang diduga menghina Islam.

Tiga tema bahasan utama tersebut diurai dalam empat bagian yang di dalamnya ada 15 chapter.

Bagian I, Pendahuluan, menjelaskan tesis utama yang ingin diargumentasi Paul Marshall dalam

buku ini, bahwa menerapkan aturan penodaan agama merupakan ancaman yang bisa

membungkam kebebasan, terutama kebebasan beragama-berkeyakinan, berpendapat dan

berekspresi. Hampir keseluruhan isi buku ini digunakan untuk membuktikan tesis tersebut.

Bagian II, menjelaskan mengenai penerapan hukum murtad dan penodaan agama di sejumlah

Negara berpenduduk mayoritas muslim. Beberapa Negara yang menjadi perhatian antara lain

Saudi Arabia, Iran, Mesir, Pakistan, Afghanistan, Aljazair, Yordania, Libya, Maroko, Turki dan

Yaman. Pada bagian ini Paul Marshaal juga melihat implementasi hukum murtad dan penodaan

agama di sejumlah Negara Afrika seperti Nigeria, Somalia dan Sudan; dan juga di Negara-negara

Asia Tenggara seperti Bangladesh, Malaysia dan Indonesia. Negara-negara yang disurvey ini

hampir semuanya anggota OKI.

Dari Negara-negara mayoritas muslim yang dikaji dalam buku ini ditunjukkan efek dari restriksi

dengan menggunakan penodaan agama, murtad, penghinaan terhadap Islam, penistaan agama,

hasutan untuk membenci agama dan sebagainya. Melalui survey yang panjang di sejumlah

Negara tersebut, penulis buku ini dengan tekun mengumpulkan data dan mengilustrasikan

bagaimana tindakan, kata, pemikiran yang digunakan di sejumlah Negara dalam melakukan

represi berdasar aturan keagamaan. Temuan penting dari serangkaian survey itu cukup

mengganggu. Melalui serangkaian tindakan represi atas nama melindungi agama tersebut

berimplikasi pada terganggunya hak asasi manusia, kebebasan politik, dan keamanan.

Paul Marshall memetakan, paling tidak ada tiga tema persoalan yang muncul dan menjadi

perhatian Barat dalam kaitan dengan implementasi hukum murtad dan penodaan agama di

Page 4: Hukum Murtad dan Penodaan Agama: Membungkam kebebasan?

sejumlah Negara muslim. Pertama, langkah-langkah koersif di sejumlah Negara berpenduduk

mayoritas muslim yang seolah-olah berupaya untuk menghormati dan melindungi Islam, justru

digunakan untuk mengekang kebabasan, bukan hanya untuk pembuat kartun, tapi juga untuk

ulama dari dari kalangan Islam sendiri, penulis, pembaharu, orang keluar dari Islam, anggota

aliran tertentu dari Islam dan sebagainya. Ketentuan ini seperti tembok yang dibuat untuk

melindungi Islam dari berbagai bentuk kritik. Perlindungan ini juga dilakukan terhadap

pemerintahan yang diatasnamakan Islam. Akibatnya kebebasan beragama dan berekspresi

dibatasi sedemikian ketat.

Kedua, hukum penodaan agama dan segala bentuk restriksinya cenderung menutup ortodoksi

keagamaan dan pembaharuan pemikiran. Mereka biasanya menggunakan restriksi adalah

kelompok ekstrimis, dimana hukum dan intimidasi digunakan untuk memastikan ide-ide yang

dibawa diterima masyarakat. sebaliknya, kelompok pembaharu biasanya menentang cara-cara

pembungkaman seperti itu. Dengan kata lain, hukum penodaan agama membungkam ide-ide

yang berupaya untuk mempertemukan dunia Islam dengan pluralisme.

Ketiga, istilah penodaan agama dan penghinaan terhadap Islam merupakan istilah yang tidak

jelas batasannya. Karena itu, dalam praktik dan implementasinya sangat ditentukan oleh situasi

sosial politik yang melingkupi. Karena itu, standar yang digunakan satu Negara dengan Negara

yang lain bisa berbeda.

Setelah menjelaskan sejumlah kasus penerapan penodaan agama dan murtad di Negara-negara

muslim, Bagian III buku ini menjelaskan tentang upaya internasionalisasi atau globalisasi

penodaan agama. Pada bagian ini, Paul Marshall memberi overview upaya penerapan restriksi

atas nama menghina Islam di Barat. Hal ini terjadi di beberapa Negara Barat dan perdebatannya

juga masuk dalam ruang pertemuan resmi PBB.

Untuk mengulas persoalan tersebut, ada 4 (empat) Chapter (chapter 10-13) dalam bagian ini.

Chapter 10 menjelaskan persoalan Islam dan Penodaan Agama dalam pora internasional. Dalam

chapter ini Paul Marshall mendiskripsikan tentang pembatasan penodaan agama dan “ujar

kebencian” di Barat, baik yang dilakukan oleh Negara, maupun kekuatan-kekuatan vigilante dan

kerusuhan. Dia juga menjelaskan upaya yang dilakukan pemerintah yang tergabung dalam OKI

dalam mempengaruhi PBB agar Negara-negara Barat juga melakukan pembatasan penodaan

agama sebagaimana dilakukan Negara-negara muslim.

Beberapa persoalan yang diangkat dalam chapter ini antara lain peristiwa Satanic Verses-nya

Salman Rusdhie yang difatwa mati pemimpin Iran dan mendapat perlindungan dari pemerintah

Inggris. Paul Marshall juga membahas soal peristiwa Kartun di Denmark pada 2005-2006,

termasuk kontroversinya ketika pada 2009 Yale University Press hendak mempublikasikan ulang

kartum tersebut. Contoh lain adalah ketika terdengan kabar melalui pemberitaan Newsweek

dimana untuk meruntuhkan mental para teroris yang ditahan di Guatanamo, mushaf al-Quran

dimasukkan ke dalam toilet; pidato Paus Benedict XVI di Regensburg yang dontroversialkan;

pembuatan film Fitna yang provokatif oleh anggota parlemen Belanda Geert Wilders.

Dalam pandangan Paul Marshall, persoalan-persoalan tersebut sering kali muncul melalui

manipulasi politik. Dia memberi contoh soal kartun di Denmark. Kartun tersebut untuk kali

pertama dipublikasikan pada September 2005. Ketika itu tidak reaksi protes dari berbagai

kalangan, termasuk di Mesir, Maroko dan Indonesia. Reaksi itu baru muncul pada Januari 2006

setelah ada pertemuan OKI di Mekah dan membawa isu kartun tersebut. Setelah itu baru terjadi

kerusuhan dan kekerasan yang menewaskan sekitar 200 orang.

Page 5: Hukum Murtad dan Penodaan Agama: Membungkam kebebasan?

Chapter 11 mendiskusikan upaya yang dilakukan sejumlah Negara OKI dalam upaya menjadikan

pembatasan penodaan agama masuk dalam mekanisme HAM PBB. Usaha ini sudah dimulai

sejak sebelum ada peristiwa kartun controversial di Denmark. Dalam pandangan Paul Marshall,

upaya untuk menghentikan “penghinaan” terhadap Islam merupakan upaya untuk menghentikan

kritisisme terhadap pelanggaran hak asasi manusia. Hal ini juga berarti upaya untuk memberi

pengakuan spesifik adanya “hak asasi manusia khas Islam” seperti diatur dalam Syariat Islam.

Negara-negara anggota OKI terus bersuara, bahkan mengancam beberapa Pelapor Khusus PBB

yang kritis terhadap penguasa yang dianggap rezim Islam. Bahkan, mengkritisi rezim Islam bisa

dikatakan melakukan penghinaan terhadap Islam itu sendiri.

Pada 1999, beberapa Negara mayoritas muslim mulai mengusung argumentasi bahwa PBB harus

mengutuk dan melarang penistaan agama, terutama penistaan pada Islam. Mereka mengakui

bahwa resolusi “defamation of religion” dimaksudkan sebagai tameng Islam dan muslim dari

kritisisme. Hal itu dilakukan dengan dengan mendefinisikan ulang HAM, antara lain:

1. Melarang ujar kebencian berdasar agama sama seperti larangan atas tindakan rasial.

2. Memberikan jaminan hak beragama bukan semata-mata persoalan individu, tapi juga

kelompok.

3. Membuat hak baru agar persoalan agama tidak menjadi sarana menyinggung atau

melecehkan orang lain.

4. Melakukan klaim bahwa kebebasan beragama sebagai oposisi kebebasan berekspresi.

5. Memberi penafsiran yang luas untuk pengecualian hak kebebasan berekspresi.

Menurut Paul Marshall, hal tersebut sengaja diajukan untuk menolak klaim kebebasan

berekspresi dan berkeyakinan sebagai universal, individual, dan sebagai hak fundamental. (h.

206). Meski tidak sepenuhnya diterima, tapi pada tingkat tertentu cukup mempengaruhi

diskursus dalam pertemuan-pertemuan resmi PBB. Sejak tahun 2005 misalnya, Majelis Umum

PBB mengadopsi resolusi “Defamation of Religions”, yang diajukan setelah serangan teroris

9/11 dimana banyak orang mengidentikkan Islam dengan terorisme. Sejak kontroversi kartun

Denmark pada 2006, resolusi ini menunjukkan pentingnya pembatasan kebebasan berekspresi.

Uni Eropa dan AS menolak memasukkan konsep “defamations of religions” dan dianggap

sebagai konsep yang tidak benar. Inti argumen penolakan itu adalah bahwa fokus perlindungan

HAM bukan pada agama, tapi pada individu. Pelapor khusus PBB mengenai kebebasan

beragama dan berkeyakinan, Asma Jahangir, juga mengkritik konsep defamasi ini karena justru

dianggap sebagai ancaman terhadap kebebasan berekspresi dan kebebasan beragama. Karena

tidak mendapat dukungan dari sejumlah Negara Barat, sejak tahun 2011, Negara-negara OKI

yang mengusung konsep “defamation of religions” menahan diri dan tidak lagi bernafsu

mengusung resolusi ini. Setelah gagal mengusung konsep “defamation of religions”, para

pendukungnya mulai menempuh taktik baru dengan mengkaitkan defamasi dan “hate speech”.

Langkah ini diambil untuk memperluas pengekangan berdasar pada larangan yang sudah

disepakati seperti hasutan kebencian pada ras dan agama.

Chapter 12 melalui judul “Religiously Incorrect”, Paul Marshall membahas tentang Islam,

penodaan agama dan ujar kebencian dalam hukum domestik di sejumlah Negara Barat. Berbeda

dengan oposisi yang jelas atas upaya Negara-negara anggota OKI yang mengusung konsep

“defamation of religions”, Negara-negara Barat bimbang antara menegakkan hak kebebasan

berekspresi dan pembatasan atas nama sensitifitas beragama. Beberapa Negara Barat, kecuali

AS, mempunyai hukum yang melarang menghina agama atau menghasut kebencian dan

Page 6: Hukum Murtad dan Penodaan Agama: Membungkam kebebasan?

diskriminasi, serta hukum publik yang digunakan untuk membatasi pernyataan kontroversial

tentang agama.

Memang sampai sekarang di sejumlah Negara Barat masih ada perdebatan tentang persoalan ini.

Beberapa Negara Barat telah menerima adanya pembatasan kritisisme beragama. Pada chapter

ini, Paul Marshall melakukan investigasi bagaimana negara-negara tersebut mengkreasi,

mengamandemen, dan menerapkan hukum tentang apa yang boleh dan tidak boleh dikatakan

terkait keyakinan keagamaan. Larangan pada ujar kebencian misalnya, mempunyai asal-usul

dengan persoalan Nazi yang telah dijustifikasi sebagai proteksi terhadap minoritas. Dalam kaitan

ini, larangan ujar kebencian muncul karena kekhawatiran adanya kekerasan bermotif agama

terhadap minoritas muslim di Barat.

Paul Marshall menyebutkan, tidak ada definisi yang jelas apa yang dimaksud “religious hate

speech”, baik dalam ranah nasional maupun internasional, sehingga dalam penerapannya

pengadilan sering mengembangkan penafsiran sendiri. Dalam beberapa hal, penafsiran ini

tergantung pada apakah hukum didasarkan pada perjanjian internasional yang melarang ujar

kebencian berbasis agama, rasa atau pengelompokan yang lain, ataukah melarang ujar kebencian

yang secara khusus hanya menyinggung keyakinan keagamaan.

Dalam pandangan Paul Marshall, belakangan ini larangan terhadap ujar kebencian meningkat,

sedangkan penerapan hukum penodaan agama justru menurun. Secara politik dan hukum,

membedakan hukum penodaan agama dan ujar kebencian sebenarnya tidak jelas, kabur.

Hasilnya adalah penolakan kebebasan individu, munculnya sektarian, ketegangan diantara

kelompok-kelompok agama.

Pada chapter 13, buku ini menguraikan tentang implementasi penodaan agama dan ekspresi

kebencian melalui kekerasan dan intimidasi. Di Barat, larangan apa yang dianggap sebagai “hate

speech” dianggap sebagai persoalan kritis dalam Islam, bukan hanya ancaman yang terkait

dengan aspek legal, tapi juga terkait dengan tekanan ekstra-judisial oleh gerakan vigilante,

bahkan teroris. Yang menjadi sasaran intimidasi dan kekerasan bukan hanya non-muslim, tapi

juga orang Islam sendiri. Akibatnya, kelompok-kelompok yang mempromosikan toleransi,

pemikiran kritis, HAM dalam komunitas muslim dapat menghadapi resiko yang tidak ringan. Hal

ini menimbulkan ketakutan yang meluas di Barat.

Pada chapter ini, Paul Marshall menyoroti efek yang ditimbulkan dari tindak kekerasan, bukan

hanya pada politisi dan pembuat film, tapi juga muslim yang hidup di Barat, orang yang keluar

dari Islam, orang-orang yang dianggap pengikut kelompok sesat, dan sebagainya. Pola kekerasan

ini menjadi familier dalam masyarakat Barat. Pembunuhan Theo van Gogh, sutradara film, di

Amsterdam Belanda pada 2004 dan juga ancaman pembunuhan terhadap Ayyan Hirsi Ali yang

bersama van Gogh memproduksi film Submission sepenuhnya menggambarkan kecenderungan

di atas. Pembunuhnya, Mohammed Bouyeri, seorang imigran asal Maroko, melakukan hal itu

bukan karena alasan personal, tapi alasan keagamaan. Dalam pengadilan dia menyatakan: “Dia

pantas dibunuh karena menghina Allah dan Rasulullah”.

Peristiwa itu menyulut debat di Eropa, baik di kalangan Islam sendiri maupun masyarakat Eropa

secara keseluruhan. Persoalan imigran muslim ke Eropa menjadi perhatian serius. Negara-negara

Barat dan organisasi internasional pada umumnya berdiri pada posisi mempertahankan

kebebasan berbicara dan melawan pembatasan anti penodaan agama yang ditunjukkan melalui

legislasi, putusan pengadilan, atau penegakan hukum pada kelompok vigilante.

Page 7: Hukum Murtad dan Penodaan Agama: Membungkam kebebasan?

Bagian akhir buku ini, Bagian IV, menyajikan secara khusus pemikiran kritis dari kalangan

muslim tentang hukum murtad dan penodaan agama. Ada dua tulisan yang dituangkan, yaitu

artikel Nasr Hamid Abu Zayd yang menawarkan model pembaharuan penafsiran al-Quran dalam

dunia kontemporer; dan artikel Abdullah Saeed yang mencoba memikirkan ulang doktrin Islam

klasik tentang murtad dan hukuman mati. Tulisan KH. Abdurrahman Wahid “God Need no

Defense” meskipun diletakkan di bagian awal buku ini, namun secara substantif masuk dalam

kategori bagian ini.

Nasr Hamid Abu Zayd sebagai seorang ahli tafsir dari Mesir yang kemudian menetap di

Belanda, menekankan bahwa hukum penodaan agama dan murtad digunakan untuk mencegah

adanya reformasi masyarakat muslim. Tulisan Abu Zayd juga menunjukkan adanya keragaman

penafsiran dalam Islam, baik dalam masa lampau maupun sekarang. Dengan begitu kita perlu

memahami konteks historis sehingga seluruh ujaran dalam al-Quran bisa diletakkan dalam

konteks yang tepat.

Sedangkan tulisan Abdullah Saeed “Rethinking Classical Muslim Law of Apostasy and the

Death Penalty,” berargumentasi bahwa diskursus kekinian tentang hak asasi manusia tidak bisa

dikatakan milik Barat semata, tapi juga milik umat Islam. Sebagaimana Abu Zayd, Saeed juga

menekankan pentingnya memahami konteks Islam pada masa awal, terutama pada masa setelah

kenabian Muhammad ketika hukum murtad diperkenalkan. Konteksnya adalah dalam suasana

konflik bersenjata antara umat Islam dan non muslim. Dalam konteks itu, murtad dimaknai

sebagai keluar dari Islam untuk bekerjasama dengan non muslim untuk melawan Islam. Dengan

demikian, kemurtadan sejenis pengkhianatan.

Buku ini memang tidak berpretensi menjelaskan tentang hukum Islam dan sejarah, atau ingin

melacak perkembangan historis konsep murtad dan penodaan. Titik tekan buku ini pada efek

yang ditimbulkan dari konsep murtad dan penodaan agama pada dunia kontemporer. Hal yang

paling penting adalah ancaman terhadap kebebasan individu dalam beragama dan berkespresi.

Meski demikian, tulisan Abu Zayd, Abdullah Saeed dan Gus Dur memberi perspektif lain dari

kalangan Islam sendiri bagaimana melihat kasus-kasus kekerasan bermotif agama.

Enam Argumen Menolak Pembatasan Melalui Penodaan Agama

Dari tiga persoalan utama yang telah disebutkan dan dibahas dalam buku ini, Paul Marshall

menjelaskan ada enam argumen untuk menolak restriksi melalui penodaan agama. Enam

argumen ini berakar pada hubungan timbal balik dunia Islam dan Barat. Pertama, di dalam dunia

Islam sendiri, hukum dan kekerasan bagi orang-orang yang dituduh menghina Islam, tidak

terbatas pada pada apa yang –setidaknya di dunia Barat—dianggap sebagai penghinaan.

Penghinaan tidak perlu ada intensi merendahkan pihak lain, tapi orang yang berbeda saja bisa

dikatan menghina dan menodai agama. Karena itulah kelompok Bahai dan Ahmadiyah bisa

dipersekusi meski mereka sama sekali tak bermaksud menghina Islam. Hal yang sama juga

diberlakukan pada orang-orang yang keluar dari Islam atau siapa saja yang dianggap tidak lagi

percaya pada Islam meskipun yang bersangkutan masih mengaku sebagai muslim. Inilah yang

dialami Syiah di Saudi Arabia atau kelompok Sufi di Iran yang dianggap menyimpang dari

Islam. Target dari hukum anti penodaan agama adalah umat Islam yang dianggap membangkang,

liberal, reformer ketika mereka melawan penguasa atau organisasi yang mengklaim mewakili

Islam.

Page 8: Hukum Murtad dan Penodaan Agama: Membungkam kebebasan?

Kedua, ketika sejumlah Negara anggota OKI memperkenalkan larangan penistaan atau

penghinaan agama ke sistem hukum internasional melalui PBB atau melalui tekanan perubahan

hukum domestik di sejumlah Negara Barat, agenda mereka jauh dari sekedar membungkan

pembuat kartun di Denmark atau politisi Belanda provokatif seperti Geert Wilders, atau

melindungi muslim di Barat yang memang sudah dilindungi dari kekerasan, penghinaan pribadi

dan diskriminasi. Kebanyakan Negara-negara OKI mempunyai target untuk menekan orang-

orang yang dianggap merugikan, berbeda, dan dipertanyakan secara keagamaan dan politik. Jika

Negara-negara itu berhasil melarang defamation of religion di Barat, mereka akan

menyebarluaskan sistem represi ke seluruh dunia yang bebas.

Ketiga, jika batasan berbicara diperdebatkan di PBB untuk menjadi hukum hak asasi manusia,

maka semua analisis kritis yang dianggap mengganggu Islam akan dikatakan sebagai

pelanggaran hak asasi manusia, dan akan dengan mudah dikatakan sebagai “penghinaan” pada

Islam.

Keempat, apabila restriksi melalui penodaan agama diterima, rezim otoritarian akan mempunyai

tambahan senjata untuk melindungi diri mereka dari kritisisme. Rezim tersebut akan mencari

konsensus baru tentang hak asasi manusia dengan memasukkan Deklarasi Kairo 1990 yang

mensubordinasi kebebasan individu dengan penafsiran tertentu atas hukum Islam.

Kelima, jika restriksi melalui “penghinaan Islam” diterima, maka kita akan mengkhianati orang-

orang yang berjuang untuk kebebasan di bawah tekanan rezim yang perpesif di dunia muslim.

Keenam, menyerah pada restriksi Islam terkait penodaan agama, akan memotong keamanan kita

sendiri. Sebagian besar berkeinginan kuat dalam memperjuangkan pembatasan berbagai bentuk

tindakan yang dianggap mengancam Islam. Ideologi seperti ini memancarkan spirit terorisme

dan berbagai bentuk represi dan kekerasan agama. Mentaati pembatasan itu artinya secara

politik kita melucuti diri kita sendiri dari diskusi, debat, analisis terhadap Islam dan berbagai

penafsiran yang dianggap keluar batas.

Catatan Penutup

Dari seluruh data dan argumen yang dikemukakan dalam buku ini, Paul Marshall menunjukkan

beberapa temuan yang penting diangkat. Pertama, adanya fenomena baru yang terjadi terkait

dengan upaya sejumlah negara muslim untuk menjadikan hukum penodaan agama berlaku dalam

skala yang lebih luas. Jika sebelumnya tidak ada preseden otoritas muslim untuk memberlakukan

hukum syariah di Negara-negara non muslim kepada non muslim, kini fenomena itu ditunjukkan

dengan gamblang dalam buku ini. Kedua, semakin menguatnya tuduhan dan represi melalui

hukum penodaan agama, tidak hanya dilakukan oleh Negara, tapi juga sering dilakukan oleh

kelompok vigilante, bahkan teroris. Kekuatan Negara dan vigilante sering berinteraksi dan

saling mendukung. Negara tidak melakukan sesuatu yang bisa menghentikan tindak kekerasan

yang mereka lakukan.

Ketiga, tuduhan melakukan penodaan, penghinaan, atau penistaan agama tidak jelas definisi dan

standarnya. Karena itu tuduhan penodaan agama bisa dikenakan kepada siapa saja yang dianggap

memusuhi Tuhan, melawan dogman agama, mempromosikan pemikiran-pemikiran yang

dianggap merusak agama, bahkan orang yang dianggap meresahkan orang lain. Orang yang

dituduh melakukan penodaan agama tidak perlu mempunyai intensi melakukan penghinaan

terhadap Islam. Jika yang dilakukan itu dianggap meresahkan masyarakat, orang tersebut bisa

dituduh melakukan penodaan agama. Karena ketidakjelasan itu, tuduhan penodaan agama

Page 9: Hukum Murtad dan Penodaan Agama: Membungkam kebebasan?

menjadi rentan penyalahgunaan oleh siapapun yang mempunyai otoritas politik, baik politik

formal maupun non formal.

Keempat, tuduhan penodaan agama seringkali beririsan dengan manipulasi politik. Berbagai aksi

penyerangan terhadap orang yang dituduh melakukan penghinaan terhadap Islam sering tidak

terjadi secara spontan, tapi hasil dari manipulasi politik yang dilakukan secara sadar untuk

membangkitkan semangat permusuhan. Manipulasi politik ini bisa berlangsung dalam waktu

yang cepat, tapi juga bisa lambat. Kelima, ada empat kelompok yang sering menjadi korban

hukum penodaan agama, yaitu: 1) kelompok-kelompok keyakinan keagamaan yang berakar dari

keyakinan Islam, tapi kemudian dianggap sesat dan dipaksa keluar dari Islam. Paul Marshall

menyebut sebagai “post Islamic religion”, seperti Bahai dan Ahmadiyah; 2) orang yang pindah

agama dari Islam menjadi non muslim (murtad); 3) muslim yang dianggap beraliran keliru atau

berada di tempat yang salah; 4) pembaharu pemikiran keagamaan yang biasanya melawan arus

utama pemikiran.

Di samping itu, Paul Marshall juga menunjukkan adanya korelasi antara kebebasan beragama

dengan kebebasan sipil, kebebasan politik, indeks kebebasan pers, bertahannya demokrasi,

rendahnya militerisasi dan konflik. Dia juga yakin adanya hubungan antara kebebasan dengan

sehatnya kehidupan ekonomi. Negara yang menjamin kebebasan maka akan cenderung sehat

kehidupan ekonomi. Untuk yang terkahir ini masih harus diuji lebih jauh kebenarannya.

Harus dikatakan, meski tidak dinyatakan secara eksplisit namun terasa sekali buku ini lebih

menyoroti Islam dan dunia Islam. Bias barat sangat terasa dalam buku ini. Bahkan, jika tidak

hati-hati, pembaca buku ini bisa terlarut Islamophobia3 meskipun mungkin Paul Marshall tidak

bermaksud demikian. Kalau dikatakan tidak berimbang, barangkali di sinilah letak persoalannya.

Buku ini tidak memberi bahasan yang cukup berimbang dengan persoalan penodaan agama di

luar Islam. Padahal, konsep penodaan agama dikenal di semua agama, terutama agama samawi,

Yahudi, Kristen4 dan Islam. Dalam Yahudi, blasphemy adalah menghina nama Tuhan atau

mengucapkan hal-hal yang mengandung kebencian terhadap Tuhan. Dalam Kristen, alam Kitab

Perjanjian baru dikatakan menista roh kudus adalah dosa yang tak diampuni dan pengingkaran

terhadap Trinitas juga digolongkan sebagai blasphemy. Dalam Kitab perjanjian lama, pelaku

blasphemy diancam hukuman mati, dengan cara dilempari batu. Dalam Islam, blasphemy adalah

menghina Tuhan, Nabi Muhammad dan nabi-nabi yang diakui dalam al-Quran serta menghina

al-Quran itu sendiri.

Di Negara-negara Barat, ukuran penodaan agama juga bukan hanya terkait dengan Islam, tapi

juga selain Islam. Agama mayoritas yang dianut banyak orang biasanya memang mendapat

perlakukan istimewa. Di Inggris misalnya, hukum penodaan agama hanya digunakan untuk

melindungi Gereja Anglikan.

3 Islamophobia adalah cara pandang terhadap Islam dengan penuh kecurigaan dan kebencian. Islam

bukan semata dilihat sebagai agama, tapi juga sebagai energi destruktif yang mengancam tata kehidupan. Cara pandang seperti ini tumbuh subur di Barat terutama setelah peristiwa “September 11” meskipun istilah ini sudah berkembang jauh sebelum itu. Penjelasan lebih lanjut mengenai Islamophobia, baca Deepa Kumar, Islamophobia and Politics of Empire, (Chicago: Haymarket Books, 2012). Periksa juga John L Esposito and Ibrahid Kalin (ed.), Islamophobia, the Challlange of Pluralims in the 21st Century, (Oxford: Oxford University Press, 2011).

4 Riset cukup mendalam tentang blasphemy dalam Yahudi dan Kristen, baca Dalia Aaron Finklestein,

Blasphemy in the Biblical Period, (New York University: Dissertation, 200).

Page 10: Hukum Murtad dan Penodaan Agama: Membungkam kebebasan?

Pada mulanya penerapan blasphemy sebagai hukum negara berimpit dengan munculnya negara

teokrasi, dimana terjadi penyatuan antara kekuasaan agama degan kekuasaan politik. Negara-

negara Eropa pada Abad ke-17 menetapkan pelaku penistaan agama sebagai tindak kejahatan

yang dapat dijatuhi hukuman berat. Begitu juga di belahan-belahan bumi lain, dimana terjadi

penyatuan antara agama dan politik, baik itu negara Kristen, Yahudi maupun Islam. Di Eropa

Abad ke-17, karena Kristen merupakan jantung hukum Inggris, maka hukum dibuat berdasarkan

nilai-nilai Kristen. Setiap perkataan yang bertentangan dengan nilai dan ajaran Kristen dianggap

sebagai tindak pidana. Tentu saja, hukum mencerminkan nilai dan pandangan agama dominan

saat itu, dan cenderung mengabaikan pandangan keyakinan minoritas.

Memasuki abad ke-20, penistaan agama pelan-pelan dihapus dari hukum pidana di beberapa

negara Eropa. Di Inggris, dalam The Criminal Libel Act 1819 diatur tentang delik penghinaan

terhadap Tuhan (Blasphemous Libel). Tujuan pemidanaan ini adalah untuk mempertahankan

supremasi gereja Anglikan. Lord Avebury mengusulkan pencabutan, karena delik ini hanya

ditujukan pada penyerangan terhadap kedudukan Gereja Inggris yang bertentangan dengan

Human Rights Act. Blasphemy hanya berlaku untuk penistaan terhadap Gereja Anglikan, tidak

berlaku untuk penghinaan agama Yahudi, Islam, bahkan Kristen non-Anglikan. Namun UU ini

tidak dicabut karena adanya kebutuhan untuk mempertahankan ketentuan tentang penghinaan

yang bersifat menghasut (seditious libel).

Pada abad ke-20, meski delik penodaan agama tidak dihapus di sejumlah Negara Eropa, namun

implementasinya sangat ketat. Sepajang abad-20, hanya ada 4 kasus perdata terhadap perbuatan

penistaan agama. Kasus terakhir terjadi tahun 1979 antara Whitehouse vs Lemon. Kasus itu

bermula dari penerbitan puisi di majalah Gay News, yang menggambarkan Yesus Kristus sebagai

homoseksual. Penerbit majalah tersebut didenda 500 pound dan hukuman percobaan 9 bulan.

majalahnya didenda 1000 pound dan harus membayar pengganti penjara 10.000 pound. Kasus

Salman Rusdhie yang digugat di Inggris tidak berujung pada penghukuman.

Seperti Inggris, di Australia yang merupakan bekas jajahan Inggris, hukum penistaan agama juga

hanya berlaku terhadap tindakan penghinaan gereka Anglikan, walau tak seperti Inggris,

Australia tak memiliki agama resmi. Kendati banyak undang-undang, baik federal, negara

bagian, maupun hukum kebiasaan yang memidanakan penistaan agama, hal ini jarang terjadi di

Australia. Pemidanaan agama terakhir terjadi tahun 1971, dalam kasus R v. Wiliam Lorando

Jones. Jones didakwa menista gereja Anglikan di negara bagian New South Wales karena

berbicara di depan umum bahwa Perjanjian Lama itu immoral dan tak cocok bagi perempuan.

Jones dihukum denda 100 pound dan penjara 2 tahun. Setelah kasus itu, tahun 1971, parlemen

New South Wales mengusulkan UU yang intinya menghentikan pemidanaan terhadap penistaan

agama. Ibukota Australia lalu mengadopsi UU tersebut pada 1996, menghapuskan pemidanaan

penistaan agama melalui Reformasi Hukum.

Pemidanaan penistaan agama di Jerman juga diatur dalam bab 11 KUHP Jerman. Penistaan

agama didefinisikan sebagai “barang siapa yang menyebarkan tulisan yang menghina ajaran

agam lain atau ajaran mengenai pandangan hidup dengan cara yang dapat menyebabkan

gangguan terhadap ketertiban umum, diancam pidana penjara paling lama tiga tahun atau

denda.” Pada Februari 2006, aktvis politik Jeran Manfred van H, dijatuhi hukuman satu tahun

Page 11: Hukum Murtad dan Penodaan Agama: Membungkam kebebasan?

percobaan dan hukuman kerja sosial selama 300 jam karena menyebarkan tisu toilet yang dicetak

ayat-ayat al-Quran dan dibagi-bagikan ke masjid dan media-media.5

Dari uraian di atas tampak ada arus yang berbeda. Jika di Barat arusnya adalah mengetatkan

penodaan agama, namun di dunia Islam justru massifikasi penodaan agama. Karya Paul Marshall

dengan jelas menggambarkan itu.[]

5 Lebih lanjut baca Rumadi dkk, Bukan Jalan Tengah, (Jakarta: ILRC, 2011), terutama Bab II.