Top Banner
BAB I PENDAHULUAN Periode kedua pada masa perkembangan fiqih bermula sejak wafatnya Nabi Muhammad Saw pada tahun 11 H dan berakhir ketika Mu’awiyah bin Abi Sufyan menjabat sebagai khalifah pada tahun 41 H. Pada periode-periode ini hiduplah sahabat-sahabat Nabi terkemuka yang mengibarkan bendera dakwah Islam setelah wafatnya Nabi Saw. Masa Khulafaursyidin atau masa Kibarus Sahabat (sahabat kabir) bisa dibilang sebagai masa yang penuh dengan kekuatan sekaligus perpecahan. Disebut sebagai masa kekuatan Islam, karena pada masa ini, jiwa dan akidah umat Islam masih melekat erat pada diri masing-masing entitas masyarakat Islam pada masa itu sebagai hasil usaha keras Nabi dalam menyebarkan agama Islam dan mengajarkan ketauhidan pada diri mereka, sehingga akidah umat Islam masa ini masih kuat. Namun, masa ini disebut juga masa permulaan perpecahan umat islam, karena setelah Nabi Muhammad SAW meninggal dunia, para sahabat mulai berselisih mengenai siapakah yang akan menjadi pemimpin umat Islam berikutnya, yang bermula dari peristiwa Tsaqifah bani Sa’idah yang berjarak beberapa kilometer dari kediaman Nabi di Madinah saat masa wafatnya. Hal ini muncul karena Nabi Muhammad, sebagai panutan dan petunjuk bagi mereka tidak mewasiatkan / menunjuk seseorang sebagai penggantinya kelak. Beberapa pendapat mengatakan bahwa hal ini dilakukan agar para sahabat dapat berijtihad sesuai dengan perkembangan zaman masing- masing sahabat itu. Hal ini sebagaimana di hadits Rasulullah SAW:
28

Hukum Masa Khulafah Alrasdin

Dec 28, 2015

Download

Documents

Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: Hukum Masa Khulafah Alrasdin

BAB I

PENDAHULUAN

Periode kedua pada masa perkembangan fiqih bermula sejak wafatnya Nabi Muhammad Saw

pada tahun 11 H dan berakhir ketika Mu’awiyah bin Abi Sufyan menjabat sebagai khalifah pada

tahun 41 H. Pada periode-periode ini hiduplah sahabat-sahabat Nabi terkemuka yang mengibarkan

bendera dakwah Islam setelah wafatnya Nabi Saw.

Masa Khulafaursyidin atau masa Kibarus Sahabat (sahabat kabir) bisa dibilang sebagai masa yang

penuh dengan kekuatan sekaligus perpecahan. Disebut sebagai masa kekuatan Islam, karena pada

masa ini, jiwa dan akidah umat Islam masih melekat erat pada diri masing-masing entitas

masyarakat Islam pada masa itu sebagai hasil usaha keras Nabi dalam menyebarkan agama Islam

dan mengajarkan ketauhidan pada diri mereka, sehingga akidah umat Islam masa ini masih kuat.

Namun, masa ini disebut juga masa permulaan perpecahan umat islam, karena setelah Nabi

Muhammad SAW meninggal dunia, para sahabat mulai berselisih mengenai siapakah yang akan

menjadi pemimpin umat Islam berikutnya, yang bermula dari peristiwa Tsaqifah bani Sa’idah yang

berjarak beberapa kilometer dari kediaman Nabi di Madinah saat masa wafatnya. Hal ini muncul

karena Nabi Muhammad, sebagai panutan dan petunjuk bagi mereka tidak mewasiatkan / menunjuk

seseorang sebagai penggantinya kelak. Beberapa pendapat mengatakan bahwa hal ini dilakukan agar

para sahabat dapat berijtihad sesuai dengan perkembangan zaman masing-masing sahabat itu. Hal ini

sebagaimana di hadits Rasulullah SAW: “Kalian-kalian semua lebih mengetahui tentang urusan

dunia kalian”. Dalam berbagai hal, sahabat adalah orang yang paling dekat dengan Nabi, terutama 4

sahabat yang terkenal dengan sebutan Kulafaur Rasyidin. Dalam hadits disebutkan juga “(أصحابي

اهتديتم اقتديتم بأيهم sahabat-sahabatku ibarat bintang-bintang, siapa saja yang kalian” (كالنجم

ikuti maka kalian akan mendapatkan petunjuk (hidayah).” Berbeda dengan Nabi yang ma’shum

tentu saja para sahabat sebagai manusia biasa juga pernah membuat kesalahan, dan dalam

menetapkan hukumnya juga pasti akan sangat berhubungan dengan dasar pemikiran, sosio kultural

di samping ilmu-ilmu agama yang dimiliki mereka. Oleh karena itu sering terjadi perbedaan tasyri’

dalam suatu permasalahan terutama tanpa “qoth’iyud dilalah.” 

Page 2: Hukum Masa Khulafah Alrasdin

BAB II

PEMBAHASAN

Hukum Islam Di Masa Khulafa’ Al- Rasyidin

A.    Kondisi Hukum Islam Pada Masa Khulafaur Rasyidin Dan Perkembangannya

Periode Khulafaur Rasyidin ini dimulai sejak wafatnya Rasulullah SAW pada tanggal 12

Rabiul Awal tahun 11 H/632 M dan diakhiri pada akhir abad pertama Hijriyah (11-41 H/632-661

M). Menurut para ahli sejarah islam, Periode ini adalah periode Penafsiran undang-undang dan

terbukanya pintu-pintu istinbath hukum dalam kejadian-kejadian yang tidak ada nash hukumnya.1[1]

Dari pemuka-pemuka sahabat timbullah banyak pendapat dalam menafsirkan nash-nash hukum

dalam Al-Quran dan Al-Hadits yang dapat dipandang sebagai pandangan yuridis bagi penafsiran-

penafsiran nash serta sebagai penjelasannya. Setelah wafatnya Nabi, umat islam menghadapi banyak

masalah. Hal ini dikarenakan semakin meluasnya pemerintahan islam hingga melampaui

semenanjung Arabia itu juga tentunya membawa dampak yang begitu besar bagi perkembangan

pemikiran umat islam pada masa itu. Berbagai macam permasalahan yang timbul dikarenakan

vakumnya pemerintahan dan karena perluasan wilayah islam semakin memaksa para sahabat untuk

benar-benar berijtihad dalam menyelesaikan permasalahan tersebut. Secara umum permasalahan-

permasalahan itu dapat diklasifikasikan menjadi beberapa aspek, yaitu:

1)   Aspek Politik

a)      Kekhalifahan Abu Bakar (11-13 H/632-634 M)

Masalah yang paling urgen di kalangan umat islam pasca wafatnya Nabi SAW adalah masalah

politik, terutama masalah imamah/ kekhalifahan. Dalam masa kevakuman pemerintahan ini,

masyarakat islam membutuhkan sosok pemimpin baru, karena tanpa kehadiran seorang pemimpin

baru, wilayah kekuasaan islam yang telah membentang sampai wilayah sebagian besar jazirah Arab,

akan dengan mudah hancur/terpecah-belah kembali, di samping kekhawatiran adanya serangan dari

bangsa-bangsa lain, seperti Romawi dan Persia, sehingga stabilitas keamanan umat islam saat itu

terancam. Namun yang menjadi persoalan adalah bahwa Nabi Muhammad di akhir hayatnya tidak

meninggalkan wasiat tentang siapa yang akan meneruskan perjuangannya menjadi khalifah dan

1[1] Prof. Dr. Abu Su’ud, Islamologi Sejarah, Ajaran, dan Peranannya dalam Peradaban Ummat Islam, ( Jakarta : PT. Rineka Cipta,2003 ) hal : 55

Page 3: Hukum Masa Khulafah Alrasdin

menyebarkan agama islam ke seluruh Dunia. Hal ini kemudian menjadi tanda Tanya sekaligus PR

terbesar bagi umat islam saat itu terutama para Sahabat Nabi Saw, Meskipun ada satu riwayat bahwa

Nabi Saw telah menulis sebuah wasiat untuk menjadikan Ali bin Abi Thalib sebagai khalifah

pertama, namun kemudian dicegah oleh Umar bin Khattab.

Sampai akhirnya muncullah suatu peristiwa bersejarah yang terkenal dengan sebutan

“Tsaqifah”. Peristiwa ini terjadi di Madinah, tepatnya di daerah Tsaqifah dengan penduduk

sekitarnya adalah mayoritas keturunan suku aus dan suku khazraj yang secara historis telah menjadi

musuh bebuyutan semenjak pra-islam. Kedua suku yang terkenal dengan sebutan kaum Anshor,

merasa paling berhak untuk menyatakan dan mengangkat diri mereka sebagai seorang khalifah

sebagai penerus dan pengganti Nabi SAW, karena atas jasa merekalah umat islam bisa terus Berjaya

hingga saat itu. Meskipun sebenarnya kedatangan Nabi dan Para Muhajirin Lainnya ke kota yang

dulu terkenal dengan nama Yatsrib itu adalah atas permintaan dari kedua kelompok sosial itu,

dengan tujuan agar perseteruan di antara kedua suku itu berhenti, karena kalau peperangan antar

kedua suku itu terjadi terus-menerus maka kedua suku itu akan punah. Dan benar saja Nabi

Muhammad dengan kekuatan Islam dan akhlaknya yang luhur mampu mendamaikan kedua suku itu

selama 13 tahun lebih.

Masalah Tsaqifah, pada peristiwa ini, kedua suku itu serasa dikembalikan kembali ke adat

jahiliyah mereka, untuk saling bertarung dan bermusuhan kembali walaupun dalam diri mereka telah

tertanam nilai-nilai Islam yang menjunjung tinggi perdamaian dan persaudaraan. Bagi mereka, bila

Nabi Muhammad telah wafat berarti tidak ada lagi seorang pendamai di antara mereka, sehingga hal

itu membuat mereka bermusuhan kembali. Pada saat itu datanglah para sahabat dekat Nabi

Muhammad SAW, yang dipimpin oleh Abu Bakar dan Umar. Umar dan sahabat lainnya kemudian

langsung memplokamirkan Abu Bakar dari golongan Muhajirin sebagai Pengganti Nabi sebagai

Khalifah Umat Islam. tentu saja hal ini tidak di setujui oleh kaum anshor, yaitu kedua suku aus dan

khazraj, karena menurut mereka, mereka tidak lebih baik dari golongan anshor. Namun, meskipun

demikian, ternyata pada akhirnya kedua suku itu “dikatakan” menyetujui Abu Bakar sebagai

khalifah pengganti Nabi SAW. 2[2]

pada saat Umar membaiat Abu Bakar, maka Basyir bin Sa’ad dari bani khazraj ikut membaiat

Abu Bakar, yang kemudian langsung diikuti oleh saingannya Usaid bin Hudhair dari bani Aus.

Kemudian para pemuka-pemuka sahabat yang lain termasuk Ali bin Abi Thalib juga membaiat Abu

2[2] Al- Hafiz Ibnu Karsir, Perjalanan Empat Khalifah Rasul yang Agung, ( Jakarta : Darul Haq, 2011 ) hal : 52- 54

Page 4: Hukum Masa Khulafah Alrasdin

Bakar secara keseluruhan. Menunjukkan adanya Sistem Demokrasi pada masa itu. Sebenarnya

dalam diri Abu Bakar tidak ada sama sekali ambisi politik untuk memimpin umat islam, namun

karena mempertimbangkan kemaslahatan umum, maka Abu Bakar bersedia dilantik menjadi

Khalifah. Hal lain yang mendukung pengangkatan Abu Bakar Sebagai Khalifah saat itu adalah

bahwa saat itu beliaulah yang paling sepuh di antara para sahabat terdekat. Perlu diketahui bahwa

Abu Bakar adalah keturunan suku Quraisy, nama lengkapnya adalah Abdullah bin Utsman bin Amir

bin ‘Amr bin Ka’ab bin Sa’adalah bin Taim. Bani Taim adalah satu dari dua belas cabang suku

Quraisy. Setelah 2 tahun memerintah (11-13 Hijriyah) akhirnya Abu Bakar menghembuskan

Nafasnya yang terakhir pada bulan Jumadil Akhir 13 H/634 M, setelah sebelumnya mewasiatkan

Umar sebagai Khalifah Penerusnya.

b)     Kekhalifahan Umar bin Khattab (13-23 H/634-643 M)

Umar bin Khattab bin Nufail bin Abdul Uzza dari bani Adi bin Ka’ab. Bani Ka’ab juga

termasuk keturunan Quraisy. Dalam Islam, sebenarnya masalah-masalaah kekhalifahan yang

termasuk masalah keduniawian harus melalui ijma’ atau konsensus / musyawarah. Berbeda dengan

Abu Bakar yang tidak terlalu suka dengan Politik, Umara adalah sosok sahabat yang memiliki

“naluri negarawan” yang besar, arif akan liku-liku kekuasaan dan lebih paham tentang bagaimana

caranya menangani penduduk Arab yang berjiwa pengembala yang keras. Umar bukanlah prajurit

yang hebat di medan peperangan, bila dibandingkan dengan Ali bin Abu Thalib atau Hamzah,

namun dalam mengatasi kemelut politik  ini.

Kekhalifahannya berakhir setelah kematian syahidnya akibat sebuah konspirasi politik yang

dirancang oleh musuh-musuh islam, terutama kalangan yahudi dan Persia, yang sangat

membencinya karena pada kekhalifahannya, Kekaisaran Persia telah dihilangkan dari muka Bumi.

Beliau Mati syahid terkena tikaman belati beracun saat sedang melakukan sholat subuh, oleh seorang

mantan budak Persia, Abu Lu’luah Al-Majusi.

Umar Bin Khattab mewasiatkan tampuk kekhalifahannya pada 6 orang sahabat yang termasuk

dalam orang-orang yang akan masuk surga berdasarkan hadits Rasulullah, yaitu: Utsman bin affan,

Ali bin abi Thalib, Thalhah, Zubair, Abdur Rahman bin Auf dan Sa’ad bin Abi Waqosh. Kepada 6

orang ini umar berwasiat untuk memilih salah satu di antara mereka sebagai khalifah penerusnya.

Umar bin Khattab Wafat pada bulan Dzulhijjah 23 H /643 M dan memerintah selama 10 tahun

lamanya. 

Page 5: Hukum Masa Khulafah Alrasdin

c)      Kekhalifahan Utsman bin Affan (23-35 H/644-656 M)

Dia bernama Utsman bin Affan bin Abi ’Ash bin Umayyah bin Abdu Syams, berasal dari bani

Umayyah. Setelah kematian Umar, para sahabat enam yang ditunjuknya ternyata sama-sama tidak

berhasrat untuk menjadi khaifah, satu persatu di antara mereka mengundurkan diri hingga akhirnya

hanya tinggal Utsman dan Ali, kemudian mereka pun mengadakan voting (pengambilan suara) di

mana mereka bertanya pada penduduk muslim setempat, manakah yang mereka pilih sebagai

Khalifah, Utsman atau Ali. Setelah dilakukan pengambilan suara oleh keempat sahabat yang

mengundurkan diri tersebut yang ternyata langsung mengajukan diri mereka menjadi dewan

pemilihan umum, akhirnya mayoritas umat islam menginginkan Utsman bin Affan sebagai Khalifah

karena usianya yang lebih tua dibandingkan dari Ali, tentunya akan lebih menjadi pemimpin yang

bijaksana.

Dia dibaiat sebagai khalifah saat berusia 70 tahun. Pada masa pemerintahannya jumlah

kekayaan kaum muslimin sangat banyak sekali dan dia melihat bahwa banyak gubernur-gubernur

yang kurang cakap memerintah dijadikan gubernur, sehingga yang terjadi adalah korupsi dan

penggelapan uang Negara, hingga akhirnya dia memutuskan untuk mengganti gubernur-gubernur

yang tidak kompetitif tersebut dengan gubernur-gubernur baru, yang tentu saja berasal dari

keturunan bani Umayyah. Permainan politik ini tentu saja diprotes oleh mantan gubernur-gubernur

di berbagai daerah tersebut, hal ini dimanfaatkan oleh seorang yahudi Abdullah bin Saba’ untuk

menyebarkan fitnah di kalangan umat islam mesir, kufah dan Bashrah, yang pada prinsipnya bahwa

Umar telah merebut hak Ali bin Abi Thalib sebagai seorang khalifah, maka pasukan pemberontak

dari Mesir, Kuffah dan Bashrah secara bersamaan datang bersama-sama menyerbu Madinah untuk

mendebat Khalifah, namun Ali yang mengetahui hal ini segera menenangkan mereka dan

menjelaskan duduk persoalannya, sehingga mereka sadar dan kemudian kembali ke masing-masing

daerah.

Namun lagi-lagi Abdullah bin Saba’ membuat surat fitnah atas nama Khalifah, Ali dan Aisyah

yang di dalamnya berisi tulisan bahwa khalifah akan mengundurkan diri dan Ali akan jadi Khalifah,

barangsiapa yang tidak setuju, maka dia akan dibunuh. Maka mereka pun kembali ke Madinah dan

mengepung kediaman khalifah, hal ini dimanfaatkan sangat baik oleh Abdullah bin saba’ yang

kemudian mengisukan kedatangan pasukan pembela khalifah dari berbagai daerah, para

Page 6: Hukum Masa Khulafah Alrasdin

pemberontak ini pun khawatir hingga akhirnya mereka mendesak masuk ke rumah khalifah Utsman

dan kemudian membunuhnya pada saat dia sedang membaca Al-Quran mushaf Utsmaninya.

Beberapa riwayat menyebutkan bahwa yang membunuh Utsman adalah Al-Ghafiqi. Khalifah

Utsman wafat pada bulam Dzulhijjah tahun 35 H/656 M, usia kekuasaannya adalah 12 tahun. Salah

satu kebijakan Utsman selama memerintah adalah penyatuan bacaan Al-Quran dalam satu mushaf

setelah khawatir terjadinya perbedaan cara baca dalam qiroah sab’ah, kemudian menamainya

dengan Rasm Utsmani

d)     Kekhalifahan Ali bin Abu Thalib (35-40 H/ 656-661 M)

Namanya Ali bin Abu Thalib bin Abdul Muthalib, sepupu Rasulullah, keturunan Quraisy. Dia

dibaiat menjadi khalifah bukan atas kemauan sendiri, namun karena kemauan para sahabat lain

karena kekhawatiran mereka mengenai konflik yang sedang terjadi di kalangan umat Islam. Ali

bukanlah orang yang pandai dalam hal politik, dia lebih dikenal sebagai sosok “pintu imu” dan juga

seorang pemberani dan tangkas sebagai prajurit dalam medan perang, banyak orang yang terbunuh

di tangannya, termasuk paman, kakek dan saudara Mu’awiyah yang ketiganya meninggal akibat

pedang Ali. Namun tanpa sadar hal itu malah membuat Ali seolah-olah sedang mmenumbuhkan

musuh-musuh di sekelilingnya, seperti Muawiyah yang saat itu sangat membencinya. 

Ali terbunuh oleh seorang khawarij yang bernama Abdurrahman bin Muljam pada saat akan

melaksanakan shalat subuh. Peristiwa ini dipicu oleh adanya peristiwa pemberontakan sampai

perang jamal antara Ali dan Aisyah serta muawiyah, yang dikonspirasi oleh Muawiyah sebagai

usaha balas dendamnya atas darah keluarganya yang tewas di tangan Ali bin Abi Thalib. Peristiwa

pembunuhan ini terjadi pada bulan Ramadhan tahun 40 H/661 M. dengan meninggalnya Ali bin Abu

Thalib berakhirlah periode khulafaur Rasyidin yang kenudian dilanjutkan oleh periode Bani

Umayyah.3[3]

2)        Aspek Fiqih

Semakin luasnya wilayah islam, maka perkembangan ijtihad para sahabat pun semakin besar,

hal ini disebabkan munculnya masalah-masalah baru terkait dengan budaya bangsa ara itu sendir,

sebagaimana yang kita ketahui daerah mekkah mempunyai keberbedaan budaya dengan daerah

mesir. Namun justru hal inilah yang kemudian semakin memperkaya tsarwah fiqhiyyah umat islam

pada zaman ini. Fiqih / penggalian hukum islam pada periode Khulafaur Rasyidin ini terasa sangat

3[3] Prof. Dr. Abu Su’ud, op,cit hal : 55-63

Page 7: Hukum Masa Khulafah Alrasdin

hidup dan semarak. Beberapa ikhtilaf mulai muncul, meskipun lebih kecil dibanding periode

berikutnya, seiring dengan perkembangan fiqih itu sendiri. Selain periwayatan hadits yang sangat

ketat, pada periode ini ijtihad seringkali dilakukan secara jama’I sehingga ruang ijtihad yang begitu

luas itu jarang menimbulkan ikhtilaf. Pada periode ini fatwa-fatwa dan masail fiqih belum ditulis

seperti juga sunnah. Kendati demikian, kita mulai dapat mengklasifikasikan kaidah-kaidah usuliyah

dan metode ijtihad yang digunakan oleh fuqaha sahabat dalam melakukan ijtihad. Dalam banyak hal,

fatwa-fatwa dan masail fiqhiyah itu memang masih bercampur dengan dalil-dalil dan kaidah-kaidah

istidlal.

3)           Aspek Akidah

Aspek akidah pada masa setelah wafatnya nabi menjadi hal yang sangat menggelisahkan umat

islam. berawal dari berita wafatnya Nabi Muhammad yang tersebar di kalangan para sahabat,

membuat mereka merasa kehilangan yang sangat besar karena secara historis Nabi Muhammad lah

yang mampu mengangkat mereka dari keterpurukan dan kesesatan serta kekufuran menuju

ketauhidan dan agama islam yang rohmatan lil alamin itu. Bagi mereka Nabi adalah sesosok agung

yang senantiasa memberikan cahaya petunjuk dan keadilan bagi seluruh lapisan masyarakat islam

zaman itu. Sehingga ketika mendengar Nabi yang begitu mereka cintai itu, yang telah memimpin

dan menjadi petunjuk bagi mereka selama 38 tahun (63-25 tahun ), hati dan Iman mereka mulai

gelisah ibarat malam hari ketika mereka kehilangan cahaya mereka, hal ini juga yang dialami

sahabat umar ketika mendengar nabi wafat dia langsung berkata:’’ barang siapa yang berkata bahwa

nabi Muhammad telah wafat maka akan kutebas lehernya”. Namun akhirnya hati umar pun luluh

manakal mendengar pidato abu Bakar : Barang siapa yang menyembah Allah, sesungguhnya Allah

Hidup, tetapi Barangsiapa yang menyembah Muhammad sesungguhnya Muhammad telah wafat”.4[4]

Tidak hanya sampai di sini, persoalan akidah menjadi sangat berat manakala ada beberapa

oknum Islam yang memanfaatkan kegelisahan iman dan akidah umat islam saat itu dengan

memanfaatkannya untuk menyampaikan dan mengumandangkan pendapat-pendapatnya, di antara

mereka ada beberapa pimpinan rakyat yang kemudian mengaku dirinya telah diangkat menjadi nabi

penerus Muhammad, seperti Musailamah Al-Kadzab. Selain itu ada juga beberapa orang yang

menyerukan bahwa kewajiban menunaikan zakat itu telah berhenti setelah wafatnya nabi, karena

menurut mereka zakat itu diberikan utuk kepentingan nabi. Hal-hal ini lah yang kemudian mamaksa

4[4] Ibid, hal 54

Page 8: Hukum Masa Khulafah Alrasdin

Abu Bakar untuk memerangi mereka dengan tujuan untuk melenyapkan penyakit-penyakit

kekufuran dan pemberontakan dari tubuh islam, karena dikhawatirkan hal ini akan merambat dan

mempengaruhi umat islam yang lain.  

B.     Sumber-Sumber Tasyri’

a)      Al-Quran

Al- Qu’an adalah kalam Allah yang diturunkan kepada Rasulullah dengan lafa dan maknanya.

Para sahabat sama sekali tidak pernah mendahului Al-Qur’an, karena ini adalah sumber pertama bagi

penentuan aqidah Islam, akhlak yang mulia, dan hukum- hukum amal perbuatan termasuk juga

bahasa.

Adapun manhaj para sahabat dalam mengistinbatkan hukum dari Al-Qur’an adalah sebagai

berikut :

Jika ada masalah yang muncul dan memeang sudah ada hukumnya serta kandungan dalil yang

tepat maka mereka akan mengambil dalil ini tanpa bermusyawarah dengan siapapun dan tidak ada

perbedaan sama sekali diantara mereka dalam masalah ini. Perbedaan terkadang muncul dalam

beberpa hukum yang diambil dari Al-Qur’an walaupun tidak ada dalil yang menentangnya. Hal

tersebut disebabkan oleh adanya nash yang memilki makna lebih dari satu, seperti adanya kata

musytarak ( beragam makna ) yaitu kata yang mengandung dua makna atau lebih, maupun kata

yang bermakna majaz ( kiasan ).

Contoh kata quru’ dalam firman Allah QS : Al-Baqarah : 228

Artinya : wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru'

Kata tersebut adalah bentuk jama’ dari kata tunggal qar’un yang bisa diartika Haid dan bisa

juga Suci.

b)     Al-Hadits

Para sahabat selalu kembali dan mengacu kepada Hadist dalam mengishtinbatkan hukum

ketika tidak menemukan nash dalam Al- Qur’an, karena Hadist adalah sumber hukum kedua setelah

Al-Qur’an.

Adapun cara para sahabat dalam mengamalkan Hadist pada zaman ini adalah jika ada hadist

dan perwainya yakin karena ia mengetahuinya, atau karena perawinya bisa dipercaya atau ada yang

memberi persaksian dan tidak diketahui dia sudah meninggal sebelum periwayatan, atau tidak ada

Page 9: Hukum Masa Khulafah Alrasdin

yang menentangnya maka dalam keadaan ini mereka tidak akan ragu- raguuntuk menerima dan

mengamalkan dan berfatwa dengannya.

Namun jika kepercayaan terhadap perawinya lemah apalagi ia hanya sendirian, maka inilah

yang akan mereka tolak, termasuk ketika Hadistnya kuat dan perawinya terbukti. Namun, ada

sahabat yang mengatakan bahwa itu sudah dimansukh oleh Rasulullah maka mereka tidak ragu

unutk menolak hadist tersebut. Atau ketika ada Hadist yang kuat perawinya, namun ada dalil lain

yang lebih kuat dan bertentangan dengan hal itu maka inipun akan ditolak. Semua sesuaidengan

kondisi perawi dan cara penganbilam hadist atau ada yang menolaknya. Mungkin saja seoran

sahabat menilai hadist ni kuat, namun sahabat lain menganggap hadist ini lemah sehinga mereka pun

berbeda pendapat dalalm menetapkan hukum dan sumber perbedaan berasal dari kepastian sebelah

pihak dan tidak adanya kepercayaan dari pihak lain sesuai dengan apa yang didengar, diyakini dan

dipahami dalam mengistinbatkan hukum dari Al-Qur’an ketika berhadapan dengan Hadist, atau dari

Hadist yang lebih kuat menurut penilaiannya.

Contoh adlah hadist yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah, siapa yang membawa jenazah,

maka hendaklah ia berwudu’. Hadist ini tidak dapakai oleh Abdullah bin Abbas dan ia berkata, kita

tidak wajib berwudu’ karena membawa tiang rumahnya.5[5]

c)      Ijtihad Sahabat

Jika dalam suatu permasalahan yang muncul itu tidak ditemukan hukumnya dalam Al-Quran

maupun Hadits, maka para sahabat pun berijtihad dengan menggunakan Ro’yu / buah pemikiran

mereka. ijtihad adalah mencurahkan segenap kesungguhan dalam penggalian hukum syar’I yang

bersumber dari Al-Quran dan Al-Hadits yang telah ditetapkan sebagai dalil hukum. Ijtihad yang

dilakukan para sahabat dalam periode ini biasanya menggunakan metode ijma’/qiyas baru kemudian

maslahah. Ijma’ terjadi secara jama’I terhadap suatu permasalahan, namun pada masa ini ijma’ tidak

harus dalam suatu acara yang formal namun bisa berbentuk diskusi / Tanya jawab antara dua orang

sahabat atau lebih, yang walaupun biasanya masing-masing punya metode sendiri-sendiri sehingga

jarang sekali terjadi penyatuan pendapat, namun perbedaan ini tidak sampai menimbulkan konflik di

kalangan umat islam itu sendiri, hal ini malah mampu menambah tsarwah fiqhiyyah mereka.

Dalam metode qiyas para sahabat mengambil hukum dari nash-nash yang bisa dikaji ulang,

dengan asumsi bahwa setiap nash itu punya illat (sebab hukum) yang menjelaskan sebab hukumnya,

punya illat yang bisa dijadikan dasar penggalian hukumnya, punya illat yang bisa memungkinkan

5[5] Dr. Rasyad Hasan Khalil, Tarikh Tasyri’, ( Jakarta : Amzah, 2009 ) hal : 63-65

Page 10: Hukum Masa Khulafah Alrasdin

masuknya kategori permasalah baru yang di dalamnya dijumpai adanya illat tersebut, sedangkan

nash itu tidak menghukumi perkara baru tersebut. Bila kedua hal itu tidak bisa dilakukan maka

biasanya para sahabat kabir mencari jiwa hukumnya / subtansi hukumnya yang menurut mereka

pasti akan mempunyai satu arah/tujuan yaitu kemaslahatan dan keadilan hukum. Metode maslahah

ini banyak digunakan sahabat ketika melihat bahwa dalam masyarakatnya yang baru dan majemuk,

serta perbedaan sosio-kultural di antara masyarakat satu dengan yang lainnya, membutuhkan

dinamisasi hukum, karena permasalahan-permasalahan sosial yang bersifat dinamis itu tidak

mungkin dihukumi dengan nash-nash syar’I yang statis yang hanya diberlakukan pada suatu daerah

hukum dan masyarakat di Mekkah dan Madinah saja.

Para sahabat pada masa ini tidak berijtihad/mengeluarkan pendapat terhadap suatu perkara

sehingga perkara itu muncul/ ada yang menanyakannya, jika hal itu terjadi maka mereka berijtihad

untuk menggali hukumnya, jika tidak maka mereka tidak pernah membuat suatu institusi hukum

semisal MUI untuk membuat masalah sekaligus menghukuminya. Hal inilah yang menyebabkan

fatwa-fatwa hukum yang dinukil dari para sahabat di periode ini sangat sedikit sekali.6[6]

Dasar penggunaan ketiga sumber hukum ini adalah hadits yang menceritakan tentang

pengutusan Mu’adz bin Jabal ke Syam oleh Nabi SAW, sbelum mengutusnya Nabi

menanyainya,bila engkau menemukan masalah di sana apa yang akan kau lakukan? Maka muadz

pun menjawab aku akan menghukuminya dengan Kitab Allah, dan jika aku tidak menemukan

hukumnya, maka aku akan kembali pada sunnah RasulNya, dan jika aku tidak berhasil, maka aku

akan berijtihad (untuk menghukuminya) dengan pikiranku. Kemudian rasul menepuk bahunya

sebagai tanda persetujuan beliau terhadap Mu’adz bin Jabal.

C.    Sebab-Sebab Ikhtilaf Pada Masa Sahabat

Pertama, perbedaan dalam memahami nash Al-Quran dan Hadits. hal ini disebabkan karena

ketidak jelasan batasan antara pengertian nash dan perbedaan pesepsi di kalangan sahabat, seperti

lafadz (القرء) dalam firman Allah Ta’ala ( قروء ثالثة بأنفسهن يتربصن umar dan ibnu (والمطلقة

mas’ud mengartikan bahwa (القرء) bermakna haid, sedangkan zaid bin tsabit mengartikannya

dengan suci, dan tiap-tiap pendapat memiliki argument yang menguatkannya.  

Kedua, munculnya dua persoalan yang merujuk pada dua nash yang saling berlawanan. Para

fuqoha pun sepakat bahwa masalah seperti ini harus diselesaikan dengan beberapa tahapan. Pertama,

6[6] Muhammad Hudhori. Tarikh At-Tasyri’ Al-Islami. Tanpa Tahun. Jeddah: Al-Haromain. Hal. 114.

Page 11: Hukum Masa Khulafah Alrasdin

mencari benang merah antara kedua ayat tersebut, bila tidak ditemukan maka menggunakan metode

kedua yaitu At-Tarjih yaitu mengunggulkan satu nash hukum dengan nash hukum lainnya karena

ada dalil yang menguatkannya, bila tidak ditemukan dalil yang menguatkannya maka dipakailah

metode ketiga yaitu teori nasakh yaitu hukum nash yang pertama dihapus oleh hukum nash kedua

yang datang belakangan. Contohnya masalah iddah wanita hamil yang ditinggal mati suaminya,

apakah dia beriddah hamil atau beriddah kematian suaminya? Dalam al-Quran disebutkan:“…Dan

perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan

kandungannya..” .(QS. At-Thalaq: 4). Di ayat lain disebutkan “Orang-orang yang meninggal dunia

di antaramu dengan meninggalkan isteri-isteri (hendaklah Para isteri itu) menangguhkan dirinya

(ber'iddah) empat bulan sepuluh hari. (QS. Al-Baqarah: 234). Dalam hal ini Ibnu Abbas mencari

benang merah dari kedua nash di atas dan beliau kemudian berpendapat bahwa iddahnya adalah

masa iddah yang paling lama dari dua masa iddah tersebut, sedangkan Ibnu Mas’ud hukum ayat

pertama menghapus hukum ayat kedua, maksudnya meskipun belum 40 bulan 10 hari jika sudah

melahirkan maka berakhir pula lah masa iddahnya, hal ini diperkuatnya dengan hadits nabi yang

menerangkan bahwa nabi mengizinkan Subai’ah Al-Aslamiyah untuk menikah lagi setelah

melahirkan anaknya beberapa hari semenjak kematian suaminya.

Ketiga, sebagian fuqoha memutuskan suat peristiwa berdasarkan pengetahuannya dari sunnah,

sementara yang lain belum mendapatkannya atau menganggapnya tidak memenuhi syarat untuk

disebut sebagai hadits shahih. Contohnya perbedaan pendapat antara Ali bin Abi Thalib dengan Ibnu

Mas’ud dalam masalah maskawin (mahar) wanita yang ditinggal mati suaminya sebelum mengadaka

hubungan suami istri. Hal itu juga disebabkan karena pada zaman ini sunnah/ hadits-hadits Nabi

belum dibukukan, maka tingkat kuantitas hadits yang didapat dan dihafal oleh para sahabat juga

relatif beda antara satu dan yang lain, tergantung seberapa seringnya mereka berinteraksi langsung

dengan Rasulullah SAW semasa hidupnya, atau kepada para sahabat periwayat hadits. Sehingga

produk hukum yang mereka hasilkan mungkin berbeda karena kekurangtahuan akan hadits-hadits

Nabi yang lain, yang mungkin menjelaskan / menafsiri hadits yang mereka hafal.

Keempat, perbedaan kaidah dan metode ijtihad dari para fuqoha yang kemudian memunculkan

beberapa perbedaan penggunaan kaidah dan metode ini muncullah bebeerapa perbedaan pendapat

dalam satu persoalan yang sama, yang sebenarnya hal ini akan mampu memperkayah tsarwah

fiqhiyyah. Contohnya perbedaan penentuan illat hukum. Ini terjadi ketika seorang sahabat ingin

mengetahui sebab suatu peristiwa hukum. Contoh: dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa nabi

Page 12: Hukum Masa Khulafah Alrasdin

Muhammad SAW mempercepat langkah ketika tawaf dengan lari-lari kecil, kemudian sebagian

besar sahabat berkata:”lari-lari kecil ketika tawaf itu sunnah”. Ibnu Abbas berkata:” tidak sunnat”.

Lagkah nabi dipercepat karena orang musyrik menghina orang islam yang kelihatan loyo ketika

berthawaf. Ketegaran langkah itu ditunjukkan oleh Nabi SAW agar tidak dikatakan loyo.

Kelima, mungkin ini yang paling penting, yaitu bahwa kebebasan dan kesungguhan para

fuqoha dalam melakukan ijtihad terhadap berbagai masalah yang mereka hadapi. Kebebasan dan

kesungguhan itulah yang menjadi sumber konseptualisasi dan redinamisasi fiqih periode ini.

D.    Contoh-Contoh Ijtihad Sahabat Dalam Menghadapi Permasalahan Hukum

1)        Kekhalifahan Abu Bakar

a)      Penghimpunan Al-Quran

Setelah Abu Bakar diangkat menjadi khalifah, banyak sekali terjadi pemberontakan serta

penyelewengan akidah di beberapa daerah kekuasaan islam, termasuk diantaranya adalah seorang

Musailamah Al-Kadzab yang mengaku menjadi Nabi setelah Nabi Muhammad, kemudian Abu

Bakar pun memerintahkan untuk memerangi kelompok penyeleweng tersebut hingga akhirnya

setelah pertempuran yang sengit, kemenangan diraih pasukan Abu Bakar dengan meninggalkan

banyak syuhada’ (umat islam yang mati syahid dalam peperangan) termasuk di antaranya sejumlah

besar para penghafal Al-Quran. Karena kekhawatiran akan hilangnya Al-Quran bersamaan dengan

semakin berkurangnya para penghafal Al-Quran, maka Umar bin Khattab pun mengusulkan

pengumpulan Al-Quran dalam satu kumpulan (mushaf) kepada Abu Bakar, tentu saja Abu Bakar

menolak usulan umar tersebut, karena sebagai sahabat yang selalu dekat dengan Nabi, yang selalu

mematuhi dan membenarkan segala perkataan dan perbuatan Nabi SAW, pantang bagi Abu Bakar

untuk melakukan hal-hal yang tidak pernah dilakukan oleh Nabi SAW, apalagi hal-hal yang

berkenaan dengan Al-Quran selaku sumber hukum Primer Islam. Namun atas kegigihan umar dalam

memberikan argument, bahwa hal itu untuk menghindari punahnya ayat-ayat Al-Quran yang

disebabkan oleh berkurangnya para penghafal Al-Quran, dan hal itu akan menjadikan kemaslahatan

umat islam, maka Abu Bakar pun menyetujui usulan umar tersebut. Dia pun memerintahkan kepada

sang penulis wahyu terbanyak, Zaid bin Tsabit untuk mengumpulkan Al-Quran dalam Satu mushaf.7

[7]

2)      Kekhalifahan Umar bin Khattab

7[7] Prof. Dr. Abu Su’ud, op,cit ,hal : 56

Page 13: Hukum Masa Khulafah Alrasdin

·         Tentang satu orang yang dibunuh oleh beberapa orang

Pada masa kekhalifahan Umar bin Al-Khattab, Khalifah kedua setelah Abu Bakar, terjadi

suatu peristiwa hukum berupa pembunuhan massal, atau pembunuhan yang dilakukan oleh beberapa

orang sekaligus terhadap satu orang, bagaimana hukumnya?. Ketika dihadapkan pada masalah

tersebut, umar merasa bimbang, kemudian dia pun mendiskusikannya dengan Ali bin Abi Thalib,

maka Ali bertanya: “Apa pendapatmu jika ada sekelompok orang yang bersama-sama mencuri Unta,

apakah engkau akan memotong tangan mereka semua?” “Ya”, jawab Umar. Ali pun

berkata:”Begitulah . . . . ,”. Kemudian atas dasar pola pikir / analogi terebut, maka umar menetapkan

hukum bagi mereka, “Andaikata penduduk Shan’a itu semua bersama-sama membunuh pria itu,

sungguh akan aku bunuh mereka semua”.8[8]

·         Tentang Pencuri Dalam Masa Panceklik

Khalifah umar tidak menghukum potong tangan seorang pencuri yang mencuri makanan di musim

paceklik karena mempertimbangkan kemaslahatan umat, disamping bahwa memelihara nafs (jiwa)

itu lebih didahulukan daripada memelihara mal (harta). Jadi, perlindungan terhadap nyawa manusia

saat itu lebih dipentingakan daripada harta.

·         Bagian zakat orang muallaf

Terhadap orang muallaf, di masa kekhalifahannya Umar tidak memberi bagian zakat kepada

mereka, pada zaman Nabi Muhammad muallaf adalah mereka yang diambil simpatinya agar masuk

islam dengan memberikan zakat kepada mereka. Terhadap mualalf umar berkata:”Sesungguhnya

Allah telah menguatkan islam dan tidak membutuhkan kamu. Jika kamu bertaubat, silahkan, tetapi

jika tidak maka antara kamu dan kami adalah pedang.” Di sini umar melihat bahwa yang paling

maslahat pada saat perluasan islam saat itu adalah dengan tidak memberikan zakat/harta kepada

orang muallaf karena pada saat itu orang-orang islam sudah sangat banyak sekali sehingga pada saat

itu umar memang benar-benar ingin mengetahui apakah mereka mau masuk islam karena kesadaran

sendiri atau karena iming-iming zakat yang diberikan islam.

3)      Kekhalifahan Utsman bin Affan

·         Mushaf Utsmani

Pembukuan/penulisan Al-Quran dengan “satu huruf” (satu versi qiroah) dan membuang

mushaf versi lain merupakan salah satu bentuk ijtihad Usman dalam menghadapi keanekaragaman

8[8] Muhammad Zuhri. Hukum islam dalam lintasan sejarah. ( Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 1996 ) Hal. 40

Page 14: Hukum Masa Khulafah Alrasdin

bacaan Al-Quran yang mengarah kepada keragaman pemahaman terhadap islam, selanjutnya,

pertentangan di kallangan umat islam. dan ijtihad ini pun disetujui oleh para sahabatnya. Seperti

diketahui bahwa al-quran diturunkan atas 7 macam huruf (qiroah), artinya dengan dialek dan redaksi

yang bermacam-macam. Ketujuh qiroah tersebut adalah Quraisy, Yaman, Huwazin, Kudaah,

Tamim, dan Tajik, sehingga terbuka peluang berbedanya hafalan seorang sahabat dengan sahabat

yang lain. Misalnya, dalam surah Al-Jumuah disebut ( ذكرالله إلى ada sahabat lain yang ,(فاسعوا

membacanya ( الله ذكر إلى Perbedaan redaksi di sini tidak mengubah makna, namun demi .(فامضوا

keutuhan, keseragaman Al-Quran dilaksanakan oleh Khalifah Utsman bin Affan.9[9]

·         Tentang unta yang berkeliaran

Masalah unta yang berkeliaran dan tidak diketahui pemiliknya, apakah boleh “diamankan”

seperti barang temuan lainnya atau tidak. Ikhtilaf terjadi karena ada hadits Nabi yang menyebutkan

bahwa unta unta itu harus dibiarkan hingga ditemukan oleh pemiliknya sendiri. Ketika kondisi

pemerintahan mulai mengalami goncangan keamanan, utsman berpendapat bahwa unta-unta itu

sebaiknya diamankan.”Rasulullah melarang untuk mengamankannya,” kata Utsman, “ kareana tidak

mungkin ada yang mencurinya. Nmaun Sekarang, dalam suasan melemahnya ghirah keagamaan ini

unta-unta harus diamankan untuk kemaslahatan. Kalau tidak ia akan dicuri orang.”

Sikap Utsman ini bertentangan dengan kebijaksanaan Umar yang mengamalkan hadits Nabi

tadi. Di sini Utsman tampaknya menerapkan ‘illah. Umar melaksanakan nash dari hadits Nabi

karena adanya ‘illah, yaitu “suasana aman”, ketika ‘illah itu tidak ada, maka nash tidak cukup

syaratnya untuk diterapkan. Jika tetap diamalkan maka pengamalan nash itu tidak akan mewujudkan

kemaslahatan yang merupakan tujuan utama nash tadi.

4)      Kekhalifahan Ali bin Abi Thalib

a)      Tentang wanita yang ditinggal mati suaminya

Para fuqoha berbeda pendapat tentang bagaimana hukum seorang wanita yang ditinggal mati

suaminya sebelum melakukan hubungan suami-istri, padahal belum juga ditentukan kadar mas

kawin / maharnya. Menurut ibnu mas’ud, wanita itu berhak mengambil maskawin seperti biasa dari

harta peninggalan suaminya seperti terjadi pada Barwa’ binti Wasyik al-Aslamiyah di zaman

Rasulullah.

9[9] Prof. Dr. Abu Su’ud, op,cit , hal : 61- 62

Page 15: Hukum Masa Khulafah Alrasdin

Ali bin Abi Thalib berpendapat bahwa, ketentuan seperti itu merugikan satu pihak. Karenanya,

menurut Ali, wanita itu tidak berhak mengambil maskawin dari harta peninggalan suaminya sebelum

terjadi hubungan suami-istri. “Kami tidak akan meninggalkan Al-Quran hanya karena pernyataan

seorang saja”, kata Ali.

Dari sini Nampak bahwa Ali telah sampai pada penggunaan qiyas, sebab dalam Al-Quran

tidak ada ketentuan tentang masalah ini, yang ada hanyalah wanita yang ditalak oleh suaminya

sebelum melakukan hubungan suami-istri. Dan rupanya Ali mengqiyaskan wanita yang ditinggal

mati oleh suaminya sebelum melakukan hubungan tadi dengan wanita yang ditalak dalam keadaan

yang sama.

Ruang Ijtihad Sahabat

Yang bisa kita lihat dari berbagai ijtihad sahabat – di antaranya seperti dicontohkan di atas –

adalah adanya ruang lingkup ijtihad yang cukup luas. Para sahabat tidak hanya menyikapi hukum-

hukum islam secara ideal yang terlepas dari konteks sosial, tetapi dimensi sosial itu telah

menyadarkan mereka untuk mencari jawaban-jawaban ideal islam terhadap berbagai persoalan yang

berkembang. Interpretasi terhadap nash (seoerti penggunaan teori ‘illah yang dilakukan Utsman),

adalah contoh nyata betapa para sahabat secara sungguh-sungguh berusaha memahami maqashid

tasyri’ (tujuan-tujuan syariat) dari suatu penerapan hukum.

Utsman misalnya, berkesimpulan bahwa dibiarkannya unta-unta berkeliaran pada masa Nabi

Saw karena kondisi saat itu aman. Jadi, kerangka penerapan hukum ini dengan sendirinya menuntut

adanya situasi aman sehingga memungkinkan unta-unta itu menjumpai pemiliknya. Jika tidak, maka

nash hadits itu tidak tepat untuk diterapkan, sebab akan member peluang terkorbankannya

kemaslahatan umum. Kerangka teori ini kemudian dikembangkan dan dirumuskan oleh para ahli

metodologi islam (ushuliyyin) dalam kaidah ushul fiqh : “al-hukmu yadurru ma’al ‘illah wujudan wa

‘adaman” (hukum itu berputar / berhubungan dengan munculnya illah atau tidak).

Bahkan pengamatan yang lebih mendalam akan membuktikan bahwa rumusan para fuqaha dan

mujtahidin pada tahun-tahun pertengahan mengacu pada kerangka dan ruang ijtihad sahabat. Qiyas,

maslahah mursalah, istihsan dan kaidah-kaidah fiqhiyah lainnya mendapat justifikasi dari para

sahabat. Hal ini semakin menguatka kesimpulan bahwa fiqih sejak periode-periode awal

memberikan ruang gerak dinamis bagi perkembangan, pembaharuan dan kehidupan. Dengan  kata

Page 16: Hukum Masa Khulafah Alrasdin

lain, tradisi ikhtilaf para sahabat mengacu pada kerangka acuan istidlal, suatu proses ijtihad yang

memperkaya tsarwah fiqhiyah dalam sejarah perkembangannya

Page 17: Hukum Masa Khulafah Alrasdin

BAB III

PENUTUP

Sejarah hukum islam pada masa Khulafaur Rasyidin secara periodik terbagi menjadi 4, yaitu

periode Abu Bakar, Periode Umar bin Khattab, periode Utsman bin Affan dan periode Ali bn Abu

Thalib. Yang perlu digaris bawahi dalam pemahaman mengenai tasyri’ pada masa ini adalah bahwa

meskipun disebut periode khulafaur Rasyidin, namun dalam praktisnya para mujtahid hukum bukan

hanya para amirul mukminin yang 4 saja, akan tetapi seluruh kibar sahabat yang hidup pada masa ini

juga sering berijtihad terhadap semua permasalahan yang dirasa aktual dan memiliki haajah di antara

umat islam.

Dalam hal permasalahan hukum itu telah ada hukumnya dalam nash Al-Quran, maka

digunakanlah hukum yang didapat dari nash tersebut. Dan bila hukum permasalahan itu tidak

ditemukan dalam Al-Quran maka mereka mencari hukumnya di dalam hadits, namun karena hadits

masih belum dibukukan, maka sering terjadi perbedaan pendapat mengenai satu persoalan yang

sama tetapi menghasilkan produk hukum yang berbeda, tergantung kapasitas hadits yang dimiliki

masing-masing sahabat. Untuk menghadapai masalah ini, para sahabat seringkali berdiskusi untuk

saling bertukar wawasan tentang hadits yang mereka hafal. Dan bila mereka tidak dapat menemukan

hukumnya di dalam Al-Quran dan Hadits maka mereka berijtiad dengan menggunakan ro’yu mereka

sendir-sendiri, maka kemudian terciptalah metode qiyas, penggalian illat hukum, ijma’, hingga 

akhirnya pada tahap penelusuran substansi syariat dengan menggunakan metode maslahah, yaitu

mencari hal yang maslahat bagi masnusia secara umun.

Adapun sebab ikhtilaf pendapat para sahabat saat itu adalah perbdaan persepsi tentang suatu

nash Al-Quran atau hadits secara tekstual, yang biasanya memerlukan kajian kebahasaan yang

tinggi. Di samping itu kadar jumlah hadits yang berbeda yang diterima para sahabat kibar yang

kesemuanya tergantung  pada seberapa dekat dan sering seorang sahabat berinteraksi dengan

NabiSAW.        

Beberapa contoh hasil ijtihad para sahabat dalam penentuan hukum islam terhadap suatu

persoalan. Contohnya pembuuan Alquran dalam satu mushaf oleh Abu bakar karena

kekhawatirannya akan hilangnya Al-Quran dengan hilangnya para syuhada yang hafal Al-Quran.

Page 18: Hukum Masa Khulafah Alrasdin

DAFTAR PUSTAKA

·        Prof. Dr. Su’ud, Abu, Islamologi Sejarah, Ajaran, dan Peranannya dalam Peradaban Ummat

Islam, Jakarta : PT. Rineka Cipta,2003

·         Ibnu Karsir, Al- Hafiz , Perjalanan Empat Khalifah Rasul yang Agung, Jakarta : Darul Haq,

2011

·         Dr. Hasan Khalil, Rasyad , Tarikh Tasyri’, Jakarta : Amzah, 2009

·        Hudhori, Muhammad. Tarikh At-Tasyri’ Al-Islami. Tanpa Tahun. Jeddah: Al-Haromain

·         Zuhri, Muhammad. Hukum islam dalam lintasan sejarah. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,

1996

·         http//:www.makalahtoher.blogspot.com/2011/12/ makalah-tarikh-tasyrikh.html

·         Supriyadi, Dedi, Sejarah Hukum Islam, Bandung : CV. Pustaka Setia, 2010