PERJANJIAN KREDIT DAN JAMINANNYA Makalah Ini Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Hukum Komersial AnggotaKelompok : Namla Elfa Syariati Thalita Oka Putri Teresia Maria Protegenti Tini PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI AKUNTANSI FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG 2014
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
PERJANJIAN KREDIT DAN JAMINANNYA
Makalah Ini Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah
Hukum Komersial
AnggotaKelompok :
Namla Elfa Syariati
Thalita Oka Putri
Teresia Maria Protegenti Tini
PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI AKUNTANSI
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG
2014
PENDAHULUAN
Dalam kehidupan sehari-hari, manusia terkadang membutuhkan bantuan dana baik untuk
pemenuhan kebutuhannya maupun untuk modal usahanya. Bantuan dana tersebut bisa diperoleh
melalui pinjaman dari bank atau lembaga pembiayaan seperti leasing. Adapun pinjaman dari
bank atau lembaga pembiayaan inilah yang disebut dengan kredit. Pemberian kredit oleh bank
atau lembaga pembiayaan didasarkan pada perjanjian yaitu perjanjian kredit. Suatu perjanjian
kredit melibatkan para pihak yang terdiri dari pihak yang meminjamkan atau kreditur dan pihak
yang meminjam atau debitur. Perjanjian kredit itu sendiri berakar dari perjanjian pinjam-
meminjam.. Dalam pemberian kredit terkandung resiko yaitu pihak yang meminjam atau debitur
tidak mampu melunasi kredit pada waktunya dan untuk memperkecil resiko itu biasanya kreditur
meminta jaminan kepada debitur. Jaminan inilah yang kemudian menjadi sumber dana bagi
pelunasan kredit dalam hal debitur tidak mampu melunasi kredit yang diterimanya.
Tata cara kegiatan pemberian kredit semakin berkembang terus hingga mengharuskan
kedua belah pihak untuk bertemu langsung hingga bertemu melalui dunia maya.Jual beli
merupakan suatu perjanjian dengan mana pihak yang satu mengikat dirinya untuk menyerahkan
hak milik suatu barang dan pihak yang lain untuk membayar harga yang telah dijanjikan. Karena
jual beli termasuk dalam lingkup perjanjian, maka syarat sah terbentuknya perjanjian mengikuti
syarat sah terbentuknya perjanjian.Peristiwa perjanjian ini menimbulkan hubungan diantara
orang-orang tersebut yang disebut dengan perikatan.
Suatu perjanjian lahir pada detik tercapainya kesepakatan. Apabila telah terjadi
kesepakatan, maka pada saat itu timbullah suatu perikatan diantara pihak-pihak yang melakukan
perjanjian. Dalam hal jual beli, maka perikatan timbul sejak terjadinya kesepakatan antara
penjual dan pembeli mengenai barang dan harga. Sepakat yang diperlukan untuk melahirkan
suatu perjanjian dianggap telah tercapai, apabila yang dikeluarkan oleh suatu pihak yaitu penjual
diterima oleh pihak lain yaitu pembeli.
PEMBAHASAN
A. Pengertian Kredit
Pengertian kredit menurut Pasal 1(11) UU No.10/1998 tentang Perubahan Atas UU No.
7/1992 tentang Perbankan (UU Perbankan), sebagai berikut:
“Kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu,
berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam antara bank dengan pihak lain
yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu
dengan pemberian bunga”.
Dari pengertian diatas, dapat ditemukan adanya unsur-unsur dalam kredit yaitu antara lain:
(1) Kepercayaan, yaitu keyakinan dari si pemberi kredit bahwa kredit tersebut akan dibayar
kembali oleh si penerima kredit dalam jangka waktu tertentu yang telah diperjanjikan.
(2) Waktu, yaitu bahwa pemberian kredit dengan pembayaran kembali tidak dilakukan pada
waktu yang bersamaan melainkan dipisahkan oleh tenggang waktu.
(3) Resiko, yaitu bahwa setiap pemberian kredit mempunyai resiko akibat adanya jangka
waktu yang memisahkan antara pemberian kredit dengan pembayaran kembali. Semakin
panjang jangka waktu kredit semakin tinggi resiko kredit tersebut.
(4) Prestasi, atau obyek kredit itu tidak saja diberikan dalam bentuk uang, tetapi juga dapat
berbentuk barang atau jasa. Namun dalam obyek kredit yang menyangkut uanglah yang
sering dijumpai dalam praktek perkreditan.
B. Jenis-Jenis Kredit
Dalam praktek saat ini, secara umum ada 2 jenis kredit yang diberikan kepada para
masyarakat, yaitu:
1. Kredit ditinjau dari segi tujuan penggunaannya dapat berupa:
(a) Kredit Produktif, yaitu kredit yang diberikan kepada usaha-usaha yang menghasilkan
barang dan jasa sebagai kontribusi daripada usahanya.
Kredit ini terdiri dari:
i. Kredit Modal Kerja, yaitu kredit yang diberikan untuk membiayai kebutuhan usaha-
usaha, termasuk guna menutup biaya produksi dalam rangka peningkatan produksi atas
penjualan.
ii. Kredit Investasi, yaitu kredit yang diberikan untuk pengadaan barang modal maupun
jasa yang dimaksudkan untuk menghasilkan suatu barang dan ataupun jasa bagi usaha
yang bersangkutan.
(b) Kredit Konsumtif, yaitu kredit yang diberikan kepada orang-perorangan untuk
memenuhi kebutuhan konsumsi masyarakat umumnya.
2. Kredit ditinjau dari jangka waktunya dapat berupa:
(a) Kredit Jangka Pendek, yaitu kredit yang diberikan dengan tidak melebihi jangka waktu
1 tahun.
(b) Kredit Jangka Menengah, yaitu kredit yang diberikan dengan jangka waktu lebih dari 1
tahun tetapi tidak lebih dari 3 tahun.
(c) Kredit Jangka Panjang, yaitu kredit yang diberikan dengan jangka waktu lebih dari 3
tahun.
C. Dalam Pasal 1313 Kitab UU Hukum Perdata (KUHPer) menyebutkan bahwa suatu perjanjian
adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu
orang lain atau lebih.1
Pasal 1754 KUHPer
“Perjanjian pinjam-meminjam ialah perjanjian dengan mana pihak yang satu memberikan
kepada pihak yang lain suatu jumlah tertentu barang-barang yang menghabis karena
pemakaian, dengan syarat bahwa pihak yang belakangan ini akan mengembalikan sejumlah
yang sama dari macam dan keadaan yang sama pula.”2
Walaupun perjanjian kredit berakar dari perjanjian pinjam-meminjam, tetapi perjanjian
kredit berbeda dengan perjanjian pinjam-meminjam dalam KUHPer.
1. Perbedaan Perjanjian Kredit dengan Perjanjian Pinjam Meminjam
Berdasarkan rumusan Pasal 1754 HUHPer, perjanjian pinjam-meminjam mensyaratkan
barang yang menjadi obyek perjanjian adalah barang yang dapat habis karena pemakaian.
Apabila obyek dalam suatu perjanjian adalah barang yang tidak dapat habis karena pemakaian,
maka perjanjian tersebut bukanlah perjanjian pinjam-meminjam melainkan jenis perjanjian
lainnya sehingga menimbulkan akibat hukum yang berbeda pula dari perjanjian pinjam-
meminjam.
Akibat Hukum dari Perjanjian Pinjam Meminjam adalah:
1 Hardiyanto, Sophia. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.(PT.Sofmedia,Medan)2013. Hal 2602 Hardiyanto, Sophia. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.(PT.Sofmedia,Medan)2013. Hal 351
(1) Perjanjian pinjam-meminjam menyebabkan terjadinya perpindahan hak atas kepemilikan dari
barang yang menjadi obyek perjanjian. Hal tersebut menyebabkan ‘pihak peminjam’
memiliki kekuasaan penuh atas barang obyek perjanjian dan menimbulkan konsekuensi
baginya bahwa apabila barang obyek perjanjian tersebut rusak atau musnah ketika barang
tersebut telah berada pada kekuasaannya, maka segala kerusakan dan musnahnya barang
obyek perjanjian tersebut menjadi tanggungannya (Pasal 1755 KUHPer)3.
(2) Pihak yang meminjamkan bertanggungjawab terhadap cacad-cacad yang terdapat pada
barang obyek perjanjian yang diketahuinya telah ada sebelum penyerahan barang terjadi.
Dalam keadaan tersebut, pihak yang meminjamkan berkewajiban untuk mengganti barang
obyek perjanjian yang cacad tersebut dengan barang yang sesuai dengan apa yang telah
diperjanjikan (Pasal 1762 KUHPer)4.
(3) Dalam hal obyek perjanjiannya adalah uang, maka pihak peminjam hanya berkewajiban
mengembalikan uang atas jumlah yang disebutkan dalam perjanjian (Pasal 1756 KUHPer).
(4) Jika terjadi kenaikan atau penurunan/kemunduran terhadap nilai mata uang yang menjadi
obyek perjanjian, maka kewajiban dari pihak peminjam adalah sebesar nilai mata uang yang
bersangkutan pada saat pelunasan (pasal 1756 KUHPer), kecuali telah ditegaskan pada
perjanjian bahwa pihak peminjam berkewajiban untuk mengembalikan uang yang telah
dipinjamnya dengan menggunakan mata uang yang sama (pasal 1757 KUHPer).
(5) Apabila obyek perjanjian adalah barang yang berupa emas, perak atau barang-barang
perdagangan lainnya, maka pihak peminjam berkewajiban untuk mengembalikan barang
sesuai dengan jenis, jumlah dan mutu yang sama dengan apa yang telah dipinjamnya tanpa
mengindahkan naik atau turunnya harga dari barang yang bersangkutan (pasal 1758
KUHPer).
(6) Pihak yang meminjamkan tidak boleh meminta barang yang telah dipinjamkannya sebelum
lewat jangka waktu pengembalian sesuai yang telah disepakati dalam perjanjian. (Pasal 1759
KUHPer).
(7) Pihak Peminjam berkewajiban untuk mengembalikan barang pinjaman dalam jumlah dan
keadaan yang sama, dan pada waktu yang telah ditentukan. Jika pihak peminjam tidak
mampu memenuhi kewajibannya tersebut, maka pihak peminjam berkewajiban untuk
3 Hardiyanto, Sophia. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.(PT.Sofmedia,Medan)2013. Hal 3514 Hardiyanto, Sophia. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.(PT.Sofmedia,Medan)2013. Hal 352
membayar harga barang yang telah dipinjamnya tersebut sesuai dengan harga pada waktu
dan tempat pengembalian sesuai dengan perjanjian (Pasal 1763-1764 KUHPer).5
2. Perbedaan Perjanjian Kredit dengan Perjanjian Sewa Beli
Dalam Hire-purchase Act (1965), perjanjian sewa-beli dikontruksikan sebagai suatu
perjanjian sewa-menyewa dengan hak opsi dari si penyewa untuk membeli barang yang
disewanya. Pada dasarnya Perjanjian Sewa Beli sama dengan Perjanjian Jual Beli yaitu tertuju
pada perolehan hak milik atas suatu barang di satu pihak (pihak pembeli) dan perolehan sejumlah
uang sebagai imbalannya (harga) dilain pihak (pihak penjual). Namun, pihak penjual pada
perjanjian sewa beli memerlukan jaminan bahwa barangnya (yang menjadi obyek perjanjian)
tidak akan dijual lagi oleh pihak pembeli sebelum dibayar lunas.
Akibat Hukum dari Perjanjian Sewa Beli adalah:
(1) Penyerahan hak milik baru akan dilakukan pada waktu dibayarnya angsuran terakhir.
Penyerahan dapat dilakukan dengan suatu pernyataan saja karena barangnya sudah berada
dalam kekuasaan si pembeli dalam kedudukan sebagai penyewa.
(2) Perjanjian Sewa Beli gugur demi hukum apabila barang yang disewakan musnah karena
suatu kejadian yang tidak disengaja sebelum penyerahan hak milik. Kerugian akibat
musnahnya barang yang disewakan dipikul sepenuhnya oleh pihak yang menyewakan.
(3) Perjanjian Sewa Beli tidak hapus apabila pihak yang menyewakan ataupun pihak yang
menyewa meninggal (Pasal 1575 KUH Perdata).6
(4) Pihak yang menyewakan dapat melakukan pembatalan perjanjian jika penyewa memakai
barang untuk keperluan yang lain dari tujuannya sehingga menimbulkan kerugian pada pihak
yang menyewakan (Pasal 1561 KUHPer).7
(5) Pihak penyewa bertanggungjawab atas segala kerusakan pada barang yang disewa selama
waktu sewa, kecuali dapat dibuktikan bahwa kerusakan itu terjadi diluar kesalahannya (pasal
1564 KUHPer).
(8) Pihak yang menyewakan tidak dapat menghentikan sewanya selama masa sewa belum
selesai, kecuali jika telah diperjanjikan sebaliknya (Pasal 1579 KUHPer).8
5 Hardiyanto, Sophia. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.(PT.Sofmedia,Medan)2013. Hal 3526 Hardiyanto, Sophia. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.(PT.Sofmedia,Medan)2013. Hal 2987 Hardiyanto, Sophia. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.(PT.Sofmedia,Medan)2013. Hal 2978 Hardiyanto, Sophia. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.(PT.Sofmedia,Medan)2013. Hal. 299
(9) Pihak yang menyewakan maupun pihak penyewa tidak diperkenankan untuk menjual barang
obyek perjanjian selama waktu sewa berlangsung.
Perbedaan antara perjanjian kredit dengan perjanjian sewa beli terletak pada beberapa hal,
antara lain:
(a) Dalam perjanjian kredit, salah satu pihaknya telah ditentukan yaitu Bank atau lembaga
pembiayaan yang pendiriannya dan syarat-syarat berdirinya mengacu pada ketentuan-
ketentuan di bidang ekonomi yang berlaku. Sedangkan dalam perjanjian sewa-beli, tiap
individu maupun badan hukum memiliki kebebasan untuk menjadi para pihak dalam
perjanjian.
(b) Obyek dalam perjanjian kredit adalah sebagaimana yang telah ditentukan dalam UU
perbankan, yaitu uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu. Sedangkan dalam
perjanjian sewa-beli, obyek perjanjian dapat berupa barang bergerak maupun barang tidak
bergerak tanpa pembatasan yang spesifik mengenai hal tersebut.
(c) Dalam perjanjian kredit, prestasi dari debitur (pihak yang meminjam) terdiri dari
pengembalian uang (barang) dalam jumlah yang sama ditambah dengan bunga. Sedangkan
dalam perjanjian sewa-beli, prestasi pihak pembeli selaku pihak yang menyewa adalah
membayar harga angsuran berupa harga sewa yang jumlahnya diatur melalui perjanjian.
(d) Perjanjian kredit memerlukan jaminan sebagai dasar penilaian keyakinan akan kemampuan
debitur untuk melunasi hutangnya. Sedangkan perjanjian sewa beli tidak memerlukan
jaminan karena kepemilikan barang belum berpindah.
3. Perbedaan Perjanjian Kredit dengan Perjanjian Jual Beli Dengan Angsuran
Perjanjian Jual-Beli adalah suatu perjanjian timbal balik dimana pihak yang satu (Penjual)
berjanji untuk menyerahkan hak milik atas suatu barang, sedangkan pihak yang lainnya
(Pembeli) berjanji untuk membayar harga yang terdiri atas sejumlah uang sebagai imbalan dari
perolehan hak milik tersebut. Unsur-unsur pokok (essentialia) perjanjian jual-beli adalah barang
dan harga.
Dalam perjanjian jual-beli dengan angsuran, harga tersebut dibayar oleh pihak pembeli
dengan cara angsuran atau cicilan. Akibat Hukum dari Perjanjian Jual Beli Dengan Angsuran
adalah:
(1) Jual beli telah terjadi pada saat penjual dan pembeli sepakat mengenai barang dan harga.
(2) Penjual berkewajiban menyerahkan hak milik atas barang yang diperjual-belikan.
(3) Pembayaran harga pembelian barang (obyek perjanjian) dilakukan dengan cara angsuran
yang disepakati dalam perjanjian.
(5) Hak milik atas barang beralih dari penjual kepada pembeli pada saat terjadinya penyerahan
barang (levering). Penjual bertanggung jawab terhadap barang tersebut sampai dengan
terjadinyalevering.
(6) Penjual menanggung kenikmatan tenteram atas barang tersebut (obyek perjanjian) dan
menanggung terhadap cacad-cacad yang tersembunyi. (vrijwaring, warranty).
(7) Pihak pembeli masih memilki kewajiban berupa hutang yaitu harga atau sebagian dari harga
yang belum dibayarnya, meskipun telah memiliki hak atas barang yang dibelinya.
Perbedaan antara perjanjian kredit dengan perjanjian jual beli dengan angsuran terletak
pada beberapa hal, antara lain:
(a) Perjanjian kredit tidak bersifat konsesual, sehingga kesepakatan saja belum menimbulkan
hak bagi para pihak untuk menuntut. Sedangkan perjanjian jual-beli dengan angsuran adalah
perjanjian konsesual, dimana kesepakatan telah menimbulkan hak dan kewajiban bagi para
pihak.
(b) Dalam perjanjian kredit, salah satu pihaknya telah ditentukan yaitu Bank atau lembaga
pembiayaan yang pendiriannya dan syarat-syarat berdirinya mengacu pada ketentuan-
ketentuan di bidang ekonomi yang berlaku. Sedangkan dalam perjanjian sewa-beli, tiap
individu maupun badan hukum memiliki kebebasan untuk menjadi para pihak dalam
perjanjian.
(c) Obyek dalam perjanjian kredit adalah sebagaimana yang telah ditentukan dalam UU
perbankan, yaitu uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu. Sedangkan dalam
perjanjian jual-beli dengan angsuran, obyek perjanjian dapat berupa barang bergerak
maupun barang tidak bergerak tanpa pembatasan yang spesifik mengenai hal tersebut.
(d) Dalam perjanjian kredit, prestasi dari debitur (pihak yang meminjam) terdiri dari
pengembalian uang (barang) dalam jumlah yang sama ditambah dengan bunga. Sedangkan
dalam perjanjian jual-beli dengan angsuran, prestasi pihak pembeli adalah membayar harga
angsuran barang yang diperjanjikan, yang jumlahnya diatur melalui perjanjian.
(e) Dalam perjanjian kredit, jaminan diperlukan bank sebagai dasar penilaian atas keyakinan
akan kemampuan debitur untuk melunasi kredit. Sedangkan dalam perjanjian jual-beli
dengan angsuran, jaminan merupakan pengamanan bagi kepastian pelunasan pembayaran
harga barang yang harus diperjanjikan sebelumnya.
4. Syarat Sahnya Perjanjian Kredit
Pembuatan suatu perjanjian kredit harus memenuhi syarat-syarat supaya perjanjian tersebut
diakui dan mengikat para pihak yang membuatnya.
Pasal 1320 KUHPer9 menentukan 4 (empat) syarat untuk sahnya suatu perjanjian, yaitu:
(1) Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya: Maksudnya bahwa para pihak yang membuat
perjanjian telah sepakat atau setuju mengenai hal-hal pokok dari perjanjian yang dibuat.
Kesepakatan itu dianggap tidak ada apabila sepakat itu diberikan karena
kekeliruan/kekhilafan atau diperolehnya dengan paksaan atau penipuan.
(2) Kecakapan untuk membuat suatu perikatan: Maksudnya cakap adalah orang yang sudah
dewasa, sehat akal pikiran dan tidak dilarang oleh suatu peraturan perundang-undangan
untuk melakukan suatu perbuatan tertentu. Orang-orang yang dianggap tidak cakap untuk
melakukan perbuatan hukum yaitu:
(a) Orang-orang yang belum dewasa. Menurut Pasal 1330 KUHPer jo. Pasal 47 UU No.
1/197410 tentang Perkawinan, orang belum dewasa adalah anak dibawah umur 18 tahun
atau belum pernah melangsungkan pernikahan ;
(b) Orang-orang yang ditaruh dibawah pengampuan. Menurut Pasal 1330 jo. Pasal 433
KUHPer11 yaitu orang yang telah dewasa tetapi dalam keadaan dungu, gila, mata gelap
dan pemboros ;
(c) Orang-orang yang dilarang undang-undang untuk melakukan perbuatan hukum tertentu,
misalnya orang yang telah dinyatakan pailit oleh pengadilan.
Jika pihak dalam suatu perjanjian kredit adalah suatu perseroan terbatas (PT) maka syarat
kecapakan ini terpenuhi apabila PT tersebut telah disahkan oleh Menteri Kehakiman dan telah
didaftarkan dalam daftar perusahaan serta diumumkan dalam Tambahan Berita Negara RI.
(3) Suatu hal tertentu ; Artinya dalam membuat perjanjian, apa yang diperjanjikan harus jelas
sehingga hak dan kewajiban para pihak bisa ditetapkan.
(4) Suatu sebab yang halal; Artinya suatu perjanjian harus berdasarkan sebab yang halal atau
yang diperbolehkan oleh undang-undang. Kriteria atau ukuran sebab yang halal adalah
9 Hardiyanto, Sophia. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.(PT.Sofmedia,Medan)2013. Hal 26110 Hardiyanto, Sophia. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.(PT.Sofmedia,Medan)2013. Hal 26211 Hardiyanto, Sophia. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.(PT.Sofmedia,Medan)2013. Hal 107
perjanjian yang dibuat tidak boleh bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan dan
ketertiban umum.
5. Pihak-Pihak Dalam Perjanjian Kredit
Adapun pihak-pihak dalam perjanjian kredit antara lain:
(1) Pihak Pemberi Kredit atau kreditur.
Pihak pemberi kredit atau kreditur adalah bank atau lembaga pembiayaan lain selain bank
misalnya perusahaan leasing;
(2) Pihak Penerima Kredit atau debitur.
Pihak penerima kredit atau debitur adalah pihak yang dapat bertindak sebagai subyek hukum.
Subyek hukum adalah sesuatu badan yang mempunyai hak dan kewajiban untuk melakukan
suatu perbuatan hukum, baik perbuatan sepihak maupun perbuatan dua pihak.
Pada dasarnya subyek hukum terdiri dari:
(a) manusia (person)
(b) badan hukum (rechtpersoon) misalnya Perseroan Terbatas (PT).
Pasal 1(2) UU Perbankan:
Bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan
dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan atau bentuk-bentuk lainnya
dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak.
6. Fungsi Perjanjian Kredit
Perjanjian kredit ini perlu mendapat perhatian yang khusus baik oleh kreditur maupun oleh
debitur, karena perjanjian kredit mempunyai fungsi yang sangat penting dalam pemberian,
pengelolaan maupun penatalaksanaan kredit itu sendiri.
Fungsi dari perjanjian kredit, yaitu:
(1) Perjanjian kredit berfungsi sebagai perjanjian pokok: Artinya perjanjian kredit
merupakan sesuatu yang menentukan batal atau tidak batalnya perjanjian lain yang
mengikutinya, misalnya perjanjian pengikatan jaminan;
(2) Perjanjian kredit berfungsi sebagai alat bukti mengenai batasan-batasan hak dan
kewajiban di antara kreditur dan debitur;
(3) Perjanjian kredit berfungsi sebagai alat untuk melakukan monitoring kredit.
7. Bentuk Perjanjian Kredit
Dalam prakteknya ada 2 bentuk perjanjian kredit, yaitu:
(1) Perjanjian kredit yang dibuat dibawah tangan, atau dinamakan akta di bawah tangan.
Artinya perjanjian pemberian kredit oleh bank kepada nasabahnya hanya dibuat diantara
mereka (kreditur dan debitur) tanpa notaris. Namun pada prakteknya dalam perjanjian
kredit bank, akta dibawah tangan ini disiapkan dan dibuat sendiri oleh bank kemudian
ditawarkan kepada debitur untuk disepakati. Untuk mempermudah dan mempercepat kerja
bank, biasanya bank sudah menyiapkan formulir perjanjian dalam bentuk standar yang isi,
syarat-syarat dan ketentuannya disiapkan terlebih dahulu secara lengkap yang kemudian
disodorkan kepada setiap calon-calon debitur untuk diketahui dan dipahami dalam rangka
penandatanganan perjanjian kredit tersebut. Jadi calon debitur mau atau tidak mau, dengan
terpaksa atau sukarela, harus menerima semua persyaratan yang tercantum dalam formulir
kredit walaupun ia tidak setuju terhadap pasal-pasal tertentu. Hal tesebut dikarenakan
calon debitur sangat membutuhkan kredit atau berada pada posisi lemah.
(2) Perjanjian kredit yang dibuat oleh dan dihadapan notaris, yang dinamakan akta otentik atau
akta notariil. Pihak yang menyiapkan dan membuat perjanjian ini adalah seorang notaris,
namun dalam praktek semua syarat dan ketentuan perjanjian kredit disiapkan oleh kreditur
kemudian diberikan kepada notaris untuk dirumuskan dalam akta notariil. Memang notaris
dalam membuat perjanjian hanyalah merumuskan apa yang diinginkan para pihak dalam
bentuk akta notariil atau akta otentik.
8. Penggolongan Jaminan Kredit Bank
Jaminan kredit bank dapat digolongkan dalam beberapa klasifikasi berdasarkan sudut
pandang tertentu, misalnya cara terjadinya, sifatnya kebendaan yang dijadikan objek jaminan,
dan lain sebagainya.
a. Jaminan karena undang-undang dan karena perjanjian
Jaminan karena undang-undang adalah jaminan yang dilahirkan atau diadakan
oleh seperti jaminan umum, hak privelege dan hak retensi (pasal 1132, pasal 1134 ayat
(1)). Sedangkan jaminan karena perjanjian adalah jaminan yang dilahirkan atau
diadakan oleh perjanjian yang diadakan para pihak sebelumnya, seperti gadai, hipotik,
hak tanggungan dan fiducia.
b. Jaminan umum dan jaminan khusus
Pada prinsipnya menurut hukum segala harta kekayaan debitur akan menjadi jaminan
bagi perutangannya dengan semua kreditu. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata pada
pasal 1131 menyatakan bahwa segala kebendaan si berutang, baik yang bergerak maupun
yang tak bergerak, baik yang sudah ada maupun yang baru akan ada di kemudian hari,
menjadi tanggungan untuk segala perikatan perserorangan. Hal ini berarti seluruh harta
kekayaan milik debitur akan menjadi jaminan pelunasan atas utang debitur kepada semua
kreditur. Kekayaan debitur dimaksud meliputi kebendaan bergerak maupun benda tetap,
baik yang sudah ada pada saat perjanjian utang piutang diadakan maupun yang baru akan
ada di kemudian hari yang akan menjadi milik debitur setelahperjanjian utang piutang di
adakan.
Dengan demikian, seluruh harta kekayaan debitur akan menjadi jaminan umum atas
pelunasan perutangannya, baik yang telah diperjanjikan maupun tidak diperjanjikan
sebelumnya. Jaminan umum ini dilahirkan karena undang-undang, sehingga tidak perlu
ada perjanjian jaminan sebelumnya.
Dalam jaminan yang bersifat umum ini, semua kreditur mempunyai kedudukan yang
sama terhadap kreditur-kreditur lain, tidak ada kreditur yang diutamakan atau
diistimewakan dari kreditur-kreditur lain. Karena jaminan umum kurang menguntungkan
bagi kreditur, maka diperlukan penyerahan harta kekayaan tertentu untuk diikat secara
khusus sebagai jaminan pelunasan utang debitur, sehingga kreditur yang bersangkutan
mempunyai kedudukan yang diutamakan atau didahulukan daripada kreditur kreditur lain
dalam pelunasan utangnya. Jaminan yang seperti ini memberikan perlindungan kepada
kreditur dan didalam perjanjian akan diterangkan mengenai hal ini. Jaminan khusus
memberikan kedudukan mendahului (preferen) bagi pemegangnya.
c. Jaminan yang bersifat kebendaan dan jaminan perseorangan.
Jaminan yang bersifat kebendaan adalah jaminan yang berupa hak mutlak atas sesuatu
benda, yang mempunyai ciri-ciri mempunyai hubungan langsung atas benda tertentu dari
debitur, dapat dipertahankan terhadap siapa pun, selalu mengikuti bendanya dan dapat
diperalihkan (contoh: hipotik, hak tanggungan gadai, fidusia). Adapun uraian singkat
mengenai masing-masing bentuk lembaga jaminan adalah sebagai berikut:
1. Gadai
Lembaga jaminan yang disebut Gadai diatur oleh ketentuan pasal 1150 sampai
dengan pasal 1160 KUH Perdata. Gadai merupakan lembaga jaminan yang digunakan
untuk mengikat jaminan utang yang berupa barang-barang bergerak antara lain berupa
barang-barang perhiasan (misalnya kalung emas dan gelang emas), surat berharga dan
surat yang mempunyai harga (misalnya saham dan sertifikat deposito), mesin-mesin
yang tidak terpasang secara tetap di tanah atau bangunan (misalnya genset), dan
sebagainya.
Pengikatan jaminan melalui Gadai memberikan jaminan kebendaan kepada
krediturnya sebagai pemegang Gadai, artinya kreditur mempunyai hak menagih
pelunasan piutangnya atas benda yang diikat dengan Gadai tersebut.
Pengikatan jaminan melalui Gadai memberikan hak didahulukan atau hak
preferen kepada kreditur sebagai pemegang Gadai, artinya kreditur tersebut akan
memperoleh pembayaran didahulukan atas piutangnya dari hasil pencairan (penjualan)
benda yang diikat dengna Gadai dibandingkan dengan kreditur-kreditur lainnya.
2. Hipotik
Lembaga Hipotik pada saat ini hanya digunakan untuk mengikat jaminan utang
yang berupa kapal laut berukuran bobot 20 m3 atau lebih sesuai dengan ketentuan
pasal 314 KUH Dagang dan UU No.21 tahun 1992 tentang Pelayaran, dengan
mengacu antara lain kepada ketentuan Hipotik yang tercantum dalam KUH Perdata.
Pengikatan kapal laut melalui Hipotik memberikan kepastian hukum bagi kreditur
sesuai dengan dibuatnya akta dan sertifikat Hipotik yang dalam praktek
pelaksanaannya adalah berupa Akta Hipotik berdasarkan perjanjian pinjaman dan Akta
Kuasa Memasang Hipotik.
3. Hak Tanggungan
Hak Tanggungan adalah hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang No. 5 tahun 1960 tentang Peraturan
Dasar Pokok-pokok Agraria, berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang
merupakan satu kesatuan dengan tanah itu, untuk pelunasan hutang tertentu, yang
memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditur tertentu terhadap kreditur-
kreditur lain. Pemberiannya merupakan ikutan dari perjanjian pokok yaitu perjanjian
yang menimbulkan hubungan hukum hutang piutang yang dijamin pelunasannya.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa hak tanggungan lahir dengan sebuah
perjanjian. Adapun beberapa unsur pokok dari hak tanggungan adalah:
1. Hak yaitu hak jaminan yang dibebankan atas tanah sebagai yang dimaksud oleh
UUPA;
2. Berikut atau tidak berikut dengan benda-benda yang merupakan satu kesatuan
dengan tanah itu;
3. Untuk pelunasan utang tertentu;
4. Memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditur tertentu terhadap
kreditur yang lain.
Adapun ciri-ciri hak tanggungan adalah memenuhi asas spesialitas dan asas
publisitas. Asas spesialitas yaitu asas yang mewajibkan dalam muatan akta pemberian
hak tanggungan harus mencantumkan ketentuan-ketentuan seperti ditegaskan12.
Sedangkan asas publisitas yaitu asas yang mewajibkan didaftarkannya hak tanggungan
pada kantor pertanahan setempat13.
Objek hak tanggungan adalah hak-hak atas tanah yang diatur dalam UUPA. Benda-
benda (tanah) akan dijadikan jaminan atas suatu utang dengan dibebani hak tanggungan
harus memenuhi syarat sebagai berikut:
1. Dapat dinilai dengan uang
2. Harus memenuhi syarat publisitas;
3. Mempunyai sifat droit de suite apabila debitor cidera janji;12 Undang-Undang No 4 Tahun 1996 pasal 11 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah13 Undang-Undang No 4 Tahun 1996 pasal 13 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah
4. Memerlukan penunjukkan menurut UU.
Hak tanggungan tidak dapat berdiri sendiri tanpa didukung oleh suatu perjanjian
(perjanjian kredit) antara debitor dan kreditor. Dalam perjanjian itu diatur tentang
hubungan hukum antara kreditor dan debitor, baik menyangkut besarnya jumlah kredit
yang diterima oleh debitor, jangka waktu pengembalian kredit, maupun jaminan yang
nantinya akan diikat dengan hak tanggungan. Oleh karena hak tanggungan tidak dapat
dilepaskan dari perjanjian kredit, itulah sebabnya maka hak tanggungan dikatakan
accessoir (mengikuti) perjanjian pokoknya.
Kredit yang diberikan oleh kreditor mengandung risiko, maka dalam setiap
pemberian kredit, bank tidak diperkenankan memberikan kredit tanpa ada suatu
perjanjian tertulis. Itu sebabnya diperlukan suatu jaminan kredit dengan disertai
keyakinan akan kemampuan debitor melunasi utangnya. Hal ini sesuai dengan
perundangan tentang Perbankan14 yang menyatakan dalam memberikan kredit, bank
umum wajib mempunyai keyakinan atas kemampuan dan kesanggupan debitor untuk
melunasi hutangnya sesuai yang diperjanjikan.
Dalam menjalankan suatu perjanjian khususnya dalam perjanjian kredit, para
pihak (debitor, kreditor) selalu dibebani dua hal yaitu hak dan kewajiban. Menurut J.
Satrio bahwa suatu perikatan yang dilahirkan oleh suatu perjanjian, mempunyai dua
sudut: sudut kewajiban-kewajiban (obligations) yang dipikul oleh suatu pihak dan
sudut hak-hak atau manfaat, yang diperoleh oleh lain pihak, yaitu hak-hak menurut
dilaksanakannya sesuatu yang disanggupi dalam perjanjian itu. Jadi hak tanggungan
merupakan jaminan atas tanah untuk pelunasan utang tertentu, yang memberi
kedudukan diutamakan kepada kreditor tertentu terhadap kreditor-kreditor lainnya.
Kreditor sebagai pemegang hak tanggungan mempunyai hak mendahului daripada
kreditor-kreditor yang lain (“droit de preference”) untuk mengambil pelunasan dari
penjualan tersebut. Selain itu hak tanggungan akan tetap membebani obyek hak
tanggungan ditangan siapapun benda itu berada, ini berarti bahwa kreditor pemegang
hak tanggungan tetap berhak menjual lelang benda tersebut, biarpun sudah
dipindahkan haknya kepada pihak lain (“droit de suite”).
14 Undang-undang No 10 Tahun 1998 pasal 8 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan
Dalam hal terjadinya pengalihan barang jaminan kepada pihak lain tanpa seizing
pihak kreditor maka kreditor dapat mengajukan upaya hukum untuk membatalkan
seluruh tindakan deditor yang dianggap merugikan. Dengan demikian, dalam
perjanjian tanggungan, pihak kreditor tetap diberikan hak-hak yang dapat
menghindarkannya dari praktek-praktek “nakal” debitor atau kelalaian debitor.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa dalam perjanjian hak tanggungan,
seorang kreditor diberikan hak untuk mendapatkan pelunasan terlebih dahulu dari
pihak pemberi tanggungan selain itu, pihak kreditor dapat pula mengajukan hak
mendahuluinya, dalam hal terjadinya pengalihan barang jaminan oleh debitor tanpa
izin kreditor.
4. Fidusia
Semula bentuk jaminan ini tidaklah diatur dalam perundang-undangan melainkan
berkembang atas dasar yurisprudensi, di Indonesia baru diatur dalam undang-undang
pada tahun 1999 dengan lahirnya Undang-undang Nomor 42 tahun 1999 tentang
jaminan Fidusia.
Fidusia merupakan pengembangan dari lembaga Gadai, oleh karena itu yang
menjadi objek jaminannya yaitu barang bergerak baik yang berwujud maupun yang
tidak berwujud dan benda tidak bergerak khususnya bangunan yang tidak dapat
dibebani hak tanggungan. Berdasarkan ketentuan umum dalam Pasal 1 angka 1
Undang-undang Nomor 42 tahun 1999 tersebut, Fidusia adalah pengalihan hak
kepemilikan suatu benda atas dasar kepercayaan dengan ketentuan bahwa benda yang
hak kepemilikannya dialihkan tersebut tetap dalam penguasaan pemilik benda.
Jaminan kebendaan dapat berupa jaminan benda bergerak dan benda tidak bergerak.
Benda bergerak adalah kebendaan yang karena sifatnya dapat berpindah atau dipindahkan
atau karena undang-undang dianggap sebagai benda bergerak, seperti hak-hak yang
melekat pada benda bergerak. Benda bergerak dibedakan lagi atas benda berwujud atau
bertubuh. Pengikatan jaminan benda bergerak berwujud dengan gadai atau fiducia,
sedangkan pengikatan jaminan benda bergerak tidak berwujud dengan gadai, cessie, dan
account receivable.
Jaminan kebendaan diatur dalam Buku II KUH Perdata serta Undang-undang lainnya,
dengan bentuk, yiatu:
1) Gadai diatur dalam KUH Perdata Buku II Bab XX Pasal 1150-1161, yaitu suatu hak
yang diperoleh seorang kreditur atas suatu barang bergerak yang diserahkan oleh
debitur untuk mengambil pelunasan dan barang tersebut dengan mendahulukan
kreditur dari kreditur lain.
2) Hak tanggungan; UU No.4/1996, yaitu jaminan yang dibebankan hak atas tanah,
berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan suatu ketentuan dengan
tanah untuk pelunasan hutang tertentu, yang memberikan kedudukan yang
diutamakan pada kreditur terhadap kreditu lain.
3) Fiducia, UU No.42/1999, yaitu hak jaminan atas benda bergerak baik yang berwujud
maupun yang tidak berwujud dan benda tidak bergerak khususnya bangunan yang
tidak dibebani hak tanggungan sebagai agunan bagi pelunasan hutang tertentu yang
memberikan kedudukan utama terhadap kreditur lain.
Sedang jaminan perseorangan adalah jaminan yang menimbulkan hubungan lansung
pada perseorangan tertentu, hanya dapat dipertahankan terhadap debitur tertentu, terhadap
harta kekayaan debitur umumnya ( contoh: borgtocht).
Jaminan perorangan dan garansi, diatur dalam Buku III KUH Perdata, dalam bentuk:
1) Penanggungan hutang (Borgtoght) Pasal 1820 KUH Perdata, yaitu suatu perjanjian
dengan mana seorang pihak ketiga guna kepentingan si berhutang mengikatkan diri
untuk memenuhi perikatan si berhutang mana hak orang tersebut tidak