i HUBUNGAN STRUKTUR TARI, MUSIK IRINGAN, DAN FUNGSI TARI GALOMBANG YANG DIPERTUNJUKAN SANGGAR TIGO SAPILIN PADA UPACARA ADAT PERKAWINAN MASYARAKAT MINANGKABAU DI KOTA MEDAN SKRIPSI SARJANA O L E H RENY YULYATI BR. LUMBANTORUAN NIM: 090707016 UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS ILMU BUDAYA DEPARTEMEN ETNOMUSIKOLOGI MEDAN 2013
121
Embed
HUBUNGAN STRUKTUR TARI, MUSIK IRINGAN, DAN · PDF filedengan laki-laki atau antara perempuan ... yang disebabkan oleh kebiasaan membunuh bayi ... Upacara perkawinan hanyalah salah
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
i
HUBUNGAN STRUKTUR TARI, MUSIK IRINGAN, DAN FUNGSI TARI
GALOMBANG YANG DIPERTUNJUKAN SANGGAR TIGO SAPILIN
PADA UPACARA ADAT PERKAWINAN MASYARAKAT MINANGKABAU
DI KOTA MEDAN
SKRIPSI SARJANA
O
L
E
H
RENY YULYATI BR. LUMBANTORUAN NIM: 090707016
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
FAKULTAS ILMU BUDAYA
DEPARTEMEN ETNOMUSIKOLOGI
MEDAN
2013
ii
HUBUNGAN STRUKTUR TARI, MUSIK IRINGAN, DAN FUNGSI SOSIAL
TARI GALOMBANG YANG DIPERTUNJUKAN SANGGAR TIGO SAPILIN
PADA UPACARA ADAT PERKAWINAN MASYARAKAT MINANGKABAU
DI KOTA MEDAN
SKRIPSI SARJANA
Nama: RENY YULYATI BR. LUMBANTORUAN NIM : 090707016
Disetujui oleh
Pembimbing I, Pembimbing II,
Drs. Muhammad Takari, M.hum., Ph.D Arifni Netrirosa, SST., M.A.
NIP 196512211991031001 NIP 196502191994032002
Skripsi ini diajukan kepada panitia ujian Fakultas Ilmu Budaya USU Medan,
untuk memenuhi salah satu syarat Ujian Sarjana Seni dalam
bidang ilmu Etnomusikologi.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
FAKULTAS ILMU BUDAYA
DEPARTEMEN ETNOMUSIKOLOGI
MEDAN
2013
iii
PENGESAHAN
DITERIMA OLEH:
Panitia Ujian Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara untuk melengkapi
salah satu syarat Ujian Sarjana Seni dalam bidang disiplin Etnomusikologi pada
Fakultas Ilmu Budaya< Universitas Sumatera Utara, Medan
Pada Tanggal :
Hari :
Fakultas Ilmu Budaya USU,
Dekan,
Dr. Syahron Lubis, M.A.
NIP
Panitia Ujian: Tanda Tangan
1. Drs, Muhammad Takari, M.A., Ph.D ( )
2. Dra. Heristina Dewi, M.Pd. ( )
3. Arifninetrirosa, SST., M.A. ( )
4. Drs. Fadlin, M.A. ( )
5. Drs. Prikuten Taraigan, M.Si. ( )
iv
DISETUJUI OLEH
FAKULTAS ILMU BUDAYA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
DEPARTEMEN ETNOMUSIKOLOGI
KETUA,
Drs. Muhammad Takari, M.Hum., Ph.D.
NIP 196512211991031001
v
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Manusia adalah makhluk sosial, yang selalu berinteraksi dengan sesamanya.
Manusia sebagai makhluk individu memiliki berbagai kelebihan alamiah yang
dianugerahkan oleh Tuhan. Selain itu, manusia biasanya membentuk kelompok
sosial berdasarkan berbagai persamaan dan tujuan. Kelompok manusia bisa saja
berbentuk keluarga inti, keluarga luas, etnik, kelompok profesi, ras, bangsa, dan
seterusnya. Dalam konteks ini, manusia selalu ingin melanjutkan peradabannya dan
generasi keturunannya. Kesinambungan generasi ini penting agar manusia tidak
musnah di muka bumi. Oleh karena itu, manusia dianugerahi Tuhan untuk
meneruskan keturunan ini melalui hubungan perkawinan yang diatur oleh norma-
norma agama dan adat. Perkawinan dalam masyarakat tertentu tidak boleh
bertentangan dengan ajaran agama dan norma-norma adat.
Dalam kitab suci umat Islam (yang juga menjadi dasar adat Minangkabau), yaitu
Al-Qur’an, dijelaskan pula bahwa di antara kelompok manusia di dunia ini pernah
ada dan akhirnya dimusnahkan oleh Tuhan, karena berbagai sebab terutama
moralitas. Di antara kelompok umat manusia yang pernah ada dan kemudian
dimusnahkan Allah adalah suku Ad, Tsamud, Madyan, kaum Nabi Luth, kaum Nabi
Nuh, dan sebagainya. Kaum Nabi Luth misalnya, dimusnahkan Allah karena para
kaum laki-lakinya menyukai sesama lelaki. Kalaupun praktik begini dibiarkan, tentu
saja generasi manusia akan musnah, karena hubungan seksual di antara laki-laki
dengan laki-laki atau antara perempuan dengan perempuan sudah bisa dipastikan
tidak akan dapat menghasilkan generasi manusia baru. Yang benar adalah hubungan
2
antara laki-laki dan perempuan yang sehat jiwa dan raganya, disahkan agama,
berhubungan suami-isteri, atas berkat Tuhan akan menghasilkan generasi manusia.
Agar generasi yang baru ini menjadi pintar, sehat, saleh, dan menjadi rahmat kepada
orang lain dan lingkungan sekitar, maka diperlukan pendidikan, baik pendidikan
agama atau ilmu lainnya.
Seorang pakar antropologi Eropa, Gough (1959) melihat perkawinan, di
sepanjang masa dan semua tempat di dunia ini, sebagai satu kontrak menurut adat-
istiadat, yang bertujuan untuk menetapkan pengabsahan anak yang baru dilahirkan
sebagai anggota yang dapat diterima masyarakat. Dalam usaha menemukan definisi
yang universal, Goodenough memusatkan pemikirannya kepada hak atas seksualitas
wanita yang diperoleh berdasarkan kontrak sosial.
Perkawinan adalah satu transaksi yang menghasilkan satu kontrak, yaitu seorang (laki-laki atau perempuan, korporatif atau individual, secara pribadi atau melalui wakil, memiliki hak secara terus-menerus untuk menggauli seorang perempuan secara seksual – hak ini memiliki keutamaan atas hak menggauli secara seksual yang sedang dimiliki atau kemudian diperoleh oleh orang-orang lain terhadap perempuan tersebut, sampai hasil transaksi itu berakhir dan perempuan yang bersangkutan dianggap memenuhi syarat untuk melahirkan anak (Goodenough, 1970:12-13).
Dalam berbagai kebudayaan manusia di dunia ini, terjadi beberapa orientasi
dalam perkawinan. Ada masyarakat yang mendasarkan kepada perkawinan
monogami, adapula yang memperbolehkan poligami, namun ada pula yang
membolehkan perkawinan dalam bentuk penyimpangan sosial umum dan moralitas
yaitu perkawinan poliandri (satu perempuan kawin dengan lebih dari satu suami).
Dalam beberapa kelompok masyarakat, dua orang pria atau lebih bisa bersama-sama
menggauli wanita secara seksual, yang biasanya melibatkan sekelompok saudara
laki-laki (poliandri fraternal). Poliandri sering dihubungkan dengan
ketidakseimbangan penduduk, yang disebabkan oleh kebiasaan membunuh bayi
3
perempuan. Di Himalaya sebagai contoh, poliandri dilakukan kerana tujuannya
mengurangi jumlah keluarga yang terlalu besar, sementara lahan pertanian terbatas
luasnya. Dalam agama Yahudi, Kristen, dan Islam praktik demikian sangat dilarang.
Begitu juga hubungan incest yaitu antara kerabat kandung. Semua ini adalah aturan
Tuhan untuk makhluk manusia ciptaan-Nya agar manusia menjadi rahmat kepada
alam, bukan merusak alam, atau generasi keturunannya.
Setiap agama juga memiliki konsep yang berbeda-beda tentang perkawinan.
Agama Kristen (Protestan dan Katholik) secara umum hanya membenarkan seorang
laki-laki kawin dengan satu perempuan. Namun demikian, beberapa sekte agama
Kristen (misalnya Mormon di Amerika Serikat) membenarkan perkawinan poligami.
Dalam Islam, sesuai dengan panduan Al-Qur’an seorang pria Islam bisa kawin
dengan sebanyak-banyaknya empat perempuan, tetapi ada syaratnya yaitu adil. Allah
mengingatkan bahwa jika seorang lelaki muslim tidak dapat berlaku adil kepada
isteri-isterinya, maka kawinlah dengan satu perempuan saja. Dimensi pembelajaran
ayat ini adalah bahwa Allah menciptakan lebih banyak perempuan dibandingkan
laki-laki. Agar perempuan-perempuan mendapat suami, maka tentu saja secara
umum harus ada laki-laki yang beristeri lebih daripada satu untuk melakukan respon
terhadap kenyataan jenis kelamin ini yang penuh dengan rahasia Tuhan. Dalam
realitasnya, di negara-negara Islam mayoritas rakyatnya kawin secara monogami.
Upacara perkawinan hanyalah salah satu rangkaian dari sejumlah upacara
siklus hidup dan sesudah meninggalnya manusia. Siklus hidup manusia biasanya
dimulai dari sejak janin, lahir, akil baligh atau dewasa, khitan, perkawinan, memiliki
anak, memasuki keorganisasian, kematin, pasca kematian, dan seterusnya.
Secara sosiologis dan agama, fungsi utama perkawinan adalah untuk
melanjutkan generasi keturunan manusia sepanjang zaman, dan manjaga peradaban
4
manusia. Sedangkan guna perkawinan di antaranya adalah: memuaskan nafsu
biologis manusia, menerima dan memberi kasih sayang kepada pasangan hidup,
membina keluarga, menyatukan dua keluarga besar, dan sebagainya. Dalam hal ini,
agama memegang peran utama dalam upacara perkawinan. Pengabsahan perkawinan
selalu melibatkan para pemuka agama pada semua agama di dunia. Ritual
perkawinan melibatkan aspek adat dan agama sekali gus. Demikian juga yang terjadi
pada masyarakat Minangkabau.
Minangkabau merupakan salah satu suku (etnik) yang wilayah budayanya yang
lazim disebut dengan Ranah Minang. Minangkabau dikenal sebagai salah satu
bentuk kebudayaan di Pulau Sumatera. Masyarakat Minangkabau menerapkan sistem
matrilineal, dimana garis keturunannya berdasarkan garis keturunan ibu.
Masyarakat Minangkabau, di dalam melaksanakan tata cara adat perkawinan,
menunaikan dua norma penting. Pertama adalah perkawinan menurut adat, dan
kedua, menurut agama (syarak). Dalam tata cara perkawinan menurut adat, maka
akan diadakan penganugerahan kedudukan kepada mempelai perempuan. Hal ini
dilakukan semata-mata karena sistem kemasyarakatan Minangkabau menganut
sistem matrilineal (garis keturunan dari pihak ibu).1 Selanjutnya, perkawinan baru
1Matrilineal adalah suatu adat masyarakat yang mengatur alur keturunan berasal dari pihak ibu.
Kata ini seringkali disamakan dengan matriarkhat atau matriarkhi, walaupun pada dasarnya artinya berbeda. Matrilineal berasal dari dua kata, yaitu mater (bahasa Latin) yang berarti "ibu," dan linea (bahasa Latin) yang berarti "garis." Jadi matrilineal berarti mengikuti garis keturunan yang ditarik dari pihak ibu. Sementara itu, matriarkhat berasal dari dua kata yang lain, yaitu mater yang berarti ibu dan archein (bahasa Yunani) yang berarti memerintah. Jadi, matriarkhi berarti kekuasaan berada di tangan ibu atau pihak perempuan. Dalam konteks kebudayaan-kebudayaan etnik di seluruh dunia ini, penganut adat matrilineal adalah suku Indian di Apache Barat; suku Navajo, sebagian besar suku Pueblo, suku Crow, dan lain-lain. yang kesemuanya adalah penduduk asli Amerika Serikat. Kemudian ada pula suku Khasi di Meghalaya, India Timur Laut; suku Nakhi di Provinsi Sichuan dan Yunnan, Tiongkok; beberapa suku yang jumlahnya relatif kecil di kepulauan Asia Pasifik, suku Minangkabau di Sumatera Barat (yang menjadi topik kajian dalam skripsi ini), dan lain-lain. Dalam kajian antropologis, adat matrilineal berumur lebih tua dari adat patrilineal. Lawan dari matrilineal adalah patrilineal yaitu suatu adat masyarakat yang menyatakan alur keturunan berasal dari pihak ayah. Penganut adat patrilineal di Indonesia sebagai contohnya adalah suku Batak Toba, Mandailing-Angkola, Pakpak, Karo, suku Rejang, Gayo, dan lain-lainnya. Walaupun lebih belakangan datangnya, adat patrilineal lebih umum digunakan kelompok masyarakat dunia dibandingkan matrilineal yang lebih jarang penggunaannya (sumber: id.wikipedia.org/Wiki/Matrilineal). Selain itu ada pula adat
5
dianggap sah bila telah dilakukan upacara perkawinan sesuai agama. Sesudah
pelaksanaan kedua fase tersebut biasanya upacara perkawinan dilanjutkan dengan
upacara baralek, yaitu upacara perayaan terhadap perkawinan yang sudah
dilaksanakan.
Partisipan baralek melibatkan ninik mamak (paman), sanak saudara, termasuk
pemimpin nagari (wilayah adat Minangkabau) (A.A. Navis, 1986:197-198). Dalam
mengawali upacara baralek ini ditampilkan pertunjukan tari Galombang, yaitu suatu
tari yang mengekspresikan suasana sukacita pihak keluarga anak daro (pengantin
perempuan) akan kedatangan marapulai (pengantin laki-laki) dan keluarganya.2
Tari Galombang adalah salah satu jenis tarian masyarakat Minangkabau yang
sudah mereka praktikkan di dalam kegiatan kehidupan sehari-hari jauh sebelum masa
kemerdekaan bangsa Indonsesia. Dari tradisi lisan mereka ini dapat diketahui bahwa
bahwa tari Galombang berkembang dan terintegrasi menjadi bagian adat istiadat
Minangkabau yang mengakar di masyarakat tersebut. Bahkan hingga dewasa ini
penyajian tari Galombang masih bertahan dan sangat lazim disajikan pada saat pesta
perkawinan di kalangan anggota masyarakat Minangkabau, baik di kampung
halaman mereka di Sumatera Barat, maupun di kota Medan, yaitu salah satu kota
tujuan merantau3 masyarakat Minangkabau di Indonesia.
Tari Galombang, dalam konteks praktik adat istiadat ditampilkan untuk
menyambut kedatangan marapulai beserta keluarganya oleh anak daro. Pada
yang mendasarkan penarikan garis keturunan baik dari pihak ibu maupun ayah. Adat yang seperti ini disebut dengan bilateral.
2Baca skripsi Hery Gunawan “Analisis Musik Galombang Pada Upacara Adat Perkawinan Masyarakat Minangkabau di Kota Medan.” Medan: Departemen Etnomusikologi, Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara, tahun 2011.
3Merantau adalah salah satu budaya dan kebiasaan orang Minangkabau. Sebagai masyarakat yang matrilineal, di mana dalam situasi itu, pihak wanitalah yang memiliki kekuasaan terhadap harta benda dan lainnya. maka oleh karenanya para pria biasanya akan melalukan perantauan terutama ke luar wilayah budaya Minangkabau. Mereka ini pergi untuk satu tujuan meningkatkan kehidupan ekonomi, dan kemudian hasilnya dibawa ke kampung halaman. Oleh sebab itu, dalam konsep budaya Minangkabau pun ada tiga kawasan budayanya yaitu: (a) darek (darat); (b) pasisie (pesisir), dan (c) rantau.
6
penyambutan itu, marapulai akan dipayungi dengan payung kebesaran dengan
simbol kebesaran suatu upacara sebagai penghormatan. Sesuai adat, seseorang yang
ditunjuk oleh keluarga anak daro untuk memberikan suguhan daun sirih, pinang,
dan gambir, yang disajikan di dalam carano4 diberikan kepada marapulai sebagai
wakil dari rombongan setelah tari Galombang di sajikan dan marapulai di payungi
dengan payung kebesaran. Suguhan tersebut juga biasanya disuguhkan kepada
kedua orang tua dan keluarga marapulai. Suguhan yang disuguhkan wajib diterima,
sebagai tanda kerendahan hati dan keikhlasan yang tulus untuk menjalin
silahturahmi.
Dalam praktik tari Galombang, komposisi penari biasanya terdiri dari enam
atau lebih penari. Umumnya, semakin banyak penarinya semakin terlihat bagus,
karena memberikan lebih banyak kemungkinan untuk menyusun pola lantai tarian
tersebut. Namun demikian, bisa saja semua penari adalah perempuan saja, bisa juga
campuran dengan laki-laki, yaitu beberapa penari perempuan dan beberapa lagi
penari laki-laki. Dalam konteks penyajian saat upacara berlangsung, para penari
diposisikan di sepanjang jalan menuju tempat upacara, menghadap ke arah datangnya
marapulai dan para tamu.
Dari pengamatan di lapangan yang penulis lakukan,5 ada beberapa catatan
penting tentang penyajian tari Galombang. Pertama, penari perempuan selalu
sementara di bagian kepala penari diberi aksesoris sesuai kesepakatan bersama para
penari. Biasanya aksesoris yang dipilih adalah tengkuluk (hiasan kepala perempuan
yang berbentuk runcing dan bercabang), magek (hiasan kepala dari kain sejenis
4Wadah yang terbuat dari kuningan berbentuk bulat serta dipenuhi ukiran yang umumnya
terdapat ukiran itiak pulang patang (itik pulang petang), menjadi tempat untuk menaruh sirih, pinang, dan gambir yang digunakan dalam berbagai upacara adat.
5Pengamatan langsung ini penulis lakukan pada tanggal 5 Februari 2012, di Jalan Gurilla Gang Toke Umar, No. 18, Kelurahan Sei Kerah Hilir II, Kecamatan Medan Perjuangan, Kota Medan.
7
sarung yang dibentuk seperti bunga), ataupun sunting. Kedua, penari laki-laki selalu
mengenakan guntiang Cino (baju longgar), sarawa galembong (celana longgar), dan
deta (ikat kepala). Warna pakaian yang dikenakan bervariasi mulai dari warna
merah, hitam, kuning, dan biru. Catatan berikutnya adalah bahwa dalam menarikan
tari Galombang, gerakan tariannya diambil dari gerakan bungo silek, yaitu gerakan
variatif yang bersumber dari gerakan pencak silat Minangkabau yang pada dasarnya
bersifat cekatan dan tegas.
Pada dasarnya, konsep tari Galombang kurang lebih sama di seluruh satuan
sosial Minangkabau, yakni pola-pola gerakan yang diambil dari gerakan bungo silek.
Tiap kelompok penari di dalam anggota masyarakat Minangkabau menciptakan
berbeda-beda ragam gerakan dalam strukturnya. Hal ini disesuaikan dengan selera
masing-masing kelompok. Namun dalam pola gerakannya semua sama, berdasarkan
pola gerakan yang sudah tradisi adat dari dahulunya. Dalam penyajiannya, tari
Galombang ini memerlukan keahlian agar dapat bergerak, gerakan-gerakan kaki dan
tangan saling digerakkan yang begitu diperhatikan. Gerakan kaki dilakukan dengan
menggunakan langkah-langkah, dimana langkah-langkah ini berupa langkah maju,
langkah mundur, langkah sambil angkat salah satu kaki, dan langkah dengan
penyilangan kedua kaki (langkah simpie). Sedangkan gerakan tangan dilakukan
dengan gerakan-gerakan “kasar” yang identik dengan kekhasan
masyarakat Minangkabau, seperti gerakan menyembah sebagai penghormatan,
gerakan tepuk paha sebagai ketangkasan, gerakan tangan menyilang sebagai menolak
kejahatan, dan gerakan menepuk tangan ke depan sebagai tanda penyuguhan sirih.
Dimana semua makna yang terkandung di dalam gerakan-gerakan tersebut
mempunyai fungsi bagi masyarakat Minangkabau. Semua gerakan diatur dalam
gerak kaki maupun tangan demi keseragaman tarian terhadap antar penari. Setiap
8
peralihan atau perubahan gerakan yang ada sesuai dengan ketukan tempo musik
pengiringnya.
Keberadaan musik iringan dalam tari Galombang merupakan hal yang
berkaitan. Dalam hal ini, musik menjadi pembentuk suasana, dan juga untuk
memperjelas tekanan-tekanan gerakan begitu juga pergantian ragam dan pola-pola
gerakan yang dibuat. Jadi, jika musik tidak ada maka tarian tidak dapat terbentuk
keindahannya. Untuk mengiringi tari Galombang, masyarakat Minangkabau
menggunakan musik tradisional mereka yang lazim digunakan.
Dalam mengiringi tari Galombang ada 3 struktur musik iringan yang baku.
Pertama musik pembuka, yaitu menggunakan 2 alat musik, yakni tasa (gendang satu
sisi berbentuk mangkuk) dan gandang tambua (gendang berbentuk barel dua sisi).
Kedua alat musik ini saling bersahut-sahutan (litany). Struktur musik kedua adalah
musik Galombang, menggunakan 4 alat musik, yakni tasa sebagai peningkah atau
bisa dikatakan sebagai pengisi, gandang tambua sebagai pembawa ritem dasar untuk
tarian, talempong pacik (dipegang tangan pemainnya) sebagai pembawa melodi dan
ritem interloking, dan puput serunai sebagai pembawa melodi yang dikembangkan
(improvisasi). Ketiga musik penutup, yang juga menggunakan keempat alat musik
tadi yaitu tasa, gandang tambua, talempong pacik, dan serunai. Pada keempat alat
musik ini yang menjadi pembawa tempo yang paling penting dalam pembuka dan
penutup musik adalah tasa. Lagu yang dimaninkan bernama lagu Tigo Duo.
Guna dan fungsi tari Galombang ini dalam setiap upacara mengalami
pergeseran dari zaman dulu, yang dimana saat dulu tari ini penting digunakan dalam
upacara perkawinan masyarakat Minangkabau. Namun dalam penerapan di masa
sekarang adalah sebagai salah satu pelengkap atau bisa dikatakan penyemaraknya
upacara perkawinan. Sesuai tingkat ekonomi yang mempunyai acara perkawinan.
9
Hal ini dikarenakan sanggar-sanggar yang memfokuskan pelatihan pada tari
Minangkabau semakin banyak, dan saling bersaing. Jika tari ini tidak ditampilkan,
upacara akan tetap terlaksana. Namun terasa kurang lengkap jika kesenian tradisional
ini tidak ditampilkan. Dengan kata lain, dalam hal ini ada sisi menjaga imaji antar
anggota masyarakat mereka.
Di Kota Medan sendiri kelompok masyarakat Minangkabau ini hampir
menempati seluruh kawasan Kota Medan. Tercatat paling banyak terdapat di
antaranya di Medan Denai dan Sukaramai (Flora Hutagalung, 2009:5). Walaupun
jumlah penduduk masyarakat Minangkabau sebagai pendatang bukan yang terbanyak
di Kota Medan, tetapi kelompok masyarakat ini mampu menampilkan bahkan
memperkenalkan budaya tradisi mereka. Ini dapat dilihat dari banyaknya pagelaran
seni tari yang menampikan tari Minangkabau khususnya tari Galombang, seperti di
sanggar Tigo Sapilin Sumatera Utara, di Taman Budaya Sumatera Utara, sanggar
Sumara Anjuang dan sanggar-sanggar lainnya yang memberikan pelatihan tari
Minangkabau.
Di antara beberapa sanggar yang ada di Kota Medan yang penulis sebutkan
tadi, penulis memilih sanggar Tigo Sapilin untuk penulis fokuskan kajiannya dalam
skripsi ini. Sanggar Tigo Sapilin ini merupakan salah satu sanggar yang
memfokuskan pelatihan pada tari tradisi dan masih sering dipanggil untuk
mengadakan pertunjukan.
Tulisan ini dimaksudkan untuk mendiskusikan tentang pertunjukan tari
Galombang dalam upacara adat perkawinan di kalangan anggota masyarakat
Minangkabau yang ada di kota Medan. Pertunjukan yang dimaksud mencakup dua
aspek, yaitu tari dan musik.
10
Ada tiga aspek utama yang akan penulis diskusikan di dalam tulisan ini.
Pertama adalah bagaimana struktur tari Galombang tersebut. Dalam konteks struktur
tersebut, akan dideskripsikan ragam gerakan yang ada, demikian juga halnya dengan
pola-pola lantai yang digunakan, serta dalam pola-pola gerakan, hal spesifik apa
yang menyangkut nilai adat, nilai agama, atau nilai yang terkait budaya lokal yang
dilambangkan atau diekspresikan. Kedua, bagaimana struktur musik iringan pada tari
Galombang. Selanjutnya apakah fungsi tari Galombang dalam konteks upacara adat
perkawinan dimaksud? Jika dimaksud eksis, lantas bagaimanakan proses penyajian
tari Galombang tersebut sehingga dapat memenuhi fungsi dimaksud?
Keberadaan tari Galombang dalam upacara perkawinan adat Minangkabau di
Kota Medan seperti terurai dalam latar belakang ini, dapat didekati dengan
pendekatan multidisiplin ilmu. Yang pertama adalah untuk mengkaji struktur tarinya
digunakan pendekatan-pendekatan ilmu antropologi tari.
Yang dimaksud antropologi tari atau disebut juga etnologi tari dan
etnokoreologi adalah sebagai berikut.
Ethnochoreology (also dance ethnology, dance anthropology) is the study of dance through the application of a number of disciplines such as anthropology, musicology (ethnomusicology), ethnography, etc. The word, itself, is relatively recent and means, literally, “the study of folk dance”, as opposed to, say, the formalized entertainment of classical ballet. Thus, ethnochoreology reflects the relatively recent attempt to apply academic thought to why people dance and what it means. It is not just the study or cataloging of the thousands of external forms of dances—the dance moves, music, costumes, etc.— in various parts of the world, but the attempt to come to grips with dance as existing within the social events of a given community as well as within the cultural history of a community. Dance is not just a static representation of history, not just a repository of meaning, but a producer of meaning each time it is produced—not just a living mirror of a culture, but a shaping part of culture, a power within the culture. The power of dance rests in acts of performance by dancers and spectators alike, in the process of making sense of dance… and in linking dance experience to other sets of ideas and social experiences. Ethnologic dance is native to a particular ethnic group. They are performed by dancers associated with national and cultural groups. Religious rituals (ethnic dances) are designed as hymns
11
of praise to a god, or to bring in good fortune in peace or war (Blacking, 1984).
Dari kutipan di atas, dapat diartikan bahwa yang dimaksud etnokoreologi (juga
disebut dengan etnologi tari dan antropologi tari) adalah studi tari melalui penerapan
sejumlah disiplin ilmu seperti antropologi, musikologi (etnomusikologi), etnografi,
dan lain-lain. Istilah itu sendiri, adalah relatif baru, yang secara harfiah berarti studi
tentang tarian rakyat (sebagai lawan dari tari hiburan yang diformalkan dalam bentuk
balet klasik). Dengan demikian, etnokoreologi mencerminkan upaya yang relatif
baru dalam dunia akademis untuk mengkaji mengapa orang menari dan apa artinya.
Dalam konteks tersebut para ilmuwan etnokoreologi tidak hanya belajar ribuan tarian
yang mencakup gerak, musik iringan, kostum, dan hal-hal sejenis, di berbagai
belahan dunia ini, tetapi juga meneliti tarian dalam kegiatan sosial dari suatu
masyarakat, serta sejarah budaya tari dari suatu komunitas. Tari bukan hanya
representasi statis sejarah, bukan hanya repositori makna, namun menghasilkan
makna setiap kali tari itu dihasilkan. Tari bukan hanya cermin hidup suatu budaya,
tetapi merupakan bagian yang membentuk budaya, sebagai kekuatan dalam budaya.
Kekuatan tari terletak pada tindakan penampilan penari dan penonton, dalam proses
pembentukan rasa dalam tari, dan menghubungkan pengalaman gagasan tari dan
wujud sosialnya. Tari juga berkait dengan kelompok etnik tertentu. Tarian ini
dilakukan oleh penari yang berhubungan dengan kelompok bangsa dan budayanya.
Tarian etnik dirancang sebagai himne pujian untuk Tuhan, atau untuk membawa
keberuntungan dalam damai atau perang.
Yang kedua untuk mengkaji struktur musik iringan penulis menggunakan
disiplin etnomusikologi. Seperti yang penulis ketahui dari pakar etnomusikologi
yaitu Merriam yang dimaksud etnomusikologi adalah sebagai berikut.
12
Ethnomusicology carries within itself the seeds of its own division, for it has always been compounded of two distinct parts, the musicological and the ethnological, and perhaps its major problem is the blending of the two in a unique fashion which emphasizes neither but takes into account both. This dual nature of the field is marked by its literature, for where one scholar writes technically upon the structure of music sound as a system in itself, another chooses to treat music as a functioning part of human culture and as an integral part of a wider whole. At approximately the same time, other scholars, influenced in considerable part by American anthropology, which tended to assume an aura of intense reaction against the evolutionary and diffusionist schools, began to study music in its ethnologic context. Here the emphasis was placed not so much upon the structural components of music sound as upon the part music plays in culture and its functions in the wider social and cultural organization of man. It has been tentatively suggested by Nettl (1956:26-39) that it is possible to characterize German and American "schools" of ethnomusicology, but the designations do not seem quite apt. The distinction to be made is not so much one of geography as it is one of theory, method, approach, and emphasis, for many provocative studies were made by early German scholars in problems not at all concerned with music structure, while many American studies heve been devoted to technical analysis of music sound (Merriam 1964:3-4).6
Menurut pendapat Merriam seperti kutipan di atas, para ahli etnomusikologi
membawa dirinya sendiri kepada benih-benih pembagian ilmu, untuk itu selalu
dilakukan percampuran dua bagian keilmuan yang terpisah, yaitu musikologi dan
masalah besar dalam rangka mencampur kedua disiplin itu dengan cara yang unik,
dengan penekanan pada salah satu bidangnya, tetapi tetap mengandung kedua
disiplin tersebut.
Sifat dualisme lapangan studi etnomusikologi ini, dapat ditandai dari bahan-
bahan bacaan yang dihasilkannya. Katakanlah seorang sarjana etnomusikologi
menulis secara teknis tentang struktur suara musik sebagai suatu sistem tersendiri.
Di lain sisi, sedangkan sarjana lain memilih untuk memperlakukan musik
6Sebuah buku yang terus populer di kalangan etnomusikologi dunia sampai sekarang ini, dalam
realitasnya menjadi “bacaan wajib ” bagi para pelajar dan mahasiswa etnomusikologi seluruh dunia, dengan pendekatan kebudayan, fungsionalisme, strukturalisme, sosiologis, dan lain-lainnya. Buku yang diterbitkan tahun 1964 oleh North Western University di Chicago Amerika Serikat ini, menjadi semacam “karya utama” di antara karya-karya yang bersifat etnomusikologis.
13
sebagai suatu bagian dari fungsi kebudayaan manusia, dan sebagai bagian yang
integral dari keseluruhan kebudayaan. Di dalam masa yang sama, beberapa
sarjana dipengaruhi secara luas oleh para pakar antropologi Amerika, yang
cenderung untuk mengasumsikan kembali suatu reaksi terhadap aliran-aliran
yang mengajarkan teori-teori evolusioner difusi, dimulai dengan melakukan
studi musik dalam konteks etnologisnya. Di dalam kerja yang seperti ini,
penekanan etnologis yang dilakukan para sarjana ini lebih luas dibanding dengan
kajian struktur komponen suara musik sebagai suatu bagian dari permainan musik
dalam kebudayaan, dan fungsi-fungsinya dalam organisasi sosial dan kebudayaan
manusia yang lebih luas.
Hal tersebut telah disarankan secara tentatif oleh Bruno Nettl yaitu terdapat
kemungkinan karakteristik "aliran-aliran" etnomusikologi di Jerman dan
Amerika, yang sebenarnya tidak persis sama. Mereka melakukan studi
etnomusikologi ini, tidak begitu berbeda, baik dalam geografi, teori, metode,
pendekatan, atau penekanannya. Beberapa studi provokatif awalnya dilakukan
oleh para sarjana Jerman. Mereka memecahkan masalah-masalah yang bukan
hanya pada semua hal yang berkaitan dengan struktur musik saja. Para sarjana
Amerika telah mempersembahkan teknik analisis suara musik.
Dari kutipan di atas tergambar dengan jelas bahwa etnomusikologi dibentuk
dari dua disiplin ilmu dasar yaitu antropologi dan musikologi. Walaupun
terdapat variasi penekanan bidang yang berbeda dari masing-masing ahlinya.
Namun terdapat persamaan bahwa mereka sama-sama berangkat dari musik
dalam konteks kebudayaannya.
Khusus mengenai beberapa definisi tentang etnomusikologi telah dikemukakan
dan dianalisis oleh para pakar etnomusikologi. Pada tulisan edisi berbahasa
14
Indonesia, Rizaldi Siagian dari Universitas Sumatera Utara (USU) Medan, dan
Santosa dari Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) Surakarta, telah
mengalihbahasakan berbagai definisi etnomusikologi, yang terangkum dalam buku
yang bertajuk Etnomusikologi, tahun 1995, yang diedit oleh Rahayu Supanggah,
terbitan Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia, yang berkantor pusat di Surakarta.
Dalam buku ini, Alan P. Merriam mengemukakan 42 definisi etnomusikologi dari
beberapa pakar, menurut kronologi sejarah dimulai oleh Guido Adler 1885 sampai
Elizabeth Hesler tahun 1976.7
Sedangkan untuk mengkaji fungsi tari Galombang dalam kelompok etnik
Minangkabau, pada masyarakat Medan yang bersifat urban (perkotaan) dan
heteroden digunakan pendekatan fungsionalisme dalam ilmu-ilmu sosial dan
humaniora, baik itu dari antropologi maupun antropologi tari.
Berdasarkan fakta lapangan dan latar belakang keilmuan, penulis memilih
judul untuk penelitian ini, sebagai berikut: “Hubungan Struktur Tari, Musik Iringan,
dan Fungsi Sosial Tari Galombang yang Dipertunjukan Sanggar Tigo Sapilin pada
Upacara Adat Perkawinan Masyarakat Minangkabau di Kota Medan.”
7Buku ini diedit oleh R. Supanggah, diterbitkan tahun 1995, dengan tajuk Etnomusikologi.
Diterbitkan di Surakarta oleh Yayasan bentang Budaya, Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia. Buku ini merupakan kumpulan enam tulisan oleh empat pakar etnomusikologi (Barat) seperti: Barbara Krader, George List, Alan P. Merriam, dan K.A. Gourlay; yang dialihbahasakan oleh Santosa dan Rizaldi Siagian. Dalam buku ini Alan P. Merriam menulis tiga artikel, yaitu: (a) “Beberapa Definisi tentang ‘Musikologi Komparatif’ dan ‘Etnomusikologi’: Sebuah Pandangan Historis-Teoretis,” (b) “Meninjau Kembali Disiplin Etnomusikologi,” (c) “Metode dan Teknik Penelitian dalam Etnomusikologi.” Sementara Barbara Krader menulis artikel yang bertajuk “Etnomusikologi.” Selanjutnya George List menulis artikel “Etnomusikologi: Definisi dalam Disiplinnya.” Pada akhir tulisan ini K.A. Gourlay menulis artikel yang berjudul “Perumusan Kembali Peran Etnomusikolog di dalam Penelitian.” Buku ini barulah sebagai alihbahasa terhadap tulisan-tulisan etnomusikolog (Barat). Ke depan, dalam konteks Indonesia diperlukan buku-buku panduan tentang etnomusikologi terutama yang ditulis oleh anak negeri, untuk kepentingan perkembangan disiplin ini. Dalam ilmu antropologi telah dilakukan penulisan buku seperti Pengantar Ilmu Antropologi yang ditulis antropolog Koentjaraningrat, diikuti oleh berbagai buku antropologi lainnya oleh para pakar generasi berikut seperti James Dananjaya, Topi Omas Ihromi, Parsudi Suparlan, Budi Santoso, dan lain-lainnya.
15
1.2 Pokok Permasalahan
Agar pembahasan lebih terarah maka ditentukan pokok permasalahan. Dalam
skripsi nantinya, masalah yang akan dibahas meliputi tiga hal sebagai berikut.
(1) Bagaimana struktur tari Galombang disajikan dalam upacara adat
perkawinan masyarakat Minangkabau di Kota Medan? Pokok permasalahan ini akan
dijawab dengan uraian mengenai ragam gerak, pola lantai, motif gerak, frase gerak,
bentuk tari, hitungan tari, busana tari, properti tari, dan hal-hal sejenis yang berkait
dengan keberadaan tari sebagi produk manusia Minangkabau dalam konteks adatnya.
(2) Bagaimana struktur musik iringan tari Galombang yang disajikan dalam
upacara adat perkawinan masyarakat Minangkabau di Kota Medan? Pokok masalah
ini akan dijawab dengan uraian mengenai struktur melodi dan ritem yang dihasilkan
alat pembawa melodi dan ritem dalam konteks mengiringi tari Galombang ini.
Melodi dibawa oleh alat musik serunai. Sementara ritem dibawa secara interloking
oleh talempong pacik, yang diiringi pola-pola ritem gandang tambua dan tasa. Untuk
melodi akan dikaji mengenai aspek: tangga nada, wilayah nada, nada dasar, interval,
formula, jumlah nada yang digunakan, kadensa, dan kontur. Untuk ritem akan
dikaji: meter, tempo, aksentuasi, interloking, motif ritem, pola ritem, durasi, dan hal-
hal sejenis.
(3) Bagaimana fungsi tari Galombang dimaksud dalam konteks upacara adat
perkawinan masyarakat Minangkabau di Kota Medan? Pokok masalah ini kan diurai
menggunakan pendekatan fungsional dalam ilmu tari (antropologi tari) dengan
melihatnya berdasarkan fakta dan data lapangan. Uraian ini akan meperhatikan
bagaimana secara budaya dan sosial masyarakat Minangkabau di Kota Medan
meletakkan fungsi tari Galombang dalam kebudayaannya.
16
Setelah mengkaji ketiga pokok masalah tersebut, maka langkah berikutnya
adalah menganalisis hubungan antara struktur tari, struktur musik, dan fungsi tari
dalam masyarakat. Kajian ini akan melibatkan hubungan seperti apa yang terjadi di
dalam tari dan musik. Paling tidak dalam dimensi waktu, siklus-siklus, motif, frase,
dan bentuk keduanya, yang seperti apa yang menghubungkan musik dan tari. Setelah
itu keduanya dihubungkan dengan sejauh apa fungsi tari (dan musik iringan) pada
pertunjukan tari Galombang, dalam adat perkawinan masyarakat Minangkabau di
Kota Medan.
1.3 Tujuan dan Manfaat
1.3.1 Tujuan
Adapun yang menjadi tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut.
(1) Untuk mengetahui dan memahami bagaimana struktur tari Galombang
disajikan dalam perkawinan masyarakat Minangkabau di Kota Medan.
(2) Untuk mengetahui dan memahami bagaimana struktur musik irigan tari
Galombang yang disajikan dalam upacara perkawinan adat masyarakat
Minangkabau di Kota Medan.
(3) Untuk mengetahui dan memahami fungsi sosial yang terdapat dalam
penyajian tari Galombang pada perkawinan masyarakat Minangkabau di
Kota Medan.
1.3.1 Manfaat
Manfaat yang diambil dari penelitian yang diwujudkan dalam skripsi ini adalah
(1) Menambah referensi tentang kesenian (khususnya tari Galombang).
17
(2) Sebagai bahan masukan bagi pembaca khususnya mahasiswa yang
bergelut dalam seni tari dan musik, agar dapat mengetahui penyajian tari
Galombang dan musik dalam konteks acara perkawinan masyarakat
Minangkabau.
(3) Menambah pengetahuan bagi penulis dan peneliti-peneliti lain, baik
mencakup teori maupun uraian tentang bentuk penyajian tari Galombang.
(4) Mengembangkan kajian-kajian ilmiah di bidang musik dan tari, yang
dampaknya turut mengembangkan aspek keilmuan dalam disiplin-disiplin
ilmu seni.
(5) Memberikan pengetahuan secara empiris kepada para pembaca, bagaimana
seni budaya (musik dan tari) berkembang menyebar ke kawasan lain
tempat suatu etnik merantau.
1.4 Konsep dan Teori
1.4.1 Konsep
Dalam penelitian dan penulisan ini yang dimaksud dengan kata struktur, yaitu
struktur adalah bagaimana bagian-bagian dari sesuatu berhubungan satu dengan yang
lain atau bagaimana sesuatu tersebut disatukan. Dalam hal ini, struktur yang penulis
maksud dalam tulisan ini adalah bagian-bagian yang melengkapi tari Galombang
dalam pertunjukannya, dan tahapan-tahapan dari pola-pola gerakan, dengan kata lain
yang berarti ragam-ragam yang ada dalam tarian Galombang. Identifikasi suatu
struktur tergantung pada asumsi kriteria bagi pengenalan bagian-bagiannya dan
hubungan mereka. Dalam tulisan ini penulis menyatakan pola berarti gerakan-
gerakan yang terkandung dalam tiap-tiap ragam yang terbentuk.
18
Jadi dalam hal ini struktur dan pola sangat berhubungan, yakni bagaimana
bagian-bagian dari gerakan tari saling berhubungan sehingga disatukan dan adanya
bentuk atau model (suatu set peraturan) yang bisa dipakai untuk membuat atau untuk
menghasilkan suatu tari. Khususnya jika tari yang ditimbulkan cukup mempunyai
suatu tari yang sejenis untuk pola dasar yang dapat ditunjukkan atau terlihat, yang
mana gerakan tarian itu dikatakan memamerkan pola.
Tari adalah segala gerak yang berirama atau sebagai segala gerak yang
dimaksudkan untuk menyatakan keindahan ataupun kedua-duanya (Tengku Luckman
Sinar, 1996:5). Dalam tulisan ini yang penulis maksud dengan tari Galombang
adalah salah satu tari tradisional Minangkabau yang digunakan pada upacara adat
perkawinan. Tarian Galombang ini memakai 6 orang atau lebih penari, yang
gerakannya diambil dari gerakan-gerakan bungo silek. Dengan iringan musik dari
alat musik tradisional Minangkabau yang terdiri dari tasa, gandang tambua,
talempong pacik, dan puput serunai, dengan menggunakan lagu Tigo Duo sehingga
menampilkan suatu keindahan untuk dipersembahkan bagi kedatangan marapulai ke
rumah anak daro.
Istilah fungsi sosial yang penulis maksud dalam tulisan ini adalah bagaimana
fungsi tari Galombang ini bagi masyarakat Minangkabau. Dimana saya akan melihat
dan bertanya apakah fungsi adalah sesuatu yang akan dibagi atau diakibatkan,
dengan kata lain dampak dari sesuatu hal yang khas.
Perkawinan dalam tulisan ini merupakan perkawinan yang ada pada
masyarakat manapun. Biasanya melibatkan aspek agama atau religi yang disahkan
secara adat maupun agama. Pada umumnya acara perkawinan biasa disertai dengan
pertunjukan kesenian tari, musik, teater, atau pun sastra.
19
Istilah masyarakat dalam penulisan judul memiliki arti seperti yang
dikemukakan oleh Soerjono Soekanto (1993:106-107), yaitu sebagai asosiasi
manusia yang ingin mencapai tujuan-tujuan tertentu yang terbatas sifatnya, sehingga
direncanakan pembentukan organisasi-organisasi tertentu. Selain itu Soerjono
Soekanto menambahkan bahwa istilah masyarakat sangat erat kaitannya dengan
nilai-nilai, norma-norma, tradisi, kepentingan-kepentingan, dan lain sebagainya.
Oleh karena itu, maka pengertian masyarakat tidak mungkin dipisahkan dari
kebudayaan dan kepribadian.
Masyarakat Minangkabau yang penulis maksud di sini, adalah masyarakat
yang telah lama ada di Kota Medan, serta masyarakat Minangkabau yang telah
melakukan perpindahan dari daerah asalnya dan menetap ke Kota Medan dengan
membawa kebiasaan mereka, adat istiadat, tingkah laku, budaya, serta tradisi mereka.
Dimana perpindahan tersebut dapat terjadi karena berbagai faktor, seperti halnya
faktor ekonomi, pendidikan, dan lainnya. Seperti yang juga dikemukakan oleh
Koentjaraningrat (1986:160), bahwa masyarakat merupakan kesatuan hidup yang
berinteraksi menurut sistem adat tertentu yang bersifat kontiniu dan terikat oleh rasa
identitas bersama.
1.4.2 Teori
Dalam menulis skripsi ini, penulis berpegang pada beberapa teori yang
berhubungan dengan permasalahan yang akan dibahas dan dianggap relevan. Teori
yang dimaksud sesuai dengan pendapat Koentjaraningrat (1977:30), yaitu bahwa
pengetahuan yang diperoleh dari buku-buku, dokumen-dokumen serta pengalaman
kita sendiri merupakan landasan dari pemikiran untuk memperoleh pengertian
20
tentang suatu teori-teori yang bersangkutan. Dengan demikian teori adalah pendapat
yang dijadikan acuan dalam membahas tulisan ini.
Dalam meneliti gerak tari tersebut, penulis akan mendiskripsikan bagaimana
struktur dan pola gerakan-gerakan yang terdapat dalam tari Galombang yang
nantinya juga penulis akan menggunakan lambang-lambang umum dan sederhana
yang penulis buat sendiri yang dapat mewakili pola gerak tari Galombang.
Penyusunan gerak dalam seni tari, gerak dari masing-masing penari maupun
dari kelompok penari bersama, ditambah dengan penyesuaiannya dengan ruang,
sinar, warna, dan seni sastranya, kesemuanya merupakan suatu pengorganisasian seni
tari yang disebut koreografi (Djelantik, 1990:23). Dalam hal ini yang dimaksud
koreografi adalah gerakan-gerakan yang dilakukan para penari pada upacara
perkawinan masyarakat Minangkabau. Memiliki ciri-ciri khas tertentu dari bentuk
tarian etnik lain yang dapat dilihat dan dinikmati oleh pelakunya dan penontonnya.
Gerakan-gerakannya terpola didalam aturan-aturan adat dan nilai keindahan setempat
yang dilakukan secara simbolis serta memiliki makna-makna tersendiri.
Musik dan tarian merupakan fenomena yang berbeda, tetapi dapat bergabung
apabila terdapat aspek yang sama mengkoordinasikannya. Menurut Pringgobroto,
musik adalah rangkaian ritmis nada, sedangkan tarian adalah rangkaian ritmis dan
pola gerak tubuh (dalam Wimbrayardi, 1988:13-14). Musik merupakan fenomena
audio (bunyi) yang tidak terlihat, dan tari merupakan fenomena audio (bunyi) yang
tidak terdengar. Baik musik dan tari bergerak di dalam ruang dan waktu (Sachs
1993:1-4 dan Blacking 1985:64-74) serta dapat dirasakan melalui getaran yang
dihasilkannya. Aspek dasar yang menghubungkan keduanya adalah waktu, yaitu
gerak ritmis (musik dan tari) dan tempo.
21
Untuk mengkaji struktur musik iringan tari Galombang ini, penulis
menggunakan teori bobot tangga nada (weighted scale) yang ditawarkan oleh Malm
(1977). Unsur yang dikaji adalah mencakup struktur melodi talempong pacik yang
disajikan dengan teknik interloking. Begitu juga dengan melodi puput serunai yang
akan dianalisis melalui 8 struktur melodinya yaitu: (1) tangga nada, (2) wilayah nada,
(3) nada dasar, (4) interval, (5) jumlah nada-nada yang digunakan, (6) formula
melodi, (7) pola-pola kadensa, dan (8) kontur (garis melodi).
Untuk mengkaji fungsi tari Galombang di dalam kebudayaan masyarakat
Minangkabau digunakan teori fungsionalisme baik dalam ilmu antropologi maupun
dalam etnologi tari, yang ditawarkan oleh beberapa pakar. Mereka menggagas teori
fungsi itu sebagai berikut.
Radcliffe-Brown mengemukakan bahawa fungsi sangat berkait erat dengan
struktur sosial masyarakat. Bahwa struktur sosial itu hidup terus, sedangkan
individu-individu dapat berganti setiap saat. Dengan demikian, Radcliffe-Brown
yang melihat fungsi ini dari sudut sumbangannya dalam suatu masyarakat,
mengemukakan bahawa fungsi adalah sumbangan satu bagian aktivitas kepada
keseluruhan aktivitas di dalam sistem sosial masyarakatnya. Tujuan fungsi adalah
untuk mencapai tingkat harmoni atau konsistensi internal, seperti yang diuraikannya
berikut ini.
By the definition here offered ‘function’ is the contribution which a partial activity makes of the total activity of which it is a part. The function of a perticular social usage is the contribution of it makes to the total social life as the functioning of the total social system. Such a view implies that a social system ... has a certain kind of unity, which we may speak of as a functional unity. We may define it as a condition in which all parts of the social system work together with a sufficient degree of harmony or internal consistency, i.e., without producing persistent conflicts can neither be resolved not regulated (1952:181).
22
Dalam kaitannya dengan tari Galombang pada upacara perkawinan adat
Minangkabau dalam kebudayaan Minangkabau di Kota Medan, maka tari ini adalah
salah satu aktivitas dari sekian banyak aktivitas etnik Minangkabau, yang tujuannya
adalah untuk mencapai harmoni atau konsistensi internal. Tari Galombang dan musik
iringannya adalah bahagian dari sistem sosial yang bekerja untuk mendukung
tegaknya budaya Minangkabau.
Curt Sachs (1963:5) seorang ahli musik dan tari dari Belanda mengemukakan
dalam bukunya yang berjudul World History of the Dance mengutarakan bahwa
fungsi tari secara mendasar ada dua, yaitu (1) Tari berfungsi untuk tujuan magis, dan
(2) Tari berfungsi sebagai media hiburan atau tontonan. Pakar lainnya Gertrude
Prokosch Kurath yang mengemukakan adanya 14 fungsi tari dalam masyarakat, yaitu
(1) sebagai media inisiasi (upacara pendewasaan), (2) sebagai media percintaan, (3)
sebagai media persahabatan atau kontak sesial, (4) sarana untuk perkawinan atau
pernikahan, (5) sebagai pekerjaan atau matapencaharian, (6) sebagai media untuk
sarana kesuburan atas pcrtanian, (7) sebagai sarana untuk perbintangan, (8) sebagai
sarana untuk ritual perburuan, (9) sebagai imitasi satwa, (10) sebagai imitasi
peperangaa, (11) sebagai sarana pengobatan, (12) sebagai ritual kematian, (13)
sebagai bentuk media untuk pemanggilan roh, dan (14) sebagai komedian (lawak).
Dari empat belas fungsi yang dikemukakan oleh Sachs seperti tersebut di atas,
maka salah satu fungsi tari Galombang yang paling utama adalah fungsinya sebagai
sarana untuk perkawinan atau pernikahan. Dalam hal ini pernikahan dalam adat
Minangkabau secara umum disebut maralek.
Anthony V. Shay dalam disertasinya yang berjudul: The Function of Dance in
Human Society, membagi tari dalam 6 fungsi, yaitu (1) sebagai refleksi dari
organisasi sosial, (2) sebagai sarana ekspresi sekuler serta ritual keagamaan, (3)
23
sebagai aktivitas rekreasi atau hiburan, (4) sebagai ungkapan serta pembebasan
psikologis, (5) sebagai refleksi nilai-nilai estetik atau murni sebagai aktivitas estetis,
dan (6) sebagai refleksi dari kegiatan ekonomi.
Kalau ditinjau dari teori fungsi tari yang dikemukakan Shay ini, maka tari
Galombang dalam kebudayaan Minangkabau adalah sebagai refleksi organisasi
sosial Minangkabau. Juga berfungsi sebagai ekspresi ritual keagamaan, hiburan,
estetik, dan juga ekonomi.
Sementara pakar tari lndonesia yaitu Narawati dan R.M. Soedarsono
membedakan fungsi tari menjadi dua, yaitu (1) kategori fungsi tari yang besifat
primer, yang dibedakan menjadi tiga, yaitu: (a) fungsi tari sebagai sarana ritual, (b)
fungsi tari sebagai ungkapan pribadi, dan (c) fungsi tari sebagai presentasi estetik,
dan (2) kategori fungsi tari yang bersifat sekunder, yaitu lebih mengarah pada aspek
komersial atau sebagai lapangan mata pencaharian (Narawati dan Soedarsoso, 2005:
15-16).
Berdasarkan teori fungsi tari dari Narawati dan Soedarsono ini, maka fungsi
tari galombang, mencakup baik itu fungsi primer dan juga fungsi sekunder. Di dalam
kegiatan tari ini terdapat fungsi ritual, ungkapan pribadi, estetik, dan mata
pencaharian.
1.5 Metode Penelitian
Metode penelitian adalah cara kerja untuk dapat memahami objek yang
menjadi sasaran ilmu yang bersangkutan. Untuk meneliti tari Galombang pada
upacara perkawinan masyarakat Minangkabau di Kota Medan ini, penulis
menggunakan metode penelitian kualitatif, sesuai dengan apa yang dikemukakan
oleh Kirk Miller dalam Moleong (1990:3) yang mengatakan: “Penelitian kualitatif
24
adalah tradisi tertentu dalam ilmu pengetahuan sosial yang secara fundamental
bergantung pada pengamatan manusia dalam kawasannya sendiri dan berhubungan
dengan orang-orang dalam bahasa dan peristilahannya.”
Penelitian kualitatif dapat dibagi dalam empat tahap yaitu: tahap sebelum ke
lapangan, pekerjaan lapangan, analisis data dan penulisan laporan. Pada tahap pra
lapangan penulis mempersiapkan segala macam kebutuhan yang diperlukan sebelum
turun ke dalam penelitian itu sendiri. Dalam bagian ini disusun rancangan penelitian
ini, menjajaki atau menilai keadaan lapangan, memilih informan, perlengkapan
penelitian, dan etika penelitian.
Selanjutnya pada tahap pekerjaan di lapangan seorang peneliti untuk
mengumpulkan data semaksimal mungkin. Dalam hal ini, penulis menggunakan alat
bantu yaitu Handycam merk Sony, kamera digital merk Casio, dan catatan lapangan.
Pengamatan langsung (menyaksikan) upacara perkawinan masyarakat Minangkabau
di Kota Medan.
Sedangkan wawancara tidak berstruktur adalah wawancara yang dalam
pelaksanaan tanya jawabnya berlangsung seperti percakapan sehari-hari. Informan
biasanya terdiri dari mereka yang terpilih saja karena sifat-sifatnya yang khas.
Biasanya mereka telah mengetahui informasi yang dibutuhkan, dan wawancara
biasanya berlangsung lama.
Dalam tahap menganalisis data penulis mengorganisasikan data yang telah
terkumpul dari catatan lapangan, foto, studi kepustakaan, rekaman, dan sebagainya
ke dalam suatu pola atau kategori. Dan sebagai hasil akhir dari menganalisis data
adalah membuat laporan yang dalam hal ini adalah penulisan skripsi.
25
1.5.1 Studi Kepustakaan
Dalam tahapan ini penulis mencari, mempelajari, dan menggunakan literatur-
literatur yang berhubungan dan dapat membantu pemecahan permasalahan. Dari
hasil studi kepustakaan yang dilakukan penelitian tari Galombang dalam upacara
perkawinan masyarakat Minangkabau masih sulit didapat.
Tujuan dari studi kepustakaan ini adalah untuk mendapatkan konsep-konsep,
teori, serta informasi yang dapat digunakan sebagai acuan dalam pembahasan atau
penelitian, dan menambah wawasan penulis tentang kebudayaan masyarakat
Minangkabau yang diteliti yang berhubungan dengan kepentingan pembahasan atau
penelitian.
1.5.2 Penelitian Lapangan
Sebagai acuan dalam mengumpulkan data di lapangan, penulis berpedoman
kepada tulisan Harsja W. Bachtiar dan Koentjaraningrat dalam buku Metode-metode
penelitian masyarakat. Dalam buku ini tersebut dikatakan, bahwa pengumpulan data
dilakukan melalui kerja lapangan (field work) dengan menggunakan:
(1) Observasi (pengamatan), dalam hal ini penulis mengadakan pengamatan
langsung, hal ini sesuai dengan pendapat Harja W. Bachtiar (1990:114-115), bahwa
seorang peneliti harus melihat langsung akan kegiatan-kegiatan dari sasaran
penelitiannya dalam mendapatkan data-data di lapangan, maka pengamat
menghadapi persoalan bagaimana cara ia dapat mengumpulkan keterangan yang
diperlukan tanpa harus bersembunyi, tetapi juga tidak mengakibatkan perubahan oleh
kehadirannya pada kegiatan-kegiatan yang diamatinya.
Mengacu pada teori di atas penulis mengumpulkan keterangan yang diperlukan
dengan cara mengamati sasaran penelitian, misalnya tentang jalannya tari
26
Galombang pada upacara, sarana yang dipergunakan, pelaku, dan masalah-masalah
lain yang relevan dengan pokok permasalahan, dan dalam pengamatan, penulis juga
melakukan pencatatan data-data di lapangan sebagai laporan hasil pengamatan
penulis. Dalam hal ini penulis terlebih dahulu mendapat ijin dari pihak panitia
upacara.
(2) Wawancara, dalam suatu penelitian yang bertujuan mengumpulkan
keterangan tentang kehidupan manusia dalam suatu masyarakat serta pendirian-
pendirian mereka itu, merupakan suatu pembantu utama dari metode observasi.
Wawancara ini bertujuan untuk mengumpulkan data dan informasi secara lisan
dari para informan. Untuk ini penulis mengacu pada pendapat Koentjaraningrat
(1990:129-155) yang membagi tiga kegiatan wawancara yaitu : persiapan
wawancara, teknik wawancara, dan pencatatan data wawancara. Sedangkan
wawancara terdiri dari wawancara terfokus, wawancara bebas, dan wawancara
sambil lalu.
Dalam wawancara terfokus, pertanyaan tidak mempunyai struktur tertentu
tetapi selalu terpusat kepada pokok permasalahan lain. Wawancara sambil lalu,
sifatnya hanya untuk menambah data yang lain. Dalam mengumpulkan data, penulis
menggunakan ketiga wawancara ini serta terlebih dahulu membuat daftar pertanyaan
dan mencatat secara langsung data-data yang diperlukan.
(3) Perekaman, dalam hal ini penulis melakukan perekaman dengan 2 cara,
yaitu (a) perekaman yang penulis lakukan yaitu perekaman audio dengan
menggunakan handycam merk Sony mini DVD. Perekaman ini sebagai bahan
analisis tekstual dan musikal. (b) Untuk mendapatkan dokumentasi dalam bentuk
gambar digunakan kamera digital merk Casio. Pengambilan gambar dilakukan
27
setelah terlebih dahulu mendapat ijin dari pihak pelaksana dan pihak yang
bersangkutan.
1.5.3 Kerja Laboratorium
Kerja laboratorium merupakan proses penganalisisan data-data yang telah
didapat dari lapangan. Setelah semua data yang diperoleh dari lapangan maupun
bahan dari studi kepustakaan terkumpul, selanjutnya dilakukan pembahasan dan
penyusunan tulisan. Sedangkan untuk hasil rekaman dilakukan pentranskripsian dan
selanjutnya dianalisa. Pada akhirnya hasil dari pengolahan data dan penganalisaan
disusun secara sistematis dengan mengikuti kerangka penulisan.
Untuk menyajikan aspek kebudayaan, penulis mengacu dari antropologi, aspek
struktur musik dari musikologi, dan juga unsur sosial lainnya (sesuai dengan
keperluan pembahasan ini), sebagaimana ciri Etnomusikologi yang inter-disipliner
dan keseluruhannya dikerjakan di dalam laboratorium Etnomusikologi), sehingga
permasalahannya yang merupakan hasil laporan penelitian yang disusun dalam
bentuk skripsi. Jika data yang dirasa masih kurang lengkap, maka penulis
melengkapinya dengan menjumpai informan kunci atau informan lain dan hal ini
dilakukan berulang-ulang.
1.6 Lokasi Penelitian
Sebagai lokasi penelitian, penulis memilih sanggar Tigo Sapilin, yang dipimpin
oleh Bapak H. Abu Bakar Siddiq, S.H. Beliau juga adalah Ketua YLKI (Yayasan
Lembaga Konsumen Indonesia) Sumatera Utara. Sanggar yang beliau pimpin ini
berada di rumah kediaman belaiu di Jalan Gurilla Gang Toke Umar, No. 18,
Kelurahan Sei Kerah Hilir II, kecamatan Medan Perjuangan, Medan. Lokasi
28
penelitian ini ditetapkan dengan beberapa alasan sebagai berikut. (1) Sanggar Tigo
Sapilin ini merupakan sanggar yang sudah lama didirikan, sejak tahun 1987, dan
dikelola oleh keturunan turun-temurun keluarga asli orang Minangkabau. (2)
Sanggar ini sudah diikuti penulis dari awal tahun 2011 lalu sebagai anggota penari.
Sehingga lebih memudahkan mendapatkan informasi karena sudah cukup dekat
dengan pemilik dan anggota di dalamnya. (3) Sekarang sanggar ini memang sudah
mengikuti perkembangan zaman, namun orang-orang lama di dalamnya masih
mengetahui pengetahuan gerakan tradisionalnya.
29
BAB II
TINJAUAN UMUM MASYARAKAT MINANGKABAU
DAN SANGGAR TIGO SAPILIN
DI KOTA MEDAN
2.1 Asal-Usul Masyarakat Minangkabau
Secara etimologi, Minangkabau berasal dari dua kata, yaitu minang dan
kabau. Kata minang ini awalnya dari pengucapan bahasa masyarakat yang
mengucapkan kata manang yang berarti kemenangan, dan kata kabau yang berarti
kerbau. Jadi kata minangkabau berarti “kerbau yang menang”. Menurut lagenda,
nama ini diperoleh dari peristiwa perselisihan di antara kerajaan Minangkabau
dengan seorang putera dari Jawa yang meminta pengakuan kekuasaan di Melayu.
Untuk mengelakkan diri mereka dari berperang, rakyat Minangkabau mengusulkan
pertandingan adu kerbau di antara kedua pihak. Putera tersebut setuju dan
mengadakan seekor kerbau yang besar badannya dan ganas. Sedangkan rakyat
setempat hanya mengandalakan seekor anak kerbau yang lapar tetapi dengan
diberikan pisau pada tanduknya. Sewaktu peraduan, si anak kerbau yang kelaparan
dengan tidak sengaja menyerudukkan tanduknya di perut kerbau besar itu karena
ingin mencari puting susu untuk meghilangkan lapar dan dahaganya. Kerbau yang
ganas itu mati, dan rakyat setempat berhasil menyelesaikan pergelutan tersebut
dengan cara yang aman (http://ms.wikipedia.org/wiki/ Minangkabau).
Keterkaitan masyarakat Minangkabau dengan hewan kerbau ini dapat dilihat
dari berbagai identitas budaya orang Minangkabau, seperti atap rumah adat mereka
yang berbentuk layaknya menyerupai tanduk kerbau. Begitu juga dengan pakaian
adat perempuan Minangkabau yang disebut dengan baju tanduak kabau.
30
Namun dari beberapa sumber lain menyebutkan bahwa nama Minangkabau
sudah ada jauh sebelum peristiwa adu kerbau itu terjadi, dimana istilah yang lebih
tepat sebelumnya adalah “Minangkabwa,” “Minangakamwa,” “Minangatamwan,”
dan “Phinangkabhu.” Istilah Minangakamwa atau Minangkamba berarti Minang
(sungai) Kembar yang merujuk pada dua sungai Kampar yaitu Kampar Kiri dan
Sungai Kampar Kanan. Sedangkan istilah Minangatamwan yang merujuk kepada
Sungai Kampar memang disebutkan dalam prasasti Kedukan Bukit dimana di situ
disebutkan bahwa pendiri Kerajaan Sriwijaya yang bernama Dapunta Hyang
melakukan migrasi massal dari hulu Sungai Kampar (Minangatamwan) yang
terletak di sekitar daerah Lima Puluh Kota, Sumatera Barat (http://roezyhamdani.blo
gspot.com/p/suku-minangkabau.html).
Menurut para ahli kebudayaan, suku bangsa Minangkabau ini merupakan
bagian dari bangsa Deutero Melayu (Melayu Muda). Dimana mereka melakukan
migrasi dari dataran China Selatan ke pulau Sumatera sekitar 2500-2000 tahun yang
lalu. Diperkirakan kelompok masyarakat Minangkabau ini masuk dari arah timur
pulau Sumatera, menyusuri aliran sungai Kampar sampai ke dataran tinggi yang
disebut dengan darek (kampung halaman orang Minangkabau). Kemudian suku
Minang menyebar ke daerah pesisir di pantai barat pulau Sumatera, yang terbentang
dari Barus bagian utara hingga Kerinci bagian selatan. Migrasi tersebut terjadi ketika
pantai barat Sumatera menjadi pelabuhan alternatif perdagangan selain Malaka, saat
jatuh ke tangan Portugis.
Dalam buku Dasar-dasar adat Minangkabau (Idrus Hakimi, 1980), diebutkan
bahwa nenek moyang masyarakat Minangkabau berasal dari keturunan Raja Iskandar
Zulkarnain. Keturunannya menyebar kemana-mana mencari tanah-tanah baru untuk
dibuka. Beberapa kawasan yang menjadi Darek tersebut membentuk semacam
31
konfederasi yang disebut mereka dengan nama Luhak. Sesuai dengan pembagian
kawasannya, Luhak tersebut disebut mereka menjadi Luhak Nan Tigo.
Luhak Nan Tigo ada tiga bagian di daerah Minangkabau yang membawahi
daerah rantau, yaitu: (1) Luhak Agam berpusat di Bukittinggi dengan Rantau
Pasaman, (2) Luhak Tanah Data berpusat di Batusangkar dengan Rantau Solok, dan
(3) Luhak Lima Puluah Koto berpusat di Paya Kumbuh dengan Rantau Kampar.
Daerah rantau terbagi atas, ke utara Luhak Agam; Pasaman, Lubuk Sikaping,
dan Rao. Ke selatan dan tenggara Luhak Tanah Data; ada Solok, Silayo, Muaro
Paneh, Alahan Panjang, Muaro Labuah, Alam Surambi Sungai Pagu, Sawah Lunto
Sijunjung, sampai keperbatasan Riau dan Jambi. Selanjutnya rantau sepanjang
hiliran sungai besar; Rokan, Siak, Tapung, Kampar, Kuantan/Indragiri, dan Batang
Hari. Sedangkan daerah pesisir terbagi atas, dari utara ke selatan; Meulaboh, Tapak
Tuan, Singkil, Sibolga, Sikilang, Aie Bangih, Tiku, Pariaman, Padang, Bandar
Sapuluh, Air Haji, Balai Salasa, Sungai Tunu, Punggasan, Lakitan, Kambang,
Ampiang Parak, Surantiah, Batang Kapeh, Painan (Bungo Pasang), dan seterusnya
Bayang nan Tujuah, Indrapura, Kerinci, Muko-muko, dan Bengkulu.
Tiap-tiap luhak dibentuk dari beberapa kelarasan, dan pada kelarasan dibentuk
suku, dimana setiap suku Minangkabau diatur menurut garis keturunan ibu
(matrilineal). Untuk mengesahkan suku, ada harta pusaka dari nenek diwariskan
kepada ibu, dan dari ibu diwariskan kepada anak perempuan.
Dalam etnik Minangkabau terdapat banyak klan, dimana mereka sendiri yang
menyebutnya dengan istilah suku. Awalnya sebagai suku mereka ada empat suku,
yaitu suku Bodi, Caniago, Koto, dan Piliang. Sekarang seiring jalannya waktu,
berkembang sampai sudah mencapai ratusan suku, diantaranya suku Gudam,
Pinawan, Padang Laweh, Salo, Tanjung, Sikumbang, Panai, dan lain-lain.
32
2.2 Masuknya Masyarakat Minangkabau di Kota Medan
Medan merupakan salah satu kota di Indonesia yang menjadi tujuan perantau
beberapa suku di Indonesia. Pada tahun 1909, Medan menjadi kota yang penting di
luar Jawa. Terutama setelah pemerintah kolonial membuka perusahaan perkebunan
secara besar-besaran. Di akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20 terdapat dua
gelombang migrasi besar ke kota Medan. Gelombang pertama kedatangan dari orang
Tionghoa dan Jawa sebagai kuli kontrak perkebunan. Gelombang kedua ialah
kedatangan orang Minangkabau, Mandailing, dan Aceh. Kedatangan merea ke Kota
Medan dan sekitarnya bukan untuk bekerja sebagai buruh perkebunan, tetapi
umumnya untuk berdagang, menjadi guru dan alim ulama (https://id.wikipedia.
org/wiki/Kota Medan).
Keinginan masyarakat Minangkabau untuk merantau sangatlah tinggi, hal ini
dilihat dari hasil studi yang pernah dilakukan tahun 1973 lalu. Pada tahun 1961
terdapat sekitar 32% orang Minang yang berdomisili di luar Sumatera Barat, tetapi
pada tahun 1971, jumlahnya semakin meningkat menjadi 44% yang berdomisili di
luar Sumatera Barat. Dalam hal ini berarti lebih dari separuh orang Minang berada di
luar Sumatera Barat. Berdasarkan data tersebut dapat dilihat bahwa keinginan
merantau orang Minangkabau begitu besarnya. Dibanding dengan suku lainnya
yang ada di Indonesia, keinginan merantau orang Minangkabau cukup besar. Sebab
menurut sensus pada tahun 1930, suku perantau tertinggi di Indonesia adalah suku
Bawean (35,9%), kemudian suku Batak (14,3%), selanjutnya suku Banjar (14,2%),
setelah itu suku Minang sebesar 10,5% (Ahmad Yunus, 1985:4).
Ada beberapa faktor yang menjadi alasan masyarakat Minangkabau merantau,
baik itu faktor budaya maupun ekonomi. Salah satu penyebab terhadap fenomena
33
budaya ialah sistem kekerabatan matrilineal mereka. Dengan sistem tersebut,
penguasaan harta pusaka dipegang oleh kaum wanita, sedangkan kaum lelaki cukup
kecil. Selain itu, setelah masa akil balik laki-laki tidak lagi dapat tidur di rumah
orang tuanya, karena rumah hanya diperun tukkan untuk kaum wanita beserta
suaminya, dan anak-anaknya. Hal inilah yang menjadi salah satu alasan banyaknya
kaum laki-laki semangat untuk mengubah nasib dengan merantau untuk mencari
kekayaan dengan berdagang dan meniti karir, serta melanjutkan pendidikan. Begitu
juga pada penjelasan pada faktor ekonomi dimana pertumbuhan penduduk yang tidak
diiringi dengan bertambahnya sumber daya alam yang dapat diolah mereka, yang
menyebabkan tidak cukup memenuhi keperluan bersama. Faktor-faktor inilah yang
mendorong orang Minang pergi merantau.
Masyarakat Minangkabau mendorong para pemuda dan anak-anak mereka
untuk merantau dan membawa sesuatu sebagai tanda bahwa mereka telah mengadu
nasib di negeri orang. Semua itu akan digunakan untuk membangun dan
memperbaiki masing-masing rumah mereka di kampung halaman mereka, membeli
tanah, ataupun memberikan pemikiran-pemikiran mereka demi kemajuan daerah
mereka.
Kota Medan sendiri memiliki penduduk yang heterogen, baik itu dari segi
budaya, agama, profesi, dan lain-lain. Masuknya berbagai suku masyarakat
membawa budaya tradisi asal mereka masing-masing. Begitu juga masyarakat
Minangkabau yang merupakan salah satu suku yang merantau ke kota Medan ini
memberikan keberagaman seni dan budaya yang ada di Kota Medan dari budaya
tradisi yang dibawa oleh mereka sendiri.
Di kota Medan sendiri, kelompok masyarakat Minangkabau ini hampir
menempati seluruh kawasan kota Medan. Tercatat masyarakat Minangkabau paling
34
banyak bermukim di Medan Denai dan Sukaramai. Dimana lokasi-lokasi ini juga
merupakan daerah strategis dalam melakukan kepentingan perdagangan.
Menurut data statistik kota Medan tahun 2000, suku Minangkabau di Sumatera
Utara berjumlah 306.550 jiwa, seperti yang dilihat pada Tabel 1. Meskipun jumlah
suku Minangkabau berada pada urutan ke-9, akan tetapi suku Minangkabau dan
kebudayaannya cukup dikenal umum, karena kemampuan mereka memperkenalkan
diri dari segi perdagangan, seperti banyaknya usaha rumah makan Minang, pedagang
sate Padang, dan lain-lainnya.
Tabel 1:
Jumlah Penduduk Kota Medan Berdasarkan Suku
Hasil Sensus Penduduk Tahun 2000
Suku Persentase Jumlah Penduduk
Melayu 5,89% 674.112 jiwa
Karo 5,09% 585.173 jiwa
Simalungun 2,04% 234.515 jiwa
Toba 25,62% 2.948.264 jiwa
Mandailing 11,27% 1.296.518 jiwa
Pakpak 0,73% 83.866 jiwa
Nias 6,36% 731.620 jiwa
Jawa 33,40% 3.843.602 jiwa
Minang 2,66% 306.550 jiwa
Cina 2,71% 311.779 jiwa
Aceh 0,97% 111.686 jiwa
Lainnya 3,29% 379.113 jiwa
Sumber: Badan Pendataan Statistik Propinsi Sumatera Utara
35
2.3 Sistem Agama dan Kepercayaan
Awal sebelum agama Islam masuk di Minangkabau, agama Hindu dan Budha
telah muncul di Minangkabau. Tetapi kedua agama ini hanya berkembang di sekitar
istana saja. Diperkirakan sekitar pertengahan abad ke tujuh agama Islam masuk
dibawa oleh para pedagang, akan tetapi mulai berkembang sekitar abad ke tiga belas.
Hingga saat ini agama Islam menjadi satu-satunya agama yang berkembang di
Minangkabau dan telah menjadi bagian yang tidak dapat dipisahkan dari identitas
masyarakat Minangkabau. Pengaruh agama Islam kuat di dalam adat Minangkabau,
seperti yang tercatat di dalam pepatah mereka, adat basandi syara’, syara’ basandi
Kitabullah, yang artinya, adat (Minangkabau) bersendi hukum Islam dan hukum
Islam bersendi Al Qur’an. Sehingga nyata bahwa antara adat Minangkabau dengan
agama Islam memiliki suatu kesatuan yang saling menunjang dalam membina
masyarakatnya.
Setiap orang yang menjalankan adat Minangkabau haruslah beragam Islam
karena adat mereka sejalan dengan agama Islam. Terdapat banyak persamaan di
antara paham Islam dengan paham orang Minangkabau. Ciri-ciri Islam begitu
mendalam dalam adat Minangkabau, sehingga mereka yang tidak mengamalkan
agama Islam dianggap telah terkeluar dari masyarakat Minangkabau.
2.4 Sistem Kekerabatan
Masyarakat Minangkabau menggunakan sistem matrilineal, baik itu di Medan
ataupun daerah perantauan mereka lainnya maupun di kampung halaman mereka
sendiri Sumatera Barat. Dimana yang artinya keluarga yang menganut prinsip
silsilah keturunan yang diperhitungkan melalui garis ibu. Dalam sistem kekerabatan
matrilineal terdapat 3 unsur yang paling dominan, yaitu: Pertama, garis keturunan
36
“menurut garis ibu.” Kedua, perkawinan harus dengan kelompok lain, di luar
kelompok sendiri, yang sekarang dikenal dengan istilah eksogami matrilineal.
Ketiga, ibu memegang peran sentral dalam pendidikan, pengamanan kekayaan, dan
kesejahteraan keluarga.
Dalam perkawinan masyarakat Minangkabau menganut sistem eksogami,
dimana yang artinya adalah sistem perkawinan di luar batas suatu lingkungan
tertentu, atau dengan kata lainnya perkawinan di luar kelompoknya. Serta matrilokal
dimana suami tinggal di sekitar rumah kerabat isterinya, atau di dalam lingkungan
kekerabatan isterinya. Semua harta dan tanah yang dimiliki diwariskan kepada anak
perempuan.
Masyarakat Minangkabau memiliki kelompok kekerabatan, dimana ikatan
kekerabataan tersebut terbentuk berdasarkan paruik, kampueng, dan suku. Paruik
adalah kelompok kerabat seketurunan menurut garis keturunan ibu yang merupakan
kelompok keluarga terkecil yang terdiri dari ibu, anak laki-laki dan perempuan,
saudara laki-laki ibu, saudara perempuan ibu, serta anak-anaknya dan cucu-cucu dari
anak perempuannya. Dimana dulunya mereka tinggal dirumah yang disebut dengan
Rumah Gadang (rumah besar). Kumpulan dari paruik membentuk klen besar, yaitu
kampueng yang dipimpin oleh seorang penghulu andiko atau datuek kampueng.
Kemudian gabungan kampueng membentuk sukuyang merupakan satu keturunan
yang sama berdasarkan prinsip matrilineal dan dipimpin oleh seorang penghulu suku.
Dalam keluarga Minangkabau, ayah tidak termasuk dalam anggota keluarga
istri dan anaknya, akan tetapi ia tetap menjadi anggota kaum warganya masing-
masing, yaitu ibunya. Ayah dipandang sebagai pemberi keturunan. Dimana ayah
atau laki-laki yang menikahi seorang perempuan dari satu paruik atau kampueng lain
disebut dengan urang sumando (orang pendatang). Ada pula keluarga batih ada
37
dalam sistem kekeluargaan Minangkabau yang terdiri dari ayah, ibu, dan anak-anak
meskipun tidak begitu dikenal, mengingat ibu dan ayah akan tetap menjadi anggota
dan terlibat dalam keluarga asalnya, yaitu ibunya.
Pada dasarnya anak laki-laki di Minangkabau telah diajarkan untuk hidup
berpisah dengan orangtua dan sudara-saudara perempuannnya. Mereka tidak lagi
tinggal di rumah gadang dengan ibunya, melainkan hidup berkelompok di surau-
surau (mushola atau mesjid). Disana mereka belajar mengaji, silat, dan bergaul
dengan kelompok pria dengan segala tingkatan usia.
Dalam masyarakat Minangkabau, di beberapa daerah ada terdapat sebutan atau
nama panggilan yang digunakan keluarga. Panggilan ini juga berlaku pada sebagian
besar masyarakat Minangkabau di kota Medan, seperti seorang adik memanggil
kakak perempuannya dengan panggilan uni, dan panggilan uda untuk kakak laki-
laki. Panggilan mande untuk panggilan ibu, paman atau saudara laki-laki ibu
dipanggil mamak, dan orang yang lebih tua memanggil upiak kepada anak
perempuannya, dan buyuang untuk anak laki-laki. Anak memanggil mak adang
kepada saudara perempuan ibu yang lebih tua dan mak etek kepada yang lebih muda
dari ibu. Semua laki-laki dalam pesukuan dan dalam suku yang serumpun yang
menjadi kakk atau adik dari ibu kita, disebut juga dengan mamak. Jadi mamak tidak
hanya sebatas saudara kandung ibu, tapi semua laki-laki yang segenerasi dengan ibu
dalam suku yang serumpun.
Dalam keluarga Minangkabau, mamak memiliki peranan dan tanggung jawab
yang penting. Mamak yang merupakan saudara laki-laki ibu berkewajiban
membimbing kemenakan (keponakan), mengatur, dan mengawasi penggunaan harta
pusaka. Untuk itulah mamak dapat dikatakan memiliki kedudukan yang sejajar
dengan ibu. Dalam ikatan perkawinan, mamak memiliki tanggung jawab dalam
38
kesepakatan yang dilakukan. Jika terjadi ingkar janji, maka mamak-lah yang harus
membayar semua hutang tersebut bukan kemenakan yang akan dikawinkan.
Di dalam setiap kelompok orang saparuik (seperut) yang disebut satu suku
dalam sistem kekerabatan Minangkabau mempunyai gelar pusaka kaum sendiri yang
diturunkan dari ninik kepada mamak dan dari mamak kepada keponakan laki-lakinya.
Gelar ini yang nantinya diberikan turun-temurun kepada para laki-laki yang akan
berumah tangga. Mereka akan lebih dihargai dan dihormati dengan pemberian gelar
tersebut. Gelar yang diberikan kepada laki-laki yang akan menikah di Minangkabau
dapat diberikan kepada siapa saja tanpa suatu acara khusus. Lain halnya dengan
gelar yang harus disandang oleh seorang penghulu (kepala kaum) yang merupakan
warisan adat yang hanya bisa diturunkan pada kemenakannya dalam upacara adat
dengan kesepakatan kaum setelah penghulu meninggal dunia.
Perkawinan yang dilakukan menimbulkan tali kekerabatan yang baru, yaitu
kerabat perempuan dari pihak laki-laki disebut pasumandan. Saudara perempuan dari
ayah bagi anak-anaknya disebut bako atau induak bako, sedangkan anak-anak dari
saudara laki-laki bagi saudara perempuannya disebut anak pisang.
Di kota Medan sendiri, sistem kekrabatan ini masih digunakan oleh masyarakat
Minangkabau yang merantau ke kota Medan ini. Akan tetapi peranan datuek
kampueng dan penghulu suku tidak ditemukan di sini.
2.5 Sistem Kesenian
Kesenian merupakan ekspresi manusia terhadap keindahan, dalam kebudayaan
suku-suku bangsa yang pada mulanya bersifat deskriptif (Koentjaraningrat,
1982:395-397). Kesenian Minangkabau pada mulanya merupakan permainan rakyat
yang bersifat terbuka dari rakyat untuk rakyat. Oleh karena sifatnya yang terbuka
39
maka menjadi milik suatu komunitas yang mudah berubah. Pengertian berubah
dalam hal ini yakni dalam konteks sosiobudaya masyarakat Minangkabau yang dapat
diartikan sebagai berkembang, memperkaya, dan memperbanyak aspek-aspeknya
(Nerosti Adnan, 2008). Masyarakat Minangkabau memiliki berbagai macam bentuk
kesenian, yakni seni bangunan, semi rupa, seni suara, dan seni tari.
Seni bangunan, dilihat dari rumah adat Minangkabau yang disebut dengan
rumah gadang. Dimana rumah gadang ini terdiri atas biliek sebagai ruang tidur, dan
didieh sebagai ruang tamu. Ciri utama rumah ini adalah bentuk lengkung atapnya
yang disebut dengan gonjong yang artinya tanduk kerbau.
Seni rupa adalah suatu bentuk kesenian yang dapat dinikmati melalui
penglihatan. Pada masyarakat Minangkabau, hal ini dapat dilihat dari ukiran-ukiran
pada rumah gadang. Dimana biasanya ada motif gambar tumbuh-tumbuhan dan
binatang yang menghiasi tiang-tiang dan dindingnya.
Seni musik dan suara merupakan suatu bentuk karya seni yang dapat dinikmati
manusia melalui pendengaran, seperti seni vokal, seni instrumental, dan seni sastra.
Dimana seni vokal yang berkembang pada masyarakat Minangkabau, yaitu berupa
dendang (nyanyian), indang, dan dikie (zikir). Sedangkan seni suara melalui
instrumen, ada saluang, bansi, talam, rabano, gandang, talempong, dan lainnya.
Seni sastra terutama sastra lisan, yaitu berupa pantun yang berupa nasihat dan syair
yang paling banyak dikuasai oleh masyarakat Minangkabau.
Seni tari dan gerak merupakan gabungan antara seni rupa dan seni suara yang
dapat dinikmati oleh manusia melalui penglihatan dan pendengaran. Seni tari yang
berkembang pada masyarakat Minangkabau, yaitu berupa silat, randai, tari piring,
tari Galombang, dan banyak lagi.
40
2.6 Sanggar Tigo Sapilin
Sanggar Tigo Sapilin merupakan salah satu sanggar kesenian Minangkabau
yang berdiri sendiri tanpa dibawahi naungan organisasi manapun. Sanggar ini
berdiri pada tahun 1987 oleh Bapak H. Abu Bakar Siddiq, S.H., yang juga
merupakan Ketua YLKI (Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia) Sumatera Utara.
Sanggar ini terletak di Jalan Gurilla Gg. Toke Umar, No. 18, Kelurahan Sei Kerah
Hilir II, Kecamatan Medan Perjuangan, Medan.
Sanggar Tigo Sapilin ini bergerak dalam bidang musik dan tari kesenian
tradisional Minangkabau, seperti tari Galombang. Sanggar ini di bentuk awalnya
karena bapak ini senang dengan dunia kesenian, dari masa mudanya beliau hobi
dengan dunia seni. Dia ingin memperkenalkan kepada masyarakat Medan akan
kesenian Minangkabau, serta memajukan dan melestarikan kebudayaan adat
Minangkabau.
Sanggar Tigo Sapilin ini memiliki anggota ada yang memang keluarga sendiri
dan ada juga beberapa orang dari luar keluarga. Sekitar ada 22 orang jumlah anggota
sanggar Tigo Sapilin ini, ada perempuan dan ada laki-laki, serta terbagi atas anak-
anak dan orang dewasa. Keseluruhannya tersebut sudah termasuk penari dan
pemusik.
Kelompok sanggar ini biasanya melakukan latihan rutin setiap hari Sabtu
sekitar pukul 15.30-17.30 wib. Dimana waktu untuk latihan ini disesuaikan karena
besok harinya hari minggu libur untuk anak sekolah, kuliah, dan beberapa yang
bekerja. Akan tetapi, anggota sanggar ini juga melakukan latihan di hari-hari lainnya
tergantung keinginan para anggota. Begitu juga jika ada job atau panggilan
permintaan pertunjukan dalam suatu acara ataupun pesta pernikahan, jadwal latihan
41
lebih diperbanyak dari biasanya, dan jadwal latihannya di buat tergantung hari apa
dan jam berapa yang bisa di berikan anggota dan disesuaikan bersama.
Sistem pelatihan dilakukan dengan menggunakan latihan bersama. Dimana
pertamanya para penari dulu yang berlatih, baik itu mengulang gerakan lama maupun
membentuk gerakan-gerakan yang baru. Setelah dalam beberapa hari para penari
sudah mahir dan kompak, selanjutnya dipanggillah para pemusik agar saling
menyesuaikan. Hal ini dikarenakan dalam tari Galombang ini sistemnya gerakan tari
mengikuti musik.
Dalam pembagian honorium jika ada melakukan pertunjukan pada sanggar,
yaitu dengan membagi rata pada setiap anggota dan menyisakan sekitar 20% dari
penghasilan setiap pertunjukan. Sisihan tersebut digunakan untuk biaya menambah
inventaris sanggar agar lebih baik dan kebutuhan sanggar lainnya. Dalam penentuan
harga untuk sekali pertunjukan yang dilakukan sanggar ini, mereka memberikan
harga lebih murah kepada keluarga atau kerabat dibandingkan kepada orang lain.
Patokan harga yang diberikan oleh sanggar ini kepada masyarakat umum sekitar Rp.
3.000.000 – Rp.4.000.000.
Sanggar Tigo Sapilin ini telah banyak melakukan pertunjukan berbagai tari
tradisional di kota Medan, dari semuanya paling banyak pertunjukan tari Galombang
untuk upacara perkawinan. Sanggar ini menyajikan tari Galombang dengan bentuk
yang sudah dikreasikan sama seperti sanggar-sanggar lainnya, yaitu gerakan baku
dari gerakan ini yakni mancak ataupun bungo silek yang dikreasikan kembali dalam
pola geraknya. Sanggar ini juga masih rajin ikut serta dalam ajang silahturahmi ke
Bukit Tinggi yakni Pedati.
29
BAB III
PERTUNJUKAN TARI GALOMBANG PADA UPACARA
ADAT PERKAWINAN MINANGKABAU
3.1 Asal Usul Tari Galombang
Tari Galombang merupakan tari tradisional masyarakat Minangkabau yang
sudah menjadi adat istiadat mereka. Tari Galombang yang menjadi topik penulisan
ini mengalami perubahan. Diduga hal ini berdampak dari proses urbanisasi dari
pengembangan kampung halaman masyarakat Minangkabau.
Berbicara tari Galombang pada masa awalnya dulu, tari ini disebutkan sebagai
pagar nagari atau pagar kampung yang diatur oleh sistem-sistem adat. Dimana
dalam semiotik makna Galombang ini diambil dari lautan, yakni gelombang yang
dibentuk dari ombak. Kehidupan manusia itu ada arus naik turun layaknya ombak
laut, dan ada juga yang menafsirkan bahwa dalam benak mereka tarbayang
gelombang lautan yang diikuti gelombang perasaan di dalam hati yang terwujud
dalam gerakan tubuh.
Digunakan untuk tari penyambutan tamu oleh beberapa lelaki seperti layaknya
pendekar, dikatakan seperti itu karena gerakannya berupa pencak silat. Karena
gerakan berupa gerakan pencak silat, menyebabkan dulunya dalam tatanan
masyarakat, perempuan tidak dijadikan penari. Pesilat itu semuanya memakai
pakaian hitam dan celana longgar selayaknya pakaian pesilat biasanya yang kita
ketahui. Dimana pesilat ini merupakan parewa, yaitu orang pilihan di kampung yang
memang benar-benar tau silat. Makna pencak silat itu dibuat menandakan
ketangkasan orang Minangkabau, dan melindungi dari gangguan jahat.
30
Dimana dulunya tarian ini ada yang ditampilkan dalam bentuk satu arah
menghadap kepada tamu, ada juga yang dua arah dalam bentuk dua kumpulan yang
saling berlawanan dengan penempatan jarak 10 meter. Kemudian jarak antar penari
semakin lama semakin mendekat dan selanjutnya diakhiri dengan pertarungan silat.
Setelah itu ada penuguhan carano kepada tamu (Zulkifli, 2003, Hartati, 1999).
Untuk melihat catatan sejarah kapan jelasnya tari Galombang tersebut
mengalami perubahan-perubahan masih sulit didapat, hal ini dijelaskan bapak
Wimbrayardi. Dulunya tari ini sempat vakum, dikarenakan anggapan yang mubajir
bagi nagari oleh gubernur Asambasinduin, dimana saat itu beliau adalah gubernur
nagari. Beliau memutuskan tidak boleh ada lagi acara seremonial dalam bentuk
apapun. Lamanya vakum ini diperkirakan ada sekitar 2 tahun lamanya.
Banyak para peneliti terdahulu mengangkat tentang tari Galombang ini dalam
tulisan mereka. Seperti Risnawati (1993), Sawanismar (1994), Maryeliwati (1995)
meneliti tari Galombang pada nagari yang berlainan, mereka semua menyatakan
bahwa tari Galombang ditarikan oleh penari laki-laki dengan gerakan pencak silat,
yang berfungsi untuk menyambut tamu di lapangan terbuka, tidak pernah
ditampilkan di dalam ruangan.
Ada penelitian yang memunculkan permasalahan tentang perubahan tari
Galombang yang berkembang di kota Padang (Nerosti Adnan, 2007) menyatakan
bahwa perubahan tari Galombang ini memiliki kepentingan untuk sebuah pesta atau
acara yang erat hubungannya dengan status sosial masyarakatnya dalam
penggunaannya. Tari Galombang ini berkembang di kota Padang sebagai ibukota
Sumatera Barat dimana merupakan tanah masyarakat Minangkabau, sudah ditarikan
oleh perempuan, hal ini dikarenakan karena para laki-laki diutamakan untuk
merantau sehingga menyebabkan para kaum wanita pun jadi dibekali bakat bersilat,
31
namun hanya gerakan-gerakan variatif dari gerak silat sesungguhnya. Tari
Galombang tampil sebagai penyambutan tamu dalam segala aktivitas masyarakat
seperti acara pemerintah, dan penyambutan pengantin dalam pesta perkawinan.
Begitu pula yang terjadi di Kota Medan sebagai salah satu kota perantauan
masyarakat Minangkabau. Tari Galombang yang dipakai juga sudah yang
diperbaharui dan dikreasikan kembali. Dimana tari Galombang ini yang
menarikannya adalah perempuan dan laki-laki. Laki-laki melakukan mancak atau
gerakan silat, dan penari perempuannya berdiri sejajar diposisikan dibelakang laki-
lakinya menarikan tari Galombang yang diambil dari gerakan-gerakan bungo silek
dengan keindahan. Ditampilkan sebagai penyambutan marapulai dalam upacara
perkawinan.
3.2 Perkawinan Pada Masyarakat Minangkabau
Salah satu masa peralihan yang sangat penting dalam adat Minangkabau adalah
saat menginjak masa perkawinan. Masa perkawinan merupakan masa permulaan
bagi seseorang melepaskan dirinya dari lingkungan kelompok keluarganya, dan
mulai membentuk kelompok kecil miliknya sendiri. Dengan kata lain, perkawinan
dapat juga dikatakan sebagai titik awal dari proses pemekaran kelompok.
Dimana perkawinan memiliki fungsi sebagai sarana legalisasi hubungan
seksual antara seorang pria dengan seorang wanita yang dipandang dari sudut adat
dan agama serta undang-undang negara. Begitu juga pada penentuan hak dan
kewajiban serta perlindungan atas suami istri dan anak-anak, memenuhi kebutuhan
manusia akan teman hidup dan status sosial dan terutama untuk memperoleh
ketentraman batin, serta memelihara kelangsungan hidup kekerabatan dan
menghindari kepunahan (Amir M.S, 1997:23).
32
Perkawinan dalam budaya Minangkabau merupakan persoalan bagi kaum
kerabat, mulai dari mencari pasangan, membuat persetujuan, pertunangan dan
perkawinan, bahkan sampai kepada segala urusan terjadinya perkawinan tersebut
memerlukan penyesuaian dalam banyak hal. Perkawinan menimbulkan hubungan
baru, tidak saja antara pribadi yang bersangkutan, antara marapulai dan anak daro,
namun antara kedua keluarga juga. Adanya falsafah hidup masyarakat Minangkabau
yang menjadikan semua orang hidup bersama-sama, sehingga masalah pribadi dalam
hubungan suami istri tidak terlepas dari masalah bersama.
Latar belakang antara kedua keluarga bisa sangat berbeda, baik itu asal-usul,
kebiasaan hidup, pendidikan, tingkat sosial, tata krama, bahasa, dan lain sebagainya.
Oleh karena itu yang menjadi syarat utama yang harus dipenuhi dalam perkawinan
adalah kesediaan dan kemampuan untuk menyesuaikan diri dari masing-masing
pihak. Adanya pengenalan dan pendekatan untuk dapat mengenal watak masing-
masing pribadi dan keluarganya penting sekali demi memperoleh keserasian ataupun
keharmonisan dalam hubungan antar keluarga kelak kedepannya. Lebih kepada
tanggung jawab yang dituntut dalam perkawinan pula, demi menyangkut nafkah lahir
batin, jaminan hidup, dan pendidikan anak-anak yang akan dilahirkan nantinya.
Masyarakat Minangkabau memiliki pola perkawinan yang bersifat eksogami
dimana salah satu dari kedua belah pihak yang menikah tersebut tidak masuk dalam
kaum kerabat pasangannya, atau dengan kata lain perkawinan di luar batas suatu
lingkungan tertentu. Hal tersebut dikarenakan menurut struktur masyarakat
Minangkabau, bahwa setiap orang merupakan warga kaum dan suku mereka masing-
masing yang tidak dapat dialihkan.
Perkawinan ideal menurut masyarakat Minangkabau adalah perkawinan antara
keluarga dekat, seperti perkawinan antara anak dan kemenakan. Perkawinan antara
33
kakak beradik laki-laki dan perempuan X menikah dengan kakak beradik laki-laki
dan perempuan Y. Hal ini disebabkan agar tidak terjadi masalah-masalah yang
mungkin timbul dari campur tangan kerabat kedua belah pihak akibat pewarisan
harta pusaka yang dapat terjadi dari pola perkawinan eksogami yang mereka anut
yang sangat mudah berantakan jika kerabat masing-masing tidak serasi. Sedangkan
perkawinan pantang bagi masyarakat Minangkabau adalah perkawinan yang setali
sedarah, sekaum dan sesuku (semarga), yang dapat merusak sistem adat mereka
(Flora,2009:36).
Hal-hal di atas tersebut sampai saat ini masih berlaku di kota Medan.
Walaupun sekarang sudah banyak juga masyarakat Minangkabau yang menikah
dengan Masyarakat di luar etnisnya.
Di kota Medan sendiri, upacara perkawinan pada masyarakat Minangkabau
masih dilaksanakan berdasarkan adat yang berlaku. Akan tetapi tidak murni secara
tradisi Minangkabau , melainkan sudah bercampur dengan unsur-unsur adat yang
lain. Hal ini dapat dilihat dari adanya penyajian keyboard dan acara marhaban.
Walaupun demikian, pada hakekatnya pelaksanaan upacara perkawinan ini berusaha
untuk menunjukkan identitasnya sebagai masyarakat Minangkabau.
3.3 Tahapan -tahapan Upacara Adat Perkawinan Masyarakat Minangkabau
Tata cara perkawinan masyarakat Minangkabau ada dua, yaitu agama dan adat.
Dalam adat, sebelum sampai pada tahap perkawinan dilakukan proses meminang
dimana lazim dilakukan dari pihak kerabat pihaknya perempuan.
Persiapan upacara perkawinan dilakukan jauh-jauh hari sebelumnya agar
semua berjalan dengan baik dan dilakukan beberapa proses upacara sebelum pada
tahap perkawinan. Pada masyarakat Minangkabau di kota Medan, tahapan upacara
34
perkawinan dilaksanakan tidak jauh berbeda dengan yang ada di Sumatera Barat.
Akan tetapi, di kota Medan waktunya diperlukan relatif lebih singkat dibandingkan
dengan yang ada di Sumatera Barat sendiri.
Adapun tahapan-tahapan dalam upacara perkawinannya, yaitu:
1. Maninjau. Tahapan ini dilakukan untuk meninjau atau mengenal calon yang
akan dijadikan menantu. Pada tahap awal biasanya pihak perempuan mengutus
kerabat/ orang lain yang dianggap bisa meninjau calon menantu mendatangi rumah
pihak laki-laki dengan membawa buah tangan. Kemudian mamak pihak laki-laki
menyatakan pada kemenakannya hasil pembicaraan tersebut, bila disetujui maka
mamak atau orangtua laki-laki akan memberitahukan kepada pihak perempuan.
Maka disepakatilah hari maanta nasi mamak atau membuat hari bermusyawarah
menentukan hal-hal yang berkenaan dengan perhelatan. Di tahap inilah ditentukan
keputusan selanjutnya.
2. Mencari hari atau totok hari atau maminang. Setelah mendapatkan jawaban
dari pihak laki-laki, kemudian diadakan mencari hari yang disebut dengan manakok
hari yang berarti datang ke rumah pihak laki-laki secara resmi untuk
memusyawarahkan pertunangan mereka. Pertunangan ini ditandai dengan
penyerahan cincin dari kedua belah pihak serta dibicarakan persyaratan yang harus
diberikan pihak perempuan. Persyaratan tersebut disebut “uang dapur” jika
berbentuk uang, dan disebut “uang panjapuik” jika berbentuk barang, yang
merupakan simbol pertunangan telah dilaksanakan. Terkadang di tahap ini juga
dibicarakan hari baralek atau hari baik perkawinan oleh kedua belah pihak.
3. Musyawarah keluarga, dalam tahap ini dilakukan musyawarah oleh keluarga
perempuan yang terdiri dari ninik mamak, urang sumando, dan kerabat.
Musyawarah ini membicarakan keperluan yang diperlukan untuk acara perkawinan
35
seperti biaya perkawinan, persiapan kebutuhan pengantin termasuk kamar pengantin.
Pada acara ini juga dibicarakan pembagian kerja, seperti mengundang, menyiapkan
tempat, dan makanan. Dibicarakan juga akan kegiatan atau hiburan yang akan
dilaksanakan pada saat upacara perkawinan (seperti tari Galombang). Semuanya
dibicarakan dengan baik agar hasilnya juga lebih baik.
4. Mengundang /menyirih, untuk melakukan baralek (upacara adat untuk
meresmikan perkawinan), akan dihadiri oleh sanak keluarga dan kerabat dekat yang
menurut adat untuk menghadiri baralek mereka harus diundang karena kegiatan ini
bersifat gembira. Pengundang perempuan akan mengundang perempuan dengan
memberikan sirih yang diletakkan pada kampia sirih, dan pengundang laki-laki
mengundang kaum laki-laki dengan memberikan rokok. Akan tetapi seiring dengan
majunya jaman, hal ini dapat juga dilakukan hanya dengan memberikan undangan.
Pada penelitian penulis ini, pihak pengantin mengundang pihak keluarga dengan
hanya memberikan undangan.
5. Persiapan baralek, dalam tahapan ini, dilakukan berbagai persiapan di
rumah anak daro, seperti persiapan kamar pengantin, memasak, dan lain-lainnya
sebelum perkawinan dilakukan. Semuanya dilakukan sesuai dengan kondisi
ekonomi anak daro (pengantin wanita).
6. Batagak Gala, tahapan ini merupakan pemberian gelar pusaka kepada calon
pengantin laki-laki oleh mamaknya yang dilakukan di rumah ibunya, yang dikenal
dengan ketek gadang bagala. Hal ini merupakan tradisi yang dilakukan sebagai
tanda bahwa ia sanggup berumah tangga dan merupakan kebanggaan keluarga
sehingga ia diberikan gelar. Gelar tersebut diturunkan dari ninik mamak ke mamak,
kemudian ke kemenakannya yang dilaksanakan di rumah ibunya. Disini dilakukan
petatah petitih (pantun) dan gurindam.
36
7. Nikah, merupakan bersatunya dua orang untuk membentuk rumah tangga,
yang diwujudkan dengan pernyataan yang disebut dengan Ijab Kabul atau Akad
Nikah. Persyaratan syahnya nikah, yaitu adanya wali pengantin perempuan, saksi,
Ijab Kabul suatu pernyataan kedua pengantin dan uang mahar, hak seorang
perempuan. Pelaksanaan akad nikah dapat dilakukan dirumah pengantin perempuan,
masjid atau balai nikah. Terlaksananya akad nikah kemudian disempurnakan dengan
acara adat atau pesta perkawinan.
8. Manjapuik marapulai, sebelum pengantin disandingkan, marapulai akan
dijemput secara adat oleh utusan pihak perempuan yang dilengkapi dengan peralatan
adat sebagaimana dengan kesepakatan saat manakok. Dalam penelitian penulis,
pihak perempuan akan mengutus beberapa orang menuju tempat marapulai, disinilah
pertunjukan tari Galombang ditampilkan, sebagai pengekspresian suasana sukacita
pihak keluarga anak daro akan kedatangan marapulai, dengan membawa sirih di
carano yang dibawa kaum perempuan, dan marapulai dipayungi dengan payung
kebesaran sebagai tanda raja dalam sehari. Dimana acara ini dilaksanakan pada pagi
hari.
9. Hari baralek, hari ini disebut dengan hari perkawinan anak daro dan
marapulai disandingkan dipelaminan. Inilah tahapan upacara perkawinan kepada
keluarga besar dan tamu-tamu undangan.
3.4 Jalannya Pertunjukan Tari Galombang Pada Upacara Perkawinan
Masyarakat Minangkabau di Kota Medan
Beberapa hari sebelum upacara perkawinan, biasanya pihak pengantin akan
menghubungi pihak sanggar Tigo Sapilin untuk meminta menari dalam upacara
perkawinan yang akan digelar nantinya. Setelah itu pihak sanggar ini menentukan
37
beberapa penarinya dan pemusiknya. Kemudian penari dan pemusik yang sudah
ditentukan akan dihubungi dan dikabari kapan pelaksanaan upacara yang meminta
dan waktu latihannya.
Pada saat hari pelaksanaan upacara perkawinan, anggota sanggar melakukan
persiapan masing-masing seperti pengenaan kostum dan riasan dengan berkumpul di
rumah anak daro selaku tempat pelaksanaan upacara perkawinan. Hal ini dilakukan
agar waktu dan kondisi lebih kondusif. Penari diutamakan lebih awal datang untuk
bersiap-siap karena lebih banyak persiapan daripada pemusik. Semua keperluan
kostum dan riasan telah dilakukan dan diselesaikan sebelum upacara perkawinan di
mulai pelaksanaannya. Di tempat pelaksanaan acara, semua alat musik telah
disiapkan dengan diberikan kepada masing-masing anggota pemusik sesuai dengan
tugasnya.
Sebelum resepsi, paginya dilakukan acara akad nikah di rumah anak daro.
Setelah akad nikah selesai, marapulai meninggalkan rumah anak daro untuk
sementara. Karena rumah marapulai jauh dengan rumah anak daro, marapulai
ditempatkan agak berjarak dengan rumah anak daro. Disini marapulai bersama
orang tua dan keluarganya, beserta rombongannya.
Gambar 3.1:
Akad Nikah
(Dokuentasi Reny Yulyati, 2013)
38
Dalam pelaksanaan resepsi, rombongan anak daro berada di depan rumah
untuk menjumpai marapulai beserta rombongan nantinya. Para penari tadi
diposisikan di sepanjang jalan menghadap datangnya marapulai dan para rombongan,
dan pemusik diposisikan di belakang barisan penari. Penari laki-laki yang diutus
melakukan pencak silat, setelah gerakan pencak silat selesai di persembahkan,
kemudian disambut kembali dengan tarian yakni tari Galombang yang ditarikan oleh
penari perempuan, sebagai tanda penyambutan marapulai dan rombongannya.
Gambar 3.2:
Anak Daro Menunggu Datangnya Marapulai
(Dokumentasi Reny Yulyati, 2013)
39
Gambar 3.3:
Rombongan Marapulai yang Akan Disambut
(Dokumentasi Reny Yulyati, 2013)
40
Gambar 3.4:
Tari Galombang Menyambut Marapulai
(Dokumentasi Reny Yulyati, 2013)
Sesuai adat, setelah tari Galombang dan musiknya berhenti, dilanjutkan
pembacaan petatah petitih dalam bentuk pantun dengan diiringi tiupan bansi saja.
Menurut bapak Zul Alinur selaku salah satu informan dan merupakan pemusik juga,
pembacaan pantun tersebut dapat berubah-ubah karena diciptakan sendiri, akan tetapi
memiliki makna yang sama, yaitu menyambut pengantin dan mempersilahkan
pengantin dan rombongan masuk. Bagian ini mengiringi seorang utusan dari anak
daro memberikan suguhan sirih, pinang, dan gambir yang disajikan di dalam carano
kepada marapulai dan orangtuanya sebagai wakil dari rombongan. Suguhan tersebut
wajib diberikan dan diterima, sebagai tanda kerendahan hati dan keikhlasan yang
tulus untuk menjalin silahturahmi. Kemudian marapulai akan dipayungi dengan
payung kebesaran dengan simbol kebesaran suatu upacara sebagai penghormatan.
Disinilah upacara baralek berlangsung.
41
Gambar 3.5:
Carano dan Isinya
(Dokumentasi Reny Yulyati, 2013)
42
Gambar 3.6:
Suguhan Diterima Rombongan Marapulai
(Dokumentasi Reny Yulyati, 2013)
Kemudian rombongan penari dan pembawa carano berjalan mengiringi
jalannya marapulai menjumpai anak daro. Sesampai dihadapan anak daro, para
penari membuka jalan untuk marapulai bersanding dengan anak daro. Setelah
pasangan pengantin bersanding dan rombongan ikut masuk, para penari dan pemusik
pun bubar dalam barisannya.
43
Gambar 3.7
Pasangan Pengantin Bersanding
(Dokumentasi Reny Yulyati, 2013)
Setelah semua acara adat selesai, maka acara dilanjutkan dengan berbagai
pertunjukan hiburan. Seperti pertunjukan keyboard, tari piring, tari tradisional
Minangkabau lainnya untuk menghibur para tamu dan penonton sepanjang acara
berlangsung.
3.5 Tempat dan Waktu Pelaksanaan Pertunjukan
Pada upacara perkawinan masyarakat Minangkabau biasanya dilaksanakan di
rumah anak daro dengan mendatangkan penghulu, atau bisa juga di masjid.
Sedangkan di kota Medan sendiri, selain di rumah dan di masjid, bisa juga
dilaksanakan di wisma atau hotel yang dikarenakan persiapan yang diperlukan akan
lebih praktis dan ruangan yang luas. Namun upacara perkawinan yang dilaksanakan
44
di rumah dapat memungkinkan banyaknya penonton yang menyaksikan pertunjukan
tari Galombang dan tari-tari hiburan yang disajikan tidak terbatas hanya dari para
undangan saja, tetapi juga masyarakat yang berada dan yang melewati tempat
tersebut, sehingga sekaligus dapat memperlihatkan kesenian tradisi mereka dan
tampak lebih menarik.
Tari Galombang tersebut disajikan sebagai tari penyambutan kedatangan
marapulai beserta keluarganya oleh anak daro. Dalam konteks penyajiannya, para
penari diposisikan di sepanjang jalan menuju tempat upacara, menghadap ke arah
datangnya marapulai dan para tamu.
Di kota Medan, dalam menentukan waktu pertunjukan tari Galombang ini
biasanya di lakukan pagi hari. Biasanya waktu pelaksanaannya di sekitar pukul
09.00 wib sampai pukul 10.00 WIB. Pemilihan waktu biasanya disesuaikan dengan
kondisi acara, yakni selesai akad nikah, jika akad nikah yang dilakukan di hari yang
sama dengan resepsinya. Tetapi jika akad nikah telah dilaksanakan beberapa hari
sebelum resepsinya, maka pertunjukan tari Galombang bisa saja dilakukan lebih
awal lagi. Dengan kata lain, pertunjukan tari Galombang ini dilaksanakan
tergantung pada pemilik acara.
3.6 Pendukung Pertunjukan
Tari Galombang dalam penyajiannya dapat dikatakan sebuah pertunjukan.
Sebuah pertunjukan tentunya harus didukung oleh beberapa hal agar dapat berjalan
dengan baik dan lebih menarik keindahannya. Beberapa pendukung pertunjukan,
yaitu adanya penari, pemusik, dan penonton.
45
3.6.1 Penari
Penari merupakan bagian terpenting dalam pertunjukan tari Galombang ini,
karena penari lah yang mempertunjukkan tarian tari Galombang tersebut. Penari
akan menjadi pusat perhatian dari penonton. Untuk itu diperlukan penari yang
memiliki kecakapan dan kemampuan menarikan tari Galombang tersebut di
lapangan.
Setiap dalam pertunjukan tari Galombang ini biasanya komposisi penarinya
berjumlah 6 atau lebih penari; umumnya, semakin banyak penarinya semakin terlihat
bagus, karena dapat memberikan lebih banyak kemungkinan untuk menyusun pola
lantai tarian tersebut. Bisa saja semua penarinya adalah perempuan semua, bisa juga
campuran dengan laki-laki. Namun sanggar Tigo Sapilin ini biasanya menggunakan
6 perempuan penari Galombang dan 2 atau 3 penari laki-laki dengan gerakan pencak
silat. Penari perempuannya selalu dibuat genap supaya berpasangan dalam
penempatan pola lantainya.
Pemilihan penari tidak berdasarkan pada lamanya menjadi anggota sanggar,
tetapi pada kesanggupan penari untuk dapat menari dan hadir sesuai waktu yang
dimiliki para penari. Hal ini dikarenakan penari sanggar Tigo Sapilin ini bukanlah
penari profesional, dimana para anggotanya tidak hanya bekerja sebagai penari
melainkan ada yang mahasiswa dan harus kuliah, dan ada pula yang sudah bekerja di
bidang yang lain.
Para penari yang dipilih dan mempunyai waktu akan berlatih lagi untuk
mempelajari gerakan sebelum hari pelaksanaan. Pada saat pertunjukan, penari akan
saling berinteraksi antar sesama penari di lapangan dalam melakukan perubahan
gerakan.
46
3.6.2 Pemusik
Sanggar Tigo Sapilin biasanya menggunakan 7-8 orang pemusik, diantaranya 1
orang pemain tasa, 2 atau lebih pemain gandang, 1 orang pemain puput serunai, dan
tiga orang pemain talempong pacik (1 orang penganak, 1 orang dasar, dan 1 orang
peningkah). Semua anggota sanggar telah belajar dan berlatih bersama untuk bisa
memainkan semua alat musik, namun lebih kepada laki-laki yang dapat memainkan
alat musik.
Menurut wawancara dengan Bapak Zul Alinur sebagai salah satu anggota lama
di sanggar tersebut serta pemusik yang bisa memainkan puput serunai, alat musik
puput serunai ini sangat sulit untuk dimainkan oleh anggota yang lainnya. Hal ini
disebabkan karena teknik permainannya yang rumit, yakni circular breething,
dimana sirkulasi pernapasan yang terus menerus tanpa berhenti. Sehingga
memerlukan latihan yang cukup lama dan begitu melelahkan.
Pada saat pertunjukan, pemusik akan saling berinteraksi juga antar sesama
pemusik di lapangan dalam melakukan pergantian strukturnya, ada tanda-tandanya
dalam musiknya. Karena musik dalam tari Galombang ini sangat penting, sebab alur
tari ini mengikuti alur musik.
3.6.3 Penonton
Penonton dalam setiap pertunjukan tari Galombang di setiap perkawinan
masyarakat Minangkabau merupakan para tamu undangan yang menghadiri
perkawinan tersebut. Akan tetapi acara yang dilaksanakan di rumah dengan
membuat panggung di luar rumah juga menjadi sebuah tontonan juga bagi
masyarakat yang melewati daerah tersebut.
47
3.7 Perlengkapan Pertunjukan
Sebelum dimulainya pertunjukan tari Galombang, ada beberapa perlengkapan
yang perlu dipersiapkan. Dimana perlengkapan yang dipersiapkan nantinya akan
mendukung jalannya pertunjukan, serta dapat menambah daya tarik pertunjukannya.
Persiapan harus maksimal dalam penyusunan dan penataannya, agar dapat
menghasilkan pertunjukan yang terbaik.
Perlengkapan dalam pertunjukan tari Galombang ini tidak menggunankan
properti, hanya memerlukan lapangan, serta alat musik yang digunakan dalam
kebutuhannya. Antara perlengkapan ini saling melengkapi. Segala perlengkapan ini
harus diperhatikan dengan teliti, agar dapat berjalan lancar nantinya.
3.7.1 Lapangan
Lapangan untuk pertunjukan tari Galombang ini biasanya berupa area jalan
yang dikosongkan, karena tari ini bersifat pada penyambutan jalannya marapulai ke
rumah anak daro, dan selalu di lakukan di luar ruangan. Dari penelitian, luas
lapangannya tergantung pada area jalan di daerah rumah anak daro yang disediakan.
Hal ini karena acara dilakukan di rumah anak daro.
Luas jalan yang disediakan dapat memposisikan penari sebanyak 9 penari dan
7 pemusik. Sepanjang area jalan tersebut biasanya sudah diminta ijin oleh pihak
anak daro kepada kepala daerah dan masyarakat setempat didaerah tersebut.
Disepanjang jalan yang digunakan itu biasanya ditandai dengan papan bunga yang
dijajarkan.
48
Gambar 3.8:
Area Jalan yang Digunakan
(Dokumentasi Reny Yulyati, 2013)
3.7.2 Alat Musik yang Digunakan
3.7.2.1 Tasa
Alat musik tasa ini merupakan alat musik membranophone, yang berfungsi
sebagai pembawa tempo yang paling penting. Dibuat dari kayu yang keras (biasanya
dari batang nangka) yang dibentuk seperti kuali, dan dibagian atasnya ditutup dengan
kulit kambing. Dimainkan oleh 1 orang pemain dengan alat pukul, dimana alat pukul
ini berupa sejenis rotan sebesar jari kelingking. Rotan tersebut dipegang dengan
kedua masing-masing tangan yakni tangan kanan dan tangan kiri. Tasa ini dikaitkan
dengan tali untuk dapat digantungkan pada leher belakang pemain.
Tasa ini bisa dikatakan mirip dengan rebana, namun bedanya dapat dilihat dari
bentuk dan cara memainkannya. Kalau rebana dimainkan dengan cara dipegang dan
49
dipukul dengan 1 tangan tanpa alat, beda lain hal dengan tasa di gantungkan di leher
belakang dengan menggunakan tali dan dimainkan dengan kedua tangan
menggunakan alat. Sama halnya dengan bentuknya yang dibuat, tasa ini tidak
mempunyai lobang dibawahnya, selayaknya bentuk kuali, sedangkan rebana
mempunyai lobang dibagian tengah badannya.
Gambar 3.9
Tasa dan Cara Memainkannya
(Dokumentasi Reny Yulyati, 2013)
3.7.2.2 Gandang Tambua
Alat musik ini termasuk dalam klasifikasi membranophone, tergolong dalam
barreldrums (gendang berbentuk silinder) dua sisi. Gandang ini berfungsi sebagai
pembawa ritem dasar untuk tarian. Dimainkan oleh 2 orang atau lebih, tapi dalam
sanggar Tigo Sapilin hanya menggunakan 2 gandang. Dalam mengiringi tari
Galombang, gandang ini dimainkan dengan cara berdiri, digantungkan disekitaran
leher sampai dibagian bawah lengan. Serta dimainkan dengan alat pukul oleh kedua
50
tangan, alat pukulnya dililit dengan karet agar suara yang dihasilkan lebih terdengar
nyaring.
Biasanya gandang ini terbuat dari kayu cempedak, rotan dan paku. Bagian
penutup kedua sisinya di tutupi dengan kulit kambing. Berukuran ±60cm, garis
tengahnya 55 – 60cm. Dibagian tengah badannya diberi lubang kecil, dimana lubang
kecil ini berfungsi untuk dapat menghasilkan suara yang lebih nyaring oleh adanya
pukulan stik ke gedangnya.
Gambar 3.10:
Gandang Tambua
(Dokumentasi Reny Yulyati, 2013)
51
Gambar 3.11:
Cara Memainkan Gandang Tambua
(Dokumentasi Reny Yulyati, 2013)
3.7.2.3 Puput Serunai
Alat musik tiup tradisional Minangkabau ini masuk dalam klasifikasi
aerophone yang berfungsi sebagai pembawa melodi yang dikembangkan
(improvisasi). Dimainkan oleh satu orang. Lagu yang dimainkan bukan berupa lagu,
melainkan berupa nada-nada bernuansa Minang.
Alat musik ini terbuat dari batang padi, sejenis kayu atau bambu, tanduk
kerbau. Untuk bagian atasnya terbuat dari kayu yang keras dan dibagian dalamnya
lunak, sehingga mudah dilubangi. Panjangnya ±20cm dan diberi 4 lobang.
Sedangkan untuk bagian yang ditiup terbuat dari bambu atau batang padi tua.
Kemudian pada bagian corongnya terbuat dari kayu atau tanduk kerbau yang
52
berbentuk lancip sepanjang 10 - 12cm. Bentuknya yang mengembang berfungsi
untuk menguatkan atau memperbesar suara.
Gambar3.12:
Puput Serunai
(Dokumentasi Reny Yulyati, 2013)
53
Gambar 3.13:
Cara Memainkan Puput Serunai
(Dokumentasi Reny Yulyati, 2013)
3.7.2.4 Talempong Pacik
Alat musik ini berjenis gong chime (gong bernada) dengan klasifikasi
idiophone, dimana suaranya berasal dari badannya sendiri. Terdiri dari 5 buah yang
berfungsi sebagai pembawa melodi dan ritem interloking. Dimainkan oleh 3 orang.
Satu orang memegang 1 gong penganak dengan nada sol, satu orang memegang 2
gong dasar dengan nada re dan fa, dan satu orang memegang 2 gong peningkah
dengan nada do dan mi.
54
Dimainkan dengan cara berdiri dan dipegang dengan tangan kiri, dan tangan
kanan memegang stik yang terbuat dari kayu kira-kira sepanjang 10 – 15cm. Pada
ujung stiknya dililitkan karet yang akan dipukulkan ke pencu talempong tersebut
untuk menghasilkan suara yang diinginkan. Talempong ini dipukul dengan cara
bergantian sesuai tempo musik.
Gambar 3.14:
Talempong
(Dokumentasi Reny Yulyati, 2013)
55
Gambar 3.15:
Cara Memainkan Talermpong Pacik
(Dokumentasi Reny Yulyati, 2013)
57
BAB IV
STRUKTUR TARI GALOMBANG, MUSIK IRINGAN,
FUNGSI, DAN HUBUNGANNYA
Menurut Tengku Luckman Sinar (1986:5) tari adalah segala gerak yang
berirama atau segala gerak yang dimaksudkan untuk menyatakan keindahan ataupun
kedua-duanya. Medium tari adalah gerak, dan alat yang digerakkan adalah tubuh,
yakni gerak tubuh yang telah diberi bentuk espresif dan estetis.
Penyusunan gerak dalam seni tari, gerak dari masing-masing penari maupun
dari kelompok penari bersama, ditambah dengan penyesuaian dengan ruang, sinar,
warna, dan seni sastranya, kesemuanya merupakan suatu pengorganisasian seni tari
yang disebut koreografi (Djelantik, 1990:23). Dimana koreografi ini memiliki ciri-
ciri khas tertentu dari bentuk tarian yang dapat dilihat dan dinikmati oleh pelakunya
dan penontonnya.
Hal ini berarti gerakan-gerakan yang terbentuk dalam tari adalah terstruktur
ataupun terpola di dalam aturan-aturan adat dan nilai keindahan setempat yang
dilakukan secara simbolis serta memiliki makna-makna tersendiri. Dimana kata
struktur disini adalah bagian-bagian yang melengkapi tari Galombang dalam
pertunjukannya saling berhubungan satu dengan yang lain, ataupun tahapan-
tahapannya.
Teori struktur tari yaitu teori yang bertujuan mendeskripsikan struktur tari
berdasar : motif, tenaga, dan struktur. Struktur disusun pula oleh gerakan: badan,
waktu, dan dinamika (Hutchinson, 1977:112-113).
Dalam struktur penyajiannya seperti yang telah dijelaskan di bab sebelumnya,
tari Galombang ini dipertunjukkan pada awal acara, memakai 6 orang penari, yang
58
gerakannya diambil dari gerakan-gerakan magek ataupun bungo silek yakni gerakan
variatif yang bersumber dari gerakan pencak silat Minangkabau yang bersifat
cekatan dan tegas. Dimana tari Galombang ini memiliki gerakan-gerakan yang
terpola dan disusun dalam bagian-bagian ragamnya, serta diatur dalam susunan pola
lantai yang dibuat.
4.1 Ragam dan Pola Gerak
Ragam gerak berarti motif gerakan-gerakan yang tersusun dalam unsur
kreatifitas garapan gerak tari. Dalam wawancara dengan ibu Sri Wahyuni selaku
penari tari Galombang, mengungkapkan bahwa tari Galombang terdapat 4 ragam
setelah gerakan silek yang ditampilkan penari laki-laki yang dimana tidak
mempunyai pola gerak tersendiri seperti ragam gerak lainnya. Empat ragam gerak
sebagai gerak dasar dalam susunan gerakan tari Galombang, yaitu: (1) sambah, yang
berarti gerakan penghormatan; (2) lapiah jaramih, gerakan menolak kejahatan; (3)
simpia, gerakan yang berupa petikan jari; dan (4) galatiak, gerakan menyuguhkan
sirih.
Pola gerakan yang dimaksud disini adalah gerakan-gerakan yang terkandung
dalam tiap-tiap ragam yang terbentuk. Ragam dan pola sangat berhubungan, yakni
bagaimana bagian-bagian dari gerakan tari saling berhubungan sehingga disatukan
dan adanya bentuk atau model (suatu set peraturan) yang bisa dipakai untuk
membuat atau menghasilkan suatu tari.
Dari 4 ragam gerakan yang disusun dalam tari Galombang yang disebutkan di
atas tadi, tiap-tiap ragam memiliki susunan pola-pola gerakan yang terkandung di
dalamnya dan selebihnya dibuat adanya pengembangan gerak yang dikreasikan. Pola
gerak tarian ini selengkapnya lihat pada Tabel 4.1.
59
4.3 Pola Lantai
Pola lantai mengacu pada empat ragam yang ada pada tari Galombang. Pola
lantai ini berdasarkan pengamatan lapangan terdiri dari pola-pola sebagai berikut.
(1) Pola lantai silek, tiga penari laki-laki melakukan gerak silek sebagai gerak
pembuka, sedangkan ke-6 penari perempuan berdiri sejajar dibelakang penari laki-
laki dengan pose tangan menyembah sampai gerakan silek penari laki-laki selesai.
Setelah selesai silek, penari laki-laki mundur ke belakang barisan penari perempuan.
(2) Pola lantai sambah, setelah penari laki-laki kembali ke barisan belakang
bersama pembawa carano, mulailah masuk musik dan penari perempuan pun mulai
menari. Dimana dalam gerak ragam pertama yakni gerak sambah, posisi penari ada 3
penari yang berpola tegak dan 3 lagi nya jongkok secara berselang-seling.
(3) Pola lantai jaramiah, dalam ragam ini, pola lantai penari dalam posisi
sejajar horizontal. Dengan demikian pola lantainya membentuk garis lurus bersaf.
(4) Pola lantai sampia. Dari pola lantai ragam ke-3, penari maju berpasangan
sesuai keseragaman warna baju, membuka jalan, membentuk seperti pagar. kalau
diabstraksikan adalah membentuk garis-garis lurus berbanjar.
(4) Pola lantai galitiak, dari pola lantai ragam ke-4, pasangan penari di depan
membuka jalan untuk pasangan di belakang maju, sehingga pasangan paling depan
mengambil posisi ke belakang dengan cara mundur. Bagian ragam ini mengalami
perulangan 2 kali. Selengkapnya bentuk poal lantai tarian ini lihat pada Tabel 4.2.
60
Tabel 4.1:
Ragam dan Pola Gerak
Ragam Gambar
Pola gerak Hitungan
Sambah 1.
Posisi badan: mengarah ke depan dan membungkuk. Posisi kaki: jongkok dengan letak kaki kanan kedepan dan kaki kiki kiri ditekuk ke belakang. Posisi tangan: kedua disokongkan ke depan, dengan ujung jari pada lantai Pandangan: menghadap ke bawah
1 x 4
61
2.
*tampak depan *tampak samping
Posisi badan : agak menyerong ke kanan. Posisi kaki: tetap jongkok Posisi tangan: tangan kanan di letakkan di belakang kepala dengan posisi jari dirapatkan, sedangkan tangan kiri di letakkan di kening dengan posisi jari di rapatkan juga. Pandangan: menghadap ke bawah
1 x 4
62
3.
Posisi badan: tegak lurus Posisi kaki: tetap jongkok Posisi tangan: tangan kanan masih tetap di belakang kepala, dan tangan kiri di angkat ke depan muka dengan posisi telapak tangan ke atas menghadap kedepan. Pandangan: menghadap ke atas dengan pandangan mengarah telapak tangan kiri.
1 x 4
63
4.
Posisi badan: tegak Posisi kaki: masih tetap jongkok Posisi tangan: tangan kanan dan tangan kiri disatukan. Pandangan: menghadap ke depan
1 x 4
64
Lapiah Jaramiah
1.
*tampak depan *tampak samping
Posisi badan: menghadap samping kanan. Posisi kaki: bersilang, kaki kanan di depan kaki kiri, dengan lutut agak di tekuk. Posisi tangan: kedua telapak tangan bertemu melakukan 1 tepukan tepat di depan dada, dengan posisi ujung jari kedepan, dan posisi lengan membuka ketiak. Pandangan: mengarah ke depan arah badan.
1 x 1
2.
*tampak depan *tampak samping
Posisi badan: seperti gambar gerak ke-1 Posisi kaki: kaki kiri lurus maju ke depan, kaki kanan tetap di tempat dan tetap ditekuk. Posisi tangan: direntangkan, tangan kanan di belakang, tangan kiri di depan, dengan posisi kedua telapak tangan dibuka. Pandangan: menghadap ketelapak tangan kiri.
1 x 1
65
3.
*tampak depan *tampak samping
Posisi badan: masih seperti gerak ke-1 dan ke-2. Posisi kaki: kaki kanan maju ditempatkan di depan kaki kiri, dan keduanya ditekuk. Posisi tangan: ayunkan tangan kanan kedepan melewati bagian bawah tangan kiri dan bawa ke arah pinggang kanan dengan posisi telapak tangan terbuka ke atas, tangan kiri teteap di tempat semula. Pandangan: tetap menghadap telapak tangan kiri.
1 x 1
4. -proses
*tampak depan *tampak samping -menuju
-proses Posisi badan: tetap seperti gerakan ke-1. Posisi kaki: tetap seperti gambar ke-3 Posisi tangan: ayunkan tangan kanan dengan proses naikkan dulu lalu tetap ayunkan kedepan, tangan kanan tetap Pandangan: tetap
1 x 1
66
*tampak depan *tampak samping
-menuju Posisi badan: tetap Posisi kaki: jadi berubah, kaki kiri maju lurus ke depan, dan kaki kanan tetap ditekuk di belakang kaki kiri. Posisi tangan: dari proses di atas, posisi tangan kanan kembali ke pinggang, tapi posisi telapak tangan menjadi terbuka kebawah, dan telapak tangan kiri jadi menghap ke dalam. Pandangan: ke depan
5. -proses
-proses Posisi badan : menyerong ke kiri Posisi kaki : kaki kanan maju Posisi tangan : ayunkan tangan kiri melewati belakang telinga Pandangan : ke depan
1 x 1
67
-menuju
*tampak depan *tampak samping
-menuju Posisi badan: tetap Posisi kaki: tetap Posisi tangan: dari proses tadi tangan kanan di ayun sampai ke depan, dengan posisi telapak tangan terbuka ke depan secara vertikal, tangan kiri tetap pada posisi Pandangan: tetap ke depan
6.
*tampak depan *tampak samping
Posisi badan: putar balik kea rah kiri, agak menyerong ke depan Posisi kaki: kaki kanan di tekuk dan menjadi tumpuan berat badan, kaki kiri di luruskan ke belakang. Posisi tangan: tangan kanan menusuk ke atas, tangan kiri di tarik ke depan dada dengan posisi telapak tangan memuka ke depan horizontal. Pandangan: ke depan
1 x 1
68
7.
*tampak depan *tampak samping
Posisi badan: seperti gerakan ke-6 Posisi kaki: menyilang, kaki kanan di depan kaki kiri, dan keduanya ditekuk. Posisi tangan: tarik kedua tangan melewati bagian ke dua samping pipi secara bersamaan. Pandangan: searah dengan arah depan badan.
1 x 1
8.
*tampak depan *tampak samping
Posisi badan: putar balik ke arah kanan, dengan keadaan tegap Posisi kaki: kaki kiri ditekuk dengan posisi telapak kaki jinjit, dan kaki kanan di samping kaki kiri dengan lutut sedikit saja di tekuk. Pandangan: menghadap ke depan.
1 x 1
69
Simpiah 1.
Posisi badan: berdiri, mengarah serong ke kiri. Posisi kaki: bersilang dan lutut agak ditekuk, dengan kaki kanan maju ke depan dan kaki kiri di belakang kaki kanan,berat badan bertumpu pada kaki kiri. Posisi tangan: tangan kanan di tekuk ke samping pinggang kanan, dan tangan kiri di julurkan lurus ke depan hadapan badan, dengan posisi kedua jari dipetik. Pandangan: searah dengan badan dan tangan kiri, menyerong ke kiri.
1 x 1
2.
Posisi badan : masih seperti posisi gerakan ke-1. Posisi kaki : masih seperti posisi kaki pada gerakan ke-1, tetapi bedanya posisi lutut diluruskan, dan berat badan bertumpu pada kaki kanan. Posisi tangan: masih sama seperti gerakan yang ke-1, Pandangan : masih sama seperti gerakan ke-1, menyerong ke kiri.
1 x 1
70
3.
Posisi badan: masih sama seperti posisi gerakan ke-1 dan ke-2. Posisi kaki: sama seperti gerakan ke-2 Posisi tangan: gantian dengan gerakan ke-2, tangan kanan di julurkan lurus ke depan hadapan badan, sedangkan tangan kiri di tekuk ke samping pinggang kiri, dengan posisi kedua jari masih tetap dipetik. Pandangan: masih sama seperti gerakan ke-1 dan ke-2
1 x 1
4.
Posisi badan: berdiri, mengarah ke depan. Posisi kaki: kaki kanan ditekuk, dan kaki kiri lurus. Posisi tangan: tangan kanan di tekuk ke sebelah pinggang kanan, tangan kiri di luruskan ke depan, dengan posisi jari ke dua tangan di petik. Pandangan: ke depan
1 x 1
71
5.
Posisi badan: menyerong ke kanan. Posisi kaki: bersilang dan lutut agak ditekuk, dengan kaki kiri maju ke depan dan kaki kanan di belakang kaki kiri,berat badan bertumpu pada kaki kanan. Posisi tangan: tangan kiri di tekuk ke samping pinggang kiri, dan tangan tangan di julurkan lurus ke depan hadapan badan, dengan posisi kedua jari dipetik. Pandangan: searah dengan badan dan tangan kanan, menyerong ke kanan.
1 x 1
6.
Posisi badan: masih seperti posisi gerakan ke-5. Posisi kaki: masih seperti posisi kaki pada gerakan ke-5, tetapi bedanya posisi lutut diluruskan, dan berat badan bertumpu pada kaki kiri. Posisi tangan: masih sama seperti gerakan yang ke-5, Pandangan: masih sama seperti gerakan ke-5, menyerong ke kanan.
1 x 1
72
7.
Posisi badan: masih sama seperti posisi gerakan ke-5 dan ke-6. Posisi kaki: sama seperti gerakan ke-6 Posisi tangan: gantian dengan gerakan ke-6, tangan kiri di julurkan lurus ke depan hadapan badan, sedangkan tangan kanan di tekuk ke samping pinggang kanan, dengan posisi kedua jari masih tetap dipetik. Pandangan: masih sama seperti gerakan ke-5 dan ke-6.
1 x 1
8.
Posisi badan: berdiri, mengarah ke depan. Posisi kaki: kaki kiri ditekuk, dan kaki kanan lurus. Posisi tangan: tangan kiri di tekuk ke sebelah pinggang kiri, tangan kanan di luruskan ke depan, dengan posisi jari ke dua tangan di petik. Pandangan: ke depan
1 x 1
73
Galatiak 1.
Posisi badan: menghadap ke samping kiri Posisi kaki: mengangkang, kaki kiri dengan kaki kanan dibuka lebar sejajar dengan bahu. Posisi tangan: tangan kanan dan tangan kiri di ayunkan ke depan searah badan, dengan posisi jari kedua tangan saling di petik. Pandangan: mengikuti arah ayunan ke dua tangan.
1 x 1
2.
Posisi badan: menyerong ke kiri Posisi kaki: ujung kaki kanan lurus mengarah ke depan, dan ujung kaki kiri menyerong kea rah kiri sesuai badan, ditekuk, dan menjadi tumpuan badan. Posisi tangan: tangan kanan dan tangan kiri di ayunkan ke depan searah badan sama seperti gerakan ke -1,namun tangan kiri tidak sama panjangnya dengan tangan kanan,tangan kiri hanya diayun sampai di samping pinggang kiri, dengan posisi jari kedua tangan tetap saling di petik Pandangan: mengikuti arah ayunan ke dua tangan
1 x 1
74
3.
Posisi badan: menghadap ke samping kanan Posisi kaki: mengangkang, kaki kiri dengan kaki kanan di buka lebar sejajar dengan bahu. Posisi tangan: tangan kanan dan tangan kiri di ayunkan ke depan searah badan, dengan posisi jari kedua tangan saling di petik. Pandangan: mengikuti arah ayunan ke dua tangan.
1 x 1
4.
Posisi badan: menyerong ke kanan Posisi kaki: ujung kaki kiri lurus mengarah ke depan, dan ujung kaki kanan menyerong ke arah kanan sesuai badan, di tekuk, dan menjadi tumpuan badan. Posisi tangan: tangan kanan dan tangan kiri di ayunkan, namun tangan kanan hanya diayun sampai di samping pinggang kanan, tangan kanan sampai menyerong kiri,dengan posisi jari kedua tangan tetap saling di petik. Pandangan: mengikuti arah ayunan ke dua tangan
1 x 1 Bagian ragam ini mengalami 2 kali perulangan, jadi jumlah hitungannya 8.
75
Pola lantai mengacu pada pola lantai yang ada pada tari Galombang
Nama ragam Pola lantai Gambar
Keterangan
Silek
3 penari laki-laki melakukan gerak silek sebagai gerak pembuka, sedangkan ke-6 penari perempuan berdiri sejajar dibelakang penari laki-laki dengan pose tangan menyembah sampai gerakan silek penari laki-laki selesai. Setelah selesai silek, penari laki-laki mundur ke belakang barisan penari perempuan.
Sambah
Setelah penari laki-laki kembali ke barisan belakang bersama pembawa carano, mulailah masuk musik dan penari perempuan pun mulai menari. Dimana dalam gerak ragam pertama yakni gerak sambah, posisi penari ada 3 penari yang berpola tegak dan 3 lagi nya jongkok secara berselang-seling. : tanda bahwa penari jongkok.
76
Lapiah jaramih
Dalam ragam ini, pola lantai penari dalam posisi sejajar horizontal.
Simpia
Dari pola lantai ragam ke-3, penari maju berpasangan sesuai keseragaman warna baju, membuka jalan, membentuk seperti pagar.
77
Galatiak
Dari pola lantai ragam ke-4, pasangan penari di depan membuka jalan untuk pasangan di belakang maju, sehingga pasangan paling depan mengambil posisi ke belakang dengan cara mundur. Bagian ragam ini mengalami perulangan 2 kali.
Keterangan :
: penari perempuan
: penari laki-laki
: anak daro
78
4.4 Kostum dan Tata Rias
Kostum (tata pakaian) dan tata rias yang tepat berguna memperjelas sesuai
dengan tema tari yang disajikan dan akan dinikmati oleh penonton (Soetedjo, 1983:4
dalam Laporan Penelitian ASKI oleh Risnawati). Persiapan kostum dan tata rias
yang digunakan sangat diperlukan oleh penari dan pemusik untuk mendukung
pertunjukan yang mereka sajikan di lapangan.
Dari hasil pengamatan di lapangan yang penulis lakukan dan wawancara
dengan ibu Riza, selaku pengelola dan penari juga di sanggar Tigo Sapilin sekarang
ini untuk kostum tari Galombang memiliki lumayan banyak kostum, jadi tiap
pemilihan pemakaian tiap pertunjukan disesuaikan berdasarkan kesepakatan
bersama. Walaupun tidak begitu lengkap inventaris kostum dan aksesoris, namun
para anggota sanggar berusaha untuk memberikan yang terbaik dalam setiap
penampilannya.
Kostum yang mereka miliki walau tidak didatangkan dari tempat asalnya,
tetapi dibuat menyerupai dengan yang ada di Minangkabau sehingga tidak
mengurangi ciri khasnya. Seperti yang dikemukakan oleh Soedarsono dalam
Laporan Penelitian ASKI oleh Risnawati, bahwa tari-tarian tradisional yang harus
dipertahankan adalah desainnya dan warna simbolisnya. Warna kostum tersebutnya
pada dasarnya berwarna hitam, merah, dan kuning, seperti warna khasnya orang
Minangkabau, dimana warna hitam sendiri memiliki simbol kebijaksanaan, merah
memiliki simbol keberanian, sedangkan warna kuning memiliki simbol kesan
keagungan dan penuh kegembiraan. Akan tetapi pada perkembangan sekarang
kostum dikreasikan di tambah dengan warna biru dan merah muda, agar nampak
lebih banyak warna dan indah dalam penyajiannya.
79
4.4.1 Kostum dan Properti
Adapun kostum yang dikenakan saat penyajian tari Galombang, yaitu kostum
penari perempuan, dan kostum penari laki-laki. Kostum ini juga adalah kostum adat
Minangkabau. Namun penggunaannya cenderung untuk seni pertunjukan dalam hal
ini.
4.4.1.1 Kostum dan Asesori Penari Perempuan
Berdasarkan pengamatan lapangan dan keterlibatan penulis sebagai penari
tarian Galombang selama ini, maka paling tidak ada 7 perlengkapan seorang penari
perempuan,, termasuk di dalamnya busana (kostum) dan asesori. Ketujuhnya adalah:
baju kuruang, kain saruang, teratai, bending, tengkuluk, magek, dan anting.
Selengkapnya dideskripsikan sebagai berikut.
1. Baju kuruang (baju kurung), selayaknya busana tradisional Minangkabau,
berlengan panjang, longgar, tanpa saku, dan ada yg berwarna hitam, merah,
kuning, dan biru. Lengan yang longgar melambangkan sifat yang ringan
tangan dalam membantu kesukaran orang lain. Baju kuruang yang dihiasi
dengan benang emas dan tepi bawahnya diberi minsai bermakna bahwa
seorang wanita Minangkabau harus mematuhi batas-batas adat dan tidak
boleh melanggarnya.
2. Kain saruang, kain ini merupakan rok panjang yang longgar juga. Biasanya
warnanya disesuaikan dengan warna baju kuruang yang dikenakan. Sarung
ini untuk menutup bagian tertentu sehingga sopan dan tertib dipandang
mata. Susunan belahannya ada yg berbelah di belakang dan ada yang
berbelah disamping.
80
3. Teratai, ini merupakan hiasan pada bahu. Berwarna hitam, dan diberi
manik-manik hiasan berwarna emas. Jika tidak mengenakan teratai ini,
biasanya diganti dengan menggenakan kalung yang ukuran lingkarnya
seleher. Sehingga ketika kalung itu dikenakan akan terlihat seakan-akan
mencekik leher. Makna yang terkandung dalam kalung tersebut adalah
bahwa orang hidup mesti disiplin.
4. Bending atau ikat pinggang, pada bagian pinggang diikatkan kain atau
bending, dimana kain ini ada yang berwarna merah dan ada yang berwarna
hitam. Ikat pinggang ini biasanya di beri tambahan bending yang
merupakan bahan kaleng yang berwarna emas, ini dibuat agar lebih terlihat
indah.
5. Tengkuluk, yaitu hiasan kepala yang berbentuk seperti tanduk runcing dan
bercabang, yang berumai benang warna emas. Tengkuluk dari perlengkapan
ini bermakna kepemilikan rumah gadang.
6. Magek, merupakan hiasan kepala juga yang terbuat dari hiasan kain sejenis
sarung yang dibentuk seperti bunga pada bagian depannya.
7. Anting, adalah bagian telinga diberi hiasan berupa anting. Biasanya bentuk
anting yang dikenakan adalah bentuk bunga.
Ketujuh unsur busana dan properti bagi penari Galombang itu dapat dilihat
tampilan visualnya pada gambar-gambar berikut ini.
81
Tengkuluk Anting Magek
Baju Kuruang kain sarung
teratai bending
Gambar 4.1:
Kostum dan Properti Penari Perempuan
untuk Tari Galombang
(Dokumentasi: Reny Yulyati, 2013)
82
4.4.1.2 Kostum dan Asesori Penari Laki-laki
Untuk penari laki kostum dan asesorinya adalah terdiri dari: baju guntiang
Cino, sarawa galembong, deta sabang-sabang, cawek, dan kain songket. Kelima
unsure kostum dan asesori penari laki-laki untuk tari Galombang Minangkabau ini
dideskripsikan sebagai berikut.
1. Guntiang Cino, bentuknya selayaknya baju tradisional Minangkabau
berwarna biru, berlengan panjang dan longgar. Lengan longgar
melambangkan sifat orang Minangkabau yang ringan tangan dalam
membantu kesukaran orang lain.
2. Sarawa galembong, yang merupakan celana panjang hitam dan longgar,
yang melambangkan kemampuan dalam mengambil lankah yang bijaksana.
3. Deta sabang-sabang, merupakan kat kepala, yang terbuat dari kain batik
yang dilipat segitiga kemudian dilipat rata ke atas dengan bentuk
segitiganya ditengah dilajurkan ke depan lalu diikat ke kepala.
4. Cawek atau cawat, yaitu kain yang dililitkan ke pinggang, dengan kata lain
ikat pinggang. Melambangkan kekukuhan, kekuatan, atau pegangan yang
dapat menyatukan kaum masyarakat.
5. Songket, kain songket yang di kenakan pada bagian pinggul. Kain ini hanya
tambahan sebagai kreasi.
Tampilan visual untuk kostum dan asesori penari Galombang laki-laki adalah
seperti pada gambar berikut ini.
83
Guntiang Cino Deta Sabang-sabang
Songket
Sarawa Galembong Cawek
Gambar 4.2:
Kostum dan Properti Penari Laki-laki
untuk Tari Galombang
(Dokumentasi: Reny Yulyati, 2013)
84
4.4.2 Tata Rias
Sesuai dengan pendapat Soetedjo (1983:4) dalam Laporan Penelitian ASKI
oleh Risnawati tadi bahwa tata rias yang tepat juga berguna memperjelas sesuai tema
tari yang disajikan dan akan dinikmati penonton. Persiapan tata rias yang digunakan
juga sangat diperlukan oleh penari dan pemusik untuk mendukung pertunjukan yang
mereka sajikan di lapangan.
Begitu pula pada pertunjukan tari Galombang ini, dalam persiapannya penari
harus memperhatikan tata rias mereka. Biasanya yang menjadi tata rias mereka lebih
dipercayakan mereka pada diri mereka masing-masing. Mereka tidak perlu ke salon,
karena menurut ibu Riza yang namanya penari harus bisa merias diri sendiri. Akan
tetapi warna make up dan segala perlengkapannya disesuaikan dengan kesepakatan
bersama agar seragam. Tata rias ini terbagi 2, yaitu sebagai berikut.
(a) Tata rias wajah atau make-up, biasanya dalam keseragamannya, tiap-tiap
pasangan dalam kesemaan pakaiannya warna make-upnya disesuaikan dengan
kecocokan warna pakaian yang dikenakannya. Dalam tata rias wajah yang
digunakan ada foundation / alas bedak, bedak, eye shadow, shading, blush on, celak,
bulu mata palsu, lipstick.
Foundation yang digunakan penari adalah foundation yang bisa tahan lama.
Bergerak banyak dan terkena sinar matahari akan menghasilkan keringat yang
berlebihan, agar polesan make-up tidak luntur makanya menggunakan foundation
yang tahan lama.
Bedak yang dipilih penari untuk digunakan biasanya warna bedak yang masuk
dengan warna kulit. Eye shadow yang digunakan biasanya ada 3 tingkatan warna,
pada tingkat pertama warna yang dipilih adalah warna yang serupa dengan warna
85
pakaian yang dikenakan. Misalnya, jika pakaian yang digunakan adalah warna
merah, maka warna eye shadow tingkat pertamanya digunakan warna merah. Jika
warna pakaian yang digunakan warna kuning, maka eye shadow tingkat pertamanya
digunakan warna kuning pula, begitu seterusnya.
Pada eye shadow tingkat kedua biasanya menggunakan warna gelap, seperti
hitam dan coklat, posisi ini dibuat di bagian sudut mata agar nampak pertegasan pada
mata. Tingkat ke-3 atau paling atas di buat warna putih. Setelah 3 tingkatan tersebut
ditempelkan bulu mata palsu agar terlihat lebih indah.
Shading yang digunakan untuk penegasan pada hidung, dan blush on
digunakan untik penegasan pada bagian pipi. Sedangkan celak digunakan untuk
penegasan pada alis mata. Begitu juga pada bibir, dalam penegasannya digunakan
lipstick yang berwarna merah.
Tatanan make up pada penari laki-laki lebih sederhana daripada penari
perempuan. Pada penari laki-laki hanya menggunakan foundation, bedak, dan celak
pada alis dan lingkar mata bawah sebagai penajaman mata.
(b) Tata rias rambut, pada penataan rambut, masing-masing penari mengikat
rambutnya menjadi satu. Setelah diikat dipasangkan sanggul, dan diberi pernak-
pernik hiasan seperti bunga dan sunting agar terlihat indah. Kemudian tiap pasangan
penari mengenakan tengkuluk ataupun magek.
Aspek gerak, ragam tarian, pola gerak, pola lantai, pakaian dan asesori untuk
para penari tarian Galombnag ini menjadi bahagian yang integral dalam konteks
penyajiannya di dalam upacara perkawinan adat Minangkabau, termasuk di Kota
Medan. Unsur-unsur tarian ini harus disadari dan difahami oleh setiap penari tarian
ini. apalagi jika ia seorang penari profesional. Namun demikian, selain aspek tarian,
yang juga penting adalah aspek musik pengiring, seperti uraoan berikut.
78
4.5 Struktur Musik Iringan
4.5.1 Analisis Musik
Menurut Nettl, (1964:98) ada dua pendekatan berkenaan dengan
pendeskripsian musik yaitu: (1) kita dapat mendeskripsikan dan menganalisis apa
yang kita dengar; (2) kita dapat menuliskan berbagai cara keatas kertas dan
mendeskripsikan apa yang kita lihat.
Dari dua hal di atas untuk memvisualisasikan musik iringan tari Galombang,
penulis melakukan transkripsi agar lebih muda menganalisisnya terutama tangga
nada, motif, kadensa, dan lain-lain. Sehingga dengan demikian diharapkan dapat
membantu kita untuk mengkomunikasikan kepada pihak lain tentang apa yang kita
pikirkan dari apa yang kita dengar. Dalam pentranskripsian, penulis menggunakan
notasi Barat untuk memperlihatkan bunyi musikal yang terdengar. Sebagaimana
dikatakan oleh Nettl, (1964:94) yang mengutip pendapat Seegers tentang penulisan
notasi musik bahwa notasi musik terdiri dari dua bagian yaitu notasi deskriptif dan
notasi preskriptif.
Lebih lanjut dikatakan bahwa notasi deskriptif ialah notasi yang
menggambarkan secara terperinci aspek-aspek musikal yang terdapat pada musik.
Sedangkan notasi preskriptif hanya menuliskan bagian-bagian yang dianggap
menonjol dalam suatu musik tanpa harus menuliskan secara lengkap hal-hal yang ada
dalam musik. Oleh karena itu, dalam skripsi ini penulis menggunakan pendekatan
yang pertama yaitu notasi deskriptif. Salah satu dari notasi deskriptif adalah
penggunaan notasi balok. Hal ini didukung oleh keberadaannya yang dianggap
secara efektif dalam pentranskripsian. Demikian pula tinggi rendahnya nada,
simbol-simbol nada pada garis paranada, durasi, ritmis, dan lain-lain. Alasan dalam
79
hal ini dikarenakan notasi Barat dapat mewakili nada-nada yang terdapat dalam
musik iringan tarian ini, dan juga sering digunakan dalam penulisan suatu musik.
Musik dalam pertunjukan tari Galombang pada perkawinan masyarakat
Minangkabau di Kota Medan hanya sebagai musik pengiring. Keberadaan musik
iringan dalam tari Galombang merupakan hal yang berkaitan, dimana tari ini
mengikuti musik. Iringan musik menjadi pembentuk suasana, dan untuk
memperjelas tekanan-tekanan gerakan begitu juga pergantian ragam dan pola-pola
gerakan yang ada.
Dalam mengiringi tari Galombang, lagu yang dimainkan bernama lagu Tigo
Duo. Ada 3 struktur musik iringan yang baku digunakan. Pertama musik pembuka,
yaitu menggunakan 2 alat musik, yakni tasa dan gandang tambua. Kedua alat musik
ini saling bersahut-sahutan. Kedua adalah musik Galombang, menggunakan 4 alat
musik, yakni tasa sebagai peningkah atau bisa dikatakan sebagai pengisi, gandang
tambua sebagai pembawa ritem dasar untuk tarian, talempong pacik sebagai
pembawa melodi dan ritem interloking, dan puput serunai sebagai pembawa melodi
yang dikembangkan (improvisasi). Yang ketiga musik penutup, yang juga
menggunakan ke-4 alat musik tadi yaitu tasa, gandang tambua, talempong pacik, dan
serunai. Pada ke-4 alat musik ini yang menjadi pembawa tempo yang paling penting
dalam pembuka dan penutup musik adalah tasa.
Dalam menganalisa struktur musik pengiring tari Galombang ini, penulis
hanya menganalisa pada alat musik talempong dan puput serunai, hal ini dikarenakan
kedua alat musik ini berfungsi sebagai pembawa melodi. Penganalisisan musik yang
penulis lakukan pada ensambel talempong pacik berupa nada dasar yang digunakan,
dan ritem. Sedangkan untuk puput serunai, penulis menggunakan teori William P.
Malm yang dikenal dengan teori weighted scale dan hal-hal yang harus diperhatikan
80
dalam mendeskripsikan melodi, yaitu (1) tangga nada (scale), (2) nada dasar (pitch
center), (3) wilayah nada (range), (4) jumlah nada (frequency of note), (5) jumlah
interval, (6) pola kedensa (cadence patterns), (7) formula melodik (melody formula),
dan (8) kontur (contour) (Malm dalam terjemahan Takari 1993:13).
4.5.2 Model Notasi
Dalam transkripsi kedua mantra menggunakan notasi Barat, hal ini dilakukan
agar dapat dipahami secara universal. Ada beberapa simbol yang digunakan, yaitu:
Garis paranada yang memiliki lima buah garis paranada dan empat buah spasi
dengan tanda kunci G.
Merupakan not ½ yang bernilai dua ketuk.
Merupakan not ¼ yang bernilai satu ketuk.
Merupakan not 1/8 yang bernilai setengah ketuk.
Merupakan dua buah not 1/8 yang digabung menjadi satu ketuk.
81
Simbol-simbol di atas merupakan simbol-simbol yang terdapat dalam lampiran
partitur yang perlu diketahui agar pembaca memahami makna-maknanya.
4.5.3 Ensambel Talempong Pacik
Talempong pacik ini berjumlah 5 buah talempong yang dibagi 3 bagian, yaitu
penganak, dasar, dan peningkah. Ketiga talempong ini memiliki melodi dan pola
ritem yang berbeda-beda, namun ketiganya saling menjalin. Dalam hal ini ritem
talempong penganak, dasar, dan peningkah konstan dalam musik iringan tari
Galombang.
6. Penganak
Pada talempong penganak, nada yang dihasilkan berupa nada sol(5)
7. Dasar
Pada talempong dasar ini, nada yang dihasilkan berupa nada re (2) dan
fa (4)
8. Paningkah
Pada talempong paningkah, nada yang dihasilkan berupa nada do (1)
dan mi (3)
82
4.5.4 Melodi Puput Serunai dan Strukturnya
Berikut hasil transkripsi melodi puput serunai dalam musik iringan tari
Galombang pada upacara perkawinan masyarakat Minangkabau :
4.5.4.1 Tangga Nada
Nettl,(1964 : 1945) mengemukakan bahwa cara-cara untuk mendeskripsikan
tangga nada adalah menuliskan nada-nada yang dipakai tanpa melihat fungsi masing-
masing dalam musik. Tangga nada tersebut kemudian digolongkan menurut
beberapa klasifikasi, yaitu menurut jumlah nada yang dipakai. Diatonic (dua nada),