HUBUNGAN PERAN PEREMPUAN DALAM SISTEM PENGHIDUPAN PENDUDUK DENGAN PERAN PEREMPUAN DALAM GERAKAN PETANI LAHAN PASIR KULON PROGO YOGYAKARTA FIKA FATIA QANDHI DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014
127
Embed
HUBUNGAN PERAN PEREMPUAN DALAM SISTEM … · PEREMPUAN DALAM GERAKAN PETANI LAHAN PASIR KULON PROGO YOGYAKARTA ... Mahasiswa FEMA IPB, serta seluruh pihak yang tidak bisa disebutkan
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
HUBUNGAN PERAN PEREMPUAN DALAM SISTEM
PENGHIDUPAN PENDUDUK DENGAN PERAN
PEREMPUAN DALAM GERAKAN PETANI LAHAN PASIR
KULON PROGO YOGYAKARTA
FIKA FATIA QANDHI
DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT
FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014
ii
iii
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul Hubungan Peran
Perempuan dalam Sistem Penghidupan Penduduk dengan Peran Perempuan dalam
Gerakan Petani Lahan Pasir Kulon Progo Yogyakarta adalah benar karya saya
dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun
kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi berasal atau dikutip dari
karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan
dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Oktober 2014
Fika Fatia Qandhi
NIM I34100132
iv
v
ABSTRAK
FIKA FATIA QANDHI Hubungan Peran Perempuan dalam Sistem Penghidupan
Penduduk dengan Peran Perempuan dalam Gerakan Petani Lahan Pasir Kulon
Progo Yogyakarta. Di bawah bimbingan SATYAWAN SUNITO
Gerakan petani tidak pernah luput dari peran dan keterlibatan perempuan di
dalamnya. Perempuan tidak hanya berperan di bidang domestik, namun peran
perempuan juga dirasakan sebagai pendorong dan penyokong gerakan petani.
Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis peran perempuan dalam gerakan
petani lahan pasir Kulon Progo, serta menganalisis hubungannya dengan peran
perempuan dalam sistem penghidupan penduduk pesisir. Penelitian ini dilakukan
dengan menggunakan metode penelitian survei. Metode penarikan sampel yang
digunakan pada penelitian ini adalah acak sederhana dengan jumlah responden
sebanyak 30 orang. Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif dan
pendekatan kualitatif. Hasil penelitian menunjukan bahwa perempuan terlibat
secara sadar di dalam perjuangan, namun secara umum pembagian kerja di dalam
gerakan petani di Kulon Progo masih mengikuti pembagian kerja gender
tradisional. Perempuan terlibat aktif dalam perlawanan-perlawanan lingkup lokal,
dimana aksi-aksi tersebut bersifat spontan, tanpa ada perencanaan, dan setiap
warga berkesempatan untuk ikut serta.
Kata kunci: Gerakan petani, Peran gender, Peran perempuan
ABSTRACT
FIKA FATIA QANDHI The Relationship between Women Role in Livelihood
System with Their Role in The Movement of Sand Land Farmer of Kulon Progo
Yogyakarta. Under the guidance of SATYAWAN SUNITO
The farmer movement never occur without women role in the movement.
Women not only play domestic role, but also as a booster and advocate in the
farmer movement. The purpose of this study is to analyze the role of women in
the movement of Kulon Progo farmer, as well as to analyze the relationship
between women role in livelihood system of coastal society. The study was
conducted using research survey method. The sampling method used in this study
is simple random sampling with 30 correspondences. This study uses a
quantitative approach and qualitative approach. The results shows that women
consciously involved in the movement, but in general the division of labor in the
movement still follow the traditional gender. Women are actively involved in the
local fight, where the actions were spontaneous, without any plan and every
member of the society had the chance to participate.
Key Words: Farmer movement, Gender role, Women role
vi
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat
pada
Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat
HUBUNGAN PERAN PEREMPUAN DALAM SISTEM
PENGHIDUPAN PENDUDUK DENGAN PERAN PEREMPUAN
DALAM GERAKAN PETANI LAHAN PASIR
KULON PROGO YOGYAKARTA
FIKA FATIA QANDHI
DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT
FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014
viii
ix
Judul Skripsi : Hubungan Peran Perempuan dalam Sistem Penghidupan
Penduduk dengan Peran Perempuan dalam Gerakan Petani
Lahan Pasir Kulon Progo Yogyakarta
Nama : Fika Fatia Qandhi
NIM : I34100132
Disetujui oleh
Dr Satyawan Sunito
Pembimbing
Diketahui oleh
Dr Ir Siti Amanah, M.Sc
Ketua Departemen
Tanggal Lulus: _______________
x
xi
PRAKATA
Puji dan syukur penulis ucapkan ke hadirat Allah SWT yang telah
melimpahkan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan
karya ilmiah yang berjudul Hubungan Peran Perempuan dalam Sistem
Penghidupan Penduduk dengan Peran Perempuan dalam Gerakan Petani Lahan
Pasir Kulon Progo Yogyakarta dengan baik. Penelitian yang dilaksanakan sejak
bulan Februari 2014 ini mengangkat tema peran perempuan dengan lokasi
penelitian di Desa Bugel, Kecamatan Panjatan, Kabupaten Kulon Progo,
Yogyakarta.
Ucapan terima kasih sebesar-besarnya penulis sampaikan kepada Bapak
Dr Satyawan Sunito selaku pembimbing skripsi. Penulis juga menyampaikan
hormat dan terima kasih kepada orang tua tersayang, Ayahanda Saiful Fikri dan
Ibunda Elidawati serta seluruh keluarga besar yang telah memberikan dukungan,
bantuan, dan doa untuk penulis. Selain itu, penghargaan dan terima kasih penulis
sampaikan untuk Keluarga Besar Mas Warsito, Mas Widodo, Mbak Isyanti,
Keluarga Besar Paguyuban Petani Lahan Pantai Kulon Progo, dan seluruh
responden serta masyarakat pesisir Kulon Progo. Kemudian penulis ucapkan
terima kasih kepada Mas Eko dan Muhammad Ichsan yang membantu penulis
dalam proses penelitian ini.
Penulis juga menyampaikan terima kasih kepada seluruh keluarga besar
SKPM terutama kepada para dosen, staf, dan seluruh civitas akademik
Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat yang telah
memberikan ilmu dan bantuan untuk penulis. Ungkapan terima kasih juga penulis
sampaikan kepada sahabat-sahabat SKPM 47 sebagai keluarga kedua yang telah
memberikan banyak dukungan dan semangat. Kemudian terima kasih juga penulis
sampaikan kepada para sahabat Fida, Arin, Chakim, Aktiandari dan Idah, atas
dukungannya. Terakhir penulis mengucapkan terima kasih kepada seluruh pihak
yang telah berkontribusi dalam kehidupan penulis yaitu Badan Eksekutif
Mahasiswa FEMA IPB, serta seluruh pihak yang tidak bisa disebutkan satu per
satu.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat
Bogor, Oktober 2014
Fika Fatia Qandhi
xii
xiii
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL xv
DAFTAR GAMBAR xvi
DAFTAR LAMPIRAN xvi
PENDAHULUAN 1
Latar Belakang 1
Rumusan Masalah 3
Tujuan Penelitian 4
Kegunaan Penelitian 4
PENDEKATAN TEORITIS 5
Tinjauan Pustaka 5
Gerakan Petani 5
Bentuk-bentuk dan Strategi Perlawanan Petani 6
Faktor-faktor Munculnya Gerakan Petani 9
Bentuk-bentuk Peran Perempuan 12
Peran Gender 14
Analisis Gender 15
Kerangka Penelitian 17
Hipotesis Penelitian 19
Definisi Operasional 19
PENDEKATAN LAPANGAN 25
Metode Penelitian 25
Lokasi dan Waktu Penelitian 25
Teknik Pengambilan Informan dan Responden 26
Teknik Pengumpulan Data 27
Teknik Pengolahan dan Analisis Data 27
PROFIL DESA BUGEL 29
Kondisi Geografis 29
Kondisi Sosial Budaya 29
Kondisi Pertanian Lahan Pasir 31
Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat Pesisir 35
Ikhtisar 39
PENDAPAT PEREMPUAN TENTANG KONFLIK DI KULON PROGO
DAN GERAKAN PETANI KULON PROGO
41
Pendapat Perempuan tentang Konflik di Kulon Progo 41
Pendapat Perempuan tentang Gerakan Petani Lahan Pasir Kulon Progo 43
Ikhtisar 49
PERAN PEREMPUAN DALAM SISTEM PENGHIDUPAN PENDUDUK 51
Peran Gender 51
Peran Reproduktif 52
Peran Produktif 53
Peran Sosial (Masyarakat) 57
Akses dan Kontrol 58
Akses dan Kontrol terhadap Sumberdaya Fisik/Material 58
Akses dan Kontrol terhadap Sumberdaya Sosial-Budaya 60
xiv
Akses dan Kontrol terhadap Pasar Komoditas dan Tenaga Kerja 61
Akses dan Kontrol terhadap Manfaat 62
Ikhtisar 62
PERAN PEREMPUAN DALAM GERAKAN PETANI LAHAN PASIR
KULON PROGO
65
Keterlibatan Perempuan dalam Gerakan Petani 65
Akses dan Kontrol Perempuan terhadap Gerakan Petani 74
Faktor-faktor Lain yang Mempengaruhi Peran Perempuan dalam
Gerakan Petani
78
Ikhtisar 80
PENUTUP 83
Simpulan 83
DAFTAR PUSTAKA 85
LAMPIRAN 87
RIWAYAT HIDUP 111
xv
DAFTAR TABEL
Tabel 1 Klasifikasi peran gender 15
Tabel 2 Tabel kronologi gerakan petani lahan pasir Kulon Progo 46
Tabel 3 Pembagian peran reproduktif laki-laki dan perempuan Desa
Bugel,2014
53
Tabel 4 Pembagian peran produktif laki-laki dan perempuan Desa
Bugel pada pertanian komoditas cabai keriting, 2014
54
Tabel 5 Pembagian peran produktif laki-laki dan perempuan Desa
Bugel pada pertanian komoditas melon, 2014
55
Tabel 6 Pembagian peran produktif laki-laki dan perempuan Desa
Bugel pada sektor perdagangan dan peternakan, 2014
56
Tabel 7 Pembagian peran sosial laki-laki dan perempuan Desa
Bugel, 2014
57
Tabel 8 Akses dan kontrol laki-laki dan perempuan Desa Bugel
terhadap sumberdaya fisik/material, 2014
60
Tabel 9 Akses dan kontrol laki-laki dan perempuan Desa Bugel
terhadap sumberdaya sosial-budaya, 2014
61
Tabel 10 Akses dan kontrol laki-laki dan perempuan Desa Bugel
terhadap pasar komoditas dan tenaga kerja, 2014
62
Tabel 11 Akses dan kontrol laki-laki dan perempuan Desa Bugel
terhadap manfaat, 2014
62
Tabel 12 Keterlibatan perempuan dalam gerakan petani Desa Bugel,
2014
70
Tabel 13 Tingkat keterlibatan perempuan Desa Bugel dalam gerakan
petani, 2014
72
Tabel 14 Tabulasi silang antara tingkat pendidikan perempuan
dengan tingkat keterlibatan perempuan Desa Bugel dalam
gerakan petani, 2014
74
Tabel 15 Akses dan kontrol perempuan Desa Bugel dalam gerakan
petani, 2014
75
Tabel 16 Tingkat akses dan kontrol perempuan Desa Bugel dalam
gerakan petani, 2014
76
xvi
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1 Kerangka penelitian peran perempuan dalam gerakan
petani lahan pasir kulon progo
18
Gambar 2 Peta Desa Bugel 89
Gambar 3 Salah satu ladang cabe keriting di Desa Bugel 106
Gambar 4 Salah satu contoh tanaman cabe keriting di Kulon Progo 106
Gambar 5 Kegiatan konvoi Ulang Tahun PPLP tahun 2014 106
Gambar 6 Salah satu kegiatan Fundrising PPLP yakni penyablonan
baju
106
Gambar 7 Wawancara dengan petani Kulon Progo 106
Gambar 8 Masyarakat pesisir saat memeriahkan Ulang Tahun PPLP
tahun 2014
106
Gambar 9 Hasil lukisan bertema perlawanan petani oleh seniman 107
Gambar 10 Wawancara dengan petani Kulon Progo 107
Gambar 11 Perempuan Desa Bugel ketika menyiangi tanaman 107
Gambar 12 Aksi solidaritas petani Kulon Progo di Titik 0 KM,
Jogjakarta
107
Gambar 13 Perempuan memetik cabe keriting ketika panen raya 107
Gambar 14 Kegiatan panen raya di Garongan 107
Gambar 15 Aksi demontrasi Kulon Progo pada 22 Desember 2010 108
Gambar 16 Aksi demontrasi Kulon Progo pada 22 Desember 2010 108
Gambar 17 Aksi demontrasi Kulon Progo pada 22 Desember 2010 108
Gambar 18 Aksi demontrasi Kulon Progo pada 22 Desember 2010 108
Gambar 19 Aksi demontrasi Kulon Progo pada 15 Desember 2010 108
Gambar 20 Aksi demontrasi Kulon Progo pada 15 Desember 2010 108
Gambar 21 Aksi demontrasi Kulon Progo pada 15 Desember 2010 109
Gambar 22 Kegiatan Ulang Tahun PPLP tahun 2014 109
Gambar 23 Aksi demontrasi Kulon Progo pada 15 Desember 2010 109
Gambar 24 Aksi demontrasi Kulon Progo pada 15 Desember 2010 109
Gambar 25 Kegiatan diskusi petani Kulon Progo di Bandung 109
Gambar 26 Kegiatan menonton film perjuangan petani Trisik 109
kewenangan untuk mengikuti pertemuan dengan kelompok gerakan petani
lainnya, kewenangan untuk mengikuti diskusi dengan kelompok gerakan
petani lainnya, kewenangan untuk menjalin solidaritas dengan kelompok
gerakan petani lainnya, kewenangan untuk menjalin solidaritas dengan
individu-individu lainnya (seniman, agamawan, dan akademisi),
kewenangan untuk mengikuti aksi-aksi, demonstrasi, atau kampanye, dan
kewenangan untuk mengikuti kegiatan-kegiatan gerakan petani lainnya
(pementasan drama, pencegatan pihak penambang, dll). Skala pengukuran
yang digunakan adalah skala ordinal yang terbagi menjadi tiga kategori,
yakni:
- Tinggi, apabila skor total variabel berada pada rentang 6-8
- Sedang, apabila skor total variabel berada pada rentang 9-11
- Rendah, apabila skor total variabel berada pada rentang 12-14
25
PENDEKATAN LAPANGAN
Metode Penelitian
Metode yang digunakan pada penelitian ini adalah metode penelitian survei.
Penelitian survei adalah penelitian yang datanya dikumpulkan dari sampel atas
populasi untuk mewakili seluruh populasi. Informasi yang dikumpulkan dalam
penelitian survei adalah informasi dari responden dengan menggunakan
kuesioner. Penelitian yang dilakukan termasuk ke dalam penelitian deskriptif.
Menurut Bungin (2005), penelitian deskriptif dimaksudkan hanya untuk
menggambarkan, menjelaskan, atau meringkaskan berbagai kondisi, situasi,
fenomena atau berbagai variabel penelitian menurut kejadian sebagaimana adanya
yang dapat dipotret, diwawancara, diobservasi, serta yang dapat diungkapkan
melalui bahan dokumenter.
Penelitian ini menggunakan pendekatan penelitian kuantitatif dan
pendekatan penelitian kualitatif untuk memperkaya data dan informasi yang
diperoleh. Pendekatan kuantitatif akan diteliti menggunakan instrumen kuesioner.
Terdapat tiga konsep yang diukur secara kuantitatif. Pertama, ialah konsep
mengenai peran perempuan dalam sistem penghidupan penduduk dengan variabel
yang diukur berupa peran (pembagian kerja) reproduktif, peran (pembagian kerja)
produktif, peran (pembagian kerja) sosial, akses dan kontrol terhadap sumberdaya
fisik/material, akses dan kontrol terhadap sumberdaya sosial-budaya, akses dan
kontrol terhadap pasar komoditas dan tenaga kerja serta akses dan kontrol
terhadap manfaat. Kedua ialah konsep peran perempuan dalam gerakan petani
dengan variabel yang diukur peran perempuan dalam kegiatan-kegiatan gerakan
petani, serta akses dan kontrol terhadap kegiatan-kegiatan gerakan petani
Pendekatan kualitatif dilakukan dengan cara wawanacara mendalam,
observasi, dan studi dokumentasi terkait. Pendekatan kualitatif dilakukan untuk
menjelaskan atau menggambarkan mengenai sejarah pertanian lahan pasir, sejarah
kepemilikan, penguasaan, dan penggarapan lahan pasir, gerakan petani lahan pasir
Kulon Progo, faktor-faktor yang mempengaruhi peran perempuan dalam gerakan
petani dan untuk menggambarkan pendapat perempuan mengenai masalah yang
sedang mereka hadapi dan perlawanan yang mereka lakukan.
Lokasi dan Waktu Penelitian
Lokasi penelitian ini adalah di desa yang lahan pertaniannya terkena
konsesi penambangan pasir besi. Hal ini dikarenakan desa tersebut berada di
sepanjang pesisir pantai selatan yang memiliki sejarah panjang atas pengolahan
lahan pasir. Lahan pasir telah menghidupi keluarga-keluarga petani Kulon Progo
dan masyarakat luas melalui hasil pertanian mereka. Petani-petani di wilayah
selatan secara langsung maupun tidak langsung terlibat dalam gerakan petani, baik
laki-laki maupun perempuan, tua mapun muda. Hal ini disebabkan besarnya rasa
kepemilikan atas lahan pertanian dan hasil pertanian petani.
26
Lokasi penelitian bertempat di Desa Bugel, Kecamatan Panjatan,
Kabupaten Kulon Progo, Provinsi Jogjakarta. Pemilihan lokasi ini dilakukan
secara purposive. Terdapat tiga alasan peneliti memilih Desa Bugel, yakni:
pertama, lokasi ini termasuk lokasi konsesi proyek pertambangan pasir besi;
kedua, Desa Bugel merupakan salah satu desa yang menjadi basis perlawanan
petani Kulon Progo; dan ketiga, salah satu tokoh perempuan dalam pergerakan
petani Kulon Progo berasal dari Desa Bugel. Penelitian ini akan dilaksanakan
selama delapan bulan, yaitu terhitung sejak Februari 2014 sampai dengan Oktober
2014. Kegiatan penelitian yang dilakukan oleh peneliti meliputi penyusunan
proposal penelitian, kolokium, perbaikan proposal penelitian, pengambilan data
lapangan, pengolahan dan analisis data, penulisan draft skripsi, sidang skripsi, dan
perbaikan skripsi. Adapun tabel jadwal penelitian yang dilakukan oleh peneliti
terlampir pada Lampiran 2.
Teknik Pengambilan Informan dan Responden
Populasi dalam penelitian ini adalah perempuan yang bertempat tinggal di
Desa Bugel wilayah selatan. Sumber data dalam penelitian ini adalah responden
dan informan. Responden akan diwawancarai sesuai dengan kuesioner yang telah
dibuat karena jawabannya dianggap dapat mewakili keberadaannya sebagai
individu yang lahan pertaniannya terancam oleh konsesi pertambangan pasir besi
dan terlibat dalam gerakan petani. Responden hanya memberikan informasi terkait
dengan dirinya. Unit analisa atau unit yang akan diteliti oleh peneliti adalah
perempuan yang terlibat dalam gerakan petani. Alasan pemilihan unit analisa ini
dikarenakan sesuai dengan tujuan dari penelitian ini yakni menganalisis hubungan
peran perempuan dalam sistem penghidupan penduduk peran perempuan dalam
gerakan petani lahan pasir Kulon Progo. Metode penarikan sampel yang
digunakan pada penelitian ini adalah pengambilan sampel acak sederhana dari
populasi perempuan pesisir Desa Bugel bagian selatan, yang mencakup dua
dusun. Hal ini dikarenakan unit penelitian atau satuan elementer dari populasi
bersifat homogen yakni petani lahan pasir dan terlibat dalam gerakan petani. Oleh
karena itu, jumlah sampel yang akan diambil adalah sebanyak 30 perempuan yang
lahan pertaniannya terkena konsesi penambangan pasir besi dari 458 perempuan.
Penarikan sampel pada penelitian ini menggunakan aplikasi Microsoft Excell
2010 dengan menggunakan rumus =randbetween(1;458).
Informan diperlukan untuk melengkapi data yang didapat melalui
responden. Warga yang dapat berperan sebagai informan adalah mereka yang
terlibat baik secara langsung maupun tidak langsung dalam perlawanan petani
lahan pasir Kulon Progo. Informan kunci dalam penelitian ini adalah tokoh
masyarakat maupun tokoh yang dituakan, laki-laki dan perempuan baik di desa
yang bersangkutan maupun di dalam internal kelompok PPLP-KP. Pemilihan
informan di wilayah ini menggunakan teknik bola salju (snow ball). Metode ini
dipilih untuk mendapatkan informan yang benar-benar terlibat, mengetahui, dan
memahami pergerakan dan perlawanan yang dilakukan.
27
Teknik Pengumpulan Data
Data yang digunakan dalam peneilitian ini terdiri dari data primer dan
sekunder. Data primer didapatkan langsung di lapangan dengan cara observasi,
kuesioner, serta wawancara mendalam yang dilakukan langsung kepada
responden maupun informan. Data sekunder diperoleh dari dokumen-dokumen
tertulis yang terdapat di Paguyuban Petani Lahan Pantai Kulon Progo (PPLP-KP).
Data sekunder berupa dokumen-dokumen yang terkait dengan penelitian ini,
seperti dokumen sejarah penguasaan lahan, data lahan yang terkena konsesi
penambangan pasir besi, data masyarakat yang menjadi anggota PPLP-KP
maupun data mengenai kegiatan-kegiatan perlawanan yang dilakukan oleh PPLP-
KP. Data sekunder juga diperoleh melalui berbagai literatur yang berkaitan
dengan permasalahan yang akan dibahas pada penelitian ini, yaitu buku, laporan
hasil penelitian, artikel, dan sebagainya.
Teknik Pengolahan dan Analisis Data
Penelitian ini mempunyai dua jenis data yang akan diolah dan dianalisis,
yaitu data kuantitatif dan data kualitatif. Data kuantitatif menggunakan aplikasi
Microsoft Excell 2010. Pembuatan tabel frekuensi untuk melihat data awal
responden untuk masing-masing variabel secara tunggal menggunakan aplikasi
Microsoft Excell 2010. Selanjutnya pembuatan tabulasi silang untuk melihat
hubungan antara tingkat pendidikan perempuan dengan peran perempuan dalam
gerakan petani.
Data kualitatif dianalisis melalui tiga tahap yaitu reduksi data, penyajian
data, dan verifikasi.Pertama ialah proses reduksi data dimulai dari proses
pemilihan, penyederhanaan, abstraksi, hingga transformasi data hasil wawancara
mendalam, observasi, dan studi dokumen. Tujuan dari reduksi data ini ialah untuk
mempertajam, menggolongkan, mengarahkan, dan membuang data yang tidak
perlu. Kedua ialah penyajian data yang berupa menyusun segala informasi dan
data yang diperoleh menjadi serangkaian kata-kata yang mudah dibaca ke dalam
sebuah laporan. Verifikasi adalah langkah terakhir yang merupakan penarikan
kesimpulan dari hasil yang telah diolah pada tahap reduksi.
28
29
PROFIL DESA BUGEL
Profil Desa Bugel menjelaskan mengenai kondisi keadaan Desa Bugel yang
dijadikan sebagai tempat penelitian. Informasi yang terkandung dalam bab ini
antara lain kondisi geografis, kondisi sosial budaya, serta kehidupan sosial
ekonomi masyarakat pesisir sebelum dan sesudah pengolahan lahan pasir.
Kondisi Geografi
Desa Bugel merupakan dataran rendah yang terletak di pinggiran
Samudera Hindia meluas ke arah utara. Menurut sejarah lisan yang dituturkan
warga, istilah ‘bugel’ menunjuk pada satu sisa akar pohon (bugel) yang tersisa
dari kebakaran besar di desa tersebut. Secara demografis, desa ini terletak di
Kecamatan Panjatan, Kabupaten Kulon Progo. Desa ini terletak di sebelah utara
jalan Daendeles dengan ketinggian 0.5 meter diatas permukaan laut. Batas-batas
wilayah Desa Bugel yakni sebelah barat berbatasan dengan Desa Pleret; sebelah
timur berbatasan dengan Desa Tirtorahayu dan Desa Karangsewu; sebelah utara
berbatasan dengan Desa Depok dan Desa Kanoman; dan sebelah selatan
berbatasan dengan Samudera Hindia. Jarak desa Bugel dengan kecamatan kurang
lebih 3 Km, ke kota Kabupaten kurang lebih 8 Km, ke ibukota Provinsi kurang
lebih 20 Km.
Secara administratif Desa Bugel memiliki luas wilayah sebesar 642.32 ha
dan terdiri dari 10 pedukuhan, 20 RW dan 41 RT, yang terdiri dari pekarangan
seluas 443.69 ha, persawahan 127.63 ha dan lainnya seluas 20.25 ha. Pola
penggunaan lahan terdiri atas: tegalan 26.73 %; pertanian sawah 17.36 %; lahan
pasir 16.35% (untuk pertanian 119 Ha). Selain itu adalah kawasan industri, hutan,
bangunan, pemukimam, kawasan peternakan, perdagangan, rekreasi dan olahraga,
perikanan darat dan tawar. Di Desa Bugel terdiri dari wilayah lahan pasir dan
lahan tanah liat. Lahan pasir di pedukuhan I dan II, sedangkan lahan tanah liat
terletak di pedukuhan III sampai dengan pedukuhan X. Desa Bugel terletak di
kawasan tepi pantai dengan kondisi topografi yang landai dan datar. Elevasi
ketinggian rata-rata Desa Bugel adalah 0.5 meter sampai dengan 10 meter diatas
permukaan laut.
Kondisi Sosial Budaya
Bahasa yang digunakan sehari-hari oleh penduduk Desa Bugel ialah
Bahasa Jawa dan Bahasa Indonesia. Salah satu tokoh pelopor utama penemu
pengelolaan lahan pasir tinggal di Desa Bugel, beliau bernama Pak KMN.
Temuan-temuannya adalah budidaya cabe keriting, palawija dan buah-buahan
lainnya, seperti semangka dan jeruk. Beliau juga penemu teknologi pertanian lain
seperti irigasi sumur bronjong. Sejarah kelompok tani dan sistem lelang juga
datang salah satunya dari Pak KMN dan salah satunya dimulai dari Desa Bugel,
sebelum akhirnya tersebar ke desa-desa pesisisir lainnya. Sehingga bisa dikatakan
pertanian lahan pasir untuk budidaya cabe keriting dan buah semangka di pesisir
30
Kulon Progo yang terbaik (dari segi kualitas dan kuantitas) adalah di Garongan
dan Bugel. Pak KMN juga merupakan pendiri dan ‘sesepuh’ Paguyuban Petani
Lahan Pasir (PPLP) Kulon Progo, sehingga salah satu inisiator perundingan dan
gerakan atau mobilisasi masa kerap datang dari Beliau, selain tentunya tokoh
lainnya.
Terdapat beberapa kelompok di desa ini yakni Kelompok Tani Sugih
Mulyo, kelompok pasar lelang, Garuda, dan kelompok pengajian. Keseluruhan
kelompok yang ada di Desa Bugel merupakan basis bagi pergerakan perlawanan
petani menolak rencana pertambangan pasir besi. Kelompok tani Sugih Mulyo
merupakan bagian dari Paguyuban Petani Lahan Pantai Kulon Progo (PPLP-KP).
Garuda merupakan basis gerakan petani bagi pemuda-pemuda Desa Bugel.
Keberadaan kelompok perjuangan pemuda dirasa penting oleh PPLP-KP, agar
perjuangan tetap ada dan terus berlanjut. Penting menanamkan kesadaran bahwa
lahan pertanian yang kini telah mengubah kesejahteraan hidup para petani layak
diperjuangkan dari segala bentuk penindasan. Kegiatan-kegiatan dari kelompok
pemuda ini diantaranya adalah touring menggunakan sepeda motor. Kegiatan ini
diadakan untuk mempererat tali silaturahmi diantara sesama pemuda pesisir.
Kegiatan tersebut juga aktif untuk menyebarkan semangat perjuangan pemuda
untuk melawan rencana pertambangan pasir besi serta sebagai media saling
berbagi informasi.
Berbeda dengan kelompok pemuda, kelompok pengajian diikuti oleh
seluruh kalangan, baik anak-anak, remaja, dewasa maupun tua serta baik
perempuan maupun laki-laki. Kelompok pengajian ini ada di tujuh desa di
sepanjang desa pesisir. Setiap malam secara bergantian masyarakat desa pesisir
berdoa untuk menolak rencana pertambangan pasir besi. Pengajian ini tidak
pernah terputus, berlangsung secara terus-menerus hingga saat ini. Di Desa Bugel
sendiri pengajian diadakan pada hari rabu. Masyarakat pesisir menyebutnya
dengan “mujadahan”. Mujadahan ada atas inisiatif dari masyarakat pesisir. Ide
untuk melakukan mujadahan bermula dari kejadian penangkapan salah satu
masyarakat pesisir yang tidak bersalah oleh aparat Kepolisian Pemerintah Daerah
Kabupaten Kulon Progo. Sejak saat itu masyarakat pesisir merasa perlu adanya
kegiatan untuk mendoakan agar rencana pertambangan pasir besi tidak pernah
terlaksana di Kulon Progo.
Sejak adanya isu pertambangan pasir besi, masyarakat pesisir Desa Bugel
terbagi menjadi dua kelompok yakni kelompok masyarakat pro pertambangan dan
kelompok masyarakat kontra pertambangan. Masyarakat kontra pertambangan
memiliki kesepakatan bersama untuk memberikan sanksi sosial kepada
masyarakat yang pro pertambangan. Sanksi sosial tersebut berupa diputuskannya
hubungan kekeluargaan, baik antara tetangga maupun sesama saudara kandung.
Masyarakat kontra pertambangan tidak lagi memiliki rasa empati kepada
masyarakat yang pro pertambangan. Menurut pengakuan warga, ketika
masyarakat pro pertambangan mengadakan hajatan maka masyarakat yang kontra
tidak menghadiri hajatan tersebut. Bahkan jika ada diantara masyarakat yang pro
pertambangan meninggal dunia, maka masyarakat kontra pertambangan tidak
melayat orang tersebut. Selain itu, antara masyarakat pro dan kontra
pertambangan memiliki tempat ibadah masing-masing dalam satu Desa Bugel.
Masyarakat pro pertambangan Bugel memiliki kelompok sendiri yang dinamakan
Peduli Rakyat yang disingkat dengan Perak. Kelompok ini dibentuk dan dibiayai
31
oleh JMI (Jogja Magasa Iron), yang merupakan salah satu pemilik saham dalam
proyek pertambangan pasir besi.
Kondisi Pertanian Lahan Pasir1
Penemuan pengetahuan dan teknologi pengolahan lahan pasir merupakan
temuan warga petani pesisir sendiri. Dari satu kondisi kehidupan yang serba
miskin dan tertinggal kemudian sejak tahun 1985, pengetahuan hasil
eksperimentasi tanpa lelah akhirmya menunjukkan hasilnya. Lahan pasir yang
sebelumnya kering dan tandus dapat diubah menjadi lahan subur yang bisa di
tanamai beragam tanaman pangan, palawija dan buah-buahan yang dapat menjadi
produk unggulan2. Kehidupan kemiskinan ekonom dan ketertinggalan secara
sosial dan budaya yang dialami wong cubung berbalik secara revolusioner sejak
ditemukannya pengolahan lahan pasir. Pak KMN di desa Bugel pada mulanya
hanya melakukan eksperimentasi kecil-kecilan mengolah lahan pasir dengan
pupuk kandang, sebab ia terinspirasi atas temuan satu pohon cabe yang tetap
hidup di lahan pasir dekat pantai. Setelah bertahun-tahun mencoba pengolahan
lahan pasir dengan pupuk kandang sebagai pengikat dan ditambahkan dengan
obat-obat kimia yang sesuai kebutuhkan tanaman palawijanya ternyata dapat
berhasil. Sejak tahun 1985 kemudian pengetahuan dan teknologi itu menyebar di
sekitar desa-desa pesisir. Pada tahun 1990-an telah menjadi model pertanian lahan
pasir diseluruh pesisir Kulon Progo, dengan tanaman utamanya cabe keriting dan
semangka.
Budidaya Palawija dan Buah-buahan (Cabe Keriting dan Semangka)
Sejak ditemukannya pengolahan lahan pasir, para petani di Bugel dan
Garongan terinspirasi untuk mengeksperimentasikan pertanian lahan pasir ini
dengan beragam tanaman pangan. Sudah banyak jenis tanaman pangan yang
diujicobakan di lahan pasir, dari padi, kedelai, jagung kacang-kacangan, segala
umbi-umbian, beragam buah-buahan; jeruk, melon, blewah, dan segala macam
sayur mayur dapat tumbuh dengan sehat. Namun, hasil produksinya di pasaran
cukup rendah. Lalu eksperimentasi para petani pesisir inipun berlanjut untuk
mencoba jenis tanaman lain yang orientasinya menjadi tanaman unggulan. Sejak
ditemukannya cabe keriting dengan jenis Lado dan Helik yang prosesnya cukup
panjang, setelah menyeleksi dan mencoba jenis cabe keriting lainnya, kemudian
buah semangka sebagai produk unggulan petani pesisir. Mayoritas petani pesisir
cenderung menanam keduanya sebagai produk unggulan (khususnya di desa
Garongan dan Bugel). Meskipun dalam prakteknya model tanam tumpang sari
dengan tanaman sayur mayur dan palawija lainnya tetap dilakukan, seperti kacang
1 Kondisi pertanian lahan pasir ini berdasarkan hasil riset yang dilaksanakan atas kerjasama STPN
(Sekolah Tinggi Pertanahan Negara) dan SAINS (Sajogyo Institute) yang berjudul Laporan
Kabupeten Kulon Progo. Laporan ini menganalisis dinamika penguasaan agraria dan sistem
produksi di wilayah pesisir yang berhimpitan dengan benturan klaim penguasaan dan kepentingan
peruntukan uang. 2 Secara Lebih detail sejarah penemuan pengetahuan dan teknologi pertanian lahanpasir ini telah di
dokumentasikan dalam sebuah film yang mengangkat kisah biografi Pak karman (dari dusun
Bugel) dengan Judul “ Menyebar Asa di Pasir” (sebuah Film Dokumenter), oleh Jurusan Ilmu
Komunikasi FISIP UNS.
32
panjang, sawi, terong dan sebagainya, namun tanaman tersebut hanya untuk
tambahan saja. Atau menurut bahasa warga “sekedar untuk tambahan beli pulsa”.
Sebab, bagaimanapun warga Garongan dan Bugel sudah mapan dengan cabe
keriting dan buah semangka.
Penghasilan dari tanaman cabe merah kriting dan lahan pasir yang subur
telah mengubah drastis kehidupan sosial ekonomi masyarakat garongan dan
sekitarnya. Meski luas lahan mereka rata-rata hanya 2000-3000 m2 (dan paling
luas di Desa Garongan hanya 7000 m2) sudah cukup bahkan lebih untuk
kebutuhan sehari-hari. Setiap panen raya pada bulan Juni hingga Agustus, dengan
luas lahan 2000-3000 m2 dengan harga cabe Rp 7000-10.000/Kg untung bersih
(setelah dipotong ongkos produksi dan buruh panen) yang masuk 15-20 juta.
Tanaman semangka mesipun tidak sebesar cabe keriting, namun penghasilan
panennya hampir separuh dari panen cabe keriting. Dengan penghasilan seperti
itu, masyarakat dipesisir Kulon Progo (khususnya di desa Bugel dan Garongan)
akan mempertahankan mati-matian atas lahan mereka, dan sangat wajar jika
mereka sangat bergantung sekali dengan hasil tanaman cabe dan semangka dari
lahan pasir mereka.
Tonggak-tonggak irigasi
Salah satu temuan penting dari petani pesisir yang mendukung
pengetahuan dan teknologi pertanian lahan pasir adalah teknologi irigasi. Seiring
ditemukannya teknik pengolahan lahan pasir dengan pupuk kandang yang telah
berhasil untuk tanaman cabe dan palawija, petani juga memikirkan bagaimana
irigasi untuk tanaman tersebut. Tonggak-tonggak perubahan dari teknologi irigasi
ala pesisir Kulon Progo ini bertahap. Pada mulanya, tahap pertama, kebutuhan air
di pasok dari sumur-sumur sederhana yang dibuat dengan menggali pasir sedalam
mungkin agar muncul air tawar untuk tanaman. Namun setiap dua meter, selalu
ambruk lagi, meski air sudah di dapatkan.
Tahap kedua, dibuat sumur bronjong. Dengan membuat anyaman bambu
yang bungkus sarung untuk menayaringnya dari pasir. Cukup lumayan hasilnya
namun tidak terlalu mencukupi untuk kebutuhan tanaman dan pertanian yang ada.
Tahap ketiga, mulai dibuat sumur renteng. Setelah lubang-lubang sumur dibuat
dibawah sumur utama dipasang bambu-bambu panjang yang telah dilubangi
tengahnya untuk menghubungkan ke sumur-sumur lain untuk ditimba airnya dan
disiramkan secara manual dengan gembor ke tanaman-tanaman cabe.
Tahap keempat, dibuat sumur renteng yang menggunakan asbes. Pada
tahap ini sumur-sumur renteng lebih kuat karena telah dibuat dengan asbes yang
memagari sumur-sumur tersebut, sehingga tidak mudah runtuh kembali dan
menjaga agar air tetap tergenang banyak. Tahap kelima, sumur dengan paralon.
Setelah melalui usaha-usaha untuk memudahkan mendapatkan air para petani
melirik paralon sebagai pengganti bambu-bambu dan sumur asbes. Dengan pompa
air dan paralon yang saling menghubungkan akhirnya air dapat dipompa keluar
dan mudah dialirkan dan diambil untuk disiramkan ke tanaman.
Tahap keenam, siram dengan selang. Semakin hari petani berusaha
memudahkan untuk menyiram tanaman cabe mereka yang memang membutuhkan
siraman setiap hari. Saat mengenal selang, mereka tidak lagi menggunakan
gembor. Penggunaan paralon yang lebih rapi dan saling menghubungkan di titik-
titik tertentu sepanjang luas lahan yang ada, mereka memasang selang panjang
33
yang di ujungnya diberi semacam shower yang bisa menjadi alat siram pengganti
gembor. Sehingga sampai saat ini, dengan cadangan air tawar yang cukup dan
peralatan siram selang paralon ini sangat dimudahkan dan tercukupi untuk
menyirami tanaman cabe mereka. Belakangan ini mereka mulai melirik modal
penyiraman tanaman yang dikembangkan untuk tanaman buah naga di daerah
Gelagah yang memakai teknologi siraman yang berputar sendiri ala siraman
rumput kebun untuk diuji cobakan. Sayang masih tergolong mahal, sehingga
belum banyak yang mencoba.
Jalan Usaha Tani
Faktor penting lainnya yang mendukung penemuan teknologi pengolahan
lahan pasir hingga produktifitas cabe keriting dan semangka di desa Bugel dan
Garongan serta beberapa desa di sekitar pesisir Kulon Progo adalah keberadaan
jalan usaha tani yang menembus dari jalan utama ke lahan garapan dan pemajekan
warga. Sebelumnya para petani sangat kesulitan untuk mengangkut hasil panen
mereka, sehingga membuat banyak petani tidak maksimal untuk menanam
beragam tanaman di lahan pasir mereka (baik pemajekan maupun garapan).
Berkat kerja keras, negosiasi dan tekanan beberapa tokoh kelompok tani ke pihak
pemerintah desa (Garongan dan Bugel), ke kecamatan Panjatan, ke kabupaten
hingga provinsi untuk menyuarakan pentingnya jalan usaha tani ini akhirnya
berhasil. Pak Karman di desa Bugel dan Pak Diro di desa Garongan dengan
kelompok taninya adalah beberapa orang yang ikut mendorong keberhasilan
dibangunnya jalan usaha tani tersebut.
Jalan makadam (dengan batu putih) ini dibangun untuk memudahkan
transportasi dari lahan sawah warga ke jalan raya. Mereka menyebut jalan ini
sebagai ‘jalan usaha tani’. Sebagian besar jalan usaha tani yang ada di daerah
Bugel dan Garongan adalah hasil perjuangan warga sendiri, meski awalnya
ditolak oleh pemerintah desa maupun pemerintah daerah setempat dengan alasan
akan memperluas lahan pertanian warga di tanah Paku Alaman Grond. Namun,
akhirnya warga tetap diberi keleluasaan untuk membangun jalan tersebut,
sebagian dana pembangunan berasal dari pemerintah sementara para petani
membangun dan meratakan jalan secara swadaya dan bergotong royong. Dengan
dibangunnya jalan usaha tani tersebut warga pesisir sekarang semakin
dimudahkan untuk mengangkut hasil panen dan hasil bumi ke jalan utama.
Sistem Lelang
Sejarah Lelang, di temukan dan dimulai dari gagasan Pak Sudiro (Ketua
Kelompok Tani Bangun Karyo) di Desa Garongan sejak tahun 2002. Latar
belakang munculnya sistem lelang ini di dasari oleh keresahan para petani pesisir
yang kerap dibohongi dan dipermainkan soal harga, hasil pertanian mereka
(terutama semangka dan cabe keriting). Sebab sebelumnya (saat sistem lelang
belum ditemukan), para pembeli dan juragan membeda-bedakan harga hasil panen
petani pesisir sesuai hasil negosiasi dengan para petani. Jika petani bisa ditekan,
maka akan dapat harga murah dan sebaliknya.
Akibatnya, diantara para petani sering terjadi ketegangan dan konflik.
Sehingga antar mereka berkompetisi untuk ‘saling mendekat dan menjilat’ para
juragan dan pembeli hasil panen mereka, yang mengarah pada kompetisi yang
tidak sehat. Bahkan, lebih jauh konflik tersebut merembet sampai pada unit
34
keluarga, sebab antar satu keluarga dengan keluarga lain saling bersaing dan
mengejek hasil penjualan cabe mereka yang dihargai lebih murah dan yang lain
membanggakan diri karena terjual dengan harga yang tinggi dan lebih mahal.
Pada tahun 2002, Pak Sudiro sebagai ketua kelompok tani Bangun Karyo,
berusaha mencari jalan penyelesaian nasib petaninya dengan berusaha
mengumpulkan hasil panen cabe di kelompoknya di satu tempat, yaitu di
rumahnya sendiri. Kemudian para pembeli dan juragan cabe diminta datang dan
menawar harga. Bagi para pembeli dan juragan yang mampu menawar paling
tinggi dialah yang berhak untuk membawa pulang semua hasil panen di kelompok
Pak Sudiro.
Ternyata inisiatif awal ini dilihat oleh kelompok dan para juragan cabe
yang lain. Sehingga para juragan dan pembeli cabe yang belum dapat kula’an
(bahan jualan) meminta jatah dari Pak Diro dan kelompoknya. Melihat permintaan
dan kemampuan untuk menentukan harga yang lebih baik seperti itu, Pak Diro
berinisiatif untuk mengajak kelompok tani lainnya untuk mengumpulkan hasil
panen cabe mereka di satu tempat untuk kemudian di “lelang” kan ke juragan dan
pembeli cabe. Ternyata gagasan itu disambut baik dan antusias.
Pada awalnya, para juragan dan pembeli cabe menulis harga tawaran
mereka pada secarik kertas dan dimasukkan ke dalam kotak kecil (seperti kotak
amal masjid), kemudian kotak tersebut diputarkan ke rumah-rumah para juragan
dan pembeli cabe. Sehingga pada saat itu masih terjadi manipulasi harga, ketika
pembawa kotak berkunci itu ‘kong kalikong’ dengan salah satu juragan dan
pembeli cabe, yang kemudian memberi harga lebih tinggi, setelah melihat harga
dari pembeli lainnya.
Namun sekarang, kotak tempat harga para juragan itu harus ditaruh di
tempat terbuka dan ketika para juragan dan pembeli cabe memasukkan secarik
kertas harga pembelian mereka dimaksukkan di depan khalayak umum. Sehingga
keamanan kotak tersebut bisa terjaga. Dan setelah semua juragan dan pembeli
selesai memasukkan harga mereka, maka panitia membuka dan membacakan
harga-harga tersebut, dan menuliskannya di white board yang telah disediakan,
sesuai dengan jenis cabe yang dibeli dan dari kelompok mana yang hendak dibeli.
Masing-masing juragan dan pembeli boleh menaruh dua atau tiga harga
sekaligus, baik langsung maupun melalui titipan ke orang lain (melalui pesan
singkat atau telepon) yang hadir di tempat lelang. Dan bagi pemilik harga
tertinggilah yang akan menjadi pemenang untuk mengangkut semua hasil panen
di tempat lelang tersebut. Rata-rata harga selisih antar pembeli tidaklah jauh,
berkisar Rp.2000-3000. Sehingga prediksi dan keahlian untuk menakar pasar
mutlak diperlukan bagi para pembeli dan juragan cabe di pesisir, jika tidak ia akan
mudah kalah.
Bagi para petani cabe di pesisir Kulon Progo, sistem Lelang sangat
menguntungkan hasil lelang mereka. Selain daulat harga cabe mereka ada dari
para pembeli dan juragan cabe, juga sebagai media untuk memutus konflik antar
petani dan ketegangan di dalam keluarga yang dulu kerap terjadi di setiap musim
panen cabe. Sekarang sistem lelang telah jamak digunakan dan tersebar di
kalangan petani pesisir Kulon Progo, khususnya dan hanya untuk tanaman cabe,
tidak pernah untuk hasil panen pertanian yang lain.
Setelah marak dan dipakai oleh banyak kelompok Tani Cabe di pesisir
Kulon Progo, kini sistem lelang sudah mulai diakui pemerintah dan mulai
35
didukung untuk dikembangkan lebih luas dengan bantuan pembuatan tempat tetap
dan alat pendukung dari pasar lelang. Jika dihitung, maka dapat disebutkan bahwa
fasilitas pasar lelang yang sudah ada di desa-desa adalah sebagai berikut:
1. Desa Glagah : 2 tempat
2. Desa Garongan : 1 tempat
3. Desa Bugel : 1 tempat
4. Desa Karang Sewu : 2 tempat
5. Desa Trisik : 1 tempat
6. Desa Karangwuni : belum ada
Penanganan Hama ala Petani
Beberapa petani pesisir telah menemukan teknologi dan pengetahuan
tentang bagaimana menangani hama-hama tanaman di lahan pasir mereka secara
mandiri. Salah satu yang pernah diseminarkan dan diakui oleh pihak Fakultas
Pertanian Kampus Universitas Gajah Mada (UGM) dalah temuan Pak Karman,
pelopor pertanian lahan pasir dari Bugel, tentang hama Uret di cabe keriting3.
Meskipun pengetahuannya pada mulanya didapatkan dari pendidikan dan
pelatihan dari Dinas Pertanian, namun keuletannya dalam menekuni dan
menghayati tanaman lahan pasirnya menjadikan ia peka dan tahu persis beragam
hama dan virus yang menghinggapi tanamannya sejak hama tersebut dikeluarkan
dari induknya hingga berkembang menjadi bentuk hama dan kemudian menjadi
induk baru. Namun banyak temuan pengetahuan data teknologi dalam pertanian
lahan pasir yang hanya ia ingat saja dan sebagian ia tulis ala kadarnya. Namun
begitu, sampai saat ini telah banyak mahasiswa dari beragam jurusan dan beragam
strata S1, S2 dan S3 dan mendampingi doktor-doktor dalam bidang pertanian dari
beragam kampus di Indonesia dalam studi dan penelitiannya tentang pertanian di
lahan pasir.
Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat Pesisir4
I. Sebelum Pengolahan Lahan Pasir
Kondisi lahan pasir di pesisir Kulon Progo sebelum ditemukannya teknik
dan teknologi pengolahan menjadi lahan subur seperti sekarang ini, merupakan
gurun pasir tandus yang penuh alang-alang. Orang-orang yang dulu ingin
memanfaatkan lahan pasir tersebut hanya bisa dilakukan di musim kemarau
3 Lebih jauh lihat, makalah Pak karman tentang “Penaganan Hama Uret di Cabe Keriting” makalah
sipresentasikan di UGM pada tahun 2007 (tidak diterbitkan), kemudian atas seizin beliau,
temuanitu dikembangkan salah seorang calon doktor pertanian di UGM dan menjadikan
temuannya itu sebagai bahan desertasinya, dan menjadikannya seorang Doktor pertanian. Pada
bulan agustus 2009 lalu, pak Karman berkat jasa dan temuannya dalam dunia pertanian lahan pasir
dan telah membantu dunia akademik dengan membimbing dan membantu puluhan mahasiswa S1,
S2 dan S3 dalam kajian di pertanianlahan pasir, dianugerahi penghargaan sebagai petani pelopor
petanian lahan pasir oleh fakultas Pertanian UGM. Lihat, Kompas, 29 September 2009. 4 Sejarah kehidupan sosial ekonomi masyarakat pesisir ini berdasarkan hasil riset yang
dilaksanakan atas kerjasama STPN (Sekolah Tinggi Pertanahan Negara) dan SAINS (Sajogyo
Institute) yang berjudul Laporan Kabupeten Kulon Progo. Laporan ini menganalisis dinamika
penguasaan agraria dan sistem produksi di wilayah pesisir yang berhimpitan dengan benturan
klaim penguasaan dan kepentingan peruntukan uang.
36
dengan beberapa tanaman saja yaitu tanaman ketela dan kentang kleci (kecil).
Sulit diharapkan gurun pasir tersebut memenuhi kebutuhan sehari-hari
masyarakat. Ketika musim kemarau datang angin laut yang keras yang mengarah
ke desa selalu membawa penyakit debu dan pasir yang menyebabkan sakit mata
massal (belek’an) di hampir seluruh desa di pesisir. Banyak warga yang keluar
dan bekerja di luar desa karena tidak tahan hidup dalam kemiskinan dan
kemelaratan. Sebagian kecil menjadi TKI ke Malaysia, Hongkong, dan Timur
Tengah.
Sebagian warga hidup dengan berdagang kecil-kecilan, berjualan ternak
(blantik), buruh tani dan penggembala kambing. Menurut Pak Diro seorang
pelopor dan ketua kelompok tani di Garongan, banyak warga Garongan dulu yang
bekerja sebagai Rembang tebu (pemanen tebu), pembuat sungai, atau pencari batu
apung di pantai, sekedar untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.
Banyak diceritakan warga Garongan dan Bugel, bahwa dalam kehidupan
sehari-hari untuk makan nasi saja hanya bisa sekali, selebihnya adalah ketela (ubi
jalar atau ubi kayu) yang rebus atau digoreng. Rata-rata warga tidak mengecap
pendidikan, jikapun ada hanya sampai Sekolah Dasar saja, dan sebagian besar
tidak lulus. Sebagaimana diceritakan sebelumnya, kondisi lingkungan masyarakat
desa Garongan dan Bugel tergolong sangat tertinggal dan miskin secara sosial dan
ekonomi dibanding desa-desa lain di kecamatan Panjatan.
Secara fisik tempat tinggal mereka masih berupa gedek anyaman (bambu)
dan beratap blarak (anyaman daun kelapa). Mayoritas basis subsitensi warga
adalah buruh tani dan landless hanya bergantung pada petani kaya di sebelah desa
(non-pasir). Meskipun mereka ada yang menanam tanaman di lahan pasir, di
musim kemarau seperti: kacang tanah, ketela kaspo, ketela muntul dan kentang
kleci. Namun tak cukup untuk kebutuhan minimum keseharian, maka apapun
kerja buruh yang bisa menghasilkan akan dilakukan.
Kondisi kemiskinan dan ketertinggalan inilah yang kemudian membuat
orang luar (non-pasir) yang lebih sejahtera sering menyebut mereka sebagai
“Wong Cubung”. Jika ditelusuri lebih jauh setidaknya ada empat hal yang
menjadikan kemiskinan warga desa pesisir atau wong cubung ini bertahan terus
menerus, yaitu; pertama: Persepsi terhadap lahan pasir dan gurun atau bentuk
hubungan dengan alam (gurun pasir). Bagi masyarakat pesisir waktu itu gurun
pasir hanyalah lahan kering yang sudah tak bisa diolah lagi ibarat tanah mati.
Kalaupun mereka coba-coba untuk mengolahnya adalah sekedar saja, dan itupun
bergantung pada air hujan atau ladang tadah hujan, dan sifatnya berpindah-
pindah sesuai dengan kondisi lahan yang hendak ditanamai. Karena itu mayoiritas
‘wong cubung’ tidak berharap banyak dari lahan pertanian pasir mereka, tetapi
lebih banyak kerja di luar pertanian, sebgaimana dijelaskan di muka.
Kedua, keterbatasan kemampuan untuk pemanfaatan lahan pasir.
Ketidaktahuan, ketiadaan pengetahuan dan teknologi pertanian pengolahan lahan
pasir menjadikan masyarakat pesisir atau wong cubung berasumsi bahwa sampai
kapanpun tanaman yang cocok bagi lahan pasir kering mereka adalah tanaman
tahan kering seperti kacang tanah, ketela kaspo, ketela muntul dan kentang kleci.
Meskipun sebenarnya mereka tahu bahwa tanaman tersebut tidak akan mencukupi
kebutuhan subsistensi mereka sehari-hari. Namun, hanya itulah yang mereka
mampu saat itu. Sementara untuk keluar dari dunia pertanian, tingkat
keterampilan dan pendidikan mereka tak memungkinkan untuk berkompetisi.
37
Maka, sebagian anak muda mengadu nasib menjadi buruh kasar di kota terdekat
atau merantau ke kota besar, sebagian kecil keluar negeri menjadi TKI, khususnya
ke Singapura, Hongkong dan Timur Tengah.
Ketiga, Ketidakpastian ‘Identitas ‘ Lahan Pasir. Sebab pertama dan kedua
tak bisa dilepaskan dari faktor ketiga ini. Sebagian nenek-moyang pertama yang
mendiami gurun pasir ini mengerti bahwa mereka hanyalah nunut (numpang) di
lahan milik Paku Alaman Grond. Meskipun dapat dipastikan mereka tak tahu
persis bagaimana bentuk legalitas identitas lahan Pakualaman Grond itu termasuk
batas wilayahnya. Yang mereka tahu waktu itu adalah seluruh pesisir Kulon Progo
adalah milik keraton Paku Alaman. Ketidaktahuan pengetahuan hukum formal
pertanahan di lahanpasir ini mengakibatkan para ‘wong cubung’ tak punya
kemampuan dan imajinasi lebih untuk mengolah lahan pasir yang mereka diami
selama ini. Yang penting masih bisa hidup, tinggal dan menetap diatas lahan pasir
tersebut sudah untung. Meskipun demikian seiring terbukanya informasi,
mendorong sebagian kecil dari warga memahami status lahan yang disebut
terlantar atau tanah merah dan boleh untuk diolah oleh warga yang mendiaminya
selama tidak mengubah bentuk aslinya. Sebagian lain kemudian jug amengetahui
status tanah absente, tanah swapraja dan UU Pokok Agraria 1960 yang
mendorong dan menjamin mereka untuk mengelola lahan pasir tersebut sebgai
lahan pertanian mereka.
Keempat, Relasi kuasa Timpang Pembangunan: Pusat-Pinggiran. Ketika
sebagian warga pesisir sudah mulai menetap dan mengembangkan lahan pasir
mereka menjadi pertanian meskipun belum seperti sekarang ini, mereka
dihadapkan pada kenyataan bahwa daerah pesisir belum dipandang ‘potensial’
secara ekonomi-politik bagi pemerintah daerah dan provinsi. Sehingga
pembangunan di sekitar pesisir tidak sekuat dan sepesat di daerah kabupaten lain,
seperti Bantul dan Sleman. Disain pembangunan yang timpang ini bukan saja
karena daya potensi pesisir Kulon Progo yang secara ekonomi politik tidak sekuat
kabupaten lain, namun secara sosial daerah Garongan khususnya, dianggap tempat
kriminalitas (para Garong) tinggal dan bersembunyi. Sehingga memakai istilah
Chambers (1983), pembangunan pedesaan hanya berorientasi menurut kacamata
kalangan ‘elit’ dan ‘orang luar’ dan menutup potret ‘kemiskinan’ yang sebenarnya
berdiam kuat di dalam pinggir-pinggir pedesaan yang hampir ‘tak terdengar’
karena terlapisi oleh kebijakan pembangunanisasi yang melulu pada orientasi ke
pusat dan meminggirkan yang pinggiran.
Keempat faktor yang saling terhubung dan membangun relasi secara
dinamis inilah yang ikut mendorong proses kemiskinan di masyarakat pesisir atau
wong cubung sebelum ditemukannya teknologi dan pengetahuan pengolahan
lahan pasir.
II. Sesudah Pengolahan Lahan Pasir
Pada tahun 19855 setelah berulangkali berusaha untuk merubah lahan pasir
sebagai lahan pertanian yang tidak berhasil, salah seorang dari (penduduk) yang
2 Dalam sebuah presentasi di UGM seorang petani Kulo Progo bernama Karman menjelaskan
secara kronologis bagaimana mula rencana penambangan Pasir Besi di Kulon Progo. Disampaikan
dalam acara Kuliah Umum Mahasiswa Baru Fakultas Pertanian UGM, 23 Agustus 2008, Gedung
Auditorium Harjono Danusastro, Bulaksumur. Sukarman adalah Pengurus Paguyuban Petani
Lahan Pasir (PPLP) Pesisir Kulon Progo D.I. Yogyakarta, penangkar benih cabe, pengiat lembaga
38
sedang berjalan-jalan di bibir pantai tanpa sengaja melihat sebatang tanaman cabe
liar yang tumbuh dan berbuah di tengah gumuk pasir yang menggurun. Muncullah
gagasan, “mengapa cabe ini bisa tumbuh di pasir ini, kenapa tak dicoba menanam
cabe?”. Maka, dimulailah sejarah pertama penanaman cabe di lahan pasir yang
tandus dan kerontang itu.
Persolan awal yang muncul adalah air tawar. Lalu warga pesisir mulai
menggali pasir yang terus-menerus longsor untuk menemukan air. Dari usaha
keras tersebut warga menemukan bahwa 3 meter di bawah hamparan gumuk pasir
pantai ini ternyata tersimpan air tawar, benar-benar tawar, sehingga ikan sungai
pun mampu hidup. Penemuan ini oleh petani pesisir dianggap sebagai berkah
yang luar biasa.
Namun kondisi pasir yang mudah longsor membuat warga kesulitan
mengambil air setiap saat. Maka, berbagai macam eksperimentasi untuk
mengatasi longsoran pasir tersebut di coba. Awalnya warga mencoba membuat
dinding sumur dari anyaman kelapa berkerangka bambu (gronjong) bahkan
dengan kain sarung. Cara ini pada mulanya cukup membantu. Akan tetapi timbul
masalah baru, angin pantai yang membawa serta garam ternyata dapat
mengeringkan tanaman warga. Maka, mulailah para petani pesisir memagari
hamparan ladangnya dengan anyaman daun kelapa. Dengan pupuk, teknologi dan
teknik pengolahan pertanian yang sederhana sudah cukup membawa dan mampu
membantu warga pesisir pantai memperbaiki keadaan, setidaknya dua tahun
berikutnya.
Pada tahun 1987-1989, sumur berdinding gronjong tradisional mulai diganti
dengan sumur berdinding semen dan dilengkapi dengan timba. Pekerjaan
menimba menjadi lebih ringan dari sebelumnya ketika masih harus mengangkut
air ke atas. Simpanan penghasilan warga yang mulai cukup dikumpulkan secara
gotong royong digunakan untuk memperbaiki pengairan dalam jangka waktu dua
tahun.
Pada tahun 1990-1992, petani pesisir Kulon Progo mulai memikirkan cara
pengairan yang lebih menghemat tenaga, yaitu dengan sumur renteng. Sumur
induk yang sudah dibikin warga sebelumnya, dilengkapi dengan sumur-sumur
kecil yang dihubungkan oleh pipa, yang pada awalnya terbuat dari bambu lalu kini
berganti menjadi pipa plastik. Dengan adanya sumur-sumur penampung ini, petani
pesisir tidak harus bolak-balik ketika menyiram tanaman. Bahkan akhirnya setelah
cukup dana dan kemampuan warga dengan bergotong royong mampu membeli
pompa air untuk mengangkut air dari sumur induk. Kini, beberapa kelompok tani
termasuk PPLP (Paguyuan Petani Lahan Pasir) telah mengembangkan penyiraman
dengan selang, tanpa sumur renteng lagi.
Menurut keterangan dari petani pesisir,6 pada tahun 1995, menteri pertanian
waktu itu sempat berkunjung di daerah Kulon Progo dan membawa serta para
pakar dan perwakilan kelompok tani dari seluruh Indonesia untuk belajar dari
ekonomi petani Gisik Pranaji. Bab ini hendak menjelaskan kilasan sejarah berdasarkan dari
persepekif warga petani Kulon Progo tersebut dengan menambahkan, menganalisa dan membahas
beberapa bagian yang terkait dengan tema kajian ini berdasarkan pada hasil diskusi dan
wawancara penulis dengan petani Pesisir kulon Progo. 6 Presentasi dan Diskusi Petani Pesisir Kulon Progo di Sajogyo Institute (SAINS) Bogor, tanggal
19 November 2008.
39
pengalaman petani pesisir tersebut mengubah lahan tandus menjadi lahan
produktif yang subur. Satu tahun berikutnya, Universitas Gadjah Mada melakukan
penelitian untuk membantu menanggulangi angin dengan menanam cemara
udang, sebagai benteng pertahanan menggantikan peran gumuk pasir yang telah
berubah menjadi hamparan palawija. Kehadiran para ilmuwan kampus ini cukup
sangat membantu petani pesisir Kulon Progo meningkatkan produksi dan
keuntungan pertanian mereka. Pada saat teknologi sederhana dan tepat guna
diterapkan, seperti: mulsa (penutup tanah) jerami dan pelapisan tanah liat di
bawah permukaan ladang pasir membuat tanaman mereka lebih sehat dan subur.
Bisa dibayangkan kesenangan dan kebahagiaan warga atas hasil pertanian
mereka, ketika harga cabe di tingkat petani Rp. 7000,00/kg pendapatan petani
pesisir bisa mencapai per bulan (3-4 kali panen) dapat 5-10 juta rupiah. Padahal
harga cabe belakangan ini rata-rata Rp. 15.000/ kg. Maka tak heran, menurut
pengakuan para petani pesisir tersebut, mereka mampu meningkatkan taraf hidup
serta kepercayaan diri atas kemampuan mereka sendiri. Selain itu petani Pesisir
juga mampu menyekolahkan anak-anak mereka sampai jenjang perguruan tinggi,
dengan harapan generasi mendatang tak perlu lagi mengulang sejarah kemiskinan
di pesisir Kulon Progo dulu.
Dampak lainnya, keberhasilan pengelolaan tanaman cabe ini membuat para
pemuda di desa lebih memilih untuk menetap di desanya ketimbang migrasi ke
kota, sebab lahan kini pasir telah menjanjikan penghidupan. Warga pesisir juga
mampu membantu menolong petani lain di luar daerah mereka untuk menjadi
buruh petik dengan upah yang di atas rata-rata (Rp. 25.000,00 per orang belum
termasuk makan). Maka, tak heran jika petani pesisir Kulon Progo sekarang
termasuk menjadi pemasok cabe yang cukup penting bagi pasar nasional, dengan
hasil rata-rata 70 ton per hari. Belum lagi hasil tani yang lain seperti sawi, melon,
semangka, jagung, dan bawang merah yang menjadi hasil sampingan yang juga
dapat tumbuh subur di lahan pasir yang dulu tandus-kerontang itu.
Keberhasilan gemilang seperti inilah yang membawa petani pesisir
bermimpi, suatu hari kelak, kawasan di mana mereka tinggal, akan berubah
menjadi lebih kaya akan jenis tanaman dan satwa serta memberi manfaat kepada
banyak orang disekitarnya, suatu ketika dapat menjadi kawasan wisata tani yang
berwawasan lingkungan (desa wisata). Selain akan mendatangkan pemasukan
bagi pemerintah melalui desa wisata, keanekaragaman dan keajaiban alam di
kawasan ini akan melahirkan ilmuwan kampus yang mumpuni di bidang pertanian
dan lebih banyak lagi.
Ikhtisar
Desa Bugel merupakan dataran rendah yang terletak di pinggiran
Samudera Hindia meluas ke arah utara. Lahan yang digunakan untuk pertanian
seluas 119 Ha.Salah satu tokoh pelopor utama penemu pengelolaan lahan pasir
tinggal di Desa Bugel, beliau bernama Pak KMN. Temuan-temuannya adalah
budidaya cabe keriting, palawija dan buah-buahan lainnya, seperti semangka dan
jeruk. Beliau juga penemu teknologi pertanian lain seperti irigasi sumur bronjong.
Sejarah kelompok tani dan sistem lelang juga datang salah satunya dari Pak KMN
dan salah satunya dimulai dari Desa Bugel, sebelum akhirnya tersebar ke desa-
40
desa pesisisir lainnya. Sehingga bisa dikatakan pertanian lahan pasir untuk
budidaya cabe keriting dan buah semangka di pesisir Kulon Progo yang terbaik
(dari segi kualitas dan kuantitas) adalah di Garongan dan Bugel. Pak KMN juga
merupakan pendiri dan ‘sesepuh’ Paguyuban Petani Lahan Pasir (PPLP) Kulon
Progo, sehingga salah satu inisiator perundingan dan gerakan atau mobilisasi
masa kerap datang dari Beliau, selain tentunya tokoh lainnya.
Kondisi lahan pasir di pesisir Kulon Progo sebelum ditemukannya teknik
dan teknologi pengolahan menjadi lahan subur seperti sekarang ini, merupakan
gurun pasir tandus yang penuh alang-alang. Sebagian warga hidup dengan
berdagang kecil-kecilan, berjualan ternak (blantik), buruh tani dan penggembala
kambing. Kondisi lingkungan masyarakat Desa Bugel tergolong sangat tertinggal
dan miskin secara sosial dan ekonomi dibanding desa-desa lain di kecamatan
Panjatan. Namun, sejak adanya pengolaan lahan pasir, mereka mampu
meningkatkan taraf hidup serta kepercayaan diri atas kemampuan mereka sendiri.
Selain itu petani Pesisir juga mampu menyekolahkan anak-anak mereka sampai
jenjang perguruan tinggi, dengan harapan generasi mendatang tak perlu lagi
mengulang sejarah kemiskinan di pesisir Kulon Progo dulu. Dampak lainnya,
keberhasilan pengelolaan tanaman cabe ini membuat para pemuda di desa lebih
memilih untuk menetap di desanya ketimbang migrasi ke kota, sebab lahan kini
pasir telah menjanjikan penghidupan. Warga pesisir juga mampu memmbantu
menolong petani lain di luar daerah mereka untuk menjadi buruh petik dengan
upah yang di atas rata-rata (Rp. 25.000,00 per orang belum termasuk makan).
Bahasa yang digunakan sehari-hari oleh penduduk Desa Bugel ialah Bahasa
Jawa dan Bahasa Indonesia. Terdapat beberapa kelompok di desa ini yakni
Kelompok Tani Sugih Mulyo, kelompok pasar lelang, Garuda, dan kelompok
pengajian. Keseluruhan kelompok yang ada di Desa Bugel merupakan basis bagi
pergerakan perlawanan petani menolak rencana pertambangan pasir besi. Sejak
adanya isu pertambangan pasir besi, masyarakat pesisir Desa Bugel terbagi
menjadi dua kelompok yakni kelompok masyarakat pro pertambangan dan
kelompok masyarakat kontra pertambangan. Masyarakat kontra pertambangan
memiliki kesepakatan bersama untuk memberikan sanksi sosial kepada
masyarakat yang pro pertambangan. Sanksi sosial tersebut berupa diputuskannya
hubungan kekeluargaan, baik antara tetangga maupun sesama saudara kandung.
PENDAPAT PEREMPUAN DESA BUGEL TENTANG KONFLIK
PEREBUTAN LAHAN PASIR KULON PROGO
Bab ini berisi tentang pendapat perempuan pesisir Desa Bugel terhadap
masalah yang mereka hadapi yakni konflik perebutan lahan pasir Kulon Progo
antara JMI (PT. Indomines Australia, Kesultanan Jogjakarta, Paku Alaman),
pemerintah, dan masyarakat pesisir serta pendapat mereka terhadap perlawanan
yang mereka lakukan, baik perlawanan fisik maupun perlawanan non fisik.
Pendapat Perempuan Desa Bugel tentang Konflik Perebutan Lahan
Bagi perempuan Desa Bugel konflik yang berlangsung antara masyarakat
pesisir, Paku Alaman Ground, Sultan Ground, dan korporasi tidak hanya konflik
perebutan lahan. Namun konflik perampasan ruang hidup ribuan masyarakat
pesisir yang menggantungkan hidupnya pada lahan pertanian. Menurut cerita
perempuan Desa Bugel TSB, 41 tahun
Isu penambangan sudah ada sejak lama. Beberapa tahun lalu ada
beberapa pihak yang masuk ke beberapa desa pesisir. Mereka meminta
izin kepada sesepuh-sesepuh desa untuk meneliti kandungan-kandungan
yang terdapat dalam lahan pasir. Kami tidak mengetahui hal tersebut,
kami hanya melihat mereka sedang mengebor lahan pasir. Kami tidak
tahu siapa mereka dan untuk apa itu dilakukan. Usut punya usut ketika isu
pertambangan santer di masyarakat, kami tahu bahwa itu semua adalah
untuk kepentingan penambangan. Tahun 2008 puncak-puncaknya tekanan
yang diberikan kepada kami. JMI terus memaksa kami untuk menyetujui
penambangan. Mereka mengklaim bahwa lahan pertanian kami milik
PAG dan SG. Padahal kami jelas-jelas mempunyai bukti bahwa pada
masa Sultan Hamengku Buwono IX lahan tersebut telah diberikan kepada
kami dan dalam isi surat tersebut disebutkan bahwa lahan pesisir Kulon
Progo hanya diperuntukan untuk kegiatan pertanian, tidak boleh
diperuntukan untuk penambangan ataupun aktivitas-aktivitas yang dapat
mengubah fungsi lahan. Kami benar-benar tidak menyangka bahwa
Sultan Hamengku Buwono X menarik kembali surat tersebut, apa yang
telah diberikan kepada rakyat. Mereka sudah dibutakan dengan
kekuasaan dan uang. Raja justru berpihak kepada kepentingan asing.
Kami seolah-seolah penghambat proyek pembangunan yang harus
disingkirkan. Tidak hanya itu, sekarang Sultan sedang gencar membangun
hotel-hotel diikuti aksi penggusuran di atas lahan masyarakat. Selain itu
juga sudah dicanangkan pembangunan bandara untuk mendukung
beroperasinya penambangan. Dimana hati nurani mereka semua?
Selain itu, Konflik di Kulon Progo juga merubah tatanan sosial
masyarakat. Masyarakat jadi terkotak-kotak ke dalam tiga kelompok, yakni
kelompok masyarakat pro pertambangan, kelompok masyarakat kontra
pertambangan, dan kelompok masyarakat netral. Kelompok masyarakat netral
tidak berpihak ke kelompok mana pun, masyarakat pesisir menyebutnya “mereka
pihak yang mengambil posisi aman, mereka hanya memikirkan kepentingan
42
mereka sendiri, mereka tidak ikut melawan, namun sebenarnya posisi mereka
diuntungkan dengan adanya perlawanan masyarakat pesisir,”. Setidaknya terdapat
tiga penyebab terbentuknya kelompok pro dan netral terhadap pertambangan.
Pertama, kelompok masyarakat pro pertambangan dan kelompok masyarakat
netral pada umumnya adalah masyarakat pesisir yang tidak bermata pencaharian
sebagai petani. Pada umumnya mereka bekerja di setor pemerintahan, sebagai
pegawai negeri sipil dan lain sebagainya. Mereka tidak menggantungkan
hidupnya pada lahan pertanian. Kedua, mereka adalah penduduk pendatang di
pesisir Kulon Progo sehingga mereka tidak memiliki keterikatan sejarah dengan
lahan pasir. Mereka tidak menjadi bagian dalam sejarah masyarakat pesisir Kulon
Progo yang telah berhasil mengubah lahan tandus menjadi lahan subur untuk
pertanian. Ketiga, mereka yang berpegang teguh pada nilai-nilai adat Kesultanan
Jogjakarta. Kelompok ini menganggap bahwa seluruh tanah yang mereka miliki
adalah milik raja. Raja berhak menentukan untuk apa diperuntukan lahan yang
dimiliki rakyat. Segala sesuatu yang datang dari raja akan membawa berkah.
Masyarakat harus “manut” dan menghormati perintah raja. Membangkang
terhadap keputusan raja maka akan membawa petaka. Oleh karena itu ketika isu
pertambangan pasir besi berhembus, masyarakat kelompok ini mempercayai
bahwa pertambangan akan membawa pada kemakmuran dan kemajuan masyakat
pesisir Kulon Progo.
Sejak adanya rencana pertambangan pasir besi, timbul kesenjangan di
antara masyarakat pro dan kontra pertambangan. Perempuan pesisir Desa Bugel
ELS, 29 tahun dan WWI, 44 tahun menuturkan bahwa
Kesenjangan tersebut sangat nyata terlihat di masyakarat. Kami
sangat ketat menerapkan sanksi sosial kepada masyarakat yang pro
pertambangan. Itu telah menjadi kesepakatan di seluruh desa pesisir
Kulon Progo. Bentuk sanksi sosial tersebut adalah terputusnya hubungan
dengan kelompok masyarakat pro pertambangan. Jika mereka adalah ibu
dan anak, maka terputuslah hubungan antara ibu dan anak kandungnya,
jika mereka adalah tetangga maka terputus lah hubungan tetangga
diantara mereka. Antara kelompok masyarakat pro dan kontra
pertambangan tidak boleh saling berkomunikasi, tidak boleh melayat
masyarakat pro yang meninggal dunia, tidak boleh menghadiri hajatan
yang diadakan oleh masyarakat pro, dan tidak boleh menjenguk
masyarakat pro yang sedang sakit. Di Desa Karang Huni, bahkan mayat
masyarakat pro tidak boleh dikebumikan di tanah pesisir Kulon Progo. Di
Desa Bugel sendiri, tempat ibadah masyarakat pro dan kontra
pertambangan terpisah. Pernah terjadi insiden bentrok antara masyarakat
pro dan kontra pertambangan karena tiba-tiba masyarakat pro
pertambangan melarang kami melintas jalan di depan masjid orang-orang
pro. Kami ya tidak bisa menerima diperlakukan seperti itu. Itu kan jalan
umum, mereka tidak berhak bertindak seperti itu. Kesenjangan tersebut
tidak saja terjadi di antara kami orang dewasa, bahkan anak-anak secara
otomatis di dalam alam bawah sadar mereka tertanam rasa untuk
melawan dan menolak orang-orang yang pro pertambangan. Di sekolah,
anak-anak kontra pertambangan tidak mau berteman dengan anak-anak
pro pertambangan, bahkan mereka menolak sekelas dengan anak-anak
pro. Kami para orang tua padahal tidak pernah mengajarkan seperti itu,
43
karena mereka masih anak-anak. Di sekolah, anak-anak kami tidak
menggambar pemandangan seperti pada anak umumnya seumuran
mereka, yang mereka gambar adalah truk-truk pihak penambangan yang
datang ke desa kami, mereka juga menggambarkan mobil-mobil yang
digunakan orang tuanya untuk melakukan aksi demonstrasi.
Namun menurut salah satu anggota PPLP, jumlah masyarakat yang pro
pertambangan sekitar 10% dari total keseluruhan masyakat pesisir Kulon Progo.
Pada umumnya mereka bertempat tinggal di bagian utara Kulon Progo. Di sisi
lain, konflik tersebut juga menyatukan antara masyarakat desa pesisir satu dengan
desa pesisir lainnya di sepanjang pantai selatan Kulon Progo. Sebelumnya
perempuan pesisir tidak mengenal perempuan pesisir di desa lain karena kegiatan
perkumpulan kelompok tani dihadiri oleh laki-laki. Sehingga mobilitas mereka
terbatas di dalam desa tempat mereka tinggal. Rencana pertambangan membuat
masyarakat pesisir memutuskan untuk menyatukan kekuatan melawan
pertambangan. Seiring perlawanan dan pergerakan yang berlangsung intensitas
interaksi antara masyarakat pesisir meningkat. Hal ini meningkatkan rasa
memiliki dan rasa senasib sepenanggungan diantara masyarakat pesisir. Salah satu
prakarsa yang dilakukan oleh perempuan pesisir adalah dilaksanakannya
“mujadahan”. Mujadahan merupakan bentuk perlawanan dari sisi agamawi
melalui doa-doa yang dipanjatkan setiap malam untuk menolak rencana
pertambangan pasir besi.
Pendapat Perempuan Desa Bugel tentang Gerakan Petani Lahan Pasir
Kulon Progo
Perempuan Desa Bugel berpendapat bahwa terdapat perbedaan perlawanan
yang dilakukan oleh petani pada masa awal pergerakan petani dan pergerakan
petani saat ini. Berbagai dinamika perlawanan mewarnai gerakan petani lahan
pasir Kulon Progo baik dalam internal maupun eksternal masyarakat pesisir. Pada
masa awal pergerakan, petani banyak melakukan perlawanan secara fisik. Di awal
pergerakan, masyarakat pesisir berada pada tahap mempelajari strategi
perlawanan yang tepat untuk diterapkan. Untuk itu, masyarakat pesisir melalui
wadah PPLP banyak melakukan diskusi-diskusi dengan kelompok gerakan petani
lainnya, LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat), LBH (Lembaga Bantuan
Hukum), aktivis, salah seorang kesultanan Jogjakarta, dan lain-lainnya. PPLP
banyak menjalin solidaritas dengan kelompok-kelompok dan pihak-pihak yang
berpihak kepada nasib petani. Seperti kebanyakan pergerakan petani di daerah
maupun belahan dunia lain, PPLP juga menempuh berbagai jalur birokrasi untuk
menyuarakan konflik perebutan lahan yang mereka hadapi.
Langkah yang telah ditempuh petani pesisir diantaranya adalah
berdemonstrasi di Kantor Pemerintah Daerah Kabupaten Kulon Progo menuntut
pembatalan proyek pertambangan pasir besi; berdemonstrasi di Universitas
Gadjah Mada menuntut penghentian kerjasama reklamasi lahan
pascapenambangan oleh Fakultas Kehutanan dengan PT. JMI, dimana dalam aksi
ini melibatkan sebanyak 3000 massa; menduduki kantor DPRD Kulon Progo
menuntut pembatalan proyek pertambangan pasir besi karena berpotensi pada
44
pelanggaran HAM (Hak Asasi Manusia); melakukan audiensi dengan komisi VII
DPR RI dan Kedutaan Besar Australia untuk meminta kejelasan identitas Indo
Mines Ltd, pihak Kedutaan Besar Australia menyatakan ketidaktahuannya atas
keterlibatan Indo Mines Ltd dan memberikan keterangan bahwa alamat
perusahaan Indo Mines Ltd tidak sesuai dengan yang diinformasikan kepada
publik; melakukan dialog dengan Komnas HAM terkait proyek penambangan
pasir besi yang berpotensi terjadinya pelanggaran HAM; mengadakan pertemuan
dengan LBH; mengirimkan surat kepada DPRD untuk mengajukan pembatalan
PERDA No.2 Tahun 2010; dan mengirimkan surat pernyataan sikap penolakan
rencana pertambangan pasir besi kepada presiden RI.
Selain itu masyarakat juga banyak melakukan perlawanan-perlawanan
fisik, seperti melakukan aksi-aksi demonstrasi, baik di Kantor Pemerintahan
Daerah Kabupaten Kulon Progo, Universitas Gadjah Mada maupun di Kantor
DPR RI; aksi memblokir jalan menuju kawasan pesisir untuk kepentingan
pengagkutan material bahan Pilot Project PT. JMI; aksi langsung
menghentindakan tindakan yang meresahkan masyarakat yakni datangnya enam
mobil tanpa seizin warga yang dilakukan oleh oknum Pakualaman di Bugel; dan
aksi melakukan penutupan Pilot Project di Gupit setelah tiga tahun beroperasi
tanpa mengindahkan kepentingan lingkungan. Gerapan petani tersebut ada yang
direncanakan dan ada pula yang dilakukan secara spontan. Aksi spontan tersebut
banyak dilakukan oleh perempuan. Menurut pengakuan salah satu laki-laki pesisir